Anda di halaman 1dari 25

A.

Sejarah Logoterapi
1. Biografi Viktor Emil Frankl
Viktor Emil Frankl lahir pada tanggal 26 Maret 1905 di Wina, Austria adalah putra dari
orangtua yang berkebangsaan Yahudi.ibunya adalah keturunan dari keluarga bangsawan Praha
tua yang mapan. Ayahnya adalah seorang penjilid buku miskin yang menjadi pegawai negeri
yang kemudian menjadi direktur deprtemen kesejahteraan pemuda pemerintahan Austria.
Ayahnya adalah seorang Yahudi Saleh yang pernah menjadi mahasiswa kedokteraan, tetapi
terpaksa menghentikan kuliahnya karena kekurangan biaya. Setelah berhenti kuliah Ia bekerja
dibagian Sekretariat Parlemen Kerajaan Austria sebagai penulis steno selama 10 tahun dan
akhirnya menjadi pegawai tetap Depertemen Sosial sampai pensiun. Ayah frankl banyak
menaruh perhatian pada masalah kesejahteraan pemuda, betapa gembiranya waktu anaknya,
Viktor Frankl memilih studi kedokteran, bidang yang didambaannya yang kandas karena
kekurangan biaya. Setelah lulus menjadi dokter, Viktor Frankl mengambil alih dalam bidang
Neuro psikiatri ( ahli penyakit syaraf dan jiwa ) dan berhasil meraih gelar dokter dalam Ilmu
kedokteran ( M.D ), kemudian Dokter dalam Ilmu Filsafat ( Ph.D ) di Universitas Wina.

Frankl meraih gelar Dokter dalam obat-obatan (M.D.) pada tahun 1930, dan Doktor filosofi
(Ph.D.) pada tahun 1949, keduanya dari Universitas Vienna. Disamping itu, dia juga
mendapatkan gelar Honoriskausa dari universitas di seluruh dunia yang jumlahnya lebih dari
120. Dia menjadi pembicara terhormat pada United States International University di San
Diego.Frankl juga menjadi Profesor tamu di Harvard, Duquesne, dan Southern Methodist
Univercities. Dia menerima beberapa gelar kehormatan dari Loyola University di Chicago,
Edgecliff, Rockford College dan Mount Mary College, serta dari universitas-universitas di
Brazil, Venezuela, dan Afrika Selatan. Dia menjadi dosen tamu di berbagai universitas di seluruh
dunia. Dia juga menjabat sebagai presiden di Austrian Medical Society of Psychotherapy serta
anggota kehormatan di Austrian Academy of Sciences.

Dari tahun 1942 sampai 1945, Frankl menjadi tawanan di kamp konsentrasi Jerman,
dimana orang tuanya, saudara laki-lakinya, isteri dan anak-anaknya mati. Pengalaman
mengerikan di kamp konsentrasi tidak pernah hilang dari ingatannya, tetapi dia bisa
menggunakan kenangan mengerikan itu secara konstruktif dan tidak mau kenangan itu
memudarkan rasa cintanya dan kegairahannya untuk hidup.

Teori dan terapi Viktor Frankl lahir dari pengalamannya selama menjadi tawanan di kamp
konsentrasi Nazi. Di sana, ia menyaksikan banyak orang yang mampu bertahan hidup atau mati
di tengah siksaan. Hingga akhirnya dia menganggap bahwa mereka yang tetap berharap bisa
bersatu dengan orang-orang yang dicintai, punya urusan yang harus diselesaikan di masa depan,
punya keyakinan kuat, memiliki kesempatan lebih banyak daripada yang kehilangan harapan.

Di kamp konsentrasi yang dibangun oleh Nazi itu, Frankl banyak belajar tentang makna
hidup, dan lebih spesifik lagi makna penderitaan. Ia pun mempraktekkan psikoterapi kelompok
bagi sesama tawanan guna membantu mereka dalam mengatasi kesia-siaan, keputusasaan,
keinginan bunuh diri dan berbagai kondisi patologis yang ia duga bersumber pada pengalaman
kegagalan menemukan makna. Bagi Frankl, pelajaran dan praktek di dalam kamp konsentrasi
memperkaya hasil studi formalnya dan menjadi bekal yang amat berharga dalam kehidupan
profesinya sebagai teoritisi dan praktisi psikoterapi di kemudian hari.

Dari pengalaman hidupnya, Frankl belajar bahwa manusia dapat kehilangan segala sesuatu
yang dihargainya kecuali kebebasan manusia yang sangat fundamental yaitu kebebasan untuk
memilih suatu sikap atau cara bereaksi terhadap nasib kita, kebebasan untuk memlilih cara kita
sendiri. Apa yang berarti dalam eksistensi manusia, bukan semata-mata nasib yang menantikan
kita, tetapi bagaimana cara kita menerima nasib itu.

Frankl percaya bahwa arti dapat ditemukan dalam semua situasi, termasuk penderitaan dan
kematian. Frankl berasumsi bahwa hidup ini adalah penderitaan, tetapi untuk menemukan sebuah
arti dalam penderitaan maka kita harus terus menjalani dan bertahan untuk tetap hidup. Frankl
menyatakan pentingnya dorongan dalam mencari sebuah arti untuk eksistensi manusia sebagai
suatu sistem, yang kemudian disebut logoterapy. Logoterapy kemudian menjadi model
psikoterapinya.

