Anda di halaman 1dari 62

ODI

SEI
BUKUKE
EMP
AT
DEWI
BERMAT
AKE
LABU
Di
tul
i
solehMARYPOPEOSBORNE
Digambarol
ehTROYHOWELL

Edit
or:Haura
Convert
er:cl
i
ckers
Scan:k80

ht
tp:
//
ebookl
i
nk.
co.
cc
Teks Copyright © 2004 by Mary Pope Osborne
Artwork Copyright © 2004 by Troy Howell

Diterjemahkan dari The Gray-Eyed Goddes, karangan Mary Pope Osborne,


terbitan Hyperion, New York: 2004

Hak terjemahan Indonesia pada Serambi


Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh
maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara
apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit

Penerjemah: Santi Paramitta


Penyunting: Ferry Halim
Pewajah Isi: Siti

PT SERAMBI ILMU SEMESTA


Anggota IKAPI
Jln. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta 12730
www.serambi.co.id; info@serambi.co.id

Cetakan I: Oktober 2006 M


ISBN: 979-1112-03-7

Dicetak oleh Percetakan PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta


Isi diluar tanggung jawab percetakan
Untuk Gail Hochman
PENGANTAR

P ada zaman dahulu kala, ada sebuah dunia


misterius yang dikenal dengan nama Gunung
Olimpus. Dunia yang tersembunyi di belakang
sekumpulan awan tebal ini tak pernah tertiup
angin ataupun terguyur hujan. Para penghuni
Gunung Olimpus tidak pernah menjadi tua
ataupun mati. Mereka bukan manusia. Mereka
adalah para dewa dan dewi Yunani yang perkasa.
Para dewa dan dewi Olimpus memiliki
pengaruh besar atas kehidupan umat manusia di
dunia. Pada suatu ketika, kemarahan para dewa
dan dewi ini menyebabkan seorang pria bernama
Odiseus harus berkelana di lautan selama
bertahun-tahun hanya untuk menemukan jalan
pulang.
Tiga ribu tahun yang lalu, untuk pertama
kalinya, seorang penyair Yunani bernama Homer
menceritakan kisah perjalanan Odiseus. Sejak
saat itu, para pendongeng lain turut menceri–
takan kembali kisah perjalanan yang ajaib dan
mengesankan tersebut. Kisah perjalanan ter–
sebut dikenal sebagai Odisei.
SATU
ODISEUS DAN PENELOPE

O diseus, sang raja Ithaca, berjalan perlahan-


lahan di sepanjang pantai pulau yang
berpohon rimbun. Ketika memandang laut yang
bergejolak, ia merasa rindu pada tanah
kelahirannya nun jauh di sana. Ia sudah tidak
melihat tanah kelahiran maupun keluarganya
selama hampir dua puluh tahun—sejak ia
berlayar untuk bertempur dalam Perang Troya. Ia
meratapi nasibnya yang sial setelah perang
berakhir.
Mungkin aku sekarang telah berada di Ithaca,
ia merenung, andai saja orang-orang Yunani
tersebut tidak membuat Athena marah dan
menyebabkan kapal kami menyimpang arah ...
atau bila aku tidak membuat marah Poseidon,
Dewa Lautan, karena telah membutakan mata
anaknya, Cyclops ... atau awak kapalku tidak
membuat marah Dewa Angin ataupun Dewa
Matahari.
Odiseus menarik napas panjang dengan
perasaan sedih dan putus asa. Seluruh anak
buahnya telah tewas karena dihantam oleh
kemarahan para dewa atas kesalahan mereka
yang menyedihkan. Ia sendiri diampuni.
Kekuatan serta keberanian telah membantu
Odiseus bertahan dari kejamnya perang dan
bahaya yang mengintai dalam perjalanan pulang.
Saat ini Odiseus merasa seolah-olah berada
dalam mimpi buruk di mana ia tidak dapat
terjaga. Selama tujuh tahun yang panjang, Dewi
Kalipso telah menyanderanya di pulau ini. Setiap
hari sang dewi dengan kata-kata semanis madu
berusaha membuat Odiseus melupakan masa
lalunya. Ia menjanjikan apa saja pada pria itu
bila ia bersedia menikah dengannya. Ia
mengabaikan protes Odiseus yang mengatakan
bahwa dia masih mencintai istrinya, Penelope,
dan anak lelakinya, Telemakus.
Dan apa yang terjadi pada keluargaku
sekarang? Odiseus bertanya-tanya.
Ia teringat akan apa yang dikatakan arwah
sang ibunda ketika dirinya menempuh
perjalanan ke Negeri Orang Mati. “Keluargamu
telah porak-poranda karena rasa sedih. Istrimu
masih menunggumu. Namun, ia melewatkan siang
dan malam dengan menangis. Putramu kuat dan
pemberani. Meskipun masih muda, ia menjaga
rumah, ladang, dan ternakmu. Ia juga meratapi
kepergianmu, seperti halnya ayahmu ...”
Ia mendengar kata-kata tersebut bertahun-
tahun silam. Apakah ayahnya masih hidup? Dan
bagaimana nasib putranya? Telemakus masih
bayi ketika Odiseus meninggalkan Ithaca.
Sekarang ia pasti telah tumbuh menjadi seorang
pemuda berusia dua puluhan.
Dan apakah Penelope masih setia? Atau ia
telah membuang seluruh kenangan tentang
Odiseus dan kemudian menikah lagi?
Dengan diliputi perasaan putus asa untuk
segera pulang ke Ithaca dan berkumpul kembali
dengan keluarganya, Odiseus menatap ke arah
ombak yang berwarna segelap anggur dan
berharap ada kapal yang membawanya pulang.
Nun jauh dari Pulau Kalipso, istri Odiseus,
Penelope, berdiri di dekat jendela kamarnya
sambil mendengarkan suara para pelamar yang
gaduh dan kasar.
Wanita itu gemetar. Selama empat tahun
terakhir, pria-pria itu telah datang dari berbagai
penjuru untuk melamar dirinya. Ia membenci
mereka semua. Ia tahu mereka tidak sungguh-
sungguh menginginkan dirinya. Mereka
mengincar sawah, ladang, ternak, para pelayan,
dan kekuasaan di seluruh pulau milik Odiseus.
Ketika para pelamar itu pertama kali tiba,
Penelope telah menyiapkan rencana cerdik untuk
menyingkirkan mereka semua. Ia mengatakan
pada mereka bahwa ia tidak dapat menikah lagi
sebelum selesai menenun kain kafan untuk
dipakai ayah Odiseus pada saat pria tua itu
meninggal kelak. Setiap hari ia duduk di depan
alat tenun untuk membuat kain tersebut. Namun
setiap malam, di bawah sinar obor yang
temaram, ia membuka kembali tenunan yang
telah dibuatnya pada siang hari.
Selama tiga tahun, Penelope menjalankan
muslihat ini, sambil berharap agar suaminya
segera kembali. Namun pada tahun keempat,
salah seorang pelayannya menceritakan tipuan
itu pada para pelamar.
Pria-pria itu menjadi berang dan menuntut
Penelope untuk segera memilih salah seorang
dari mereka untuk menjadi suaminya yang baru.
Namun, Penelope tetap menolak. Tak seorang
pun dari para pria rakus dan kasar tersebut yang
sebanding dengan suaminya yang telah lama
menghilang, Odiseus.
Meskipun tahun demi tahun telah berlalu, ia
tetap dapat dengan jelas mengingat paras
suaminya: perawakan tegap, bahu bidang,
rambut pirang, dan sepasang mata bercahaya
berkilauan. Ke mana pun matanya memandang,
ia dapat merasakan kehadiran Odiseus di
kediaman mereka—contohnya saat ia melihat
perkakas kayu berhias emas, perak, dan gading
serta ranjang khusus buatan Odiseus. Suaminya
membuat kamar tidur mereka di sekitar sebatang
pohon zaitun. Ia memotong dahan-dahan pohon
itu dan menjadikan batang utamanya sebagai
salah satu kaki ranjang. Hanya mereka berdua
yang mengetahui rahasia ini.
Penelope sangat berharap Odiseus segera
kembali dan bertindak cepat serta tegas terhadap
para penjahat yang mencoba merampas
kedudukannya. Tanpa keberadaan sang suami,
tak ada seorang pun yang dapat melindunginya.
Ayah Odiseus sudah terlalu tua dan lemah
untuk membantu. Karena tenggelam dalam
kesedihan, orang tua tersebut berkelana di
pulau. Dia tak pernah bersedia berada di sekitar
istana.
Telemakus, putra Penelope, masih terlalu
muda untuk membantu. Matanya yang
cemerlang dan rambutnya yang pirang mirip
milik ayahnya. Namun, anak itu belum mewarisi
kecerdasan dan kekuatan sang ayah. Akhir-akhir
ini, para pelamar tersebut bersikap semakin
kurang ajar terhadap Telemakus. Mereka juga
menjadi semakin marah dan bersikeras agar
Penelope segera memilih salah seorang dari
mereka untuk menjadi suaminya.
Saat mendengar suara tawa dari halaman,
Penelope merapatkan penutup jendela dan
kembali ke alat tenunnya dan mulai bekerja.
Dengan perasaan putus asa, ia berdoa agar
suaminya segera kembali sebelum terlambat.
DUA
PUTRA ODISEUS

