Anda di halaman 1dari 19

BAB I

Mendifinisakan Ilmu

Konsep ilmu dalam peradaban Islam sangat berbeda jauh dengan konsep
ilmu dalam peradaban Barat. Erbedaan pertama, ilmu dalam peradaban Islam
bersumber dari Allah dan karena pengajaran dari Allah. Karena ilmu bersumber
dari Allah (pencipta manusia dan alam semesta), maka ilmu dalam perspektif Islam
berakar pada keimanan dan pada akhirnya harus berbuah amal. Dengan demikian,
sumber ilmu dalam Islam juga menjadi berbeda, yaitu wahyu, akal, eksperimen,
dan intuisi./ Kedua tujuan ilmu juga sangat berbeda. Tujuan utama dari ilmu adalah
untuk mengenal Allah (maʼrifatullah), sebagai landasan beramal, membangun dan
memakmurkan kehidupan dunia, sebagai bekal untuk kehidupan akhirat, serta
menggapai kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Ketiga objek ilmu
tidak hanya alam fisik (al-syahadah), tapi mencakup alam metafisik (al-ghayb).
Keempat hal yang juga sangat unik mengenai konsep ilmu dalam Islam adalah
keterikatan yang erat antara empat unsur: ilmu, iman, motivasi dan amal.

DEFINISI SECARA ETIMOLOGIS

Dalam bahasa Arab, 'ilm berasal dari akar kata 'ain-lam-mim. Bentuk
jamaknya adalah 'ulum. Secara bahasa, Ilmu menurut Zamakhayari-bermakna al-
syu'ür 'perasaan", atau al-'alamak 'tanda, atau al-simah 'ciri khas', atau ma yafsilu
bayna al-ardayn *sesuatu yang memisahkan antara dua tempat, atau mã yunṣabu fi
al-tariq yuhtada bihi'rambu yang dipasang di pinggir jalan sebagai petunjuk arah'.
Berdasarkan makna-makna di atas, makhluq 'ciptaan Allah' menurut al-
Zamakhsyari biasanya disebut àlam karena berfungsi sebagai tanda atau petunjuk
adanya Allah. Sementara ma'rifah secara bahasa berasal dari akar kata 'ain-ra'-fa'
yang menurut Al-Zamakhsyari bermakna penghargaan (apresiasi). Berasal dari akar
kata yang sama, 'arafa juga memiliki makna rafa'a 'mengangkat. Terkait dengan
makna tersebut, ma'rifah dimaknai tinggi, dimuliakan, dan baik.

Tampak dalam makna di atas bahwa antara al-'ilm de al-ma'rifah,


sebagaimana disimpulkan oleh (Rajth Abdul Hami al-Kurdi, secca-bahasa idak ada
perbedaan yang mencol Bahkan, Kairuz al-Abadi, penyusun Qamüs al-Muḥit, dan
al-Jauha dalam Mukhtar al-Şihah berpandangan bahwa antara al dan al-'i memiliki
keterkaitan yang sangat erat. Misalny al-ma'rifah dalam arti apresiasi sejatinya
memuat pula makna îmu tentang kondisi orang yang diberi apresiasi tersebut ser
posisinya. Selain itu, al-ma'rifah juga memuat makna ilmu tentang sebab apresiasi
tersebut diberikan.

Dalam perspektif Barat, padanan ilm adalah science, sementara padanan


ma'rifah adalah knowledge. Sebagaimana didefinisikan oleh U-Dictionary, science
mengandung beberapa makna. Pertama, ilmu adalah studi tentang alam dan
perilaku hal hal alami dan pengetahuan yang kita peroleh tentang hal tersebut.
Kedua, sains adalah cabang ilmu yang spesifik seperti fisika, kimia, atau biologi.
Ketiga, sains adalah studi tentang beberapa aspek perilaku manusia. Misalnya,
sosiologi atau antropologi." Adapun pengertian knowledge adalah informasi dan
pemahaman tentang subjek yang dimiliki seseorang atau yang dimiliki semua
orang.

DEFINISI SECARA TERMINOLOGIS

Para ulama berselisih pendapat mengenai definisi ilmu apakah mungkin


didefinisikan atau tidak. Beberapa ulama seperti Fakhruddin al-Razi, Abu al-Ma'ali
al-Juwaini, dan Abu Hamid al-Ghazali berpendapat bahwa ilmu tidak bisa
didefinisikan karena ilmu termasuk aksioma (al-daruriyyat) atau karena sulit untuk
didefinisikan. Sementara mayoritas ulama lainnya menyatakan bahwa ilmu
mungkin didefinisikan. Menurut para ulama di atas, syarat ilmu yang harus
dipenuhi adalah adanya kesesuaian dengan realita yang sesungguhnya. Tentu ini
harus berdasar pada proses penelitian yang akurat. Jika tidak maka tidak bisa
disebut ilmu. Ilmu dengan definisi di atas, menurut Raghib al-Asfahani dibagi
menjadi dua. Pertama, al-tasawwur 'konseptual' atau mengetahui sesuatu tanpa
menghukuminya. Kedua, al-tasdiq 'proposisi' mengetahui sesuatu dengan
menghukuminya, baik dengan al-itsbat 'penetapan' maupun dengan al-nafy
'penolakan'.
Ilmu sejati menurut al-Ghazali harus melewati periodisasi. Pertama, periode
al-syakk 'ragu', yaitu saat akal berada dalam posisi ragu dan diam, tidak ke depan
maupun ke belakang, baik dengan penetapan maupun penolakan. Kedua, periode
al-gann 'praduga' yang lebih condong kepada kebenaran dan keyakinan. Ketiga,
periode al-i'tiqad kepercayaan' atau 'keyakinan'. Keempat, periode al-yaqin 'yakin'.

