Anda di halaman 1dari 10

IMAN DAN WAHYU: HADIAH TANPA SYARAT?

Tinjauan Teologi Islam


Bambang Q-Anees

Am Lil Insani Ma Tamanna


Apakah manusia mendapatkan segala yang dicita-citakannya?”
(QS. A-Najm: 24)

Umar bin Khattab, seorang pemuda Mekkah yang cakap dan berpengaruh, merasa
tersinggung pada ajaran Muhammad Rasulullah yang menyalahkan praktek penyembahan
berhala. Umar terus mengancam ke semua orang yang terpapar ajaran Muhammad, “Siapa
yang mengikutinya akan berhadapan denganku!”, ujar Umar sambil menyandang pedang.
Semua ketakutan, tentu saja. Suatu hari ia mendatangi rumah adiknya, Fathimah, ternyata
adiknya sedang membaca lembaran-lembaran wahyu. Umar marah, menyerang adiknya,
bahkan memukul sampai berdarah. Ia meminta adiknya memperlihatkan apa yang dibaca
dengan khusyuk itu.Lembar itu terbuka dan terbacalah:
Thaha
Ma Anzalnal Qur’ana ‘alaayka litasqa...dst
“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi
susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), yaitu
diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (Yaitu) Tuhan
Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy. Kepunyaan-Nya-lah semua
yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua
yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya
Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. Dialah Allah, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-
nama yang baik). Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? Ketika ia melihat api,
lalu berkatalah ia kepada keluarganya: “Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku
melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu
atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu. Maka ketika ia datang ke
tempat api itu ia dipanggil: “Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka
tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada dilembah yang suci,
Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan
(kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain
Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS: Ta Ha,
ayat 1-14)
Umar terpana dan bergumam, “Betapa indahnya dan mulianya ucapan ini. Tunjukkan
padaku di mana Muhammad,” kata Umar. Umar pun masuk Islam, iman kepada apa yang
diturunkan Muhammad Rasulullah merasuk ke dalam jiwanya.
Kebalikan dari Umar adalah Abu Lahab, paman tiri Nabi Muhammad yang seumuran.
Rumahnya bertetangga, bahkan dua anak mereka saling dinikahkan. Abu Lahab dan Nabi
Muhammad berbesanan, keponakan-paman itu seharusnya saling memahami dan
menghargai. Sebagai tetangga dan paman, sekaligus besan, seharusnya Abu Lahab tahu
betul perilaku Nabi Muhammad, juga mendengar ayat-ayat al-Quran dibacakan. Alih-alih

1
Abu Lahab mengimani apa yang diimani Nabi Muhammad, Abu Lahab justru menjadi musuh
paling utama Nabi Muhammad. “Celakalah kedua tangan Abu Lahab!”, begitu al-Quran
mencela perilaku Abu Lahab atas penentangannya terhadap iman.
Iman dan wahyu begitu penting dalam agama dan dalam hidup beraagama.
Bagaimanakah iman bisa masuk ke dalam diri seseorang? Ini yang jadi bahasa misterius
dalam teologi Islam –mungkin juga teologi agama manapun. Kenapa Umar bin Khattab
beriman sesaat setelah membaca surat Thaha, sementara yang lain –seperti Abu Lahab--
yang juga membaca ayat yang sama tetap tidak beriman? Apakah iman sebagai hadiah dari
Tuhan atau sebagai buah dari usaha? Pertanyaan yang sama juga berlaku pada wahyu.
Ada banyak teori mengenai “datangnya” iman (dan/atau wahyu) pada seseorang.
Teologi Islam, paling tidak memiliki 3 teori besar mengenai kehendak manusia dan
kehendak Tuhan: Jabbariyah, Qadariyah, dan Kasb. Tak ada kehendak manusia, semuanya
kehendak Tuhan yang “dipaksakan” kepada manusia; inilah paham Jabbariyah [jabbar
artinya memaksa]. Kehendak manusialah yang utama, Tuhan bahkan mengikuti kehendak
manusia: inilah paham Qadariyah. Sementara Kasb, jalan tengah antara Jabbariyah dan
Qadariyah, menegaskan, “Seseorang yang mencambuki kuda tentu saja agar kuda itu melaju
kencang, bukan agar kuda itu bisa terbang”: kehendak manusia bagaimanapun dibatasi oleh
ketentuan yang Tuhan buat.
Tiga teropong ini juga berlaku pada iman. Iman itu ketentuan Tuhan, ada manusia
yang dipilih untuk beriman ada yang tidak: begitu kira-kira keyakinan Jabbariyah. Iman itu
hasil upaya manusia, ini keyakinan Qadariyah. Kalaupun seseorang berupaya untuk beriman,
kemampuan berupayanya itu adalah modal dari Tuhan: ini keyakinan kasb Asyariyah. Jadi
apakah iman itu hadiah tanpa syarat atau hasil upaya? Mari kita tinjau makna kata hadiyah,
iman, dan wahyu; baru kemudian membicarakan apakah iman sebagai hadiah tanpa syarat.