2. Pemikiran Victor E. Frankl Tentang Logoterapi


Victor E. Frankl adalah seorang neuro-psikiater kelahiran Wina, Austria yang berhasil
selamat keluar dari kamp konsentrasi maut Nazi melalui usahanya untuk tetap mempertahankan
dan mengembangkan hidup bermakna (the will to meaning). Ternyata harapan untuk hidup
bermakna dapat dikembangkan dalam berbagai kondisi, baik dalam keadaan normal, maupun
dalam penderitaan (suffering), misalnya dalam kondisi sakit (pain), salah (guilt), dan bahkan
menjelang kematian sekalipun.
Dari pengalaman hidupnya, Frankl belajar bahwa manusia dapat kehilangan segala sesuatu
yang dihargainya kecuali kebebasan manusia yang sangat fundamental yaitu kebebasan untuk
memilih suatu sikap atau cara bereaksi terhadap nasib kita, kebebasan untuk memlilih cara kita
sendiri. Apa yang berarti dalam eksistensi manusia, bukan semata-mata nasib yang menantikan
kita, tetapi bagaimana cara kita menerima nasib itu. Frankl percaya bahwa arti dapat ditemukan
dalam semua situasi, termasuk penderitaan dan kematian. Frankl berasumsi bahwa hidup ini
adalah penderitaan, tetapi untuk menemukan sebuah arti dalam penderitaan maka kita harus
terus menjalani dan bertahan untuk tetap hidup. Frankl menyatakan pentingnya dorongan dalam
mencari sebuah arti untuk eksistensi manusia sebagai suatu sistem, yang kemudian disebut
logoterapy. Logoterapy kemudian menjadi model psikoterapinya.
Menurut Frankl, keadaan dimana seorang individu kekurangan arti dalam kehidupan
disebut sebagai kondisi nogenic neurosis. Inilah keadaan yang bercirikan tanpa arti, tanpa
maksud, tanpa tujuan dan hampa. Menurut Frankl, individu semacam ini berada dalam
kekosongan eksistensial (existential vacuum), suatu kondisi yang menurut keyakinan Frankl
adalah lumrah dalam zaman modern.
Viktor Emil menekankan pentingnya kemauan akan arti manusia harus dapat menemukan
makna hidupnya sendiri kemudian manusia harus mencoba untuk memenuhinya. Menurut
Frank, kehidupan mempunyai makna dan harus dijalani. Prinsip utama dari logoterapi ini adalah
mencari makna dalam hidup. Sedangkan konsep dasar logoterapi adalah kebebasan,
berkeinginan, keinginan akan makna, dan makna hidup. Logoterapi mempunyai arti, yaitu kata
logo (bahasa Yunani = lohos), yang berarti makna dan juga rohani. Sedangkan terapi (bahasa
Inggris = therapy) yang memiliki arti penggunaan teknik untuk menyembuhkan dan mengurangi
atau meringankan suatu penyakit. Jadi dapat disimpulkan bahwa logoterapi adalah penggunaan
teknik-teknik menyembuhkan dan mengurangi atau meringankan suatu penyakit melalui
penemuan makna hidup.
Logoterapi adalah untuk bentuk psikoterapinya yang didasarkan upaya memfokuskan klien
kepada sebuah pengenalan dan penerimaan dirinya sendiri dengan cara-cara bermakna sebagai
bagian dari suatu totalitas, termasuk dunia nyata yang di dalamnya mereka harus berfungsi.
Pendekatan Viktor E. Frankl menyatukan elemen-elemen psikologi dinamik, eksistensialisme
dan behaviorisme.
Logoterapi diketahui dari hadirnya pertama kali adalah suatu metode psikoterapi untuk
menangani orang-orang yang kehidupannya kehilangan arti. (Duane Schultz, 1991:150).
Meskipun logos yang mempunyai komponen dari kata logoterapi ini mempunyai arti
rohani secara harfiah, tetapi Frankl menyatakan bahwa rohani dalam logoterapi tidak
mengandung unsur keagamaan, bahkan cenderung bersifat sekulerdi mana logoterapi
memisahkan antara agama dan teknik logoterapi itu sendiri.Logoterapi percaya bahwa
perjuangan untuk menemukan makna dalam kehidupan seseorang merupakan motivator utama
orang tersebut. Maka dari itu, Frankl menyebutnya sebagai keinginan untuk mencari makna
hidup yang sangat berbeda dengan pleasure principle (prinsip kesenangan) yang merupakan
dasar dari aliran psikoanalisis Freud dan juga berbeda dengan will to power yang merupakan
landasan dari teori Erikson, atau pun striving for superiority yang merupakan pokok utama
aliran psikologi Adler.
Dengan kata lain, Frankl menjelaskan bahwa dorongan utama manusia dalam kehidupan
adalah mencari bukan diri melainkan arti; dalam beberapa hal, ini menyangkut melupakan diri
kita. Jadi, menurut Frankl tujuan dari hidup tidak selalu perihal aktualisasi diri. Frankl menolak
perjuangan manusia untuk membangun setiap keadaan atau kondisi diri entah untuk kekuasaan,
kenikmatan, atau aktualisasi. Frankl mengemukakan bahwa pandangan serupa itu
menggambarkan orang sebagai sistem yang tertutup, yang tidak menyangkut interaksi dengan
dunia yang nyata atau dengan orang-orang lain, tetapi hanya dengan diri. Frankl percaya bahwa
mengejar tujuan semata-mata dalam diri kita adalah merusak diri.
Semakin banyak kita mengejar kesenangan maka mungkin semakin kurang kita
menemukannya. Kehidupan yang diarahkan untuk mengejar kebahagiaan tidak pernah akan
menemukan kebahagiaan. Semakin kita berpusat pada kebahagiaan sebagai tujuan, maka
semakin juga kita tidak akan melihat pertimbangan yang sehat untuk berbahagia. Kenikmatan
dan kebahagiaan terjadi dan menambahkan kesenangan hidup, tetapi kenikmatan dan
kebahagiaan bukanlah tujuan hidup. Kebahagiaan tidak dapat dikejar dan ditangkap; biasanya
timbul secara spontan dari pemenuhan arti, dari mencapai tujuan di luar diri.
Jadi, yang penting bukanlah aktivitas yang dikerjakannya, melainkan bagaimana caranya ia
melakukan aktivitas itu, yaitu sejauh mana ia dapat menyatakan keunikan dirinya dalam akivitas
itu. Adapun ajaran logoterapi dirumuskan oleh Joseph B. Fabry sebagai berikut:
Hidup itu bermakna dalam kondisi apapun

Kita memiliki kehendak hidup bermakna dan menjadi bahagia hanya ketika kita
merasa telah memenuhinya.

Kita memiliki kebebasandengan segala keterbatasanuntuk memenuhi makna


hidup kita

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan utama dari logoterpi sendiri adalah meraih
hidup bermakna dan mampu mengatasi secara efektif berbagai kendala dan hambatan pribadi.
Logoterapi tidak menyikapi setiap penderitaan (termasuk kematian) secara pesimistis, tetapi
secara aktif. Sebagaimana yang dikemukakan Frankl (1988:73):

Logotherapy is an optimistic approach to life, for it teaches that there are no tragic and
negative aspects which could not be by the stand one takes to them transmuted into positive
accomplishment.

Dari pernyataan tersebut, Frankl menekankan sikap optimis dalam menjalani kehidupan
dan mengajarkan bahwa tidak ada penderitaan dan aspek negative yang tidak dapat diubah
menjadi suatu yang positif. Karena manusia mempunyai kapasitas untuk melakukan hal itu dan
mampu mengambil sikap yang tepat terhadap apa yang sedang dialaminya.

B. Pengertian Logoterapi
Kata logo berasal dari bahasa Yunani logos yang berarti makna atau meaning dan juga
rohani. Adapun kata terapi berasal dari bahasa Inggris therapy yang artinya penggunaan
teknik-teknik menyembuhkan dan mengurangi suatu penyakit. Jadi, kata logoterapi artinya
penggunaan teknik untuk menyembuhkan dan mengurangi atau meringankan suatu penyakit
melalui penemuan makna hidup. Istilah tema utama logoterapi adalah karakteristik eksistensi
manusia, dengan makna hidup sebagai inti teori.
Logoterapi diperkenalkan oleh Viktor Frankl, seorang dokter ahli penyakit saraf dan jiwa
(neuro-psikiater). Logoterapi berasal dari kata logos yang dalam bahasa Yunani berarti makna
(meaning) dan juga rohani (spirituality), sedangkan terapi adalah penyembuhan atau pengobatan.
Logoterapi secara umum dapat digambarkan sebagai corak psikologi/ psikiatri yang mengakui
adanya dimensi kerohanian pada manusia di samping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta
beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the
will of meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna
(the meaningful life) yang didambakannya. Logoterapi adalah suatu proses terapi pengobatan
atau penyembuhan untuk menemukan maknaan hidup dan pengembangan spiritual seseorang.
Makna hidup bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini dirasakan
demikian berarti dan berharga (Ukus, 2005).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Logoterapi adalah corak psikologi dan
psikiatri untuk pencarian makna hidup dalam diri individu yang merupakan motivasi utama
kekuatan seseorang yang juga mengakui adanya dimensi kerohanian dibalik dimensi fisik dan
psikis dalam diri manusia.

C. Konsep Dasar Logoterapi

Menurut Frankl (2004), logoterapi berasal dari kata logos dari bahasa Yunani yang berarti
makna. Logoterapi percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna hidup dalam seseorang
merupakan motivator utama orang tersebut. Logoterapi berusaha membuat pasien menyadarari
secara tanggung jawab dirinya dan memberinya kesempatan untuk memilih, untuk apa, atau
kepada siapa dia merasa bertanggung jawab. Logoterapi tidak menggurui atau berkhotbah
melainkan klien sendiri yang harus memutuskan apakah tugas hidupnya bertanggung jawab
terhadap masyarakat atau kepada dirinya sendiri. Menurut Frankl, logoterapi memiliki wawasan
mengenai manusia yang berlandaskan tiga pilar filosofis yang satu dengan lainnya memiliki
hubungan yang erat dan saling terhubung, yaitu kebebasan berkehendaak (freedom of will),
kehendak hidup bermakna (the will to meaning), dan makna hidup (the meaning of life) (dalam
Trimardhany, 2008). Berikut adalah penjabaran mengenai konsep dasar logoterapi, yaitu (dalam
Jones, 2011):

