BAB V
TAUHID SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
A. Pendahuluan
Islam yang memiliki pondasi berupa tauhid (mengesakan Tuhan) dan ilmu
pengetahuan adalah dua hal yang seharusnya tidak boleh dipisahkan oleh umat
Muhammad. Islam adalah agama yang akan membawa manusia menuju akhir yang baik
dari perjalanan seorang manusia. Sedangkan ilmu pengetahuan sebagai sarana untuk
mengeksplore, menggali kekayaan yang tersembunyi di bumi ini.
Para pemikir Islam, telah mengambil sikap untuk memadukan antara Islam dan ilmu
pengetahuan, yang diantara tujuannya adalah mengIslamkan ilmu pengetahuan moderen
dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains pasti alam
dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin
harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya.
Gagasan untuk memadukan Islam dengan ilmu pengetahuan telah tertuangkan secara
sistematis dalam sebuah proyek besar yang disebut sebagai “Islamisasi Ilmu
Pengetahuan”. Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization of knowledge) merupakan
sebuah ide atau gagasan yang muncul pada sekitar awal tahun 80-an. Ide atau gagasan ini
pertama kali dicetuskan oleh Syed Naquib al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail R. al-
Faruqi.
Dalam pandangan al-Faruqi berkenaan dengan langkah-langkah dalam Islamisasi ilmu
pengetahuan, dia mengemukakan ide Islamisasi ilmunya berlandaskan pada esensi tauhid
yang memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan harus mempunyai kebenarannya. Al-Faruqi
menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran
metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah; Keesaan Allah,
Kesatuan alam semesta, Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan, Kesatuan
hidup, Kesatuan umat manusia.
Demikian juga halnya dengan konsep klasifikasi tauhid yang dilakukan oleh
Muhammad ‘Abduh yang cenderung mengacu kepada konsep ontologi tauhid yang
melekat pada diri Tuhan semata dengan formulasi tauhid rububiyah wa tauhid al-asma’
6
wa al-shifat. Namun kedua konsep tersebut tidak membumi kepada bahasan yang
implementatif dalam tataran dimensi kehidupan manusia sebagaimana yang dikaji oleh
al-Faruqi, tauhid menurutnya adalah pandangan umum tentang realitas, kebenaran,
dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia yang mencakup prinsip dualitas,
ideasionalitas, teologi, kemampuan manusia dalam pengolaham alam dan tanggung
7
jawab penilaian.
Kadang-kadang seluruh kebudayaan, seluruh peradaban, atau seluruh sejarah
terpadatkan dalam satu kalimat. Inilah kasus dalam kalimat atau syahadat (kesaksian)
Islam. Semua keanekaragaman, kekayaan dan sejarah, kebudayaan dan pengetahuan,
kearifan dan peradaban Islam terpadatkan dalam kalimat pendek ”La ilaha illallah”.
Ilmu ini dinamakan Ilmu Tauhid karena pembahasannya yang paling menonjol adalah
tentang ke-Esaan Tuhan yang asas pokok agama Islam, sebagaimana yang berlaku
8
terhadap agama yang benar yang telah di bawa oleh para rasul yang di utus Allah.
Kata tauhid di-Indonesiakan menjadi “tauhid”, bukanlah kata yang asing bagi
seorang yang beragama Islam. Secara etimologis, tauhid berasal dari kata wahhada-
yuwahhidu-tauhidan yang berarti esa, keesaan, atau mengesakan, yaitu menegaskan
bahwa Allah meliputi seluruh pengesaan. Dalam makna generiknya, digunakan pula
untuk arti kata dalam bahasa Arab tauhidul quwwah, yang bermakna “mempersatukan
9
segenap kekuatan”.
Tauhid (sebagai ekspresi iman), tidak cukup hanya percaya kepada Allah, tetapi
juga percaya bahwa Dia sebagai pencipta langit dan bumi dan segala makhluk dan apa
yang ada didalamnya. Tauhid yang benar juga mencakup pula pengertian yang benar
tentang siapa Dia dan bagaiamana bersikap kepada-Nya serta kepada obyek-obyek
selain Dia. Selanjutnya, asal makna Tauhid merupakan bagian terpenting yang
menetapkan sifat “wahdah” (satu) bagi Allah dalam zat-Nya dan dalam perbuatan-Nya
di dalam menciptakan alam seluruhnya dan bahwa Dia sendiri pula tempat kembali
10
segala alam ini dan penghabisan segala tujuan.
