Anda di halaman 1dari 19

Juara II Lomba Karya Tulis Majalah Ilmiah RAJAWALI

STFT St. Yohanes Pematangsiantar


Karya:
Christ. I. Bagas Brahmanthio (Mahasiswa Pasca-Sarjana STFT St. Yohanes Pematangsiantar)

CINTA MENCINTAI CINTA


Suatu Uraian Deskriptif-Filosofis memahami cinta Menurut Søren Aabye Kierkegaard
dalam Karya Works of Love

Abstraksi
Manusia merupakan subyek cinta. Manusia dan sesamanya adalah
cinta yang saling mencintai. Cinta selalu tergerak untuk mencintai karena
berasal dan menuju kepada kekekalan atau keabadian. Søren Aabye
Kierkegaard menunjukkan bahwa jalan untuk menuju pada kekekalan
hidup terletak pada cinta agape. Satu-satunya cara untuk memiliki cinta
agape haruslah melalui lompatan-lompatan eksistensial dan penyangkalan
diri sepanjang hayat.
Hal utama yang harus disadari oleh setiap manusia untuk
mewujudkan cinta agape adalah pemaknaan yang benar terhadap diri
sendiri. Hal tersebut mau menerangkan perintah Yesus untuk mengasihi
sesama seperti mengasihi diri sendiri. Orang yang tidak dapat memaknai
dan mencintai diri dengan cara yang benar tidak akan mungkin mencintai
sesamanya dengan benar. Pada dasarnya, pengenalan akan peristiwa
mencintai haruslah dimulai dari dalam diri, karena mustahil untuk
mengetahui dan menjawab kebutuhan cinta sesama dengan begitu terang.
Cinta setiap orang itu sama. Kita tidak boleh membeda-bedakan
orang. Cinta yang masih terikat pada pembedaan bukanlah cinta agape.
Memang perbedaan itu tidak dapat dihapuskan, tetapi perbedaan itu harus
dilihat sebagai kesatuan dan kesetaraan. Kebijaksanaan cinta yang
demikianlah pancaran cinta dari Allah Yang Maha Kasih.

PENDAHULUAN
Pada tanggal 14 Januari 2016 yang lalu, terjadi serangan terorisme dan bom bunuh
diri di Jalan M. H. Thamrin, Jakarta Pusat. Majalah Tempo edisi 1-7/02/2016 mencatat bahwa
serangan tersebut bermula dari perintah pimpinan Jamaah Anshor Daulah yang biasa dikenal
dengan nama Aman Abdurrahman alias Oman Abdurrahman yang berada dalam Lembaga
Pemasyarakatan Kembang Kuning, Nusakambangan.1 Berbagai masyarakat Indonesia
melihat dan menyikapi kejadian ini dalam hastag dengan ungkapan “#kamitidaktakut”, yang
terdapat pada facebook dan twitter. Ungkapan “#kamitidaktakut” memberikan harapan bagi

1 Sunudyantoro (dkk.), “Duet Pengendali Dari Balik Jeruji”, dalam Tempo (Jakarta), Senin, 29 Februari 2016,
hlm. 31-32, klm. 7-8.
1
masyarakat Indonesia untuk memerangi terorisme dan menatap masa depan dengan lebih
cerah.
Setiap manusia dipanggil untuk menghadirkan cinta kepada sesamanya demi
kehidupan yang lebih baik. Manusia merupakan subyek dari cinta dan terarah untuk
mencintai. Keterarahan diri kita untuk saling mencintai dapat dikatakan dengan ungkapan,
“cinta mencintai cinta”. Pada kenyataannya, banyak orang kurang memaknai dirinya sebagai
subyek cinta yang terarah pada cinta, salah satunya adalah serangan terorisme dan bom bunuh
diri yang terjadi di Jalan M. H. Thamrin. Manusia yang salah memahami dirinya sendiri, pasti
tidak akan mampu menghadirkan cinta kepada sesamanya.
Penulis menawarkan buah refleksi pemaknaan diri yang benar menurut Søren Aabye
Kierkegaard2 dalam salah satu karyanya yang berjudul Works of Love. Ia menampakkan
aturan yang segar tentang menjadi manusia sejati yang selalu terarah pada kemurnian dan
keabadian. Bagi Kierkegaard, satu-satunya hal yang harus dilakukan oleh manusia adalah
menampakkan cinta agape (cinta yang tulus). Paparan ini merupakan wacana filsafat
eksistensial, yang terbuka dari berbagai kritik, saran, dan dimensi berbagai ilmu yang
bertujuan untuk menjaga keutuhan martabat manusia.

KISAH SINGKAT KEHIDUPAN SØREN AABYE KIERKEGAARD


Kierkegaard lahir di Copenhagen pada tanggal 5 Mei 1813 saat dunia Eropa
mengalami zaman revolusi. Ia adalah anak ke tujuh dari pasangan Michael Pedersen
Kierkegaard dan Ane Sørensdatter Lund Kierkegaard. 3 Mereka berdua menikah tidak lama
setelah kematian dini istri pertama Michael. Ayahnya adalah seorang pewaris kaya keluarga,
sementara sang ibu pernah menjadi pembantu rumah tangga.4
Kehidupan Kierkegaard kecil berada dalam dominasi pengaruh asuhan dari sang ayah
yang memiliki kecerdasan dan kesetiaan pada Gereja Lutheran. Ia diasuh dalam berbagai

2 Dalam tulisan ini, penyebutan nama Søren Aabye Kierkegaard disingkat menjadi “Kierkegaard”.

3 M. G. Piety – Edward F. Mooney, Søren Kierkegaard: Repetition and Philosophical Crumbs (United
Kingdom: Oxford University Press Inc., 2009), hlm. xxxv.

4 Patrick Gardiner, Kierkegaard (New York: Oxford University Press, 1988), hlm. 2-3; bdk. Alastair
Hanay, Kierkegaard: A Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), hlm. 31.

