Rahsa atau rasa, merupakan hakikat Dzat (Yang Maha Kuasa) yang
mewujud ke dalam diri manusia. Dzat adalah Yang Maha Tinggi, Yang
Maha Kuasa, Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Urutan dari yang
tertinggi ke yang lebih rendah adalah sebagai berikut;
1.
Dzat (Dzatullah) Tuhan Yang Maha Suci, meretas menjadi;
2.
Kayu Dhaim (Kayyun) Energi Yang Hidup, meretas menjadi;
3.
Cahya atau cahaya (Nurullah), meretas menjadi;
4.
Rahsa atau rasa atau sir (Sirrullah), meretas menjadi ;
5.
Sukma atau ruh (Ruhullah).
No 1 s/d no 5 adalah retasan dari Dzat, Tuhan Yang Maha Kuasa, maka ruh
bersifat abadi, cahaya bersifat mandiri tanpa perlu bahan bakar. Ruh yang
suci yang akan melanjutkan perjalanannya menuju ke haribaan Tuhan,
dan akan melewati alam ruh atau alam barzah, di mana suasana menjadi
jengjem jinem tak ada rasa lapar-haus, emosi, amarah, sakit, sedih, dsb.
Sebelum masuk ke dimensi barzah, ruh melepaskan tali rasa, kemudian
ruh masuk ke dalam dimensi alam barzah menjadi hakikat cahaya tanpa
rasa, dan tanpa karsa. Yang ada hanyalah ketenangan
sejati, manembah kepada gelombang Dzat, lebur dening pangastuti.
KONSEP ARWAH PENASARAN
Sebaliknya ruh yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi, masih
memiliki tali rasa, misalnya rasa penasaran karena masih ada
tanggungjawab di bumi yang belum terselesaikan, atau jalan hidup, atau
hutang yang belum terselesaikan, menyebabkan rasa penasaran. Oleh
karena itu dalam konsep Kejawen dipercaya adanya arwah penasaran,
yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi. Sehingga tak jarang
masuk ke dalam raga orang lain yang masih hidup yang dijadikan sebagai
media komunikasi, karena kenyataan bahwa raganya sendiri telah rusak
dan hancur. Itulah sebabnya mengapa di dalam ajaran Kejawen terdapat
tata cara penyempurnaan arwah (penasaran) tersebut.
JALAN SETAPAK MERAIH KESUCIAN
(Jihad/Perang Baratayudha/Perang Sabil)
Mati penasaran, kebalikan dari mati sempurna. Dalam kajian Kejawen,
mati dalam puncak kesempurnaan adalah
mati moksa atau mosca atau mukswa. Yakni warangka (raga) manjing
curigo (ruh). Raga yang suci, adalah yang tunduk kepada kesucian Dzat
yang terderivasi ke dalam ruh. Ruh suci/roh kudus (ruhul kuddus) sebagai
retasan dari hakikat Dzat, memiliki 20 sifat yang senada dengan 20 sifat
Dzat, misalnya kodrat, iradat, berkehendak, mandiri, abadi, dst.
Sebaliknya, ruh yang tunduk kepada raga hanya akan menjadi budak
nafsu duniawi, sebagaimana sifat hakikat ragawi, yang akan hancur, tidak
abadi, dan destruktif. Menjadi raga yang nista, berbanding terbalik dengan
gelombang Dzat Yang Maha Suci. Oleh karena itu, menjadi tugas utama
manusia, yakni memenangkan perang Baratayudha di Padang Kurusetra,
antara Pendawa (kebaikan yang lahir dari akal budi dan panca indera)
dengan musuhnya Kurawa (nafsu angkara murka). Perang inilah yang
dimaksud pula dalam ajaran Islam sebagai Jihad Fii Sabilillah, bukan
perang antar agama, atau segala bentuk terorisme.
Adapun ajaran untuk menggapai kesucian diri, atau Jihad secara Kejawen,
yakni mengendalikan hawa nafsu, serta menjalankan budi (bebuden) yang
luhur nilai kemanusiannya (habluminannas) yakni: rela (rilo), ikhlas
(legowo), menerima/qonaah (narimo ing pandum), jujur dan benar (temen
lan bener), menjaga kesusilaan (trapsilo) dan jalan hidup yang
mengutamakan budi yang luhur (lakutama). Adalah pitutur sebagai
pengingat-ingat agar supaya manusia selalu eling atau selalu mengingat
Tuhan untuk menjaga kesucian dirinya, seperti dalam falsafah Kejawen
berikut ini:
Jagad bumi alam kabeh sumurupo marang badan, badan sumurupo
marang budi, budi sumurupo marang napsu, napsu sumurupo marang
nyowo, nyowo sumurupo marang rahso, rahso sumurupo marang cahyo,
cahyo sumurupo marang atmo, atmo sumurupo marang ingsun, ingsun
jumeneng pribadi
(Jagad bumi seisinya pahamilah badan, badan pahamilah budi, budi
pahamilah nafsu, nafsu pahamilah nyawa, nyawa pahamilah karsa, karsa
pahamilah rahsa, rahsa pahamilah cahya, cahya pahamilah Yang Hidup,
Yang Hidup pahamilah Aku, Aku berdiri sendiri (Dzat).
