Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebutuhan akan bimbingan dan konseling sangat diperlukan individu. Karena
individu merupakan pribadi yang unik yang sedang berkembang kearah kematangan.
Dampak modernisasipun menjadi salah satu latar belakang perlunya bimbingan dan
konseling, karena dampak dari modernisasi itu yang dapat memunculkan problema
sosial dan pribadi. Dalam masalah sosial, salah satu masalah yang muncul adalah
berkaitan dengan keluarga. Masalah keluarga itu salah satunya dapat dibantu dengan
konseling keluarga. Dalam melakukan konseling keluarga diperlukan beberapa teori
konseling yang dapat menunjang pelaksanaan konseling, salah satunya yang dibahas
dalam makalah ini yaitu Logoterapi yang merupakan salah satu bentuk psikoterapi
eksistensial yang didasarkan atas analisis arti dari eksistensi seseorang. Pendekatan
eksistensial berkembang sebagai reaksi atas dua model utama yang lain, psikoanalisis
dan behaviorisme.
Pendekatan logoterapi sangat menekankan pada menemukan makna dari
penderitaannya dan juga makna mengenai kehidupan dan cinta. Oleh karena itu,
dalam penerapan logoterapi dalam konseling keluargapun ditujukan untuk mencapai
tujuan tersebut.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana sejarah dan perkembangan logoterapi?
2. Bagaimana hakikat manusia menurut logoterapi?
3. Bagaimana konsep teori logoterapi?
4. Apa tahapan konseling dalam logoterapi?
5. Bagaimana peran konselor serta implementasi apa yang dapat diterima
dalam logoterapi?
C. Tujuan
Tujuan umum penulisan laporan ini yaitu mengkaji bimbingan dan konseling
keluarga berbasis logoterapi. Secara khusus, tujuan penulisan laporan ini sebagai
berikut:
1. Mengkaji konsep logoterapi
2. Mengkaji hakikat manusia menurut logoterapi
3. Mengkaji tahap konseling dalam logoterapi
4. Mengkaji peran konselor dalam logoterapi
5. Mengetahui implementasi dalam logoterapi
BAB II

TEORI LOGOTERAPI

A. Sejarah dan perkembangan logoterapi


Viktor EE. Frankl, lahir 26 Maret 1905 di Wina, Austria. Merupakan putra
dari orangtua yang berkebangsaan Yahudi. Ibunya adalah keturunan dari keluarga
bangsawan Praha tua yang mapan. Ayahnya adalah putra seorang penjilid buku
miskin yang menjadi direktur departemen kesejahteraan pemuda pemerintah Austria.
Pada usia tiga tahun, Frankl telah memutuskan untuk menjadi dokter. Sebuah
keputusan yang mungkin membuat ayahnya senang karena alasan finansial. Pencarian
makna Frankl sendiri sudah dimulai pada usia dini, dan selama masa remajanya,
selama beberapa menit ia merenung tentang makna hidup, khususnya makna bagi
dirinya di masa yang akan datang. Frankl adalah murid yang sangat berbakat dan
intelektual di sekolah dan lebih matang dibanding usianya, yang berkorespondensi
dengan Freud.
Pada tahun 1924, Frankl muda menerbitkan artikel pertamanya atas undangan Freud
dalam International Journal of Psycho-analisis.
Frankl dipengaruhi oleh dan bereaksi terhadap sebagai ide Freud dan Adler. Di
samping itu, ia dipengaruhi oleh para filsuf eksistensial seperti Heidegger, Jaspers,
dan Scheler.
Asal muasal Logoterapi dapat dilacak balik ke perjuangan awalnya untuk
menemukan makna di dalam eksistensinya. Frankl mengakui bahwa pada masa
mudanya “Saya harus melewati nihilisme total dan mendasar, sampai saya mampu
mengembangkan imunitas terhadap nihilisme. Saya mengembangkan logoterapi”
(1988: 166). Frankl melontarkan istilah logoterapi pada 1920-an dan pada 1930-an
menggunakan kata Existenzanalyse, analisis eksistensial, sebagai kata alternatif untuk
logoterapi. Pada tahun 1928, Frankl mendirikan Youth Counselling Centers di Wina,
dan mengepalainya sampai tahun 1938. Pada tahun 1930, ia menerima MD dari
University of Vienna, antara tahun 1938-1942 ia menjadi spesialis di bidang
Neurologi dan Psikiatri, dan kemudian Kepala Bagian Neurologi di Jewish
HospitalWina. Selama periode ini ia menulis draf pertama dari buku pertamanya.
Tidak lama sebelum Amerika memasuki Perang Dunia II, Frankl diberi
kesempatan untuk berimigrasi ke Amerika Serikat. Ia membiarkan kesempatan itu
berlalu karena ia memilih untuk mematuhi perintah “Honor your father and mother
and you will dwell in the land” (“Hormatilah ayahmu dan ibumu dan kamu akan
tinggal di negeri itu”) (Frankl, 1988:59). Ia berpikir bahwa, dengan mempertahankan
posisinya di rumah sakit, ia mungkin akan bisa melindungi ayahnya dari
kemungkinan dikirim ke kamp konsentrasi. Meskipun ternyata tidak mampu
melakukannya, Frankl mampu menadministrasikan morfin kepada ayah tercintanya
saat ia sekarat akibat Pulmonary edema di kamp konsentrasi Theresienstadt “dan [...]
saya membebaskannya dari penderitaan yang tidak perlu menjelang kematiannya”
(Frankl, 1997). Ibunya, saudara laki-laki, dan istri pertamanya, Tilly, meninggal di
kamp-kamp konsentrasi yang berbeda, namun saudara perempuannya yang saat itu
telah bermigrasi ke Australia selamat.
