Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konselor adalah seseorang yang mempelajari konseling dan secara professional yang
dapat melaksanakan pelayanan konseling dengan berlatar belakang pendidikan minimal S1
jurusan BK
Masalah adalah perbedaan antara keinginan dan kenyataan yang ada , menurut Prajudi
Admulsudirjo, masalah adalah sesuatu yang menyimpang dari apa yang diharapkan,
direncanakan, ditentukan,untuk dicapai sehingga merupakan rintangan menuju tercapainya
tujuan.
Seperti profesional lainnya, konselor juga menghadapi berbagai macam masalah yang
kadang-kadang sepeleh, namun juga kadang-kadang serius. Yang menjadi permasalahan
bukanlah masalah itu sendiri, tetapi bagaimana konselor menghadapi masalah-masalah itu.
Sangatlah penting bahwa konselor (dan orang yang menjalani konseling) mengenali
sebelumnya masalah-masalah yang potensial menanti mereka.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 apa saja masalah yang dihadapi konselor dalam melakukan konseling ?
1.2.2 bagaimana cara menyelesaikan permasalahan tersebut ?
1.3 Tujuan
1.3.1 mengetahui masalah apa saja yang mungkin dihadapi oleh konselor ketika melakukan
1.3.2

proses konseling
cara menyelesaikan permasalahan yang ada.

1.4 Manfaat
1.4.1 konselor dapat mengetahui kemungkinan masalah yang dapat terjadi pada saat
konseling sehingga konselor dapat menghindari atau mengatasi masalah tersebut.

BAB II
ISI

2.1 Bentuk Masalah yang Dihadapi Konselor


Tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang seutuhnya. Bimbingan dan konseling
secara tidak langsung menunjang tujuan pendidikan dengan menangani masalah dan memberikan
layanan secara khusus pada siswa, agar siswa dapat mengembangkan dirinya secara penuh. Kehadiran
koselor sekolah membantu guru dalam memperluas pandangan guru tentang masalah afektif yang erta
kaitannya dengan profesi guru, seperti keadaan emosional yang mempengaruhi proses belajarmengajar, mengembangkan sikap positif dan menangani masalah yang ditemui guru dalam
pelaksanaan tugasnya. Konselor dan guru merupakan suatu tim yang saling menunjang demi
terciptanya pembelajaran yang efektif.
Tujuan bimbingan di sekolah ialah membantu siswa dalam :
1) mengatasi kesulitan belajar,
2) mengatasi kebiasaan yang tidak baik pada saat kegiatan belajar maupun dalam hubungan sosial,
3) mengatasi kesulitan yang berhubungan dengan kesehatan jasmani,
4) hal yang berkaitan dengan kelanjutan studi,
5) kesulitan yang berhubungan dengan perencanaan dan pemilihan pekerjaan dan
6) mengatasi kesulitan masalah sosial-emosional yang berasal dari murid berkaitan dengan lingkunga
sekolah, keluarga dan lingkungan yang lebih luas.
Downing mengemukakan bahwa tujuan bimbingan di sekolah sama dengan pendidikan
terhadap diri sendiri yaitu membantu siswa agar dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologis,
merealisasikan keinginan serta mengembangkan kemampuan dan potensinya.
Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu
kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara,
fasilitator, dan instruktur (UU No. 20 Tahun 2003 pasal 1 Ayat 6). Namun masih banyak ditemukan
hambatan-hambatan yang dihadapi konselor dalam melakukan layanan bimbingan dan konseling.
Secara garis besar hambatan bimbingan dan konseling dalam dikelompokkan dalam dua hal, yaitu 1)
hambatan internal dan 2) hambatan eksternal.
1. Hambatan Internal.
berkaitan dengan kompetensi konselor. yaitu meliputi kompetensi akademik dan kompetensi
profesional. Kompetensi akademik konselor yakni lulusan S1 bimbingan konseling atau S2 bimbingan
konseling dan melanjutkan pendidikan profesi selama 1 tahun. Kenyataan di lapangan membuktikan

