Anda di halaman 1dari 12

RESUME

“Logika Praktis”

Disusun untuk memenuhi tugas tertulis dari mata kuliah Logika

Dosen Pengampu: Dr. Muhsin Labib, MA.

Oleh:

Muhammad Rio Alfin Pulungan

Jurusan Filsafat Islam

Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra

Jakarta
PENDAHULUAN

Dari filsafat manusia belajar membangun logika berpikir yang konstruktif.


Filsafat juga mengjarkan kita untuk bepiki kitis dan tidak mudah percaya pada
klaim apapun sebelum ada proses dialektika lebih lanjut. Dalam proses tersebutlah
kita membutuhkan alat atau metode berpikir yang konstruktif guna membangun
argument yang kokoh. Metode berpikir yang dimaksud adalah logika.

Banyak orang belajar logika karena tuntutan kurikulum di sekolah ataupun


kampus. Lebih banyak lagi yang beranggapan logika itu alami, jadi tidak perlu
dipelajari. Ada juga yang mermehkan bahkan bahkan mengolok-ngolok logika
sebagai sesuatu yang tidak dipelukan oleh orang pintar dan tidak ada manfaatnya
bagi orang bodoh. Tentu itu anggapan yang keliru.

Logika yang diampu oleh Dr. Muhsin Labib di STFI Sadra tidak hanya
memperkenalkan kaidah bepikir yang dikenal dalam tradisi intelektual Islam,
tetapi juga melatih keterampilan berpikir kritis baik yang lebih menekankan pada
sisi praktis. Kuliah logika penting agar kita tidak hanya menerka berdasarkan
naluri belaka, apalagi menarik kesimpulan tanpa aturan. Dengan logika, kita akan
mengasah kemampuan menalar berbagai persoalan dengan baik agar terhindar
dari berbagai kekelirun (error) dan pengeliruan (confusion) yang sengaja maupun
yang tak disengaja, yang disadari maupun yang kurang atau bahkan tidak disadari,
apalagi di zaman derasnya informasi seperti sekarang.

Karena kuliah logika yang dipelajari selama matrikulasi ini bersifat praktis,
maka rangkuman-rangkuman yang dimuat dalam artikel berikut hanya akan
membahas beberapa teori utama dalam logika, yang terdiri dari: Konsepsi, Ada
dan Tiada, Signifikansi, Koheren, Koresponden, Inheren (Proposisi A-priori) dan
Ekstern (Proposisi A-posterioi).
RESUME KULIAH LOGIKA || 05 April 2019
Pertemuan ke-2
Dosen Pengampu: Dr. Muhsin Labib
KONSEPSI

Pertemuan kedua kuliah logika membahas secara praktis tentang Konsepsi.


Konsepsi atau yang biasa disebut konsep adalah forma dalam pikiran yang
merupakan tiruan dari objek.1 Artinya objek yang berada diluar pikiran, ditangkap
melalui indera yang kemudian diolah dalam akal dan membentuk sebuah
gambaran tentang objek tersebut, inilah yang disebut dengan konsep. Konsep
sebagai sebuah gambaran dalam pikiran manusia membutuhkan nama, karena
apabila tidak ada nama, maka kita tidak bisa mengenali konsep, dan yang pastinya
berdampak pada interaksi kita pada orang lain.

Manusia adalah makhluk yang berperadaban, oleh karenanya membutuhkan


nama. Ketika seseorang mengatakan sebuah nama, maka ia telah mengemukakan
suatu konsep. Konsep diperlukan agar kita bisa memahami apa yang dialami
orang lain. Kita tidak bisa memahami apa yang dialami orang lain tanpa adanya
konsep. Oleh karena itu, konsep diperlukan agar manusia satu sama lain dapat
saling memahami isi pikiran.

Contoh mengenai konsep, Saya berkata: “Tolong ambilkan buku saya”.


Disini jelas, saya telah mengemukakan sebuah konsep yang bernama buku. Ketika
saya perintahkan pada seseorang untuk mengambil buku, maka ia akan
menggambarkan dalam isi pikirannya bahwa buku itu adalah sebuah kertas yang
berlapis-lapis yang berisi tulisan atau kosong.

