Anda di halaman 1dari 15

BilB 10

PIANUSIA DAN IUASYAKAKAI

bab sebelumnya penulis suclah rnengajal< anda merefleksikan makna kerja


di dalam ke-
11ada
lJn'Oronn nranusia. Magnis-Suseno dan Drucker seperrdapat bahwa kerja peker.iaan merupakan
I uro"t. yang sangat menentukan eksistensi diri nranusia. Pada bab ini penulis ingin mengajak
kerangka teori yang di-
anda untuk merefleksikan hubungan manusia dengan masyarakat melalui
rumuskan oleh pierre Bourdieu. Sebagai acuan penulis terinspirasi terhadap
tulisan Haryatmoko
tentang Bourdieu.l
Bukalah halaman
Penulis mengajak anda untuk melihat koran K,:mpas sabtu, 1 April 2006.
Ke "kami" an"' Lihat pula
14, temukan sebuah artikel yang berjudul, "sengketa'sosial" Terpicu oleh
halaman B, pada
halaman 6 pada artikel yang berjudul " lndonesia dan Suaka Politik Papua", dan
Nah, kini penulis me-
artikel yang berjudul "Kepemilikan saham untuk Etnis Melayu Ditingkatkan".
kemudian memper-
ngajak anda untuk mengambiljarak terhadap judul artikel-artikel tersebut, serta
penulis ajukan adalah,
hatikan kata-kata yang plnulis beri tanda bolddiatas. Pertanyaan yang ingin
ada sesuatu yang
apakah ada sesuatu yang clinamakan dengan'sosial"? Apakah sungguh-sungguh
adanya kolel<tifitas
disebut sebagai ,kami'? Apakah lndonesia dan Etnis Melayu, yang menandakan
t<os1 k1t1 y3nS
ini, sungguh-sungguh acla sebagai fakta, atau hanyalah sebuah hipotesa? Di dalam
kolektifitas
lebih abstrak, apakah ada sesuatu yang disebut sebagai kolektifitas manusia? Apakah
berkata bahwa kita
itu merupakan fakta atau hipotesa? Dengan lima pertanyaan ini, penulis berani
yal<ni problem
telah menyinggung salah satu problem'abadi'cli dalarn pergulatan pernikiran filsafat,
tatanan.
problematika tatanan dapatlah dil<atakan merupal<an salah satu problem filosofis terbesar
senada seperti yang
sepanjang sejarah filsafat. Problem tersebut tepat membedah sebuah pertanyaan,
p"nrli, tutls ai paragraf sebelumnya, YanB terkesan sangat aneh, yakni "mengapa ada kolektifitas
masyarakat itu ada?
manusia?" Atau, jikadibahasakan dengan cara lain, yang lebih politis, mengapa
9B Menjadi M anusia Otentik

Bagaimana masyarakat itu terbentuk, dan apakah bentukan masyarakat terse-


but sebuah fakta atau hipotesa? Di telinga orang yang biasa menjalani hidup
kesehariannya secara familiar, pertanyaan tersebut kedengaran bodoh, dan
mengada-ada. Akan tetapi, di telinga seorang teoritikus ilmu-ilmu sosial, per-
tanyaan tersebut mengundang berbagai hipotesa jawaban, yang menyalakan
semacam discursive consciousness di dalam kepalanya. Discursive conscious-
ness ini seakan memaksa sang teoritikus untuk menunda semua pemikiran lain-
nya, dan memfokuskan diri untuk melihat fenomena tersebut. Jawaban yang
diberikan pun beragam. Ada yang berpendapat bahwa masyarakat itu tak lebih
dari sebuah hipotesa, yang sesungguhnya ada di kepala individu dalam bentuk
struktur, atau skema mental, di mana segala tindakan manusia dapat dipahami
dengan mengacu kepada skema mental itu. Ada pendapat lain yang ingin,
katakanlah, "menyelamatkan" ontologi sosial dengan menekankan bahwa ma-
syarakat pada khususnya, dan kolektifitas manusia pada umumnya, memiliki
semacam status ontologi teftentu, yang tidak dapat direduksikan begitu saja
kepada "kepala" individu.

Mari penulis ambil sebuah contoh tentang bagaimana problematik tatan-


an ini dibedah oleh dua pemikir yang berbeda. Anthony Ciddens berpendapat
bahwa yang namanya struktur, yakni skema mental yang membentuk tatan-
an dan memungkinkan tindakan sosial seseorang dapat dimengerti, dibentuk
melalui pemadatan, rutinisasi, dan konkretisasi tindakan sosial agensi secara
bersama dan cukup lama, sehingga memadat menjadi suatu struktur, di mana
segala bentuk tindakan agensi hanya dapat dimengerti daripadanya. Contohnya
adalah sistem bahasa. Di dalam berbahasa, seorang agensi selalu sudah menS-
gunakan kosa kata dan gramatikal bahasa tertentu di mana dia hidup. Artinya,
tindakan berbahasa agensi tersebut hanya dapat dimengerti, jika sistem bahasa
sudah diandaikan ada. Kata-kata orang tersebut, gaya kalimatnya, tidak akan da-
pat dimengerti, jika tidak ada sistem bahasa. Akan tetapi, sistem bahasa tersebut
juga diciptakan melalui proses yang lama dan rutin dari para agensi, yang ber-
komunikasi satu sama lain dengan menggunakan bahasa. Maka, sistem bahasa,
alih-alih dipandang memiliki status ketetapan ontologis tertentu, justru lebih
dipandang berada di dalam "kepala" agensi, karena sewaktu-waktu kosa kata
dan gramatikal bahasa tersebut dapat berubah tergantung kepada penggunaan
bahasa tersebut oleh agensi. Teori ini dapat menjelaskan bagaimana tercipta-
nya bahasa-bahasa "slank", yang notabene berkembang baru-baru ini di dalam
sistem bahasa yang kita gunakan. Dengan demikian, bagi Ciddens, struktur
tersebut lebih merupakan hasil dari tindakan agensi di dalam ruang dan waktu
tertentu, rnaka terletak di dalam "kepala pelaku".
Manusia dan Masyarakat 99

