Anda di halaman 1dari 24

BAB I

FILSAFAT DAN ILMU

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat dan Ilmu


Pengertian Filsafat
Berbagai pengertian filsafat yang telah dikemukakan para ahli menunjukkan
bahwa betapa sulitnya ditemukan kesepakatan mereka mengenai pengertian filsafat,
namun paling tidak, dapat ditemukan pemahaman umum, bahwa aktivitas filsafat
selalu ditandai dengan adanya upaya berpikir logis, kritis, dan sistematis tentang
segala realitas yang ada dan yang mungkin ada yang akan menjadi sikap dan
keyakinan yang sangat dijunjung tinggi oleh subjeknya. SepertiTafsir (2000: 11)
menyatakan bahwa mula-mula filsafat diartikan sebagai the love of wisdom atau
love for wisdom. Pada fase ini filsafat berarti sifat seseorang yang berusaha menjadi
orang yang bijak atau sifat orang yang ingin atau cinta pada kebijaksanaan. Pada fase
ini filsafat juga berarti sebagai kerja seseorang yang berusaha menjadi orang yang
bijak. Jadi, yang pertama filsafat sebagai sifat, dan yang kedua filsafat sebagai kerja.
Sebagai perbandingan, ada baiknya kita kutip pula pendapat lain, seperti yang
dikemukakan oleh Suriasumantri (2008: 20) bahwa seorang yang berfilsafat dapat
diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang.
Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seseorang,
yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia
ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Karakteristik
berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas
lagi mengenai ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat
hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu
dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu
membawa kebahagiaan kepada dirinya.
Sering kita melihat seorang ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir
memandang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan IPA merasa lebih tinggi dari
lulusan IPS. Atau lebih sedih lagi, seorang ilmuwan memandang rendah kepada
pengetahuan lain. Mereka meremehkan moral, agama, dan nilai estetika. Mereka,
para ahli yang berada di bawah tempurung disiplin keilmuannya masing-masing,
sebaiknya tengadah ke bintang-bintang dan tercengang: Lho, kok masih ada langit
lain di luar tempurung kita. Dan kita pun lalu menyadari kebodohan kita sendiri.
Yang saya tahu, simpul Sokrates, ialah bahwa saya tak tahu apa-apa!
Kerendahan Sokrates ini bukanlah verbalisme yang sekadar basa basi.
Seorang berpikir filsafat selain tengadah ke bintang-bintang juga membongkar
tempat berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berpikir filsafat yang kedua
yakni sifat mendasar. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar.
Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria
tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa?
Seperti sebuah lingkaran, maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusur sebuah
linggkaran, kita harus mulai dari satu titik, yang awal dan pun sekaligus akhir. Lalu
bagaimana menentukan titik awal yang benar? Ternyata masih banyak lagi di langit
dan di bumi, selain yang terjaring dalam filsafatmu. Memang demikian, secara terus
terang tidak mungkin kita mengangguk pengetahuan secara keseluruhan, dan bahkan
kita tidak yakin kepada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar.
Dalam hal ini kita hanya berspekulasi dan inilah yang merupakan ciri filsafat yang
ketiga yakni sifat spekulatif
Kita mulai mengernyitkan kening dan timbul kecurigaan terhadap filsafat:
bukankah spekulasi ini suatu dasar yang tidak bisa diadakan? Dan ahli filsafat akan
menjawab: memang namun hal ini tidak bisa dihindarkan. Menyusur sebuah
lingkaran kita harus mulai dari sebuah titik bagaimanapun juga spekulatifnya. Yang
penting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis maupun pembuktiannya,
kita bisa memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak,
Dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan.
Apakah yang disebut logis? Apakah yang disebut benar? Apakah yang disebut sahih?
Apakah alam ini teratur atau kacau? Apakah hidup ini ada tujuannya atau absurd?
Adakah hukum yang mengatur alam dan segenap sarwa kehidupan?
Sekarang kita sadar semua pengetahuan yang sekarang ada dimulai dengan
spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat
diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa
menetapkan kriteria tentang apa yang disebut benar maka tidak mungkin
pengetahuan lain berkembang di atas dasar kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang
disebut baik atau buruk maka kita tidak mungkin berbicara tentang moral. Demikian
juga tanpa wawasan apa yang disebut indah atau jelek tidak mungkin kita berbicara
tentang kesenian.
Secara etimologis, filsafat diambil dari bahasa Arab, falsafah. Kata falsafah
ini berasal dari bahasa Yunani, Philosophia, kata majemuk yang berasal dari kata
Philos yang artinya cinta atau suka, dan kata Sophia yang berarti kearifan,
hikmah,kebijaksanaan, keputusan atau pengetahuan yang benar. Dengan demikian
secara etimologis, filsafat memberikan pengertian cinta kebenaran dan atau
kebijaksanaan.
Berdasarkan kata ini dapat dipahami, bahwa filsafat bukanlah sekedar
kebenaran, hikmah dan atau kebijaksanaan itu sendiri, tetapi lebih cinta akan
kebenaran atau kebijaksanaan yang tentu ditujukan pada upaya hati-hati dan serius
yang dilakukan oleh seseorang melalui tata cara yang dapat dipertanggung jawabkan
dalam menggunakan daya pikir kritisnya guna untuk meraih kebenaran, kebaikan dan
atau kebijaksanaan sejati.
Secara terminologis, filsafat mempunyai arti yang bermacam-macam,
sebanyak orang yang memberikan pengertian. Berikut ini dikemukakan beberapa
definisi tersebut:
1. Plato ( 477 SM-347 SM ). Ia seorang filsuf Yunani terkenal, gurunya Aristoteles,
ia sendiri berguru kepada Socrates. Ia mengatakan bahwa filsafat adalah
pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai
kebenaran yang asli.
2. Aristoteles ( 381 SM-322 SM ), mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang
meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu; metafisika, logika,
etika, ekonomi, politik,dan estetika.
3. Alfarabi ( wafat 950 M ), seorang filsuf muslim mengatakan bahwa filsafat adalah
ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang
sebenarnya.
4. Ibnu Sina, membagi filsafat dalam dua bagian, yaitu teori dan praktek, yang
keduanya berhubungan dengan agama, dimana dasarnya terdapat dalam syari’at
Tuhan, yang penjelasan dan kelengkapannya diperoleh dengan tenaga akal
manusia.
5. Harold H. Titus, menyebutkan, bahwa filsafat tidak lain adalah sekumpulan sikap
hidup yang terbentuk dari berpikir kritis tentang realitas kehidupan dan alam.
Jadi, filsafat ialah daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami
mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia.
Di Jerman dibedakan antara filsafat dengan pandangan hidup (weltanschaung).
Filsafat diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai
keakar-akarnya. Dalam pengertian lain, filsafat diartikan sebagai interpretasi atau
evaluasi terhadap apa yang penting atau apa yang berarti dalam kehidupan. Dipihak
lain ada yang beranggapan bahwa filsafat sebagai cara berfikir yang kompleks. Ada
pula yang beranggapan, bahwa para filosof telah bertanggung jawab terhadap cita-
citadan kultur masyarakat tertentu. Seperti halnya Karl Marx dan Federick Engeles
telah menciptakan komunisme. Filsafat dapat dipelajari secara akademis, diartikan
sebagai suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai ke akar-akarnya
mengenai segala sesuatu yang ada (wujud).
Filsafat dapat diartikan juga sebagai “berfikir reflektif dan kritis” (reflektif
and crirical thinking). Namun Randal dan Buchler (1942) memberikan kritik
terhadap pengertian tersebut, dengan mengemukakan bahwa definisi tersebut tidak
memuaskan karena beberapa alasan yaitu : (1) tidak menunjukkan karakteristik yang
berbeda antara berfikir filosofi dengan fungsi-fungsi kebudayaan dan sejarah; (2)
para ilmuwan juga berfikir reflektif dan kritis, padahal antara sains dan filsafat
berbeda; (3) ahli hukum, ahli ekonomi, juga ibu rumah tangga sewaktu-waktu
berfikir reflektif dan kritis, padahal mereka bukan filosof atau ilmuwan.
Dalam Al-Qur’an dan budaya Arab terdapat istilah “hikmat” yang berarti arif
atau bijak. Filsafat itu sendiri bukan hikmat, melainkan cinta yang sangat mendalam
terhadap hikmat. Dengan pengertian tersebut, maka filosof adalah orang yang
mencintai dan mencari hikmat dan berusaha mendapatkannya.
Filsafat dalam arti sekarang mulai dikenal sejak zaman Yunani kuno. Para
tokoh filsafat pada waktu itu adalah Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM),
dan Aristoteles (384-322 SM). Socrates mengajarkan bahwa manusia harus mencari
kebenaran dan kebijakan dengan cara berfikir secara dialektis. Plato mengatakan
kebenaran hanya ada di alam ide yang bisa diselami dengan akal, sedangkan
Aristoteles merupakan peletak dasar empirisme, yaitu kebenaran harus dicari melalui
pengalaman panca indra. Para tokoh filsafat di atas yang kemudian diikuti oleh
tokoh-tokoh yang lain, walaupun pandangan mereka belum tentu sama, membuahkan
suatu pemahaman tentang filsafat. Filsafat ialah hasil pemikiran dan perenumgan
secara mendalam tentang sesuatu sampai ke akar-akarnya.Sesuatu disini dapat berarti
terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. Bila berarti terbatas, filsafat membatasi
diri akan hal tertentu saja. Bila berarti tidak terbatas, filsafat membahas segala
sesuatu yang ada di alam ini yang sering dikatakan filsafat umum. Sementara itu
filsafat yang terbatas adalah filsafat ilmu,filsafat pendidikan, filsafat seni dan
sebagainya. Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka
dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering
dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu
hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia saja. Sesungguhnya isi alam
yang dapat diamati hanya sebagian kecil saja. Diibaratkan mengamati gunung es, kita
hanya mampu melihat yang di atas permukaan laut saja. Sementara itu, filsafat
mencoba menyelami sampai ke dasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu
yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.

