Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Ilmu sebagai Kajian Filsafat
Dewasa ini filsafat ilmu sudah menjadi bahan ajar bagi tiap-tiap universitas,
berbagai kajian mengenai hakikat kehidupan. Bagaimanakah kehidupan ini? Dan untuk
apa kehidupan ini?, manusia mempunyai seperangkat pengetahuan yang bisa
membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk. Orang lain yang mampu
memberikan penilaian secara objektif dan tuntas serta pihak lain yang melakukan
penilaian sekaligus memberikan arti adalah pengetahuan yang disebut filsafat. Filsafat
ilmu terbagi atas dua kata yaitu Filsafat dan Ilmu, Filsafat dan Ilmu adalah dua kata
yang saling berkaitan baik secara substansial maupun historis Kelahiran suatu ilmu tidak
dapat dipisahkan dari peranan filsafat , sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat
keberadaan filsafat.
Ilmu atau Sains merupakan komponen terbesar yang diajarkan dalam semua strata
pendidikan. Walaupun telah bertahun-tahun mempelajari ilmu , pengetahuan ilmiah
tidak digunakan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu dianggap sebagai
hafalan saja, bukan sebagai pengetahuan yang mendeskripsikan, menjelaskan,
memprediksikan gejala alam untuk kesejahteraan dan kenyamanan hidup . Kini ilmu
telah tercerabut dari nilai luhur ilmu, yaitu untuk menyejahterakan umat manusia.
Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu dan teknologi menjadi bencana bagi kehidupan
manusia, seperti pemanasan global dan dehumanisasi.
Oleh karena itu, filsafat ilmu mencoba mengembalikan roh dan nilai luhur dari
ilmu, agar ilmu tidak menjadi bumerang bagi kehidupan manusia. Filsafat ilmu akan
mempertegas bahwa ilmu dan teknologi adalah instrumen dalam mencapai
kesejahteraan bukan tujuan. Filsafat ilmu diberikan sebagai pengetahuan bagi orang
yang ingin mendalami hakikat ilmu dan kaitannya dengan pengetahuan lainnya . Bahan
yang diberikan tidak ditujukan untuk menjadi ahli filsafat. Dalam masyarakat religius,
ilmu dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan, karena
sumber ilmu yang hakiki adalah Tuhan. Manusia diberi daya fikir oleh Tuhan, dan
dengan daya fikir inilah manusia menemukan teori-teori ilmiah dan teknologi. Pengaruh
agama yang kaku dan dogmatis kadangkala menghambat perkembangan ilmu. Oleh
karenanya diperlukan kecerdasan dan kejelian dalam memahami kebenaran ilmiah
dengan sistem nilai dalam agama, agar keduanya tidak saling bertentangan. Dalam
filsafat ilmu, ilmu akan dijelaskan secara filosofis dan akademis sehingga ilmu dan
teknologi tidak tercerabut dari nilai agama, kemanusiaan dan lingkungan. Dengan
demikian filsafat ilmu akan memberikan nilai dan orientasi yang jelas bagi setiap ilmu.
Pada dasarnya, setiap ilmu memiliki dua obyek, yaitu obyek material dan obyek
formal. Obyek material adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran penyelidikan,
sedangkan obyek formal adalah metode untuk memahami obyek material. Adapun
filsafat sebagai proses berpikir yang sistematis juga memiliki obyek material dan obyek
formal. Obyek material filsafat adalah segala yang ada, baik yang tampak (empiris)

1
maupun yang tidak tampak (metafisika). Secara umum, obyek material filsafat terbagi
atas tiga bagian, yaitu yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam pikiran, dan yang
ada dalam kemungkinan. Sedangkan obyek formal filsafat adalah sudut pandang yang
menyeluruh, radikal, dan rasional tentang segala yang ada (Endraswara, 2015).
Cakupan obyek filsafat lebih luas daripada ilmu karena ilmu terbatas kepada
persoalan-persoalan yang empiris saja, sedangkan filsafat mencakup yang empiris dan
yang non-empiris. Obyek ilmu terkait pada filsafat dalam obyek empiris. Selain itu,
ilmu berasal dari kajian filsafat karena awalnya filsafat yang melakukan pembahasan
tentang segala yang ada secara sistematis, rasional, dan logis termasuk yang empiris.
Seiring berjalannya waktu, kajian yang terkait dengan hal empiris semakin bercabang
dan berkembang, hingga menjadi suatu proses terbentuknya ilmu secara
berkesinambungan. Oleh karena itu, filsafat dapat dikatakan sebagai induk segala ilmu
(Endraswara, 2015).
Awalnya, filsafat terbagi atas filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis
mencakup metafisika, fisika, matematika, dan logika, sedangkan filsafat praktis
mencakup bidang ekonomi, politik, hukum, dan etika (Endraswara, 2015). Filsafat dan
ilmu pengetahuan adalah dua produk dan nalar peradaban manusia yang saling berkaitan
erat. Hubungan antara filsafat dengan ilmu ibarat hubungan antara ibu dan anak. Filsafat
adalah mater scientiarium atau mother of science (ibu dari ilmu pengetahuan) (Rusliana,
2017).
Filsafat merupakan induk dari segala ilmu. Filsafat telah mengantarkan kepada
suatu fenomena adanya siklus pengetahuan sehingga membentuk suatu konfigurasi
dengan menunjukkan bagaimana pohon ilmu pengetahuan telah tumbuh dan
berkembang secara subur sebagai fenomena kemanusiaan dan menjadi banyak cabang
ilmu pengetahuan. Dengan demikian, hakikat filsafat ilmu selain sebagai patokan,
penentu, sekaligus petunjuk arah ke mana ilmu pengetahuan akan diantarkan atau
dikembangkan (Latif, 2015).
Ilmu sebagai obyek kajian filsafat sepatutnya mengikuti alur filsafat, yaitu obyek
material yang didekati melalui pendekatan radikal, menyeluruh, dan rasional. Sifat
pendekatan spekulatif dalam filsafat sepatutnya juga merupakan bagian dari ilmu karena
ilmu dilihat pada posisi yang tidak mutlak, sehingga masih terdapat ruang untuk
berspekulasi demi pengembangan ilmu (Latif, 2015).