' Kita akan menemukan tesis yang berbeda pada Roy Bhaskar. Bagi dia,
kolektifitas manusia memiliki status ontologinya sendiri yang tetap, dan tidak
melulu terpengaruh oleh agensi. Di samping itu, ia .iuga berpendapat bahwa
agensi juga memiliki ontologi tersendiri, yang tidak juga melulu dapat dilekar
kan kepada kolektifitas, atau struktur. Ontologi struktur dan agensi ini saling
berkaitan satu sama lain. Artinya, yang satu hanya dapat dipahami, jika ada
yang lain. lndividu sudah selalu menemukan dirinya dalam konteks kolektifi-
tas tertentu. Begitu pula, kolektifitas juga sudah selalu mengandaikan adanya
individu-individu yang berinteraksi di dalamnya. Agensi berbahasa hanya da-
pat dipahami, jika sistem bahasa telah terlebih dahulu ada. Begitu juga seba-
liknya, bahasa tidak ada dari kekosongan, melainkan keterulangan dan ruti-
nisasi praktek agensi, yang menggunakan bahasa untuk berkomunikasi satu
sama lain. lndividu sudah selalu ada dan berkembang di dalam suatu struktur
masyaiakat tertentu. Begitu pula masyarakat tidak akan pernah dapat dipahami,
jika tidak ada keterulangan praktek kolektivitas individu, yang berdinamika di
dalam masyarakat tersebut. Ontologi Bhaskar di sini dapatlah dipahami sebagai
ontologi yang bersifat relasional.
Pertanyaan yang kiranya tetap menggantung di kepala kita adalah, apa-
kah masyarakat itu fakta, atau hipotesa? Jika mengikuti main stream yang per-
tama, yakni Ciddens, masyarakat itu adalah sebuah hipotesa, yang ada di dalam
"kepala" individu. Sementara itu, main stream yang ke dua akan mengatakan
bahwa masyarakat memiliki dimensi ontologisnya sendiri, yang memungkin-
kan ia berdiri sebagai sebuah fakta yang cukup padat. Lalu, apakah ada pemiki-
ran yang dapat mendamaikan dua main stream tersebut?

Pada kesempatan ini, penulis akan berupaya untuk menjawab pertanyaan


tersebut dengan menggunakan perspektif Pierre Bourdieu tentang habitus, ka-
rena, menurut penulis, tesis Boudieu tentang habitus sedikit banyak merupakan
tesis yang paling memadai untuk memberikan sintesa terhadap problematika
tatanan. Penulis juga akan berangkat dari suatu kegelisahan yang terjadi, ke-
tika banyak orang salah menafsirkan Bourdieu, setidaknya kesalahan penafsiran
yang terjadi di ruang kelas pasca sarjana STF Driyarkara. Begini, tesis Bour-
dieu tentang habitus banyak disalahpahami sebagai salah satu tesis yang me-
nekankan pentingnya struktur, daripada peran agensi, sehingga agensi tampak
tidak memiliki kebebasan, ataupun daya kreatif tertentu. Pada paper ini, selain
mau menjawab pertanyaan, apakah masyarakat itu fakta atau hipotesa, penulis
iuga ingin meninterpretasi ulang. penafsiran atas tesis Bourdieu tentang habitus
dengan menunjukkan bahwa tesisnya membuka peluang bagi proses kreativitas
dan kebebasan individu. Pada Bourdieu, kebebasan dan kreativitas tidaklah di-
100 Meniadi Manusia Otentik

pahami secara filosofis, yakni sebagai kebebasan yang dapat murni mengambil
jarak, lalu kemudian menciptakan refleksi dan terobosan baru dari pengambil-
an jarak tersebut, melainkan lebih secara 'realistis". Dalam arti, kebebasan dan
kreativitas manusia dalam memilih hanyalah mungkin, jika apa yang dipilihnya
sudah terkandung di dalam habitus lingkungan sosialnya, yang tidaklah tung-
gal, dan bukan sesuatu yang 'tiba-tiba muncul bagaikan wahyu dari Tuhan".
Argumen ini akan penulis kembangkan di seluruh tulisan ini.
Untuk menjawab dua pertanyaan itu secara sistematis, tulisan ini akan
dibagi menjadi empat bagian. Pertama akan dibahas tentang latar belakang
dari ciri khas pemikiran Bordieu. Bagian ke dua akan membahas sejauh mana
Bordieu mampu mengatasi dikotomi antara agensi dan struktur, individu dan
masyarakat. Bagian ke tiga akan mencoba untuk memberikan tanggapan kritis
terhadap tesis Bordieu tersebut. Tulisan ini akan diakhiri dengan kesimpulan,
sekaligus sebuah kemungkinan jawaban atas pertanyaan yang membingkai
seluruh tulisan ini, apakah masyarakat itu fakta, atau hipotesa?

Latar Belakang dan Ciri Khas Pemikiran Bordieu


Pierre Bourdieu adalah seorang sosiolog Perancis dengan latar belakang
pendidikan dan pemikiran filsafat yang sangat kuat. la lahir di Denguin, Pyrenia
Atlantik, Perancis, di sebuah keluarga sederhana. Ayahnya adalah seorang pe-
gawai pos. Ketika muda, Bordieu berhasil memulai pendidikan dengan belajar
di lycee di Pau, kemudian /ycee Louis-le-Gand (Paris), menuju fakultas sastra
di Paris, dan akhirnyadi Ecole Normale Superieure pada 1951. Pada 1955, ia
mendapat agregasi filsafat, dan kemudian diangkat menjadi pengajar di /ycee
Moulins. la kemudian menikah, dan dikaruniai tiga anak laki-laki pada 1962.|a
berpindah-pindah, dan mengajar di fakultas Sastra di Alger 1958-1960, di Lille
1961-1 96t4, dan sejak 1 964 di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Socia/es
(EHESS). Di sana, ia menjabat sekaligus direktur studi, dan direktur pusat ka-
jian sosiologi Eropa, serta majalah Actes de Ia Reserche en Sciences Sociales
(ARSS), yang didirikannya sejak 1975. la diangkat sebagai pakar sosiologi di
College.de France pada 1981. Pada 1993, pusat penelitiannya menerima me-
dali emas dari CNRS (Pusat Riset llmiah Nasional). Pierre Bordieu meninggal
pada 23 Januari 2002.

