Anda di halaman 1dari 4

ANGST

Sering diterjemahkan sebagai kecemasan (anxiety). Cemas, yang tidak

selalu jelas sebabnya. Kalau pun ada sebab, dia hanya trigger. Angst disebut-

sebut sebagai penyakit. Tapi seringkali, khususnya bagi para perfectionist, atau

“pemberontak eksistensial” a la Camus, angst adalah anak kandung peraasaan

bahwa, pada akhirnya, hidup ini absurd. Buktinya, ketika masalah yang menjadi

trigger sudah lewat, angst masih saja bersemayam. Kadang kegalauan semacam

angst disebut oleh para filosof eksistensialis sebagai kebosanan (boredom),

atau rasa hidup penuh absurditas (despair), atau bahkan depresi. Camus, Sartre,

dan Kierkegard merujuknya kepada risiko yang timbul akibat karsa bebas (free

will) yang dimiliki manusia. Sebagai "no-thing-ness" (being in itself, pour soi) -

ke-bukan-sesuatu-an, sesuatu yang bukan being in itself (en soi). Kierkegaard

menyebutnya "kepuyengan (akibat) kebebasan" (dizziness of freedom).

Angst terjadi saat, kata Heidegger, semua relasi kita dengan dunia

terputus. Layar penutup seperti turun, mengaburkan semua relasi kita dengan

dunia. Paling-paling hanya menyisakan ruang kecil yang melaluinya kita bisa

mengintip keluar. Saat itulah kita merasa bahwa hidup absurd, tak punya makna

(meaning). Murung sekali, memang. Kadang sampai suicidal. Tapi, kata

Heidegger, dan para filosof eksistensialis itu, justru pada saat mengalami angst

itu kita berada (eksis) secara autentik. Karena kita hidup dalam diri kita sendiri.

Bukan menuruti cara pandang orang lain yang di dalamnya, seperti kata Sartre,
kita merasa bahwa gerak-gerik kita seperti terus diintip orang dari lubang kunci.

Yakni, saat kita cenderung ber-ada dengan suatu cara yang ditentukan oleh

ekspektasi orang akan kita. Sebaliknya, kita hidup dengan suatu cara

sebagaimana kita yakin kita seharusnya hidup. Sehingga tak perlu kita, seperti

Sartre lagi dalam sandiwara "Hoise clos" (No Exit) - yang saya beruntung

menonton salah satu pementasannya di suatu teater kecil di Bloomington -

menggerutu “L'enfer, c'est les autres” (Neraka adalah orang lain). Dengan kata

lain, kita bisa hidup sebagai manusia dengan kesadaran penuh, sepenuh

mungkin.

Dalam berbagai perbincangan ilmiah tentang kesadaran (consciousness),

ada yang melihat kesadaran sebagai semacam keterjagaan - ketaktiduran belaka.

Paling jauh ditambah kandungan (content) pemikiran. Bukan sekadar terjaga

dengan pikiran kosong. Tapi sebagian yang lain melihatnya secara lebih mistis,

sebagai kesadaran (akan) diri. Baik kesadaran diri yang tak ada kaitannya

dengan agama—sebagaimana gagasan tentang spiritualitas ireligius—hingga

sepenuhnya, seperti yang disabdakan Nabi Muhammad dan digemakan kaum

mistikus: "Siapa mengenali dirinya, mengenali Tuhannya”. Kesadaran di sini

jadinya adalah keterjagaan dengan kandungan gagasan ketuhanan. Dalam cara

apa pun Tuhan kita pahami. Dan bukan semata-mata gagasan ketuhanan

konvensional yang melibatkan agama sebagai institusi, apalagi ideologi

(politik). Pun, kalau agama terlibat, maka di sini ia lebih dilihat sebagai
spiritualitas privat. Bisa saja ia melibatkan peribadatan, bahkan hukum-hukum

keagamaan juga, sebagaimana dalam pemahaman konvensional tentang agama.

Tapi, puncaknya adalah pertemuan privat dengan Sang Transenden yang

bersifat lebih impersonal. Dalam bingkai keagamaan-spiritualistik seperti ini,

Dia tampil sebagai berkah Kasih, Kedamaian, dan Keindahan yang menyelimuti

alam semesta, bahkan tak peduli ketika Dia sedang menerapkan kemahaadilan-

Nya juga. Seperti kata Rudolph Otto, Tuhan sebagai misterium tremendum et

fascinans.

Ya, angst bisa mendorong penderitanya bunuh diri. Atau menjadi jalan

bagi pencapaian suatu pencerahan yang “membahagiakan”, setelah sebelumnya

dia ber-ada secara autentik melalui angst. Merujuk Camus: "hidup memang

absurd dan tak layak dijalani, hingga kita memahami ketakbermaknaannya.”

Yakni ketika ia bisa mendorong kita melakukan soul searching, dalam

kesendirian dan kesepian—yang dalam perspektif lain, adalah situasi

eksistensial yang bebas dari keberisikan hidup secara banal—dalam keberadaan

autentik kita. Dalam segala kepuyengan eksistensial kita—atau, seperti kata Ibn

'Arabi, sang' arif asal Murcia abad ke-12 M, saat kita berada dalam hayrah

(bewilderment, kebingungan eksistensial)—kita bisa terdorong melakukan

"pencarian jiwa" (soul searching), yang di dalamnya kita merogoh dalam-dalam

ruang hening batin kita, demi mendapati hikmah berupa kesadaran penuh akan

hakikat kehidupan. Inilah kiranya maksud Kierkegard ketika dia bersabda:


"Siapa saja yang telah belajar untuk cemas (anxious) dengan cara yang benar,

maka sejatinya dia telah mencapai (kebenaran-kebenaran) yang puncak."

Anda mungkin juga menyukai