B. Pengertian Ilmu
Apakah Ilmu Itu?
Secara etimologi ilmu berasal dari kata “ilm” (Bahasa Arab), Science (Bahasa
inggris) atau Scientia (Bahasa Latin)yang mengandung kata kerja scire yang
berarti tahu atau mengetahui. Lalu apa perbedaan ilmu dengan pengetahuan?
Pengetahuan yang merupakan padan kata dari knowledge merupakan kumpulan
fakta-fakta, sedangkan ilmu adalah pengetahuan ilmiah/sistematis. Kumpulan
fakta-fakta tersebut merupakan bahan dasar dari suatu ilmu, sehingga pengetahuan
belum dapat dikatakan sebagai ilmu, namun ilmu pasti merupakan pengetahuan.
Ilmu berbeda dengan pengetahuan. Pengetahuan merupakan kumpulan fakta
yang merupakan bahan dari suatu ilmu, sedangkan ilmu adalah suatu kegiatan
penelitian terhadap suatu gejala ataupun kondisi pada suatu bidang dengan
menggunakan berbagai prosedur, cara, alat dan metode ilmiah lainnya guna
menghasilkan suatu kebenaran ilmiah yang bersifat empiris, sistematis, objektif,
analisis dan verifikatif.
Ilmu itu haruslah sistematis dan berdasarkan metodologi, ia berusaha
mencapai generalisasi. Dalam kajian ilmiah, kalau data yang baru terkumpul
sedikit atau belum cukup, ilmuwan membina Hipotesis ialah dugaan pikiran
berdasarkan sejumlah data. Hipotesis memberi arah pada penelitian dalam
menghimpun data. Data yang cukup sebagai hasil penelitian dihadapkan pada
hipotesis. Apabila data itu mensahihkan (valid)/menerima hipotesis. hipotesis
menjadi tesis atau hipotesis menjadi teori. Jika teori mencapai generalisasi yan
umum, menjadi dalil ia dan bila teori memastikan hubungan sebab akibat yang
serba tetap, ia kan menjadi hukum (Suaedi, 2015: 20).
Para ahli mempunyai penafsiran yang berbeda-beda tentang pengertian ilmu
antara lain sebagai berikut.
1. Al-Farabi (w.950), ilmu itu sendiri diperoleh oleh akal manusia setelah melalui
jiwa sensitif dalam hal ini disebutnya dengan pancaindera, jiwa sensitif
menyampaikannya ke jiwa imajinatif, kemudian dari sini disampaikan ke akal.
Kemampuan seperti ini disebutnya juga dengan kemampuan kognitif.
2. Nazir (1988), menyatakan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum
dan sistematis, pengetahuan dari mana dapat disimpulkan dalil-dalil tertentu
menurut kaidah-kaidah umum.
3. Shapere (1974), menyatakan bahwa konsepsi ilmu pada dasarnya mencakup tiga
hal yaitu adanya rasionalitas, dapat digeneralisasi dan dapat disistematisasi.
4. Schulz (1962), menyatakan bahwa pengertian ilmu mencakup logika, adanya
interpretasi subjektif dan konsistensi dengan realitas sosial.
5. Ashley Montagu, Guru Besar Antropologi di Rutgers University menyatakan
bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang disusun dalam suatu sistem yang
berasal dari pengamatan. Studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip
tentang hal yang sedang dikaji.
Merujuk beberapa pendapat seperti tersebut di atas, bahwa ilmu merupakan
suatu kumpulan proses dengan menggunakan suatu metode ilmiah yang
menghasilkan suatu pengetahuan yang sistematis. Jadi ilmu merupakan sebagian
pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu yaitu sistematik, rasional,
empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan kumulatif.
Apakah relasi ilmu dengan pengetahuan ?
John G. Kemeny mengatakan bahwa ilmu merupakan semua pengetahuan yang
dikumpulkan dengan metode ilmiah. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa ilmu
merupakan hasil/produk dari sebuah proses yang dibuat dengan menggunakan
metode ilmiah sebagai suatu prosedur.
Proses yang dilakukan untuk menghasilkan suatu ilmu bukan merupakan
proses pengolahan semata tetapi merupakan suatu rangkaian aktivitas
ilmiah/penelitian terhadap suatu hal yang dilakukan oleh sekelompok orang yang
dikenal dengan istilah ilmuan(scientist) yang bersifat rasional, kognitif, dan
teleologis (memiliki tujuan yang jelas).
Secara lengkap menurut The Liang Gie definisi Ilmu adalah rangkaian
aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan metode berupa aneka prosedur
dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis
mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan
mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan ataupun
melakukan penerapan.
Suatu ilmu harus bersifat empiris (hasil dari panca indera/percobaan),
sistematis (memeiliki keterkaitan yang teratur), objektif (bukan hasil prasangka),
analitis dan verifikatif (bertujuan mencari kebenaran ilmiah). Ilmu memiliki pokok
persoalan (objek) dan fokus perhatian. Sebagai contoh ilmu alam. Ilmu alam
memiliki pokok persoalan terkait dengan alam dengan beberapa fokus perhatian
seperti fisika, kimia, biologi, dan lain-lain.

