Anda di halaman 1dari 15

Panca Indera Sebagai Sumber Ilmu

Dosen pengampuh:

Al Ustad Muhammad Abdul Aziz, S.H.I, M.Si.

Oleh :

Muhammad Genta Suryatama

402019326131

Zulfi Dian Assalam

402019326151

Abi Wahyudi

402019326082

Fakultas Syari'ah

Program Studi Hukum Ekonomi Syari'ah

Universitas Daarussalam Gontor kampus 6 Magelang

1440 H/2021 M
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam bahasa Arab, indera manusia disebut al-hāssah jamaknya adalah al-
hawwās maka panca indera disebut al-hawwās al-Khamsah.Diambil dari kata
‘hassa-yahussu’ bermakna juga ‘mengetahui’, ‘merasakan’, juga ‘menemukan’
melalui inderanya atau juga ‘persepsi inderawi’ atas benda-benda yang berelasi
dengan wujud fisik. Kata ‘persepsi’ merupakan kata serapan dari bahasa Inggris
‘perception’.Persepsi sendiri berarti apresiasi, cerapan, impresi, kesan, sensasi,
tanggapan, pemahaman, pengenalan, pengertian, atau rekognisi.
Sedangkan sumber dapat di definisikan menjadi dua golongan yg dimana
keduanya memiliki peranan penting dalam pengambilan sumber ilmu dari panca
indra itu sendiri yaitu definisi sumber menurut barat, dan definisi sumber
menurut islam.
1. Kajian pokok tentang sumber ilmu dalam perspektif Barat diwakili oleh tiga
madzhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme yg semuanya memiliki
tanggapan sendiri dalam mendefinisikan sumber itu sendiri.
2. Dan yang berikutnya adalah pendefinisian menurut islam,yang dimana
epistimoligi dalam islam tersandar pada al-qur’an. Melihat ayat-ayat Al-Qur’an
yang mengandung makna pertanyaan, maka ayat ini secara implisit tentu
memberikan anjuran agar seseorang mempelajari metode untuk mendapat suatu
pengetahuan.
Begitu pula dalam segi kedudukan perbedaan definisi jelas terlihat antara
keduanya. Islam, panca indera merupakan pemberian dari Allah yang akan
dipertanggungjawabkan bahkan di Hari Akhir nanti. Sedangkan epistemologi
Barat menganggap panca indera adalah sekedar kemampuan natural manusia
yang didapatnya. Tanggungjawab manusia akan panca indera, hanya terbatas
tanggungjawab hukum secara sosial maupun individual.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian dari panca indra itu?
2. Mengapa dalam pendefinisian sumber menurut islam selalu bersandar pada
Al-qur’an?
3. Bagaimana kedudukan panca indra dalam pengambilan sumber ilmu?
4. Jelaskan bentuk tanggung jawab umat islam terhadap panca indranya?
C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami pengertian dari panca indra.
2. Mengetahui dan memahami bahwa alqur’an menjadi landasan
pendefinisian sumber dalam islam.
3. Mengetahui dan memahami kedudukan panca indra dalam pengambilan
sumber ilmu.
4. Mengetahui dan memahami bentuk tanggung jawab umat islam terhadap
panca indranya.
BAB II
PANCA INDRA SEBAGAI SUMBER ILMU
A.Pengertian

Indra
Dalam bahasa Arab, indera manusia disebut al-hāssah jamaknya adalah al-
hawwās maka panca indera disebut al-hawwās al-Khamsah.Diambil dari kata
‘hassa-yahussu’ bermakna juga ‘mengetahui’, ‘merasakan’, juga ‘menemukan’
melalui inderanya atau juga ‘persepsi inderawi’ atas benda-benda yang berelasi
dengan wujud fisik. Kata ‘persepsi’ merupakan kata serapan dari bahasa Inggris
‘perception’.Persepsi sendiri berarti apresiasi, cerapan, impresi, kesan, sensasi,
tanggapan, pemahaman, pengenalan, pengertian, atau rekognisi.1
Indera sebagai sumber pengetahuan adalah pengetahuan yang diperoleh
manusia melalui kelima inderanya, yakni mata, hidung, perasaan (kulit), telinga
dan lidah. Pengetahuan inderawi juga disebut pengetahuan empiris. Dalam sejarah
epistemologi barat tokohnya adalah Roger Bacon, John Locke, David Hume dan
sejumlah pengikutnya.
Dalam aliran filsafat empirisme dijelaskan, bahwa inderalah yang merupakan
satu-satunya instrumen yang dapat menghubungkan kita dengan alam. Tanpa
indera, kemungkinan kita memandang alam ini tidak ada atau masih samar. Akal
sebagai sumber pengetahuan, tanpa melalui panca indera tidak dapat diresapi. Hal
ini sesuai apa yang dikatan John Locke, bahwa pada akal tidak ada sesuatu
sebelum itu ada pada alat indera.
Pengetahuan yang bersumber dari indera, diperoleh manusia sebagai
makhluk biotik, berkat inderanya ia mengatasi taraf hubungan yang semata-mata
fisik vital dan masuk dalam medan intensional, walaupun masih sangat sederhana.
Indera menghubungkan manusia dengan hal-hal yang konkrit material.

