Anda di halaman 1dari 48

BAB I

Ke Arah Pemikiran Filsafat

1. Ilmu dan Filsafat


Pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dari rasa ragu-
ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Ilmu merupakan pengetahuan yang
kita gemuli sejak bangku sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan
tinggi. Berfilsafat tenteng ilmu berarti kita berterus terang kepada diri kita sendiri
apakag sebenarnya yang kiya ketahui tentang ilmu?
Karakteristik berfilsafat
Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang
ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia
ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Karakteristik
berpikir filsafat yang kedua adalah sifat mendasar. Seorang ilmuwan tidak lagi
percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Sedangkan karakteristik berpikir filsafat
yang ketiga adalah sifat spekulatif. Dimana ilmuwan tidak menangguk pengetahuan
secara keseluruhan, dan bahkan dia tidak yakin kepada titik awal yang menjadi
jangkar pemikiran yang mendasar, dia hanya berspekulasi.
Dari ini dapat kita simpulkan bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada
dimulai dari sebuah spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah
pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan
pengetahuan.
Cabang-cabang Filsafat
Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi, yakni logika
(benar - salah), etika (baik - buruk), dan estetika (indah - jelek). Ketiga cabang utama
filsafat ini kemudian bertambah lagi yakni, pertama teori tentang ada, tentang hakikat
kebenaran zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara keduanya yang terangkum
dalam metafisika. Dan yang kedua adalah politik, yakni kajian mengenai organisasi
social/pemerintahan yang ideal. Kelima cabangini kemudian berkembang lagi kearah
yang lebih spesifik, antara lain mencakup :

1
1) Epistemologi ( Filsafat Pengetahuan )
2) Etika ( Filsafat Moral )
3) Estetika ( Filsafat Seni )
4) Metafisika
5) Politik ( Filsafat Pemeritahan )
6) Filsafat Agama
7) Filsafat Ilmu
8) Filsafat Pendidikan
9) Filsafat Hukum
10) Filsafat Sejarah
11) Filsafat Matematika
Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi ( Filsafat Pengetahuan )
yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan
cabang pengetahuan yang mempunyai ciri – ciri tertentu. Meskipun secara
metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu alam dan ilmu social, namun karena
permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu sering dibagi menjadi
filsafat ilmu alam dan filsafat ilmu social. Pembagian ini lebih kepada pembatasan
masing-masing bidang yang ditelaah, namun tidak ada perbedaan yang prinsipil
dimana keduanya mempunyai ciri keilmuan yang sama
BAB II
Dasar – Dasar Pengetahuan

1. Penalaran
Manusia adalah satu – satunya makhluk yang mampu mengembangkan
pengetahuan secara sungguh – sungguh. Kemampuan menalar menyebabkan manusia
mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia dari kekuasaan –
kekuasaannya. Manusi mengembangkan k]pengetahuannya mengatasi kebutuhan
kelangsungan hidup ini. Dia memikirkan hal – hal baru, menjelajah ufuk baru, karena
manusia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu.
Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama
yakni, pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan
informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Sebab kedua,
adalah kemampuan berpikir menurut alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis
besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran.
Hakikat penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan
yang berupa pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berpikir, maka penalaran
mempunyai ciri – ciri tertentu. Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berpikir
yang secara luas dapat disebut logika. Dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan
penalaran merupakan suatu proses berpikir logis. Suatu kegiatan berpikir bias disebut
logis ditinjau dari suatu logika tertentu, dan mungkin tidak logis bila ditinjau dari
sudut logika lain.
Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari prosesberpikirnya.
Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu
analisis dan kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah
logika penalaran yang bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah merupakan suatu
kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah.
Kegiatan berpikir juga ada yang tidak berdasarkan penalaran., umpamanya
adalah intuisi. Intuisi merupakan suatu kegiatan berpikir yang tidak mendasarkan diri
kepada suatu pola berpikir tertentu.

2. Logika
Penalaran merupakan suatu proses berpikr yang membuahkan pengetahuan.
Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka
proses berpikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan
baru dianggap sahih atau valid kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan
menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, dimana
logika secara luas dapat didefinisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara
sahih”. Terdapat bermacam macam cara penarikan kesimpulan, yakni logika induktif
dan logika deduktif.
Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-
kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan logika
deduktif yang membantu kita dalam menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum
menjadi kasusu yang bersifat individual/ khusus.
Induksi merupakan cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang
bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif
dimulai dengan mengemukakan pernyataan pernyataan yang mempunyai ruang
lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan
pernyataan yang bersifat umum.
Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran
induktif. Deduktif adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum
dittarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif
biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus (terdiri dari dua
pernyataan dan satu kesimpulan)

3. Sumber Pengetahuan
Kebenaran merupakan pernyataan tanpa ragu. Baik logika deduktif
maupunlogika induktif, dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis
yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita
kepada sebuah pernyataan : bagaimanakah caranya kita mendapatkan pengetahuan
yang benar itu? Pada dasarnya terdapat dua cara bagi manusia untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar.Yang pertama, adalah mendasarkan diri kepada rasio dan
yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan
paham apa yang kita kenal dengan rasionalisme. Sedangkan mereka yang
mendasarkan kepada pengalama mengembangka paham yang disebut empirisme.
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun
pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang
menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah
ciptaan manusia. Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali ide tersebut yang lalu
menjadi pengetahuannya. Pengalaman tidaklah membuahkan ide dan justru
sebaliknya, hanya dengan mengetahui ide yang didapat lewat penalaran rasional
itulah maka kita dapat mengerti kejadian – kejadian yang berlaku dalam alam sekitar
kita. Namun pemikiran rasional cenderung untuk bersifat solipsistic (hanya benar
dalam kerangka pemikiran tertentu yang berada dalam bentuk orang yang berpikir
tersebut) dan subjektif.
Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa
pengetahuan menusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak
namun lewat pengalaman yang konkret. Gejala-gejala alamiah menurut anggapan
kaum empiris adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan
pancaindera manusia. Masalah utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan
secara empiris ini ialah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung untuk
menjadi suatu kumpulan fakta-fakta. Namun kumpulan tersebut belum tentu bersifat
konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat kontradiktif.
Disamping rsionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk mendaptka
pengetahuan yang lain. Diantaranya ialah intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan
pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang
yang sedang memusatkan pikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan
jawaban atas permasalahannya itu tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku.
Intuisi bersifat personal dan tidak dapat diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun
pengetahuan secara teratur maka intuisi ini tidak dapat diandalkan.
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kapada
manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya sepanjang
zaman. Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib.
Kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan
kepada nabi sebagai perantara, dan kepercayaan kepada wahyu sebagai penyampaian,
merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan ini.

4. Kriteria Kebenaran
Suatu kesimpulan dapat dikatakan benar jika telah diuji kebenarannya. Ada
beberapa teori kebenaran yang dapat digunakan sesuai criteria kebenaran yang ada.
Yang pertama, adalah teori koherensi. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa
berdasarkan teori koherensi sutu pernyatan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat
koheren atau konsisten dengan pernyataan pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Matematika merupakan bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan
pembuktian berdasarkan teori koheren.
Yang kedua adalah teori kerspondensi, dimana suatu pernyataan adalah benar
jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi dengan
objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Kedua teotri kebenaran ini dipergunakan
dalam cara berpikir ilmiah.
Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan
teori koherensi ini. Sedangkan proses pembuktian secara empiris dalam bentuk
pengumpulan fakta - fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu
mempergunakan teori kebenaran yang lain yang disebut teoti kebenaran pragmatis.
Bagi seorang pragmatis maka kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria
apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya
suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan
itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Pragmatisme bukn;lah
suatu aliran filsafat yang mempunyai doktrin – doktrin filsafati melainkan teori dalam
penentuan criteria kebenaran dimana disebutkan diatas.
BAB III
Ontologi : Hakikat Apa yang Dikaji

1. Metafisika
Bidang telaah filsafat yang disebut metafisika ini merupakan tempat berpijak
dari setiap pemikiran filsafat termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pemikiran
adalah roket yang meluncur ke bintang bintang, menembus galaksi dan awan
gemawan, maka metafisika adalah landasan peluncurannya.
Beberapa tafsiran Metafisika
Tafsiran yang paling pertama yang diberikan oleh manusia terhadat alam ini
adalah bahwa terdapat ujud ujud yang bersifat gaib (supranatural) dan ujud-ujud ini
bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata.
Animisme merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme ini
dimana manusia percaya bahwa terdapat roh roh yang bersifat gaib.
Sebagai lawan dari supernaturalisme maka terdapat paham naturalisme yang
menolak pendapat bahwa terdapat ujud ujud yang bersifat supernatural ini.
Metarialisme, yang merupakan paham berdasarkan naturalisme ini, berpendapat
bahwa gejala gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat
gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat
dipelajari. Namun paham ini ditentang oleh kaum vitalistik.
Kaum mekanik melihat gejala alam (termasuk mahluk hidup) hanya
merupakan gejala kimia fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah
suatu yang unik yang berbeda secara substansif dengan proses tersebut kimia – fisika.
Sudah merupakan kenyataan yang tidak usah diperdebatkan lagi bahwa
proses berpikir manusia menghasilkan pengethuan tentang zat (objek) yang
ditelaahnya. Namun, apakah kebenarannya hakikat pikiran tersebut, apakah dia
berbeda dengan zat yang ditelaahnya, ataukah hanya bentuk lain dari zat tersebut?
Dalam hal ini maka aliran monistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan
antara pikiran dan zat, mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang
berlainan namun mempunyai sibstansi yang sama. Maka proses berpikir dianggap
sebagai aktifitas elektronika dari otak.
Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistic. Dalam
metafisika maka penafsiran dualistic membedakan antara zat dan kesadaran yang bagi
mereka berbeda sui generic secara substansif. Bahwa apa yang ditangkap oleh
pikiran, termasuk pengindraan dari segenap pengalaman manusi, adalah bersifat
mental. Maka yang bersifat nyata adalah pikiran, sebab dengan berpikirlah maka
sesuatu itu lantas ada.

