Mendifinisakan Ilmu
Konsep ilmu dalam peradaban Islam sangat berbeda jauh dengan konsep
ilmu dalam peradaban Barat. Erbedaan pertama, ilmu dalam peradaban Islam
bersumber dari Allah dan karena pengajaran dari Allah. Karena ilmu bersumber
dari Allah (pencipta manusia dan alam semesta), maka ilmu dalam perspektif Islam
berakar pada keimanan dan pada akhirnya harus berbuah amal. Dengan demikian,
sumber ilmu dalam Islam juga menjadi berbeda, yaitu wahyu, akal, eksperimen,
dan intuisi./ Kedua tujuan ilmu juga sangat berbeda. Tujuan utama dari ilmu adalah
untuk mengenal Allah (maʼrifatullah), sebagai landasan beramal, membangun dan
memakmurkan kehidupan dunia, sebagai bekal untuk kehidupan akhirat, serta
menggapai kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Ketiga objek ilmu
tidak hanya alam fisik (al-syahadah), tapi mencakup alam metafisik (al-ghayb).
Keempat hal yang juga sangat unik mengenai konsep ilmu dalam Islam adalah
keterikatan yang erat antara empat unsur: ilmu, iman, motivasi dan amal.
Dalam bahasa Arab, 'ilm berasal dari akar kata 'ain-lam-mim. Bentuk
jamaknya adalah 'ulum. Secara bahasa, Ilmu menurut Zamakhayari-bermakna al-
syu'ür 'perasaan", atau al-'alamak 'tanda, atau al-simah 'ciri khas', atau ma yafsilu
bayna al-ardayn *sesuatu yang memisahkan antara dua tempat, atau mã yunṣabu fi
al-tariq yuhtada bihi'rambu yang dipasang di pinggir jalan sebagai petunjuk arah'.
Berdasarkan makna-makna di atas, makhluq 'ciptaan Allah' menurut al-
Zamakhsyari biasanya disebut àlam karena berfungsi sebagai tanda atau petunjuk
adanya Allah. Sementara ma'rifah secara bahasa berasal dari akar kata 'ain-ra'-fa'
yang menurut Al-Zamakhsyari bermakna penghargaan (apresiasi). Berasal dari akar
kata yang sama, 'arafa juga memiliki makna rafa'a 'mengangkat. Terkait dengan
makna tersebut, ma'rifah dimaknai tinggi, dimuliakan, dan baik.
Beberapa kata dalam Al-Qur'an yang masih memil bubungan dengan ilmu
adalah hikmah. Apa perbedaan istilah in dengan 'ilmi dan mar’rifah?
KESIMPULAN
BAB II
DEFINISI EPISTEMOLOGI
Seorang sufi yang memiliki pengaruh besar dalam dunia Islam, al-Ghazali,
berpendapat bahwa pengetahuan bisa didapatkan melalui (1) panca indra
(mengetahui panas dan dingin), (2) kemampuan identifikasi (mengetahui penyebab
panas), (3) rasio (mengetahui api membutuhkan oksigen), (4) supra-rasio
(mengetahui hal-hal gaib), dan (5) nubuwwah (mengetahui hal-hal gaib dari para
nabi).
Nasiruddin al-Tusi membagi pengetahuan menjadi empat jenis, yaitu (1) al-
ihsās (pengetahuan sensasi): deskripsi sesuatu yang nyata dan ada, menunjukkan di
mana, kapan, bagaimana, dan berapa; (2) al-khayal (pengetahuan imajinasi):
deskripsi sesuatu dengan karakteristiknya dalam keadaan ada maupun tidak ada; (3)
al-tawahhum (pengetahuan asumsi): pengetahuan makna tanpa sensasi dan
partikular; dan (4) al-ta'aqqul (pengetahuan nalar): pengetahuan hakikat sesuatu dan
zatnya.
KESIMPULAN
Epistemologi Islam tidak pernah terlepas dari ketuhanan, berbeda dengan
epistemologi Barat yang sebagian sampai melepas dan meniadakan prinsip-prinsip
ketuhanan. Sebenarnya masih banyak pembahasan epistemologi Islam yang bisa
dibahas pada bab ini, tetapi pembahasan mendalam akan lebih detail pada bab bab
selanjutnya.
