Anda di halaman 1dari 12

PEMBAGIAN TEOSOFI tentang AZAS MANUSIA1

Sanskerta Makna Eksoteris

(a) Rupa (Sthula- Sarira) (a). Badan Fisik

(b) Prana (b). Hidup, Vitalitas

(c). Linga- sarira (c). Kembaran Eteris

(d) Kama-rupa (d). Nafsu Hewani

(e) Manas- azas ganda


dalam fungsinya (e). Pikiran, Inteligensi

(f) Buddhi (f). Jiwa Spiritual

(g) Atma (g). Roh, Kesadaran

TENTANG BERBAGAI KONDISI SETELAH KEMATIAN

MANUSIA FISIK DAN MANUSIA SPIRITUAL

TANYA: Saya gembira mendengar anda percaya akan kekekalan Jiwa.

JAWAB: Bukan ‘Jiwa’, tetapi Kesadaran ilahi; atau lebih tepatnya kekekalan Ego yang ber-
reinkarnasi (Reincarnating Ego).

TANYA: Apa perbedaannya?

1
Lihat H.P. Blavatsky, The Secret Doctrine, Vol. I, Cosmogenesis, Pasadena, California: Theosophical
University Press, Centennial Edition, 1988, hal. 153, 157; Bdk. “Septenary Principle in Esotericism”
(H.P. Blavatsky) dlm Five Years of Theosophy, Los Angeles, California: The Theosophy Company, 1980,
hal. 185-197.
JAWAB: Sebuah perbedaan sangat besar dalam filsafat teosofi, tetapi ini adalah sebuah
pertanyaan terlalu rumit dan sukar untuk dibahas secara ringan. Kita harus menganalisisnya
secara terpisah, dan kemudian menghubungkannya.
Kita berkata bahwa Kesadaran (‘Sang Bapa di tempat rahasia’) atau Ātman, bukanlah milik
individual setiap orang, tetapi adalah esensi Ilahi yang tidak memiliki tubuh, bentuk, yang tidak
dapat dipikirkan, tidak terlihat serta tidak terbagi, yang tidak ‘mengada’, namun ‘ada’, seperti
yang dikatakan kaum Buddhis tentang Nirwana. Ātman ini membayangi manusia fana; yang
masuk ke dalam diri dan penyebar ke seluruh tubuh hanya sebagai sinar-sinar, atau cahaya yang
hadir dimana-mana, memancar lewat Buddhi, sebagai kendaraan dan emanasi langsungnya. Ini
adalah makna tersembunyi pernyataan-pernyataan hampir semua filsuf kuno, ketika mereka
berkata bahwa ‘bagian rasional jiwa manusia’ tidak pernah masuk seluruhnya ke dalam diri
manusia, tetapi lebih-kurang hanya membayanginya lewat Jiwa spiritual yang ‘irasional’
(Buddhi).

TANYA: Saya bekerja dengan kesan bahwa hanya ‘Jiwa Hewani’ yang irasional, bukan yang Ilahi.

JAWAB: Anda harus belajar membedakan antara yang irasional ‘secara negatif’ atau ‘pasif’,
karena belum terdiferensiasi, dan yang irasional karena ‘terlalu’ aktif dan positif. Manusia adalah
sebuah korelasi atau hubungan kekuatan-kekuatan spiritual, juga sebagai sebuah korelasi daya-
daya fisik dan kimiawi yang menjadi berfungsi melalui apa yang kita sebut ‘azas-azas’.

TANYA: Saya telah membaca banyak tentang pokok persoalaan ini, dan tampaknya pengertian
filsuf-filsuf lebih kuno sangat berbeda dari para ahli Kabbalah Abad Pertengahan, walaupun ada
kesamaan pendapat dalam beberapa hal khusus.

JAWAB: Perbedaan paling substansial antara mereka dan kita adalah ini. Bersama para filsuf
Neo-Platonis dan Ajaran Timur kita percaya bahwa ‘Roh’ (Ātma) tidak pernah turun (involusi)
secara substansial ke dalam diri manusia yang hidup, tetapi hanya kurang-lebih mencurahkan
sinarnya pada manusia ‘batin’ (unsur spiritual dan psikis azas ‘astral’), melepaskan dirinya dari
lautan cahaya dan Kesadaran Universal, masuk ke dalam Jiwa manusia, di mana ia tinggal
sepanjang hidup yang terpenjara dalam badan astral.

TANYA: Dan apa yang anda katakan?