2. Ilmu
Imam al-Mahalli mendidefinisikan sebagai “pengetahuan tentang sesuatu
11
sebagaimana hakikatnya”. Beliau mencontohkan ilmu ini seperti pengetahuan
seseorang yang mendefinisikan manusia sebagai “hayawan an-nathiq” (hewan
berakal).
Kamus Istilah Qur’an al-Raghib al-Isfahani mendefinisikan ilmu sebagai “persepsi
12
suatu hal dalam hakikatnya”. Dalam “Hujjat-al-Islam” Imam al-Ghazali mengatakan
13
ilmu sebagai “pengenalan sesuatu atas dirinya”. Ahli logika Athir al-Din al-Abhari,
14
baginya ilmu adalah menghampirnya “gambar” suatu benda dalam pikiran. Al-Sharif
al-Jurjani dalam bukunya Ta’rifat mendefinisikan ilmu sebagai tibanya minda pada
15
makna sesuatu. Definisi ini dipertimbangkan oleh Ali Celebi Qinalizadeh sebagai yang
16
terbaik yang ia ketahui. Definisi inilah yang lebih awal oleh Ibnu Sina dan al-Abhari
yang Professor Syed Muhammad Naquib al-Attas telah sintesiskan dalam monografnya
berjudul The Concept of Education in Islam. Menurutnya, ilmu paling tepat didefinisikan
17
sebagai tibanya makna dalam jiwa sekaligus tibanya jiwa pada makna. Satu hal yang
menjadi jelas dalam definisi gabungan ini; ilmu adalah tentang makna. Benda, fakta
atau peristiwa apapun dikatakan diketahui oleh seseorang jika ia bermakna baginya.
Dari pengertian tersebut, bisa kita pahami bahwa yang disebut sebagai ilmu
dalam Islam ialah pengetahuan tentang sesuatu menurut hakikatnya, atau dalam istilah
mantiq, ialah pengetahuan yang berasal dari “natijah” tepat dari “muqaddimah kubra”
(premis mayor) dan “muqaddimah shughra” (premis minor) yang sama-sama tepat
pula. Adapun yang dijadikan sebagai alat untuk menganalisa ketepatan pengetahuan
tersebut ialah akal yang sehat. Lebih lanjut, dalam ilmu manthiq disebutkan bahwa
sebuah pengetahuan dapat dikategorikan sebagai “ilmu” ialah ketika diiringi dengan
18
sebuah keyakinan.
Perintah yang sangat mendasar yang terdapat dalam ajaran Islam adalah mengesakan
Tuhan dan cegahan melakukan tindakan syirik. Tauhid dan syirik adalah dua sisi yang tidak
dapat dipisahkan, meskipun antara yang satu dengan yang lainnya sangat berbeda. Dalam
Al-Qur’an (Q.S Al-Ikhlas [112]: 1-4).
Tauhid mendorong manusia untuk menguasai dan memanfaatkan alam karena sudah
ditundukkan untuk manusia, perintah mengesakan Tuhan dibarengi dengan cegahan
mempersekutukan Tuhan, jika manusia mempersekutukan tuhan berarti ia dikuasai oleh
alam, padahal manusia adalah yang harus menguasai bumi karena bumi telah ditundukkan
21
oleh Allah.
Pengetahuan dalam pandangan Islam sebenarnya hanya satu. Untuk kepentingan
pendidikan, pengetahuan yang satu itu harus diklasifikasikan; klasifikasi garis besar ialah:
pengetahuan yang diwahyukan dan pengetahuan yang diperoleh.
Ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah
teori. Maka isi ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan; ilmu pendidikan Islam
22
merupakan kumpulan teori tentang pendidikan berdasarkan ajaran Islam.
Konsekuensi dari tauhid adalah bahwa manusia harus menguasai alam dan haram
tunduk kepada alam. Menguasai alam, berarti menguasai hukum alam, dan dari hukum
alami ini, ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan. Sebaliknya, syirik berarti tunduk
kepada alam (manusia dikuasai oleh alam). Dimana akan melahirkan kebodohan,
kemiskinan, dan keterbelakangan. Jadi, terdapat hubungan timbal balik antara tauhid
dengan dorongan pengembangan ilmu pengetahuan, juga ada hubungan timbal balik antara
syirik dengan kebodohan.