BAB III
Kata ilmuwan saat ini identik bagi mereka yang memiliki gelar akademik,
telah menempuh jenjang tinggi dalam pendidikan formal, dan yang telah
menghasilkan berbagai penemuan yang dimanfaatkan oleh banyak orang. Hal
tersebut tidak salah karena dalam mencapai gelar akademik dan membuat
penemuan diharuskan untuk membaca banyak buku, melakukan berbagai riset, dan
membutuhkan waktu yang lama. Akan tetapi, jika kita amati lebih dalam, ilmu-ilmu
yang dihasilkan telah diwarnai oleh berbagai motif, sehingga hasil dari ilmu
tersebut tidak seluruhnya membawa manfaat bagi umat manusia.
Akal tidak bisa dilepaskan dari dogma ajaran Islam yang mengedepankan
asas berpikir. Allah telah memberi perumpamaan bagi seseorang yang tidak mau
menggunakan akalnya. Mereka lebih rendah dari makhluk yang hina dan tuli.
Kecerdasan yang lahir dari akal sehat manusia akan berdampak kepada hikmah,
membawa manfaat bagi umat manusia, dan tidak bertentangan dengan asas
keadilan. Maka dari itu, Allah memerintahkan umat manusia untuk selalu melihat
tanda-tanda kekuasaan-Nya di bumi dengan akalnya.
Kecerdasan yang lahir dari akal sehat juga akan menghindarka unat manusia
dari hal-hal buruk dan bencana. Penggunaan landasan yang didasarkan atas ego
telah diperingatkan Alla akan membawa perpecahan serta berujung pada kezaliman
dan kesengsaraan. Kecerdasan pikiran dalam Islam juga akan menjauhkan manusia
dari kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan
Hidup bukanlah beban, melainkan sebuah tanggung jawab yang kelak akan
dihisab oleh Allah terkait bagaimana kita menjalaninya. Maka dari itu, seorang
Muslim harus mandiri dan bekerja agar mudah menjalani hidup. Secara tidak
langsung, umat Islam harus memiliki berbagai keterampilan yang menunjang
kesejahteraannya serta mejauhkan diri dari kebiasaan meminta minta dan
menyandarkan hidup pada pertolongan orang lain.
Maka dari itu, kesucian jiwa seseorang adalah salah satu tanda bahwa ilmu
yang ia pelajari telah sampai pada kebenaran sesuai syariat Islam.
KESIMPULAN
Ilmu dalam Islam memiliki tujuan membentuk pribadi seorang Muslim yang
mulia. Bahkan, ilmu akan meninggikan pemiliknya beberapa derajat. Agar tujuan
itu tercapai, ilmu yang diperoleh harus benar dan sesuai dengan panduan Islam.
Selain itu, ilmu yang diperoleh juga harus dipergunakan dengan benar agar
tidak berubah menjadi pangkal kerusakan dan kezaliman di muka bumi. Karena itu,
ilmu harus didasari dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah agar membawa
manfaat bagi seluruh umat manusia.
BAB IV
Pradigma Pengetahuan
Oleh karena itu, tidak layak bagi siapapun untuk mengatakan bahwa ia
adalah pemegang kebenaran mutlak. Keraguan dipahami sebagai lawan kata dari
keyakinan. Dalam Routledge Encyclopedia, bahwa keraguan (doubt) adalah "a state
of indecision or hesitancy with respect to accepting or rejecting a given proposition.
Thus, doubt is opposed to belief. But doubt is also contrasted with certainty/", atau
secara sederhana, keraguan diartikan sebagai kebimbangan antara. menerima atau
menolak sebuah fakta. Ia bersifat tidak yakin atau tidak pasti. Kesimpulan akan
keraguan ini bisa diatasi dengan melakukan pembuktian secara ilmiah, meski
kemudian bahwa kebenaran hasil pembuktian ini juga tidak serta merta membawa
pada keyakinan karena fakta kebenaran tersebut masih bisa disalahkan bila memang
menemukan fakta lain yang membantahnya.