JAWAB: Kita berkata bahwa kita hanya memperkenankan kehadiran pancaran Roh/Kesadaran
(Ātma) dalam kapsul astral, dan sepanjang hanya sebagai pancaran kesadaran spiritual yang
dipersoalkan. Kita berkata bahwa manusia dan sang Jiwa harus menaklukkan kefanaannya
dengan mendaki ke arah kesatuan dan, jika berhasil, mereka akhirnya akan dihubungkan dan
masuk ke dalam sesuatu yang mereka akhirnya, akan diserap. Proses individualisasi manusia
setelah kematian tergantung pada kesadaran, bukan pada jiwa dan tubuhnya. Walaupun kata
‘Personalitas’, dalam arti yang biasanya dimengerti, merupakan sebuah absurditas jika
diterapkan secara harafiah pada esensi kita yang kekal, dan esensi ini sebagai Ego individual,
adalah sebuah entitas berbeda, kekal dan abadi, ‘pada dirinya sendiri’. “Hanya pada kasus magi-
hitam atau para kriminal yang tidak dapat diselamatkan, para kriminal yang telah berlaku
demikian sepanjang serangkaian hidup-hidup yang panjang” – bahwa benang cahaya, yang
menghubungkan kesadaran dengan jiwa ‘personal’ dari saat kelahiran sang anak, benang ini
diputuskan secara keras, dan entitas tanpa tubuh menjadi terpisah dari jiwa personal, dan jiwa
personal ini dihancurkan tanpa meninggalkan sedikitpun kesan. Jika kesatuan antara yang
bawah atau Pikiran (Manas) personal dan Ego individual yang ber-reinkarnasi (Reincarnating
Ego) tidak terjadi semasa hidup, maka Pikiran personal akan mengalami nasib seperti hewan-
hewan lebih rendah, yang secara berangsur-angsur larut dalam eter dan personalitasnya
dihancurkan. Namun setelah itu sang Ego tetap hidup sebagai makhluk yang berbeda. Ego
spiritual hanya kehilangan satu kondisi surgawi (Devachanic) – setelah satu kehidupan spesial,
yang dalam kasus ini adalah hidup sia-sia – seperti ‘Personalitas’ yang diidealkan, dan hampir
segera ber-reinkarnasi, setelah menikmati sesaat kebebasannya sebagai sebuah kesadaran
planeter.

TANYA: Dalam buku Isis Unveiled (H.P. Blavatsky) dinyatakan bahwa Kesadaran/Roh planeter
atau Malaikat-malaikat, “dewa-dewa kaum Pagan atau Malaikat-malaikatnya kaum Kristiani”,
tidak akan pernah menjadi manusia di planet kita ini.

JAWAB: Sangat benar. Bukan ‘demikian’, tetapi beberapa kelompok Kesadaran/Roh Planeter.
Mereka tidak akan pernah menjadi manusia di planet ini, karena mereka adalah Kesadaran/Roh
yang sudah bebas dari dunia sebelumnya, dan dengan demikian mereka tidak dapat menjelma
lagi menjadi manusia di dunia ini. Namun semuanya ini akan hidup lagi di Mahā-Manvantara
berikut yang lebih tinggi, setelah ‘Zaman besar’ ini, dan masa pralaya Brahmā (sebuah masa
dengan 16 angka) berakhir. Karena anda pasti sudah mendengar, tentunya, bahwa filsafat Timur
mengajarkan kita bahwa umat manusia terdiri dari ‘Kesadaran/Roh’ demikian yang terpenjara
dalam badan manusia? Perbedaan antara manusia dan hewan adalah ini: hewan diberikan ‘azas-
azas’ ‘secara potensial’, sedangkan manusia diberikan ‘secara aktual’. Apakah anda mengerti
perbedaannya sekarang?

TANYA: Ya; tetapi spesialisasi ini di segala zaman telah menjadi batu-sandungan bagi para ahli
metafisika.
JAWAB: Memang demikian. Seluruh esoterisme filsafat Buddhisme didasarkan pada ajaran
misteri ini. Bahkan para metafisikawan juga cenderung mengacaukan sebab dengan akibat.
Rupa, (Sthula- b. Badan fisik
Sebuah Ego yang telah memenangkan hidup kekal sebagai kesadaran akan tetap tinggal sebagai Kend
pribadi batin sepanjang seluruh reinkarnasi-reinkarnasinya di bumi; tetapi ini tidak
sarira).
mengimplikasikan secara niscaya bahwa dia harus tetap sebagai Tuan Smith atau Tuan Brown azas-
ketika ia berada di bumi, atau kehilangan individualitasnya. Karena itu, jiwa astral dan badan
Prana. b. Hidup, vitalitas
fisik manusia dapat, dalam kegelapan alam baka, terserap ke dalam lautan kosmis unsur-unsur b.
yang tersublimasi, dan tidak lagi merasakan Ego ‘personal’nya terakhir (jika ia tidak berhak naik
Linga-sarira. c.Badan astral
lebih tinggi), dan Ego ‘ilahi’ masih tetap sama sebagai entitas tak berubah, walaupun pengalaman
emanasinya di dunia ini dapat dilenyapkan secara total pada saat pemisahan dari kendaraan atau
Kama-rupa.
wahana yang tidak bernilai. d.Nafsu-nafsu hewani.
Manas- azas e.Pikiran, inteligensi:
TANYA: Jika ‘Roh/Kesadaran’ atau bagian ilahi sang jiwa, berpra-eksistensi sebagai seorang
makhluk berbeda dari segala keabadian, seperti diajarkan oleh Origen, Synesius, serta filsuf-filsuf
ganda dlm f.Jiwa Kesadaranual.
lain, dan jika memang sama, dan tidak lebih dari jiwa objektif secara metafisik, bagaimana ia
dapat menjadi sebaliknya dari yang abadi? Dan masalahnya dalam kasus-kasus demikian adalah
fungsinya. g. Kesadaran/Kesadaran
apakah manusia menjalankan hidup yang suci atau sebagai seekor hewan, jika melakukan apa
yang ia mau, ia tidak akan pernah kehilangan individualitasnya?
Buddhi.
JAWAB: Ajaran ini, seperti yang telah anda nyatakan, adalah sama jahatnya dalam akibat-
Atma. akibatnya seperti penebusan dosa untuk orang lain. Seandainya dogma penebusan ini, disertai
dengan ide keliru bahwa kita semua adalah abadi, telah ditunjukkan kepada dunia dalam
cahayanya yang sejati, umat manusia akan sudah menjadi lebih baik lewat penyebarannya.
Saya ulangi lagi untuk anda. Pythagoras, Plato, Timaeus dari Locri, serta Mazhab Aleksandria
kuno, mengasalkan ‘Jiwa’ manusia (atau ‘azas-azas’nya dan sifat-sifat lebih tinggi) dari Jiwa
Dunia Universal, yang belakangan ini, menurut ajaran-ajaran mereka adalah, Aether (Pater
Zeus). Karena itu, ‘azas-azas’ ini tidak dapat menjadi esensi tidak tercampur dari Monas nya
Pythagoras, atau Ātma-Buddhi, karena ‘Jiwa-Dunia’ (Anima Mundi) hanya merupakan akibat,
emanasi subjektif atau lebih sebagai pancaran dari Ātma-Buddhi. Keduanya, Kesadaran
‘manusia’ (atau individualitas), Reincarnating Ego spiritual, dan Buddhi, jiwa Spiritual, adalah
bersifat pra-eksistensi.

