Anda di halaman 1dari 14

Eksistensi Manusia sebagai Mahluk Subjektif dan Individual

Kelompok 2 (Kelas 2C):

Alisyah Ghardiya Putri (2024090225)

Arie Ramadhan Purtrianto (2024090072)

Atikah Mahirah (2024090209)

Dara Nadia (2024090228)

Eko Adjie Saputra (2024090151)

Farasya Manzilla (2024090222)

Jonathan Onesto Rizky Naulian (2024090193)

Muhammad Riza Zamzami (2024090200)

Rachmalia Dyah Monoarfa (2024090264)

Shera Marsyanda (2024090197)

Sisylia Lauren (2024090178)

Fakultas Psikologi, Jurusan Psikologi (S-1)

Universitas Persada Indonesia “YAI”

Jl. Pangeran Dipoegoro No. 74 Senen, Jakarta Pusat


Kata Pengantar

Dengan rahmat Allah, Tuhan YME yang telah memberikan kesempatan pada kami

untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan

makalah yang berjudul “Eksistensi Manusia sebagai Mahluk Subjektif dan Individual”

dengan tepat waktu. Makalah yang berjudul “Eksistensi Manusia sebagai Mahluk Subjektif

dan Individual” disusun guna memenuhi tugas yang diberi oleh Bapak Manaon Nainggolan,

S.Th., MA selaku dosen Filsafat Manusia di Universitas Persada Indonesia Y.A.I. Selain itu,

kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembacanya. Kami

mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah mendukung serta membantu penyelesaian

makalah. Kami memohon maaf apabila ada ketidaksesuaian kata dan kalimat. Meskipiun

demikian, kami terbuka terhadap kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah.

Jakarta, 21 Mei 2021

Kelompok-2

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………………… 1

Daftar isi …………………………………………………………………………………. 2

Latar Belakang Lahirnya Aliran Eksistensialisme ………………………………………. 3

Soren Aabye Kierkegaard ………………………….……………………………………. 4

Pemikiran dan Kritik dari Soren Kierkegaard ……………………………………………. 6

3 Tahap Eksistensi Manusia…….………………….……………………………………… 9

a. Tahap Estetis……………………………………………………………………..... 9

b. Tahap Etis ……………………………………………………………………….... 10

c. Tahap Religious………………………………………………………………….... 10

Kesimpulan …………………………………………………………………………….…. 11

Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………., 13

2
Latar Belakang Lahirnya Aliran Eksistensialisme

Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran yang lahir karena


ketidakpuasan beberapa filosof terhadap filsafat pada masa Yunani hingga modern, seperti
protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan spekulatif tentang manusia.
Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu
kumpulan keyakinan, khusunya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat
tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan, juga pemberontakan
terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas
teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang
berinteraksi.

Eksistensialisme muncul sebagai reaksi terhadap


pandangan materialism.Paham paham materialism ini memandang bahwa pada akhirnya
manusia itu adalah benda, layaknya batu atau kayu, meski tidak secara ekplisit.Materialism
menganggap hakekat manusia itu hanyalah sesuatu yang material, betul-betul materi.
Meterialisme menganggap bahwa dari segi keberadaannya manusia sama saja dengan benda-
benda lainnya, sementara eksistensialisme yakin bahwa cara berada manusia dengan benda
lain itu tidaklah sama. Manusia dan benda lainnya sama-sama berada di dunia, tapi manusia
itu mengalami beradanya dia di dunia, dengan kata lain manusia menyadari dirinya ada di
dunia. Eksistensialisme menempatkan manusia sebagai subyek, artinya sebagai yang
menyadari.Sedangkan benda-benda adalah obyek.