Sebagai seorang intelektual, ia sangat aktif terlibat di dalam gerakan-ge-


rakan sosial dan politik. ta memberontak terhadap mekanisme-mekanisme do-
minasi sosial, serta membela kelompok-kelopok yang terpinggir dan tertindas.
Salah satu bentuk keterlibatannya adalah ia memimpin sebuah komisi, yang
Manusia dan Masyarakat 101

merefleksikan tentang isi pengajaran di sekolah seturut dengan permintaan pre-


siden Francois Miterrand. la mendukung aksi yang dipelopori mahasiswa dan
siswa SMU, yang menentang adanya kebijakan seleksi masuk universitas. Pada
tahun 1gg5, ketika terjadi pemogokan umum, ia juga ikut mengambil bagian
untuk mendukung para iremogok. Bahkan, ia menandatangani petisi pada Ma-
ret 1996 untuk melakukan pembangkangan sipil melawan hukum pasqua, yang
memperkeras legislasi imigrasi. Masih ada sederetan riwayat keterlibatan Bor-
dieu lainnya.2
Secara umtrm, Bordieu ingin melontarkah'kritik terhadap dampak-dam-
pak negatif pemerintahan sosialiF,,di Perancis, dan menggiringnya untuk kem-
bali menyimak pemikiran-pemikiran kiri. la bahkan menggalang sebuah gera-
kan untuk mqnantang para pakar, wartawan, dan cendekiawan lainnya, yang
telah menjadi kaki tangan dari neo-liberalisme. Oleh karena itu, ia mendirikan
penerbitan Liber, dan dokumentasi Raison d'agir, yang berisi tulisan-tulisan
pendek yang kritis, seperti dalam terbitan conue-feux, yang mati-matian me-
nentang invasi neo-liberalisme. Di Millau, padaJuni 2000, ia berpartisipasi da-
lam pembentukan jaringan Forces critiques et progressistes (kekuatan-kekuatan
kritis dan progresifl untuk berjuang menentang globalisasi ekonomi.3 "Penulis
sendiri adalah korban dan moralisme bebas nilai," tulis Bordieu, "seakan-akan
yang ilmiah tidak memiliki implikasi politik. Lalu penulis menahan diri untuk
tidak terbawa pada konsekuensi penelitian penulis, dan ternyata keliru. Melalui
pengalaman dan tekanan urgensi politik, penulis didorong untuk ikut campur
tangan dalam ranah politik. Seakan-akan orang bisa berbicara tentang ranah
sosial tanpa terlibat di dalam politik."4

Lalu, apa yang sesungguhnya menjadi ciri khas pemikiran Bordieu? Anda
mungkin sudah mencium arahnya, yakni bahwa setiap bentuk pemikiran, re-
fleksi, dan "teks" haruslah merealisasikan rumusannya menjadi suatu tindakan
nyata. Perjalanan intelektual Bordieu diwarnai dengan perubahan arah dari fil-
safat menuju sosiologi. Perubahan ini justru sangat dipengaruhi oleh keprihati-
nan mendasar Bordieu pada lingkup sosial dan hasratnya yang berkobar-kobar
untuk rnendorong perubahan. Pengalaman masa kecilnya hidup di dalam ke-
lompok sosial yang didominasi membuatnya mampu untuk melihat elemen-
elemen kehidupan sosial yang tidak dilihat oleh intelektual lainnya. Di samping
itu, ia juga menolak jika dikatakan bahwa refleksi filosofis-sosiologisnya meru-
pakan proyeksi kebencian kelas yang diakibatkan oleh masa lalunya. Diskursus
yang terjadi di kalangan akademis ilmu-ilmu sosial Perancis membuatnya sam-
pai pada pendapat bahwa teks haruslah tidak steril, teks harus bermetamorfosis
menjadi tindakan. Sosiologinya mencoba untuk juga memberikan kontribusi di
102 Meniadi Manusia Otentik

dalam problematika tatanan dengan berupaya menfembatani dikotomi antara


individu dan masyarakat, pelaku dan struktur. Begini, di satu sisi, tesis Bordieu
mendasarkan praktek individu dan kolektif pada konsep habitus, bagian ini
akan dijelaskan di bab berikutnya, yang juga dibangun dalam konteks sejarah
individual dan kolektif. Di sisi lain, ia juga berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial
juga harus menerapkan prinsip-prinsip ilmiah di dalam pendekatan maupun
refleksinya.

Radikalisme Bourdieu dalam merefleksikan ranah sosial, yang juga di-


dampingi dengan ketajaman serta keketatan analisa berpikir, tampak dalam
kutipan berikut, 'tidak dapat disangkal bahwa perubahan yang tengah terjadi
untuk sampai ke sosiologi bukannya tidak ada hubungannya dengan arah jalur
kehidupan sosial penulis... di Perancis, kenyataan bahwa penulis berasal dari
sebuah propinsi terpencil, terutama karena terletak di Selatan Loire, mencipta-
kan sebuah kesan yang tidak terlalu berbeda dengan situasi kolonial. Hubung-
an eksterioritas antara subyektif dan obyektif sangatlah khusus dengan institusi
pusat masyarakat Perancis khususnya dunia intelektual. Ada semacam suasana
rasisme sosial yang tidak dapat membuat suatu kejernihan berpikir: dengan se-
lal u di i ngatkan rasa keterasi ngannya memungki nkan mel ihat halaman-halaman
orang lain yang tidak dapat melihat atau merasakannya.... Halaman ini untuk
mengatakan bahwa benar penulis merupakan alumnus Ecole Normale Supe-
rieu re yang mengkhianati nya..'s