1
Taqiuddin Muhammad”Panca Indra Dalam Epistimologi Islam”tasfiah, hal 117,Vol. 4, No. 1,
Februari 2020 .
Indera sebagai sumber pengetahuan bersifat parsial, disebabkan perbedaan
indera satu dengan yang lain. Namun pengetahuan inderawi sangat dibutuhkan
karena merupakan pintu gerbang pertama untuk pengetahuan yang utuh.
Selanjutnya, untuk mengetahui jenis-jenis pengetahuan indera, perlu
dijelaskan jenis-jenis indera yang dimiliki manusia. Manusia terdiri dari Jasmani
dan Rohani, jasmani dalam tubuh manusia dilengkapi dengan faraj, hidung, mata,
perasaan (kulit), perut, tangan dan telinga.
Islam memandang, indera manusia terdiri dari indera dalam dan indera luar,
keduanya mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Fungsi indera sebagai sumber
pengetahuan terdiri dari :
1. Indera bersama yang berfungsi untuk menerima kesan-kesan yang
diperoleh panca indera luar dan diteruskan ke indera batin.
2. Indera penggambar berfungsi untuk melepaskan kesan-kesan yang
diteruskan ke indera bersama dari materinya.
3. Indera perangka yang berfungsi mengatur gambar yang telah dilepaskan
dari materi dengan memisah-misahkan dan menghubungkan satu sama
lain.
4. Indera penggarap yang bertugas menangkap arti yang dikandung
gambaran-gambaran itu.
5. Indera pengikat yang berfungsi untuk menyimpan arti yang ditangkap
oleh indera penggarap.
Dari proses penginderaan itu kiranya diambil suatu pengertian, bahwa
indera bersama membawa masukan dan kemudian diproses oleh ketiga indera
lainnya dikeluarkan untuk menjadi pengertian oleh indera pengikat.
Seperti halnya akal, indera juga mempunyai kelemahan. Pengalaman
merupakan pengetahuan yang telah samar dijadikan dasar bagi teori pengetahuan
yang sistematis. Sebuah teori yang menitik beratkan pada persepsi panca indera,
kiranya melupakan kenyataan bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan
tidak sempurna.
Walaupun indera sebagai sumber pengetahuan terbatas, namun
kedudukannya sebagai metode untuk memperoleh pengetahuan telah diakui oleh
Islam. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam QS. (al-Ghassiyah: 17-20).
Dalam hal ini al-qur’an mengajak manusia untuk menggunakan indra dan
akal secara bersamaan dalam pengamalan baik fisik ataupun metafisik karena
pada dasar nya keduanya ada untuk saling menyempurnakan.Ali Abdul Azhim
pernah berkata bahwa kedua sumber tersebut adalah satu kesatuan yg tak dapat di
pisahkan dan tidak dapat berdiri sendiri sebagaimana juga di jelaskan dalam
mazhab empiris dan rasionalisme.Allah selalu menyeru kepada hambanya agar
selalu menggunakan nikmat indra dan akal secara simultan.orang-orang yang
mengabaikan indra dan kalbunya maka akan tersesat dan jauh dari kebenaran.
BAB III
B. Defenisi Sumber Ilmu
Kata sumber dalam bahasa arabnya adalah (‫)مصدر‬, dengan jamaknya: (
‫)مصادر‬. Kata sumber atau “mashdar” dapat diartikan sebagai suatu wadah yang
dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Menurut Kamus
Bahasa Arab, ‫مصدر‬ diartikan sumber, asal, referensi, atau sumber pengambilan.
Kata ilmu berasal dari kata ‘ilm, yang berarti pengetahuan, lawan dari kata al-
jahl yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan. Kata ilmu juga disepadankan
dengan kata arab lainnya
yaitu ma’rifah (pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan),
dan syu’ur (perasaan). Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa sumber
atau mashdar adalah suatu tempat yang dari segala sesuatu digali atau diambil.
Berdasarkan hal tersebut, sumber ilmu adalah segala sesuatu yang menjadi tempat
digali dan diambilnya.2
Definisi sumber ini dapat di golongkan menjadi dua golongan yg dimana
keduanya memiliki peranan penting dalam pengambilan sumber ilmu itu sendiri
yaitu definisi sumber menurut barat, dan definisi sumber menurut islam.