bahwa masih banyak di temukan diberbagai sekolah SMP, MTs, MA, SMA, dan SMK guru BK non
BK, artinya konselor sekolah yang bukan berlatar pendidikan bimbingan konseling.
Kompetensi profesional terbentuk melalui latihan, seminar, workshop. Untuk menjadi konselor
profesional memerlukan proses dan waktu. Konselor profesional membutuhkan jam terbang yang
cukup matang. Di samping itu masih juga ditemukan dilapangan, adanya manajemen bimbingan dan
konseling yang masih amburadul. Uman Suherman (2008), lebih lanjut menjelaskan mengenai
manajemen bimbingan dan konseling, layanan bimbingan dan konseling perlu diurus, diatur,
dikemudikan, dikendalikan, ditangani, dikelola, diselenggarakan, dijalankan, dilaksanakan dan
dipimpin oleh orang yang memiliki keahlian, keterampilan, serta wawasan dan pemahaman tentang
arah, tujuan, fungsi, kegiatan, strategi dan indikator keberhasilannya.
2. Hambatan Eksternal.
a. Layanan Bimbingan dan Konseling dapat dilakukan oleh siapa saja
Stereotip keliru yang menyatakan bahwa konseling dapat dilakukan oleh siapa saja yang
seharusna dilaksanakan secara profesional. Salah satu ciri keprofesionalan bimbingan dan konseling
adalah bahwa pelayanan itu harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan
konseling. Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup lama di Perguruan
Tinggi, serta pengalaman-pengalaman.
b.

Bimbingan dan Konseling hanya untuk orang yang bermasalah saja


Sebagian orang berpandangan bahwa BK itu ada karena adanya masalah, jika tidak ada maka BK

tidak diperlukan, dan BK itu diperlukan untuk membantu menyelesaikan masalah saja. Padahal
relevansi bimbingan dan konseling memiliki 2 suku kata, bimbingan yaitu suatu proses yang
membantu individu baik ada maupun tidak ada masalah yang bersifat prefentif, dan konseling yang
merupakan pemberian bantuan yang dilakukan karena adanya suatu permasalahan yang bersifat
kuratif.
c. Keberhasilan layanan BK tergantung kepada sarana dan prasarana
Seorang konselor yang dinilai tidak bagus kinerjanya, seringkali berdalih dengan alasan bahwa ia
kurang didukung oleh sarana dan prasarana yang bagus. Sebaliknya pihak konseli pun terkadang juga
terjebak dalam asumsi bahwa konselor yang hebat itu terlihat dari sarana dan prasarana yang dimiliki
konselor. Pada hakikatnya kehebatan konselor itu dinilai bukan dari faktor luarnya, tetapi lebih kepada
faktor kepribadian konselor itu sendiri, termasuk didalamnya pemahaman agama, tingkah laku seharihari, pergaulan dan gaya hidup.
d.

Konselor harus aktif, sedangkan konseli harus/boleh pasif


Sering kita temukan bahwa konseli sering menyerahkan sepenuhnya penyelesaian masalahnya

kepada konselor, mereka menganggap bahwa memang itulah kewajiban konselor, terlebih lagi jika
dalam pelayanan Bk tersebut konseli harus membayar. Hal ini terjadi sebenarnya juga disebabkan
karena tak jarang konselor yang membuat konseli itu menjadi sangat berketergantungan dengan
konselor. Konselor terkadang mencitrakan dirinya sebagai pemecah masalah yang handal dan dapat
3

