Anda di halaman 1dari 7

Nama : Saenal Abidin S.

NIM : 18.6.1.212.008
Semester : 1 (satu)
Program Studi : Magister Aqidah dan Filsafat Islam
Konsentrasi : Filsafat Islam
Mata Kuliah : Filsafat Barat

Filsafat Karl Marx

“Sejarah semua masyarakat sampai hari ini adalah sejarah perjuangan kelas”.
Kata kunci; Kerja, Matreialisme, Dialektika, Kapitalisme, Alienasi, Praksis, Revolusi,
Masyarakat tanpa kelas.

A. Biografi dan Kehidupan Marx


Marx lahir di Kota Trier pada tanggal 5 Mei 1818. Ia merupakan keturunan
Yahudi. Ayahnya seorang Pengacara. Waktu kecil ia dipabtis masuk agama Kristen
Protestan. Setelah menyelesaikan pendidikanya, dia masuk ke Universitas Bonn, lalu
pindah ke Univesitas Berlin. Awalnya dia tertarik study tentang ilmu hukum, kemudian
beralih meminati Filsafat, khususnya Filsafat Hegel. Sewaktu menjadi mahasiswa ia
bukanlah termasuk mahasiswa teladan. Pada masa tersebut ia sempat bergabung dengan
kelompok yang disebut dengan Doktorklub, yakni salah satu kelompok Hegelian Muda.
Kecenderunganya pada hegelian sayap kiri tidak berlangsung lama karena pada akhirnya
ia merasa tidak puas dengan kecenderungan teoritis dari kelompok tersebut. Kemudian
Marx melanjutkan ke Universitas Jena dan meraih gelar doktornya di sana pada usia tiga
puluh tahun.
Dikemudian hari pemikiran Marx lebih cenderung ke pemikiran praktis.
Kecenderungan ke arah praksis tersebut meruncing ketika Marx bekerja di Koeln sebagai
editor utama sebuah surat kabar, Rhenische Zeitung. Kegiatan praksis ini
menghadapkannya dengan pelbagai problematika sosial, politis, dan ekonomis Jerman
saat itu. Sejak saat itu kemudian ia menemukan kaitan antara filsafat yang dipelajarinya
dengan praktik-praktik sosial. Tak lama kemudian ia pindah ke Paris dan menjadi editor
Deutsch-franzische Jahrbucher. Di Paris ia bertemu dengan Friedrich Engels, anak
seorang pemilik pabrik tenun, yang nanti akan menjadi sahabat karibnya dan banyak
mempengaruhi pemikirannya. Akibat dari kecenderungan praktisnya yang semakin
meningkat ia kemudian banyak menyerang dan mengkritik pemerintah Jerman.
Akibatnya dia diusir dari Paris dan pindah ke Brussel. Di Kota ini bersama Enggels ia
menerbitkan The Comunist Manifesto. Marx terlibat dalam revolusi 1848, kemudian ia
ditahan oleh pihak yang berwenang. Dia diusir dari negaranya dan menetap di Inggris. Di
dalam British Museum dia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menulis,
sementara kondisi keluarganya memburuk dan terlantar. Di negera ini pula, tepatnya di
London Marx meninggal dunia pada 14 Maret 1883.
Marx menulis beberapa karya monumental seperti, Das Kapital (Modal), Das
Elend der Philosophie (Miskinnya Filsafat), Manifest der Kommunistischen Patei
(Manifesto Partai Komunis), Thesen uber Feurbach (Tesis-tesis tentang Feurbach) dan
beberapa karya lainnya
B. Marx Muda dan Marx Tua
Sejatinya Marx, melalui pemikiran mutakhirnya, lebih dinilai sebagai ekonom
yang membuat analisis-analisis objektivistis atas sejarah dan ekonomi. Corak berpikir
tersebut dapat dilihat misalnya pada analisis-analisisnya yang detile tentang sistem
ekonomi kapital yang menjerat para buruh dimasa itu. Meski begitu, kecenderungan
ekonomis tersebut tetap dipengaruhi oleh pandangan filosofis di masa mudanya pula.
Dimasa mudanya Marx lebih cenderung sebagai filsuf yang humanistis daripada seorang
ekonom yang deterministis. Pandangannya sangat kental dipengaruhi oleh Filsafat Hegel
yang sangat populer kala itu. Oleh karena itu pemikiran Marx dibedakan menjadi dua,
Marx muda dan Marx tua. Keduanya saling mempengaruhi, motif-motif Marx muda
menjiwai karya-karya Marx tua1.
C. Perpisahan dengan Idealisme Hegel
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Marx merupakan salah satu ahli
