Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN KEEMPAT

TOLERASNI BERAGAMA
Sebagai bangsa yang majemuk dan beranekaragam suku, agama, ras dan antargolongan,
sudah sewajarnya bahkan seharusnya kita berpikir dan mengembangkan sikap yang lebih toleran
dalam hidup bersama. Bukan hanya sebatas mengakui adanya perbedaan dan mengakui adanya
yang lain, melainkan juga bahwa kita turut mendukung keberadaan yang lain itu. Dengan
demikian, suasana kemajemukan terasa semakin sejuk, di mana satu sama lain saling
memelihara, mendukung dan memperkaya.
Dengan toleransi yang semakin baik, kita dapat membangun dialog yang konstruktif dan
berdayaguna, yang mampu menumbuhkan sikap dan atmosfir keberagaman yang semakin
terbuka, plural dan inklusif. Dialog yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan semakin
terbuka akan membuat kita semakin kritis dan bertanggungjawab, terutama dalam memperbaiki
pemahaman dan penghayatan iman yang terlalu eksklusif, tertutup dan bahkan sempit, akan
membuat kita merasa semakin jauh satu sama lain, bahkan sangat mudah untuk berkonflik dan
menyuburkan sentimen keagamaan. Sangat disayangkan bahwa agama, yang seharusnya
membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi manusia, sering dijadikan sebagai alat untuk
mencapai tujuan pribadi dan kelompok.
Melalui dialog akan muncul kesadaran yang semakin mendalam bahwa ternyata, kita semua
umat beragama memiliki suatu keprihatinan yang sama tentang bagaimana agar dunia ini
semakin baik dan semakin maju, menjadi tempat hunian yang semakin manusiawi bagi umat
manusia. Ada banyak hal yang merupakan tugas dan tanggungjawab berat yang harus
ditanggung dan dicarikan jalan keluarnya oleh umat beragama. Kita tidak kuat bila hanya
bergerak dan berjuang sendiri-sendiri. Dengan kerjasama yang semakin baik, niscaya kita dapat
membangun persaudaraan yang semakin luas, dan semakin mampu memainkan peran agama
secara tepat, yang selalu memperjuangkan kedaiaman dan kebahagiaan serta kesejahteraan dan
keselamatan bagi umat manusia.
BAB 12
MENGEMBANGKAN DIALOG
ANTAR AGAMA

Dialog antar agama, dan bahkan inter agama, merupakan hal yang perlu bahkan mendesak
untuk Kita kembangkan. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa kita hidup dalam
kemajemukan atau pluralitas, tidak terkecuali dalam hal keberagaman. Antar agama
dimaksudkan adalah antar orang-orang yang berbeda agama; sedangkan inter agama
dimaksudkan adalah antara orang yang memeluk agama yang sama, tetapi berbeda pemahaman
dan praktik penghayatan keagamaan.
Toleransi beragama mesti dibangun atas dasar pemahaman dan pengakuan bahwa kita
semua orang beragama adalah orang yang sama-sama berjuang mencari dan menemukan Tuhan,
sumber dan tujuan hidup kita. Dengan kata lain, kita semua adalah orang-orang yang sama-sama
berjuang untuk hidup seturut kehendak Tuhan, mewujudkan kedamaian, kebahagiaan dan
keselamatan bagi kita sendiri dan seluruh umat manusia.
Perbedaan-perbedaan yang ada sebaiknya tidak membuat kita menjadi asing terhadap satu
sama lain, apalagi bermusuhan. Kita adalah musafir-musafir yang sama-sama sedang dalam
perjalanan menuju tujuan yang sama, tetapi dengan jalan yang berbeda-beda. Sebagai orang yang
sedang bergerak menuju tujuan yang sama, dengan jalan yang berbeda-beda, sebaiknya kita
kembangkan saling mengenal dan saling tahu tentang jalan dan perjuangan masing-masing
melalui suatu dialog yang semakin baik diharapkan kita dapat semakin menemukan kesamaan
dasar, yang melandasi usaha pencarian dan pergerakan kita bersama.

A. Pengertian Dialog PAMERAN AGAMA-AGAMA

Secara sederhana
Bersama dialog lain,
seorang teman dapatkami
diartikan sebagai pembicaraan
mengunjungi sebuah pameran langsung
duniaantara orang-orang
agama-agama
yang mempunyai
(pameran pandangan
ini diikuti oleh berbeda tentang suatu
agama Yahudi, hal,dan
Kristen untuk salingPersaingan
Islam). tukar informasi, sehingga
erat sangat
memperoleh salingberbagai
terasa, disertai pengertian. Pengartianyang
progpaganda dialog yang keras.
sungguh sederhana ini mesti
Dari bagian dikembangkan
agama Yahudi
pemahaman dan penerapannya
diterima informasi dalamberbelas
bahwa Allah kaitan dengan dialog
kasih, dan antara agama,
orang-orang sehingga
Yahudi adalahmaksud
bangsayang
sebenarnya dari dialog
terpilih. Pada bagiantersebut
agama dapat
Kristendicapai secarabahwa
diwartakan lebih memuaskan.
Allah adalahSebagai ilustrasi
kasih. Di terhadap
luar Gereja
maksud
tidak dialog antar agama,Hanya
ada keselamatan. baiklahanggota-anggota
kita cermati cerita berikut:
Gereja saja yang terbebas dari bahaya
keterkutukan kekal. Pada bagian agama Islam diperoleh informasi bahwa Allah Maha
Besar dan Mulia, dan Muhammadlah satu-satunya Nabi. Keselamatan diperoleh apabila
mendengarkan Muhammad, satu-satunya utusan Allah. Ketika kami keluar dari pelataran
pameran, saya bertanya kepada temanku, “Apakah sikapmu terhadap Allah?” Dia
menjawab, “Allah terlalu keras kepala, fanatik, dan sadis.” Pada suatu kesempatan lain
saya bertanya kepada Allah ketika kami sudah di rumah, “Apakah sikap-mu terhadap hal-
hal itu, Tuhan? Apakah Engkau tidak tahu bahwa manusia telah menyalahgunakan Engkau
sejak berabad-abad lamanya?” Allah berkata, “Aku tidak mengorganisir pameran itu.
Untuk ke sana saja Aku sendiri sebenarnya sangat malu.”
1. Bukan Mencari Siapa Benar dan Salah

Cerita atau kisah di atas sering dijadikan sebagai cermin sikap hidup dan kehidupan umat
beragama. Umat beragama suka mengklaim bahwa agamanyalah yang benar dan yang berasal
dari Tuhan, sementara agama lain adalah palsu, salah dan sesat. Umat beragama seringkali
terjebak pada truth claim dan salvation claim, dan rela melakukan apa saja demi klaimnya itu.
Mereka tega melakukan kekerasan kepada orang yang berbeda agama dengan mereka, bahkan
kalau perlu membantai mereka karena dianggap sesat dan salah.
Perjumpaan antar pemeluk agama dengan semangat bermusuhan dan kebencian ini selalu
bermuka dua. Di satu sisi dapat tampak seperti pemeluk agama yang militan dan konsisten,
karena kesetiaan dan loyalitas kepada agamanya. Tetapi di sisi lain selalu mendapat kutukan dari
semua pemeluk agama, karena dinilai mengkhianati misi agama yang selalu mengajarkan kepada
manusia cinta dan perdamaian. Klaim pengkafiran terhadap pemeluk agama lain kadangkala
merupakan jargon retorik akibat krisis intelektual dan kekalahan politis dalam bersaing dengan
yang lain, yang dianggap lebih maju serta dianggap mengancam eksistensinya.

“Tuhan telah menciptakan banyak pintu


yang terbuka untuk memperoleh kebenaran.
Itulah pintu kebenaran yang dibukanya untuk semua
orang yang mengetuk dengan tangan iman”
(Kahlil Gibran)

Sebagai orang yang sama-sama terpanggil untuk mewujudkan cinta dan perdamaian
sebaiknya kita tidak berada di posisi mencari siapa benar siapa salah, melainkan bagaimana kita
meningkatkan pemahaman dan penghayatan agama dan iman kita dengan baik. Benar-salahnya
agama dan kepercayaan yang diwariskan kepada kita, bukan kita yang menjadi hakimnya. Dalam
beriman, kita tidak sedang berbicara mengenai hal yang sifatnya matematis, untuk bisa
menentukan mana yang salah dan mana yang benar secara matematis. Kita hanya dapat yakin
dalam iman bahwa jalan yang sedang kita tempuh adalah jalan yang benar. Dan, tugas utama kita
adalah bagaimana kita menjalani jalan itu dengan baik dan benar pula.
Kita tidak punya hak untuk menjadi hakim atau agama dan kepercayaan orang lain, karena
mereka pun sedang menjalani jalan yang mereka yakini sebagai jalan yang benar. Pemikiran dan
sikap seperti ini penting kita kembangkan melalui dialog yang berkelanjutan. Dengan dialog
yang konstruktif, maka yang bisa kita capai bukan hanya sikap tidak bermusuhan, melainkan
lebih dari itu, sama-sama menyadari tugas dan tanggungjawab besar yang kita pikul bersama
sebagai umat beragama, yakni mewujudkan kebaikan semua orang dalam hidup ini.

2. Menghargai Agama dan Kepercayaan Orang Lain

Didasari oleh sikap dan pemahaman bahwa kita tidak dalam posisi mencari mana yang benar
dan mana yang salah (apalagi saling menghakimi), sebaiknya kita mengembangkan dialog
terbuka dan konstruktif, sehingga butir-butir kesalahpahaman dan kesalahan persepsi tentang
agama dan kepercayaan, dapat semakin dikurangi. Dialong yang kita kembangkan sebaiknya
dialog yang membantu terciptanya keselarasan dan keharmonisan hidup bersama serta sikap
toleran terhadap satu sama lain. Sikap toleran yang dimaksud adalah sikap tetap menghargai
nilai-nilai kemanusiaan dan menghargai agama serta kepercayaan orang lain.