1. Kebebasan Berkehendak
Manusia memiliki kebebasan untuk berkehendak, dan satu-satunya diantara makhluk
hidup yang memiliki kapasaitas self-detachment (melepaskan diri). Manusia mampu
merefleksikan dan menilai pilihannya. Insting, dorongan, atau karakter manusia bukan suatu
hal yang paling penting atau diutamakan, namun sikap yang mereka ambil terhadap semua
hal lah yang menjadi fokus utama dan yang paling penting. Manusia bebas membentuk
karakternya dan bertanggung jawab untuk apa yang mereka ciptakan dari diri mereka
sendiri. Jika orang melampaui dimensi somatik dan fisik eksistensinya, ia akan memasuki
sebuah dimensi baru yang diistilah sebagai dimensi noologis oleh Frankl. Dalam dimensi
noologis inilah terletak fungsi-fungsi khas manusia, misalnya refleksi, kapasaitas untuk
menjadikan dirinya obyek, humor, dan kehati-hatian.
2. Will to Meaning (Kehendak untuk Menemukan Makna)
Will to meaning atau kehendak untuk menemukan makna adalah kekuatan
motivasional yang fundamental dalam diri manusia. Seseorang akan dihadapkan pada
kebutuhan untuk mendeteksi atau menemukan sebuah makna sampai akhir hayatnya.
Frank menulis bahwa pencarian manusia akan makna adalah kekuatan utama dalam
hidupnya. Makna itu unik dan spesifik dan hanya dapat dipenuhi oleh diri masing-
masing individu itu sendiri dan hanya dengan dengan begitu makna itu mencapai
signifikansi yang akan memuaskan will to meaning-nya. Seperti yang diamati oleh Frankl
dalam pengalaman kamp konsentrasinya, seseorang membutuhkan sesuatu sebagai alasan
untuk hidup. Makna tidak berbaraengan dengan being, namun ia berbarengan dengan
pace of being yaitu langkah untuk menjadi. Logoterapi memfokuskan pada will to
meaning sementara psikoanalisa memfokuskan pada will to pleasure dan psikologi
individual memfokuskan pada will to power. Sebagai kekuatan yang memotivasi, will to
meaning juga berbeda dengan aktualisasi diri. Frankl juga melihat aktualisasi diri hanya
sebagai efek samping dari will to meaning. Seseorang hanya dapat mengaktualisasikan
dirinya sejauh kemampuannya dalam memenuhi makna.
3. Kesadaran dan Ketidaksadaran
Pencarian makna dapat melibatkan aktifitas sadar dan berhubungan dengan lapisan
tidak sadar dari diri.
Kesadaran
Manusia adalah makluk spiritual dan logoterapi memfokuskan pada ekstensi
spiritual mereka. Dalam konteks ini, kata spririt tidak memiliki konotasi relegius.
Fenomena spiritual (kejiwaan) pada diri manusia bisa berupa sesuatu yang didasari
atau sesuatu yang tidak disadari. Logoterapi bermaksud meningkatkan kesadaran
klien tentang diri spiritualnya. Manusia perlu sadar akan tanggung jawabnya untuk
menemukan atau mendeteksi dan bertindak dalam kaitannya dengan makna unik
kehidupannya di berbagai situasi spesifik di mana mereka terlibat di dalamnya.
Ketidaksadaran Spiritual
Setiap manusia memiliki inti spiritual personal eksistensial. Terpusat di seputar
inti spritual, orang-orang tidak hanya berindividualisasi atau sendiri-sendiri, namun
tersatukan dalam aspek-aspek somatik, psikis, dan spiritualnya. Meskipun batas
antara kesadaran dan ketidaksadaran itu cair Frankl menganggap dasar spiritual
eksistensi manusia pada dasarnya tidak-sadar. Pusat kedalaman setiap manusia
bersifat tidak-sadar. Ada perbedaan tajam antara ketidaksadaran instingual dan
ketidaksadaran spiritual. Freud melihat ketidaksadaran sebagai waduk insting-insting
seksual dan agresif. Bagi depth psychology (psikologi dalam) Frankl, dari pada
memfokuskan pada insting-insting yang ditekan, lebih perlu untuk mengikuti
manusia hingga kedalam jiwanya. Akan tetapi, self tidak dapat merelfksikan diri diri
secara total dan dalam pengertian tertentu, hal ini membuat eksistensi manusia pada
dasaranya tidak dapat direfleksikan. Menurut Frankl. Eksistensi ada dalam tindakan,
bukan refleksi.
Kata Hati
Asal muasal kata hati atau hati nurani terdapat dalam ketidaksadaran spiritual.
Logos lebih dalam dibanding logika. Secara eksistensial, keputusan-keputusan
autentik terjadi secara intuitif, tanpa direfleksikan, dan secara tidak sadar. Frankl
menulis tugas kata hati untuk mengungkapkan kepada manusia unum necesse, the
one thing that is required (satu hal yang diperlukan). Kata hati secara intuitif dapat
mengungkapkan berbagai kemungkinan unik mengenai makna untuk
diaktutalisasikan dalam situasi-situasi tertentu. Kata hati, atau insting etik, sangat
individual (sangat tergantung masing-masing diri/sangat berbeda satu sama lain),
berlawanan dengan insting-insting lain yang bekerja untuk sebagian besar spesies
atau hampir sama dengan makhluk hidup lainnya seperti insting makan, berkembang
biak, dan lain-lain.
Kebebasan dapat dilihat dalam kaitannya dengan dari apa dan untuk apa.
Untuk apa adalah tanggung jawab kata hati. Kata hati memiliki kualitas
transendental. Orang hanya bisa menjadi abdi bagi kata hatinya jika mereka dapat
menjalin dialog dan bukan monolog dengan sebagai sesuatu yang bukan dirinya
sendiri. Melalui kata hati, agen trans-manusia sounding through (menyuarakan
lebih keras). Kata hati memiliki posisi kunci, yaitu mengungkapkan transendensi
esensial (inti dari cara berpikir tentang hal-hal yang luar biasa dan melampaui dari
apa yang terlihat). Kesadaran adalah suara transendensi dan kesadaran itu sendiri
transenden.
Ketidaksadaran Religius
Analisis eksistensial mimpi mengungkapkan fakta religiositas yang direpresi dan
tidak disadari. Bukan hanya libido yang direpresi, tetapi juga religio. Religuitas yag
tidak disadari, atau ketidaksadaran religius,ada didalam ketidaksadaran spiritual.
Manusia selalu berdiri di dalam hubungan intensional dengan transendensi, bahkan
meskipun hanya tingkat ketidaksadaran. Tuhan yang tak disadari ini tersembunyi
dengan dua cara. Pertama, hubungan manusia dengan Tuhan itu tersembunyi. Kedua,
Tuhan itu tersembunyi. Bahkan pada orang-orang yang sangat tidak religius pun
religiositas itu ada secara laten.
Ketidaksadaran religius adalah sebuah agen eksistensia, bukan sebuah faktor
instingtual. Frankl menyebutnya sebuah deciding being yang tak sadar, dan bukan
sebuah being yang digerakkan oleh ketidaksadaran. Dalam kaitannya dengan ide-ide
Jung, ia menekankan bahwa religiositas yang tidak disadari berasal dari pusat
personal masing-masing individu, bukan dari pool impersonal berbagai gambaran
yang dimilki bersama oleh seluruh umat manusia. Represi religiositas, seperti halnya
represi aspek-aspek ketidaksadaran, mengakibatkan neurosisi ...begitu malaikat
dalam diri direpresi, ia berubah menjadi iblis..
4. Makna Hidup dan Kematian
Makna Hidup
Frankl menulis bahwa menjadi manusia berarti bertanggung jawab untuk
memenuhi potensi makna yang melekat pada sebuah siuasi kehidupan tertentu.
Menjadi manusia berarti berbeda, sadar, dan sekaligus bertanggung jawab. Konsep
tanggung jawab adalah pondasi eksistensi manusia. Kebebasan manusia bukan
keterbebasan dari, tetapi kebebasan untuk, yakni kebebasan untuk menenerima