2
tanggung jawab tinggi akan segala tugas dan berbagai disiplin diri. Pada akhirnya
Kierkegaard menjalani kehidupannya itu dalam ketaatan mutlak, yang menuntut dirinya
hidup sebagai seorang anak biasa. Namun, hal itu bukanlah yang memengaruhi sebagian
besar kisah hidupnya.5
Sesunguhnya situasi kemurungan dan perasaan bersalah dalam diri ayahnya yang
percaya bahwa keluarga mereka berada di bawah kutukan, bukan merupakan pengaruh yang
besar dalam diri Kierkegaard.6 Meski demikian, Kierkegaard mengalami ambivalen perasaan
kepada orang tuanya, secara khusus pada pribadi ayah. Ia terpesona terhadap imajinasi besar
ayah yang berwatak melankolis7. Ia terkesan akan kecerdasan dan muatan pembicaraannya.
Keterikatan emosional yang mendalam ini merupakan suatu keanehan (anxiety) yang
melibatkan perasaan campur aduk antara cinta dan ketakutan.8
Kierkegaard pernah berkata tentang dirinya, bahwa ia adalah seorang yang bermuka
dua: “dengan satu wajah saya tertawa, dan dengan satu wajah yang lain saya menangis”. 9 Ia

5 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzeche (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2004), hlm. 244-245; bdk. Patrick Gardiner, Kierkegaard …, hlm. 3.

6 Ayahnya menanggung perasaan berdosa sepanjang hidup. Di usia dewasa, dia merasa berzinah karena
putera pertamanya lahir 5 bulan setelah pernikahan. Ketika istri dan kelima anaknya meninggal hampir secara
berurutan, ia semakin yakin, karena semuanya sudah terbukti dengan jelas. [Lihat F. Budi Hardiman, Filsafat
Modern: dari Machiavelli …, hlm. 244-245.]

7 Pada dasarnya, melankolis bukan bawaan dalam keturunan darah. Gejala-gejala konvensional awal
dari melankolis terletak pada kelesuan dan menampakkan kebohongan suasana hati (menyembunyikan diri).
Plato dalam Phaedrus mendefinisikan melankolis sebagai jiwa yang sangat peka, secara khusus kepekaan akan
kebanggaan sebagai warga negara. Aristoteles membawa melankolis pada pengertian medis. Ia mengusulkan
teori alamiah-pneumatik yang berkaitan pada tubuh yang berbeda dengan kondisi fisik cairan mendasar pada
tubuh (cairan kuning, dahak, hitam, dan darah). Keadaan melankolis diwakilkan dengan cairan empedu hitam
(black bile). Ide tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh Hipocrates (460-370 s.M.) dan Galenus (129-200).
[Lihat Harvie Ferguson, Melancholy and the Critique of Modernity: Søren Kierkegaard’s Religious Psychology
(Canada: Routledge, 2001), hlm. 5-6.]

8 Patrick Gardiner, Kierkegaard …, hlm. 3; bdk. Anna Hall – Neerja Rawt (ed.), The Philosophy Book
(London – Delhi: Penguin Group, 2011), hlm. 194.

9 “with the one face I laugh, with the other I weep.” [Lihat Alexander Dru, The Journals of Soren
Kierkegaard (London: Oxford University Press, 1938), hlm. 47.]

3
memandang kenyataan sebagai paksaan realitas kehidupan. Sebagai seorang anak laki-laki ia
lemah dan kurang bijaksana. Ia membuat jarak dengan orang di sekitarnya, seorang tokoh
yang introvert dan lebih terinspirasi dari ketakutan, bukan kasih sayang.10
Dibawah kewajiban untuk memenuhi keinginan orang tuanya, ia harus menyelesaikan
perkuliahannya. Pada bulan Juli 1840 akhirnya ia diberi gelar Teologi. 11 Pada September di
tahun yang sama, ia bertunangan dengan Regina Olsen, seorang gadis yang dicintainya sejak
Kierkegaard berusia 14 tahun. Sejak saat itu ia semakin tekun berkarir dan menampakkan diri
sebagai seorang pria yang bertanggung jawab. Namun, hampir setahun berlalu ia
memutuskan pertunangan itu dan meminta Regina untuk melupakan dan mengampuninya,
bahwa ia tidak mampu membuat seorang gadis bahagia.12
Bagaimanapun memori pertunangan dengan Regina memainkan bagian terpenting
dalam perkembangan Kierkegaard selanjutnya. Berbagai jurnal internasional memberikan
kritik atas kisah ini, bahwa Kierkegaard yang telah membuat penderitaannya sendiri. Namun,
harus diakui, keterpisahan dengan Regina adalah titik balik untuk bertindak secara otentik
dalam berbagai pilihan hidup yang diperjuangkan sampai akhir hayatnya.

LATAR BELAKANG FILSAFAT SØREN AABEY KIERKEGAARD


Etika Immanuel Kant
Pada paruh akhir abad 18, kita dapat mulai menemukan dasar-dasar filsafat yang
berpengaruh terhadap pemikiran Kierkegaard. Seorang tokoh yang sangat berpengaruh pada
zaman itu adalah Immanuel Kant13. Filsafat Kant merupakan usaha untuk mengatasi

10 Patrick Gardiner, Kierkegaard …, hlm. 4.

11 Pada tahun 1830, Kierkegaard melanjutkan pendidikan di Universitas Copenhagen sebagai


mahasiswa teologi. Kierkegaard menguasai Bahasa Latin, Yunani dan Ibrani, selain itu ia juga mendapat
predikat summa cum laude pada bidang fisika, matematika dan filsafat saat menempuh pendidikan di sana. Saat
itu, ia mulai aktif menulis. Tahun 1838 ia menerbitkan The Battle between the Old and New Soap-Cellars.
Tahun 1841 ia giat menyelesaikan pendidikan Ph.D-nya dengan mendalami kembali tema The Concept of Irony
with Constant Reference to Socrates yang pernah ia tulis untuk gelar M.A. [Lihat M. G. Piety – Edward F.
Mooney, Søren Kierkegaard: …, hlm. xxxv.]