Eksistensialisme juga lahir sebagai reaksi terhadap idealism. Idealism dan materialism
adalah dua pandangan filsafat tentag hakekat yang ekstrim. Materialism menganggap mausia
hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subyek, dan hal ini dilebih-lebihkan pula oleh
paham idealism yang menganggap tidak ada benda lain selain pikiran. Idealism memandang
manusia hanyalah sebagai subyek, dan materialism memandang sebagai obyek.
Maka munculah eksistensialisme sebagai jalan keluar dari kedua paham tersebut, yang
menempatkan manusia sebagai subyek sekaligus obyek. Manusia sebagai tema sentral dalam
pemikiran.

3
Munculnya eksistensialisme juga didorong oleh situasi dunia secara umum, terutama
dunia Eropa barat. Pada waktu itu kondisi dunia pada umumnya tidak menentu akibat perang.
Di mana-mana terjadi krisis nilai. Manusia menjadi orang yang gelisah, merasa eksistensnya
terancam oleh ulahnya sendiri. Manusia melupakan individualitasnya. Dari sanalah para
filosos berfikir dan mengharap adanya pegangan yang dapat mengeluarkan manuisa dari
krisis tersebut. Dari proses itulah lahir eksistensialisme.

Kierkegaard seorang pemikir Denmark yang merupakan filsuf eksistensialisme yang


terkenal abad 19 berpendapat bahwa manusia dapat menemukan arti hidup sesungguhnya jika
ia menghubungkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tidak terbatas dan merenungkan
hidupnya untuk melakukan itu. Jean-Paul Sartre berpendapat eksistensi mendahului esensi,
manusia adalah makhluk eksistensi, memahami dirinya dan bergumul di dalam dunia.
Kemudian ia menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki suatu apapun, namun dia dapat
membuat sesuatu bagi dirinya sendiri.

Soren Aabye Kierkegaard

Søren Aabye Kierkegaard lahir pada 5 Mei 1813 di Kopenhagen, Denmark. Ia


dilahirkan dalam sebuah keluarga kaya di Kopenhagen yang merupakan ibu kota dari
Denmark. Ia adalah anak paling muda dari tujuh bersaudara. Terkadang dia menyebut dirinya
seorang anak berumur tua karena ibunya berusia 45 dan ayahnya berusia 56 ketika dia
dilahirkan. Kierkegaard sangat terpengaruh pada masa mudanya dengan ajaran ayahnya yang
sangat relijius yang sangat terkesan dengan penderitaan Yesus. Ayahnya, Michael Pedersen
Kierkegaard, adalah seseorang yang sangat saleh. Ia yakin bahwa ia telah dikutuk Tuhan, dan
karena itu ia percaya bahwa tak satupun dari anak-anaknya akan mencapai umur melebihi
usia Yesus Kristus, yaitu 33 tahun. Ia percaya bahwa dosa-dosa pribadinya, seperti misalnya
mengutuki nama Allah pada masa mudanya dan kemungkinan juga menghamili ibu
Kierkegaard di luar nikah, menyebabkan ia layak menerima hukuman ini. Perkenalan dengan
pemahaman tentang dosa pada masa mudanya, dan hubungannya dari ayah dan anak
meletakkan dasar bagi banyak karya Kierkegaard (khususnya Takut dan Gentar). Ibunda
Kierkegaard, Anne Sørensdatter Lund Kierkegaard, tidak secara langsung dirujuk dalam buku
bukunya, meskipun ia pun mempengaruhi tulisan-tulisannya di kemudian hari. Meskipun
sifat ayahnya kadang-kadang melankolis dari segi keagamaan, Kierkegaard mempunyai

4
hubungan yang erat dengan ayahnya. Ia belajar untuk memanfaatkan ranah imajinasinya
melalui serangkaian latihan dan permainan yang mereka mainkan bersama.