2
B. Pengertian Filsafat Ilmu
1. Pengertian Filsafat

Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi


sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam
kesemestaan galaksi. Atau seorang, yang berdiri di puncak tinggi, memandang
kengarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak khadirannya dengan
kesemestaanyang ditatapnya. Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah
sifat menyeluruh Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dan segi
pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi
pengetahuan yang Iainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu
dengan agama. Diaingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahag iaan kepada
dirinya.
Sering kita melihat seorang ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir mem
andang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan IPA merasa Iebih tinggi dan lulusan
IPS. Atau lebih sedih lagi, seorang ilmuwan memand ang rendah kepada
pengetahuan lain.Mereka meremehkan moral, agama dan nilai estetika.
Seorang yang berpikir filsafat selain tengadah ke bintang-bintang, juga
membongkar tempat berpijak secara fundamental. lnilah karakteristik berpikir
filsfati yang kedua yakni sifat , mendasar. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa
ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian
berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar?Lalu
benar sendiri itu apa? Seperti sebuah Iingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Dan
menyusun sebuah lingkaran, kita harus mulaidari satu titik, yang awal dan pun
sekaligus akhir.
Memang demikian, secara terus terang tidak mungkin kita menangguk
pengetahuan secara keseluruhan, dan bahkan kita tidak yakin kepada titik awal
yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Dalam hal ini kita hanya
berspekulasi dan inilah yangmerupakan ciri filsafat yang ketiga yakni sifat
spekulatif. Kita mulai mengeyitkan kening dan timbul kecurigaan terhadap filsafat:
bukankahspekulasi mi suatu dasar yang tidak bisa diadakan? Dan seorang filsuf
akan menawab: memang namun hal mi tidak bisa dihindarkan, Menyusur sebuah
lingkaran kita harus mulai dan sebuah titik bagaimanapun juga spekulatifnya Yang
pentingadalah bahwa dal ain prosesnya, balk dalam analisis maupun
pembuktiannya, kitabisa memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan
mana yang tidak. Dantugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang
dapat diandalkan.Apakah yang disebut logis? Apakah yang disebut benar? Apakah
yang disebut sahih? Apakah alam ini teratur atau kacau? Apakah hidup ini ada
tujuannya atau absurd?
Sekarang kita sadar bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada dimulai
dengan spekulasi.Dan serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran
yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dan penjelajahan pengetahuan.
Tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang disebut benar maka tidak mungkin
pengetahuan lain berkembang di atas dasar kebenaran, Tanpa menetapkan apa
yangdisebut balk atau buruk maka kita tidak mungkin berbicara tentang moral.

3
Demikian juga tanpa wawasan apa yang disebut indah atau jelek tidak mungkin kita
berbicara tentang kesenian.

Meminjam pemikiran Will Durant, dapat diibaratkan pasukan marinir yang


merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantri. Pasukan infanteri ini adalah
sebagai pengetahuan yang di antaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan
tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu ilmulah yang membelah
gunung dan merambah hutan menyempurnakan kemenangan ini menjadi
pengetahuan yang dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan maka filsafat
pun pergi. Dia kembali menjelalah laut lepas berspekulasi dan meneratas. Seorang
yang skeptis akan berkata: sudah lebih dan dua ribu tahun orang berfilsafat namun
selangkah pun dia tidak maju. Sepintas lalu kelihatannya memang demikian,dan
kesalahpahaman ini dapat segera dihilangkan,sekiranya kita sadar bahwa filsafat
adalah marinir yang merupakan pionir, bukan pengetahuan yang bersifat
memerinci. Filsafat menyerahkan daerah yang sudah dimenangkannya kepada ilmu
pengetahuan dan pengetahuan lainnya. Semua ilmu, baik ilmu-ilmu alam maupun
ilmu-ilmu sosial, bertolak dan pengembangannya bermula sebagai filsafat.

Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural phisolophy) dan nama asal
ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Dalarn perkembangan filsafat
mnjadi ilmu maka terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan maka bidang
penjelajahan filsafat menjadi lebih sempit, tidak lagi rnenyeluruh melainkan
sekitoral. Disini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan
melainkan dikaitkan dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya yang kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi. Walaupun demikian
dalam taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan kepada norma norma
filsafat. Umpamanyaekonomi masih merupakan penerapan etika (applied ethics)
dalam kegiatan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Metode yang dipakai
adalah normatif dan deduktif  berdasarkan asas-asas moral yang filsafati. Pada
tahap setanjutnya ilmu menyatakan dirinya otonom dan konsep-konsep filsafat dan
mendasarkan sepenuhnya kepada hakikat alam sebagaimana adanya.

Kata filsafat berasal dari kosakata berbahasa Yunani, yaitu ‘philosophia’,


yang memliki akar kata ‘sophos’ (bijaksana) dan ‘philien’ (mencintai). Istilah
‘philosophia’ memiliki makna cinta kebijaksanaan atau mencintai hal-hal yang
bersifat bijaksana. Dalam bahasa Inggris, kata filsafat disebut dengan istilah
‘philosophy’, sedangkan dalam bahasa Arab disebut dengan istilah ‘falsafah’ yang
diterjemahkan dengan ‘cinta kearifan’. Orang yang berusaha mencari kebijaksanaan
disebut sebagai filsuf atau filosof (Susanto, 2016).
Selain pengertian secara bahasa, filsafat juga memiliki pengertian secara
istilah yang disampaikan oleh beberapa filsuf. Pada zaman Yunani, pengertian
filsafat dikemukakan oleh tiga tokoh sentral peradaban Yunani, yaitu Socrates,
Plato, dan Aristoteles. Socrates memahami bahwa filsafat adalah suatu peninjauan
diri yang bersifat reflektif atau perenungan terhadap asas-asas kehidupan yang adil
dan bahagia. Plato berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan yang berminat
mencapai kebenaran yang asli. Aristoteles mengartikan filsafat sebagai ilmu

4
pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (Susanto, 2016).
Menurut Mukhtar Latif (2015), filasafat adalah hasil akal seorang manusia
yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya (radic).
Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh
hakikat kebenaran segala sesuatu.
Sondang P. Siagian (2016) mendefinisikan filsafat sebagai usaha mengetahui
segala sesuatu dengan sedalam-dalamnya, baik mengenai hakikatnya, fungsinya,
ciri-cirinya, kegunaannya, masalah-masalahnya, serta pemecahan-pemecahan
terhadap masalah-masalah itu.
2. Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari kosakata bahasa Arab, yaitu ‘alim yang berati ‘tahu’ atau
‘mengetahui’. Dalam bahasa Inggris, ilmu disebut dengan ‘science’. Menurut
Badudu (dalam Susanto, 2016), ilmu diartikan ke dalam dua definisi. Pertama, ilmu
adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis. Kedua,
ilmu diartikan sebagai kepandaian atau kesaktian.
Ilmu berasal dari rasa kagum manusia akan alam yang dihadapinya. Manusia
dibekali hasrat ingin tahu, dan sifat ingin tahu tersebut telah dapat ditemukan
manusia sejak masih kanak kanak. Pertanyaan pertanyaan apa ini, mengapa begini,
kenapa bisa terjadi akan diemukan sepanjang sejarah manusia dan dengan dorongan
rasa inin tahu berupaya ingn menjawab setiap pertanyaan pertanyaan tersebut (Sitti
Mania, 2013). Istilah ilmu berasal dari bahasa arab dan dipakai didalam alquran
dengan akar kata ain, lam, dan mim. Kata ini kemudian diterjemahkan kedalam
bahasa indonesia dengan arti pengetahuan. Dan kata ilmu itu sendiri diserap dan
dipergunakan pula dengan makna yang berbeda. Karena hubungan keduanya yang
sangat erat, maka kadang pelajar tidak membedakan maknanya. Suatu keadaan
yang tidak seharusnya tidak dialami oleh seorang mahasiswa atau peneliti.
Pengetahuan juga dirumuskan bahwa kekayaan batin yang dimikili seseorang dalam
kalbunya, atau dalam ungkan sederhana bahwa pengetahuan adalah segala yang
diketahui. (Abd. Muis Salim dkk, 2009: 45)
Secara lesikal, tahu bermakna: mengerti sesudah melihat, menyaksikan, atau
mengalami dsbg, kenal; mengindahkan atau peduli, mengerti; pandai, cakap; insaf,
atau sadar. Sedangkan ilmu diartikan: pengetahuan tentang sesuatu bidang yang
disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan
menerangkan gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu (Abd. Muis Salim dkk,
2009: 45). Dalam kajian kefilsafatan ilmu mengandung tiga makna yaitu ilmu
sebagai produk, ilmu sebagai metode, dan ilmu sebagai proses. Sebagai produk
merupakan kumpulan pengetahuan atau informasi yang handal dan teruji
kebenarannya dan diperoleh melalui pemikiran yang logis dalam bentuk metode
ilmiah. Sebagai metode adalah serangkaian proses cara kerja dan langkah sistematis
untuk memperoleh pengetahuan yang teruji kebenarannya, metode ini disebut ilmu.
Sedangkan sebagai proses berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan penelitian yang
menghasilkan ilmu (Abd. Muis Salim dkk, 2009: 45).