PERBEDAAN ILMU DENGAN MA'RIFAH

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, perbedaan antara ilmu dan ma'rifah


dalam Al-Qur'an tercermin pada dua hal. Pertama, perbedaan bahasa. Secara
bahasa, sebagaimana disebut di atas, ma'rifah membutuhkan satu maful," sementara
ilmu membutuhkan dua mafal." Jika ilmu hanya memiliki satu maful, maka ia
bermakna ma'rifah.

ILMU PENGETAHUAN DAN HIKMAH

Beberapa kata dalam Al-Qur'an yang masih memil bubungan dengan ilmu
adalah hikmah. Apa perbedaan istilah in dengan 'ilmi dan mar’rifah?

Kata hikmah disebutkan oleh Al-Qur'an sebanyak 17 kali Sementara al fiqh


disebutkan dalam bentuk fi'l dalam sighak "yafahana" sebanyak 13 kali, sighah
"nafiqahu" disebutkan sekali, dan "yeah" juga disebutkan sekali. Intinya, hikmah
(kebijakan) adalah gabungan antara keluasan dan kedalaman ilmu dengan kekayaan
akan pengalaman. Output nya, seorang bijak dapat mengatakan atau melakukan
segala sesuatu sesuai porsi yang tepat, baik dilihat dari sisi tempat maupun kondisi.

KESIMPULAN

Ilmu, sebagaimana disimpulkan oleh Rajih al-Kurdi, sebenarnya lebih jelas


untuk didefinisikan karena perasaan manusia itu sendiri memiliki potensi
mengetahui. Ia berada di dalam jiwa manusia yang dapat mereka rasakan karena
keberadaannya merupakan sesuatu yang paling istimewa di dunia ini. Di dalam
dirinya terletak sebuah kemuliaan, bahkan manusia pertama yang dicipta oleh
Allah, yaitu Adam as, lebih dimuliakan dari pada malaikat karena ilmu yang
dikaruniakan Allah kepadanya.

BAB II

Definisi Dan Sejarah Epistemologi Islam

DEFINISI EPISTEMOLOGI

Epistemologi atau yang dikenal dengan teori ilmu pengetahuan merupakan


cabang ilmu filsafat yang berkaitan Idengan persoalan-persoalan tentang ilmu
pengetahuan yang bersifat menyeluruh dan mendasar. Epistemologi berasal dari
bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme dan logos. Episteme berarti
pengetahuan, sedangkan logos memiliki arti teori, uraian, atau ulasan. Logos dalam
makna lain berarti perkataan, pikiran dan ilmu. Dalam bahasa Yunani, kata gnosis
juga digunakan sebagai padanan kata episteme yang sama-sama memiliki makna
pengetahuan, oleh karena itu epistemologi juga dikenal dengan nama gnosiologi.

Jadi, berdasarkan keterangan di atas, persoalan-persoalan pokok yang


menjadi kajian epistemologi bisa dirangkum dalam tiga pertanyaan:" (1) apa
sumber-sumber dari pengetahuan tersebut (origin), (2) apa watak dasar dan struktur
pengetahuan tersebut (structure and methods), dan (3) apakah pengetahuan tersebut
benar (validity).

SEJARAH EPISTEMOLOGI ISLAM

Pergulatan pemikiran tentang sumber-sumber pengetahuan seperti akal,


indra, intuisi, dan wahyu dalam filsafat Islam memiliki sejarah yang panjang.
Dalam epistemologi Islam, istilah nous sering dipadankan dengan al-'aql dan
diterjemahkan sebagai intelek atau akal pertama untuk membedakan antara akal
yang bermakna rasio. Bagian ini akan menjelaskan secara ringkas pemikiran
epistemologis para filsuf Muslim.

Al-Kindi merupakan tokoh yang pada umumnya dikenal sebagai filsuf


pertama dalam sejarah filsafat Islam. Al-Kindi berpendapat bahwa pengetahuan
bisa didapat dengan tiga. jalan: indra, akal, dan wahyu. Pengetahuan yang didapat
dari wahyu merupakan pengetahuan yang paling tinggi." Al-Kindi mendeskripsikan
metafisika sebagai pengetahuan paling mulia dari semua realitas. Hal ini
dikarenakan manusia bisa mengetahui sesuatu sepenuhnya dengan mengetahui
sebabnya. Segala sesuatu kembali kepada sebab yang awal, yaitu Allah, sehingga
pengetahuan tentang Allah merupakan pengetahuan tertinggi menurut al-Kindi.

Seorang sufi yang memiliki pengaruh besar dalam dunia Islam, al-Ghazali,
berpendapat bahwa pengetahuan bisa didapatkan melalui (1) panca indra
(mengetahui panas dan dingin), (2) kemampuan identifikasi (mengetahui penyebab
panas), (3) rasio (mengetahui api membutuhkan oksigen), (4) supra-rasio
(mengetahui hal-hal gaib), dan (5) nubuwwah (mengetahui hal-hal gaib dari para
nabi).