tanggung jawab. Kebebasan adalah what people are, (manusia seperti apa)
bukan sesuatu yang mereka miliki dan oleh sebab itu bisa hilang. Orang memiliki
banyak potensialitas dalam dirinya, mereka tidak sepenuhnya dikondisikan atau
ditentukan. Bahkan dari waktu ke waktu mereka bebas untuk memutuskan akan
menjadi seperti apa di saat berikutnya. Keputusan mereka akan menentukan akan
menjadi seperti apa disaat berikutnya. Keputusan mereka menentukan potensialitas
mana yang diaktualisasikan.
Yang dimaksud dengan makna hidup dalam logoterapi adalah makna yang
terkandung dan tersembunyi dalam setiap situasi yang dihadapi seseorang sepanjang
hidup mereka (Frankl, 2004). Makna hidup yaitu hal-hal yang memberikan arti
khusus bagi seseorang, yang apabila berhasil dipenuhi akan menyebabkan
kehidupannya dirasa berarti dan bahagia. Makna hidup yang dikenalkan oleh Frankl
ini mempunyai sifat yang unik, spesifik, personal, sehingga tiap orang mempunyai
arti masing-masing dalam memaknai hidup mereka, dan berbeda dari satu orang
dengan orang lainnya. Selain itu, makna hidup juga akan berbeda di tiap harinya,
bahkan di tiap jam makna dari hidup itu akan mengalami pergeseran. Karena itu
yang penting bukan makna hidup secara umum, melainkan makna khusus dari hidup
seseorang pada suatu saat tertentu.
Dalam logoterapi, untuk mencapai makna hidup manusia tidak boleh mencari
makna hidup yang abstrak. Setiap orang mempunyai pekerjaan dan misi untuk
menyelesaikan pekerjaan atau tugas khusus dalam hidupnya. Karena itu, manusia
memiliki tugas unik dan kesempatan unik untuk menyelesaikan tugs-tugasnya.
Dalam prakteknya manusia seharusya tidak menanyakan tentang makna hidupnya,
melainkan sadar bahwa dialah yang akan ditanyai oleh hidup apa sebenarnya makna
hidp yang ia miliki. Dan ketika hidup telah menanyai manusia akan makna hidup
yang dia punyai, maka manusia hanya bisa menjawab pertanyaan itu dengan
bertanggung jawab atas hidupnya; kepada hidup manusia hanya bisa amenjawab
dengan bertanggung jawab. Oleh karena itu, logoterai menganggap sikap
bertanggung jawab sebagai esensi dasar kehidupan dasar manusia (Frankl, 2004:
173).
Makna hidup yang sejati adalah yang bisa ditemukan di dunia tempat manusia itu
hidup, bukan pada jiwa ataupun batin manusia itu. Makna hidup manusia identik
dengan keberadaan dan keberfungsian manusia itu dalam lingkungan hidupnya.
Frankl menggaris bawahi fakta, bahwa manusia selalu menuju dan dituntut kepada
sesuatu atau seseorang yang berada di luar dari dirinya.
Makna Kematian
Ajal tidak menghilangkan atau menghapus makna kehidupan. Jika seseorang tidak
bisa mati, mereka mungkin menunda melakukan hal-hal yang tanpa batas atau hal
yang luar biasa. Ajal merupakan bagian dari kehidupan dan memberi kan kehidupan
itu sendiri sebagai makna. Tanggung jawab seseorang timbul dari keterbatasannya.
Konsekuensinya, mereka perlu menyadari seluruh bobot tanggung jawab yang
dipikulnya di setiap saat didalam kehidupannya. Takdir, seperti ajal, adalah esensi
bagi makna kehidupan. Takdir mengacu pada faktor-faktor yang ada di luar
kekuasaan manusia. Kebebasan dapat dilihat tidak hanya didalam konteks kehidupan
dan kematian, tetapi juga di dalam konteks takdir. Kesempatan dan kesengsaraan
yang dihadapi manusia unik. Bagaimanapun orang masih dapat menggunakan
kebebasan batinnya untuk mengambil sikap terhadap takdirnya.
5. Transedensi-Diri
Transendensi-diri adalah salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia. Manusia
pada dasaranya adalah makhluk yang berusaha meraih lebih jauh apa yang ada diluar dirinya
sendiri. Mereka menjadi paling manusiawi ketika mereka mentransendesikan batas-batas
self-nya dengan memenuhi makna atau menghadapi orang lain dengan penuh kasih sayang.
Frankl melihat kebutuhan dasar manusia adalah mencari makna, bukan mencari self-nya
dengan memenuhi makna atau menghadapi orang lain dengan penuh kasih sayang. Frankl
melihat kebutuhan dasar manusia adalah mencari makna bukan mencari self. Kualitas
transendensi-diri dalam kehidupan manusia paling tampak dengan jelas saat seseorang
melupakan dirinya sendiri. Frankl meyakini bahwa pelajaran utama yang dipetiknya dari
kamp konsentrasi Nazi adalah bertahan hidup tidak akan ada tujuannya, tidak akan ada
artinya, dan akan mustahil, kecuali jika kehidupan itu menuju ke sesuatu yang lebih jauh
dari kehidupan itu sendiri.
Menderita masalah neurotik yang merefleksikan kesulitan dalam transendens diri, adalah
kebalikan dari orang-orang yang menemukan makna dengan mentrandensikan dirinya.
hiper-refleksi dan hiper-intensi adalah dua cara utama di mana orang memilih untuk tidak
mentrandensikan dirinya. Hiper-refleksi adalah kecendrungan untuk melakukan refleksi diri
secara eksesif. Hiper-intensi adalah kecendrungan untuk memberikan perhatian eksesif pada
upaya mencapai keiginan.
Sumber Pengertian
Frankl (1963) mengatakan bahwa transendensi-diri dapat tercapai dengan
menemukan atau mendeteksi makna dengan tiga cara : dengan mengamalkan, dengan
mengalami sebuah nilai, dan dengan menderita. Di tempat lain Frankl berbicara tentang
tiga cara utama yang dapat digunakan seseorang untuk menemukan makna dalam
hidupnya adalah :
Melalui apa yang mereka berikan kepada kehidupan (nilai-nilai kreatif).
Melalui apa yang mereka ambil dari kehidupan (nilai-nilai eksperiensial).
Melalui sikap yang mereka ambil terhadap takdir yang tidak dapat lagi diubahnya,
misalnya kanker yang tdak dioperasi (nilai-nilai atitudinal)
Disamping itu, pengalaman yang telah lalu dan agama adalah dua bidang lain dimana
seseorang dapat menemukan makna.
6. Makna dalam Pekerjaan
Pekerjaan adalah salah satu bidang utama dimana seseorang dapat meraih lebih jauh
sesuatu diluar dirinya. Makna pekerjaan lebih jauh dari sekedar okupasi tertentu dan
mencakup bagaimana seseorang membawa kualitas-kualitas uniknya ke pekerjaannya.
Sebagai contoh, seorang perawat mungkin mengambil langkah lebih jauh dari tugasnya
denga mengucapkan kata-kata yang manis kepada seseorang pasien yang kritis. Frankl
melihat semua pekerjaan memungkinkan terjadinya hal semacam itu, meskipun ia juga
mengakui bahwa sebagian pekerjaan terjadinya sangat rutin. Dalam kasus semacam itu,
maka kreatif dari seseorang mungkin perlu ditemukan dalam kegiatan waktu luangnya.
Tidak memiliki pekerjaan (menganggur) adalah salah satu contoh bagaimana orang dapat
dipengaruhi oleh kurang adanya makna kreatif. Frankl meihat neurosis pengangguran, yang
ditandai oleh apati dan depresi, sebagai sebuah posisi eksistensial. Sebagian orang
merespons tantangan eksistensial tanpa pekerjaan dengan tetap aktif terlibat dan tetap
terbebas dari neurosis pengangguran. Bekerja juga bisa berarti atau buruk. Sebagian orang
melarikan diri dari kekosongan eksistensinya dengan berlindung dalam pekerjaan atau
profesinya. Mencapai makna kreatif dalam hidup tidak sama artinya dengan keputusan kerja
semata.