2. Asumsi
Apakah gejala dalam alam ini tunduk kepada determinisme, yakni hokum
alam yang bersifat universal, ataukah hokum semacam itu tidak terdapat sebab setiap
gejala merupakan akibat pilihan bebas, ataukah kemauan memang ada namun berupa
peluang, sekedar tanggapan probebilistik ? Ketiga masalah ini merupakan
permasalhan filsafati yang rumit namun menarik. Tanpa mengenal ketiga aspek
tersebut, serta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah yang merupoakan
kompromi, akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan dengan baik.
Paham determinisme, menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat
empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Aliran filsafat
ini merupakan lawan dari paham vatalisme yang berpendapat bahea segala kejadian
ditentukn oleh nasib yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Demikian juga paham
determinisme bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang menyatakan bahwa
manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak terikat pada
hokum alam yang tidak memberikan alternative.

3. Peluang
Dalam teori keilmuan dikenal istilah probabilitas 0.8 “apakah arti peluang
0.8 ini?”. Peluang 0.8 secara sederhana diartikan bahwa probabilitas untuk terjadinya
suatu kejadian adalah 8 dari 10 (yang merupakan kepastian). Harus disadari bahwa
ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan
yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil
keputusan, dimana keputusan harus didasarkan kepada penafsiran kesimpulan ilmiah
yang bersifat relative. Dengan demikian maka kata akhir dari suatu keputusan terletak
ditangan kita dan bukan teori-teori keilmuan.

4. Beberapa Asumsi Dalam Ilmu


Simpul ahli fisika Swiss Charles-Eugene Guye, gejala itu diciptakan oleh
skala observasi. Ilmu sekadar merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan
praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmatis.
Marilah kita lihat ilmu yang termasuk paling maju dibandingkan dengan ilmu-
ilmu lainnya yakni fisika. Fisika merupakan ilmu teoritis yang dibangun diatas sistem
penalaran deduktif yang meyakinkan serta pembuktian induktif yang sangat
mengesankan.
Dalam analisis secara mekanistik maka terdapat empat komponen analisis
utama yakni zat, gerak, ruang dan waktu. Newton dalam bukunya Philosophiae
Naturalis Principia Mathematica (1686) berasumsi bahwa keempat komponen ini
bersifat absolut. Einstein berlainan dengan Newton, dalam The Special Theory of
Relativity (1905) berasumsi bahwa keempat komponen itu bersifat relatif. Tidak
mungkin kita mengukur gerak secara absolut, kata Einstein.
Ilmu mencari teori-teori ilmiah yang secara praktis, umpamanya dapat kita
pakai untuk membangun rumah maka mekanika klasik dari Newton sudah jauh dari
cukup. Demikian juga halnya dengan ilmu ukur yang kita pakai untuk pengukuran
dalam mekanika klasik yakni ilmu ukur Euclid (330-275 S.M) kurang lebih dua ribu
tahun yang lalu itu ternyata sampai sekarang masih memenuhi syarat. Untuk analisis
keempat komponen yang bersifat relatif ini maka ilmu ukur Euclid tidak lagi
memenuhi syarat dan kita berpaling kepada ilmu ukur non-Euclid yang
dikembangkan oleh Lobacevskii (1773-1856), Bolyai (1802-1860) dan Riemann
(1823-1866).
Indeterministik dalam gejala fisik ini muncul dengan penemuan Niels Bhor
dalam Prinsip Komplementer (Principle of Complementarity) yang dipublikasikan
pada tahun 1913. prinsip Komplementer ini menyatakan bahwa elektron bisa berupa
gelombang cahaya dan bisa juga berupa partikel tergantung dari konteksnya. Masalah
ini yang menggoyahkan sendi-sendi fisika ditambah lagi dengan penemuan Prinsip
Indeterministik (Prinsiple of Indeterninancy) oleh Werner Heisenberg pada tahun
1927. Heisenberg menyatakan bahwa untuk pasangan besaran tertentu yang disebut
conjugate magnitude pada prinsipnya tidak mungkin mengukur kedua besaran
tersebut pada waktu yang sama dengan ketelitian yang tinggi.
Dalam mengembangkan asumsi perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu :
 Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan.
 Asumsi harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan
“bagaimana keadaan yang seharusnya”.
Seorang ilmuan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam
analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti
berbeda pula konsep pemikiran yang digunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi
yang melandasi suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Untuk
pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas.

5. Batas-Batas Penjelajahan Ilmu


Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di
batas pengalaman manusia. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas
pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun
yang telah teruji kebenarannya secara empiris.
Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta, demikian kata Einstein.
Kebutaan moral dari ilmu mungkin membawa kemanusiaan ke jurang malapetaka.
Ruang penjelajahan keilmuan kemudian kita menjadi “kapling-kapling”
berbagai disiplin keilmuan. Kapling ini makin lama makin sempit sesuai dengan
perkembangan kuantitatif disiplin keilmuan. Seperti juga pemilik kapling yang sah,
maka tiap ilmuwan harus tahu benar batas-batas penjelajahan cabang keilmuannya
masing-masing. Mengenal batas-batas kapling ini, disamping menunjukkan
kematangan keilmuan dan profesional kita, juga dimaksudkan agar kita mengenal
tetangga-tetangga kita.
Cabang-cabang ilmu
Ilmu berkembang dengan sangat pesat dan demikian juga jumlah cabang-
cabangnya. Diperkirakan sekarang ini terdapat sekitar 650 cabang keilmuan yang
kebanyakan belum dikenal oleh orang-orang awam.
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang
utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (the
natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang
ilmu-ilmu sosial. (the social sciences).
Di samping ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, pengetahuan mencakup juga
humaniora dan matematika. Humaniora terdiri dari seni, filsafat, agama, bahasa dan
sejarah.
Matematika, seperti akan kita pelajari lebih lanjut, bukan merupakan ilmu,
melainkan cara berpikir deduktif. Metematika merupakan saran berpikir yang penting
sekali dalam kegiatan berbagai disiplin keilmuan.
BAB IV
Epistemologi : Cara Mendapatkan Pengetahuan

1. Jarum Sejarah Pengetahuan


Kriteria kesamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada
waktu dulu. Konsep dasar ini baru mengalami perubahan fundamental dengan
berkembangnya Abad Penalaran (The Age of Reason) pada pertengahan abad ke-17.
Dengan berkembangnya Abad Penalaran maka konsep dasar berubah dari
kesamaan kepada pembedaan. Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara
berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan
konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan.
Salah satu cabang pengetahuan itu yang berkembang menurut jalannya sendiri
adalah ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dalam
segi metodenya. Metode keilmuan adalah jelas sangat berbeda dengan ngelmu yang
merupakan paradigma dari Abad Pertengahan. Demikian juga ilmu dapat dibedakan
dari apa yang ditelaahnya serta untuk apa ilmu itu dipergunakan.