Makna Hadiah dalam Teologi Islam


Hidayah terambil dari kata hada-yahdi-hidayatan yang berarti petunjuk, atau
“sesuatu yang menunjukkan (mengantar) kepada apa yang diharapkan”. Biasanya hidayah
diberikan dengan “lemah lembut”. Dari akar kata yang sama muncul kata hadiyah, yakni
“sesuatu yang diberikan secara halus dan lemah lembut dengan maksud sesuai dengan apa
yang diharapkan pemberi”, Misalnya pemberian hadiah diberikan agar lebih erat
persahabatannya, atau agar semakin akrab, dan lain sebagainya. Hadiyah adalah sebuah
anugerah yang diberikan kepada satu pihak, dikemas atau dibungkus yang bagus,
diserahkan dengan lemah lembut, untuk menunjukkan kasih sayang si pemberi. Ada kasih
sayang si Pemberi yang menjadi “penyebab” diberikannya hadiah. Si penerima bisa saja
pasif, tak memiliki prestasi apapun kecuali relasi ayah-anak misalnya, atau si penerima
memiliki prestasi seperti hadiah pada lomba.
Ada dua jenis hidayah, yakniinformasi dan kemampuan. Hidayah informasi sama
dengan petunjuk jalan, hendak kemana dan bagaimana. Informasi saja tak membuat
seseorang mencapai tujuan yang dimaksud, karena itu dibutuhkan hidayah kemampuan.
Pada saat mengemukakan hidayah informasi, al-Quran menggunakan redaksi hidayah plus
kata ila, seperti dalam QS As-Syura 52 Innaka latahdi ila shirath al-mustaqim [sesungguhnya
kami benar-benar pemberi petunjuk ke jalan yang benar]. Sementara hidayah kemampuan
dikemukakan dalam al-Quran tanpa tambahan kata hubung ila, “bukan saja berarti
penunjuk (informasi) tetapi sekaligus mendorong yang bersangkutan menuju arah yang
dikehendaki. Ini terlihat pada ayat ihdinash shirat al-mustaqim (bimbinglah kami ke jalan
yang lurus).

2
Ar-Raghib Isfahani membagi hidayah dalam empat bagian. Pertama, hidayah pada
semua manusia berupa pengetahuan umum sesuai dengan batas kemampuannya masing-
masing. “Tuhan kamu adalah yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk
kejadiannya tusmma hada—kemudian memberinya petunjuk” (QS. Thaha: 50). Kedua,
hidayah dalam bentuk ajakan para Nabi kepada manusia dan kitab Sucinya (QS. Al-
Anbiya:73). Ketiga, hidayah dalam bentuk taufiq (persesuaian antara kehendak manusia
dengan kehendak Tuhan), “dan Allah akan menambah petunjuk bagi mereka yang telah
mendapatkan petunjuk” (QS. Maryam: 76). Keempat, hidayah di akhirat nanti menuju surga
(QS Muhammad: 4-5).
Terkait dengan hidayah tingkat pertama dan kedua dalam kategori Isfahani, lebih
tepat disebut sebagai hadiah. Terutama karena pada hidayah jenis pertama dapat diterima
seseorang saat Tuhan memberikannya modal pancaindera, naluri, dan akal. Hidayah jenis
kedua juga dapat disebut hadiah, karena kehadiran Nabi dan Rasul dilakukan Tuhan demi
pencapaian tujuan penciptaan manusia, yakni ibadah.
Quraisy Syihab mengemukakan bahwa hidayah diturunkan Allah SWT itu ada dalam
dua bentuk. Bentuk pertama hidayah bisa diberikan Allah SWT tanpa harus didahului
permintaan. Contoh paling dekat tentang hidayah jenis ini tergambar pada peristiwa
berputarnya posisi janin di dalam perut manusia menjadi lebih pas di masa-masa jelang
kelahiran. Naluri yang diturunkan kepada bayi tersebut bisa dianggap hidayah. idayah yang
kedua adalah hidayah yang jalannya secara penuh diserahkan kepada manusia itu sendiri.
Allah SWT sudah memberikan penjelasan mengenai kebaikan. Manusia itu sudah tahu,
maka Allah SWT biarkan ia untuk memilih selamat atau merugi. Dalam ikhtiar meraih
hidayah jenis yang kedua ini hendaknya manusia terus mendekatkan diri kepada Tuhan.
Sebab, ketentuan memeroleh hidayah tetap berdasarkan pada keridaan [rasa senang] Allah
SWT.
Selain hidayah ada inayah (dari akar kata ‘aun) yang berarti “pertolongan dan
bantuan”. Manusia terus menghadapi problem kehidupan yang selalu baru sehingga
pertolongan Allah terus dibutuhkan. Para Nabi digambarkan sebagai orang yang meminta
pertolongan (inayah) kepada Allah, misalnya doa Nabi Ya’kub pada QS Yusuf ayat
18:“Wallahu musta’an ‘ala ma tasifun” (kepada Allah sajalah pertolongan diajukan atas
informasi yang kau berikan). Ada satu hadits Nabi yang menunjukkan perlunya inayah dalam
tindakan beribadah: Allahumma a’inni ‘ala dzikirika, wasyukrika, wa husni ibadatika [ya
Allah, mohon Engkau beri pertolongen kepadaku untuk berdzikir kepadaMu, bersyukur
kepadaMu, dan beribadah kepadaMu dengan ihsan” (HR Abu Dawud). Pada doa ini,
menyebut nama Tuhan dalam kadar ihsan [yang terbaik] membutuhkan pertolongan Allah,
tak bisa berdasar pada kehendak sendiri.