waris pemikiran Hegel, tetapi dia adalah seorang pewaris yang kritis. Ada beberapa
warisan Hegelian dalam filsafat Marx. Pertama Marx memakai metode dialektis Hegel
untuk menjelaskan sejarah dan proses-proses kemasyarakatan. Kedua Marx juga
menganut asumsi-asumsi filsafat sejarah Hegel, bahwa melalui sejarah umat manusia
mewujudkan dirinya ke arah telos (tujuan) tertentu. Ketiga, seperti Hegel, Marx juga
merefleksikan kenyataan negatif, yaitu alienasi.
Disamping Marx menganut filsafat Hegel, Marx juga dengan tajam mengkritik
Hegel. Menurutnya dialektika Hegel itu melayang-layang di udara dan terlalu abstrak.
Juga Marx tidak sependapat dengan tujuan akhir dari dialektika Hegel yang berhenti atau
berujung pada Roh Absolut karena menurut Marx dalam kenyataan inderawi yang
kongkret, konflik-konflik sosial dalam masyarakat industri zaman Marx itu akan tetap
berlangsung. Intinya, Marx tidak percaya dengan sintesis final. Untuk itu, melalui
sentuhan pemikiran materialisme Feurbach Marx kemudian mengkonversi dialektika
1
F. Budi Hardiman. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Duia Modern. Jakarta: Erlangga. 2011. Hal. 205
Idea Hegel menjadi dialektika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dialektika yang
membumi dalam kehidupan masyarakat2.
D. Dasar Ontologis Pemikiran Marx
Secara ontologis, Marx memandang manusia secara materialistis. Akan tetapi
meskipun pandangan materialistis tersebut secara genealogis dipengaruhi oleh Feurbach,
namun ia lebih mengartikan dimensi materialistis pada manusia tersebut sebagai aktivitas
sosial dan ekonomi bukan memandang secara ekslusif pada dimensi ontologis yang pasif
bahwa materi atau objek-objek inderawi inilah sebagai kenyataan akhir yang ada.
Melalui materialisme tersebut Marx memandang bahwa bukan pikiran, melainkan kerja
sosiallah yang merupakan kegiatan dasar manusia. Maka hakikat sejati manusia
dimanifestasikan dengan kerjanya. Kata kunci tentang kerja ini merupakan salah satu
kunci dari filsafat Marx sendiri dalam memandang dimensi manusia.
Menurut Marx, manusia memahami kenyataan dirinya melalui kerja. Atau dalam
istilah lain Magniz membahasakanya sebagai “manusia adalah hasil pekerjaanya
sendiri”3. Akan tetapi kerja yang dimaksud ialah pekerjaan yang bersifat emansipatif
serta tidak berada dibawah intervensi dari luar sekaligus dapat menjadi sarana
perealisasian diri4. Melalui kerjanya manusia mewujudkan bakat-bakat dirinya, mengenal
dirinya, dan seterusnya. Lewat kerjanya juga manusia menyatakan kebebasannya sebagai
tuan atas alam dengan mengubah alam sesuai keinginannya. Kerja juga merupakan hasil
objektivasi dirinya yang bisa diakui atau dimanfaatkan oleh orang lain. Akan tetapi
semua ciri kerja ini sudah lenyap dalam masyarakat industri dikala itu. Inilah yang
menjadi akar permasalahan dalam pembahasan filsafat Marx. Akibat dari struktur yang
tidak emansipatif dari kultur masyarakat industri kala itu, kemudian memunculkan
alienasi (entfremdung) dalam diri manusia atau pekerja. Menurut G. Patrovic kata konsep
alienasi merujuk pada pengertian dasar, seseorang atau sesuatu yang menjadi terasing
atau terpisah dari seseorang atau sesuatu lainnya, karena suatu tindakan tertentu, atau
karena akibat dari tindakannya.5
Dalam kerja upahan (kapitalisme), pekerja atau buruh menjual tenaganya kepada
majikan atau pemodal. Dengan begitu, hasil kerjanya menjadi miliki perusahaan,
sehingga dia teralienasi (terasingkan) dari produknya sendiri. Selain itu dalam kerja
upahan, pekerja juga teralienasi dari aktivitas kerjanya sendiri, sebab jenis kerjanya
ditentukan oleh majikan. Dengan ini dia teralienasi dari potensi kebebasannya. Lalu,