5
Dari beberapa sumber tersebut penyusun menemukan titik terang bahwa ilmu
merupakan bagian dari pengetahuan, dimana ilmu tersebut merupakan bagian dari
pengetahuan dengan disiplin khusus dan mampu berdiri sendiri dengan
metodologinya sendiri yang telah tersusun secara sistematis.
3. Filsafat Ilmu
Jika filsafat berarti cinta terhadap kebijaksanaan, sedangkan ilmu berarti
seperangkat pengetahuan yang tersusun secara sistematis, maka filsafat ilmu juga
memiliki pengertian atau definisi tersendiri. Berbagai pengertian filsafat ilmu
disampaikan oleh beberapa ahli.
The Liang Gie (dalam Susanto, 2016), mengatakan bahwa filsafat ilmu adalah
segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan
manusia. Bagi Gie, filsafat ilmu bukan hanya dipahami sebagai ilmu untuk
mengetahui metode dan analisis terhadap iomu-ilmu lain, tetapi juga sebagai usaha
seseorang dalam mengkaji persoalan yang muncul melalui perenungan yang
mendalam agar persoalannya dapat diketahui secara mendasar.
Jujun S. Suriasumantri (2010) mengartikan filsafat ilmu adalah suatu
pengetahuan atau epistemologi yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala
alamiah tersebut tak lagi merupakan misteri. Mukhtar Latif (2015) mengatakan
bahwa filsafat ilmu adalah telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertnyaan
mengenai hakikat ilmu, baik ditinjau dari sudut ontologis, epistemologis, maupun
aksiologis yang dilakukan melalui proses dialektika secara mendalam (radic) yang
sistematis dan bersifat spekulatif. Sedangkan Iu Rusliana (2017) memberi
pengertian filsafat ilmu sebagai pendekatan filosofis mengenai syarat, landasan
keabsahan, serta obyek dan metode ilmu pengetahuan.
Berdasarkan pemaparan tentang pengertian filsafat ilmu dari sembilan ahli di
atas, maka penulis berpendapat bahwa filsafat ilmu adalah suatu kajian filsafat yang
membahas hakikat, perkembangan, dasar-dasar, dan hubungan antarsesama ilmu,
termasuk telaah kritis terhadap persoalan pemikiran ilmiah dan non-ilmiah.
C. Tujuan Filsafat Ilmu
Tujuan kehadiran dan pembelajaran filsafat ilmu antara lain sebagai berikut.
1) Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
2) Mempertahankan, menunjang, dan melawan atau berdiri netral dan pandangan
filsafat lainnya.
3) Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup, dan pandangan
dunia.
4) Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan.
5) Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan itu sendiri, seperti
ekonomi, politik, dan hukum (Erwin, dalam Latif, 2015).

6
D. Manfaat Mempelajari Filsafat Ilmu
Menurut Achmadi (dalam Susanto, 2016), mempelajari filsafat ilmu sangat
penting karena dengan ilmu tersebut, manusia akan dibekali suatu kebijaksanaan
yang di dalamnya memuat nilai-nilai kehidupan yang sangat diperlukan oleh
manusia. Dengan belajar filsafat, diharapkan akan dapat menambah ilmu
pengetahuan yang memicu perkembangan cakrawala pemikiran. Hal ini mengadung
implikasi bahwa dengan memahami filsafat ilmu dapat membantu menyelesaian
masalah kelimuan yang dihadapi dengan dengan cara yang lebih bijaksana.
Muhammad Erwin (dalam Latif, 2015) memaparkan empat manfaat dalam
mempelajari filsafat ilmu, yaitu:
1) Menghindari timbulnya pandangan bahwa pengertian sudah menjamin
perbuatan, namun pengertian serba sedikit menjadi tantangan ilmu filsafat
dapat dugunakan sebagai pedoman kenyataan dalam kehidupan sehari-hari,
baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.
2) Sebagai pandangan hidup yang mantap yang akan menentukan kriteria baik
buruknya tingkah laku kita yang telah kita pilih dan atas dasar keputusan batin
kita sendiri, manusia telah memiliki kebebasan dan kepribadian sendiri.
3) Mengurangi dan menghindari gejala negatif dalam hidup (negative thinking)
agar hidup lebih terarah dan tepat.
4) Memiliki tingkah laku hidup bertujuan, yang didasarkan dan ditentukan oleh
filsafat hidupnya agar tingkah lakunya lebih bernilai.