Makna Wahyu dalam Al-Quran


Wahyu berarti pemberian informasi secara cepat dan samar dengan cara-cara
tertentu. Ibnu Faris dalam Maqayis-nya mengatakan, “Al Wahyu kata dasar yang
menunjukkan arti penyampaian informasi secara samar kepada pihak lain. Wahyu juga
berartikan isyarat, tulisan, surat. Dan segala sesuatu yang kamu lontarkan kepada orang lain
sehingga ia memahaminya (dengan cara apapun), itu juga disebut wahyu…. Wahyu artinya
cepat. Ia juga bermaknakan suara.”1 Raghib Al Ishfahani dalam Mu’jam Mufradâ–nya
mengatakan, “Asli makna kata wahyu ialah isyarat dengan cepat, dan kerena ia megandung

1
Ibn Faris, Mu’jam Maqâyis Al Lughah, 6/93

3
pengertian cepat dikatakan amrun wahyu yaitu perkata yang cepat. Ia terkadang dengan
cara pembicaraan melalui sandi dan sindiran, terkadang dengan cara suara yang tidak terdiri
dari susunan yang jelas dan dengan isyarat sebagian anggota badan, dengan tulisan. 2 Ibnu
Mandzur dalam Lisanul Arab-nya menerangkan, “Al Wahyu: isyarat, tulisan, surat, ilham,
pembicaraan yang samar dan semua yang kamu sampaikan kepada pihak lain. Dikatakan,
‘Wahaitu Ilaihi Al Kalama, dan Awhaitu dan Waha- Wahyan dan Awha artinya menulis.”3
Wahyu secara teologis kemudian dibatasi pada pesan yang diterima oleh para nabi
dan rasul Allah SWT. Ada proses komunikasi yang terjadi antara Allah SWT dan hamba-
hamba pilihan-Nya, komunikasi yang berlangsung secara samar dan tidak mampu dipahami
prosesnya oleh pihak ketiga yang tidak terlibat dalam kontak komunikasi tersebut. Orang
yang berkerhormatan berkomunikasi dengan Allah, Tuhan Yang Maha Agung disebut Nabi
atau Rasul.
Al-Quran sendiri memuat kata wahyu dalam arti yang beragam, dari untuk binatang
seperti lebah, bisikan syetan, sampai firman Tuhan. Al-Quran memuat kata wahyu dengan
Arti Isyarat (QS. 19:11) , Ilham.(QS:28; 7, 5;111), Bisikan setan (QS:6;112, dan (QS:6;121),
Pemahaman Melalui Naluri dan Insting (QS:16;68-69)., Penetapan Ciptaan Dengan Aturan
dan Undang-undang (QS:41;11-12), dan wahyu sebagai Firman Tuhan kepada para Nabi (QS
Asyura:3, QS. surat An-Najm:4; QS Al An’aam: 50).
Di samping tiga cara yang disebut di atas, masih ada cara-cara lain yang dimuat di
dalam riwayat-riwayat seperti riwayat Imam Bukhari dari Harits bin Hisyam, ia berkata,
“Wahai Rasulullah, bagaimana proses wahyu datang kepadamu?” Beliau Manjawab,
‘Kadang-kadang wahyu itu datang kepadaku seperti gemerincingnya lonceng. Cara inilah
paling berat kurasakan lalu berhenti dan aku pun memahami apa yang ia katakan, dan
kadang-kadang malaikat menampakkan dirinya kepadaku berupa seorang laki-laki maka ia
mengatakan kata-kata kepadaku dan aku memahami apa yang ia ucapkan’” 4. Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa wahyu dapat dibagi menjadi dua bagian: (1)
Wahyu Mubâsyir: wahyu yang diterima secara langsung tanpa perantaraan malaikat atau
yang lainnya; (2) Wahyu Ghâirul Mubâsyir: wahyu yang diterima melalui perantaraan
malaikat, baik datang dalam bentuk aslinya ataupun dalam bentuk manusia 5.
Wahyu sebagai firman digambarkan sebagai “perkataan yang berat” (qawlan tsaqila)
[QS.Al-Muzammil:5]. Satu gambaran yang tidak hanya menunjukkan konsekuensi setelah
menerima wahyu, melainkan juga saat menerima wahyu. Siti Aisyah, istri Rasulullah
Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam, memberikan kesaksian Apabila Rasulullah
Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam menerima wahyu saat berada di atas
tunggangannya (ontanya), maka bagian perut onta itu akan menempel ke tanah.”. 6 Nabi saw
sendiri menyatakan “Sungguh aku melihat wahyu turun kepada beliau di hari yang sangat
dingin namun beliau tidak merasa kedinginan. Bahkan dari dahi beliau mengeluarkan
keringat.”7, dan “ “Sungguh aku sakit sebagimana rasa sakit dua orang kalian (dua kali
lipat).”8