Dari tahun 1942 sampai 1945 Frankl memiliki pengalaman mengerikan
selama menjadi tahanan di empat kamp konsentrasi: Theresienstadt, Auschwitz-
Birkenau, Kaufering 111, dan Turkheim. Saat tiba di Auschwitz, rambut di sekujut
tubuh Frankl di gunduli. Ia adalah nomor 119,194. Selama periode ini, Frankl
berkesempatan untuk mengamati sifat manusia dalam kondisi ekstrem. Banyak
tahanan yang menyerah dan sebagian bahkan memilih untuk tidak berbuat apa-apa.
Akan tetapi, sebagaian tahanan lain menjadi lebih dalam secara spiritualitas dan
menganggap kesulitan di kamp sebagai ujian bagi kekuatan batinnya. Mereka bangkit
menghadapi tantangan menemukan makna dalam hidupnya. Frankl mengutip
Nietzsche: “He who has a to live for can bear almost any how” terlepas dari
penderitaan mereka, para tahanan ini mempertahankan kebebasannya untuk memilih
dalam kehidupan batinnya dan dalam cara mereka berperilaku terhadap orang lain.
Mereka mengubah tragedinya menjadi kemenangan. Ketika kembali ke Wina setelah
perang, di tengah sedu-sedannya, ia mendiktekan draf ketiga dan yang terakhir dari
The Doctor and the soul (1955). Setelah itu, selama sembilan hari ia
memublikasikannya secara anonim. Pada 2005 buku itu telah terjual hampir sebanyak
10 juta kopi.
Pada tahun 1946, Frankl menjadi Kepala Departement of Neurology di
Poliknik Hospital di Wina tempat ia bekerja sampai tahun 1970. Pada 1946 ia juga
bertemu dengan istri keduanya, Elly, yang dinikahinya pada tahun berikutnya. Pada
1947, ia diangkat sebagai Assisstant Professor of Psychiatry and Neurology di
University of Vienna dan setelahnya, pada tahun 1955, sebagai University Professor.
Frankl adalah mantan Presiden Austrian Medical Society of Psychotheraphy. Di
samping itu, ia menjadi Distinguished Professor of Logotherapy di US International
University di California dan juga Visiting Professor antara lain di University Stanford,
Harvard, dan Desquene. Lebih dari 200 universitas di seluruh dunia pernah
mengundangnya untuk memberikan kuliah. Selain di Amerika Serikat, ia banyak
memberikan kuliah di Eropa, Australia, Amerika Serikat, Asia, dan Afrika.
Frankl adalah penulis produktif yang menulis lebih dari 30 buku, sebagian di
antaranya telah diterjemahkan ke banyak bahasa, dan juga buku-bukunya termasuk
Psychotheraphy and Existentialism: Selected Papers on Logotherapy (1967), The
Unconscious God: Psychotheraphy and Theology (1975), The Unheard Cry for
Meaning: Psychotheraphy and Humanism (1985) dan The Will to Meaning:
Foundations and Applications of Logotheraphy (1988).
Sampai dengan ulang tahun ke-80-nya, mendaki gunung adalah hobi
kesayangannya. Pernah menjadi korban kebejatan manusia yang paling rendah, Frankl
mampu mencapai puncak pencapaian manusia dengan mengubah tragedi pribadinya
menjadi kemenangan jiwa manusia. Dalam rekoleksi autobiografisnya, Frankl
menulis: Seperti yang pernah saya katakan, saya hanya tahu beberapa kualitas baik
dalam diri saya, dan barangkali itu pun hanya satu: Saya tidak melupakan perbuatan
baik apapun yang dilakukan pada saya, dan saya tidak menaruh dendam pada
perbuatan buruk apapun” (1997). Frankl wafat pada 1997, namun karya dan inspirasi
kegigihannya akan terus hidup.
B. Hakikat manusia menurut Victor E.E Frankl
Setiap aliran psikologi selalu dilandasi oleh filsafat manusia yaitu pandangan
mendasar mengenai hakikat manusia dan kemanusiaan. Menurut Konon Socrates (468
– 399 SM) yang hidup pada zaman Yunani purba adalah ahli filsafat pertama yang
menelaah dan mengemukakan andangan mendasar mengenai hakikat kemanusiaan
dan citra manusia. Etika, moralitas, negara dan politik serta nilai-nilai sosial dan
budaya seperti keadilan, kebijaka, pengabdian, dan kepercayaan merupakan tema-
tema kajian socrates.
Ajaran socrates dengan metode berpikir kritisnya ini mendapat sambutan
hangat dari generasi muda waktu itu yang kemudian banyak diantara mereka menjadi
pengikut setia Socrates. Namun, dilain pihak hal ini dianggap oleh pihak oleh pihak
penguasa sebagai ancaman besar karena para pemuda mulai berpikir dan
mempertanyakan secara kritis berbagai asumsi, kepercayaan, mitos, dan legenda yang
tak usah dipertanyakan lagi. Misalnya: Apakah benar dewa bersemayam di gunung
Olympus? Dan mengapa masih ada perbudakan? Akibatnya, Socrates dituduh telah
meracuni pikiran generasi muda serta diajukan ke pengadilan dan kemudian dijatuhi
hukuman mati dengan jalan minum racun.
Berbeda dengan ahli-ahli filsafat sebelumnya yang mencoba mencari hakikat
alam semesta (macrocosmos), Socrates berusaha merenungkan hakikat manusia dan
kemanusiaan (microcosmos). Tema sentral ajaran Socrates terlihat dari motto “Gnoti
Seauton” (kenali dirimu) yang terpampang digerbang academianya. Motto ini sejalan
dengan pertanyaan “Siapa dirimu?” atau “Apa dan siapakah manusia itu?” sebuah
pertanyaan abadi yang tak kunjung terjawab tuntas sejak era Socrates sampai kepada
para filsuf dan ilmuwan kontemporer. Karena manusia adalah sebuah misteri, artinya
eksistensi manusia selalu mengandung kerahasiaan yang tak pernah terbuka tuntas
oleh segala ilmu tentang manusia.