dipercaya. Konselor seperti ini biasanya berorientasi pada ekonomi bukan pengabdian. Tak jarang
juga konselor yang enggan melepaskan konselinya, sehingga dia merekayasa untuk memperlambat
proses penyelesaian masalah, karena tentunya jika tiap pertemuan konseli harus membayar maka akan
semakin banyak keuntungan yang diperoleh konselor. Pada dasarnya hubungan yang dilakukan antara
konselor dan konseli haruslah bersifat yang memandirikan konseli, bimbingan dan konseling yang
dilakukansebaiknya menghargai potensi yang dimiliki konseli dengan memberikan konseli tanggung
jawab untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan sedikit bantuan dari konselor
karena konselor memiliki fungsi sebagai fasilitator saja.
e. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera terlihat
Seringkali konseli (orangtua/keluarga konseli) yang berekonomi tinggi memaksakan kehendak
kepada konselor untuk dapat menyelesaikan masalahnya secepat mungkin tak peduli berapapun biaya
yang harus dikeluarkan. Tidak jarang konselor sendiri secara tidak sadar atau sadar (karena ada faktor
tertentu) menyanggupi keinginan konseli yang seperti ini, biasanya konselor ini meminta kompensasi
dengan bayaran yang tinggi. Yang lebih parah justru kadang ada konselor itu sendiri yang
mempromosikan dirinya sebagai konselor yang mampu menyelesaikan masalah secara tuntas dan
cepat. Pada dasarnya yang mampu menganalisa besar/kecil nya masalah dan cepat/lambat nya
penanganan masalah adalah konselor itu sendiri, karena konselor tentunya memahami landasan dan
kerangka teoritik BK serta mempunyai pengalaman dalam penanganan masalah yang sejenisnya.
f.

Guru Bimbingan dan Konseling di sekolah adalah polisi sekolah


Masih banyak anggapan bahwa bimbingan dan konseling adalah polisi sekolah. Hal ini

disebabkan karena seringkali pihak sekolah menyerahkan sepenuhnya masalah pelanggaran


kedisiplinan dan peraturan sekolah lainnya kepada guru BK. Bahkan banyak guru BK yang diberi
wewenang sebagai eksekutor bagi siswa yang bermasalah. Sehingga banyak sekali kita temukan di
sekolah-sekolah yang menganggap guru Bk sebagai guru killer (yang ditakuti). Guru (BK) itu
bukan untuk ditakuti tetapi untuk disegani, dicintai dan diteladani. Jika kita menganalogikan dengan
dunia hukum, konselor harus mampu berperan sebagai pengacara, yang bertindak sebagai sahabat
kepercayaan, tempat mencurahkan isi hati dan pikiran. Konselor adalah kawan pengiring, penunjuk
jalan, pemberi informasi, pembangun kekuatan, dan pembina perilaku-perilaku positif yang
dikehendaki sehingga siapa pun yang berhubungan dengan bimbingan konseling akan memperoleh
suasana sejuk dan memberi harapan. Kendati demikian, konselor juga tidak bisa membela/melindungi
siswa yang memang jelas bermasalah, tetapi konselor boleh menjadi jaminan untuk penangguhan
hukuman/pe-maaf-an bagi konselinya. Yang salah tetaplah salah tetapi hukuman boleh saja tidak
diberikan, bergantung kepada besar kecilnya masalah itu sendiri.

Cavanagh (1982) mengatakan bahwa ada tujuh masalah yang umum dalam suatu
hunbungan konseling : kebosanan, hostilitas, berbagai kesalahan konselor, manipulasi,
4

penderitaan , hubungan yang membantu versus hubungan yang tidak membantu, dan
mengakhiri konseling. Gladding (1992) menyebutkan suatu fenomena lain yang juga menjadi
masalah konsleor yaitu burnout.
1. Kebosanan
Menurut Cavanagh (1982), konselor pemula jarang mengalami kebosanan karena sifat
baru dari pekerjaan mereka. Setiap hari ia bertemu dengan orang-orang yang mempunyai
problem berbeda, dan mencoba ketermapilan dan tanggung jawab yang baru sebagai
konselor
Masalah-masalah:
Yang mungkin timbul karena kebosanan adalah:
Konselor mengambil jarak dari kliennya, makin lama makin menjauh. Klien dapat
merasakan hal ini, ia akan kehilangan rasa aman dan rasa diterima yang sangat penting
untuk keberhasilan konseling.
Konselor terkadang mengambil cara negatif dalam menangani kebosanannya. Ia
mungkin akan daydreaming, atau berfantasi sendiri.
Kemungkinan konselor kehilangan informasi penting sangatlah besar, kalau ia dikuasai
oleh kebosanannya, karena ia menjadi kurang perhatian, kurang konsentrasi dan
mungkin malah memikirkan masalahnya sendiri.
Cara untuk mengatasi :
Cavanagh (1982) menganjurkan untuk konselor membicarakan hal ini dengan klien.
Membicarakan kebosanan kepada klien merupakan bagian dari konsep genuineness, tetapi
perlu diperhatikan cara penyampaiannya sehingga tidak mengganggu rapport yang sudah
terbentuk dengan klien. Konselor dapat melakukan perubahan bila menghadapi klien yang
membosankan. Beberapa cara untuk mengatasi, misalnya dengan mengubah waktu
pertemuan di jam-jam ketika konselor lebih awas. Konselor bisa memberi tugas kepada
klien (misalnya membuat catatan-catatan) yang kemudian akan dibicarakan dalam sesi
konseling.
2. Hostilitas

