Anda di halaman 1dari 10

Pandangan Søren Aabye Kierkegaard Tentang Cinta dalam karya Works of Love

Antonius Septian Marhenanto1

“To love people is the only thing worth living for, and without this love you are not really
living.” (SKS0:368/WL:375)2

I. Pengantar
Pembahasan mengenai isu-isu paling eksistensial dalam kehidupan manusia akan selalui
menarik untuk ditelusuri. Kebanyakan orang akan selalu bertanya akan makna terdalam
hidupnya, mencari jawaban akan kegelisahan hidupnya, hingga mencari makna terdalam akan
cinta kasih yang ia alami selama ini. Soren Kierkegaard yang mendapat julukan Bapak
Eksistensialisme mencoba memberikan sintesa atas makna cinta bagi manusia lewat karya-
karyanya terutama dalam tulisan Works of Love. Dalam tulisan ini, penulis ingin menjawab
sebuah pertanyaan pokok, “Bagaimana pandangan Søren Aabye Kierkegaard tentang Cinta?”
Untuk menjawab pertanyaan pokok tersebut, penulis mencoba menelusuri beberapa pernyataan
Kierkegaard tentang cinta sebelum masuk lebih dalam pada karya Works of Love. Untuk
memahami pemikiran Kierkegaard tentang cinta, penulis akan memaparkan secara singkat
riwayat hidup Kierkegaard, pemikiran yang mempengaruhi hidupnya, serta karya-karya yang
ditulis selama hidunya. Pada bagian penutup, penulis akan memberikan tanggapan kritis atas
pemikiran Kierkegaard yang berusaha menjelaskan makna cinta bagi manusia.
II. Riwayat Singkat
Pada tanggal 5 Mei 1813 di kota Kopenhagen, Denmark, lahir seorang anak bungsu dari 7
bersaudara pasangan suami istri bernama Soren Kierkegaard dan Ane Sorensdatter
Kierkegaard.3 Ia adalah anak dari seorang ayah yang memiliki perasaan melankolis bernama
Mikhael Perdesen Kierkegaard. Ayahnya sejak kecil sudah memberontak pada Allah dan pada
usia dewasa merasa berzinah karena telah menghamili istrinya sebelum menikah. Ia juga
percaya pada kutukan Allah yang menimpa keluarganya karena perbuatannya tersebut. Rasa

1
Penulis adalah mahasiswa pendengar Filsafat Ssemester III STF Driyarkara, Jakarta – November 2018.
2
Søren Kierkegaard, Works of Love (dengan judul asli: Kjerlighedens Gjerninger), diterjemahkan oleh David F.
Swenson dan Lillian Marvin Swenson (Princeton: Princeton University Press, 1949), 375.
3
M. G. Piety dan Edward F. Mooney, Søren Kierkegaard: Repetition and Philosophical Crumbs (United
Kingdom: Oxford University Press Inc., 2009), xxxv.

