Dengan rahmat Allah, Tuhan YME yang telah memberikan kesempatan pada kami
untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Eksistensi Manusia sebagai Mahluk Subjektif dan Individual”
dengan tepat waktu. Makalah yang berjudul “Eksistensi Manusia sebagai Mahluk Subjektif
dan Individual” disusun guna memenuhi tugas yang diberi oleh Bapak Manaon Nainggolan,
S.Th., MA selaku dosen Filsafat Manusia di Universitas Persada Indonesia Y.A.I. Selain itu,
kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembacanya. Kami
mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah mendukung serta membantu penyelesaian
makalah. Kami memohon maaf apabila ada ketidaksesuaian kata dan kalimat. Meskipiun
demikian, kami terbuka terhadap kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah.
Kelompok-2
1
DAFTAR ISI
a. Tahap Estetis……………………………………………………………………..... 9
c. Tahap Religious………………………………………………………………….... 10
Kesimpulan …………………………………………………………………………….…. 11
2
Latar Belakang Lahirnya Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme juga lahir sebagai reaksi terhadap idealism. Idealism dan materialism
adalah dua pandangan filsafat tentag hakekat yang ekstrim. Materialism menganggap mausia
hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subyek, dan hal ini dilebih-lebihkan pula oleh
paham idealism yang menganggap tidak ada benda lain selain pikiran. Idealism memandang
manusia hanyalah sebagai subyek, dan materialism memandang sebagai obyek.
Maka munculah eksistensialisme sebagai jalan keluar dari kedua paham tersebut, yang
menempatkan manusia sebagai subyek sekaligus obyek. Manusia sebagai tema sentral dalam
pemikiran.
3
Munculnya eksistensialisme juga didorong oleh situasi dunia secara umum, terutama
dunia Eropa barat. Pada waktu itu kondisi dunia pada umumnya tidak menentu akibat perang.
Di mana-mana terjadi krisis nilai. Manusia menjadi orang yang gelisah, merasa eksistensnya
terancam oleh ulahnya sendiri. Manusia melupakan individualitasnya. Dari sanalah para
filosos berfikir dan mengharap adanya pegangan yang dapat mengeluarkan manuisa dari
krisis tersebut. Dari proses itulah lahir eksistensialisme.
4
hubungan yang erat dengan ayahnya. Ia belajar untuk memanfaatkan ranah imajinasinya
melalui serangkaian latihan dan permainan yang mereka mainkan bersama.
Ayah Kierkegaard meninggal dunia pada 9 Agustus 1838 pada usia 82 tahun.
Sebelum meninggal dunia, ia meminta Søren agar menjadi pendeta. Søren sangat terpengaruh
oleh pengalaman keagamaan dan kehidupan ayahnya dan merasa terbeban untuk memenuhi
kehendaknya. Ia melanjutkan pelajarannya dalam bidang teologi di Universitas Kopenhagen,
namun sementara di sana ia semakin tertarik akan filsafat dan literatur. Di universitas,
Kierkegaard menulis disertasinya, Tentang Konsep Ironi dengan Rujukan Terus-Menerus
kepada Socrates, yang oleh panel universitas dianggap sebagai karya yang penting dan
dipikirkan dengan baik, namun agak terlalu berbunga-bunga dan bersifat sastrawi untuk
menjadi sebuah tesis filsafat. Kierkegaard lulus pada 20 Oktober 1841 dengan gelar Magistri
Artium, yang kini setara dengan Ph.D. Dengan warisan keluarganya, Kierkegaard dapat
membiayai pendidikannya, dan ongkos hidupnya.
Regine Olsen, cintanya dalam hidupnya, dan bahan-bahan tulisannya. Sebuah aspek
penting dari kehidupan Kierkegaard (biasanya dianggap mempunyai pengaruh besar dalam
karyanya) adalah pertunangannya yang putus dengan Regine Olsen (1822 - 1904).