7
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU
A. Perkembangan Ilmu pada Zaman Yunani
Kebudayaan manusia dewasa ini ditandai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang teramat cepat. Perkembangan ilmu pengetahuan
tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruh pemikiran filsafat Barat yang
berawal dari Yunani. Pada awal perkembangan pemikiran filsafat Barat pada zaman
Yunani kuno, filsafat identik dengan ilmu pengetahuan, artinya antara pemikiran
filsafat dan ilmu pengetahuan waktu itu tidak dapat dipisahkan. Semua hasil
pemikiran manusia pada waktu itu disebut filsafat (Hambali, 2017).
Yunani menjadi tempat lahirnya filsafat dan ilmu pengetahuan, sekitar 600
tahun sebelum Masehi. Dalam pemikiran alam sekitar mereka, para filsuf Yunani
seperti Thales, Anaximenes, Anaximandros, Heraclitus, Democritus, yang diikuti
oleh Pythagoras, Socrates, Plato, dan Aristoteles banyak memakai akal dalam
melahirkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Selanjutnya di tangan para
filsuf itu, ilmu pengetahuan berkembang demikian pesatnya (Bakhtiar, 2012).
Zaman ini merupakan zaman dimulainya penalaran yang diawali pada abad
ke-6 sebelum Masehi. Pada kurun waktu ini, peradaban Yunani memberikan corak
baru pada pengetahuan yang berdasarkan an inquiring attitude (suatu sikap yang
senang menyelidiki sesuatu secara kritis) dan bukan receptive mind (menerima
segala penalaran dan pemikiran baru). Filsuf Yunani telah memiliki suatu penalaran
yang selalu menyelidik, yang tidak mau menerima peristiwa-peristiwa dan
pengalaman-pengalaman begitu saja secara pasif-represif, tetapi yang ingin terus
mencari sampai sedalam-dalamnya akar dari semua fenomena yang begitu beragam
di alam ini. Karakteristik yang menonjol dari zaman ini adalah coraknya yang
kosmosentris dengan pengamatan pada gejala alam dan fisik sebagai ikhtiar guna
menemukan sesuatu asal mula (arche) yang merupakan unsur awal terjadinya
segala gejala. Zaman ini berakhir pada abad ke-4 Masehi (Hambali, 2017).
Pada zaman Yunani, ilmu sebagai suatu obyek kajian filsafat mengalami
perkembangan yang cukup pesat. Para ilmuwan pada zaman ini menjadi terkemuka
berkat hasil pemikiran dan penyelidikan mereka.
1) Thales (624-548 SM) adalah sosok filosof pertama yang mengkaji asal-usul
alam. Dengan menggunakan pendekatan rasional, ia mengatakan bahwa asal
alam adalah air karena air merupakan unsur penting bagi setiap makhluk hidup.
2) Pythagoras (582-496 SM) dikenal dengan rumus a2 + b2 = c2. Dalil pythagoras
yang menjadi nama rumus tersebut berlaku dalam bidang matematika, terutama
segitiga siku-siku.
3) Socrates (470-399 SM) menjadi peletak dasar filsafat moralitas serta sikap
kritis dan dialektika dalam ilmu. Dialektika adalah seni mengajukan dan
menjawab pertanyaan yang tepat, pada saat yang tepat, secara tepat,
sedemikian rupa sehingga pengetahuan menjadi masalah. Rumusnya berupa
tesis, antitesis, dan sintetis.

8
4) Plato (427-347 SM) adalah murid Socrates yang berhasil memberi sumbangsih
tentang ide sebagai sebuah ilmu. Dia menjadi peletak dasar kuat paradigma
rasionalisme dalam ilmu pengetahuan.
5) Aristoteles (384-322 SM) adalah murid Plato yang menciptakan logika berpikir
silogisme, yakni logika berpikir yang digunakan untuk menjelaskan cara
menarik kesimpulan. Silogisme yang menjadi intisari ajaran logika terdiri dari
pertanyaan. Pertama, premis mayor adalah pertanyaan pertama yang
mengemukakan hal umum dan telah diakui kebenarannya. Kedua, premis
minor adalah pernyataan kedua yang sifatnya khusus dan lingkupnya lebih
kecil dari premis mayor. Ketiga, konklusi yang ditarik berdasarkan premis
mayor dan minor (Tim Dosen Filsafat UGM, dalam Rusliana, 2017).
Perkembangan ilmu pada zaman Yunani sangat pesat hingga pada abad ke-4
Masehi, dunia dihadapkan pada zaman Pertengahan. Pada zaman ini, muncul
karakter filsafat teosentris (mengutamakan Tuhan sebagai pusat eksistensi). Zaman
Pertengahan juga disebut oleh banyak sejarawan sebagai zaman Kegelapan. Disebut
demikian karena pada zaman ini, segala aktivitas keilmuan harus berdasar atau
mendukung kepada dogma-dogma agama atau terkait erat dengan aktivitas
keagamaan. Ilmu yang dikembangkan hanya pada hal-hal yang bersifat metafisik.
Ciri khas pada zaman Pertengahan adalah dipakainya karya-karya Aristoteles dan
kitab suci sebagai pegangan (Hambali, 2017).
B. Perkembangan Ilmu pada Zaman Islam
Perkembangan bidang ilmu pengetahuan pada zaman Islam tergolong sangat
pesat, bahkan tergolong lebih baik daripada zaman Yunani. Ilmu yang
dikembangkan pada zaman kegemilangan Islam dimasukkan ke dalam periode
filsafat Islam, yaitu hasil pemikiran filsuf tentang ketuhanan, kenabian, manusia,
dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan
sistematis. Menurut Madkur (dalam Hambali, 2017), filsafat Islam adalah
pemikiran yang lahir dalam dunia Islam untuk menjawab tantangan zaman, yang
meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat.
Saat Eropa memasuki zaman Pertengahan yang mengalami titik kegelapan
akibat berkutatnya bangsa Eropa kepada isu-isu keagamaan dan dogma gereja, di
sebelah selatan Laut Tengah berkembang bangsa Arab yang dipengaruhi oleh
Islam. Para filsuf Arab menerjemahkan buah hasil pemikiran para filsuf Yunani.
Menurut Nasution (dalam Bakhtiar, 2012), keilmuan berkembang pada zaman
Islam klasik (650-1250 M). Keilmuan ini dipengaruhi oleh persepsi tentang
bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam al-Qur'an dan
hadits Nabi Muhammad. Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama dari
Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di dunia Islam zaman klasik,
seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Suriah), dan Bactra
(Persia).
Sekitar abad ke 6-7 Masehi, obor kemajuan ilmu pengetahuan berada di
pangkuan peradaban Islam. Dalam lapangan kedokteran muncul nama-nama
terkenal seperti: Al-Hawi karya Al-Razi yang merupakan sebuah ensiklopedia
mengenai seluruh perkembangan ilmu kedokteran. Ensiklopedia ilmu kedokteran

