' Kita akan menemukan tesis yang berbeda pada Roy Bhaskar. Bagi dia,
kolektifitas manusia memiliki status ontologinya sendiri yang tetap, dan tidak
melulu terpengaruh oleh agensi. Di samping itu, ia .iuga berpendapat bahwa
agensi juga memiliki ontologi tersendiri, yang tidak juga melulu dapat dilekar
kan kepada kolektifitas, atau struktur. Ontologi struktur dan agensi ini saling
berkaitan satu sama lain. Artinya, yang satu hanya dapat dipahami, jika ada
yang lain. lndividu sudah selalu menemukan dirinya dalam konteks kolektifi-
tas tertentu. Begitu pula, kolektifitas juga sudah selalu mengandaikan adanya
individu-individu yang berinteraksi di dalamnya. Agensi berbahasa hanya da-
pat dipahami, jika sistem bahasa telah terlebih dahulu ada. Begitu juga seba-
liknya, bahasa tidak ada dari kekosongan, melainkan keterulangan dan ruti-
nisasi praktek agensi, yang menggunakan bahasa untuk berkomunikasi satu
sama lain. lndividu sudah selalu ada dan berkembang di dalam suatu struktur
masyaiakat tertentu. Begitu pula masyarakat tidak akan pernah dapat dipahami,
jika tidak ada keterulangan praktek kolektivitas individu, yang berdinamika di
dalam masyarakat tersebut. Ontologi Bhaskar di sini dapatlah dipahami sebagai
ontologi yang bersifat relasional.
Pertanyaan yang kiranya tetap menggantung di kepala kita adalah, apa-
kah masyarakat itu fakta, atau hipotesa? Jika mengikuti main stream yang per-
tama, yakni Ciddens, masyarakat itu adalah sebuah hipotesa, yang ada di dalam
"kepala" individu. Sementara itu, main stream yang ke dua akan mengatakan
bahwa masyarakat memiliki dimensi ontologisnya sendiri, yang memungkin-
kan ia berdiri sebagai sebuah fakta yang cukup padat. Lalu, apakah ada pemiki-
ran yang dapat mendamaikan dua main stream tersebut?
pahami secara filosofis, yakni sebagai kebebasan yang dapat murni mengambil
jarak, lalu kemudian menciptakan refleksi dan terobosan baru dari pengambil-
an jarak tersebut, melainkan lebih secara 'realistis". Dalam arti, kebebasan dan
kreativitas manusia dalam memilih hanyalah mungkin, jika apa yang dipilihnya
sudah terkandung di dalam habitus lingkungan sosialnya, yang tidaklah tung-
gal, dan bukan sesuatu yang 'tiba-tiba muncul bagaikan wahyu dari Tuhan".
Argumen ini akan penulis kembangkan di seluruh tulisan ini.
Untuk menjawab dua pertanyaan itu secara sistematis, tulisan ini akan
dibagi menjadi empat bagian. Pertama akan dibahas tentang latar belakang
dari ciri khas pemikiran Bordieu. Bagian ke dua akan membahas sejauh mana
Bordieu mampu mengatasi dikotomi antara agensi dan struktur, individu dan
masyarakat. Bagian ke tiga akan mencoba untuk memberikan tanggapan kritis
terhadap tesis Bordieu tersebut. Tulisan ini akan diakhiri dengan kesimpulan,
sekaligus sebuah kemungkinan jawaban atas pertanyaan yang membingkai
seluruh tulisan ini, apakah masyarakat itu fakta, atau hipotesa?
Lalu, apa yang sesungguhnya menjadi ciri khas pemikiran Bordieu? Anda
mungkin sudah mencium arahnya, yakni bahwa setiap bentuk pemikiran, re-
fleksi, dan "teks" haruslah merealisasikan rumusannya menjadi suatu tindakan
nyata. Perjalanan intelektual Bordieu diwarnai dengan perubahan arah dari fil-
safat menuju sosiologi. Perubahan ini justru sangat dipengaruhi oleh keprihati-
nan mendasar Bordieu pada lingkup sosial dan hasratnya yang berkobar-kobar
untuk rnendorong perubahan. Pengalaman masa kecilnya hidup di dalam ke-
lompok sosial yang didominasi membuatnya mampu untuk melihat elemen-
elemen kehidupan sosial yang tidak dilihat oleh intelektual lainnya. Di samping
itu, ia juga menolak jika dikatakan bahwa refleksi filosofis-sosiologisnya meru-
pakan proyeksi kebencian kelas yang diakibatkan oleh masa lalunya. Diskursus
yang terjadi di kalangan akademis ilmu-ilmu sosial Perancis membuatnya sam-
pai pada pendapat bahwa teks haruslah tidak steril, teks harus bermetamorfosis
menjadi tindakan. Sosiologinya mencoba untuk juga memberikan kontribusi di
102 Meniadi Manusia Otentik
dipertahankan, dan diubah oleh para pelaku sosial. Sebaliknya, walaupun pe'
laku sosial memiliki kebebasan, tetapi ia juga masih dikondisikan oleh struktur-
struktur tersebut. Mirip dengan pendekatan Ciddens, dimensi dualitas perilaku
dan struktur masih sangat kuat di sini.