Keraguan dalam mencapai kebenaran ini bisa dilacak akar sejarahnya pada
masa Yunani Kuno yang dipelopori oleh kaum sofis ketika mereka bersikap bahwa
"man is the measure of all things". Sejak saat itu, kebenaran diyakini bersifat
subjektif. Subjektivitas inilah yang kemudian diyakini menjadikan kebenaran
bersifat relatif. Relativitas kebenaran dipahami bahwa kebenaran akan sebuah objek
tidaklah menunjukkan kondisi sebenarnya dari objek tersebut, tetapi telah
dipengaruhi oleh subjektivitas manusia yang menilainya. Akhirnya, hasil
kesimpulan tentang sebuah objek bisa berbeda-beda, dan itu semua dianggap benar.
Maka, kebenaran pun bersifat relatif. Jadi, tidak salah bila Muthahari mengatakan
bahwa pemikiran kaum sofis yang dulu pernah ada di zaman Yunani Kuno kini
menjelma kembali di zaman modern. Pasalnya, mayoritas filsuf Eropa di zaman ini
memiliki kecenderungan pada skeptisisme. Sebagian filsuf, sebagaimana kaum
sofis, secara prinsip mengingkari realitas.
• Pertama, apa yang diamati ada merupakan manifestasi dari apa yang diamati
oleh pengamat. Artinya, kebenaran akan adanya sebuah objek merupakan
hasil kehadiran pengamat dalam mengamati objek tersebut. Maka, tidak
dibenarkan adanya sebuah objek bila pengamat tidak hadir di lokasi objek.
• Kedua, objek yang diamati adalah benar bagi pengamat. Artinya, kebenaran
pengamat tersebut bisa dianggap salah bagi orang lain.
• Ketiga, kebenaran itu identik dengan apa yang diamati dan berhubungan
dengan kondisi fisik pengamat, sehingga dengan demikian kebenaran itu
bersifat subjektif.
• Keempat, subjetivitas itu juga berhubungan dengan kualitas indra
pengamat. Artinya, kualitas indra seorang pengamat bisa jadi menghasilkan
temuan yang berbeda dengan pengamat lain.
• Kelima, kebenaran tidak akan terlepas dari perspektif pengamat tentang
kebenaran. Jadi, ketika orang lain memiliki perspektif kebenaran yang
berbeda, tidak diperkenankan bagi seorang pengamat memaksakan
kebenaran dirinya.
• Keenam, kebenaran dengan demikian bersifat "masing-masing", sehingga
siapapun berhak untuk mengkritisi dan tidak diperbolehkan untuk
mengatakan seseorang benar dan mengatakan yang lain salah.
• Ketujuh, bahwa kebenaran akhirnya dipahami sebagai kesepakatan umum.
Jika kesepakatan umum tersebut berubah dalam menilai kebenaran awal,
maka kebenaran tersebut mau tidak mau harus dianggap salah. Akibatnya,
yang salah di awal bisa menjadi benar di akhir.
EPISTEMOLOGI POSITIVISME
Mengingat objek sains hanya dikenali dalam obji positivisme positif, Comte
kemudian menjelaskan istilah-istil positif dari objek itu sendiri. Dalam bukunya,
Mohammad Mus menyampaikan bahwa Comte memberikan pengertian benda
positif dengan sesuatu yang dapat dilihat atau diamati (observable), yaitu dapat
diulang (repeatable), terukur (measureable), teru (testable), dan dapat diprediksi
(predictable).
POSITIVISME LOGIS
KESIMPULAN
BAB V
Tidak ada pernyataan yang lebih tepat mengenai peradaban Islam selain
pendapat Professor Rosenthal: peradaban yang di dalamnya ilmu berjaya. Ilmu
telah terbukti merupakan sebuah istilah budaya yang unik' sekaligus 'daya benah
yang paling efektif.' Ilmu merupakan unsur utama yang telah memberikan
peradaban Muslim bentuk dan coraknya yang khas. Bahkan, “tidak ada konsep yang
telah berjalan sebagai suatu penentu dari peradaban Muslim dalam segala seginya
sebagaimana 'ilm".
