Anda di halaman 1dari 8

OPINI

EPISTEMOLOGI ISLAM

Secara estimologi, kata “epistemologi” berasal dari bahasa yunani


”episteme” dan “logos”. “Episteme” berarti  pengetahuan sedangkan “logos”
berarti  teori, uraian, atau alasan. Jadi epistemologi berarti sebuah teori  tentang 
pengetahuan. Dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah “Theori Of Knowledge
“.
Secara terminologi , menurut Dagobert D. Runes dalam bukunya
“Dictionary Of Philosophy” mengatakan bahwa “Epistemologi  sebagai cabang
filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, mode, dan
validitas pengetahuan.
Menurut Harun Nasution dalam bukunya “Filsafat Agama” mengatakan,
bahwa yang dimaksud dengan epistemologi adalah “Ilmu yang membahas apa
pengetahuan itu dan bagaimana memeperolehnya”.
Fudyartanto mengatakan bahwa epistemologi berarti ilmu filsafat tentang
pengetahuan atau dengan kata lain filsafat pengetahuan. Rumusan lain diberikan
oleh Anton Suhono mengatakan bahwa epistemologi adalah teori mengenai
refleksi manusia atas kenyataan.
Menurut The Liang Gie, epistemologi adalah sebagai cabang filsafat yang
bersangkutan dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan, pra anggapan-
pra anggapan dan dasar-dasarnya serta reabilitas umum dari tuntutan akan
pengetahuan.
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa epistemologi adalah sebuah
ilmu yang mempelajari hal-hal yang bersangkutan dengan pengetahuan dan
dipelajari secara substantif. Hal ini selaras dengan definisi epistemologi yang
terdapat didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, epistemologi adalah: “Cabang
ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan”.
Oleh karena itu, epistemologi bersangkutan dengan masalah-masalah yang
meliputi :

1
1. Filsafat, yaitu sebagai cabang ilmu dalam mencari hakikat dan kebenaran
pengetahuan.
2. Metode, memiliki tujuan untuk mengantarkan manusia mencapai
pengetahuan.
3. Sistem, bertujuan memperoleh realitas kebenaranpengetahuan.
Secara etimologis dan menurut Al-Quran, al-Islam berarti penyerahan diri
dan kepatuhan. Allah swt berfirman :

“Maka apakah mereka mencari agama Allah, padahal hanya kepada-Nya


menyerahkan diri segala yang dilangit dan dibumi, baik dengan suka
maupun terpaksa, dan hanya kepada Allah mereka dikembalikan”. (Q.S. 3
Al Imran : 83)

Kemudian kata al-Islam di gunakan di dalam al-Quran sebagai nama


agama dan tatanan kehidupan yang di bawa oleh Muhammad SAW, dari Allah.
Allah menjelaskan, bahwa barang siapa membuat atau mengikuti selain agama-
Nya, meskipun itu agama samawi yang dahulu, maka Allah tidak akan
menerimanya.

“Sesungguhnya Agama (yang diridlai) di sisi Allah adalah Islam....” 


(Q.S. 3 Ali Imran : 19)

“... Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalain dan
telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah kuridlai Islam jadi
agama bagi kalian...”       (Q.S. 5 AL Maidah : 3)

“Barang siapa yang mencari agama lain selain Agama Islam, maka sekali-
kali tidak akan di terima (gama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi.”    (Q.S. 3 Ali ‘imran : 85 )

2
Allah swt. telah menyatukan lafadh ad-Din dengan al-Islam di dalam
firman-Nya berikut :

Katakanlah, “Sesungguhnya aku di perintahknan supaya beribadah kepada


Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama, dan aku di perintahkan supaya menjadi orang-orang pertama-tama
berserah diri.” (Q.S. 39 Az-Zumar : 11-12)

