Anda di halaman 1dari 14

FILSAFAT PENDIDIKAN

“INTELEKTUALISME, SPIRITUALISME, DAN FILSAFAT”


Dosen Pengampu: Nova Estu Harsiwi, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh:

Kelompok 3
Nuril Laila Pradini 180611100053
Sherly Nanda Afwa A.S 180611100055
Dicky Julian Pratama 180611100069

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2021
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, yang telah memberikan rahmat, hidayah dan inayahnya kepada kita. Tidak
lupa sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Agung Muhammad SAW, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
yang membahas tentang “Intelektualisme, Spiritualisme, dan Filsafat” yang
diberikan langsung oleh Ibu Nova Estu Harsiwi, S.Pd., M.Pd selaku dosen
pembimbing mata kuliah Filsafat Pendidikan, semoga makalah ini bermanfaat dan
juga dapat memenuhi tugas kelompok dengan baik. Aamiin.
Dengan ini, kami juga meminta maaf jika ada kekurangan dalam makalah
ini, dan tidak lupa kami mohon kritik serta saran yang bersifat membangun dalam
pembuatan makalah selanjutnya. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Selain
itu, kami juga sangat berterima kasih kepada para penulis yang hasil karyanya
telah kami kutip sebagai bahan rujukan.

Bangkalan, 16 Maret 2021

Penulis

DAFTAR ISI
II
COVER
KATA PENGANTAR.................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................... 1
C. Tujuan...................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Hakikat Manusia..................................................................................... 2
B. Hubungan Intelektualisme, Spiritualisme, dan Filsafat.......................... 3
1. Filsafat membentuk intelektualisme................................................... 3
2. Filsafat membentuk spiritualisme....................................................... 6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................. 9
B. Saran........................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 10

II
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembahasan hubungan Intelektualisme, spiritualisme dan filsafat ini
memerlukan suatu kesadaran pemikiran kita sebagai hakikat manusia dengan kita
akan mampu memberikan sebuah gagasan kuat terkait intelektualitas manusia,
spiritualitas manusia dalam berfilsafat. Jika kita membuka kembali pengertian
filsafat maka kita akan menemukan suatu kata kunci dalam berfilsafat yaitu cinta
akan kebijaksanaan/pengetahuan. Melalui mencari dan memikirkan suatu
kebenaran sedalam dalamnya artinya orang yang berfilsafat itu tidak mudah
mempercayai setiap informasi akan tetapi melakukan sebuah peranungan
mendalam untuk mencari kebenaran.