Tauhid sebagai landasan pijak pengembangan sains dapat dilacak pada terbentuknya
geneologinya konsepsi tentang Tuhan dalam pengertian yang spesifik. Bahwa Tuhan adalah
pengetahuan tantang alam semesta sebagai salah satu efek tindak kreatif ilậhi.
Pengetahuan tentang hubungan antara Tuhan dan dunia, antara pencipta dan ciptaan, atau
antara prinsip Ilahi dengan manifestasi kosmik, merupakan basis paling fundamental dari
23
kesatuan antara sains dan pengetahuan spiritual.
Berilmu pengetahuan menurut Islam lalu sama dan sebangun maknanya dengan:
menyatakan ketertundukan pada tauhid dan elaborasi pemahaman secara sainstifik
terhadap dimensi-dimensi kosmik alam semesta. Itulah sebabnya Al-Qur’an kemudian
24
berperan sebagai sumber inteleketualitas dan spiritualitas Islam.
Al-Qur’an berfungsi sebagai basis bukan hanya bagi agama dan pengetahuan spiritual,
tetapi bagi semua jenis pengetahuan. Al-Qur’an sebagai kalam Allah merupakan sumber
utama inspirasi pandangan Muslim tentang keterpaduan sains dan pengetahuan spiritual.
Gagasan keterpaduan ini bahkan merupakan konsekuensi dari gagasan keterpaduan semua
jenis pengetahuan.
wahyu tidak dikategorikan ilmiah. Semua jenis pengetahuan, apakah itu yang logis-empiris,
apalagi yang sifatnya wahyu (revelational), diakui sebagai sesuatu yang ilmiah. Dalam
khazanah pemikiran Islam yang dikenal hanya klasifikasi (pembedaan) atau diferensiasi
25
(perbedaan), bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat.
Menurut al-Faruqi eksistensi sains tidak bisa dipisahkan dari identitas ajaran Islam itu
sendiri, atau katakanlah Islam telah mengidentifikasi diri dengan pengetahuan. Islam
menganggap proses pencarian ilmu pengetahuan merupakan bagian dari ibadah. Perintah
al-Qur’an dan Hadits jelas bahwa Muslim wajib mencari ilmu pengetahuan dan
mengembangkannya baik secara metodelogis maupun praksis. Di kalangan Muslim terdapat
beberapa ilmu yang disebut dengan al-‘ulum as-syar’iyyah, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan aspek keagamaan yang menjadi dasar dalam rangka memahami wahyu (ilmu
26
bahasa, ilmu al-Qur’an, ilmu Hadits dan ilmu Syari’at).
Ilmu bahasa merupakan kunci menuju data wahyu, teks maupun makna. Ilmu al-Qur’an
berkisar pada teks firman Allah yang verba, tata bahasa, sintaks, dan leksikologinya. Ilmu ini
juga berkisar pada teks sejarah kontemporer sebagai konteks situasional wahyu, dan makna
tersurat atau tersirat teks. Sementara ilmu hadits berkenaan dengan sunnah Nabi
Muhammad Sallallahu’alaihi wasallam sebagai penjelas, teladan, dan perwujudan makna al-
Qur’an. Ilmu hadits juga membahas persoalan menentukan keakuratan hadits dan teksnya.
Dan ilmu syari’at berupaya menentukan perintah-perintah Islam dan menerjemahkannya ke
dalam perundang-undangan. Ilmu syari’at menentukan institusi maupun metodologi untuk
27
pelaksanaan syari’at.
Pemikiran mengenai pembagian ilmu sebagaimana yang dikemukakan al-Faruqi,
sesungguhnya merupakan fenomena intelektual yang telah lama muncul dan berkembang
dikalangan para ulama filosof Muslim selama berabad-abad. Dalam berbagai ilmu dan
perspektif intelektual yang dikembangkan dalam Islam memang mempunyai suatu hierarki,
artinya pemilahan yang pokok dan utama, dan mana yang tidak pokok. Tetapi hierarki
tersebut akhirnya bermuara pada pengetahuan “yang maha Tunggal” sebagai subtansi
segenap ilmu. Inilah yang menjadi alasan para ilmuwan Muslim berusaha mengintegrasikan
ilmu-ilmu yang semula dikembangkan peradaban-peradaban lain ke dalam skema hierarki
28
ilmu pengetahuan menurut Islam.
