NIM : 18.6.1.212.008
Semester : 1 (satu)
Program Studi : Magister Aqidah dan Filsafat Islam
Konsentrasi : Filsafat Islam
Mata Kuliah : Filsafat Barat
Sejarah semua masyarakat sampai hari ini adalah sejarah perjuangan kelas.
Kata kunci; Kerja, Matreialisme, Dialektika, Kapitalisme, Alienasi, Praksis, Revolusi,
Masyarakat tanpa kelas.
2
Ibid. Hal. 205
3
Frans Magniz Suzeno. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:Kanisius. 2013. Hal. 136
4
Ibid. Hal. 131
5
Martinus Satya Widodo. Cinta dan Keterasingan dalam Masyarakat Modern. Yogyakarta: Narasi. 2005. Hal. 14
karena dia ingin tetap hidup, dia terpaksa memperalat dirinya untuk mendapat nafkah,
tujuan utamanya hanya semata untuk mendapat penghasilan; artinya dia pun teralienasi
dari dirinya dan potensi dirinya sendiri. Selain itu, dalam sistem seperti itu juga akan
memunculkan persaingan baik antara para pekerja maupun permusuhan antara pekerja
dan majikan, sehingga kerja upahan juga mengasingkan manusia dari sesamanya.
Dengan demikian Marx membagi konsep alienaisnya pada empat bentuk; alienasi
manusia dari produk aktifitasnya sendiri, alienasi manusia dari kegiatan produktifnya,
alienasi manusia dari hakikatnya, alienasi manusia dari sesamanya.6
Marx menemukan biang keladi dari alienasi ini terdapat dalam institusi hak milik
pribadi, yakni hak milik atas alat-alat produksi yang dimiliki oleh kaum pemodal.
Dengan konsep alienasinya ini, Marx menemukan sebuah dimensi baru dari teori alienasi
Hegel. Hegel menyandarkan teori alienasi pada Roh. Bagi Marx bukan roh yang
sesungguhnya teralienasi tetapi buruh atau pekerja. Kalau Hegel memahami alenasi ini
akan diakhiri dengan jalan memahami refleksi, Marx menganggap alienasi akan diakhiri
melalui penghapusan hak milik pribadi, sehingga masyarakat tidak terbagi menjadi
kelas-kelas yang saling bertentangan; buruh dan majikan. Hal ini tidak dapat dilakukan
lewat refleksi atau pemikiran semata akan tetapi juga menuntut adanya praksis, dan itu
adalah revolusi.
E. Pandangan Epistemologis dari Marx
Dengan melihat secara sekilas dari pandangan ontologis filsafat Marx di atas
maka dapat dilihat kemudian corak epistemnologisnya yang dia bangun. Sebagaimana
yang telah disinggung sebelumnya, Marx meskipun tidak sependapat dengan Hegel
namun ia tetap memakai metode darinya. Ia masih memakai metode dialektikanya dalam
menguraikan filsafatnya. Akan tetapi ia membawa dialektika yang bersifat abstrak
sebelumnya ke ranah yang lebih kongkrit yakni dunia materil-sosial manusia. Marx
berpandangan bahwa dunia sosial ini berisi pertentangan-pertentangan. Terutama
pertentangan-pertentangan antar kelas sosial masyarakat; buruh dan pemilik modal.
Adanya pertentangan tersebut pada akhirnya akan bermuara pada sintesis tertentu. Pada
masyarakat industri dimana pertentangan terjadi pada para buruh upahan dan pemilik
modal misalnya maka sintesis tersebut terjadi melalui revolusi dan menghasilkan
masyarakat tanpa kelas.
Untuk menciptakan itu maka diperlukan peran filsafat yang real. Maka dari itu,
Marx berpendapat bahwa Filsafat harus bersifat praktis 7, tidak melulu teoritis. Filsafat
6
Martinus Satya Widodo. Op. Cit. Hal.19
7
Mudji Sutrisno. Para Filsuf Perintis Gerak Zaman. Yogyakarta:Kanisius. Hal. 1994. Hal. 131
harus bersifat praksis dan mendorong ke arah perubahan sosial, dan ini bisa terjadi kalau
filsafat memakai metode dialektis yang membumi. Dialektika antara buruh dan pemodal.
Dimensi praktis ini sangat mendasari pemikiran Marx kala itu. Hal ini pula yang
mendasarinya berbeda pandangan baik dengan Feurbach maupun Hegel. Hegel
dinilainya, baik filsafat maupun dialektikanya, terlalu abstrak dan mengawang-awang.
Sedangkan Feurbach meskipun filsafatnya lebih membumi namun tetap bersifat
kontemplatif dan terkesan teoritis. Namun kemudian ia menyintesis kedua pandangan
tersebut dengan menciptakan corak filsafat sendiri yang bersifat dialektis sekaligus
materialis. Metode ini pula yang kemudian familiar disebut dengan materialisme
dialektika atau materialisme historis.
Marx berpandangan bahwa berdasarkan asas materialistis, kesadaran tidak
menentukan realitas melainkan sebaliknya realitas materiallah yang menentukan
kesadaran. Realitas material itu diandaikan sebagai cara-cara produksi barang-barang
material dalam kegiatan kerja. Perbedaan cara produksi niscaya menghasilkan perbedaan
kesadaran. Maka dalam struktur masyarakat, kegiatan ekonomi merupakan basis
sedangkan pikiran atau kesadaran orang-orang di dalamnya merupakan bangunan atas.
