Anda di halaman 1dari 9

Metode Dialektika

Anto Sangaji

Metode Dialektika (MD) Marx merupakan ruh dalam studi Marxisme.(1) Seperti dikatakan Ollman,
penulis buku ‘Dance of the Dialectic: Steps in Marx’s method’, Marx merumuskan pemahaman tentang
kapitalisme dengan metode ini.(2) Dan katanya lagi, kita tidak dapat mengembangkan pengertian lebih
lanjut tentang kapitalisme jika tidak memakai metode ini . Olehnya, pengikut maupun pengeritik Marx
perlu mengertinya sehingga dapat menangkap gagasan-gagasan Marx secara utuh. Dengan kata lain, akan
repot mengerti keutuhan ide Marx, karena bermasalah dengan soal metode. Padahal pemikirannya yang
membelah dunia, yang membedakan “kiri” dari “kanan”, baik secara teroritik maupun praktek dibangun
di atas metode ini.

Kendati ada beda penafsiran, asal-muasal MD Marx dalam hubungan dengan Hegel telah banyak dikupas
panjang lebar. Lenin, misalnya, mengatakan: ‘dialectics is the theory of knowledge of (Hegel and)
Marxism’, dan karenanya menganggap tidak mungkin mengerti Marx secara utuh tanpa mempelajari dan
mengerti ‘Logic’ dari Hegel. Juga senada, Roman Rosdolsky, sejarawan dan pendiri Partai Komunis
Ukrania, menunjuk sisi Hegelian yang terang benderang di dalam ‘Grundrisse’ sebagai landasan untuk
mengerti ‘Capital’.(3) Karya-karya lebih baru, salah satu di antaranya misalnya, dari Christopher J.
Arthur yang melihat kesamaan struktur (homology) antara ‘Logic’ Hegel dan ‘Capital’ Marx.(4)

Seperti materialisme historis (MH), ekonomi politik (EP), dan proyek komunis (PK), MD adalah momen-
momen investigasi penting dalam kajian marxisme.(5) Meskipun keempat hal ini saling berhubungan,
catatan ini secara khusus membahas MD secara ringkas.

Landasan

Marx menyatakan penggunaan MD di pengantar edisi kedua ‘Capital’ berbahasa Jerman, tentu dengan
maksud pembaca dapat menangkap penyajian konsep-konsepnya, sehingga dengan demikian dapat
mendudukkan dengan betul bagaimana kritiknya terhadap kapitalisme. Kendati bilang Hegel sebagai
sumber dialektika, Marx mengajukan fondasi perbedaannya dengan dialektika Hegel.(6) Dalam pengantar
edisi kedua ‘Capital’ itu, ia menandaskan metode dialektikanya bukan cuma berbeda, tetapi terang
berlawanan dengan Hegelian yang mistik. Kalau Hegel menganggap ide sebagai pencipta dunia nyata,
dan dunia nyata hanya merupakan penampakan luar dari ide, maka dia melihat kebalikannya. Dunia
material yang membentuk ide.(7)

Ollman(8) dalam mendiskusikan topik ini mulai dengan menyatakan apa yang bukan MD. Menurutnya,
dialektika bukan konfigurasi kaku tesis-antitesa-sintesis, bukan sebuah rumus untuk membuktikan atau
memprediksi sesuatu bakal terjadi, dan bukan kekuatan penggerak sejarah. Karena, kalau itu yang
dimaksud dialektika, maka dia tidak menjelaskan apapun, tidak membuktikan apapun, tidak memprediksi
apapun, dan tidak menyebabkan apapun bakal terjadi. Kata Ollman dialektika adalah cara berfikir yang
membawa kita untuk memusatkan perhatian pada ruang lingkup perubahan dan hubungan secara
menyeluruh yang terjadi di dunia.

