Anda di halaman 1dari 32

Seri Mari Berdialektika (1) Pribadi vs Publik

Ditulis Oleh Ken Budha Kusumandaru* Tuesday, 04 September 2007

Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus


dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah
contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai
masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan
ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.

Teori borjuis mengatakan bahwa kehidupan kita dibagi dua aras (Publik dan Pribadi).
Dengan demikian, ada hal yang digolongkan ke dalam kehidupan pribadi sementara hal
lain dimasukkan dalam kehidupan publik. Dalam hal-hal yang termasuk “pribadi”, publik
tidak boleh campur tangan. Sebaliknya, dalam hal-hal yang dianggap “publik” tidak
boleh ada kepentingan pribadi di dalamnya.
Ketika kita belajar dialektika, kita diajari bahwa “Hal-hal yang bertentangan
sebenarnya terikat satu sama lain dan saling menyaratkan” (interpenetration of the
opposites) atau sering diterjemahkan (dengan agak keliru) sebagai “kesatuan hal-hal yang
bertentangan” . Dengan dialektika, kita tahu bahwa dalam semua hal-hal yang
nampaknya saling bertentangan terdapat ikatan yang tak terpatahkan, yang membuat
keduanya bisa terus terlibat dalam kontradiksi, yang satu tidak dapat hadir tanpa yang
lain, dan saling menghancurkan- saling membangun kembali.
Dengan dialektika, kita tahu bahwa tidak ada pemisahan yang mutlak antara
“pribadi” dan “publik”. Dalam setiap hal, setiap peristiwa dan setiap kejadian, kedua
aspek ini hadir bersamaan sekaligus tarik-menarik dan berbenturan. Kondisi riil dan
kontemporer dari tarik-menarik inilah yang memberi definisi pada kejadian/peristiwa/ hal
tersebut sebagai “pribadi” atau “publik”.
Contohnya begini: Orang sering menganggap buang hajat sebagai satu hal yang
“pribadi”. Kalau dilihat dari satu aspek, benar begitu, karena orang tidak bisa berbagi
hajat. Misalnya, tidak bisa orang menitipkan buang hajat pada orang lain. Kegiatan itu
harus dijalankan sendiri. Inilah aspek “pribadi” dari aktivitas tersebut.Tapi, sesuai
dialektika, ketika aspek “pribadi” hadir, aspek “publik” akan menyusul rapat di
belakangnya. Misalnya saja, kita “harus” buang hajat di WC. Ini adalah aspek sosial,
norma, tradisi – sesuatu yang sangat “publik”. Kita bahkan tidak bisa memilih di mana
kita bisa buang hajat. Sering kita temui tembok bertuliskan: “Yang buang hajat di sini:
anjing!” Ada tekanan sosial yang memaksa kita membuat pilihan pribadi pada rentang-
pilihan (option) yang disediakan oleh publik.
Begitu juga dengan memilih pekerjaan. Begitu kita mulai diharuskan memilih
pekerjaan, kita memasuki sebuah arena yang sangat publik, sangat sosial, karena
pekerjaan merupakan salah satu bidang yang berkaitan langsung dengan cara masyarakat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, pilihan pekerjaan yang terbuka bagi
kita ditentukan oleh moda produksi yang berlaku dalam sistem masyarakat. Pilihan yang
kita ambil dari rentang-pilihan (opsi) yang tersedia itu akan menentukan posisi kita dalam
pertentangan kelas yang muncul dalam moda produksi bersangkutan.
Jika kita perbandingkan, aspek “pribadi” memang lebih dominan dalam kasus
buang hajat sekalipun aspek “publik” tidak dapat dilepaskan daripadanya. Sebaliknya,
dalam kasus memilih pekerjaan, justru aspek “publik” atau sosial yang lebih besar,
sedangkan aspek “pribadi”-nya justru jauh lebih kecil.
Kesalahan-kesalahan pandangan, yang bertentangan dengan dialektika dan
ekonomi-politik (yang juga merupakan turunan dialektika), datang dari tekanan ideologi
borjuasi – terutama ideologi individualisme. Kelas borjuasi memang menginginkan agar
kelas pekerja merasa bahwa pilihannya adalah semata pilihan pribadinya – tanpa merasa
bahwa apa yang dilakukannya adalah bagian dari konflik kelas – supaya lebih mudah
ditindas dan ditundukkan. Ideologi ini juga yang mendorong terciptanya sistem kontrak –
di mana seorang pekerja dianggap memilih pekerjaan semata sebagai bagian dari ranah
“pribadi” sehingga ia juga harus mengikat kontrak pribadi dengan pengusaha.
Ingatlah selalu dialektika dalam mengambil kesimpulan. Yang pribadi dan yang
publik tidak akan pernah bisa dipisahkan, keduanya akan sama-sama hadir dalam satu
peristiwa. Tinggal aspek mana yang sedang berdominasi. Dan jika aspek publik
mendominasi, peristiwa/kejadian tersebut niscaya bersangkutan langsung dengan konflik
kelas.
Seri Mari Berdialektika (2) Abstrak vs Kongkrit
Ditulis Oleh Ken Budha Kusumandaru* Tuesday, 04 September 2007

Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus


dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah
contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai
masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan
ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.

Kita seringkali mendengar celetukan, “Wah, nggak kongkrit, nih!” atau “Analisanya
terlalu abstrak, tidak bisa diterima.” Celetukan-celetukan ini berasal dari
ketidakmampuan kita menilai secara dialektik pertentangan antara yang abstrak dan yang
kongkrit.
Dalam persoalan “abstrak vs kongkrit” berlaku juga hukum kesatuan kontradiktif,
tapi dengan cara yang jauh lebih rumit daripada yang berlaku pada persoalan “Pribadi vs
Publik”. Dalam soal yang sekarang kita bahas berlaku juga hukum-hukum gerak yang
lain, terutama “negasi dari negasi”.
Keterbatasan sudut pandang kita selalu membuat kita tidak dapat dengan cepat
melihat semua aspek yang berkaitan dengan satu hal. Kita melihat tanah longsor terjadi
begitu cepat, begitu mendadak. Karena itulah banyak orang yang menyebut ini sebagai
“takdir”. Yah, apa yang tadinya nampak kokoh (kongkrit) tiba-tiba runtuh (kongkrit) dan
menimbulkan banyak korban (juga kongkrit). Tapi, kita sudah diajari untuk mencari apa
yang tidak langsung nampak di depan mata kita. Oleh karena itu, kita kemudian tahu
bahwa ada penebangan pohon (kongkrit) yang membuat tanah kehilangan akar yang
berfungsi mengikat butir-butir tanah (kongkrit). Dua himpunan hal kongkrit ini
nampaknya tidak berhubungan. Abstraksi-lah yang membuat kita mampu menarik
hubungan dari berbagai hal kongkrit yang nampaknya tidak saling berhubungan ini.
Dengan abstraksi kita bisa menyangkal takdir, karena kita bisa menemukan hubungan
sebab-akibat antar berbagai hal yang kongkrit.
Contoh lain: Ada orang butuh pekerjaan (kongkrit), ada orang lain menyediakan
pekerjaan (kongkrit), orang yang butuh pekerjaan meminta pekerjaan pada orang yang
menyediakan pekerjaan (kongkrit), di antara mereka muncul perjanjian kerja (kongkrit),
si pekerja mendapat upah (kongkrit), si pemberi kerja mendapat profit (kongkrit).
Hubungan antar hal-hal yang kongkrit ini ditemukan lewat abstraksi yang luar biasa sulit
dan rumit, oleh seorang yang bernama Karl Marx, dan diuraikan lewat bukunya yang
sangat abstrak, yang diberi judul Kapital.
Jadi, di sini abstraksi menegasi kekongkritan. Hal-hal yang kongkrit menjadi
usang ketika abstraksi memainkan perannya dengan sempurna. Dengan kata lain, lewat
hal-hal yang kongkrit kita berjalan menuju abstraksi. Lewat hal-hal yang kongkrit kita
menemukan hukum-hukum, pola, skema yang merangkai hal-hal kongkrit itu dalam satu
kesatuan sebab-akibat.
Tapi, kembali proses berulang, kali ini ke arah yang berkebalikan. Begitu hukum-
hukum ditemukan, hukum-hukum ini akan menuntut penerapan. Begitu kita hendak
menerapkannya, kita akan terbentur pada keadaan di mana hukum itu harus dipecah-
pecah menjadi tindakan atau peristiwa kecil-kecil yang hanya menggambarkan hukum itu
sebagian saja. Misalnya saja, ketika orang menemukan hubungan antara penebangan
pohon dengan tanah longsor, bisa saja kemudian penerapannya adalah menanam pohon
lamtoro. Bisa jadi, di masa datang, orang mengambil kesimpulan yang keliru bahwa
pohon lamtoro bisa menangkal tanah longsor. Benar, tapi parsial, karena jenis pohonnya
tidak terlalu menentukan, yang menentukan adalah struktur akarnya.
Ketegangan antara kongkrit dan abstrak inilah yang telah terjadi sepanjang sejarah
ilmu pengetahuan. Bahkan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah himpunan dari sejarah
benturan antara yang kongkrit dan yang abstrak.

Ada kemungkinan bahwa pemisahan antara yang kongkrit dan yang abstrak ini adalah
bagian dari ideologi borjuis yang memang ingin memisahkan antara kerja pikiran dan
kerja tangan (manual/kasar) . Jatah borjuasi adalah kerja pikiran sementara jatah rakyat
pekerja adalah kerja kongkrit.
Pengaruh ideologi borjuasi ini pada gerakan rakyat pekerja terasa pada pernyataan
“yang penting mengorganisir, jangan banyak teori”. Bukankah ini, tanpa disadari,
bersesuaian persis dengan apa yang diinginkan kelas borjuis – supaya rakyat pekerja
hanya bekerja, tidak banyak berpikir?
Kita harus menolak pemisahan antara yang kongkrit dan yang abstrak. Dengan
demikian, kita menolak orang yang hanya berteori, yang berkutat di ruang kerja yang
aman dari resiko konflik kelas. Tapi kita juga menolak orang yang hanya ada di lapangan,
yang hanya berkutat dengan aksi dan aksi, yang tidak bersedia berupaya menyimpulkan
pengalamannya menjadi satu teori perjuangan. Tidak mampu dan tidak mau adalah dua
hal yang berbeda. Dan ketidakmampuan bisa diatasi dengan semangat, dengan
keberanian coba-coba, dengan trial and error, dengan dukungan seluruh kolektif untuk
bersama-sama merumuskan pengalaman-pengalam an menjadi teori baru.

Ada pula kemungkinan pemisahan ini terjadi secara tidak sengaja, yakni
ketidakmampuan menggunakan istilah dengan benar. Barangkali yang dimaksud dengan
“abstrak” adalah “rumit dan sulit dipahami”. Kalau itu yang dimaksud, baiknya jangan
disebut abstrak. Salah kaprah dan justru bisa menimbulkan ketakutan orang akan sesuatu
yang abstrak. Bisa jadi juga yang dimaksud “abstrak” adalah “tidak berdasarkan fakta”.
Ini jelas keliru. Abstraksi yang kita lakukan harus berlandaskan fakta, harus berlandaskan
sesuatu yang “kongkrit”.
Di sisi seberangnya, orang juga menggunakan kata “kongkrit” dengan makna
“tidak mudah diterapkan”. Ini penggunaan yang keliru dan bisa menimbulkan
ketidaktaatasasan (panjang betul…) alias inkonsistensi dalam bertindak. Setiap hal yang
kongkrit diatur oleh hukum (abstraksi) tertentu di balik panggung.
Dan tidak semua hal yang kongkrit harus mudah diterapkan. Seringkali, sebagai
akibat hukum yang mengaturnya, satu hal kongkrit sangat sulit dilaksanakan – contohnya
adalah penerapan hukum relativitas Einstein, yang menuntut satu benda berjalan pada
kecepatan mendekati kecepatan cahaya (± 300.000 km/detik). Hampir mustahil
menemukan hal kongkrit yang menaati hukum Einstein di bumi, ia harus diciptakan
dengan mesin yang sangat mahal atau dicari di ruang angkasa.