12 Patrick Gardiner, Kierkegaard …, hlm. 7.

13 Immanuel Kant (1724-1804) merupakan salah seorang filsuf terbesar dalam sejarah Filsafat modern.
Sapere aude, merupakan semboyan yang biasa ia dengungkan, karena pada saat itu Eropa mengalami zaman
pencerahan dan ratio menjadi yang mutlak utama daripada segala otoritas yang ada di luar dari diri sendiri. Kant
memiliki fokus etika dan moral sebagai dasar-dasar manusia untuk bertindak. Salah satu karya terkenalnya
4
persoalan filosofis zaman pencerahan yaitu: pertama, metode-metode empiris dan kedua,
metode transendental, sekaligus sebagai penegasan diri diatas salah satu dari kedua persoalan
tersebut.
Kant melakukan petualangan filosofinya untuk menunjukkan bahwa tidak ada
pengetahuan tanpa pengalaman indrawi yang dengan sendirinya cukup untuk akuisisi
pengetahuan: keduanya penting. Menurut Kant, kebenaran dalam kognisi manusia tentu
serupa dengan kerangka yang mendasari dari bentuk a priori dan konsep yang diberlakukan
oleh pikiran pada data yang diberikan oleh indera; pada saat yang sama, ranah tersebut
terbatas pada lingkup tangkapan inderawi dan setiap usahanya adalah untuk meneguhkan
kebenaran yang diterima. Dalam terang ini, Kant menarik garis tegas antara hipotesis dari
dalam ilmu alam, yang rentan terhadap konfirmasi oleh percobaan dan pengamatan, dan
teori-teori yang konon membuat klaim kognitif tentang supersensible atau transenden dari
hal-hal yang ditempatkan di luar jangkauan skema tersebut. Klaim dari jenis yang terakhir
merupakan pemikiran 'dogmatis' atau spekulatif metafisika. Menurut Kant, semua
pengetahuan dari pemahaman murni belaka atau alasan murni hanyalah ilusi. Maka yang
berdasarkan pada pengalamanlah kebenaran dapat ditemukan.14

Bertentangan dengan Roh Absolut Hegelian


Pada tahun 1841, Kierkegaard menghadiri ceramah Schelling di Berlin. 15 Ia tertarik
pada Schelling yang berusaha menggempur pengaruh Hegelianisme di Berlin. Menurut
Kierkegaard, George Wilhelm Friedrich Hegel16 telah gagal memahami perbedaan penting

adalah Critique of Pure Reason (1781). Dalam tulisan ini, penyebutan nama Immanuel Kant disingkat menjadi
“Kant”. [Lihat S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris
(Yogyakarta – Jakarta: Kanisius – BPK Gunung Mulia, 1991), hlm. 29-35; bdk. Anna Hall – Neerja Rawt (ed.),
The Philosophy …, hlm. 166-168.]

14 Patrick Gardiner, Kierkegaard …, hlm. 17-18.

15 M. G. Piety – Edward F. Mooney, Søren Kierkegaard: …, hlm. xxxv.

16 George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) menentukan perjalanan Idealisme yang menjadi
puncak dalam pemikiran-pemikirannya. Karya terkenal Hegel adalah “Fenomenologi Roh”. Bagi Hegel, segala
sesuatu itu dianggap sebagai proses jadi sadarnya Roh Absolut. Ungkapan yang dapat merangkum segenap
pemikirannya adalah Reality is a Historical Process. Dalam tulisan ini, penyebutan nama George Wilhelm
Friedrich Hegel disingkat menjadi “Hegel”. [Lihat Anna Hall – Neerja Rawt (ed.), The Philosophy …, hlm. 180;
bdk. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1975), hlm. 70.]
5
antara esensi dan eksistensi.17 Keberatan-keberatan itu berpuncak pada usaha Hegel yang
sudah mengabstraksi segala sesuatu menjadi sebuah sistem abstrak yang meremehkan
manusia konkrit atas individu. Menurut Hegel, perwujudan keputusan subyektif manusia
dianggap tidak otentik, sebab yang nyata adalah roh yang sadar melalui individu itu.18
Kierkegaard menggambarkan Roh Absolut Hegelianisme sebagai tuan, dan pribadi
sebagai budak. Dalam dialektika Hegel, ia melihat bahwa pribadi (budak) hanyalah sebagai
pemuas keinginan dari Roh Absolut (tuan).19 Maka, Hegel gagal memahami pribadi sebagai
subyek otonom yang harus dihormati.
Kierkegaard menyetujui Hegel, bahwa realitas manusiawi memiliki banyak hal atau
prinsip-prinsip bertentangan yang menimbulkan tegangan dan konflik. Namun, ia juga
berbeda dengan Hegel, dan melancarkan kritik. Ia tidak percaya bahwa semua hal yang
bertentangan dan menimbulkan konflik ini dapat didamaikan melalui mediasi rasional. Bagi
Kierkegaard, manusia adalah sintesis antara yang mewaktu dan yang abadi. Dalam situasi
konkret, manusia adalah pribadi yang terbatas, namun pada saat yang sama, manusia harus
memaknai hidupnya sekarang pada realitas yang tidak terbatas dalam eksistensinya.20

SKEMA FILSAFAT SØREN AABEY KIERKEGAARD


Pada tahun 1940-1950 di abad kedua puluh, buku-buku buah pemikiran Kierkegaard
hadir dalam cetakan Bahasa Inggris, dan meledak ke dunia bagaikan bom waktu yang telah
lama tertahan.21 Ia menginspirasi banyak filsuf yang akhirnya menjadi ternama, seperti

17 Patrick Gardiner, Kierkegaard …, hlm. 9.

18 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli …, hlm. 248.

19 Joakim Garff, Søren Kierkegaard: A Biography (judul asli: SAK.: Søren Aabye Kierkegaard, En
Biografi), diterjemahkan oleh Bruce H. Kirmmse (United Kingdom: Princeton University Press, 2005), hlm.
270-277.

20 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri (Jakarta: PT. Gramedia,
2004), hlm. 50-53.

21 Sebelum sampai pada terjemahan Bahasa Inggris, pada tahun 1855 tidak lama setelah kematian
Kierkegaard, sudah terlebih dahulu hadir terjemahan dalam Bahasa Jerman, dan mulai berpengaruh di sekitar
Eropa Tengah. Pada kisaran 1930-1940an, melalui kerjasama dengan munculnya gerakan eksistensialisme,
6
Heidegger, Sartre, Camus dan Unamuno. Dunia memberi gelar kepadanya sebagai Bapak
Eksistensialisme. Bahkan dalam dunia intelektual kontemporer, filsuf seperti John Caputo
dan Merold Westphal melihat Kierkegaard sebagai pemikir proto-postmodernisme.22