Nasiruddin al-Tusi membagi pengetahuan menjadi empat jenis, yaitu (1) al-
ihsās (pengetahuan sensasi): deskripsi sesuatu yang nyata dan ada, menunjukkan di
mana, kapan, bagaimana, dan berapa; (2) al-khayal (pengetahuan imajinasi):
deskripsi sesuatu dengan karakteristiknya dalam keadaan ada maupun tidak ada; (3)
al-tawahhum (pengetahuan asumsi): pengetahuan makna tanpa sensasi dan
partikular; dan (4) al-ta'aqqul (pengetahuan nalar): pengetahuan hakikat sesuatu dan
zatnya.

Nasiruddin al-Tusi juga mengklasifikasikan pengetahuan menjadi


pengetahuan spekulasi dan pengetahuan praktik. Pengetahuan spekulasi berupa
pengetahuan agama dan metafisika, pengetahuan matematika, dan pengetahuan
alam. Sedangkan pengetahuan praktik meliputi pengetahuan etika, pengetahuan
ekonomi, dan pengetahuan politik.

KESIMPULAN
Epistemologi Islam tidak pernah terlepas dari ketuhanan, berbeda dengan
epistemologi Barat yang sebagian sampai melepas dan meniadakan prinsip-prinsip
ketuhanan. Sebenarnya masih banyak pembahasan epistemologi Islam yang bisa
dibahas pada bab ini, tetapi pembahasan mendalam akan lebih detail pada bab bab
selanjutnya.

BAB III

Tujuan Ilmu dalam Islam

Kata ilmuwan saat ini identik bagi mereka yang memiliki gelar akademik,
telah menempuh jenjang tinggi dalam pendidikan formal, dan yang telah
menghasilkan berbagai penemuan yang dimanfaatkan oleh banyak orang. Hal
tersebut tidak salah karena dalam mencapai gelar akademik dan membuat
penemuan diharuskan untuk membaca banyak buku, melakukan berbagai riset, dan
membutuhkan waktu yang lama. Akan tetapi, jika kita amati lebih dalam, ilmu-ilmu
yang dihasilkan telah diwarnai oleh berbagai motif, sehingga hasil dari ilmu
tersebut tidak seluruhnya membawa manfaat bagi umat manusia.

PENGARUH ILMU PENGETAHUAN

Fenomena yang penulis ungkap di paragraf pendahuluan adalah kelanjutan


dari apa yang terjadi di Barat, dimulai sejak abad ke-17 dan ke-18. Saat itu,
pengetahuan yang dihasilkan mulai "menekan" pengaruh kuat doktrin teologis.
David Hume memelopori istilah systemic knowledge, yaitu kaidah yang
menyatakan bahwa pengetahuan itu benar apabila bisa dibuktikan secara simultan
dan sistemik, sehingga menolak ilmu atau apapun yang tidak didasari pada
observasi.

Meskipun secara lahiriah Barat mengalami perkembangan ilmu


pengetahuan yang pesat, tetapi itu semua tidak dilandaskan pada ajaran agama.
Bahkan, menurut Ernst Cassirer, seorang filsuf Yahudi Jerman, agamalah problem
pengetahuan yang muncul saat ini. Hal itu dikarenakan spekulasi filsufi tidak
dimulai pada akhir-akhir ini, tetapi sudah ada sejak dimulainya sejarah. Saat itu,
pemikiran primitif, mistisisme, dan religius mendominasi Spekulasi filsufis yang
mempertanyakan kebenaran, bagi Cassirer, tidak akan terjawab apabila pertanyaan
apa itu pengetahuan belum menemukan jawaban memuaskan.

Fakta yang cukup menarik adalah ketika ilmu pengetahuan menurut


perspektif sejarah agama ditinggalkan, ilmu pengetahuan kini justru dipenuhi oleh
banyak sekali pseudosains dan pseudohistory. Ronald H. Fritze, sejarawan
Amerika, cukup intens mengkritik pseudosains. Fritz mengkritik film, televisi, dan
radio. Majalah dan internet memuat banyak informasi palsu dan tidak bisa
dipertanggungjawabkan otentisitasnya.

Akibatnya menjadi sangat fatal. Lihat bagaimana Nazi terinspirasi dari


pseudohistory alias mitos tentang keunggulan ras Arya dibanding ras lainnya,
mengakibatkan hampir satu generasi pria di Eropa lenyap. Legenda benua Lemuria
yang hilang, tempat peradaban Tamil, juga menginspirasi masyarakat di India
Selatan untuk menggerakkan nasionalisme Tamil dan gerakan Dravida. Gerakan ini
berujung pada intimidasi terhadap Muslim India hingga internal Hindu India itu
sendiri. Hal ini disebabkan karena para penulis pseudohistory memaksa agar ide
dan tulisannya dianggap sebagai sebuah faktra kebenaran tentang masa lalu
manusia.

Masalah keilmuan yang terjadi di atas menunjukkan kepada kita bahwa


tujuan ilmu tidaklah tunggal. Semua pihak merasa bebas berbuat apapun dengan
ilmu yang dimilikinya. Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Jonathan L.
Kvanvig, seorang Guru Besar Filsafat Universitas Washington, yang menyatakan
bahwa pengetahuan akan selalu dipenuhi dengan nilai (values), sehingga klaim
bahwa ilmu bebas nilai adalah pernyataan yang tidak berdasar.

ISLAM MENCERDASKAN AKAL

Akal tidak bisa dilepaskan dari dogma ajaran Islam yang mengedepankan
asas berpikir. Allah telah memberi perumpamaan bagi seseorang yang tidak mau
menggunakan akalnya. Mereka lebih rendah dari makhluk yang hina dan tuli.
Kecerdasan yang lahir dari akal sehat manusia akan berdampak kepada hikmah,
membawa manfaat bagi umat manusia, dan tidak bertentangan dengan asas
keadilan. Maka dari itu, Allah memerintahkan umat manusia untuk selalu melihat
tanda-tanda kekuasaan-Nya di bumi dengan akalnya.