Kierkegaard berjumpa dengan Regine pada 8 Mei 1837 dan segera tertarik kepadanya. Begitu
pula dengan Regine. Pada 8 September 1840, Kierkegaard resmi meminang Regine. Namun,
Kierkegaard segera merasa kecewa dan melankolis tentang pernikahan. Kurang dari setahun
setelah pinangannya, ia memutuskannya pada 11 Agustus 1841. Dalam jurnal-jurnalnya,
Kierkegaard menyebutkan keyakinannya bahwa sifat “melankolis”nya membuatnya tidak
cocok untuk menikah; tetapi motif sebenarnya untuk memutuskan pertunangannya itu tetap
tidak jelas. Biasanya diyakini bahwa keduanya memang sangat saling mencintai, barangkali
bahkan juga setelah Regine menikah dengan Johan Frederik Schlegel (1817–1896), seorang
pegawai negeri terkemuka.
5
Pemikiran dan Kritik dari Soren Kierkegaard
Yang membuat Kierkegaard terkesan adalah fakta bahwa yang menjadi ciri
pendekatan Hegel sebenarnya juga merupakan ciri dari pendekatan para ilmuwan dari semua
jenis ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan, “objektivitas” merupakan salah satu
kriteria paling penting untuk mencapai “kebenaran ilmiah”. Suatu proposisi atau teori ilmiah
mempunyai nilai kebenaran, sejauh proposisi atau teori itu mengacu pada realitas objektif.
Adapun syarat paling utama untuk mencapai hal itu adalah: Kita (observer) harus bersikap
6
objektif, hanya mendeskripsikan dan menjelaskan setiap kejadian “apa adanya”. Setiap
bentuk pertimbangan dan/atau penilaian subjektif dari pihak pengamat (observer), dianggap
bisa merusak objektivitas (kebenaran yang objektif). Kalau begitu, sikap kita sebetulnya tidak
jauh berbeda dari sikap Hegel, yang mengira jadi penonton pentas dunia. Dengan sinis,
Kierkegaard menulis: “... kecenderungan yang menyarankan kita agar menjadi pengamat
objektif pada dasarnya sama dengan menyarankan kita untuk menjadi seorang hantu!”
Kesamaan lain antara filsafat Hegel dan ilmu pengetahuan terletak pada penggunaan
abstraksi atau generalisasi. Abstraksi adalah suatu proses dan/atau produk pemikiran manusia
yang menanggalkan ciri-ciri khusus dari kenyataan konkret dan individual, untuk melihat dri-
ciri umumnya saja. Dengan cara itu kita harapkan mampu memperoleh hukum-hukum umiun
di balik kenyataan yang konkret individual. Ada perhubungan erat antara objektivitas,
generalisasi, dan kebenaran ilmiah. Semakin objektif suatu hukum atau teori, maka semakin
berlaku umum hukum atau teori itu (jadi berlakunya hukum atau teori itu tidak terbatas pada
satu atau dua gejala individual saja), dan dengan demikian kebenaran dari hukum itu pun bisa
dipertahankan.
Kierkegaard bukan tidak mengakui adanya sisi positif dari moralitas hasil konsensus,
seperti misalnya pada hukum positif, yang diberlakukan secara umum oleh suatu
7
pemerintahan. Yang dikritik oleh Kierkegaard adalah efek negatif dari konsensus itu, yang
sering kali menjadi tameng atau kedok murahan, agar terhindar dari tanggung jawab pribadi.
Di balik tameng "kepentingan nasional", kita rela memanipulasi kebenaran. Atas nama
konsensus, kita merasa sah menjadi manusia massa!
Adapun kritik Kierkegaard atas sikap ideal Hegelian dan sikap objektif ilmu
pengetahuan, yang menolak kita untuk menjadi pengamat, bisu atau penonton objektif,
dilandasi oleh keyakinannya bahwa manusia pada prinsipnya bukan makhluk yang melulu
rasional, atau "hantu" tanpa kehendak dan perasaan, melainkan makhluk yang merasa dan
menghendaki secara bebas. Sikap "ideal" dan "objektif", menurut Kierkegaard,
mengandaikan dominasi intelek (rasio) manusia kehendak bebas dan afeksi manusia.