Konselor sering merasa dirinya nice people karena sudah membantu orang lain dan ia
mengharap akan dihargai karena hal ini. Tetapi orang dalam konseling punya hostilitas
terpendam yang harus durai dahulu sebelum bisa melangkah maju.
Sumber Hostilitas
Berasal dari frustrated needs. Orang yang lapar psikologis, mereka mempunyai
resistensi rendah terhadap stres. Karena ia hipersensitif, maka pertanyaan-pertanyaan
yang biasa sudah dirasakan sangat mengancam mereka.
Hostiltas bisa juga ditujukan kepada konselor yang merupakan simbolisasi dari konflik
internal dan eksternal yang dipunyai klien. Mungkin konselor adalah representasi dari
orangtua yang tidak disukai, pasangan atau mantan pasangan yang dibenci, atau tokoh
otoritas.
Tekanan yang sangat intens (intense pressure) yang berasal dari orang lain maupun dari
dala dirinya sendiri.
Konselor memang pantas untuk menerima hostilitas klien. Mungkin cara konselor
berkomunikasi dirasakan kurang berusaha membantu.
Menghadapi Hostilitas
Jarang sekali kemungkinannya bahwa konselor tidak pernah menjadi sasaran hostilitas.
Sangat penting konselor menemukan apa yang menyebabkan timbulnya hostilitas ini dan
menghadapinya.
Konselor secara sadar maupun tidak akan mencoba menghindari situasi yang mungkin
akan menjadikannya sasaran hostilitas. Berusaha menghindar dari hostilitas adalah seperti
ahli bedah yang ingin melakukan operasi tanpa terkena darah. Lagi pula, situasi hostilitas ini
jangan dihindari, perl dihadapi, karena klien perlu belajar untuk menyelesaikan dan
menghadapi hostilitas ini.
3. Kesalahan Konselor
Subjek pekerjaan konselor-tingkah laku manusia- adalah hal yang sangat kompleks dan
mempunyai nuansa-nuansa halus. Tidak dapat diukur dengan tepat, tidak dapat dipahami
denga n tepat. Jadi pasti akan terjadi sesuatu kesalahan.

Salah satu kesalahan yang dapat dibuat konselor adalah lemah, tidak tegas.

Tidak mengakui kesalahan adalah bentuk kesalahan yang lain. Yang membedakan
konselor yang efektif dan yang tidak efektif bukanlah ada atau tidaknya kesalahan,
tetapi apakah mau mengakui atau tidak,kepada dirinya sendiri dan kepada kliennya.

Konselor yang efektif mengakui bahwa membuat kesalahan karena empat alasan:
a. Mereka jujur, dan kejujuran menuntut kalau ada kesalahan harus diakui
b. Orang yang ada dalam hubungan konseling harus dibantu untuk memisahkan
kesalahan yang mana adalah kesalahan siapa sehingga orang yang melakukan
kesalahan dapat mengambil tanggung jawab untuk mengoreksinya.
c. Konselor mengakui kesalahannya sebagai cara untuk mengajar klien bahwa
kesalahan bisa diterima dan pentingnya untuk mengakui kesalahan itu kepada orang
lain.
d. Konselor tahu, klien barangkali tahu bahwa konselor membuat kesalahan dan
menunggu untuk melihat apakah konselornya cukup punya rasa aman untuk
mengakui kesalahn itu.
4. Manipulasi
Klien memanipulasi konselor
Klien memanipulasi konselor dengan tujuan berikut:

Untuk memenuhi kebutuhan


Klien yang datang untuk konseling biasanya mempunyai kebutuhan yang tidak
terpenuhi. Konseling bukan tempat untuk memenuhi kebutuhan ini, karena
menyebabkan klien tidak bisa berkembang, karena ingin tinggal terus dalam
konseling. Klien yang mempunyai kebutuhan untuk dicintai mungkin akan berusaha
memanipulasi konselor agar kebutuhannya ini terpenuhi, sedikitnya ada perasaan
istimewa untuk klien ini. Konselor yang kebutuhan cintanya tidak terpenuhi akan

sangat rentan terhadap hal ini.


Untuk menetralisasi ancaman.
Sangat perlu bagi konselor untuk mengetahui dalam hal-hal apa saja dia rentan,
sehingga bisa mengurangi potensinya untuk dimanipulasi.
Klien yang berusaha memanipulasi konselor:
a. Biasanya mereka tidak sadar tentang apa yang mereka lakukan, karena dilandasi
kebutuhan-kebutuhan, perasaan dan motif yang tidak disadari. Bila dikonfrontasi
biasanya bereaksi dengan hurt, confusion, anger, denial.
7

b. Tidak ada gunanya mengambil sikap defensif. Akibatnya klien akan mengambil
sikap defensif kembali yang tidak bermanfaat.
c. Tidak ada gunanya bersikap sinis pada orang yang memanipulasi konselor, karena
semua klien seperti itu.
Konselor memanipulasi klien
Beberapa contoh konselor yang manipulatif.

Karena bosan dan jengkel, konselor mengatakan bahwa kliennya sudah mengalami

kemajuan, dan perlu istirahat dari konseling.


Konselor perlu memenuhi kebutuhan untuk afeksi dan kehangatan, maka ia berusaha
membangun hubungan ini dengna kliennya, dengan dalih bahwa klien perlu belajar
dan mempraktikannya pada diri konselor.

5. Penderitaan (Suffering/Psychological/Bleeding)
Seperti hanya pada manipulasi, konselor bisa menderita dan sebaliknya klien juga bisa
menderita. Kedua situasi ini dapat menimbulkan masalah dalam hubungan konseling bila
tidak dikenali dan diatasi dengan efektif. Keinginan untuk mencegah penderitaan yang
merupakan sebab utama orang pergi kepada konselor. Ironisnya, efek samping dari konseling
adalah adanya penderitaan ini, karean penderitaan adalah bagian inheren dari perkembangan
kepribadian. Klien harus merasakan penderitaan ini untuk dapat melangkah kepada keadaan
yang lebih positif. Konselor harus mampu untuk duduk dan membiarkan kliennya berdarahdarah sehingga semua racun dalam tubuhnya keluar. Saat yang tepat dan bagaimana
menghentikan perdarahan ini adalah suatu keterampilan yang didapat berdasarkan
pengalaman.
6. Hubungan yang Membantu VS Hubungan yang Tidak Membantu
Ada 2 tipe hubungan yang tidak membantu dalam konseling,
a. Distansi emosional (emotionally detached)
Konselor yang distan secara emosional tidak dapat masuk kedalam diri klien. Ia
tidak dapat menyatukan dirinya dengan pikiran, perasaan dan persepsiklien sehingga
bisa benar-benar berempati. Konselornya anonimus, sehingga sulit untuk menciptakan
rapport dan rasa percaya. Keterlibatannya bersifat intelektual. Konselor berfungsi
sebagai director, tutor atau mentor. Tetapi, kadang-kadang ada pula konselor yang
memang mengambil jarak secara emosional.
8

b. Kelekatan emosional (emotionally attached)


Lekat emosional berarti bahwa konselor dan/atau klien bergantung pada yang lain
untuk pemuasan kebutuhan dasar mereka. Kebutuhan dasar yang terpenuhi dalam
hubungan semacam ini merupakan kebutuhan untuk merasa aman, untuk
menerimadan memberi cinta, untuk dikagumi, dan dibutuhkan. Konseling memang
potensial untuk terbentuknya hubungan semacam ini. Terjadi atau tidak tergantung
pada pemenuhan kebutuhan diluar konseling.
Sikap konselor terhadap klien