T elemakus membenci para pria yang hendak


melamar ibunya, lebih dari kebencian sang
ibu terhadap pria-pria itu. Setiap hari mereka
menyerbu tanah ayahnya. Mereka membantai
sapi, lembu bertanduk panjang, domba, dan babi
milik Odiseus. Mereka mencuri anggur dari
kebun anggur dan memberi perintah kepada
para pelayannya. Setiap kali Telemakus mengusir
mereka, mereka tertawa dan mencemoohkannya.
Pada saat ini, di tengah hari bolong, para
pelamar sedang duduk terlentang di halaman
dan beristirahat di atas hamparan kulit sapi yang
telah mereka sembelih. Mereka bermain dadu
dan minum anggur dari mangkuk-mangkuk
besar.
Andai saja ayahku telah pulang, Telemakus
berpikir, ia tentu akan segera mengusir mereka
dan kembali memimpin pulau ini.
Karena tenggelam dalam pikiran penuh
amarah, Telemakus tidak memerhatikan bahwa
ada orang asing yang menunggu dengan sabar di
ambang pintu rumah mereka. Orang asing itu
mengenakan sandal emas berkilauan dan
membawa sebilah tombak perunggu.
Ketika akhirnya melihat orang asing tersebut,
Telemakus segera lompat dari tempat duduk dan
bergegas menyambut sang tamu. “Selamat siang,
Tuan!” ia berseru. “Maafkan saya telah membuat
Anda menunggu di luar pintu gerbang!”
Orang asing itu tidak mengucapkan sepatah
kata pun. Ia menatap ke arah Telemakus dengan
mata kelabunya yang tajam menusuk.
“Silakan masuk, silakan masuk!” kata
Telemakus sambil mengajak orang itu masuk ke
halaman. “Segarkan diri Anda dengan minuman
dan makanan. Kemudian ceritakanlah dari mana
Anda berasal dan apa yang Anda cari.”
Telemakus segera memimpin orang asing itu
melewati para pelamar dan masuk ke ruang
utama. Ia berusaha melindungi tamunya dari
kekasaran dan kegaduhan orang-orang itu.
“Silakan duduk di sini”, kata Telemakus. Ia
menunjuk ke arah kursi tinggi berukir yang
dilapisi kain halus. “Letakkan saja kaki Anda
pada bangku ini.”
Telemakus lalu duduk di samping sang tamu.
Para pelayan membawakan beberapa nampan
berisi daging dan roti. Mereka juga menuangkan
anggur dan air segar ke dalam cawan-cawan
berwarna keemasan.
Tak lama kemudian, para pelamar Penelope
mulai menyerbu masuk ke dalam. Mereka datang
untuk mendengarkan musik, menyanyi, dan
berdansa. Telemakus sangat ingin bertanya
kepada sang tamu, namun ia menunggu sampai
musik mulai dimainkan sehingga para pelamar
tak dapat mendengarkan percakapan mereka.
Begitu musik dan nyanyian dimulai,
Telemakus mendekat ke arah tamu bermata
kelabu tersebut.
“Katakanlah padaku, Tuan, siapakah Anda?”
tanya si anak muda. “Dari mana Anda berasal?
Kapal macam apa yang telah membawa Anda
kemari? Apakah sebelumnya Anda pernah
berkunjung ke rumah ini? Pernahkah Anda
mengenal ayahku, Odiseus, sang raja Ithaca?
“Namaku Mentor,” kata si orang asing. “Aku
pemimpin Taphos. Ayahmu adalah temanku,
namun aku tidak pernah bertemu dengannya lagi
sejak ia pergi untuk bertempur dalam Perang
Troya. Baru-baru ini aku mendapat kabar bahwa
ia telah kembali, jadi aku datang ke Ithaca untuk
bertemu dengannya. Aku ingin menyambut
kepulangannya.”
Telemakus menundukkan kepalanya. “Dengan
sangat menyesal, harus ku katakan bahwa
ayahku belum kembali. Dan kami belum
mendengar kabar tentang dirinya. Aku khawatir
ia telah menemui ajalnya dan kami tidak akan
pernah lagi bertemu dengannya.”
“Mungkin para dewa hanya menahannya
untuk sementara,” kata Mentor. “Mungkin ia
menjadi tawanan di sebuah pulau entah di
mana. Aku bukan peramal, namun dalam hati
kecilku aku mendengar para dewa berbisik
bahwa ayahmu belum meninggal. Ingatlah, ia
orang yang kuat dan pemberani. Meskipun
dirantai, ia pasti mampu meloloskan diri dan
menemukan jalan pulang.”
Telemakus menghela napas panjang. Ia
meragukan kebenaran kata-kata Mentor. Selama
bertahun-tahun, harapan akan kepulangan sang
ayah telah berkali-kali kandas.
Suara-suara di ruangan itu semakin keras.
Semua pelamar sedang bernyanyi, berteriak-
teriak, dan saling mencaci-maki.
Mentor menatap ke arah mereka. “Siapa
orang-orang yang berlagak ini?” ia bertanya
kepada Telemakus. “Mengapa kau membiarkan
mereka bertingkah laku demikian kasar dan
memuakkan seperti ini?
“Tuan, saat ayahku berada di sini,
kerajaannya adalah tempat yang aman dan
tertib,” jawab Telemakus. “Namun setelah
beberapa tahun kepergiannya, orang-orang dari
pulau tetangga mulai menyerbu tempat tinggal
kami. Sekarang mereka menyembelih dan
menyantap ternak ayahku. Mereka menghina
ibuku dan memaksanya memilih salah seorang
dari mereka untuk dinikahi.”
Mata Mentor berkilau penuh kemarahan.
“Odiseus harus segera pulang,” katanya dengan
suara rendah. “Aku telah menyaksikan kekuatan
ayahmu. Kalau saja ia berada di sini sekarang, ia
pasti akan segera menghukum para penjahat
ini.”
“Ya, aku yakin ia akan melakukannya,” kata
Telemakus. “Itulah sebabnya aku sangat
mengharapkan kepulangannya. Mereka tidak
mendengarkan apa pun yang aku katakan. Aku
bahkan yakin mereka akan segera berusaha
membunuhku.”
“Nak, kau harus mengumpulkan kekuatan dan
keberanianmu,” kata Mentor dengan suara
bergetar penuh kemarahan. “Kau harus mencari
cara untuk menghadapi orang-orang ini.
Kumpulkan mereka besok dan segera usir
mereka. Kemudian kumpulkan dua puluh awak
kapal yang cakap. Cari kapal yang terbaik dan
berlayar secepatnya untuk mencari ayahmu.”
Telemakus terpesona oleh gaya bicara
tamunya yang berapi-api. “Aku ... aku tak tahu
bagaimana cara mencarinya,” kata Telemakus.
“Berlayarlah ke Pylos terlebih dahulu,” kata
Mentor. “Pergilah ke tempat tinggal Nestor yang
bijaksana. Ia adalah teman ayahmu dan seorang
pejuang yang gagah berani dalam Perang Troya.
Tanyakan pada Nestor tentang Odiseus. Ia akan
mengatakan segala hal yang ia tahu, atau ia
akan memberi tahu pada siapa kau dapat
bertanya.”
“Lalu apa yang harus ku lakukan
selanjutnya?” tanya Telemakus.
“Bila kau mendengar bahwa Odiseus telah
mati, segera kembali dan berkabung-lah
untuknya. Bantu ibumu untuk merencanakan
pernikahannya. Bunuh semua pelamar yang
tidak bersedia pergi dari rumahmu.”
Telemakus merasa ketakutan mendengar
tantangan tersebut.
Seolah-olah dapat membaca pikiran
Telemakus, Mentor mendekat dan menatap
dalam-dalam mata anak muda itu. “Buat dirimu
terkenal, Telemakus,” katanya. “Dengan
demikian, orang-orang akan memuji keberanian
jiwamu. Kau seorang pria sekarang, bukan anak-
anak lagi.”
Telemakus merasa tergerak oleh nasihat
Mentor. “Tuan, Anda sungguh baik hati bersedia
bicara seperti ini padaku,” katanya. “Aku merasa
seolah-olah Anda adalah ayahku. Aku akan
lakukan apa yang Anda katakan.”
Mentor berdiri dan bersiap-siap untuk pergi.
“Sekarang aku harus kembali ke kapal dan awak
kapalku,” katanya.
“Aku mohon, tinggallah lebih lama,” pinta
Telemakus. “Beristirahatlah dan segarkan diri
Anda. Aku bermaksud memberi Anda hadiah.”
“Sudahlah, jangan menahanku,” kata Mentor.
“Aku akan menerima pemberianmu bila aku
singgah ke mari lagi. Namun sekarang aku harus
pergi.”
Setelah berkata demikian, orang asing bermata
kelabu tersebut menghilang secepat burung
terbang.
Telemakus merasa takjub. Ia sadar bahwa ia
baru saja berhadapan dengan seorang dewa.
TIGA
DEWI BERMATA KELABU

