masyarakat umum. Namun teori kenabian dalam agama Islam telah menjadi perdebatan
sengit yang belum berhenti hingga saat ini. Sayangnya, perhatian umat Islam terhadap tema
ini tidak terlalu besar. Meski kenabian menjadi tema penting dalam kajian Islam, tetapi itu
tidak berarti terjadi pula pada agama lain. Menurut penelitian Ulil Abshar-Abdalla (mantan
koordinator Jaringan Islam Liberal), tema kenabian hanya menjadi tema serius pada agama
Islam dan Yahudi. Agama-agama timur, seperti Hindu, Buddha, Tao, dan lainya, tidak
menaruh perhatian serius pada tema kenabian. Dalam keyakinan kaum Muslim, nabi adalah
manusia-manusia luar biasa yang—karena kepekaan mereka, ketabahan mereka, karena
wahyu Allah yang mereka terima serta yang kemudian mereka sampaikan kepada manusia
dengan ulet tanpa mengenal takut—dapat mengalihkan hati nurani umat manusia dari
ketenangan tradisional dan tensi hipomoral ke dalam suatu keawasan, sehingga mereka dapat
menyaksikan Tuhan sebagai Tuhan dan syetan sebagai syetan.
Dalam tinjauan teologis, konsep kenabian yang melahirkan konsep wahyu dan
kebenaran kitab-kitab suci yang Allah turunkan menempati posisi yang sangat penting dalam
sistem keyakinan Islam. Karena itu, di samping masalah ketuhanan (ilahiyyah) dan
keyakinan-keyakinan yang menempatkan wahyu sebagai sumber primernya (sam‘iyyat),
masalah kenabian (nubuwwah) menjadi salah satu topik inti dari konsep keimanan dalam
Islam. Dengan kata lain, kenabian dan wahyu merupakan elan vital yang tanpanya sistem
keimanan dalam Islam mustahil dapat dibicarakan. Hal ini karena turunnya wahyu kepada
para nabi dan rasul yang kemudian ditulis dalam Kitab-kitab Suci dan subuf merupakan
sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia, agar risalah para rasul tetap dapat
dilestarikan dan diamalkan, terutama risalah Islam yang menjadi pamungkas risalah ilahi
kepada umat manusia sampai akhir zaman. Dan, risalah penutup atau wahyu terakhir yang
diturunkan kepada Nabi Terakhir, Muhammad sallallahu‘alaihi wa sallam, itu tak lain adalah
al-Qur’an al-Karim.
Al-Qur’an memandang kenabian ini sebagai sebuah fenomena yang bersifat universal.
Di setiap belahan dunia ini pernah tampil seorang Rasul Allah, baik yang disebutkan maupun
yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Rasul-rasul atau Nabi-nabi itu sedianya “diutus untuk
kaum mereka” sendiri, meskipun ajaran yang mereka sampaikan itu sesungguhnya tidak
eksklusif untuk negerinya saja. Ajaran mereka bersifat universal, karena itu harus diyakini
dan diikuti oleh seluruh umat manusia. Inilah yang dimaksudkan dengan pernyataan bahwa
kenabian itu satu, tidak dapat dipecah-pecah meski dalam kenyataan historisnya berjumlah
sangat banyak serta berada pada sejumlah kawasan yang berbeda.
Kata nabi dan jamaknya anbiya’ dan nabiyyin/ nabiyun banyak ditemukan dalam Al-
Qur’an. Dalam Al-Qur’an, kata nabi dalam bentuk tunggal terulang sebanyak 54 kali.
Jamaknya dengan pola jam‘ taksir, anbiya’, disebut 5 kali, dan dengan pola jam‘ muzakkar
salim, nabiyyun/nabiyyin, disebut sebanyak 16 kali.
Dari segi kebahasaan, ada dua kemungkinan asal kata nabi. Pertama, berasal dari fi‘l
madi (kata kerja masa lampau) naba’a yang berarti berita dan pemberitahuan (al-i‘lam wal-
ikhbar). Kata nabi dalam pengertian ini dikaitkan dengan persoalan-persoalan gaib, tidak
digunakan untuk menunjuk persoalan-persoalan yang nyata seperti dalam Surah ‘Ali
‘Imran/3: 15 dan 49 serta Surah at-Tahrim/66: 3.