Di bukunya ‘Theories of Surplus-value’, Ollman merujuk, Marx menerangkan soal dialektik. Di sini,
Marx memberi ilustrasi tentang mitos Romawi: Cacus yang tinggal di goa. Dia keluar dari sana di malam
hari untuk menangkap Oxen. Berharap mengelabui para pemburu, Cacus memaksa Oxen berjalan mundur
menuju goa. Dengan demikian, jejak kaki terlihat jelas, mereka melangkah keluar dari sana. Di pagi hari,
pemilik Oxen menemukan jejak kaki, lantas menyimpulkan: Oxen melangkah dari goa, lalu lenyap.
Ilustrasi Ollman: Jika pemilik Oxen mengambil mata pelajaran metodologi di sebuah universitas di
Amerika Serikat, maka dia kemungkinan menghitung setiap jejak langkah, bila perlu mengujinya pakai
program komputer. Dan dia bakal tiba pada kesimpulan keliru. Di sini duduk masalah: realitas yang kita
amati jauh lebih kompleks dari yang tampak di permukaan, yang bisa menyesatkan. Lagi Ollman,
merujuk ke Marx, contoh ini menggambarkan cara sebagian besar di antara kita memahami dunia: yakni,
dengan bersandar pada apa yang kita lihat, dengar, lantas tiba pada kesimpulan tidak tepat.

Pemilik Oxen akan mengerti lebih baik jejak kaki jika dia mencari tahu kejadian malam itu. Begitu juga,
untuk memahami satu perkara dalam realitas kehidupan, maka disyaratkan untuk melacak bagaimana soal
itu muncul dan berkembang, dan bagaimana pula bertemu dengan konteks atau sistem lebih luas, yang
merupakan bagian darinya. Lalu, menurut Ollman, itu tidak cukup, karena realitas kehidupan berubah-
ubah dan berhubungan satu sama lain. Tingkat kesulitannya, bagaimana memberikan perhatian khusus
dengan memikirkan kompleksitas ini, bukan mengabaikannya. Dialektika adalah usaha memecahkan
kesulitan ini dengan memperluas ide tentang apapun dengan memasukkan semua aspek dan prosesnya ke
dalam konteks lebih luas.

Dialektika, Ollman garis bawahi, merubah cara pandang kita tentang realitas dengan mengubah
pandangan tentang ‘sesuatu’ dengan pandangan tentang ‘proses’ dan ‘hubungan’. Untuk menjelaskan hal
tertentu – katakanlah barang tertentu atau suatu masyarakat – sebagai ‘proses’ berarti melihat sejarahnya,
yang mengalir meliuk-liuk dan kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Lantas, memandang soal
tertentu sebagai ‘hubungan’, maka perhatian harus diberikan kepada hubungannya dengan soal yang lain.
Singkat, Ollman beri contoh, ketika membahas kapital sebagai ‘proses’, Marx bicara akumulasi primitif,
akumulasi, dan konsentrasi kapital, sebagai kenyataan sejarah. Dan saat mengupas kapital sebagai
‘hubungan’, dia omong tentang kerja, komoditi, nilai, kapitalis, dan buruh, sebagai soal-soal yang saling
berhubungan yang mendasari kapital secara keseluruhan. Marx memandang kapitalisme melalui abstraksi
tentang ‘proses’ dan ‘hubungan’ dari berbagai aspek ini.

Kedua sisi dialektik (‘proses’ dan ‘hubungan’) ini penting, karena banyak komentator, misalnya,
menghubungkan kapital dengan Marx tetapi sewenang-wenang menyalah-gunakannya. Kesewenangan
paling umum, contohnya, kapital dirumuskan sebagai barang (thing) atau timbunan harta kekayaan atau
tumpukan barang. Seorang dianggap kapitalis hanya karena memiliki 1.000 hektar kebun kelapa. Padahal,
Marx berulang mengajarkan di mana-mana: kapital adalah hubungan sosial dalam produksi, seperti
ditulisnya:

‘Capital is not a thing, but a social relation between persons which is mediated through thing’. (9)

Dengan kata lain, MD tidak kaku menghitung jumlah kekayaan/barang. Tetapi yang diutamakan dalam
investigasi adalah hubungan sosial kepemilikan barang itu, termasuk asal-muasalnya. Bagaimana asal-
usul pemilik 1.000 hektar kebun kelapa itu dilihat dalam hubungan dengan seseorang yang lain. Apakah
dia merampas dari orang lain? Kalau iya bagaimana proses itu berlangsung. Atau, kalau dia beli dari
orang lain bagaimana proses jual-belinya? Lantas, bagaimana si pembeli itu memperoleh uang untuk
membelinya?. Kenapa juga si penjual harus menjual kebunnya?. Dan seterusnya. Lalu, si pemilik kebun
itu bisa disebut sebagai seorang kapitalis, hanya kalau di dalam proses pengolahan kebunnya, dia
seharusnya (necessary) mendasarkan diri pada hubungan produksi kapitalis, yakni mempekerjakan buruh
upahan. Kalau dia mengerahkan warga sekampung bergotong-royong secara sukarela atau memaksa
mereka bekerja secara paksa, maka si pemilik kebun bukan seorang kapitalis. Harus jelas ada hubungan
antara kapitalis dengan buruh upahan (seseorang yang menjual tenaga kerjanya secara bebas tanpa
tekanan oleh siapapun), baru bisa disebut kebun itu dikelola menurut hukum produksi kapitalisme.
Keseluruhan