7. Makna dalam Cinta


Berbeda dengan psikoanalisis, dalam logoterapi cinta tidak dianggap sebagai fenomena
sekunder setelah seks. Mekipun seks bisa merupakan ekspreksi cinta yang matang, ia bukan
bentuk cinta itu sendiri. Cinta melibatkan hubungan dengan orang lain sebagai makhluk
spiritual. Dengan demikian, cinta melibatkan pemahaman atau menangkap inti batin
kepribadian orang lain. Seseorang digerakan kedalaman spiritual being-nya oleh inti
spiritual pasangannya. Birahi jarang berlangsung lama, ketika terpuaskan maka dorongan
cinta pun serta merta lenyap. Akan tetapi, cinta memiliki kualitas permanensi (permanen)
dalam arti bahwa inti spiritual orang lain itu unik dan tidak tergantikan. Di samping itu, cinta
dapat hidup lama dibanding ajal dalam arti bahwa esensi keberadaan unik orang yang
dicintai itu tidak dibatasi oleh abadi dan langgeng.
Ciri lain cinta adalah karena cinta diarahkan pada orang lain sebagaimana adanya dan
bukan orang lain sebagai miliknya, maka cinta menghasilkan sikap monogamis. Ciri cinta
selanjutnya adalah kita melihat potensi pada orang yang dicintai dan membantunya
mencapai potensi tersebut. Di samping itu, dalam hubungan cinta, cinta sejati tidak ada
tempat untuk cemburu karena orang lain tidak diperlakukan sebagai miliknya. Frankl
berusaha menegaskan bahwa cinta bukan cara satu-satunya, dan bahkan bukan cara terbaik,
untuk mengisi hidup dengan makna.
8. Makna dalam Penderitaan
Takdir manusia memiliki makna ganda: untuk dibentuk bilamana mungkin , dan untuk
dijalani bilamana perlu. Nilai-nilai atitudinal melekat pada sikap yang diambil orang
terhadap keadaan-keadaan yang tidak dapat diubahnya, misalnya penyakit yang tidak dapat
disembuhkan atau menjadi tahanan di kamp konsentrasi. Melalui nilai-nilai atitudinal,
bahkan aspek-aspek tragis eksistensi manusia tragic triad dari aa sakit, rasa bersalah, dan
ajal, dapat diubah menjadi sesuatu yang positif dan kreatif. Akan tetapi, seseorang juga perlu
berhati-hati untuk tidak terlalu mudah menerima takdir begitu saja. Nilai-nilai attitudinal
hanya dimasukkan ke dalam daftar jika mereka yakin bahwa mereka tidak dapat mengubah
takdirnya.
Situasi negatif yang tidak dapat dihindari memberikan kesempatan untuk
mengaktualisasikan nilai yang paling tinggi, untuk memenuhi makna yang paling dalam,
makna dari penderitaan. Seseorang mempunyai pilihan dalam bagaimana mereka
merespons penderitaan. Sebagai contoh, kehidupan dapat mempertahankan maknanya
sampai saat teakhir bagi para penderita sakit terminal, yang menerima tantangan untuk
menderita dengan gagah berani. Frankl mengutif tidak ada kesulitan yang tidak dapat kita
muliakan dengan berbuat atau bertahan (Frankl, 1955). Sebagian orang bisa tetap tegak
melawan tantangan penderitaan dan tumbuh lebih kaya dan lebih kuat karenanya. Meskipun
orang-orang lainnya mungkin adalah korban takdir yang tanpa daya, tetapi mereka tetap
dapat menggunakan kebebasan batinnya untuk mengubah kesulitannya menjadi
accomplishment (prestasi) di tingkat manusia.
9. Makna dari Masa Lalu
Meskipun pencarian makna terutama diarahkan ke masa depan, masa lalu masih bisa
menjadi salah satu sumber makna. Seseorang sering kali kurang menganggap penting
pengalaman masa lalunya sebagai salah satu sumber makna. Di Auschwitz, Frankl
mengalami pencarian jiwa tentang makna penderitaan ketika naskah buku pertamanya disita.
Namun demikian, ia kemudian menyadari bahwa tidak ada yang hilang dari masa lalunya, ia
hanya tersimpan dan tidak dapat ditarik kembali. Makna hidupnya tidak tergantung pada
apakah naskahnya dicetak atau tidak. Pengalaman masa lalunya adalah lumbung yang padat
baginya. Sering kali ketika menderita, meskipun tidak selalu, pencarian makna dapat
melibatkan, mengakui dan mengidentifikasikan sumber-sumber makna di masa lalu yang
relevan dengan penciptaan makna di masa kini. Selain itu, bahkan hidup yang singkat
sekalipun masih bisa memiliki masa lalu yang sarat akan makna. Bahkan, bagi mereka yang
menjalani kehidupan steril sekalipun, keyakinan tanpa syaratnya akan makna tanpa syarat,
dapat mengubah kegagalannya menjadi kemenangan.
10. Makna Tertinggi
Manusia tidak mampu memahami makna tertinggi penderitaan manusia. Akan tetapi, itu
bukan berarti bahwa penderitaan tidak memiliki makna tertinggi. Frankl menggunakan
istilah supra-meaning untuk menyebut makna tertinggi penderitaan dan kehidupan.
Seseorang tidak dapat menerobos perbedaan dimensional diantara dunia insani dan dunia
ilahiah. Supra-meaning hanya dapat dipahami oleh keimanan dan tidak melalui sarana-
sarana intelektual. Berbeda dengan filsafat eksistensial sekuler, tugas manusia bukan untuk
menjalani ketidak bermaknaan hidup. Bahkan, seseorang perlu mengatasi
ketidakmampuannya untuk menangkap secara rasional ketidakbermaknaan mendasar
kehidupan.
Keyakinan pada Tuhan mendaului kemampuan seseorang untuk meyakini makna tertiggi
dalam kehidupan. Seperti biasanya, Tuhan yang tanpa batas itu diam, bukan mati. Tren
dalam kehidupan modern tidak jauh dari agama dari penekanan pada perbedaan diantara
denominasi-denominasi individual. Frankl tidak menganjurkan sebuah bentuk agama
universal. Alih-alih, ia melihat ke arah agama yang sangat terpersonalisasi di mana orang
mengarahkan dirinya pada ultimate (yang tertinggi) dengan bahasa dan kata-katanya
masing-masing.
11. Kevakuman Eksistensial
Kevakuman eksistensial menggambarkan mengenai keadaan di mana seseorang
mengeluhkan tentang kehampaan batin. Mereka mengalami perasaan tanpa arti, kosong, dan
hampa. Kevakuman eksistensial adalah sebuah jurang pengalaman yang sangat dalam
yang berlawanan dengan pengalaman puncak yang dideskripsikan oleh Maslow. Frankl
menyebutkan tiga penyebab kevakuman eksistensial, yaitu :
Berbeda dengan binatang-binatang lain, manusia tidak lagi diprogram oleh dorongan
dan insting dalam hal apa yang akan dilakukan.
Manusia tidak lagi didikte oleh tradisi, konvensi, dan nilai-nilai tentang apa yang
seharusnya dilakukan. Kadang-kadang mereka tidak tahu apa yang ingin
dilakukannya dan mundur dengan konformisme atau dengan melakukan apa yang
dilakukan orang lain, atau ke totalitarianisme dengan melakukan apa yang diinginkan
orang lain untuk mereka lakukan.
Terutama di Amerika, para siswa dipapari reduksionisme. Manusia direduksi
menjadi dorongan, insting, makhluk pengkondisian, pembentukan reaksi, dan
mekanisme-mekanisme pertahanan daripada dianggap sebuah agen yang
memutuskan. Frankl mengutip sebuah contoh reduksionisme dari kasus pasangan
yang diberi tahu, saat pelantikan mereka sebagai anggota Korps Perdamaian
Amerika, bahwa mereka membantu orang-orang yang kurang beruntung karena
kebutuhan tidak-sadar mereka untuk membuktikan bahwa dirinya lebih unggul.
12. Frustasi Eksistensial
Frustrasi eksistensial terjadi ketika will to meaning terhalangi. Apati dan kebosanan
adalah ciri-ciri utama frustrasi eksistensial. Frustrasi eksistensial itu tidak patalogis dan tidak
patogenik. Kekhawatiran, atau bahkan keputusasaan seseorang atas makna hidupnya adalah
sebuah distres spiritual, bukan penyakit. Frankl menganggap kevakuman eksistensial,
dengan frustrasi yang menyertainya, sebagai sesuatu yang sosiogenik dan sama sekali
bukan sebuah neurosis. Keputusasaan atas ketidakbermaknaan hidup bisa menjadi salah
satu tanda kesungguhan dan kejujuran intelektual.
13. Neurosis Noogenik
Kevakuman eksistensial bisa menghasilkan neurotisme. Istilah neurosis noogenik
mengacu pada kasus-kasus yang kevakuman eksitensialnya menghasilkan simtomatologi
klinis. Frankl mendefinisikan neurosis noogenik sebagai neurosis yang disebabkan oleh
masalah spiritual, sebuah konflik moral atau etis, misalnya konflik antara superego dan kata
hati. Frustasi eksistensial berperan besar dalam neurosis noogeok. Neurosis semacam itu
timbul dari konflik-konflik spiritual yang berhubungan dengan aspirasi orang akan
eksistensinya yang bermakna dan hambatan atas will of meaning-nya.
14. Mass Neurotic Triad
Frankl berbicara tentang neurotisasi umat manusia akibat kevakuman eksistensial. Efek
mendunia dari kevakuman eksistensial melampui perasaan tanpa makna dan neurosis
noogenik. Frankl menggunakan istilah mass neurotic triad (1975a:96) untuk ketiga efek
utamanya, yaitu: depresi, adiksi, dan agresi.
Tentang depresi, ada begitu banyak bukti bahwa angka bunuh diri terus meningkat,
khususnya di kalangan kaum muda. Frankl melihat bahwa penyebabnya adalah frustasi
eksistensial yang menyebar.
Tentang adiksi, seseorang dengan tujuan yang rendah dalam hidupnya lebih
berkemungkinan untuk menemukan perasaan bermakna dalam obat-obatan daripada
mereka yang memiliki tujuan yang tinggi dalam hidupnya. Alasan yang sering dikutip
untuk memakai obat adalah keinginan untuk menemukan makna dalam hidup. Di
samping itu, banyak pecandu alkohol yang mengalami perasaan tanpa arti dalam
hidupnya.
Tentang agresi, bukan hanya libido seksual yang tumbuh dalam sebuah kevakuman
eksistensial, tetapi juga aggressive destrudo. Frankl melihat bahwa bukti-bukti
statistik mendukung hipotesisnya bahwa seseorang paling mungkin menjadi agresif
jika mereka terperangkap dalam perasaan kosong dan tanpa arti.
15. Akuisisi (Proses Perkembangan)
Perasaan tanpa makna belum tentu didapat mealui belajar dan indoktrinasi. Ia bisa
menjadi bagian dari respons manusia terhadap kehidupan dan , jika diselesaikan dengan
memuaskan seperti dalam kasus Frankl, bisa menjadi sebuah pengalaman pertumbuhan.
Akan tetapi, Frankl melihat bahwa kevakuman eksistensial dan frustasi eksistensial menjadi
semakin menyebar. Lebih jauh, terjadi peningkatan pada neurotisasi umat manusia. Jika ini
terjadi, individu-individu lebih berkemungkinan untuk mendapatkan perasaan tidak
bermakna karena mereka tumbuh dalam budaya dan masyarakat yang lebih sulit bagi
mereka untuk menemukan makna dibanding di masa lalu. Pertama, pengikisan nilai-nilai
tradisional dan kecenderungan ke arah reduksionisme mempersulit banyak orang untuk
menemukan makna dalam hidupnya. Kedua, karena lebih sedikit individu di dalam
masyarakat yang telah menemukan makna secara memuaskan, maka lebih sulit bagi mereka
yang masih muda untuk tumbuh dengan belajar dari panutan yang berhasil merealisasikan
aspek-aspek spiritualnya. Dengan kata lain, kaum muda mungkin kurang memiliki akses ke
pendidik dan pemberi contoh makna. Terlepas dari keyakinan Frankl pada potensi
kemanusiawian orang, manusia-manusia manusiawi menjadi, dan mungkin akan tetap
menjadi, kelompok minoritas (penekanan sesuai aslinya).
16. Pemeliharaan
Mempertahankan Kevakuman Eksistensial
Bagaimana orang mempertahankan perasaan tanpa mknanya? Beberapa pendapat
dapat disimpulkan dari tulisan Frankl:
Represi: logoterapi berkaitan dengan hambatan dan represi terhadap will of
meaning. Frankl melihat bukan eros tetapi logos yang merupakan karbon represi
(1975a:131). Orang merepresi spiritualitas dan religiositasnya. Jadi, mereka tetap
tidak berhubungan dengan pusat spiritual yang merupakan sumber terdalam untuk
perasaan bermaknanya. Represi terhadap will to meaning menghalangi persepsinya
tentang keberadaan makna.
Menghindari tanggung jawab: Diantara mekanisme-mekanisme yang disebutkan
oleh Frankl untuk menghindari tanggung jawab atas pencarian makna adalah
konformisme, totalitarianisme, dan berlindung dalam triad neurotik, yaitu depresi,
adiksi, dan agresi.
Erosi tradisi dan nilai-nilai: Pengikisan tradisi memiliki pengaruh berkelanjutan
pada penciptaan dan terpeliharanya kevakuman eksistensial.
Reduksionisme: Model-model reduksionis psikologi dan pendidikan membuat
orang percaya, dan kemudian mempertahanakan kepercayaan mereka, bahwa
ditentukan, bukan menentukan.
Penekanan yang kurang pada trasendensi-diri: Banyak psikologi modern yang
memfokuskan pada aktualisasi diri. Seseorang tidak cukup dibantu untuk
menyadari bahwa kebahagiaan dan kepuasan adalah produk-sampingan trandensi
diri, dari melupakan dirinya dan bukan memfokuskan pada diri secara eksesif.
Neurotisasi umat manusia: fakta bahwa masalah dan gejala-gejala ketanpamaknaan
semakin meluas membuat individu sulit untuk mendapatkan bantuan dalam
pencarian makna personalnya, sehingga memberikan kontribusi pada terpeliharanya
kehampaan batinnya.
D. Hakekat manusia dalam pandangan Logoterapi
Berikut ini merupakan beberapa pandangan logoterapi terhadap manusia :
1) Menurut Frankl manusia merupakan kesatuan utuh dimensi ragawi, kejiwaan dan
spiritual. Unitas bio-psiko-spiritual.
2) Frankl menyatakan bahwa manusia memiliki dimensi spiritual yang terintegrasi
dengan dimensi ragawai dan kejiwaan. Perlu dipahami bahwa sebutan spirituality
dalam logoterapi tidak mengandung konotasi keagamaan karena dimens ini dimiliki
manusia tanpa memandang ras, ideology, agama dan keyakinannya. Oleh karena itulah
Frankl menggunakan istilah noetic sebagai padanan dari spirituality, supaya tidak
disalahpahami sebagai konsep agama.
3) Dengan adanya dimensi noetic ini manusiamampu melakukan selfdetachment, yakni
dengan sadar mengambil jarak terhadap dirinya serta mampu meninjau dan menilai
dirinya sendiri.
4) Manusia adalah makhluk yang terbuka terhadap dunia luar serta senantiasa
berinteraksi dengan sesama manusia dalam lingkungan sosial-budaya serta mampu
mengolah lingkungan fisik di sekitarnya.

