“Logika Praktis”
Oleh:
Jakarta
PENDAHULUAN
Logika yang diampu oleh Dr. Muhsin Labib di STFI Sadra tidak hanya
memperkenalkan kaidah bepikir yang dikenal dalam tradisi intelektual Islam,
tetapi juga melatih keterampilan berpikir kritis baik yang lebih menekankan pada
sisi praktis. Kuliah logika penting agar kita tidak hanya menerka berdasarkan
naluri belaka, apalagi menarik kesimpulan tanpa aturan. Dengan logika, kita akan
mengasah kemampuan menalar berbagai persoalan dengan baik agar terhindar
dari berbagai kekelirun (error) dan pengeliruan (confusion) yang sengaja maupun
yang tak disengaja, yang disadari maupun yang kurang atau bahkan tidak disadari,
apalagi di zaman derasnya informasi seperti sekarang.
Karena kuliah logika yang dipelajari selama matrikulasi ini bersifat praktis,
maka rangkuman-rangkuman yang dimuat dalam artikel berikut hanya akan
membahas beberapa teori utama dalam logika, yang terdiri dari: Konsepsi, Ada
dan Tiada, Signifikansi, Koheren, Koresponden, Inheren (Proposisi A-priori) dan
Ekstern (Proposisi A-posterioi).
RESUME KULIAH LOGIKA || 05 April 2019
Pertemuan ke-2
Dosen Pengampu: Dr. Muhsin Labib
KONSEPSI
1
Syaikh Falah al-Abidi dan Sayyid Sa’ad al-Musawi, Logika, Sebuah Daras Ringkas,
Sadra Press, Jakarta, 2018, hlm. 31
konsep secara empiris. Indera yang menangkap sebuah objek kemudian
membentuk konsep memiliki dua kriteria:
1. Konsep Fisikal
2. Konsep Mental
Konsep fisikal adalah objek benda itu sendiri, sementara konsep mental
adalah gambaran objek yang berada dalam rasio/pikiran. Murtadha Muthahhari
menyebutkan tentang dua hal diatas sebagai eksistensi realitas eksternal dan
eksistensi mental.2 Eksistensi eksternal yaitu keberadaan sebuah objek yang ada di
luar dan terlepas dari mental manusia, sementara eksistensi mental adalah kita
membayangkan objek eksternal tadi dalam alam pikiran hingga muncul eksistensi
baru dalam mental kita. Artinya, eksistensi mental kita adalah pantulan dari
eksistensi eksternal. Eksistensi mental tidak mungkin terwujud jika tidak ada
eksistensi eksternal. Dalam kaitannya mengenai eksistensi mental, Murtadha
Muthahhari menyebut eksistensi tersebut sebagai sebuah bentuk eksistensi yang
sifatnya metaforis,3 bukan eksistensi yang hakiki.
2
Murtadha Muthahhari, Pengantar Filsafat Islam, Filsafat Teoritis & Filsafat Praktis,
penerjemah: M. Ilyas, RausyanFikr Institute, Yogyakarta, 2017, hlm. 69
3
Ibid. hlm. 69
Resume Kuliah Logika Pertemuan ke-3
Ada adalah level predikat yang paling dasar bagi setiap materi. Ada
merupakan kajian ontologi dalam filsafat. Yakni “ilmu tentang yang ada, yang
membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality, baik yang
berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.”4 Dengan kata lain ontolog
merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang hakikat sesuatu, pertanyaan
yang paling mendasar dari ontologi adalah, “apa itu?”. Contoh “apa itu kursi”,
apa aksidennya? Apa substansinya?”
Segala sesuatu itu pasti ada aspek ontologinya, artinya segala materi
memiliki wujudnya. Bila tidak ada, berarti sama saja tidak ada objek, atau sesuatu
yang tiada, dan ini mustahil bagi tiap-tiap objek yang berpredikat ada.
Ada merupakan first order predicate dari segala sesuatu yang sifatnya
mendahului. Karena ada bersifat mendahului, maka syarat pertama untuk segala
sesuatu adalah “ada”. Sesuatu yang tidak didahului first order predicate maka ia
tidak dapat diketahui. Segala sesuatu yang dapat diketahui atau dapat disebutkan
itu berarti “ada”.
4
Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu, Prenadamedia Group, Jakarta, 2018, hlm. 50
5
Muhsin Labib, “Ada dan Apa”,
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=102183534377
64970&id=1163109407, diakses 05 Mei 2019 pukul 21.43
Dalam pemikiran pada umumnya, jika suatu objek dianggap ada maka objek
tersebut eksis secara nyata. Artinya objek tersebut dapat dilihat, disentuh maupun
dirasakan keberadaannya. Sedangkan yang tidak ada berarti nihil, atau tidak
nampak, tidak dapat disentuh dan dirasakan keberadaannya. Dengan kata lain
Tiada adalah kebalikan dari ada, jika semua yang dapat disebut dan diketahui
dinamakan ada, maka “tiada” adalah segala sesuatu yang tidak dapat disebut
maupun diketahui.