1
melankoli tersebut ternyata menurun pada Soren Kierkegaard, sang anak yang mulai beranjak
dewasa.4
Kierkegaard kecil diasuh oleh Mikhael yang memiliki kecerdaan serta sikap kesetiaan yang
tinggi kepada Gereja Lutheran. Maka, tidak heran jika Kierkegaard menjalani kehidupan
remajanya dengan disiplin diri dan tanggung jawab tinggi pada segala tugas yang ada. Saat
berumur 17 tahun, Kierkegaard menjalani studi Teologi di Universitas Kopenhagen, Denmark.
Ia menjalani studi tersebut atas permintaan sang ayah dan dalam masa tersebut ia mengambil
sikap sebagai seorang “penonton kehidupan yang sinis.”
Pada saat menjalani studi, Kierkegaard bertunangan dengan Regina Olsen, seorang wanita
yang telah ia cintai sejak berumur 14 tahun. Namun, hampir setahun pasca pertunangannya, ia
memutuskan hubungan pertunangannya dan meminta Regina untuk melupakan dirinya. Ia
merasa tidak mampu untuk membuat Regina bahagia di kemudian hari.5 Kisah hidup yang
dramatis ini di kemudian hari ternyata juga memiliki hubungan erat dengan dengan pemikiran
Kierkegaard.
Dalam buku A History of Philosophy Volume VII, dikatakan bahwa pada tahun 1848
Kierkegaard mengalami sebuah pengalaman religius. Namun, tahun-tahun setelahnya
Kierkegaard malah menyiapkan kritiknya terhadap Gereja di Denmark yang, menurut
pendapatnya hampir tidak layak lagi memakai nama Kristen. Agar tidak melukai Uskup
Mynster yang telah menjadi sahabat ayahnya, Kierkegaard tidak melepaskan kritikannya
tersebut sampai 1854 saat Uskup tersebut meninggal dunia.6 Dalam kritikannya, ia
menganggap Gereja di Denmark tidak setia dengan ajaran Kristen. Antara tahun 1854-1855,
Kierkegaard mengeluarkan beberapa kecaman yang keras kepada Gereja Denmark dalam
rangkaian artikel. Beberapa diantaranya diterbitkan dalam surat kabar Instant yang ia terbitkan
sendiri. Kumpulan artikel yang berisi kecaman ini dijadikan buku yang ia beri judul Attack
upon Christendom. Sikap radikalnya ini ia lanjutkan dengan berhenti pergi ke Gereja. Bahkan,
saat menjelang kematiannya Kierkegaard menolak menerima komuni dari pastor yang ia
anggap lebih sebagai pegawai pemerintah dibandingkan seorang hamba Kristus.7

4
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzeche (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2004), 244-245.
5
Bagas Brahmanthio, “Cinta Mencintai Cinta,” Majalah Ilmiah Rajawali: 4.
6
Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume VII Bentham to Russell (London: Burns and Oates
Limited,1996), 339.
7
Peter Vardy, Kierkegaard (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), 19.

2
III. Kierkegaard dan Kritiknya kepada Hegel
Filsafat Jerman pada masa Kierkegaard hidup masih didominasi oleh aliran idealisme.
Pada saat di Berlin, ia pun pernah mengikuti kuliah Schelling. Namun, sosok Georg Wilhelm
Friedrich Hegel justru yang memberi pengaruh yang besar dalam studi dan pemikiran
Kierkegaard. Proyek Filsafat Hegel yang bernama Phanomenologie des Geistes (Fenomelogi
Roh, 1807) adalah salah satu topik yang membuat dirinya gelisah dan juga terpukau. Karya
Hegel ini berusaha untuk menjelaskan secara keseluruhan tentang realitas secara lebih
rasional.8 Secara ringkas, filsafat Hegel ini ingin menciptakan sebuah kerangka konseptual
dimana kisah masa lalu dan masa depan dapat dipahami secara filosofis termasuk didalamnya
perasaan-perasaan manusia (kecemasan, kemarahan, penderitaan, dsb).
Maka, Hegel memandang tugas utama filsafat adalah menjelaskan struktur rasional dan
internal serta tujuan proses perjalanan total segala sesuatu melalui kesadaran manusia yang
dapat mengenali dan menyadari dirinya sendiri melalui peristiwa-peristiwa sejarah yang
disebut Roh (Spirit-Geist). 9 Kebenaran dapat dicapai melalui perjalanan Roh Absolut yang
menyadari dirinya sendiri. Perkembangan realitas dalam sejarah ini dialami dengan suatu
proses dialektika. Hegel meyakini bahwa dengan proses dialektis rasional, sejarah akan
menyatukan prinsip-prinsip yang kelihatannya bertentangan satu sama lain.10 Tepat pada
bagian inilah Kierkegaard memberikan kritiknya kepada Hegel. Kierkegaard menganggap
bahwa tidak semua prinsip yang bertentangan dapat didamaikan begitu saja melalui cara
dialektika. Ia memberikan contoh bagaimana prinsip ‘the temporal’ dan ‘the eternal’ tidak
dapat terdamaikan lewat proses dialektis ini. Ia juga memandang bahwa filsafat spekulatif
hegel tidak akan mampu menangkap sepenuhnya pengalaman eksistensial manusia, bahkan
perasaan eksistensial manusia justru ‘terjinakkan’ dalam filsafat Hegel tersebut.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kierkegaard memulai istilah ‘eksistensi’ dalam
suatu arti yang kemudian mempunyai peranan besar pada abad ke-20. Menurut pandangannya,
filsafat bukanlah suatu sistem namun merupakan bentuk pengekspresian suatu eksistensi
individual. Hanya manusia yang bereksistensi dan eksistensi manusia tidak dijalankan hanya
satu kali untuk selamanya, namun setiap saat eksistensi manusia menjadi obyek pemilihan yang
baru. Ringkasnya, bereksistensi adalah bertindak. Dalam istilah Bertens, “Tidak ada manusia
yang mampu mengganti tempat saya untuk bereksistensi atas nama saya.”11