Pembahasan hubungan Intelektualisme, spiritualisme dan filsafat ini


menjadi penting untuk dibahas karena terdapat fenomena dimana seolah-olah ada
pemisah antara intelektualitas, spiritualitas dan filsafat itu sendiri. Salah satu
potongan fenomena yang ada disekitar kita ini menunjukkan bahwa, oknum-
oknum yang melakukan perubahan dari jendernya menunjukkan belum mampu
mengintegrasikan antara intelektualitas, spritualitas dan filsafat itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hakikat Manusia?
2. Apa Hubungan antara Intelektualisme, Spiritualisme, dan Filsafat?
3. Bagaimana Filsafat membentuk intelektualisme?
4. Bagaimana Filsafat membentuk spiritualisme?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui hakikat manusia.
2. Untuk mengetahui hubungan intelektualisme, spiritualisme, dan filsafat.
3. Untuk mengetahui filsafat membentuk intelektualisme.
4. Untuk mengetahui filsafat membentuk spiritualisme.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Manusia
Manusia adalah makhluk yang sempurna, dengan ditandai dengan
dimilikinya Fuad (akal pikiran dan hati). Pikiran yang dimiliki oleh manusia
senantiasa membuat manusia untuk memiliki rasa penasaran, ingin bertanya yang
ada disekitarnya dan bahkan menanyakan terkait dirinya sendiri. Hakikat manusia
dipelajari melalui berbagai pendekatan (common sense, ilmiah, filosofis, religi)
dan melalui berbagai sudut pandang (biologi, sosiologi, antropobiologi, psikologi,
politik).
Mencari pengertian hakikat manusia merupakan tugas metafisika, lebih
spesifik lagi adalah tugas antropologi (filsafat antropologi). Filsafat antropologi
berupaya mengungkapkan konsep atau gagasan-gagasan yang sifatnya mendasar
tentang manusia, berupaya menemukan karakteristik yang sifatnya mendasar
tentang manusia, berupaya menemukan karakteristik yang secara prinsipil (bukan
gradual) membedakan manusia dari makhluk lainnya. Antara lain berkenaan
dengan: (1) asal-usul keberadaan manusia, yang mempertanyakan apakah ber-ada-
nya manusia di dunia ini hanya kebetulan saja sebagai hasil evolusi atau hasil
ciptaan Tuhan. (2) struktur metafisika manusia, apakah yang esensial dari manusia
itu badannya atau jiwanya atau badan dan jiwa; (3) berbagai karakteristik dan
makna eksistensi manusia di dunia, antara lain berkenaan dengan individualitas,
sosialitas (M.I. Soelaiman, 1988).
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa pengertian hakikat
manusia adalah konsep atau gagasan yang berkaitan dengan eksistensi kehidupan
seorang manusia. Pengertian hakikat manusia berkenaan dengan prinsip adanya
manusia. Dengan kata lain, pengertian hakikat manusia adalah seperangkat
gagasan tentang sesuatu yang olehnya manusia memiliki karakteristik khas yang
memiliki sesuatu martabat khusus (Louis Leahy dalam AHF, 1985). Aspek-aspek
hakikat manusia, antara lain berkenaan dengan asal-usulnya (contoh: manusia
sebagai makhluk Tuhan), struktur metafisikanya (contoh: manusia sebagai

2
kesatuan badan-ruh), serta karakteristik dan makna eksistensi manusia di dunia
(contoh: manusia sebagai makhluk individual, sebagai makhluk sosial, sebagai
makhluk berbudaya, sebagai makhluk susila, dan sebagai makhluk beragama.
B. Hubungan Intelektualisme, Spritualisme dan Filsafat
Penjelasan tentang bagaimana hakekat manusia diatas membuat sangat jelas
sekali bahwa manusia menunjukkan makhluk yang sangat sempurna.
Kesempurnaan manusia disebabkan akan karunia Tuhan yang berupa akal atau
pikiran beserta budi. Kekuatan akal pikiran adalah ciri utama seseorang dalam
berfilsafat sebagaimana Nasution (2012) yang menyampaikan bahwa orang untuk
berfilsafat perlu perenungan yang menggunakan akal budinya dalam melihat
sebuah realitas. Hal ini selaras dengan pendapatnya Azwar (2019) mengemukakan
bahwa berpikir menggunakan akal pikiranya secara refleksi rasional, kritis dan
radikal mengenai hal-hal dasar tentang kehidupan adalah point inti dari berfilsafat.
Kedua Pandangan tersebut dapat kita artikan bahwa orang yang sedang
berfilsafat sedang mengoptimalkan titipan anugrah terbesar dari Tuhan itu sendiri.
Adapun dampak dari seseorang yang sedang mengoptimalkan pikiranya melalui
filsafat akan mempengaruhi intelektualitas dan spiritulitas. Adapun bentuk
hubungan antara inteltualisme, spiritualisme dan filsafat tergambar pada bagan
dibawah ini:

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa filsafat menjadi induk


atau penyebab adanya intelektualisme dan juga spritualisme manusia. Adapun
penjelasan secara rinci akan dijabarkan sebagai berikut:
1. Filsafat membentuk intelektualisme
Shariati (1987) mengemukakan bahwa intelektual adalah seseorang yang
mampu menyelesaikan setiap permasalahan (problem solving). Pandangan
Agama intelektualitas ini terbukti sejak manusia diciptakan yaitu kemampuan