TANYA: Apakah anda akan menyebut sang Jiwa, yakni, Jiwa pikiran manusia atau apa yang anda
sebut Ego – materi?

JAWAB: Bukan materi, tetapi yang pasti ‘substansi’; kata ‘materi’, jika diawali dengan kata sifat,
‘primordial’, tidak akan menjadi kata yang harus dihindarkan. Kita berkata bahwa materi ini,
adalah sama kekalnya dengan Kesadaran, dan bukanlah materi yang kelihatan, nyata, dan
terbagi, tetapi adalah sublimasi ekstremnya. Roh/Kesadaran murni hanyalah satu dilepaskan dari
bukan-Kesadaran atau ‘keseluruhan’ absolut. Kecuali anda mengakui bahwa manusia berevolusi
dari Kesadaran-materi primordial ini, serta mewakili sebuah skala progresif ‘azas-azas’ dari
meta-Kesadaran turun sampai ke materi paling kasar, bagaimana kita dapat menganggap
‘manusia batin’ (inner man) sebagai abadi, serta sekaligus juga sebagai Entitas spiritual dan
manusia fana?

TANYA: Lalu kenapa anda tidak percaya Tuhan sebagai Entitas demikian?

JAWAB: Karena yang tidak terbatas dan tidak terkondisi tidak dapat memiliki bentuk, dan tidak
dapat menjadi sebuah ada. Sebuah ‘entitas’ adalah kekal, namun hanya demikian dalam esensi
tertingginya, bukan dalam bentuk individualnya. Ketika pada titik akhir siklusnya, ia akan
terserap ke dalam kodrat primordialnya; dan menjadi roh/kesadaran, ketika ia kehilangan
sebutannya sebagai Entitas.
Keabadiannya sebagai sebuah bentuk hanya terbatas pada siklus kehidupannya
(Manvanvantara); setelah mana ia adalah satu dan identik dengan Kesadaran Universal, dan
tidak lagi sebagai sebuah Entitas terpisah. Mengenai Jiwa ‘personal’ – kita maksudkan sebagai
percikan kesadaran yang menjaga ide ‘Saya’ personal dari inkarnasi terakhir di dalam Ego
Spiritual – ini berakhir, sebagai ingatan jelas yang terpisah, hanya sepanjang masa surgawi
(Devachanic); setelah mana ditambahkan pada serangkaian inkarnasi-inkarnasi Ego yang tidak
terhitung, seperti ingatan akan sehari dari serangkaian hari-hari, di akhir sebuah tahun dalam
memori kita. Apakah anda akan mengikat Tuhan mu yang dinyatakan tidak terbatas pada
kondisi-kondisi terbatas? Hanya yang dipererat oleh Ātma (yakni, Buddhi-Manas) dan tidak
terpecahkan itu yang kekal. Jiwa manusia (personalitas) pada dirinya sendiri adalah tidak abadi,
kekal ataupun ilahi. Dalam kitab Zohar (I, 65c, 66a) dikatakan, “persis seperti sang jiwa, bila
dikirim ke bumi, mengenakan jubah bumi untuk menjaga dirinya di sini, jadi ia mendapat sebuah
jubah bercahaya di atas, agar dapat melihat ke dalam cermin tanpa terluka, yang cahayanya
berasal dari Sumbernya Cahaya.” Lagi pula, Zohar mengajarkan bahwa jiwa manusia tidak dapat
mencapai tempat kebahagiaan kecuali ia menerima ‘ciuman suci’ atau penyatuan kembali sang
jiwa ‘dengan substansi dari mana ia dialirkan’ – yakni: ‘roh/kesadaran’ (Zohar, II,97 a; I,168 a).
Semua jiwa-jiwa adalah ganda, dan sementara sang jiwa adalah azas feminin, kesadaran adalah
azas maskulin. Selagi terpenjara di dalam tubuh, manusia adalah sebuah trinitas, kecuali
polusinya sudah sedemikian rupa sehingga menyebabkan pemisahan dari kesadaran.
“Terkutuklah jiwa yang lebih menyukai hubungan perkawinan duniawi dengan tubuh duniawi
dari pada suami ilahinya (kesadaran),” demikian catatan teks the Book of the Keys, sebuah karya
filsafat Hermetis. Benar-benar terkutuk, karena tidak ada personalitas yang tertinggal yang akan
dicatat di dalam buku abadi ingatan sang Ego.
TANYA: Bagaimana mungkin apa yang, jika tidak ditiupkan oleh Tuhan ke dalam manusia,
namun adalah berdasarkan pengakuan anda sendiri tentang kesamaan substansi dengan yang
ilahi, gagal menjadi abadi?