C. Konsep dasar teori
1. Kebebasan Berkehendak
Frankl menggunakan istilah aksistensial dengan tiga cara. Pertama, istilah
eksistensial mengacu pada existance (eksistensi) itu, yang merupakan mode of
being spesifik manusia. Kedua, eksistensial mengacu pada meaning (makna)
eksistensi. Ketiga, eksistensial engacu pada upaya menemukan makna dalam
eksistensi personal atau, dengan kata lain, mengacu pada the will to meaning
(keinginan akan makna). Hidup ini transitory (transitorik/sementara). Akan tetapi,
sifat sementara ini tidak membuat hidup ini tidak berarti. Alih-alih, aspek
transitorik hidup adalah potensialitas. Manusia perlu menyadari berbagai
kemungkinan transitorik. Mereka secara konstan memilih mana diantara massa
potensialitas transitorik yang akan diaktualisasikan dan mana yang akan dikutuk
menjadi non-being.
Manusia memiliki kebebasan berkehendak. Satu-satunya diantara binatang-
binatang, manusia memiliki kapasitas self-detachment (melepaskan-diri). Manusia
mampu merefleksikan dan menilai pilihannya. Yang penting bukan ciri-ciri
karakter manusia atau dorongan dan insting mereka, tetapi sikap yang mereka
ambil terhadap semua itu. Manusia bebas membentuk karakternya dan
bertanggung jawab untuk apa yang mereka ciptakan dari dirinya. Jika orang
melampaui dimensi somatik dan fisik eksistensinya, ia memasuki sebuah dimensi
baru yang diistilahkan sebagai “dimensi noologis” oleh Frankl. Dalam dimensi
noologis inilah terletak fungsi-fungsi khas manusia, misalnya refleksi, kapasitas
untuk menjadikan dirinya objek, humor, dan kehati-hatian.
2. Will to Meaning (Kehendak untuk Menemukan Makna)
Will to Meaning (Kehendak untuk Menemukan Makna) adalah kekuatan
motivational fundamental pada diri manusia. Orang dihadapkan pada kebutuhan
untuk mendeteksi maka benar-benar sampai embusan napas terakhirnya. Frankl
menulis, “Pencarian manusia akan makna adalah kekuatan utama dalam hidupnya
.... makana ini unik dan spesifik dan hanya dapat dipenuhi oleh dirinya saja; hanya
dengan begtu makna itu mencapai signifikansi yang akan memuaskan Will to
Meaning” (1963:154). Seperti yang diamati Frankl dalam pengalaman kamp
konsentrasinya, orang membutuhkan sesuaatu sebagai alasan untuk hidup.
Manusia adalah makhluk yang bertemu dengan orang lain dan berusaha meraih
makna yang akan dipenuhinya. Akan tetapi, makna tidak berbarengan dengan
being;alih-alih, ia menempatkan pace for being (langkah menjadi). Eksistensi
manusia dalam posisi berbahaya, kecuali ia hidup dalam kaitannya dengan
transendensi ke arah sesuatu diluar dirinya sendiri.
Logoterapi memfokuskan pada Will to Meaning sementara psiko analisis
memfokuskan pada Will to Meaning(Kehendak untuk mencapai kesenangan) dan
psikologi individual memfokuskan pada Will to Power (Kehendak untuk mencari
kekuasaan). Frankl mengakui Freud dan Adler tidak menggunakan istilah “will to
pleasure” dan “will to power”. Akan tetapi, kesenangan maupun kekuasaan
adalah produk sampingan atau derivatif dari Will to Meaning. Will to Meaning
bukan rasionalisasi dari dorongan instingtual atau berhubungan dengan upaya
mengurangi ketegangan dan kembali ke keadaan homeostasis. Apa yang
dibutuhkan orang bukan keadaan tanpa ketegangan, tetapi ketegangan dari
mengupayakan makna tertentu uang berharga baginya. Sebagai kekuatan yang
memotivasi, Will to Meaning juga berbeda dengan aktualisasi diri. Frankl juga
melihat aktualisasi diri hanya sebagai efek samping dari Will to Meaning. Orang
hanya dapat mengaktualisasikan dirinya sejauh kemampuannya dalam memenuhi
makna.
3. Kesadaran dan ketidaksadaraan
a. Kesadaran
Manusia adalah makhluk spiritual dan logoterapi memfokuskan pada
eksistensi spiritual mereka. Dalam konteks ini, kata spirit tidak memiliki
konotasi religius. Fenomena spiritual pada diri manusia bisa berupa
sesuatu yang didasari atau tidak didasari. Consciousness menyiratkan
awareness. Logoterapi bermaksud dengan meningkatkan kesadaran klien
tentang self spiritualnya. Manusia perlu sadar akan tanggung jawabnya
untuk mendeteksi dan bertindak dalam kaitannya dengan makna unik
kehidupannya di berbagai situasi spesifik dimana mereka terlibat di
dalamnya.
b. Ketidak sadaraan Spiritual
Setiap manusia memiliki inti spiritual personal eksistensial. Terpusat di
seputar inti spiritual, orang-orang tidak hanya terindividualisasi, namun
terintegrasi dalam aspek-aspek somatik, psikis, dan spiritualmya.
Meskipun batas antara kesadaran dan ketidaksadaraan itu “cair”, Frankl
menganggap dasar spiritual eksistensi manusia pada dasarnya tidak sadar.
Pusat kedalaman setiap manusia bersifat tidak sadar.
Ada perbedaan tajam antara ketidaksadaran instingtual dan
ketidaksadaraan spiritual. Freud melihat ketidaksadaraan sebagai waduk
insting-insting seksaul dan agresif. Bagi depth psychology (psikologi
dalam) Frankl, alih-alih memfokuskan pada insting-insting yang ditekan,
perlu untuk mengikuti manusia hingga ke kedalaman jiwanya. Akan tetapi,
self tidak mencapai refeleksi diri total dan dalam pengertian teertentu, hal
ini membuat eksistensi manusia pada dasarnya tidak dapat direfleksikan.