Definisi sumber ilmu menurut barat


Kajian pokok tentang sumber ilmu dalam perspektif Barat diwakili oleh tiga
madzhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme, dan kritisisme.Madzhab
Rasionalisme dikaitkan filosof abad ke-17 dan 18, seperti Rene Descartes, Baruch
Spinoza, dan Gottfried Leibniz, yang sebenarnya berasal dari pemikiran filsafat
Yunani. Paham ini menyatakan bahwa pada hakikatnya ilmu itu bersumber dari
akal budi manusia.3
Definisi sumber ilmu menurut islam
Pengetahuan Islam yang lebih banyak berpijak pada al-Qur’an, untuk
melihat kerangka epistemologinya, bisa dicermati pada sebuah ayat yang
mengandung makna suatu pertanyaan, seperti kata kaifa pada beberapa ayat Al-
Qur’an, hal inilah yang meyakinkan adanya inspirasi tersebut. Kata kaifa tersebut
2
Abi Al-Fadlil Jamaluddin Muhammad bin Mukrim Ibn Mandlur, Lisan al-Arab,
(Beirut, Darul Shadr, 1990), Juz. 11, hlm. 458.
3
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik, (Jakarta, Erlanga, t.th), hlm. 103.
yang biasanya dipakai untuk mengajukan suatu pertanyaan yang berkaitan dengan
keadaan dan cara (method). Hal ini bisa dicermati seperti; dalam ayat Al-Qur’an
Surat Al-Mu’minun (40) ayat 82, dan Surat Al-Gasyiyah (88) ayat 17-20. Ayat-
ayat ini bukan hanya menjelaskan keadaan, melainkan mengandung sebuah
maksud yang disebut dengan metode. Sedangkan metode tercakup dalam bahasan
epistemologi.
Dapat disimpulkan bahwa epistimoligi dalam islam tersandar pada al-qur’an.
Melihat ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung makna pertanyaan, maka ayat ini
secara implisit tentu memberikan anjuran agar seseorang mempelajari metode
untuk mendapat suatu pengetahuan. Dengan demikian epistemologi yang
dimaksudkan dalam hal ini itu memiliki sandaran teologis Islam yang tertuang
dalam kitab suci al-Qur’an. Di mana secara implisit cara atau metode untuk
memperoleh pengetahuan itu benar adanya disinggung dalam kitab suci al-
Qur’an.  Bangunan epistemologi ini bisa dipelajari dan dicermati dalam satu
keilmuan Islam seperti dalam ilmu tasawuf, ilmu fiqih, ilmu kalam (teologi),
akhlak, dan filsafat Islam. Disiplin keilmuan ini semuanya selalu merujuk pada al-
Qur’an sebagai sumber (episteme) nya.
BAB IV
C. Batasan dan Kedudukan Panca Indera