C. Filsafat Peneratas Ilmu Pengetahuan


Pertanyaan yang muncul di dalam benak kita ialah apakah filsafat peneratas
ilmu pengetahuan. Pertanyaan ini mungkin menggelitik kita. Para pakar secara
umum menyatakan adanya relasi antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Seperti
Suriasumantri (2008: 22) menyatakn bahwa filsafat dengan meminjam pemikiran
Will Durant, dapat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk
pendaratan pasukan infantri. Pasukan infantri ini adalah sebagai ilmu. Filsafatlah
yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu ilmulah
yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini
menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan maka
filsafat pun pergi. Dia kembali menjelajah laut lepas: berspekulasi dan meneratas.
Seorang yang skeptis akan berkata: sudah lebih dari dua ribu tahun orang berfilsafat
namun selangkah pun dia tidak maju. Sepintas lalu kelihatannya memang demikian,
dan kesalahpahaman ini dapat segera dihilangkan, sekiranya kita sadar bahwa filsafat
adalah marinir yang merupakan pionir, bukan pengetahuan yang bersifat memerinci.
Filsafat menyerahkan daerah yang sudah dimenangkannya kepada ilmu pengetahuan-
pengetahuan lainnya. Semua ilmu, baik ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, bertolak
dari pengembangannya bermula sebagai filsafat. Issac Newton (1642-1627) menulis
hukum-hukum fisikanya sebagai Philosophie Naturalis Principia Mathematica
(1686) dan Adam Smith (1723-1790) bapak ilmu ekonomi menulis buku The Wealth
of Nations (1776) dalam fungsinya sebagai Professor of Moral Philosophy di
Universitas Glasgow.
Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal
ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Dalam perkembangan filsafat
menjadi ilmu maka terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini maka bidang
penjelajahan filsafat menjadi lebih sempit. Tidak lagi menyeluruh melainkan
sektoral. Di sini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan
melainkan dikaitkan dengan kegiatan kemanusiaan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya yang kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi. Walaupun demikian
dalam taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan kepada norma-norma
filsafat. Umpamanya ekonomi masih merupakan penerapan etika (applied ethics)
dalam kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Metode yang dipakai
adalah normatif adalah normatif dan deduktif berdasarkan asas-asas moral yang
filsafati. Pada tahap selanjutnya ilmu menyatakan dirinya otonom dari konsep-
konsep filsafat dan mendasarkan sepenuhnya kepada hakikat alam sebagaimana
adanya. Pada tahap peralihan ilmu masih mendasarkan kepada norma yang
seharusnya, sedangkan dalam tahap terakhir ini, ilmu mendasarkan kepada penemuan
alamiah sebagaimana adanya. Dalam menyusun pengetahuan tentang alam dan isinya
ini maka manusia tidak lagi mempergunakan metode yang bersifat normatif dan
deduktif melainkan kombinasi antara deduktif dan induktif dengan jembatan yang
berupa pengajuan hipotesis yang dikenal sebagai metode logico-hypothetico-
verifikatif.Tiap ilmu dimulai dari filsafat dan diakhiri dengan seni,”ujar Will Durant,”
muncul dalam hipotesis dan berkembang ke keberhasilan. Auguste Comte (1798-
1857) membagi tiga tingkat perkembangan pengetahuan tersebut di atas ke dalam
tahap religius, metafisik, dan positif. Dalam tahap pertama maka asas religilah yang
dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari
ajaran religi. Tahap kedua orang mulai berspekulasi tentang metafisika (keberadaan)
ujud yang menjadi objek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan
mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik tersebut.
Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah, (ilmu) di mana asas-asas
yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang objektif.

D. Perbedaan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan


Setelah kita mengkaji tentang filsafat dan ilmu pengetahuan kemudian
muncul di dalam benak kita pertanyaan selanjutnya ialah apakah filsafat berbeda
dengan ilmu pengetahuan, kendatipun keduanya adalah dua tata cara manusia untuk
memperoleh kebenaran. Mari kita simak perbedaan-perbedaan tersebut. Seperti
Muhmidayeli (2011: 16) menyatakan bahwa bahan filsafat tidaklah sama seperti
bahan-bahan yang ada pada ilmu pengetahuan. Bahan pada filsafat bersifat universal,
sedangkan ilmu terbatas hanya pada bidang-bidang tertentu, sifatnya parsial. Filsafat
diarahkan pada keseluruhan capaian-capaian hakikat-hakikat dalam keseluruhan
kemungkinan-kemungkinan yang menunjuk pada sesuatu yang menjadi fokus kajian,
sedangkan ilmu pengetahuan lebih tertuju hanya pada lingkup objeknya saja. Dengan
kondisinya yang demikian, menjadikan sifat dan corak kebenaran filsafat dan ilmu
pengetahuan pun akan berbeda.
Hal lain yang membedakan dunia filsafat dan ilmu pengetahuan ialah dalam
hal aktivitasnya. Filsafat memulai kerjanya dengan langkah-langkah yang tidak
memberikan kepemihakan. Seorang filsuf mestilah tidak menerima sesuatu apapun
sebagai suatu kebenaran, sebelum ia mencari dan menemukan kebenaran itu.
Seorang filsuf mestilah membebaskan diri dari berbagai penerimaan pendirian
tertentu sebagai suatu yang benar. Dan disinilah makna universalitasnya. Lain halnya
dengan ilmu pengetahuan yang memiliki nilai kebenaran yang bersifat parsial, maka
dalam aktivitas pencariannya, ia mesti mengabaikan aspek-aspek yang lain,
kendatipun ilmuwan menyadari bahwa hubungan interdepensi antar realitas itu tidak
dapat dielakan.
Selanjutnya jika dilihat dari model membangun nilai kebenaran, berbeda
dengan filsafat, ilmu pengetahuan lebih mengarahkan upaya pencariannya pada hal-
hal yang terukur adn terverifikasi secara empiris. Ada hubungan yang tidak dapat
dilupakan antara wilayah teoretis dan praktik. Sedemikian rupa, keyakinan
pengetahuan tidak akan ditemukan jika apa yang dipikirkan oleh seorang ilmuwan
tidak terbukti secara empiris. Oleh karena itu, apa yang telah terumus dalam bentuk
hipotesis yang dibangun dari teori-teori yang mendukung belum dapat dikatakan
ilmu pengetahuan jika ia belum terbukti benar dalam tataran wilayah empiris.
Lebih lanjut perbedaan prinsipil ini dapat dipetakan dalam tata caranya
adalah sebagai berikut.
FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
Analisis filsafat diarahkan pada Analisis ilmu pengetahuan diarahkan
keseluruhan hakikat dalam semua sebatas pada lapangan tertentu, sifatnya
kemungkinan-kemungkinan. parsial.
Filsuf tidak boleh menerima pendirian Ilmu pengetahuan mengabaikan aspek-
apa pun juga sebagai sesuatu yang benar aspek lain yang tidak termasuk ke dalam
dan yang lain adalah salah, sehingga objek kajian.
segala sesuatu yang ada mesti menjadi
bahan pertimbangan.
Filsafat akan menghasilkan kesimpulan Penarikan kesimpulan dalam metodologi
melalui berpikir radikal. ilmu pengetahuan diambil dari uji sebab-
sebab yang terdekat.
Fakta dalam filsafat adalah suatu hasil Fakta dalam ilmu pengetahuan adalah
tujuan dan penelitian dalam konteks suatu yang telah teruji dan teramati
interpretasi keseluruhan realitas secara secara ketat.
menyeluruh.
Kebenaran filsafat bersifat universal Kebenaran ilmu pengetahuan hanya pada
totalitas dan komprehensif. skopnya yang terbatas.
Aktivitas filsafat dimualai dengan upaya Aktivitas ilmu pengetahuan justru
membebaskan diri dari berbagai bentuk dimualai dari sangkaan dan dugaan-
sangkaan dan pendirian-pendirian. dugaan.

