Anda di halaman 1dari 39

DIALOG IMAN

(Masyarakat dan Budaya)


Gereja memandang umat beragama lain bukan
sebagai orang lain, melainkan sebagai partner
dalam melayani / partner dalam mengabdi.

Untuk membangun kebersamaan yang diresapi


semangat mengabdi, Gereja berusaha lebih
mengakar dalam tradisi budaya masyarakat
setempat. Dan untuk lebih mengakar, Gereja
tidak bisa melepaskan diri dari aktivitas yang
mendasar yakni Dialog.
Secara konkret hal ini berarti bahwa Gereja
harus terus menerus, dengan cinta dan rendah
hati, berdialog dengan tradisi-tradisi
kebudayaan, religiositas maupun agama-agama
setempat. Dkl. Membangun dialog berarti
membangun Gereja setempat.

Menjalin hubungan yang akrab dengan aneka


tradisi budaya dan agama di mana Gereja hidup
berarti merajut benang-benang penghayatan
iman yang makin mengakar dalam masyarakat
setempat.
PENGERTIAN ISTILAH DIALOG
Dokumen Dialogue Proclamation (1991)
membedakan 3 macam arti dialog, yaitu :

1. Komunikasi timbal balik (Tingkat manusia


sehari-hari)
Tujuan komunikasi ini dapat berupa sekedar
saling tukar menukar informasi, atau untuk
meraih kesepakatan, atau untuk menjalin
persatuan.
2. Dialog sebagai tugas evangelisasi yang harus dijalankan
(semangat dialogis)
Dialog dalam arti ini dipahami sebagai sikap
hormat, penuh persahabatan, ramah, terbuka,
suka mendengarkan orang lain.

3. Dialog merupakan : hubungan antar agama yang positif


dan konstruktif.
Hubungan ini dilangsungkan dalam hubungan
dengan pribadi-pribadi dan umat dari agama-
agama lain, yang diarahkan untuk saling
memahami dan saling memperkaya., dalam
ketaatan kepada kebenaran dan hormat terhadap
kebebasan.
Dialog dalam arti ketiga inilah yang dimaksudkan Gereja
dalam dokumen-dokumennya tentang dialog (seperti
Dialogue and Mission dan Dialogue and Proclamation).

Dialog yang sebenarnya dijalankan dalam lingkungan


kebenaran dan kebebasan. Sebab dialog yang sejati
tidak hanya memajukan kerjasama dan sikap terbuka,
melainkan juga memurnikan dan mendorong untuk
menggapai kebenaran dan kehidupan, kesucian,
keadilan, kasih, dan perdamaian, serta aneka dimensi
dari Kerajaan Allah. (note : Paus Yohanes Paulus II
mengatakan bahwa dialog pada level yang mendalam
pada prinsipnya ialah dialog keselamatan)
TEMPAT DIALOG DALAM
TUGAS PERUTUSAN GEREJA

Tempat dialog yang dimaksud adalah hubungan


dialog agama-agama dalam konteks
keseluruhan tugas perutusan Gereja.
Dkl. Dialog merupakan unsur integral dalam
keseluruhan tugas perutusan Gereja.
Apa artinya unsur integral ?
Baiklah di bawah ini kita lihat satu persatu :
1. Dialog merupakan wujud kesaksian tugas
perutusan Gereja.

Karya misi tidak lain dan tidak bukan


merupakan perwujudan atau
penampakan rencana Allah, sekaligus
pemenuhannya dalam sejarah (Ad
Gentes 9)

Hidup bersama dalam kerjasama dan


dialog dapat menjadi wujud kesaksian
tugas perutusan sebagai orang katolik.
Dialog tidak dimaksudkan sebagai strategi
kristenisasi tetapi lebih sebagai wujud
konkret dalam meneladan hidup Yesus
Kristus sendiri.

Lewat dialog, Gereja ingin agar Kristus


makin dicintai dan mengajak manusia
semakin mencintai Tuhan dan sesamanya.
Dalam dialog tidak boleh ada prinsip-
prinsip yang diabaikan, juga tidak boleh
ada irenicisme (sekedar mencari
kedamaian yang sebenarnya palsu),
sebaliknya harus ada kesaksian yang
diberikan dan diterima guna saling
memajukan satu sama lain di dalam
perjalanan pencarian dan pengalaman
keagamaan, dan pada saat yang sama
menyingkirkan prasangka, sikap yang tidak
toleran dan kesalapahaman.
2. Dialog merupakan bagian misi penginjilan
Gereja.

Redemptoris Missio no. 55 mengatakan


bahwa dialog antar agama merupakan
bagian dari misi penginjilan Gereja.

