Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

TAKWA, CINTA, RIDHO

Dosen Pengampu :
Nirwan Hamid

Disusun Oleh :

1. Adi Surya Putra ; 2151010147


2. Amal Irnando : 2151010156
3.Afifah Dhafa Salsabila ; 2151010149
4.Defy Mella Setiawati : 2151010184

EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TP 2022/2023
KATAPENGANTAR

Puji syukur atas kehadiran Allah SWT karena berkah rahmat dan hidayahnya, kami dari
kelompok 3 dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Taqwa, Cinta, Ridho" dengan
semaksimal mungkin.

Makalah ini dibuat untuk memenuhuhi tugas kami pada matakul “AKHLAK DAN
TASAWUF”, dengan dosen pengampu Bapak Nirwan Hamid. Kepada beliau kami
mengucapkan terimakasih karena sudah membeikan arahan dalam membuat makalah yang
baik dan bena rserta kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

kesempurnaan makalahini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi mahasiswa/i dan bermanfaat untuk
mengembangankan wawasan serta meningkatkan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Aamin YaRabbal‘Alamin.

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ........................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................... 1


1.2 Rerumusan Masalah ...................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Taqwa ........................................................................... 2


2.2 Macam macam Taqwa ................................................................... 3
2.3 Pengertian Cinta ............................................................................. 4
2.4 Pengertian Ridho ............................................................................ 5

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ..................................................................................... 7


3.2 Saran ............................................................................................... 7

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Takwa, cinta dan ridho merupakan persoalan yang sangat menarik dikalangan
umat muslim. Melalui sifat dan kasih sayang Allah manusia kembali diingatkan olehnya bahwa
tugas pokok makhluk hidup sepanjang hayatnya adalah mengabdikan diri disetiap aktifitas
kehidupan hanya kepada Allah. Sebagai seorang muslim yang beriman kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya tidak perlu merisaukan masalah yang ada dalam kehidupan. Allah SWT telah
memberikan petunjuk bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut, salah satunya dengan
cara bertakwa. Ketika mendapatkan cobaan, cobaan inilah yang harus dimiliki oleh semua
orang. Namun sering kali manusia hanya siap untuk menerima nikmat, dan tidak siap untuk
menerima cobaan dan ujian Allah swt, disinilah diperlukan adanya Ridho dalam menerima
semua ketentuan Allah SWT. Ridho merupakan makom atau stasiun-stasiun yang harus
dilewati oleh seorangsalik (pencari jalan Tuhan) setelah ia dapat melewati fase taubat, sabar,
kefakiran, zuhud, tawakal, dan cinta. Ccinta adalah bentuk rasa kasih sayang dari sang pencipta
terhadap hambanya.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Pengertian Taqwa
2. Macam macam Taqwa
3. Pengertian Cinta
4. Macam macam Cinta
5. Pengertian Ridho

1.3 TUJUAN PENULISAN

Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak dan tasawuf serta
diharapkan bisa dapat memperluas wawasan bagi penulis dan pembaca .

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN TAQWA

Menurut bahasa, takwa berasal dari bahasa Arab yang berarti memelihara diri dari siksaan
Allah SWT, yaitu dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya
(Imtitsalu awamirillah wajtinabu nawahihi).

Takwa (taqwa) berasal dari kata waqa yaqi wiqayah yang artinya memelihara, yakni menjaga
diri agar selamat dunia dan akhirat.
Seseorang yang bertaqwa kepada akan selalu mendapatkan petunjuk serta hidayah dari Allah
SWT. Sedangkan, bagi orang-orang zalim, tidak akan mendapatkan apapun selain kerugian.
Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam salah satu surah Alquran, yang artinya:

"Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain
kerugian." (QS Al Isra: 82).

Makna taqwa sendiri lebih bernuansa 'penghindaran' dan 'pencegahan'. Sebab, ketakutan
tersebut akan menyebabkan seseorang enggan untuk melakukan perbuatan dosa. Adapun
perintah untuk bertaqwa sebagaimana yang tercantum dalam salah satu surah Alquran berikut
ini:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan
diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan."
(QS. Al-Maidah Ayat 35).

Taqwa adalah sebuah benteng setiap muslim untuk melindunginya dari kemurkaan Allah SWT.
Bagi setiap muslim yang taat melaksanakan perintah-Nya, pasti akan mendapatkan ganjaran
kebaikan, begitupun sebaliknya. Dengan bertaqwa, seorang hamba akan selalu merasa cukup
dengan rizki yang diperolehnya.