3
manusia dalam menyebutkan nama-nama ketika ditanya oleh Allah, hal ini
menjadi bukti bahwa manusia lebih unggul dari pada malaikat dan manusia
menjadi mahluk yang sempurna dari segala ciptaan Allah.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan, kata “intelektual”
berkaitan dengan kata “intelek”. Intelek berarti “istilah psikologi tentang daya
atau proses pikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan;
daya akal budi; kecerdasan berpikir. Kata intelek juga berkonotasi untuk
menyebut kaum terpelajar atau kaum cendekiawan. Sedangkan kata intelektual
berarti suatu sifat cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu
pengetahuan. Kata intelektual juga berkonotasi sebagai kaum yang memiliki
kecerdasan tinggi atau juga disebut kaum cendekiawan.
Intelek berasal dari kosakata latin “intellectus” yang berarti pemahaman,
pengertian, kecerdasan. Dalam pengertian sehari-hari kemudian berarti
kecerdasan, kepandaian, atau akal. Pengertian intelek ini berbeda dengan
pengertian taraf kecerdasan atau intelegensi. Intelek lebih menunjukkan pada
apa yang dapat dilakukan manusia dengan intelegensinya; hal yang tergantung
pada latihan dan pengalaman.
Dari pengertian istilah, intelektualisme adalah sebuah doktrin filsafat
yang menitik beratkan pada kognisi atau pengetahuan (intelektualitas)
seseorang (Sugiantoro: 2011). Begitu halnya Nasr (2004) filsafat didefinisikan
sebagai suatu bidang yang berkecimpung terkait intelektualitas. Sehingga kita
dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa intelektualisme suatu paham yang
mengedepankan pada budaya intelektual atau mengedepankan pengetahuan
dalam menyelesaikan permasalahan.
Dalam sejarah dunia Filsafat telah membentuk kaum intelektual,
intelektualisme menjadi bagian hidup mereka. Pertama Plato, dalam
membangun sebuah konsepsi keadilan, kebenaran dan ajaran kebaikan maka
manusia memerlukan intuisi untuk membangun ide. Karena hal-hal yang
nampak itu belum bisa dikatakan sebagai realitas sejati akan tetapi jika
direnungkan dalam intuisi sampai dalam sebuah alam idea maka itulah
kebenaran realitas yang sejati. Pemikiran Plato dalam kehidupan sehari hari

4
misal contoh konsep pemikiran adil. Seorang ibu memiliki dua anak yang satu
sudah menempuh belajar sampai perguruan tinggi sedangkan lainya baru
sekolah dia memberi uang saku yang sama itu bukanlah tindakan yang adil.
Maka menurut Plato diperlukan renungan yang mendalam sampai ke intuisi
untuk memperoleh tindakan yang bijaksana dan adil.
Sedangkan Ariestoteles kebenaran itu bisa diperoleh melalui cara rational
deduktif, dan empiris deduktif. Dengan pandangan pemikiran Ariestoteles
dengan menggunakan logika sebagai organon hal ini mendorong ilmu
pengetahuan seperti zoology, kedokteran dan fisika. Gambaran umum ini bisa
memprediksi apakah pernyatan itu benar secara intelektual atau tidak dengan
cara mengecek premisnya terlebih dahulu. Contoh ada pernyataan “jangan
menghidupkan korek api dekat dengan sapiteng nanti bisa meledak”
apakah pernyataan ini benar dalam pikiran kita maka perlu kita cek kebenaran
logikanya.
a. Semua tinja yang mengandung gas metana.
b. Tinja biasanya terkumpul dalam sapiteng
c. Gas metana memicu terjadinya peledakan jika terkena api.
Dengan adanya tiga informasi ini beberarti kita bisa meyakini bahwa ada
larangan menyalakan korek api ketika dekat dengan sapiteng. Sehingga
seorang yang memiliki sudut pandang intelektualisme akan selalu memikirkan
setiap tindakanya, dan akan mengkritisi apapun untuk mendapatkan sebuah
kebenaran.
Begitu halnya dalam sejarah perkembangan peradaban islam peran dari
filsafat sangat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
itu sendiri (Rizem: 2015). Berawal dari pada masa Khalifah Abbasyah ketujuh
al-Makmun (813-833 M), masyarakat ideal masa depan hanya bisa diwujudkan
melalui ilmu pengetahuan dan rasionalisme. Untuk mencapainya berbagai
bidang ilmu pengetahuan yang ada di seluruh kerajaan harus dikumpulkan di
satu lokasi terpusat. Ia yakin jika para cendekiawan terbaik di dunia Islam
dapat dikumpulkan untuk saling belajar satu sama lain, akan terbukalah