Ayah Kierkegaard meninggal dunia pada 9 Agustus 1838 pada usia 82 tahun.
Sebelum meninggal dunia, ia meminta Søren agar menjadi pendeta. Søren sangat terpengaruh
oleh pengalaman keagamaan dan kehidupan ayahnya dan merasa terbeban untuk memenuhi
kehendaknya. Ia melanjutkan pelajarannya dalam bidang teologi di Universitas Kopenhagen,
namun sementara di sana ia semakin tertarik akan filsafat dan literatur. Di universitas,
Kierkegaard menulis disertasinya, Tentang Konsep Ironi dengan Rujukan Terus-Menerus
kepada Socrates, yang oleh panel universitas dianggap sebagai karya yang penting dan
dipikirkan dengan baik, namun agak terlalu berbunga-bunga dan bersifat sastrawi untuk
menjadi sebuah tesis filsafat. Kierkegaard lulus pada 20 Oktober 1841 dengan gelar Magistri
Artium, yang kini setara dengan Ph.D. Dengan warisan keluarganya, Kierkegaard dapat
membiayai pendidikannya, dan ongkos hidupnya.

Regine Olsen, cintanya dalam hidupnya, dan bahan-bahan tulisannya. Sebuah aspek
penting dari kehidupan Kierkegaard (biasanya dianggap mempunyai pengaruh besar dalam
karyanya) adalah pertunangannya yang putus dengan Regine Olsen (1822 - 1904).
Kierkegaard berjumpa dengan Regine pada 8 Mei 1837 dan segera tertarik kepadanya. Begitu
pula dengan Regine. Pada 8 September 1840, Kierkegaard resmi meminang Regine. Namun,
Kierkegaard segera merasa kecewa dan melankolis tentang pernikahan. Kurang dari setahun
setelah pinangannya, ia memutuskannya pada 11 Agustus 1841. Dalam jurnal-jurnalnya,
Kierkegaard menyebutkan keyakinannya bahwa sifat “melankolis”nya membuatnya tidak
cocok untuk menikah; tetapi motif sebenarnya untuk memutuskan pertunangannya itu tetap
tidak jelas. Biasanya diyakini bahwa keduanya memang sangat saling mencintai, barangkali
bahkan juga setelah Regine menikah dengan Johan Frederik Schlegel (1817–1896), seorang
pegawai negeri terkemuka.

Søren Kierkegaard meninggal di Kopenhagen, Denmark, pada 11 November 1855.

5
Pemikiran dan Kritik dari Soren Kierkegaard

Dalam perjalanan karier filsafatnya, Kierkegaard pernah mengagumi idealisme Hegel.


Filsafat Hegel sangat mengagumkan karena mampu memberikan jawaban yang sangat
mendalam dan menyeluruh tentang sejarah umat manusia dalam perspektif yang sama sekali
baru pada waktu itu. Tetapi perjalanan hidup Kierkegaard yang pahit dan tragis, pada
akhirnya membawanya pada kesadaran akan pentingnya mencari jawaban atas persoalan-
persoalan hidup yang lebih konkret dan faktual, yang dialami oleh setiap manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Persoalan-persoalan seperti kesenangan, kebebasan, kecemasan,
penderitaan, kebahagiaan, kesepian, harapan, dan sebagainya adalah persoalan hidup yang
harus dicari jawaban atau maknanya. Persoalan-persoalan seperti itu tidak mungkin dapat
diterangkan oleh atau dapat dijelaskan dalam kerangka pemikiran Hegel. Idealisme Hegel
terlampau abstrak, “tidak menapak ke bawah”, melupakan kehidupan manusia dalam
kesehariannya. Kehidupan konkret dan faktual manusia serta permasalahannya yang
mengemuka, luput dari jangkauan idealisme Hegel.

Kierkegaard pun menentang pendekatan Hegel dalam mengamati sejarah


perkembangan ide manusia ‘Hegel’ demikian kritik Kierkegaard lewat sebuah tamsil,
mengira dirinya sebagai penonton sebuah Pertunjukan teater dunia. Ia hanya mengamati dan
memberi komentar di sana-sini atas kejadian-kejadian historis, yang terjadi di atas pentas
teater itu. Padahal, segenap manusia (termasuk Hegel sendiri, tentu saja) adalah aktor yang
langsung maupun tidak langsung, mengambil bagian atau peranan penting di dalam setiap
alur cerita yang dimainkannya dalam pertunjukan itu. Lewat tamsil itu hendak dikatakan oleh
Kierkegaard bahwa setiap individu pada asasnya (harus) mempunyai keterlibatan dan
komitmen tertentu pada setiap peristiwa yang dilihat atau dialaminya, sehingga ia tidak bisa
hanya berperan sebagai seorang pengamat objektif, melainkan sekaligus adalah seorang aktor
yang berperan aktif dalam setiap apa yang dilihat atau dialaminya itu.