Sikap menghargai agama dan kepercayaan orang lain hanya bisa tumbuh dan berkembang di
hati kita apabila kita menghapuskan dari kita pandangan atau klaim bahwa agama kita yang
benar sedangkan agama lain salah. Dapat dikatakan bahwa agama hanyalah merupakan sarana
manusia mencapai keselamatan atau Tuhan, dan jalan mana dari sekian jalan yang ditempuh
sebagai jalan yang paling cepat dan tepat menuju ke Tuhan itu, hanya Tuhan sendirilah yang
tahu.
Manusia hanya berusaha untuk menapaki jalan itu dalam iman dan kepercayaan, yang
kemungkinan bisa gagal atau berhasil. Pemahaman dan sikap seperti ini tidak harus membuat
kita terjebak pada anggapan “menyamakan semua agama”. Orang yang menghormati jati diri
masing-masing agama pasti tidak akan mengatakan, semua agama adalah sama. Setiap agama
tentu memiliki perbedaan-perbedaan, dan masing-masing mempunyai pemahaman dan konsep
sendiri-sendiri tentang siapa yang mereka sembah.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa agama yang satu tidak bisa diperbandingkan dengan
agama yang lain. Maksudnya, setiap agama itu partikular, dan tidak singular. Setiap agama itu
mempunyai kekhasannya sendiri-sendiri sehingga tidak dapat begitu saja disamaratakan dengan
yang lain. Namun itu tidak berarti bahwa ada agama yang begitu singular dan unik, sehingga
tidak ada bandingannya. Dengan tetap menghormati kekhasan masing-masing agama, kita harus
mengatakan bahwa semua agama pada dataran yang sama. Ada perbedaan, tetapi the are
different in degree, but not in kind. Berbeda dalam banyak hal, tetapi tidak dalam hakikat.

3. Dari Ekslusif ke Inklusif

Umat beragama harus menyadari bahwa konflik antar agama terjadi karena sikap
keberagaman kita yang kurang dewasa dan ketidakmampuan merespon kondisi zaman yang
semakin plural dan seolah tanpa batas ini. Tidak satu agamapun yang melegitimasi tindak
kekerasan dan kekejaman terhadap umat beragama lain. Semua agama mengajarkan agar
manusia bersedia menolong sesama dan mencintainya sebagai wujud dari kecintaan kepada
Tuhan.
Hambatan bagi terwujudnya sikap terbuka seperti ini adalah sikap eksklusif menciptakan
ketertutupan dan mengambil jarak yang jauh dengan pihak lain. Sikap seperti ini sangat tidak
cocok sebagai sikap keagamaan yang humanis, yang menciptakan kerukunan dan persaudaraan
universal di antara umat manusia. Agama seharusnya semakin memanusiakan manusia, semakin
membuat manusia benar-benar sebagai sesama bagi sesamanya. Agama seharusnya mendorong
tumbuhnya solidaritas tinggi terhadap nasib dan kehidupan satu sama lain.
Agama seharusnya menjadi berkah bagi manusia.Untuk bisa mewujudkan makna agama
sebagai berkah bagi manusia, maka harus ada peralihan sikap, dari eksklusif ke inklusif. Kita
harus keluar dari ketertutupan dan sekat pemisah yang membuat kita tidak peduli terhadap satu
sama lain, apalagi memusuhi yang lain. Kita harus menghayati secara benar misi dari agama-
agama sebagai jalan kebaikan bagi manusia.
Kita menciptakan kerukunan dan menjalin persaudaraan yang luas dan terbuka. Kita perlu
berbaur dengan saudara-saudara yang berbeda agama dan kepercayaan dengan kita. Kita perlu
mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, yang dimiliki oleh setiap manusia, entah
agama apa pun dia. Untuk membangun dialog yang terbuka dan konstruktif setidaknya ada dua
hal yang mesti diperhatikan, yakni:
Pertama, melakukan pemikiran kemblai terhadap konsep-konsep lama tentang agama dan
masyarakat untuk menuju era pemikiran baru berdasarkan solidaritas historis dan integrasi sosial.
Artinya, kita pantas meragukan kebenaran konsep pemikiran yang menghilangkan rasa
solidaritas dan mengancam kerukunan sosial. Konsep yang dapat dibenarkan dan perlu
dikembangkan adalah konsep pemikiran keagamaan yang mampu menumbuh-kembangkan rasa
solidaritas yang tinggi antar sesama manusia dan yang mampu memelihara kesatuan utuh
kehidupan bersama.
Kedua, melakukan reformasi pemikiran dari pemikiran teologis yang eksklusif menuju
pemikiran teologis yang inklusif, terbuka dan pluralis, serta bersedia menerima umat beragama
lain sebagai teman dialog untuk memperluas wawasan dan pengalaman keagamaan. Dengan
pemikiran teologis inklusif, kita semakin bisa menemukan benang merah dari berbagai
pemahaman dan praktik hidup keagamaan, yang dapat kita jadikan sebagai landasan
pengembangan solidaritas bersama.
Menarik untuk direnungkan ilustrasi yang diberikan oleh Cak Nur (panggilan akrab untuk
Nurcholish Madjid) yang mengibaratkan agama pada roda sepeda. Jari-jari sepeda itu semakin
jauh dari as (pusat)-nya, maka akan semakin renggang. Sebaliknya, semakin dekat ke as-nya
maka akan semakin dekat, bahkan bersatu. Artinya, semakin seseorang hanya melihat dan
mengedepankan perbedaan antara agama-agama, orang itu ibarat berada di daerah pinggiran
dalam lingkaran roda sepeda itu. Ia semakin jauh dengan yang lain, sekaligus berada jauh dari as.
Sebaliknya, apabila seseorang mampu membuka tabir dari apa yang disebut oleh genius
terbesar metafisika tradisional Frithjof Schuon sebagai the heart of religion atau the religion of
heart, akan mengalami bahwa semua agama itu akan bertemu. Hal ini sejalan dengan ilustrasi
lain yang dapat diberikan berkaitan dengan perbedaan antar agama-agama. Ibarat air,
substansinya adalah satu, tapi kehadirannya bisa mengambil bentuk yang berbeda berupa sungai,
danau, lautan, uap, mendung, hujan, kolam, embun dan sebagainya.
Begitu juga cahaya, yang substansinya pun satu, tapi spectrum cahaya itu punya “daya
terang” tersendiri (terang sekali, biasa, dan remang-remang). Juga tercermin dalam aneka warna
cahaya (merah, kuning, hijau, dan sebagainya). Jadi, sebagaimana halnya dengan air dan cahaya
yang satu itu dapat tampil dalam bentuk-bentuk yang berbeda, demikian juga agama-agama itu,
biar pun terbungkus dalam wadah yang berbeda-beda, namun di dalamnya terdapat substansi dan
esensi yang sama.

PENCARIAN

Seribu tahun yang lalu dua filsuf bertemu di lereng gunung Lebanon. Yang satu berkata
kepada yang lainnya, “Kemana engkau akan pergi?” Yang satunya menjawab, “Aku
mencari air mancur muda yang berada di sekitar perbukitan ini. Aku telah menemukan
tulisan yang menceritakan bahwa air mancur itu berbunga-bunga saat matahari
menyinarinya.” Dan engkau, apa yang engkau cari?” Filsuf pertama itu menjawab, “Aku
mencari misteri kematian.” Kemudian mereka saling menganggap bahwa yang lainnya
kurang ilmunya, dan mulai mereka bertenggar, serta saling menuduh sebagai orang yang
buta terhadap kejiwaan.
Ketika suara keras mereka terbawa angin, seorang asing, laki-laki yang dianggap tolol di
desanya sendiri, lewat, dan ketika ia mendengar pertengkaran kedua filsuf yang semakin
memanas, ia berdiri sebentar dan mendengar argument mereka. Kemudian ia mendekati
keduanya dan berkata, “Sahabat-sahabatku yang baik, kelihatannya kalian berdua benar-
benar menguasai bidang ilmu filsafat yang sama, dan kalian membicarakan hal yang
sama, meski kalian katakana dengan bahasa yang berbeda. Salah satu dari kalian mencari
air mancur muda, dan yang lain mencari misteri kematian. Namun sesungguhnya yang
kalian cari itu hanya satu, dan berada dalam diri kalian berdua.” Orang asing itu pun
berbalik dan pergi sambil mengatakan, “Selamat berpisah, orang-orang bijak.” Dan,
ketika ia meninggalkan mereka, ia tertawa dengan tawa yang sabar. Dua filsuf itu saling
memandang diam untuk sementara, dan kemudian juga tertawa. Lalu salah satu dari
mereka berkata, “Jadi sekarang, akankah kita berjalan dan mencari bersama-sama?”

B. Pentingnya Dialog Antar Agama

Dalam kehidupan sehari-hari kita memerlukan dialog terbuka untuk mengenal dengan tepat
budaya dan kebiasaan satu sama lain, sehingga dapat membangun hubungan yang lebih toleran.
Bukankah pluralisme merupakan suatu keniscayaan, karena hubungan yang baik membantu
meningkatkan kerjasama mengatasi berbagai persoalan kehidupan?
Dialog tidak hanya berguna untuk membina persatuan, melainkan juga dibutuhkan demi
pemerkayaan dan pengakaran iman dari setiap pemeluk agama. Perjumpaan dengan agama lain
dapat mendorong kita untuk memperdalam keyakinan kita sendiri dan memurnikannya.
Perjumpaan tersebut akan mengarahkan orang pada refleksi pribadi untuk melihat kembali
pengalaman penghayatan agamanya secara lebih kritis.