8
Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri (Jakarta: PT. Gramedia, 2004), 34.
9
Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, 35.
10
Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, 44.
11
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2011), 89.

3
IV. Karya-karya Kierkegaard: Bapak Eksistensialisme
Setelah berpisah dengan Regina Olsen, Kierkegaard mulai mengeluarkan karya-karya
filsafatnya. Karya Either/Or yang keluar bulan Februari 1843 adalah hasil refleksi atas
keputusannya berpisah dengan Regina 2 tahun sebelumnya. Bulan Oktober di tahun yang sama,
Kierkegaard menerbitkan dua buku tipis berjudul Repetition dan Fear and Trembling. Tahun
1844, ia juga mengeluarkan buku Philosophical Fragments dan tahun 1846 buku berjudul
Unscientific Postcript. Pada tahun 1847, Kierkegaard mempublikasikan karyanya yang
berjudul “Works of Love” sebagai karyanya yang semakin dewasa.
Dalam karya-karyanya, Kierkergaard menggunakan nama samaran. Seperti dalam
Philosophical Fragments dan Concluding Unscientific Postcrip, ia menggunakan nama
Johannes Climacus. Dalam Either/Or ia menggunakan nama Victoria Eremita, dalam The
Corsair ia menggunakan nama Hilarius Bookbinder, dan dalam Fear and Trembling ia
menggunakan nama Johannes de Silentio.12 Kierkegaard mempunyai maksud tersendiri dalam
menggunakan nama samaran tersebut. Ia ingin para pembaca merefleksikan apa yang ia tulis
dan bukan hanya sekedar memahami gagasannya saja. Selain itu, ia juga tidak ingin para
pembacanya langsung mengasosiasikan karya-karyanya dengan pengalaman hidup
Kierkegaard. Sehingga pembaca pun dapat lebih bebas dalam memikirkan apa yang dikatakan
Kierkegaard dalam karya-karyanya.13
Secara umum, karya-karya Kierkegaard tidak dikenal diluar Denmark dan para filsuf
Denmark pun tidak pernah menanggapi secara serius karya-karyanya. Namun, pada abad ke-
20 tulisan-tulisan Kierkegaard mulai memberikan pengaruh dan bahkan banyak para filsuf serta
penulis merasa berhutang budi kepada Kierkegaard karena inspirasinya yang cemerlang.
Beberapa filsuf yang cukup terbantu dengan pemikiran Kierkegaard antara lain Martin
Heidegger, Karl Jaspers, dan Jean-Paul Sartre. Sejak saat itu, pemikiran dan fokus Kiekegaard
untuk memperhatikan eksistensi manusia sebagai subyek mulai terdengar oleh banyak orang
dan menjadi bahan pemikiran filosofis bagi para filsuf-filsuf.14 Maka, tidak heran jika dunia
memberikan gelar Kierkegaard sebagai Bapak Eksistensialisme. Lebih jauh lagi, dalam dunia
intelektual kontemporer, John Caputo dan Merold Westpal memandang Kierkegaard sebagai
seorang pemikir proto-postmodernisme.15

12
Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, 27.
13
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, 89.
14
Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, 31.
15
C. Stephen Evans, Kierkegaard on Faith adn the Self (Texas: Baylor University Press, 2006), 3-4.