Frankl, menulis: “Eksistensi ada dalam tindakan, bukan refleksi” (1975a:
30)
4. Kata Hati
Asal muasal conscience (kata hati atau hati nurani) terdapat dalam
ketidaksadaran spiritual. Logos lebih dalam dibandingkan dengan logika. Secara
eksistensial, keputasan-keputusan autentik terjadi secara intuitif, tanpa direfleksi,
dan secara tidak sadar. Frankl menulis: “Tugas kata hati untuk mengungkapkan
kepada manusia unum necesse, the one thing that is required (satu hal yang
diperlukan)”(1975a: 35). Kata hati secara intuitif dapat mengungkapkan berbagai
kemungkinan unik dan makna untuk diaktuaisasikan dalam situasi-situasi tertentu.
kata hati, atau “insting etik”, sangat individual, berlawanan denan insting-insting
lain yang bekerja untuk sebagian besar spesies. Selain kesadaran moral, Frankl
menganggap cinta dan seni berakar dalam emosional, intuitif, dan nonrasional dari
ketidaksadaran spiritual.
Kebebasan dapat dilihat dalam kaitannya dengan “dari apa” dan “untuk apa”,
“untuk apa” adalah tanggung jawab kata hati. Kata hati memiliki kualitas
transedental. Orang hanya bisa menjadi abdi bagi kata hatinya jika mereka dapat
menjalin dialog dan bukan monolog dengannya sebagai sesuatu yang bukan
dirinya sendiri. Melalui kata hati, agen trans manusia “Sounding through”
(menyuarakan lebih keras) (Frankl, 1975a: 53). Sounding through adalah per-
sonare dalam Bahasa Latin yang terkait dengan konsep “person” manusia. Kata
hati memiliki posisi kunci, yaitu dengan mengungkapkan transendensi esensial.
Kesadaran adalah suara transendensi dan kesadaran itu sendiri transenden.
5. Ketidaksadaran Religius
Analisis eksistensial mimpi mengungkapkan fakta religiolitas yang direpresi
dantidak disadari. Bukan hanya libido ysng direpresi, tetapi juga religio.
Kesadaran bukan aspek “untuk apa” terakhir dari tanggung jawab. Meskipun
manusia bertanggung jawab di hadapan dirinya sendiri, mereka tidak bertanggung
jawab di hadapan dirinya sendiri. Aspek “untuk apa” tanggung jawab ini ada
sebelum tanggung jawab itu sendiri. Religiositas yang tidak disadari, atau
ketidaksadaran religius, ada di dalam ketidaksadaran spiritual. Manusia selalu
berdiri didalam hubungan intensional dengan transendensi, bshksn meskipun
hanya di tingkat kesadaran. “Tuhan yang tak disadari” ini tersembunyi dengan dua
cara. Pertama, hubungan manusia dengan Tuhan itu tersembunyi. Kedua, Tuhan
itu tersembunyi. Bahkan pada orang-orang yang sangat tdak religius pun regositas
itu ada secara laten.
Ketidaksadaran religius adalah sebuah agen eksistensial, bukan sebuah faktor
instingtual. Frankl menyebutnya “sebuah deciding being yang tidak sadar, dan
bukan sebuah being yang digerakkan oleh ketidaksadaran” (1975a: 65). Dalam
kaitannya dengan ide-ide Jung, ia menekankan bahwa religiositas yang tidak
disadari berasal dari pusat personal masing-masing individu, bukan dari pool
impersonal berbagai gambaran yang dimiliki bersama oleh seluruh umat manusia.
Represi religiositas, seperti halnya represi aspek-aspek ketidaksadaran,
mengakibatkan neurosis: “.... begitu malaikat dalam diri kita direpresi, ia berubah
menjadi iblis” (1975a: 70). Eksistensialitas religiositas perlu bersifat spontan.
Religiositas sejati harus terbentang menurut kecepatannya. Manusia berkomitmen
dengannya dengan memilih menjadi religius dalam arti seluas-luasnya.
6. Makna Hidup dan Kematian
a. Makna Hidup
Frankl menulis bahwa “menjadi manusia berarti bertanggung jawab
untuk memenuhi potensi makna yang melekat pada sebuah situasi
kehidupan tertentu” (1975a: 125). Menjadi manusia berarti berbeda, sadar
dan bertanggung jawab sekaligus. Konsep tanggung jawab adalah fondasi
eksistensi manusia. Kebebasan manusia bukan “keterbebasan dari”, teapi
“kebebasan untuk”, yakni kebebasan untuk menerima tanggung jawab.
Kebebasan adalah what people “are”, (manusia seperti “apa”): bukan
sesuatu yang mereka “miliki” dan oleh sebab itu bisa hilang. Orang
memiliki banyak potensialitas dalam dirinya. Mereka tidak sepenuhnya
dikondisikan atau ditentukan. Alih-alih, dari waktu ke waktu mereka bebas
untuk memutuskan akan menjadi apa di saat berikutnya. Keputusan
mereka menentukan potensialitas mana yang diaktualisasikan. Tidak ada
satu tahap kehidupan pun yang manusia bisa “menghindari amanat untuk
memilih diantara berbagai kemungkinan” (Frankl, 1955: 85).
Setiap saat orang dipertanyakan oleh kehidupan. Cara meresponnya
adalah dengan bertanggung jawab atas kehidupannya. Bekerja dengan
materi yang telah disediakan takdir kepadanya, orang ibarat pemahat yang
menggurat dan memalu batu yang tak berbentuk hingga semakin memiliki
bentuk. Meskipun senantiasa dikelilingi oleh berbagai keterbatasan
biologis, sosiologis, dan psikologis, manusia mampu menaklukan dan
membentuknya atau secara sengaja memilih tunduk kepadanya.
b. Makna Kematian
Ajal tidak merampas makna kehidupan. Jika orang tidak bisa mati,
mereka mungkin menunda melakukan hal-hal yang tanpa batas. Ajal
merupakan bagian dari kehidupan dan memberinya makna. Tanggung
jawab orang timbul dari keterbatasannya. Konsekuensinya, mereka perlu
menyadari seluruh bobot tanggung jawab yang dipikulnya di setiap saat di
dalam kehidupannya. Takdir, seperti ajal esensial bagi makna kehidupan.