Dialektika melihat keseluruhan (whole), sebuah sistem organik yang menyeluruh, yang merupakan
kombinasi antara bagian-bagian yang heterogen, sebagai dasar untuk memahami sesuatu. Di berbagai
tempat, Marx berulang menyatakan bagian-bagian bukan tercerai-berai bebas tanpa berkaitan satu sama
lain. Mereka berhubungan terus-menerus, mengalir dinamis sebagai keseluruhan sistem. Inilah kuncinya,
‘a philosophy of internal relations’ yang menganggap bahwa segala sesuatu berhubungan dengan segala
sesuatu yang lain.(10) Kapitalisme atau masyarakat borjuis, atau tipe masyarakat apapun, menurutnya
adalah sebuah keseluruhan, yang terdiri dari berbagai sisi berkaitan. Memahami masyarakat sebagai
keseluruhan, oleh karena itu, merupakan keharusan, jika ingin tidak gagal menjelaskannya dengan terang
dan lengkap. Di ‘Grundrisse’, Marx menyebut produksi, distribusi, pertukaran, konsumsi adalah bagian-
bagian yang saling interaksi dalam suatu kesatuan organik.(11) Dalam pengantar ‘Economic and
Philosophical Manuscripts’, dia menyatakan kebutuhan menulis kritik hukum, moral, politik dan lain-lain
tidak sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi sebagai sebuah keseluruhan.(12) Atau, di ‘the Poverty of
Philosophy’, Marx menyatakan hubungan saling mendukung antara bagian-bagian dalam masyarakat
sebagai berikut:

‘The structure of society, in which all relations coexist simultaneously and support one another’.(13)

Ini membawa konsekwensi lain. Perubahan pada salah satu segi akan diikuti dengan perubahan pada segi-
segi lainnya. Marx memberikan penjelasan mengenai konsekwensi semacam ini, misalnya, ketika dia
mendiskusikan perubahan di dalam corak produksi. Dia bilang:

‘the transformation of the mode of production in one sphere of industry necessitates a similar
transformation in other spheres’.(14)

Atau di ‘Preface to a Contribution to the Critique of Political Economy’ dia katakan perubahan di bidang
ekonomi akan diikuti dengan perubahan di sisi superstruktur secara keseluruhan:

‘The changes in the economic foundation lead sooner or later to the transformation of the whole immense
superstructure’.(15)

Poin ini penting untuk mengoreksi pandangan umum yang kerap menganggap ekonomi dan politik
sebagai dua sudut yang terisolasi satu sama lain. Eknomi dilihat berdiri sendiri dari politik, dan segi-segi
lain dalam kehidupan masyarakat. Turunannya, kemajuan ekonomi, tidak harus diikuti kemajuan politik,
atau bila perlu berlawanan. Atau politik yang demokratis penting, tetapi tidak dengan demokrasi
ekonomi.

Jelas keliru, karena dari posisi berdiri keseluruhan, politik, ekonomi, budaya, seni, dan apapun di dalam
kehidupan masyarakat saling bergandengan. Konsekwensinya, perubahan masyarakat yang dibayangkan
adalah perubahan semua segi, bukan satu, dua atau beberapa saja dari semua. Contoh lebih praktis,
demokrasi politik, tanpa demokrasi ekonomi, dan demokrasi di sudut-sudut yang lain, bukan demokrasi,
kecuali kita menyebutnya demokrasi borjuis, yang identik dengan barbarisme, seperti saban hari kita lihat
sejak reformasi 1998 di negeri kita. Dengan kata lain, dari sisi pandang keseluruhan, maka tidak ada yang
patut dibanggakan, ketika kebebasan berserikat, kebebasan berpendapat, dan kebebasan memberikan
suara dalam pemilihan umum, hidup berdampingan dengan kesewenang-wenangan sekelompok kecil
yang merampas hak-hak milik warga kebanyakan melalui berbagai cara. Intinya, metode yang
memisahkan ekonomi dari politik, atau sebaliknya, atau dengan apapun, bertentangan dengan azas
keseluruhan dalam ilmu pengetahuan marxis, kecuali eks-marxis, dan anti-marxis.