Kita harus dapat menggunakan keduanya (abstraksi maupun pengkongkritan) dengan


sama baiknya. Dari hal-hal yang kongkrit, kita harus mampu membangun abstraksi. Dan
dari abstraksi kita harus dapat menemukan hal-hal kongkrit yang mencerminkan hukum-
hukum abstrak itu dengan tepat. Kita dapat memeriksa apakah satu hal yang abstrak
diuraikan dengan tepat dengan memeriksa fakta kongkrit yang dijadikan alasan. Kita juga
dapat memeriksa apakah satu hal kongkrit sudah tepat dengan memeriksa apakah hal itu
taat asas pada teori/abstraksi yang melatarbelakanginya .
Dalam pengkongkritan, masuk juga upaya untuk membuat abstraksi dapat
disampaikan dengan cara yang lebih mudah dipahami. Abstraksi boleh rumit, serumit
yang diperlukan untuk dapat menemukan hukum-hukum yang dicari. Tapi, ketika ia akan
disampaikan kepada khalayak, kita sudah memasuki wilayah pengkongkritan.
Pemisahan abstrak-kongkrit dan kesalahan penggunaan istilah akan dapat
meneguhkan cengkeraman kekuasaan hegemoni borjuasi – yang tidak menginginkan
rakyat pekerja mampu membuat abstraksinya sendiri …
Seri Mari Berdialektika (3) Cerdas vs Bodoh, Tahu vs Tidak Tahu
Ditulis Oleh Ken Budha Kusumandaru* Tuesday, 04 September 2007

Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus


dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah
contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai
masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan
ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.

Seringkali kita menemui kawan-kawan, di basis atau di tempat lain, mengeluh: “Kami
tidak bisa kalau harus berpikir, kami ini orang bodoh.” Mendengar pernyataan ini, kita
bisa langsung bertanya-tanya apakah kawan ini benar rendah hati ataukah rendah diri.
Kalau rendah hati, artinya pernyataan itu merupakan pertanda kesiapan untuk belajar
lebih banyak dari orang lain, aku mengacungkan jempol. Tapi, jika pernyataan itu tulus
datangnya dari dalam hati, aku harus menyatakan penyesalan. Perasaan rendah diri itu
muncul sebagai hasil dari propaganda ideologis kelas berkuasa, yang memang
menginginkan rakyat pekerja merasa dirinya bodoh dan tidak berdaya, yang kemudian
menyerahkan tugas untuk “berpikir” pada orang-orang “pintar”. Pada kenyataannya,
“orang-orang pintar” ini adalah wakil-wakil dan kaki-tangan kekuasaan borjuasi.

Sudah lama orang berdebat ramai tentang “kecerdasan”. Persoalannya tidak sederhana.
Pada dasarnya, orang perlu mendefinisikan “kecerdasan” karena manusia mengklaim diri
sebagai “mahluk cerdas”. Nama taksononomi (cabang biologi yang menggolongkan
mahluk hidup) dari spesies manusia adalah Homo sapiens – yang artinya adalah Manusia
yang Cerdas.
Sudah sejak lama sebenarnya manusia sendiri menyangsikan bahwa hanya dirinya
yang memiliki kecerdasan itu. Manusia sudah lama kagum dengan kemampuan banyak
jenis hewan untuk melakukan hal-hal yang menakjubkan. Kera dan monyet, misalnya,
sudah sejak dulu digunakan di sirkus. Begitu juga dengan berbagai jenis hewan lain. Hari
ini kita dapat menemui berbagai jenis hewan yang mampu menjadi bintang dalam film-
film Hollywood (misalnya Air Bud, yang sekuelnya berderet-deret itu). Mereka
digambarkan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah seperti halnya manusia.
Jadi, apa sebetulnya “kecerdasan” itu – dan apakah memang hal ini yang
membedakan manusia dari hewan-hewan lainnya?

Kecerdasan: sebuah hasil dialektika

Persoalan “kecerdasan” sesungguhnya adalah sebuah persoalan dialektika yang sangat


klasik, di mana hukum dialektika “kuantitas berubah menjadi kualitas” mendominasi.
Kita biasa menggunakan hukum ini dalam kasus air yang dididihkan. Ketika kita
menambah kuantitas (jumlah) panas, maka kualitas air (dalam hal ini wujudnya) pun
akan berubah – dari cair menjadi uap. Tapi, hukum ini tidak hanya berlaku pada
penambahan kuantitas yang berunsur tunggal. Hukum ini seringkali dinyatakan dalam
bentuk lain: “Yang keseluruhan lebih besar daripada penjumlahan bagian-bagiannya.”
Kita seringkali secara sederhana menggambarkannya sebagai “1+2 < 3.” Contoh lainnya
adalah mobil. Roda bukan mobil, mesin dan busi juga bukan mobil, begitu juga kaca,
wiper, bemper, dll. Ketika masing-masing unsur ditumpuk menjadi satu (dijumlahkan)
kita belum menghasilkan mobil. Tapi, ketika digabungkan, ketika semua unsur
menempati posisinya masing-masing dalam kesatuan yang padu, roda+mesin+kaca+
rangka+dll, kita akan menghasilkan mobil.
Inilah yang disebut “penjumlahan dialektik” di mana bukan kuantitasnya
saja yang dilihat – tapi juga bagaimana hubungan antar unsur yang dijumlahkan.
Kecerdasan adalah sebuah kualitas. Maka, kecerdasan memiliki unsur-unsur. Di
antara unsur-unsur itu juga terdapat hubungan tertentu, yang dapat kita temukan. Jika
berdiri sendiri, unsur-unsur ini tidak dapat disebut “kecerdasan”. Ada orang yang kuat di
satu unsur, ada yang kuat di unsur yang lain. Tapi, yang lebih penting lagi adalah
bagaimana unsur-unsur berhubungan. Sekalipun barangkali seseorang tidak memiliki
salah satu unsur yang menonjol, ia tetap bisa “cerdas” jika berhasil membangun
hubungan yang padu antar unsurnya.

Unsur-unsur Kecerdasan

Sampai saat ini, ilmu pengetahuan sudah mengenali beberapa unsur yang membentuk
kecerdasan. Beberapa yang paling dikenal orang adalah kecepatan belajar, kemampuan
menggunakan metode coba-coba untuk menemukan jawaban satu masalah,
menghubungkan masalah dengan konteks dan memilih jawaban yang tepat dari rentang
pilihan (opsi) tertentu. Unsur-unsur inilah yang diuji dalam tes yang dikenal sebagai IQ.
Sekalipun diberi nama “Intelligent Quotient Test” (Uji Kadar Kecerdasan), IQ hanya
menguji beberapa aspek (unsur) tertentu dari kecerdasan. Itupun bukan yang utama dan
tidak menguji hubungan yang terdapat antar aspek-aspek tersebut.
Aspek yang lainnya adalah kemampuan mengingat kembali hal-hal yang telah
dipelajari sebelumnya. Cara kita bersekolah di Indonesia ini lebih banyak menekankan
aspek yang ini, yang dikenal juga sebagai kemampuan menghafal.
Para ahli juga menyebut-nyebut tentang “kecerdasan” motorik, di mana orang
dapat melatih alat-alat tubuhnya agar “jinak” dan dapat digerakkan sekehendak hatinya.
Bentuk kecerdasan lain adalah “kecerdasan sensorik” di mana kepekaan inderawi
ditingkatkan sedemikian rupa sehingga mampu menangkap hal-hal yang tidak dapat
ditangkap orang biasa. Ada lagi yang disebut-sebut sebagai “kecerdasan emosional”,
yang dapat membuat orang peka terhadap situasi dan perilaku orang lain dan mampu
menyesuaikan tindakan dan bahasa tubuhnya pada konteks lingkungannya. Walau
demikian, ketiga jenis kecerdasan ini sesungguhnya merupakan variasi dari kemampuan
membangun behavioral template (mal/pola baku perilaku) yang akan dicerna syaraf, baik
motorik maupun sensorik. Kini telah diketahui bahwa pembangunan pola baku ini adalah
bagian dari sistem budaya manusia – karena kemampuan ini dibentuk melalui permainan
yang dilakukan di masa kanak-kanak.
Di samping itu, ada jenis kecerdasan lain, yang tidak banyak diuji dan diberi
ponten di sekolah: kreativitas, yakni kemampuan untuk menemukan cara baru untuk
memanfaatkan bahan-bahan yang telah tersedia. Seorang pembantu rumah tangga yang
mendapati sapunya patah, lalu menyambungnya kembali sedemikian rupa sehingga dapat
digunakan lagi, adalah contoh kecerdasan semacam ini.

Bagaimana unsur-unsur kecerdasan dihubungkan


Tiap saat, tiap waktu, kita menggunakan salah satu unsur kecerdasan. Ketika Anda
membaca tulisan ini, setidaknya Anda menggunakan kemampuan untuk menghafal ketika
Anda mencoba memahami huruf dan makna kata-kata, sekaligus berusaha
memadukannya dengan pengetahuan yang sudah ada di kepala Anda. Kecepatan Anda
memadukan pengetahuan itu adalah bentuk kecerdasan lain yang Anda gunakan.
Tapi, manusia memiliki cara lain yang lebih rumit untuk menggunakan bentuk-
bentuk kecerdasan ini. Bentuk-bentuk hubungan yang hampir tidak pernah diperlihatkan
oleh hewan yang paling “cerdas” sekalipun – kecuali dalam kasus-kasus khusus di mana
hewan “cerdas”, semacam simpanse, dilatih secara oleh orang-orang ahli. Itupun lebih
merupakan kekecualian daripada kebiasaan.
Misalnya, ketika Anda melihat judul tulisan ini, Anda harus mengambil keputusan
apakah membacanya lebih lanjut atau melewatkannya. Jika Anda melewatkannya, siapa
tahu tulisan ini berguna untuk Anda; tapi jika Anda baca, bisa jadi Anda justru buang-
buang waktu. Dengan membaca judulnya saja, Anda tidak dapat menentukan apa
hasilnya jika Anda mengambil salah satu keputusan. Pada saat itu, Anda dihadapkan pada
keharusan menggunakan kemampuan memilih pada rentang pilihan yang tidak jelas
konsekuensinya.
Agar dapat mengambil keputusan dengan baik, Anda tentunya akan
membandingkan pilihan-pilihan yang tersedia dengan keputusan-keputusan Anda
sebelumnya: terutama mengenai kebutuhan Anda dan jadwal penggunaan waktu yang
Anda punya. Jika Anda memang telah merencanakan untuk membaca segala hal yang
bersangkutan dengan dialektika, Anda pasti mengambil resiko membaca tulisan ini. Jika
jadwal waktu Anda memungkinkan, Anda juga mungkin memutuskan untuk mulai
membaca. Ini membutuhkan kemampuan untuk merencanakan.
Dan, terakhir, untuk dapat menyimpulkan apa yang akan menjadi keputusan,
Anda harus “memainkan skenario” di dalam kepala Anda. Inilah bentuk yang sering kita
jumpai, di mana kita seakan “bicara pada diri sendiri” atau “bicara dalam hati”. Padahal,
yang kita lakukan adalah memainkan satu atau beberapa skenario, untuk menebak seperti
apa hasilnya jika satu hal/kejadian dipasangkan dengan hal/kejadian lain. Kemampuan
menebak hubungan yang terjadi antar hal/kejadian inilah yang dikenal sebagai
kemampuan abstraksi.

Kecerdasan adalah kemampuan menggunakan pikiran secara berguna

Kita tentu tidak bisa menulis atau bercakap-cakap tanpa mengetahui, menghafal dan
menguasai cara menyusun kata-kata. Tapi, percakapan yang bermutu menutut lebih dari
itu – yakni kecerdasan untuk memilih, merencanakan dan menghubungkan kata-kata
untuk menyampaikan satu pesan yang dapat dimengerti lawan bicara.
Oleh karena itulah “orang sekolahan” belum tentu cerdas. Di sekolah, apalagi di
sekolah ala Indonesia, orang hanya dilatih menghafal. Pengetahuannya banyak tapi ia
(kemungkinan besar) tidak mampu merangkai pengetahuan itu menjadi sesuatu yang
berguna. Seseorang bisa bergelar Sarjana, Master atau Doktor – dengan pengetahuan
berjubel di otaknya – tapi untuk kecerdasan (kemampuan merangkai pengetahuan
menjadi sesuatu yang berguna) ia bisa jadi kalah dengan seorang buruh, seorang petani
atau seorang nelayan.
Dari sebab itu, jika kita bertemu seorang dari basis (atau dari manapun) yang
berkata, “Maaf, kami terlalu bodoh,” katakan padanya, “Kita semua cerdas. Kita semua
mampu menyambungkan pengetahuan kita menjadi sesuatu yang berguna.”
Benar, sama seperti semua hal lain di dunia ini, kecerdasan memang musti diasah,
musti dilatih. Oleh karena itu kita belajar MDH, tata-cara berpikir, agar memudahkan kita
menghubungkan berbagai macam hal. Kita juga belajar sejarah, agar mendapat
penambahan pengetahuan tentang penindasan dan cara-cara yang pernah dilakukan orang
untuk melawannya. Kita berdiskusi, kita berorganisasi, kita menjalankan instruksi dan
memimpin. Semua ini dilakukan untuk melatih kecerdasan.
Kalau sekolahan resmi tidak mampu kita masuki (karena terlalu mahal),
belajarlah dengan giat di dalam organisasi. Jangan pernah merasa cukup, teruslah berlatih
menggunakan otak kita. Karena kecerdasan yang dibangun dalam sebuah organisasi
perlawanan adalah kecerdasan yang lengkap dan paling berguna bagi kita semua.
Seri Mari Berdialektika (4) Bekerja untuk orang banyak vs bekerja untuk diri
sendiri
Ditulis Oleh Ken Budha Kusumandaru* Tuesday, 04 September 2007

Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus


dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah
contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai
masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan
ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.