9
lainnya dari Al-Razi berjudul Continents. Ibnu Sina dikenal lewat karyanya, Al-
Qanun at-Tibb (The Canon of Medicine), sedangkan Ibnu Rusyd menulis buku
dunia kedokteran berjudul Kulliyyati at-Tibb (Adian Husaini, dalam Karim, 2014).
Dalam bidang sains dan matematika, ada Jabir ibnu Hayyan, al-Biruni, Al-
Khawarizmi, dan Ibnu Haitham. Sebagian karya Jabir ibnu Hayyan (Gebert)
memaparkan metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode
pemurniannya. Berkat penemuan dan karyanya tentang perkembangan ilmu kimia,
Jabir ibnu Hayyan kemudian dikenal sebagai ‘Bapak Ilmu Kimia’. Sementara itu,
al-Biruni mengukur sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat yang mencapai
ketepatan tinggi. Lalu ada Al-Khawarizmi (Algoritmus) yang menciptakan rumus
hitung logaritma dan menyusun buku tentang Aljabar, yang menjadi buku standar
bidang matematika di Eropa. Ia juga menulis perhitungan biasa (arithmetics), yang
menjadi pembuka jalan penggunaan bilangan desimal di Eropa untuk menggantikan
tulisan Romawi. Sedangkan Ibnu Haitham dikenal lewat penemuannya tentang
lensa optik (Montgomery Watt, dalam Karim, 2014).
Selain disiplin-disiplin ilmu di atas, sebagian umat Islam juga menekuni
logika dan filsafat. Sebut saja Al-Kindi, Al-Farabi, dan Al-Ghazali. Al-Kindi
berjasa membangun filsafat ketuhanan dan filsafat jiwa. Dalam buku Fi al-Falsafat
al-‘Ula, Al-Kindi membahas masalah ketuhanan sesuai ajaran Islam, bahwa Allah
adalah Tuhan yang selalu ada dan berwujud sempurna. Filsafat ketuhanan juga
disinggung oleh Al-Farabi dan Al-Ghazali. Mereka berhasil merekonsiliasi
rasionalisme, ritualisme, dogmatisme, dan mistisisme. Menurutnya, hubungan
sebab dan akibat tidak bersifat dharuriy (kepastian). Bahkan menurut Al-Ghazali,
wujud Tuhan tidak boleh tidak harus ada (Hambali, 2017).
Di dalam ilmu sosial, dikenal satu nama tokoh Islam klasik, yakni Ibnu
Khaldun. Ibnu Khaldun merupakan sejarawan yang dikenal sebagai tokoh pencetus
ilmu historiografi, sosiologi, dan ekonomi. Karyanya yang terkemuka adalah buku
berjudul Muqaddimah (Pendahuluan) yang isinya membahas siklus kehidupan
masyarakat suku Badui (Khaldun, dalam Karim, 2014).
C. Perkembangan Ilmu pada Zaman Renaissance dan Modern
Zaman Renaissance (renaisans) adalah masa kebangkitan kembali pemikiran
yang bebas dari dogma-dogma agama, fase awal kebudayaan modern di Barat
mulai lahir. Manusia pada zaman renaissance merindukan pemikiran yang bebas,
seperti pada zaman Yunani kuno. Ilmu pengetahuan mulai menemukan jati dirinya
karena adagium yang berkembang adalah keharusan berpikir bila ingin eksis,
cogito ergo sum, “aku berpikir maka aku ada” (Rusliana, 2017).
Manifestasi utama zaman Renaissance adalah Gerakan Humanisme yang
berusaha tidak hanya menerjemahkan karya-karya Yunani dan Romawi, tetapi juga
mencari nilai atau gaya hidup manusia yang terkandung di dalamnya (Hambali,
2017). Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri dan tidak
didasarkan atas adanya campur tangan Ilahi. Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas
Eropa yang berlangsung sejak abad ke-12 M menimbulkan gerakan kebangkitan
kembali (renaissance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M. Walaupun
Islam akhirnya terusir dari Spanyol, tetapi ilmu yang dikembangkan filsuf Islam

10
telah membantu mencetuskan gerakan-gerakan di Eropa, antara lain kebangkitan
kembali kebudayaan pada zaman Yunani klasik pada abad ke-14 M, rasionalisme
pada abad le-17 M, dan aufklarung (pencerahan) pada abad ke-18 M (Bertens,
dalam Karim, 2014).
Beberapa tokoh atau ilmuwan pada zaman Renaissance antara lain Nicolaus
Copernicus, Galileo Galilei, dan Roger Bacon. Nicolaus Copernicus dikenal
sebagai ilmuwan bidang astronomi yang mengenalkan teori heliosentrisme
(matahari sebagai pusat tata surya) sehingga paham geosentrisme (bumi sebagai
pusat tata surya) yang sudah ada sejak zaman Yunani kuno dijungkirbalikkan.
Galileo Galilei juga sukses sebagai ilmuwan bidang astronomi karena menemukan
planet baru dan satelit alam dalam tata surya serta penyempurnaan lensa
pembesaran teleskop (Hambali, 2017). Francis Bacon dikenal dengan konsepnya
tentang knowledge is power (pengetahuan adalah kekuasaan). Roger Bacon
berpendapat bahwa pengalaman menjadi landasan utama bagi awal dan ujian akhir
bagi semua ilmu pengetahuan. Manusia tidak boleh terjebak dengan kahyalan atau
pengetahuan yang menipu (Rusliana, 2017).
Munculnya gerakan renaissance (kebangkitan kembali kekuatan berpikir
zaman Yunani) dan aufklarung (pencerahan) ternyata memicu lahirnya gerakan
rasionalisme keilmuan, subyektivisme, dan humanisme yang terlepas dari dominasi
gereja (Suseno dan Syadali, dalam Hambali, 2017). Zaman ini dikenal dengan nama
zaman Modern. Nuansa yang diperlihatkan oleh para filsuf dan ilmuwan pada
zaman ini adalah berkarakter antroposentrisme, yaitu paham yang menunjukkan
eksistensi manusia sebagai titik pusat pembahasan. Melalui gerakan rasioalisme dan
aufklarung pula, peradaban dan kebudayaan Barat modern berkembang serta
terbebas dari otoritas dan dominasi gereja (Hambali, 2017).
Pada zaman modern, beragam bidang ilmu berkembang sesuai dengan tokoh
dan aliran masing-masing. Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes
(penemu filsafat modern dan sistem koordinat kartesius) dan Isaac Newton
(teoritikus gravitasi dan penemu perhitungan kalkulus), aliran empirisme dipelopori
oleh Thomas Hobbes (konsep pengenalan intelektual secara inderawi), aliran
kritisisme yang dipelopori oleh Immanuel Kant (teori perpaduan rasio dan empirik
manusia), aliran materialisme yang dipelopori oleh Karl Marx (teori pertentangan
kelas), aliran idealisme yang dipelopori oleh G.W.F. Hegel (idealisme mutlak atau
idealisme monistik), aliran positivisme yang dipelopori oleh Auguste Comte (teori
filsafat positivisme), aliran pragmatisme yang dipelopori oleh John Dewey (konsep
manfaat hidup praktis), serta aliran sekularisme yang dimulai oleh Jacob Holyoake
(konsep etika moral yang terbebas dari agama) (Susanto, 2016; Rusliana, 2017).
D. Perkembangan Ilmu pada Zaman Kontemporer
Perkembangan ilmu pada aband ke-20 M ditandai dengan munculnya aliran
filsafat zaman Kontemporer. Satu hal yang menjadi karakter spesifik ilmu
kontemporer, yaitu bahwa ilmu yang berkembang pada zaman kontemporer tidak
segan-segan melakukan dekonstruksi dan peruntuhan terhadap teori-teori ilmu yang
pernah ada untuk kemudian menyodorkan pandangan-pandangan baru dalam
rekonstruksi ilmu yang dibangun (Piliang, dalam Hambali, 2017).