Pada pemikina.n Bourdleu, ada upaya untuk menyatukan ke clua unsur ter'
sebut. Oleh karena itu, pendekatannya juga dikenal sebagai struktqrrallsrine-ge-
netis, yakni analisis atas struktur-struktur obyektif, yang tidak dapat dIpisahkan
dari analisis atas struktur-struktur mental rjalam individu-individu biologis, yang
sebagiannya merupakan produk ciari struktur-struktur sosial, serta analisis atas
asal usul struktur sosial itu sendiri. Secara gamblang dapatlah terlihat bahwa
Bourdieu berupaya membuka cakrawala baru dalam menganalisis masyarakat.
Untuk dapat mengerti seeara menyeluruh tentang konsep habitus, kita
juga harus sudah mengandaikan bentuk epistemologi sejarah yang dapat
mengungkapkan relevansi praktis suatu bentuk diskursus.s Konsep habitus ini
memberikan suatu bentuk koherensi antara masyarakat dan pelaku. la, konsep
habitus, menjadi perantara antara individu dan kolektifitas. Konsep habitus me-
mungkinkan kita untuk mengerti bagaimana pelaku turut membentuk struktur
sosial, namun logika tindakannya tetap berpijak di dalam struktur sosial yang
telah ada. 'Caya hidup', demikian Bourdieu, 'dipahami sebagai keseluruhan
selera, kepercayaan dan praktek sistematis yang menjadi ciri suatu kelas, ...di
dalamnya terdapat opini politik, keyakinan filosofis, keyakinan moral, selera
estetis, dan juga makanan, pakaian, budaya..'e ltulah yang dimaksud Boudieu
sebagai habitus.
juga membentul< pelaku, yakni yang nrenjadi primsEp p*r'lggeral< dan pengatur
praktek-praktek sosial. "Hasil suatu habitus", tulis BourCieu, "adalah sistems-
sistem disposisi yang tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang
dibentuk, yang dirnakslrdkan juga l:erfungsi sebagai strulttr:r yang nrernbentuk;
artinya menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktek-praktek hldup dan
representasi-representasi, yang dapat disesuaikan dengan tr-ljuar:tujuan tanpa
nrengandaikan pengarahan tujuan secara sadar dan penguasaan secara sengaja
upaya-upaya yang perlu untuk mencapainya, secara obyektif diatur dan teratur
tanpa harus menjadi huah dari kepatuhan akan aturan-aturan cian secara kolek-
lif diselaraskan tanpa harus menjadi hasil dari pengaturan seorang dirigen."lr
Habitus nrerup:al<an hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis, ti-
<lak selalu disadari, dan kernudian diterjemahkan menjacii suatu kernampilan
yang kelihatannya alaniiah, serta berkembang daiam suatu lingkungan sosial
tertentu.12 Dalarn proses pembentukan ketrampilan tersebut, struktur-struktur
yang dibentuk berubah menjacli struktur-struktur yang membentuk. Begini con-
tr:hnya, seorang pianis baru dapat mulai membuat sebuah komposisi secara
kreatif dan orisinil, setelah ia cukup lama melatih diri, dan kemudian mengua-
sai aturan-aturan dalam komposisi dan harmoni tersebut. Nah, hanya setelah ia
mulai membatinkan tandatanda dan pembatasan musikalah (struktur-struktur
yang sudah dibentuk), sang pianis tersebut dapat menyusun sebuah komposisi,
mencipta, dan berimprovisasi melampaui komposisi yang sudah ada (struktur-
struktur yang membentuk).