2. Pengetahuan
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui
tentang suatu obyek tertentu, termasuk kedalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan
bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping berbagai
pengetahuan lainnya seperti seni dan agama.
Ilmu membatasi diri pada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup
pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki daerah penjajahan yang bersifat
transendental yang berada di luar pengalaman kita.
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah. Dengan kata lain, metode
ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar.
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa
(ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa ( aksiologi) pengetahuan
tersebut disusun.
Ilmu mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkup
pengalaman kita. Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk
menjawab permasalahan kehidupan yang sehari-hari dihadapi manusia, dan untuk
digunakan dalam menawarkan berbagai kemudahan kepadanya.
Seni, pada sisi lain dari pengetahuan, mencoba mendeskripsikan sebuah gejala
dengan sepenuh-sepenuh maknanya. Karya seni ditujukan untuk manusia, dengan
harapan bahwa pencipta dan obyek yang diungkapkannya mampu berkomunikasi
dengan manusia yang memungkinkan dia menangkap pesan yang dibawa karya seni
itu. Sebuah karya seni yang baik biasanya mempunyai pesan yang ingin disampaikan
kapada manusia yang bisa mempengaruhi sikap dan perilaku mereka. Itulah sebabnya
maka seni memegang peranan penting dalam pendidikan moral dan budi pekerti suatu
bangsa.
Seni terpakai ini pada hakikatnya mempunyai dua ciri yakni pertama, bersifat
deskriptif dan fenomenologis dan, kedua, ruang lingkup terbatas. Sifat deskriptif ini
mencerminkan proses pengkajian yang menitikberatkan kepada penyelidikan gejala-
gejala yang bersifat empiris tanpa kecenderungan untuk pengembangan postulat yang
bersifat teoritis atomistis. Jadi dalam seni terapan kita tidak mengenal konsep seperti
gravitasi atau kemagnetan yang bersifat teoretis. Salah satu jembatan yang
menghubungkan seni terapan dengan ilmu dan teknologi adalah pengembangan
konsep teoretis yang bersifat mendasar yang selanjutnya dijadikan tumpuan untuk
pengembangan pengetahuan ilmiah yang bersifat integral.
Ilmu dan filsafat dimulai dengan akal sehat sebab tak mempunyai landasan
permulaan lain untuk berpijak. Karakteristik akal sehat diberikan oleh Titus sebagai
berikut : (1) karena landasannya yang berakar pada adat dan tradisi maka akal sehat
cenderung untuk bersifat kebiasaan dan pengulangan; (2) karena landasanya yang
berakar kurang kuat maka akal sehat cenderung untuk bersifat kabur dan samar-
samar; dan (3) karena kesimpulan yang ditariknya sering berdasarkan asumsi yang
tidak dikaji lebih lanjut maka akal sehat lebih merupakan pengetahuan yang tidak
teruji.
Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara kritis
mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang bersifat mitos. Menurut Popper maka
tahap ini adalah penting sekali dalam sejarah berpikir manusia yang menyebabkan
ditinggalkannya tradisi yang bersifat dogmatik yang hanya memperkenankan
hidupnya satu doktrin yang digantikan dengan doktrin yang bersifat majemuk
(pluralistik) yang masing-masing mencoba menemukan kebenaran secara analisis
yang bersifat kritis.
Kelemahan dalam berpikir rasional menimbulkan berkembangnya empirisme
yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar itu didapat dari kenyataan
pengalaman.
Ilmu mencoba menafsirkan gejala alam dengan mencoba mencari penjelasan
tentang berbagai kejadian. Dalam usaha menemukan penjelasan ini terutama
penjelasan yang bersifat mendasar dan postulasional, maka ilmu tidak bisa
melepaskan diri dari penafsiran yang bersifat rasional dan metafisis. Berkembanglah
dalam kaitan pemikiran ini metode eksperimen yang merupakan jembatan antara
penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan pembuktian yang dilakukan
secara emperis.
Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad
keemasan Islam, ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai kulminasi antara
abad IX dan XII Masehi.
Pengembangan metode eksperimen yang berasal dari Timur ini mempunyai
pengaruh penting terhadap cara berpikir manusia sebab dengan demikian maka dapat
diuji berbagai penjelasan teoritis apakah sesuai dengan kenyataan empiris ataukah
tidak. Dengan demikian maka berkembanglah metode ilmiah yang menghubungkan
cara berpikir deduktif dan induktif.
Dengan berkembangnya metode ilmiah dan diterimanya metode ini sebagai
paradigma oleh masyarakat keilmuan maka sejarah kemanusiaan menyaksikan
perkembangan pengetahuan yang sangat cepat.
3. Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang
disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode
ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut umum, sebab ilmu merupakan
pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercntum
dalam apa yang dinamakan metode ilmiah. Metode, menurut Senn, merupakan suatu
prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang
sistematis. Metodelogi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-
peraturan dalam metode tersebut. Jadi, metodelogi ilmiah merupakan pengkajian dari
peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metodelogi ini secara
filsafati termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi merupakan
pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan.
Seperti diketahui berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan
pengetahuan. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran.
Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif
dan cara berpikir induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya.
Berpikir deduktif memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah
dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya.
Secara konsisten dan koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang
rasional kepada obyek yang berada dalam fokus penelahaan.
Penjelasan yang bersifat rasional ini dengan kriteria kebenaran koherensi tidak
memberikan kesimpulan yang bersifat final, sebab sesuai dengan hakikat rasionalisme
yang bersifat pluralistik, maka dimungkinkan disusunnya berbagai penjelasan
terhadap susatu obyek pemikiran tertentu. Oleh sebab itu, maka dipergunakan pula
cara berpikir induktif yang berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi. Suatu
pernyataan adalah benar bila terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung
pernyataan itu.
Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia
mengamati sesuatu. Kalau kita telaah lebih lanjut ternyata bahwa kita mulai
mengamati obyek tertentu kalau kita mempunyai perhatian tertentu terhadap obyek
tersebut. Perhatian tersebut dinamakan John Dewey sebagai suatu masalah atau
kesukaran yang didasarkan bila kita menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang
menimbulkan pertanyaan. Dapat disimpulkan bahwa karena ada masalah makan
proses kegiatan berpikir dimulai, dan karena masalah ini berasal dari dunia empiris,
maka proses berpikir tersebut diarahkan pada pengamatan obyek yang bersangkutan,
yang bereksistensi dalam dunia empirisme.
Berdasarkan sikap manusia menghadapi masalah ini maka Van Peursen
membagi perkembangan kebudayaan menjadi tiga tahap yakni tahap mistis, tahap
ontologis, dan tahap fungsional. Yang dimaksud dengan tahap mistis adalah sikap
manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib
disekitarnya. Yang dimaksud dengan ontologis adalah sikap manusia yang tidak lagi
merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib dan bersikap mengambil
jarak dari obyek disekitarnya serta memulai melakukan penelaahan-penelaahan
terhadap obyek tersebut. Sedangkan tahap fungsional adalah sikap manusia yang
bukan saja merasa telah terbebas dari kepungan kekuatan gaib dan mempunyai
pengetahuan berdasarkan penelaahan terhadap obyek-obyek disekitar kehidupannya,
namun lebih dari itu dia memfungsionalkan pengetahuan tersebut bagi kepentingan
dirinya. Tahap fungsional ini dibedakan dengan tahap ontologis.
Ilmu mulai berkembang pada tahap ontologis. Dalam tahap ontologis ini maka
manusia mulai mengambil jarak dari obyek disekitarnya, tidak seperti apa yang
terjadi dalam dunia mistis, dimana semua obyek berada dalam kesemestaan yang
bersifat difusi dan tidak jelas batas-batasnya.
Dalam usaha untuk memecahkan usaha tersebut maka ilmu tidak berpaling
kepada perasaan melainkan kepada pikiran yang berdasarkan penalaran. Secara
ontologis maka ilmu membatasi masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang
terdapat dalam ruang ligkup jangkauan pengalaman manusia. Hal ini harus kita
sadari, karena hal inilah yang harus memisahkan daerah ilmu dan agama. Perbedaan
antara lingkup permasalahan yang dihadapinya juga menyebabkan berbedanya
metode dalam memecahkan masalah tersebut. Tanpa mengetahui hal ini maka mudah
sekali kita terjatuh kedalam kebingungan, padahal dengan mengetahui hakikat ilmu
dan agama secara baik, kedua pengetahuan ini justru akan bersifat saling melengkapi.
Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuan secara konsisten dan
komulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang
sesuai dengan fakta atau tidak. Oleh sebab itu maka sebelum teruji kebenaran secara
empiris, semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanya bersifat sementara.
Penjelasan sementara ini biasanya disebut dengan hipotesis. Hipotesis merupakan
dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang kita hadapi.
Hipotesis ini pada dasarnya disusun secara deduktif dengan mengambil premis-
premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya.
Dengan adanya jembatan berupa penyusunan hipotesis ini maka metode
ilmiah sering dikenal dengan proses logico-hipothetico-verivikasi; atau menurut
Tyndall sebagai “perkawinan yang berkesinambungan antara deduksi dan induksi.
Penyusunan hipotesis itu sendiri dilakukan dalam kerangka permasalahan yang
bereksistensi secara empiris dengan pengamatan kita yang mau tidak mau turut
mempengaruhi proses berpikir deduktif.
Langkah selanjutnya sesudah penyusunan hipotesis adalah menguji hipotesis
tersebut dengan mengkonfrontasikannya dengan dunia fisik yang nyata.
Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hipothetico-verivikasi
ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langka sebagai berikut:
1. Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang
jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait
didalamnya;
2. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan
argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai
faktor yang saling mengkait dan bentuk konstelasi permasalahan. Karangka
berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah
teruji kebenaranya dengan memperhatikan faktor-faktor emipiris yang relevan
dengan permasalahan;
3. Perumusahan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap
pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka
berpikir yang dikembangkan;
4. Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan
dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta
yang mendukung hipotesis tersebut ataukah tidak;
5. Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang
diajukan diterima atau ditolak. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta
yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima, sebaliknya jika
tidak terdapat fakta yang mendukung hipotesis tersebut maka hipotesis itu ditolak.
Keseluruhan langkah ini harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut
ilmiah.
Perbedaan utama dari metode ilmiah bila dibandingkan dengan metode-
metode pengetahuan lainya, menurt Jacob Bronowski, adalah hakikat mtode ilmiah
yang bersifat sistematik dan eksplisit. Sifat eksplisit ini memungkinkan terjadinya
komunikasi yang intensif dalam kalangan masyarakat ilmuwan.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang
disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris. Dalam hal ini
harus disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absulut.