Dalam contoh diatas, seseorang memahami konsep tentang buku


berdasarkan indera, yakni penglihatan. Oleh karenanya ia memahami buku
sebagai sebuah konsep yang ia tangkap melalui inderanya berarti ia membangun

1
Syaikh Falah al-Abidi dan Sayyid Sa’ad al-Musawi, Logika, Sebuah Daras Ringkas,
Sadra Press, Jakarta, 2018, hlm. 31
konsep secara empiris. Indera yang menangkap sebuah objek kemudian
membentuk konsep memiliki dua kriteria:

1. Konsep Fisikal
2. Konsep Mental

Konsep fisikal adalah objek benda itu sendiri, sementara konsep mental
adalah gambaran objek yang berada dalam rasio/pikiran. Murtadha Muthahhari
menyebutkan tentang dua hal diatas sebagai eksistensi realitas eksternal dan
eksistensi mental.2 Eksistensi eksternal yaitu keberadaan sebuah objek yang ada di
luar dan terlepas dari mental manusia, sementara eksistensi mental adalah kita
membayangkan objek eksternal tadi dalam alam pikiran hingga muncul eksistensi
baru dalam mental kita. Artinya, eksistensi mental kita adalah pantulan dari
eksistensi eksternal. Eksistensi mental tidak mungkin terwujud jika tidak ada
eksistensi eksternal. Dalam kaitannya mengenai eksistensi mental, Murtadha
Muthahhari menyebut eksistensi tersebut sebagai sebuah bentuk eksistensi yang
sifatnya metaforis,3 bukan eksistensi yang hakiki.

2
Murtadha Muthahhari, Pengantar Filsafat Islam, Filsafat Teoritis & Filsafat Praktis,
penerjemah: M. Ilyas, RausyanFikr Institute, Yogyakarta, 2017, hlm. 69
3
Ibid. hlm. 69
Resume Kuliah Logika Pertemuan ke-3

“ADA & TIADA”

Ada adalah level predikat yang paling dasar bagi setiap materi. Ada
merupakan kajian ontologi dalam filsafat. Yakni “ilmu tentang yang ada, yang
membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality, baik yang
berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.”4 Dengan kata lain ontolog
merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang hakikat sesuatu, pertanyaan
yang paling mendasar dari ontologi adalah, “apa itu?”. Contoh “apa itu kursi”,
apa aksidennya? Apa substansinya?”

Segala sesuatu itu pasti ada aspek ontologinya, artinya segala materi
memiliki wujudnya. Bila tidak ada, berarti sama saja tidak ada objek, atau sesuatu
yang tiada, dan ini mustahil bagi tiap-tiap objek yang berpredikat ada.

Ada merupakan first order predicate dari segala sesuatu yang sifatnya
mendahului. Karena ada bersifat mendahului, maka syarat pertama untuk segala
sesuatu adalah “ada”. Sesuatu yang tidak didahului first order predicate maka ia
tidak dapat diketahui. Segala sesuatu yang dapat diketahui atau dapat disebutkan
itu berarti “ada”.

"Ada" mengiringi hidup setiap manusia. Apapun yang dibayangkannya,


dipikirkan dan dilakukan tak bebas dari "ada" bahkan saat memikirkan
hal-hal yang dianggapnya mustahil dan tiada. Sedemikian mengakarnya
"ada" sehingga ia menetap lestari dalam slot bawah sadarnya. Dan
karena itu pula, setiap manusia tak memikirkannya bahkan
melupakannya bahkan kadang menganggapnya tiada.5

Artinya, predikat “ada” adalah keniscayaan bagi wujud materi, sedemikian


pastinya hingga bila kita membayangkan sesuatu apapun dalam alam khayal,
sejatinya ia “ada” walau bukan riil dalam dunia nyata.

4
Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu, Prenadamedia Group, Jakarta, 2018, hlm. 50
5
Muhsin Labib, “Ada dan Apa”,
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=102183534377
64970&id=1163109407, diakses 05 Mei 2019 pukul 21.43
Dalam pemikiran pada umumnya, jika suatu objek dianggap ada maka objek
tersebut eksis secara nyata. Artinya objek tersebut dapat dilihat, disentuh maupun
dirasakan keberadaannya. Sedangkan yang tidak ada berarti nihil, atau tidak
nampak, tidak dapat disentuh dan dirasakan keberadaannya. Dengan kata lain
Tiada adalah kebalikan dari ada, jika semua yang dapat disebut dan diketahui
dinamakan ada, maka “tiada” adalah segala sesuatu yang tidak dapat disebut
maupun diketahui.
Resume Kuliah Logika ke-4

“Signifikansi, Koheren dan Koresponden”

A. Signifikansi (Tanda atau Dalalah)

Dalam ilmu Logika (Manthiq), signifikansi adalah bahasan tentang Dalalah


atau yang lebih populer dengan istilah tanda dan penanda.