Tidak mengherankan apabila alasan tentang integrasi ilmu pengetahuan tersebut
menjadi bagian perhatian utama dari para cendekiawan Muslim ataupun Ulama, pemikir,
filosof dan ilmuwan dari sejak al-Kindi, alFarabi, Ibnu Sina, sampai al-Ghazali, Nasrul al-Din
atl-Thusi dan Mulla Shadra sangat peduli dengan klasifikasi ilmu-ilmu. Klasifikasi mereka
sangatlah berbeda dengan klasifikasi ilmu pada masa kekinian yang dibagi menjadi dua
bagian yakni ilmu agama dan ilmu umum. Namun para Ilmuwan Muslim di masa awal-awal
membagi ilmu-ilmu kepada dua bagian yang esensinya tidak dapat dipisahkan. Pertama, al-
‘ulum annaqliyyah, yakni ilmu-ilmu yang disampaikan Tuhan melalui wahyu, namun
melibatkan penggunaan akal. Yang kedua adalah al-‘ulum al-‘aqliyyah, yakni ilmu-ilmu
intelek yang diperoleh hampir spenuhnya melalui penggunaan akal dan pengalaman
empiris. Kedua bentuk ilmu ini secara bersama-sama disebut al-‘ulum hushuliyah, yaitu ilmu-
ilmu perolehan. Istilah terakhir ini digunakan untuk membedakan ilmu-ilmu (ma’rifah) yang
29
diperoleh melalui ilham (kasyf). Seperti Ibnu Sina dalam bukunya al-Syifa’. Ia membagi
ilmu menjadi dua yaitu falsafah teoritis (untuk meluruskan berfikir) dan falsafah praktis (untuk
30
meluruskan perbuatan).
Dalam falsafah teoritis, Ibnu Sina membagi menjadi tiga macam ilmu. Ilmu tabi’i yaitu
ilmu paling bawah, kemudian ilmu matematika yang disebut ilmu pengetahuan, dan ilmu
ketuhanan yang dianggap sebagai ilmu tertinggi. Sedangkan falsafah praktis, terbagi pula
menjadi tiga. Pertama, ilmu akhlak (tingkah laku). Kedua, ilmu yang mengatur rumah tangga.
Ketiga, ilmu politik. Menurut Ibnu Sina bahwa semua cabang falsafah praktis kan terlaksana
31
apabila didasarkan pada pemikiran akal dan petunjuk syari’at.
Sementara Al-Ghazali membagi ilmu dari aspek ghard (tujuan/kegunaan) pada
syar’iyyah dan ghair syar’iyyah. Syar’iyyah yang dimaksudkan al-Ghazali adalah ilmu yang
berasal dari Nabi Sallallahu’alaihi wasallam, sedangkan ghair syar’iyyah adalah yang
dihasilkan oleh akal seperti ilmu hitung, dihasilkan oleh eksperimen seperti kedokteran atau
32
yang dihasikan oleh pendengaran seperti ilmu bahasa. Tidak jauh berbeda dengan Ibnu
Taimiyah, Ia membagi ilmu dari aspek sama dengan pola yang sama. Hanya saja
penisbahannya, syar’iyyah dan ‘aqliyyah. Syar’iyyah yang dimaksudkan Ibn Taimiyah adalah
berurusan dengan persoalan agama dan ketuhanan, adapun aqliyyah adalah yang tidak
33
diperintahkan oleh syara’ dan tidak pula diisyaratkan olehnya.
Dalam hierakinya, kedua Ulama tersebut memberlakukan hukum fardhu ‘ain dan fardhu
kifayah. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa fardhu ‘ain adalah yang berkaitan dengan
kewajiban dan larangan yang ditujukan kepda setiap individu. Al-Ghazali menjabarkannya
34
sebagai pokok-pokok ‘aqidah, ‘ibadah dan suluk/akhlak. Sementara farhdu kifayah adalah
selebihnya dari itu. Dalam hierarki yang disusun Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ilmu
aqidah menduduki ilmu tingkatan pertama. Ilmu syari’at yang berkaitan dengan individu,
berupa perintah larangan (halal dana haram) yang ditujukan ke setiap individu sebagai
tingkatan kedua. Menghafal, memahami dan mengamalkan Qur’an sebagai tingkatan ketiga.