4
Salah satu pemikiran Kierkegaard yang terkenal dan melekat bagi banyak orang adalah
tentang tiga ruang lingkup eksistensi yang berisi tahap-tahap jalan hidup. Setidaknya ada tiga
tahap jalan hidup yang dijelaskan oleh Kierkegaard: Estetis, Etis, dan Religius. Masing-masing
jalan adalah dunia manusia yang utuh, menyeluruh, lengkap dengan cita-cita, motivasi, serta
bentuk perilakunya sendiri.16 Tahap Estetis adalah ranah dimana manusia masih memenuhi
keinginan yang langsung dan spontan (immediate) serta belum memilih tujuan hidup. Tahap
Etis adalah ruang dimana manusia mulai memperhitungkan ‘yang baik’ (good) dan ‘yang
buruk’ (bad). Ranah Religius adalah ruang dimana manusia sudah menempatkan relasi dengan
Yang Ilahi sebagai satu-satunya tujuan hidup.17
V. Makna Cinta menurut Kierkegaard
Seperti yang sudah dipaparkan pada bagian pengantar, tulisan ini dibuat untuk menjawab
sebuah pertanyaan pokok, “Bagaimana pandangan Kierkergaard tentang cinta?” Dari semua
tulisan Kierkegaard yang ia publikasikan, karyanya yang berjudul Works of Love memberikan
inspirasi yang cukup besar untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hal penting yang perlu
mendapat perhatian adalah latar belakang kehidupan Kierkegaard yang kental dengan
kehidupan kristiani berpengaruh besar pada tulisan-tulisan dan pemikirannya termasuk dalam
pembentukkan makna cinta menurut dirinya. Salah satu pernyataan yang paling terkenal dari
Kierkegaard tentang cinta adalah:
“To love people is the only thing worth living for, and without this love you are not
really living” (SKS0:368/WL:375)18
Melalui penelusuran yang didapat dari artikel M. Jamie Ferreira dalam The Oxford
Handbook of Kierkegaard, penulis akan mencoba memaparkan bagaimana Kierkegaard
mendefinisikan Cinta dalam karya-karya yang ia miliki. Dalam artikel tersebut, Ferreira juga
memberikan gambaran bagaimana pemikiran filosofis dan teologis Kierkegaard menunjukkan
bahwa saat kita merasa ingin dicintai tidak hanya cinta yang otentik saja yang muncul, tetapi
juga muncul sebuah paradoks dari cinta itu sendiri. Paradoks dimana cinta itu satu tetapi juga
beberapa, cinta itu sebuah hadiah tetapi juga kebutuhan, cinta itu kebutuhan tetapi juga
hutang, cinta itu penuh kepercayaan tetapi juga bebas, dan semua nilai tersebut memiliki
kesamaan dan juga perbedaan di dalamnya. Lebih penting lagi, Ferreira menganggap bahwa
pemikiran Kierkegaard tentang cinta adalah buah dari semua pemikiran filosofisnya selama ini.
Karena dalam menekankan kesatuan kasih dan saran variasi infinitifnya, ia menggambarkan

16
Donald L. Palmer, Kierkegaard untuk Pemula (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010), 77.
17
Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, 86-92.
18
Søren Kierkegaard, Works of Love, 375.