Konsep Habitus: Upaya Teoritis untuk Menjembatani Dikotomi Antara


Pelaku dan Struktur
Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran Bourdieu membuka
semacam lembaran baru di dalam sosiologi. Lenrbaran baru ini akan semakin
tampak, jika kita membandingkan pemikiran sosialnya dengan beberapa ben-
tuk pemikiran sosial lainnya di Perancis. Patrick Bonnewitz membuat semacam
pembagian aliran pemikiran sosial yang berkembang di Perancis. Pembagian
tersebut tentunya sangat membantu kita untuk melihat seberapa jauh Bourdieu
mengajukan sesuatu yang baru.6 Di samping pemikirannya, ada satu tesis sosio-
logi yang tengah berkembang, yakni individualisme-metodologi, yang dirumus-
kan oleh Raymond Bourdon. Di dalam bukunya yang berjudul La logique du
socialpada 1979, menurut Bourdon, fenomena sosial apapun selalu merupa-
kan hasil dari tindakan-tindakan individual. Maka dari itu, logika tindakan ha-
ruslah dicari pada sisi rasionalitas tindakan para pelakunya. Pendekatan seperti
ini tidak terlalu berbeda dengan pendekatan ekonomi klasik. Bourdieu, dengan
lAi
Manusia dan MasYarakat

pemisahan ketat sernacam ini, yakni


konsep habitusnya, tidak akan menerima
pelaku tersebut'
pelaku sosial dari struktur-struktur yang melingkug:i
"^,"r, Bourdieu adalah
Model ke rjua -vang .!uga rnenjadi latar dari penriklran
ut rionuiir*e Alan Touraine. Penclekatan
ini mernfokuskan dirinya pada gerak-
tersebut di dalam perubahan
an-gerakan sosial, serta rlampak gerakan sosial
,osial. Di dalam bukunya yang berjudul [e retour
de l'acteur pada 1984, Tou-
merupakan obyek yang khas,
raine berpendapat bahwa gerakan-gerakan sosial
Dalam konteks ini' ia
sekaligus masalah yang sentral dalam analisis sosiologi"
perjuangan kelas, dan perilaku ko-
menrbedakan antara konsep gerakan sosial,
Touraine ini'
lektif. Ada baiknya kita sedikit menyimak pendapat
pembedaan Touraine ini didasarkan atas pemahaman bahwa ada tiga
konfliktual, yang dipa-
konflik sosial. Perilaku kolektif adaah tindakan-tindakan
berbagai urc-
hami sebagi upaya untuk mengadaptasi ataupun merekonstruksi
sur yang patclogis di dalam sistem sosial, seperti
nilai, norma, relasi kekuasaan
itu, perjuangan
yanB tidak seimbang, ataupun masyarakat sendiri. sementara
perubahan sebuah ke-
kelas tineiakun soriul-yang berfungsi sebagai mekanisme
putusanpolitis,yaknisebagaiagendariperubahan,atausebagaikekuatanpo.
konfliktual tersebut
litik baru" sedangkan, g*rukun sosial ter.iadi, .iika tindakan
yang terletak dalam
diarahkan untuk *uogubrh hubungan dominasi sosial,
dan norma-norma etika.T
sumber daya budaya, ieperti produksi, pengetahuan,
cenderung menekan-
Model sosiologi yang dikembangkan Touraine ini masih
berbeda dengan pen-
kan pelaku sosial sebagai penentu. l-lal ini tentunya akan
perilaku, gaya hidup,
dekatan Bourdieu, yunl lugu melihat bahwa posisi-posisi,
dan waktu masyara-
dan bahkan selera pelaku juga selalu terkait dengan ruang
kat tertentu, yang menlan8 secara konkret ditempati
oleh pelaku tersebut'
lr4ichael Cro-
Model sosiologi lainnya adalah pendekatan strategis dari
kekuasaan serta
zier. la menekankan analisis terhadap hubungan-hubungan
dari
,uLri u^tura organisasi. Kekuasaan para pelaku sosial, yang diperolehnya
mereka' Akan tetapi
rasionalitas yang sangat terbatas, terletak pada kebebasan
juga sangat tergantung se-
kebebasan tersebut bukanlah satu pihak, melainkan
yang juga mempunyai
cara dialektis dengan strategi yang diterapkan lawannya,
pelaku sangat ditentukan oleh
kebebasan. Oleh karena itu, keberhasilan strategi
strategi yang dilakukan oleh pelaku yang lain, yakni
lawannya. Pemikiran cro-
antara pelaku
zier akhirnya berkembang. Dia tidak lagi menekankan dialektika
yanssatudenganpelakuyanglain,ataulawannya.Didalambukuyangditulis-
ur et le systeme pada
nya bersama dengan Erhard Friedberg dengan iudui l'ac;e
sistem secara lebih
1977,ia mencoba menielaskan dialektika antara :ei:,!<u 'jan
dikembangkan,
memadai, yakni struktur-struktur sosial hanya bisa diciptakan,
104 M e nj ad i M anu si a Orentik

dipertahankan, dan diubah oleh para pelaku sosial. Sebaliknya, walaupun pe'
laku sosial memiliki kebebasan, tetapi ia juga masih dikondisikan oleh struktur-
struktur tersebut. Mirip dengan pendekatan Ciddens, dimensi dualitas perilaku
dan struktur masih sangat kuat di sini.
Pada pemikina.n Bourdleu, ada upaya untuk menyatukan ke clua unsur ter'
sebut. Oleh karena itu, pendekatannya juga dikenal sebagai struktqrrallsrine-ge-
netis, yakni analisis atas struktur-struktur obyektif, yang tidak dapat dIpisahkan
dari analisis atas struktur-struktur mental rjalam individu-individu biologis, yang
sebagiannya merupakan produk ciari struktur-struktur sosial, serta analisis atas
asal usul struktur sosial itu sendiri. Secara gamblang dapatlah terlihat bahwa
Bourdieu berupaya membuka cakrawala baru dalam menganalisis masyarakat.
Untuk dapat mengerti seeara menyeluruh tentang konsep habitus, kita
juga harus sudah mengandaikan bentuk epistemologi sejarah yang dapat
mengungkapkan relevansi praktis suatu bentuk diskursus.s Konsep habitus ini
memberikan suatu bentuk koherensi antara masyarakat dan pelaku. la, konsep
habitus, menjadi perantara antara individu dan kolektifitas. Konsep habitus me-
mungkinkan kita untuk mengerti bagaimana pelaku turut membentuk struktur
sosial, namun logika tindakannya tetap berpijak di dalam struktur sosial yang
telah ada. 'Caya hidup', demikian Bourdieu, 'dipahami sebagai keseluruhan
selera, kepercayaan dan praktek sistematis yang menjadi ciri suatu kelas, ...di
dalamnya terdapat opini politik, keyakinan filosofis, keyakinan moral, selera
estetis, dan juga makanan, pakaian, budaya..'e ltulah yang dimaksud Boudieu
sebagai habitus.