2
Mu’jam Mufradat:515.
3
Lisanul Arab,15/379.

4
Al Iqdu Al Munadzdzam fi Al Anwâ’ Al Wahyi Al Mu’adzam; Sayyid Alawi Abbas Al Maliki: 4 dan Al Itqân; As
Suyuthi,1/46
5
Jibril hanya datang dalam bentuk aslinya dua kali lihat surat An-Najm
6
HR. Ahmad 24912
7
HR. al-Bukhari 2, at-Turmudzi 3634, an-Nasai- 1006, dan Ahmad 26241
8
HR. al-Bukhari 5324 dan Muslim 257

4
Makna Iman dalam Teologi Islam
Secara bahasa kata-kata iman, satu akar kata dengan amanah dan aman, yakni dari
akar kata yang sama yaitu a-m-n (alif, mim, nun) dengan makna “aman”, “tenteram”,
“percaya”, “tidak merasa takut”. Di sini kata a-m-n bermakna “percaya”, karena itu amanah
dapat berarti “sikap dan tindakan mempercayakan sesuatu kepada pihak yang memang
terpercaya”. Seseorang dapat mempercayakan sesuatu kepada pihak lain “tanpa rasa
takut” karena ia meyakini bahwa pihak lain itu dapat mengamankan apa yang dititipkannya
itu. Segera setelah ia titipkan sesuatu itu, ia akan merasa “tenteram”. Kekuatan iman
kemudian melahirkan sikap amanah, dapat dipercaya, sehingga, tidak sempurna iman
seseorang yang tidak bisa memegang amanah.9
Fazlur Rahman mengajukan definisi iman dalam kaitannya dengan amanah. Iman
diartikan Rahman sebagai “percaya” dan “mempercayai”. Kata iman bagi Rahman memiliki
banyak arti, diantaranya adalah “merasa aman dalam diri seseorang atau seseorang merasa
tidak ada gangguan dalam dirinya”10. Iman dalam pemaknaan seperi ini terkait dengan
mutma’in, yakni merasa lega dan puas di dalam dirinya11.Ini terkait dengan “pengertian
menyimpan sesuatu pada orang lain supaya diamankan” (QS. 2:283). Dengan demikian
amanah berarti simpanan yang aman (QS. 4:58 dan 33:72). Kata iman terkadang juga berarti
“aman dari bahaya” (QS. 4:83; 2:125) sehingga menghasilkan kedamaian dan keamanan.
Keimanan perlu dibedakan dari trust dan belief. Keduanya dalam bahasa Indonesia
diartikan sebagai “kepercayaan” . Trust adalah perasaan kuat yang muncul dari relasi antara
seseorang dan yang lain karena penampakan salah satu pihak kepada yang lain sebagai
sosok yang benar dan dapat diharapkan 12. Pada kepercayaan (trust) ini ada tiga unsur
utama, yakni (1) adanya relasi antara subyek (pemercaya) dan obyek “yang dipercaya”, (2)
kebenaran yang ditampilkan oleh “yang dipercaya”, dan (3) kesediaan subyek “pemercaya”
untuk memberikan kepercayaannya13. Situasi trust ini dapat digambarkan sebagai berikut:
- X berhubungan dengan Y,
- Y menampilkan diri kepada X sebagai yang benar dan dapat diharapkan, misalnya
tidak berbohong
- Maka X percaya (trust) pada Y
Keimanan pada awalnya berangkat dari “kepercayaan” (trust) ini lalu meningkat ke dalam
bentuk yang lebih tinggi. Keimanan dalam hal ini dapat dipahami sebagai kepercayaan yang
sangat kuat, yang muncul dalam relasi antara X dan Y, karena Y benar-benar telah benar-
benar dapat dipercaya dan dapat diharapkan. Dari kepercayaan yang sangat kuat ini
kemudian muncul kesaksian (testimony), kepasrahan (submission), dan kesetiaan (fidelity).14
Iman juga berbeda dengan belief. Belief biasanya berlaku pada konteks non-agama,
misalnya kepercayaan kepada ideologi dan mitologi. Ada banyak orang yang percaya pada
kebenaran ideologi tertentu, namun obyek “yang dipercaya” pada ideologi bersifat sekuler.
Sementara mitologi menyajikan obyek yang penuh keajaiban sehingga mirip dengan agama,
padahal keajaiban itu berasal dari sihir dan sejenisnya.