5
beberapa tema terpentingnya, seperti relasi dan tekanan antara the how dan the what, antara
transisi kualitatif dan kuantitatif, dan antara kesungguhan dan ketidakseriusan.19
Works of Love
Karya Kierkegaard Works of Love merupakan bagian paling kaya dalam membahas
penelusuran filosofisnya tentang cinta. Karya ini terbagi dalam 15 deliberation on the love
commandment. Dalam karyanya ini, Kierkegaard membahas tentang isu status relasi
interpersonal dan kebutuhan manusia. Seperti yang sudah diutarakan sebelumnya, konsep cinta
yang dibahas dalam karya Works of Love ini didasarkan pada konsep kebijaksanaan teologi
klasik yaitu tradisi Kristen. Kierkegaard ingin mengeksplorasi kebijaksanaan Kristen tentang
cinta kepada para pembacanya terutama umat Kristiani itu sendiri. Maka, yang menjadi locus
konseptual dari karya Works of Love adalah hati nurani. Segala hal tentang cinta berasal dari
hati nurani dan cinta merupakan hasil dari hati nurani itu sendiri. Dalam mewujudkan cinta
yang murni, setiap orang dihadapkan pada memenuhi cinta diri sendiri dan ketegangan antara
cinta eros dan cinta agape.
Cinta Eros dan Cinta Agape
Dalam buku Kierkegaard’s Ethics of Love: Divine Commands and Moral Obligation yang
dikutip oleh Bagas Brahmanthio, Stephen Evans menyatakan bahwa setidaknya ada 5 poin
ketegangan antra cinta eros dan cinta agape: pertama, Cinta Eros berifat egosentris, sedangan
cinta agape bersifat teosentris; kedua, Cinta Eros dalah kepentingan yang serakah, sedangkan
cinta agape adalah pemberian diri; ketiga, Cinta Eros sering dipahami sebagai cinta duniawi,
sedangkan cinta agape adalah kurnia dari Allah yang turun ke dalam diri manusia; keempat,
sumber eros adalah keinginan manusia, sedangkan sumber dari cinta agape adalah rahmat dari
Allah sendiri; dan yang kelima, cinta eros lebih tertarik pada suatu obyek, sedangkan cinta
agape justru mencimptakan dan menyentuh nilah dari segala obyek. Dari penjelasan
ketegangan-ketegangan tersebut, lalu muncul pertanyaan baru, bagaimana jika kita memaknai
perintah Yesus untuk mencintai sesama seperti mencintai dirimu sendiri (eros)?
Untuk memahami keterkaitan tersebut, patut diketahui bahwa dalam cinta diri yang ada
kaitannya dengan eros, setiap manusia perlu memiliki lompatan radikal menuju cinta agape.
Artinya, kita pun perlu memahami terlebih dahulu arti cinta diri secara lebih ketat. Orang yang
gagal mencintai diri sendiri seringkali adalah orang yang merasa rendah pada dirinya sendiri.
Maka, sebagai manusia kita perlu memahami dasar mencintai diri sendiri dan sesama dengan

19
M. Jamie Ferreira, “Love,” dalam The Oxford Handbook of Kierkegaard, disunting oleh John Lippitt dan
George Pattison (United Kingdom: Oxford University Press, 2013), 328-342.

6
benar. Dasar dari cinta diri sendiri pertama-tama haruslah didasari dengan mencintai Allah dan
cara untuk mencintai Allah adalah dengan melakukan penyangkalan diri terus menerus.
Penyangkalan diri inilah yang menjadi lompatan dari cinta eros menjadi cinta agape. Maka,
sasaran dari mencintai diri sendiri dan sesama adalah Cinta Kasih Allah sendiri yang telah
mencintai manusia tanpa pamrih.
Cinta Murni dan Cinta Spontan
Perbedaan Cinta Murni dan Cinta Spontan terkadang juga menjadi sulit dibedakan karena
sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari manusia. Untuk mendapatkan perbedaan dari cinta
tersebut, perlu dilihat dari buah-buah cinta yang ada pada orang yang sedang mengejar cinta
kepada orang yang ia kasihi. Dalam Works of Love, Kierkegaard membahasakannya dengan
sangat indah, “To love without passion is an impossibility; but the distinction between earthly
and Christian love lies therefore in the one possible eternal difference of passion. Any other
difference bettween earthly and Christian love cannot well be imagined.”
Sebagai contoh, jika Joko mencintai Mariyam dengan cinta spontan, dan Mariyam tidak
kembali mencintai Joko, maka cinta Joko akan berubah menjadi kebencian. Lain halnya jika
cinta spontan Joko kepada Mariyam berubah menjadi cinta yang murni (yaitu ada kewajiban
dalam dirinya untuk mencintai orang lain), maka cinta Mariyam bukan lagi utama pada
permintaan Joko untuk dicintai kembali dan cinta Joko tidak akan berubah menjadi kebencian
pada Maryam. Cinta tidak lagi berpusat pada urusan balasan atau tidak, namun yang menjadi
utama adalah apakah Joko dalam dirinya sendiri sungguh-sungguh mencintai Mariyam atau
tidak (kebenaran obyektif).20
Maka, cinta Joko kepada Mariyam bukan lagi sebagai cinta diri, tetapi sebagai kewajiban
dalam dirinya sendiri untuk mau mencintai Mariyam dengan agape, cinta murni. Dengan
demikian, identitas cinta bukan lagi ditentukan dari obyek yang kita cintai melainkan dari
ketulusan hati dari sang subyek. Cinta murni memang tidak akan pernah membebaskan
manusia dari kemalangan tetapi justru menyelamatkan dirinya dari keputusasaan dan mendapat
pengiburan secara menyeluruh serta mendalam dari dirinya sendiri. 21 Cinta yang murni inilah
yang bersifat ilahi, dimana orang dapat mencintai dengan tulus sesuai dengan perintah Allah.
Orang yang dapat mencintai dengan tulus dan sesuai dengan perintah Allah ini memiliki
kebnijaksanaan cinta, karena dalam dirinya ia telah membagikan kebijaksanaan Kristiani
dalam pengalaman cinta secara murni di kehidupan sehari-harinya.