Orang seringkali mengatakan, “Aku tidak punya waktu bekerja untuk organisasi karena
urusan keluarga sendiri belum teratasi.” Dengan kalimat yang serupa tapi tak sama,
“Sebelum berjuang untuk orang lain, penuhi saja kebutuhan dirimu sendiri terlebih
dahulu.” Di mana-mana kita temui kalimat seperti ini. Di pabrik, di pesisir, di desa, di
kota , semuanya sama saja. Di sini kita temui hasil ciptaan ideologi borjuasi yang
menekankan agar tiap orang mementingkan dirinya terlebih dahulu, karena kesejahteraan
masyarakat akan lahir jika tiap orang mengejar kesejahteraannya masing-masing. Adam
Smith menegaskan hal ini dalam bukunya yang terkenal: Wealth of Nations atau
Kekayaan Bangsa-bangsa, di pertengahan abad ke-18.
Bagi kita, alasan ini sangat menyulitkan karena mematahkan solidaritas. Alasan
ini dipergunakan banyak orang di pabrik untuk tidak mau ikut berjuang dalam
pemogokan, karena takut “kesejahteraan pribadi”-nya terganggu. Aku menemui banyak
alasan seperti ini ketika dahulu mulai mengorganisir mahasiswa di kampusku, IPB,
padahal banyak di antara mereka adalah anak-anak petani. Tapi, impian untuk naik kelas,
untuk hidup “lebih layak”, telah membutakan mata mereka terhadap nasib sesama petani.
Terus-terang, akupun punya impian yang sama pada masa itu – menyelesaikan kuliah,
dapat pekerjaan yang bergaji tinggi, bisa menyejahterakan orangtuaku. Jika sudah pernah
berkunjung ke rumah orangtuaku di Rawamangun, Anda akan paham mengapa aku
punya mimpi semacam itu.
Tidak kurang dari orang-orang yang dahulu “menjerumuskan” aku ke dunia
politik juga berpendapat serupa saat ini. Mereka mengatakan, “Ketika masih kuliah,
jadilah sosialis – karena masa muda harus diisi dengan idealisme. Tapi, ketika sudah
lulus, jadilah kapitalis – karena itulah realisme.”

Posisi historis “Kerja” (sangat disederhanakan)

Kerja merupakan satu pokok masalah dialektika yang sangat rumit. Barangkali yang
paling rumit. Ini karena hakikat kerja merupakan landasan dari sebuah sistem
masyarakat. Siapapun yang pernah belajar Sejarah Masyarakat pasti paham bahwa
masyarakat diatur di seputar pembagian kerja.
Pada awalnya, ketika masyarakat belum mengenal kelas, semua hal yang
bersangkutan dengan “kerja” dilakukan untuk kepentingan bersama. Tentu saja ada hal-
hal lain yang merupakan aktivitas – misalnya memancing untuk bersenang-senang.
Bahkan membuat perhiasan pun pada akhirnya dilakukan untuk kepentingan masyarakat
karena perhiasan (pada masa itu) dianggap jimat yang mampu melindungi pemakainya
dari bahaya. Jika anggota masyarakat melindungi diri, ia akan meringankan beban
komunitasnya dalam soal menjaga kelangsungan hidup di tengah medan yang keras.
Setelah masyarakat mengenal pembagian dalam kelas-kelas, barulah “kerja untuk
orang banyak” mulai digerus. Perlahan tapi pasti, konsep ini digulingkan oleh konsep
“bekerja untuk orang lain” – dalam pengertian “hasil pekerjaanku adalah milik orang
lain” atau “hasil kerjaku akan dirampas orang lain.” Bentuk paling kasar dan telanjang
dari konsep ini adalah sistem perbudakan.
Sistem perbudakan melahirkan banyak perlawanan. Untuk ukuran jaman ini, tentu
saja pemberontakan jauh lebih jarang terjadi. Tapi, pertimbangkan pula tingkat intensitas
dan kekerapan komunikasi, yang menjadi lahan subur bagi munculnya pemikiran untuk
berlawan.
Untuk menutupi keadaan yang timpang ini, kelas berkuasa membujuk agar kelas-
kelas pekerja (pada masing-masing jamannya) untuk beranggapan bahwa ia “bekerja bagi
dirinya sendiri.” Mulai dari jaman feudal, para petani dibebaskan dari rantainya dan ia
diperbolehkan “bekerja bagi diri sendiri”. Hanya saja, demi keamanan dan perlindungan
dari raja, ia harus menyerahkan sebagian hasil tanahnya untuk upeti.
Masyarakat kapitalis melangkah lebih jauh. Semua orang dibebaskan dari ikatan
apapun. Seseorang tidak lagi diwajibkan berlutut di depan para raja, menyerahkan isi
lumbung ketika perwira kerajaan datang memungut upeti atau menyerahkan anak gadis
ketika seorang pangeran meliriknya. Tapi, ada tapinya: ia dibebaskan juga dari
kepemilikan atas alat-alat pemenuhan kebutuhannya.
Dengan demikian, seorang anggota kelas-kelas pekerja akan dengan mudah
tunduk pada ilusi bahwa ia bebas memilih sendiri pekerjaannya, bebas memilih kepada
siapa ia akan “menjual tenaganya”, bebas menetapkan dengan harga berapa ia akan
“melepas” tenaganya.
Padahal, ia sama sekali tidak bebas. Ia terikat dalam belenggu maha dahsyat.
Ketika seorang petani diperas, ia tinggal bekerja lebih keras untuk mendapat hasil lebih
banyak bagi dirinya sendiri. Jika seorang buruh diperas, ia tidak bisa lari ke mana-mana,
karena ia tidak lagi memiliki alat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Inilah kontradiksi terbesar dalam sebuah masyarakat kapitalis: ketika
sebagian besar anggota masyarakat dibebaskan dari kekangan untuk menghamba
pada orang lain, ia justru dibelenggu oleh rantai baja ke dalam sistem kerja
upahan. Ketika seseorang dibujuk untuk bersikap individualis, ia dipaksa untuk
bekerja sepenuhnya bagi orang lain – seluruh hasil kerjanya dirampas dan ia hanya
diberi secukupnya untuk bertahan hidup agar esok hari bisa datang lagi bekerja
dan dirampas haknya.
Sistem kapitalisme yang semakin mendunia juga membuat tidak ada lagi orang
yang dapat bekerja untuk memproduksi barang kebutuhan diri sendiri. Seorang yang
memproduksi baju, tidak akan membawa pulang baju itu. Baju itu akan dinikmati oleh
masyarakat – melalui sistem pasar. Begitu juga dengan orang yang memproduksi barang
dan jasa lainnya.
Hal ini menghasilkan kontradiksi lagi: ketika seseorang bekerja untuk
kepentingan orang banyak, hasil kerjanya hanya dinikmati oleh segelintir orang
yang justru tidak bekerja.
Jadi, masa kapitalis sesungguhnya telah membawa kita pada keadaan di mana
tidak ada lagi pekerjaan yang dilakukan untuk diri sendiri. Semua hasil pekerjaan kita
dinikmati oleh orang lain. Tapi, kita berkhayal bahwa masing-masing dari kita bekerja
untuk dirinya sendiri. Bagi sebagian besar orang, ini jelas khayalan karena upah yang
diterimanya memang tidak cukup untuk hidup layak. Lebih mudah untuk membongkar
khayalan itu. Tapi, bagi sebagian yang lain, yang menerima upah cukup atau lebih dari
cukup, lebih sulit untuk membongkar khayalan ini. Kontradiksi ini membingungkan
mereka dan, karena tidak memahami dialektika, mereka memilih untuk percaya bahwa
mereka memang “bekerja untuk diri sendiri.”

Mengapa tingkat upah bisa berbeda?

Sejak awal masyarakat mulai terbagi dalam kelas-kelas, selalu ada jenis-jenis “pekerjaan”
yang tidak berhubungan langsung dengan produktivitas masyarakat – pekerjaan di bidang
pengaturan masyarakat.
Pengaturan masyarakat ini memiliki tiga bidang utama:

1. Administrasi; atau sekarang kita kenal sebagai birokrasi – posisi ini (di masa lalu)
ditempati oleh para magistrat, para hakim, para jaksa atau (sekarang) para eselon,
dirjen, kakanwil, dsb.
2. Ideologis; menjaga ketaatan pikiran massa agar sesuai dengan cara berpikir kelas
berkuasa – posisi ini ditempati para guru, cendekiawan (intelektual) , penasehat
(konsultan), dll.
3. Represif; menjaga ketaatan massa secara fisik – polisi, tentara, alat kekerasan
lainnya.

Apakah seseorang yang bekerja di bidang-bidang ini dapat dikatakan “bekerja” dalam
pengertian yang sesuai dengan konsep perjuangan kelas. Menurutku tidak. Bekerja di
bidang-bidang ini berarti mengabdikan diri pada kelas yang berkuasa. Inilah Negara,
dalam pengertian kita (badan yang mengatur masyarakat demi kepentingan kelas
berkuasa), bukan dalam pengertian borjuis (wilayah, penduduk, pemerintahan) .
Sejarah telah mencatat bagaimana anggota kelas-kelas pekerja direkrut juga untuk
mengisi posisi-posisi dalam bidang-bidang pengaturan masyarakat ini. Aku sudah
menulis “SatpolPP, Militerisme dan Posisi Kelas Kaum Miskin Perkotaan” untuk
menelusuri hal ini. Apakah seorang anggota Satpol PP tidak menyadari bahwa apa yang
dilakukannya merugikan orang banyak? Aku pikir sebagian besar menyadarinya. Sama
saja dengan banyaknya orang masuk menjadi KNIL atau PETA di jaman dulu. Atau
sebagai centeng tanah di jaman Belanda atau sebagai anggota organisasi preman di jaman
Orde Baru. Di jaman apapun, bekerja pada penguasa akan menghasilkan upah yang lebih
tinggi.
Pertanyaannya bukan apakah seorang anggota kelas pekerja menyadari atau tidak
menyadari tindakannya masuk ke dalam tatanan Negara. Masalahnya adalah apakah ia
dapat bertahan di tengah tekanan yang dihadapinya secara lebih langsung – kadang
sampai pada pilihan: tunduk dan menikmati kesejahteraan (dengan bersetia membela
kepentingan kelas berkuasa) atau melarat (dan tetap saja dipaksa tunduk dalam bentuk
lain). Misalnya saja, jika satu LSM sudah kelihatan terlalu radikal, dia tidak akan lagi
dapat funding. Ini kasus “tongkat atau wortel” jika kita merujuk pada ilmu sosial borjuis.

Kemungkinan lainnya datang dari sogokan. Kita tahu bahwa, di bawah system
apapun, ada saja majikan baik dan majikan buruk. Ada pemilik budak yang
memperlakukan budaknya dengan baik. Ada bangsawan yang memperlakukan hambanya
dengan manusiawi. Ada pula pengusaha yang memberikan upah tinggi pada buruhnya.
Ini jelas tidak menghilangkan sumber penghisapan itu sendiri – yang berakar pada sistem
masyarakat.
Tapi, sebagaimana di sepanjang jaman, seorang budak yang mendapat majikan
baik tidaklah akan mengangkat perlawanan terhadap majikannya – ia takut dijual dan
malah jatuh ke tangan majikan yang jahat. Para petani akan membela mati-matian raja
atau bangsawan yang dianggapnya baik – daripada jatuh ke tangan raja yang kejam.
Demikian pula para buruh yang mendapat pengusaha ramah –akan sulit melawan
pengusahanya karena takut di-PHK dan malah terlunta-lunta.