Secara leksikal kata nubuwwah yang dalam bahasa Indonesia ditulis menjadi nubuat,
dapat juga berarti “kenabian”, sifat (hal) yang berkenaan dengan nabi.
Ditinjau dari segi sosiologis, kenabian (nubuwah) merupakan jembatan transisi dari masa
primitif menuju masa rasioner. Para Nabi dan Rasul diutus ke dunia ini untuk membawa
manusia dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang. Zaman kegelapan di sini
maksudnya adalah zaman yang penuh dengan keburukan-keburukan moral, penyimpangan
akhlak dan keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa zaman sebelum diutusnya para Nabi
dan Rasul sama dengan zaman primitif.
Dari pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa nubuwah (kenabian) adalah
sebuah gelar atau anugerah yang tidak dapat dicari, yang diberikan oleh Allah kepada hamba-
hamba pilihan-Nya yang telah mencapai insan kamil (memiliki akal teoritis dan praktis)
dengan cara memberikan wahyu kepadanya. Seperti yang telah diungkapkan dalam Al-Quran
surah Al-An’am: ayat 88-89, yang berbunyi:
”Itulah petunjuk Allah, dengan itu Dia memberikan petunjuk kepada siapa saja di antara
hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti
lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan. Mereka itulah orang-orang yang telah kami
berikan kitab, hikmah dan kenabian…” (Al-An’am: 88-89).
Kenabian adalah derajat tertinggi dan kehormatan yang diperoleh manusia dari Tuhan.
Kenabian membuktikan superioritas dari aspek batin seseorang atas orang lainnya. Seorang
nabi seperti cabang yang menjulur dari Illahi ke dunia manusia. Dia memiliki intelek tertinggi
yang menembus ke dalam realitas dari segala benda dan peristiwa. Lebih jauh lagi, ia adalah
makhluk yang ideal, sangat mulia dan aktif. Orang-orang biasa tidak dapat memperoleh
pengetahuan nabi. Jadi, seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa gelar kenabian hanya
diberikan kepada orang-orang tertentu saja, bukan kepada sembarang orang. Kenabian juga
merupakan jembatan dari masa transisional, dari masa primitif kepada masa rasioner maka
akhir dari masa transisional tersebut adalah pada masa Nabi Muhammad SAW sehingga
setelah masa tersebut, lambat laun manusia sudah meninggalkan kepercayaan yang primitif
berganti dengan masa rasioner, dimana manusia sepenuhnya menggunakan rasio atau akal
mereka dalam segala aspek kehidupan Dan setelah berakhirnya masa transisional, maka
berakhirlah pula masa kenabian. Oleh karena itu, saat ini kehadiran Nabi sebagai penuntun
ataupun penunjuk tidak dibutuhkan lagi karena manusia sudah berada pada masa rasioner,
manusia sudah dapat menggunakan akal mereka sepenuhnya dalam segala hal sehingga
mereka dapat mengetahui mana yang seharusnya disembah dan mana yang tidak, mana yang
baik dan mana yang buruk.
Adapun fungsi nubuwwah di antaranya ialah menghilangkan tradisi taqlid buta dan
kejumudan. Selain itu, fungsi lainnya ialah untuk menjelaskan makna dari al-Qur’an serta
menentukan berbagai macam hukum Islam. Untuk itu, manusia diperintahkan untuk berpikir
tentang hakekat diutusnya para nabi dan rasul. Adapun ayat-ayat yang berbicara tentang hal
tersebut di antaranya ialah :
Artinya :
Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku,
dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu
bahwa aku seorang malaikat. aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.
Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?” Maka Apakah kamu
tidak memikirkan(nya)?” (Q.S. Al-An’am : 50)
Ayat tersebut sebenarnya berbicara mengenai kebenaran diutusnya para rasul sebagai
pemberi peringatan serta kabar gembira kepada manusia. Hal tersebut dapat dipahami dari
ayat sebelumnya yaitu al-An’am ayat 48-49. Perintah berpikir yang disampaikan merupakan
bentuk penegasan bahwa antara orang yang buta (orang yang sesat) dan orang yang mampu
melihat (orang yang mendapatkan petunjuk) memiliki perbedaan yang sangat mendasar.