20
Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, 113.
21
Robert C. Roberts, “Kierkegaard and Ethical Theory,” dalam Ethics, Love, and Faith in Kierkegaard, disunting
oleh Edward F. Mooney (Bloomington: Indiana University Press, 2008), 90.

7
Paradoks Cinta
Dalam karya Works of Love, Kierkegaard menyajikan tentang paradoks dari cinta. Paradoks
dimana cinta dapat diartikan sebagai sebuah rahmat dan juga sebuah kebutuhan manusia.
Meskipun ia berpikir bahwa kemampuan kita untuk mencintai adalah sebuah rahmat, ada
sebuah kebutuhan dari dalam dirinya untuk mengekspresikan cinta tersebut. Dalam karyanya
ini, Kiekegaard menjelaskan dengan penuh gairah tentang kebutuhan manusia untuk dicintai:
Our innate need for companionship, how deeply the need of love is rooted in human nature!;
this need FOR love is, however, also a need TO love - we have a deep need ‘to love and be
loved’ (SKS9:156/WL:154-155). 22
Dari rahmat untuk mencintai ini, Kierkegaard mulai memberikan gambaran atas paradoks
cinta itu. Dalam halaman yang lain, ia menyimpulkan bahwa hidup dapat menjadi penuh makna
saat kita mencintai orang lain, dan tanpa cinta ini kita tidak dapat hidup dengan sepenuhnya.
Jika kebutuhan cinta kita adalah untuk mencintai, maka tindakan mencintai adalah hal yang
paling alami yang dapat kita lakukan dan tindakan mencinta pun sebenarnya dapat kita anggap
tidak perlu diperintahkan oleh Allah. Untuk mengatasi ketegangan ini, Kierkegaard
menunjukkan bahwa perintah Allah bukan meminta kita untuk mencintai, namun bagaimana
cara kita mencintai. Paradoks dari cinta lainnya yang cukup sering dibicarakan dari karya
Kierkegaard adalah bagaimana ia memandang cinta dalam bentuk perbedaan dan kesetaraan.
Cinta yang paradoks dapat ditemukan disaat kita berusaha untuk menghormati kesetaraan cinta
yang mutlak dalam diri setiap orang, kita juga dalam kenyataannya mencintai orang lain
dengan cara dan kekhasannya sendiri. 23
Lalu, bagaimana kita dapat tahu bahwa Kierkegaard mempertahankan apa yang khas dari
cinta eros? Dalam Works of Love, Kierkegaard menjawabnya dengan memberikan sebuah
ilustrasi suami dan istri yang memiliki suatu jenis hubungan tertentu: 'that she is your wife is
then a more precise specification of your particular relationship to each other' 24Artinya bahwa
seorang suami menyebut orang lain sebagai istrinya telah menunjukkan spesifikasi yang tepat
dalam hubungan khusus diantara mereka. Dengan kata lain, secara normatif cinta menjadi
atentif kepada orang yang kita lihat / ada di antara kita (cinta sebagai sebuah visi). Singkatnya,
karena cinta adalah perbuatan memberikan perhatian kepada orang lain, hal tersebut dapat
terungkapkan dan diketahui bentuknya dalam ekspresi yang muncul (baik lewat cara

22
Søren Kierkegaard, Works of Love, 154-155.
23
M. Jamie Ferreira, “Love,” 338.
24
Søren Kierkegaard, Works of Love, 267.