Kembali ke dialektika

Ketika kita dihadapkan pada kontradiksi- kontradiksi semacam ini, secara pribadi kita
dituntut untuk berani memilih. Dan ketika kita setia pada prinsip dialektik, kita akan
memandang persoalan ini dengan memakai hukum dialektika. Bagiku, hukum yang
paling cocok diterapkan di sini adalah negasi dari negasi.
Ketika kita berhadapan dengan sistem pembagian kerja seperti yang ada di depan
mata kita, kita harus merumuskan sistem macam apa yang kiranya akan menjadi
negasi (penyangkalan) terhadap sistem tersebut. Ketika orang dibuat berkhayal bahwa ia
bekerja untuk dirinya sendiri, kita harus patahkan ilusi itu. Ketika orang menggunakan
upahnya semata untuk kepentingan keluarga dan dirinya sendiri, kita harus mendorong
agar upah itu digunakan untuk kepentingan bersama. Ketika orang menggunakan waktu
luang untuk bersantai melepas lelah, kita harus tidak bosan-bosannya menganjurkan agar
waktu luang itu digunakan untuk kepentingan bersama (dalam pengertian sejatinya).
Ketika orang disuntik dengan kesadaran bahwa ia harus membelanjakan uangnya untuk
barang-barang keperluan pribadi, kita harus menanamkan kesadaran bagaimana orang
selalu berpikir “apa guna barang yang akan aku beli ini bagi orang banyak.” Ketika orang
dipaksa berbeda jabatan karena perbedaan akses terhadap pendidikan, kita akan
menghasut agar tiap orang memikirkan bagaimana jabatan itu dapat dipakai demi
kepentingan perjuangan kelas – apapun resikonya bagi diri sendiri. Ketika sistem
menetapkan bahwa hak dan kewajiban orang tidak setara, kita akan mengatur agar ada
lingkungan di mana semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Hal yang disebut terakhir inilah yang saat ini dicoba diterapkan di PRP. Tidak
peduli apakah dia seorang buruh panggul, seorang nelayan tradisional, seorang petani
gurem atau seorang intelektual, seorang anggota LSM, seorang lurah – ia harus
menyerahkan minimal tujuh jam dalam seminggu untuk kepentingan PRP, ia harus
membayar iuran sesuai ketetapan, membeli dan menyebarkan Koran Rakyat, melakukan
Propaganda–Rekrutmen– Pendidikan.
Seorang buruh pasti sulit sekali melakukan hal ini. Tuntutan lembur, apalagi jika
sedang kejar eksport, seringkali akan menyebabkannya kewalahan mengatur waktu.
Seorang nelayan juga demikian. Ketika sedang musim ikan, ia barangkali akan ada di laut
selama berhari-hari atau berbulan-bulan. Dan, di laut, ia kemungkinan besar bekerja keras
20 jam sehari. Percayalah, kerja di laut begitu keras dan melelahkan. Begitu juga seorang
petani, tukang becak atau kelas pekerja miskin lainnya. Pendeknya, waktu luang adalah
hal yang luar biasa berharga bagi rakyat pekerja.
Tapi kita musti “kejam” (pake tanda kutip, lho). Kita harus “memaksa”
semua anggota PRP untuk menyerahkan waktu luangnya. Tidak peduli betapa
capainya ia, ia harus menyempatkan diri untuk melakukan kewajibannya bekerja
bagi organisasi. Satu saat, kita harus sampai pada titik “toleransi nol” terhadap
keharusan memenuhi kewajiban ini.
Ada satu tulisan di majalah Blok K pada edisi khusus UU Pro Buruh ABM,
terbitan Front Anti Neolib Solo, yang menyerukan agar perjuangan ini dilakukan dengan
gembira. Tentu saja. Ketika seseorang memberi sedekah atau infak, ia ber-“investasi”
untuk kehidupan yang lebih sejahtera kelak (walau baru bisa dipenuhi sesudah mati).
Ketika kita menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran dan uang, kita juga ber-“investasi”
untuk kehidupan yang lebih baik (walau mungkin baru bisa dinikmati anak-cucu kita).
Kita seharusnya bergembira karena hal ini.
Jika kita sudah berhasil membuat seluruh anggota organisasi bergembira ketika
sanggup memenuhi kewajibannya, kita akan mematahkan kontradiksi bahwa orang
dipaksa bekerja bagi orang lain sambil berkhayal bahwa ia melakukan itu bagi dirinya
sendiri. Ia akan bekerja sepenuh hati bagi semua orang – termasuk dirinya dan
keturunannya – agar kelak tidak ada lagi orang yang tidak bekerja tapi menikmati
semuanya.
Kita juga memperjuangkan peningkatan upah (dan penghasilan lain secara umum)
– dengan tujuan agar rakyat pekerja bisa memiliki lebih banyak uang untuk membiayai
pendidikan, membeli Koran Rakyat, mengongkosi pengorganisiran dan mobilisasi
massa , mencegah ketergantungan pada funding dan proposal. Berikutnya kita pasti harus
memperjuangkan pemotongan jam kerja – walau hal ini masih harus dipertimbangkan
dengan hati-hati. Dengan pemotongan jam kerja dan peningkatan upah, rakyat pekerja
diharapkan berani untuk menyediakan lebih banyak waktu luang karena tidak perlu
mengambil lembur. Waktu luang ini harus digunakan untuk membaca dan berdiskusi,
pergi mengorganisir dan melakukan pendidikan. Kita harus terus memperbesar ruang
agar kontradiksi ini dapat semakin dinegasi.
Melalui PRP, kita akan menghadapi kontradiksi dengan kontradiksi, melancarkan negasi
terhadap negasi. Dan kita akan memberi ruang pada keharusan yang diciptakan sistem,
yakni keharusan bekerja bagi orang lain, sembari membiasakan orang untuk bekerja bagi
kepentingan bersama. Sampai satu hari nanti (kuharap tidak terlalu lama menunggu)
salah satu Kongres kita akan mengamandemen angka tujuh jam itu – karena dianggap
terlalu sedikit dan terlalu ringan.
Seri Mari Berdialektika (5) Kerja bawah vs kerja atas
Ditulis Oleh Ken Budha Kusumandaru* Tuesday, 04 September 2007

Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus


dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah
contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai
masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan
ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.

Kita seringkali mendengar pernyataan: “Jangan terlalu memforsir kerja atas,


sehingga kerja bawah terlupakan,” atau justru sebaliknya, “Sudah waktunya
meninggalkan kerja di bawah terus, kita sudah harus berkonsentrasi pada kerja atas.”
Kadang, memang kita larut dalam cara berpikir yang telah ditanamkan bertahun-tahun di
kepala kita, cara pandang mekanistik, formalis, yang menganggap dua hal yang
berlawanan sebagai hal yang terpisah satu sama lain. Kita gagal melihat bahwa hal-hal
yang bertentangan merupakan dua sisi dari keping mata uang yang sama.
Kekacauan ini disebabkan pula oleh penggunaan istilah yang tidak tepat –
kerancuan makna yang berasal dari dilepaskannya satu istilah dari konteks historisnya
dan dipaksakan maknanya berdasarkan konteks sosial yang baru.
Sebelum kita membahas dialektika atas-bawah, mari kita lihat dulu bagaimana
kata ini muncul di tengah gerakan rakyat Indonesia masa kini.

Sebuah konteks yang didominasi kediktatoran

Ketika pertama kali aku mendengar istilah “atas” dan “bawah” – yakni di awal
1990-an – yang dimaksud adalah kerja-kerja terbuka atau kerja-kerja tertutup. Orang
menyebut “kerja atas” ketika yang diperlukan adalah kerja-kerja legal atau semi-legal
(menggunakan organisasi selubung atau front organization). Sederhananya adalah
dengan mengibarkan bendera yang dapat dilihat secara luas oleh massa. Sedangkan
“kerja bawah” adalah pekerjaan yang dilakukan secara bersembunyi, di luar pengetahuan
alat-alat represif rejim atau (dengan kata lain) kerja bawah tanah. Yang disebut “orang
atas” adalah mereka yang muncul dengan memproklamirkan diri sebagai pemimpin
organisasi, sedangkan “orang bawah” adalah mereka yang tersamar identitasnya – bahkan
seringkali tidak diperbolehkan mengaku sebagai anggota organisasi.
Ketika melakukan kerja-kerja legal atau semi-legal, tindakan politik yang paling
banyak berguna pada masa itu adalah pembangunan aliansi – terutama dalam bentuk
front demokratik anti kediktatoran. Dengan kerja-kerja aliansi, terutama jika bisa
memimpin dalam program dan arahan politik, pamor organisasi cepat terangkat di depan
massa maju (yakni aktivis anti kediktatoran) . Dari sinilah perluasan organisasi (termasuk
perekrutan) banyak terjadi.
Sementara kerja-kerja ilegal memang lebih banyak dilakukan di tingkat basis. Ini
karena pengawasan oleh aparat berlangsung lebih keras di tingkat basis. Pada masa
kediktatoran Soeharto, orang yang tampil sebagai oposisi politik (apalagi dengan cara
“elegan”) kemungkinan besar hanya akan dimatikan karirnya dan diteror secara
psikologis. Tapi, para organiser di tingkat basis berhadapan dengan kemungkinan
dibunuh atau disiksa. Maka, kerahasiaan menjadi hal pertimbangan terpenting dalam
pengorganisiran di basis.
Ketika konteks kediktatoran hilang bersamaan dengan tumbangnya Orde Baru,
hilang pulalah konteks kerahasiaan dalam penggolongan “atas” dan “bawah”. Yang
tinggal hanyalah bentuk kerjanya. Maka, kemudian makna kata ini bergeser. Kata “atas”
jadi dimaknai kerja-kerja politik dalam sistem (termasuk pembangunan aliansi, negosiasi
dengan Negara, dll). Sementara kata “bawah” bergeser maknanya menjadi “kerja
pengorganisiran basis”.
Ada hal lain yang kurang nampak tapi juga terkait dengan konteks kediktatoran.
Di jaman kediktatoran, penting sekali untuk memisahkan kerja “bawah” dan “atas”.
Seringkali orang-orang “atas” tidak memiliki akses ke “bawah” (atau sebaliknya) kecuali
melalui kurir. Pemisahan ini diperlukan supaya jika ada yang tertangkap, ia tidak bisa
dipaksa mengaku, dengan cara apapun, siapa saja kaki-tangan organisasi dalam sistem
politik atau siapa saja organiser yang bekerja di tingkat pabrik atau desa. Ketika makna
bergeser, pemisahan “atas” dan “bawah” ini terbawa terus, tidak ikut bergeser atau hilang
seiring hilangnya konteks kerahasiaan itu.
Agaknya sudah dapat terlihat bahwa makna yang terbawa ke masa sekarang
hanyalah yang menyangkut “bentuk”-nya. Isi, konteks atau latar belakang historisnya,
tertinggal dan terlupakan. Orang gagal mempertahankan kesatuan bentuk dengan isi,
fenomena (gejala) dengan esensi (hakikat).
Oleh karena itulah aku menyebut penggunaan istilah “atas” dan “bawah” sekarang
ini sebagai sebuah kerancuan. Kerancuan itu membuat pembagian ini tidak berguna untuk
menjelaskan apa tugas mendesak yang harus dilakukan oleh gerakan progresif hari ini.
Istilah itu terkait terlalu erat dengan konteks kediktatoran sehingga sulit ditempa menjadi
penggolongan kerja yang berguna di masa kini, di bawah rejim neoliberal. Dengan
demikian, aku menganjurkan agar kita melupakan saja penggolongan “atas” – “bawah”
itu dan menggantinya dengan penggolongan yang lebih berguna, misalnya kerja
Ideologis, Politis dan Organisasional, yang dapat digabungkan dengan penggolongan lain
yakni kerja di tingkat masyarakat/Negara, di tingkat komunitas/organisas i dan kerja atas
individu.