Jadi, Islam adalah tatanan Ilahi yang selain di jadikan oleh Allah sebagai
penutup segala syari’at, juga sebagai sebuah tatanan kehidupan yang paripurna
dan meliputi seluruh aspeknya . Allah telah meridlai islam untuk menata
hubungan anatara manusia dengan al-Khalik, alam, makhluk, dunia, akhirat,
masyarakat, istri, anak, pemerintah dan rakyat. Juga untuk menata seluruh
hubungan yang di butuhkan oleh manusia. Penataan ini didasarkan atas ketaatan
dan keikhlasan beribadah kepada Allah semata, serta pelaksanaan segala yang
dibawa oleh Rasulullah SAW.
Gerakan epistemologi paling awal muncul di Yunani yang digerakkan
antara lain oleh kelompok yang disebut Sophis. Yaitu orang yang secara sadar
empermasalahkan segala sesuatu. Dan kelompok Shopis adalah kelompok yang
paling bertanggung jawab atas keraguan itu.
Pranarka menyatakan sejarah epistemologi dimulai pada zaman Yunani
kuno, ketika orang mulai mempertanyakan secara sadar mengenai pengetahuan
dan merasakan bahwa pengetahuan merupakan faktor penting yang dapat
menentukan hidup dan kehidupan manusia. Pandangan itu merupakan tradisi
masyarakat dan kebudayaan Athena. Tradisi dan kebudayaan Spharta, lebih
melihat kemauan dan kekuatan sebagai satu-satunya faktor.Athena mungkin dapat
dipandang sebagai basisnya intelektualisme dan Spharta merupakan basisnya
voluntarisme.
Zaman Romawi tidak begitu banyak menunjukkan perkembangan
pemikiran mendasar sistematik mengenai pengetahuan. Hal itu terjadi karena alam
pikiran Romawi adalah alam pikiran yang sifatnya lebih pragmatis dan ideologis.

3
Masuknya agama Nasrani ke Eropa memacu perkembangan epistemologi lebih
lanjut, khususnya karena terdapat masalah hubungan antara pengetahuan samawi
dan pengetahuan manusiawi, pengetahuan supranatural dan pengetahuan rasional-
natural-intelektual, antara iman dan akal. Kaum agama di satu pihak mengatakan
bahwa pengetahuan manusiawi harus disempurnakan dengan pengetahuan fides,
sedang kaum intelektual mengemukakan bahwa iman adalah omong kosong kalau
tidak terbuktikan oleh akal.
Situasi ini menimbulkan tumbuhnya aliran Skolastik yang cukup banyak
perhatiannya pada masalah epistemologi. Karena berusaha untuk menjalin paduan
sistematik antara pengetahuan dan ajaran samawi di satu pihak, dengan
pengetahuan dan ajaran manusiawi intelektual-rasional di lain pihak. Pada fase
inilah terjadi pertemuan dan sekaligus juga pergumulan antara Hellenisme dan
Semitisme. Kekuasaan keagamaan yang tumbuh berkembang selama abad
pertengahan Eropa tampaknya menyebabkan terjadinya supremasi Semitik di atas
alam pikiran Hellenistik. Di lain pihak, orang merasa dapat memadukan
Hellenisme yang bersifat manusiawi intelektual dengan ajaran agama yang
bersifat samawi-supernatural. Dari sinilah tumbuh Rasionalisme, Empirisme,
Idelisme, dan Positivisme yang kesemuanya memberikan perhatian yang amat
besar terhadap problem pengetahuan.
Selanjutnya, Pranarka menjelaskan bahwa zaman modern ini telah
membangkitkan gerakan Aufklarung, suatu gerakan yang meyakini bahwa dengan
bekal pengetahuan, manusia secara natural akan mampu membangun tata dunia
yang sempurna. Optimisme yang kelewat dari Aufklarung serta perpecahan
dogmatik doktriner antara berbagai macam aliran sebagai akibat dari pergumulan
epistemologi modern yang menjadi multiplikatif telah menghasilkan suasana
krisis budaya.
Semua itu menunjukkan bahwa perkembangan epistemologi tampaknya
berjalan di dalam dialektika antara pola absolutisasi dan pola relativisasi, di mana
lahir aliran-aliran dasar seperti skeptisisme, dogmatisme, relativisme, dan
realisme.Namun, di samping itu, tumbuh pula kesadaran bahwa pengetahuan itu
adalah selalu pengetahuan manusia. Bukan intelek atau rasio yang mengetahui,