Hal yang sama juga terjadi dalam konteks penguasaan bahasa, penuli-
san, ataupun pemikiran. Seorang seniman, sastrawan, penulis, ataupun pemikir
mampu menciptakan karya-karya jenius mereka, karena tidak lagi menyadari
tanda-tanda ataupun gaya, yang sudah dipadatkan dan terintegrasi di dalam
dirinya. Dengan begitu, kebebasan kreatif yang sering diagung-agungkan oleh
para jenius, sesungguhnya, merupakan hasil dari pembatasan struktur-struktur.
Dengan demikian, habitus juga berfungsi sebagai sumber penggerak tindakan,
pemikiran, ataupun representasi.
Habitus juga merupakan kerangka penafsiran untuk memahami dan me-
nilai realitas, sekaligus juga penghasil praktek-praktek kehidupan yang mem-
bentuk dan menyesuaikan diri dengan struktur-struktur obyektif. Dua hal ini
sama sekali tidak bisa dipisahkan. Kepribadian seseorang didasarkan pada ha-
bitusnya. Pembentukan dan berfungsinya habitus dapat dibayangkan sebagai
sebuah lingkaran, yang tidak diketahui ujung pangkalnya. Di satu sisi, habitus
sangat memperhitungkan hasil dari keteraturan perilaku manusia, di sisi lain,
perkembangan dan lahirnya habitus menyandarkan dirinya pada improvisasi
1A6
Menj adi M anu si a atentik
struktur aturan yang ada, jadi bukan pada kepatuhan pada struktur maupun atu-
ran yang sudah ada. Dengan demikian, di dalam habitus, ada dua gerak timbal
balik, yakni pertama adalah struktur obyektif yang dibatinkan, ke dua adalah
gerakan subyektif, seperti persepsi orang, evaluasi, yang menyingkapkan ha-
jelas
sil dari pembatinan. Dalam konteks inilah proses sosialisasi dapat lebih
dipahami. Habitus di sini mengandaikan seluruh proses pembatinan, di mana
dengan cara itu, setiap individu membuka dan melatih diri dalam hubungan-
hubungan sosial, nilai-nilai, serta keyakinan masyarakat di mana dia hidr"lp"
Nilai dan norma yang ada di masyarakat akan membentuk habitus yang
berupa etos. Artinya, habitus berupa etos tersebut akan membentuk individu
dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang dipraktekkan, juga dengan bentuk
moral yang diinternalisasikan dan tidak disadari, namun rnembentuk perilaku
sehari-hari. Begini, ambil contoh tentang sifat yang terdapat di dalam diri seseo-
rang, seperti rajin, ulet, jujur, licik, cerdas, berani, dan murah hati, yang meru-
pakan habitus berupa etos, dan terbentuk dari proses ketimbalbalikan antara
diri dengan komunitas di mana individu itu hidup. Ada bentuk habitus lain,
yakni habitus badaniah. Habitus badaniah berhubungan dengan sikap ataupun
posisi khas tubuh, disposisi badan, yang kesemuanya itu dipelajari dan diin-
ternalisasikan oleh seorang individu ke dalam dirinya melalui proses seumur
hidupnya, seperti kebiasaan ber.ialan tegak, mudah bergaul, mata yang selalu
memandang ke bawah, dan sebagainya.