Posisi dan Makna Eksistensi


Pembahasan mendasar dalam skema eksistensialisme Kierkegaard adalah mengenai
pemaknaan akan eksistensi sebagai letak kebenaran. Atas dasar pertentangannya kepada
Hegel dalam bahasan sebelumnya, Kierkegaard menemukan kebenaran dalam individu yang
bereksistensi.23 Jika kebenaran ditemukan dalam individu yang bereksistensi, jelaslah
kebenaran itu bersifat subyektif. Dasar dari pernyataan ini adalah bahwa manusia pada
dirinya sendiri merupakan tokoh utama dalam penentu konkrit hidup sehari-hari (bdk. ‘Roh
Absolut’ Hegel).
Kierkegaard beranjak dari suatu pertanyaan umum, apa artinya menjadi manusia? Ia
tidak menyusun filsafatnya dalam suatu sistem filsafat besar, namun lebih mendekati individu
sebagai subyek penentu. Kierkegaard percaya bahwa hidup kita ditentukan oleh tindakan kita,
yang dengan sendirinya ditentukan oleh pilihan kita; jadi bagaimana kita membuat pilihan-
pilihan penting dalam kehidupan kita? Ia juga percaya, bahwa pilihan moral yang benar-benar
bebas berdiri di atas subyek individunya. Kehendak manusia sendirilah yang menentukan
pilihannya. Namun, jauh dari alasan untuk mencari kebahagiaan, kebebasan kita ini juga
mengandung perasaan cemas dan takut untuk menentukan pilihan yang penting bagi hidup.24
Kierkegaard menjelaskan ini lebih lanjut dalam bukunya, The Concept of Anxiety
(1844). Sebagai contoh, ia meminta kita untuk mempertimbangkan seorang pria yang berdiri

karya-karya Kierkegaard mulai diterjemahkan dalam Bahasa Inggris, dan menjadi semakin terkenal di dunia,
hingga dapat dinikmati sampai saat ini. [Lihat Patrick Gardiner, Kierkegaard …, hlm. 1.]

22 Kierkegaard telah menginspirasi banyak filsuf. ‘Para pembaca’ (para filsuf) karya Kierkegaard
mengakuinya sebagai tokoh yang memberikan penerangan. Inilah salah satu tanda terbesar Kierkegaard, bahwa
ia memiliki sesuatu untuk mengatakan hampir kepada semua orang, dan mereka semua telah memiliki
Kierkegaard sebagai “saudara spiritual”. [Lihat C. Stephen Evans, Kierkegaard on Faith and the Self (Texas:
Baylor University Press, 2006), hlm. 3-4.]

23 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli …, hlm. 249.

24 Anna Hall – Neerja Rawt (ed.), The Philosophy …, hlm. 194.

7
di tebing atau gedung tinggi. Saat orang tersebut berada di tepiannya, ia mengalami dua
macam ketakutan: takut jatuh dan ketakutan yang disebabkan oleh dorongan untuk
melemparkan dirinya sendiri dari tepi. Ketakutan atau kecemasan pada tipe kedua ini muncul
dari kesadaran, bahwa ia memiliki kebebasan mutlak untuk memilih apakah akan melompat
atau tidak. Kierkegaard menunjukkan bahwa kita mengalami kecemasan yang sama di semua
pilihan moral kita; ketika kita menyadari bahwa kita memiliki kebebasan untuk membuat
keputusan yang bahkan paling menakutkan.25 Dia menggambarkan kegelisahan ini sebagai
“the dizziness of freedom”.26
Persoalan mengenai kebenaran subyektif ini diumpamakan Kierkegaard dalam cerita
perbandingan yang terkenal antara orang kafir yang berdoa dalam perasaan yang mendalam,
meskipun ia tidak memiliki pengetahuan tentang Allah, dan orang Kristen yang berdoa dalam
semangat palsu, meskipun ia mengetahui kebijaksanaan Allah. Dalam kasus seperti ini, salah
seorang bertindak dengan “lebih benar”.27 Kierkegaard juga mengungkapkan dasar kebenaran
ini:
Ketika kebenaran dipertanyakan secara obyektif, kebenaran direfleksikan
secara obyektif sebagai obyek yang orang hubungkan dengan dirinya sendiri. Apa
yang direfleksikan bukan relasinya, melainkan kebenarannya, yang benar itu, yang
orang kaitkan. Jika yang ia kaitkan hanyalah kebenaran, yang benar itu, maka ia
benar. Saat kebenaran dipertanyakan secara subyektif relasi individualnyalah yang
direfleksikan secara subyektif. Jika relasi itu ada dalam kebenaran, subyek ada dalam
kebenaran, bahkan seandainya bila sebenarnya relasi itu justru menghubungkan
subyek kepada ketidakbenaran.28

25 Anna Hall – Neerja Rawt (ed.), The Philosophy …, hlm. 195.

26 Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety (judul asli: Begrebet Angest), diterjemahkan oleh Reidar
Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), hlm. 61; bdk. Anna Hall – Neerja Rawt (ed.), The
Philosophy …, hlm. 195.

27 Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, vol. 1 (judul


asli: Afsluttende uvidenskabelig Efterskrift til de philosophiske Smuler), diterjemahkan oleh Howard V. (Hong –
Edna H. Hong. Princeton: Princeton University Press, 1992), hlm 201.

28 When truth is asked about objectively, truth is reflected upon objectively as an object to which the
knower relates himself. What is reflected upon is not the relation but that it is the truth, the true, to which the
knower relates. If that to which he relates himself simply is the truth, the true, then the subject is in the truth.
When truth is asked about subjectively the individual’s relation is reflected upon subjectively. If this relation’s
how is in truth, the individual is in truth, even if he thereby relates himself to untruth . [Lihat Søren Kierkegaard,
Concluding …, hlm 199.]
8
Tesis bahwa kebenaran adalah subyektifitas secara eksplisit dikatakan hanya berlaku
dalam jenis kebenaran “penting-tertentu”, kebenaran itu dalam ranah moral dan agama. Jadi,
kebenaran menyangkut tentang bagaimana manusia harus menjalani hidupnya. Intinya tidak
menyangkal bahwa ada kebenaran moral dan agama obyektif.