Begitu pula antara orang mukmin dan kafir sangat berbeda.
Nabi juga memiliki misi untuk mengajarkan realitas, tujuan sesungguhnya dan makna
dari kehidupan ini. Karena Tuhan di luar persepsi dan pemahaman kita, nabi harus
merupakan orang yang paling patuh, hati-hati dan disiplin saat menjalankan tugasnya. Segala
sesuatu di dalam alam ini berusaha untuk menunjukkan nama-nama dan sifat-sifat Allah.
Dengan cara yang sama, nabi menunjukkan, membenarkan, dan beriman kepada hubungan
misterius yang lembut antara Tuhan dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Ketika kita
berada di tempat asing, kita membutuhkan pemandu. Analogi ini berlaku untuk peran nabi,
Allah mengutus para nabi untuk memberi informasi kepada kita tentang nama-nama dan
sifat-sifat Allah serta memandu kita menuju jalan yang benar.
Tidak semua orang bisa menjadi nabi ataupun rasul, hanya orang-orang tertentu yang
telah dipilih oleh Allahlah yang bisa menjadi nabi ataupun rasul. Untuk menjadi nabi ataupun
rasul harus ada syarat-syarat tertentu. Di antara syarat-syarat kenabian yaitu:
o Laki-laki. Menurut para ulama Ahlussunnah Waljama’ah, Nabi itu wajib laki-laki dan
tak boleh perempuan.
o Mendapat ma’rifat dan pengetahuan dari Tuhan, yakni berupa wahyu. Para nabi
memandang sumber pengetahuan dan makrifat mereka dari alam Ilahi dan
berkeyakinan tidak dihasilkan oleh akal dan mental manusia.
o Terpelihara dari salah dan Allah juga menjaga seorang Nabi dari perbuatan-perbuatan
maksiat. Kalaupun nabi melakukan dosa ataupun kesalahan, maka mereka hanya
melakukan dosa-dosa yang kecil saja.
o Syaikh Isyraq dalam kitab Majmu’eh Mushannifât mengatakan bahwa Kenabian
memiliki syarat-syarat, salah satu di antaranya mendapatkan tugas dari alam tinggi
untuk merealisasikan risalah, dan ini merupakan syarat khusus bagi para nabi.
o Menurut Al-Farabi, syarat seorang nabi adalah bahwa seorang Nabi harus mempunyai
daya imaginasi yang kuat, dimana obyek indrawi di luar tidak dapat
mempengaruhinya. Jadi manakala ia menerima visi kebenaran atau wahyu dari tuhan
melalui akal fa’al ia mampu berkomunikasi dengan baik. Al-Farabi kembali
menambahkan bahwa kemampuan seorang Nabi berhubungan dengan malaikat Jibril
tanpa diawali latihan, karena Allah telah menganugerahinya dengan kekuatan suci
(Qudsiyah).
E. Faktor Pendukung dan Penghambat Kenabian
Yang menjadi faktor pendukung kenabian adalah wahyu. Secara etimologis, kata wahyu
berasal dari kata ”wahy” yang memiliki beberapa arti, di antaranya suara, tulisan, isyarat,
bisikan, dan paham. Sedangkan secara terminologis, menurut Syekh Abduh, wahyu
merupakan informasi dari Allah kepada Nabi-nabinya mengenai sebuah ajaran hukum atau
ajaran lainnya. Kata wahyu banyak terdapat dalam Al-Quran, salah satunya yaitu pada surat
An Najm:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (An-Najm: 3-4).
Selain wahyu, kenabian seorang nabi juga didukung dengan adanya suatu mu’jizat yang
diberikan atas izin Allah SWT. Secara etimologis, mu’jizat diambil dari kata a’jaza yang
berarti melemahkan dan memperdaya. Sedangkan mu’jizat secara terminologis adalah hal
spektakuler (di luar adat dan kebiasaan) yang berasal dari para nabi dengan izin dari Allah.