8
memanggil, ungkapan perasaan, perbuatan, dsb). Ekspresi cinta dapat terlihat orisinalitasnya
meskipun orang tersebut gagal untuk mencapai tujuan utamanya.
VI. Kesimpulan dan Tanggapan Kritis
Karya Kierkegaard Works of Love memberikan gambaran dan nuansa tentang cinta yang
sangat kaya dan khas. Ia menyatakan bahwa apapun bentuk cinta yang dimiliki dan diusahakan
oleh manusia berasal dari cinta yang tanpa batas. Kierkegaard memberikan ilustrasi sangat
indah atas kesimpulan tersebut. Ia menyatakan bahwa bahwa kita dapat mencintai dan mengapa
kita dapat mencintai, seperti seorang anak memberikan hadiah pada orangtuanya dimana ia pun
sudah mendapatkan banyak dari orangtua tersebut. “It is like a child’s giving his parents a
present, purchased, however, with what the child has received from his parents”
(SKS20/KJN4: NB:133 [JP 2: 1121]).25
Meskipun Kierkegaard memberikan begitu banyak pencerahan akan makna cinta bagi
orang banyak, masih ada hal-hal yang perku dikritisi terutama dalam pemikirannya tentang
preferential love (keberpihakkan cinta). Dalam pandangan Jamie Ferreira, seringkali
permasalahan dalam cinta yang berpihak pada seseorang bukan berasal dari kesalahan kita
sendiri. Cinta yang berpihak itu menjadi rapuh karena sikap ini berkembang dan mati sejalan
dengan keegoisan dan kefanaan kita sebagai manusia. Tugas memelihara martabat dan
kesetaraan orang lain pun menjadi hal yang sulit untuk dilakukan.26
Penurut pandangan penulis sendiri, pemaknaan cinta menurut Kierkegaard ini masih sangat
terbatas untuk kalangan umat Kristiani atau memiliki pemahaman dasar tentang ajaran
Kristiani. Pembaca karya-karya Kierkegaard diandaikan setidaknya sudah memiliki
pemahaman atau latarbelakang yang cukup tentang ajaran umum Kristiani. Apalagi ada banyak
bagian didalam karya-karyanya mengutik ayat-ayat yang ada di dalam kitab suci Alkitab.
Pada akhirnya, penulis tetap memandang usaha Kierkegaard untuk memberikan
pemaknaan lebih dalam akan cinta kasih telah memberikan perspektif yang lebih dalam dan
luas lagi bagi banyak orang yang berusaha memahami cintanya pada diri sendiri dan orang lain.
Ia mengundang setiap dari kita untuk mau menunjukkan dan mengarahkan kebebasan kita
secara utuh pada taraf lompatan hidup religius. Segala hal yang kita lakukan tidak akan menjadi
sempurna jika kita masih hidup dalam taraf terendah yang Kierkegaard sering sebut sebagai
tahap estetis (eros).

25
M. Jamie Ferreira, “Love,” 342.
26
M. Jamie Ferreira, “Love,” 342.

9
Daftar Pustaka

Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2011.

Brahmanthio, Bagas. “Cinta Mencintai Cinta,” Majalah Ilmiah Rajawali, -.

Copleston, Frederick . A History of Philosophy: Volume VII Bentham to Russell. London:


Burns and Oates Limited, 1996.

Evans, C. Stephen. Kierkegaard on Faith adn the Self. Texas: Baylor University Press, 2006.

Ferreira, M. Jamie. “Love,” dalam The Oxford Handbook of Kierkegaard. Disunting oleh John
Lippitt dan George Pattison. United Kingdom: Oxford University Press, 2013.

Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzeche. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004.

Kierkegaard, Søren. Works of Love (dengan judul asli: Kjerlighedens Gjerninger).


Diterjemahkan oleh David F. Swenson dan Lillian Marvin Swenson. Princeton: Princeton
University Press, 1949.

Palmer, Donald L. Kierkegaard untuk Pemula. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010.

Piety, M. G. dan Edward F. Mooney. Søren Kierkegaard: Repetition and Philosophical


Crumbs. United Kingdom: Oxford University Press Inc., 2009.

Roberts, Robert C. “Kierkegaard and Ethical Theory,” dalam Ethics, Love, and Faith in
Kierkegaard. Disunting oleh Edward F. Mooney. Bloomington: Indiana University Press,
2008.

Tjaya, Thomas Hidya. Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri. Jakarta: PT.
Gramedia, 2004.

Vardy, Peter. Kierkegaard. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001.

10

Anda mungkin juga menyukai