Kecerdasan yang lahir dari akal sehat juga akan menghindarka unat manusia
dari hal-hal buruk dan bencana. Penggunaan landasan yang didasarkan atas ego
telah diperingatkan Alla akan membawa perpecahan serta berujung pada kezaliman
dan kesengsaraan. Kecerdasan pikiran dalam Islam juga akan menjauhkan manusia
dari kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan

Bandingkan dengan akal skeptis yang membuat manusia tidak memiliki


keyakinan terhadap hal-hal gaib. Daya nalar semacam ini memperkaya
praanggapan terhadap suatu ilmu dan hanya mau menerima pengetahuan yang lebih
masuk akal." Hal ini akan berbenturan dengan epistemologi Islam yang meyakini
kebenaran perkara gaib, meskipun berada di luar jangkauan akal.

ISLAM MAMPU MELEMBUTKAN PERASAAN

Satu contoh nyata bagaimana ajaran Islam mampu melembutkan perasaan


seseorang 180 derajat adalah riwayat tentang Umar bin Khattab ra. Sebelum
memeluk Islam, Umar bin Khattab merupakan sosok yang sangat keras dan kerap
terlibat perselisihan dengan kaum Muslim. Umar dikisahkan sering menyiksa
budak yang masuk Islam, bahkan bertekad ingin membunuh Rasulullah s.a.w.

Setelah memeluk Islam, Umar tetap dengan ketegasannya yang digunakan


untuk menegakkan agama dan syariat Islan Adapun kelembutan hatinya tampak
dari seringnya Umar menangis ketika melantunkan ayat Al-Qur'an pada waktu
memimpin shalat, ataupun ketika menjadi khalifah. Umar diriwayatkan menangis,
bahkan rela menggendong karung berisi tepung untuk diberikan kepada wanita
yang ditemuinya sedang memasak batu.
Demikianlah, salah satu tujuan ilmu dalam Islam adalah untuk
melembutkan hati yang keras karena kekerasan hati adalah satu dari tanda
dicabutnya nikmat Allah terhadap seseorang Lantunan Al-Qur'an yang didengar
tidak memiliki dampak apapun terhadap orang yang hatinya keras. Bacaan Al-
Qur'an yang dilantunkan tidak berpengaruh terhadap perilaku buruknya. Bisa
dikatakan, ia telah jauh dari cahaya dan mukjizat Al-Qur'an. Padahal, Allah telah
berfriman bahwa umat yang berilmu dan berpengetahuan senantiasa bersujud
tatkala ayat-ayat Al-Qur'an dibacakan kepada mereka.

ILMU MAMPU MEMUPUK TALENTA

Hidup bukanlah beban, melainkan sebuah tanggung jawab yang kelak akan
dihisab oleh Allah terkait bagaimana kita menjalaninya. Maka dari itu, seorang
Muslim harus mandiri dan bekerja agar mudah menjalani hidup. Secara tidak
langsung, umat Islam harus memiliki berbagai keterampilan yang menunjang
kesejahteraannya serta mejauhkan diri dari kebiasaan meminta minta dan
menyandarkan hidup pada pertolongan orang lain.

Bagi seorang mukmin, segala aktivitas di dunia ini merupakan ladang


pahala. Apapun keahlian yang dimiliki dan bidang apa saja yang digeluti tidak akan
menghalanginya untuk menegakkan syariat dan menambah pahala. Kepakaran
dalam bidang sains akan membuatnya selalu mengutamakan keselamatan dan
kepentingan umat manusia. Kedalaman agama seorang ustadz akan selalu
menghindarkan manusia dari akidah yang salah. Selain itu, ilmu atau keahlian yang
diperoleh merupakan sebuah karunia dari Allah untuk berlomba-lomba dalam
kebaikan.

ILMU DAPAT MENYUCIKAN JIWA

Ilmu yang benar akan selalu mengarahkan manusia kepada ketenteraman


dan ketenangan hati. Karena itu, ilmu yang benar termasuk nutrisi jiwa yang harus
dimiliki seorang Muslim. Sayangnya, pentingnya nutrisi jiwa tidak dimasukkan
dalam kebutuhan primer manusia dalam teori-teori ekonomi yang hanya
membatasinya pada sandang, pangan, dan papan. Padahal, dalam Islam dijelaskan
bahwa mengingat Allah dengan berzikir merupakan cara yang ampuh untuk
menenangkan hati.

Maka dari itu, kesucian jiwa seseorang adalah salah satu tanda bahwa ilmu
yang ia pelajari telah sampai pada kebenaran sesuai syariat Islam.

KESIMPULAN

Ilmu dalam Islam memiliki tujuan membentuk pribadi seorang Muslim yang
mulia. Bahkan, ilmu akan meninggikan pemiliknya beberapa derajat. Agar tujuan
itu tercapai, ilmu yang diperoleh harus benar dan sesuai dengan panduan Islam.

Selain itu, ilmu yang diperoleh juga harus dipergunakan dengan benar agar
tidak berubah menjadi pangkal kerusakan dan kezaliman di muka bumi. Karena itu,
ilmu harus didasari dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah agar membawa
manfaat bagi seluruh umat manusia.