Yang membuat Kierkegaard terkesan adalah fakta bahwa yang menjadi ciri
pendekatan Hegel sebenarnya juga merupakan ciri dari pendekatan para ilmuwan dari semua
jenis ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan, “objektivitas” merupakan salah satu
kriteria paling penting untuk mencapai “kebenaran ilmiah”. Suatu proposisi atau teori ilmiah
mempunyai nilai kebenaran, sejauh proposisi atau teori itu mengacu pada realitas objektif.
Adapun syarat paling utama untuk mencapai hal itu adalah: Kita (observer) harus bersikap

6
objektif, hanya mendeskripsikan dan menjelaskan setiap kejadian “apa adanya”. Setiap
bentuk pertimbangan dan/atau penilaian subjektif dari pihak pengamat (observer), dianggap
bisa merusak objektivitas (kebenaran yang objektif). Kalau begitu, sikap kita sebetulnya tidak
jauh berbeda dari sikap Hegel, yang mengira jadi penonton pentas dunia. Dengan sinis,
Kierkegaard menulis: “... kecenderungan yang menyarankan kita agar menjadi pengamat
objektif pada dasarnya sama dengan menyarankan kita untuk menjadi seorang hantu!”
Kesamaan lain antara filsafat Hegel dan ilmu pengetahuan terletak pada penggunaan
abstraksi atau generalisasi. Abstraksi adalah suatu proses dan/atau produk pemikiran manusia
yang menanggalkan ciri-ciri khusus dari kenyataan konkret dan individual, untuk melihat dri-
ciri umumnya saja. Dengan cara itu kita harapkan mampu memperoleh hukum-hukum umiun
di balik kenyataan yang konkret individual. Ada perhubungan erat antara objektivitas,
generalisasi, dan kebenaran ilmiah. Semakin objektif suatu hukum atau teori, maka semakin
berlaku umum hukum atau teori itu (jadi berlakunya hukum atau teori itu tidak terbatas pada
satu atau dua gejala individual saja), dan dengan demikian kebenaran dari hukum itu pun bisa
dipertahankan.

Menurut Kierkegaard, sangatlah berbahaya jika objektivitas seperti itu diterapkan


pada ilmu-ilmu tentang manusia. Kalau hukum-hukum umum digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala manusiawi yang konkret dan individual, segala kekonkretan dan individualitas
manusia akan lenyap tanpa bekas. Ia menolak segala bentuk ilmu tentang manusia, kalau
ilmu-ilmu itu justru mengorbankan keunikan dan individualitas subjek kajiannya
(manusianya).

Menurut Kierkegaard, objektivitas dan abstraksi pada akhirnya bukan hanya


menghinggapi pikiran Hegel dan para ilmuwan, tapi juga telah menulari masyarakat luas,
khususnya dalam menilai masalah-masalah moral. "Objektivitas" dalam bidang moral tampak
dari kecenderungan masyarakat untuk menerima begitu saja tanpa kritik, norma atau hukum
moral yang diberlakukan secara umum. Tetapi objektivitas dalam hal moralitas pada dasarnya
tidak berarti bahwa (seperti dalam ilmu) terdapat kesesuaian antara hukum dan kenyataan,
atau adanya "jarak" antara pengamat dengan objek yang diamati, melainkan berarti
"konsensus bersama". Penilaian baik atas suatu perbuatan, tidak berarti bahwa perbuatan itu
pada dirinya baik, melainkan karena ada "kesepakatan bersama".