11
Ilmu pengetahuan di era kontemporer ditandai oleh berkembangnya ilmu
sosial dan humaniora. Ibarat ibu kandung, ilmu sosial dan humaniora bertumbuh
dengan baik. Ilmu sosial yang semula sebagai pseudo science (ilmu pengetahuan
semu) mendapat pijakan metodogolisnya dengan berkembangnya pendekatan
kualitatif (Rusliana, 2017).
Terdapat beberapa tokoh yang populer di zaman kontemporer. Tokoh-tokoh
yang dimaksud antara lain Albert Einstein yang mengemukakan teori relativitas dan
perhitungan berdasarkan mekanikan kuantum, Edmund Husserl yang mengusung
aliran fenomenologi (fenomena yang dapat diinderakan), Jean Paul Sartre yang
dikenal dengan konsep eksistensialisme (mengangkat keberadaan manusia ke
permukaan pada dataran sosial), dan William James melalui konsep pragmatisme.
Pada masa kontemporer ini, ilmu pengetahuan mulai berkembang secara terus-
menerus sehingga menghasilkan berbagai fenomena dan inovasi baru dalam
pergerakan ilmu pengetahuan dalam lintas peradaban (Hambali, 2017).
Perkembangan bidang ilmu sosial pada zaman kontemporer sukses
digemilangkan oleh Antonio Gramsci, Anthony Giddens, dan Brian Fay. Di dalam
ilmu sosial dan humaniora, manusia secara bersamaan sebagai obyek dan subyek
ilmu. Manusia yang meneliti dan dirinya pula yang dipelajari. Di sisi lain, manusia
menjadi titik pangkal dan kriterium kebenaran. Keunikan ilmu sosial dan
humaniora terletak pula pada adanya situasi ketika subyek dan obyeknya yang
saling memengaruhi. Oleh karena itu, paradigma kualitatif mendorong penelitinya
untuk memahami makna dari setiap tindakan manusia (Rusliana, 2017).

12
BAB III
DASAR-DASAR ILMU
A. Ontologi
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat teori
yang ada. Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani onta berarti ‘yang berada’,
dan logos berarti ilmu atau ajaran. Dengan demikian, ontologi berarti ilmu
pengetahuan atau ajaran tentang yang berada (Susanto, 2016).
Menurut Suriasumantri (2010), ontologi berarti ajaran mengenai yang ada
atau segala sesuatu yang ada. Landasan ontologi berupa membicarakan obyek yang
ditelaah ilmu, wujud yang hakiki dari obyek itu, dan hubungan antara obyek dengan
daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan.
Bakhtiar (2012) mengemukakan bahwa secara istilah, ontologi adalah ilmu
yang membahas tentang hakikat yang ada, baik yang berbentuk jasmani/ konkret
maupun rohani/ abstrak.
Dalam kajian ontologi, manusia menghadapi persoalan tentang bagaimana
manusia menerangkan hakikat dari segala yang ada. Pertama kali, manusia
dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan
yang berupa rohani (kejiwaan) (Latif, 2015). Pembahasan tentang ontologi sebagai
dasar ilmu berusaha untuk menjawab ‘apa’ yang menurut Aristoteles merupakan
the first philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Ontologi
menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang
berbeda di mana entitas dari kategori-kategori yang logis, yang berlainan (obyek-
obyek fisis, hal universal, abstraksi) dapat dikatakan ada; dalam kerangka
tradisional, ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal
ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya, ontologi dipandang sebagai teori
mengenai apa yang ada (Susanto, 2016).
Menurut Zainuddin (dalam Latif, 2015) dan Susanto (2016), di dalam
pemahaman atau pemikiran ontologi dapat ditemukan pandangan-pandangan pokok
pemikiran, yakni:
1) Aliran monoisme menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan
itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Tidak mungkin ada hakikat masing-
masing bebas dan berdiri sendiri. Monoisme dibagi menjadi dua aliran, yaitu
materialisme dan idealisme. Aliran materialisme menganggap bahwa sumber
yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Sedangkan menurut aliran idealisme,
semuanya serba cita (ideal) atau roh (spiritual) serta menganggap bahwa
hakikat segala sesuatu yang ada berasal dari roh.
2) Aliran dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua paham
yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Aliran dualisme
memandang bahwa alam terdiri dari dua macam hakikat sebagai sumbernya. Di
dalam dunia ini, selalu diperhadapkan pada dua pengertian, yaitu ‘yang ada
sebagai potensi’ dan ‘yang ada secara terwujud’.
3) Aliran pluralisme berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan
kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap

13
macam bentuk itu semuanya nyata dan kenyataan alam ini tersusun dari banyak
unsur entitas.
4) Aliran nihilisme memiliki doktrin yang memberikan tiga proposisi tentang
realitas: (a) tidak ada sesuatu pun yang eksis; (b) bila sesuatu itu ada, ia tidak
dapat diketahui; dan (c) sekalipun realitas dapat diketahui, ia tidak dapat
diberitahukan kepada orang lain.
5) Aliran agnotisisme menyatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui
hakikat sesuatu di balik kenyataannya. Aliran ini hanya menerima pengetahuan
inderawi dan empirik, tidak menerima analogi.

B. Epistemologi
Secara etimologi, epistemologi berasal dari kata berbahasa Yunani episteme
yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu. Jadi, epistemologi dapat
didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber,
struktur, metode, dan validitas pengetahuan. Epistemologi juga disebut sebagai
teori pengetahuan (theory of knowledge) atau filsafat pengetahuan (philosophy of
knowledge) (Susanto, 2016).
Suriasumantri (2010) mengartikan epistemologi sebagai tema yang mengkaji
tentang pengetahuan. Landasan epistemologi membahas mengenai proses yang
memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu, prosedur penimbaan
pengetahuan menjadi ilmu, upaya dan kriteria yang harus dilakukan agar
mendapatkan pengetahuan yang benar, dan cara yang membantu manusia dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu.
Bakhtiar (2012) menjelaskan definisi epistemologi sebagai cabang filsafat
yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian, dan dasar-
dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang
telah dimiliki.
Proses terjadinya pengetahuan merupakan bagian penting dalam
epistemologi, sebab hal ini akan mewarnai corak pemikiran kefilsafatannya. Ada
yang berpendapat bahwa pengetahuan didapatkan melalui proses pengalaman, baik
pengalaman indera maupun batin. Yang lain berpendapat bahwa pengetahuan
terjadi tanpa adanya pengalaman, atau hanya totalitas pengamatan yang disimpan
dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu harapan terhadap masa depan sesuai
dengan apa yang telah diamati pada masa lampau (Susanto, 2016).
Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain
mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan. Metode itu antara lain:
1) Metode induktif, yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan hasil
observasi yang disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum.
2) Metode deduktif, yaitu suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data
empiris diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut.
3) Metode positivisme, yaitu metode yang berpangkal dari apa yang diketahui,
yang faktual, yang positif.
4) Metode kontemplatif, yaitu metode yang menggunakan intuisi (kemampuan
akal) untuk dapat menarik kesimpulan.