Tiga Tahap Lompatan Eksistensi


Setiap tindakan adalah suatu pilihan, kecuali tindakan kelahiran kita sendiri. 29
Ungkapan tersebut menandakan manusia harus bertanggung jawab atas eksistensi yang
dijalaninya. Kierkegaard memberikan tahapan kebebasan perkembangan manusia yang
seharusnya berkembang dalam pilihan hidupnya. Menurutnya ada tiga tahap wilayah
perkembangan eksistensi, yakni wilayah estetis, etis, dan religius. Perkembangan ini
berdasarkan pada suatu pengandaian dalam diri setiap manusia yang selalu mencari kepuasan
dan kepenuhan hidup.30 Ia menggunakan nama samaran dalam menuangkan pemikirannya
mengenai tahap lompatan eksistensi ini.31
Tahap estetis diperankan oleh Victor Eremita (nama samara Kierkegaard) yang pada
mulanya mempertentangkan pandangan hidup estetis dan etis, sebagai pandangan hidup yang
berbeda.32 Dalam tahap estetis ini, kata tersebut merujuk pada kata asli dalam bahasa
yunaninya, yaitu aisthesis berarti sensasi atau perasaan. Orang-orang dalam tahap ini belum
memperhitungkan segala kemungkinan baik dan buruknya tindakan. Lebih tepat dapat
dikatakan, orang-orang tersebut melakukan sesuai dengan yang ia inginkan. Saat ia ingin
tidur, ia langsung melakukannya atau saat ingin mencontek, waktu itu juga dilakukannya

29 Anna Hall – Neerja Rawt (ed.), The Philosophy …, hlm. 195.

30 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan …, hlm. 87.

31 Berbagai nama samaran yang Kierkegaard gunakan adalah Victor Eremita, Mr. A, Judge William,
Johannes de Silentio, Constantin Constantius, Johannes Climacus, Vigilius Haufniensis, Nicolaus Notabene,
Hilarius Bookbinder, Frater Taciturnus. Ia menggunakan berbagai samaran dengan tujuan agar para pembaca
dapat lebih bebas menilai tulisan-tulisannya tanpa mengetahui atau melihat pribadi pembuatnya.

32 Joakim Garff, Søren Kierkegaard: A Biography …, hlm. 375-376.

9
untuk mencontek. Pada tahap ini, kehidupaan orang-orang tersebut berada pada tingkat
kenikmatan segera. Setiap orang yang menjalani tahap ini akan diliputi oleh kebosanan dan
hidup tanpa arah.33
Tahap berikutnya adalah tahap etis. Ketika orang-orang dalam tahap estetis
menghadapi kisah hidupnya, barulah ia mengalami pembebasan dan memasuki tahapan
selanjutnya, yaitu tahap etis.34 Ciri khas eksistensi manusia pada tahap ini adalah kemampuan
untuk tidak bertindak secara langsung dan menggunakan kategori baik dan buruk. Orang-
orang pada tahap ini mulai memberikan integritas hidupnya atas kenyataan situasi sosialnya.
Namun, mereka masih terkurung pada diri mereka sendiri.
Judge William menjadi contoh bagi tahap etis. Tokoh ini merupakan seorang yang
memberikan hidupnya pada pilihan baik atau buruk. Ukuran yang digunakan adalah
kesesuaian rasio dan tindakannya. Kita dapat memberikan kritik bagi Judge William ini
tentang bagaimana kualifikasi yang dibuatnya pada kenyataan di hadapannya? Ia tidak
memahami bahwa tindakan tersebut masih serba terbatas. Ia harus melompat ke cara
bereksistensi yang baru untuk mengatasi keterbatasan ini.35
Tahap religius, merupakan pilihan untuk mengatasi keterbatasan dalam diri pada
tahap etis. Pertimbangan baik dan buruk sudah tidak lagi mencukupi lagi untuk kategori yang
cocok pada tindakan-tindakannya, saat ini yang bernilai adalah relasi dengan Yang Ilahi. Pada
tahap ini, orang-orang mengalami lompatan iman, tidak bersifat rasional dan mengalami
pertobatan. Orang tidak lagi terbatas dan memikirkan dirinya sendiri, melainkan memiliki
pemahaman untuk bertindak pada keinginan Yang Ilahi untuk memperoleh kebahagiaan
abadi. Pada tahap ini, orang tersebut tetap mengalami keterbatasannya sebagai manusia,
namun ia sekaligus menampakkan diri sebagai pribadi yang memiliki relasi dengan Yang
Ilahi.36

MENDALAMI ARTI CINTA MENCINTAI CINTA


33 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan …, hlm. 88-89; bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat
Modern: dari Machiavelli …, hlm. 252.

34 Lompatan untuk mencapai tahap estetis ke etis bukan didasarkan pada klasifikasi baik dan buruk,
namun hendak menjadikan yang baik dan buruk sebagai kategori eksistensinya [Lihat Thomas Hidya Tjaya,
Kierkegaard dan Pergulatan …, hlm. 90.]

35 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan …, hlm. 89-90; bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat
Modern: dari Machiavelli …, hlm. 253.

10
Pada bagian ini, penulis secara khusus akan membahas salah satu karangan
Kierkegaard berjudul Works of Love yang terbit pada 2 Agustus 1847. Penulis akan
membahas secara mendalam maksud dari mencintai sesama manusia. Hal itu sejalan dari
suatu pertanyaan fundamental yang berkaitan dengan karangan Kierkegaard tersebut, yaitu
“siapakah sesamaku manusia?” Metode penulisan akan mengikuti alur gagasan fundamental
Kierkegaard pada umumnya, yaitu eksistensialisme, dan bergerak pada pencarian arti
“mencintai sesama” dalam skema kebebasan manusia untuk memiliki arti atau nilai
“mencintai” yang lebih mendalam.