Memandang persoalan secara utuh

Mengapa pembagiannya musti serba tiga? Tidak ada sebab khusus. Soalnya,
penggolongan merupakan sebuah aktivitas yang arbitrer, artinya merupakan hasil pilihan
dari para penyusunnya. Kita dapat menerima sebuah penggolongan sebagai “tepat”
apabila penggolongan itu menghasilkan kemudahan dalam menyusun pemahaman
mengenai konsep – sekaligus penerapan dari konsep itu.
Di sini berlaku hukum dialektika “Penjumlahan Bagian-bagian selalu lebih kecil
dari Hasil Utuhnya,” yang merupakan ayat dari pasal “Kuantitas menuju Kualitas.”
Artinya, penggolongan berguna untuk memecah persoalan menjadi bagian yang lebih
kecil dan dapat lebih mudah dicerna. Tapi, persoalan tetap harus dipandang secara utuh.
Unsur-unsur persoalan itu tidak boleh dilepaskan dari induk masalahnya. Ini mirip
dengan ketika kita membetulkan mesin yang ngadat. Kita akan melepaskan komponen-
komponen, mengujinya satu-persatu, lalu mencoba menghubungkan beberapa komponen
dalam subsistem (misalnya sistem pengapian atau sistem penggerak rodanya). Setelah
ditemukan kunci penyelesaian masalahnya, semua komponen harus dipasang lagi pada
kedudukan dan perannya yang seharusnya.
Dengan demikian, penggolongan “I–P–O” dan “masyarakat–komunitas–
individu” hanya berguna untuk memudahkan kita menangani persoalan, bukan
pembagian yang mutlak, yang berlaku secara universal di setiap tempat di sepanjangan
jaman, dan tidak terbuka untuk perubahan dan penyempurnaan – bahkan juga
penyangkalan.
Dari sebab itu, di bawah ini aku hanya akan memaparkan sekelumit tentang
penggolongan itu dari aspek definisinya, disertai contoh penggunaannya. Aku katakan
“contoh” karena kawan-kawan dari Komite Kota-lah yang harus menemukan sendiri
bagaimana memadukan aspek-aspek yang berlawanan dari tiap kerja-kerja kita di kancah
perjuangan kelas ini. Kawan-kawan Komite Kota-lah yang harus memadukan abstraksi
dan kekongkritan, kerja agitasi/propaganda dan kerja aksi massa, kerja pendisiplinan dan
membangkitkan inisiatif, mendirikan sentralisme berdasarkan demokrasi. Inilah yang kita
sebut praksis, hubungan dialektik antara teori–praktek.
Jadi, inilah definisi yang dapat kita pergunakan dalam menggolongkan kerja-kerja
perjuangan kelas kita:

1. Ideologis: adalah kerja untuk mempengaruhi cara pandang orang terhadap


persoalan;
2. Politis: adalah kerja untuk mempengaruhi struktur/sistem pengaturan masyarakat;
3. Organisasional: adalah kerja menata sumberdaya yang diperlukan dalam
perjuangan.

Sementara untuk definisi masyarakat–komunitas– individu secara lengkap dapat


ditemukan dalam tulisanku “Sekali Lagi tentang Ormas dan Orpol”. Di sini aku hanya
akan menyajikan sekelumit saja dari uraian lengkap itu:

1. Kerja tingkat Masyarakat: adalah kerja untuk mempengaruhi cara pandang orang atas
dunianya (weltanschauung-nya), di tingkat filsafat dan interpretasi manusia atas ilmu
pengetahuan (baik pengetahuan alam maupun pengetahuan sosial), mengubah cara dunia
ini diatur dan disusun;

2. Kerja tingkat Komunitas: adalah kerja untuk mempengaruhi cara orang berhubungan
dengan orang lain hirarki sosialnya, caranya bersikap terhadap perubahan dalam
lingkungan di mana ia hidup;

3. Kerja tingkat Individu: adalah kerja untuk mempengaruhi cara orang menempatkan
dirinya sendiri di dalam konflik/kontradiksi yang tiada berkesudahan ditemuinya,
mengubah cara orang mengambil keputusan tentang apa yang baik/benar atau
buruk/salah.

Seperti dapat kita lihat, penggolongan ini tidak menghasilkan golongan yang
sama sekali terpisah satu sama lain. Masing-masing golongan hanya merupakan salah
satu aspek dari gambaran utuh persoalannya. Kerja di tingkat Ideologi ternyata tak dapat
dipisahkan dari kerja Organisasional maupun Politis. Demikian juga kerja di tingkat
Masyarakat ternyata tak terlepas dari kerja di tingkat Komunitas dan Individu.
Penggolongan hanya memudahkan menyusun pemahaman. Tidak lebih dari itu.

Beberapa contoh soal

Mari kita ambil program kita, Kekuasaan bagi Rakyat Pekerja. Di sini dibutuhkan
perjuangan di ketiga tingkatan/skala perjuangan: masyarakat, komunitas, individu. Dan di
masing-masing tingkatan, tiga serangkai Ideologi–Politik– Organisasi berjalan seiring.
Di tingkat masyarakat, misalnya, kita dapat melancarkan perjuangan ideologi
dengan menggali, menyusun dan menyebarluaskan pemahaman tentang perjuangan kelas
dan sosialisme. Dari segi politik, ini berarti melakukan oposisi terhadap kekuasaan kelas
borjuasi – terhadap segala keputusan dan sistem politik yang mereka berlakukan,
termasuk memunculkan tokoh-tokoh pemimpin dari kalangan rakyat pekerja. Sementara
itu, kedua segi ini didukung dengan pengorganisasian (mobilisasi dan pengaturan)
sumberdaya intelektual organik (intelektual yang tunduk pada arahan organisasi),
pembentukan sebuah kubu oposisi, penggalangan aksi-aksi massa, pengumpulan dana
dalam bentuk yang mencerminkan kolektivitas, dll.
Di tingkat komunitas, sebagai gambaran, segi ideologis dapat diwujudkan melalui
pendidikan-pendidik an tentang cara berpikir dan menyelesaikan masalah. Segi politiknya
dapat didekati melalui intervensi terhadap tuntutan-tuntutan ekonomis yang biasanya
ditelurkan oleh serikat-serikat rakyat, mendorongnya menjadi tuntutan-tuntutan yang
mencerminkan sudut pandang kelas. Dari aspek organisasional kita bisa dapati
penyusunan organisasi yang mencerminkan cara pengambilan keputusan yang
partisipatoris dan berbasis perdebatan, mengorganisir semakin mendekatnya kelas-kelas
pekerja (buruh, tani, nelayan).
Bagi individu, perjuangan ideologis kita adalah dengan terus-menerus
menerangkan dengan sabar, melalui perdebatan dan teladan, tentang cara hidup alternatif
yang merupakan lawan dari cara hidup individualis yang dikembangkan oleh kapitalisme.
Dari segi politik, ini berarti upaya mengungkat perasaan solidaritas dan kesadaran
mengenai posisi masing-masing orang dalam masyarakat. Dari segi organisasional ini
bisa berarti mobilisasi waktu luang yang dimiliki oleh anggota, agar anggota semakin
larut ke dalam lingkungan baru, lingkungan bernuansa perjuangan kelas, agar tiap tarikan
nafas dari tiap kader berubah menjadi tenaga tambahan bagi perjuangan rakyat pekerja
menggulingkan kapitalisme.
Ini hanya gambaran. Bisa dilengkapi dengan kreatif, bisa dikritik, bisa diganti.
Yang terpenting: disesuaikan dengan kondisi objektif yang dihadapi Komite Kota.

Penutup

Kita jadi tahu bahwa “tepat secara politik” (politically correct) saja ternyata tidak cukup.
Kita membutuhkan juga “tepat secara ideologi” (ideologically correct) dan “tepat secara
organisasi” (organizationally correct). Perjuangan kita bukan perjuangan yang setengah-
setengah – dalam pengertian komitmennya, juga dalam cakupannya. Dialektika materialis
yang kita pakai menuntut kita agar selalu memandang masalah secara utuh, memadukan
hal-hal yang bertentangan, sekaligus selalu mencari hubungan antar berbagai unsur yang
ada pada tiap persoalan.
Seri Mari Dialektika (6) Kenyataan vs Khayalan
Ditulis Oleh Ken Budha Kusumandaru* Wednesday, 12 September 2007

Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus


dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah
contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai
masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan
ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.