Parental (orangtua yang terlalu melindungi)


Fraternal (sahabat)
Romantik (kekasih atau pasangan)

Hubungan yang membantu adalah:


Keterlibatan emosional (emotionally involved): Satu-satunya hubungan yang sehat antara
konselor dan klien adalah hubungan dimana ada keterlibatan emosional, bukan distansi dan
bukan pula kelekatan. Ada hubungan yang dekat, ada transparasi. Mereka cukup saling
mengenal untuk dapat saling percaya dan saling berempati.
7. Terminasi Konseling
Berapa pun sesi konseling yang terjadi, pada suatu waktu akan berakhir dalam salah satu
dari tiga cara ini, yaitu bila sasaran konseling telah tercapai, klien secara prematur ingin
menghentikan konseling, konselor ingin menghentikan konseling meskipun klien ingin
melanjutkan. Melakukan terminasi, membawa masalah bagi konselor dan klien.
8. Burnout
Gladding mendefinisikan burnout:
Becoming emotionally and/or physically drained to the point that they cannot perform
functions meaningfully (1992, hlm. 35).
Menurut Gladding, tidak ada seorang pun yang terus menerus selamanya dapat berfungsi
secara bermakna. Tidak ada orang yang mampu untuk berfungsi secara adekuat kalau tidak
pernah melangkah keluar dari peran profesionalnya.

Untuk mempertahankanp pendekatan yang sehat, konselor yang sukses memakai cara-cara
preventif untuk mencegah burnout.
Beberapa saran Gladding (1992) untuk mencegah atau mengobati burnout sebagai berikut:

Menjalin hubungan dengan individu-individu yang sehat.


Bekerja dengan rekan-rekan yang committed dan dengan organisasi yang punya misi
Committed pada suatu teori konseling
Melakukan latihan-latihan untuk mengurangi stres
Memodifikasi stresor pada lingkungan
Melakukan self-assessment
Secara berkala mengkaji ulang dan mengklarifikasi counseling roles, expectations,

dan beliefs
Menjalani terapi pribadi
Menyisihkan suatu waktu bebas dan pribadi
Mempertahankan sikap detached concern bila bekerja dengan klien
Mempertahankan sikap selalu ada harapan.

(Winkel) Adapun masalah-masalah yang dihadapi seorang konselor yang dapat


menghambat keefektifan kerjanya diantaranya yaitu :
1. Memihak/ menitikberatkan pada informasi sepihak.
Biasanya problema yang didengar konselor merupakan salah satu aspek persoalan yang
dilihat dari sudut pandang konseli itu sendiri. Sebagai contoh, dalam konseling
pernikahan, suami maupun istri bisa mempunyai pandangan berbeda mengenai satu
persoalan. Tentunya konselor tidak dapat menyelesaikan persoalan dengan baik jika
problema hanya didengar dari satu pihak, apalagi kalau sampai berpihak kepada salah
satu konseli.
2. Mengambil kesimpulan yang premature/ tergesa-gesa/ ceroboh.Seringkali yang
dikemukakan oleh konseli hanya merupakan gejala atau akibat dari inti persoalannya dan
belum tentu merupakan persoalan yang sebenarnya. Oleh karena itu seorang konselor
harus menjadi pendengar yang baik dan cermat tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan
atau langsung memberi jalan keluar.
3. Terlalu banyak ikut campur.Terjerat dan ikut campur dalam banyak hal mengenai
permasalahan konseli sering dialami oleh konselor. Hal ini membuat konselor tidak
obyektif terhadap inti persoalannya dan banyak waktu maupun tenaga terkuras yang
seharusnya digunakan untuk hal-hal lain. Konseli biasanya menuntut perhatian penuh
tanpa peduli bahwa konselor mempunyai tanggung jawab kepada keluarga dan konseli
10