Gereja tidak melihat suatu pertentangan


antara memberitakan Kristus dan dialog
antar agama.
Keduanya tidak boleh dikacaukan,
dimanipulasi ataupun dipandang sebagai
suatu yang identik, seolah-olah dapat
saling dipertukarkan.

Tetapi sebaliknya, keduanya tidak dapat


dipisahkan dengan tegas, sekalipun dapat
dibedakan baik secara teologis maupun
praktis, sebab keduanya memiliki jalur
teologi sendiri-sendiri, yakni teologi dialog
dan teologi misi.
3. Dialog sebagai pewartaan pertobatan

Dialog itu menuju pemurnian dan


pertobatan rohaniah.

Makna pertobatan dalam hal ini


sesungguhnya lebih menyentuh pada
persoalan perubahan dan pembaharuan
batin sejati dan terus menerus.
Paus Yohanes Paulus II mengatakan
dalam ensikliknya yang pertama,
Redemptor Hominis, bahwa hubungan
yang penuh persahabatan antara para
pengikut bermacam-macam agama timbul
karena saling menghargai dan saling
mengasihi. Hal itu mengandaikan adanya
kebebasan untuk melaksanakan iman
mereka seutuhnya dan
membandingkannya dengan iman orang
lain. (RH 12)
4. Dialog sebagai usaha membangun Kerajaan
Allah.

Kerajaan Allah merupakan wujud


keselamatan yang sudah dipersiapkan oleh
Allah dalam PL, dilaksanakan oleh Kristus
dan di dalam Kristus, serta diberikan
kepada semua orang oleh Gereja, yang
berkarya dan berdoa demi perwujudannya
secara sempurna dan pasti (Redemptoris
Missio 12)
Kerajaan Allah diperuntukkan bagi semua
manusia, semua orang dipanggil untuk
menjadi anggota Kerajaan Allah.

Keselamatan yang dihadirkan oleh


Kerajaan Allah merangkum sekaligus
dimensi-dimensi rohani dan jasmani
kehidupan manusia.

Kerajaan Allah juga mengubah hubungan-


hubungan antar manusia (lambat laun
saling mencintai, mengampuni, dan
melayani satu sama lain).
Hakekat Kerajaan Allah ialah suatu
persekutuan di antara semua umat
manusia : persekutuan antar manusia yang
satu dengan yang lain dan persekutuan
antara manusia dengan Allah (RM 15).

Membangun Kerajaan Allah berarti bekerja


demi pembebasan dari kejahatan dalam
segala bentuknya, sebab Kerajaan Allah
merupakan pengejahwantahan dan
perwujudan nyata dari rencana Allah dalam
segala kepenuhannya (RM 15).
5. Dialog merupakan unsur integral tugas
perutusan

Dalam caranya sendiri dialog


mengintegrasikan tugas perutusan Gereja,
artinya : semua tugas perutusan Gereja
harus dilaksanakan dengan menghormati
pribadi dan kebudayaan.

Bersama dengan pewartaan yang


merupakan komunikasi pesan Injil, dialog
dalam cara dan kedudukannya sendiri
manjadi unsur penentu dari perutusan
Gereja.
6. Tanggung jawab Gereja Lokal dalam perutusan
dialog.

Pertanyaan : siapakah yang berpartisipasi


dan bertanggungjawab dalam dialog ?

Gereja-gereja lokal atau partikularlah yang


pertama-tama harus memiliki komitmen
untuk membangun dialog dengan umat
beragama lain di tempatnya masing-
masing.
Sedangkan tugas sekretariat atau dewan
kepausan untuk dialog antar agama ialah
mendukung usaha-usaha pengembangan
dialog antar agama yang dibangun oleh
Gereja-gereja lokal, serta terus menerus
menjabarkan dan mencari bentuk
kerasulan yang memajukan tukar pendapat
dan refleksi.
7. Keterlibatan semua umat beriman dalam
perutusan dialog.

Masa depan dialog agama-agama


pertama terletak pada kaum awam.

Hal itu berarti dibutuhkan barisan imam


yang tangguh yang tahu mendampingi
kaum awam sebagai saudara-saudaranya
seiman, dan yang ada di tengah-tengah
umat sebagai orang-orang yang sungguh
beriman.
Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang
memiliki amanat perutusan untuk menjalin
kerjasama dan berdialog dengan
sesamanya dari agama-agama lain guna
meningkatkan kesejahteraan sosial dan
kehidupan masyarakat lingkungannya.