1. Tujuan yang Ingin Dicapai

Dalam dialog antar agama bukanlah hubungan asimilasi atau hubungan substitusi yang
ditimbulkan, melainkan hubungan saling menyuburkan. Tujuan dialog adalah menekankan
kesinambungan kedalaman hubungan yang dapat ditemukan di antara agama-agama dan
komunitas. Apabila Passing over bisa dijalankan, maka apa yang dianjurkan oleh Hans Kung,
bahwa dialog bukan hanya berhenti pada koeksistensi, melainkan juga pada proeksistensi, bisa
benar-benar terjadi. Artinya, dialog tidak hanay mengantarkan pada sikap bahwa setiap agama
berhak untuk bereksistensi secara bersama-sama, melainkan juga mengakui dan mendukung
(bukan berarti menyamakan) eksistensi semua agama.
Dialog yang terbuka antar agama bisa merupakan satu wujud pengakuan dan juga dukungan
terhadap keberadaan agama-agama lain. Masing-masing umat beragama dapat belajar terhadap
satu sama lain, yang hasilnya dapat memperkaya (dan barangkali juga mengoreksi) penghayatan
agama dan iman dari masing-masing pihak. Jadi, dialog yang berlangsung dengan baik bukan
saja bisa mencegah kesalah-paham-an dan permusuhan, melainkan lebih dari itu, dapat saling
mendukung keberadaan agama masing-masing dan dapat memperkaya pemahaman dan
penghayatan iman dari masing-masing umat beragama.

2. Berlaku di antara yang Seagama

Dialog tidak hanya perlu dilakukan dan digalakkan di kalangan orang-orang yang berbeda
agama saja. Memang benar tampak perbedaan mendasar, dan sering terjadi kesalahpahaman
yang amat besar terhadap agama lain. Namun kesalahpahaman dan perbedaan penting juga bisa
terjadi di kalangan mereka yang satu agama. Misalnya antara Orang Islam yang satu dengan
orang Islam yang alirannya berbeda. Atau, antara Jemaat Kristen Protestan yang satu dengan
Jemaat Kristen Protestan yang lain; antara umat Kristen Protestan dengan umat Kristen Katolik;
antara kelompok pemeluk agama Buddha tertentu dengan kelompok Buddhis yang lain, dan lain
sebagainya.
Dalam Islam misalnya, ada Islam Ahlu Sunah, dan Islam Syi’ah, ada Islam Persis, ada Islam
LDII, dan lain-lain. Di agama Kristen Protestan ada aliran-aliran atau golongan yang saling
berbeda pandangan, baik yang tergabung dalam Dewan Gereja maupun yang berada di luarnya,
seperti Adven, Pantekosta, Kristian Sain, Mormon dan lain-lain.
Di agama Hindu (Hindu Dharma) ada juga aliran Vaiskava (pemuja Wisnu), misalnya Hare
Krisna Rama Sita; aliran Saiva (pemuja Siwa) misalnya Ganapatya pemuja Ganesa; aliran Satria
(pemuja Dewi) misalnya Durga, Dewi Sri, Dewi Laksmi. Di agama Buddha ada aliran
Mahayana dan ada aliran Theravada. Di Gereja Kristen Katolik, ada Katolik Roma dan ada
Katolik Ortodoks. Masing-masing aliran itu ada persamaan, tetapi banyak juga perbedaan,
terutama dalam memberikan tafsiran atau interpretasi atas naskah suci dan tradisi.

C. Model Dialog Antara Umat Beragama

Untuk mengembangkan suatu dialog antar umat beragama, diperlukan suatu model sebagai
pedoman. Tidak hanya satu model yang bisa menjadi pedoman. Beberapa model telah
dikemukakan oleh beberapa pemikir agamawan.

1. Membuat Pengelompokkan

Paul F. Knitter dalam bukunya, Satu Bumi Banyak Agama, membagi model dialog itu
menjadi tiga macam: pertama, pusatkan pembicaraan atau tema tentang “ada banyak jalan
menuju ke satu sumber yang Ilahi (Divine Center)” sebagai titik berangkat atau kriteria; kedua,
berbagai kategori yang sama dipakai untuk mengelompokkan mereka menurut eklesiosentris
(terpusat pada Gereja) atau kristosentris (terpusat pada Yesus) atau teosentris (terpusat pada
Allah) sebagai titik berangkat atau kriteria; ketiga, mempergunakan kriteria penjabaran tentang
pemahaman Eksklusivisme, Inklusivisme dan Pluralisme, (Kristus menolak agama-agama lain,
Kristus di dalam agama-agama, atau Kristus bersama agama-agama lain)

2. Melakukan Dialog Bertingkat

Ada lagi bentuk dan model dialog yang dikemukakan oleh Dr. Krishnanda Wijaya Mukti.
Dalam bukunya Wacana Buddha Dharma dinyatakan bahwa ada beberapa bentuk dialog, tetapi
tidak setiap dialog itu cocok untuk setiap orang dalam setiap kesempatan. Karena itu, dialog
antar agama dibedakan sebagai berikut: pertama, dialog kehidupan sehari-hari. Sekalipun tidak
langsung menyentuh perspektif iman dan ajaran, semua orang bekerja sama, belajar mencontoh
kebaikan dalam praktek sehari-hari, di dalam lingkungan keluarga, sekolah, tempat kerja dan lain
sebagainya.
Kedua, dialog melakukan pekerjaan sosial. Bekerjasama dengan para pengikut agama lain
dengan sasaran meningkatkan martabat dan kualitas hidup manusia, misalnya membantu mereka
yang mengalami penderitaan, melaksanakan proyek-proyek pembangunan, dan sebagainya;
ketiga, Dialog pengalaman keagamaan. Saling memperkaya dan memajukan penghayatan nilai-
nilai dan cita-cita rohani masing-masing pribadi dengan berbagi pengalaman berdoa, meditasi
dan sebagainya. Pemeluk satu agama bisa tinggal untuk beberapa waktu di tengah komunitas
pemeluk agama lain. Berkumpul melakukan doa bersama (dengan cara sendiri-sendiri) untuk
tujuan yang sama, misalnya untk perdamaian dunia, keselamatan bersama, dan lain sebagainya.
Keempat, Dialog pandangan teologis. Dialog ini dilakukan oleh ahli-ahli agama, untuk saling
memahami dan menghargai nilai-nilai rohani masing-masing. Melalui dialog ini mereka
mengangkat pandangan keagamaan dan warisan tradisi keagamaan dalam menyikapi persoalan
yang dihadapi manusia.

3. Menghargai Perbedaan Interpretasi Teks Suci

Model lain ditawarkan oleh Muhammad Ali dengan mengetengahkan beberapa sikap yang
perlu dipegang dalam melakukan dialog seputar perbedaan pemahaman dan interpretasi atas
teks-teks suci, sebagaimana termuat dalam kitab-kitab keagamaan.
Pertama, mengakui perbedaan pemahaman terhadap kitab suci orang lain. Karena umat
Islam, umat Kristen dan Yahudi misalnya, berbagi sejarah yang sama, maka juga memiliki
interpretasi sendiri-sendiri. Kaum Muslim berhak memberikan tafsiran atas Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru karena mereka merupakan bagian dari warisan ini. Kaum Muslim bisa jadi
memiliki Kristologi sendiri yang berbeda dengan pandangan Kristen, sebagaimana kaum Kristen
dan Yahudi berhak memiliki Islamologinya sendiri. Terdapat interpretasi yang berbeda antara
umat Islam, Kristen dan Yahudi terhadap sosok Ibrahim (Abraham), Musa dan isa atau Yesus.
Kedua, menghargai perbedaan pemahaman terhadap kitab suci dalam agama tertentu.
Kalangan liberal Yahudi misalnya, berpendapat bahwa Alkitab merupakan pewahyuan Ilahi,
namun tetap merupakan dokumen manusiawi dan bukan produk pewahyuan secara harfiah.
Sedang kaum konservatif tidak sependapat dengan itu. Mereka lebih memahami Taurat murni
sebagai wahyu ilahi, sekaligus teks dan isinya. Perbedaan pandangan seperti ini memperlihatkan
betapa setiap tradisi iman tidak saja memiliki pandangan sejarah atau teologi yang berbeda
tentang iman dan kitab suci orang atau agama lain, melainkan juga tentang tradisi mereka
sendiri.
Ketiga, Berdebat secara cerdas, dan bukan berdebat kusir. Diskusi dan dialog harus
dilakukan dengan cara yang paling baik dan paling tepat. Tidak ada penghujatan, pengkafiran,
pelabelan ;setan’ terhadap mitra dialog, atau theological judgment lain yang tidak berdasarkan
ilmu pengetahuan. Persoalan siapa yang masuk surga dan siapa yang masuk neraka bukanlah
persoalan sesama manusia. Itu pekerjaan Tuhan dan Tuhan yang menentukan dan
menjelaskannya nanti. Yang penting bagi kita ketika di dunia ini adalha pencarian kebenaran
secara tulus dan bertanggung jawab.
Seorang muslim misalnya hanya berhak mengatakan ‘kita memiliki pesan Allah melalui Al-
Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW yang otentik secara historis, dan pesan ini harus
disampaikan dengan cara terbaik kepada dunia, dan terserahlah manusia apakah mau menerima
atau tidak pesan tersebut. Hal yang sama berlaku juga bagi agama-agama lain. Mereka hanya
berhak menyatakan sesuatu tentang apa yang mereka imani. Namun siapapun tidak bisa
mendahului Allah untuk melakukan penilaian. Dan, tidak boleh suatu agama memaksakan
seseorang untuk menerima pernyataan atau pewartaan iman mereka.
Dari pencapaian di atas kita bisa melanjutkan dialog melalui berbagai aktivitas untuk lebih
mengenai satu sama lain. Bisa dengan cara berdiskusi di kelas, berdiskusi secara formal dan
informal di luar kelas. Dengan catatan, syarat utama yang mesti kita perhatikan adalah
kesepakatan bahwa sewaktu membahas tentang agama Islam, dipakailah kacamata agama Islam;
sewaktu berdiskusi tentang agama Kristen, pakailah kacamata agama Kristen; sewaktu
berdiskusi tentang agama Buddha, pakailah kacamata agama Buddha, dan demikian seterusnya.
Dengan demikian tidak akan terjadi pandangan-pandangan dan penilaian yang negatif terhadap
ajaran agama-agama tersebut.
Model apa pun dialog yang dijalankan dari beberapa model di atas, semua yang terlibat harus
berpegang pada prinsip-prinsip yang menyertai pelaksanaan dialog tersebut. Dari berbagai
prinsip yang bisa dikemukakan, prinsip-prinsip berikut penting diperhatikan: Pertama, adalah
frank witness, di mana masing-masing tidak menyembunyikan keyakinan, untuk menghilangkan
kecurigaan atau ketakutan yang tidak diungkapkan; kedua, adalah mutual respect, yaitu sikap
simpati terhadap prestasi orang lain. Dan ketiga, adalah religious freedom, yaitu hak untuk
memeluk agama tanpa paksaan.