Kita biasanya “mengerti” mana yang disebut kenyataan dan dapat


membedakannya dari apa yang ktia sebut khayalan. Tapi, sebetulnya garis antara
kenyataan dan khayalan tidak setebal yang kita kira. Orang yang mengira bahwa dengan
berjudi ia bisa menjadi kaya, telah mengaburkan batas antara dunia khayal dengan dunia
nyata. Orang yang percaya pada tahyul juga menganggap apa yang khayal sebagai
kenyataan. Tapi, dari sudut pandang yang lainnya, semua kenyataan yang kita tangkap
sebetulnya merupakan khayalan.
Ini semua berawal dari persoalan bagaimana Manusia mengenali dan menanggapi
dunia di sekitarnya. Tiap saat, bagi mereka yang matanya berfungsi dengan baik, berkas-
berkas cahaya masuk dan meninggalkan kesan pada lensa mata, retina dan lain-lain
peralatan yang ada pada indera penglihat kita. Berkas-berkas cahaya itu kemudian
“diterjemahkan” menjadi sinyal-sinyal listrik oleh syaraf, lalu diteruskan ke otak. Otak
kemudian mencari pola sinyal listrik tertentu yang disimpan dalam sel-selnya, apa yang
kita kenal sebagai “ingatan”, dan mencocokkannya dengan sinyal yang baru masuk. Jika
ada yang cocok, kita akan “mengenali” apa yang kita kenal. Tapi, jika pola sinyal yang
masuk itu tidak begitu jelas, otak akan mencari pola yang paling mirip untuk dicocokkan.
Ini karena otak bekerja dengan logika yang disebut “fuzzy logic” – artinya kecocokan
tidak perlu 100%, 60-70% pun cukuplah. Dengan cara seperti ini pula indera
pendengaran, penciuman, pencecap dan perasa kita bekerja.
Oleh karena itu, ada keterbatasan dalam pengenalan kita terhadap dunia.
Keterbatasan yang pertama datang dari ketidaksempurnaan indera kita dalam menangkap
kenyataan. Keterbatasan yang kedua adalah dari kurang lengkapnya pola (ingatan) yang
tersimpan dalam otak kita.
Contohnya begini: Seringkali di sekretariat Komite Pusat PRP di Gading Raya,
Jakarta Timur, ketika keadaan sangat sepi dan aku ada di ruang bawah, aku seperti
mendengar langkah-langkah kaki di lantai 2. Jika aku seorang yang percaya tahyul, aku
akan beranggapan bahwa seharusnya ada orang di ruang atas. Tapi, kemudian aku ingat
juga bahwa dinding rumah yang ditempati sebagai sekretariat itu berhimpitan dengan
dinding rumah lain. Maklum saja, Jakarta, kalau tidak rumah tidak berdesak-desakan
justru aneh. Aku kemudian menempelkan telinga pada dinding dan, benar saja, bunyi
langkah itu terdengar di dinding. Benda padat merupakan penghantar bunyi yang jauh
lebih baik daripada udara. Sehingga, langkah-langkah kaki yang membentur lantai di
tempat yang jauh bisa merambat melalui dinding yang saling berhimpitan. Dan ketika
getaran bunyi itu sampai di ruang atas, yang relatif besar dan memiliki ruang kosong
yang lebar, getaran pada dinding dapat menggetarkan udara (proses resonansi) dan
getaran di udara itu sampai di telingaku. Secepat kilat otakku menangkap getaran itu dan
mencari pola yang cocok dengan pola bunyi yang ditangkap telinga. Tentu saja, pola
yang kecocokannya paling tinggi adalah pola langkah kaki di ruang atas – karena
bunyinya seperti langkah kaki dan datangnya dari lantai 2.
Pada kebanyakan orang, yang tidak tahu mekanisme (cara) merambatnya bunyi
dan bagaimana ruang kosong dapat menciptakan resonansi, “pemahaman” yang
diciptakan otak bisa membuat ketakutan. Otak “mendengar” ada bunyi langkah kaki di
ruang atas, sementara otak (lewat mata) “melihat” tidak seorangpun ada di lantai 2. Otak
kemudian akan mencari penjelasan atas ketidakcocokan ini. Jika dalam pola ingatan yang
disimpan di otak orang itu hanya ada gambaran tentang mahluk-mahluk tahyul,
penjelasan inilah yang akan dipakai. Itulah mengapa begitu banyak orang yang jujur dan
tulus hati mengaku melihat “hantu” atau “setan”. Kesalahan pemahaman (penangkapan)
atas kenyataan disalahartikan sebagai kenyataan itu sendiri. Apa yang khayal diterima
sebagai kenyataan.
Kenyataannya, penangkapan kita atas dunia di sekitar kita selalu terjadi dalam
bentuk khayal – yakni membandingkan bayangan (imaji) yang tersimpan dalam otak
dengan sinyal yang ditangkap oleh panca indera.
Kebingungan inilah yang telah, sejak awal sejarah peradaban manusia, membagi
filsafat menjadi dua kubu besar: materialisme (yang mendasarkan diri pada “kenyataan”)
dan idealisme (yang mendasarkan diri pada “pemikiran”). Sesungguhnya, kedua kubu ini
(dalam bentuknya yang vulgar atau kasar) sama-sama keliru. Dunia nyata benar-benar
ada. Orang tidak perlu berpikir sebelum dia ada. Ujar-ujar Descartes yang mengatakan
“cogitu, ergo sum” – aku berpikir maka aku ada – merupakan satu kesalahan mendasar
dalam dunia filsafat. Sebelum kita dapat “berpikir”, otak kita (yang nyata ada) sudah
menangkap berbagai sinyal yang disampaikan oleh panca indera (yang juga nyata)
berdasarkan masukan yang disediakan oleh dunia di sekitar kita (yang pastinya nyata).
Kalimat dari Descartes itu seharusnya berbunyi: “Aku berpikir, maka aku sadar bahwa
aku ada.” Di pihak lain, materialisme dalam bentuk kasar juga keliru, karena
beranggapan bahwa apa yang kita lihat atau dengar atau cecap atau cium atau rasa
merupakan “kenyataan”. Dunia nyata ada di sana, lepas dari kemampuan kita untuk
memahaminya.
Oleh karena itulah kita kemudian membagi dua dunia ini: dunia “objektif”, yang
hendak kita dekati, dan dunia “subjektif” yang merupakan cara kita mendekati dunia
nyata itu. Dalam dialektika, subjektif dan objektif adalah dua hal yang saling
bertentangan. Dan, karenanya, saling terikat dan saling menyaratkan. Apa yang “objektif”
ditangkap secara “subjektif” dan apa yang “subjektif” terjadi dalam proses yang
“objektif”.
Dari pemahaman ini, dialektika tidak bersedia memberikan label “mutlak” pada
pemahaman manusia. Bagi dialektika, “kebenaran” merupakan satu hal yang terbatas
pada konteks, pada kemampuan subjektif manusia untuk mendekatinya. Tapi, itu bukan
berarti bahwa kebenaran bersifat relatif, kebenaran hanya harus ditetapkan sesuai
konteksnya.
Oleh karena dialektika itulah kita harus menolak segala bentuk despotisme dan
pemutlakan kebenaran. Kita mengusung demokrasi, karena demokrasilah cara yang
paling tepat untuk menemukan kebenaran. Sederhananya: berpikir dengan seribu kepala
akan lebih baik daripada berpikir dengan satu atau dua kepala saja. Demokrasi bukan cara
paling efisien, bukan cara paling cepat dan hemat sumberdaya dalam mencapai keputusan
– tapi inilah cara paling tepat untuk mencapai kebenaran.
Kita menentang kapitalisme karena, dalam kapitalisme, kebenaran ditentukan oleh
uang. Siapa yang memiliki uang, dia dapat “membeli” kebenaran. Kita juga menentang
kapitalisme karena sistem ini membuat begitu banyak orang tetap bodoh, tetap tidak
berpengetahuan, tetap tinggal dalam kegelapan alam pikiran – sehingga tidak sanggup
berpartisipasi dalam proses mencari kebenaran.
Kita menentang militerisme karena, dalam militerisme, kebenaran ditentukan oleh
senjata. Tidak mungkin orang dapat meraih kebenaran jika prosesnya diwarnai dengan
kekerasan. Kekerasan menghancurkan kehidupan, sumber inspirasi dan tenaga untuk
pencapaian kebenaran.
Kita juga menentang ilusi fundamentalisme dan kekhilafahan karena, dengan ilusi
ini, orang dipaksa untuk tunduk pada satu versi kebenaran dengan memanipulasi konsep
tentang Tuhan. Kita menentang konsep teokrasi karena sebenarnya ini hanyalah kedok
terhadap klerikalisme – kekuasaan para ulama. Selama manusia tidak sempurna, tidak
ada orang yang berhak mengatakan bahwa ia menggenggam pengetahuan mutlak. Dan,
sesuai dialektika, seorang manusia hanya akan sanggup mencapai kebenaran kontekstual.
Klerikalisme adalah salah satu bentuk kediktatoran – dan dalam kediktatoran, kebenaran
tidak akan dapat dicapai oleh manusia.
Dialektika bukan hanya sekumpulan aturan, ia sebuah cara hidup, cara berpikir,
cara bertindak. Dialektika mengharuskan kita menghormati kehidupan dan alam raya,
karena dari sinilah sumber pemahaman kita akan kebenaran. Kita berpijak pada
kenyataan, bersikap objektif, sambil tetap menyadari bahwa kita menanggapi kenyataan
itu dengan cara yang sangat subjektif, tergantung dari imajinasi kita tentang kenyataan
itu. Karena inilah, perdebatan seharusnya menjadi sikap hidup kita, dalam perjalanan
panjang kita mencari dan menemukan kebenaran.
Seri Mari Berdialektika (7) Demokrasi dan Kediktatoran
Ditulis Oleh Ken Budha Kusumandaru* Wednesday, 03 October 2007

Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus


dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah
contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai
masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan
ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.

Dalam salah satu wawancara di TVRI bersama Rieke Dyah Pitaloka, beberapa waktu
lalu, beberapa pejabat pemerintah berkata bahwa demokrasi sudah kebablasan dan perlu
dibatasi. Menurut mereka, pelaksanaan Hak Asasi Manusia dibatasi oleh hak yang
dipegang oleh orang lain. Kata mereka, kita tidak bisa begitu saja melaksanakan hak kita
tanpa mempertimbangkan hak yang ada pada orang lain. Pembatasan ini juga
diberlakukan pada hak mengeluarkan pendapat – yang dibatasi oleh hak orang lain
mengeluarkan pendapat. Jadi, kita boleh mengeluarkan pendapat, sepanjang tidak
mengganggu hak orang lain untuk juga berpendapat, tidak boleh ada pemaksaan, tidak
boleh “sewenang-wenang” dalam mengeluarkan pendapat.
Di pihak lain, bermunculan pula slogan-slogan yang menentang demokrasi.
Misalnya, ketika aku jalan-jalan di bekas kampusku, Institut Pertanian Bogor, aku pernah
melihat poster-poster yang menyatakan menentang “suara rakyat” karena manusia sudah
pasti membuat kesalahan. Seharusnya, menurut poster itu, yang digugu dalam
pemerintahan adalah “suara Tuhan” karena Tuhan tidak pernah salah.
Inilah kebingungan yang muncul karena kegagalan banyak orang untuk
memahami watak kontradiksi dalam demokrasi. Sebagaimana segala hal lain dalam
kehidupan, demokrasi juga merupakan bagian dari sebuah kontradiksi. Bukan saja segala
hal positif dalam demokrasi memiliki padanan negatifnya, tapi watak demokrasi itu
sendiri sangatlah kontradiktif. Artinya: demokrasi yang sejati merupakan sebuah
kediktatoran dalam bentuk yang paling arif.

Demokrasi = kediktatoran mayoritas

Persoalan demokrasi dan kediktatoran merupakan salah satu persoalan klasik di mana
hukum dialektika “hal-hal yang bertentangan akan selalu hadir bersamaan, saling
menyaratkan dan saling menggulingkan” . Kita lihat saja saat ini, ketika di dalam satu
pertemuan terjadi perdebatan yang alot, orang biasanya akan memutuskan untuk
menempuh pemungutan suara. Setelah ditetapkan syarat kemenangan dalam pemungutan
suara itu (misal, mayoritas sederhana, yakni 50% + 1), siapapun yang berhasil mencapai
jumlah itu akan dijadikan pemenang. Sekalipun hanya selisih satu suara, yang akan
diberlakukan sebagai keputusan adalah usulan dari para pemenang. Ini adalah sebuah
kenyataan di mana kediktatoran diberlakukan secara efektif. Bayangkan saja, hanya gara-
gara kurang satu suara, bisa jadi separuh dari mereka yang hadir dalam pertemuan
terbungkam suaranya. Sekalipun banyak orang tidak menyadarinya, kita harus dengan
jujur mengakui bahwa ini adalah salah satu bentuk kediktatoran.
Sebaliknya, sebuah kediktatoran sebenarnya adalah satu bentuk demokrasi –
demokrasi yang dijalankan oleh minoritas. Sebuah junta militer sekalipun mengandung
demokrasi. Hanya saja, hak untuk berdemokrasi itu dibatasi dan menjadi hak istimewa
dari segelintir orang. Hanya para jenderal saja yang berhak berdemokrasi, itulah hakikat
sebuah junta militer
Oleh karena itulah kita menyebut Neoliberalisme sebagai Kediktatoran Modal.
Artinya sederhana: Modal yang menentukan keputusan apa yang akan diambil. Baik para
Pemodal secara langsung mempengaruhi pembuatan kebijakan (seperti membayar para
pelobi atau menyogok anggota legislatif) ataupun para pembuat kebijakan menempatkan
kepentingan Modal sebagai pijakan utama untuk penyusunan tiap peraturan dan undang-
undang. Di dalam neoliberalisme berlaku demokrasi – tapi hanya untuk mereka yang
punya modal. Mereka yang tidak punya modal, cukup diberi kesempatan bersuara lima
tahun sekali. Itupun untuk menunjuk pemodal mana yang akan diberi hak untuk
“berdemokrasi” .
Dalam hal ini, para pendukung Teokrasi (baca: klerikalisme, kekuasaan para
pendeta atau ulama) lebih jujur ketimbang para pendukung “demokrasi liberal”. Para
pendukung Teokrasi, setidaknya, mengakui bahwa mereka menentang demokrasi. Bagi
mereka, hak demokrasi hanya ada di tangan segelintir minoritas orang yang (karena
keturunan atau pendidikannya) dianggap dapat menerjemahkan kehendak Allah. Para
pendukung demokrasi liberal, sebaliknya, memasang kedok demokrasi (dalam pengertian
“kehendak mayoritas”) padahal yang dilakukannya adalah melindungi hak istimewa
segelintir orang untuk mengambil keputusan.
Rakyat pekerja membutuhkan demokrasi – dalam pengertian “kepentingan
mayoritas adalah penentu kebijakan” – karena jumlahnya memang merupakan mayoritas
di negeri ini, atau bahkan juga di dunia. Demokrasi, bagi rakyat pekerja, berarti “jika
terjadi benturan kepentingan antara rakyat pekerja dengan kelompok lain dalam
masyarakat, kepentingan rakyat pekerja didahulukan.” Inilah bentuk demokrasi
yang harus kita perjuangkan.

Rakyat pekerja tidak tahu apa yang dibutuhkannya?