K arena terdorong oleh kata-kata Mentor,


Telemakus bertekad melempar para pelamar
keluar dari rumahnya untuk selama-lamanya.
Sekarang para pelamar sedang tidak terlalu
gaduh. Si penyanyi sedang memainkan harpa
dan menyanyikan lagu tentang pasukan Yunani
yang kembali dari Perang Troya. Ia bernyanyi
tentang kemarahan Dewi Athena dan bagaimana
sang dewi telah meminta dewa-dewa lain untuk
menghukum para pejuang tersebut. Ia bernyanyi
tentang badai yang telah membuat kapal prajurit
Yunani menyimpang dari jalur.
Ketika penyanyi itu melantunkan lagunya,
Telemakus melihat ibunya menuruni anak
tangga kamar. Dua orang pelayan wanita yang
setia berjalan di belakangnya.
Penelope berdiri dalam gelap dan
mendengarkan. Meskipun wajah sang ibu
tertutup cadar, Telemakus dapat melihat bahwa
ia menangis.
Sebelum lagu tersebut berakhir, ia
mengangkat cadarnya. “Hai penyanyi,
nyanyikanlah lagu yang lain!” ia berkata. “Aku
tidak tahan mendengar ceritamu. Hatiku menjadi
hancur.”
Telemakus mendekati ibunya. Diilhami oleh
percakapannya dengan Mentor, ia berbicara
dengan suara tenang dan mantap.
“Biarkan ia menyanyi, Bu,” katanya. “Bukan
dia penyebab kesedihan kita. Hanya Zeus yang
dapat menimbulkan rasa sedih yang demikian
besar pada umat manusia. Kembalilah menenun.
Jangan khawatirkan tempat kita. Mulai saat ini,
aku akan menjadi majikan di rumah ini.”
Penelope terpana saat mendengar kata-kata
Telemakus yang berani dan tegas itu. “Sekarang
kau tampak seperti putra Odiseus yang sejati,”
katanya.
Penelope kembali menangis. Gambaran yang
jelas tentang sang suami membuatnya semakin
sedih.
Ketika kedua pelayan membimbing Penelope
untuk segera kembali ke atas, para pelamar
berteriak-teriak di belakangnya. Mereka
mendesaknya untuk segera memilih salah
seorang dari mereka untuk menikah dengannya.
Telemakus berpaling ke arah mereka. “Dasar
tak tahu malu!” ia berkata. “Kalian boleh
menikmati musik dan tarian malam ini. Namun,
besok pagi aku akan mengusir kalian dari tempat
ini. Mulai saat itu kalian boleh mencuri dari
orang lain—tapi tidak dariku maupun ibuku.”
Karena terpana oleh kata-kata Telemakus yang
berani, para pelamar tak mampu berbicara
selama beberapa saat. Namun ketika pulih dari
rasa kaget, mereka segera menunjukkan bahwa
mereka tidak merasa takut. Antinous, pemimpin
dari para pelamar itu tersenyum mengejek.
“Kata-kata yang sungguh berani, Telemakus,”
katanya. Aku berdoa semoga para dewa tidak
membiarkanmu menjadi penguasa di pulau ini.”
Telemakus tidak gentar dan tetap
mempertahankan pendiriannya. “Antinous,
dengan berkah dari para dewa, aku akan
berkuasa atas semua yang telah diperjuangkan
dan dimenangkan oleh ayahku,” katanya.
“Kalau demikian, biarkan para dewa yang
menentukan raja yang berhak memerintah
Ithaca,” kata salah seorang pelamar. “Tetapi,
katakan pada kami tentang orang asing yang
baru saja ada di sini. Dari negara mana ia
berasal? Dari keluarga seperti apa ia berasal?
Apakah ia membawa berita tentang ayahmu? Ia
pergi dengan tergesa-gesa sehingga kami tidak
sempat berkenalan.”
“Ia bernama Mentor, teman lama ayahku,”
jawab Telemakus. “Ia datang untuk menanyakan
tentang kepulangan ayahku—yang ia yakini tidak
akan lama lagi.”
Para pelamar tertawa terbahak-bahak dan
menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian mereka
kembali mendengarkan suara musik yang
mendayu-dayu. Karena hanyut dalam
kesenangan semu, para pelamar tersebut
kemudian tak lagi memedulikan putra Odiseus.
Telemakus meninggalkan aula utama dan
pergi ke kamarnya. Pelayan lamanya, Euriklea,
menerangi jalan dengan dua buah obor yang
menyala.
Euriklea menyayangi Telemakus seperti
putranya sendiri. Wanita tua itu telah merawat
Telemakus sejak masih bayi. Ia menyiapkan
tempat tidur dan menyingkirkan pakaian
Telemakus. Kemudian, ia meninggalkan
Telemakus seorang diri.
Sambil berbaring di bawah sehelai selimut
bulu domba yang lembut, ia menatap ke dalam
kegelapan. Kepalanya dipenuhi pertanyaan:
Mungkinkah Mentor adalah Dewi Athena yang
menyamar?
Telemakus teringat cerita yang pernah
didengarnya ketika masih kanak-kanak: Sebelum
prajurit Yunani membuat Athena marah, sang
dewi lebih menyukai Odiseus dibandingkan
dengan manusia lainnya. Ia memerintahkan
Odiseus untuk membuat kuda Troya sehingga
prajurit Yunani dapat menyerang kota Troya.
Apakah Athena akhirnya jatuh kasihan pada
Odiseus yang dahulu pernah disukainya?
Apakah ia menyamar sebagai Mentor dan
menyelamatkan istri serta putra Odiseus?
Selain itu, ujung tombak Mentor yang berlapis
perunggu sangat mirip dengan tombak sang
dewi. Sandalnya yang berlapis emas berkilauan
tampak seperti sandal ajaib yang dapat
membawanya ke angkasa.
Terlebih lagi, bukankah matanya yang
berwana kelabu juga bersinar terang seperti
mata sang dewi?
Untuk pertama kalinya setelah berbulan-
bulan, Telemakus membiarkan secercah harapan
tumbuh dalam hatinya. Ia merasa yakin bahwa
yang bersamanya tadi adalah sang dewi bermata
kelabu. Ia datang untuk membantunya
menemukan ayahnya.
EMPAT
BERLAYAR