Abstraksi

Bagaimana menjelaskan keseluruhan secara ilmiah?. Marx menunjuk abstraksi


(abstraction). Di pengantar edisi pertama ‘Capital’, dia bilang:

‘... the complete body is more easier to study than its cells... in the analysis of economic
forms neither microscopes nor chemical reagents are of assistance. The power of
abstraction must replace both’.(16)

Kekuatan abstraksi berarti menerima keseluruhan sebagai dasar, lantas proses


abstraksi dimulai dari mengerti satu bagian dari bagian-bagian lain secara
keseluruhan.(17) Abstraksi oleh karena itu berarti mulai dengan melihat bagian-
bagian.

Bagi Marx,(18) pengetahuan adalah bangunan analisa yang dirancang berdasarkan


abtraksi, yang dikembangkan dan diungkapkan menurut alur tertentu untuk
menghasilkan gambaran-gambaran penting mengenai suatu fenomena nyata di dalam
fikiran. Abstrak berkaitan dengan segala penafsiran yang dibangun di dalam fikiran
guna memikirkan kenyataan konkrit, yakni sesuatu yang bersifat fisik, dapat
dirasakan oleh panca indera, dan dapat diamati.(19) Menurut Marx, ‘the scientifically
correct method’ mesti dikembangkan dari pemahaman tentang soal-soal konkrit yang
terdiri dari totalitas yang sangat kaya dengan aneka determinasi dan relasi.(20) Titik
berangkatnya, konsep paling sederhana yang konkrit, lantas melacak jauh ke dalam
dengan konsep-konsep lebih abstrak. Kata Marx:

‘It seems to be correct to begin with the real and the concrete, with the real
precondition……the concrete is concrete because it is the concentration of many
determination, hence unity of diverse’.(21)

Bukan sebaliknya, karena menurutnya akan merupakan sebuah konsepsi yang


amburadul mengenai keseluruhan (chaotic conception of the whole). Marx secara
terang menyatakan kebenaran ilmiah dengan metode investigasi dari soal-soal konkrit
yang lebih sederhana menuju ke soal lebih abtrak:

‘..from the simple relation, such as labour, division of labour, need, exchange value to
the level of the state, exchange between nations and the world market’.(22)

Sebagai aturan main, abstraksi paling umum lahir hanya di tengah-tengah


perkembangan hal-hal konkrit paling kaya, di mana bagian-bagian konkrit muncul
bersama dengan lainnya sebagai keseluruhan. Misalnya, masyarakat borjuis
merupakan organisasi produksi paling maju dan paling kompleks secara historis.(23)
Abstraksi terhadap masyarakat borjuis, oleh karena itu, harus dimulai dari
mengamati secara seksama perkembangan organisasi produksi. Dengan kata lain,
abstraksi dimulai dari aspek khusus, dalam hal ini organisasi produksi, untuk melihat
keunikannya. Lantas bergerak melihat kaitannya dengan aspek-aspek yang lain secara
lebih luas dan menyeluruh.

Contoh paling terang bagaimana kekuatan abstraksi bekerja adalah ‘Capital’. Di buku
ini, Marx memandang kapitalisme sebagai keseluruhan yang terdiri dari aneka segi.
Tetapi, pintu masuk investigasi adalah komoditi, sisi paling mendasar tentang
kekayaan dalam masyarakat borjuis, tetapi juga merupakan segi paling konkrit yang
bisa diamati. Dengan kata lain, seperti di katakannya, karena komoditi merupakan ‘sel
ekonomi dari masyarakat borjuis’ (economic cell-form of bourgeois society). Membuka
percakapan di ‘Capital’, Marx menyatakan ini:

‘The wealth of societies in which the capitalist mode of production prevails appears as
an ‘immense collection of commodities’; the individual commodities appears as its
elementary form. Our investigation therefore begins with the analysis of commodity’.
(24)

Dengan komoditi, Marx melakukan abstraksi dengan konsep-konsep yang sederhana,


dengan menyebut setiap komoditi memiliki dua sisi berbeda dan bertentangan: nilai
guna (use-value) dan nilai tukar (exchange-value). Komoditi punya nilai guna karena
dapat memenuhi keinginan kita dan punya nilai tukar karena memiliki nilai (value)
ketika dipertukarkan dengan komoditi lain.(25)

Lantas, dari komoditi Marx menunjuk jalan tidak secara tergesa-gesa melalui
abstraksi lebih kompleks untuk mengerti aneka soal yang saling berhubungan dan
berlawanan dalam keseluruhan. Jangan heran, di ‘Capital’, dia membawa kita terus
berselancar secara dialektik. Katanya, sejak komoditi memiliki karakter ganda, maka
setiap kerja (labour) yang menghasilkan komoditi juga memiliki sifat ganda, yaitu
kerja konkrit (concrete labour) dan kerja abstrak (abstract labour). Jika kerja konkrit
menghasilkan wujud fisik dari komoditi, maka kerja abstrak menelorkan nilai (value)
dari komoditi.(26) Tentu dua kerja yang berbeda ini bukan berlangsung secara
berbeda tetapi dalam momen yang sama. Sepatu, misalnya, merupakan hasil dari
kerja konkrit. Tetapi, dia hanya menjadi komoditi, ketika sepatu itu oleh pembuatnya
tidak langsung digunakan sendiri, tetapi dipertukarkan melalui pasar. Di situ justru
merupakan nilai dari sepatu, yang oleh Marx menyebutnya sebagai hasil dari kerja
abstrak.

Dari sanalah Marx mengembangkan abstraksi dengan konsep-konsep seperti ‘surplus-


value’, ‘relative surplus-value’, ‘absolute surplus-value’ dan lain-lain. Intinya, kita
akan mengalami kesulitan mengerti apa yang dimaksud oleh Marx tentang teori-teori
eksploitasi dalam kapitalisme, keterasingan (alienation), dan lain-lain tanpa mengikuti
dengan teliti bagaimana dia melakukan abstraksi sejak mendiskusikan dengan teliti
tentang komoditi.

Penampakan dan esensi


Aspek penting lain dari dialektika adalah bahwa Marx menggunakan konsep secara
berpasangan. Seperti jelas terlihat ketika dia mendiskusikan keseluruhan dalam
hubungan dengan bagian-bagian, penampakan dengan esensi, waktu dan ruang,
bentuk dan isi, kuantitas dan kualitas, hubungan dan proses, keharusan dan
kemungkinan, sejarah dan struktur. Paolucci(27) mendiskusikan soal ini secara dalam.
Catatan ini sedikit memusatkan pada penampakan dan esensi saja sebagai contoh.

Bagi Marx tugas pokok ilmu pengetahuan untuk memahami keseluruhan adalah tidak
berhenti melihat apa yang muncul di permukaan, tetapi dengan kekuatan abstraksi
menelusuri soal-soal mendasar yang tersembunyi (essence) sampai ke akar-akarnya.
Marx bilang:

‘It is one of the tasks of science to reduce the visible and merely apparent movement to
the actual inner movement’.(28)

Di bagian lain dia menyatakan:

‘…..all science would be superfluous if the form of appearance of things and directly
coincided with their essence’.(29)

Contoh dekat, profit misalnya. Profit hanya fenomena permukaan, puncak gunung es,
atau jejak kaki. Ini yang kasat mata terlihat oleh masyarakat, dipercakapkan para
ekonom borjuis, dan diburu kaum kapitalis. Tetapi, bagi Marx, akan menyesatkan,
kalau tidak menelusuri kaitan-kaitannya dan pertentangan-pertentangannya antara
yang terlihat di luar (outer) dan tersembunyi di dalam (inner): dengan bertanya dari
mana dan bagaimana profit datang dan berkembang. Dia lalu mengajak kita melalui
proses penalaran melihat ‘surplus-value’ (esensi yang tersembunyi) agar supaya
memahami profit, fenomena gunung es. Profit bersumber dari surplus-value. Marx
bilang:

‘Surplus-value and the rate of surplus-value are….the invisible essence to be


investigated, whereas the rate of profit and hence the form of surplus-value as a profit
are visible surface phenomena’.(30)

Ilustrasi lain, pengalaman di zaman Suharto, tentu juga sampai sekarang. Para
pendukung dengan memakai dalil ilmu ekonomi borjuis menakar kemajuan dengan
pertumbuhan ekonomi sekian persen pertahun. Mereka menyebut itu dicapai berkat
sukses kemajuan industri manufaktur di pulau Jawa dan industri berbasis ekstraksi
sumber daya alam di luar Jawa. Di permukaan tidak salah. Kesalahan ekonom borjuis
adalah berhenti dan merayakan kemajuan itu. Tetapi, dengan Marx, kita tidak
berhenti di sana, tetapi masuk melacak, apa gerangan yang menyumbang kemajuan
itu. Ternyata dia bersumber dari penghisapan buruh-buruh industri manufaktur di
pulau Jawa. Kita bisa mengujinya, dengan teori ‘suplus-value’. Di luar Jawa, kita bisa
mengaitkan dengan teori ‘metabolic rift’,(31) yang menghubungkan pertumbuhan
dengan pengrusakan alam menyusul pembuangan limbah, pembakaran hutan,
konversi hutan-hutan alam, dan tehnik monokultur yang mengerdilkan tanah,
menyusul pertumbuhan industri-industri keruk kulit dan isi perut bumi. Karena
pertumbuhan juga sejalan dengan penyingkiran paksa petani dari tanah-tanah mereka
dengan kekerasan, maka teori Marx tentang ‘primitive accumulation’ pas menjelaskan
gambar sampul pertumbuhan itu.

Ringkas, seperti kata Ollman,(32) pangkal dari studi Marx tentang kapitalisme adalah
untuk menyingkap hubungan-hubungan esensial yang tersembunyi di balik yang
terlihat, yang relatif mudah terbaca. Dengan menyingkap yang esensi berarti
membawa pemahaman jauh lebih luas, dengan memberikan gambaran menyeluruh
mengenai hubungan-hubungan sistemik dan historis dari yang tampak terlihat.
Intinya, Michael Lebowitz(34) mengingatkan, tanpa mengerti hubungan antara yang
tampak dari luar dan yang tersembunyi di dalam, kita akan gagal memahami proyek
metodologi Marx. Nah, kalau sudah begitu, kita akan terseok-seok membaca Marx,
bahkan tidak mengertinya sama sekali.

Catatan kaki:

(1) Perhatian terhadap MD meningkat tajam akhir-akhir ini. Beberapa buku yang
diterbitkan dalam dekade ini menunjukkan itu: karya ilmuwan politik Bertell Ollman,
Dance of the Dialectic: Steps in Marx’s method, Urbana and Chicago: University of
Illinois Press, 2003; Filosof Arthur, Christopher J. The New Dialectic and Marx’s
Capital, Leiden: Brill, 2002; sosiolog Paul Paolucci, Marx’s Scientific Dialectic: A
methodological treatise for new century, Chicago, Illinois: Haymarket Books, 2009;
dan ekonomi Michael Lebowitz, Following Marx: Method, critique, and crisis,
Chicago: Haymarket books, 2009. Tentu saja, di luar karya-karya tersebut, karya-
karya penting lain adalah dari Derek Sayer, Marx’s Method: Ideology, science and
critique in Capital, Sussex: the Harvester Press, 1979; Fred Moseley, (ed.) Marx’s
Method in Capital: A reexamination, New Jersey: Humanities Press, 1993,

(2) Dance of the Dialectic.

(3) Lenin, V.I., On the Question of Dialectics, Lenin’s Collected Works, Volume 38,
Moscow: Progress Publishers, 1976. Rosdolsky, R, The Making of Marx’s ‘Capital’,
London: Pluto Press, 1977, hlm. xiii.

(4) Arthur, Christopher J. The New Dialectic and Marx’s Capital. Juga Arthur,
Dialectics of Labour: Marx and his relation to Hegel, Oxford: Basil Blackwell, 1986.
Karya-karya lain adalah Colletti Marxism and Hegel, London: Western Printed
Services Ltd., 1973; dan Smith, the Logic of Marx’s Capital: Replies to Hegelian
criticism, New York: State University of New York Press, 1990; Bidet, J. Exploring
Marx’s Capital: Philophical, economic, and political dimensions, Chicago, Illinois,
Haymarket Books.