9
“Tidak ada keimanan bagi seorang yang tidak amanah!”. (HR Ahmad)
10
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, LKiS, 2011, h. 230
11
Rahman Some Keys, hal. 170
12
al- Fayyad, Teologi Negatif Ibn Arabi, LkiS, Yogyakarta, 2012, hal 81
13
Fayyad: 82
14
Fayyad: 82

5
Keimanan lebih dari trust dan belief. Keimanan terkait dengan kata yaqin, yakni
kepercayaan yang tak mengizinkan keraguan dalam dirinya. Keyakinan tak mengizinkan
adanya keraguan karena yang diyakininya itu sesuatu yang absolute, tak terbantahkan, dan
tak bisa direka-reka. Pada belief obyeknya bisa jadi tidak meyakinkan kebenarannya, namun
subyek meyakininya sebagai benar. Sementara pada trust, obyeknya bisa saja menyajikan
kebenaran namun dalam wujud yang tidak utuh, benar pada salah satu bagiannya saja.
Obyek iman adalah yang absolute, yakni Tuhan. Begitu seseorang beriman, menurut
Rahman, ia biasanya merasa aman, seraya muncul juga sikap ketaatan dan kesediaan bagi
seorang mukmin untuk mau mengikuti apa yang diimaninya”. 15
Ismail Razi al-Faruqi sangat hati-hati menerjemahkan kata “iman”. Bagi Faruqi, iman
tidak bisa diartikan faith. Faruqi menafsirkan bahwa faith adalah tindakan, suatu keputusan
yang mendorong seseorang berketetapan menerima sebagai kebenaran sesuatu yang telah
ditetapkan sebagai kebenaran, walaupun bersifat scandalon (hal yang sulit dimengerti).16
Pada kata faith, subyek pengiman yang dominan, yang menyerahkan dirinya untuk percaya;
sementara “apa yang dipercayainya” bisa saja tidak benar. Bagi Faruqi, iman dalam Islam
tidaklah demikian.
“Iman berasal dari kata aman atau keamanan. Ini berarti pernyataannya itu telah
aman dari kesalahan atau sungguh-sungguh benar dan bahwa kebenarannya itu
dapat dipahami oleh pikiran”. 17
Iman diberikan kepada sesuatu karena memang sesuatu telah pasti benar, dapat diterima
oleh akal manusia. Karena itu, definisi iman terkait dengan kata yaqin.
“Sebelum adanya yaqin, orang mungkin menyangkal ataupun mempertanyakan
kebenaran. Tetapi jika yaqin sudah ada, maka kebenaran itu sama kukuhnya dan
sama meyakinkannya dengan kesaksian inderawi. Ia telah menjadi kepastian; satu-
satunya tanggapan yang dapat diberikan kepada orang yang terus-menerus
meragukannya adalah voila (lihat sendirilah olehmu). Yaqin adalah kepastian
kebenaran, suatu kepastian yang paling tak terbantahkan.”18
Pada definisi Faruqi ini, iman bukan bersumber dari tindakan subyek yang menyerahkan
kepercayaannya, iman muncul juga karena obyek yang dipercayainya memiliki kebenaran
meyakinkan tanpa keraguan lagi. Karena itu, dalam Islam, kebenaran iman diberikan kepada
akal, bukan kepada perasaan manusia. Kebenaran dari iman bukanlah misteri-misteri, hal-
hal yang sulit dipahami, yang tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal. Iman adalah
pengetahuan kebenaran yang membuat penerimanya menjadi “aman”, “tenteram”.
“Iman bukanlah semata-mata suatu kategori etika melainkan berhubungan dengan
pengetahuan, dengan kebenaran proposisi-proposisinya. Seperti dikemukakan al-
Ghazali, iman adalah suatu visi yang menempatkan semua data dan fakta dalam

15
Mustaqim, h. 232
16
Untuk memperkuat argumennya, Faruqi mengutip definisi iman-kristen seperti Schleiermacher dan
Pascal . Bagi Pascal iman adalah suatu taruhan yang dipasang, seseorang atau suatu kebenaran yang secara
definisi tidak dapat diketahui. Bagi Pascal, manusia tak pernah dapat diyakinkan secara demonstratif tentang
eksistensi Tuhan, perintah-perintahNya, karena itu beriman kepada Tuhan didasarkan pada dorongan
perasaan untuk percaya pada sesuatu yang mungkin saja tidak benar. Sementara Schleiermacher dalam
Religion Speeches to its Cultural Despisers (1958), menganjurkan para penolak iman untuk mendasarkan
kebenaran Kristen bukan pada fakta, atau realitas secara kritis dapat diamati, melainkan pada pengalaman
subyektif terhadap Yesus. Realitas Ilahiah, bagi Schleiermacher, tergantung pada perasaan dari subyek
pengiman yang mengalami.
17
Ismail Razi Al-Faruqi, Tauhid, (terj: Rahmani Astuti), penerbit Pustaka, Bandung, 1995, hal. 41
18
Faruqi, Hal. 42