2
2.2 MACAM MACAM TAQWA

Berikut beberapa macam taqwa :

Taqwa nariyah, ini lebih ke mahabah (cinta terdalam) kepada kanjeng Nabi Muhammad Saw

Taqwa rububiyah, meliputi mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya,
kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya

Taqwa uluhiyah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah, seperti berdo’a, meminta,
tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah
yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah Saw (sunnah-sunnah yang telah disahihkan)

Taqwa inniyyah keakuan (inniyyah) di dalam dirinya maka Ia tidak lagi hidup di dalam
cengkeraman nafsu dan keinginan yang bersifat thabi’i, tetapi sudah menembus hijab-hijab
awam Tidak ada lagi urusan dengan dosa-dosa dan kemaksiatan karena ia sudah lama berpaling
dari daya tarik nafsu biologis alias sudah tak ada nafsu yg selama ini membawa ke dosa dosa.

2.3 PENGERTIAN CINTA


Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan manusia memiliki cinta. Dengan cinta,
kehidupan terasa indah. Dengan cinta, ibadah dan muamalah semakin bermakna. Cinta
memilki sejuta makna. Cinta tak peduli usia, waktu, maupun tempat. Dalam ibadah terdapat
tiga rukun utama yaitu cinta, takut, dan harap. Bahkan makna ibadah menurut Yaikhul-islam
adalah sesuatu yang mencakup kesempurnaan cinta dan ketundukkan. Banyak umat Nabi
muhammad yang mengaku cinta kepada Allah, namun banyak pula di antara mereka yang
tidak merealisasikannya dengan benar. Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan
dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya
dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang. Cinta dengan pengertian demikian sudah
merupakan fitnah
merupakan fitrah yang dimiliki setiap orang. Islam tidak hanya mengakui keberdaan cinta itu
pada diri manusia, tetapi juga mengaturnya sehingga tersujud dengan mulia bagi seorang
mukmin, cinta, pertama dan utama sekali diberikan kepada Allah. Cinta kepada Allah yaitu
hendaknya Allah yang paling dicintai dari semua manusia melebihi dirinya, kedua orang
tuanya, dan semua yang dimilikinya. Dalam hal ini Allah berfirman dalam Qs. Al-baqarah:165
3
yang artinya "Adapun orang orang yang beriman amat sangat cinta kepada Allah mencintai
Allah lebih dari segala-galanya tidak lain karena dia menyadari bahwa Allah-lah yang
menciptakan alam semesta dan seluruh isinya, serta Allah-lah yang mengelola dan memelihara
semuanya itu. Dengan rahman-Nya Dia menyediakan semua fasilitas yang diperlukan oleh
umat manusia jauh sebelum manusia itu sendiri diciptakan. Dan dengan rahim-Nya Dia
menyediakan segalakenikmatan bagi orang-orang yang beriman sampai hari akhir nanti.
Allahlah yang maha pengasih lagi maha Penyayang.

Cinta merupakan amalan hati yang bisa menjadikan sebuah ibadah atau justru kemaksiatan.
Kemaksiatan itu seperti kecintaan kepada kemaksiatan, dan pelakunya serta cinta kepada
perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah sebagaimana firman Allah
"sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar
dikalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.
Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. QS.An-Nur ayat 19.

Cinta adalah suatu perasaan yang positif, berupa emosi dan kasih sayang yang kuat, dan
ketertarikan pribadi.

Cinta adalah rasa sayang, empati, keinginan untuk memiliki dan dimiliki, yang di tanamkan
Allah SWT di lubuk hati manusia. Rasa cinta adalah anugerah Allah tiada terhingga.

Fitrah manusia adalah mencintai dan dicintai. mencintai orang tua karena keduanya telah
melahirkan, mendidik, dan membesarkannya. Namun rasa cinta itu, sesungguhnya hal itu
takkan pernah terjadi kalau bukan karena rahmat Allah SWT. Karena itu barangsiapa yang
mencintai Allah dan Rasul-Nya serta berjihad dijalan Allah niscaya dia akan merasakan
manisnya iman. Sabda Rasulullah

Dari Anas, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia akan
merasakan manisnya iman. (yaitu) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari
selainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan benci kembali kepada
kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka.” (H.R. Bukhari
Muslim)
Ciri utama orang beriman adalah mencintai Allah dan Rasulnya. Rasa cinta itu harus dibuktikan
denga keteguhan iman dan ketabahan serta keikhlasan dalam menjalani segala ujian. Cinta
kepada Allah harus dibuktikan dengan ketekunan melaksanakan ibadah, kerelaan berkorban
harta benda bahkan kalau perlu jiwa.
4
Makin tinggi rasa cinta kepada Allah, makin berat pula ujiannya, terutama ujian dalam bentuk
godaan tahta, harta dan wanita.
Bila seseorang sudah sempurna kecintaannya kepada Allah dan Rasululullah, disitulah manusia
akan merasakan manisnya iman. Di saat itulah, orang-orang beriman tidak lagi menjadi
hubuddunnia atau mencintai dunia melebih kecintaannya kepada Allah. Cinta yang ekstrim,
diperlihatkan oleh para sufi yang hidup mereka hanya untuk memuja dan beribadah Allah,
mengabaikan duniawi. Rabi’ah al’Adawiyah contohnya, karena cintanya kepada Allah tidak
mau berbagi, beliau tidak mau menikah, punya anak dan menolak godaan harta benda. Seluruh
hidupnya hanya digunakan untuk beribadah, dzikir, bertasbih dan tahmid kepada Allah SWT.