D. Dialog Inter Agama

Di atas sudah disinggung bahwa dialog bukan saja hanya di perlukan antara yang berbeda
agama, tetapi juga perlu antara mereka yang seagama. Dialog ini kita sebut dengan istilah
“dialog inter agama”. Fakta menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pandangan dan bahkan
keyakinan dalam satu agama. Dialog inter agama tidak kalah penting juga, mengingat
terdapatnya aliran atau kelompok yang berbeda-beda dalam satu agama. Setiap aliran atau
kelompok, walau memiliki banyak persamaan dengan aliran atau kelompok lain, tetapi terdapat
juga perbedaan yang prinsipil, baik pada tingkat teologisnya maupun dalam praktik ritualnya.
1. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Pandangan

Perbedaan pandangan dan juga pendekatan di dalam agama, selama ini menjadi hambatan
besar dalam rangka membangun dialog. Dialog terhenti ketika masing-masing kita lebih
mengedepankan keakuan (egois) Berikut ini, saya paparkan penyebab munculnya keragaman
perspektif di dalam agama; pertama, perbedaan penafsiran. Di antara aliran atau kelompok yang
ada terdapat perbedaan penafsiran terhadap teks kitab suci sendiri. Kemudian mulai terdapat
pengikut dari masing-masing penafsiran itu. Lama kelamaan penganut dari masing-masing aliran
semakin banyak, sampai mereka resmi memiliki kelompok sendiri, mesjid sendiri, gereja sendiri,
atau kelompok lain. Mereka selanjutnya mengembangkan ritual sendiri, yang di sana-sini
memiliki perbedaan-perbedaan kelompok dan sekaligus persamaan dengan kelompok dari mana
mereka berasal.
Kedua, perbedaan latar belakang pendidikan. Ada perbedaan latar belakang pendidikan atau
budaya dari para penganut agama itu sendiri. Mereka ada yang berlatar belakang pendidikan
tradisional dan ada yang berlatar belakang pendidikan modern. Yang berpendidikan modern
cenderung menerima penjelasan agama yang rasional; sementara yang berpendidikan tradisional
akan mudah menerima penjelasan-penjelasan agama yang sederhana dan tradisional. Misalnya,
dalam masalah hukum, orang yang berpikiran modern akan cenderung memilih kesimpulan-
kesimpulan yang kritis dan argumentatif; sedangkan bagi yang berpikiran tradisional akan
menerima pendapat dan pemikiran yang sederhana, apa adanya, tanpa mengedepankan pemikiran
kritis. Mereka cenderung tidak mau pusing dan sudah dengan perdebatan yang berbelit-belit.
Ketiga, perbedaan visi politik. Contoh dalam sejarah Islam, dijelaskan bahwa semula aliran-
aliran itu sebenarnya adalah berlatar belakang politik, tetapi lama-kelamaan berubah menjadi
aliran keagamaan. Ini terjadi karena aliran-aliran tersebut membawa serta masalah teologi agama
ke dalamnya, bahkan memberikan justifikasi atau penilaian (kafir atau bukan kafir, dan
sebagainya) kepada orang lain yang berbeda pandangan atau keyakinan dengan mereka.

2. Model Dialog yang dapat Dilakukan

Dialog bukan saja demi membangun komunikasi tetapi juga memutus prasangka, curiga demi
menjalankan kehidupan yang mulia. Beberapa hal berikut ini, bisa menjadi referensi sebagai
upaya membangun sebuah dialog; pertama, mengadakan pertemuan berkesinambungan. Dialog
inter agama biasanya malah lebih susah dilakkukan dibandingkan dengan dialog antar agama.
Untuk sementara tidaklah perlu berpikir untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada,
sungguhpun perbedaan itu sebenarnya bukanlah hal yang sangat esensial. Perlu dicarikan jalan
keluar yang paling sederhana dan tidak perlu menyinggung esensi ajaran-ajaran yang berbeda
itu.
Acara-acara yang paling sederhana misalnya mengadakan pertemuan-pertemuan umat,
terutama dalam perayaan hari-hari besar keagamaan bersama, atau acara halal-bihalal bersama.
Dalam kesempatan-kesempatan seperti itu semua aliran dapat hadir secara bersama-sama dan
dapat merenungkan secara bersama-sama pokok-pokok iman yang menjadi landasan atau inti
dari kepercayaan yang mengikat di antara mereka semua.
Kedua, lebih mengutamakan kesamaan. Setelah kegiatan-kegiatan yang bersifat
mempersatukan di atas berjalan dengan baik, dialog dapat di lanjutkan dengan mengangkat
issue-issue yang menjadi keprihatinan bersama. Masalah-masalah kemanusiaan dicoba dicarikan
jalan keluarnya dari sudut pandang kepercayaan dan jati diri mereka bersama, sebagai Islam,
sebagai Kristen, Hindu atau Buddha.
Kesamaan dan kesatuan di antara mereka semakin terasa ketika mereka kembali pada akar
semangat keagamaan awal beserta sumber-sumber otentik doktrin yang mereka bawa dan
pelihara bersama. Bertolak dari kesamaan-kesamaan dasar yang mereka miliki, masing-masing
aliran dapat semakin memperluas dialog dengan sama-sama melihat perbedaan dan kekhasan
masing-masing dalam semangat dan sinar kesamaan yang mendasari semua perbedaan itu.
Dengan demikian perbedaan-perbedaan yang ada menjadi subordinat dari kesamaan dasar yang
mengikat mereka bersama.
Ketiga, Saling menjelaskan dan mendengarkan. Bertolak dari persamaan dasar yang
mengikat berbagai aliran yang berbeda dalam satu agama, dialog dapat dilanjutkan dengan
mengangkat pembahasan seputar perbedaan yang ada di antara mereka. Di sini sebenarnya
cukuplah diperhatikan dan diketahui apa saja yang berbeda dan kenapa bisa berbeda. Apakah itu
terjadi dalam penafsiran atau dalam pengertian. Misalnya dikalangan orang Islam, kenapa
penetapan tentang awal puasa dan akhir puasa itu berbeda. Mengapa dalam pemahaman umat
NU ada do’a Qunut, ada lafal Ushali, sementara di umat Muhammadiyah itu tidak ada, dan
dianggap bida’ah. Mengapa penganut LDII itu harus sholat di mesjidnya sendiri dan tidak boleh
di mesjid umat yang lain, dan seterusnya.
Dari segi teks kitab suci, peluang untuk berbeda di agama Islam itu paling banyak. Ini
bermula dari teksnya sendiri yang dalam bentuk bahasa Arabi, sehingga da beberapa kata yang
menimbulkan berbagai interpretasi. Perbedaan itu bisa dari sisi teologis, dari segi pengambilan
keputusan hukum (fikih) dan bahkan dari sisi Ibadah. Dalam ajaran Kristen, yang kitab sucinya
sudah diterjemahkan menjadi seluruhnya berbahasa Indonesia, juga masih banyak perbedaan
penafsiran, sehingga ada bermacam-macam gereja, aliran, kelompok, bahkan sekte. Dalam
agama Hindu dan Buddha–di samping waktu awal diajarkannya sudah cukup lama–pemahaman
terhadap ajaran agama itu juga mengalami perbedaan-perbedaan.
Keempat, Mengutamakan pesan kedamaian, kebenaran dan keselamatan. Masing-masing kita
hendaknya tidak pada posisi memberikan penilaian tentang mana jalan atau iman yang benar dan
mana yang salah. Lebih penting kita perhatikan adalah pesan-pesan kedamaian dan kebenaran
serta pesan keselamatan yang tertuang dalam inti kepercayaan dan keagamaan kita. Hendaknya
pesan-pesan mulia tersebut dapat menjadi benang merah yang dapat mempersatukan semuanya
dalam satu semangat hidup baik dan bermoral di hadapn Tuhan dan sesama.
Sebagai kesimpulan: Fakta bahwa keberagaman dan keberimanan kita sangat diwarnai oleh
keanekaragaman. Namun apa yang kita kehendaki dalam beragama dan beriman sesungguhnya
semuanya sama, yakni kedamaian, kebahagiaan dan keselamatan bagi manusia. Untuk itu,
perbedaan keberagaman yang ada di antara kita mesti kita sikapi dengan baik. Sikap yang baik
itu adalah terbuka untuk saling mengenal, mengembangkan dialog yang mengantar kita pada
kerukunan, kerjasama dan kebersamaan sebagai saudara yang saling memajukan.
Kita tidak pada posisi mencari mana yang benar dan mana yang salah, melainkan bagaimana
kita dapat saling belajar satu sama lain untuk memperdalam dan bahkan memperbaiki
penghayatan iman kita sendiri. Kalau kita semakin terbuka dalam mengkaji keberagamaan dan
keberimanan kita, maka kita akan menemukan bahwa dalam hal-hal yang paling dasar dan
esensial, kita semuanya memiliki kesamaan dan keprihatinan yang sama. Maka marilah kita
memulai dan mengembangkan dialog dengan berpijak pada landasan yang tepat, dan dengan
lebih sungguh-sungguh lagi mengarahkan hati bagi kebaikan kita bersama.
BAB 13
BERSAMA-SAMA MEMBANGUN DUNIA
YANG SEMAKIN MANUSIAWI