Keprihatinan-keprihatinan Kierkegaard
Works Of Love lahir sebagai sebuah karya yang dilatarbelakangi oleh keprihatinan-
keprihatinan Kierkegaard, baik dari luar maupun dalam dirinya sendiri. Tampaknya, karya
tersebut merupakan usaha Kierkegaard untuk mengkristalkan segenap pengalamannya dalam
mewujudkan keotentikan diri. Secara mengagumkan, ia berjalan dalam ranah kebebasan
rohani yang menampakkan manusia sebagai makhluk cinta. Terlepas dari dugaan tersebut,
Kierkegaard harus melalui perjalanan hidup yang berat. Ia mengalami berbagai macam
penderitaan pribadi, kehilangan motivasi dalam beragama, dan memiliki keraguan akan
makna cinta. Bahkan ia memandang pernikahan dalam suatu kesimpulan yang mengejutkan,
“pernikahan adalah kesatuan dalam bentuk sensasi, bukan dalam roh dan kebenaran”.37
Keprihatinan Kierkegaard berikutnya adalah situasi kekristenan pada masa itu.
Kierkegaard melihat perkembangan Kekristenan mengarah pada kesesatan. Ia mencurigai
karya-karya kerasulan gereja yang berlandaskan sekularisasi sebagai institusi dasar, yang erat
dengan Negara dan diperintah oleh birokrasi. Perhatian utama gereja hanya untuk memajukan
kepentingan materi anggotanya. Gereja telah menyembunyikan tujuan yang sebenarnya.
Berbagai kotbah tentang Sabda Allah dan kemiskinan hanyalah demi mengejar suatu
pencapaian yang menguntungkan dan untuk memperoleh barang-barang duniawi. Bagi
Kierkegaard, gereja telah mempermalukan Allah.38

36 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan …, hlm. 91; bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat
Modern: dari Machiavelli …, hlm. 254.

37 Alastair Hanay, Kierkegaard: A Biography …, hlm. 357.

38 Patrick Gardiner, Kierkegaard …, hlm. 13.

11
Mencintai Sesama Sebagaimana Mencintai Diri Sendiri
Keseluruhan buku Works of Love merupakan pembahasan mengenai konsep cinta
sebagai suatu kebijaksanaan teologi klasik dari tradisi Kristen. Eksplorasi konseptual
Kierkegaard adalah upaya untuk memfasilitasi pengembangan kebijaksanaan Kekristenan
kepada para pembacanya. Kebijaksanaan tersebut merupakan proyek reflektif cinta.39 Ia
berusaha memperkenalkan Kekristenan yang murni terutama kepada umat kristiani untuk
membangkitkan keberadaan kekristenan. Dalam karangan ini, kebijaksanaan Kristen
merupakan aspek yang mendominasi.
Locus konseptual dari Works of Love adalah hati nurani. Persoalan mencintai
berangkat dari hati nurani. Cinta merupakan hasil dari nurani. Robert C. Roberts memberikan
tiga pemaknaan hati nurani sebagai sumber cinta, yang memiliki disposisi ketaatan kepada
Allah dalam konteks kekristenan yaitu:40
1. Kita mencintai dan bertanggung jawab kepada Allah
2. Alasan orang mencintai adalah bertanggung jawab kepada seseorang yang
dicintai
3. Alasan utama orang mencintai karena hal itu dikehendaki oleh Allah, yang
menampakkan sifat Allah yaitu kasih.
Dalam pewujudan cinta yang murni itu, setiap saat manusia dihadapkan pada
kepentingan diri dan ketegangan-ketegangan antara cinta eros dan cinta agape. Ketegangan
antara eros dan agape setidaknya dapat diuraikan dalam lima poin, yaitu:
1. Eros adalah egosentris, sedangkan agape adalah teosentris.
2. Eros adalah kepentingan serakah, sedangkan agape adalah pemberian diri.
3. Eros dipahami sebagai cinta duniawi, sedangkan agape adalah karunia Allah
yang turun dalam diri manusia.
4. Sumber eros adalah keinginan, sedangkan sumber agape adalah rahmat Allah.
5. Eros tertarik pada suatu obyek, sedangkan agape menciptakan dan menyentuh
nilai segala obyek.
Jika kepentingan diri berkaitan dengan eros, bagaimana mendalami perintah Allah mengenai,
“cintailah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri?” (bdk. Mrk 12:31). Pada akhirnya, hal
ini berkaitan dengan makna cinta-diri dan cinta-sesama. Dalam cinta-diri yang berkaitan

39 Robert C. Roberts, “Kierkegaard and Ethical Theory”, dalam Edward F. Mooney (ed.), Ethics, Love,
and Faith in Kierkegaard (Bloomington: Indiana University Press, 2008), hlm. 84.

40 Robert C. Roberts, “Kierkegaard and Ethical …, hlm. 84-85.

12
dengan eros, manusia tidak hanya berusaha untuk memiliki kemajuan langkah demi langkah,
melainkan harus memiliki lompatan radikal menuju cinta agape. 41
Masalah cinta-diri yang bersifat eros perlu diubah, seperti yang biasa terjadi dalam
persahabatan dan cinta romantis. Namun, sebelum membahas perubahan dan lompatan
radikal tentang cinta agape dan cinta diri, baiklah dimulai dengan pertanyaan, “Bagaimana
cara mencintai diri sendiri?” Bagi penulis pertanyaan ini perlu disajikan agar kita
mendapatkan pemahaman yang benar tentang cinta-diri.
Banyak orang gagal memahami makna mencintai diri sendiri. Orang yang gagal
mencintai diri sendiri merupakan orang yang rendah diri. Perintah untuk mencintai sesama
bukan hanya suatu kepuasan memperlakukan orang lain dengan cara yang sama. Tugas kita
adalah belajar untuk mencintai sesama dan mencintai diri sendiri dengan benar. Dasarnya
adalah karena kita adalah satu dan sama.42 Dasar tersebut merupakan pengandaian bahwa
orang harus mencintai dirinya dengan benar, dan mencintai sesama dengan benar pula, bukan
demi kepuasan sesamanya yang terarah pada kerugian.43
Kebenaran tentang mencintai diri sendiri, pertama-tama haruslah dengan mencintai
Allah. Cara untuk mencintai Allah adalah penyangkalan diri terus menerus. Penyangkalan
diri merupakan suatu lompatan eros menuju agape. Sasaran yang akan dicapai dalam
mencintai diri dan sesama adalah kasih Allah sendiri yang mencintai tanpa pamrih.44

Kebijaksanaan Cinta
Kita telah memahami maksud lompatan cinta dari eros menuju agape, yaitu mengenai
penyangkalan diri. Bahasan mengenai “kebijaksanaan cinta” ini merupakan pemahaman lebih

41 C. Stephen Evans, Kierkegaard’s Ethic of Love: Divine Commands and Moral Obligation (New
York: Oxford University Press, 2004), hlm. 181.