Resume Kuliah Logika ke-4
Unsur Pertama, Penanda (dall), yakni petunjuk, penjelas atau yang memberi
dalil.
Unsur Kedua, Petanda (madlul), yaitu yang ditunjuk, dijelaskan atau diberi dalil.8
6
Syaikh Falah al-‘Abidi & Sayid Sa’ad al-Musawi, Logika, Sebuah Daras Ringkas,
Penerjemah Irwan Kurniawan, Sadra Press, Jakarta, 2018, hlm. 29
7
Muhammad Ma’shum Zaini al-Hasyimiy, Teori Berfikir Logis, Pengantar Memahami
Nadzom Sulam al-Munauroq, Darul Hikmah, Jombang, 2008, hlm. 22
8
Damanhuriy, Ahmad, Idloh al-Mubham, dalam Muhammad Ma’shum Zaini al-Hasyimiy,
Ibid., hlm. 22
Pembahasan Dalalah dalam ilmu logika sangat penting, karena aplikasinya
adalah untuk menunjukkan makna yang terkandung dalam suatu komunikasi.
Disamping itu untuk mengkomunikasikan atau menyampaikan suatu makna, cara
yang paling sering digunakan adalah bahasa dengan kata-kata sebagai alatnya.
Dengan demikian, bahasa sangat berkaitan dengan tanda (dalalah), karena ketika
kita ingin memberikan tanda dari sesuatu, yang kita gunakan untuk
menyampaikannya adalah bahasa atau kata-kata. Menggunakan kata-kata pun
harus sedapat mungkin memilih diksi yang tepat agar tidak terjadi
kesimpangsiuran dalam memberikan tanda.
9
Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu, Prenadamedia Group, Jakarta, 2018, hlm. 7-8
10
Ibid., hlm. 8
adalah Bandung, maka ini bernilai salah karena pernyataan tersebut tidak sesuai
atau tidak berkoresponden dengan kenyataan empiris di lapangan.
Contoh:
11
Ibid.
Resume Kuliah Logika ke-5
Sebagai sebuah syarat untuk berpikir logis dalam ilmu logika, salah satunya adalah
harus mengetahui signifikansi, makna, dan kata. Setelah itu semua terpenuhi, maka kita
bisa menghasilkan output-nya berupa karya atau berbuat dengan tindakan yang logis.
Resep logika diatas terkumpul dalam sebuah premis yang selalu kita pakai dalam
berargumen. Argumen yang kita gunakan tentu membutuhkan premis yang terbukti
memiliki ukuran kebenaran. Ukuran kebenaran yang menurut ilmu logika inilah yang
berikutnya dinamakan dengan pengetahuan inheren (a priori) dan ekstern (a posteriori).
A. Inheren (A posteriori)
Secara umum dalam yang dibahas dalam filsafat , inheren atau Pengetahuan
Apriori secara harfiah adalah “dari yang lebih dulu atau sebelum”.12 Maksudnya,
pengetahuan itu datang atau dapat diketahui sebelum bertemu dengan
pengalaman. Pengetahuan apriori mengarah pada pengetahuan yang lepas dari
pengalaman atau tidak bergantung pada bukti pengalaman.
Dalam ilmu logika, khususnya logika yang sedang kita bahas sekarang,
inheren merupakan ukuran dalam berpikir logis. Inheren atau proposisi apriori,
sebagaimana yang saya kutip dari pernyatan Dr. Muhsin Labib adalah “proposisi
yang kebenarannya ada pada premis(nya) itu sendiri”.13 Artinya kebenaran dapat
ditemukan tanpa harus ada tambahan pada proposisi yang sama, atau dengan kata
lain, kebenaran dapat dibuktikan dengan melihat keterkaitannya dengan proposisi
yang sama.
Proposisi diatas jelas menunjukkan bahwa kebenaran ada pada premis itu sendiri.
Semua orang tahu bahwa bujangan itu tidak berkeluarga. Tanpa harus diberikan
12
A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis,
Kanisius, Ypgyakarta, 2001, hlm. 62
13
Kuliah Logika pertemuan ke-5 dengan Dr. Muhsin Labib, 17 Mei 2019
predikat “tidak berkeluarga” pun yang namanya bujangan itu memang tidak
berkeluarga.
B. Ekstern (A Posteriori)
Kita tidak bisa menerima begitu saja bahwa di luar rumah itu sedang hujan,
karena predikat “sedang hujan” itu tidak datang dengan sendirinya (tidak
aksioma) dalam akal manusia. Untuk memastikannya maka kita perlu
membuktikannya langsung dengan ke luar rumah dan melihat sendiri dengan
pancaindra kita. Jika ternyata benar hujan, maka kebenaran “sedang hujan” itu
terbukti secara pancaindra. Kebenaran dengan melihat realitas inilah yang disebut
dengan pengalaman.
14
A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Op.Cit., hlm. 62
Sehingga apabila aposteriori tidak bermuara pada apriori, maka ia tidak bisa
dianggap valid.