BAB IV

Pradigma Pengetahuan

Diskusi tentang ilmu memang selalu menjadi hal menarik. Di


samping karena pendefinisian ilmu yang beragam, juga luas objek kajian yang tidak
pernah habis digali. Fitrah manusia untuk selalu ingin tahu juga merupakan faktor
kenapa ilmu selalu dipelajari dengan segala cabangnya. Karena ilmu yang didapat
akan digunakan sebagai panduan dalam bertindak, bahkan dalam proses
mempermudah kehidupan manusia, sehingga bisa dikatakan bahwa tanpa ilmu,
manusia tidak akan bisa hidup dan juga akan timbul banyak kerusakan.

Dalam perspektif filsafat, bahasan ilmu pengetahuan mencakup tiga ranah.


Pertama, dalam aspek ontologi, ilmu pengetahuan yang dibangun berdasarkan
konstruksi ilmu pengetahuan dan keyakinan filosofis tentang hakikat realitas.
Kedua, secara epistemologis, ilmu dibangun atas dasar metodologi ag diturunkan
dari hakikat realitas yang diyakini kebenarannya. yang Sedangkan secara
aksiologis, ilmu dikembangkan untuk tujuan etis sesuai dengan hakikat kebenaran
yang diyakini. Dari ketiganya bisa disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan
merupakan upaya dalam menangkap nilai kebenaran akan hakikat realitas dan
kemudian pengembangannya dalam bentuk produk etis, yang berguna bagi manusia
untuk merealisasikan kebahagiaan sebagai tujuan utama hidupnya.

SKEPTISISME DALAM PENGETAHUAN BARAT

Persoalan mendasar dalam epistemologi adalah hakikat pengetahuan yang


memiliki nilai kebenaran. Pertanyaan besar yung kemudian muncul adalah apakah
manusia bisa mencapa Aran tersebut. Pertanyaan ini kemudian menyulut ragam
diskusi dari berbagai kalangan intelektual. Pengetahuan yang sejatinya diyakini ada
keberadaannya dirasa mustahil untuk diketahui secara utuh. Pengetahuan tersebut
hanya bisa diketahui secara parsial atau sebagian sejauh potensi intelektual manusia
bisa mencapainya. Sedangkan kebenaran hakiki akan selalu berada dalam misteri
dan tidak mampu diungkap oleh manusia karena keterbatasannya.

Oleh karena itu, tidak layak bagi siapapun untuk mengatakan bahwa ia
adalah pemegang kebenaran mutlak. Keraguan dipahami sebagai lawan kata dari
keyakinan. Dalam Routledge Encyclopedia, bahwa keraguan (doubt) adalah "a state
of indecision or hesitancy with respect to accepting or rejecting a given proposition.
Thus, doubt is opposed to belief. But doubt is also contrasted with certainty/", atau
secara sederhana, keraguan diartikan sebagai kebimbangan antara. menerima atau
menolak sebuah fakta. Ia bersifat tidak yakin atau tidak pasti. Kesimpulan akan
keraguan ini bisa diatasi dengan melakukan pembuktian secara ilmiah, meski
kemudian bahwa kebenaran hasil pembuktian ini juga tidak serta merta membawa
pada keyakinan karena fakta kebenaran tersebut masih bisa disalahkan bila memang
menemukan fakta lain yang membantahnya.

Keraguan dalam mencapai kebenaran ini bisa dilacak akar sejarahnya pada
masa Yunani Kuno yang dipelopori oleh kaum sofis ketika mereka bersikap bahwa
"man is the measure of all things". Sejak saat itu, kebenaran diyakini bersifat
subjektif. Subjektivitas inilah yang kemudian diyakini menjadikan kebenaran
bersifat relatif. Relativitas kebenaran dipahami bahwa kebenaran akan sebuah objek
tidaklah menunjukkan kondisi sebenarnya dari objek tersebut, tetapi telah
dipengaruhi oleh subjektivitas manusia yang menilainya. Akhirnya, hasil
kesimpulan tentang sebuah objek bisa berbeda-beda, dan itu semua dianggap benar.
Maka, kebenaran pun bersifat relatif. Jadi, tidak salah bila Muthahari mengatakan
bahwa pemikiran kaum sofis yang dulu pernah ada di zaman Yunani Kuno kini
menjelma kembali di zaman modern. Pasalnya, mayoritas filsuf Eropa di zaman ini
memiliki kecenderungan pada skeptisisme. Sebagian filsuf, sebagaimana kaum
sofis, secara prinsip mengingkari realitas.

Dengan demikian, secara sederhana, dalam paham relativisme ini bisa


diketahui beberapa prinsip inti. Sebagaimana disebutkan oleh Lorens Bagus,
terdapat beberapa prinsip kunci yang menjadi fondasi utama.

• Pertama, apa yang diamati ada merupakan manifestasi dari apa yang diamati
oleh pengamat. Artinya, kebenaran akan adanya sebuah objek merupakan
hasil kehadiran pengamat dalam mengamati objek tersebut. Maka, tidak
dibenarkan adanya sebuah objek bila pengamat tidak hadir di lokasi objek.
• Kedua, objek yang diamati adalah benar bagi pengamat. Artinya, kebenaran
pengamat tersebut bisa dianggap salah bagi orang lain.
• Ketiga, kebenaran itu identik dengan apa yang diamati dan berhubungan
dengan kondisi fisik pengamat, sehingga dengan demikian kebenaran itu
bersifat subjektif.
• Keempat, subjetivitas itu juga berhubungan dengan kualitas indra
pengamat. Artinya, kualitas indra seorang pengamat bisa jadi menghasilkan
temuan yang berbeda dengan pengamat lain.
• Kelima, kebenaran tidak akan terlepas dari perspektif pengamat tentang
kebenaran. Jadi, ketika orang lain memiliki perspektif kebenaran yang
berbeda, tidak diperkenankan bagi seorang pengamat memaksakan
kebenaran dirinya.
• Keenam, kebenaran dengan demikian bersifat "masing-masing", sehingga
siapapun berhak untuk mengkritisi dan tidak diperbolehkan untuk
mengatakan seseorang benar dan mengatakan yang lain salah.
• Ketujuh, bahwa kebenaran akhirnya dipahami sebagai kesepakatan umum.
Jika kesepakatan umum tersebut berubah dalam menilai kebenaran awal,
maka kebenaran tersebut mau tidak mau harus dianggap salah. Akibatnya,
yang salah di awal bisa menjadi benar di akhir.