4. Struktur Pengetahuan Ilmiah


Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan
yang memenuhi syarat-syarat keilmuan, dan dengan demikian dapat disebut
pengetahuan ilmiah atau ilmu. Pengetahuan ilmiah ini diproses lewat serangkaian
langkah-langkah tertentu yang dilakukan dengan penuh kedisiplinan, dan dari
karakteristik inilah maka ilmu sering dikonotasikan sebagai disiplin.
Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat
menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan
serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang
ada. Penjelasan keilmuan memungkinkan kita meramalkan apa yang akan terjadi dan
berdasarkan ramalan tersebut kita bisa melakukan upaya untuk mengontrol agar
ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak. Jadi, pengetahuan ilmiah pada hakikatnya
mempunyai tiga fungsi, yakni menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol.
Secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan yakni deduktif,
probabilistik, fugsional atau teleologis dan genetik. Penjelasan deduktif
mempergunakan cara berpikir deduktif dalam menjelaskan suatu gejala dengan
menarik kesimpulan secara logis dari premis-premis yag telah ditetapkan sebelumnya.
Penjelasan probabilistik merupakan penjelasan yang ditarik secara induktif dari
sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberikan kepastian seperti penjelasan
deduktif melainkan penjelasan yang bersifat peluang seperti “kemungkinan”,
“kemungkinan besar” atau “hampir dapat dipastikan”. Penjelasan fungsional atau
teologis merupakan penjelasan yang meletakkan sebuah unsur dalam kaitannya
dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai karaktristik atau arah
perkembangan tertentu. Penjelasan genetik mempergunakan faktor-faktor yang timbul
sebelumnya dalam menjelaskan gejala yang timbul kemudian.
Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai
suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Sebenarnya tujuan akhir dari
disiplin keilmuan adalah mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh
dan konsisten, namun hal ini baru dicapai oleh beberapa disiplin keilmuan saja seperti
umpamanya fisika.
Secara mudah maka kita dapat mengatakan bahwa teori adalah pengetahuan
ilmiah yang memberikan penjelasan tentang “mengapa” suatu gejala-gejala terjadi
sedangkan hukum memberikan kemampuan kepada kita untuk meramalkan tentang
“apa” yang mungkin terjadi.
Untuk tujuan meramalkan, ilmu sosial mempergunakan metode proyeksi,
pendekatan struktural, analisis kelembagaan atau tahap-tahap perkembangan. Kalau
hal ini dikembalikan kepada hakikat manusia yang demikian kompleks dengan serba
aneka peranannya dalam masyarakat, serta variasi yang besar antara masyarakat yang
satu dengan masyarakat yang lain, maka gejala ini tidak mengherankan. Namun hal
ini tidaklah berarti bahwa metode ilmiah dari ilmu-ilmu sosial berbeda dengan
metode ilmiah dari ilmu-ilmu alam. Keduanya tetap mempergunakan metode ilmiah
yang sama namun dengan tahap penerapan dan teknik-teknik operasional yang
berbeda.
Teori keilmuan juga mengenal kategori pernyataan yang disebut prinsip.
Prinsip dapat diartikan sebagai pernyataan yang berlaku secara umum bagi
sekelompok gejala-gejala tertentu, yang mampu menjelaskan kegiatan yang terjadi.
Beberapa disiplin keilmuan sering mengembangkan apa yang disebut postulat
dalam menyusun teorinya. Postulat merupakan asumsi dasar yang kebenarannya kita
terima tanpa dituntut pembuktiannya. Kebenaran ilmiah harus disahkan lewat sebuah
proses yang disebut metode keilmuan. Pada hakikatnya postulat merupakan anggapan
yang ditetapkan secara sembarang dengan kebenaran yang tidak dibuktikan. Sebuah
postulat dapat diterima sekiranya ramalan yang bertumpu kepada postulat
kebenarannya dapat dibuktikan.
Bila postulat dalam pengajuannya tidak memerlukan bukti tentang
kebenarannya maka hal ini berlainan dengan asmsi yang harus ditetapkan dalam
sebuah argumentasi ilmiah. Asumsi harus merupakan pernyataan yang kebenaranya
secara empiris dapat diuji. Maka dalam pengkajian ilmiah seperti penelitian dituntut
untuk menyatakan secara tersurat postulat, asumsi, prinsip serta dasar-dasar pikiran
lainnya yang dipergunakan dalam mengembangkan argumentasi.
Memang beberapa teori yang sifatnya mendasar tidak mempunyai kegunaan
praktis secara langsung. Baru setelah teori tersebut diterapkan kepada masalah-
masalah praktis maka dapat dirasakan manfaatnya.
Penelitian yang bertujuan untuk menemukan pengetahuan baru yang
sebelumnya belum pernah diketahui dinamakan penelitian murni atau penelitian
dasar. Sedangkan penelitian yang bertujuan untuk mempergunakan pengetahuan
ilmiah yang telah diketahui untuk memecahkan masalah kehidupan yang bersiifat
praktis dinamakan penelitian terapan.
BAB V
Sarana Berpikir Ilmiah

1. Sarana Berpikir Ilmiah


Perbedaan utama antara manusia dan binatang terletak pada kemampuan
manusia untuk mengambil jalan melingkar dalam mencapai tujuannya. Seluruh
pikiran binatang dipenuhi oleh kebutuhan yang menyebabkan mereka secara langsung
mencari obyek yang diinginkan atau membuang benda yang menghalanginya.
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah
dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pertama sarana ilmiah bukan
merupakan ilmu dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan
pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Kedua, tujuan mempelajari
sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara
baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan
pengetahuan yang memungkinkan kita untuk bisa memecahkan masalah kita sehari-
hari.
Sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi metode ilmiah dalam melakukan
fungsinya secara baik. Sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri yang
berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuannya, sebab fungsi
sarana ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah, dan bukan merupakan ilmu itu
sendiri.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan
sarana yang berupa bahasa, logika, matematika dan statistika. Ditinjau dari pola
berpikirnya maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif.
Untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktuf
dan logika induktif. Proses pengujian dalam kegitan ilmiah mengharuskan kita
menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakikatnya merupakan pengumpulan
fakta untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan. Kemampuan berpikir
ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berpikir ini dengan baik
pula.

2. Bahasa
Keunikan manusia terletak pada kemampuannya berbahasa. Tanpa
mempunyai kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berpikir secara sistematis dan
teratur tidak mungkin dapat dilakukan. Tanpa kemampuan berbahasa ini maka
manusia tidak mungkin mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa mempunyai
bahasa maka akan hilang pulalah kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai budaya
dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya.
Bahasa memungkinkan manusia berpikir secara abstrak dimana obyek-obyek
yang faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang bersifat abstrak.
Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai suatu obyek
tertentu meskipun obyek tersebut secara faktual tidak berada di tempat di mana
kegiatan berpikir itu dilakukan.
Kalau kita telaah lebih lanjut, bahasa mengkomunikasikan tiga hal yakni buah
pikiran, perasaan dan sikap. Seperti dnyatakan oleh Kneller bahasa dalam kehidupan
manusia mempunyai fungsi simbolik, emotif dan afektif. Fungsi simbolik dari bahasa
menonjol dalam komunikasi ilmiah sedangkan fungsi emotif menonjol dalam
komunikasi estetik. Komunikasi dengan mengunakan bahasa akan mengandung unsur
simbolik dan emotif.
Apakah sebenarnya bahasa?
Pertama-tama bahasa dapat kita cirikan sebagai serangkaian bunyi.
Sebenarnya kita bisa berkomunikasi dengan mempergunakan alat untuk
berkomunikasi.dengan mempergunakan alat-alat lain, umpamanya saja dngan
memakai berbagai isyarat. Kedua, bahasa merupakan lambang dimana rangkaian
bunyi ini membentuk suatu arti tertentu.
Manusia mengumpulkan lambang-lambang ini dan menyusun apa yang kiata
kenal sebagai perbendaharaan kata-kata. Perbendaharaan ini pada hakikatnya
merupakan akumulasi pengalaman dan pemikiran mereka. Bahasa diperkaya oleh
seluruh lapisan masyarakat yang mempergunakan bahasa tersebut; para ilmuwan, ahli
politik, pendidik, remaja dan bahkan tukang copet. Adanya lambang-lambang ini
memungkinkan manusia dapat berpikir dan belajar dengan baik.
Adanya bahasa ini memungkinkan kita untuk memikirkan sesuatu dalam
benak kepala kita, meskipun obyek yang sedang kita pikirkan tersebut tidak berada
didekat kita.
Jadi dengan bahasa bukan saja manusia dapat berpikir secara teratur namun
juga dapat mengkomunikasikan apa yang sedang ia pikirkan kepada orang lain.
Namun bukan itu saja, dengan bahasa kita pun dapat mengekpresikan sikap dan
perasaan kita.
Dengan adanya bahasa maka manusia hidup dalam dua dunia yakni dunia
pengalaman yang nyata dan dunia simbolik yang dinyatakan dengan bahasa.
Menurut Sigmund Freud, kebudayaan membentuk manusia dengan menekan
dorongan-dorongan alami mereka, mensublimasikan menjadi sesuatu yang berbudaya
yang kemudian merupakan dasar bagi pembentukan kebudayaan.
Manusia lalu mengembangkan pengetahuan untuk menguasainya; tanah
diolahnya, belantara ditebangnya, air dan iklim dikuasai dan dimanfaatkannya. Lewat
pengetahuan ini maka manusia menjadi penguasa dunia. “Pengetahuan adalah
kekuasaan,” seru Francis Bacon, dan dengan kekuasaan ini manusia mencoba
mengerti hidupnya.
Dengan ini manusia memberi arti kepada hidupnya. Arti yang terpateri dalam
dunia simbolik yang diwujudkan lewat kata-kata. Kata-kata lalu mempunyai arti
bahkan kekuatan. Kekuatan yang memberinya dorongan dan arah dalam
berkehidupan.
Komunikasi ilmiah mensyaratkan bentuk komunikasi yang sangat lain dengan
komunikasi estetik. Komunikasi ilmiah bertujuan untuk menyampaikan informasi
yang berupa pengetahuan. Agar komunikasi ilmiah ini berjalan dengan baik maka
bahasa yang dipergunakan harus terbebas dari unsur-unsur emotif. Komunikasi ilmiah
harus bersifat reproduktif. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah apa yang dinamakan
sebagai suatu salah informasi, yakni suatu proses komunikasi yang mengakibatkan
penyampaian informasi yang tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan. Oleh sebab
itu maka proses komunikasi ilmiah harus bersifat jelas dan obyektif yakni terbebas
dari unsur-unsur emotif.
Berbahasa dengan jelas artinya ialah bahwa makna yang terkandung dalam
kata-kata yang dipergunakan diungkapkan secara tersurat (eksplisit) untuk mencegah
pemberian makna yang lain.
Berbahasa dengan jelas artinya juga mengemukakan pendapat atau jalan
pemikiran secara jelas. Kalau kita teliti lebih lanjut maka kalimat-kalimat dalam
sebuah karya ilmiah pada dasarnya merupakan suatu pernyataan. Pernyataan itu
melambangkan suatu pengetahuan yang ingin kita komunikasikan kepada orang lain.
Karya ilmiah pada dasarnya merupakan kumpulan-kumpulan pernyataan yang
mengemukakan informasi tentang pengetahuan maupun jalan pemikiran dalam
mendapatkan pengetahuan tersebut. “Tata Bahasa” menurut Charlton Laird,
“merupakan alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikkiran untuk
mengungkapkan arti dan emosi dengan mempergunakan aturan-aturan tertentu”.
Karya ilmiah juga mempunyai gaya penulisan yang pada hakikatnya
merupakan usaha untuk mencoba menghindari kecenderungan yang bersifat
emosional bagi kegiatan seni namun merupakan kerugian bagi kegiatan ilmiah. Oleh
sebab itu gaya penulisan ilmiah, dimana tercakup di dalamnya penggunaan tata
bahasa dan penggunaan kata-kata, harus diusahakan sedemikian mungkin untuk
menekan unsur-unsur emotif ini seminimal mungkin.