ditentukan, karena pelal<rr lrisa memilih, tetapi jugr liria!< sepr:nxhnya bebas,
karena segala pililran yang tersedia ditentukan oleh l'rabitus" Flah, manusia,
dengan tidak Iagi p*rlr.r untuk mencari malcnr ataupun rnr'r:1railari makna dari
tilrilakannya, rneririrlii,:r li;i:iIrt:;, ]rang marnpu rn€n13Sei;rl<;il;, rilengo:"ientasikan,
serta men'ibudtny'"l uertirrr-ial< sesu;ii dengan positi yang clitc:rnp;atinya dalam
Iingkup sosial, )';tnH JLiH,.r sr:suai dengan logika ruang ddn uri,,*;i sosial yang
melingkupinya. Al<niri Le{a5;i, harus juga disadari bahrva d!:;pcsisi yang dimi-
liki manusia bukeiri.rh sesuatu;rang terberi, atau terbentirk, begitu saja serta
nlr"rdah tliubalr sesi,;,ri rlengan situasi dan l<ebutuhan, rrr*iaini<an juga tmemiliki
suatu unsur inerria yang rnewarnainya. Mari kita lihat apa yang telah ditulis
oleh Bourdieu. "i-"lal ini ([rahitus RAW) tarnpak dari pilihan tei"hadap tempat/
peristiwa, maupun or;rn& yang rjikunjungi, habitus cenderung meiindungi diri
terhadap krisis dan rJari yang mempertanyakan secara kritis dengan menjamin
diri dalam lingkungan i,;rng sedapat mungkin sudah disesuaikan, artinya dunia
yang cukup stabil yang ai<an semakin memperteguh diposisi-disposisiflya"'rtr
lam ruahg publik masyarakat kita. Dengan kata lain, sesungguhnya ada berba-
gai sumber, di mana orang bisa dibentuk, mempelajari, serta ikut membentuk
habitus yang ada, seperi keluarga, sekolah, kerja, dan media. Pola sosialisasi
di dalam keluarga misalnya, proses interaksi dan sosialisasi di dalam keluarga
bukanlah prorui sosialisasi yang homogen, tetapi mosaik, di mana ayah bisa
saja tidak bisa membaca, ibu adalah dosen universitas, anak perempuan
adalah
murid sD, dan anak-anak lainnya yang juga mungkin berhasil, atau mungkin
yang
tidak, dalam proses belajarnya. Yang mau dikatakan di sini adalah bahwa
mempengaruhi seseorang berasal dari relasi-relasi yang beragam, yang mosa-
ik, sehingga menjanjikan masa depan yang juga sangat beragam. Dengan de-
mikian, orang, dalam sebuah keluarga, dapat melewati proses sosialisasi yang
pada
begitu beragam, walaupun posisi awal keluarga dalam hirarki sosial sama
yang
awalnya.lT Proses sosialisasi yang mosaik tersebut menciptakan habitus
juga mosaistis, yang terpecah, berbeda-beda, sehingga hampir tidak dapat di-
kelompokan dalam satu konsep, yakni habitus kelas tertentu, ataupun habitus
Manusia dan Masyarakat ta9
individual tertentu.
Selain itu, konsep habitus yang dirurnuskan dan dielaborasi secara brilian
oleh Bourdieu juga tampak jatuh pada satu sisi, yang me\/arnai perdebatan fi-
losofis "abadi" daiarn k*nteks problematika tatanan. Sisi itu adalah mereka-me-
reka yang terlalu menitikberatkan pada struktur. Begini, pandangan Bourdieu
tentang perilaku sosial terlalu menitikberatkan pada deterrniirisme budaya kelas
asalnya, status sosialnya, dan posisinya di dalam strata sosia!. l{esan determinis
ini semakin terlihat, ketika ia menyatakan bahwa habitus berfungsi seperti pro-
gram yang memungkinkan adanya ruang bagi kreativitas. Akan tetapi, pembe-
laan bahwa indiviclir ataupun pelaku memiliki kreativitas belumlah mencukupi
untuk menujukkan kemandirian subyek. Subyek di sini, nieskipun merupakan
hasil dari pengkondisian rli dalam nnasyarakat, dianggap tetap dapat berperan
sebagai sumber bagi perubahan sosial, serta kebebasan politik. Hal ini tentunya
sebuah konsistensi internal di dalam pemikiran Bourdieu" Pelaku sosial yang
sudah terbawa arus otomatisme tindakan tidak akan dapat rnengembangkan
kemampuan refleksi yang sama, yang dimiliki oleh pengamat dari luar. Dengan
kata lain, momen pengambilan jarak dan refleksi untuk mengevaluasi praktek-
praktek sosial mutlak diperlukan, sehingga kemungkinan-kemungkinan baru
dapat dikembangkan. Momen pengambilan jarak inilah yang agak lemah di
dalam pemikiran Bourdieu.
Selanjutnya, setelah mengikuti penjelasan di atas, marilah kita mengke-
rucutkan seluruh tulisarr ini untuk menjawab pertanyaan yang penulis ben-
tangkan di bagian awal, yakni apakah ada sesuatu yang dinamakan dengan
'sosial"? Apakah sungguh-sungguh ada sesuatu yang disebut sebagai 'kami'?