Perbedaan prinsipil inilah yang menjadikan filsafat tidak dapat disebut sebagai ilmu
pengetahuan, karena memang filsafat mendekati berbagai realita secara nonscientific.
Di dalam menemukan kebenaran, filsafat dalam saja melebihi atau melampaui dunia
riil dalam pandangan praktis tentang kehidupan. Hal ini dimungkinkan karena dalam
penelusurannya, filsafat tidak dibatasi oleh eksistensi keilmuan dan pendirian apapun
dari dirinya.

E. Ruang Lingkup Filsafat


Ruang lingkup filsafat adalah segala sesuatu lapangan pikiran manusia yang
amat luas. Segala sesuatu yang mungkin ada dan benar, benar ada (nyata), baik
material konkrit maupuan nonmaterial abstrak (tidak terlihat). Jadi obyek filsafat itu
tidak terbatas. Objek pemikiran filsafat yaitu dalam ruang lingkup yang menjangkau
permasalahan kehidupan mausia, alam semesta, dan alam sekitarnya. Ruang lingkup
filsafat menkaji:
1. Tentang hal mengerti, syarat-syaratnya dan metode-metodenya.
2. Tentang ada dan tidak ada;
3. Tentang alam, dunia dan seisinya.
4. Menentukan apa yang baik dan apa yang buruk.
5. Hakikat manusia dan hubungannya dengan sesama makhluk lainnya.
6. Tuhan tidak dikecualikan.
Berdasarkan objek kajiannya, Muhmidayeli (2012: 16) mengatakan bahwa
kajian filsafat biasanya dibagi ke dalam tiga bidang permasalahan: metafisika,
epistemologi, dan aksiologi; sehingga setiap masalah filsafat selalu masuk ke dalam
salah satu bidang kajian ini.
1. Metafisika.
Istilah metafisika berasal dari bahasa Yunani Kuno yang terdiri dari dua kata,
“meta” dan “fisika”. Meta berarti sesudah, di belakang, atau melampaui, dan fisika
berarti alam nyata. Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan
tentang hakikat yang tersimpul di belakang dunia fenomena. Metafisika melampaui
pengalaman objeknya di luar hal yang dapat ditangkap oleh pancaindra.
Konsentrasi filsafat disini lebih diarahkan untuk menelaah dan atau mengkaji
secara mendalam dan menyeluruh tentang hakikat yang ada dan yang dianggap ada.
Jika fisika membicarakan segala sesuatu yang dapat disentuh oleh pancaindera yang
kebenarannya ditentukan oleh unsur pengamatan di mana pengujian dan
pengukurannya secara empiris, maka metafisika terfokus telaahannya pada bidang
esensi sesuatu; apakah sesuatu benar-benar ada? Dan apa hakikat sesuatu?
Sekilas pertanyaan-pertanyaan seperti ini sangat sederhana, tetapi yang
diinginkan oleh metafisikawan bukanlah sederhana yang dipikirkan oleh fisikawan.
Kaum fiisikawan jika dihadapkan pada pertanyaan tentang realitas suatu bangunan
umpamanya, maka mereka pun akan menjawab bahwa itu tidak lain adalah molekul-
molekul yang eksistensinya terdiri dari atom-atom; dalam atom terdapat pula
elektron, proton, dan neutron, dan lain sebagainya. Sedangkan jika pertanyaan yang
sama dihadapkan pada kelompok metafisikawan, maka mereka tidak melihat
bangunan itu dari susunan material yang membentuk dirinya, tetapi mereka akan
menjawab persoalan itu dari sudut esensi yang menjadi karakter dan atau sifat
pokoknya yang lebih mendalam dan melekat dari suatu bangunan itu.
Contoh ini mengilustrasikan bahwa istilah metafisika ini dipakai untuk
mengungkap masalah-masalah teoretis-intelektual filsafat dalam maknanya yang
umum. Identitasnya yang menyangkut pandangan tentang realitas yang melampaui
dunia riil. Oleh karena itu, yang termasuk bidang ini adalah kajian-kajian yang
menyangkut persoalan kosmologis seperti pertanyaan-pertanyaan asal mula dunia,
proses dan perkembangan alam semesta; pembicaraan seputar ketuhanan, seperti
apakah Tuhan itu ada, kekuasaan dan keadilan Tuhan, bagaimana proses pikir
tentang adanya Tuhan, bagaimana makhluk bisa berhubungan dengan Tuhan? Dan
lain sebagainya. Begitu pula pertanyaan-pertanyaan seperti hakikat manusia, apa saja
dimensi pembentuk manusia? Apa hubungan akal dan badan manusia? Apa tujuan
hidup manusia? Bagaimana manusia berinteraksi dengan Tuhannya? Apa hakikat
moral bagi manusia? Apakah manusia dapat menentukan moral untuk dirinya? Dan
mungkin juga persoalan-persoalan ontologi, seperti pertanyaan apa sesungguhnya
yang disebut ada dan riil itu? Apakah realitas itu terbangun menurut dengan sistem
yamng teratur atau bukan? Apakah esensi realitas itu ada pada wilayah form atau
wilayah material, pada wilayah energi ruhaniah atau jasmaniah? Dan lain
sebagainya. Atas dasar itu semua maka kajian wilayah metafisika ini berkenaan
dengan kajian-kajian wilayah ontologi seperti dalam filsafat alam, filsafat maanusia,
filsafat ketuhanan, dan lain-lain dan senada dengannya.
Jadi, jika orang bertanya tentang metafisika ini, maka jawabannya tentu akan
mengarah pada bentukk pengetahuan yang akan memberikan pemahaman akan
perbedaan-perbedaan antara yang riil dan yang ilusi; antara pengetahuan tentang
yang esensi dan yang substansi dan empiris sebagaimana apa adanya. Pembicaraan
metafisika selalu bermuara pada penemuan hal yang esensi yang berada dibalik dunia
riil, Capaian filsafat metafisika adalah bagaimana melihat sesuatu realitas secara
paripurna.
Kendatipun demikian, sesungguhnya tidak ada garis batas yang tegas yang
memisahkan antara pengalaman-pengalaman indrawi dan dasar-dasar realitas
pemikiran manusia, sehingga wajar jika dalam beberapa sistem filsafat meyakini,
bahwa tidak ada dasar-dasar pemikiran manusia yang tidak tergantung pada dunia
pengalaman. Sebaliknya, pengetahuan empiris selalu tergantung pada bagaimana
orang memikirkannya secara logis dan sistematis. Kedua sumber ini saling