E. Pandangan Logoterapi Terhadap Masalah


Dalam ilmu psikologi Eksistensial, masalah makna hidup banyak dibahas. Salah
seorang tokohnya yang banyak membahas masalah makna hdsup adalah Victor Frankl
seorang psikiater dari Austria dengan teorinya yang disebut logoterapi. Menurut Frankl
pada dasarnya manusia selalu menginginkan hidupnya selalu bermakna. Hidup yang
tidak berarti membuat orang mengalami kehampaan eksistensial dan selanjutnya akan
menimbulkan frustasi eksistensial (frustasi kerena tidak bisa memenuhi keinginanya
kepada makna). Konseling logoterapi merupakan konseling untuk membantu individu
mengatasi masalah ketidakjelasan makna dan tujuan hidup, yang sering menimbulkan
kehampaan dan hilangnya gairah hidup.. Dalam logoterapi masalah adalah ujian hidup
yang menurut Frankl harus dihadapi dengan keberanian dan kesabaran. Yakni keberanian
untuk membiarkan masalah ini untuk sementara waktu tak terpecahkan, dan kesabaran
untuk tidak menyerah dan mengupayakan penyelesaian.
Logoterapi dapat digambarkan sebagai corak psikologi yang mengakui adanya
dimensi kerohanian pada manusia di samping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta
beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna
(the will of meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan
bermakna (the meaningful life) yang didambakannya. Hidup akan memiliki makna dalam
setiap situasi selama kita mampu mengambil hikmah, bahkan dalam penderitaan dan
kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga dan
didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan
hidup. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengambil sikap terhadap peristiwa
tragis yang tidak dapat dielakkan lagi yang menimpa dirinya sendiri dan lingkungan
sekitar (penderitaan dan kepedihan).
Makna hidup setiap manusia dapat ditentukan sendiri olehnya, karena manusia
memiliki kebebasan - yang hampir tidak terbatas . Dari kebebasannya manusia dapat
memilih makna atas setiap peristiwa yang terjadi dalam diri, apakah itu makna positif
ataupun makna yang negatif. Dan makna positif ini lah yang dimaksud dengan hidup
bermakna.
F. Teknik Teknik Logoterapi
Intensi Paradoksal dan Derefleksi adalah dua teknik logoterapi utama untuk neurosis
neurosis psikogenik (Frankl, 1955, 1975b). kedua teknik tersebut menyandarkan diri
pada kualitas esensial manusia, yaitu self-transcendence (transendensi diri) dan self-
detachment (pelepasan diri).
1. Intensi Paradoksal

