Anda di halaman 1dari 50

MATA KULIAH AGAM ISLAM II

MENGENAL ALLAH DAN RASULULLAH


(MAKRIFATULLAH DAN MAKRIFATURROSUL)

Dosen Pembimbing :
Aria Aulia Nastiti, S.Kep., Ns., M.Kep
Disusun oleh:

1. Ema Tri Restanti (131811133001)


2. Siti Aisah (131811133002)
3. Jeakline Ismi Dwiono (131811133008)
4. Kiki Damasari Millenia (131811133011)
5. Clarita Maharani (131811133013)
6. Dewi Anggraeni (131811133056)
7. Dhio Andika Yuda Tama (131811133111)

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
September, 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah “Mengenal Allah dan Rasulullah (Makrifatullah
dan Makrifaturrosul)” ini dengan lancar. Kami mengucapkan terima kasih kepada
Dosen Mata Kuliah Agama Islam II yaitu Aria Auila Nastiti, S.Kep., Ns., M.Kep,
yang telah memberikan dukungan serta bimbingan kepada kami.

Kami menyadari, makalah yang kami buat jauh dari sempurna dan masih
banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca, guna menghasilkan makalah yang lebih baik lagi di
masa mendatang. Kami berharap, makalah ini bisa memberikan manfaat dan
inspirasi bagi pembaca.

Surabaya, September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN ..............................................................................i
1.1 Latar Belakang........................................................................................1
1.2 Tujuan......................................................................................................2
1.3 Manfaat....................................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................3
2.1 Mengenal Allah.......................................................................................3
2.1.1 Urgensi Mengenai Allah..............................................................3
2.1.2 Cara Mengenal Allah...................................................................4
2.1.3 Penghalang Makrifatullah............................................................6
2.1.4 Bukti Kehadiran Allah.................................................................12
2.1.5 Pengesaan Allah...........................................................................13
2.1.6 Memurnikaan Ibadah...................................................................14
2.1.7 Bahaya Syirik...............................................................................15
2.1.8 Makna Laa Ilaaha Ilallah.............................................................16
2.1.9 Cinta kepada Allah......................................................................17
2.2 Mengenal Rasul.......................................................................................19
2.2.1 Kebutuhan Manusia terhadap Rasul............................................19
2.2.2 Definisi Rasul..............................................................................20
2.2.3 Kedudukan Rasul.........................................................................22
2.2.4 Sifat-sifat Rasul...........................................................................24
2.2.5 Tugas Rasul.................................................................................24
2.2.6 Kewajiban Terhadap Rasul .........................................................25
2.2.7 Pengaplikasian Makrifatullah dan Makrifaturrosul dalam
Keperawatan................................................................................35
BAB 3 PENUTUP ..........................................................................................37
3.1 Kesimpulan..............................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................39

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Belakangan ini banyak orang yang mengaku mereka beragama islam dan
mengenal Allah SWT, akan tetapi pernahkah kita mengukur seberapa jauh kita
mengenal Allah SWT. Bahkan kita mengaku kita mengenal Allah SWT,
namun kita tidak cinta kepada Allah SWT. Banyak dari hamba Allah yang
tidak menjauhi apa yang dilarang Allah SWT dan banyak pula yang tidak
melaksanakan apa yang di perintahkan Allah SWT. Hal ini disebabkan karena
mereka belum mengenal Allah SWT dengan arti yang sesungguhnya.
Mengenali Allah menjadi sangat penting karena banyak sekali dalil yang kuat
yang telah membuktikan keberadan, sifat-sifat, nama-nama Allah, serta
kekuasaan Allah.
Dalam kalimat syahadat kesaksiannya yang pertama yang dilakukan
seseorang adalah keyakinan bahwa Allah itu Esa dan yang kedua adalah
keimanan terhadap kerasulan Muhammad SAW. Mengenal rasul menjadi
sebuah keperluan bagi kaum muslimin saat ini karena saat ini kaum muslimin
tidak hidup bersama dengan nabi, kita harus beriman kepada nabi dan rasul
karena ini merupakan upaya dalam menghayati makna syahadatain. Ibnu
Qoyyim menerangkan bahwa kebutuhan manusia yang utama adalah
mengenal para rasul dan ajaran yang dibawanya, percaya akan berita yang
disampaikannya serta taat kepada yang diperintahkan, sebab tidak ada jalan
menuju kebahagiaan dan keberhasilan di dunia dan akhirat kecuali dengan
tuntunan para rasul untuk mendapatkan ridha Allah.
Semoga kita selalu dalam perlindungan Allah SWT sehingga kita tetap
pada jalan yang di ridhoi-Nya serta semakin cinta terhadap Allah SWT dan
rasul kita Muhammad SAW. Pada makalah ini akan dibahas hal- hal yang
dapat membuat kita semakin cinta secara syar’i dan hanya ditujukan kepada
Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.