EPISTEMOLOGI POSITIVISME

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bah paradigma postivisme telah


memengaruhi aktivitas ilmiah pada era modem ini, khususnya pada aspek penelitian
ilmu alam dan ilmu sosial, baik yang berdasarkan pada statistik maupun data positif.
Karena itu, pembahasan khusus tentang paradigma ini sangat diperlukan untuk
memahami karakteristiknya.

Positivisme dianggap sebagai paradigma ilmiah yang munal pertama kali


dalam dunia ilmiah. Asumsi yang terkandung dalam paradigma ini adalah
kenyataan itu ada, berjalan sesuai dengan hukum alam." Dengan asumsi ini,
positivisme berupaya mengungkap lebenaran realitas dan bagaimana realitas itu
sebenarnya berjalan Karenanya, paradigma inilah yang menjadi landasan bagi
metode ilmiah menuju bentuk penelitian kuantitatif, yang berusaha menemukan
prinsip-prinsip atau hukum umum tentang dunia realitas. Jadi, secara umum,
positivisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa ilmu alam (empiris)
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar serta menolak nilai-nilai
kognitif dan bernuansa metafisik.

Mengingat objek sains hanya dikenali dalam obji positivisme positif, Comte
kemudian menjelaskan istilah-istil positif dari objek itu sendiri. Dalam bukunya,
Mohammad Mus menyampaikan bahwa Comte memberikan pengertian benda
positif dengan sesuatu yang dapat dilihat atau diamati (observable), yaitu dapat
diulang (repeatable), terukur (measureable), teru (testable), dan dapat diprediksi
(predictable).
POSITIVISME LOGIS

Dalam perkembangannya, positivisme telah ditata kembali di beberapa sisi,


sehingga muncullah aliran pemikiran yang disebut positivisme logis (dipelopori
oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina).

Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi


pemikirannya pada semua hal yang dapat dibuktikan dengan observasi atau analisis
tentang definisi dan hubungan antaristilah. Fungsi analisis ini mereduksi metafisika
dan memeriksa struktur logis dari pengetahuan ilmiah. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui isi konsep dan pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara
empiris. Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis adalah
untuk mengatur kembali pengetahuan ilmiah dalam sebuah sistem yang dikenal
sebagai “kesatuan ilmu yang juga akan menghilangkan perbedaan antara ilmu yang
terpisah.

Jadi, secara sederhana, positivisme logis merupakan kelanjutan dari teori


positivisme yang berupaya menutupi kekurangan. Positivisme logis berusaha untuk
menguji pernyataan hasil observasi, sehingga dapat dikatakan sebagai pernyataan
ilmiah. Kajian bahasa dalam pandangan positivisme logis bahasa harus memiliki
hubungan yang logis dan kebenaran yang dapat diverifikasi. Jika demikian,
pernyataan apapun yang tidak dapat diverifikasi tidak diakui kebenarannya dalam
positivisme logis.

KEBENARAN DAN METODE ILMIAH DALAM ISLAM

Sebelum kita diskusikan skeptisisme menurut Islam, ada baiknya dijelaskan


dahulu bagaimana posisi ilmu pengetahuan dalam Islam. Ilmu pengetahuan dalam
Islam memiliki posisi yang sangat penting. Syamsuddin Arif dalam orasi ilmiahnya
menyampaikan bahwa pengetahuan (ilmu) dan kebenaran dalam Islam setali tiga
mata uang. Pertama, mengetahui sesuatu yang benar adalah ilmu. Kedua, ilmu
adalah sesuatu yang benar itu. Sehingga, ketiga, memiliki ilmu adalah
menggenggam kebenaran." Pentingnya ilmu pengetahuan dalam Islam terlihat
dalam banyak ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang perintah untuk mempelajari
alam semesta sebagai bagian dari proses kesadaran akan pembuktian kebesaran
Allah.

Keutamaan ilmu dalam Islam juga merupakan syarat ketakwaan karena


dengannya derajat seseorang ditinggikan. Seperti dalam kasus Bani Israil terka
diangkatnya Thalut sebagai raja mereka. Kemudian para pembesz Bani Israil
menolaknya disebabkan Thalut bukanlah termasuk keturunan Nabi Ya'qub a.s. atau
tidak memiliki garis keturunan kenabian. Namun, Allah menunjuk Thalut
dikarenakan ilmu dan keberaniannya, bukan karena nasabnya.Oleh karena itu,
dalam pandangan Islam, ukuran peradaban paling maju adalah semakin mengenal
Tuhan. Dalam Al-Qur'an dengan jelas disebutkan bahwa bagi yang mencari ilmu
akan ditinggikan oleh Allah derajatnya.50 Imam al-Thabari dalam tafsirnya
menjelaskan bahwa mukmin yang mencari ilmu akan ditinggikan pangkatnya
apabila ia bisa menggunakan ilmunya untuk taat kepada Tuhan. Dia menjadi
semakin sadar akan perintah dan larangan-Nya. Sehingga, dia bisa menghindari hal
hal yang menyebabkan kehinaan.