Lalu, bagaimana habitus ini bisa terbentuk, dan kemudian diwariskan?


Menurut Bourdieu, habitus di dalam suatu kelas tertentu terbentuk melalui pro-
ses sosialisasi. Artinya, reproduksi tatanan sosial terjadi dengan bertitik tolak
dari konsep habitus ini. 'setiap sistem disposisi individu" demikian Bourdieu,
"adalah variabel struktural sistem disposisi yang lain, di mana terungkap kekha-
san posisinya di dalam kelas dan arah yang dituju. Gaya pribadi, praktik-praktik
kehidupan ataupun hasil karya, tidak lain kecuali suatu jarak terhadap gaya
khas suatu jaman atau suatu kelas, sehingga gaya itu mengacu kepada gaya
umum, tidak hanya melalui keseragaman, tetapi juga melalui perbedaan yang
menghasiIkan pembawaan tertentu."lo

Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai pengkondisian, yang dikait-


kan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Hasil dari suatu bentuk ha-
bitus adalah sistem-sistem disposisi yang relatif permanen, dan dapat diwa-
riskan. Habitus juga menghasilkan struktur-struktur yang dibentuk, sekaligus
M anusia dan kl asy arakat 105

juga membentul< pelaku, yakni yang nrenjadi primsEp p*r'lggeral< dan pengatur
praktek-praktek sosial. "Hasil suatu habitus", tulis BourCieu, "adalah sistems-
sistem disposisi yang tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang
dibentuk, yang dirnakslrdkan juga l:erfungsi sebagai strulttr:r yang nrernbentuk;
artinya menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktek-praktek hldup dan
representasi-representasi, yang dapat disesuaikan dengan tr-ljuar:tujuan tanpa
nrengandaikan pengarahan tujuan secara sadar dan penguasaan secara sengaja
upaya-upaya yang perlu untuk mencapainya, secara obyektif diatur dan teratur
tanpa harus menjadi huah dari kepatuhan akan aturan-aturan cian secara kolek-
lif diselaraskan tanpa harus menjadi hasil dari pengaturan seorang dirigen."lr
Habitus nrerup:al<an hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis, ti-
<lak selalu disadari, dan kernudian diterjemahkan menjacii suatu kernampilan
yang kelihatannya alaniiah, serta berkembang daiam suatu lingkungan sosial
tertentu.12 Dalarn proses pembentukan ketrampilan tersebut, struktur-struktur
yang dibentuk berubah menjacli struktur-struktur yang membentuk. Begini con-
tr:hnya, seorang pianis baru dapat mulai membuat sebuah komposisi secara
kreatif dan orisinil, setelah ia cukup lama melatih diri, dan kemudian mengua-
sai aturan-aturan dalam komposisi dan harmoni tersebut. Nah, hanya setelah ia
mulai membatinkan tandatanda dan pembatasan musikalah (struktur-struktur
yang sudah dibentuk), sang pianis tersebut dapat menyusun sebuah komposisi,
mencipta, dan berimprovisasi melampaui komposisi yang sudah ada (struktur-
struktur yang membentuk).
Hal yang sama juga terjadi dalam konteks penguasaan bahasa, penuli-
san, ataupun pemikiran. Seorang seniman, sastrawan, penulis, ataupun pemikir
mampu menciptakan karya-karya jenius mereka, karena tidak lagi menyadari
tanda-tanda ataupun gaya, yang sudah dipadatkan dan terintegrasi di dalam
dirinya. Dengan begitu, kebebasan kreatif yang sering diagung-agungkan oleh
para jenius, sesungguhnya, merupakan hasil dari pembatasan struktur-struktur.
Dengan demikian, habitus juga berfungsi sebagai sumber penggerak tindakan,
pemikiran, ataupun representasi.
Habitus juga merupakan kerangka penafsiran untuk memahami dan me-
nilai realitas, sekaligus juga penghasil praktek-praktek kehidupan yang mem-
bentuk dan menyesuaikan diri dengan struktur-struktur obyektif. Dua hal ini
sama sekali tidak bisa dipisahkan. Kepribadian seseorang didasarkan pada ha-
bitusnya. Pembentukan dan berfungsinya habitus dapat dibayangkan sebagai
sebuah lingkaran, yang tidak diketahui ujung pangkalnya. Di satu sisi, habitus
sangat memperhitungkan hasil dari keteraturan perilaku manusia, di sisi lain,
perkembangan dan lahirnya habitus menyandarkan dirinya pada improvisasi
1A6
Menj adi M anu si a atentik