Semua agama memiliki misi yang sama dalam membangung dan memperbaharui dunia ini
menjadi semakin manusiawi. Bagi manusia, tujuan itu berarti perolehan damai dan kebahagiaan
serta keselamatan bagi semua. Tujuan itu bukan hanya diyakini sebagai kenyataan di surga
kelak, melainkan sesuatu yang dapat dialami oleh manusia dalam kehidupan nyata di dunia ini.
Dengan demikian, agama, secara bersama-sama memikul beban dan tanggung jawab besar untuk
memainkan perannya–sebagai nabi, guru, dan iman–dalam mengarahkan dunia ini, khususnya
manusia, pada kedamaian, kebahagiaan dan keselamatan bersama.
Tugas ini bukan hanya dipikul oleh salah satu agama saja, melainkan oleh seluruh agama,
sebagai tugas para pemimpin dan umat seluruhnya. Hanya dengan bersatu dan bersama, agama
bisa kuat dan dapat memainkan peran tersebut, sambil terus memperharui dirinya sendiri. Secara
historis, Indonesia adalah bangsa yang majemuk (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan),
merupakan hasil pertemuan (melting pot) yang semakin kompleks dan tidak linier dengan
kekuatan-kekuatan global yang tidak henti-hentinya membentuk masyarakat dan budaya kita.
Kemajemukan bangsa kita akan menjadi kebanggaan dan kebesaran bila kita sadar dan
mampu hidup bersama di dalamnya, mengalami perbedaan dalam kesamaan, dan kesamaan
dalam perbedaan, serta bersedia bekarja sama untuk kebaikan bersama. Sejauhmana lembaga-
lembaga keagamaan, dan kita semua umat beragama telah berhasil mewujudkan hal ini, serta apa
yang hendak kita perjuangkan selanjutnya.

A. Potret Hidup Keagamaan Di Indonesia

Potret kehidupan beragama di Indonesia belakangan ini sangat mengecewakan. Pasalnya,


agama yang seharusnya menciptakan, membina kerukunan, kedamaian dan kesejahteraan justru
terjebak dalam politik identitas dan semangat primordialisme. Tentu saja di sini bukan
bermaksud memojokkan agama, dan memunculkan sikap pesimis terhadapnya, melainkan
membangkitkan kesadaran bersama betapa agama bisa berdampak sangat negatif sekali dalam
kehidupan bersama apabila tidak dipahami dan dihayati dengan tepat dan baik.
Sebaliknya juga, kita yakin bahwa agama bisa memberikan sumbangan yang sangat besar
bagi kehidupan apabila dipahami dan dihayati secara benar dan baik. Berangkat dari pengalaman
yang kurang memuaskan di masa lalu, kita perbaiki bersama sikap kita dalam beragama,
sehingga agama dapat semakin memainkan peran yang didambakan darinya, yakni sebagai
penabur kesejukan, kedamaian, kebahagiaan, kesejahteraan dan pemberdayaan bagi seluruh
warga.

1. Menjadi Alat Politik Penguasa

Kemerdekaan Indonesia yang telah berlangsung selama tujuh dekade, belum mampu
memerdekekan kita dari cara berpikir ‘kerdil. Berbagai masalah bangsa yang mucul lebih
dikarenakan berakar dari kondisi sosial, ekonomi dan politik yang timpang, sebagai akibat dari
kebodohan dan kemiskinan sebagian besar masyarakat kita di satu sisi, dan kerasukan serta
dominasi segelintir orang di sisi lain. Ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasan di berbagai
sektor kehidupan mewarnai perjalanan bangsa kita hingga sekarang ini. Dalam kondisi seperti itu
agama tidak berdaya atau tidak diberdayakan menjadi salah satu kekuatan pembebas dari
berbagai bentuk ketidakbaikan.
Pada masa perjuangan melawan penjajah, agama menjadi kehilangan semangat dasarnya,
karena para menganutnya belum memahami nilai-nilai kemanusiaan transformatif dan progresif
dari ajaran agama. Agama mengalami kemandekan visi. Dengan pudarnya daya kritis dan
antisipatifnya, banyak orang meragukan agama sebagai pelopor gerakan pemberdayaan
masyarakat, yang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan. Dalam perjalanan bangsa
Indonesia, agama-agama sibuk mengurusi dirinya sebagai kekuatan moral pembela kebaikan dan
kebenaran. Yang sangat memprihatinkan sekali adalah kenyataan bahwa agama dengan mudah
dapat dijadikan alat politik oleh pihak penguasa.
Agama bisa dijadikan sebagai kekuatan untuk mempertahankan status quo, melestarikan
ketidakadilan dan penindasan serta berbagai penyalahgunaan kekuasaan lainnya, baik yang
berlangsung secara terang-terangan maupun yang terselubung. Agama tidak berdaya, atau dibuat
tidak berdaya untuk memperjuangkan dan mewujudkan misinya yang luhur bagi kebaikan
manusia. Dalam kondisi seperti itu timbul pertanyaan besar. Apa sebenarnya peran agama,
sejauhmana peran tersebut sudah berhasil diamalkannya?

2. Terlalu Orientasi Ritual

Selama ini agama berkutat pada soal-soal ritual-seremonial dan hal-hal yang bersifat lahiriah
semata. Hal yang esensial dan mendesak untuk dilakukan, justru dilupakan. Kemegahan upacara
ritual lebih diutamakan dari pada memikirkan dan menunjukkan kepedulian terhadap kondisi
sosial yang sering sangat memprihatinkan. Agama berubah menjadi wacana pemecah belah pada
tingkat elit dan di antara umat beragama sendiri. Timbul kesan kepada penganut agama sebagai
yang fanatik, militan, keras, dan sebagainya. Awalnya kesan ini timbul dari perlakuan dan cara
hidup yang diperlihatkan oleh sekelompok kecil orang saja, tapi kemudian sepertinya memang
itulah penampilan agama tersebut.
Kesan yang diperankan oleh sebagian penganut agama dengan berbuat yang represif,
membuat agama tidak lagi mampu menampakkan sosok yang anggun dan berwajah
menyejukkan. Agama menjadi kering dan tidak lagi mampu memberikan siraman moral spiritual
bagi manusia. Disadari atau tidak, agama-agama telah masuk dalam lingkup fanatisme sempit,
dengan mengedepankan kemegahan yang bersifat lahiriah, seperti pembangunan sarana fisik,
pendirian rumah ibadat yang megah, pengutamaan penggunaan simbol-simbol keagamaan serta
pelaksanaan upacara-upacara ritual yang serba semara.

3. Gagal sebagai Pembentuk Karakter Bangsa

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Sila pertama dari dasar Negara Indonesia
menegaskan hal itu: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Semua warganya mengakui dirinya
beragama, yang bukti fisiknya tercantum di berbagai data identitas diri secara lengkap.
Sebenarnya, dengan status seperti itu ada harapan bahwa moralitas dan karakter bangsa
Indonesia akan terjamin baiknya. Namun apa yang kita alami dalam kenyataan? Indonesia
menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Negara dalam hal ini secara konkrit adalah
pemerintahannya. Ketidakadilan juga merajalela di mana-mana, tidak terkecuali di berbagai
lembaga penegak keadilan sendiri, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Pemerintah dan para pejabatnya, yang diharapkan sebagai pengayom bagi warganya, justru
berubah menjadi sumber kesengsaraan bagi masyarakatnya. Korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) membucaya tanpa bisa diberantas. Pelanggaran HAM dan keadilan menjadi konsumsi
sehari-hari yang tak dapat dielakkan. Ada banyak lagi hal-hal lain kebobrokan bangsa ini, yang
telah menyebabkan kita terus terpuruk dalam berbagai bidang kehidupan. Inilah kenyataan aneh
yang terjadi pada kita sebagai bangsa yang religius. Ada jurang pemisah antara kehidupan
religius dengan praktek hidup sehari-hari. Padahal kalau kita perhatikan, para pejabat kita adalah
orang-orang yang taat beragama, rajin beribadat, sholat, ikut kebaktian , dan berbagai kegiatan
keagamaan lainnya. Sering tampil sebagai yang murah hati dengan memberi sumbangan yang
tidak sedikit, memberi derma, zakat, kurban, persembahan, dan sebagainya. Tapi mengapa
kehidupan religius yang cukup dominan itu tidak menjadi sumber pembentuk watak bagi anak-
anak bangsa ini? Di mana letak kesalahannya?

5. Toleransi Semu

Di dunia luar dikenal bahwa bangsa Indonesia itu, dengan kehidupan religius yang tinggi,
memiliki toleransi beragama yang tinggi pula. Orang luar yang datang ke Indonesia dapat
menyaksikan bagaimana rumah-rumah ibadat dari agama yang berbeda dapat berdampingan
dengan baik. Orang dapat beribadat dengan tenang dan melaksanakan aktivitas-aktivitas
keagamaan lain tanpa ada gangguan yang berarti. Sifat religiositas yang tinggi ini diperkuat lagi
oleh sifat dan pembawaan orang-orang Indonesia yang dikenal sangat ramah dan santun.
Namun di balik semuanya itu terdapat juga hal yang sering sangat memprihatinkan. Ada
semacam toleransi semu para pemeluk agama, baik di tingkat elit maupun di kalangan umat
biasa. Terasa suasana seperti api dalam sekam, yang sewaktu-waktu dapat membesar dan
membakar apa yang ada di dekatnya. Dengan mudah sentimen keagamaan dapat disulut, yang
dengan cepat meluas menjadi masalah sosial yang sangat merisaukan. Selalu dikatakan bahwa
konflik yang terjadi bukanlah konflik antar agama, melainkan bahwa agama dimanfaatkan
sebagai alat adu domba oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Pernyataan semacam ini di satu sisi dapat dimengerti oleh banyak pihak, sehingga sedikit
dapat meredakan situasi yang sedang bergejolak. Namun, kalau dipikir lebih dalam, kenyataan
bahwa begitu mudahnya agama dimanfaatkan untuk membangun sentimen kelompok,
memperlihatkan dengan jelas betapa pemahaman dan penghayatan keagamaan kita masih sangat
dangkal bahkan dapat dikatakan, salah. Kalau kita benar-benar memiliki pemahaman dan
penghayatan keagamaan yang benar dan kuat, maka kita pasti tidak dengan mudah bisa terhasut
dan tergoda oleh bujuk rayu orang-orang atau pihak-pihak yang dengan kekuatannya (uang,
kuasa, ancaman, dan sebagainya) memanfaatkan kesucian agama demi tujuan busuk mereka.