Perhatian khusus harus diberikan kepada


kaum muda yang hidup dalam suatu
lingkungan yang pluralistis ini.
BEBERAPA BENTUK DIALOG

Dalam Dialogue and Mission diajukan 4


macam bentuk dialog, yaitu :

1. Dialog Kehidupan (bagi semua orang)


Dialog kehidupan diperuntukkan bagi semua
orang dan sekaligus merupakan level dialog
yang paling mendasar, sebab ciri kehidupan
bersama sehari-hari dalam masyarakat majemuk
yang paling umum dan mendasar ialah ciri
dialogis.
Dialog kehidupan seringkali memang tidak
menyentuh perspektif agama dan iman. Dialog ini
lebih digerakkan oleh sikap-sikap solider dan
kebersamaan yang melekat.

Sebagai pengikut kristus, kita diminta untuk


menghayati dialog kehidupan dalam semangat
injili, tidak peduli dalam situasi apapun, baik
sebagai minoritas maupun mayoritas.
2. Dialog Karya (untuk bekerjasama)
Yang dimaksud dengan dialog karya adalah
kerjasama yang lebih intens dan mendalam
dengan para pengikut agama-agama lain.

Sadaran yang hendak diraih ialah pembangunan


manusia dan peningkatan martabat manusia.

Bentuk dialog semacam ini kerap berlangsung


dalam kerangka kerjasama organisasi-organisasi
internasional, di mana orang-orang katolik
dannpara pengikut agama-agama lain bersama-
sama menghadapi masalah-masalah dunia.
3. Dialog pandangan teologis (untuk para ahli)
Dalam dialog teologis, orang diajak untuk
menggumuli, memperdalam, dan memperkaya
warisan-warisan keagamaan masing-masing, serta
sekaligus diajak untuk menerapkan pandangan-
pandangan teologis dalam menyikapi persoalan-
persoalan yang dihadapi umat manusia pada
umumnya.

Dialog pandangan teologis tidak (dan tidak boleh)


berpretensi apa-apa, kecuali untuk saling
memahami pandangan teologis agama masing-
masing dan penghargaan terhadap nilai-nilai
rohani masing-masing. (Dkl. butuh keterbukaan)
4. Dialog pengalaman keagamaan (Dialog
pengalaman iman)
Dialog ini merupakan dialog tingkat tinggi.

Dialog pengalaman iman dimaksudkan untuk


saling memperkaya dan memajukan penghayatan
nilai-nilai tertinggi dan cita-cita rohani masing-
masing peribadi.

Dalam dialog ini, pribadi-pribadi yang berakar


dalam tradisi keagamaan masing-masing berbagi
pengalaman doa, kontemplasi, meditasi, bahkan
pengalaman iman dalam arti yang lebih mendalam
(mis. Pengalaman mistik).
Dialog pengalaman iman keagamaan sangat
mengandaikan iman yang mantap dan mendalam.

Dalam banyak hal, dialog iman merupakan ujian


kesabaran yang meminta ketabahan panjang.

Kristus mengundang kita untuk masuk ke dalam


dialog iman ini dan kepada kita Dia berkata : Aku
datang supaya mereka mempunyai hidup dan
mempunyainya dalam segala kelimpahan (Yoh
10:10)
BEBERAPA SYARAT DIALOG

1. Keseimbanan Sikap
Dialog menuntut sikap yang seimbang dari
orang-orang yang terlibat di dalamnya :
1. Harus bersikap jujur
2. Menghindari kecenderungan untuk mengkritik
sekalipun didukung oleh kutipan-kutipan KS.
3. Perlu sikap terbuka, mau mendengarkan, tidak
egois, tidak berprasangka perihal perbedaan-
perbedaan yang muncul, haruslah dipupuk
dan diusahakan dalam persahabatan yang
mantap.
4. Adanya kehendak dan cita-cita bersama untuk
terlibat dalam pencapaian kebenaran.
5. Adanya kesediaan untuk membiarkan diri
dibentuk dan dikembangkan dalam
perjumpaan.
6. Aneka kecenderungan yang menganggap diri
paling benar karena alasan-alasan dangkal
(mis. : sebagai mayoritas atau sebagai agama
yang paling banyak dianut di seluruh dunia)
maupun alasan yang lebih mendalam (mis. :
karena kelogisan pandangan teologis atau
keakuratan dalam mencerna pengalaman
imannya) haruslah dicegah dan ditanggalkan
dengan penuh kerendahan hati.
2. Kemantapan dan menolak Indiferentisme
Dialog agama-agama tidak mungkin dijalankan
dalam kerapuhan dan keragu-raguan mengenai
imannya.

Dialog sejati bukannya akan melemahkan


mereka, melainkan memperdalam iman mereka.