Jika panca indera telah kita sebut sebagai sarana menuju pengetahuan, dan
dapat diketahui panca indera masihlah terbatas. Hal ini, karena tugas panca indera
adalah melakukan persepsi (ihsās) yang mana persepsi melalui indera adalah
bagian dari ‘mengetahui’ (idrāk) secara keseluruhan. Sehingga, al-Hifnī menyebut
bahwa mengetahui secara inderawi adalah idrāk al-hissī atau idrāk al-tabī’iy yang
merupakan tingkat pertama dari fase ‘mengetahui’ yang masih terdapat fase lain
seperti idrāk alkhayāl, idrāk al-wahm, hingga idrāk al-aqlī. Meski, masih terdapat
beberapa tingkatan dari idrāk itu sendiri; sesuai dengan obyek ‘pengetahuan’nya.4
Fakta itulah yang menuntut panca indera mendapat posisi penting dalam
epistemologi Islam. Meski memiliki beberapa hal yang menjadi batasan darinya.
Panca indera memungkinkan kita mendapatkan pengalaman inderawi, yakni
secara fisik dan empiris. Hal ini, dapat menunjukan kepada kita sebuah kebenaran.
Kita dapat menghitung, mengetahui warna, juga spesifikasi benda fisik di sekitar
kita. Para ulama muslim pun, turut menyatakan bahwa panca indera adalah salah
satu sarana atau saluran yang menghasilkan pengetahuan bagi manusia. Dengan
syarat, bahwa panca indera (pendengar, penglihat, pencium, perasa, dan peraba)
tersebut dalam kondisi yang sehat baik secara fisik maupun psikis (akal) nya.
Persepsi atau sensasi yang ditangkap melalui panca indera dapat diartikan
sebagai bagian dari ilmu atau ma’rifah. Sudah menjadi maklum adanya bahwa
panca indera pun memiliki batasan. Batas-batas tersebut disebabkan kapasitas
manusia sebagai makhluk yang temporal khususnya secara fisik bahkan juga
rasionya. Panca indera pun, disebut memiliki batasan karena ‘hanya mampu’
meng-indera hal-hal yang khusus. Mata tidak mampu mencium bau. Hidung tidak
mampu merasakan kasarhalusnya suatu benda. Dan lain sebagainya. sehingga,
merupakan pernyataan yang salah jika “saya akan beriman kepada Allāh jika saya
melihatnya”.5

4
Taqiuddin Muhammad”Panca Indra Dalam Epistimologi Islam”tasfiah,hal123, Vol. 4, No. 1,
Februari 2020.
5
Taqiuddin Muhammad”Panca Indra Dalam Epistimologi Islam”tasfiah,hal125, Vol. 4, No. 1,
Februari 2020.
Artinya, panca indera terbatas pada spesifikasi serta fungsi bahkan pula
kondisinya sehingga, hasil pengetahuan dari penginderaan manusia tidak dapat
dikatakan sebagai kesimpulan yang holistic mengingat keterbatasan atau
partikularitas panca indera di atas. Sehingga, beberapa obyek membutuhkan
bantuan akal untuk dapat diketahui secara ‘sempurna’. Dalam Islam, batasan
indera memang diakui sebagaimana adanya tingkatan dari ilmu pengetahuan.
Tingkatan ilmu pengetahuan, juga didasari akan obyek ilmunya. Dalam hal panca
indera misalnya hanya diperuntukkan untuk ‘mengetahui’ sesuatu berdasarkan
karakteristiknya yang terindera misalnya, panasnya api, dinginnya es, dan
sebagaimana dalam batasan di atas.
Hal ini lah yang di jadikan berbagai ulama’ dalam mendefinisikan sebuah
ilmu dengan panca indra.Yakni, relasi tentang subyek diketahui dengan
obyeknya,‘hakikat’ sesuatu serta urgensinya,‘mengetahui obyek secara
tepat’.Yang mana, perolehannya secara garis besar terbagi menjadi ilmu dari
Tuhan dan ilmu yang diperoleh melalui usaha manusia. Aspek ini, telah disepakati
secara epistemologis oleh berbagai ulama dalam disiplin ilmu,kemungkinan
manusia mengetahui melalui sarana panca indera, baik eksternal maupun internal
sebagaimana suatu ‘sebab dan akibat’ (cause and effect) dapat diketahui secara
logis maupun demonstratif.6
Namun, perbedaan mendasar dapat kita temukan dalam hal kedudukan
panca indera. Dalam Islam, panca indera merupakan pemberian dari Allah yang
akan dipertanggungjawabkan bahkan di Hari Akhir nanti. Sedangkan
epistemologi Barat menganggap panca indera adalah sekedar kemampuan natural
manusia yang didapatnya.Tanggungjawab manusia akan panca indera, hanya
terbatas tanggungjawab hukum secara sosial maupun individual.Selaras dengan
definisi sebelumnya tentang indera. Lebih jauh, {al-Rāzī dalam Mafātīh} al-
Ghayb menekankan bahwa ‘pertanggungjawaban’ dari panca indera; bukan hanya
perintah bagi umat Islam saja namun juga seluruh manusia.
Hakikat sesuatu menjadi penting untuk diketahui. Karena, ia bukan
semata-mata terbatas pada kondisi visual atau material yang bersifat inderawi;
melainkan juga menunjuk pada ‘penyebab utama’dari sesuatu tersebut. Sehingga,
6
Taqiuddin Muhammad”Panca Indra Dalam Epistimologi Islam”tasfiah,hal127, Vol. 4, No. 1,
Februari 2020.
segala wujud fisik yang berada di dunia, bukanlah menunjuk pada dirinya sendiri,
melainkan kepada Penciptanya; yakni Allah.
Karena itulah, wujud fisik tersebut seringkali diasosiasikan sebagai
ciptaan (khalq) Allāh; atau dalam bahasa sufi sebagai ‘tajalliyāt’ dari Allāh, yang
dijadikan sebagai āyat, atau disebut juga ‘alam yang berarti ‘pertanda’ akan
keberadaan Pencipta (Khāliq), yakni Allāh. 7 Dan segala āyat tersebut dapat kita
ketahui melalui panca indera yang normal dan sehat, dibantu dengan rasio yang
dipandu oleh wahyu.8
Hal tersebut, sangat rasional apabila kita kaitkan dengan keberadaan
berbagai ayat al-Qur’ān yang menegur penggunaan panca indera yang
menyimpang, sehingga terpalingkan dari memahami tanda-tanda kebesaran Allah.
Selanjutnya, hal inilah yang dijadikan pijakan oleh berbagai ulama tentang
definisi ilmu, yakni relasi tentang subyek yang ‘mengetahui’ dengan
obyeknya, yakni ‘hakikat’ sesuatu; serta urgensinya, yakni ‘mengetahui obyek
secara tepat’.
Yang mana, perolehannya secara garis besar terbagi menjadi 2; yakni ilmu
dari Tuhan dan ilmu yang diperoleh melalui usaha manusia. Aspek ini, telah
disepakati secara epistemologis oleh berbagai ulama dalam disiplin ilmu; yakni
kemungkinan manusia mengetahui melalui sarana panca indera, baik eksternal
maupun internal; sebagaimana suatu ‘sebab dan akibat’ (cause and effect) dapat
diketahui secara logis maupun demonstratif.9