Adapun tiga perkara yang menjadikan seseorang dapat merasakan manisnya iman, antara lain:
A. Mencintai Allah dan Rasul – Nya melebihi cintanya kepada selain keduanya.
B. Mencintai dan membenci seseorang tidak lain karena Allah SWT.
C. Membenci melakukan kekufuran setelah dirinya beriman.

2.4 MACAM MACAM CINTA

1. Mahabbahtullah (Mencintai Allah)


Cinta Allah Ta'ala merupakan dasar cinta dari segala bentuk mencinta yang dibenarkan dalam
Islam. Kejujuran mencintai Allah Swt tercermin dari tanda-tanda yang direalisasikan oleh
seorang hamba, di antaranya mendahulukan perkara yang Allah cintai atas selainnya.
2. Mahabbatu ma yuhibbuhullah (mencintai apa saja yang dicintai Allah)
Dalam Al-quran, Allah Swt banyak menyatakan kecintaannya kepada hamba-hamba-nya,
seperti kecintaan Allah kepada hamba yang berbuat kebaikan.
3. . Cinta untuk dan karena Allah Swt.
Seseorang yang benar-benar mencintai Allah Swt dia akan mencintai seseorang atas dasar
keimanan dan cintanya kepada Allah Ta'ala.
4. Almahabbah Ma'a-Allah (Mencintai sesuatu dan mensejajarkannya dengan kecintaan kepada
Allah)Adapun yang memalingkan seseorang dari Islam, maka bisa disebut dengan "Andad"
yaitu tandingan-tandingan yang dicintai selain Allah, dan itu bisa berupa harta benda, keluarga,
tempat tinggal, perniagaan dll.

5
2.5 PENGERTIAN RIDHO

Ridho berasal dari kata radhiya-yardha yang berarti menerima suatu


perkara dengan lapang dada tanpa merasa kecewa ataupun tertekan. Sedangkan menurut
istilah, ridho adalah menerima semua kejadian yang menimpa dirinya dengan lapang dada,
menghadapinya dengan tabah, tidak merasa kesal dan tidak berputus asa ridho berkaitan
dengan perkara keimanan yang terbagi menjadi dua macam. Yaitu, ridho Allah kepada
hamba-Nya dan ridho hamba kepada Allah (Al-Mausu’ah Al-Islamiyyah Al-’Ammah:
698). Ini sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya,

”Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho kepada-Nya.” (QS 98: 8).

. Ridho Allah kepada hamba-Nya adalah berupa tambahan kenikmatan, pahala, dan
ditinggikan derajat kemuliaannya. Sedangkan ridho seorang hamba kepada Allah
mempunyai arti menerima dengan sepenuh hati aturan dan ketetapan Allah. Menerima
aturan Allah ialah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua
larangan-Nya. Adapun menerima ketetapannya adalah dengan cara bersyukur ketika
mendapatkan nikmat dan bersabar ketika ditimpa musibah.

Dari definisi ridho tersebut terkandung isyarat bahwa ridho bukan berarti menerima begitu
saja segala hal yang menimpa kita tanpa ada usaha sedikit pun untuk mengubahnya. Ridho
tidak sama dengan pasrah. Ketika sesuatu yang tidak diinginkan datang menimpa, kita
dituntut untuk ridho. Dalam artian kita meyakini bahwa apa yang telah menimpa kita itu
adalah takdir yang telah Allah tetapkan, namun kita tetap dituntut untuk berusaha. Allah
berfirman,

”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS 13: 11).

Hal ini berarti ridho menuntut adanya usaha aktif. Berbeda dengan sikap pasrah yang
menerima kenyataan begitu saja tanpa ada usaha untuk mengubahnya. Walaupun di dalam
ridho terdapat makna yang hampir sama dengan pasrah yaitu menerima dengan lapang dada
suatu perkara, namun di sana dituntut adanya usaha untuk mencapai suatu target yang
diinginkan atau mengubah kondisi yang ada sekiranya itu perkara yang pahit. Karena ridho
terhadap aturan Allah seperti perintah mengeluarkan zakat, misalnya, bukan berarti hanya
mengakui itu adalah aturan Allah melainkan disertai dengan usaha untuk menunaikannya.