Artinya, bahwa manusia sebagai derivasi terakhir yang berasal dari Dzat
Sang Pencipta harus (wajib) memiliki kesadaran mikrokosmis dan
makrokosmis yakni sangkan paraning dumadi serta tunduk, patuh dan
hormat (manembah) kepada Dzat Tuhan Pencipta jagad raya.
Selain kesadaran di atas, untuk menggapai kesucian manusia harus tetap
berada di dalam koridor yang merupakan jalan tembus menuju Yang
Maha Kuasa. Adalah 7 perkara yang harus dicegah, yakni;
1.
Jangan ceroboh, tetapi harus rajin sesuci.
2.
Jangan mengumbar nafsu makan, tetapi makanlah jika sudah merasa
lapar.
3.
Jangan kebanyakan minum, tetapi minum lah jika sudah merasa haus.
4.
Jangan gemar tidur, tetapi tidur lah jika sudah merasa kantuk.
5.
Jangan banyak omong, tetapi bicara lah dengan melihat situasi dan
kondisi.
6.
Jangan mengumbar nafsu seks, kecuali jika sudah merasa sangat
rindu.
7.
Jangan selalu bersenang-senang hati dan hanya demi membuat
senang orang-orang, walaupun sedang memperoleh kesenangan, asal
tidak meninggalkan duga kira.
Demikian pula, di dalam hidup ini jangan sampai kita terlibat dalam 8
perkara berikut;
1.
Mengumbar hawa nafsu.
2.
Mengumbar kesenangan.
3.
Suka bermusuhan dan tindak aniaya.
4.
Berulah yang meresahkan.
5.
Tindakan nista.
6.
Perbuatan dengki hati.
7.
Bermalas-malas dalam berkarya dan bekerja.
8.
Enggan menderita dan prihatin.
Sebab perbuatan yang jahat dan tingkah laku buruk hanya akan menjadi
aral rintangan dalam meraih rencana dan cita-cita, seperti digambarkan
dalam rumus bahasa berikut ini;
1.
Nistapapa; orang nista pasti mendapat kesusahan.
2.
Dhustalara; orang pendusta pasti mendapat sakit lahir atau batin.
3.
Dorasangsara; gemar bertikai pasti mendapat sengsara.
4.
Niayapati; orang aniaya pasti mendapatkan kematian.
PERBUATAN, PASTI MENIMBULKAN RESONANSI
Demikian lah, sebab pada dasarnya perilaku hidup itu ibarat suara yang
kita kumandang akan menimbulkan gema, artinya apapun perbuatan kita
kepada orang lain, sejatinya akan berbalik mengenai diri kita sendiri. Jika
perbuatan kita baik pada orang lain, maka akan menimbulkan gema
berupa kebaikan yang lebih besar yang akan kita dapatkan dari orang
lainnya lagi. Hal ini dapat dipahami sebagaimana dalam peribahasa;
Barang siapa menabur angin, akan menuai badai,
Siapa menanam, akan mengetam,
Barang siapa gemar menolong, akan selalu mendapatkan kemudahan,
Barang siapa gemar sedekah kepada yang susah, rejekinya akan menjadi
lapang.
Orang pelit, pailit
Pemurah hati, mukti
PERILAKU TAPA BRATA
Idealnya, setiap orang sepanjang hidupnya dapat melaksanakan tapa
brata atau mesu-budi, menahan hawa nafsu, yg mempunyai kesamaan
dengan hakikat puasa seperti di bawah ini;
1. Tapa/puasanya badan/raga; harus anoraga; rendah hati; gemar
berbuat baik.
2. Tapa/puasanya hati; nerima apa adanya; qonaah; tak punya
niat/prasangka buruk, tidak iri hati.
3. Tapa/puasanya nafsu; ikhlas dan sabar dalam menerima musibah,
serta memberi maaf kepada orang lain.