JAWAB: Setiap atom dan titik materi, bukan substansi saja, adalah ‘kekal’ dalam esensinya, tetapi
tidak dalam ‘kesadaran individualnya’. Keabadian hanyalah merupakan kesinambungan
kesadaran seseorang; dan kesadaran ‘personal’ tidak dapat bertahan lebih lama dari personalitas
itu sendiri, benar tidak? Dan kesadaran demikian bertahan selama di alam Devachan, setelah itu
ia akan terserap kembali, pertama, ke dalam kesadaran individual, dan kemudian ke dalam
kesadaran universal.

TENTANG PAHALA DAN HUKUMAN KEKAL; DAN NIRWANA

TANYA: Saya kira, sangat tidaklah niscaya, untuk bertanya kepada anda apakah anda percaya
pada dogma-dogma Kristen tentang Surga dan Neraka, atau pahala serta hukuman di masa
depan seperti diajarkan oleh Gereja Ortodoks?

JAWAB: Seperti dijelaskan dalam katekismus anda, kita menolaknya secara absolut; paling tidak
kita akan menerima keabadiannya. Tetapi kita percaya dengan mantap apa yang kami sebut
‘Hukum Retribusi’, dan percaya pada keadilan mutlak serta kearifan yang mengatur Hukum ini
(Karma). Karenanya, secara positif kita menolak untuk menerima kepercayaan kejam dan tidak
filosofis tentang pahala dan hukuman yang kekal.

TANYA: Apakah anda punya alasan-alasan lain bagi penolakan dogma ini?

JAWAB: Alasan utama kami terletak pada fakta reinkarnasi. Seperti telah dinyatakan, kita
menolak ide bahwa satu jiwa baru diciptakan untuk setiap bayi yang baru lahir. Kita percaya
bahwa setiap manusia adalah wadah atau ‘kendaraan’, dari sebuah Ego yang setua dengan setiap
Ego lainnya; karena semua Ego-Ego berasal dari ‘esensi yang sama’ dan termasuk emanasi awal
dari satu ‘Ego universal’ tidak terbatas. Plato menyebut yang kedua sebagai Logos (atau Tuhan
yang bermanifestasi); dan kita, menyebutnya sebagai azas ilahi yang bermanifestasi, yang adalah
satu dengan pikiran atau jiwa universal, bukan Tuhan antropomorfis, ekstra-kosmis, dan
personal di mana banyak kaum Teis percaya.

TANYA: Tetapi di mana kesulitannya, sekali anda menerima satu azas yang bermanifestasi,
dengan percaya bahwa jiwa setiap manusia yang lahir ‘diciptakan’ oleh Azas tersebut, seperti
semua jiwa sebelum mereka diciptakan?
JAWAB: Karena apa yang tidak personal (impersonal) tidak dapat mencipta, membuat rencana,
dan berpikir, dengan kehendak dan kesenangannya sendiri. Sebagai sebuah Hukum universal,
tidak berubah dalam manifestasi berkalanya (periodik), yang memancarkan dan
memanifestasikan esensinya sendiri pada awal dari setiap siklus hidup baru, Ia tidak diandaikan
untuk menciptakan manusia-manusia, dan menyesal beberapa tahun kemudian karena telah
menciptakan mereka. Jika kita harus percaya pada satu azas ilahi, pastilah ia adalah satu azas
seperti keselarasan, logika, dan keadilan absolut karena itu adalah kasih, kearifan, serta
kenetralan absolut; dan satu Tuhan yang akan mencipta setiap jiwa untuk satu jangka waktu
hidup yang singkat, terlepas dari fakta apakah ia harus menghidupkan tubuh seorang kaya, orang
yang bahagia, atau orang miskin yang menderita, tidak beruntung dari dari lahir sampai mati
walaupun ia tidak melakukan apapun untuk pantas menerima nasib kejam ini – akan lebih
menjadi iblis/setan bodoh daripada seorang Tuhan. Lalu, kenapa bahkan filsuf-filsuf Yahudi,
para penganut Injil Perjanjian Lama (secara esoteris, tentunya), tidak pernah memiliki ide
demikian; dan tambahan lagi, mereka percaya reinkarnasi seperti kita.