42 Søren Kierkegaard, Works of Love (judul asli: Kjerlighedens Gjerninger), diterjemahkan oleh:
Howard V. Hong - Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1995), hlm.22

43 C. Stephen Evans, Kierkegaard’s Ethic of Love: …, hlm. 182.

44 C. Stephen Evans, Kierkegaard’s Ethic Of Love: …, hlm. 183.

13
lanjut dari cinta agape. Uraian dari bahasan ini adalah sebuah contoh mengenai keabadian
cinta yang dapat ditemukan dalam cinta sepasang kekasih.
Dalam pengalaman kita sehari-hari, cinta spontan dan cinta murni terkadang sulit
dibedakan. Orang-orang yang diliputi cinta baik spontan maupun murni kepada kekasihnya,
akan beranggapan bahwa cinta mereka ada untuk selamanya. Namun, harus disadari
terkadang mereka merasa rentan akan perjalanan waktu yang dilalui bersama. Mereka merasa
cinta mereka aman, namun mereka berusaha untuk mengamankan cinta mereka. Pertanyaan
selanjutnya, bagaimana membedakan cinta spontan dan cinta murni? Secara singkat dapat
dikatakan, bahwa kita dapat melihat dari buah-buah cinta yang ada pada orang yang
‘mengejar cintanya kepada seseorang yang dicintainya’.
Jika X mencintai Y dengan cinta spontan, dan Y tidak kembali mencintai X, maka
cinta X akan berubah menjadi kebencian. Tetapi, jika cinta spontan X kepada Y berubah
menjadi cinta yang murni (kewajiban dalam dirinya untuk mencintai), maka cinta Y itu bukan
lagi terutama merupakan permintaan “pengembalian” cinta kepada X, dan cinta X tidak akan
berubah menjadi kebencian. Cinta tidak lagi jatuh pada cinta balasan. 45 Jadi, bukan terutama
mengetahui apakah Y mencintai X kembali; yang terutama adalah apakah X dalam dirinya
sendiri mencintai Y dengan sungguh-sungguh?46
Cinta X kepada Y tidak lagi dipandang sebagai cinta-diri (eros), melainkan sebagai
suatu kewajiban dalam dirinya untuk mencintai si Y dengan agape. Seseorang yang
memaknai cintanya sebagai suatu kewajiban dalam diri merupakan cinta yang murni, dan
berkaitan dengan pancaran perintah cinta dari Allah. Identitas cinta bukan ditentukan dari
obyek cintanya, melainkan dari ketulusan hatinya. Cinta yang telah menjadi murni memang
tidak akan membebaskan diri dari kemalangan, namun akan menyelamatkan seseorang dari
keputusasaan dan mendapatkan penghiburan menyeluruh dan mendalam pada dirinya
sendiri.47

45 Orang yang sedang jatuh cinta terkadang jatuh pada keputusasaan emosional. X mencintai Y dan
merindukan sepenuh hati balasan dari cinta Y. Ungkapan “dengan sepenuh hati” menunjukkan bahwa nilai
keseluruhan hidupnya terikat dengan seseorang yang dicintainya, dan hanya dapat dipenuhi dengan cinta
balasan. [Lihat Robert C. Roberts, “Kierkegaard and Ethical …, hlm. 89.]

46 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan …, hlm. 113.

47 Robert C. Roberts, “Kierkegaard and Ethical …, hlm. 90.

14
Cinta yang murni pada dasarnya bersifat Ilahi. Orang yang dapat mencintai seseorang
sesuai dengan perintah Ilahi untuk mencintai dengan tulus, merupakan orang yang memiliki
suatu kebijaksanaan cinta. Maka, secara jelas ia menampakkan Allah sendiri dan
mempromosikan kebijaksanaan Kristiani dalam pengalaman cinta sehari-hari secara murni
pula.

Kesetaraan Cinta
Di Denmark, istilah ‘sesama’ adalah ‘den Næsten’, secara harafiah dapat dikatakan
‘yang (satu) depan’. Sesama dipahami sebagai yang utama. Sesama adalah aku yang lain.
Tentang pengertian kata sesama tersebut, Kierkegaard sepaham dengan Aristoteles yang
menunjukkan bahwa setiap orang harus memberikan rasa hormat, karena setiap manusia itu
sama.48 Jika setiap manusia adalah sesama dan sama, mungkinkah bagi kita untuk mencintai
setiap manusia?
Permasalahan ini berkaitan dengan pemikiran Kierkegaard mengenai ide kesetaraan.
Kierkegaard mengungkapkan pemikiran tentang kesetaraan dalam buku Work of Love. Ia
mengatakan: “Saya tidak harus mencintai setiap manusia, tapi cinta setiap orang itu sama.
Untuk mencintai sesama, dasarnya adalah kehendak yang sama pada diri setiap manusia,
yaitu mencintai tanpa syarat.”49 Buah pikir tersebut tampaknya sangat tidak mungkin untuk
dilakukan. Apakah maksud dari ungkapan tersebut? Apakah saya harus terlebih dahulu
berpikir tentang kebutuhan adik-adik saya, sebelum memutuskan tentang makan dan pakaian
saya?50
Kierkegaard tidak mengatakan, bahwa saya bisa mengungkapkan cinta dengan
berkonsentrasi untuk mencintai satu orang dengan baik dan melupakan orang lain. Secara
konkret dan harafiah, bagi Kierkegaard untuk mengetahui dengan jelas pribadi setiap manusia
adalah hal yang mustahil. Sebaliknya, maksud dari Kierkegaard adalah melihat manusia
sebagai pribadi yang layak dan memiliki nilai intrinsik. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa

48 C. Stephen Evans, Kierkegaard’s Ethic of Love: …, hlm. 187.

49 Søren Kierkegaard, Works …, hlm. 182-183

50 C. Stephen Evans, Kierkegaard’s Ethic of Love: …, hlm. 198.

15
kita tidak boleh mengatakan orang lain itu berbeda dengan saya, baik orang itu ada dalam ras,
dan suku yang berbeda, bahkan seorang lesbian atau gay sekalipun.51
Mencintai sesama sebagaimana mencintai diri sendiri memang bukan perkara yang
mudah. Berbagai nasehat Kierkegaard tentang mencintai sesama, pada akhirnya dihadapkan
pada perkara yang lebih luas. Dalam banyak kenyataan di dunia saat ini, kita mengetahui
banyak penderitaan yang terjadi, salah satunya adalah peristiwa perang Israel-Palestina.
Bagaimana, kita mengungkapkan cinta kita kepada mereka sebagai sesama kita? Berhadapan
dengan kenyataan itu, Kierkegaard mengatakan, bahwa kita harus mengakui keterbatasan kita
sebagai makhluk yang memiliki kebebasan.52
Kita harus mengakui, bahwa kita bukan Tuhan. Namun, kita harus memiliki
persekutuan cinta pada mereka dan berjuang menghadirkan dan mewujudkan cinta yang tulus
sebagai kewajiban setiap manusia untuk mencintai sesamanya. Hal ini bukanlah sebagai suatu
dalih atas kekurangan kita, melainkan melihat adanya kesempatan untuk menampakkan cinta
yang murni kepada siapa saja yang kita jumpai.