Para nabi kerap kali menggunakan Mu’jizat untuk menguatkan klaim mereka.Wahyu-wahyu
dan mu’jizat yang diberikan oleh Allah kepada para Nabi merupakan alat atau sarana untuk
mendukung kebenaran para Nabi atas ajaran yang disampaikannya. Karena semua pengakuan
yang tidak disertai dengan suatu bukti, maka hal tersebut tidak akan diperhatikan oleh
manusia. Mukjizat tersebut bukanlah sesuatu yang diperoleh berdasarkan penelitian dan
pengalaman, tapi ia merupakan pemberian Allah kepada nabi-Nya dengan maksud tertentu.
Mu’jizat juga dapat digunakan untuk membedakan antara para Nabi dan orang-orang yang
hanya mengaku sebagai nabi.
Dalam perjalanan sejarah dakwah para Nabi, masing-masing dari mereka memiliki dan
mengalami hambatan-hambatan dari kaumnya sendiri. Ketika seorang nabi menyampaikan
ajaran agama yang dibawanya, tidak jarang sebagian besar dari mereka menolak. Pebuatan
menolak ini dapat disebabkan berbagai faktor seperti kefanatikan terhadap tradisi nenek
moyang, kesombongan, status sosial sampai kepada perasaan dengki. Sejarah membuktikan
bahwa ketika para nabi diutus ke dunia ini, ada pihak-pihak yang meragukan dan menentang
kenabian para nabi. Mereka tidak mempercayai kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi
dan juga mu’jizat yang diberikan kepada mereka. Pada masa Nabi Ibrahim, Raja Namrud dan
para pengikutnya menentang ajaran yang dibawa oleh beliau. Kemudian kaum Aad yang
menentang kenabian Nabi Hud, Fira’un yang selalu berusaha menjatuhkan Nabi Musa dan
masih banyak lagi orang-orang yang menentang dan membantah kenabian para Nabi Allah.
Alam semesta merupakan tempat hidup bagi makhluk-makhluk ciptaan Tuhan, sebagian ada
yang diketahui secara jelas oleh pengetahuan manusia, dan sebagian masih merupakan
pengetauhuan yang belum terdapat jawabannya. Wujud dunia dalam pandangan kaum teosof
tebagi menjadi tiga yakni kelompok yang bersifat ruhani seara mutlak (Tuhan), yang bersifat
ruhani, kemudian khayali (imajinal), serta yang bersifat jismani (fisimaterial). Hal ini
berdasarkan QS Al-Isra ayat 85: “Katakanlah, ruh itu berada di bawah amar/pengarahan
Tuhan”. Sehingga diyakini adanya alam kasat mata atau alam barzakh sementara alam kasat
indara atau alam material disebut alam syahadah. Mistikisme meruakan salah satu bagian
penting dalam setap agama, justru kepercayaan terhadap hal mistiklah yang mendasari
seseorang mempercayai suatu agama, diantaranya mistikisme dalam Islam oleh para
orientalis Barat disebut dengan Tasawuf yang ita kenal berkemabang terus keilmuannya sejak
abad pertengahan dan menjadi salah satu ilmu yang menjembatani masuknya pengaruh Islam
hingga meluas jauh dari jazirah Arab.Sufisme atau tasauf tidak dipakai dalam istilah
mistikisme agama lain, dan diakui memiliki sitematika tersendiri.
Iman terhadap yang ghaib dalam Islam menjadi sesuatu yang utama, dan keimanan
tersebut diharapkan bukan hanya ilmu pengetahuan saja juga meliputi penghayatan dan
pengamalan. Ilmu pertama yang wajib dipelajari dlam Islam, sebelum mempelajari ilmu
lainnya diantaranya adalah Ilmu Tuhid, ilmu yang berasal dari Rukun Iman, dimana
didalamnya merupakan ilmu menganai hal-hal yang berkaitan dnegan yang Ghaib. Ar-Raghib
Al-Asfahany berkata: “Apa saja yang lepas dari jangkauan indra dan pengetahuan manusia
adalah ghaib”. Al-Baji berkata: “Ghaib adalah apa yang tidak ada dan apa yang tidak tampak
oleh manusia”.