Kierkegaard bukan tidak mengakui adanya sisi positif dari moralitas hasil konsensus,
seperti misalnya pada hukum positif, yang diberlakukan secara umum oleh suatu

7
pemerintahan. Yang dikritik oleh Kierkegaard adalah efek negatif dari konsensus itu, yang
sering kali menjadi tameng atau kedok murahan, agar terhindar dari tanggung jawab pribadi.
Di balik tameng "kepentingan nasional", kita rela memanipulasi kebenaran. Atas nama
konsensus, kita merasa sah menjadi manusia massa!

Kritik Kierkegaard atas idealisme Hegel, objektivisme ilmu, dan moralitas


masyarakatnya, dilandasi oleh keyakinan ontologisnya bahwa eksistensi manusia pada
prinsipnya adalah individu, personal, dan subjektif. Skema ideal dan obyektif dari idealisme
dan ilmu hanya cocok untuk menjelaskan esensi dan struktur dasariah gejala infra-human
(realitas di luar manusia) atau sesuatu yang bersifat fisik, tetapi tidak dapat diberlakukan
begitu saja pada eksistensi manusia. Peristiwa dan pengalaman eksistensial manusia yang
konkret, individu, subjektif, dan faktual memerlukan pendekatan yang khas, spesifik, dan
bersifat manusia (manusiawi).

Adapun kritik Kierkegaard atas sikap ideal Hegelian dan sikap objektif ilmu
pengetahuan, yang menolak kita untuk menjadi pengamat, bisu atau penonton objektif,
dilandasi oleh keyakinannya bahwa manusia pada prinsipnya bukan makhluk yang melulu
rasional, atau "hantu" tanpa kehendak dan perasaan, melainkan makhluk yang merasa dan
menghendaki secara bebas. Sikap "ideal" dan "objektif", menurut Kierkegaard,
mengandaikan dominasi intelek (rasio) manusia kehendak bebas dan afeksi manusia.
Tindakan dan peristiwa manusia tidak berdasarkan rasio (intelek), tapi juga pada pilihan
bebas dan emosi spontannya. Dengan kata lain, manusia bukan makhluk yang murni rasional,
atau yang mampu menjadi pengamat objektif, atau sanggup mengambil jarak dari segala
kejadian, tetapi makhluk yang mempertimbangkan pertimbangan emosional dan praktis (in
action).

Pandangan Kierkegaard tentang peran kehendak bebas berhubungan erat dengan


masalah kebebasan manusia. Ia mempunyai pandangan yang khas eksistensialis, bahwa
manusia pada prinsipnya adalah individu dan individu adalah identik dengan kebebasan.
Setiap manusia, setiap individu mengkonstitusikan (menciptakan) diri dan dunianya melalui
suatu pilihan bebas, yang dipilih dan diputuskan sendiri oleh manusia individu itu sendiri.
Terlepas, misalnya dari tuntutan keluarga yang otoriter, dari sistem politik yang represif
ataupun dari sistem sosial budaya yang ketat dan kaku, eksistensi aktual seorang individu
adalah eksistensi yang bersumber dari satu inti, yakni eksistensi dirinya.

8
Satu aspek yang melekat pada kebebasan adalah tanggung jawab. Kebebasan dan
tanggung jawab merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Tidak bisa dibenarkan
seseorang yang mengaku dirinya bebas, tapi tidak mau bertanggung jawab atas kebebasannya
itu. Konsekuensi apapun dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu adalah
tanggung jawab individu itu sendiri.