Beberapa kekurangan bahasa


Sebagai sarana komunikasi ilmiah maka bahasa mempunyai beberapa
kekurangan. Kekurangan ini pada hakikatnya terletak pada peranan bahasa itu sendiri
yang bersifat multifungsi yakni sebagai sarana komunikasi emotif, afektif, dan
simbolik. Kekurangan yang kedua terletak pada arti yang tidak jelas dan eksak yang
dikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa. Kelemahan lain terletak pada
sifat majemuk (pluralistik) dari bahasa. Sifat majemuk dari bahasa ini sering
menimbulkan apa yang dinamakan kekacauan semantik, dimana dua orang yang
berkomunikasi mempergunakan sebuah kata yang sama namun untuk pengertian yang
berbeda, atau sebaliknya, mereka mempergunakan dua kata yang berbeda untuk
sebuah pengertian yang sama. Kelemahan ketiga bahasa sering bersifat berputar-putar
(sirkular) dalam mempergunakan kata-kata terutama dalam memberikan definisi.
Umpamanya kata “pengelolaan” didefinisikan sebagai “kegiatan yang dilakukan
dalam sebuah organisasi”. Sedangkan “organisasi” didefinisikan sebagai “suatu
bentuk kerjasama merupakan wadah dari kegiatan pengelolaan”. Kelemahan yang
lain dari bahasa adalah konotasi yang bersifat emosional.
Ahli filsafat seperti Henri Bergson (1859-1941) membedakan antara
pengetahuan yang bersifat absolut yang didapat tanpa melalui bahasa dan
pengetahuan yang bersifat relatif yang didapat lewat perantaraan bahasa. Pengetahuan
yang hakiki bukan didapat lewat penalaran melainkan lewat intuisi; tanpa diketahui
kita sudah sampai disana, dengan kebenaran yang membukakan pintu, entah darimana
datangnya. Dan bahasa, menurut Whitehead, “berhenti di belakang intuisi”.

3. Matematika
Matematika Sebagai Bahasa
Definisi : Bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan
yang disampaikan.
Indikator : Lambang-lambang Matematika bersifat artificial (memiliki arti
setelah makna diberikan.
Contoh : Lambang X = kecepatan jalan kaki seorang anak
Lambang Y = jarak yang ditempuh seorang anak
Lambang Z = waktu berjalan kaki seorang anak
Hubungan Matematika dari lambang diatas dapat dituliskan:
Y
Z=
X atau X = atau Y = X.Z
Y
Z
Kesimpulan:
Lambang pada Matematika mempunyai arti setelah ada makna yang diberikan.

Sifat Kuantitatif
Definisi : Matematika adalah bahasa numerik yang bersifat kuantitas (angka
atau jumlah).
Tujuan : Melalui pengukuran secara kuantitatif.
Contoh : Logam Baja bila dipanaskan akan bertambah panjang dengan suhu-
suhu yang berbeda.
Parameter : Berapa besar pertambahan panjang jika dipanaskan pada suhu 100°C.
Kontra : Bahasa Verbal mengacu kepada sifat kualitatif. Ketelitiannya sulit
diprediksi sehingga bahasa verbal belum cermat ketelitiannya.
Matematika sebagai sarana berpikir deduktif
Definisi: Proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-
premis yang kebenarannya telah ditentukan.
Contoh: “Jumlah sudut dalam Segitiga”
Premis 1
Kalau terdapat dua garis sejajar maka sudut-sudut yang dibentuk kedua garis
sejajar tersebut dengan garis ketiga adalah sama.
Premis 2
Jumlah sudut yang dibentuk oleh sebuah garis lurus adalah 180 derajat.

(premis 1)

180°
(premis 2)

Kesimpulan: Premis-premis berdasarkan pernyataan ilmiah yang logis.


Perkembangan Matematika
Tinjauan menurut perkembangannya:
 Sistematika
Menggolongkan obyek empiris ke dalam kategori-kategori tertentu sehinnga didapat
ciri-ciri yang bersifat umum.
 Komparatif
Membandingkan obyek yang satu dengan lainnya/kategori yang satu dengan lain.
Sehingga didapat hubungan antara obyek/kategori.
 Kuantitatif
Mencari hubungan sebab akibat bukan lagi berdasarkan perbandingan melainkan
berdasarkan pengukuran yang pasti dari obyek yang diselidiki.

Kesimpulan:
Matematika tersusun dari logika deduktif dan berdasar kepada analisis pada pola
pikir tertentu. Matematika merupakan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-
hari.
Aliran Filsafat Matematika
a. Logistik
Matematika merupakan cara berpikir logis yang salah atau benarnya dapat ditentukan
tanpa mempelajari dunia empiris.
b. Intuisionis
Matematika merupakan intuisi murni dari berhitung dan titik tolak.
c. Formalis
Matematika merupakan pengetahuan tentang struktur formal dari lambang.
Matematika dan Peradaban
Matematika adalah suatu sarana untuk meningkatkan kemampuan npenalaran
deduktif. Matematika tidak dapat dilepaskan dari perkembangan peradaban manusia.

4. Statistika
Konsep dan Tokoh:
1) Blaise Pascal (1623-1662)
Teori Peluang
2) Pierre de Fermat (1601-1665)
3) Pendeta Thomas Bayes (1763) → Teori Peluang Subyektif
4) Abraham Demoivre (1667-1754) → Teori Galat/kekeliruan
5) Thomas Simpson (1757) → Teori distribusi yang berlanjut
6) Pierre Simon de Laplace (1749-1827) → Teori distribusi normal
7) Francis Galton (1822-1911) Teori distribusi bukan berupa kurva normal.
8) Karl Pearson (1857-1936) Konsep regresi, korelasi, distribusi chi
kuadrat & analisis statistika kualitatif.

9) Karl Friedrich Gauss (1777-1855) → teknik kuadrat terkecil, simpangan


baku dan galat baku untuk rata-rata
10) William Searly Gosset → konsep pengambilan contoh
11) Ronald Alylmer Fisher (1890-1962) → disain eksperimen, ANAVA,
ANAKOVA, distribusi-z, distribusi-t, uji signifikan dan teori tentang perkiraan
(theory of estimation).
Cara Berpikir Induktif
Contoh: Berapa tinggi rata-rata anak SD Labschool.
(kesimpulan umum yang menyatakan logika induktif/nilai secara tinggi rata - rata)
Perbedaan
Induktif: Premis-premis benar, kesimpulan sah tetapi belum sepenuhnya
kesimpulan benar.
Deduktif: Premis-premis benar, kesimpulan sah dan kesimpulannya benar.
Karakteristik
- Berdasarkan teori peluang - Kesimpulan belum tentu benar
(karena masih bersifat umum)
- Premis-premis dari pernyataan benar - Kesimpulan Sah
BAB VI
Aksiologi : Nilai Kegunaan Ilmu

1. Ilmu dan Moral


Konsep:
Nicholas Copernicus (1473-1543) dan Galileo Galilei mengemukakan teori tentang
kesemestaan alam dan menemukan bahwa “Bumi yang berputar mengelilingi
matahari”.
Menurut ajaran agama tidak demikian, karena “Matahari-lah yang berputar
mengelilingi Bumi”. Dari dua konsep semesta alam tersebut jelas bahwa pendapat dari
Ilmuwan yang menyelidiki hal ini bertentangan dengan ajaran agama.
Kaum Ilmuwan menghendaki kajian lebih dalam, tanpa batas, tidak ada kekangan
dari unsur manapun. Sedangkan ajaran agama lebih menekankan kepada nilai-
nilai(konotasi metafisik).
ILMU  penjelajahan secara bebas.
MORAL  penjelajahan secara nilai-nilai.
Metafisik:
das sollen berasal dari ajaran moral
das sein berasal dari hakikat ilmu
Skema:
KONSEPSIONAL Kontemplati

Konsep Ilmiah f Abstrak

Masalah Praktis Teknologi

- Software
-
Hardware
Prinsip:

Ontologi keilmuan Aksiologi keilmuan


Pengembangan Konsep Penerapan Konsep

Masalah Moral

Golongan:

Gol. Pertama Gol. Kedua


Netral Nilai (Moral)
Nilai  Aksiologis
Metafisik keilmuan
 Ontologis

- Dapat digunakan dengan baik Untuk kebaikan manusia


- Terserah dalam penerapannya
Berakibat Fatal Tidak berakibat apapun
Kesimpulan:

‘Semua Ilmu itu Netral, Para Ilmuwanlah yang memberi Nilai’.