Para ahli tafsir memaknai ghaib dengan makan yang berbeda beda, ada yang memfokuskan
hal gahib dalam pembahasan khusus Allah sebagai Yang Maha Ghaib, ada juga yang
menyebutkan ghaib itu diantaranya qada dan qadar, kemudian dikatakan juga bahwa yang
ghaib adalah “segala sesuatu yang Rasul informasikan, kemudian tidak dapat dijangkau
dengan akal kita atau panca indra kita” pendapat yang ini lebih umum, karenanya juga yang
ghaib ada yang sangat ghaib seperti adanya surga dan neraka, kemudian mahsyar, jalan yang
dinamakan shirath, dsb. Diluar hal kongkrit yang dapat disaksikan, banyak pula hal yang
ghaib bagi manusia, keghaiban ini pun memiliki tingkatan-tingaktan tersendiri. Ada ghaib
mutlak, tidak dapat terungkap sama sekali karena hanya Allah yang mengetahuinya dan ada
pula ghaib yang relatif. Sesuatu yang tidak diketahui seseorang tetapi diketahui oleh orang
lain, ia adalah ghaib relatif. Relatifitas tersebut dapat berkaitan dengan zaman dimana
manusia itu hidup dan dapat juga dengan manusianya. Yang ghaib adalah objek iman, jika
sesuatu telah dapat dilihat, diraba atau diketahui hakikatnya, sesuatu tersebut tidak lagi
menjadi objek iman terhadap yang ghaib. Jika demikian, apa yang diimani pasti sesuatu yang
bersifat abstrak, tidak terlihat atau terjangkau.
Sifat pertama bagi orang yang bertakwa adalah yuminuuna bil ghaibi, percaya kepada
yang ghaib. Puncaknya ialah percaya tentang wujud keberadaan serta keesaan Allah serta
informasi-informasi yang disampaikanNya. Kepercayaan puncak tersebut mesti dilakukan
dengan akal dan kalbu, apa yang diinformasikan-Nya terlepas dari diketahiu atau tidak
diketahui hakikat-Nya, yang pasti tetap akan percaya. Hal ini tentu menjadi sebab akibat yang
saling berkaitan dari kepercayaan terhadap kejujuran, kebenaran dan keluasan pengetahuan
yang memberitakannya, apalagi perkataan para pakar: “Anda harus percaya bukan karena
anda tahu, tetapi justru karena anda tak tahu.”
Wujud sesuatu berkaitan dengan pengetahuan tentang sesuatu tersebut. Banyak yang
wujud, tapi tidak mengetahuinya, tidak terjangkau oleh panca indra. Ada sesuatu yang
berperan dalam diri kemudian dinamakanlah kalbu. Qalb yang kemudian melahirkan apa
yang dinamakan “percaya” dalam arti ada sesuatu yang tidak diketahui hakikatnya, tetapi
dibenarkannya. Agama melalui wahyu Ilahi mengungkap beberapa hal yang ghaib yang harus
dipercayai, antara lain adalah apa yang dinamai Jin. Apa yang diinformasikan wahyu, wajib
dipercaya sebagai konsekuensi dari keyakinan tentang kebenaran agama dan pembawa agama
yakni Rasul Muhammad SAW. Keimanan terhadap makhluk ghaib merupakan bagian
integral dari sistem keimanan dalam Islam, akan tetapi terdapat perbedaan penyikapan dalam
sebagian komunitas atau organisasi kemasyarakatan Islam bahkan kebanyakan masyarakat
modern yang membicarakan hal yang ghaib seakanakan hal tersebut dianggap “tabu”, dalam
praktiknya manifestasi keimanan terhadap yang ghaib, terutama dalam kehidupan
beragamanya identik dengan tradisi atau ekspresi budaya tentang keyakinan seseorang
terhadap unsur kepercayaan kepada yang ghaib.
Akidah ruhaniyyah (metafisis) yaitu meyakini, menjiwai, memahami, segala sesuatu yang bersifat
ghoib (tidak terdeteksi oleh panca indra). Masalahmasalah dan prakara-prakara yang wajib bagi
seorang muslim untuk mengimaninya (mempercayainya) didalam kaitannya dengan akidah islam
dimungkinkan untuk dibagi kedalam 4 macam :
1. Ketuhanan , yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan Allah SWT, baik itu nama-namaNya dan
juga sifat-sifatNya.