K eesokan paginya, Telemakus bangun pagi-


pagi sekali. Di ujung fajar, ia segera berganti
pakaian dengan jubah kebesaran dan
menyandang pedangnya.
Saat menatap ke dalam cermin, ia terpesona
oleh penampilannya sendiri. Ia terlihat setampan
dan sekuat seorang dewa. Telemakus bertanya-
tanya apakah Athena telah mengubah
penampilannya sehingga ia tampak cemerlang di
depan orang lain.
Ia memerintahkan para pelayan untuk
mengumpulkan seluruh pria yang ada di Ithaca,
termasuk para pelamar. Kemudian, dengan
tombak di tangan dan dua ekor anjing besar di
sampingnya, ia pergi menghadapi kerumunan
orang banyak itu.
Ketika Telemakus lewat, semua orang melihat
perubahan pada penampilannya. Bahkan
penduduk yang tertua sekalipun memberi jalan
padanya.
Telemakus duduk di kursi ayahnya dan
memandang kerumunan orang-orang yang telah
datang untuk mendengarkan perkataannya. Saat
berdiri untuk berbicara, ia hampir tidak dapat
menahan kemarahannya.
“Kalian semua memaksa ibuku untuk menikah
di luar kehendaknya,” ia berkata. “Setiap hari
kalian berkumpul di tempat ini. Kalian
membantai ternak ayahku dan meminum
anggurnya. Ia tidak berada di sini untuk
mempertahankan kerajaannya. Aku mungkin
tidak sekuat dia. Namun, aku tak dapat lagi
menerima perlakuan demikian dari kalian.
Tempat tinggal ayahku telah menjadi porak-
poranda.”
Pada saat Telemakus berbicara, kepercayaan
dirinya yang baru muncul sedikit demi sedikit
menghilang. “Aku—aku minta untuk
mendengarkan hari nurani kalian dan
memikirkan kemarahan para dewa,” katanya
dengan suara gemetar. Kemudian, karena
dikuasai oleh perasaan, ia melemparkan
tombaknya ke tanah dan mencucurkan air mata.
Dari raut wajah mereka, tampak bahwa
sebagian dari para pelamar tersebut merasa iba
terhadap Telemakus. Pemimpin dari pelamar
tersebut, Antinous, berdiri. “Salahkan ibumu
Telemakus. Jangan salahkan kami. Ia
mengatakan bahwa ia tidak dapat memilih
seorang suami sebelum selesai menenun kain
kafan untuk kakekmu. Namun, setiap malam ia
membongkar kembali tenunannya sehingga kain
itu tidak akan pernah selesai. Selama tiga tahun,
ia telah membohongi kami dengan cara ini. Kau
harus memaksanya memilih salah seorang dari
kami. Kami tidak akan pergi sampai ia
melakukan hal itu.”
Telemakus menggelengkan kepalanya. “Aku
tidak dapat melakukan apa yang kau minta,
Antinous,” katanya. “Bila kau tetap mengincar
rumah ini, aku akan meminta bantuan Zeus,
dan—dan kalian semua akan binasa.”
Pada saat Telemakus bicara, sepasang elang
muncul di langit sambil meluncur mengikuti
arus angin dan berputar-putar di atas halaman.
Kemudian, burung-burung itu mulai
mengepakkan sayap dengan marah. Mereka
menatap orang-orang di bawah dengan tatapan
yang mematikan. Kemudian, secara tiba-tiba
mereka saling berhadapan. Selama beberapa
saat, kedua elang tersebut berkelahi dengan
ganas dan kemudian terbang ke angkasa.
Orang-orang bergumam dengan perasaan was-
was. “Apa artinya ini? Apa yang hendak Zeus
katakan kepada kita?”
Seorang pria tua yang bijaksana berdiri. Ia
bicara dengan suara gemetar. “Wahai orang-
orang Ithaca, aku melihat pertanda buruk dari
elang-elang tersebut,” ia berkata. “Zeus mencoba
mengatakan pada kita bahwa Odiseus tidak lama
lagi akan tiba. Bila orang-orang yang
menginginkan istrinya tidak segera pergi secara
suka rela, maka ajal kita akan segera menjelang.
Pergilah dari tempat ini sebelum terlambat.”
Namun, para pelamar tersebut menolak untuk
mendengarkan peringatan tersebut.
“Pulanglah Pak Tua!” teriak salah seorang dari
pelamar. “Burung-burung memang selalu
beterbangan seperti itu! Itu tidak berarti apa-apa!
Kami akan tinggal di sini selama kami suka!
Odiseus sudah mati! Kami tidak takut pada
anaknya yang pandai berbicara!”
Telemakus kembali menggelengkan kepala.
“Para dewa telah mendengar kata-kataku,” ia
berkata. “Jadi, inilah yang akan aku minta dari
kalian. Berikan aku sebuah kapal beserta dua
puluh awak kapal. Aku akan berlayar mencari
ayahku. Bila aku mendengar bahwa ia masih
hidup, kita harus menunggu dengan sabar
sampai ia kembali. Bila aku mendengar bahwa ia
telah meninggal, maka kita akan
menyelenggarakan pemakaman untuknya, dan
ibuku akan memilih salah seorang dari kalian
untuk ia nikahi.”
Namun, para pelamar tidak menyetujui
rencana sederhana itu. Sebaliknya mereka
bahkan mengejek Telemakus. Mereka
mengatakan bahwa ia tidak cukup kuat untuk
bertahan hidup dalam perjalanan itu.
Kemudian, mereka kembali ke dalam istana
untuk berpesta dan minum-minum sambil
menunggu Penelope mengambil keputusan.
Dengan perasaan putus asa, Telemakus
berjalan seorang diri ke arah laut. Ia mencuci
tangan di air yang berbuih dan berdoa kepada
Dewi Athena untuk meminta pertolongan.
“Aku tahu kau telah datang kepadaku kemarin
dan memerintahkanku berlayar untuk mencari
ayahku,” ia berkata. “Sekarang, katakan apa
yang harus ku lakukan! Para pelamar ibuku
telah merendahkanku! Dan sekarang aku
khawatir tak seorang pun di Ithaca yang akan
membantu usaha pencarianku.”
Dalam sekejap, Mentor telah berada di sisinya.
Mata kelabunya bercahaya ketika ia bicara
dengan tegas. “Telemakus, pagi ini kau telah
menunjukkan bahwa kau memang memiliki
keberanian dan kekuatan seperti ayahmu. Maka
aku akan membantu perjalananmu. Jangan
pikirkan orang-orang jahat yang akan
menghalangi jalanmu. Percayalah padaku. Jika
waktunya telah tiba, mereka akan menerima
ganjaran karena telah bersikap kasar dan kurang
ajar. Pulanglah. Berkemaslah dan bawalah
anggur serta bekal untuk perjalananmu ke
tempat Nestor di Pulau Pylos. Aku akan mencari
awak kapal untuk berlayar bersamamu. Aku juga
akan mencari kapal yang terbaik dan
meluncurkannya ke laut.”
Telemakus sangat berterima kasih kepada
Mentor. Dengan tergesa-gesa, ia kembali ke
rumah. Ketika sampai di sana, ia melihat para
pelamar sedang menyembelih kambing dan babi
di halaman.
Mereka mencibir ke arah Telemakus ketika ia
lewat dan mencemoh. “Pembual!” “Tukang pura-
pura.”
Telemakus tidak menghiraukan mereka dan
segera menuju ke tempat penyimpanan di mana
Odiseus menyimpan emas, perunggu, dan
seluruh pakaiannya yang terbaik, termasuk
minyak serta anggur. Siang dan malam, gudang
penyimpanan itu diawasi oleh pelayan tua
Telemakus, Euriklea.
Telemakus meminta bantuan Euriklea. Ia
menyuruh wanita itu untuk menuang anggur ke
dalam guci dan memasukkan gandum ke dalam
kantong.
“Sembunyikan persediaan ini hingga malam
tiba,” katanya pada Euriklea. “Bila hari telah
gelap, aku akan mengambilnya dan
membawanya ke kapal yang telah menungguku.
Aku akan berlayar ke Pylos untuk mencari kabar
tentang ayahku. Berjanjilah untuk tidak
mengatakan kepada ibuku mengenai hal ini.
Paling tidak selama sepuluh hari. Bila ia
mengetahui rencanaku, ia pasti akan mencoba
menghentikanku.”
Euriklea menangis dengan sedih. “Ku mohon,
jangan pergi anakku! Orang-orang jahat ini akan
marah bila tahu bahwa kau telah pergi! Mereka
akan mencari dan membunuhmu!”
“Tidak, aku akan selamat,” Telemakus
menenangkan wanita tua itu, “karena ini adalah
keinginan Dewi Athena. Ia akan membantuku.”
Memang benar apa yang dikatakan oleh
Telemakus. Bahkan ketika ia sedang berbicara
dengan Euriklea, dewi bermata kelabu tersebut
sedang berada di di kota. Dengan menyamar
sebagai Telemakus, ia berhasil menemukan dua
puluh awak kapal yang cakap untuk berlayar
bersamanya ke Pylos.
Ketika senja telah tiba dan jalan-jalan mulai
gelap, Athena meluncurkan sebuah kapal ke atas
laut dan melengkapinya dengan berbagai
peralatan untuk berlayar. Kemudian, dengan
menyamar sebagai Mentor, ia menemui para
awak kapal saat mereka tiba di pelabuhan.
Mentor memberi tahu tugas setiap orang di
kapal. Kemudian, ia segera pergi ke rumah
Odiseus dan membuat semua orang yang ada di
sana terlelap, kecuali Telemakus.
Masih menyamar sebagai Mentor, Athena
memanggil Telemakus ke aula utama. “Para awak
dan kapal ada di pelabuhan. Mari kita
berangkat.”
Telemakus segera mengikuti Mentor. Ketika
tiba di pantai, ia menemukan dua puluh awak
kapal sedang menunggunya. Dengan tenang dan
penuh rasa percaya diri, putra Odiseus memberi
mereka perintah: “Cepat pergi ke rumahku.
Jangan sampai membangunkan satu orang pun.
Tak seorang pun mengetahui rencana kita. Bawa
segera perbekalan kita ke pantai.”
Awak kapal Telemakus segera menjalankan
perintahnya. Tak lama kemudian, mereka telah
siap membongkar sauh dan berlayar. Telemakus
dan Mentor duduk di anjungan kapal.
Dari tatapan mata sang dewi yang terang dan
berwarna kelabu, angin barat mulai muncul dan
bertiup. Angin tersebut membuat permukaan
laut beriak.
“Tangkap talinya! Naikkan layar!” Telemakus
memberi perintah.
Para awak kapal memasang tiang kapal dan
menaikkan layar yang berwarna putih.
Angin bertiup kencang dan ombak berwarna
gelap menggerakkan kapal itu ke tujuannya.
Para awak kapal menuangkan anggur untuk
menghormati para dewa, terutama Athena, putri
Zeus yang perkasa.
Mereka sama sekali tidak tahu, Telemakus
berpikir, bahwa sang dewi sendiri turut berlayar
bersama kita malam ini.
LIMA
PENCARIAN