2
Ibid. Hal. 205
3
Frans Magniz Suzeno. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:Kanisius. 2013. Hal. 136
4
Ibid. Hal. 131
5
Martinus Satya Widodo. Cinta dan Keterasingan dalam Masyarakat Modern. Yogyakarta: Narasi. 2005. Hal. 14
karena dia ingin tetap hidup, dia terpaksa memperalat dirinya untuk mendapat nafkah,
tujuan utamanya hanya semata untuk mendapat penghasilan; artinya dia pun teralienasi
dari dirinya dan potensi dirinya sendiri. Selain itu, dalam sistem seperti itu juga akan
memunculkan persaingan baik antara para pekerja maupun permusuhan antara pekerja
dan majikan, sehingga kerja upahan juga mengasingkan manusia dari sesamanya.
Dengan demikian Marx membagi konsep alienaisnya pada empat bentuk; alienasi
manusia dari produk aktifitasnya sendiri, alienasi manusia dari kegiatan produktifnya,
alienasi manusia dari hakikatnya, alienasi manusia dari sesamanya.6
Marx menemukan biang keladi dari alienasi ini terdapat dalam institusi hak milik
pribadi, yakni hak milik atas alat-alat produksi yang dimiliki oleh kaum pemodal.
Dengan konsep alienasinya ini, Marx menemukan sebuah dimensi baru dari teori alienasi
Hegel. Hegel menyandarkan teori alienasi pada Roh. Bagi Marx bukan roh yang
sesungguhnya teralienasi tetapi buruh atau pekerja. Kalau Hegel memahami alenasi ini
akan diakhiri dengan jalan memahami refleksi, Marx menganggap alienasi akan diakhiri
melalui penghapusan hak milik pribadi, sehingga masyarakat tidak terbagi menjadi
kelas-kelas yang saling bertentangan; buruh dan majikan. Hal ini tidak dapat dilakukan
lewat refleksi atau pemikiran semata akan tetapi juga menuntut adanya praksis, dan itu
adalah revolusi.
E. Pandangan Epistemologis dari Marx
Dengan melihat secara sekilas dari pandangan ontologis filsafat Marx di atas
maka dapat dilihat kemudian corak epistemnologisnya yang dia bangun. Sebagaimana
yang telah disinggung sebelumnya, Marx meskipun tidak sependapat dengan Hegel
namun ia tetap memakai metode darinya. Ia masih memakai metode dialektikanya dalam
menguraikan filsafatnya. Akan tetapi ia membawa dialektika yang bersifat abstrak
sebelumnya ke ranah yang lebih kongkrit yakni dunia materil-sosial manusia. Marx
berpandangan bahwa dunia sosial ini berisi pertentangan-pertentangan. Terutama
pertentangan-pertentangan antar kelas sosial masyarakat; buruh dan pemilik modal.
Adanya pertentangan tersebut pada akhirnya akan bermuara pada sintesis tertentu. Pada
masyarakat industri dimana pertentangan terjadi pada para buruh upahan dan pemilik
modal misalnya maka sintesis tersebut terjadi melalui revolusi dan menghasilkan
masyarakat tanpa kelas.
Untuk menciptakan itu maka diperlukan peran filsafat yang real. Maka dari itu,
Marx berpendapat bahwa Filsafat harus bersifat praktis 7, tidak melulu teoritis. Filsafat