struktur aturan yang ada, jadi bukan pada kepatuhan pada struktur maupun atu-
ran yang sudah ada. Dengan demikian, di dalam habitus, ada dua gerak timbal
balik, yakni pertama adalah struktur obyektif yang dibatinkan, ke dua adalah
gerakan subyektif, seperti persepsi orang, evaluasi, yang menyingkapkan ha-
jelas
sil dari pembatinan. Dalam konteks inilah proses sosialisasi dapat lebih
dipahami. Habitus di sini mengandaikan seluruh proses pembatinan, di mana
dengan cara itu, setiap individu membuka dan melatih diri dalam hubungan-
hubungan sosial, nilai-nilai, serta keyakinan masyarakat di mana dia hidr"lp"
Nilai dan norma yang ada di masyarakat akan membentuk habitus yang
berupa etos. Artinya, habitus berupa etos tersebut akan membentuk individu
dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang dipraktekkan, juga dengan bentuk
moral yang diinternalisasikan dan tidak disadari, namun rnembentuk perilaku
sehari-hari. Begini, ambil contoh tentang sifat yang terdapat di dalam diri seseo-
rang, seperti rajin, ulet, jujur, licik, cerdas, berani, dan murah hati, yang meru-
pakan habitus berupa etos, dan terbentuk dari proses ketimbalbalikan antara
diri dengan komunitas di mana individu itu hidup. Ada bentuk habitus lain,
yakni habitus badaniah. Habitus badaniah berhubungan dengan sikap ataupun
posisi khas tubuh, disposisi badan, yang kesemuanya itu dipelajari dan diin-
ternalisasikan oleh seorang individu ke dalam dirinya melalui proses seumur
hidupnya, seperti kebiasaan ber.ialan tegak, mudah bergaul, mata yang selalu
memandang ke bawah, dan sebagainya.

Dimensi pertama habitus tersebut terdiri dari dialektika hubungan antara


yang subyektif, pada individu, dengan yang obyektif, pada struktur komunali-
prak-
tas. Di samping itu, dimensi pertama habitus ini juga terdiri dari dimensi
seologis, yang merupakan orientasi sosial, dan dimensi afeksi, seperti cita-cita,
selera, dan sebagainya. Dua dimensi ini menggambarkan adanya semacam dis-
posisi seseorang atau suatu kelas sosial, yang turut serta menentukan arah
orientasi sosial, cita-cita, selera, cara berpikir, etos, dan sebagainya. Yang di-
maksud dengan disposisi itu adalah sikap, kecenderungan dalam mempersepsi,
merasakan, melakukan, dan berpikir, yang diinternalisasikan oleh seorang in-
dividu sebagai akibat dari interaksi dengan masyarakatnya. Selain itu, disposisi
juga berfungsi sebagai prinsip tak sadar dari semua tindakan, persepsi, dan re-
juga turut
fleksi. Dengan demikian, disposisi yang sudah ada sebelumnya akan
menentu kan bentuk-bentu k terci ptanya d isposi si-d isposi si yan g baru.

Dalam konteks problematika tatanan, habitus dapatlah dipandang seba-


gai struktur internal yang selalu berada dalam pembentukan terus menerus'
Jadi, segala bentuk praktek sosial yang dilakukan manusia tidak
sepenuhnya
M an u si a gtsn &y';i_cyara lia r I07

ditentukan, karena pelal<rr lrisa memilih, tetapi jugr liria!< sepr:nxhnya bebas,
karena segala pililran yang tersedia ditentukan oleh l'rabitus" Flah, manusia,
dengan tidak Iagi p*rlr.r untuk mencari malcnr ataupun rnr'r:1railari makna dari
tilrilakannya, rneririrlii,:r li;i:iIrt:;, ]rang marnpu rn€n13Sei;rl<;il;, rilengo:"ientasikan,
serta men'ibudtny'"l uertirrr-ial< sesu;ii dengan positi yang clitc:rnp;atinya dalam
Iingkup sosial, )';tnH JLiH,.r sr:suai dengan logika ruang ddn uri,,*;i sosial yang
melingkupinya. Al<niri Le{a5;i, harus juga disadari bahrva d!:;pcsisi yang dimi-
liki manusia bukeiri.rh sesuatu;rang terberi, atau terbentirk, begitu saja serta
nlr"rdah tliubalr sesi,;,ri rlengan situasi dan l<ebutuhan, rrr*iaini<an juga tmemiliki
suatu unsur inerria yang rnewarnainya. Mari kita lihat apa yang telah ditulis
oleh Bourdieu. "i-"lal ini ([rahitus RAW) tarnpak dari pilihan tei"hadap tempat/
peristiwa, maupun or;rn& yang rjikunjungi, habitus cenderung meiindungi diri
terhadap krisis dan rJari yang mempertanyakan secara kritis dengan menjamin
diri dalam lingkungan i,;rng sedapat mungkin sudah disesuaikan, artinya dunia
yang cukup stabil yang ai<an semakin memperteguh diposisi-disposisiflya"'rtr

ini dirumuskan dengan tu.iuan untuk mengatasi


Konsep tentang habitus
dualisme kebebasan darr deterrninisme manusia. Di satu sisi, konsep ini tidak-
lah terlepas dari suatu bentuk determinisrne yang seolah-olah 'mengurung'
tindakan-tindakan manusia dalam tonggaktonggak pernbatas. Di sisi lain, kon-
sep habitus ini juga membuka peluang bagi konsep individu otonom yang be-
bas dan rasional. Begini penjelasannya, setiap orang selalu sudah dikondisikan
oleh lingkungannya. Semua tindakannya diarahkan oleh rutinitas tindakannya.
Akan tetapi, kebiasaan kita dalam bekerja dapatlah dibayangkan sama seperti
sebuah program yang merniliki kemampuan kreatif dan strategis, dan eksis di
dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Bourdieu sendiri menyatakan, "sebaga!
skema pendorong yang diperoleh, habitus memungkinkan kreatifitas pemikir-
an, seluruh persepsi dan tindakan yang tercetak dalam pembatasan yang mele-
kat pada kondisi khas produksinya. Sebagai kemampuan pendorong yang tak
terbatas namun juga dihatasi, habitus mencoba untuk mengatasi determinisme
dari kebebasan, pengkondisian dan kreatifitas, kesadaran dan ketaksadaran,
atau individu dan masyarakat."la