14
5) Metode dialektis, yaitu metode berdebat dan wawancara yang diangkat menjadi
sarana dalam mendapatkan pengertian yang dilakukan secara bersama-sama
mencari kebenaran (Latif, 2015).
Terdapat dua aliran yang mewarnai epistemologi sebagai dasar ilmu, yaitu
aliran rasionalisme dan aliran empirisme (Susanto, 2016).
1) Rasionalisme adalah aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal
atau ide sebagai bagian yang sangat menentukan hasil keputusan atau
pemikiran. Rasionalisme dikembangkan oleh dua filsuf dari zaman yang
berbeda, yaitu Plato dan Rene Descartes. Plato mengembangkan rasionalisme
berdasarkan filsafat ide, artinya alam ide adalah alam yang sesungguhnya yang
bersifat tetap tak berubah-ubah. Sedangkan Rene Descartes mengembangkan
rasionalisme dengan menjadikan sikap keraguan sebagai fondasi untuk
mendapatkan kebenaran.
2) Empirisme berawal dari pemikiran Aristoteles. Menurut Aristoteles, realitas
yang sebenarnya terletak pada benda-benda konkret yang dapat diindera dan
bukan pada ide, sehingga sumber ilmu adalah pengalaman empiris.

C. Aksiologi
Istilah aksiologi berasal dari gabungan dua kata berbahasa Yunani, yaitu
axios yang berarti nilai dan logos yang berarti ilmu. Sehingga secara etimologi,
aksiologi bermakna ilmu tentang nilai. Teori tentang nilai di dalam filsafat mengacu
kepada permasalahan etika dan estetika. Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan
(Susanto, 2016).
Menurut Latif (2015), aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi juga bisa disebut sebagai the
theory of value (teori nilai).
Menurut Suriasumantri (2010), aksiologi adalah dasar ilmu pengetahuan yang
berbicara tentang nilai kegunaan ilmu. Landasan aksiologi meliputi tujuan
pengetahuan yang berupa ilmu itu digunakan, kaitan antara cara penggunaan
pengetahuan dengan kaidah-kaidah moral, penentuan obyek ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral, serta kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral dan profesional.
Masalah utama dalam aksiologi yaitu mengenai nilai teori tentang nilai dalam
filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika menilai perbuatan
manusia, sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan
yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya
(Latif, 2015).
1) Etika, diartikan sebagai kajian tentang hakikat moral dan keputusan. Etika
menjadi prinsip atau standar perilaku manusia, yang kadang-kadang disebut
sebagai moral (Semiawan, dalam Susanto, 2016). Etika juga digunakan dalam
dua bentuk arti. Pertama, etika adalah suatu kumpulan pengetahuan mengenai
penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, etika merupakan

15
suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan,
atau manusia-manusia lain. Obyek formal etika adalah norma kesusilaan.
2) Estetika, diartikan sebagai hakikat keindahan di dalam seni. Estetika membantu
mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu
pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas
(Susanto, 2016).

16
BAB IV
ILMU DAN PENGETAHUAN
A. Ilmu, Pengetahuan, dan Ilmu Pengetahuan
Ilmu dan pengetahuan merupakan dua kata yang memiliki makna yang
berbeda. Ilmu adalah pengetahuan yang pasti, sistematis, metodik, ilmiah, dan
mencakup kebenaran umum mengenai obyek studi. Sedangkan pengetahuan adalah
sesuatu yang menjelaskan tentang adanya sesuatu hal yang diperoleh secara biasa
atau sehari-hari melalui pengalaman (empiris), kesadaran (intuisi), informasi, dan
sebagainya. Jadi, pengetahuan memiliki cakupan yang lebih luas dan umum
daripada ilmu. Ilmu membentuk daya intelegensi yang melahirkan keterampilan,
sedangkan pengetahuan membentuk daya moralitas keilmuan yang melahirkan
tingkah laku kehidupan manusia (Susanto, 2016).
Ilmu adalah akumulasi pengetahuan yang sistematis, suatu pendekatan atau
metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh
faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh
pancaindera. Sedangkan pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu
atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu obyek yang dihadapinya,
atau hasil usaha manusia untuk memahami suatu obyek (Latif, 2015).
Pada hakikatnya, manusia memiliki kecenderungan untuk mempertanyakan
apa pun, sejauh yang dia alami dan pikirkan. Ketika manusia memikirkan sesuatu
yang sifatnya abstrak, penalarannya menerawang tanpa batas. Namun untuk
melakukan itu, dibutuhkan apa yang disebut pra-pengetahuan sebagai titik pijak.
Dalam hal ini, posisi pra-pengetahuan adalah apriori. Dalam proses
berpengetahuan, hakikatnya manusia menyadari bahwa dirinya mengetahui sesuatu.
Disadari betul bahwa pengetahuannya terbatas. Kesadaran akan keterbatasan
pengetahuan itu disebut metode transendental (Snijders, dalam Rusliana, 2017).
Syafii (dalam Hambali, 2017) menyatakan bahwa setiap ilmu sudah pasti
pengetahuan, tetapi pengetahuan belum tentu ilmu. Syarat penting pengetahuan bisa
disebut ilmu adalah keberadaan obyek, baik obyek material maupun obyek formal.
Ditinjau dari segi proses dan metodenya, pengetahuan dibedakan menjadi
pengetahuan prailmiah dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan prailmiah adalah
pengetahuan yang belum dapat atau tidak dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Sedangkan pengetahuan ilmiah dalah pengetahuan yang diperoleh melalui metode
ilmiah dan telah dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Bagus, dalam Rusliana,
2017).
Ilmu pengetahuan adalah sebutan umum untuk pengetahuan ilmiah. Ilmu
pengetahuan adalah satu kesatuan ide yang mengacu kepada obyek yang sama dan
saling berkaitan secara logis. Ilmu pengetahuan juga ditandai dengan keterbukaan
atas metode dan hasil penelitian sehingga siapa pun dapat mengaksesnya kembali
(Rusliana, 2017).
Ilmu pengetahuan sebagai obyek, menurut Ali Maksum (dalam Latif, 2015)
merupakan himpunan informasi yang berupa pengetahuan ilmiah tentang gejala

17
yang dapat dilihat, dirasakan, atau dialami. Masalah yang menjadi perhatian di
dalam aktivitas ilmu pengetahuan yaitu pencarian kejelasan dan perumusan
penjelasan mengenai struktur, fungsi, dan pola laku gejala-gejala, baik gejala alam,
gejala sosial, maupun gejala pikir.
B. Hakikat Pengetahuan dan Sumber Pengetahuan
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui
tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya ilmu. Ilmu merupakan bagian
dari pengetahuan yang diketahui manusia di samping berbagai pengetahuan
lainnya. Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan mental. Cara menyusun
pengetahuan dalam kajian filsafat disebut epistemologi, dan landasan epistemologi
disebut metode ilmiah. Setiap jenis pengetahuan memiliki ciri-ciri yang spesifik
mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi)
pengetahuan itu disusun. Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk
menjawab permasalahan kehidupan yang sehari-hari dihadapi manusia
(Suriasumantri, 2010).
Sumber pengetahuan seperti dikemukakan Nurani Sayomukti (dalam Latif,
2015) meliputi lima hal, yaitu sebagai berikut.
1) Empirisme, adalah aliran yang menganggap bahwa pengetahuan didapatkan
melalui pengalaman empiris. Tiga aspek penting yang ada di dalam empirisme,
yaitu mengetahui (subyek) yang diketahui (obyek) dengan cara mengetahui
(pengalaman).
2) Rasionalisme, adalah aliran yang mengatakan bahwa dasar kepastian dan
kebenaran pengetahuan selain terbukti secara empiris, pengetahuan harus
didukung oleh fakta empiris.
3) Intuisi, adalah kemampuan akal manusia untuk mendapatkan pengetahuan
secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran tertentu.
4) Wahyu, adalah pengetahuan yang diturunkan oleh Tuhan kepada manusia dan
bersifat mistis. Wahyu identik dengan agama dan kepercayaan.
5) Otoritas, yaitu kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh individu dan diakui oleh
kelompoknya.