Maka sistem ekonomi berubah niscaya kesadaran juga berubah.
Maka yang menjadi dasar kehidupan sosial adalah aktivitas ekonominya yang
terdiri dari kekuatan-kekuatan produksi seperti alat-alat kerja, pekerja, teknologi dan
hubungan-hubungan produksi seperti hubungan antara buruh dan pemodal. Sedangkan
yang menjadi bangunan (superstruktur), yakni sumber kesadaran manusia ialah
mencakup hukum, politik, filsafat, agama dan lain-lain. Di dalam basis itu terdapat
kontradiksi-kontradiksi; disatu pihak kekuatan-kekuatan produktif itu berkembang
progresif, namun di lain pihak hubungan-hubungan produksi yang terdiri dari hubungan
hak milik dan kekuasaan cenderung konservatif. Kontradiksi itu lama-kelamaan menjadi
sulit diatasi, sehingga meletuslah revolusi. Sesudah revolusi, basis berubah dan
superstruktur juga berubah. Disinilah lahir perjuangan kelas8.
Pada mulanya, pemikiran Marx tentang revolusi masih menjadikan manusia atau
buruh sebagai agen perubahan utama. Perjuangan kelas masih merupakan sumber bagi
terciptanya masyarakat tanpa kelas sekaligus lenyapnya kapitalisme. Akan tetapi dalam
karyanya yang belakangan, Das Kapital, Marx lebih menekankan peran determinisme
sejarah sebagai sebab dari kehancuran kapitalisme. Akan tetapi tetap melalui revolusi
itulah masyarakat yang di cita-citakan Marx tercipta. Keyakinan tersebut didasari oleh
pandangan dasar bahwa perkembangan sejarah itu ditentukan oleh hukum-hukum
8
F. Budi Hardiman. Op. Cit. Hal. 208
ekonomi yang bersifat niscaya. Menurutnya, adanya eksploitasi dan penerapan nilai lebih
yang dipakai untuk mengambil keuntungan yang berlebih akan menghasilkan nilai yang
nyata. Krisis juga diakibatkan oleh perusahaan-perusahaan besar yang kemudian
menelan perusahaan kecil, sampai akhirnya jumlah kaum kapitalis semakin sedikit dan
pemiskinan masa semakin meningkat. Maka cepat atau lambat, namun bersifat niscaya,
kondisi tersebut akan menumbuhkan kesadaran revolusioner dari pihak masa yang
dipermiskin dan dieksploitasi, dan sistem kapitalis akan menemui jalan buntunya untuk
mengatasi krisis tersebut. Disitulah awal dari sistem kapitalis tersebut hancur dengan
sendirinya secara otomatis, kemudian tercipta masyarakat sosialis9.
F. Dimensi Aksiologis Filsafat Marx
Dengan adanya perjuangan kelas dari masyarakat buruh, maka dapat dilihat,
tujuan dari filsafat Marx tak lain ialah ingin menuju dan mewujudkan masyarakat yang
lebih adil dan mencapai kebebasan bagi manusia seluruhnya. Akan tetapi konsep
keadilan dan kebebasan yang dicita-citakan oleh Marx ini berbeda dengan paham
kebebasan yang dipahami oleh kaum liberalisme dan individualisme yang didukung oleh
para filsuf Prancis dan Inggris. Selama masyarakat masih terkotak-kotak dalam kelas-
kelas, kebebasan yang digaungkan hanyalah dalih-dalih untuk menutupi sistem yang
menindas, sebab selama masih ada institusi hak milik privat atas alat-alat produksi, kelas
pekerja tetap bergantung pada pemilik modal. Maka, hanya kaum pemodal yang bebas,
sedangkan kaum pekerja itu hanya memiliki kebebasan yang semu. Atas dasar itu, maka
keprihatinan dasar Marx sebagai filsuf sebenarnya adalah bagaimana cara menghapus
alienasi dan mengemansipasi10 masyarakat seluruhnya11.
Perwujudan visi tersebut hanya terjadi melalui jalan perebutan atas alat-alat
produksi yang dimiliki oleh kaum pemodal tadi. Sehingga di dalam struktur masyarakat
tidak ada lagi kelas-kelas sosial tertentu yang menjadi sumber keterasingan pada manusia
sehingga menjadikanya terkungkung dari kebebasanya dalam berekspresi melalui kerja.
Jalan itulah yang dinamakan revolusi. Dengan revolusi itu maka akan muncul suatu
masyarakat yang di cita-citakan oleh Marx, yakni masyarakat tanpa kelas atau
masyarakat sosialis.
Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi. 2011. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Duia Modern. Jakarta:
Erlangga.
9
Ibid. Hal. 210
10
Franz Magnis mengartikan emansipasi disini sebagai Pembebasan dari kekuatan atau intervensi pihak lain .
Franz Magniz Suseno. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Hal. 124
11
F. Budi Hardiman. Op. Cit. Hal. 207
Sutrisno, Mudji. 1994. Para Filsuf Perintis Gerak Zaman. Yogyakarta:Kanisius. Hal.
Widodo, Martinus Satya. 2005. Cinta dan Keterasingan dalam Masyarakat Modern.
Yogyakarta: Narasi.