6
Martinus Satya Widodo. Op. Cit. Hal.19
7
Mudji Sutrisno. Para Filsuf Perintis Gerak Zaman. Yogyakarta:Kanisius. Hal. 1994. Hal. 131
harus bersifat praksis dan mendorong ke arah perubahan sosial, dan ini bisa terjadi kalau
filsafat memakai metode dialektis yang membumi. Dialektika antara buruh dan pemodal.
Dimensi praktis ini sangat mendasari pemikiran Marx kala itu. Hal ini pula yang
mendasarinya berbeda pandangan baik dengan Feurbach maupun Hegel. Hegel
dinilainya, baik filsafat maupun dialektikanya, terlalu abstrak dan mengawang-awang.
Sedangkan Feurbach meskipun filsafatnya lebih membumi namun tetap bersifat
kontemplatif dan terkesan teoritis. Namun kemudian ia menyintesis kedua pandangan
tersebut dengan menciptakan corak filsafat sendiri yang bersifat dialektis sekaligus
materialis. Metode ini pula yang kemudian familiar disebut dengan materialisme
dialektika atau materialisme historis.
Marx berpandangan bahwa berdasarkan asas materialistis, kesadaran tidak
menentukan realitas melainkan sebaliknya realitas materiallah yang menentukan
kesadaran. Realitas material itu diandaikan sebagai cara-cara produksi barang-barang
material dalam kegiatan kerja. Perbedaan cara produksi niscaya menghasilkan perbedaan
kesadaran. Maka dalam struktur masyarakat, kegiatan ekonomi merupakan basis
sedangkan pikiran atau kesadaran orang-orang di dalamnya merupakan bangunan atas.
Maka sistem ekonomi berubah niscaya kesadaran juga berubah.
Maka yang menjadi dasar kehidupan sosial adalah aktivitas ekonominya yang
terdiri dari kekuatan-kekuatan produksi seperti alat-alat kerja, pekerja, teknologi dan
hubungan-hubungan produksi seperti hubungan antara buruh dan pemodal. Sedangkan
yang menjadi bangunan (superstruktur), yakni sumber kesadaran manusia ialah
mencakup hukum, politik, filsafat, agama dan lain-lain. Di dalam basis itu terdapat
kontradiksi-kontradiksi; disatu pihak kekuatan-kekuatan produktif itu berkembang
progresif, namun di lain pihak hubungan-hubungan produksi yang terdiri dari hubungan
hak milik dan kekuasaan cenderung konservatif. Kontradiksi itu lama-kelamaan menjadi
sulit diatasi, sehingga meletuslah revolusi. Sesudah revolusi, basis berubah dan
superstruktur juga berubah. Disinilah lahir perjuangan kelas8.
Pada mulanya, pemikiran Marx tentang revolusi masih menjadikan manusia atau
buruh sebagai agen perubahan utama. Perjuangan kelas masih merupakan sumber bagi
terciptanya masyarakat tanpa kelas sekaligus lenyapnya kapitalisme. Akan tetapi dalam
karyanya yang belakangan, Das Kapital, Marx lebih menekankan peran determinisme
sejarah sebagai sebab dari kehancuran kapitalisme. Akan tetapi tetap melalui revolusi
itulah masyarakat yang di cita-citakan Marx tercipta. Keyakinan tersebut didasari oleh
pandangan dasar bahwa perkembangan sejarah itu ditentukan oleh hukum-hukum
8
F. Budi Hardiman. Op. Cit. Hal. 208
ekonomi yang bersifat niscaya. Menurutnya, adanya eksploitasi dan penerapan nilai lebih
yang dipakai untuk mengambil keuntungan yang berlebih akan menghasilkan nilai yang
nyata. Krisis juga diakibatkan oleh perusahaan-perusahaan besar yang kemudian
menelan perusahaan kecil, sampai akhirnya jumlah kaum kapitalis semakin sedikit dan
pemiskinan masa semakin meningkat. Maka cepat atau lambat, namun bersifat niscaya,
kondisi tersebut akan menumbuhkan kesadaran revolusioner dari pihak masa yang
dipermiskin dan dieksploitasi, dan sistem kapitalis akan menemui jalan buntunya untuk
mengatasi krisis tersebut. Disitulah awal dari sistem kapitalis tersebut hancur dengan
sendirinya secara otomatis, kemudian tercipta masyarakat sosialis9.
F. Dimensi Aksiologis Filsafat Marx
Dengan adanya perjuangan kelas dari masyarakat buruh, maka dapat dilihat,
tujuan dari filsafat Marx tak lain ialah ingin menuju dan mewujudkan masyarakat yang
lebih adil dan mencapai kebebasan bagi manusia seluruhnya. Akan tetapi konsep
keadilan dan kebebasan yang dicita-citakan oleh Marx ini berbeda dengan paham
kebebasan yang dipahami oleh kaum liberalisme dan individualisme yang didukung oleh
para filsuf Prancis dan Inggris. Selama masyarakat masih terkotak-kotak dalam kelas-
kelas, kebebasan yang digaungkan hanyalah dalih-dalih untuk menutupi sistem yang
menindas, sebab selama masih ada institusi hak milik privat atas alat-alat produksi, kelas
pekerja tetap bergantung pada pemilik modal. Maka, hanya kaum pemodal yang bebas,
sedangkan kaum pekerja itu hanya memiliki kebebasan yang semu. Atas dasar itu, maka
keprihatinan dasar Marx sebagai filsuf sebenarnya adalah bagaimana cara menghapus
alienasi dan mengemansipasi10 masyarakat seluruhnya11.
Perwujudan visi tersebut hanya terjadi melalui jalan perebutan atas alat-alat
produksi yang dimiliki oleh kaum pemodal tadi. Sehingga di dalam struktur masyarakat
tidak ada lagi kelas-kelas sosial tertentu yang menjadi sumber keterasingan pada manusia
sehingga menjadikanya terkungkung dari kebebasanya dalam berekspresi melalui kerja.
Jalan itulah yang dinamakan revolusi. Dengan revolusi itu maka akan muncul suatu
masyarakat yang di cita-citakan oleh Marx, yakni masyarakat tanpa kelas atau
masyarakat sosialis.

Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi. 2011. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Duia Modern. Jakarta:
Erlangga.
9
Ibid. Hal. 210
10
Franz Magnis mengartikan emansipasi disini sebagai “Pembebasan dari kekuatan atau intervensi pihak lain ”.
Franz Magniz Suseno. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Hal. 124
11
F. Budi Hardiman. Op. Cit. Hal. 207
Sutrisno, Mudji. 1994. Para Filsuf Perintis Gerak Zaman. Yogyakarta:Kanisius. Hal.

Suzeno, Frans Magniz. 2013. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:Kanisius.

Widodo, Martinus Satya. 2005. Cinta dan Keterasingan dalam Masyarakat Modern.
Yogyakarta: Narasi.

Anda mungkin juga menyukai