5. Prospek Baik ke Depan

Dengan berbagai gambaran seperti telah diungkapkan secara terang-terangan di atas, apakah
agama kemudian menjadi momok yang perlu segera kita singkirkan? Kita harus mengambil
sikap yang tepat dan realistis. Kita harus sepakat bahwa yang salah bukanlah agama. Semua
agama dengan sangat jelas membawa serta pesan-pesan dan misi perdamaian, kebaikan dan
kesejahteraan bagi umat manusia. Tidak ada satu agama pun, dalam dirinya sendiri, yang
menginginkan hal-hal buruk seperti terungkap di atas.
Bila agama dipahami dan dihayati secara benar maka kenyataan-kenyataan di atas tidak akan
pernah terjadi. Dengan demikian kita berani mengatakan bahwa yang salah adalah orang-
orangnya, para pemeluk agama itu sendiri. Ada pemahaman dan penghayatan yang tidak pada
tempatnya terhadap agama. Pemahaman yang salah itu bisa secara spesifik tertuju pada agama
sendiri atau terhadap agama lain, dan atau terhadap keduanya. Kesalahan penghayatan juga bisa
bersumber dari kesalah-pahaman tadi, dan bisa juga karena kedangkalan pemahaman dan
penghayatan saja. Kesalahan juga bisa terjadi karena menarik garis pemisah antara kemeriahan
praktek ritual keagamaan dengan praktek hidup nyata sehari-hari, sehingga nafas keagamaan
tidak menjadi sumber inspirasi pembentuk watak dan kepribadian serta hati dan budi yang luhur.
Menyadari semua kekeliruan tadi, kita harus segera meningkatkan pemahaman kita terhadap
makna keberagaman bagi manusia. Kita harus membuka hati lebih lebar lagi bagi pemahaman
baik dan benar, baik terhadap agama kita sendiri maupun terhadap agama orang lain. Kita juga
harus menghayati agama secara mendalam tapi dengan cara yang benar. Kita bukan
mengutamakan yang tidak penting (kulit luarnya saja), sementara yang utama dan pertama
diabaikan. Dalam penghayatan agama, kita harus mengedepankan kedamaian, kerukunan,
kebaikan dan kesejahteraan bagi kita bersama.
Semua penghayatan keagamaan yang berdampak buruk bagi kehidupan sosial adalah
penghayatan yang salah. Pemahaman dan penghayatan yang benar terhadap agama mesti
membawa dampak kebaikan bagi kehidupan sosial, dan bukan sebaliknya. Melihat bibit-bibit
semangat religiositas yang sudah sedemikian tertanam di hati sanubari setiap warga masyarakat
kita maka kita boleh optimis akan adanya perubahan, terciptanya perdamaian, kerukunan,
kebaikan dan kerjasama dalam memperjuangkan kesejahteraan bagi kita bersama.
Para pemimpin dan tokoh-tokoh agama sangat diharapkan peranannya untuk
mengembangkan benih-benih yang baik di hati para pemeluk agama, dan bukan sebaliknya,
mematikan benih yang baik dan menggantikannya dengan benih-benih permusuhan dan
kedengkian serta berbagai bentuk kedangkalan pemahaman dan penghayatan semangat
keagamaan.
Agama-agama mengembangkan paham egaliter, yaitu persamaan manusia di hadapan Tuhan.
Pada dasarnya semua manusia itu sama, karena demikianlah mereka diciptakan, sebagai saudara,
sederajat dan semartabat. Agama memang memiliki watak ganda. Pada suatu saat menjadi
pengabsah masyarakat yang sudah mapan, tapi pada saat yang lain menjadi kekuatan kritis dan
pembebas melawan kemapaman. Agama-agama besar dunia, umumnya adalah agama yang
menentang status quo yang menindas, bahkan mayoritas nabi-nabi dan pemimpin keagamaan
berasal dari kalangan rakyat biasa.
Oleh karena itu kita semua, baik para pemimpin dan elite keagamaan serta umat seluruhnya,
sama-sama terpanggil untuk melakukan reformasi (pembaharuan dan perbaikan) dalam
pemikiran dan pemahaman serta penghayatan keagamaan. Atas semua kesalahan dan
penyalahgunaan agama di masa lalu, yang telah membawa kerusakan pada watak dan
menumbuhkan wawasan sempit pada sebagian umat beragama, perlu dicari penyebab atau letak
permasalahannya. Namun dalam memperbaiki kesalahan itu tidak boleh dengan kekerasan,
melainkan harus dengan cara yang mendidik bagi kita semua.

B. Agama Sebagai Kekuatan Pembebas

Muncul kritik bahwa teologi cenderung melangit, jauh dari kenyataan dan urgensi
kemanusiaan. Teologi juga cenderung tekstual dan dogmatis sekali. Agama dibatasi lebih
sebagai kepercayaan teologis dan filosofis, dan tidak dikontekstualisasikan dalam sejarah
perjuangan hidup manusia. Padahal teologi adalah cara memahami pesan Tuhan dalam konteks
yang berbeda-beda.
Teologi yang sebaiknya dikembangkan secara kritis dalam situasi yang serba majemuk dan
multi kompleks sekarang ini adalah teologi yang mampu melahirkan pencerahan dan
pembebasan dari berbagai belenggu keterikatan dan ketertinggalan. Kita membutuhkan teologi
yang membumi, yang mampu menjadi kekuatan spiritual bagi manusia, yang mampu menjawab
masalah-masalah dasar kemanusiaan, serta dapat menjadi pegangan dalam menggumuli berbagai
praksis hidup dengan segala tantangannya.

1. Teologi yang Membebaskan

Dalam sejarah perjalanan agama Kristen, teologi pembebasan adalah suatu gerakan yang
melibatkan sektor-sektor penting dari gereja. Ini adalah gerakan keagamaan kaum awam, suatu
kegiatan pastoral yang merakyat, yang melibatkan kelompok-kelompok basis dalam gereja.
Kemiskinan dan penindasan membuat mereka sadar dan berjuang dengan dukungan keimanan.
Teologi pembebasan dalam lingkup kekristenan adalah wujud dari gugatan moral dan sosial
terhadap ketergantungan pada kapitalisme, wujud kesetiakawanan menuntut kebebasan, sebagai
alternatif terhadap sikap individualistik.
Teologi pembebasan adalah suatu pembacaan baru pada kitab suci, sebuah paradigma baru
mengenai perjuangan pembebasan, dan sebagai reaksi penentangan terhadap struktur-struktur
ketidakadilan dan ketergantungan ekonomi yang menindas begitu banyak orang miskin. Ajaran
Kristen sendiri diyakini berasal dari praktik-praktik pembebasan Yesus dari Nazareth bersama
dengan masyarakat pengikutnya pada abad pertama Masehi di Palestina.
Konsili Vatikan II memberi andil yang amat besar kepada pembaharuan, dengan menyatakan
tatanan masyarakat yang mapan sebagai sumber ketidakadilan, penindasan hak azasi rakyat, dan
kekerasan yang dilembagakan. Konsili mendukung aspirasi untuk membebaskan diri dari segala
bentuk penghambatan terhadap sesama manusia. Pada tahun 1987 dalam ensiklik Sollicitudo Rei
Socialis, Paus Yohanes Paulus II mengajak seluruh dunia untuk mengusahakan perkembangan
dan pembebasan, yang mewujudkan diri dalam cinta dan pelayanan sesama, khususnya mereka
yang paling miskin (SRS 46).

2. Takdir dan Kebebasan Memilih

Dalam ajaran agama Islam, nilai pembebasan menuju keadilan juga sangat ditekankan.
Muhammad, Nabinya orang Islam, juga sangat concern terhadap pembebasan orang-orang yang
lemah, seperti menganjurkan pembebasan para budak, karena hal itu bertentangan dengan
kesamaan harkat dan martabat manusia di hadapan Tuhan. Doa orang-orang yang tertindas akan
sangat ampuh, jika mereka berdoa akan didengar oleh Tuhan. Begitu juga kerja keras dalam
rangka menegakkan kebaikan dan mencegah atau melawan keburukan, adalah nilai luhur yang
ditekankan oleh Islam.
Wacana kebebasan manusia dan takdir sesungguhnya bermuara pada pemahaman bahwa
manusia bebas memilih perbuatannya sendiri. Tuhan memberi kebebasan kepada manusia untuk
memilih dan menentukan pilihan sendiri di antara sekian banyak kemungkinan. Sesungguhnya
Allah tidak akan pernah mengubah nasib seseorang, atau suatu kaum, kecuali orang atau kaum
itu mau mengubah nasibnya sendiri (Quran 13:11). Islam mengecam praktek monopoli dan riba,
yang secara umum berarti segala bentuk penindasan dan eksploitasi oleh seseorang atau
sekelompok orang.
Namun memberikan jalan untuk berdagang dan bertransaksi dalam kesetaraan, dan
menganjurkan pemberian bantuan berupa zakat atau sedekah. Berdasarkan nilai tauhid, Islam
mengajarkan penegakan keadilan ekonomi, politik, hukum, dan moral dalam kehidupan sosial.
Muhammad, sebagaimana nabi-nabi lain, adalah seorang pembebas. Beliau adalah pembebas
dari pemberhalana manusia dan ketidakadilan, kepada penyerahan diri kepada Tuhan dan
keadilan; dari eksploitasi dan dominasi terhadap sesama, kepada keadilan dan kerjasama; dari
fanatisme golongan, kepada persaudaraan iman dan manusia. Islam telah memberikan suatu kode
hak asasi manusia yang ideal kepada umat manusia. Tujuan dari hak-hak itu adalah untuk
memberikan kehormatan dan harga diri kepada manusia, serta untuk menghapuskan eksploitasi,
penindasan dan ketidakadilan.