Definisi tanda (Dalalah) adalah perpindahan pikiran dari membayangkan


objek tertentu ke membayangkan objek lain yang memiliki hubungan diantara
keduanya.6 Dalalah disebut juga dengan petunjuk atau indikator, yakni suatu
petunjuk yang dipakai untuk sesuatu arti, sesuai dengan petunjuk yang melekat
padanya.7 Maksudnya adalah sesuatu itu dapat diketahui keterangannya jika ada
suatu petunjuk yang berkaitan dengan hal itu.

Contoh: “Ditengah hutan terdengar suara meraung.”

Nah, “terdengar suara meraung disini” merupakan dalalah (petunjuk/indikator)


adanya binatang buas di hutan (Seperti Harimau atau Beruang).

Kembali pada definisi pertama, bahwa Dalalah disebutkan memiliki 2 objek,


atau kita katakan disini adalah unsur, yakni:

Unsur Pertama, Penanda (dall), yakni petunjuk, penjelas atau yang memberi
dalil.

Unsur Kedua, Petanda (madlul), yaitu yang ditunjuk, dijelaskan atau diberi dalil.8

Maka setelah diketahuinya petunjuk (al-dall), pikiran manusia tertuju pada


objek yang ditunjuk (al-madlul) sehingga dapat mengetahui hakikat dari hal yang
ditunjukkan oleh dalalah tersebut.

6
Syaikh Falah al-‘Abidi & Sayid Sa’ad al-Musawi, Logika, Sebuah Daras Ringkas,
Penerjemah Irwan Kurniawan, Sadra Press, Jakarta, 2018, hlm. 29
7
Muhammad Ma’shum Zaini al-Hasyimiy, Teori Berfikir Logis, Pengantar Memahami
Nadzom Sulam al-Munauroq, Darul Hikmah, Jombang, 2008, hlm. 22
8
Damanhuriy, Ahmad, Idloh al-Mubham, dalam Muhammad Ma’shum Zaini al-Hasyimiy,
Ibid., hlm. 22
Pembahasan Dalalah dalam ilmu logika sangat penting, karena aplikasinya
adalah untuk menunjukkan makna yang terkandung dalam suatu komunikasi.
Disamping itu untuk mengkomunikasikan atau menyampaikan suatu makna, cara
yang paling sering digunakan adalah bahasa dengan kata-kata sebagai alatnya.
Dengan demikian, bahasa sangat berkaitan dengan tanda (dalalah), karena ketika
kita ingin memberikan tanda dari sesuatu, yang kita gunakan untuk
menyampaikannya adalah bahasa atau kata-kata. Menggunakan kata-kata pun
harus sedapat mungkin memilih diksi yang tepat agar tidak terjadi
kesimpangsiuran dalam memberikan tanda.

B. Koherensi dan Korespondensi

Koherensi dan Korespondensi sebenarnya masuk dalam wilayah filsafat ilmu


(epistemologi), dimana 2 teori ini adalah cara berpikir yang ditempuh untuk
memperoleh kebenaran. Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Dan
kebenaran harus ditempuh dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan
melalui pengalaman empiris.

Dikalalangan para masyarakat Barat, pemikiran yang sistematis, radikal dan


kritis seringkali merujuk pengertian yang ketat dan harus mengandung kebenaran
logis. Misalnya, aliran Empirisme dan Positivisme. Filsafat Analitik memberikan
kriteria bahwa pemikiran dianggap filsuf jika mengandung kebenaran
korespondensi dan koherensi.9

Korespondensi yakni sebuah pengetahuan dinilai benar jika pernyataan itu


sesuai dengan kenyataan empiris. 10

Contoh: Jakarta adalah ibukota dari negara Indonesia.

Jelas sesuai kenyataan empirisnya, bahwa pengetahuan kita tentang Jakarta


memang ibukota bagi Indonesia. Akan tetapi jika kita sebutkan ibukota Indonesia

9
Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu, Prenadamedia Group, Jakarta, 2018, hlm. 7-8
10
Ibid., hlm. 8
adalah Bandung, maka ini bernilai salah karena pernyataan tersebut tidak sesuai
atau tidak berkoresponden dengan kenyataan empiris di lapangan.

Sementara itu, yang dimaksud dengan koherensi adalah sebuah pernyataan


dinilai benar jika pernyataan itu mengandung koherensi (dapat diuji dengan
logika.)11 Koheren lebih kita kenal dengan konsisten, yakni konsisten antara suatu
pernyataan dengan pernyataan lainnya yang lebih dulu diketahui. Suatu proposisi
itu berhubungan (koheren) dengan proposisi-proposisi yang lainnya.

Contoh:

Fulan adalah manusia


Setiap manusia pasti mati
Maka Fulan pasti mati.