1
1.2 Tujuan
Setelah proses perkuliahan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami,
menjelaskan, serta mengamalkan pada kehidupan sehari hari Mengenal Allah
(Makrifatullah) dan Mengenal Rasul (Makrifaturrosul).

1.3 Manfaat
Makalah ini hendaknya dapat menjadi bahan sebagai pengembangan
pengetahuan pengetahuan mahasiswa mengenai mahasiswa mengenai
pentingnya pentingnya mengenal Allah mengenal Allah (Makrifatullah)
(Makrifatullah) dan mengenal Rasul (Makrifaturrosul) serta mencintai Allah
SWT dan Rasul dengan cinta yang Syar’i.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mengenal Allah
2.1.1 Urgensi Mengenal Allah
Aqidah berasal dari kata 'aqada-ya'qidu-'aqdatan yang berarti
simpulan ikatan perjanjian yang kuat. Kemudian bentuk kata ini
berubah menjadi 'aqidatan ('aqidah) berarti ikatan kepercayaan dan
keyakinan kebenaran yang kuat dalam hati. Sedangkan secara
etimologis /istilah berarti "Suatu kebenaran yang dapat diyakini dalam
dalam hati dengan penuh kemantapan, sehingga terhindar dari keragu-
raguan, berdasarkan ayat-ayat qauliyah (Al Quran) maupun ayat-ayat
kauniyah (alamiah) yang dapat dibuktikan dengan hukum alam dan
pengetahuan." Keimanan/keyakinan manusia itu bertingkat-tingkat,
untuk membuktikan keyakinan yang mapan, maka dapat dianalisa
dengan tiga tingkat. Tingkat pertama disebut ilmul yakin, yaitu
suatu keyakinan yang didapat berdasarkan berdasarkan ilmu dan
pengetahuanya, berupa pengetahuanya, berupa teori, ibarat kita
melihat melihat asap, maka kita akan yakin bahwasanya ditempat
tersebut pasti ada api. Tingkat kedua disebut ainul yakin, sebagai
peningkatan ilmu dari ilmul yakin. Untuk lebih meyakinkan
kebenaran perkiraan kita terhadap hal tersebut tadi, maka kita menuju
ketempat dimana kita perkirakan api sedang berkobar. Dari kejauhan
kita dapat melihat jilatan api yang menambah keyakinan kita akan
adanya kebakaran (penelitian dan observasi). Tingkat ketiga disebut
Haqqulyakin. Setelah kita melihat jilatan api, makin mendekat makin
terasa juga panasnya, barulah kita percaya sepenuhnya bahwa dugaan
kita tadi ternyata benar dan tak perlu diragukan lagi. Ma'rifatullah
berasal dari kata Ma'rifah berarti mengenal, mengetahui. Hal yang
perlu ditekankan, mengenal Allah bukan lewat dzatNya melainkan
mengenal Allah lewat ayat-ayatNya dan tanda-tanda kebesaran Allah
swt. Orang yang mengenal Allah swt dengan sebenar-benar
pengenalan, akan menyadari bahwa Allah swt yang Maha kuasa,

3
Maha Kaya, Maha Perkasa dan Maha Bijaksana tidak membutuhkan
sesuatupun dari manusia. Karenanya bila mendapatkan kebaikan maka
akan memuji Allah swt dan bersyukur kepada Nya, tidak
menyombongkan diri atau lupa diri, sebab ia tidak akan mampu
berbuat apapun tanpa bantuan dan pertolongan Nya dan bila
mendapatkan keburukan maka segera melakukan instropeksi.
Orang yang telah mengenal Allah swt akan menyadari tugas
yang harus ia emban dalam kehidupan di dunia ini yaitu beribadah
kepada Nya untuk mencari keridhaan Nya. Sebaliknya orang yang
tidak mengenal Allah swt, akan menyombongkan diri di dunia ini, dan
manusia yang menyombongkan diri sama saja menantang Allah swt
dan menjadikan dirinya sebagai saingan bagi Nya. Orang yang
menyobongkan diri adalah orang yang tidak mengenal pencipta dan
pengatur jagad raya ini yaitu Allah swt. “Dengan mengenal Allah
maka kita dapat mengetahui dengan pasti apa tujuan hidup kita” (QS
Adh-Dhaariyat 51:56) dan tidak tertipu oleh gemerlapnya dunia, kita
akan merasakan kehidupan yang lapang walau bagaimanapun keadaan
dan seberat apapun masalah yang dihadapi. “Karena kita yakin Allah
pasti memberikan yang terbaik bagi hamba Nya dan akan kegelapan
dan kebodohan menuju cahaya yang terang” (QS. Al-An’aam 6:122).
Maka sungguh beruntung, apabila seseorang itu kenal dengan Allah
sehingga dicintai dan ditolong oleh Allah swt, maka dia akan
mendapatkan segala-galanya, bahagia, sukses, di dalam surgaNya.