Takdir mengacu pada faktor-faktor yang ada di luar kekuasaan manusia.
Kebebasan dapat dilihat tidak hanya di dalam konteks kehidupan dan
kematian, tetapi juga di dalam konteks takdir. Kesempatan dan
kesengsaraan yang dihadapi manusia unik. Bagaimanapun orang masih
dapat menggunakan kebebasan batinnya untuk mengambil sikap terhadap
takdirnya.
7. Transendensi diri
Transendensi diri adalah salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia.
Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang berusaha meraih lebih jauh di luar
dirinya sendiri. Mereka menjadi paling manusiawi ketika mereka
mentransendensikan batas-batas selfnya dengan memenuhi makna atau
menghadapi orang lain dengan penuh kasih sayang. Frankl melihat kebutuhan
dasar manusia adalah mencari makna, bukan mencari self. Identitas hanya dapat
dicapai dengan bertanggung jawab atas terpenuhinya makna. Orang bisa menjadi
terlalu terfokus pada dirinya sendiri. Kualitas transendensi diri kehidupan manusia
paling tampak jelas saat orang melupakan dirinya sendiri. Frankl menyakini
bahwa pelajaran utama yang dipetiknya dari kamp konsentransi Nazi adalah
bertahan hidup tidak akan ada tujuannya, tidak akan ada artinya, dan akan
mustahil, kecuali jika kehidupan itu menuju ke sesuatu yang lebih jauh dari
kehidupan itu.
Frankl (1963) mengatakan bahwa transendensi diri dapat dicapai dengan
menemukan atau mendeteksi makna dengan tiga cara: dengan mengamalkan,
dengan mengalami sebuah nilai, dan denan menderita. Di tempat lain Frankl
(1967, 1988) berbicara tentang tiga cara utama dapat yang digunakan orang untuk
mnemukan makna dalam hidupnya:
1. Melalui apa yang mereka berikan kepada kehidupan (nilai-nilai kreatif)
2. Melalui apa yang mereka ambil dari kehidupan (nilai-nilai ekperiensial), dan
3. Melalui sikap yang mereka ambil terhadap takdir yang dpat lagi diubahnya,
misanya kanker yang tidak dapat dioperasi (nilai-nilai atitudinal).
Di samping itu, pengalaman yang lalu dan agama adalah dua bidang lain yang
orang dapat menemukan makna.
8. Makna dalam Pekerjaan
Makna pekerjaan lebih jauh dari sekadar okupasi tertentu dan mencakup
bagaimana orang membawa kualitas manusia uniknya ke pekerjaannya. Sebagai
contoh, seorang perawat mungkin mengambil langkah lebih jauh dari tugasnya
dengan mengucapkan kata-kata yang manis kepada seorang pasien yang kritis.
Frankl melihat semua pekerjaan memungkinkan menjadi semacam itu, meskipun
mengakui bahwa sebagian pekerjaan sangat rutin. Dalam kasus semacam itu,
makna kreatif mungkin perlu ditemukan dalam kegiatan waktu luangnya.
Tidak memiliki pekerjaan (menganggur) adalah salah satu contoh bagaimana
orang dapat dipengaruhi oleh kuraang adanya makna kreatif. Frankl melihat
neurosis pengangguran, yang ditandai oleh apati dan depresi, sebagai sebuah
posisi eksistensial. Sebagaian orang merespons tantangan eksistensial tanpa
pekerjaan dengan tetap aktif dan terlibat dan tetap terbebas dari neurosis
pengangguran.
9. Makna dalam Cinta
Berbeda dengan psikoanalisis, dalam logoterapi cinta tidak dianggap sebagai
fenomena sekunder setelah seks. Meskipun seks bisa merupakan ekspresi cinta
yang matang, ia bukan bentuk cinta itu sendiri. Cinta melibatkan berhubungan
dengan orang lain sebagai makhluk spiritual. Dengan demikian, cinta melibatkan
pemahaman atau menangkap inti batin kepribadian orang lain. Ciri lain cinta
adalah karena cinta diarahkan pada orang lain sebagaimana adanya dan bukan
orang lain sebgai miliknya, maka cinta menghasilkan sikap monogamis. Ciri cinta
selanjutnya adalah melibatkan melihat potensi pada orang yang dicintai dan
membantunya mencapai potensi tersebut. Di samping itu, dalam hubungan cinta
sejati, tidak ada tempat untuk cemburu karena orang lain tidak diperlakukan
sebagai miliknya.Frankl (1967) berusaha menegaskan bahwa cinta bukan cara
satu-satunya, dan bahkan bukan cara terbaik, untuk mengisi hidup dengan makna.
Di samping itu, ia membedakan antara kegagalan untuk meraih cinta ditakdirkan.
10. Makna dalam Penderitaan
Takdir manusia memiliki makna ganda: untuk dibentuk bilamana mungkin
dan untuk dijalani bilamana perlu. Nilai-nilai atitudinal melekat pada sikap yang
diambil orang terhadap keadaan-keadaan yang tidak dapat diubahnya, misalnya
penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau menjadi tahanan kamp konsentrasi.
Melalui nilai-nilai atitudinal, bahkan aspek-aspek tragis eksistensi manusia “tragic
triad” dari rasa sakit, rasa bersalah, dan ajal pun dapat diubah menjadi sesuatu
yang positif dan kreatif. Akan tetapi, orang perlu berhati-hati untuk tidak terlalu
mudah marah menerima takdir begitu saja. Nilai-nilai atitudional hanya
dimasukkan ke dalam daftar jika mereka yakin bahwa mereka tidak dapat
mengubah takdirnya.