ketergantungan yang akan membentuk suatu pemahaman akan esensi dan eksistensi
dunia. Sedemikian rupa, sehingga kendatipun kedua sumber ini berada dalam
maknanya masing-masing, namun dalam pembentukan pemahaman yang arif
terhadap segala sesuatu selalu membutuhkan jalinan relasi keduanya.
2. Epistemologi
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, dengan asal kata
“episteme” yang berarti pengetahuan dan “logos” yang berarti teori. Secara
etimologi, epistemologi berarti teori pengetahuan. Epistimologi merupakan cabang
filsafat yang membahas atau mengkaji tentang asal, struktur, metode, serta keabsahan
pengetahuan.
Dalam bidang epistemologi, konsentrasi filsafat tertuju pada pembicaraan
problem pengetahuan, apa pengetahuan itu? Apa sumber dan bagaimana prosedur
memperolehnya? Apa gunanya? Bagaimana nilainya? Bagaimana membentuk
pengetahuan yang valid? Apa kebenaran itu? Mungkinkah manusia meraih
pengetahuan yang benar? Apa yang dapat diketahui manusia dan bagaimana
keterbatasan-keterbatasan pengetahuan manusia? Bagaimana membangun hubungan
interdependensi kebenaran-kebenaran? Epistemologi terkonsentrasi untuk
membicarakan persoalan yang berkenaan dengan hakikat dan struktur pengetahuan.
Secara akademis, epistemologi merupakan kajian yang berkaitan tentang
persoalan dasar ilmu pengetahuan yang meliputi: (1) hakikat ilmu; (2) jenis ilmu
pengetahuan yang mungkin dapat diraih manusia; (3) sumber ilmu pengetahuan itu;
dan (4) Batas-batas ilmu pengetahuan manusia
Kajian epistemologi diperlukan terutama untuk membuat jaminan-jaminan
suatu keputusan itu dapat dikatakan benar. Kebenaran yang diambil atas dasar
common sense atau mungkin atas dasar pandangan dan atau pendapat ahli saja tidak
dapat menjamin seseorang untuk merasa puas akan temuannya. Kondisi ini
meniscayakan seseorang ingin melanjutkannya dengan mencari sesuatu yang tidak
menjadikannya ragu dan bimbang atas apa yang diketahuinya. Hal ini mengingat
pengetahuan manusia tidak terlepas dari ekspresi cara beradanya di dunia yang dalam
banyak variannya terkait dengan konsep-konsep dan keyakinan-keyakinan yang telah
terbangun dan terstruktur dalam dirinya.
Dalam konteks Islam, persoalan epistemologi tidak dapat dilepaskan begitu saja
dengan keyakinan umatnya bahwa pengetahuan (ilmu manusia) bersumber dari sifat
kesempurnaan ilmu Tuhan, dan oleh karena itu, ia hanya dapat diraih bila seseorang
itu memiliki pengetahuan tentang ketuhanan dan hubungannya dengan rahasia alam
jagad raya. Ada jalinan yang erat antara manusia sebagai pencari kebenaran, Tuhan
sebagai sumber kebenaran dan alam jagad raya sebagai sasaran olahan pengetahuan.
Persoalan di atas melahirkan perbedaan pendapat para ahli di dalam
memandang pengetahuan itu sendiri. Diantaranya ada yang mengatakan bahwa
pengetahuan Tuhan adalah mungkin, demikian juga kesatuan dengan Tuhan dalam
satu bentuk atau bentuk lain adalah juga mungkin. Namun, ada pula yang
mengatakan bahwa manusia dengan berbagai keterbatasan eksistensinya terkait
dengan bagian lain di luar pemikirannya untuk membuat lompatan dari kemampuan
personal ke keyakinan dalam pegangan pemahaman alam ini. Pendapat terakhir ini
berkeyakinan bahwa pengetahuan wahyu bersifat literal, dan oleh karena itu,
membaca firman Allah SWT mesti dilihat apa adanya. Sedangkan pada pandangan
pertama wahyu adalah suatu sistem simbolik di mana al-Qur’an dipandang dalam
bentuk metafora, sehingga memahaminya memerlukan penafsiran-penafsiran.
Dua corak pemikiran inilah yang kemudian melahirkan dua model
pemahaman memandang eksistensi wahyu sebagai sumber pengetahuan, yaitu yang
mengatakan tidak perlu ada penafsiran intelektualitas manusia di dalam memahami
pewahyuan dan yang berpendirian bahwa perlu adanyapenafsiran-penafsiran yang
berupaya membaca misi ilahiah untuk manusia, sehingga yang diinginkan Tuhan
benar-benar berada dalam dunia empiris manusia. Kelompok ini menginginkan
adanya upaya objektivikasi nilai-nilai ilahiah, agar ia bersentuhan langsung dengan
dinamika perkembangan historis manusia di dunia.
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, paling tidak hampir ada suatu
kesepakatan di kalangan para filsuf muslim, bahwa kajian-kajian epistemologi ini
adalah suatu kajian filsafat tentang ilmu pengetahuan dan segala hal yang terkait
dengannya mesti diorientasikan pada substansi ilmu sebagai pengetahuan tentang
realitas/al-Haqq merupakan yang awal dan akhir realitas sekaligus juga sebagai
sumber ilmu pengetahuan, sumber realitas, dan sumber kebenaran itu sendiri.
Pendeknya kajian-kajian epistemologi Islam mesti bermuara pada pendekatan diri
pada Tuhan sebagai pemilik kebenaran dan alam semesta. Dengan demikian dapat
dikatakan, bahwa epistemologi Islam memandang manusia sebagai instrumen
epistemik yang bergerak dari wilayah dirinya dan berusaha menghubungkan ke luar
dirinya menuju ke wilayah ilahiah yang absolut, sehingga sedemikian rupa
pengetahuan apa pun yang dihasilkan oleh manusia akan selalu sarat dengan muatan
nilai-nilai ilahiah sebagai pemiliki ilmu pengetahuan yang sesungguhnya.
Ilmu pengetahuan dalam Islam dapat berupa ilmu hushuliy dan dapat pula
berupa ilmu hudnuriy. Yang pertama adalah ilmu-ilmu yang diupayakan manusia
melalui pengalaman indrawi dan laboratorium, ataupun melalui interpretasi dan
refleksi kognisi. Sedangkan yang kedua lebih berupa ilmu pengetahuan yang mana
kehadirannya secara langsung di luar pencarian seperti pada yang pertama.