Argumen paling kuat untuk melawan model demokrasi (kediktatoran mayoritas) seperti
yang harus kita perjuangkan ini adalah pertanyaan di atas. Rakyat pekerja dianggap
bodoh oleh para pemilik modal yang bisa bersekolah sampai tinggi. Orang awam yang
tidak sempat belajar ilmu kekitaban dianggap tidak mampu mengerti Tuhan. Rakyat
jelata yang tidak pernah sempat latihan baris-berbaris dianggap umpan peluru saja oleh
para perwira bersenjata.
Kita bisa saja mengeluh bahwa rakyat pekerja tidak mampu menempuh
pendidikan karena miskin atau lain-lain alasan. Tapi, sebagaimana kebanyakan alasan
lain di dunia ini, alasan itu tidak berdasar dan omong kosong saja. Rakyat pekerja
menjadi bodoh karena ia tidak memiliki ambisi untuk berkuasa. Ia menjadi bodoh karena
puas akan kehidupannya. Ia menjadi bodoh karena diliputi oleh bayang-bayang
kekuasaan hegemoni kelas berkuasa.
Salah satu perjuangan utama kita yang memikul beban sebagai pelopor adalah
membangkitkan ketidakpuasan orang terhadap tingkat kehidupannya yang sekarang –
termasuk membangkitkan minat, hasrat dan ambisinya untuk berkuasa. Semakin seorang
melangkah maju dalam semangat ini, ia akan semakin menemui berbagai hal yang kurang
dipahaminya. Dan, jika ia cukup berambisi, dengan organisasi yang dimilikinya ia akan
belajar. Ia akan mengubah organisasi menjadi sebuah sekolah untuk mencapai kekuasaan.
Dengan demikian, seorang buruh tidak akan puas hanya dengan menguasai soal
UU Perburuhan atau soal Kerja Kontrak. Ia akan mencambuk dirinya untuk memahami
bagaimana perikehidupan nelayan dan petani. Ia akan memukul kepalanya jika gagal
memahami bagaimana mengatur perumahan di perkotaan agar tidak lagi kumuh dan
menjelma menjadi hunian yang manusiawi. Ia akan memaki dirinya jika tidak berhasil
menguasai administrasi dan pembukuan yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan
sebuah usaha menyejahterakan masyarakat.
Pendeknya, rakyat pekerja yang berambisi untuk mewujudkan demokrasi
mayoritas adalah mereka yang haus akan diskusi, haus akan pendidikan dan bacaan, haus
akan aspek intelekual dari perjuangan mereka. Ia tidak akan membanggakan
kemampuannya melakukan advokasi atau memahami UU Perburuhan. Ia akan
menganggap kemampuan-kemampuan ini hanya sebagai landasan, sebagai kuda-kuda
untuk jurus-jurus yang lebih maut dan sedap dipandang mata. Ia akan berlatih memahami
UU Perburuhan agar ia kelak lebih mudah menyerap filsafat dan ilmu kemasyarakatan
lainnya. Ia akan berlatih advokasi agar kelak dapat memahami perikehidupan berbagai
kelompok masyarakat lain di luar situasi kehidupan pribadinya.
Kemunculan dan menguatnya ilusi fundamentalisme disebabkan oleh kekosongan
ambisi rakyat pekerja untuk membuat dirinya mampu mengambil keputusan demi
hidupnya sendiri. Karena takut dengan tanggung jawab dan kerja besar yang dibutuhkan
untuk membuat dirinya mampu mengambil keputusan, rakyat pekerja mencari-cari orang
yang berani mengklaim dirinya mampu mengambil keputusan. Rakyat pekerja mencari
orang yang dianggapnya pandai. Secara umum, ini adalah Meritokrasi (kuasa di tangan
para cerdik-cendekia) . Teokrasi, karena pada hakikatnya merupakan klerikalisme, juga
merupakan salah satu bentuk meritokrasi – dan yang paling primitif pula, karena teokrasi
telah dipraktekkan kasta pendeta sejak jaman peradaban kuno, di mana para Raja
diproklamirkan sebagai titisan Dewa.
Pendeknya, jika rakyat pekerja tidak berambisi berkuasa dan mewujudkan
demokrasi mayoritas, mereka tidak akan pernah menikmati kesempatan untuk
berdemokrasi.

Demokrasi mayoritas = partisipasi aktif mayoritas

Demokrasi mayoritas hanya bisa terjadi jika cukup banyak orang yang memahami duduk
permasalahan. Jika tidak demikian, kekuasaan untuk mengambil keputusan akan kembali
jatuh ke tangan minoritas – sekalipun kekuasaan telah dipegang oleh orang-orang yang
mengaku berjuang demi kekuasaan mayoritas. Tanpa didukung oleh luasnya kemampuan
melancarkan kritik dan otokritik, tanpa didukung oleh luasnya kemampuan mengajukan
usulan dan saran yang berbobot, tanpa disokong oleh luasnya partisipasi dalam
perencanaan – demokrasi mayoritas tidak akan pernah terwujud. Dan kita akan kembali
pada tirani minoritas atas orang banyak.
Demokrasi, secara inheren mengandung pembatasan. Tapi, hak seseorang untuk
mengemukakan pendapat tidaklah dibatasi oleh hak orang lain, seperti kata para pejabat
pemerintah. Yang boleh ada adalah pengaturan, mekanisme yang sehat, di mana
perdebatan dapat berlangsung dengan sebebas-bebasnya, dialektik, ilmiah – dan, yang
terpenting, mekanisme ini juga harus merupakan hasil dari kesepakatan bersama. Tidak
seperti sekarang, di mana mekanisme untuk mengeluarkan pendapat diatur oleh
segolongan kecil dalam masyarakat, justru untuk membungkam dan menangkal
partisipasi mayoritas dalam pengambilan keputusan.
Demokrasi mayoritas, dengan demikian, adalah hasil kerja dan pemikiran
mayoritas. Ia bukan kumpulan segelintir penguasa yang berpura-pura mengerti kehendak
mayoritas, melainkan hasil dari kerja keras mayoritas itu sendiri. Ia menjadi kediktatoran
karena ia akan memaksa orang tunduk pada kehendak mayoritas, tapi ia menjadi
demokrasi karena tidak satupun orang yang tidak digairahkan untuk berpartisipasi aktif
dalam pengambilan keputusan ini – bukan hanya pada saat pemungutan suara, melainkan
dari mulai penyusunan, pengujian, perdebatan sampai pada pengambilan kesimpulan.
Demokrasi mayoritas adalah kediktatoran di mana semua orang tunduk secara sukarela,
sebab mereka sendirilah pengambil keputusan tersebut.
Seri Mari Berdialektika (8) Antara Tempat Kerja, Organisasi dan Keluarga
Ditulis Oleh Ken Budha Kusumandaru* Monday, 16 June 2008

Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus


dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah
contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai
masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan
ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.

buat Bung Hamdani, di Riau...

Ada banyak keluhan....

Pernah satu kali aku mengobrol dengan bung Hamdani, salah satu pentolan FSP2KI dari
RAPP Riau, ketika dia ke Jakarta beberapa waktu lalu. Dia mengeluhkan soal banyaknya
pengurus serikat yang menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan keluarga mereka --
bilangnya pergi rapat, bilangnya pergi mengikuti acara serikat di luar kota, ternyata
malah pergi ke mana-mana yang tidak dapat begitu saja dikorek kebenarannya. Namanya
juga "sepandai-pandai tupai melompat, satu saat pasti jatuh juga", ada saja yang kepergok
dan ketahuan oleh keluarga mereka.

Solusinya, menurut Bung Hamdani, adalah solusi moral. Kita harus membangun
komitmen dan kepercayaan semua pihak yagn berkaitan dengan serikat. Dengan modal
kepercayaan itulah serikat bisa maju. Aku tidak terlalu menanggapi waktu itu, karena
menurutku persoalan ini jauh lebih besar daripada gejala yang tampak. Ini cuma puncak
gunung es dari sebuah gejala sosial yang tumbuh di bawah kapitalisme. Sudah lama aku
berpikir untuk menyusun banyak hal yang berkaitan dengan hal ini menjadi satu tulisan
yang agak lengkap. Tapi baru sekarang ada inspirasi tentang bagaimana menuliskannya.

Bung Hamdani, solusinya bukanlah moral, melainkan penggunaan Materialisme


Dialektika Historis secara tepat oleh pribadi maupun oleh serikat. Mari kita coba telusur
sedikit demi sedikit.

Lapis-lapis aras kehidupan

Jalur evolusi yang ditempuh Manusia membawanya pada satu strategi bertahan hidup
yang mengandalkan kelompok sebagai sokoguru (tiang utama) penyangga
keberlangsungan hidupnya. Sejak lahir, seorang Manusia telah tergantung pada
kelompoknya--kelompok pertama yang ditemuinya: keluarga. Akan jadi apa anak ini,
tergantung dari bagaimana keluarganya memberi dia ketrampilan untuk bertahan hidup--
baik secara fisik maupun mental. Mengapa mental? Karena si anak ini akan terlibat
dengan kelompok-kelompok lain. Artinya, si anak akan tumbuh di tengah pengaruh
bermacam-macam kelompok. Justru karena pengaruh yang beragam inilah maka si anak
akan berkembang sebagai seorang individu. Individu ini akan terbentuk dari tanggapan
pribadi si anak terhadap sekian ragam pengaruh yang berebut tempat di hati dan
pikirannya.

Dengan demikian, seorang anak yang mengalami trauma masa kecil, misalnya
kemiskinan yang parah, bisa terpacu untuk menjadi orang kaya ketika dia dewasa. Atau
malah dia akan menjadi rendah diri dan, sebagai akibatnya, dia merasa tidak ada gunanya
mencoba keluar dari kemiskinan. Jika si anak bertekad untuk kaya, bisa jadi dia
berkembang menjadi seorang yang menghalalkan segala cara untuk kaya. Tapi bisa juga
dia bertekad untuk bekerja keras agar keadilan bagi si kaya dan si miskin ditegakkan.
Dengan berangkat dari titik tolak yang sama, tanggapan pribadi tiap orang atas satu
masalah akan berbeda.

Dari sini saja, kita bisa melihat dua aras kehidupan yang sudah ditempuh seorang anak,
dari mulai dilahirkan sampai masa menjelang dewasanya: aras kehidupan pribadi dan
aras kehidupan publik.

Begitu si anak sudah menjelang dewasa, dia akan berhadapan dengan aras kehidupan
yang ketiga: sistem masyarakatnya. Sistem masyarakat itu akan menuntut dirinya
bertindak sesuai dengan sistem, tanpa memperdulikan proses yang telah terjadi di dua
aras lainnya: kehidupan pribadi dan publik. Aras kehidupan pribadi hanya memberi
sanksi ketidaknyamanan, kebingungan atau keresahan--jika terjadi benturan nilai dan
norma. Aras kehidupan sosial (publik) memberi sanksi agak lebih berat: pengucilan atau
penolakan, jika terjadi benturan demikian. Namun, aras kehidupan kemasyararatan
memberi sanksi yang paling berat: represi fisik dan mental, yang bisa berujung pada
kematian; atau penyingkiran dari kehidupan bermasyarakat, yang bisa berakibat
kelaparan (dan kematian juga pada ujungnya). Sistem kemasyarakatan adalah aras
kehidupan yang paling kejam, yang hanya akan dapat dihadapi oleh seseorang jika dia
menyatukan kekuatan yang didapatnya dari kedua aras kehidupannya yang lain.

Hubungan dialektik antara ketiga aras kehidupan

Walau ketiga aras ini memiliki cakupan dan cara kerjanya masing-masing, ketiganya
tetaplah terhubung dalam satu kesatuan yang saling bertentangan secara dialektik. Biar
bagaimanapun, sebuah komunitas atau kelompok sosial tetaplah terdiri dari individu-
individu yang masing-masing memiliki kehidupan pribadinya sendiri. Komunitas akan
berusaha mengubah individu agar sesuai dengan aturan kelompok--tapi demikian pula
sebaliknya: individu akan berusaha mengubah komunitasnya agar dirinya nyaman berada
dalam komunitas tersebut. Sebuah masyarakat juga terdiri atas individu dan kelompok
sosial. Masyarakat memang memiliki alat represi--tapi alat represi itu, toh, juga
dijalankan oleh individu dan kelompok sosial tertentu. Di samping itu, tentu saja,
berbagai kelompok sosial dan banyak individu dalam masyarakat akan berusaha
mengubah sistem masyarakat agar sesuai dengan kepentingannya masing-masing.

Hubungan dialektik inilah yang menimbulkan banyak ketegangan jiwa di banyak


individu--karena individulah unit terkecil yang menyusun masyarakat. Individu
mengalami tiga tekanan sekaligus: dari dirinya sendiri, dari komunitasnya dan dari
masyarakatnya. Setiap problem kepribadian yang dialami seorang individu--yang sering
kita kenal sebagai masalah psikologis--pasti dapat ditelusuri pada masalah yang muncul
di dua aras lain yang dijalaninya dalam kehidupan.

Belum lagi menimbang bahwa tiap individu biasanya tidak hanya tergabung dalam satu
komunitas saja. Seperti yang ada tertulis di judul tulisan ini: antara Kantor (atau bisa juga
pabrik), Organisasi (formal maupun informal) dan Keluarga (atau juga pasangan hidup--
dalam berbagai arti yang dimungkinkan). Masing-masing komunitas ini memiliki
hubungan dialektiknya sendiri dengan sistem masyarakat. Posisi dan peran, yang
dimainkan masing-masing komunitas ini dalam masyarakat, berbeda satu sama lain.
Sebuah kantor atau pabrik memainkan peran sebagai penyokong sistem kemasyarakat
yang sekarang ini dominan, yakni kapitalisme. Jika organisasi yang dimaksud adalah
sebuah serikat buruh atau organisasi perlawanan lainnya, tentu peran yang dimainkan
adalah penentang sistem kapitalis. Keluarga, sebagai unit sosial terkecil dalam sistem
masyarakat, dapat berada di salah satu dari kedua posisi yang telah disebut terdahulu.
Keluarga bisa menyokong atau menentang kapitalisme, tergantung pada individu yang
mengisi keluarga tersebut--dan komunitas mana yang mereka masuki dalam aras
kehidupan sosial (publik).