2.1.2 Cara Mengenal Allah


Bagaimana kita dapat mengenal Allah dengan sebenar-
benarnya? yaitu dengan melihat tanda-tanda kekuasaan Allah (ayat
kauniyah) dan merenungi & mentadaburi ayat-ayat Al Quran, serta
dengan memahami Asmaul Husna. Ayat-ayat kauniyah Allah swt
adalah menunjukan kesempurnaan kekuasaan, kebijaksanaan, dan
kasih sayang Nya. Matahari adalah tanda dari salah satu ayat Allah
sampai kelak Allah menghancurkanya. Matahari selalu bergerak,

4
berjalan di tempat peredaranya, sebagaimana firman Allah dalam Al
Quran surat Yasin ayat 38. “Sesungguhnya Allah swt adalah Dzat
yang menciptakan semua makhluk. Semua makhluk baik yang besar
maupun yang kecil, yang tampak dan yang tidak tampak, yang kasar
yang halus, yang ada di bumi, dilangit, diatara langit dan bumi, yang
ada di laut maupun di dasar laut, semuanya adalah ciptaan Allah swt.
Dialah Dzat yang Maha menciptakan (Kholik).” Allah swt adalah
Dzat yang Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
Maka kita tanamkan perasaan dalam hati kita bahwasanya kita itu
selalu dilihat, didengar, dan diketahui, serta diawasi oleh Allah swt
sehingga kita akan merasa malu untuk berbuat maksiat kepada Allah
swt. Bila kita memiliki perasaan seperti itu, maka Allah akan berikan
sifat ikhsan kepada diri kita, yamg mana dengan sifat itu kita akan
dapat merasa seolah-olah melihat Allah swt ada dihadapan kita.
Sesungguhnya Allah swt, sangat dekat dengan diri manusia, bahkan
lebih dekat dari urat lehernya, tetapi kenapa terasa jauh dan sulit untuk
mengenal Nya. Karena dalam diri manusia ada dinding yang tebal
antara lain :
• Kesombongan (QS. Al-A’raaf 7:146, Al-Furqaan 25:21)
• Taklid Buta (sikap meniru tanpa berfikir) ( Taklid Buta (sikap
meniru tanpa berfikir) (QS. Al-B QS. Al-Baqarah 2:166-167,
170- aqarah 2:166-167, 170- 171)
• Keras kepala dan menentang (QS. Al-Hajj 22:8-9,QS.Al-An’aam
6:7,QS. Al-Hijr 15:14-15)
• Bersandar pada panca indera (QS. Al-Baqarah 2:55)
• Dusta (QS. Al-Araaf Al-Araaf 7:176)
• Ragu-ragu (QS. Al-An’aam 6:109-110)
• Banyak berbuat maksiat
Semua sifat diatas adalah bibit-bibit kekafiran yang harus
dibersihkan dari hati. Sebab kekafiranlah yang menyebabkan Allah
swt mengkunci mati hati manusia dan menutup mata dan telinga serta
menyiksanya di neraka (QS. Al-Baqarah 2:6-7).

5
2.1.3 Penghalang Makrifatullah
Secara garis besar, terdapat dua hal yang menghalangi manusia
dalam mengenal Allah. Pertama, maradhus syahwat (berkaitan dengan
penyakit hati; berupa nafsu dan kesenangan serta perilaku yang tidak
terpuji). Kedua, maradhus-syubhat (berbagai hal yang menimbulkan
keraguan, lebih banyak berkaitan dengan masalah akal dan logika).
a) Maradhus Syahwat
1. Al-fisqu (kefasikan)
Fasik adalah orang yang senantiasa melanggar perintah dan
larangan Allah, bergelimang dengan kemaksiatan serta
senantiasa berbuat kerusakan di bumi. Mereka hanya
memikirkan kehidupan di dunia saja, tidak memikirkan
kehidupan di akhirat nanti. Mereka disibukkan oleh harta-
harta dan anak cucu mereka serta segala yang berhubungan
dengan kesenangan duniawi. Mereka lupa kepada Allah,
maka Allah pun membiarkan mereka bergelimang dalam
kesesatan, lupa hakikat dirinya dan pada akhirnya semakin
jauh dari jalan yang diridhai-Nya.
“..dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa
kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada
mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS.
Al-Hasyr, 59: 19)
Orang-orang yang fasik itu sebenarnya mengetahui mana
yang hak, mana yang batil, mana yang baik, dan mana yang
jahat. Namun ia tidak melaksanakan yang benar dan yang
baik itu, melainkan ia melaksanakan yang batil dan yang
jahat. Sifat dan perilaku seperti itulah yang akan
menghalanginya dari mengenal Allah Ta’ala.