TANYA: Dapatkah anda memberikan beberapa contoh sebagai bukti?

JAWAB: Sudah pasti saya bisa. Philo-Judaeus berkata (dalam De Somniis, I, 22): “Udara penuh
oleh mereka (jiwa-jiwa); yang paling dekat dengan bumi, turun untuk dicoba dalam tubuh-tubuh
fana, kembali ke tubuh-tubuh lain, karena ingin hidup di dalam tubuh-tubuh tersebut”. Di dalam
Zohar, sang jiwa meminta kebebasannya di depan Tuhan: “Penguasa Alam Semesta! Saya
bahagia di dunia ini, tidak ingin pergi ke dunia lain, di mana saya akan menjadi budak belian, dan
terbuka terhadap semua jenis polusi (Zohar II, 96a, Amst, ed). Ajaran tentang keniscayaan fatal,
hukum tetap yang abadi, dinyatakan dalam jawaban yang Ilahi: “Melawan kehendakmu engkau
menjadi sebuah embrio, dan melawan kehendakmu engkau dilahirkan” (Mishna Pirke Aboth IV,
Ch. 29). Cahaya tidak akan dimengerti tanpa kegelapan untuk membuatnya berwujud lewat
kontras; kebaikan tidak lagi menjadi kebaikan tanpa kejahatan untuk menunjukkan kodrat
anugerah yang tidak ternilai; dan menjadi kebajikan personal tidak dapat mengklaim jasa atau
kebaikan kecuali telah melalui tungku-api cobaan. Tidak ada yang kekal dan tidak berubah,
kecuali Keilahian Tersembunyi. Tidak ada yang terbatas – apakah karena ia memiliki sebuah
awal, atau harus memiliki sebuah akhir – dapat tetap tidak berubah. Ia harus maju atau mundur;
dan jiwa yang haus akan penyatuan kembali dengan kesadarannya, yang hanya memberikan
keabadian, harus memurnikan dirinya lewat perpindahan siklis ke depan ke arah satu-satunya
tanah kebahagiaan dan istirahat abadi, yang disebut dalam Zohar, ‘Istana Kasih’, dalam agama
Hindu, moksha; dan dalam ajaran Gnostik, ‘Pleroma Cahaya Abadi’; dan bagi orang Buddhis,
“Nirwana”. Semua kondisi-kondisi ini adalah bersifat sementara, bukan abadi.
TANYA: Namun tidak ada pembicaraan tentang reinkarnasi dalam semua ini.

JAWAB: Jiwa yang minta diperbolehkan tinggal di mana ia berada, ‘haruslah bersifat pra-
eksisten’, dan bukan telah diciptakan untuk alasan itu. Dalam Zohar (III, 61 c), bagaimanapun
juga, ada sebuah bukti lebih baik. Berbicara tentang Reincarnating Egos (jiwa-jiwa ‘rasional’),
mereka yang personalitas terakhirnya harus dilenyapkan ‘seluruhnya’, dikatakan: “Semua jiwa-
jiwa yang telah mengasingkan diri mereka dari yang Maha-Suci – terberkatilah Namanya – telah
melemparkan dirinya ke dalam jurang pada eksistensi mereka sendiri, dan telah mengantisipasi
waktunya kapan mereka harus turun sekali lagi ke bumi”. ‘Yang Maha-Suci’ di sini secara esoteris,
berarti sang Atman atau Atma-Buddhi.

TANYA: Lagipula, sangatlah aneh menemukan Nirwana dibicarakan sebagai sesuatu yang identik
dengan Kerajaan Surga, atau Taman Firdaus, karena menurut setiap Orientalis terkemuka
Nirwana adalah identik dengan penghancuran atau penghapusan!

JAWAB: Dilihat secara harafiah, ini berhubungan dengan personalitas dan materi yang
berdiferensiasi, bukan sebaliknya. Ide-ide tentang reinkarnasi serta trinitas manusia dianut oleh
banyak Bapak Gereja sebelumnya. Jiwa personal tentunya, harus terurai ke dalam partikel-
partikelnya, sebelum ia mampu menghubungkan esensinya yang lebih murni dengan kesadaran
abadi untuk selama-lamanya. Dalam filsafat Buddhis ‘penghapusan’ (Annihilation) berarti
hanyalah pembubaran materi, dalam bentuk atau kemiripan apapun yang mungkin, karena
segala sesuatu yang memiliki bentuk adalah sementara, dan karena itu, sesungguhnya adalah
sebuah ilusi. Karena dalam keabadian masa waktu terpanjang adalah seperti sekejab mata.
Demikian juga dengan bentuk. Sebelum kita punya waktu untuk menyadari bahwa kita telah
melihatnya, ia menghilang seperti kilatan petir yang seketika, dan lewat selama-lamanya. Ketika
entitas yang Spiritual, melepaskan diri selama-lamanya dari setiap partikel materi, substansi atau
bentuk, dan menjadi sebuah napas Spiritual: barulah kemudian ia dapat masuk ke dalam
Nirwana yang kekal dan tak berubah, bertahan selama siklus kehidupan berakhir – sesungguhnya
sebuah keabadian. Dan kemudian ‘Napas’ tersebut, bereksistensi ‘dalam’ ‘Kesadaran’ adalah
‘kosong’ karena ia adalah ‘semua’; sebagai sebuah bentuk, kemiripan, rupa, itu sama sekali
dihapuskan; sebagai Kesadaran absolut ia masih ‘ada’, karena ia telah menjadi ‘Ada-nya’ itu
sendiri. Kata-kata yang dipakai, ‘terserap dalam esensi universal’, apabila berbicara tentang ‘Jiwa’
sebagai Kesadaran, berarti ‘bersatu dengan’. Itu tidak akan pernah berarti penghancuran, karena
itu akan berarti pemisahan abadi.