Dialektika hubungan antar komunitas, antara masing-masing komunitas dan sistem


kemasyarakatannya dan antara individu dengan masing-masing komunitas di mana ia
bergabung amat rumit dan kompleks. Sehingga tidak mudah menebak begitu saja apa
dampak komunitas dan sistem masyarakat pada individu. Jadi, tidak semua orang yang
bergabung dalam sebuah organisasi "progresif" akan selamanya mengikuti nilai-nilai
progresif dalam tindak-tanduknya. Dia toh masih bergabung dalam komunitas lain di luar
organisasi "progresif" tersebut. Dia masih tergabung dalam keluarganya (baik sebelum
atau setelah membentuk keluarga sendiri), dia punya teman-teman gaul, dia mungkin
punya klub olahraga, dia mungkin tergabung dalam organisasi massa lain yang tidak
langsung terlibat dalam dunia politik--dan, yang jelas, dia terlibat dalam dunia
pekerjaannya, baik di pabrik maupun di kantor. Totalitas hubungan inilah yang
menghasilkan apa yang kita kenal sebagai "kesadaran".
Semua hubungan ini, jika digambar dengan diagram himpunan, akan menghasilkan relasi
satu-ke-semua dan semua-ke-satu. Membayangkan kerumitannya saja sudah pening.
Apalagi jika harus mengurainya sampai tuntas.

Mengurai kerumitan dengan Materialisme yang Dialektik dan Historis

Jika kita ingin mengurai kerumitan hubungan yang mempengaruhi bagaimana individu
akan mendapatkan "kesadarannya", pertama-tama kita harus lebih dahulu mengakui
bahwa masing-masing aras kehidupan yang kita jalani SALING BERHUBUNGAN.
Seseorang tidak dapat mengatakan: "Persoalan keluarga saya terpisah dari persoalan di
tempat kerja." Seorang sekretaris serikat tidak dapat mengatakan: "Saya tidak akan
mengurus persoalan keluarga kamu karena itu tidak ada hubungannya dengan persoalan
yang menjadi tanggung jawab saya dalam organisasi." Atau, yang lain lagi, lebih rumit,
ketika seseorang berkata pada rekan-rekannya dalam serikat buruh: "Terserah saya, dong,
saya mau masuk organisasi apa di luar serikat."

Pemisahan seperti yang digambarkan di atas adalah pemisahan ekstrim, yang tidak
mengakui bahwa, di samping tetap terpisah, tapi semua aras dan bentuk lingkungan sosial
kita saling berhubungan secara dialektik--artinya yang mengandung ketegangan dan
kontradiksi. Dari bentuk-bentuk pemisahan ekstrim inilah muncul berbagai
penyimpangan dalam kehidupan pribadi, sosial maupun bermasyarakat. Salah satu contoh
selalu saya ingat, karena merupakan ketakutan pribadi, akibat terlalu banyak membaca
rubrik "Oh Mama, Oh Papa" di majalah Kartini. Satu hal yang menjadi semacam mantra
ketika seorang suami mulai selingkuh adalah ketika ia sering tidak pulang, pulang terlalu
malam, atau pergi rapat di luar kota. Ketika sang istri bertanya ke mana suaminya pergi,
jawaban yang diterima adalah, "Jangan ikut campur dengan persoalan kerjaku!" Jika si
istri mendesak, sang suami akan menyergah, "Kamu jangan menghalang-halangi
karirku!"

Bung Hamdani, mungkin kejadian serupa dialami oleh keluarga-keluarga yang para
istrinya mengeluh kepada Bung mengenai suami-suami mereka yang pergi
"berorganisasi".

Tapi, ada bentuk lain, yang barangkali tidak harus berhubungan dengan perselingkuhan.
Misalnya, ketika seseorang terlalu asyik dengan dunia kerja sehingga keluarganya
berantakan. Di rumah, ia memperlakukan pasangan (dan juga anak-anaknya) sebagai
anak-buah atau buruh yang bisa dieksploitasinya. Seorang aktivis juga bisa menunjukkan
komitmen yang luar biasa pada organisasinya, dengan akibat berantakannya keluarga
yang dibangunnya.
Tidak mudah membangun hubungan dialektis antara berbagai aras kehidupan. Aku
sendiripun tidak lepas dari kesalahan-kesalahan seperti itu, kok ... akibat pemisahan
ekstrim antara aras kehidupan pribadi dengan kehidupan publik dan bermasyarakat.

Yang perlu disadari adalah bahwa hubungan dialektis ini akan menimbulkan ketegangan
antar aras. Seorang aktivis yang dikejar-kejar aparat, misalnya, harus bisa meninggalkan
keluarganya--agar keluarganya dan dirinya sendiri bisa selamat. Atau seorang aktivis
yang harus merahasiakan aktivitasnya dari keluarganya, karena apa yang dilakukannya
memang harus dirahasiakan sebagai bagian dari sebuah gerakan bawah tanah. Seorang
yang baru saja naik jabatan harus sering lembur di kantor karena ingin mendapatkan
kondite baik sebagai "orang baru". Seseorang yang sedang ada masalah dalam kehidupan
pribadinya (bercerai, pertengkaran dll.) akan memberi dampak negatif pada organisasi
maupun tempat kerjanya. Di tempat kerja, seringkali terjadi "office romance" atau cinta-
lokasi, karena justru di tempat kerjalah seorang laki-laki dan seorang perempuan lebih
banyak berinteraksi dengan intensif dan dalam koordinasi yang bahu-membahu. Masih
banyak lagi contoh-contoh di mana masing-masing aras kehidupan saling berebut
pengaruh untuk menentukan "Kesadaran" seorang individu.

Jika seorang individu menyadari bahwa semua aras kehidupannya berhubungan secara
dialektik, dia akan menjalankan dialektika pada setiap aras yang dijalaninya. Dialektika
ini akan dijalaninya dengan sadar, artinya: dengan sadar dia akan mendorong kontradiksi
yang ada di masing-masing aras--dan antar aras--sampai pada pemenuhannya. Secara
praktis, dia akan membuka negosiasi dengan pihak-pihak di mana ia terlibat di masing-
masing aras, dan mencoba melibatkan kolektifnya di masing-masing aras supaya ikut
serta dalam kontradiksi yang sedang terjadi.

Contohnya begini: Seorang pengurus serikat akan mendorong keluarganya terlibat pula
dalam aktivitas serikat, dia akan membahas masalah-masalah politik dan sosial bersama
keluarganya, isu-isu yang sedang dihadapinya di serikat. Mungkin dia tidak akan
menyentuh masalah-masalah spesifik yang dihadapinya, hanya membahas soal-soal
umum. Ia juga tidak mungkin mengajak istri dan anak-anaknya ke rapat-rapat organisasi,
tapi ia akan sebisa mungkin melibatkan keluarganya dalam aktivitas-aktivitas serikat. Ia
akan mendorong agar serikat punya aktivitas yang bisa diikuti oleh keluarga.

Sebaliknya, serikat juga tidak akan menutup mata pada masalah yang dihadapi individu
pengurusnya. Secara bersama-sama, kolektif serikat akan mencoba memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi anggota kolektif. Kolektif tidak perlu tahu detil
masalahnya, atau detil masalah itu cukup diketahui satu-dua orang pimpinan kolektif
saja. Hanya, kolektif perlu bahu-membahu menghadapi masalah yang mungkin terlalu
berat dihadapi sendiri. Setidaknya, kolektif akan memberi dukungan bagi individu yang
sedang terlibat masalah pribadi tersebut.
Cara yang sama dapat juga ditempuh oleh orang-orang yang menghadapi kerumitan
masalah kerja dan rumah-tangga. Pemisahan esktrim antara dunia kerja dan dunia rumah
tangga--seperti yang dianjurkan oleh para penasehat psikologi kapitalis--menghasilkan
semboyan "mengutamakan kualitas daripada kuantitas". Tentu saja para penasehat itu,
yang bekerja demi kepentingan kapitalisme, menginginkan agar para buruh (baik yang
bekeja di pabrik maupun di kantor) bersedia mencurahkan waktu di tempat kerja secara
sukarela. Kalau perlu lembur tak dibayar. Sebagai apologi, atau pemakluman, seorang
suami karir atau istri karir, akan mengatakan pada keluarganya: kita hanya perlu "waktu
yang berkualitas". Kita tahu bahwa Nilai Lebih Mutlak dicuri kapitalis dari
buruh/pekerjanya berdasarkan panjangnya waktu kerja (Das Kapital jilid I).

Jika seseorang menggunakan MDH, dia akan tahu bahwa hanya Kuantitas yang dapat
melahirkan Kualitas. Kuantitas apa yang dibutuhkan untuk membangun sebuah hubungan
pribadi yang sehat? Hanya dengan membangun kuantitas material-lah sebuah kualitas
dapat dimunculkan. Tinggal pasangan (atau keluarga) itulah yang memutuskan, melalui
sebuah perdebatan dan pengambilan keputusan kolektif, kuantitas apa yang diperlukan
bagi hubungan mereka. "Waktu yang berkualitas" adalah sebuah pernyataan anti-MDH,
bagian dari propaganda kapitalis yang ingin mencuri waktu sebanyak2nya dari kaum
pekerja--sambil membuat kaum pekerja menyetujui pencurian waktu itu. Dedikasi,
Loyalitas, Beri Waktu Berkualitas untuk Keluarga--semua ini adalah bagian dari
pemisahan ekstrim antar ruang dan aras kehidupan. Bagian dari proses atomisasi yang
akan memaksa tiap individu pekerja menjadi individualis, tidak berdaya, tidak percaya
pada kolektif (kecuali kolektif yang dipaksakan pada mereka di tempat kerja), tidak
percaya pada proses negosiasi dan demokrasi.

Proses ini juga harus diterapkan oleh mereka yang "mendedikasikan" seluruh jiwa-raga
mereka demi "perjuangan". Seringkali, dari contoh-contoh praktek gerakan progresif di
Indonesia, ini berarti "tinggal di sekretariat". Dalam kondisi-kondisi tertentu, memang
salah satu komunitas atau aras harus dikedepankan. Misalnya dalam masa-masa krisis,
atau masa-masa represif, di mana seorang aktivis harus bersembunyi di safe-house
(rumah aman)--meninggalkan keluarga, pekerjaan, dan banyak lagi aspek kehidupan
lainnya. Tapi, jika proses pengambilan keputusan kolektif yang demokratis telah
dilakukan bersama keluarga, keluarga tidak akan keberatan, malah akan mendukung
keputusan ini. Ini tidak selalu mudah, seringkali melibatkan ketegangan yang luar biasa.
Di sinilah organisasi atau kolektif harus mendukung upaya negosiasi dengan pihak-pihak
lain di luar organisasi--dengan keluarga, misalnya. Memenangkan dukungan keluarga
pada perjuangan kolektif adalah salah satu bentuk kemenangan kecil yang paling
berharga untuk mendukung perjuangan kita. Sudah terbukti berkali-kali bahwa
pengorganisiran keluarga (misal: keluarga Tapol/Napol, keluarga korban pelanggaran
HAM) menghasilkan satu kekuatan yang tidak dapat begitu saja disepelekan. Maka,
proses dialektik antara aktivis dengan keluarganya merupakan salah satu hal yang wajib
dilaksanakan.
Kunci dialektika ini adalah demokratisasi dalam hubungan antar-aras

Demokrasi adalah salah satu bentuk tertinggi dialektika. Dalam demokrasi ada
perbedaan, ada perdebatan, ada pertentangan. Di dalam demokrasi pula kita menemukan
proses negosiasi, konsiliasi dan kompromi. Dalam wadah demokrasilah kita dapat
mempertentangkan perbedaan agar mencapai satu kualitas baru, milik bersama, yang
lebih tinggi tingkatannya ketimbang unsur-unsur yang awalnya bertentangan. Dalam
demokrasi, semua pihak yang terlibat diperlakukan setara dan pertentangan dilakukan
dalam konteks saling menghancurkan dan saling membangun kembali.

Perjuangan untuk demokrasi dalam aras bermasyarakat harus pula direndengi dengan
perjuangan untuk mewujudkan demokrasi pada aras kehidupan sosial dan kehidupan
pribadi. Tanpa rendengan ini, perjuangan tidak akan lengkap, dan akan banyak gangguan
yang datang dari aras kehidupan sosial dan kehidupan pribadi terhadap perjuangan di aras
yang lebih tinggi.

Buat Bung Hamdani, mudah-mudahan tulisan yang rada teoritik ini bisa membantu
memecahkan persoalan.

Jakarta, 18 Maret 2008

Anda mungkin juga menyukai