Apakah Indonesia dan Etnis Melayu, yang menandakan adanya kolektifitas ini,
sungguh-sungguh ada sebagai fakta, atau hanyalah sebuah hipotesa? Dengan
menimba dari pemikiran Bourdieu, lepas dari kritik yang sudah penulis jelaskan
di bab sebelumnya, dapatlah disimpulkan bahwa kekamian, sosial, lndonesia,
Etnis Melayu, masyarakat, atau dalam terminologi yang lebih abstrak, kolekti-
fitas, itu memiliki unsur inertia yang cukup keras, sehingga tidak dapat melulu
direduksi ke dalam "kepala" pelaku, seperti pendapat Anthony Ciddens. Unsur
inertia itu tampak dari kemampuan dimensi kolektifitas manusia untuk mende-
terminasi kepelakuan dari individu di dalam komunitas" Akan tetapi, unsur iner-
tia tersebut bukanlah unsur yang mati, atau stagnan, melainkan merestrukturasi
dirinya dalam bentuk perubahan habitus, penciptaan habitus baru, yang terjadi
akibat proses interaksi antara pelaku yang kontinu, dan memiliki ruang untuk
mengembangkan kreativitasnya. Artinya, agensi dapat melakukan perubahan
dan proses kreativitasnya dalam konteks habitus yang sudah ada di masyarakat.
Menjadi Manusi a Otentik
110
la dapat mernilih, tetapi piiihan itr.,l bukanlah tak terbatas seolah-olah ia lepas
dari ruang dan waktu konteks sosialnya, melainkan terbatas pada lconteks habi-
tus yang sudah ada di dalam masy313lq31, tempat di mana ia iahir clan irerkem-
bang. Penuiis ambil contoh seorang komponis rnusik, yang berr::;rt menggubah
sebuah kornposisi niusik baru. Kebaruan kor^nposisi tersebut harrya mungkin,
jika sang komponis suciah terlebih dahulu menguasai atilran dasar permainan
piario pada umuntnya, dan tidak bisa tidak. Kebaruarr dan krcativita:; datang,
ketika sang komponis rnencoba rnenggabungkan berbailai
jenis gaya bermain
pianc yang suciah ia ketahui, di sini habitus yang bermacarn-rTiacam adalah
gaya bernrain piano yang bermacam-macam, dan kemudian rnerekomposisi-
kannya secara padat. ltulah kebaruan dan kreativitas, yakni sebagai kornpilasi
padat herbagai habitus yang sudah ada sebelumnya, dan bukan habitus baru,
yang seolah-olah jatuh dari langit.
Tesis ini, menurut penulis, tampak cukup seimbang, terutama untuk ikut
seperti
berpartisipasi di dalam debat tentang problen'ratika tatanan' Akan tetapi,
penulis sudah katakan diatas bahwa problematika tatanan ini merupakan salah
halnya
satu problem "abadi" sepanjang sejarah pemikiran filsafat, maka seperti
sesuatu yang abadi tidak akan pernah selesai, tentunya selanra inasih
ada
segala
jauh.
manusia di dunia ini, maka tesis ini masih terbuka untuk perdebatan lebih
Thomas
Berkenaan dengan ini, penulis kira tepat kalau penulis nnengutip tulisn
'
Aquinas dalam De Caelo et mundo l, 22, Tujuan belajar filsafat bukanlah
untuk mengetahui apa yang dulu pernah dipikirkan manusia tentang banyak
hal,melainkan bagaiman kebenaran perkara-perkara itu digeluti", dan kalau
boleh penulis tambahkan, " selta diberi pertanggungjawaban secara rasional
dan argumentatif". Dengan penuh kerendahan hati, penulis ingin menempat-
pro-
kan jawaban penulis "hanya" sebagai satu tesis untuk mencoba menjawab
blematika tatanan ini.
.l Haryatmoko,
,,Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa. Landasan Teoritis Cerakan Sosial
Menurut Bordieu", Basis, Nomor . 11-12, November-Desember 2003
2 Lihat ibid, hal. 6.
3 Lihat Sciences Hnmanes, numero special, 2002, hal' 9'
Paris' a Decou-
4 Berrrard Lahire, [e Travai sociologique de Pierre Bordieu. Dettes etCritiques,
verte,2001, hal. 15, seperrti dikutip oleh Haryatmoko, op'cit'
hai' 8'
5 Bourclieu dan Wacquant, 1gg2, hal. 5, seperti dikutip Haryatmoko' op'cit'
Paris' PUF'
6 Lihat Patrice Bonnewilz, Premieres /econs sur la sociologie de Pierre Bourdieu,
'1998, hal. 9.
-oo0oo-