D ari hari masih gelap hingga fajar menjelang,


kapal Telemakus berlayar dengan cepat
menuju ke pulau Pylos, tempat Raja Nestor
berada.
Tepat ketika matahari bersinar di atas laut,
kapal itu mencapai pelabuhan. Sekelompok
orang telah berkumpul di pantai. Mereka sedang
mengadakan upacara persembahan kepada
Poseidon, Sang Dewa Laut.
Para awak kapal menurunkan layar. Mentor
memerintahkan mereka untuk tetap tinggal di
kapal, sementara ia dan Telemakus pergi ke
pantai untuk menemui Raja Nestor.
Ketika mereka berjalan bersama, Mentor
menasihati si anak muda. “Jangan malu-malu di
depan sang raja,” katanya. “Tanyakan padanya
berita tentang ayahmu—apakah ia telah
meninggal? Bila iya, di mana ia dimakamkan?
Mintalah padanya untuk mengatakan yang
sejujurnya karena ia adalah orang yang lebih
bijaksana dan berkuasa dibandingkan semua
orang yang ada di pulau ini.”
Telemakus merasa gentar saat hendak
menghadap Raja Nestor yang agung. Raja Nestor
adalah seorang pejuang dan pelaut yang tak
kenal takut; penunggang kuda yang hebat, dan
pembunuh raksasa. Dan yang paling penting, ia
terkenal karena kebijaksanaan serta
penilaiannya.
“Jangan khawatir,” kata Mentor. “Para dewa
akan membantumu. Percayalah padaku ketika
aku mengatakan bahwa dewa-dewa selalu
bersamamu sejak kau dilahirkan.”
Mendengar kata-kata tersebut, Telemakus
mencoba mengumpulkan keberaniannya. Saat ia
dan Mentor mendekati kerumunan orang di
pantai tersebut, mereka melihat Nestor duduk
bersama ketujuh putranya, sementara yang lain
mempersiapkan pesta besar.
Dua dari putra Nestor segera berlari
menyambut kedua orang asing itu di pulau
mereka. Mereka mengundang kedua orang itu
untuk duduk di atas hamparan kulit domba yang
lembut. Mereka menjamu tamu tersebut dengan
daging yang dihidangkan di atas piring perak dan
anggur dalam cawan emas.
Ketika Mentor dan Telemakus telah selesai
menghabiskan hidangan dan minuman mereka,
Nestor mendekati mereka. “Sudah sepantasnya
bila aku bertanya kepada para tamu setelah
mereka puas menyantap hidangan dan
meminum anggur,” kata sang raja. “Jadi,
sekarang, setelah kalian ikut berpesta bersama
kami, katakan padaku: Siapakah gerangan
kalian? Dari mana kalian berlayar? Apakah
kalian pedagang atau bajak laut?”
Mentor mengangguk ke arah Telemakus untuk
memberinya dorongan supaya bicara.
“Kami datang dari Ithaca, pulau yang dahulu
dikuasai oleh Odiseus yang pemberani,” jawab
Telemakus. “Kami datang untuk mencari tahu
tentang keberadaannya. Kami ingin mengetahui
nasib yang menimpanya pada saat ia berlayar
pulang seusai Perang Troya. Kami mohon,
katakanlah apa yang Anda tahu tentang dia.
Jangan menghibur kami dengan cerita yang
menyenangkan. Saya harus tahu yang
sebenarnya, karena saya adalah putranya.”
Nestor tergagap karena keheranan. “Aku
hampir tidak memercayai mataku sendiri,” kata
orang tua itu. “Namun, karena kau telah
mengatakan kepadaku siapa dirimu, aku sadar
bahwa kau memang sangat menyerupai ayahmu,
Odiseus. Aku akan mengatakan semua yang ku
ketahui tentang perjalanan dan petualangannya.”
“Ketika kami berlayar dari Troya, Athena
sangat marah pada beberapa orang Yunani
karena mereka telah menodai kuilnya di tengah
pertempuran sengit. Atas permintaan Athena,
Zeus memorak-porandakan dan mencerai-be-
raikan armada kami di tengah lautan. Aku
berhasil menemukan jalan pulang, namun aku
tidak tahu tentang nasib teman seperjuanganku
itu. Aku hanya dapat mengatakan siapa yang
selamat dan siapa yang hilang. Aku tahu tentang
nasib mereka dari kabar yang beredar di
istanaku. Maafkan aku, namun aku tidak
mendengar berita apa pun tentang ayahmu.”
Telemakus menghela napas penuh rasa putus
asa. Kemudian, ia bercerita pada teman lama
ayahnya tersebut tentang para pelamar yang
menyerbu rumah serta mencuri perbekalan
ayahnya.
Nestor terdiam sejenak. Ia tampak berpikir
keras. Akhirnya, ia berbicara dengan suara
lembut namun mantap.
“Aku akan memberi tahu apa yang harus kau
lakukan,” ia berkata. “Pergilah ke istana Raja
Menelaus dan Ratu Helen yang jelita. Menelaus
adalah orang terakhir yang pulang dari Perang
Troya. Ia telah berkelana ke berbagai daerah.
Mintalah padanya untuk mengatakan apa yang
dia tahu. Ia tidak akan menipumu.”
Telemakus mengucapkan terima kasih atas
semua saran Nestor. Kemudian, Nestor
mengundang Telemakus dan Mentor untuk
beristirahat semalam di istananya. “Putra
Odiseus yang perkasa beserta temannya tidak
pantas beristirahat di kapal!” katanya.
Mentor berdiri. “Terima kasih, namun aku rasa
aku harus segera kembali ke kapal dan
memeriksa para awak kapal. Telemakus akan
tinggal dan tidur di rumahmu. Tolong pinjami dia
kuda tercepat dan kereta terbaik sehingga ia
dapat pergi ke istana Menelaus besok.”
Setelah itu, Athena tiba-tiba lenyap— tidak
dalam bentuk Mentor, namun dalam bentuk
seekor elang perkasa.
Semua orang yang melihat hal itu terpana dan
tak mampu bicara. Nestor tergagap dan segera
meraih tangan Telemakus. “Temanku,” katanya,
“kau bepergian bersama para dewa! Aku
sepenuhnya yakin bahwa temanmu itu adalah
sang dewi bermata kelabu, putri Zeus!”
Nestor segera berdoa untuk Athena dan
berjanji untuk memberi persembahan berupa
seekor sapi muda sebagai tanda hormat untuk
sang dewi. Selanjutnya, orang tua tersebut
membimbing Telemakus ke sebuah ruangan yang
megah di dalam istana, di mana para pelayan
telah menyiapkan tempat tidur yang nyaman.
Keesokan harinya, Telemakus bangun pagi-
pagi sekali. Ia dimandikan dan diberi minyak.
Kemudian, dengan mengenakan tunik dan
mantel yang indah, ia meninggalkan istana sang
raja untuk memulai perjalanannya.
Sekali lagi, semua orang yang melihat
Telemakus terpesona, karena ia tampak seperti
seorang dewa.
Nestor memerintahkan bawahannya untuk
memasang kuda-kudanya yang tercepat ke
kereta yang terbaik. Ia juga menyuruh para
pelayan untuk menyiapkan daging, roti, dan
anggur. Kemudian, ia memerintahkan putra
bungsunya untuk menyertai Telemakus ke istana
Raja Menelaus.
Kedua anak muda itu naik ke atas kereta.
Putra Nestor mengambil tali kekang dan
menghentakkannya. Kuda-kuda tersebut
meloncat dan berlari.
Sepanjang hari kuda-kuda itu berlari secepat
angin di atas dataran rendah. Ketika matahari
terbenam dan kegelapan mulai menutupi daerah
tersebut, mereka beristirahat.
Pagi berikutnya, ketika fajar mulai merah
merekah, kedua anak muda itu kembali
memasang kuda-kuda tersebut ke kereta. Mereka
kembali berlari kencang melintasi ladang
gandum dan jagung.
Sekali lagi, kuda-kuda tersebut berlari
sepanjang hari. Dan ketika malam tiba, mereka
sampai di istana yang terletak di lembah yang
dalam, tempat tinggal Raja Menelaus dan Ratu
Helen yang cantik.
ENAM
ORANG TUA DARI LAUTAN