TANYA: Tidakkah anda membuka diri anda terhadap tuduhan mengkotbahkan ‘penghancuran’
(annihilation) dengan bahasa anda sendiri? Anda baru saja berbicara tentang Jiwa manusia yang
kembali ke unsur-unsur primordialnya.
JAWAB: Tetapi anda lupa bahwa saya telah memberikan anda perbedaan antara berbagai makna
kata ‘Jiwa’, serta menunjukkan cara yang keliru dalam menerjemahkan istilah ‘Roh/Kesadaran’.
Kita berbicara tentang perbedaan antara jiwa hewani, jiwa manusiawi dan jiwa spiritual. Plato
misalnya, menamakan ‘Jiwa rasional’ apa yang kita sebut Buddhi, namun menambahkan kata
sifat ‘spiritual’; tetapi apa yang kita sebut Reincarnating Ego, Manas, ia menyebutnya sebagai
Roh, Nous, dll., sementara kita menggunakan kata ‘Kesadaran/Roh’, apabila berdiri sendiri dan
tanpa kualifikasi apapun, hanya pada Atma. Pythagoras mengulangi ajaran kita ketika
menyatakan bahwa sang Ego (Nous) adalah kekal dengan yang Ilahi; bahwa sang jiwa hanya
lewat melalui berbagai tahap untuk mencapai keunggulan ilahi; sedangkan thumos kembali ke
bumi, dan bahkan phren, Manas rendah, dihapuskan. Sekali lagi, Plato mendefinisikan Jiwa
(Buddhi) sebagai “gerak yang dapat menggerakkan dirinya sendiri”. ‘Jiwa’, ia menambahkan,
“adalah hal yang paling kuno dari segala hal dan permulaan dari gerak,” karenanya menyebut
Atma-Buddhi sebagai ‘Jiwa’ dan Manas sebagai ‘Roh/Kesadaran’, namun kita tidak menyebutnya
demikian.
“Jiwa sudah ada sebelum tubuh, dan tubuh adalah sesudahnya dan sekunder, sebagai ada menurut
alam, diatur oleh sang jiwa.” Jiwa yang mengurus semua hal yang bergerak dalam setiap cara, juga
mengurus surga-surga.”

Kemudian sang Jiwa membimbing semua hal di dalam surga, dan di bumi, serta di dalam laut,
lewat gerakan-gerakannya – nama-namanya adalah menghendaki, mempertimbangkan,
berkonsultasi, berpendapat, benar dan salah, berada dalam keadaan suka-cita, dukacita, rasa
percaya, takut, benci, kasih, bersama-sama dengan segala gerakan-gerakan primer demikian
seperti yang disatukan dengan hal-hal ini… Sebagai sang dewi itu sendiri, ia selalu mengambil
Nous, seorang dewa sebagai sekutu dan mengatur semua benda-benda dengan benar dan
bahagia; tetapi ketika bersama Anoia – bukan nous – semua berjalan sebaliknya.
Dalam bahasa ini, seperti dalam teks-teks Buddhisme, yang negatif diperlakukan sebagai
eksistensi esensial. Penghapusan atau penghancuran datang dari tafsir yang serupa. Kondisi
positif adalah ada yang esensial, tetapi tidak ada manifestasi. Ketika roh/kesadaran, dalam
bahasa Buddhisnya, memasuki Nirwana, ia kehilangan eksistensi objektif, namun ada subjektif
tetap bertahan. Bagi pikiran objektif ini adalah proses menjadi ‘ketiadaan atau kekosongan’
absolut; bagi pikiran subjektif, KETIADAAN, tidak ada yang ditunjukkan pada indera. Karena itu,
Nirvana berarti kepastian akan kekekalan individual ‘dalam kesadaran’, bukan dalam Jiwa,
walaupun “yang paling awal/kuno dari segala hal,” - bersama-sama dengan semua ‘Tuhan-tuhan
lainnya, - masih merupakan emanasi terbatas, dalam bentuk-bentuk dan individualitas, jika
bukan dalam substansi.