Dan tingkat terakhir adalah ilmu lainnya yang diperlakukan oleh masing-masing individu, dan
35
sifatnya relatif tergantung pada keperluan individu tersebut.
Klasifikasi dan hierarki ilmu-ilmu seperti yang dijelaskan sebelumnya sangatlah penting
untuk diterapkan agar tidak terjadi “kekacauan ilmu” selain itu klasifikasi ilmu-ilmu keislaman
mempertegas bahwa cakupan ilmu dalam Islam sangat luas, meliputi urusan duniawi dan
ukhrawi. Yang menjadi batasan ilmu dalam Islam adalah; bahwa pengembangan ilmu harus
dalam bingkai tauhid dalam kerangka pengabdian kepada Allah, dan untuk kemaslahan
umat manusia. Dengan demikian, ilmu bukan sekedar ilmu, tapi ilmu untuk diamalkan. Dan
ilmu bukan tujuan, melainkan sekedar sarana untuk mengabdi kepada Allah dan
kemaslahatan umat.
Ke-49 kata yang berasal dari ‘aql di atas tersebar dalam 30 surat dan 49 ayat, sesuai
37
dengan konteksnya masing-masing. Berdasarkan penggunaan kata ‘aql dalam berbagai
susunannya dapat dijelaskan beberapa penggunaannya, yang diantaranya adalah sebagai
berikut:
38
1. Digunakan untuk memikirkan dalil-dalil dan dasar keimanan.
2. Digunakan untuk memikirkan dan memahami alam semesta, serta hukum-hukumnya
39
(sunatullah).
40
3. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap peringatan dan wahyu Allah.
4. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap proses sejarah keberadaban umat
41
manusia didunia.
42
5. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap kekuasaan Allah.
6. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap hukum-hukum yang berkaitan dengan
43
moral.
44
7. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap makna ibadah, semacam shalat.
Dari 49 ayat menggunakan kata ‘aql tersebut diatas dapat ditarik pengertian bahwa ‘aql
dipakai untuk memahami berbagai obyek yang riil maupun abstrak, dan yang bersifat
empiris sensual sampai empiris transendental. ‘Aql digunakan untuk memikirkan hal-hal
yang kongkrit seperti sejarah manusia, hukum-hukum alam (sunnatullah). Juga digunakan
untuk memikirkan hal yang abstrak seperti kehidupan di akhirat, proses menghidupkan
45
orang yang sudah mati, kebenaran ibadah, wahyu, dan lain-lain.
Akal itu mempunyai fungsi dan tugas moral. Yaitu bahwa akal adalah petunjuk bagi
manusia dan yang membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya. Akal dalam
pengertian islam bukan otak, tetapi daya berfikir yang terdapat pada jiwa manusia. Daya
yang digambarkan oleh Al-Qur’an yaitu memperoleh pengetahuan lewat alam sekitar. Akal
dalam pengertian inilah yang dikontrasikan dalam Islam dengan wahyu yang membawa
46
pengetahuan dari luar diri manusia yaitu dari Tuhan.
Pendapat Ibn Rusyd, agama didasarkan pada tiga prinsip yang mesti diyakini oleh
setiap muslim: eksistensi Tuhan, kenabian dan kebangkitan. Tiga prinsip ini merupakan
pokok masalah agama. Karena kenabian berdasarkan wahyu, maka filsafat akan selalu
berbeda dengan agama, bila tidak bisa dibuktikan bahwa akal dan wahyu bersesuaian.
Tetapi pada hakekatnya, bahwa antara filsafat dan agama tidaklah bertentangan, karena
dalam wahyu itu mengundang akal untuk memahaminya dan akal manusia dalam
memahami wahyu sering bertentangan. Karena masing-masing akal manusia itu mempunyai
47
tabiat dan kecenderungan sendiri.
aturan-aturan Allah. Sehingga antara science dan conscience merupakan satu kesatuan dan
totalitas yang bermuara pada jiwa rabbaniyyat. (QS. Ali Imran : 79).