6
perspektif yang sesuai dengan (dan perlu bagi) pemahaman yang benar. Iman adalah
dasar bagi suatu penafsiran yang rasional atas alam semesta. Iman merupakan
prinsip utama bagi akal atau prinsip rasionalitas pertama. Menyangkalnya sama
dengan menggelincirkan diri dari kebernalaran dan karenanya membuatnya
kehilangan kemanusiaan.19
Bagaimanakah seseorang bisa beriman?
Itulah masalah yang ingin dibicarakan paper ini selanjutnya.

Iman antara Hadiyah dan Hidayah


Al-Quran menegaskan tak ada paksaan dalam beragama (la Ikraha fiddin). Seraya
juga menegaskan bahwa tugas seorang Nabi hanyalah menyeru –memberikan hidayah
informasi— (QS. Ar-RA’d: 7) sementara hidayah kemampuan untuk beriman menjadi kuasa
ilahi. Innaka la Tahdi man Ahbabta (sungguh engkau Muhammad tak bisa memberi hidayah
kemampuan pada orang yang engkau sukai), Walakinallah yahdi man yasyaa-i –tetapi kuasa
kehendak Allahlah yang menentukan siapa yang mendapat hidayah kemampuan
[QS.28:56]. Pada ayat-ayat ini ada kesan bahwa iman adalah hadiah (pemberian hidayah
kemampuan).
Walaupun demikian, seperti dikemukakan Quraish Shihab, hadiah berupa hidayah
iman ini baru didapatkan setelah seseorang mengaktifkan hadiyah modal (pancaindera,
naluri, dan akal). Jadi, hadiyah iman memiliki syarat: yakni pencarian. Karena itu, bagi Frtijoff
Schuon (Muhammad Isa Nuruddin), konsep Iman dalam Islam sangat terkait dengan
pengetahuan Ia menyatakan bahwa iman membutuhkan kecerdasan intelegensi terutama
karena isi syahadah dalam Islam hanya bisa dipahami dengan intelegensi yang kuat.
Syahadah pertama dalam Islam berisi pernyataan la ilaaha illallah (tidak ada Tuhan selain
Allah), dan pernyataan ini merupakan formulasi intelegensia. Pada pernyataan la ilaaha
illallah (tidak ada Tuhan selain Allah) terdapat prinsip intelegensi untuk melakukan proses
berpikir, yakni menegasikan segala sesuatu yang bukan realitas (dalam kalimat la ilaha)
kemudian mengafirmasi Realitas yang sebenarnya (pada kalimat Illa Allah).
Seseorang tak bisa beriman dan menyatakan syahadat Lailahaillallah bila tidak
menggunakan intelegensinya. Syahadat Lailahaillalah memang cukup unik, di dalamnya
tidak tersedia obyek yang dipaksakan untuk dipercaya, misalnya “saya percaya kepada
Allah”. Pada syahadat Lailahaillalah seseorang justru diminta untuk berproses menyatakan
“tidak” (la) untuk kemudian menyatakan “ya” (illa) pada Kebenaran.
Jadilah La jika engkau ingin naik ke atas
Hanya melalui La seseorang dapat bergerak
(Fariduddin Attar)
Kalimat dalam syahadat Lailahaillah memberi orang beriman gunting La, seraya menolak
ilusi kehidupan dan hanya mau meyakini Allah saja. Namun kata “tidak” itu selalu diiringi
dengan kata “kecuali”, karena kata “tidak” saja dapat menihilkan sebagaimana dilakukan
oleh filsuf pencerahan Eropa. Para filsuf modern terus melakukan penolakan pada terhadap
segala hal yang dikemukakan agama akhirnya menghasilkan cara pandang yang “salah
kategori” dan “psikologisme”20. Untuk itu Iqbal menyatakan perlunya keseimbangan antara
“La” dan “Illa”:

19
Faruqi, 43
20
Husserl mengkritik para pemikir modern modern seperti Descartes melakukan “kesalahpahaman
kategoris” (Kategorienmissdeutung) dalam membedakan antara: 1) yang partikular dengan yang universal,
misalnya “aku berpikir” adalah hal particular sementara “aku ada” adalah yang universal, tapi Descartes