Situasi negatif yang tidak dapat dihindari memberikan kesempatan untuk
“mengaktualisasikan nilai yang paling tinggi, untuk memenuhhi makna yang
paling dalam, makna dari penderitaan” (Frankl, 1963; 178). Orang mempunyai
pilihan dalam bagaimana merek amerespon penderitaan. Sebagai contoh,
kehidupan dapat mempertahankan maknanya sampai saat terakhir bagi para
penderita sakit terminal, yang menerima tantangan untuk menderita dengan gagah
dan berani. Frankl mengutip Goethe: “There is no predicament that we cannot
ennoble either by doing or enduring” (tidak ada kesulitan yang tidak dapat kita
muliakan dengan berbuat atau bertahan) (Frankl, 1955:115). Sebagian orang bisa
tetap tegak melawan tantangan penderitaan dan tumbuh lebih kaya dan lebih kuat
karenanya.
11. Makna dari Masa Lalu
Di Auschwitz, Frankl mengalami pencarian jiwa tentang makna penderitaan
ketika naskah buku pertamanya disita. Namun demikian, ia kemudian menyadari
bahwa tidak ada yang hilang dari masa lalunya, ia hanya tersimpan dan tidak
dapat ditsrik kembali. Makna hidupnya tidak tergantung pada apakah naskahnya
dicetak atau tidak. Pengalaman mas lalunya adlah lumbung yang padat baginya.
Sering kali ketika menderita, meskipun tidak selalu, pencarian makna dapat
melibatkan mengakui dan mengidentifikasi sumber-sumber makna di masa lalu
yang relevan dengan penciptaan makna di masa kini. Selain itu, bahkan hidup
yang singkat sekalipun masih bisa memiliki masa lalu yang sarat makna. Bahkan,
bagi mereka yang menjalani kehidupan steril sekalipun, keyakinan tanpa
syaratnya akan makna tanpa syarat dapat mengubah kegagalannya menjadi
kemenangan (Frankl, 1988).
12. Makna Tertinggi
Manusia tidak mampu memahami makna tertinggi penderitaan manusia. Akan
tetapi, itu bukan berartibahwa penderitaan tidak memiliki makan tertinggi. Frankl
(1963,1988) menggunakan istilah supra meaning untuk menyebut makna tertinggi
penderitaan dan kehidupan. Orang tidak dapat menerobos perbedaan dimensionall
di antara dunia insani dan dunia ilahi. Supra meaning hanya dapat dipahami oleh
keimanan dan tidak melalui sarana-sarana intelektual.
13. Kevakuman Eksistensial
Kevakuman eksistensial mendeskripsikan keadaan di mana orang
mengeluhkan tentang kehampaan batin. Mereka mengalami perasaan tanpa arti,
kosong, dan hampa. Kevakuman eksistensial adalah sebuah “jurang pengalaman
yang sangat dalam” yang berlawanan dengan pengalaman puncak yang
dideskripsikan Maslow.
Frankl menyebutkan tiga penyebab kevakuman eksistensial
1. Berbeda dengan bintang-binatang lain, manusia tidak lagi diprogram oleh
dorongan dan insting dalam hal apa yang akan dilakukan
2. Manusia tidak lagi didikte oleh tradisi, konvensi, dan nilai-nilai tentang apa
yang seharusnya dilakukan
3. Terutama di Aerika, para siswa dipapari “reduksionisme”. Manusia direduksi
menjadi dorongan, insting, creatures of conditioning (makhluk pengondisian),
pembentukan reaksi, dan mekanisme-mekanisme pertahanan daripada dianggap
sebagai deciding agents (agen yang memutuskan).
14. Frustasi Eksistensial
Frustasi Eksistensial terjadi ketika will to meaning terhalangi. Apati dan
kebosanan adalah ciri-ciri utama frustasi eksistensial. Frustasi eksistensial itu
tidak patologis dan tidak patogenik. Kekhawatiran, atau bahkan keputusasaan
orang atas makna hidupnya adalah sebuah distres spiritual, bukan penyakit. Frankl
menganggap kevakuman eksistensial, dengan frustasi yang menyertainya sebagai
sesuatu yang “Sosigenik dan sama sekali bukan sebuah neurosis” (1975a: 139).
Keputusaan atas ketidakbermaknaan hidup bisa menjadi salah satu tanda
kesungguhan dan kejujuran intelektual.
15. Neurosis Noogenik
Kevakuman eksistensial bisa menghasilkan neurotisme. Istilah neurosis
noogenik mengacu pada kasus-kasus yang kevakuman eksistensialnya
menghasilkan simtomatologi klinis. Frankl mendefinisikan neurosis noogenik
sebagai “neurosis yang disebabkan oleh masalah spiritual, sebuah konflik moral
atau etis, misalnya konflik antara superego dan kata hati” (1988:89). Frustasi
eksistensial berperan besar dalam neurosis noogenik. Neurosis semacam itu
timbul dari konflik-konflik spiritual yang berhubungan dengan aspirasi orang akan
eksistensi yang bermakna dan hambatan atas will of meaning-nya.
16. Mass Neurotic Triad
Frankl berbicara tentang neurotisasi umat manusia akibbat kevakuman
eksistensial. Efek mendunia dari kevakuman eksistensial melampaui perasaan
tanpa makna dan neurosis noogenik. Frankl menggunakan istilah “massneurotic
triad” (1975a: 96) untuk ketiga efek utamanya, yaitu: depresi, adiksi, dan agresi.