Masalah kebebasan dan tanggung jawab adalah masalah yang fundamental dan
krusial. Sumber permasalahan utama eksistensi manusia sesungguhnya terletak pada masalah
kebebasan dan tanggung jawab itu. Kebebasan dan tanggung jawab itu yang selalu diinginkan
dan bahkan diperjuangkan oleh hampir setiap manusia, ternyata bukanlah sesuatu yang
menyenangkan. Sebaliknya, kebebasan justru sering mendatangkan persoalan, yakni
menimbulkan rasa cemas dan gelisah. Maka dibutuhkan suatu kebijaksanaan tertentu agar
bisa mengurangi atau meminimalkan resiko seperti itu. Kierkegaard sebetulnya tidak
mengajarkan kebijaksanaan. Akan tetapi, belajar dari pengalaman hidupnya yang tragis dan
tidak cukup transparan (meski sebetulnya cukup menyakinkan), kita masih bisa menangkap
pesan kebijaksanaan.

Tiga Tahap Eksistensi Manusia

1. Tahap estetis

Tahap estetis, yaitu tahap dimana orientasi hidup manusia sepenuhnya diarahkan
untuk mendapatkan kesenangan. Pada tahap ini manusia dikendalikan oleh naluri – naluri
seksual (libodo), oleh prinsip-prinsip kesenangan yang hedonistik, dan biasanya bertindak
menurut suasana hati (mood). Kierkegaard mengambil sosok Don Juan sebagai model
manusia estetis. Don Juan hidup sebagai hedonis yang tidak mempunyai komitmen dan
keterlibatan apapun dalam hidupnya. Tidak ada cinta, dan tidak ada ketertarikan untuk
mengikatkan diri dalam suatu perkawinan. Cinta dan perkawinan adalah hambatan untuk
pertualangan dan kebebasan, dan oleh sebab itu bisa dianggap mengurangi kesenangan.
Manusia estetis hidup untuk dirinya sendiri, untuk kesenangan dan kepentingan pribadinya.

Manusia estetis pun adalah manusia yang hidupnya tanpa jiwa. Ia tidak mempunyai
akar dan isi di dalam jiwanya. Kemauanya adalah mengikatkan diri pada kecenderungan

9
masyarakat dan zamannya. Namun kesemuannya itu tidak dilandasi oleh passion apapun,
selain keinginan untuk sekedar mengetahui dan mencoba.

Manusia estetis terdapat di mana saja dan kapan saja. Manusia estetis bisa mewujud
pada siapa saja, termasuk pada para filsuf dan ilmuwan, sejauh mereka tidak mempunyai
passion, tidak mempunyai antusiasme, komitmen, dan keterlibatan tertentu dalam hidupnya.
Jiwa estetis mereka tampak dari pretensi mereka untuk menjadi “penonton objektif”
kehidupan. Mereka hanya mengamati dan mendeskrisipkan setiap kejadian yang mereka
amati dan alamidalam kehidupan. Jadi, mereka sebetulnya tidak sungguh-sungguh hidup,
karena mereka tidak merasa perlu menceburkan diri ke dalam realitas hidup yang
sesungguhnya.

Kalau manusia hidup secara hedonis dan tidak mempunyai passion atau antusiasme
dan keterlibatan, lalu apa yang sebetulnya terjadi dalam jiwa mereka? Keputusasaan!
Manusia estetis tidak mempunyai pegangan yang pasti dan niscaya, yang bisa dijadikan
sebagai akar atau tambatan yang kokoh dalam menjalankan hidupnya. Manusia estetis adalah
manusia yang pada akhir hidupnya hampir tidak bisa lagi menentukan pilihan, karena
semakin banyak alternatif yang ditawarkan masyarakat dan zamannya. Jalan keluarnya hanya
ada dua: bunuh diri (bisa juga lari dalam kegilaan) atau masuk dalam tingkatan hidup yang
lebih tinggi, yakni tingkatan etis.

2. Tahap etis

Memilih hidup dalam tahap etis berarti mengubah pola hidup yang semula estetis
menjadi etis. Hidup manusia etis tidak untuk kepentingannya sendiri, melainkan demi nilai-
nilai kemanusiaan yang jauh lebih tinggi. Lain dari itu, jiwa individu etis sudah mulai
terbentuk, sehingga hidupnya tidak lagi tergantung pada masyarakat dan zamannya. Akar-
akar kepribadiannya cukup kuat dan tangguh.