Rumusan tersebut terkesan sangat rumit. Akan tetapi, walaupun dengan


resiko reduksi yang cukup besar, kita bisa menjaring esensi rumusan tersebut,
yakni habitus sebagai gugus kebiasaan yang melingkupi keseharian individu
di dalam rutinitasnya. Habitus adalah gugus kebiasaan. Akar katanya adalah
bahasa Latin, yang berarti kebiasaan, pembawaan, atau penanrpilan diri. Ke-
semuanya mau menunjuk kepada kecenderungan atau pembavuaan diri yang
telah menjadi insting perilaku dan telah mendarah daging, yakni semacam
/41-

lud M e n i ad i Man r:sr:l {s r.e nt.i k

pemadatan dari cara kita merasa, memandang, mendekati, bertirrdak, atatlpun


berinteraksi dalam kondisi suatu masyarakat sehari-hari. Dalari"r arti ii-li, l-rah:itns
dapat digunakan secara netral, baik untuk Bugus kebiasa-an terpuji r'n'.]i'iirLiil ter'
cela.,5 l{ah, sebagai pemadatan dari kebiasaan kita dalam metrasd, rrlt'iriir'idril$,
bertindak, dan berinteraksi, habitus memiliki sifat spontan serta ticiak disaciari
perilakunya, sehingga kurang juga disadari apakah kebiasaan itu i:ark atau ti-
dak. ,,orang" demikian Herry Priyono, "tidak sadar akan haLritusnya, *ebagai-
mana orang tidak sadar akan bau mulutnya."16

Tanggapan Kritis Atas Pemikiran Bourdieu


Marilah kita sedikit mengambil jarak terhadap apa yang telah dirumus-

tus sesungguhnya mau menjelaskan mengapa individu di dalam masyarakat


bertindak sesuai dengan skema yang sudah ada sebelumnya, serta cenderUng
untuk mereproduksi relasi-relasi sosial, yang ditandai dengan adanya dominasi
kelompok tertentu terhadap kelompok yang lain. Dalam hal ini, sistem dispo=
sisi yang telah berlangsung lama dan dapat diwariskan pada setiap individu
merupakan faktor yang menentukan serta melanggengkan secara tidak disadari'
Menurut Bourdieu, ada habitus individual, sekaligus ada habitus kelas' Yang
menjadi tanggapan kritis utama dalam tesis ini adalah bahwa kesatuan dispo-
sisi-disposisi, proses keberlangsungannya selama hidup, serta pengaruhnya
terhadap kehidupan sehari-hari, yang tidak selalu tunggal, searah, dan sarna'
Kita harus lebih jeli melihat "gugus kebiasaan" yang tengah berlangsung di
da-

lam ruahg publik masyarakat kita. Dengan kata lain, sesungguhnya ada berba-
gai sumber, di mana orang bisa dibentuk, mempelajari, serta ikut membentuk
habitus yang ada, seperi keluarga, sekolah, kerja, dan media. Pola sosialisasi
di dalam keluarga misalnya, proses interaksi dan sosialisasi di dalam keluarga
bukanlah prorui sosialisasi yang homogen, tetapi mosaik, di mana ayah bisa
saja tidak bisa membaca, ibu adalah dosen universitas, anak perempuan
adalah
murid sD, dan anak-anak lainnya yang juga mungkin berhasil, atau mungkin
yang
tidak, dalam proses belajarnya. Yang mau dikatakan di sini adalah bahwa
mempengaruhi seseorang berasal dari relasi-relasi yang beragam, yang mosa-

ik, sehingga menjanjikan masa depan yang juga sangat beragam. Dengan de-
mikian, orang, dalam sebuah keluarga, dapat melewati proses sosialisasi yang
pada
begitu beragam, walaupun posisi awal keluarga dalam hirarki sosial sama
yang
awalnya.lT Proses sosialisasi yang mosaik tersebut menciptakan habitus
juga mosaistis, yang terpecah, berbeda-beda, sehingga hampir tidak dapat di-
kelompokan dalam satu konsep, yakni habitus kelas tertentu, ataupun habitus
Manusia dan Masyarakat ta9

individual tertentu.
Selain itu, konsep habitus yang dirurnuskan dan dielaborasi secara brilian
oleh Bourdieu juga tampak jatuh pada satu sisi, yang me\/arnai perdebatan fi-
losofis "abadi" daiarn k*nteks problematika tatanan. Sisi itu adalah mereka-me-
reka yang terlalu menitikberatkan pada struktur. Begini, pandangan Bourdieu
tentang perilaku sosial terlalu menitikberatkan pada deterrniirisme budaya kelas
asalnya, status sosialnya, dan posisinya di dalam strata sosia!. l{esan determinis
ini semakin terlihat, ketika ia menyatakan bahwa habitus berfungsi seperti pro-
gram yang memungkinkan adanya ruang bagi kreativitas. Akan tetapi, pembe-
laan bahwa indiviclir ataupun pelaku memiliki kreativitas belumlah mencukupi
untuk menujukkan kemandirian subyek. Subyek di sini, nieskipun merupakan
hasil dari pengkondisian rli dalam nnasyarakat, dianggap tetap dapat berperan
sebagai sumber bagi perubahan sosial, serta kebebasan politik. Hal ini tentunya
sebuah konsistensi internal di dalam pemikiran Bourdieu" Pelaku sosial yang
sudah terbawa arus otomatisme tindakan tidak akan dapat rnengembangkan
kemampuan refleksi yang sama, yang dimiliki oleh pengamat dari luar. Dengan
kata lain, momen pengambilan jarak dan refleksi untuk mengevaluasi praktek-
praktek sosial mutlak diperlukan, sehingga kemungkinan-kemungkinan baru
dapat dikembangkan. Momen pengambilan jarak inilah yang agak lemah di
dalam pemikiran Bourdieu.
Selanjutnya, setelah mengikuti penjelasan di atas, marilah kita mengke-
rucutkan seluruh tulisarr ini untuk menjawab pertanyaan yang penulis ben-
tangkan di bagian awal, yakni apakah ada sesuatu yang dinamakan dengan
'sosial"? Apakah sungguh-sungguh ada sesuatu yang disebut sebagai 'kami'?
Apakah Indonesia dan Etnis Melayu, yang menandakan adanya kolektifitas ini,
sungguh-sungguh ada sebagai fakta, atau hanyalah sebuah hipotesa? Dengan
menimba dari pemikiran Bourdieu, lepas dari kritik yang sudah penulis jelaskan
di bab sebelumnya, dapatlah disimpulkan bahwa kekamian, sosial, lndonesia,
Etnis Melayu, masyarakat, atau dalam terminologi yang lebih abstrak, kolekti-
fitas, itu memiliki unsur inertia yang cukup keras, sehingga tidak dapat melulu
direduksi ke dalam "kepala" pelaku, seperti pendapat Anthony Ciddens. Unsur
inertia itu tampak dari kemampuan dimensi kolektifitas manusia untuk mende-
terminasi kepelakuan dari individu di dalam komunitas" Akan tetapi, unsur iner-
tia tersebut bukanlah unsur yang mati, atau stagnan, melainkan merestrukturasi
dirinya dalam bentuk perubahan habitus, penciptaan habitus baru, yang terjadi
akibat proses interaksi antara pelaku yang kontinu, dan memiliki ruang untuk
mengembangkan kreativitasnya. Artinya, agensi dapat melakukan perubahan
dan proses kreativitasnya dalam konteks habitus yang sudah ada di masyarakat.
Menjadi Manusi a Otentik
110

