11190700000123 / 2B
Resume Materi 11
(Pertemuan Ke-12 : Filsafat Eksistensialisme)
Sartre menggambarkan filsafatnya dalam satu kalimat pendek dalam Saint Genet, yaitu
“merekonsiliasikan (mendamaikan) subjek dan objek”. Hal ini didorong oleh pengalaman fundamental
Sartre tentang kebebasan diri sebagai subjek dan benda sebagai objek. Berkaitan dengan pengalaman
tantang kebebasan adalah pengalam tentang kesadaran sendiri. Pengalaman ini pun, sejak awal sudah
memperlihatkan pandangan Sartre yang muram. Sartre menggambarkannya dengan “Keberadaan kita
pada dasarnya asalah keberadaan yang ‘terlempar’, tanpa kita sendiri menghendakinya demikian”.
Menurut Sartre, pengalaman tentang kebebasan dan tentang kesadaran diri sendiri bukanlah
pengalaman yang mudah dan mengenakkan. Menurutnya, kebebasan justru mengandung paradoks dan
sekaligus menyesakkan. Kebebasan “dibebankan” kepada kita oleh situasi yang tidak dapat kita pilih dan
tanpa alternatif lain, kita harus menerimanya begitu saja. Selain itu, kebebasan bukanlah sesuatu yang
padat dan mapan yang bisa kita andalkan untuk menjadi sandaran hidup kita, sebaliknya, kebebasan itu
amatlah rapuh dan selamanya berada dalam posisi rentan dan terancam. Ancaman disini, menurutnya
berasal dari benda. Benda mempunyai daya tarik dan daya pikat yang luar biasa besar, yang mampu
menjerat dan menghancurkan kebebasan.
Pengalaman tentang kebebasan dan benda ini yang kemudian mewarnai seluruh pemikiran
Sartre sejak awal hingga akhir karir filsafatnya. Kedua pengalaman ini yang kemudian membawa Sartre
pada pandangan dualistiknya yang terkenal, yaitu dualisme antara ada yang subjektif dan ada yang
objektif, antara pour-soi dan en-soi, dan antara kebebasan dan ada. Dan antagonisme dari kedua
instansi tersebut pulalah yang kemudian diusahakan oleh Sartre untuk direkonsiliasikan dalam
filsafatnya.
Awal dari filsafat Eksistensialisme Sartre ini dimulai dari terbitnya Ada dan Tiada (L’etre et le
neant) pada tahun 1943. Anak judul dari buku ini “Uraian tentang Ontologi Fundamental”, sudah secara
eksplisit menunjukkan tema atau sasaran yang hendak diselidikinya. Pada saat ini, Sartre relatif lebih
siap memecahkan persoalan tentang Ada dan kesadaran bebas, dan menghubungkan kedua hal tersebut
menjadi suatu sintesis baru.
Eksistensialisme Sartre ini menjadi sangat terkenal setelah ceramahnya tentang eksistensialisme
yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku kecil dengan judul Eksistensialisme Adalah Suatu
Humanisme (L’Eexistentialisme est un humanisme) pada tahun 1946. Ceramah itu dimaksudkan sebagai
apologia eksistensialisme dalam menangkal berbagai serangan dari kaum komunis dan gereja katolik.
Ceramah itu pun sekaligus merupakan upaya rekonsiliasi baru antara kebebasan dan Ada, lewat suatu
humanisme. Humanisme eksistensialis bisa dikatakan merupakan suatu bentuk humanisme baru karena
pendiriannya yang sangat khas, yaitu tidak ada universum apapun diluar dari universum manusia.
Sartre tidak percaya ada Tuhan yang bisa merancang kita, jadi dia menolak gagasan bahwa
Tuhan punya tujuan untuk kita. Pisau lipat itu dirancang untuk dipotong. Itulah esensinya, apa yang
membuatnya menjadi apa adanya. Tetapi apa yang dirancang manusia untuk dilakukan? Manusia tidak
memiliki esensi. Kami tidak ada di sini karena suatu alasan, pikirnya. Tidak ada cara khusus kita untuk
menjadi manusia. Manusia dapat memilih apa yang harus dilakukan, menjadi apa. Kita semua bebas.
Tidak seorang pun kecuali Anda dapat memutuskan apa yang Anda buat dalam hidup Anda. Jika Anda
membiarkan orang lain memutuskan bagaimana Anda hidup, itu, sekali lagi, sebuah pilihan. Itu akan
menjadi pilihan untuk menjadi tipe orang yang Anda harapkan.
Tema penting lain dari eksistensialisme adalah absurditas keberadaan kita. Kehidupan tidak
memiliki arti sama sekali sampai kita memberikan makna dengan membuat pilihan, dan kemudian
sebelum kematian terlalu lama datang dan menghilangkan semua makna yang bisa kita berikan. Versi
Sartre tentang ini, menggambarkan manusia sebagai ‘gairah yang tidak berguna’: tidak ada gunanya bagi
keberadaan kita sama sekali. Hanya ada makna yang masing-masing kita ciptakan melalui pilihan kita.
Albert Camus adalah seorang novelis dan filsuf yang juga terkait dengan eksistensialisme,
menggunakan mitos Yunani tentang Sisyphus untuk menjelaskan absurditas manusia. Hukuman
Sisyphus karena menipu para dewa adalah ia harus menggulingkan batu besar ke puncak gunung. Ketika
dia mencapai puncak, batu itu berguling ke bawah dan dia harus mulai dari bawah sekali lagi. Sisyphus
harus melakukan ini lagi dan lagi selamanya.
Menurut Camus, kehidupan manusia seperti tugas Sisyphus karena sama sekali tidak berarti.
Tidak ada gunanya, tidak ada jawaban yang akan menjelaskan semuanya. Itu tidak masuk akal. Tapi
Camus tidak berpikir kita harus putus asa. Kita seharusnya tidak bunuh diri. Sebaliknya, kita harus
mengakui bahwa Sisyphus bahagia. Kenapa dia senang? Karena ada sesuatu tentang perjuangan sia-sia
menggulung batu besar ke atas gunung yang membuat hidupnya layak untuk dijalani.