2. Kenabian dan risalah, yaitu yang berkaitan dengan seputar para Rosul, Nabi-Nabi, keunggulannya,
sifat-sifatnya, mukjizat-mukjizatnya, dan juga kemaksumannya
3. Ruhaniyyah, yaitu yang berkaitan dengan alam yang tidak nampak secara kasat mata, seperti
adanya Malaikat, Jin, Syetan, dan ruh.
4. Sam’ihyat, yaitu berita-berita dari alam ghoib yang tidak ada yang mengetahuinnya (kecuali Allah)
yang disebut dalam Al-Quran dan sunnah Nabi.
o Ketuhanan , yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan Allah SWT, baik itu nama-
namaNya dan juga sifat-sifatNya.
o Kenabian dan risalah, yaitu yang berkaitan dengan seputar para Rosul, Nabi-Nabi,
keunggulannya, sifat-sifatnya, mukjizat-mukjizatnya, dan juga kemaksumannya.
o Ruhaniyyah, yaitu yang berkaitan dengan alam yang tidak nampak secara kasat mata,
seperti adanya Malaikat, Jin, Syetan, dan ruh.
o Sam’ihyat, yaitu berita-berita dari alam ghoib yang tidak ada yang mengetahuinnya
(kecuali Allah) yang disebut dalam Al-Quran dan sunnah Nabi.
Alam ghoib menyimpan rahasia tersendiri. Rahasia alam ghoib, ada yang Allah
khususkan untuk diri-Nya semata dan tidak diberitakan kepada seorang pun dari hamba-Nya,
sebagaimana dalam firman-Nya :
ضِ ْت اَأْلر ِ ب اَل يَ ْعلَ ُمهَا ِإاَّل هُ َو ۚ َويَ ْعلَ ُم َما فِي ْالبَرِّ َو ْالبَحْ ِر ۚ َو َما تَ ْسقُطُ ِم ْن َو َرقَ ٍة ِإاَّل يَ ْعلَ ُمهَ‹‹ا َواَل َحبَّ ٍة فِي ظُلُ َم‹‹ا
ِ َو ِع ْن َدهُ َمفَاتِ ُح ْال َغ ْي
ٍ س ِإاَّل فِي ِكتَا
ب ُمبِي ٍن ٍ ِب َواَل يَاب ْ َواَل َر
ٍ ط
Artinya : “ Dan hanya disisi Allah-lah semua yang ghaib. Tak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri , dan dia mengetahui apa yang ada didaratan dan dilautan, dan tiada
sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia menngetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir
bijipun dalam kegelapa bumi dan tidaklah ada sesuatu yang basah dan yang kering,
melainkan tertulis dalam kita yang nyata (Lauh Mahfuzh)”. (QS. Al-An’am : 59)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Barang siapa mengetahui bahwa
dirinya mengetahui perkara ghoib tanpa bersandar kepada keterangan dari Rasullullah
Sallallahu’alaihi wa sallam, maka dia adalah pendusta dalam pengakuannya tersebut”.
Apakah jin (setan) mengetahui perkara ghoib? Jawabannya adalah : Tidak. Jin tidak
mengerti perkara ghoib, sebagaimana yang Allah nyatakan :
Artinya : “Mata tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang
menunjukkan kepada mereka (tentang kematiannya) itu kecuali rayap yang memakan
tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahukah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka
mengetahui perkara ghoib tantulah mereka tidak akan berada dalam kerja keras (untuk
Sulaiman) yang menghinakan”. (QS. Saba’ :14)
Allah membedakan atas alam ghoib (seperti Allah, malaikat, jin, surga, dan neraka)
dan alam tampak. Allah-lah yang paling mengetahui kedua alam tersebut.
Artinya : “Dialah Allah yang tidak ada ilah kecuali Dia, yang mengetahui yang ghoib dan
yang tampak”. (QS. Al-Hasyr : 22)
Alam ghoib yang diciptakan oleh Allah merupakan ujian bagi manusia selama ia
hidup di dunia. Manusia diuji apakah ketika di dunia dia beriman kepada Allah, Hari Akhir,
surga, neraka, pahala akhirat dan sebagainya – yang mana semuanya itu tidak tampak –
ataukah dia mengingkarinya.