TENTANG BERBAGAI AZAS DALAM DIRI MANUSIA


TANYA: Saya telah mendengar banyak tentang konstitusi “manusia batin” seperti yang anda
sebut, tetapi tidak pernah mengetahui “ seperti mana kepala dan mana ekornya” seperti
diungkapkan oleh Gabalis.

JAWAB: Tentu saja, itu sangat sukar, dan seperti anda katakan, bingung untuk mengerti dengan
benar dan membedakan antara berbagai ‘aspek’, yang kita sebut ‘azas’ dari sang Ego sejati. Itu
lebih-lebih lagi demikian karena ada sebuah perbedaan khusus dalam penomeran azas-azas
tersebut oleh berbagai aliran Timur, walaupun pada dasarnya terdapat alas (substratum) ajaran
yang sama.

TANYA: Apakah yang anda maksudkan adalah para pengikut ajaran Vedanta, misalnya?
Bukankah mereka membagi ketujuh ‘azas’ ke dalam lima azas saja?

JAWAB: Benar; tetapi walaupun saya tidak ingin berdebat tentang masalah ini dengan seorang
ahli Vedanta, saya masih dapat menyatakan sebagai pendapat pribadi saya bahwa mereka
memiliki alasan yang jelas untuk itu. Bagi mereka ‘Manusia’ itu hanyalah merupakan kumpulan
senyawa spiritual yang terdiri dari berbagai aspek mental, sedangkan badan fisik dalam
pandangan mereka adalah sesuatu yang rendah dan semata-mata hanya sebuah ‘ilusi’. Vedanta
bukanlah satu-satunya filsafat yang berurusan dengan hal ini. Dalam Tao-te-Ching, Lao-Tze,
hanya menyebutkan lima azas, karena seperti penganut Vedanta, dia tidak memasukkan kedua
azas, yakni, Roh (Atma) dan badan fisik, karena badan fisik ini disebutnya sebagai “bangkai.”
Lalu ada Aliran Taraka-Raja-Yoga. Ajarannya sesungguhnya hanya mengakui tiga ‘azas’; dalam
realitasnya, yakni: Badan fisik (Sthulopadhi), dalam kondisi kesadaran bangun; Sukshmopadhi,
badan yang sama dalam kondisi kesadaran mimpi (Svapna); dan ‘Badan Kausal’ (Karanopadhi)
atau yang diwariskan dari satu inkarnasi ke inkarnasi lain, semuanya memiliki aspek ganda dan
jumlahnya menjadi enam. Tambahkan Atma, azas ilahi impersonal atau unsur abadi dalam
manusia, tidak berbeda dari Kesadaran/Roh Universal, dan anda akan mendapatkan tujuh azas
yang sama (lihat, The Secret Doctrine, Vol.1, hal.157/209).

TANYA: Jadi tampaknya hampir sama dengan pembagian yang dibuat para mistik Kristen:
tubuh, jiwa dan roh?

JAWAB: Ya sama. Kita dapat dengan mudah membuat badan fisik sebagai kendaraan dari ‘badan
Kembaran/Eteris’ (Etheric Double); badan kembaran ini menjadi kendaraan dari Daya Hidup
(Prana); jiwa hewani (Kama-rupa), sebagai kendaraan dari Manas ‘rendah’ dan ‘tinggi’, dan
semuanya menjadi enam azas, berpuncak pada satu roh/kesadaran abadi. Dalam Okultisme
setiap perubahan kualifikatif dalam kondisi kesadaran kita memberi manusia sebuah aspek baru,
dan jika berhasil dan menjadi bagian dari Ego yang hidup dan bertindak, harus diberikan sebuah
nama khusus, untuk membedakan manusia dalam kondisi khusus itu dengan manusia ketika ia
berada dalam kondisi yang lain.

TANYA: Ya, itulah persisnya hal yang begitu sukar dimengerti.