Ketika mengembangkan dan menggali konsep teoritis dan praksis, semestinya tidak
hanya berhenti pada the fact tetapi juga the fact behind the fact, pada saat
mengemukakan makna ruhani atau metafisika pada setiap pernyataan fisika.
Prinsip Tauhidiyah ini, tidak memisahkan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai moral
religius. Antara ilmu dan etika, kesemuanya adalah satu kesatuan mutlak. Ilmu dan aktivitas
keilmuan merupkan manifestasi dari pengabdian manusia kepada Tuhan. Tidak ada batas
antara ilmu dan amal, tidak ada hijab antara ilmu dengan iman.
Implikasinya, seorang berilmu pengetahuan memiliki komitmen terhadap Tuhannya,
sekaligus menerima sepenuh hati hukum moral yang diberikan-Nya. Sehingga ia tumbuh
sebagai insan yang mencintai perdamaian, dapat hidup selaras, stabil dan berbudi, yakin
sepenuhnya akan kemurahan Tuhan yang tidak terbatas, keadilan-Nya yang tidak ada
tandingannya, dan hidup dalam harmoni dengan alam.
Dengan demikian, selain makhluq rasional, manusia adalah makhluq spritual, yang
mengapresiasikan “titah” Tuhan sebagai khalifah fil ardl, yang memiliki kekuasaan tidak
terbatas untuk mengontrol dan mengatur alam semesta berdasarkan otoritas Tuhan, yang
mampu menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya disetiap saat, dalam ketakjuban pada
keindahan, kedahsyatan dan keharmonisan alam semesta, yang mendasarkan setiap
aktivitasnya pada sinaran “nama-nama” Tuhan. Pemahaman interelasi antara Tuhan,
manusia, dan alam semesta, menjadi sebuah kesadaran mutlak bagi pendidikan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan.
G. Kesimpulan
Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan yang merupakan prinsip ketiga dari
lima prinsip proyek Islamisasi Ilmu pengetahuan adalah pijakan dasar dari konsep Keesaan
Tuhan dan Kesatupaduan Kebenaran Ilmu Pengetahuan.
Iman dalam Islam merupakan sebuah keyakinan yang membuat kebenaran iman sama
kukuhnya dengan kesaksian inderawi, bahkan lebih. Ini sangat berbeda dengan “iman”
kristen, dan beda pula dengan filsafat skeptisisme.
Keesaan Tuhan dan Kebersatupaduan Kebenaran ialah penegasan akan keesaan
Tuhan dan tunggalnya kebenaran yang berimplikasi pada pernyataan bahwa Tuhan itu satu,
dan tidak ada Tuhan selain-Nya. Antara kebenaran wahyu dan kebenaran akal tidak ada
saling bertentangan, bahkan saling melengkapi.
Daftar Pustaka
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan terjemahannya.
Abduh, Muhammad, 1992. Risalah al-Tauhid, cet. 7, Beirut-Lubnan : Dar Ihya al-‘Ulum
Achmad Al-Baiquni, Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Yogyakarta : PT. Dana Bakti
Prima Yasa
Ahmad Tafsir. 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Al-Faruqi, Ismail Raji, 1988. Tauhid, Terj. Rahmani Astuti. Bandung : Pustaka
Al-Faruqi, Lois Lamya, 1998. Atlas Budaya Islam; Menjelajah Peradaban Khazanah Gemilang,
Terj. Ilyas Hasan. Bandung : Mizan
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, 2004. Ihya Ulum al-Din.
Beirut : Dar al-kutub al-‘Ilmiyyah
Al-Mahalli, Jalaluddin, Syarh al-Waraqat. Surabaya : Al-Hidayah
Atang Abd. Hakim. 2009. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Harun Nasution, 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta : UI Press
Makrus, S. ThI, 2009. Berpikir Dengan "Jantung" (Studi Terhadap Relasi ‘Aql dan Qalb dalam Al-
Quran), Skripsi. Semarang: Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo
M. M. Syarif, M. A, 1994. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan
Osman Bakar, 1995. Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic
Science, terj. Yuliani Liputo dengan Judul “Tauhid dan Sains: Esensi tentang Sejarah dan
Filsafat Sains Islam”. Jakarta: Pustaka Hidayah.