lainnya. Untuk menghindarinya, konselor harus dapat menemukan cara yang tepat untuk
mengatasinya tanpa merusak hubungan baik yang mungkin sudah terbina.Di dalam
membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi konseli dengan rasional,
konselor tidak boleh bersikap otoriter dan menuduh larangan-larangan yang sifatnya
mengatur, sebaiknya dihindar
2.2 Cara Mengatasi Hambatan-Hambatan Seorang Konselor
Sebagai guru BK tentu kita sangat menaruh harapan besar agar BK dapat berjalan efektif
di sekolah. Kami merasa prihatin jika pelaksanakan tugas-tugas BK di sekolah kurang
maksimal, oleh karena itu untuk dapat mingkatkan kinerja BK disekolah kita harus bekerja
keras agar eksistensi BK disekolah dapat dakui keberadaanya dan terasa manfaatnya baik
terhadap siswa, guru, sekolah dan masyarakat., oleh karenan itu ada beberapa saran yang
dapat direnungkan dan dilaksanakan antara lain adalah sebagai berikut :
1. Buatlah program BK sesuai dengan kubutuhan dan situasi kondisi sekolah
2. Laksanakan program sesuai dengan kemampuan anda dan sekolah
3. Laksanakan sosialisasi tentang tugas BK di Sekolah agar para siswa , guru dan kepala
sekolah memahaminya tentang tugas-tugas BK di sekolah.
4. Jangan terlalu menuntut kepada sekolah untuk melengkapi sarana dan prasarana BK
jika sekolah memang tidak mampu menyediakannya.Namun membuat usulan adalah
hal yang bijak untuk dilaksanakan.
5. Kuasai konsep BK dan Jangan malu bertanya jika anda memang tidak menguasai
layanan BK disekolah, bertanya lebih baik dari pada salah dalam melaksanakan
layanan BK.
6. Jalin kerja sama yang solid antar guru BK melalui komunikasi intensif dalam forum
MGBK, ABKIN dan forum-forum lain yang dapat meningkatkan kinerja BK.
7. Jangan memaksakan diri untuk menangani kasus yang bukan menjadi tanggung jawab
anda sepeti narkotika, kasus-kasus Kriminal, atau kasu-kasus kelainan jiwa, ingat
bahwa betanggiung jawab sebatas siswa yang normal. Dan jika hal ini terjadi di
sekolah, maka segera kordinasi dengan pihak terkait untuk segera di Referal atau
alih tangankasuskan.

11

8. Tumbuhkan Niat dan mantapkan hati bahwa Saya akan menjadi guru BK yang
professional mulai hari ini.

12

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Permasalahan yang dihadapi konselor dibagi menjadi 2 yaitu internal dan eksternal.
Permasalahan internal adalah permasalahan yang ada pada diri konselor tersendiri dan
masalah eksternal adalah masalah yang terjadi di luar diri konselor (lingkungan) yang
menghambat kinerja konselor dalam manjalankan/menyelesaikan tugas-tugasnya.
Permasalahan yang terjadi bukanlah focus utama namun bagaimana cara menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang terjadi adalah tujuannya.
3.2 SARAN
Sebagai seorang konselor tentunya tidak terlepas dari kesalahan-kesalahan yang akhirnya
membuat masalah bagi konselor itu sendiri. Maka saran yang dapat diberikan adalah seorang
konselor harus terus memperbaiki diri, belajar dari kesalahan-kesalahan terdahulu sehingga
dapat mengurangi masalah dalam menjalankan proses konseling.

13

Daftar Pustaka

W.S. Winkel. 1991. Bimbingan Dan Konseling Di Institusi Pendidikan. Jakarta:

Gramedia Widiasarana Indonesia, 302-303.


Amti, Erman dan Prayitno. 2008. DASAR-DASAR BIMBINGAN DAN KONSELING.

Jakarta: PT RINEKA CIPTA.


Djoko, B.S. 2009. DASAR-DASAR BIMBINGAN DAN KONSELING. Malang:

Universitas Negeri Malang.


Lesmana, Jeanette Murad . 2005. Dasar-dasar Konseling. Jakarta : UI-PRESS

14

Anda mungkin juga menyukai