3. Aksiologi
Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata
“aksios” yang berarti nilai dan kata”logos” yang berarti teori. Aksiologi merupakan
cabang filsafat yang mempelajari nilai. Menurut Sadulloh (2006 : 36) secara singkat,
aksiologi adalah” teori nilai”. Aksiologi membicarakan tentang: “kegunaan ilmu dan
cara ilmu dalam menyelesaikan masalah ((Tafsir, 2002; Mulyana, 2004 : 77-78).
Jadi, dalam bidang aksiologi, pemikiran filsafat diarahkan pada persoalan nilai, baik
dalam konteks estetika, moral maupun agama. Seperti Runes (1963 : 32)
mengatakan“beberapa persoalan yang berkaitan dengan nilai yang mencakup: (1)
hakikat nilai, (2) tipe nilai, (3) kriteria nilai, (4) status metafisika nilai”.
Yang menjadi pertanyaan dalam wilayah ini terkait pada apa hakikat nilai,
apakah ia absolut atau relatif, bagaimana menentukan nilai, apakah sumber nilai itu
dan lain sebagainya. Persoalan nilai ini sesungguhnya adalah muara bagi keseluruhan
aktivitas berpikir filsafat itu sendiri. Pendeknya, ujung dari keseluruhan aktivitas
filsafat dalam bidang metafisika maupun epistemologi ialah terwujudnya tingkah
laku dan perbuatan-perbuatan manusia yang mengandung nilai. Kearifan sebagai
lambang orientasi kegiatan filsafat tidak akan terwujud jika aktivitas filsafat hanya
bergerak dalam dua bidang kajiannnya saja dan menegasikan wilayah aksiologi.
Menurut Sadulloh (2006 : 37) bahwa hakikat nilai adalah sebagai berikut :(1) teori
voluntarisme, nilai adalah suatu pemuasan terhadap keinginan dan kemauan. (2)
kaum hedonisme, hakikat nilai adalah “pleasure” atau kesenangan.(3) kaum
formalisme, nilai adalah kemauan yang bijaksana yang didasarkan pada akal
rasional, (4) sedangkan kaum pragmatisme, nilai itu baik apabila memenuhi
kebutuhan dan memiliki nilai instrumental, yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Selanjutnya, tipe nilai dapat dibedakan antara nilai instrinstik dan nilai
instrumental. Nilai instrinsik merupakan nilai akhir yang menjadi tujuan, sedangkan
nilai instrumental sebagai alat untuk mencapai tujuan. Nilai instrinsik adalah :
“sesuatu yang memiliki harkat atau harga dalam dirinya dan merupakan tujuan
sendiri.
Kriteria nilai adalah “sesuatu yang menjadi ukuran dari nilai tersebut,
bagaimana yang dikatakan nilai yang baik dan bagaimana yang dikatakan nilai yang
tidak baik. Pemaknaan status metafisika nilai adalah bagaimana hubungan nilai-nilai
itu dengan realitas.
Budimansyah dan Suryadi (2008 : 18) menyatakan bahwa landasan aksiologi akan
menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana
penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan
antara teknik prosedural yangmerupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma-norma moral/profesional?
Wilayah aksiologi adalah berbagai manfaat dari hasil penelitian, hasil
pengembangan, dan/atau hasil penelitian dan pengembangan dalam berbagai bidang
kajian yang telah dicapai bagi kepentingan manusia.

F. Metode dalam Filsafat


Metode filsafat sebagai disiplin ilmu dan pendidikan mempunyai metode
tertentu misalnya :
1. Contemplative (perenungan)
Merenung adalah memikirkan sesuatu atau segala sesuatu, tanpa keharusan
adanya kontak langsung dengan objeknya, misalnya makna hidup, kebenaran,
keadilan, keindahan dan sebagainya. Merenung adalah suatu cara yang sesuai dengan
watak filsafat, yaitu memikirkan segalah sesuatu sedalam-dalamnya, dalam keadaan
tenang hening dan sungguh-sungguh dalam kesendirian atau kapan dan dimanapun.
2. Speculative
Spekulatif juga bagian dari perenung/ merenung. Karena melalui perenungan
dengan pikiran yang tenang kritis, pikiran umum cenderung menganalisis,
mengubungkan antara masalah berulang-ulang sampai pada tujuan.
3. Deductive
Filsafat menggunakan metode deduktif karena filsafat berusaha mencari
kebenaran hakiki. Sebenarnya filsafat menggunakan semua metode agar saling
komplimentasi, selain melengkapi.
Filsafat melahirkan ilmu pengetahuan, tetapi sebaliknya perkembangan berfikir
seorang pribadi, melalui proses : (1) Tingkat indra; (2) Tingkat ilmiah (rasional
kritis, objektif, sistematis). (3) Tingkat filosofis (reflective thinking); (4) Tingkat
religius.

G. Cabang Filsafat
1. Pembagian filsafat menurut bagan induktif
a. Metafisika
(1) Metafisika fundamental, yaitu kritikan
(2) Metafisika sistematis, yaitu ontology dan theodyca
b. Filsafat tentang :
(1) Alam, yaitu kosmologia
(2) Manusia, yaitu anthropologia
c. Filsafat rasional-logika
(1) Logika umum/formal, yaitu logika
(2) Logika khusus/material, yaitu filsafat tentang ilmu pengetahuan.
d. Filsafat praktis atau tentang kebudayaan
(1) Filsafat praktis (tentang keseluruhan kegiatan manusia)
a. Filsafat etika, yaitu etika umum dan etika khusus
b. Filsafat tentang agama
(2) Filsafat kebudayaan (tentang perbuatan lahiriah manusia)
a. Bagian umum : filsafat kebudayaan
b. Bagian khusus : filsafat tentang bahasa, kesenian, hukum, pendidikan,
manusia, dan lain-lain.
2. Pembagian filsafat menurut bagan deduktif
a. Pengetahuan adalah kesadaran akan hal sesuatu, kesadaran akan diri kita sendiri.
b. Pengakuan bahwa aku ini ada. Karena andaikata aku tak ada bagaimanakah aku
dapat berdiri di alun-alun dan sadar akan diriku sendiri.
c. Pengakuan bahwa kodrat saya adalah sadar akan diriku sendiri, mengerti akan
diriku sendiri, ini adalah aspek rohani. Tetapi berdiri di suatu tempat adalah
aspek jasmani.
d. Pengakuan dunia yang kuinjak itu yaitu di alun-alun.
e. Penilaian perbuatan ini, artinya dalam kenyataan setiap perbuatan itu apakah
baik atau tidak baik, sesuai dengan kodrat saya atau tidak sesuai dengan kodrat
saya.
f. Dan mengenai perbuatan ini saya yakin harus memberikan pertanggungjawaban
terhadap suara batin saya sebagai suatu kekuasaan yang berada di dalam maupun
di atas yang akhirnya terhadap Tuhan.
Dalam eksistensinya yang baru filsafat mempunyai beberapa bagian atau
cabang yaitu :
1. Logika, filsafat tentang pikiran dan cara berpikir benar atau salah.
2. Metafisika, filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika dan hakikat yang
bersifat transcendental yaitu di luar atau di atas jangkauan pengalaman manusia.
3. Etika, filsafat tentang pola tingkah laku yang baik dan yang buruk.
4. Estetika, filsafat tentang pola cita rasa atau kreasi yang indah dan yang jelek.
5. Epistimologi, filsafat tentang ilmu pengetahuan.
6. Filsafat-filsafat khususnya lainnya, yaitu filsafat bahasa, filsafat kesenian, filsafat
teknik, filsafat ekonomi, filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat manusia, filsafat
pendidikan, filsafat agama, filsafat pekerjaan sosial dan sebagainya.