4. Tapa/puasanya sukma; jujur.
5. Tapa/puasanya rahsa; mengerem sembarang kemauan, serta kuat
prihatin dan menderita.
6. Tapa/puasanya cahya; eneng-ening; tirakat atau bertapa dalam
keheningan, kebeningan, dan kesucian.
7. Tapa/puasanya hidup (gesang); eling (selalu ingat/sadar makromikrokosmos) dan selalu waspada dari segala perilaku buruk.
Selain itu, anggota badan (raga) juga memiliki tanggungjawab masingmasing sebagai wujud dari hakikat puasa atau tapa brata ;
1. Tapa/puasanya netro/mata; mencegah tidur, dan menutup mata dari
nafsu selalu ingin memiliki/menguasai.
2. Tapa/puasanya karno/telinga; mencegah hawa nafsu, enggan
mendengar yang tak ada manfaatnya atau yang buruk-buruk.
3. Tapa/puasanya grono/hidung; mencegah sikap gemar membau, dan
enggan ngisap-isap keburukan orang lain.
3.
Zamannya kebodohan, dimulai dari sikap malas dan enggan.
4.
Zamannya angkara, dimulai dengan sikap mau menang sendiri
5.
Zamannya sengsara, dimulai dari perilaku yang kacau.
6.
Zamannya penyakit, diawali dari kenyang makan.
7.
Zamannya kecelakaan, diawali dari perbuatan mencelakai orang lain.
Sebaliknya, ganjaraning gesang atau surganya dunia, lebih dari
sekedar kemuliaan hidup itu sendiri, yakni;
1.
Zamannya keberuntungan, awalnya dari sikap hati-hati, tidak
ceroboh.
2.
Zamannya kabrajan, awalnya dari budi luhur dan belas kasih.
3.
Zamannya keluhuran, awalnya dari giat andap asor, sopan santun.
4.
Zamannya kebijaksanaan, awalnya dari telaten bibinau.
5.
Zamannya kesaktian (kasekten), awalnya
dari puruita dan tapabrata.
6.
Zamannya karaharjan (ketentraman-keselamatan), awalnya
dari eling dan waspada.
7.
Zamannya kayuswan (umur panjang), awalnya
sabar, qonaah, narimo, legowo,tapa.
SHALAT/SEMBAHYANG DHAIM
Sebagai tulisan penutup, Sabdalangit berusaha memaparkan garis besar
Tapa Brata, agar supaya mudah diingat dan gampang dicerna bagi para
pembaca yang masih awam tentang ajaran Kejawen.
Selain dipaparkan di atas, sejalan dengan bertambahnya usia,
seyogyanya hidup itu sembari mencari ciptasasmita, tuah atau petunjuk
yang tumbuh jiwa yang matang dan dari dalam lubuk budi yang suci. Pada
dasarnya, tumbuhnya budipekerti (bebuden) yang luhur, berasal dari
tumbuhnya rasa eling, tumbuhnya kebiasaan tapa, tumbuhnya sikap hatihati, tumbuhnya tidak punya rasa punya, tumbuhnya kesentausaan,
tumbuhnya kesadaran diri pribadi, tumbuhnya lapang dada, tumbuhnya
ketenangan batin, tumbuhnya sikap manembah (tawadhu). Pertumbuhan
itu berkorelasi positif atau sejalan dengan usia seseorang.
Akan tetapi, jika semakin lanjut usia seseorang akan tetapi
perkembangannya berbanding terbalik, mempunyai korelasi negatif, yakni
justru memiliki tabiat dan karakter seperti anak kecil, ia merupakan
produk topobroto yang gagal. Untuk mencegahnya tidak lain harus selalu
mencegah hawa nafsu, serta mengupayakan dengan sungguh-sungguh
untuk meraih kesempurnaan ilmu. Begitu pentingnya hingga adalah
wewarah yang juga merupakan nasehat yang hiperbolis, sbb;
ageng-agenging dosa punika tiyang ulah ilmu makripat ingkang magel.
Awit saking dereng kabuko ing pambudi, dados boten superep ing
suraosipun
Bagi yang sudah lulus, dapat menerima semua ilmu, tentu akan menemui
kemuliaan sangkan paran ing dumadi. Siapa yang sunguh-sungguh
mengetahui Tuhannya, sesungguhnya dapat mengetahui di dalam
badanya sendiri. Siapa yang sungguh-sunggun mengetahui badannya
sendiri, sesungguhnya mengetahui Tuhannya. Artinya siapa yang