la dapat mernilih, tetapi piiihan itr.,l bukanlah tak terbatas seolah-olah ia lepas
dari ruang dan waktu konteks sosialnya, melainkan terbatas pada lconteks habi-
tus yang sudah ada di dalam masy313lq31, tempat di mana ia iahir clan irerkem-
bang. Penuiis ambil contoh seorang komponis rnusik, yang berr::;rt menggubah
sebuah kornposisi niusik baru. Kebaruan kor^nposisi tersebut harrya mungkin,
jika sang komponis suciah terlebih dahulu menguasai atilran dasar permainan
piario pada umuntnya, dan tidak bisa tidak. Kebaruarr dan krcativita:; datang,
ketika sang komponis rnencoba rnenggabungkan berbailai
jenis gaya bermain
pianc yang suciah ia ketahui, di sini habitus yang bermacarn-rTiacam adalah
gaya bernrain piano yang bermacam-macam, dan kemudian rnerekomposisi-
kannya secara padat. ltulah kebaruan dan kreativitas, yakni sebagai kornpilasi
padat herbagai habitus yang sudah ada sebelumnya, dan bukan habitus baru,
yang seolah-olah jatuh dari langit.

Tesis ini, menurut penulis, tampak cukup seimbang, terutama untuk ikut
seperti
berpartisipasi di dalam debat tentang problen'ratika tatanan' Akan tetapi,
penulis sudah katakan diatas bahwa problematika tatanan ini merupakan salah
halnya
satu problem "abadi" sepanjang sejarah pemikiran filsafat, maka seperti
sesuatu yang abadi tidak akan pernah selesai, tentunya selanra inasih
ada
segala
jauh.
manusia di dunia ini, maka tesis ini masih terbuka untuk perdebatan lebih
Thomas
Berkenaan dengan ini, penulis kira tepat kalau penulis nnengutip tulisn
'
Aquinas dalam De Caelo et mundo l, 22, Tujuan belajar filsafat bukanlah
untuk mengetahui apa yang dulu pernah dipikirkan manusia tentang banyak
hal,melainkan bagaiman kebenaran perkara-perkara itu digeluti", dan kalau
boleh penulis tambahkan, " selta diberi pertanggungjawaban secara rasional
dan argumentatif". Dengan penuh kerendahan hati, penulis ingin menempat-
pro-
kan jawaban penulis "hanya" sebagai satu tesis untuk mencoba menjawab
blematika tatanan ini.

Pertanyaan-pe rtanyaan Reflektif


. manusia, dan berikan con-
1 Jelaskan pandangan Giddens tentang kolektifitas
toh secukupnya!
2. Berikan tanggapanmu Secara rasional dan sistematis terhadap pandangan
Ciddens tersebut!
3. manusia, dan berikan
Jelaskan pandangan Bourdieu tentang kolektivitas
contoh secukuPnYa!
4. Berikan tanggapan rasional dan sistematis terhadap pandangan Bourdieu
tersebut!
111
Manusia dan MasYarakat

.l Haryatmoko,
,,Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa. Landasan Teoritis Cerakan Sosial
Menurut Bordieu", Basis, Nomor . 11-12, November-Desember 2003
2 Lihat ibid, hal. 6.
3 Lihat Sciences Hnmanes, numero special, 2002, hal' 9'
Paris' a Decou-
4 Berrrard Lahire, [e Travai sociologique de Pierre Bordieu. Dettes etCritiques,
verte,2001, hal. 15, seperrti dikutip oleh Haryatmoko, op'cit'
hai' 8'
5 Bourclieu dan Wacquant, 1gg2, hal. 5, seperti dikutip Haryatmoko' op'cit'
Paris' PUF'
6 Lihat Patrice Bonnewilz, Premieres /econs sur la sociologie de Pierre Bourdieu,
'1998, hal. 9.

7 Lihat Alain Touraine, Le retour de l'acteur, Paris, Fayard, 1984,hal'


142'

B Lihat Bourdieu, Le sens pratique, Paris, Minuit,1980, hal' 91'


1994, hal'
9 Lihat Fierre Bourdieu, Raisons pratiques.Sur lathlorie de l'action, Paris, Seuil,
23.
'l
0 Bourdieu, i980, hai. 101 '
1 1 /bid, hai. 88-89.

12 Bourdieu , 1994, hal. I6-1 7'


1 3 Bou rd ieu, 1 980, hal. 1 02.
14 tbid, hal . 92.
15 Lihat Herry Priyono, "Habitus Baru", Kompas 2 .lanuari 2006'
16 lbidem"
1 7 Lihat, Haryatmoko, 2003, hal.22.

-oo0oo-

Anda mungkin juga menyukai