2. Tanggungjawab Sosial Ilmuwan


Konsep:

Ilmu adalah hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara
terbuka oleh Masyarakat. Penciptaan ilmu bersifat individual, komunikasi dan
penggunaan bersifat sosial. Ilmuwan memiliki tanggung jawab dan konsisten terhadap
penelaahan keilmuan.
Tanggung jawab:

a. Kemampuan untuk bertindak persuasif dan argumentatif.

b. Kemampuan analisis dalam menemukan alternatif (obyek permasalahan).

c. Kemampuan untuk menelaah keilmuan (diterima atau perlu dikaji). Berpikir


secara cermat dan teliti.

d. Kemampuan memberikan contoh, bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik,


menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian dan berani mengakui
kesalahan.

3. Nuklir dan Pilihan Moral


 Tokoh:

A.Einstei

Teori
Relativita
s
E = mc2 Perang Dunia

BOM -kehancuran
ATO -
kesengsaraan
-
ILMU
AKSIOLOGIS
NETRA
L

4. Revolusi
Genetika
Dasar: ILMU BIOLOGI

Organ hewan/manus
Obyek
penelaahan

Prinsip:

Kaidah yang diteliti (Genetika)


Manusia/Hewan
Masyarakat Kepentingan Sendiri
Ilmu Netral Kelinci Percobaan
Moral Bukan Moral
Masalah Ilmu Menimbulkan Masalah
Nuklir Rekayasa Genetika Kehancuran
Aksiologis Ontologis Tidak Berhasil

Berhasil

BAB VII
Ilmu dan Kebudayaan

1. Manusia dan Kebudayaan


Definisi Kebudayaan:

□□□□□□□□□□ : Kebudayaan yang mencakup pengetahuan


kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan
kebiasaan lain sebagai anggota masyarakat.
□□□□□□□□□□□□□□□□ : Sistem religi, upacara keagamaan, organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian,
sistem mata pencaharian, serta sistem teknologi dan peralatan.
Kebudayaan dan Pendidikan

- Kebudayaan

6 nilai dasar kebudayaan


1) Nilai Teori

Hakikat penemuan kebenaran melalui rasionalisme, empirisme, dan metode


ilmiah.
2) Nilai Ekonomi

Kegunaan dari berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia.


3) Nilai Estetika

Keindahan dan segi-segi artistik seperti:


bentuk, harmoni, dan wujud kesenian lain.
4) Nilai Sosial

Hubungan antar manusia dan penekanan segi-segi kemanusiaan yang luhur.


5) Nilai Politik

Kekuasaan dan pengaruh dalam kehidupan bermasyarakat atau politik.


6) Nilai Agama

Penghayatan mistik dan transendental, hubungan vertikal antara manusia


dengan Tuhan.
- Pendidikan

Nilai budaya yang terkandung dalam pendidikan harus dikembangkan dengan:


a) Nilai budaya harus relevan dengan kurun zaman dimana anak itu hidup di
zaman itu.

b) Usaha pendidikan lebih eksplisit dan definitif


2. Ilmu dan Pengembangan budaya Nasional
Peran Ilmu

1. Ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya


pengembangan kebudayaan nasional.

2. Ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak suatu


bangsa.

Hubungan Ilmu dan kebudayaan

 Fungsi Ilmu, Nilai-nilai Ilmiah dan Pengembangan Kebudayaan Nasional

(a) Ilmu sebagai cara berpikir

Alurnya: Berpikir → Pengetahuan → Ilmu

Berpikir Ilmiah
Karakter: 1). Mempunyai rasio untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.
2). Alur yang logis dan konsisten dengan pengetahuannya.
3). Pengujian empiris sebagai kriteria kebenaran obyektif.
4). Mekanisme yang terbuka terhadap koreksi.
Kritis

Rasional → Logis → Obyektif → Terbuka


(b) Ilmu sebagai asas moral

Karakter: * Meninggikan kebenaran

* Pengabdian secara Universal

Langkah-langkah yang sistematik dalam peningkatan peran keilmuan


1. Ilmu bagian dari kebudayaan
2. Ilmu adalah salah satu cara dalam menemukan kebenaran

3. Rasa percaya terhadap metode yang digunakan

4. Pendidikan keilmuan harus dikaitkan dengan pendidikan moral

5. Pengembangan bidang keilmuan disertai pengembangan bidang filsafat

6. Kegiatan ilmiah bersifat otonom (bebas dari kekangan struktur)

3. Dua Pola Budaya


Uraian
Polarisasi membentuk kebudayaan untuk memisahkan ilmu ke dalam dua
golongan yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Terdapat pranata-pranata sosial
dan pranata-pranata pendidikan yang membedakan dua kebudayaan itu. Perbedaan
antara Ilmu alam dan Ilmu sosial bersifat teknis tapi tidak mendasar (fundamental).
Dasar ontologis, epistemologis dan aksiologisnya sama dan metodologinya pun sama.

Ilmu-ilmu alam mempelajari dunia fisik yang relatif tetap dan mudah
dikontrol. Obyeknya tidak mengalami perubahan dalam perspektif waktu maupun
tempat. Perbedaan tersebut tidak mengubah tujuan penelaahan keilmuan. Tujuan
keilmuan untuk mencari penjelasan dari gejala-gejala dan hakikat obyek yang
dihadapi.
Masalah keilmuan
- Ilmu alam → masalah ilmiah → terdapat satu masalah kajian
- Ilmu sosial → masalah ilmiah → terdapat dua masalah kajian
Contoh kajian
- Ilmu alam : Pengukuran sebuah logam baja yang dipanaskan, didapat hasil tentang
pertambahan panjang batang, temperatur yang berbeda akibat pemanasan baja.
- Ilmu sosial: Pengukuran tentang emosi seseorang, didapat hasil yang bervariasi.
Banyak faktor lain yang mempengaruhi emosi seseorang, misalnya faktor
individunya.
Implikasi
- Ilmu alam » Dasar kuantitatif dan analisis yang valid.
- Ilmu sosial » Masih menyelidiki dalam tahap kualitatif dan obyek yang dikaji masih
mendalam lagi.
Pola arah:
- Jurusan ilmu alam (ilmu pasti)
- Jurusan ilmu sosial (ilmu sosial budaya)

BAB VIII
Ilmu dan Bahasa

1. Tentang Terminologi : Ilmu, Ilmu pangetahuan, atau Sains


Dua Jenis Ketahuan
 Knowledge dan Science
Ketahuan atau knowledge merupakan terminologi generik yang mencakup segenap
bentuk seperti filsafat, ekonomi, seni, bela diri, cara menyulam dan biologi. Tiga
kriteria ketahuan (knowledge):
1). Apakah Obyek yang ditelaah yang membuahkan ketahuan (knowledge) tersebut?
Kriteria ini disebut Obyek Ontologis, contohnya:
ekonomi menelaah hubungan antar manusia dengan benda/jasa dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidupnya dan manajemen menelaah kerja sama manusia dalam
mencapai tujuan yang telah disetujui bersama.
2). Cara yang dipakai untuk mendapatkan ketahuan (knowledge), bagaimana caranya
mendapatkan ketahuan (knowledge) itu?
Kriteria ini disebut Landasan Epistemologis, contohnya:
landasan epistemologis matematika adalah logika deduktif dan landasan
epistemologis kebiasaan adalah pengalaman dan akal sehat.
3). Untuk apa ketahuan (knowledge), nilai kegunaan apa yang dipunyai olehnya?
Kriteria ini disebut Landasan Aksiologis, contohnya:
seni pencak silat jelas berbeda dengan filsafat atau fisika nuklir.
 Salah satu bentuk ketahuan (knowledge) ditandai dengan:
- Obyek Ontologis: Pengalaman manusia yang diterima dan dijangkau alat
pancaindera.
- Landasan Epistemologis: Metode ilmiah berupa logika deduktif/induktif dengan
pengajuan hipotesis (logico-hyphotetico-verifikasi).
- Landasan Aksiologis: ditumukan untuk kegunaan manusia/sisi baik dalam
keilmuan (bernilai).

Beberapa Alternatif
Alternatif pertama: Ilmu pengetahuan untuk science dan Pengetahuan untuk
knowledge.
Penggunaannya:
Kelemahan pertama :  Knowledge merupakan terminologi generik.
 Science merupakan anggota dari kelompok tersebut.
Kelemahan kedua : kata sifat dari science yakni scientific artinya ilmu adalah
pengetahuan ilmiah.
Kelemahan ketiga : tidak konsekuensinya penggunaan terminologi ilmu
pengetahuan untuk science, misal biologi disebut ilmu hayat dan fisika adalah ilmu
pengetahuan alam.
Alternatif kedua : Asumsi bahwa ilmu pengetahuan terdiri dari dua kata benda yakni
ilmu dan pengetahuan. Untuk ilmu digunakan kata science dan pengetahuan
digunakan kata knowledge.
Kata sifat dari ilmu adalah ilmiah atau keilmuan. Metode yang dipergunakan adalah
metode ilmiah dan ahli dalam bidang keilmuan disebut ilmuwan.
Sains:
Adopsi yang Kurang Dapat Dipertanggungjawabkan
☻ Masalah pertama : penggunaan kata sains, sains adalah terminologi yang
diadopsi dari kata science. Scientific atau ke-sains-an atau saintifik, scientist adalah
sainswan atau saintis.
☻ Masalah kedua : penggunaan kata natural science seperti teknik. Economics
adalah bukanlah science.
Masalah diatas harus dihilangkan atau verbalisme yang bertentangan dengan hakikat
keilmuan.