3. Usaha Pembebasan yang Disertai Doa

Siddharta Gotama adalah juga sosok yang ingin membebaskan manusia dari rutinitas pikiran
dan dharma, yang sebagian orang tidak mengerti dan hanya menerima apa adanya saja.
Kedatangan Siddharta justru ingin membebaskan manusia dari belenggu samsara yang tidak
berkesudahan dan tidak terelakkan. Setelah Siddharta mendapat pencerahan, Ia mencapai
pembebasan. Ia mengajarkan bahwa penyebab dari penderitaan itu adalah keinginan-keinginan
yang datang dari dalam diri sendiri. Maka untuk membebaskan manusia dari belenggu
penderitaan, mesti dilakukan upaya pemadaman, dengan cara menempuh Jalan Mulia Berunsur
Delapan.
Dalam hidup keseharian, umat Buddha dituntut berusaha keras dan tidak mengandalkan doa,
karena perubahan nasib datang seiring dengan usaha manusia untuk memperbaiki diri. Apalah
artinya sebuah doa atau permintaan jika tanpa usaha. Begitu pentingnya karya dan usaha dalam
ajaran Buddha, sehinga seolah-olah tidak ada ritual doa. Bagaimana mungkin seseorang
mengandalkan permintaan kepada Tuhan, sementara Tuhan sendiri bukanlah zat yang riil, nyata
atau berwujud, melainkan Dia adalah sosok yang gaib, yang keberadaannya tidak tertangkap
jelas oleh manusia.
Dari berbagai keterangan yang dikemukakan di atas, nampak dengan jelas bahwa tokoh
pendiri agama-agama tampil sebagai pembawa kebebasan kepada manusia. Agama semestinya
mewariskan peran ini dalam dirinya. Adalah suatu kesalahan besar apabila agama dalam banyak
hal justru menjadi belenggu bagi manusia. Dengan kebebasan yang semakin terhayati, manusia
semakin bertanggungjawab atas pilihan dan tindakan hidupnya. Itulah kemerdekaan kita sebagai
umat Tuhan. Iman yang dewasa adalah iman yang dihayati dengan bebas, tetapi yang membuat
manusia semakin mampu bertanggungjawab.

C. Kerjasama Antar Agama

Kerjasama merupakan suatu keharusan bagi umat beragama untuk menghasilkan


pembaharuan yang diperlukan. Kita adalah bagian-bagian yang tak terpisahkan sebagai bangsa,
sehingga nasib buruk yang melanda satu bagian atau kelompok akan mempengaruhi juga bagian
atau kelompok lain. Dengan memperkuat atau memberdayakan orang atau kelompok lain, maka
kita sendiri akan bisa tetap kuat dan bertahan. Perhatikan kisah berikut ini:

JAGUNG

Seorang wartawan mewawancarai seorang petani untuk mengetahui rahasia di balik buah
jagungnya yang selama bertahun-tahun selalu berhasil memenangkan kontes perlombaan
hasil pertanian. Petani itu mengaku ia sama sekali tidak mempunyai rahasia khusus karena
ia selalu membagi-bagikan bibit jagung terbaiknya pada tetangga-tetangga di sekitar
perkebunannya. “Mengapa anda membagi-bagikan bibit jagung terbaik itu pada tetangga-
tetangg anda? Bukankah mereka mengikuti kontes ini juga setiap tahunnya”?, tanya sang
wartawan. “Tak tahukan anda?”, jawab petani itu. “Bahwa angin menerbangkan serbuk
sari dari bunga-bunga yang masak dan menebarkannya dari satu ladang ke ladang yang
lain. Apabila tanaman jagung tatangga saya buruk, maka serbuk sari yang ditebarkan ke
ladang saya juga buruk. Ini tentu menurunkan kualitas jagung saya. Apabila saya ingin
mendapatkan hasil jagung yang baik, saya harus menolong tetangga saya mendapatkan
jagung yang baik pula.”
Begitu pula dengan hidup kita. Mereka yang ingin meraih keberhasilan harus menolong
tetangganya menjadi berhasil pula. Mereka yang menginginkan hidup dengan baik harus
1. Pentingnya
menolong Kerjasama
tetangganya hidup dengan baik pula. Nilai dari hidup kita diukur dari

Untuk lebih efektif menjalankan perannya sebagai sebuah kekuatan pembebas, maka agama-
agama harus lebih proaktif lagi mewujudkan koeksistensinya yang paling tinggi, yaitu “kerja
sama”. Semua institusi agama dan juga etnis harus mengembangkan kesadaran akan pentingnya
kerjasama, karena hubungan yang paling dekat dan paling erat serta paling berhasil dalam suatu
kemajemukan adalah kerja sama. Jika kesadaran dan kerjasama antar kelomok yang berbeda
sedang berlangsung, maka apa yang disebut multikulturalisme kolaboratif sedang dibangun.
Multikulturalisme kolaboratif merupakan salah satu pendekatan mengatasi masalah-masalah
akibat perbedaan etnis, agama dan budaya, seperti konflik dan disintegrasi nasional. Baik
keterasingan budaya maupun asimilasi budaya dapat membawa masalah apabila kerja sama tidak
dikedepankan. Multikulturalisme kolaboratif menghargai perbedaan budaya secara mendasar dan
tidak sekadar bersifat formalistik dan seremonial belaka.

1. Bidang-bidang Kerjasama

Ada banyak bidang di mana agama-agama dapat bekerja sama memainkan peran pencerahan
dan pembebasan yang membuahkan pemberdayaan bagi para penganutnya dan warga negara
Indonesia seluruhnya. Beberapa hal penting di antaranya dapat kita sebutkan di sini:

a. Penegakan Keadilan

Boleh dikatakan bahwa masyarakat kita sudah cukup lama menderita ketidakadilan. Di
berbagai sektor kehidupan berlangsung perlakuan yang tidak sama, baik terhadap individu
maupun kelompok (suku, etnis, daerah, wilayah, gender, agama, status, dan sebagainya).
Diskriminasi dalam berbagai bentuk dan cara, berlangsung di berbagai sektor kehidupan, tanpa
ada yang sungguh-sungguh peduli dengan itu. Di sinilah agama-agama terpanggil untuk
memainkan peran pembebasannya. Bukan tidak mungkin agama-agama dapat secara bersama-
sama mengambil langkah-langkah strategis untuk mengurangi bahkan memberantas praktek
yang sudah menyengsarakan rakyat dan umat dalam waktu yang cukup lama itu.

b. Perbaikan Taraf Hidup (ekonomi)

Perbaikan taraf hidup warga dan umat sangat mendesak sekali. Ketertinggalan di salah satu
bidang akan mempengaruhi bidang-bidan lain juga. Kalau ekonomi lemah, maka peningkatan
pendidikan, kesehatan, dan sebagainya, juga ikut terbengkalai. Bahkan untuk bisa menjalankan
kewajiban agama dengan baik, seseorang dituntut untuk mampu memenuhi persyaratan minimal.
Seorang muslim misalnya, dia harus shalat, harus puasa, zakat dan pergi haji. Keempat rukun
Islam itu tidaklah dapat dijalaninya dengan sempurna kalau dia seorang miskin.
Melakukan ritual sholat, perlu berpakaian bersih dan rapi. Menjalani puasa, perlu modal untuk
berbuka dan makan sahur. Untuk mengeluarkan zakat, seseorang tidak mungkin akan bisa kalau
dirinya sendiri miskin. Apalagi untuk pergi haji yang ongkosnya tergolong besar. Jadi untuk bisa
menjadi muslim yang baik mesti mempunyai kemampuan harta minimal. Begitu juga seorang
Kristen yang baik, harus rajin mengikuti ritual-ritual keagamaannya secara teratur. Untuk bisa
melakukan itu, seseorang perlu berpakaian rapi dan bersih, perlu kendaraan atau ongkos jalan ke
Gereja. Perlu juga mengisi kas Gereja dan memberi persembahan. Hal yang kurang lebih sama
berlaku juga untuk agama-agama lain.

c. Perbaikan Akhlak

Tugas utama agama adalah bagaimana agar agama dengan berbagai pesan-pesan moral yang
terkandung di dalamnya bisa menjadi sumber semangat dan moralitas bagi umatnya. Di sini
peran berbagai institusi keagamaan, termasuk departemen agama sendiri sangat diharapkan. Para
pemimpin dan tokoh-tokoh agama dituntut untuk bisa menjadi nabi-nabi, guru dan imam zaman
ini, yang menyuarakan kehendak Allah, bagi kebaikan, perdamaian, kebahagiaan dan
keselamatan umat manusia.
Departemen agama dituntut untuk tampil sebagai pengayom bagi tumbuh-kembangnya iklim
keagamaan yang harmonis, rukun dan damai di bumi persada ini. Lembaga-lembaga keagamaan
harus berefleksi kembali apakah sudah memainkan peran yang tepat dalam menumbuh-
kembangkan iklim keagamaan yang kondusif di Indonesia. Juga dapat menanyakan pada dirinya
apakah sudah menjadi sumber pembentukan watak dan akhlak bagi umat yang telah
dipercayakan Tuhan kepada mereka.