5
kemungkinan yang takterbatas. Pada masa ini sangat memperhatikan
perkembangan ilmu pengetahuan disebut juga sebagai puncak keemasan.
Dengan pemikiran tersebut ia mendirikan istitut pendidikan di Baghdad
yang dikenal dengan rumah Hikmah (Bayt al-Hikmah). Dalam institusi ini,
universitas, perpustakaan, badan penerjemah dan lab penelitian dalam satu
kampus. Kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, jika seorang cendekiawan
menerjemahkan buku apapun dari bahasa Asli ke bahasa Arab, ia akan
mendapat emas seberat buku itu.
Pada masa keemasan karya yang banyak diterjemahkan tentang ilmu-
ilmu praktis, seperti kedokteran, astronomi dan matematikapun juga
diterjemahkan. Sedangkan karya-karya berupa puisi, cerpen dan sejarah jarang
diterkurang bermanfaat. Sementara itu dalam bahasa arab, perkembangan ilmu
dibidang itu sangatlah maju.
Setidaknya ada 3 alasan kemajuan peradaban islam dipertimbangkan
(Halim: 2016). Pertama, menghidupkan filsafat Islam klasik melalui upaya
penyuntingan (tahqiq) buku-buku filsafat yang ditulis oleh para filsuf Muslim
klasik. Upaya ini disusul dengan memberikan kajian singkat dan mendalam
tentang karya-karya tersebut. Jika diperlukan, menerjemahkannya ke dalam
bahasa-bahasa asing –terutama bahasa Inggris. Kedua, memperkenalkan
filsafat Barat modern lewat penerjemahan karya-karya filsuf Barat ke dalam
ahasa Arab, serta mengusahakan pengkajian dan studi-studi yang mendetail
atas karya-karya tersebut. Dan ketiga, menulis dan menciptakan sendiri tema-
tema filsafat yang berhubungan dengan realitas kontemporer ataupun sebagai
reaksi dari isyu-isyu filsafat yang sudah ada.
2. Filsafat membentuk spritualisme
Mengawali pembahasan terkait filsafat membentuk spritualisme maka
akan lebih relevan jika mengulas kembali prespektif tentang filsafat. Bagi
orang barat titik berat filsafat adalah mencari hikmah. Hikmah dicari untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya, apa itu, darimana, hendak kemana dan
bagaimana. Dengan kata lain filsafat adalah untuk mengetahui hakekat sesuatu.
Baik para Filsuf Barat maupun timur mereka akan memiliki pandangan yang