17. Akuisisi (Proses Perkembangan)
Perasan tanpa makna belum tentu didapat melalui belajar dan indoktrinasi. Ia
bisa menjadi bagian dari respons maanusia terhadap kehidupan dan jika
diselesaikan dengan memuaskan seperti dalam kasus Frankl, bisa menjadi sebuah
pengalaman pertumbuhan. Akan tetapi, Frankl melihat bahwa kevakuman
eksistensial dan frustasi eksistensial menjadi semakin menyebar. Lebih jauh,
terjadi peningkatan pada neurotisasi umat manusia. Pertama, pengkisan nilai-nilai
tradisional dan kencenderungan ke arah reduksionisme mempersulit banyak orang
untuk menemukan makna dalam hidupnya. Kedua, karena lebih sedikit orang
dalam masyarakat yang telah menemukan makna secara memuaskan, maka lebih
sulit bagi mereka yang masih muda untuk tumbuh dengan belajar dari panutan
yang berhasil merealisasikan aspek-aspek spiritualnya. Dengan kata lain, kaum
muda mungkin kurang memiliki akses ke pendidik dan pemberi contoh makna.
D. Metode dan teknik konseling
Logoterapi tidak hanya mengemukakan asas-asas dan filsafat manusia yang
bercorak humanistik eksistensial tetapi juga mengembangkan metode dan teknik-
teknik terapi untuk mengatasi gangguan-gangguan neurosis somatogenik, neureosis
psikogenik, dan neurosis noogenik. Untuk neurosis somatogenik yakni gangguan-
gangguan perasaan yang berkaitan dengan hendaya ragawi, logoterapi
mengembangkan metode Medical Ministry, sedangkan untuk neurosis psikogenik
yang bersumber dari hambatan-hambatan emosional dikembangkan teknik
Paradoxical Intention dan Dereflection. Selanjutnya untuk neurosis noogenik yakni
gangguan neurosis yang disebabkan tidak terpenuhinya hasrat untuk hidup bermakna,
logoterapi mengembangkan Existential Analysis/logoterapi. Ini bukan panacea,
karena metode ini hanyalah jabaran dari pandangan logoterapi yang mengakui
kepribadian manusia sebagai totalitas raga-jiwa-rohani dan logoterapi memfungsikan
potensi berbagai kualitas insani untuk mengembangkan metode dan teknik-teknik
terapi.
1. Metode dan Teknik
a. Anticipatory Anxiety
Untuk memahami teknik-teknik Paradoxical Intention dan
Dereflection, perlu dibahas lebih dulu suatu fenomena klinis yang
disebut Anticipatory Anxiety yaitu rasa cemas akan munculnya suatu
gejala patologis tertentu yang justru benar-benar memunculkan apa
yang dicemaskannya itu dan tercetusnya gejala tersebut akan
meningkatkan internitas kecemasan. Anticipatory Anxiety biasanya
para penderita mengembangkan tiga pola reaksi khusus yang dalam
logoterapi dikenal sebagai: Flight From Fear, Fight Against
Obsession, dan Fight For Pleasure. (H. D Bastaman: 97)
Pola Flight From Fear penderita menghindari semua objek
yang ditakuti dan dicemaskannya. Reaksi ini terdapat pada semua
reaksi cemas dan secara khas terdapat fobia. Pola Fight Against
Obsession penderita mencurahkan segala daya upaya untuk
mengendalikan dan menahan agar tidak sampai tercetus suatu
dorongan aneh yang kuat dalam dirinya. Namun kenyataannya makin
keras upaya menahannya, makin kuat pula perasaan penderita. Pola
reaksi ini jelas merupakan pola reaksi khas gangguan obsesi dan
kompulsi. Sedangkan pola Fight For Pleasure terdapat hasrat yang
berlebihan untuk memperoleh kepuasan. Hasrat ini sering disertai
kecenderungan kuat untuk menanti-nantikan dengan penuh harap saat
kepuasan itu terjadi pada dirinya (Hyper Reflection) dan terlalu
menghasrati kenikmatan secara berlebihan (Hyper Intention) yang
keduanya saling menunjang dalam memperkuat Anticipatory Anxiety.
Pola reaksi ini sering terdapat pada gangguan seksual (misalnya
Frigiditas, Impotensi) dan non-seksual (misalnya Insomnia).
Untuk mengatasi lingkaran yang tak berakhir ini logoterapi
“mengguntingnya” dengan teknik-teknik Paradoxical Intention dan
Dereflection.
b. Paradoxical Intention
Teknik paradoxical intention pada dasarnya memanfaatkan
kemampuan mengambil jarak (self detachment) dan kemampuan
mengambil sikap (to take a stand) terhadap kondisi diri sendiri dan
lingkungan. Teknik ini juga memanfaatkan salah satu kualitas khas
manusia lainnya yaitu rasa humor (sense of humor) khususnya humor
terhadap diri sendiri. Penerapan teknik ini membantu pasien untuk
menyadari pola keluhannya, mengambil jarak atas keluhannya itu serta
menanggapinya secara humoristis. Dalam kasus fobia, teknik ini
berusaha mengubah sikap penderita yang semula takut menjadi
“akrab” dengan objek yang ditakutinya. Sedangkan pada obsesi
kompulsi yang biasanya penderita mengendalikan ketat dorongan-
dorongannya agar tak tercetus justru diminta untuk secara sengaja
mengharapkan (bahkan memacu) agar dorongan itu benar-benar
muncul. (H. D Bastaman: 98)
Pemanfaatan rasa humor ini diharapkan dapat membantu pasien
untuk tidak lagi memandang gangguan-gangguan yang ada sebagai
sesuatu yang berat mencekam, tetapi berubah menjadi sesuatu ringan
bahkan lucu. Teknik Paradoxical Intention memiliki keterbatasan yang
sulit dilakukan bagi pasien yang kurang memiliki rasa humor. Selain
itu teknik ini memiliki kontra indikasi dengan kasus depresi dengan
kecenderungan bunuh diri.