7
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism..., 37-39. Lihat Ibn Arabī, Al-Futūhāt
Al-Makkiyah..., 41-43, 86-89. Lihat juga Seyyed Hossein Knowledge and The Sacred (Albany:
State University of New York Press, 1989), 134–135.
8
Iqbal, The Life and Work of Jalāl Al-Dīn Rūmī, 192–93. Lihat juga Ibn Arabī, Al-Futūhāt Al-
Makkiyah, Vol. 8, 92-93.
9
Ibid. Lihat juga Hamid Fahmy Zarkasyi, “Epistemological Implication of Al-Ghazzali’s Account
of Causality,” dalam Intellectual Discourse, (Malaysia: IIUM, 2018), Vol. 26, no. 1, 51–73.
Secara teknis, beberapa penjelasan mengenai definisi, karakteristik, serta
proses kinerja panca indera akan terlihat serupa mulai dari filsuf hingga ulama
dan saintis kontemporer. Bahkan, kita dapat menerima teori dan penjelasan
tentang cara kerja indera dalam pandangan sains kontemporer dari Barat. Namun,
perbedaan mendasar dapat kita temukan dalam hal kedudukan panca indera.

Dalam Islam, panca indera merupakan pemberian dari Allah yang akan
dipertanggungjawabkan; bahkan di Hari Akhir nanti. Sedangkan epistemologi
Barat menganggap panca indera adalah sekedar kemampuan natural manusia yang
didapatnya. Tanggungjawab manusia akan panca indera, hanya terbatas
tanggungjawab hukum secara sosial maupun individual.

Dalam QS: Al-Insān [76]: 2 disebutkan bahwa asal usul panca indera
adalah pemberian Allāh: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah
dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat”.

Yang mana, menurut Az-Zuhaylī; bahwa manusia diberi panca indera


beserta potensi dan kemampuan untuk tanda-tanda kekuasaan Allāh, baik dari hal
berupa sebab musabab, juga mendengarkan seruan dari para Nabi dan Rasul.10

Di ayat lain, dalam QS: Al-Isrā [17]: 36 Allah SWT memerintahkan


manusia untuk menggunakan panca indera secara bertanggungjawab: “Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya.”