Tindakan dan peristiwa manusia tidak berdasarkan rasio (intelek), tapi juga pada pilihan
bebas dan emosi spontannya. Dengan kata lain, manusia bukan makhluk yang murni rasional,
atau yang mampu menjadi pengamat objektif, atau sanggup mengambil jarak dari segala
kejadian, tetapi makhluk yang mempertimbangkan pertimbangan emosional dan praktis (in
action).
8
Satu aspek yang melekat pada kebebasan adalah tanggung jawab. Kebebasan dan
tanggung jawab merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Tidak bisa dibenarkan
seseorang yang mengaku dirinya bebas, tapi tidak mau bertanggung jawab atas kebebasannya
itu. Konsekuensi apapun dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu adalah
tanggung jawab individu itu sendiri.
Masalah kebebasan dan tanggung jawab adalah masalah yang fundamental dan
krusial. Sumber permasalahan utama eksistensi manusia sesungguhnya terletak pada masalah
kebebasan dan tanggung jawab itu. Kebebasan dan tanggung jawab itu yang selalu diinginkan
dan bahkan diperjuangkan oleh hampir setiap manusia, ternyata bukanlah sesuatu yang
menyenangkan. Sebaliknya, kebebasan justru sering mendatangkan persoalan, yakni
menimbulkan rasa cemas dan gelisah. Maka dibutuhkan suatu kebijaksanaan tertentu agar
bisa mengurangi atau meminimalkan resiko seperti itu. Kierkegaard sebetulnya tidak
mengajarkan kebijaksanaan. Akan tetapi, belajar dari pengalaman hidupnya yang tragis dan
tidak cukup transparan (meski sebetulnya cukup menyakinkan), kita masih bisa menangkap
pesan kebijaksanaan.
1. Tahap estetis
Tahap estetis, yaitu tahap dimana orientasi hidup manusia sepenuhnya diarahkan
untuk mendapatkan kesenangan. Pada tahap ini manusia dikendalikan oleh naluri – naluri
seksual (libodo), oleh prinsip-prinsip kesenangan yang hedonistik, dan biasanya bertindak
menurut suasana hati (mood). Kierkegaard mengambil sosok Don Juan sebagai model
manusia estetis. Don Juan hidup sebagai hedonis yang tidak mempunyai komitmen dan
keterlibatan apapun dalam hidupnya. Tidak ada cinta, dan tidak ada ketertarikan untuk
mengikatkan diri dalam suatu perkawinan. Cinta dan perkawinan adalah hambatan untuk
pertualangan dan kebebasan, dan oleh sebab itu bisa dianggap mengurangi kesenangan.
Manusia estetis hidup untuk dirinya sendiri, untuk kesenangan dan kepentingan pribadinya.
Manusia estetis pun adalah manusia yang hidupnya tanpa jiwa. Ia tidak mempunyai
akar dan isi di dalam jiwanya. Kemauanya adalah mengikatkan diri pada kecenderungan
9
masyarakat dan zamannya. Namun kesemuannya itu tidak dilandasi oleh passion apapun,
selain keinginan untuk sekedar mengetahui dan mencoba.
Manusia estetis terdapat di mana saja dan kapan saja. Manusia estetis bisa mewujud
pada siapa saja, termasuk pada para filsuf dan ilmuwan, sejauh mereka tidak mempunyai
passion, tidak mempunyai antusiasme, komitmen, dan keterlibatan tertentu dalam hidupnya.
Jiwa estetis mereka tampak dari pretensi mereka untuk menjadi “penonton objektif”
kehidupan. Mereka hanya mengamati dan mendeskrisipkan setiap kejadian yang mereka
amati dan alamidalam kehidupan. Jadi, mereka sebetulnya tidak sungguh-sungguh hidup,
karena mereka tidak merasa perlu menceburkan diri ke dalam realitas hidup yang
sesungguhnya.
Kalau manusia hidup secara hedonis dan tidak mempunyai passion atau antusiasme
dan keterlibatan, lalu apa yang sebetulnya terjadi dalam jiwa mereka? Keputusasaan!