2. Quo Vadis
KIPNAS III LIPI yang berlangsung di Jakarta (15-19 September 1981) membahas
tentang terminologi ilmu dan pengetahuan. Alasan untuk perubahan tersebut adalah:
1. Ilmu (species) adalah sebagian dari pengetahuan (genus).

2. Ilmu adalah pengetahuan yang memiliki ciri-ciri ilmiah.

3. Menurut tata bahasa Indonesia, ilmu adalah (D) diterangkan dan pengetahuan
adalah (M) menerangkan.

4. Kata ganda dari dua kata benda menunjukkan dua obyek yang berbeda, maka
ilmu pengetahuan adalah ilmu dan pengetahuan.

Pendapat lain:

1. Ilmu merupakan genus dimana terdapat bermacam species seperti ilmu


kebatinan, ilmu agama, ilmu filsafat dan ilmu pengetahuan.

2. Terminologi ilmu pengetahuan adalah sinonim dengan scientific knowledge.

3. Ilmu adalah sinonim dengan knowledge dan pengetahuan dengan science.

4. Berdasarkan hukum DM maka ilmu pengetahuan adalah ilmu (knowledge) yang


bersifat pengetahuan (scientific).

Etimologi dari ilmu pengetahuan

Kata dasar dalam bahasa Indonesia jelas dikatakan bahwa “tahu” bersifat
(generik) dan bukan spesifik dalam pengertian science.

3. Politik Bahasa Nasional


Bahasa mempunyai dua fungsi utama yaitu:
(1) Sarana komunikasi antarmanusia.
(2) Sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan
bahasa tersebut.
Bahasa mencakup tiga unsur yaitu:
1. Bahasa selaku alat komunikasi untuk menyampaikan pesan yang berkonotasi
perasaan (emotif).

2. Bahasa selaku alat komunikasi untuk menyampaikan pesan yang berkonotasi


sikap (afektif).

3. Bahasa selaku alat komunikasi untuk menyampaikan pesan yang berkonotasi


pikiran (penalaran).

Fungsi komunikatif dan fungsi kohesif


Kata “informasi” memiliki padanan kata dengan “embaran”. Penggunaannya justru
tidak sesuai apabila digunakan oleh suku lain selain suku Sunda. Padanan kata itu
memiliki makna yang bersifat afektif dan emotif. Penggunaan kata “embaran” tidak
pas jika digunakan dengan suku-suku lain. Demi mencegah dominasi bahasa
Indonesia oleh bahasa daerah maka bahasa Indonesia harus menghimpun khasanah
kata-kata yang terbaik dari seluruh bahasa daerah.

BAB IX
Penelitian dan Penulisan Ilmiah

1. Struktur Penelitian dan Penulisan Ilmiah


Pemilihan bentuk dan cara penulisan merupakan masalah selera perorangan
dengan memperhatikan berbagai faktor lainnya seperti masalah apa yang sedang
dikaji, siapakah pembaca tulisan ini dan dalam rangka kegiatan keilmuan apa karya
ilmiah ini disampaikan.
Penelitian ilmiah pada hakikatnya merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dalam kegiatan keilmuan. Penulisan ilmiah pada dasarnya merupakan argumentasi
penalaran keilmuan yang dikomunikasikan lewat bahasa tulisan. Untuk itu diperlukan
penggusaan yang baik mengenai hakikat keilmuan agar dapat melakukan penelitian
dan sekaligus mengkomunikasikannya secara tertulis.
Dalam memilih salah satu teori dari sejumlah teori yang tersedia untuk
menganalisis sebuah persoalan jelas memerlukan adanya asumsi tertentu. Pernyataan
secara tersurat tentang asumsi yang dipergunakan adalah bersifat interatif sebab
dengan asumsi yang berbeda kita akan mempergunakan teori yang berbeda pula.
Pengajuan Masalah
Langkah pertama dalam suatu penelitian ilmiah adalah mengajukan masalah.
Secara operasional suatu gejala baru dapat disebut masalah bila gejala itu terdapat
dalam situasi tertentu.
Suatu hal yang bersifat paradoks, bila ditinjau secara sepintas, bahwa
pemecahan suatu masalah menimbulkan masalah yang baru pula. Dalam konstelasi
yang bersifat situasional inilah maka kita dapat mengidentifikasikan obyek yang
menjadi masalah. Identifikasi masalah merupakan suatu tahap permulaan dari
penguasaan masalah dimana suatu obyek dalam suatu jalinan situasi tertentu dapat
kita kenali sebagai suatu masalah.
Ternyata identifikasi masalah memberikan kepada kita sejumlah pertanyaan
yang banyak sekali. Dalam kegiatan ilmiah berlaku semacam asas bahwa bukan
kuantitas jawabannya yang menentukan mutu keilmuan suatu penelitian melainkan
kualitas jawabannya. Sebuah penelitian lebih baik apabila mengahasilkan dua atau
tiga hipotesis yang teruji dan terandalkan daripada sejumlah penemuaan yang kurang
dapat dipertanggungjawabkan. Ilmu merupakan pengetahuan ilmiah yang
dikembangkan secara kumulatif dimana setiap permalahan dipecahkan tahap demi
tahap dan sedikit demi sedikit.
Permasalahan perlu dibatasi ruang lingkupnya. Pembatasan masalah
merupakan upaya untuk menetapkan batas-batas permasalahan dengan jelas, yang
memungkinkan kita untuk mengindetifikasi faktor mana saja yang termasuk ke dalam
lingkup permasalahan, dan faktor mana yang tidak.
Dengan pembatasan-pembatasan ini maka fokus masalah menjadi bertambah
jelas yang memungkinkan kita untuk merumuskan masalah dengan baik. Perumusan
masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan
apa saja yang ingin kita carikan jawabannya.
Perumusan masalah yang baik bukan saja membantu memusatkan pikiran
namun sekaligus mengarahkan juga cara berpikir kita. Suatu masalah yang sudah
dapat diidentifikasi dan dibatasi, tercermin dalam pernyataan yang bersifat jelas dan
spesifik, dimana untuk menemukan jawabannya kita dapat mengembangkan kerangka
pemikiran yang berupa kajian teoritis berdasarkan pengetahuan ilmiah yang relevan,
serta memungkinkan kita untuk melakukan pengujian secara empiris terhadap
kesimpualan teoritis, maka secra konseptual masalah tersebut sudah berhasil
dirumuskan.
Setelah masalah dirumuskan dengan baik, maka seorang peneliti menanyakan
tujuannya. Tujuan penelitian ini adalah pernyataan mengenai ruang lingkup dan
kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan masalah yang telah dirumuskan. Setelah
itu maka dibahas kemungkinan kegunaan penelitian yang merupakan manfaat yang
dapat dipetik dari pemecahan masalah yang didapat dari penelitian.
Pengajuan Masalah
1. Latar belakang masalah
2. Identifikasi masalah
3. Pembatasan masalah
4. Perumusan masalah
5. Tujuan penelitian
6. Kegunaan penelitian
Pada ke enam kegiatan diatas memiliki kaitan yang erat. Jelas keseluruhan
langkah dala kegiatan keilmuan terpadu secara utuh dalam suatu logika ilmiah.
Penyusunan Kerangka Teoritis
Setelah masalah berhasil dirumuskan dengan baik maka langkah kedua dalam
metode ilmiah adalah mengajukan hipotesis. Hipotesis merupakan dugaan atau
jawaban sementara terhadap permasalahan yang diajukan. Secara ringkas maka
langkah dalam penyusunan kerangka teoritis dan pengajuan hipotesis ini dapat dibagi
ke dalam kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1. Pengkajian mengenai teori-teori ilmiah yang akan dipergunakan dalam analisis.
2. Pembahasan mengenai penelitian-penelitian lain yang relevan.
3. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis dengan
mempergunakan premis-premis sebagai tercantum dalam butir (1) dan butir (2)
dengan menyatakan secara tersurat postulat, asumsi dan prinsip yang
dipergunakan (sekiranya diperlukan);
4. Perumusan hipotesis.
Metodologi penelitian
Metodologi adalah pengetahuan tentang metode-metode, jadi metodelogi
penelitian adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam
penelitian. Langkah-langkah dalam penyusunan metodelogi penelitian mencakup
kegiatan sebagai berikut :
1. Tujuan penelitian secara lengkap dan operasional dalam bentuk pernyataan yang
mengidentifikasikan variabel-variabel dan karakteristik hubungan yang akan
diteliti.
2. Tempat dan waktu penelitian dimana akan dilakukan generalisasi mengenai
variabel-variabel yang diteliti.
3. Metode penelitian yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian, tingkat
keumuman dan metode penelitian.
4. Teknik pengambilan contoh yang relevan dengan tujuan penelitian, tingkat
keumuman dan metode penelitian.
5. Teknik pengumpulan data yang mencakup identifikasi variabel yang akan
dikumpulkan, sumber data, teknik pengukuran, instrumen dan teknik
mendapatkan data.
6. Teknik analisis data yang mencakup langkah-langkah dan teknik analisis yang
dipergunakan yang ditetapkan berdasarkan pengajuan hipotesis (sekiranya
mempergunakan statistika maka tuliskan hipotesis nol dan hipotesis tandingan :
H0/H1).
Hasil penelitian
Setelah perumusan masalah, pengajuan hipotesis dan penetapan metodologi
penelitian maka sampailah kita kepada langkah berikutnya, yakni melaporkan apa
yang kita temukan berdasarkan hasil penelitian.
Hasil penelitian dapat dilaporkan dalam kegiatan sebagai berikut :
1. Menyatakan variabel-variabel yang diteliti
2. Menyatakan teknik analisis data
3. Mendeskripsikan hasil analisis data
4. Memberikan penafsiran terhadap kesimpulan analisis data
5. Menyimpulkan pengujian hipotesis apakah ditolak atau diterima
Ringkasan Dan Kesimpulan
Kesimpulan pengujian hipotesis kemudian dikembangkan menjadi kesimpulan
penelitian yang ditulis dalam bab tersendiri. Kesimpulan penelitian ini merupakan
sintesis dari keseluruhan aspek penelitian yang terdiri dari masalah, kerangka teoritis,
hipotesis, metodologi penelitian dan penemuan penelitian.
1. Deskripsi singkat mengenai masalah, kerangka teoritis, hipotesis, metodelogi dan
penemuan penelitian
2. Kesimpulan penelitian yang merupakan sintesis berdasarkan keseluruhan aspek
tersebut diatas
3. Pembahasan kesimpulan penelitian dengan melakukan perbandingan terhadap
penelitian lain dan pengetahuan ilmiah yang relevan
4. Mengkaji implikasi penelitian
5. Mengajukan saran