Yang mana, Imam al-T}abarī menyebut makna “walā taqfu…” sebagai


‘jangan mengatakan hal-hal (secara asal-asalan) tanpa didasari dengan ilmu’.
Karena suatu ‘perkataan tanpa ilmu’ yang dijadikan persaksian, tergolong sebagai
‘kesaksian palsu’ (Syahādah al-Zūr); bahkan juga fitnah yang keji.11

10
Wahbah bin Mustafa al-Zuhayli, Al-Tafsīr al-Munīr Fī al-‘Aqīdah Wa al-Syarīah Wa al-Akhlāk,
(Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1998), Vol. 29, 282.
11
Abū Ja'far Muh}ammad ibn Jarīr Al-T}abarī, Jāmi' Al-Bayān 'an Ta'wīl Āy Al-Qur'ān, Ed.
Ahmad Muhammad Syakir, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), Vol. 17, 446-447.
Lebih jauh, al-Rāzī dalam Mafātīh} al-Ghayb menekankan bahwa
‘pertanggungjawaban’ dari panca indera; bukan hanya perintah bagi umat Islam
saja; namun juga seluruh manusia. karena, seluruh manusia akan dimintai
pertanggungjawaban di hadapan Allah terhadap panca indera yang dimilikinya
sebagai sarana ‘mengetahui’.
Hal ini berdasarkan sibāq dari ayat tersebut, yakni “walā taqfu…”; yang
mana larangan ini diperuntukkan untuk 3 golongan. Pertama, larangan ini
ditujukan kepada orang musyrik yang menyembah ‘apa yang mereka
temui/dapatkan dari orang tuanya’ (mā wajadnā ‘alaihi ābā`anā…) yang berupa
sesembahan selain Allah.
Selaras dengan alasan orang musyrik saat mereka ditanya mengenai
sesembahan mereka; yang dijawabnya sebagai ‘melestarikan tradisi yang mereka
dapatkan (lihat, dengar, dan rasakan) dari nenek moyang’. Kedua, larangan untuk
melakukan kesaksian palsu (syahādah al-zūr); dan ketiga adalah larangan
menuduh orang lain sebagai pezina (qadzf).12
Karena itulah, panca indera memiliki relasi dengan ilmu; sehingga
penekanan Islam terhadap pencapaian ilmu yang benar melalui panca indera
adalah suatu kewajiban yang memiliki tanggungjawab besar.
Sehingga, hadīts Nabi menegaskan persoalan tersebut; bahwa
penyalahgunaan panca indera dapat menjerumuskan manusia pada tindakan zinā:
“Allah telah menakdirkan anak Adam sebagian dari zina yang akan dialaminya,
bukan mustahil. Zina kedua mata adalah melihat. Zina mulut adalah berkata. Zina
hati adalah berharap dan berkeinginan...”.13
Yang mana, mata berpotensi untuk berzina saat melihat hal-hal yang tidak
halal atau mengundang syahwat. Sebagaimana mulut ‘berzina’ dengan
membicarakan hal-hal yang dilarang seperti dusta, ghibah, dan lainnya.14