1. Malaikat
Artinya : “Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan
orang malaikat menjunjung Arasy Tuhanmu di atas (kepala) mereka”. (QS. Al-Haaqqah : 17)
Sifat-sifat Malaikat :
• Memiliki 2 atau 3 sayap (QS Faathir : 1), kecuali jibril yang merupakan malaikat yang
paling besar – memiliki 600 atau 700 sayap (Shahih Al-Bukhari)
• Suka berkumpul di majelis dzikir atau ilmu sembari memohonkan ampun bagi yang
ada disitu dan mengepak-ngepakkan sayap mereka sebagai tanda ridha.
• Merupakan tentara-tentara Allah yang tidak pernah bermaksiat (membangkang) atas
perintah Allah kepada mereka dan senantiasa mengerjakan apa yang telah
diperintahkan Allah kepada mereka.
• Tidak menikah, tidak makan, dan tidak minum.
• Tidak memasuki rumah yang didalamnya terdapat patung-patung atau gambar-gambar
yang diharamkan.
• Menyukai tempat-tempat yang bersih
Malaikat adalah makhluk ghoib yang diciptakan Allah dari cahaya, senantiasa
menyembah Allah, tidak pernah mendurhakai perintah Allah serta senantiasa melakukan apa
yang diperintahkan kepada mereka. Keimanan kepada malaikat mengandung 4 unsur, yaitu:
2. Jin
Jin juga menikah, makan, dan minum. Keduanya tinggal di alam yang tidak terlihat
oleh manusia, tetapi mereka bisa melihat manusia. Tetapi jika mereka menampakkan diri di
alam tampak dalam wujud alam tampak maka manusia bisa melihat mereka. Syaithan dan jin
yang ingkar menyukai tempat-tempat yang kotor dan juga rumah-rumah yang tidak
dibacakan Al-Qur’an di dalamnya dan rumah-rumah yang penghuninya tidak pernah
berdzikir kepada Allah. Fakta mengungkapkan adanya dua khutubextreme dalam mensikapi
masalh jin. Sebagian orang tidak mengambil perhatian bahkan tidak mau tahu. Di sisi lain,
terdapat pula sebagian orang yang tersesat dalam kemusyrikan karena salah dalam
memahami masalah ini,naudzubillahi min dzalik. Padahal kita yakin bahwa Islam adalah
agama yang moderat dancomprehensive. Jin hidup pula seperti manusia, yaitu berkabilah
maupun bersuku-suku. Jin terdiri dari tiga jenis:
• Pertama,jin dari bangsa yang terbang di luar angkasa. Ini merupakan jin yang tertinggi
pangkatnya yang sering mencuri berita dari langit. Mereka biasanya bersekutu dengan
tukang sihir.
• Kedua,jin dari kelompok ular dan anjing. Mereka biasanya berwarna hitam.Jin dalam
wujud ular dahulu ada pada zaman Rasulullah SAW.Apabila melihat ular maupun
anjing kita tidak boleh membunuhnya secara langsung.Kita diperintahkan untuk
mengusirnya terlebih dahulu dengan menyebut asma Allah sebanyak tiga kali, baru
kemudian membunuhnya apabila binatang tersebut tidak mau pergi.
• Ketiga,jin dari kelompok berkaki dua dan berkaki empat. Misalnya jin yang berwujud
manusia. Sahabat nabi, Abu Hurairan pernah suatu ketika didatangi oleh jin yang
berwujud orang tua. Jin tersebut mencuri di baitul mal, pergi selama berkali-kali
kemudian ditangkap.Jin tersebut juga mengajari ayat kursi kepada Abu Hurairan. Para
ulama menyepakati tentang diperbolehkannya menerima ajaran jin tersebut, karena
mengandung kebaikan.