PENUTUP
Kierkegaard membela kemanusiaan kita, dan menunjukkan betapa berharganya
manusia dan sesamanya. Ia memaksa setiap manusia untuk menunjukkan dan mengarahkan
kebebasannya secara utuh dalam taraf lompatan hidup religius. Segala sesuatu yang kita
lakukan tidak akan menjadi sempurna dan abadi jika kita masih pada taraf terendah, yang
bagi Kierkegaard adalah tahap estetis (eros).
Perjuangan hidup Kierkegaard menjadi cerminan bagi setiap kesempurnaan yang
selalu dikejar manusia. Seharusnya manusia merasa cemas dan sedih, tatkala ia tidak mampu
menampakkan wajah cinta murni Allah pada sesamanya. Ketidaksempurnaan dalam diri kita
bukanlah alasan untuk menyembunyikan diri dari kehidupan, tetapi hendak menjadikan
manusia semakin berarti bagi yang lain.
Sebagai manusia, kita memandang dunia dengan berbagai perspektif dan pemaknaan.
Kita selalu berhadapan pada situasi yang serba berbeda. Pemikiran Kierkegaardpun tidak
berusaha untuk menghapuskan perbedaan itu. Namun baginya, hendaklah kita memandang
perbedaan melalui kesetaraan dan kesamaan dalam cinta agape. Penulis teringat akan kata-
kata mashyur Seorang filsuf prancis bernama Maurice Merleau-Ponty, yang menjelaskan
betapa dunia ini selalu diliputi oleh gerakan menuju pemaknaan. Kalimat Merleu-Ponty

51 C. Stephen Evans, Kierkegaard’s Ethic of Love: …, hlm. 198.

52 C. Stephen Evans, Kierkegaard’s Ethic of Love: …, hlm. 201.


16
tersebut, menyadarkan penulis, untuk membawa segala pengalaman hidup pada pemaknaan
diri. Kalimat itu juga dapat menjadi jalan bagi kita tentang pewujudan cinta agape. Ia
mengungkapkan:

Kita tidak bisa bereksistensi di luar sistem makna, karena yang ‘di luar’ itupun
akan segera menjadi ‘yang di dalam’ oleh pemaknaan yang kita hasilkan. Realitas
ketidakbermaknaan dalam kehidupan kita, pada akhirnya merupakan suatu horizon
dari obyek pemaknaan.53

Pada zaman ini, terjadi begitu banyak serangan terorisme dan bom bunuh diri.
Tampaknya, manusia telah direduksi pada pemuasan nafsu demi kepentingan kelompok
tertentu. Bagaimana kita menyikapi peristiwa tersebut? Kierkegaard dan Merleau-Ponty
menawarkan pemaknaan diri, yang mengarahkan kita untuk tidak henti-hentinya berjuang
menampakkan pancaran cinta Allah. Marilah kita memaknai diri kita dengan cara yang benar,
sehingga kita dapat mengasihi sesama dengan benar pula.

DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1975.

Budi Hardiman, F. Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzeche. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004.

53 F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derida (Yogyakarta:
Kanisius, 2015), hlm. 19-20.
17
-------. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derida. Yogyakarta:
Kanisius, 2015.

C. Roberts, Robert “Kierkegaard and Ethical Theory”, dalam Edward F. Mooney (ed.),
Ethics, Love, and Faith in Kierkegaard. Bloomington: Indiana University Press, 2008,
hlm. 72-92.

Dru, Alexander. The Journals of Soren Kierkegaard. London: Oxford University Press, 1938.

Ferguson, Harvie. Melancholy and the Critique of Modernity: Søren Kierkegaard’s Religious
Psychology. Canada: Routledge, 2001.

G. Piety, M. – F. Mooney, Edward. Søren Kierkegaard: Repetition and Philosophical


Crumbs. United Kingdom: Oxford University Press Inc., 2009.

Gardiner, Patrick. Kierkegaard. New York: Oxford University Press, 1988.

Garff, Joakim. Søren Kierkegaard: A Biography. (Judul asli: SAK.: Søren Aabye
Kierkegaard, En Biografi). Diterjemahkan oleh Bruce H. Kirmmse. United Kingdom:
Princeton University Press, 2005.

Hall, Anna – Rawt, Neerja (ed.). The Philosophy Book. London – Delhi: Penguin Group,
2011.

Hanay, Alastair. Kierkegaard: A Biography. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.

Hidya Tjaya, Thomas. Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri. Jakarta: PT.
Gramedia, 2004.

Kierkegaard, Søren. Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, vol. 2.


(Judul asli: Afsluttende uvidenskabelig Efterskrift til de philosophiske Smuler).
Diterjemahkan oleh Howard V. Hong – Edna H. Hong. Princeton: Princeton
University Press, 1992.

-------. The Concept of Anxiety. (Judul asli: Begrebet Angest). Diterjemahkan oleh Reidar
Thomte. Princeton: Princeton University Press, 1980.

-------. Works of Love. (Judul asli: Kjerlighedens Gjerninger). Diterjemahkan oleh: Howard
V. Hong - Edna H. Hong. Princeton: Princeton University Press, 1995.

Lili Tjahjadi, S.P. Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif
Kategoris. Yogyakarta – Jakarta: Kanisius – BPK Gunung Mulia, 1991.

Stephen Evans, C. Kierkegaard on Faith and the Self. Texas: Baylor University Press, 2006.
18
-------. Kierkegaard’s Ethic of Love: Divine Commands and Moral Obligation. New York:
Oxford University Press, 2004.

Sunudyantoro (dkk.). “Duet Pengendali Dari Balik Jeruji”, dalam Tempo (Jakarta), Senin, 29
Februari 2016, hlm. 29-35, klm. 7-8.

19

Anda mungkin juga menyukai