Begitu juga ridho terhadap takdir Allah yang buruk seperti sakit adalah dengan berusaha
mencari takdir Allah yang lain, yaitu berobat. Seperti yang dilakukan Khalifah Umar bin
Khathab ketika ia lari mencari tempat berteduh dari hujan deras yang turun ketika itu. Ia
ditanya,
6
”Mengapa engkau lari dari takdir Allah, wahai Umar?” Umar menjawab, ”Saya lari dari
takdir Allah yang satu ke takdir Allah yang lain.”

Dengan demikian, tampaklah perbedaan antara makna ridho dan pasrah, yang kebanyakan
orang belum mengetahuinya. Dan itu bisa mengakibatkan salah persepsi maupun aplikasi
terhadap makna ayat- ayat yang memerintahkan untuk bersikap ridho terhadap segala yang
Allah tetapkan. Dengan kata lain pasrah akan melahirkan sikap fatalisme. Sedangkan ridho
justru mengajak orang untuk optimistis.

Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ridho terhadap takdir Allah terbagi
menjadi tiga macam:
1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh umat Islam dan
segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah mutlak
dilaksanakan dan seluruh larangan-Nya haruslah dijauhkan tanpa ada perasaan bimbang
sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah untuk kepentingan kita sebagai umat-Nya.
2. Disunnahkan untuk direlakan, yaitu musibah berupa bencana. Para ulama mengatakan
ridho kepada musibah berupa bencana tidak wajib untuk direlakan namun jauh lebih baik
untuk direlakan, sesuai dengan tingkan keridhoan seorang hamba. Namun rela atau tidak,
mereka wajib bersabar karenanya. Manusia bisa saja tidak rela terhadap sebuah musibah
buruk yang terjadi, tapi wajib bersabar agar tidak menyalahi syariat. Perbuatan putus asa,
hingga marah kepada Yang Maha Pencipta adalah hal-hal yang sangat diharamkan oleh
syariat.
3. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atas qodha
Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib untuk dihilangkan.
Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang menghilangkan kemaksiatan dan kemungkaran
di muka bumi.
“Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Bukan termasuk golongan kami, orang yang menampar pipi
(ketika tertimpa musibah), merobek-robek baju atau berdoa dengan doa Jahiliyah (meratapi
kematian mayit seraya mengharap-harap celaka).” Menampar pipi atau menyakiti diri
sendiri saat terjadi musibah adalah perbuatan yang dilarang, apalagi bila sampai melakukan
bunuh diri. Na’udzubillah mindzalik.
Bila seorang muslim ditimpa suatu musibah atau bencana, ucapkan inna lillahi wa inna
ilaihi roji’un. Dan janganlah berkata, “oh andaikata aku tadinya melakukan itu tentu
berakibat begini dan begitu”, tetapi katakanlah, “ini takdir Allah dan apa yang dikehendaki
Allah pasti dikerjakan-Nya.” Ketahuilah, sesungguhnya ucapan: “andaikata” dan “jikalau”
membuka peluang bagi (masuknya) karya (kerjaan) setan.” (HR. Muslim)

7
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Cinta kepada Allah SWT itu bersumber dari iman dan ketaqwaan. Sejalan dengan
cinta, seorang muslim haruslah dapat bersikap taqwa dan ridha dengan segala aturan dan
keputusan Allah SWT. Artinya dapat menerima dengan sepenuh hati, tanpa penolakan
sedikitpun. Segala sesuatu yang datang dari Allah dan rasull, baik berupa perintah dan larangan
ataupun petunjuk lainnya. Manusia dapat ridho karena mencintai Allah, dan yakin bahwa Allah
yang maha pengasih dan penyayang. Demikianlah sikap taqwa cinta dan ridho kepada Allah
SWT. Dengan ketaqwaan dan cinta kita mengharapkan ridhonya. Dan dengan Ridho kita
mengharapkan cintanya.

3.3 SARAN

Demikian makalah ini kami buat dengan semaksimal mungkin. Kami yakin
makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi isi maupun penulisan. Untuk itu, kami
meminta kritik dan saran dari berbagai pihak. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat khususnya bagi kami selaku penulis dan umumnya bagi pembaca semua.

8
DAFTAR PUSTAKA

Ghazali, imam,2003. Rahasia ketajaman Mata Hati, Bintang Usaha Jaya, Surabaya.
http://mutiaradibalikmusibah.blogspot.com

Azra, Prof. Dr. Azyumardi, dkk. Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan
Tinggi Ummum. Jakarta: Direktor Perguruan Tinggi Agama Islam. 2002

Faridh, Ahmad, Pembersih Jiwa, Bandung: Pusaka, 1990

Anda mungkin juga menyukai