KESIMPULAN

Ilmu pengetahuan dalam perspektif Barat dan Islam memiliki perpedaan


yang cukup signifikan. Bagi Barat, ilmu pengetahuan dijukan hanya sampai pada
aspek antroposentris, atau hanja pada tataran kebutuhan manusia, sehingga
mengakibatkan objek kajiannya pun terbatas pada aspek-aspek empiris. Selain itu,
Barat hanya mengakui rasio dan pengalaman inderawi saja sebagai sumber
kebenaran. Maka, mau tidak mau mereka harus mengakui relativitas sebagai sikap
ilmiah. Akhirnya, ilmu memang berkembang, tetapi tidak memiliki orientasi yang
jelas.

Sementara dalam Islam, ilmu pengetahuan memiliki fungsi sebagai sarana


mengenal Allah. Oleh karena itu, ilmu dipaham sbagai gerah yang diberikan Allah
kepada manusia. Artinya Ilmu secara pasti bisa diraih oleh manusia dengan
kebenara haki di dalamnya. Kebenaran-kebenaran itu akan membawa manusia ke
tahap ma'rifatullah (pengenalan Allah).

BAB V

Mendefinisikan dan Memetakan Ilmu dalam Islam

Tidak ada pernyataan yang lebih tepat mengenai peradaban Islam selain
pendapat Professor Rosenthal: peradaban yang di dalamnya ilmu berjaya. Ilmu
telah terbukti merupakan sebuah istilah budaya yang unik' sekaligus 'daya benah
yang paling efektif.' Ilmu merupakan unsur utama yang telah memberikan
peradaban Muslim bentuk dan coraknya yang khas. Bahkan, “tidak ada konsep yang
telah berjalan sebagai suatu penentu dari peradaban Muslim dalam segala seginya
sebagaimana 'ilm".

MENDEFINISIKAN ILMU

Oxford English Dictionary (yang pasti sudah disusun oleh sebuah tim
penulis terdidik yang cakap) mendaftar tiga arti untuk kata "ilmu": (i) informasi dan
kecakapan yang diperoleh melalul pengalaman atau pendidikan; (ii) keseluruhan
dari apa yang diketahui; (iii) kesadaran atau kebiasaan yang didapat melalui
pengalaman akan suatu fakta atau keadaan. Tampaknya jelas bahwa ilmu tidak
dapat didefinisikan tanpa menyertakan pendapat yang berputar-putar dan tautologi
(yaitu menyatakan ilmu adalah ilmu). Namun, ini tidak berarti bahu kita tidak bisa
membahas ilmu sama sekali. Barangkali karena alasan ini para filsuf tertarik
mendefinisikan daripada membahas beragam jenis ilmu. Maka, Bertrand Russell
membedakan ilmu akan sesuatu dan ilmu akan kebenaran.

Kemudian ia membagi-bagi apa yang disebut ilmu akan sesuatu menjadi


dua bagian: (i) ilmu berdasarkan pemerian dan (ii) ilmu berdasarkan pengenalan
Ada sejumlah hal yang kita tahu sebatas kita dengar atau baca dengan kata lain hal-
hal yang digambarkan pada kita. Sebagian besar ilmu kita masuk dalam kategori
pertama. Kita tahu bahwa jarak yang memisahkan matahari dari planet kita adalah
sekitar 150 juta kilometer tidak berdasarkan pengenalan langsung melainkan
penggambaran yang kita jumpai di buku-buku dan laporan ilmiah.

ILMU MENURUT ULAMA

Selama berabad-abad, ulama telah terus-menerus membahas ilmu secara


intensif dan ekstensif seperti benar-benar diakui oleh slapapun yang mengenal baik
melalui banyaknya kepustakaan yang membahas ini. Beragam definisi ilmu telah
dikemukakan oleh para teolog dan fuqaha, filsuf, dan para ahli bahasa." Demi
tujuan kita saat ini, akan dibahas empat definisi ilmu berikut ini.

Yang pertama diajukan oleh seorang pakar filologi al-Raghib al-Isfahani.


Dalam karyanya Kamus Istilah Quran ilmu didefinisikan sebagai "persepsi suatu
hal dalam hakikatnya" (al-'ilm idrak al-syay' bi haqiqatihi).

Definisi kedua diberikan oleh Hujjah al-Islam Imam al-Ghazali" yang


memerikan ilmu sebagai "pengenalan sesuatu atas dirinya (ma'rifah al-syay' 'alā mā
huua bihi),.Al-Syarif al-Jurjani dalam bukunya Ta'rifat mendefinisikan ilmu
sebagai tibanya akal pada makna sesuatu.15 Definisi ini dipertimbangkan oleh Ali
Celebi Qinalizadeh sebagai yang terbaik yang ia ketahui. Definisi inilah dan yang
lebih awal oleh Ibnu Sina dan al-Abhari yang Professor Syed Muhammad Naquib
al-Attas telah sintetiskan dalam monografnya berjudul the Concept of Education in
Islam. Menurutnya, ilmu paling tepat didefinisikan sebagai "tibanya makna dalam
jiwa sekaligus tibanya jiwa pada makna". Tidak semua ulama setuju dengan definisi
konseptual ilmi Mahaguru sufi asal Andalusia Ibnu Arabi, misalnya,
mendefinisikan ilmu sebagai penerimaan mental atas (ilmu tentang) segala hal
dalam batas dirinya apa adanya (tahsil al-qalb amran må ‘alā hall mi huwa 'alayki
dzālika al-amır),