K uda-kuda tersebut berhenti di pintu gerbang


istana. Telemakus dan putra Nestor dapat
mendengar suara perayaan dari dalam istana.
Para pelayan menyambut kedua orang asing
tersebut di gerbang. Kedua anak muda itu
disambut dan diperlakukan sebagaimana
layaknya tamu terhormat. Telemakus sadar
bahwa ini adalah adat istiadat seluruh orang
Yunani. Para pengembara menerima perlakuan
terbaik saat mereka menjadi tamu di rumah
orang lain.
Beberapa pelayan membersihkan dan
melumuri kedua anak muda tersebut dengan
wewangian. Mereka memberikan kedua anak
muda itu jubah berwarna ungu yang sangat
indah. Lalu para pelayan tersebut membimbing
kedua tamu itu ke aula utama.
Telemakus mengagumi apa yang ia lihat di
sana. Kemegahan yang ada di tempat tersebut
melebihi keindahan matahari dan bulan.
Telemakus dan putra Nestor duduk di samping
raja. Mereka disuguhi aneka makanan dan diberi
cawan emas penuh berisi anggur.
“Selamat datang,” sambut Raja Menelaus.
“Silakan menikmati makan malam kalian;
kemudian, ceritakan padaku siapa dan dari
mana kalian datang.”
Saat sedang menyantap makanan, Telemakus
memerhatikan aula besar tersebut. Ruangan
tersebut berkilauan karena pantulan sinar
berwarna perunggu, emas, kuning kecokelatan,
gading, dan perak.
“Istana ini seperti rumah Zeus,” bisiknya pada
teman seperjalanannya.
Raja Menelaus secara tak sengaja mendengar
kata-kata Telemakus. “Ah, aku tak dapat
dibandingkan dengan dewa Gunung Olimpus,”
katanya. “Seusai Perang Troya, aku berkelana ke
berbagai negara dan mengumpulkan banyak
harta benda. Namun, tak satu pun dari benda-
benda itu yang dapat menyembuhkan
kesedihanku karena telah kehilangan rekan-
rekan seperjuangan yang telah terbunuh oleh
prajurit Troya atau yang meninggal dalam
perjalanan pulang.”
“Aku sangat berduka atas kejadian yang
menimpa seorang sahabatku—lebih
dibandingkan yang lain. Aku dengar bahwa
keluarga rekanku itu sangat menantikan
kepulangannya. Ibunya meninggal karena
kesedihan yang dalam. Istri dan ayahnya hampir
gila karena berduka. Bahkan sang putra
berkabung siang dan malam untuknya,
meskipun anak itu masih bayi ketika ayahnya
pergi berperang.”
Telemakus menutupi wajah untuk
menyembunyikan air matanya. Sang raja dengan
sangat sempurna telah menggambarkan keadaan
keluarganya.
Pada saat itu, Ratu Helen turun dari kamarnya
yang penuh wewangian dan memasuki aula.
Sang ratu, dengan kecantikan bak seorang dewi,
duduk di samping raja.
“Siapa gerangan orang-orang asing ini?” ia
bertanya kepada suaminya. “Tidakkah salah
seorang dari mereka tampak sangat mirip
Odiseus yang perkasa?”
Putra Nestor menganggukkan kepala.
“Memang demikian halnya, ia adalah putra
Odiseus,” katanya. “Ia merasa malu berada di
hadapan Anda, Yang Mulia. Ayahku, Nestor,
telah mengirimku untuk menemaninya mencari
berita tentang ayahnya. Tak seorang pun di
Ithaca yang bersedia membantunya memerangi
ketidakadilan yang sedang dia hadapi.”
Menelaus merasa sangat tergerak untuk
mengetahui identitas tamunya yang masih muda
itu.
“Ayahmu sangat dipuja,” katanya pada
Telemakus.
Kemudian sang raja, ratu, Telemakus, dan
bahkan putra Nestor menangisi hilangnya sang
pejuang sejati, Odiseus.
“Ia adalah pejuang yang gagah berani,” kata
Helen.
“Ketika aku tertangkap di Troya, keberanian
dan kecerdikan Odiseuslah yang telah
menyelamatkanku.”
“Ya,” kata Menelaus. “Aku ingat dengan baik
bagaimana ia dengan gagah berani bersembunyi
di dalam kuda kayu raksasa itu. Dengan dibantu
gelapnya malam, ia membuka pintu gerbang kota
Troya, sehingga kami dapat menyerang kota itu.”
Telemakus menganggukkan kepalanya. “Yang
Mulia, ayahku memang orang yang gagah
berani,” ia berkata dengan nada sedih, “namun
segala keberanian dan kecerdikannya tidak dapat
menyelamatkannya dari nasib sial. Sekarang,
mari kita tidur. Semoga kita lebih tenang saat
terlelap.”
Ratu Helen memerintahkan para pelayan
untuk menyiapkan tempat tidur bagi para tamu
di bagian atas istana. Dengan membawa obor,
para pelayan menunjukkan jalan kepada kedua
anak muda tersebut. Mereka juga memberikan
kedua anak muda itu selimut dan baju tidur dari
kulit domba yang halus. Karena letih menempuh
perjalanan yang panjang, Telemakus dan putra
Nestor akhirnya jatuh tertidur.
Sebelum fajar menyingsing, Menelaus
terbangun dan pergi ke kamar tidur Telemakus.
Ia membangunkan anak muda itu dan berbicara
dengan suara pelan. “Katakan padaku, apa yang
sebenarnya membuatmu datang ke istanaku,”
katanya. “Bagaimana aku dapat membantumu?”
Telemakus bercerita pada sang raja tentang
para pelamar tamak yang menduduki rumah
ayahnya.
“Bila ayahmu tahu tentang hal ini,” kata
Menelaus, “ia tentu akan mencincang mereka.”
“Apakah Anda pernah mendengar kabar
tentang dia?” tanya Telemakus. “Dapatkah Anda
memberi tahu sesuatu tentang ayahku? Ku
mohon, jangan menceritakan hal-hal yang bagus-
bagus saja.”
“Aku akan mengatakan apa yang kuketahui,”
jawab sang raja. “Ada sebuah pulau di dekat
perairan Mesir, di mana para pengembara biasa
berhenti untuk beristirahat sebelum kembali
berlayar. Kapalku merapat di sana setelah
perang usai. Aku tersesat dan tidak tahu apakah
para rekan seperjuanganku telah pulang dengan
selamat. Suatu hari, ketika aku sedang berjalan
seorang diri, seorang peri laut mengatakan
padaku untuk bicara dengan ayahnya, Si Orang
Tua dari Lautan.”
“Siapa itu?” tanya Telemakus.
“Ia adalah seorang dewa dari laut,” kata
Menelaus. “Ia adalah penggembala anjing laut
milik Poseidon. Pada saat-saat tertentu ia
muncul ke permukaan laut untuk menghitung
ternaknya. Untuk menangkapnya, seseorang
harus memegangnya dengan sangat erat karena
ia dapat berubah dalam berbagai bentuk. Ia
dapat menjadi makhluk apa pun yang bergerak
di atas bumi ini. Ia bahkan dapat menjadi api
atau air. Namun, bila kau dapat
mencengkeramnya kuat-kuat, ia akan menjadi
dirinya sendiri. Kemudian, kau dapat bertanya
tentang banyak hal padanya.”
“Dan apakah Anda berhasil menangkap dewa
laut yang aneh itu?” tanya Telemakus dengan
perasaan heran.
“Ya, aku menunggu hingga ia muncul untuk
menghitung anjing lautnya. Kemudian, aku
segera berlari mendekat dan menangkapnya,”
kata sang raja. “Ia segera berubah menjadi
seekor singa, lalu ular, kemudian menjadi seekor
macan tutul, kemudian babi hutan. Ia berubah
menjadi air yang mengalir, selanjutnya menjadi
sebatang pohon. Namun, aku memegangnya
erat-erat sehingga akhirnya ia kembali ke wujud
aslinya. Ketika aku menanyakan padanya jalan
pulang. Ia memberiku nasihat yang bagus.”
“Saat aku menanyakan nasib rekan-rekan
seperjuanganku, ia mengatakan siapa saja yang
telah gugur. Ketika aku menangis dengan sedih,
ia mengatakan bahwa ada seorang pejuang yang
gagah berani yang masih hidup. Ia mengatakan
bahwa Odiseus terperangkap di Pulau Kalipso.
Dewi penguasa pulau itu menangkap dan
menahannya di sana.”
Telemakus merasa gembira mendengar bahwa
ayahnya masih hidup.
Menelaus bercerita lebih lanjut tentang
perjalanannya. Kemudian ia pergi. Setelah
ditinggal sendiri, Telemakus menjadi
bersemangat. Perasaannya dipenuhi
kegembiraan.
Apakah ayahku masih berada di Pulau
Kalipso? ia bertanya-tanya. Apakah aku harus
mencarinya ke sana? Ataukah aku kembali ke
rumah secepatnya dan memberi tahu ibuku
tentang berita gembira ini?
TUJUH
PULAU KALIPSO