Manusia etis pun akan sanggup menolak tirani atau kuasa dari luar, baik yang bersifat
represif maupun nonrepresif, sejauh tirani atau kuasa itu tidak sejalan dengan apa yang
diyakininya. Oleh sebab itu, sosok yang dipilih Kierkegaard Sebagai model dari hidup etis
adalah Socrates. Namun, sosok Socrates belum sampai pada tahapan eksistensi yang
sesungguhnya. Ia belum sampai pada tahap yang lebih tinggi, yakni tahap religious.

10
3. Tahap religious

Lompatan dari tahap etis ke tahap religious jauh lebih sulit dan sublime dari pada
lompatan dari tahap estetis ke tahap etis. Kerena, seandainya kita hendak melompat dari
tahap estetis ke tahap etis, maka secara rasional kita bisa mempertimbangkan segaka
konsekuensi yang mungkin akan kita hadapi, sedangkan lompatan dari tahan etis ke tahap
religious nyaris tanpa pertimbangan rasional.

Hidup dalam Tuhan adalah hidup dalam subjektivitas transenden, tanpa rasionalisasi
dan tanpa ikatan pada sesuatu yang bersifat duniawi atau mundane. Kesulitan atau hambatan
yang pertama-tama dijumpai oleh individu adalah paradoksalitas yang terdapat didalam
Tuhan sendiri. Tuhan (dan perintahnya) adalah sesuatu paradoks.

Tantangan berikutnya yang dirasakan individu saat akan memilikh hidup dijalan
Tuhan adalah kecemasan yang mencekan dan menggetarkan (Angst). Berbeda dari ketakutan,
kecemasan bersifat metafisik. Oleh sebab itu, sebelum memutuskan untuk memasukinya,
akan timbul rasa was-was. Demikian pula, hanya dengan keyakinan pribadi yang
berlandaskan iman, kita berani menceburkan diri dalam Tuhan, dengan rasa aman dan
bahagia. Hidup manusia akan berakhir dalam kebahagiaan abadi, kalau ia sudah berasa
dalam tahap eksistensi yang religious.

Kesimpulan

Pada dasarnya aliran eksitensialisme ini merupakan bentuk ketidak puasan terhadap

filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan. Kemunculan

aliran ini juga didorong oleh situasi dunia secara umum terutama dunia Eropa Barat di saat

kondisi dunia pada umunya tidak menentu akibat perang. Seorang filsuf beraliran

eksistensialisme, Soren Aabye Kierksgaard berpendapat bahwa manusia dapat menemukan

arti hidup sesungguhnya jika ia menghubungkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tidak

terbatas dan merenungkan hidupnya itu. Pada awal perjalanan filsufnya ia mengagumi

pandangan Hegel, yang akhirnya ia kritik juga yang dalam kritiknya terhadap Hegel ia

mengatakan bahwa setiap individu pada asasnya (harus) mempunyai keterlibatan dan

11
komitmen tertentu pada setiap perisitiwa yang dilihat atau dialaminya, sehingga ia tidak bisa

hanya berperan sebagai seorang pengamat objektif, melainkan sekaligus adalah seorang aktor

yang berperan aktif dalam setiap apa yang dilihat atau dialaminya. Dalam pemikirannya juga

ia mengemukakan tentang tiga tahapan eksistensi manusia yaitu, tahap estetis, tahap etis, dan

tahap religius.

12
Daftar Pustaka

Cendole, Nur. 2016. Biografi dan Pemikiran Soren Kierkegaard (1813-


1855). https://goedangbiografi.blogspot.com/2016/05/biografi-dan-pemikiran-
soren.html. (21 Mei 2021) Pukul 09.15

Nurdin, Muhammad. 2015. Søren Aabye Kierkegaard - Bapak Filsafat


Eksistensialisme. https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.com/2015/01/sren-
aabye-kierkegaard-bapak-filsafat-eksistensialisme.html. (21 Mei 2021) Pukul
09.25

13

Anda mungkin juga menyukai