Artinya: “Alif laam miim. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa.(Yaitu) mereka yang beriman kepada perkara ghoib, yang mendirikan
shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka”. (QS. Al-
Baqarah : 1-3)
Dari bahasa di atas dapatlah diambil pelajaran bagi kaum muslimin bahwa:
Kenabian atau nubuwah adalah suatu isu yang jarang diperbincangkan oleh
masyarakat umum. Namun teori kenabian dalam agama Islam telah menjadi perdebatan
sengit yang belum berhenti hingga saat ini.
nubuwah (kenabian) adalah sebuah gelar atau anugerah yang tidak dapat dicari, yang
diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya yang telah mencapai insan kamil
(memiliki akal teoritis dan praktis) dengan cara memberikan wahyu kepadanya.
B. fungsi al- nubuwwah.
Adapun fungsi nubuwwah di antaranya ialah menghilangkan tradisi taqlid buta dan
kejumudan.
Para nabi yang diutus oleh Allah memiliki misi tertentu dan misi yang dibawa oleh para nabi
adalah sama dan satu sama lain saling menguatkan. Pada dasarnya misi yang dibawa oleh
para Nabi mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal.
o Laki-laki.
o Mendapat ma’rifat dan pengetahuan dari Tuhan, yakni berupa wahyu.
o Terpelihara dari salah dan Allah juga menjaga seorang Nabi dari perbuatan-perbuatan
maksiat.
o Syaikh Isyraq dalam kitab Majmu’eh Mushannifât mengatakan bahwa Kenabian
memiliki syarat-syarat, salah satu di antaranya mendapatkan tugas dari alam tinggi
untuk merealisasikan risalah, dan ini merupakan syarat khusus bagi para nabi.
o Menurut Al-Farabi, syarat seorang nabi adalah bahwa seorang Nabi harus mempunyai
daya imaginasi yang kuat, dimana obyek indrawi di luar tidak dapat
mempengaruhinya.
E. Faktor Pendukung dan Penghambat Kenabian
Dalam perjalanan sejarah dakwah para Nabi, masing-masing dari mereka memiliki dan
mengalami hambatan-hambatan dari kaumnya sendiri. Ketika seorang nabi menyampaikan
ajaran agama yang dibawanya, tidak jarang sebagian besar dari mereka menolak.
Akidah ruhaniyyah (metafisis) yaitu meyakini, menjiwai, memahami, segala sesuatu yang
bersifat ghoib (tidak terdeteksi oleh panca indra). Masalahmasalah dan prakara-prakara yang
wajib bagi seorang muslim untuk mengimaninya (mempercayainya) didalam kaitannya
dengan akidah islam dimungkinkan untuk dibagi kedalam 4 macam :
1. Ketuhanan , yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan Allah SWT, baik itu nama-
namaNya dan juga sifat-sifatNya.
2. Kenabian dan risalah, yaitu yang berkaitan dengan seputar para Rosul, Nabi-Nabi,
keunggulannya, sifat-sifatnya, mukjizat-mukjizatnya, dan juga kemaksumannya
3. Ruhaniyyah, yaitu yang berkaitan dengan alam yang tidak nampak secara kasat mata,
seperti adanya Malaikat, Jin, Syetan, dan ruh.
4. Sam’ihyat, yaitu berita-berita dari alam ghoib yang tidak ada yang mengetahuinnya
(kecuali Allah) yang disebut dalam Al-Quran dan sunnah Nabi.
1. Malaikat
Sifat-sifat Malaikat :
• Memiliki 2 atau 3 sayap (QS Faathir : 1), kecuali jibril yang merupakan malaikat yang
paling besar – memiliki 600 atau 700 sayap (Shahih Al-Bukhari)
• Suka berkumpul di majelis dzikir atau ilmu sembari memohonkan ampun bagi yang
ada disitu dan mengepak-ngepakkan sayap mereka sebagai tanda ridha.
• Merupakan tentara-tentara Allah yang tidak pernah bermaksiat (membangkang) atas
perintah Allah kepada mereka dan senantiasa mengerjakan apa yang telah
diperintahkan Allah kepada mereka.
• Tidak menikah, tidak makan, dan tidak minum.
• Tidak memasuki rumah yang didalamnya terdapat patung-patung atau gambar-gambar
yang diharamkan.
• Menyukai tempat-tempat yang bersih
2. Jin