MENDEFINISIKAN ILMU
Oxford English Dictionary (yang pasti sudah disusun oleh sebuah tim
penulis terdidik yang cakap) mendaftar tiga arti untuk kata "ilmu": (i) informasi dan
kecakapan yang diperoleh melalul pengalaman atau pendidikan; (ii) keseluruhan
dari apa yang diketahui; (iii) kesadaran atau kebiasaan yang didapat melalui
pengalaman akan suatu fakta atau keadaan. Tampaknya jelas bahwa ilmu tidak
dapat didefinisikan tanpa menyertakan pendapat yang berputar-putar dan tautologi
(yaitu menyatakan ilmu adalah ilmu). Namun, ini tidak berarti bahu kita tidak bisa
membahas ilmu sama sekali. Barangkali karena alasan ini para filsuf tertarik
mendefinisikan daripada membahas beragam jenis ilmu. Maka, Bertrand Russell
membedakan ilmu akan sesuatu dan ilmu akan kebenaran.
MEMETAKAN ILMU
Ibnu Sina memilah lebih jauh sains alamiah menjadi dua kelompok:
"prinsip" dan "akibat". Delapan sains termasuk dalam kelompok prinsip: (i) fisika;
(ii) tentang langit dan alam semesta; (iii) kejadian dan kerusakan; (iv) tentang gejala
meteorologis; (v) tentang mineal; (vi) tentang tumbuhan; (vii) tentang hewan; dan
(viii) tentang jiwa/ruh. Sains alamiah akibat terdiri atas tujuh: (i) kedokteran; (ii)
astrologi (ilm ahkam al-nujum); (iii) fisiognomi (ilm al-firasah); (vi) oniromancy
('ilm al-ta'bir); (v) sains ajimat ('ilm al-talisman); (vi) theurgy atau sulap ('ilm al-
niranjiyyat); dan (vii) alkimia ('ilm al-kimya"). Sains matematika mencakup empat
bagian utama: (i) arimatika ('ilm al-'adad); (ii) geometri ('ilm al-handasah); (iii)
astronomi ('ilm al-hay'ah); dan (iv) musik ('ilm al-musiqä). Masing-masing dibagi
lebih lanjut: aritmatika menjadi seni hitung India dan aljabar; geometri menjadi
geodesi ('ilm al-masáḥah), rekayasa ('amal al-hiyal); optik ('ilm al-manazir wa al-
maraya), sains berat dan keseimbangan ('îlm al-awzán wa al-mawāzin), mekanika
('amal jarr al-atsqal) dan hidrolika ('ilm naql al-miyah); astronomi menjadi seni
membuat tabel astronomi dan kalender ('ilm al-zijat wa al-taqawim); dan musik
menjadi seni memainkan peralatan musik.
Metafisika dibagi menjadi lima bagian utama: (i) kajian konsep umum (al-
mawjúdát al-'ammah) atau ontolgi; (ii) prinsip dan dasar (al-uyúl wa al-mabadi')
sains; (iii) tentang Kebenaran Awal (al-Haqq al-Awwal); (iv) tentang zat spiritual
primer dan sekunder (al-jawāhir al-rūḥaniyyah); (v) tentang hubungan antara zat
langit dan bumi. Tiga bagian akibat mencakup penyelidikan atas sifat dan modalitas
wahyu (al-waly) dan inspirasi (al-ilham), gejala peristiwa ajaib (karāmāt wa
mu'jizat), sifat kenabian (nubuwwat), angelogi dan eskatologi ('ilm al-ma'ad)." Pada
bagian pengantar pada Ilahiyy (Metafisika) karyanya al-Syifa' Ibnu Sina membagi
sains menurut status ontologis hal-hal yang dikaji, sesuai dengan dua kelompok di
mana realitas yang mencakup semua hal yang wujud (al-asyy al-mawjūdah) dibagi-
bagi, yaitu: (i) yang wujud akibat selain atau di luar perbuatan dan kehendak kita
(laysa wujūduhu bi-ikhtiyārini wa fi'lina) dan (ii) yang wujud akibat perbuatan dan
kehendak kita (asyya' wujuduha bi-ikhtiyarina wa fi'lina).
KESIMPULAN