MEMETAKAN ILMU

Ibnu Sina memilah lebih jauh sains alamiah menjadi dua kelompok:
"prinsip" dan "akibat". Delapan sains termasuk dalam kelompok prinsip: (i) fisika;
(ii) tentang langit dan alam semesta; (iii) kejadian dan kerusakan; (iv) tentang gejala
meteorologis; (v) tentang mineal; (vi) tentang tumbuhan; (vii) tentang hewan; dan
(viii) tentang jiwa/ruh. Sains alamiah akibat terdiri atas tujuh: (i) kedokteran; (ii)
astrologi (ilm ahkam al-nujum); (iii) fisiognomi (ilm al-firasah); (vi) oniromancy
('ilm al-ta'bir); (v) sains ajimat ('ilm al-talisman); (vi) theurgy atau sulap ('ilm al-
niranjiyyat); dan (vii) alkimia ('ilm al-kimya"). Sains matematika mencakup empat
bagian utama: (i) arimatika ('ilm al-'adad); (ii) geometri ('ilm al-handasah); (iii)
astronomi ('ilm al-hay'ah); dan (iv) musik ('ilm al-musiqä). Masing-masing dibagi
lebih lanjut: aritmatika menjadi seni hitung India dan aljabar; geometri menjadi
geodesi ('ilm al-masáḥah), rekayasa ('amal al-hiyal); optik ('ilm al-manazir wa al-
maraya), sains berat dan keseimbangan ('îlm al-awzán wa al-mawāzin), mekanika
('amal jarr al-atsqal) dan hidrolika ('ilm naql al-miyah); astronomi menjadi seni
membuat tabel astronomi dan kalender ('ilm al-zijat wa al-taqawim); dan musik
menjadi seni memainkan peralatan musik.

Metafisika dibagi menjadi lima bagian utama: (i) kajian konsep umum (al-
mawjúdát al-'ammah) atau ontolgi; (ii) prinsip dan dasar (al-uyúl wa al-mabadi')
sains; (iii) tentang Kebenaran Awal (al-Haqq al-Awwal); (iv) tentang zat spiritual
primer dan sekunder (al-jawāhir al-rūḥaniyyah); (v) tentang hubungan antara zat
langit dan bumi. Tiga bagian akibat mencakup penyelidikan atas sifat dan modalitas
wahyu (al-waly) dan inspirasi (al-ilham), gejala peristiwa ajaib (karāmāt wa
mu'jizat), sifat kenabian (nubuwwat), angelogi dan eskatologi ('ilm al-ma'ad)." Pada
bagian pengantar pada Ilahiyy (Metafisika) karyanya al-Syifa' Ibnu Sina membagi
sains menurut status ontologis hal-hal yang dikaji, sesuai dengan dua kelompok di
mana realitas yang mencakup semua hal yang wujud (al-asyy al-mawjūdah) dibagi-
bagi, yaitu: (i) yang wujud akibat selain atau di luar perbuatan dan kehendak kita
(laysa wujūduhu bi-ikhtiyārini wa fi'lina) dan (ii) yang wujud akibat perbuatan dan
kehendak kita (asyya' wujuduha bi-ikhtiyarina wa fi'lina).

KESIMPULAN

Kita tidak dapat melebih-lebihkan fakta bahwa peradaban Muslim dibangun


di atas ilmu dan dipenuhi oleh ilmu. Tulisan di atas dimaksudkan untuk
memberikan sekelumit besarnya rasa ketertarikan ulama yang telah
menunjukkannya dalam pembicaraan serius tentang ilmu dan mengungkapkan
sikap umum mereka terhadap sains. Apakah untuk tujuan didaktik atau pedagogik,
bibliografis, filsufis, atau agama, ulama mulai melakukan katalogisasi dan
pengelompokan bermacam disiplin sejak abad ke-3 Hijriah atau ke-9 Masehi. Tidak
diragukan lagi memiliki kesungguhan pada prinsip-prinsip dasar Islam, ulama salaf
cukup berwawasan luas untuk menyambut sains sains kuno dan asing-sikap terbuka
yang secara fasih diungkapkan oleh al-Kindi: "Kita seharusnya tidak malu
menghargai kebenaran dan memperolehnya dari mamapun asalnya, bahkan jika itu
berasal dari ras yang jauh dan bangsa yang berbeda dari kita."" Dihadapkan pada
sedemikian banyak rangkaian 'ulum al-awa'il, ulama mampu menyatukan sains-
sains yang diterima dari Yunani, Persia, dan India, seperti kedokteran, astronomi,
dan matematika ke dalam skema epistemik Islami. Proses penyaringan dan
pemilahan, pencetakan ulang dan pemurnian, sebelum asimilasi dan apropriasi
bahan-bahan keilmuan asing yang panjang dan rumit, inilah yang disebut
Islamisasi. Sesungguhnya, mengingat sedemikian banyaknya jumlah ilmu dan
informasi yang, kita dapatkan saat ini, pentingnya mendefinisikan dan memetakan
ilmu tidak lagi perlu dianggap berlebihan, kecuali kita salah mengira tembaga
sebagai emas dan kesesatan sebagai kebenaran.

Anda mungkin juga menyukai