H. Aliran-aliran Filsafat
1. Aliran-Aliran dalam Persoalan Keberadaan
Pandangan dari segi jumlah, banyak (kuantitas), artinya berapabanyak
kenyataan yang paling dalam itu. Segi masalah kuantitas inimelahirkan beberapa
aliran filsafat sebagai berikut.

a. Monoisme
Monoisme adalah aliran yang menyatakan bahwa hanyaada satu kenyataan
fundamental. Kenyataan tersebut berupa jiwa,materi, Tuhan, atau substansi lainnya.
Tokoh-tokohnya antara lain :
- Thales (625-545 SM), yang berpendapat bahwa kenyataanterdalam adalah satu
substansi, yaitu air.
- Anaximander (610-547 SM), berkeyakinana bahwa yangmerupakan kenyataan
terdalam adalah Apeiron, yaitu sesuatuyang tanpa batas, tak dapat ditentukan dan
tidak memilikipersamaan dengan salah satu benda yang ada dalam dunia.
- Anaximenes (595-528), berkeyakinan bahwa yang merupakanunsur kenyataan yang
sedalam-dalamnya adalah udara.
Filsuf modern yang termasuk penganut monoisme adalah Baruch Spinoza, yang
berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu Tuhan. Dalam hal ini, Tuhan
diidentikkan dengan alam.