Dapat kita perhatikan proposisi pertama diatas bersesuaian/konsisten/koheren


dengan proposisi-proposisi sesudahnya, yang menandakan bahwa pernyataan
tersebut bernilai benar. Dengan demikian, suatu pernyataan adalah benar apabila
konsisten/koheren dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita terima
dan kita ketahui kebenarannya.

11
Ibid.
Resume Kuliah Logika ke-5

“Inheren (Proposisi A-priori) dan Ekstern (Proposisi A-


posterioi)”

Sebagai sebuah syarat untuk berpikir logis dalam ilmu logika, salah satunya adalah
harus mengetahui signifikansi, makna, dan kata. Setelah itu semua terpenuhi, maka kita
bisa menghasilkan output-nya berupa karya atau berbuat dengan tindakan yang logis.

Resep logika diatas terkumpul dalam sebuah premis yang selalu kita pakai dalam
berargumen. Argumen yang kita gunakan tentu membutuhkan premis yang terbukti
memiliki ukuran kebenaran. Ukuran kebenaran yang menurut ilmu logika inilah yang
berikutnya dinamakan dengan pengetahuan inheren (a priori) dan ekstern (a posteriori).

A. Inheren (A posteriori)

Secara umum dalam yang dibahas dalam filsafat , inheren atau Pengetahuan
Apriori secara harfiah adalah “dari yang lebih dulu atau sebelum”.12 Maksudnya,
pengetahuan itu datang atau dapat diketahui sebelum bertemu dengan
pengalaman. Pengetahuan apriori mengarah pada pengetahuan yang lepas dari
pengalaman atau tidak bergantung pada bukti pengalaman.

Dalam ilmu logika, khususnya logika yang sedang kita bahas sekarang,
inheren merupakan ukuran dalam berpikir logis. Inheren atau proposisi apriori,
sebagaimana yang saya kutip dari pernyatan Dr. Muhsin Labib adalah “proposisi
yang kebenarannya ada pada premis(nya) itu sendiri”.13 Artinya kebenaran dapat
ditemukan tanpa harus ada tambahan pada proposisi yang sama, atau dengan kata
lain, kebenaran dapat dibuktikan dengan melihat keterkaitannya dengan proposisi
yang sama.

Contoh sederhana: Semua bujangan tidak berkeluarga.

Proposisi diatas jelas menunjukkan bahwa kebenaran ada pada premis itu sendiri.
Semua orang tahu bahwa bujangan itu tidak berkeluarga. Tanpa harus diberikan

12
A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis,
Kanisius, Ypgyakarta, 2001, hlm. 62
13
Kuliah Logika pertemuan ke-5 dengan Dr. Muhsin Labib, 17 Mei 2019
predikat “tidak berkeluarga” pun yang namanya bujangan itu memang tidak
berkeluarga.

Proposisi apriori (inheren) dapat ditemukan pada hukum-hukum identitas,


kausalitas, ada dan tiada serta hukum-hukum apapun yang orang-orang tidak
berselisih dengannya. Dengan kata lain proposisi apriori adalah sebuah proposisi
yang sifatnya pasti.

B. Ekstern (A Posteriori)

Sebagaimana Pengetahuan apriori tidak bergantung pada pengalaman, maka


pengetahuan aposteriori adalah kebalikannya. Menurut Leibniz, pengetahuan
aposteriori berarti “mengetahui berdasarkan apa yang ditemukan secara aktual di
dunia ini, yaitu melalui pancaindra, dari pengaruh yang ditimbulkan realitas itu
dalam pengalaman kita.”14 Artinya pengetahuan aposteriori harus berdasarkan
pada bukti empiris.

Contoh sederhana: Di luar rumah itu sedang hujan.

Kita tidak bisa menerima begitu saja bahwa di luar rumah itu sedang hujan,
karena predikat “sedang hujan” itu tidak datang dengan sendirinya (tidak
aksioma) dalam akal manusia. Untuk memastikannya maka kita perlu
membuktikannya langsung dengan ke luar rumah dan melihat sendiri dengan
pancaindra kita. Jika ternyata benar hujan, maka kebenaran “sedang hujan” itu
terbukti secara pancaindra. Kebenaran dengan melihat realitas inilah yang disebut
dengan pengalaman.

Kesimpulannya, pengetahuan itu terbagi menjadi pengetahuan yang empiris


dan pengatahuan non empiris.

Dalam logika sebagaimana yang dikemukakan Dr. Muhsin Labib, bahwa


kebenaran premis aposteriori itu harus bermuara pada kebenaran premis apriori.

14
A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Op.Cit., hlm. 62
Sehingga apabila aposteriori tidak bermuara pada apriori, maka ia tidak bisa
dianggap valid.

Anda mungkin juga menyukai