Penggunaan Intensi paradoksal direkomendasikan untuk penanganan jangka


pendek klien klien obsessive-compulsive dan fobia. Pada fobia, intensi paradoksel
menargetkan pada kecemasan antisipatorik yang klien nya bereaksi terhadap kejadian
sesuatu dengan ekspektasi ketakutan bahwa hal itu akan terjadi lagi. Ekspektasi
ketakutan ini menyebabkan atensi eksif atau hiper-intensi yang membuat klien tidak
dapat memenuhi keinginanya. Pendek kata, kecemasan antisipatorik justru
mewujudkan hal yang di takuti klien.
Dalam intensi paradoksal, klien diminta untuk mengintensikan dengan tepat apa
yang di takutinya. Ketakutannya digantikan dengan keinginan paradoksal
memberikan kejutan yang tidak menyenangkan pada si fobia (Frankl, 1955; 208).
Selain itu, intensi paradoksal memasukan perasaan humor klien sebagai sarana untuk
meningkatkan sense of detachment (perasaan terlepas) dari neurosisnya dengan
menertawakannya.
Meskipun penderita obsessive-compulsive juga menunjukkan ketakutan,
ketakutannya lebih berupa ketakutan pada dirinya daripada fear of fear. Mereka
menakutkan efek potensial dari pikiran anehnya. Akan tetapi, semakin keras klien
memerangi pikirannya, semakin kuat pula gejalanya. Jika terapis berhasil membantu
klien dalam intensi paradoksal untuk memerangi obsesi dan kompulsi nya, gejalanya
akan segera berkurang dan mungkin akhirnya menghilang.

Contoh contoh penggunaann intensi paradoksal:

a. Intensi paradoksal untuk takut berkeringat

Seorang dokter muda takut berkeringat ketika bertemu orang orang.


Bilamana dia bertemu seseorang yang memicu kecemasan antisipatoriknya, ia
di dorong untuk mengatakan kepada dirinya: Sebelumnya, aku hanya
berkeringat sebanyak satu liter air, tapi sekarang aku paling tidak akan
berkeringat sebanyak sepuluh liter! (Frankl, 1955; 139). Setelah satu sesi
intensi paradoksal, ia berhasil membebaskan diri dari fobi yang telah
berlangsung selama empat tahun.

b. Intensi paradoksal untuk takut gemetaran.

Seorang mahasiswa kedokteran yang ketakutannya untuk bergetar


membuatnya mulai gemetaran ketika pengajar anatominya memasuki ruang
bedah berhasil mengatasi masalahnya dengan menggunakan teknik intensi
paradoksal dibawah ini: tiap kali pengajarnya datang, ia mengatakan kepada
dirinya: O, ini dia pengajarnya! Sekarang aku akan menunjukkan kepadanya
betapa pandainya aku gemetaran-Aku akan menunjukkan kepadanya
bagaimana caranya gemetar (Frankl, 1955; 140). Tetapi, tiap kali
mencobanya, ia selalu tidak bisa gemetar.

c. Intensi paradoksal untuk kompulsi menghitung dan memeriksa.

Seorang wanita yang telah menikah selama 14 tahun mengalami kompulsi


untuk menghitung dan kompulsi untuk memeriksa apakah laci laci
pakaiannya telah tersusun dengan benar dan terkunci rapat (Frankl, 1955;
143). Ia diajari oleh dokternya untuk melemparkan barang barang secara
sembarangan ke dalam lemarinya dan mengatakan kepada dirinya, Laci
laci ini harus seberantakan mungkin!. Setelah dua hari, kompulsi
menghitungnya menghilang dan di hari ke empat ia merasa tidak perlu untuk
memeriksa lemarinya. Ia terus membaik dan bilamana ide ide obsesif-
kompulsifnya kadang kadang muncul kembali, ia mampu mengabaikannya
atau menjadikannya lelucon.

2. Derefleksi

Persis seperti intensi paradoksal yang berusaha menangkal hiper-intensi-intensi


eksesif-derefleksi bermaksud menangkal hiper-refleksi-atensi aksesif. Frankl (1988)
melihat kecenderungan kompulsif untuk mengamati diri menjadi masalah di Amerika
Serikat. Intensi paradoksal berusaha membantu klien untuk menertawakan gejalanya,
sementara derefleksi membantu klien untuk mengabaikannya. Neurosis neurosis
seksual, seperti frigiditas dan impotensi, adalah bidang untuk derefleksi. Klien harus
diderefleksi dari gangguannya pada tugas di hadapi.

Contoh contoh Penggunaan Derefleksi:

a. Derefleksi untuk menangkal pengamatan-diri eksesif terkait performa seksual.

Seseorang perempuan muda, yang mengeluh frigid, pernah dianiaya secara


seksual oleh ayahnya saat ia masih anak anak. Akan tetapi, kejadian itu
bukan penyebab terjadi frigiditasnya. Oleh karena ia prnah membaca literature
psikoanalitik popular, ia menjadi takut bahwa pengalaman penganiayaan
seksual akan mengakibatkan berbagai macam masalah seksual. Sebagai
dirinya, orgasme tidak lagi menjadi efek yang tidak di inginkan dari
komitmennya pada pasangannya. Ketika perhatiannya di defreksikan dari
dirinya dan fokusnya di alihkan kearah pasangannya, ia mengalami orgasme
spontan.

b. Defleksi untuk menangkal pengamatan-diri obsesif terkait menelan.

Seorang perempuan menjadi sangat kurus karena secara kompulsif


mengamati cara menelannya dan takut bahwa makanannya akan turun melalui
jalan yang salah. Klien di derefleksikan dengan formula: Aku tidak perlu
mengamati caraku menelanku, karena aku tidak perlu benar benar menelan,
toh sebenarnya bukan aku yang menelan, tetapi dia yang melakukannya.
(Frankl, 1955; 235). Ia belajar mempercayai fungsi organisme yang teregulasi
secara otomatis.