N un jauh di Pulau Kalipso, Odiseus duduk di


sebuah batu besar dan menangis. Pada saat
seperti ini, seperti hari-hari lain selama tujuh
tahun terakhir, ia sangat merindukan rumahnya.
Karena kedua tangannya menutupi wajah,
Odiseus tak dapat melihat secercah sinar terang
menyambar ke arah air dan meluncur di atas
ombak seperti seekor camar. Ia tidak melihat
Hermes, Dewa Pembawa Pesan, muncul di
hadapannya.
Dengan membawa tombak emas dan
mengenakan sandal emas bersayap, Hermes
bergerak dengan ringan di atas pulau. Ia
melangkah melewati hutan suci Kalipso, di mana
para penghuni hutan seperti burung hantu,
elang, dan camar saling bersahutan di atas
berbagai jenis pohon.
Hermes melintasi taman milik Kalipso yang
berbau semerbak, melalui hamparan bunga ungu
dan berbagai tanaman obat. Akhirnya, ia sampai
ke pintu masuk gua milik sang dewi.
Hermes menyingkirkan tanaman anggur yang
menggantung dan melangkah masuk. Aroma sari
apel dan cendana tercium di udara.
Sang dewi yang berambut pirang sedang
duduk dan bernyanyi di depan alat tenun di
dekat perapian. Saat mengangkat wajah, ia
tersenyum ceria pada Hermes.
“Hermes, sungguh suatu kehormatan bagiku
untuk menerima kunjunganmu!” katanya.
“Silakan duduk. Mari ku hidangkan makanan
dan minuman.”
Kalipso menjamu Hermes dengan makanan
para dewa—ambrosia dan nektar merah. Setelah
bersantap, Hermes menceritakan tujuan
kedatangannya.
“Hari ini di Olimpus, Dewi Athena
mengumpulkan semua dewa,” katanya. “Ia
sangat mencemaskan Odiseus, sang raja Ithaca.
Pria itu telah pergi terlalu lama dari tanah
kelahiran dan keluarganya, demikian kata sang
dewi, dan sekarang, musuh-musuhnya
berencana untuk membunuh putranya. Kalipso,
Zeus telah mendengar kata-kata putrinya dan
memintamu untuk melepaskan tahananmu.”
Sang dewi berdiri dengan marah, namun
Hermes melanjutkan: “Zeus telah memutuskan
bahwa Odiseus harus pulang dengan segenap
kekuatan sendiri. Tidak ada seorang dewa pun
yang diizinkan untuk membantu mempercepat
kepulangannya. Ia harus membuat rakit sendiri
dan mengarungi samudra selama dua puluh hari
menuju ke Scheria. Dari sana, ia dapat berlayar
ke Ithaca dan membalas segala perbuatan jahat
yang dilakukan kepada keluarganya.”
“Para dewa di Olimpus marah padaku
rupanya,” kata Kalipso. “Mereka tidak mau
percaya bahwa seorang dewi bisa jatuh cinta
pada manusia biasa! Tapi aku-lah yang telah
menyelamatkan nyawa Odiseus!”
Kalipso memandang dengan marah ke arah
Hermes selama beberapa saat. Namun, akhirnya
dengan perasaan kalah, ia mengalihkan
pandangannya. “Aku tahu aku tak dapat
melawan kekuatan dan kehendak Zeus,” ia
berkata. “Bila Zeus memang telah
memerintahkan demikian, maka Odiseus akan
meninggalkan pulauku. Dengan maksud baik
aku akan memberinya nasihat tentang apa saja
yang ia butuhkan untuk memulai perjalanan
pulang.”
Hermes membungkuk dan segera
meninggalkan sang dewi yang sedang berduka
itu.
Kalipso segera pergi mencari Odiseus. Ia
menemukan pria itu sedang duduk dan
menangis di atas sebuah batu karang. Kalipso
duduk di sampingnya dan berbicara dengan
lembut.
“Kau tak perlu lagi tinggal di sini sambil
merindukan rumahmu,” katanya. “Aku
mengizinkanmu pulang,” katanya. Pergi dan
tebanglah beberapa pohon. Buatlah sebuah rakit
besar untuk membawamu menyeberangi lautan.
Aku akan memberimu anggur, roti, dan
pakaian.”
Setelah bertahun-tahun ditahan, Odiseus
tidak percaya pada kata-kata Kalipso. “Kapal
yang dibuat dengan sempurna pun tak akan
dapat mengarungi ombak di lautan ini dengan
selamat,” kata Odiseus. “Maukah kau bersumpah
untuk tidak mencelakaiku?”
Sang dewi memegang tangan Odiseus. “Aku
bersumpah demi langit, bumi, dan air di alam
baka bahwa aku tidak pernah bermaksud
mencelakaimu, Odiseus.” katanya.
Setelah mengucapkan sumpahnya, Kalipso
berdiri dan segera berlalu. Odiseus mengikuti
sang dewi ke dalam gua. Kalipso memerintahkan
para pelayan untuk menyiapkan makanan. Para
pelayan wanita menghidangkan ambrosia dan
nektar merah—makanan para dewa yang hidup
kekal—untuk sang dewi. Kalipso sendiri memberi
Odiseus daging dan anggur, makanan para
manusia.
“Odiseus, bila kau mau berjanji untuk tinggal
di sini dan menikah denganku, maka aku akan
menjadikanmu makhluk abadi,” kata Kalipso.
“Kau akan hidup selamanya.”
“Dewi yang cantik, mengapa aku harus hidup
selama-lamanya bila itu berarti jauh dari tanah
kelahiranku, tanpa istri dan putraku?” ia
bertanya.
“Aku tak dapat membayangkan bahwa istrimu
lebih cantik dibandingkan diriku,” kata Kalipso.
“Oh dewi, jangan marah,” jawab Odiseus.
“Apa yang kau katakan itu benar. Istriku adalah
manusia biasa. Ia tidak secantik dirimu. Namun
selama tujuh tahun, aku tak sanggup
memikirkan hal lain selain pulang kembali ke
rumah dan ke dalam pelukan istriku.”
Kalipso masih berusaha menahan Odiseus di
pulaunya. Ia mencoba memberi satu alasan lagi
agar pria itu bersedia tinggal bersamanya. “Bila
kau berlayar pulang, Odiseus, kau mungkin
akan menemui banyak hambatan, karena para
dewa tidak akan membantumu,” katanya.
“Berulang kali mereka akan menguji kekuatan
dan ketahanan fisik-mu.
“Jika para dewa memilih untuk
menghancurkan rakitku, aku akan tetap
mencoba bertahan,” kata Odiseus. “Setelah
mengalami begitu banyak penderitaan, aku tentu
masih sanggup menahan satu cobaan lagi.”
Kalipso menghela napas dan menganggukkan
kepala. Ia tahu bahwa ia sudah tidak memiliki
pilihan lagi. Ia harus membiarkan Odiseus pergi.
Keesokan harinya, di waktu fajar, Kalipso
mengenakan gaun perak berkilauan yang sangat
indah. Ia menutupi kepalanya dengan cadar.
Kemudian, ia memberi Odiseus sebilah kapak
tajam dari perunggu dan membimbingnya ke sisi
pulau yang jauh.
Di sana banyak tumbuh pohon-pohon yang
tingginya mencapai langit.
“Tebanglah sebanyak yang kau butuhkan
untuk membuat rakit,” kata sang dewi.
Selama empat hari berikutnya, Odiseus
menebang pohon-pohon dengan kapak perunggu
tersebut. Ia berhasil menebang dua puluh
batang. Selanjutnya ia mulai membuat rakit.
Ia menghaluskan balok-balok yang telah
dipotong dan menggabungkannya dengan pasak
kayu. Kemudian, ia membangun dek, membuat
sebuah tiang, dan roda kemudi. Kalipso
memberinya kain linen untuk dijadikan layar.
Ketika rakit tersebut selesai, Odiseus
menggunakan gelondongan kayu untuk
menggulingkannya ke dalam air.
Pada hari kelima setelah kunjungan Hermes
ke pulau Kalipso, Odiseus telah siap berlayar.
Kalipso memberinya pakaian bersih dan kantong
kulit kambing berisi anggur merah, air, serta
daging. Ia memberi tahu Odiseus tentang
gugusan bintang yang harus diikuti.
Sang dewi menyembunyikan kesedihannya
ketika Odiseus naik ke atas rakit dan bergerak
menjauhinya menuju laut.
Hadiah terakhir yang diberikan Kalipso untuk
Odiseus adalah angin hangat dan lembut yang
mendorong rakit Odiseus ke laut lepas.
DELAPAN
PELAYARAN

S ambil memegang kemudi erat-erat, Odiseus


dengan cekatan mengemudikan rakitnya di
atas ombak. Ia tidak tidur sama sekali. Setiap
malam, matanya terpaku pada bintang-bintang
yang telah disebutkan oleh Kalipso untuk
dilihat— rasi bintang Taurus dan Beruang.
Hari demi hari dan malam demi malam,
Odiseus berlayar di lautan lepas. Akhirnya, pada
hari kedelapan belas, ia melihat bayangan
samar-samar sebuah gunung di cakrawala.
Pada saat Odiseus mengemudikan rakitnya
menuju pantai, awan tebal kelabu berkumpul di
atas langit. Air laut mulai pasang. Angin kencang
bertiup menderu-deru di atas daratan dan
lautan.
Apakah Poseidon telah menemukan rakitku?
Odiseus berpikir dengan cemas. Apakah ia
hendak membalaskan dendamnya sekarang?
Selama bertahun-tahun, Poseidon, Sang Dewa
Laut, sangat marah pada Odiseus karena telah
membutakan mata putranya, Cyclops. Sekarang
tampaknya ia mencoba untuk kembali
menghancurkan Odiseus. Angin menderu-deru
dari arah utara, selatan, timur, dan barat. Siang
hari yang terang benderang berubah menjadi
gelap gulita. Odiseus khawatir bahwa ia akan
berakhir menyedihkan.
Tiba-tiba sebuah ombak raksasa menghantam
rakit Odiseus. Odiseus tersapu dari atas rakit
dan tercebur ke dalam laut. Ia berjuang mati-
matian untuk menaikkan kepala ke atas air dan
bernapas.
Saat kepalanya berhasil mencapai permukaan
air, Odiseus melihat rakitnya bergerak sangat
cepat menjauhinya. Ia berenang dengan cepat ke
arah rakit kayu itu dan meraihnya. Setelah itu,
ia menarik tubuhnya ke atas.
Kemudian, ketika angin mengombang-
ambingkan rakit itu di atas air, Odiseus melihat
sebuah pemandangan yang menakjubkan.
Seorang dewi laut mengapung bagaikan camar di
atas ombak.
Tanpa takut pada badai, dewi laut itu
mengambang ke dekat rakit Odiseus dan
melompat naik.
“Temanku,” katanya. “Aku adalah Ino, Dewi
Putih, yang memberi petunjuk pada para pelaut
yang tersesat di tengah badai. Aku tak tahu
mengapa Poseidon marah padamu. Namun, aku
tahu satu hal. Walau berulang kali menyiksamu,
ia tak akan membunuhmu. Namun, kau harus
meninggalkan rakit ini secepatnya dan berenang
ke pantai. Ambillah kerudungku karena
kerudung ini telah dimantrai. Kau tak akan
mengalami hambatan apa pun selama kau
memilikinya. Begitu mencapai daratan, kau
harus melemparkannya kembali ke laut.”
Setelah berkata demikian, Dewi Putih
melepaskan kerudung yang telah dimantrai dan
memberikannya pada Odiseus. Kemudian, ia
menghilang ke dalam laut yang ganas.
Tepat pada saat itu, sebuah ombak besar
menggulung rakit Odiseus dan
menghancurkannya hingga berkeping-keping.
Sambil menggenggam kerudung Ino, Odiseus
menarik sebilah papan sisa rakit yang hancur
dan menaikinya seperti menunggang kuda.
Kemudian, ia menyelam ke dalam laut.
Tiba-tiba, angin menjadi tenang— kecuali
angin utara. Odiseus merasa bahwa Athena
sedang menahan semua angin, sehingga ia dapat
berenang dengan cepat dan selamat ke pantai
terdekat. Selama dua hari dua malam, dengan
bantuan angin utara yang lembut, Odiseus
berenang dan mengapung di laut yang tenang.
Pada hari ketiga, angin utara berhenti bertiup
dan laut benar-benar tenang. Odiseus melihat
daratan di depannya. Dengan penuh
kegembiraan, ia berenang ke arah pantai
berkarang.
Namun dalam sekejap, angin dan ombak
kembali muncul. Dengan suara yang keras, air
laut menghantamnya.
Odiseus berjuang keras untuk tetap menahan
kepalanya supaya berada di atas permukaan air
yang bergejolak dan berusaha mendekati pantai.
Ombak yang ganas memukul karang dengan
kekuatan dashyat. Aku akan terhempas ke
karang bila aku mencoba berenang ke pantai
sekarang pikir Odiseus dengan putus asa.
Namun sekali lagi, Odiseus merasakan
kehadiran Athena. Sebuah ombak raksasa
mengangkat dan membawanya ke arah batu
karang di pantai. Namun, sebelum Odiseus
sempat merangkak ke tempat yang aman,
sebuah ombak besar lain menggulungnya
kembali ke laut dan menenggelamkannya.
Odiseus berenang dengan perasaan putus asa
sambil mencoba melarikan diri dari ombak yang
memukul pantai. Akhirnya, ia berhasil mencapai
sebuah teluk yang tersembunyi. Ia melihat
sebuah pantai tak berkarang. Sambil berenang
ke tepian, ia berdoa dan memohon pada para
dewa untuk menyelamatkannya dari amarah
Poseidon.
Tiba-tiba ombak menjadi tenang. Namun,
ketika mencoba menyeret tubuhnya ke tepian,
Odiseus merasa sangat letih. Ia telah dikalahkan
oleh badai. Badai telah menguras segenap
tenaganya. Ia berada dalam keadaan setengah
sadar sekarang.
Sambil terengah-engah, ia menarik kerudung
milik Ino dan melemparkannya kembali ke laut.
Kemudian dengan menggunakan sisa tenaganya,
ia menyeret dirinya ke luar dari air dan
membaringkan diri di atas tumbuhan air.
Bila aku tetap berbaring di sini, aku akan mati
kedinginan, pikirnya. Dan bila aku pergi lebih
jauh ke pantai dan pingsan di antara semak
belukar, binatang liar akan memangsaku. Namun,
bahaya apa pun yang menghadangnya, Odiseus
tahu bahwa ia tetap harus bergerak maju.
Dengan menggunakan tangan dan lutut yang
berlumuran darah, ia merangkak ke sebuah
tempat perlindungan, yaitu di bawah pohon
zaitun, pohon keramat milik Athena.
Odiseus berbaring di atas tumpukan daun
kering. Dengan menggunakan kedua tangan yang
berlumuran darah, ia menutupi tubuhnya
dengan daun. Bagaikan seorang petani yang
menyebarkan abu ke atas bara, Odiseus
mencoba mempertahankan sisa-sisa
kekuatannya.
Dengan penuh belas kasih, sang dewi bermata
kelabu menyelinap turun dari atas langit dan
muncul di sisinya. Ia menutup mata Odiseus
yang lelah dan membuatnya tertidur nyenyak
untuk melupakan penderitaan dan
kesedihannya.
PENUTUP