4
manusialah yang mengetahui. Kebenaran dan kepastian adalah selalu kebenaran
dan kepastian di dalam hidup dan kehidupan manusia
Kriteria kebenaran dalam epistemologi Islam adalah :
1. Berdasarkan fakta
2. Bebas dari prasangka
3. Menggunakan prinsip-prinsip analisis
4. Menggunakan hipotesa
5. Mengunakan ukuran yang objektif
6. Menggunakan teknik kuantifikasi
Pandangan Islam akan ukuran kebenaran menunjukkan kepada landasan
keimanan dan keyakinan terhadap keadilan yang bersumber pada Al-Qur’an.
Sebagaiman yang diutarakan oleh Fazrur Rahman : Bahwa semangat dasar dari
Al-Qur’an adalah semangat moral, ide-ide keadilan sosial dan ekonomi. Hukum
moral adalah abadi, Ia adalah “perintah Allah”. Manusia tak dapat  membuat atau
memusnahkan hokum moral : ia harus menyerahkan diri kepadannya.
Pernyataan ini dinamakan Islam dan implementasinnya dalam kehidupan
disebut ibadah atau pengabdiaan kepada Allah. Tetapi hukum moral dan nilai-nilai
spiritual, untuk bisa dilaksanakan haruslah diketahui kajian epistimologi Islam
dijumpai beberapa teori tentang kebenaran :
1. Teori Korespondensi
Menurut teori ini suatu posisi atau pengertian itu benar adalah apabila
terdapat suatu fakta bersesuaian, yang beralasan dengan realistis, yang serasi
dengan situasi aktual, maka kebenaran adalah sesuai dengan fakta dan sesuatu
yang selaras dengan situasi akal.
2. Teori Konsistensi
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan
(judgement) dengan suatu yang lain yaitu fakta atau realistis, tetapi atas
hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran
ditegakkan atas hubungan antara putusan-putusan yang baik dengan putusan
lainnya. Yang telah kita ketahui dan diakui benar terlebih dahulu, jadi sesuatu
itu benar jika hubungan itu saling berkaitan dengan kebenaran sebelumnya.

5
3. Teori Prakmatis
Teori ini mengemukakan benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau semata-mata
tergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil atau teori tersebut bagi
manusia untuk berfaedah dalam kehidupannya.
Fungsi pengetahuan dalam Islam disini dapat menjadi inspirasi dan
pemberi kekuatan mental yang akan menjadi bentuk moral yang mengawasi
segala tingkah laku dan petunjuk jalan hidupnya serta menjadi obat anti penyakit
gangguan jiwa.
Pengetahuan berasal dari bahasa Arab ‘ilm dan merupakan lawan kata dari
jahl yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan. Pengetahuan itu sendiri terdiri
dari dua jenis : pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan biasa
diperoleh dari keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan, seperti perasaan, pikiran,
pengalaman, pancaindra, dan intuisi untuk mengetahui sesuatu tanpa
memperhatikan objek, cara, dan kegunaannya. Dalam bahasa Inggris, jenis
pengetahuan ini disebut knowledge. Pengetahuan ilmiah juga merupakan
keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu, tetapi dengan
memperhatikan objek yang ditelaah, cara yang digunakan, dan kegunaan
pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah memperhatikan objek
ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis dari pengetahuan itu
sendiri. Jenis pengetahuan ini dalam bahasa Inggris disebut science. Dan ilmu
yang dimaksud di sini adalah pengetahuan kedua.
Menurut Nur Cholis Majid, ilmu adalah hasil pelaksanaan perintah Tuhan
untuk memperhatikan dan memahami alam raya ciptaannya, sebagai manifestasi
atau penyingkapan tabir akan rahasia-Nya. Argumen ini dijelaskan oleh Ibnu
Rusyd dalam makalahnya “Fashl al-Maqaal wa Taqriir ma Bain al-Hikmah wa Al
Syari’ah min Al Ittishal”. Antara iman dan ilmu tidak dapat dipisahkan karena
iman tidak saja mendorong bahkan menghasilkan ilmu, tetapi membimbing ilmu
dalam bentuk pertimbangan moral dan etis dalam penggunaannya.
Peran dan fungsi pengetahuan dalam Islam ini dapat kita lihat dari 5 (lima)
ayat pertama surat Al Alaq. Pada ayat tersebut terdapat kata iqra’ yang diulang
sebenyak dua kali. Kata tersebut menurut A. Baiquni, selain berarti membaca

