Hermeneutika
Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein, yang artinya menafsirkan.
Kata ini merujuk pada nama seorang dewa dalam mitologi Yunani yaitu Dewa Hermes yang
mempunyai tugas untuk menafsirkan dan menyampaikan pesan dari dewa-dewa lain di Olympus
kepada manusia melalui bahasa yang mudah untuk dimengerti para manusia. Dengan tugas
tersebut dewa Hermes harus mengerti dan mampu untuk menginterpretasikan pesan-pesan tersebut
ke dalam bahasa yang mudah untuk di mengerti, sehingga pesan tersebut dapat dipahami
maknanya. Oleh karena itu, hermeneutika secara umum dapat diartikan sebagai proses mengubah
sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Hermeneutika menjadi satu bidang ilmu yang
diminati dan berkembang dalam dunia teologi. Perkembangan itu diperkuat dengan adanya aturan
di gereja Katolik yang memberitahukan bahwa mereka mempunyai otoritas untuk menafsirkan dan
memahami kitab suci. Hermeneutika adalah proses kejiwaan, suatu seni untuk menentukan dan
memperbaiki suatu proses batin.
Martin Heidegger
Heidegger mengkritik Husserl dalam salah satu karyanya yang terkenal yaitu Sein und Zeit
(Ada dan Waktu). Dalam bukunya, Heidegger mensinyalir bahwa manusia modern mempunyai
suatu gejala yang disebut lupa akan makna ada. Lupa akan makna ada bersifat menyeluruh dan
berlangsung pada berbagai tingkatan dalam aktivitas manusia. Dalam tingkat teoretis, ditandai
dengan keengganan para ahli dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan untuk
mempertimbangkan masalah nilai dan makna dari eksistensi manusia dalam asumsi dan teori
ilmiah mereka. Akhirnya filsafat dan ilmu menjadi kering tanpa jiwa dan manusia selalu dijadikan
objek kajian, yang kurang lebih sama dengan alam fisik. Pada tingkat kehidupan sehari-hari, lupa
akan makna ada dapat diamati dari gejala rutinitas yang ditandai oleh ketidakotentikan dalam
menjalankan tugas eksistensinya. Atas dasar itu, Heidegger mengembangkan suatu metode yang
disebut fenomenologi. Tujuannya adalah untuk mengajukan pertanyaan tentang, dan mencari
jawab atas makna ada, sebuah pertanyaan yang telah banyak dilupakan oleh semua orang. Filsafat
Heidegger disebut sebagai Ontologi Fundamental, namun dalam penyelidikannya ia menemukan
fakta bahwa ada ternyata adalah sesuatu yang mengada di situ, maka penyelidikannya tidak
diarahkan pada makna ada tapi pada makna ada yang mengada di situ, yang merupakan eksistensi
manusia itu sendiri. Persoalan tentang eksistensi manusia ini yang menjadi perhatian dari filsafat
Heidegger. Oleh karena itu, filsafat fenomenologinya sering disebut “Analisis Eksistensial”.
Urgensi untuk mengajukan sebuah pertanyaan tentang, mencari jawab atas makna ada telah
mendorong Heidegger untuk merancang suatu pendekatan yang disebut “destruksi
fenomenologis”. Menurutnya, hingga saat ini belum pernah ada suatu pendekatan yang cocok
untuk mendekati Ada. Ada masih tetap sebuah fenomena yang tersembunyi dan terlupakan. Untuk
sampai pada fenomena Ada diperlukan sebuah metode khusus yang disebut sebagai interpretasi.
Interpretasi dipakai untuk menggali dan mengangkat ke permukaan dari setiap makna gejala Ada.
Dalam arti inilah Heidegger menamakan sebagai fenomenologi, yaitu interpretasi dari makna
tersembunyi pada setiap gejala Ada. Namun gejala Ada yang hendak diungkap maknanya tidak
lain adalah mengadanya manusia, maka ada satu teknik khusus yang disebut sebagai hermeneutika,
atau istilah sebenarnya adalah interpretasi atas naskah klasik. Dengan demikian fenomenologinya
disebut sebagai Fenomenologi Hermeneutik, yaitu suatu metode yang dipakai untuk mengungkap
makna tersembunyi dari mengadanya manusia.
Heidegger tidak secara terang-terangan menggunakan kata Hermeneutik. Namun secara
implisit konsep Hermeneutik dapat ditemukan di dalam buku-bukunya. Heidegger melihat
fenomenologi sebagai sebuah Hermeneutik. Heidegger melandaskan sebuah perspektif
filosofisnya mengenai hermeneutika sebagai satu cara manusia ber“ada”. Ber“ada” bukan sesuatu
yang dimiliki oleh manusia. Manusia yang dapat memahami barulah disebut sebagai manusia
ber“ada”. Dengan demikian, Heidegger menyebut bahwa manusia adalah makhluk hermeneutis.