Indiferentisme harus dicegah, sebab pandangan


ini selain mengantar kepada sikap acuh tak acuh
mengenai tuntutan-tuntutan imannya, juga
menampilkan sikap menggampangkan sekaligus
menyederhanakan (simplifikasi) pandangan
tentang agama-agama sebagai sama saja
semuanya. Memandang semua agama sebagai
sama saja merupakan sikap yang naif dan justru
sangat merugkan imannya.
3. Dialog tidak menghendaki Teologi Universal
Dialog agama-agama, dalam pandangan Gereja
Katolik, tidak menghendaki usaha-usaha
menguniversalkan teologi dari agama-agama yang
terlibat dalam dialog.

Gerjea justru mengandaikan bahwa keunikan


teologi masing-masing agama yang terlibat dalam
dialo (dialog teologis), bila dipertahankan dan
dikembangkan, malah sangat memperkaya satu
sama lain.

Gereja juga tidak menghendaki keanekaragaman


pandangan teologi dari agama-agama menjadi
sumber pemecah belah kesatuan umat manusia.
KESULITAN-KESULITAN DIALOG

Hambatan dialog agama umumnya menyentuh


faktor-faktor manusiawi, antara lain :

1. Tidak cukup memiliki pengetahuan dan


pemahaman tentang agama-agama lain
secara benar dan seimbang akan
menyebabkan kurangnya penghargaan dan
sekaligus akan mudah memunculkan sikap-
sikap curiga yang berlebihan.
2. Perbedaan kebudayaan karena tingkat
pendidikan yang tidak sama, juga masalah
bahasa yang sangat peka dalam kelompok-
kelompok tertentu.

3. Faktor-faktor sosial politik dan beban ingatan


traumatis akan konflik-konflik dalam sejarah.

4. Pemahaman yang salah mengenai beberapa


istilah yang biasa muncul dalam dialog,
misalnya : pertobatan, pembaptisan, dst.
5. Merasa diri cukup atau paling sempurna
sehingga memunculkan sikap-sikap difensif
dan agresif.

6. Kurang yakin terhadap nilai-nilai dialog antar


agama; sejumlah orang menganggapnya
sebagai suatu tugas khusus para ahli, atau
melihat dialog sebagai salah satu tanda
kelemaham atau malahan pengkhianatan
iman.

7. Kecenderungan untuk berpolemik bila


mengungkapkan keyakinan gagasannya.
8. Permasalah jaman sekarang ini, misalnya :
bertumbuhnya materialisme, sekularisme,
sikap acuh tak acuh dalam hidup agama, dan
banyaknya sekte-sekte keagamaan
fundamentalis yang menimbulkan
kebingungan dan memunculkan persoalan-
persoalan tertentu.

9. Sikap tidak toleran yang kerap kali


diperparah oleh faktor-faktor politik, ekonomi,
ras, etnis, dan aneka kesenjangan lainnya.
Aneka kesulitan tersebut muncul karena
kurangnya pemahaman mengenai hakikat sejati
dialog dan tujuan hakiki dialog.

Oleh akrena itu, perlulah bahwa hal-hal pokok


ini diterangkan terus menerus. Untuk itu dituntut
kesabaran.

Sekalipun ada kesulitan-kesulitan yang sering


cukup serius, keterlibatan Gereja terhadap
dialog tetap kokoh dan tidak (tak boleh) goyah.
KESIMPULAN

Tujuan awal dialog adalah : berubah dan tumbuh dalam


persepsi yang benar tentang kenyataan dan bertindak
tepat sesuai dengannya.

Dialog antar agama harus merupakan proyek ganda,


yaitu : dialog di dalam komunitasnya dan dialog dengan
komunitas yang lain.

Setiap partisipan dalam dialog harus memiliki kejujuran


dan ketulusan sepenuhnya.
Masing-masing partisipan dialog harus mempercayai
ketulusan dan kejujuran rekan dialognya.

Setiap peserta harus dapat mendefinisikan dirinya


sendiri, dan sebaliknya setiap definisi diri yang
ditafsirkan harus diterima untuk mengenal dirinya lebih
baik, kritis.

Masing-masing partisipan dialog harus sanggup


menahan diri untuk segera mencari point-point
perbedaan.

Dialog harus terjadi antara pihak-pihak yang sama (par


cum pari).
Dialog hanya terjadi apabila didasarkan pada saling
percaya.

Setiap pribadi yang terlibat dalam dialog harus


sekurang-kurangnya mengambil sikap kritis terhadap 2
hal, yaitu : dirinya sendiri (gagasan-gagasannya) dan
tradisi religius yang diyakininya.

Masing-masing partisipan harus berusaha mengalami


agama atau tradisi agama rekan dialognya dari dalam
(from within).

******

Anda mungkin juga menyukai