b. Dualisme
Dualisme adalah aliran yang menganggap adanya dua substansi yang masing-
masing berdiri sendiri. Tokoh – tokoh yang termasuk aliran ini adalah :
- Plato (428 – 348 SM), yang membedakan dua dunia yaitu dunia indera ( dunia
bayang-bayang ) dan dunia intelek ( dunia ide).
- Descartes (1596 –1650), membedakan substansi pikiran dan substansi keluasan.
- Leibniz (1724 – 1804), yang membedakan antara dunia yang sesungguhnya dan
dunia yang mungkin.
- Immanuel Kant (1724-1804), yang membedakan antara dunia gejala (fenomena)
dan dunia hakiki.
c. Pluralisme
Pluralisme dalah aliran yang tidak mengakui satu substansi atau dua substansi
melainkan mengakui banyak substansi. Penganut aliran ini adalah:
- Empledokles (490-430), yang menyatakan bahwa hakekat kenyataan terdiri dari
empat unsur yaitu : udara, api, air, dan tanah.
- Anaxagoras (500-428), menyatakan bahwa kahekat kenyataan terdiri dari unsur-
unsur yang tak terhitung banyaknya, sebanyak jumlah sifat benda dan semuanya itu
dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakan nous. Nous adalah arti yang paling
halus yang paling memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur.
- Leibniz (1646 – 1716), menyatakan bahwa hakekat kenyataan terdiri dari monade-
monade yang tak terhingga banyaknya. Monade adalah substansi yang tidak berluas,
selalu bergerak, tidak terbagi, dan tidak dapat rusak. Setiap monade saling
berhubungan dalam suatu sistem yang sebelumya telah diselaraskan.
2. Pandangan dari Segi Sifat (Kualitas)
a.Spiritualisme atau Idealisme
Spiritualisme mengandung beberapa arti, yakni ajaran yang menyatakan bahwa
kenyataan yang terdalam adalah roh, yaitu roh yang mengisi dan mendasari seluruh
alam, spiritualisme juga kadang-kadang dikenakan pada pandangan idealistik yang
menyatakan danya roh mutlak; spiritualisme dipakai dalam istilah keagamaan untuk
menekankan pengaruh langsung dari roh suci dalam bidang agama; spiritualisme
berarti kepercayaan bahwa roh-roh orang mati berkomunikasi dengan orang hidup
melalui orang-orang tertentu yang menjadi perantara dan lewat bentuk wujud yang
lain. Tokoh-tokoh aliran ini adalah:
- Plato (430-348), ajarannya tentang ide atau cita-cita dan jiwa yang merupakan
gambaran asli segala benda. Semua yang ada dalam dunia adalah penjelmaan atau
bayangan saja. Ide atau cita – cita tidak dapat ditangkap oleh indera, tetapi dapat
dipikirkan.
Sedangkan yang dapat ditangkap oleh indera adalah bayang-bayang.
- Leibni (1646-1718), teorinya tentang monade yaitu sesuatu yang bersahaja,
sederhana, tidak menempati ruang, tidak berbentuk. Sifatnya yang terutama adalah
gerak, menanggap, dan berpikir.
2). Materialisme
Materialisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada hal yang
nyata kecuali materi, pikiran dan kesederhanaan adalah penjelmaan dari materi dan
dapat dikembalikan pada unsur-unsur fisik. Materi adalah sesuatu halyang kelihatan,
dapat diraba, berbentuk, dan menempati ruang. Hal- hal yang bersifat kerohanian
seperti pikiran, jiwa, keyakinan, rasa sedih, dan rasa senang, tidak lain adalah
ungkapan proses kebendaan. Tokoh-yokohnya antara lain :
- Demokritus (460-370 SM), menyatakan bahwa alam semesta tersusun atas atom
atom kecil yang memiliki bentuk dan badan. Atom-atom ini memiliki sifat yang
sama, perbedaannya hanya tentang besar, bentuk dan letaknya. Jiwa menurut
Demokritus dikatakan terjadi dari atom-atom yang bentuknya lebih kecil, bulat,
dan mudah bergerak.
- Thomas Hobbes (1588-1679), berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi di
dunia termasuk pikiran dan perasaan merupakan gerak dari materi. Karena segala
sesuatu terjadi dari benda-benda kecil, maka menurut Hobbes, filsafat sama dengan
ilmu yang mempelajari benda-benda.
3. Pandangan dari Segi Proses, Kejadian atau Perubahan
a Mekanisme
Pandangan mekanisme (serba mesin) menyatakan bahwa semua gejala dapat
dijelaskan berdasarkan asas-asas mekanik (mesin). Semua peristiwa adalah hasil dari
materi yang bergerak dan dapat dijelaskan menurut kaidah-kaidahnya dan peristiwa
berdasar pada sebab kerja dan dilawankan dengan sebab tujauan. Pandangan yang
bercorak mekanistik pertama kali diajukan oleh Leucippus dan Demicritus yang
berpendirian bahwa alam dapat diterangkan berdasar pada atom-atom yang bergerak
dalam ruang kosong.
b. Teleogi (Serba Tujuan)
Aliran teologi berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian alam bukanlah
kaidah sebab akibat, akan tetapi sejak semula memang ada sesuatu kemauan atau
kekuatan yang mengarahkan alam ke suatu tujuan.
Plato membedakan antara ide dengan materi. Tujuan berlaku di alam ide
sedangkan kaidah sebab berlaku dalam materi. Menurut Aristoteles, untuk
memahami kenyataan yang sesungguhnya kita harus memahami adanya empat
macam sebab, yaitu sebab bahan yang menjadikan sesuatu itu ada, sebab bentuk
adalah menjadikan sesuatu itu berbentuk, sebab kerja adalah yang menyebabkan
tujuan itu semata-mata karena perubahan tempat atau gerak. Menurut aliran ini ,
kegiatan alam mengandung suatu tujuan dan kaidah sebab akibat hanyalah alat bagi
alam untuk mencapai tujuannya.
c. Vitalisme
Aliran vitalisme memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya
dijelaskan secara fisika-kimiawi, karena hakekatnya berbeda dengan yang tidak
hidup. Filsuf vitalisme Hans Adilf Driesch (1867-1940) menjelaskan bahwa setiap
organisme memiliki asas hidup yang oleh Henry Bergson (1859-1941) disebut
sebagai elan vital. Elan vital merupakan sumber dari sebab kerja dan perkembangan
dalam alam yang mengatur gejala hidup dan menyesuaikan dengan tujuan
hidup.Oleh sebab itu vitalisme sering disebut juga vinalisme.
d. Organisisme (berlawanan dengan vitalisme)
Menurut aliran ini, hidup adalah struktur yang dinamik, suatu kebulatan yang
memiliki bagian-bagian yang heterogen, akan tetapi yang utama adalah adanya
sistem yang teratur.
2. Aliran – aliran dalam Persoalan Pengetahuan
Persoalan pengetahuan yang bertalian dengan sumber-sumber pengetahuan, dijawab
oleh aliran berikut:
a. Rasionalisme
Aliran ini berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber dari akal.
Akal memperoleh bahwa lewat indera dan diolah menjadi pengetahuan. Rane
Descartes membedakan tiga idea yang ada dalam diri manusia, yaitu innate ideas,
yaitu ide yang dibawa manusia sejak lahir; adventitious ideas adalah ide-ide yang
berasal dari luar diri manusia; factitious ideas adalah ide yang dihasilkan oleh pikiran
itu sendiri. Tokoh yang menganut aliran ini adalah Spinoa dan Leibniz.
b. Empirisme
Aliran ini berpendirian bahwa semua pengetahuan diperoleh lewat indra
menjadera melalui kesan-kesan dari alam nyata, berkumpul dalam diri manusia dan
menjadi pengalaman.
c.Realisme
Aliran ini menyatakan bahwa objek-objek yang diketahui adalah nyata dalam
dirinya dan tidak bergantung pada yang mengetahui ataupun pikiran. Dunia ada
sebelum dan sesudah pikiran.
d. Kritisisme
Aliran ini berusaha menjawab persoalan pengetahuan dengan tokohnya adalah
Immanuel Kant yang pemikirannya bertolak pada ruang dan waktu sebagai dua
bentuk pengamatan. Akal menerima bahan-bahan pengetahuan dari empiris (indera
dan pengalaman) dan mengaturnya dalam bentuk pengamatan yakni ruang dan
waktu.
Pengamatan merupakan permulaan pengetahuan, sedangkan pengolahan oleh
akal merupakan pembentuknya.
Persoalan pengetahuan yang menekankan kepada hakekat pengetahuan,
dijawab oleh aliran berikut:
a. Idealisme
Tokoh dalam paham ini adalah Plato. Ia berpendirian bahwa pengetahuan
adalah proses-proses mental ataupun proses-proses psikologi yang sifatnya subjektif.
Pengetahuan merupakan gambaran subjektif tentang kenyataan dan tidak
memberikan gambaran yang tepat tentang hakekat sesuatu yang berada di luar
pikiran.
b. Empirisme
Aliran ini berkeyakinan bahwa hakekat pengetahuan adalah berupa
pengalaman. Tokohnya adalah David Hume yang menyatakan bahwa ideide dapat
dikembalikan pada sensasi-sensasi ( rangsangan indera ) dan pengalaman merupakan
ukuran terakhir dari kenyataan.Wiliam James menyatakan bahwa pernyataan tentang
fakta adalah hubungan diantara benda-benda , sama banyaknya dengan pengalaman
khusus yang diperoleh secara langsung melalui indera.
c. Positivisme
Pendiri sekaligus tokoh yang terpenting dari aliran filsafat positivisme adalah
Aguste Compte. Aliran ini berpendirian bahwa kepercayaan-kepercayaan yang
dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan faktawi. Apapun yang diluar dunia
pengalaman tidak perlu diperhatikan. Manusia harus menaruh perhatian pada dunia
ini. Beberapa tokoh diantaranya mengatakan bahwa pernyataan yang mengandung
arti adalah pernyataan yang dapat diverifikasi dianggap tidak bermakna atau bukan
merupakan pengetahuan.
d. Pragmatisme
Aliran ini tidak mempersoalkan apa hakekat pengetahuan melainkan
menanyakan apa guna pengetahuan tersebut. William James menyatakan bahwa
ukuran kebenaran sesuatu hal itu ditentukan oleh akibat praktisnya.
3. Aliran-aliran dalam Persoalan Nilai-nilai (Etika)
a. Idealisme Etis
Aliran ini meyakini hal-hal berikut:
1) Adanya suatu skala nilai-nilai asas-asas moral, atau aturan-aturan untuk bertindak;
2) Lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat spiritual ataupun mental daripada yang
bersifat inderawi atau kebendaan;
3) Lebih mengutamakan kebebasan moral daripada ketentuan kejiwaan atau alami;
4) Lebih mengutamakan hal yang umum daripada hal yang khusus.
b. Deontologisme Etis
Aliran ini berpendirian bahwa sesuatu tindakan dianggap baik tanpa disangkutkan
dengan nilai kebaikan sesuatu hal, yang menjadi dasar moralitas adalah kewajiban.
Sesuatu perbuatan dikatakan wajib secara moral tanpa memperhitungkan akibat-
akibatnya. Deontologisme juga disebut formalisme dan juga intuisionisme.
c. Etika Teologis
Etika teologis merupakan etika aksiologis (etika berdasar nilai) yang membuat
ketentuan bahwa kebaikan atau kebenaran suatu tindakan sepenuhnya bergantung
pada sesuatu tujuan atau hasil.
d. Hedonisme
Hedonisme menganjurkan manusia untuk mencapai kebahagiaan yang
didasarkan pada kenikmatan, kesenangan. Tokoh dalam aliran ini adalah Cyrenaics
(400 SM), yang menyatakan bahwa hidup yang baik adalah memperbanyak
kenikmatan melalui kenikmatan indera dan intelek. Sebaliknya, Epicurus (341-270
SM) menyataka bahwa kesenangan dan kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia.
Kegembiraan pikiran adalah lebih tinggi daripada kenikmatan jasmani.
e. Utilitarisme
Pandangan yang menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang
menimbulkan kenikmatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan sebanyak-
banyaknya bagi manusia.

Anda mungkin juga menyukai