7
Botol peradaban modern penuh dengan anggur La
Mungkin tidak ada cangkir Illa di tangan pemegang cangkir
Kalimat syahadat pertama, yakni lailahaillah, mengajak umat manusia untuk melakukan
proses pertimbangan: memilah-milah segala sesuatu yang bisa jadi begitu sangat menekan
kita, membuat kita berada di bawahnya, untuk menemukan Kebenaran mutlak.
“Namun “tidak juga” dibutuhkan. Tanpa ungkapan “Tidak”, tidak akan ada ungkapan
“Ya”. Dengan adanya penyangkalan, penghancuran, penghinaan, dan penundaan
terhadap kebaikan dan kebenaran, maka akan meniscayakan pembenaran. Oleh
karena itu, “Tidak” menjadi wacana penting dalam pertentangan moral baik individu,
agama, maupun sejarah umat manusia. (Mohammad Iqbal)
Iqbal sekali lagi menegaskan pentingnya kata “tidak” dalam kehidupan umat manusia atau
juga individu. Tanpa kata “tidak” akan membuat kita jadi gampang dipecundangi, mudah
tertipu oleh sesuatu yang kemasannya menarik, gampang jatuh kasihan, dan gampang
dikendalikan.
Barangsiapa tinggal dalam dunia negasi
Maka ia bebas dari kekangan istri dan anak-anak
Dia menarik pandangannya dari segala sesuatu kecuali Tuhan
(Muhammad Iqbal, Asrari Khudi)
Maka orang beriman, melalui syahadat pertama ini, terus menyatakan “Tidak!”
terhadap segala hal yang membuatnya tersingkir dari kemanusiaannya. Orang beriman
bahkan menyatakan “tidak” pada diri sendiri, karena diri sendirinya pun tak bisa langsung
dipercayai. Dalam diri ada sejumlah kebiasaan yang tak serta merta baik bagi perjalanan
kemanusiaan. Orang beriman terus menyatakan “tidak”, melakukan metode peraguan,
sampai mendapatkan hal “yang terbaik dan terbenar”. Atau mengatakanlah “tidak”, karena
pada saat bersamaan ia sedang menyatakan “ya!” kepada hal-hal yang lebih baik. Di tengah
dunia yang hukum dasarnya berpasangan ini, menyatakan “tidak” berarti menafikan segala
hal; sebaliknya menyatakan “tidak” justru akan menghasilkan, akan menumbuhkan
kesadaran baru.
Formula yang menyatakan tidak adalah formula yang hanya dapat dilakukan oleh
manusia yang memiliki Intelegensi (kecerdasan ‘aql). Karena itu pernyataan iman melalui
kalimat Asyhadu An Lailahaillallah mensyaratkan optimalisasi fungsi intelegensi (‘aql).
Intelegensilah yang pertamakali harus digunakan dalam menyaring atau memberikan
pertimbangan mengenai mana yang nyata dan mana Yang Benar-Benar Nyata.
Formula “tidak…Ya….” ini membuat keberimanan selalu dalam proses pencarian dan
penemuan. Kehidupan bukan sesuatu yang stagnan melainkan gerak dinamis yang terus
diimbangi dengan prinsip iman yang dinamis pula. Hukum kehidupan, bagi Rumi, memang
menyajikan prinsip “ya.. tidak”. Rumi bersyair:
Dunia ini ibarat pepohonan,
dan kita adalah buah-buahannya.
Bila kita telah masak,

menyatakan bahwa “aku berpikir, maka aku ada” (yang particular menjadi sebab bagi yang universal). 2) yang
faktual dengan yang ideal, misalnya ketika Descartes, juga Kant, meyakini kemampuan rasio untuk
mengkonstruksi realitas mereka memaksa yang factual dengan yang ideal, 3) pengada-pengada yang sifatnya
berubah-ubah dengan Ada yang sifatnya mendasar. Husserl juga menyebut pemikiran modern terjebak pada
Psikologisme (berpusat pada subyke) menjadikan manusia yang sadar itu sebagai awal dari segala sesuatu, dan
kemudian seluruh realitas itu pada akhirnya akan kembali kepada kesadaran manusia sendiri . Pemikiran
modern sejak Descartes sampai dengan Hegel dan juga John Stuart Mill tidak lain merupakan gerak
psikologisasi (subjektivisasi) terhadap seluruh realitas, dan kemudian mendudukkan manusia sebagai Subjek