Manusia estetis tidak mempunyai pegangan yang pasti dan niscaya, yang bisa dijadikan
sebagai akar atau tambatan yang kokoh dalam menjalankan hidupnya. Manusia estetis adalah
manusia yang pada akhir hidupnya hampir tidak bisa lagi menentukan pilihan, karena
semakin banyak alternatif yang ditawarkan masyarakat dan zamannya. Jalan keluarnya hanya
ada dua: bunuh diri (bisa juga lari dalam kegilaan) atau masuk dalam tingkatan hidup yang
lebih tinggi, yakni tingkatan etis.
2. Tahap etis
Memilih hidup dalam tahap etis berarti mengubah pola hidup yang semula estetis
menjadi etis. Hidup manusia etis tidak untuk kepentingannya sendiri, melainkan demi nilai-
nilai kemanusiaan yang jauh lebih tinggi. Lain dari itu, jiwa individu etis sudah mulai
terbentuk, sehingga hidupnya tidak lagi tergantung pada masyarakat dan zamannya. Akar-
akar kepribadiannya cukup kuat dan tangguh.
Manusia etis pun akan sanggup menolak tirani atau kuasa dari luar, baik yang bersifat
represif maupun nonrepresif, sejauh tirani atau kuasa itu tidak sejalan dengan apa yang
diyakininya. Oleh sebab itu, sosok yang dipilih Kierkegaard Sebagai model dari hidup etis
adalah Socrates. Namun, sosok Socrates belum sampai pada tahapan eksistensi yang
sesungguhnya. Ia belum sampai pada tahap yang lebih tinggi, yakni tahap religious.
10
3. Tahap religious
Lompatan dari tahap etis ke tahap religious jauh lebih sulit dan sublime dari pada
lompatan dari tahap estetis ke tahap etis. Kerena, seandainya kita hendak melompat dari
tahap estetis ke tahap etis, maka secara rasional kita bisa mempertimbangkan segaka
konsekuensi yang mungkin akan kita hadapi, sedangkan lompatan dari tahan etis ke tahap
religious nyaris tanpa pertimbangan rasional.
Hidup dalam Tuhan adalah hidup dalam subjektivitas transenden, tanpa rasionalisasi
dan tanpa ikatan pada sesuatu yang bersifat duniawi atau mundane. Kesulitan atau hambatan
yang pertama-tama dijumpai oleh individu adalah paradoksalitas yang terdapat didalam
Tuhan sendiri. Tuhan (dan perintahnya) adalah sesuatu paradoks.
Tantangan berikutnya yang dirasakan individu saat akan memilikh hidup dijalan
Tuhan adalah kecemasan yang mencekan dan menggetarkan (Angst). Berbeda dari ketakutan,
kecemasan bersifat metafisik. Oleh sebab itu, sebelum memutuskan untuk memasukinya,
akan timbul rasa was-was. Demikian pula, hanya dengan keyakinan pribadi yang
berlandaskan iman, kita berani menceburkan diri dalam Tuhan, dengan rasa aman dan
bahagia. Hidup manusia akan berakhir dalam kebahagiaan abadi, kalau ia sudah berasa
dalam tahap eksistensi yang religious.
Kesimpulan
Pada dasarnya aliran eksitensialisme ini merupakan bentuk ketidak puasan terhadap
filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan. Kemunculan
aliran ini juga didorong oleh situasi dunia secara umum terutama dunia Eropa Barat di saat
kondisi dunia pada umunya tidak menentu akibat perang. Seorang filsuf beraliran
arti hidup sesungguhnya jika ia menghubungkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tidak
terbatas dan merenungkan hidupnya itu. Pada awal perjalanan filsufnya ia mengagumi
pandangan Hegel, yang akhirnya ia kritik juga yang dalam kritiknya terhadap Hegel ia
mengatakan bahwa setiap individu pada asasnya (harus) mempunyai keterlibatan dan
11
komitmen tertentu pada setiap perisitiwa yang dilihat atau dialaminya, sehingga ia tidak bisa
hanya berperan sebagai seorang pengamat objektif, melainkan sekaligus adalah seorang aktor
yang berperan aktif dalam setiap apa yang dilihat atau dialaminya. Dalam pemikirannya juga
ia mengemukakan tentang tiga tahapan eksistensi manusia yaitu, tahap estetis, tahap etis, dan
tahap religius.
12
Daftar Pustaka
13