D. Langkah-langkah yang Perlu Diambil

1. Memperbaiki Paradigma Hidup Keagamaan.

Sebagai bangsa beragama, kita berharap bahwa pesan-pesan keselamatan dari Tuhan bukan
hanya tinggal sebagai yang ideal saja, yang tidak tersentuh oleh manusia. Agama-agama, dengan
kerjasama yang semakin baik, harus mencari jalan agar pesan-pesan keselamatan itu dapat
menjadi milik manusia dan menyemangati hidupnya. Pada tataran teologis, agama-agama perlu
mengubah paradigma teologis yang pasif, tekstual dan ekslusif.
Agama-agama harus mengembangkan teologi yang inklusif, pluralis, kontekstual, yang
mampu menggugah para pemeluk agama untuk menemukan kehendak Allah dalam berbagai
praksis dan pergumulan hidup mereka. Teologi harus memperjuangkan kebebasan dari segala
belenggu dan penindasan, sekaligus memberi dorongan dan kekuatan untuk hidup dengan baik,
di hadapan Tuhan dan sesama. Dialog antar agama (sebagaimana diketengahkan dalam topik
sebelumnya) perlu ditingkatkan lagi, untuk secara bersama-sama mencari bagaimana pesan Allah
dapat ditangkap oleh manusia zaman ini, dan dapat menjadi sumber inspirasi dan motivasi dalam
menjalankan hidup yang semakin baik.

2. Membela Kaum Lemah

Kerjasama yang dibangun hendaknya terutama berorientasi untuk memihak yang lemah
dengan memberdayakan mereka. Perbaikan taraf hidup masyarakat sebaiknya dilakukan secara
simultan di berbagai sektor penting kehidupan. Namun dalam kenyataannya, kalau kemampuan
ekonomi semakin baik, maka perbaikan di bidang lain lebih mudah dilakukan. Maka dapat
dikatakan bahwa perbaikan kondisi ekonomi perlu dijadikan prioritas.
Kenyataan menunjukkan bahwa kalau seseorang belum makan (perutnya kosong), anaknya
tidak bisa sekolah karena tidak ada biaya, kalau kondisi kesehatan mereka memprihatinkan,
bagaimana kita mengajak mereka untuk menghayati betapa baiknya Allah kepada mereka?
Kebaikan Tuhan bisa sampai kepada seseorang melalui sesamanya.
Agama-agama terutama harus dapat menjadi saluran berkat dari Tuhan bagi manusia. Untuk
itu, lembaga-lembaga sosial keagamaan harus bekerja sama mencari bentuk-bentuk kerjasama
yang orientasinya terarah untuk memberdayakan masyarakat lemah. Kerjasama ini harus bebas
dari campur tangan pihak luar serta tujuan-tujuan di luar tujuan yang sebenarnya.
3. Menghadirkan Suasana Surga di Dunia ini

Setiap agama harus menunjukkan sikap bersahabat yang tulus, sebagai yang sama-sama
memiliki tugas dan tanggung jawab menciptakan pembaharuan di dunia ini. Keselamatan abadi,
sebagaimana dijanjikan oleh setiap agama, yang dalam istilah agama disebut surga, tidak akan
kita alami sekarang ini apabila hidup manusia bergelimang penderitaan dan keterbelakangan,
baik secara fisik maupun nonfisik. surga dan nirwana sebagai lambang kesejahteraan, kedamaian
dan kebahagiaan hidup, bukanlah hanya sebagai kenyataan di akhirat nanti, melainkan
seharusnya kita sudah mulai menikmatinya dalam kehidupan di dunia ini.

4. Menjadi Pelopor Perbaikan Akhlak

Perbaikan akhlak dari bangsa kita ini sudah sangat mendesak sekali. Potret keagamaan
sebagaimana diungkapkan pada bagian pertama topik ini sangat berkaitan dengan kepemilikan
watak dan akhlak tetap tidak berubah (apabila bila semakin buruk), maka kita akan semakin
terperosok ke jurang kehancuran. Sebuah bangsa akan hancur ketika moralitasnya hancur,
demikian kata penyair Syauqi Beik. Dalam hal perbaikan moralitas bangsa ini, agama tidak
boleh berpangku tangan saja. Ada tanggungjawab besar terletak di pundaknya, yang harus dia
jalankan dengan sepenuh hati, melebihi yang sudah-sudah.
Dalam aktivitas sehari-hari, setiap pribadi beriman hendaknya bisa menjadi teladan bagi
sesamanya. Bagi masyarakat Indonesia yang paternalistik, keteladangan sangat penting. Masing-
masing tokoh, masing-masing umat beragama yang mendapatkan kepercayaan untuk memimpin,
entah itu pimpinan birokrat atau pemimpin organisasi atau bahkan telah dipercaya menjadi wakil
rakyat, hendaklah menjadi teladan kebaikan, dengan menjalankan tugas dan pengabdiannya
penuh tanggungjawab.

GEMBALA YANG BAIK

Khalifah umar adalah seorang pemimpin yang sangat dekat dengan rakyatnya. Ia sering
berkeliling negeri untuk melihat dan mendenga dari dekat mengenai keadaan rakyat dan
umatnya. Pada suatu malam ia berjalan-jalan di kota Baghdad. Pada suatu sudut jalan di
pinggiran kota ia melihat sebuah gubuk reot. Dari luar gubuk itu dapat dilihat kelap-kelip
cahaya api dari pertungkuan lewat celah-celah dindingnya. Sementara itu Khalifah Umar
mendengar tangis seorang anak kecil yang berkepanjangan, yang selalu diselingi oleh suara
seorang wanita, mungkin ibu anak itu, yang berkata: “Sabar nak, sebentar lagi akan
masak!” Khalifah Umar berjalan terus. Beberapa jam kemudian beliau lewat lagi di jalan
itu. Tangis anak itu masih kedengaran dan suara ibunya masih tetap sama: “Sabar nak,
sebentar lagi akan masak!” Khalifah Umar berpikir: apa saja yang dimasak oleh ibu itu
dalam waktu yang sekian lama. Ingin tahu, ia masuk ke dalam gubuk dan membuka pintu
periuk yang terjerang di perapian. Beliau kaget setengah mati, karena ibu itu rupanya
memasak batu-batu, sekadar untuk menghibur anaknya. Khalifah Umar yang dalam
keadaan menyamar menegur ibu itu: “Ibu, ibu tentu tahu bahwa Khalifah Umar itu seorang
pemimpin yang baik! Mengapa ibu tidak datang kepadanya untuk memberitahukan tentang
keadaan ibu?” Apa jawaban itu itu? Ia berkata: “kalau Khalifah Umar seorang pemimpin
yang baik, maka bukan saya yang datang kepadanya, tetapi beliau yang harus datang
kepada saya!” Khalifah Umar terpaku dan terdekak kerongkongannya. Ia cepat-cepat
kembali ke istana, dan malam itu juga pemimpin besar umat Islam itu memikul satu karung
Kerjasama antar berbagai agama dapat diarahkan juga dengan bijak untuk memberantas
kejahatan di berbagai lingkup kehidupan. Agama secara bersama-sama dapat mencari jalan
umpamanya, bagaimana cara mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Indonesia,
biarpun tingkat keberagamannya mendapat acungan jempol oleh sementara bangsa dan negara
lain, namun korupsinya telah menjadi seni dan bagian dari budayanya. Korupsi dan kejahatan
lainnya menjadi sangat tidak ada korelasinya dengan ketaatan beragama, padahal budaya korupsi
adalah penyebab terjadinya kemunduran dan keterbelakangan suatu masyarakat.
Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa beragama tidak berarti tidak korupsi atau
melakukan kejahatan lain? Kita tidak perlu under-estimate, seolah-olah agama tidak mampu
mendorong anti korupsi dan anti kejahatan lainnya. Bukan agama yang gagal, melainkan tokoh
dan penganut agama itu yang memiliki pemahaman dan penghayatan agama secara tidak benar.
Kesalehan individu tampaknya belum menjadi jaminan kesalehan sosial dan profesional. Agama-
agama tidak membenarkan kebejatan, ketidakjujuran dan segala bentuk immoralitas sosial
lainnya.
Agama mengajarkan moral yang mulia, budaya malu, kokoh dalam kebaikan, gaya hidup
sederhana, ethos kerja tinggi, serta orientasi pada kemajuan dan prestasi. Agama dalam konteks
demikian berposisi sebagai pembimbing dan kontrol transendental. Penganut agama seharusnya
juga merasa dia tetapi dikontrol oleh Yang Maha Tahu, kapanpun dan di mana pun dia berada.
Selain itu, agama juga mengajarkan kehidupan sesudah mati, yang punya kaitan dengan
kehidupan di dunia sekarang ini. Maka, meskipun tindakan korupsi dan kejahatan lain yang
dilakukan sekarang ini sempat lepas dari pengawasan manusia, pengadilan di kemudian hari
tidak akan melepaskannya begitu saja.
Keberagaman yang substantif akan mampu mencegah penganutnya dari perilaku korup.
Melalui aktivitas kemasyarakatan, hendaknya ada semacam gerakan moral bersama untuk
mencegah terjadinya perilaku korup dalam berbagai bentuk, dengan cara memberikan sangsi
moral bagi pelakunya. Agama-agama harus memasyarakatkan dan menyebarluaskan kebaikan
melalui kerjasama di berbagai proyek kemanusiaan, dan mempengaruhi sebanyak mungkin
orang untuk berbuat baik. Himbauan atau seruan yang terus menerus dari tokoh-tokoh agama,
yang disertai dengan keteladanan yang teruji, dapat mendorong umat untuk menjauhi kejahatan,
dan berusaha hidup secara baik.

JADIKANLAH AKU PEMBAWA DAMAI

Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai


Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih
Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan
Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan
Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian
Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran
Bila terjadi kecemasan, jadikanlah aku pembawa harapan
Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku pembawa kegembiraan
Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang
Tuhan, semoga aku lebih ingin menghibur
dari pada dihibur, memahami dari pada dipahami,
Sebab, dengan memberi aku menerima, dengan mengampuni aku diampuni

(Doa St. Fransiskus dari Asisi)

Anda mungkin juga menyukai