(5) Paolucci, P. Marx’s Scientific Dialectic.

(6) Penjelasan tentang perbedaan ini disampaikan juga dengan jelas oleh Smit, the
Logic of Marx’s Capital, hlm. 19-42. Juga Colletti, Marxism and Hegel.

(7) Kata Marx ‘My dialectical method is, in its foundations, not only different from the
Hegelian, but exactly opposite to it……I criticized the mystificatory of the Hegelian
dialectic nearly thirty years ago, at a time when it was still the fashion. But just when I
was working at the first volume of Capital, the ill-homoured, arrogant, and mediocre
epigones who now talk large in educated German cicles began to take pleasure in
treating Hegel,…, as a ‘dead dog’. I therefore openly myself the pupil of that mighty
thinker, and even, here and there in the chapter on the theory of value, coquetted with
the mode of expression peculiar to him’. Marx, K. Capital: A critique of political
economy, volume I, London: Penguin Books, 1990, hlm, 102-3. Mengenai titik tolak
perbedaan investigasi ini, Marx menyatakannya juga di dalam Pengantar di ‘A
Contribution to the Critique of Political Economy’: ‘My inquiry led me to the
conclusion that neither legal relations nor political forms could be comprehended
whether by themselves or on the basis of a so-called general development of the human
mind, but that on the contrary they originate in the material conditions of life, the
totality of which Hegel, ..…, embraces within the term “civil society”… The general
conclusion at which I arrived and which, once reached, became the guiding principle of
my studies can be summarized as follows. In the social production of their existence,
men inevitably enter into definite relations, which are independent of their will, namely
relations of production appropriate to a given stage in the development of their
material forces of production. The totality of these relations of production constitutes
the economic structure of society, the real foundation, on which arises a legal and
political superstructure and to which correspond definite forms of social consciousness.
The mode of production of material life conditions the general process of social,
political and intellectual life. It is not the consciousness of men that determines their
existence, but their social existence that determines their consciousness’. Marx, K.
Early Writing, London: Penguin Books, 1992, hlm. 425. Diskusi dan kritik Marx yang
dalam soal dialektika Hegel disampaikan di bagian akhir ‘Economic and Philosophical
Manuscripts’, lihat Marx, Early Writings, hlm. 379-400.

(8) Ollman, B. Dance of the Dialectic, hlm.12-4.

(9) Marx, K.Capital. I, hlm. 932.

(10) Diskusi panjang tentang ini lihat Ollman, Dance of the Dialectic, bab 3 dan bab 4.
Lebih ringkas lihat Paolucci, hlm. 69.

(11) Marx, K. Grundrisse, Foundations of the Critique of Political Economy, London:


Penguin Books ,1993, hlm. 99-100.

(12) Marx, K. Early Writing, hlm. 281

(12) Marx, K., The Poverty of Philosophy, New York: International Publishers, 1971,
hlm. 111.

(13) Marx, K. Capital, I, hlm. 505.

(14) Marx, K. Early Writing, hlm. 426.

(15) Marx, K. Capital, I, hlm. 90.

(16) Paolucci, hlm. 119.

(17) Grundrisse, hlm. 100-1


(18) lihat Ollman, 60-3; Paolucci, hlm. 159.

(19) Grundrisse, hlm.101.

(20) Ibid, hlm. 100-1.

(21) Ibid, hlm.100-1.

(22) Grundrisse, hlm. 104-5.

(23) Marx, K. Capital, I, hlm. 125.

(24) Capital, I, hlm, 125-31.

(25) ibid, hlm, 131-7.

(26) Marx’s Scientific Dialectic, hlm. 159-88.

(27) Marx, Capital: A critique of political economy, volume III, London: Penguin
Books, 1991 hlm. 428.

(28) Ibid, III, hlm. 956.

(29) Capital, I, hlm. 134.

(30) Capital, III, hlm, 949-50; Capital,.I, hlm. 637-8.

(31) Capital, I, hlm. 876-95.

(32) Dance of Dialectic, hlm.79

(33) Following Marx, hlm. 72.

Anda mungkin juga menyukai