C. Manusia, Ilmu, Pengetahuan, dan Kebenaran


Sejak hadirnya manusia di dunia sebagai makhluk Bumi, sebenarnya mereka
telah memiliki ilmu pengetahuan sebagai penolong hidupnya untuk bertahan dan
melangsungkan keberlanjutan generasinya hingga sekarang. Pemahaman tentang
keilmuan memang sangat terbatas hanya sebatas berpikir manusia. Sintesis dari
ketebatasan ini adalah bahwa tidak semua masalah yang dipertanyakan manusia
dapat dijawab secara positif oleh ilmu pengetahuan. Penyebabnya adalah sifat ilmu
yang terbatas, baik pada subyek, obyek, maupun metodologinya (Latif, 2015).
Ilmu dan pengetahuan memiliki keterkaitan satu sama lain. Jika ilmu adalah
hasil dari pengetahuan, maka pengetahuan adalah hasil tahu (ilmu) manusia
terhadap suatu obyek yang dihadapi. Atau dengan kata lain, ilmu adalah rangkaian
aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang akhirnya
menghasilkan pengetahuan (Susanto, 2016).

18
Manusia adalah makhluk yang berpikir. Dengan akal sebagai alatnya,
manusia melakukan penalaran dalam setiap upaya untuk menghafal, mengingat,
memahami, dan memutuskan segala sesuatu. Akal menjadi satu bagian kehidupan
manusia yang digunakan untuk mencapai tahap kebenaran (Rusliana, 2017).
Kebenaran merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan untuk membuktikan
suatu kebenaran dari teori ataupun pengetahuan yang didapatkan. Namun,
kebenaran sendiri merupakan suatu bentuk dari rasa ingin tahu setiap individu.
Dalam menguji suatu kebenaran, diperlukan teori ataupun metode yang berfungsi
sebagai penunjuk jalan bagi jalannya pengujian kebenaran. Jujun Suriasumantri
(2010), Louise Kattsoff (dalam Latif, 2015), dan Michael Williams (dalam
Rusliana, 2017) mengemukakan lima teori kebenaran ilmiah. Kelima teori tersebut
antara lain sebagai berikut.
1) Teori koherensi (the coherence theory of truth). Berdasarkan teori ini, suatu
pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat koheren atau
konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori ini
merupakan suatu usahapengujian atas arti kebenaran.
2) Teori korespondensi (the corespondence theory of truth). Teori ini menjelaskan
bahwa suatu pernyataan atau keadaan disebut benar bila ada kesesuaian antara
arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan obyek yang dituju
atau dimaksud oleh pernyataan itu. Kebenaran tau keadaan dapat dinilai dengan
membandingkan antara preposisi dengan fakta yang berhubungan.
3) Teori pragmatis (the pragmatic theory of truth). Menurut teori ini, suatu
preposisi atau pernyataan bernilai benar bila memiliki konsekuensi yang dapat
digunakan atau bermanfaat. Kebenaran pragmatis didasarkan pada kegunaan,
4) Teori performatif (the performative theory of truth). Teori ini menyatakan
bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas
tertentu (terdapat tindakan konsesi/ pembenaran).
5) Teori struktural (the structural theory of truth). Teori ini menyatakan bahwa
suatu pernyataan disebut benar bila pernyataan tersebut berdasarkan dan sesuai
dengan paradigma atau perspektif tertentu.

19
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan materi tentang filsafat ilmu di disajikan pada bab I
sampai dengan bab IV, maka penulis memberi kesimpulan sebagai berikut.
1) Asal mula ilmu adalah filsafat, karena filsafat merupakan ‘ruang pemikiran’
yang terlebih dahulu melakukan pembahasan tentang segala yang ada secara
sistematis, rasional, dan logis termasuk yang empiris, sehingga ilmu berperan
sebagai satu obyek kajian filsafat serta arah pertumbuhan dan perkembangan
segala ilmu merujuk pada filsafat.
2) Sejarah mencatat bahwa proses perkembangan ilmu sebagai pengetahuan yang
bersifat ilmiah tidak berlangsung secara ringkas, tetapi membutuhkan waktu
yang sangat panjang dimulai dari lahirnya filsafat yang menghasilkan ilmu
pengetahuan dasar pada zaman Yunani kuno, berlanjut pada zaman Islam
klasik, beralih ke zaman renaissance, zaman modern, hingga tiba pada zaman
kontemporer. Bahkan, perkembangan ilmu masih berlangsung hingga hari ini.
3) Dasar ilmu terdiri atas tiga cabang, yaitu ontologi (hakikat ilmu), epistemologi
(cara mendapatkan pengetahuan), dan aksiologi (nilai guna pengetahuan).
4) Ilmu tidak muncul ke dalam kehidupan manusia dengan sendirinya, tetapi
diawali dengan pengetahuan. Pengetahuan yang didapatkan pada batas
pemikiran dan inderawi tetap sebagai pengetahuan, sedangkan pengetahuan
yang dibuktikan kebenarannya melalui proses dan metode ilmiah sudah bisa
disebut sebagai ilmu.

20
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Endraswara, Suwardi. 2015. Filsafat Ilmu: Konsep, Sejarah, dan Pengembangan
Metode Ilmiah (Edisi Revisi). Yogyakarta: Center for Academic Publishing
Service.
Hambali. 2017. Filsafat Ilmu Islam dan Barat. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Latif, Mukhtar. 2015. Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta:
Kencana.
Rusliana, Iu. 2017. Filsafat Ilmu. Bandung: PT. Refika Aditama.
Siagian, Sondang P. 2016. Filsafat Administrasi (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Suriasumantri, Jujun S. 2010. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
PT. Penebar Swadaya.
Susanto, A. 2016. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Fautanu, Idzam. 2012 Filsafat Ilmu Teori dan Aplikasi Cet. I, Jakarta: Rerferensi.

B. Internet
Karim, Abdul. Juni 2014. Fikrah: Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan (hal.
273-289). http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=401279&val=6782&title=SEJARAH%20PERKEMBANGAN
%20ILMU%20PENGETAHUAN

21

Anda mungkin juga menyukai