Abstrak
Seluruh laporan penelitian kemudian disarikan dalam sebuah ringkasan yang
disebut abstrak. Abstrak merupakan ringkasan seluruh kegiatan penelitian yang paling
banyak terdiri dari tiga halaman.
Daftar pustaka
Sebuah laporan penelitian dilegkapi dengan daftar pustaka yang merupakan
sumber refrensi bagi seluruh kegiatan penelitian.
Riwayat hidup
Riwayat hidup merupakan deskripsi dari latar belakang pendidikan dan
pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan penulisan ilmiah yang disampaikan.
Usulan penelitian
Usulan penelitian mengandung seluruh langkah-langkah penelitian tersebut
diatas tanpa hasil penelitian, sebab hal ini baru akan dilakukan. Usulan penelitian
hanya mencakup langkah pengajuan masalah, penyusunan kerangka teoritis dan
pengajuan hipotesis serta metodologi penelitian.
Lain-lain
Pertama, tentu saja adalah halaman judul dan laporan ilmiah tersebut. Judul
tersebut harus singkat. Setelah itu dikemukakan secara umum lingkup laporan yang
akan disampaikan. Daftar isi dilengkapi dengan daftar tabel dan daftar gambar.
Semua materi lain-lain diberi halaman dengan menggunakan huruf kecil, misalnya i,
ii.iv,dst.

2. Teknik Penulisan Ilmiah


Teknik penulisan ilmiah memiliki dua aspek, yakni gaya penulisan yang
bersifat ilmiah serta teknik notasi. Komunikasi ilmiah harus bersifat produktif dan
impersonal. Bahasa yang dipergunakan harus jelas, obyek yang dikomikasikan
mengandung informasi yang disampaikan.
Pengetahuan ilmiah penuh dengan terminologi-terminologi yang kadang-
kadang penafsirannya berbeda. Untuk menghindari salah tafsir, sebaiknya dijelaskan
pengertian yang terkandung oleh terminologi yang digunakan. Penjelasan ini berlaku
untuk seluruh proses komunikasi ilmiah.
Komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif dan impersonal. Pembahasan
secara ilmiah mengharuskan kita berpaling kepada pengetahuan-pengetahuan ilmiah
sebagai premis dalam argumentasi kita. Pernyataan ilmiah yang kita pergunakan
dalam tulisan harus mencangkup beberapa hal. Pertama, harus dapat kita
identifikasikan orang yang membuat pernyataan tersebut. Kedua, harus dapat kita
identifikasikan media komunikasi ilmiah dimana pernyataan itu disampaikan apakah
itu makalah, buku, seminar, dan sebagainya. Ketiga, harus dapat kita identifikasikan
lembaga yang menerbitkan publikasi ilmiah tersebut beserta tempat berdomisili dan
waktu penerbitan itu dilakukan.
Cara kita mencantumkan ketiga hal tersebut dalam tulisan ilmiah kita disebut
dengan notasi ilmiah. Terdapat bermacam-macam teknik notasi ilmiah yang pada
dasarnya mencerminkan hakikat dan unsur yang sama meskipun dinyatakan dalam
format dan simbol yang berbeda-beda.
Dalam teknik notasi ilmiah dengan mempergunakan catatan kaki, umpamaya,
terdapat dua variasi. Pertama, catatan kaki itu ditaruh dalam halaman yang sama.
Kedua, catatan kaki itu seluruhnya dikelompokkan dan di taruh di akhir sebuah bab.
Catatan kaki memiliki fungsi, yakni sebagai sumber iinformasi bagi pernyataan
ilmiah yang dipakai dalam tulisan kita, dan sebagai tempat bagi catatan kecil yang
sekiranya diletakkan dalam tubuh utama laporan.
Pada dasarnya, sekiranya kita mempergunakan pernyataan orang lain dalam
tulisan kita, kutipan yang dipinjam tersebut dapat berupa “kutipan langsung” dan
“kutipan tidak langsung”. Kutipan langsung merupakan pernyataan yang kita tuliskan
dalam karya ilmiah kita pada susunan aslinya tanpa mengalami perubahan sedikitpun.
Sedangkan dalam kutipan tidak langsung kita mengubah susunan kalimat yang asli
dengan kalimat sendiri.
Kutipan langsung kadang-kadang memang diperlukan dengan tujuan untuk
mempertahankan keaslian pernyataan itu. Gabungan antara kutipan langsung dan
kutipan tidak langsung sering dipergunakan untuk memadukan antara gaya penulisan
seseorang dengan pernyataan orang lain yang ingin dipertahankan keasliannya.
Kutipan langsung yang jumlahnya kurang dari empat baris ditaruh dalam
tulisan dengan mempergunakan tanda kutip. Untuk kutipan langsung yang terdiri dari
empat baris kalimat atau lebih maka keseluruhan kutipan tersebut ditaruh dalam
tempat tersendiri.

3. Teknik Notasi Ilmiah


Dengan menguasai aspek-aspek yang bersifat esensial maka seseorang akan
mampu mengkomunikasikan gagasanya secara ilmiah, setidaknya mampu menahami
karya ilmiah.
Tanda catatan kaki diletakkan di ujung kalimat yang kita kutip dengan
mempergunakan angka Arab yang diketik naik setengah spasi. Satu kalimat mungkin
terdiri dari beberapa catatan kaki. Dalam keadaan seperti ini maka tanda catatan kaki
diletakkan di ujung kalimat. Sedangkan satu kalimat seluruhnya terdiri dari satu
kutipan tanda catatan kaki diletakkan sesudah tanda baca penutup kalimat.
Kalimat yang kita kutip harus dituliskan sumbernya dalam catatan kaki
sebagai brikut :
1)
Harlod A. Larrabee, Reliable Knowledge (Boston: Houghton Miffin, 1964), hlm. 4.
Catatan kaki ditulis dalam satu spasi dan dimulai langsung dari pinggir. Nama
pengarang yang jumlahnya sampai tiga orang harus ditulis lengkap sedangkan jumlah
pengarang yang lebih dari tiga orang hanya ditulis nama pengarang pertama ditambah
kata et al. (et alii: dan lain-lain). Kutipan yang diambil dari halaman tertentu
disebutkan halamannya dengan singkat p (pagina) atau hlm. (halaman).
Sebuah makalah yang dipublikasikan dalam majalah, koran, kumpulan
karangan atau disampaikan dalam forum ilmiah dituliskan dalam tanda kutip.
Pengulangan kutipan dengan sumber yang sama dilakukan dengan memakai notasi
op.cit. (opere citato: dalam karya yang telah dikutip), loc. cit. (loco citato : dalam
tempat yang telah dikutip dan ibid. (ibidem : dalam tempat yang sama). Untuk
pengulangan maka nama pengarangan tidak ditulis lengkap melainkan cukup nama
familinya saja. Sekiranya pengulangan dilakukan dengan tidak diselang oleh
pengarang lain maka dipergunakan notasi ibid. Seperti contoh berikut :
14)
Ibid, hlm. 131.
Ulangan halaman yang berbeda dan telah diselang oleh pengarang lain ditulis
dengan mempergunakan op cit. :
16)
Wilarjo, op. cit., hlm. 12
Semua kutipan tersebut diatas, baik yang dikutip secara langsung maupun
tidak, sumbernya kemudian kita sertakan dalam daftar pustaka. Dalam catatan kaki,
pengarang ditulis lengkap dengan tidak mengalami perubahan apa-apa, sedangkan
dalam daftar pustaka nama pengarang harus disusun sesuai dengan abjad huruf awal
nama familinya. Adapun tujuan utama dari catatan kaki adalah mengidentifikasi
karya ilmiah itu sendiri.
BAB X
Penutup

1. Hakikat dan kegunaan ilmu


Kemampuan mengutip teori ilmiah yang bersifat estetik akan berkembang
menjadi status sosial. Penempatan ilmu dalam fungsi estetis pada zaman Yunani kuno
disebabkan filsafat mereka yang memandang rendah pekerjaan yang bersifat praktis.
Pendapat yang seperti ini akan menimbulkan salah persepsi yang sebenarnya akan
menimbulkan berkembangnya kebudayaan menghafal dalam sistem pendidikan kita.
Sehingga dalam hal ini, ilmu tidak berfungsi sebagai pengetahuan yang diterapkan
dalam memecahkan masalah kita sehari-hari, melainkan hanya sekedar dikenal dan
dikonsumsi.

Anda mungkin juga menyukai