8
kita akan segera terlepas dari batang pohon itu.
Bukankah semua orang telah menyatakan “ya” pada dunia remajanya, setelah ia
menyatakan “tidak” atau “selamat tinggal” pada masa kanak-kanak; menyatatakan “tidak”
pada masa remaja agar masuk masa muda, menyatakan “tidak” pada masa muda untuk
menyatakan “ya” pada masa dewasa. Begitulah seterusnya sampai kemudian kita secara
perlahan dipaksa menyatakan”tidak” pada kehidupan untuk terlepas dari dunia melalui
kematian.
Formula “ya” dan “tidak” inilah prinsip kebenaran dalam konsepsi iman. Melalui
formula ini, iman adalah proses berpengerahuan agar mencapai kebenaran sejati.
Berteologi, dengan demikian, adalah proses menggunakan formula “tidak…ya…” dalam
kehidupan. Prinsip dasar berteologi adalah “Tidak ada yang diterima begitu saja, kecuali ia
telah menunjukkan dirinya sebagai Kebenaran Sejati”.
Formula “tidak…ya…” ini bagi Schuon dapat direalisasikan melalui intelegensi.
Namun Erich Fromm memiliki cara pandang yang berbeda, formula “tidak… ya…” tidak
hanya melibatkan intelegensi, namun juga kekuatan karakter:
“Saya percaya bahwa untuk mengakui kebenaran tidak semuanya terkait
dengan masalah intelegensi, namun masalah karakter. Elemen paling penting adalah
keberanian untuk mengatakan “tidak”, keberanian untuk tidak patuh pada perintah
kekuasaan dan opini public; keberanian untuk terjaga dan menjadi manusia;
keberanian untuk bangun dan melepaskan perasaan ketidakberdayaan dan kesia-
siaan…Namun kemampuan untuk berkata “tidak” yang memiliki arti,
mengimplikasikan kemampuan untuk berkata “ya”, yang juga memiliki arti. “Ya”
pada Tuhan adalah “tidak” pada kaisar; “Ya” pada manusia adalah “tidak” pada
semua orang yang ingin memperdudak, mengeksplotasi dan mematikan dirinya.” 21
Formulasi “tidak... ya...” menurut Fromm bukan sekadar kegiatan intelegensi melainkan
membutuhkan kekuatan karakter. Inilah barangkali yang dimaksudkan Fazlur Rahman
bahwa iman memang membutuhkan pengetahuan, namun pengetahuan saja tidak
menjamin seseorang bisa beriman22.
Al-Quran menegaskan “Maka pernahkah kamu melihat orang-orang yang
menjadikan hawa nafsunya atau angan-angannya sebagai tuhannya, dan Allah
membiarkannya sesat meskipun ia memiliki pengetahuan” (QS 45:23). Dari ayat ini dapat
dikemukakan bahwa pengetahuan seseorang tak serta-merta membuat seseorang beriman,
sebaliknya dengan keberimanan yang dimilikinya pengetahuan akan terarah secara baik.
Walaupun pengetahuan tidak menjamin keberimanan seseorang, Rahman meyakini
bahwa hidayah (petunjuk dan bimbingan Tuhan) mustahil diperoleh tanpa pengetahuan.
Karena itu iman membutuhkan kognisi, walaupun kognisi semata-mata tidak menjamin
seseorang dapat beriman. Rahman juga menyatakan bahwa iman merupakan keyakinan
yang tak tergoyahkan yang muncul begitu rupa menerobos hati seseorang. Sesuatu yang
“menerobos” ini kemudian dipahami, dan menghasilkan karakter yang dapat menyatakan
“tidak” pada segala sesuatu yang tidak layak diyakini dan hanya menerima yang pantas
untuk diyakini.
Kesimpulan Rahman ini barangkali didasarkan pada penafsiran kata “asyhadu” (saya
bersaksi, saya berjanji, saya berkomitmen). Walaupun forma lailaha illallah mensyaratkan
pranserta intelegensi, seperti dikemukakan Schuon, tetapi sebelumnya seseorang harus

21
Erich Fromm, Beyond The Chain of Illusion, (terjemahan Yuli Winarno) ,Penerbit Jendela,
Yogyakarta, 2002, hal. 244
22
Rahman, hal. 171

9
melewati momen “Asyhadu” (saya berkomitmen). Momen memberikan komitmen inilah
yang barangkali dimaksudkan dengan kesadaran yang menerobos, satu hadiah tanpa syarat.
Tetapi pada sisi lain, seseorang beriman harus terus memperbaharui imannya,
meningkatkan kualitas imannya menjadi takwa. Karena keimanan bisa lepas, bisa juga
menjadi syarat bagi penambahan hidayah baru, “Allah akan menambah hidayah bagi
mereka yang telah mendapatkan hidayah” (QS. Maryam, 76). Dari sini, muncul konsep
bahwa iman itu “naik-turun” (yazid wayanqus), yang bisa berarti iman sebagai hadiyah awal
tidaklah tetap, karena itu harus terus diperjuangkan “Barangsiapa berpegang teguh kepada
Allah, maka sungguh dia diberi hidayah ke jalan yang lurus” (QS. Ali Imran: 101).

Khatimah

Gagasan iman sebagai hadiah tanpa syarat, dengan-syarat, atau hasil tanggung
jawab manusia dalam teologi Islam ini menjadi perdebatan sejak Washil bin Atha (700-
748M). Kemudian menjelma menjadi lebih argumentatif bahwa iman adalah hadiah berupa
hidayah kemampuan setelah manusia mendapatkan –melalui pencariannya-- hidayah
informasi pada teolog Asya’ri (B73-975M). Walaupun demikian, teolog Muktazilah seperti
Washil bin Atha dan teolog mazhab Asyariyah meyakini perlunya kesertaan akal untuk
memperkuat hadiah itu. Tafsir dengan demikian jadi penting.

10

Anda mungkin juga menyukai