S ementara di Ithaca, Penelope, istri Odiseus,


membuka pintu kamarnya dan menyapa
temannya, Medon.
“Aku baru saja mendengar kabar buruk,” kata
Medon. “Para pelamar, dengan dipimpin
Antinous, berencana membunuh putramu.
Mereka menunggu di pulau Asteris. Pada saat
kapal putramu lewat, mereka akan
membunuhnya.”
Penelope jatuh pingsan ke lantai. Ketika sadar,
ia menangis penuh kesedihan. “Di mana
putraku?” ia bertanya di antara isak tangis.
“Tadinya ku pikir ia ada di sekitar daerah sini.”
“Aku hanya tahu bahwa ia berlayar beberapa
hari yang lalu untuk mencari berita tentang
ayahnya,” kata Medon. “Ia akan segera kembali
ke rumah melalui jalan yang dijaga oleh musuh-
musuhnya.”
Penelope tenggelam dalam kesedihan yang
demikian besar sehingga ia tak dapat bangkit
dari lantai. Ketika ia menangis dan meratapi
hilangnya sang suami dan putra, para pelayan
ikut menangis bersamanya.
Euriklea, pelayan tua Telemakus, mencoba
menenangkannya. “Berdoalah pada Dewi
Athena!” katanya pada Penelope. “Mintalah
bantuannya. Ia akan menyelamatkan putramu!”
Wanita tua itu mengusap air mata Penelope. Ia
membantu Penelope mandi dan berganti pakaian
bersih. Ia juga membantu menyiapkan
persembahan bagi sang dewi.
Penelope kemudian berdoa. “Wahai putri Zeus,
dengarlah permohonanku. Aku mohon agar kau
menyelamatkan putraku dari segala bahaya.”
Karena letih dan sedih, Penelope kembali ke
kamar dan berbaring.
Dengan penuh kasih sayang dan iba, sang
dewi bermata kelabu segera muncul. Ia menutup
mata Penelope yang lelah dan membuatnya
terlelap sehingga wanita malang itu dapat
melupakan segala duka dan kesedihan.
TENTANG HOMER DAN ODISEI

P ada zaman dahulu kala, orang Yunani Kuno


percaya bahwa dunia dikuasai oleh para dewa
dan dewi yang sakti. Oleh orang Yunani, cerita
tentang para dewa dan dewi itu disebut mitos.
Mungkin pada awalnya, mitos diceritakan untuk
menjelaskan berbagai kejadian alam — seperti
cuaca, gunung berapi, dan susunan bintang-
bintang di langit. Mitos-mitos itu juga diceritakan
ulang sebagai hiburan.
Mitos Yunani pertama kali ditulis oleh seorang
penyair buta bernama Homer. Homer hidup
kurang lebih tiga ribu tahun yang lalu. Banyak
orang percaya bahwa Homer adalah pengarang
dua puisi kepahlawanan terkenal, Illiad dan
Odisei. Illiad menceritakan tentang Perang Troya.
Odisei menceritakan tentang kisah perjalanan
panjang dari Odiseus, raja Ithaca. Cerita tersebut
banyak berhubungan dengan petualangan
Odiseus ketika ia berada dalam perjalanan
pulang dari Perang Troya.
Dalam menceritakan kisahnya, Homer
sepertinya mengabungkan khayalannya sendiri
dengan mitos-mitos Yunani yang secara lisan
telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Sebagian kecil sejarah juga terdapat dalam kisah
Homer karena terdapat bukti-bukti arkeologis
yang menunjukkan bahwa kisah Perang Troya
ditulis berdasarkan perang yang pernah terjadi
lima ratus tahun sebelum Homer lahir.
Selama berabad-abad, kisah Odisei dari Homer
telah memengaruhi ke-susasteraan Barat.
PARA DEWA DAN DEWI
YUNANI KUNO

D ewa yang paling sakti di antara seluruh


dewa dan dewi Yunani adalah Zeus, Sang
Dewa Petir. Dari puncak Gunung Olimpus yang
berkabut, Zeus berkuasa atas semua dewa dan
manusia. Para dewa dan dewi lainnya adalah
sanak keluarga Zeus. Saudaranya, Poseidon
adalah penguasa lautan, dan saudaranya yang
lain, Hades adalah penguasa alam baka. Anak-
anak Zeus — antara lain — adalah Dewa Apolo,
Mars, Hermes, serta Dewi Afrodite, Athena, dan
Artemis.
Para dewa dan dewi dari Gunung Olimpus
tidak melulu tinggal di puncak gunung. Mereka
juga turun ke bumi untuk melibatkan diri dalam
kehidupan sehari-hari umat manusia — seperti
Odiseus.
BEBERAPA DEWA DAN
DEWI UTAMA

Zeus Dewa Petir, raja seluruh dewa


Poseidon Dewa Laut dan Sungai, saudara laki-
laki Zeus
Hades Dewa Alam Baka, saudara laki-laki
Zeus
Hera istri Zeus, ratu para dewa dan dewi
Hestia Dewi Perapian, saudara perempuan
Zeus
Athena Dewi Kebijaksanaan, Dewi Perang,
Seni dan Kerajinan Tangan; anak
perempuan Zeus
Demeter Dewi Pangan dan Panen, ibu dari
Persefone
Afrodite Dewi Asmara dan Kecantikan, anak
perempuan Zeus
Artemis Dewi Para Pemburu, anak
perempuan Zeus
Ares Dewa Perang, anak laki-laki Zeus
Apolo Dewa Matahari, Dewa Musik dan
Puisi
Hermes Dewa Pembawa Berita, anak laki-laki
Zeus — ahli membuat tipuan
Hefaestus Dewa Pembuat Senjata, anak laki-
laki Hera
Persefone istri Hades, ratu alam baka — anak
perempuan Zeus
Dionisus Dewa Anggur dan Kegilaan
CATATAN TENTANG
ASAL-MUASAL CERITA

K isah Odisei asli ditulis dalam bahasa Yunani


Kuno. Sampai saat ini, cerita Homer ini telah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa hingga
mencapai ribuan kopi. Penulis telah mempelajari
sejumlah terjemahan dalam bahasa Inggris,
termasuk yang ditulis oleh Alexander Pope,
Samuel Butler, Andrew Lang, W.H.D. Rouse,
Edith Hamilton, Robert Fitzgerald, Allen
Mandelbaum, dan Robert Fagels.
Odisei karangan Homer terdiri dari 24 buku. Jilid
pertama dari seri ini diambil dari buku
kesembilan dan kesepuluh.
Cerita mengenai keikutsertaan Odiseus untuk
berperang melawan Troya bersumber dari
seorang penulis yang hidup pada abad kedua
setelah Masehi. Nama penulis itu adalah
Hyginus. Catatan tentang kuda Troya bersumber
dari cerita karangan Virgil yang berjudul Aeneid.
Catatan dari Apolodorus tentang jatuhnya Troya
menyebutkan bahwa nama Athena terpahat di
atas kuda kayu tersebut.
SANG PENGARANG

M ary Pope Osborne adalah pengarang buku


serial paling laris yang berjudul Magic Tree
House — Rumah Pohon Ajaib. Ia juga menulis
sejumlah novel sejarah dan menceritakan
kembali mitos-mitos serta cerita rakyat yang
sudah sangat dikenal, termasuk di antaranya
Kate and Beanstalk — Kate dan Pohon Kacang
dan New York’s Bravest — Yang Terberani dari
New York. Ia tinggal bersama suaminya di New
York dan Connecticut.

Anda mungkin juga menyukai