c. Dereflection
Dereflection yaitu memanfaatkan kemampuan transendensi diri
(self- transcendence) yang dimiliki setiap manusia dewasa. Artinya
untuk membebaskan diri dan tak memerhatikan lagi kondisi yang tak
nyaman untuk kemudian lebih mencurahkan perhatian kepada hl-hal
yang positif dan bermanfaat. Dengan berusaha mengabaikan
keluhannya dan memandangnya secara ringan, kemudian mengalihkan
perhatian kepada hal-hal bermanfaat, gejala Hyper Intention dan Hyper
Reflection menghilang. Selain itu akan terjadi perubahan sikap yaitu
dari yang semula terlalu memerhatikan diri sendiri (self concerned)
menjadi komitmen terhadap sesuatu yang penting baginya (self
commitment). Pasien dengan gejala frigiditas misalnya diarahkan untuk
tidak lagi memerhatikan frigiditasnya, tetapi disarankan untuk lebih
mencurahkan perhatian kepada pasangannya. Pada penderita insomnia
yang sangat menginginkan tidur diminta untuk menghentikan usaha-
usaha untuk bisa tidur dan justru diminta untuk tidak tidur sama sekali
dengan melakukan suatu kegiatan untuk mencegahnya tidur.
d. Medical Ministry (Pelayanan Medis)
Dalam kehidupan sering ditemukan berbagai pengalaman tragis
yang tak dapat dihindarkan, sekalipun upaya-upaya penanggulangan
telah dilakukan secara maksimal tetapi tak berhasil. Untuk itu
logoterapi mengarahkan penderita untuk berusaha mengembangkan
sikap (attitude) yang tepat dan positif terhadap kondisi tragis tersebut.
Metode ini merupakan metode logoterapi yang smeula diterapkan
dikalangan medis, khususnya gangguan-gangguan somatogenik
(misalnya depresi pasca amputasi). Namun selanjutnya, metode
diamalkan pula oleh para profesional lain dalam mengatasi berbagai
kasus tragis non medis (misalnya PHK, Perceraian). Pendekatan ini
memanfaatkan kemampuan untuk mengambil sikap (to take a stand)
terhadap kondisi diri dan lingkungan yang tak mungkin diubah lagi.
Medical Ministry merupakan perealisasian dari niai-nilai bersikap
(attitudinal values) sebagai salah satu sumber makna hidup. Ini sesuai
pula dengan ungkapan Sahakian “... if you can not change conditions,
then alter your attitude toward them ...”. tujuan utama dari metode
Medical Ministry adalah membantu seseorang dalam menemukan
makna dari penderitaannya: Meaning in Suffering.
E. Peran konselor
Konseling logoterapi berorientasi pada masa depan (future oriented) dan
berorientasi pada makna hidup (meaning oriented). Relasi yang dibangun antara
konselor dengan konseli adala encounter, yaitu hubungan antar pribadi yang ditandai
oleh keakraban dan keterbukaan, serta sikap dan kesediaan untuk saling menghargai,
memahami dan menerima sepenuhnya satu sama lain. Fungsinya adalah membantu
membuka cakrawala pandangan klien terhadap berbagai nilai an pengalaman hidup
yang secara potensial memungkinkan ditemukannya makna hidup yakni bekerja dan
berkarya (creative values), menghayati cinta kasih, keindahan, dan kebenaran
(experiental values), sikap yang tepat menghadapi musibah yang tak terelakkan
(attitudinal values), serta memiliki harapan akan terjadinya perubahan yang lebih baik
di masa mendatag (hopeful values).
F. Kelebihan dan kekurangan pendekatan konselor
1. Kelebihan Logoterapi
Logoterapi mengajarkan bahwa setiap kehidupan individu mempunyai
maksud, tujuan, makna yang harus diupayakan untuk ditemukan dan dipenuhi.
Hidup kita tidak lagi kosong jika kita menemukan suatu sebab dan sesuatu
yang dapat mendedikasikan eksistensi kita.
2. Kekurangan Logoterapi
Ada beberapa konseli yang tidak dapat menunjukan makna hidupnya
sehingga timbul suatu kebosanan merupakan ketidak mampuan seseorang
untuk membangkitkan minat apatis, perasaan tanpa makna, hampa, gersang,
merasa kehilangan tujuan hidup, meragukan kehidupan. Sehingga menyulitkan
konselor untuk melakukan terapi kepada konseli tersebut.
G. Implementasi dalam layanan BK di sekolah
Secara umum logoterapi bertujuan agar konseli yang menghadapi
masalah dapat menemukan makna dari penderitaannya dan juga makna
mengenai kehidupan dan cinta. Setiap siswa/i memiliki masing-masing
permasalahan yang dialaminya, dalam pengentasan maalah masih ada
beberapa siswa/i yang keliru dalam pengentasannya serta memaknai
masalahnya. Oleh karena itu logoterapi hadir dalam implementasi pengentasan
masalah siswa/i agar lebih arif dalam memaknai serta mengentaskan masalah
yang telah dihadapinya.
BAB III
PENUTUPAN
A. Simpulan
Logoterapi mengajarkan bahwa setiap kehidupan individu mempunyai maksud
tujuan, makna yang harus diupayakan untuk ditemukan dan dipenuhi. Hidup kita tidak
lagi kosong jika kita menemukan suatu sebab dan sesuatu yang dapat mendedikasikan
eksistensi kita. Namun kalaulah hidup diisi dengan penderitaan itu adalah kehidupan
yang bermakna, karena keberanian menanggung tragedy yang tak tertanggungkan
merupakan pencapaian atau prestasi dan kemenangan.
Bagi Frankl makna hidup adalah daya yang membimbing eksistensi manusia,
sebagaimana para Nabi membimbing umatnya. Frankl menggabungkan wawasan dari
agama-agama dan filsafat-filsafat lama, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan
pribadinya selama tiga tahun yang kelam di kamp konsentrasi Nazi yang dituangkan
dalam suatu teori psikoterapi, ajaran tersebut dinamakan dengan logoterapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bastaman HD. 2007. Logoterapi: Psikologi untu menemukan makna hidup
dan meraih hidup bermakna. Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA
2. Gantina Komala Sari, dkk. 2011. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT.
Indeks.

Anda mungkin juga menyukai