6
sama bila sudah sampai pada pertanyaan “apa yang pertama kali ada, dan apa
yang paling terakhir bertahan dalam alam semesta ini?”. Untuk mencari
hikmah yang sebenarnya untuk mencapai puncak pengetahuan tinggi yaitu
tuhan yang Maha mengetahui dan Maha kuasa, filsafat ini menuju ke
spritualitas (agama) (Jalaluddin dan Abdullah: 2013).
Sudut pandang yang memikirkan akan adanya “keberadan” merupakan
cabang filsafat ontologism. Ontologis pertama kali diperkenalkan Rudolf Goc
lenius tahun 1936 M, dengan merujuk pada hakikat atau sifat dasar dari “segala
yang ada” bersifat metafisis (Latif, 2014). Metafisis dalam pada ini dibagi
menjadi dua, yaitu metafisika umum clan metafisika khusus. Umum yang
dimaksud merupakan istilah lain dari ontologi yakni bagian dari filsafat yang
mengkaji seputar esensi dan segala sesuatu yang ada. Dan, sedangkan
metafisika khusus memusatkan perhatian pada ihwal kosmologi dan teologi
seperti mengkaji mengenai Tuhan. Istilah kedua dari metafisika, yaitu
metafisika khusus, tidak dapat digapai oleh akal karena berkaitan dengan aspek
transenderisi yang berada di luar batas tangkapan indra manusia.
Aristoteles (dalam Jalaluddin, 2013) mengemukakan lebih kurang tidak
jauh berbeda mengenai metafisika yakni sebagai yang ada dan sebagai yang
Ilahi. “Sebagai yang ada”, menandai hentuk pengetahuan yang mengkaji suatu
hal dalam bentuk semurni-muminya, bahwa suatu “benda” atau “zat” benar
sungguh ada dalam anti tidak terkena oleh perubahan. Kajian “sebagai yang
ada” pada hal ini masih berada dalam ranah yang masih bisa dijangkau oleh
indra ataupun akal. Sementara sebagai yang Ilahi, menelaah mengenai
keberadaan Dia yang mutlak yang tidak tergantung pada yang lain. Segi
pembahasan ontologi dalam makna yang Ilahi tidak dapat dicapai dan di
tangkap oleh indriawi (Azwar: 2019).
Dengan demikian apabila manusia berfilsafat terus bertanya terkait
hakekat keberadaan itu sendiri maka pada akhirnya manusia akan menemukan
tuhanya. Sebagaimana pandangan filsuf islam Dan imam Ghazali juga
menjelaskan bahwa mengenal diri adalah kunci mengenal Allah, hal ini sesuai
dengan ungkapan “Man‘arafa nafsahu ‘arafa rabbahu” yang artinya “barang

7
siapa yang mengenal dirinya, dia akan mengenal Rabb-nya”. Orang yang
mengenal dirinya akan menyadari keterbatasan yang dimiliki dan akhirnya dia
akan meyakini dengan sepenuh hati bahwa ada kekuatan lain yaitu tuhan yang
Maha Kuasa dibalik segalanya.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hakikat manusia adalah konsep atau gagasan yang berkaitan dengan
eksistensi kehidupan seorang manusia. Pengertian hakikat manusia berkenaan
dengan prinsip adanya manusia. orang yang sedang berfilsafat sedang
mengoptimalkan titipan anugrah terbesar dari Tuhan itu sendiri. Adapun dampak
dari seseorang yang sedang mengoptimalkan pikiranya melalui filsafat akan
mempengaruhi intelektualitas dan spiritulitas. Hubungannya seperti filsafat itu
menjadi induk atau penyebab adanya intelektualisme dan juga spritualisme
manusia.
B. Saran
Pemahaman tentang intelektualisme, spiritualisme dan filsafat
memerlukan waktu cukup lama, tidak bisa dipelajari secara menyeluruh dan tuntas
selama satu atau dua jam saja. Perlu adanya referensi yang lebih luas, pengalaman
yang mumpuni, serta pemahaman tentang diri sendiri berkaitan dengan materi
perlu ditekankan. Oleh karena itu dibutuhkan waktu untuk membaca materi secara
berulang-ulang sampai paham, karena materi ini merupakan dasar yang akan
menjadi pondasi untuk lanjut kemateri selanjutnya.

9
DAFTAR PUSTAKA
Halim, Wahyudi. 2016. Peran Studi Filsafat Bagi Transformasi Intelektual Islam.
Suesena. Vol 10 No 2.
Jalaluddin. 2013. Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan Edisi
Revisi. Depok: Rosada Persada.
Sulaiman, Yuandana Tarich. 2020. Filsafat Pendidikan. Literasi Nusantara.
Malang.

10

Anda mungkin juga menyukai