H. Tujuan Terapi

Tujuan logoterapi meningkatkan makna pengalaman hidup individu yang


diarahkan kepada pengambilan keputusan yang bertanggung jawab (Bastaman,
2007). Makna logoterapi ada dalam membantu klien menemukan makna dlam
hidupnya. Logoterapis berusaha menghadapkan dan mereorientasikan klien ke arah
tugas-tugas hidupnya. Logoterapi adalah sebuah pendidikan tangungjawab yang
berusaha membuaka penghalang pada will of memaning klien. Dengan terbukanya
penghalang pada will to memaning mereka, klien akan lebih mungkin menemukan
cara-cara transendednsi-diri melalui nilai-nilai kreatif, ekperiensial, da atitudinal.
Klien perlu menjadi sadar akan tanggungjawab eksistensialnya untuk menemukan
makna hidupnya melalui kata hatinya. Akan tetapi, menjadikan ketidaksadaran
spirituanya sesuatu yang disadari hanya sebuah fase transisi dalam proses terapi.
Yang akan diupayakan terapi adalah pertama-tama mengubah potensi yang tidak
disadari enjadi tindakan yang disadari dan setelah itu membiarkannya kembali
masuk ke dalam kebiasaan tidak sadar. Frankl (1975a) berusaha enekankan bahwa
seseorang terapis religius hanya bisa mebawa agama ke dalam terapi jika pasien
mebginginkannya: kalau tidak, ia sama sekali tidak boleh masuk ke masalah ini.
Logotherapy bertujuan agar dalam masalah yang dihadapi klien dia bisa
menemukan makna dari penderitaan dan kehidupan serta cinta. Dengan penemuan
itu klien akan dapat membantu dirinya sehingga bebas dari masalah tersebut.Ada
pun tujuan dari logoterapi adalah agar setiap pribadi:
a. memahami adanya potensi dan sumber daya rohaniah yang secara universal ada
pada setiap orang terlepas dari ras, keyakinan dan agama yang dianutnya;
b. menyadari bahwa sumber-sumber dan potensi itu sering ditekan, terhambat dan
diabaikan bahkan terlupakan;
c. memanfaatkan daya-daya tersebut untuk bangkit kembali dari penderitaan untuk
mampu tegak kokoh menghadapi berbagai kendala, dan secara sadar
mengembangkan diri untuk meraih kualitas hidup yang lebih bermakna.
I. Hubungan Konselor dan Konseli dalam Logoterapi
Logoterapi menawarkan kepada klien atau konseli hubungan yang manusiawi.
Logoterapis menyediakan konteks untuk membantu klien menemukan maknanya. Frankl
sendiri meyakinkan klien bahwa keinginan mereka untuk mencari makna adalah sebuah
prestasi, bukan kemunduran (dalam Jones, 2011). Dalam logoterapi, konseli juga akan
bisa mengalami secara subjektif persepsi-persepsi tentang dunianya. Konseli harus aktif
dalam proses terapeutik, sebab dia harus memutuskan ketakutan-ketakutan, perasaan-
perasaan berdosa dan kecemasan-kecemasan apa yang akan dieksplorasi. Memutuskan
untuk menjalani terapi saja sering kali dianggap sebagai tindakan yang menakutkan.
Konseli dalam terapi ini, terlibat dalam pembukaan pintu bagi diri sendiri. Dengan
membuka pintu yang tertutup, konseli mampu melonggarkan belenggu deterministik
yang telah menyebabkan dia terpenjara secara psikologis. Lambat laun konseli mulai
sadar, siapa dia tadinya dan siapa dia sekarang, serta klien lebih mampu menetapkan
masa depan macam apa yang diinginkannya.
Melalui proses terapi, konseli bisa mengeksplorasi alternatif-alternatif guna
membuat pandangan-pandangan menjadi nyata. Menurut Frankl (2004), pencarian
makna dalam hidup adalah salah satu ciri manusia. Dalam pandangan para
eksistensialis, tugas utama konselor adalah mengeksplorasi persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan ketidakberdayaan, keputusasaan, ketidakbermaknaan, dan
kekosongan eksistensial. Tugas proses terapeutik adalah menghadapi masalah
ketidakbermaknaan dan membantu konseli dalam membuat makna dari dunia yang
kacau. Frankl (2004) menandaskan bahwa fungsi konselor bukanlah menyampaikan
kepada konseli apa makna hidup yang harus diciptakannya, melainkan
mengungkapkan bahwa konseli bisa menemukan makna, bahkan makna dapat
ditemukan dari penderitaan, karena penderitaan manusia bisa diubah menjadi prestasi
melalui sikap yang diambilnya dalam menghadapi penderitaan itu. Peran konselor
menurut Frankl adalah sebagai spesialis mata daripada sebagai pelukis, yang bertugas
memperluas dan memperlebar lapangan visual klien sehingga spektrum keseluruhan
dari makna dan nilai-nilai menjadi disadari dan dapat diamati oleh klien (dalam
Bastaman, 2007).
I. Tahapan tahapan konseling logoterapi
Proses konseling pada umumnya mencakup tahap-tahap : perkenalan,
pengungkapan dan penjajakan masalah, pembahasan bersama, evaluasi dan
penyimpulan, serta pengubahan sikap dan perilaku. Biasnya setelah masa konseling
berakhir masih dilanjutkan pemantauan atas upaya perubahan perilaku dan klien
dapan mlakukan konsultasi lanjutan jika diperlukan. Konseling logoterapi
berorientasi pada masa depan (future oriented) dan berorientasi pada makna hidup
(meaning oriented). Relasi yang dibangun antara konselor dengan konseli adalah
encounter, yaitu hubungan antar pribadi yang 11 ditandai oleh keakraban dan
keterbukaan, serta sikap dan kesediaan untuk saling menghargai, memahami dan
menerima sepenuhnya satu sama lain. Ada empat tahap utama didalam proses
konseling logterapi diantaranya adalah:
1. Tahap perkenalan dan pembinaan rapport. Pada tahap ini diawali dengan
menciptakan suasana nyaman untuk konsultasi dengan pembina rapport yang makin
lama makin membuka peluang untuk sebuah encounter. Inti sebuah encounter
adalah penghargaan kepada sesama manusia, ketulusan hati, dan pelayanan.
Percakapan dalam tahap ini tak jarang memberikan efek terapi bagi konseli.
2. Tahap pengungkapan dan penjajagan masalah. Pada tahap ini konselor mulai
membuka dialog mengenai masalah yang dihadapi konseli. Berbeda dengan
konseling lain yang cenderung membeiarkan konseli sepuasnya mengungkapkan
masalahnya, dalam logoterapi konseli sejak awal diarahkan untuk menghadapi
masalah itu sebagai kenyataan.
3. Pada tahap pembahasan bersama, konselor dan konseli bersama-sama membahas
dan menyamakan persepsi atas masalah yang dihadapi. Tujuannya untuk
menemukan arti hidup sekalipun dalam penderitaan.
4. Tahap evaluasi dan penyimpulan mencoba memberi interpretasi atas informasi
yang diperoleh sebagai bahan untuk tahap selanjutnya, yaitu perubahan sikap dan
perilaku konseli. Pada tahap-tahap ini tercakup modifikasi sikap, orientasi terhadap
makna hidup, penemuan dan pemenuhan makna, dan pengurangan symptom.
K. Asas Asas Konseling Logo Theraphy
Logoterapi mengemukakan tiga asas utama yaitu (Bastaman, 2007):
Pada hakikatnya merupakan inti dari setiap perjuangan hidup, yakni mengusahakan agar
kehidupan senantiasa berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan agama. Asas
utama logoterapi yaitu:
1. Hidup itu tetap memiliki makna dalam setiap situasi. Makna adalah sesuatu yang
dirasakan penting, benar, berharga, dan didambakan serta memberi nilai khusus bagi
seseorang dan ayak dijadikan tujuan hidup. Jika makna hidup berhasil ditemukan dan
dipenuhi maka akan menyebabkan kehidupan berarti dan akan mendapatkan
kebahagiaan sebagai ganjarannya.
2. Setiap manusia memiliki kebebasan yang hamper tidak terbatas untuk menemukan
sendiri makna hidupnya. Makna hidup dan sumber-sumbernya dapat ditemukan
dalam kehidupan itu sendiri khususnya pada pekerjaan yang dilakukan dan dalam
keyakinan terhadap harapan dan kebenaran serta penghayatan atas keindahan, iman,
dan cinta kasih.
3. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengambil sikap terhadap penderiataan
dan peristiwa tragis yang dihadapi setelah upaya mengatasinya telah dilakukan secara
ptimal namun tidak berhasil. Maksudnya, jika kita tidak mungkin mengubah suatu
keadaan sebaiknya kita mengubah sikap kita atas keadaan itu agar kita tidak terhanyut
secara negatif oleh keadaan itu.
Ketiga asas tersebut tercakup dalam ajaran logoterapi mengenai eksistensi dan
makna hidup, sebagai berikut:
1. Dalam setiap keadaan termasuk dalam penderitaan sekalipun hidup ini selalu
memberi/mempunyai makna.
2. Kehendak untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama setiap orang.
3. Dalam batas-batas tertentu manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab
pribadi untuk mamilih, menentukan, dan memenuhi makna dan tujuan hidupnya.
4. Hidup yang bermakna diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai kehidupan
(nilai-nilai kreatif/creative values, nilai-nilai penghayatan/experiental values, dan
nilai-nilai bersikap/attitudinal values).

Anda mungkin juga menyukai