JAWAB: Sebaliknya, bagi saya hal ini tampaknya sangat mudah, sekali anda sudah memegang ide
utamanya, yakni bahwa manusia bertindak pada kawasan kesadaran ini atau yang lain, secara
ketat mengikuti kondisi mental dan spiritualnya. Bagilah makhluk bumi yang disebut manusia
menjadi tiga aspek utama, jika anda suka, dan kecuali anda membuatnya sebagai seekor hewan
murni anda tidak dapat berbuat kurang dari itu. Ambillah tubuh objektif nya; azas pikir dalam
dirinya – yang sedikit hanya lebih tinggi daripada unsur insting dalam hewan – atau jiwa sadar
yang vital; dan yang membuatnya jauh melampaui dan lebih tinggi dari hewan – yakni jiwa
rasional atau “roh/kesadaran”. Jadi, jika kita mengambil ketiga kelompok atau entitas-entitas
yang mewakili ini dan membaginya lagi, menurut ajaran okult, apa yang kita dapatkan?
Pertama-tama adalah Roh/ Kesadaran (dalam arti yang Absolut, dan karenanya,
KESELURUHAN yang tidak terbagi), atau Atma. Karena ini tidak dapat ditempatkan dan juga
tidak dapat dibatasi dalam filsafat, semata-mata hanyalah sesuatu yang berada dalam Keabadian,
dan yang tidak dapat absen dari titik geometris atau matematis paling kecilpun dari materi atau
substansi alam-semesta, ini seharusnya sama sekali tidak disebut sebagai azas “manusia”. Lebih
baik dan paling baik, yang dalam Metafisika disebut titik dalam ruang di mana Monad manusia
dan kendaraannya yang dipakai manusia untuk jangka waktu setiap kehidupan. Sekarang titik itu
adalah sama khayal atau imajinernya seperti manusia itu sendiri, dan dalam realitasnya
merupakan sebuah ilusi (maya); tetapi kemudian untuk kita sendiri, seperti juga untuk Ego-Ego
personal lainnya, kita adalah sebuah realitas pada waktu ilusi yang disebut hidup, dan kita harus
memperhitungkan diri kita sendiri, dalam fantasi kita sendiri, jika tak ada orang lain
melakukannya. Untuk membuatnya lebih dipahami oleh intelek manusia, ketika pertama
mencoba belajar Okultisme, serta memecahkan ABCnya misteri manusia, Okultisme menamakan
azas ‘ketujuh’ ini sintesis dari azas ‘keenam’, dan membuatnya sebagai kendaraan bagi Jiwa
‘Spiritual’, Buddhi. Sekarang Buddhi ini menyembunyikan sebuah misteri, yang tidak pernah
diberikan kepada siapapun, kecuali para murid (chelas) yang disumpah atau mereka yang dapat
dipercaya. Jiwa ilahi ini (Buddhi), lalu merupakan kendaraan dari Roh/Kesadaran. Dalam
hubungannya, keduanya adalah satu, tidak personal dan tanpa sifat-sifat apapun (tentunya pada
kawasan ini), dan membuatnya menjadi dua azas spiritual. Jika kita teruskan sampai pada Jiwa
‘Manusia’, Manas, setiap orang akan setuju bahwa inteligensi manusia paling sedikit adalah
‘ganda’: misalnya, orang berpikiran tinggi sulit untuk menjadi orang berpikiran rendah; orang
dengan pikiran intelektual dan spiritual dipisahkan oleh sebuah jurang dengan orang yang
bodoh, tumpul, dan materialis, jika bukan manusia berpikiran hewan.
TANYA: Tetapi mengapa manusia seharusnya tidak diwakili oleh dua azas atau aspek saja?

JAWAB: Setiap manusia memiliki kedua azas ini dalam dirinya, yang satu lebih aktif dari yang
lainnya, dan dalam kasus-kasus langka salah-satunya sama-sekali terhambat pertumbuhannya,
atau dilumpuhkan oleh kekuatan serta dominasi aspek lain, ke arah manapun. Ini, kemudian,
adalah yang kita sebut kedua azas atau aspek Manas, yang tinggi dan yang rendah; Manas tinggi,
atau Ego yang berpikir dan sadar, yang cenderung berat ke arah Jiwa spiritual (Buddhi); dan
Manas rendah, atau azas instingtif, tertarik ke arah Kama, pusat nafsu-nafsu serta keinginan-
keinginan hewani, dalam manusia. Jadi, kita memiliki ‘empat’ azas yang benar; ketiga azas
terakhir adalah: (1) ‘Kembaran’ (Double), yang kita sebut Jiwa Plastis (Protean); kendaraan dari
(2) Prana, ‘prinsip’ hidup; dan (3) badan fisik.

TANYA: Namun apa yang ber-reinkarnasi, dalam kepercayaan anda?

JAWAB: Ego pikir Spiritual, azas permanen dalam diri manusia, atau yang menjadi tempat
dudukan Manas. Ini bukan Atma atau bahkan Atma-Buddhi, dianggap sebagai Monad ganda,
yang merupakan manusia ‘individual’ atau manusia ‘ilahi’, kecuali Manas; karena Atman adalah
KESELURUHAN Universal, dan menjadi DIRI/PRIBADI LUHUR manusia hanya dalam
hubungannya dengan Buddhi, kendaraannya, yang menghubungkanNya dengan individualitas
(manusia ilahi). Karena itu Buddhi-Manas yang disebut ‘Badan Kausal’ (Penyatuan azas kelima
dan keenam), serta merupakan ‘Kesadaran’ yang menghubungkannya dengan setiap personalitas
yang dihuninya di bumi. Karenanya, Jiwa sebagai istilah generik, dalam manusia terdapat tiga
aspek sang Jiwa – yang membumi atau hewani; Jiwa Manusia; dan Jiwa Spiritual; berbicara
secara ketat, ini adalah satu Jiwa dalam ketiga aspeknya. Sekarang dari aspek pertama, tidak ada
yang tertinggal setelah kematian; dari aspek kedua (nous atau Manas) hanya esensi ilahi yang
tetap hidup ‘jika tidak tercemar’, sedangkan aspek ketiga selain bersifat abadi juga ‘secara sadar’
menjadi ilahi, lewat asimilasi Manas tinggi. Untuk jelasnya, kita harus mengatakan beberapa kata
dulu tentang Reinkarnasi.

Anda mungkin juga menyukai