12
Abu Abdullah Muh}ammad bin Umar bin al-Husayn al-Taymi al-Bakri al-Tabaristani Fakhr al-
Din al-Razi, Mafātih} al-Ghayb, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-A’rabi, 2000), Vol. 20, 338-339.
13
Abu Abdul Rahman Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Mukhtas}ar S}ah}īh} al-Imām al
Bukhārī, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 2002), Vol. 4, 104
14
Ibn Battal Abu al-H}asan Ali bin Khalaf bin Abd al-Malik, Syarh S}ah}īh} al-Bukhārī Li Ibn
Battal Tah}qīq Abu Tamīm Yāsir bin Ibrāhīm, (Riyād: Maktabah al-Rusyd, 2003), Vol. 9, 23.
Dalam ilmu anatomi tubuh ‘modern’, tentu saja menegaskan bahwa fungsi
indera hanya terkait dengan syaraf otak; yang merupakan pusat gerak tubuh
manusia. Yang mana, proses atau kemampuan dari panca indera hanya dijelaskan
secara empiris dan positif; misalnya, mata mampu melihat karena adanya cahaya
dan retina yang mampu menangkap bayangan serta ketepatan sudut elevasi yang
membuat benda terlihat jelas tanpa mengalami efek fatamorgana.15
Oleh karena itulah, kehidupan manusia yang memiliki panca indera ini –
hanya dipahami sebatas makhluk hidup yang memiliki kemampuan intelektual
evolutif – berdasarkan pengalaman inderawinya – yang dengannya ia mampu
mengembangkan penemuan dari zaman batu hingga kecanggihan teknologi pada
zaman ini.
Panca indera pun, secara epistemologi hanya berfungsi mempertanyakan
penjelasan tentang obyek terindera tersebut; penjelasan yang dihasilkan, masih
pula disebut sebagai hipotesis yang wajib selalu di-falsikasi tanpa akhir
demi perkembangan sains dan teknologi.
Sehingga, subyek pengindera dan obyek terindera hanyalah suatu entitas
terpisah tanpa menganggap obyek tersebut sebagai hal yang ‘sakral’ (sacred) 16
atau suatu ‘tanda’ (āyat/sign)17 bahwa di baliknya terdapat kekuasaan Allah.
Epistemologi dalam Islam memiliki segi yang komprehensif sebagai
instrumen untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, yaitu indera, akal, hati (intuisi)
dan wahyu. Kemudian keempat instrumen tersebut dikelompokkan ke dalam tiga
pendekatan, yaitu bayani, irfani dan burhani.
Hanya saja dari tiga kecenderungan pendekatan yang ada (bayani, irfani dan
burhani), dalam perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani
yang sangat tekstual dan corak berpikir irfani (kasyf) yang sangat sufistik. Kedua
kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio(burhani )
secara optimal.

15
Patricia R. DeLucia and Samuel J. Levulis, “Basics of Sensation and Perception with an Eye
toward Application.,” dalam APA Handbook of Human Systems Integration., (Washington DC:
American Psychological Association, 2015).
16
Seyyed Hossein Nasr, The Need For a Sacred Science (London: Routledge, 1995), 45–47.
17
Al-Attas, Islam and The Philosophy of Science..., 139–141.
Daftar Pustaka
Abū Ja'far Muhammad ibn Jarīr Al-Tabarī, Jāmi' Al-Bayān 'an Ta'wīl Āy
Al-Qur'ān, Ed. Ahmad Muhammad Syakir, (Beirut: Muassasah al-Risalah,
2000), Vol. 17, 446-447.
Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin al-Husayn al-Taymi al-Bakri al
Tabaristani Fakhr al-Din al-Razi, Mafātih al-Ghayb, (Beirut: Dar Ihya’ al-
Turats al-A’rabi, 2000), Vol. 20, 338-339.
Abu Abdul Rahman Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Mukhtasar Sahīh al
Imām al Bukhārī, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 2002), Vol. 4, 104
Al-Attas, Islam and The Philosophy of Science..., 139–141.
https://yuwanesputro.blogspot.com/2016/09/v-behaviorurldefaultvmlo.html
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Epistemological Implication of Al-Ghazzali’s Account
of Causality,” dalam Intellectual Discourse, (Malaysia: IIUM, 2018),
Vol. 26, no. 1, 51–73.
Ibn Battal Abu al-H}asan Ali bin Khalaf bin Abd al-Malik, Syarh S}ah}īh} al-
Bukhārī Li Ibn Battal Tah}qīq Abu Tamīm Yāsir bin Ibrāhīm, (Riyād:
Maktabah al-Rusyd, 2003), Vol. 9, 23.
Iqbal, The Life and Work of Jalāl Al-Dīn Rūmī, 192–93. Lihat juga Ibn Arabī,
Al-Futūhāt Al-Makkiyah, Vol. 8, 92-93.
Patricia R. DeLucia and Samuel J. Levulis, “Basics of Sensation and Perception
with an Eye toward Application.,” dalam APA Handbook of Human
Systems Integration., (Washington DC: American Psychological
Association, 2015).
Seyyed Hossein Nasr, The Need For a Sacred Science (London: Routledge,
1995), 45–47.
Taqiuddin Muhammad”Panca Indra Dalam Epistimologi Islam”tasfiah, Vol. 4,
No. 1, Februari 2020.
Wahbah bin Mustafa al-Zuhayli, Al-Tafsīr al-Munīr Fī al-‘Aqīdah Wa al-Syarīah
Wa al-Akhlāk, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1998), Vol. 29, 282.

Anda mungkin juga menyukai