6
dalam artian biasa, juga berarti menelaah, mengobservasi, membandingkan,
mengukur, mendeskripsikan, menganalisa, dan penyimpulan secara indukatif.
Secara rinci dapat digambarkan empat fungsi ilmu pengetahuan :
1. Fungsi Deskriptif yaitu menggambarkan, melukiskan dan memaparkan atau
masalah sehingga mudah dipelajari.
2. Fungsi pengembangan : yaitu melanjutkan hasil penemuan yang lalu dan
menemukan hasil penemuan yang baru.
3. Fungsi fredeksi yaitu meramalkan kejadian-kejadian yang besar kemungkinan
terjadi sehingga manusia dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu
usaha menghadapi.
4. Fungsi kontrol yaitu berusaha mengendalikan peristiwa-peristiwa yang tidak
dikehendaki.
Demikian pentingnya ilmu ini hingga Islam memandang bahwa orang
menuntut ilmu sama nilainya dengan berjuang di jalan Allah. Islam menempuh
cara demikian, karena dengan ilmu pengetahuan seseorang dapat meningkatkan
kualitas dirinya, ibadahnya dan kualitas imannya.
Ilmu pengetahuan akan mengalami krisis ketika teori-teori yang dibangun
tidak dapat lagi menjelaskan fakta-fakta yang ada. Dalam situasi krisis inilah
ilmuwan akan melakukan revolusi sehingga melahirkan paradigma baru. Dewasa
ini terlihat jelas krisis yang dialami oleh sains modern yang didominasi oleh
paradigma berpikir rasional, sehingga dialektika keilmuan hanya bergerak untuk
menguji teori (verifikasi) bukan bagaimana menghasilkan satu perspektif baru
dari ilmu pengetahuan. Perspektif baru tersebut tercapai bila cara pandang baik
terhadap subyek maupun obyek dapat dilampaui. Sebagaimana pendapat Kant,
manusia melihat obyek senantiasa ditentukan oleh kategori-kategori tertentu.
Wahyu al-Qur’an sebagai sumber pokok dari agama Islam dapat menjadi
paradigma baru, karena sebagaimana paradigma dalam konsepsi Thomas Kuhn,
al-Qur’an dapat dijadikan sebagai suatu konstruksi pengetahuan yang
memungkinkan umat Islam memahami realitas sebagaimana al-Qur’an
memahaminya. Konstruksi pengetahuan tersebut akan menjadi dasar bagi umat
untuk merumuskan desain besar mengenai sistem Islam termasuk sistem ilmu

7
pengetahuannya. Dengan demikian paradigma al-Qur’an tidak hanya berhenti
pada kerangka aksiologis tetapi juga dapat berfungsi memberi kerangka
epistemologis.
Pemikiran untuk menjadikan al-Qur’an tidak hanya sekedar sumber ajaran
agama, tetapi juga sumber ilmu pengetahuan karena al-Qur’an dapat menjadi
sebuah paradigma, meniscayakan pergeseran dalam ilmu al-Qur’an. Studi al-
Qur’an harus mengesampingkan nuansa sakralitas dan ideologis-primordial dan
membangun studinya dengan metodologi yang ilmiah. Konstruksi metodologi
ilmiah dimulai dengan mengubah cara pandang terhadap wahyu al-Qur’an, tidak
hanya sebatas teks suci yang membicarakan pesan-pesan ritual keagamaan, tetapi
juga sebagai yang membicarakan realitas aktual. al-Qur’an sebagai obyek kajian
studi al-Qur’an ditempatkan dalam hakikat ontologisnya sebagai teks kebahasaan
yang terbuka terhadap pemahaman manusia. Posisi ontologis tersebut membawa
konsekuensi epistemologis-metodologis yaitu terbukanya studi al-Qur’an terhadap
kerangka analisis modern seperti lingusitik, kritik sastra dan analisis historis.
Dengan demikian, dialektika studi al-Qur’an tidak hanya berputar pada lingkaran
hukum-hukum dan doktrin-doktrin keagamaan, tetapi juga dialektika al-Qur’an
sebagai sebuah teks dan masyarakat kekinian sebagai sebuah konteks. Kebenaran
tafsir al-Qur’an dapat diuji sejauh mana nilai-nilai tersebut yang dihasilkan
sanggup memberikan pencerahan dan transformasi terhadap dinamika sosial-
kemanusiaan masyarakat yang dijumpainya. Wa al-Lāh a‘lam bi al-sawāb.

Anda mungkin juga menyukai