2. Al-kibru (kesombongan)

6
Kesombongan merupakan suatu sikap dimana hati seseorang
ingkar dan selalu membantah terhadap ayat-ayat Allah
Ta’ala.
“(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah
tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar
kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-
orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati
orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (QS. Al-
Mu’min, 40: 35)
Allah menerangkan hukum-hukum-Nya bagi orang-orang
yang menutup hatinya untuk menerima kebenaran wahyu,
yaitu bahwa Ia akan menutup hati mereka.
3. Adz-dzulmu (kedzaliman)
Mengenai sifat dzalim ini, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah
diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia
berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan
memberikan pembalasan kepada orang-orang yang
berdosa.” (As-Sajdah, 32: 22)
Allah Ta’ala menerangkan bahwa orang yang paling zalim
ialah orang yang telah sampai kepadanya peringatan Allah,
telah sampai pula kepadanya ayat-ayat Alquran dan petunjuk
Rasul, kemudian mereka berpaling dari ajaran dan petunjuk
itu karena angkuh dan penyakit dengki yang ada di dalam
hatinya. Sikap dzalim (aniaya) seperti inilah yang
menghalangi mereka dari mengenal Allah Ta’ala.
4. Al-kidzbu (kedustaan)
Kedustaan merupakan sikap bohong (pura-pura) dan
pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah Ta’ala. Hal ini seperti
yang dilakukan oleh orang-orang munafik sebagaimana
dimuat dalam firman Allah Ta’ala,

7
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang
beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri
sedang mereka tidak sadar, dalam hati mereka ada penyakit,
lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa
yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah,
2: 9-10)
Mereka memperlihatkan iman, kasih sayang dan
menyembunyikan permusuhan dalam batin. Mereka
menyebarkan permusuhan dan fitnah-fitnah untuk
melemahkan barisan kaum Muslimin. Namun usaha kaum
munafik itu selalu gagal dan sia-sia. Hati mereka bertambah
susah, sedih dan dengki, sehingga pertimbangan-
pertimbangan yang benar dan jujur untuk menilai kebenaran
semakin lenyap dari mereka. Akal pikiran mereka bertambah
lemah untuk menanggapi kebenaran agama dan
memahaminya.
5. Katsaratul ma’ashiy (banyak melakukan perbuatan maksiat)
Disebutkan dalam hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
”Sesungguhnya seorang hamba jika ia melakukan kesalahan,
maka akan tercemari hatinya dengan satu bercak hitam. Jika
ia menghentikan kesalahannya dan beristighfar (memohon
ampun) serta bertaubat, maka hatinya menjadi bersih lagi.
Jika ia melakukan kesalahan lagi, dan menambahnya maka
hatinya lama-kelamaan akan menjadi hitam pekat. Inilah
maksud dari ”al-Raan” (penutup hati) yang disebut Allah
dalam firman-Nya: ”Sekali-kali tidak (demikian),
sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi
hati mereka.” [Al-Muthoffifin: 14] ” (Hadist Riwayat
Tirmidzi (No : 3334) dan Ahmad (2/297). Berkata Tirmidzi :
“Ini adalah hadist Hasan Shahih).

8
Berkata al-Baghawi: “Ar-Rain artinya menguasai, dikatakan:
‘Minuman khamr itu telah membuat ‘ar-Rain’ atas akalnya’,
maksudnya telah menutupi (menguasai) akalnya sehingga dia
menjadi mabuk”. Sehingga, ayat tersebut bisa diartikan:
Perbuatan-perbuatan maksiat itu telah menutupi dan
menguasai hati mereka. Berkata Hasan al-Bashri: “Dosa yang
menumpuk atas dosa yang lain, sehingga hati menjadi mati”.
Maka berdasarkan ayat ini jelaslah, orang yang banyak
melakukan maksiat pasti akan terhalang dari mengenal Allah
Ta’ala.
b) Maradhus-syubhat
1. Al-jahlu (kejahilan/kebodohan).
Yakni tidak mau memikirkan ayat-ayat Allah Ta’ala, baik
ayat-ayat qauliyah yang tersurat dalam Al-Qur’an, maupun
ayat-ayat kauniyah yang tersirat di seluruh penjuru alam
semesta. Inilah yang menyebabkan terhalangnya manusia dari
mengenal Allah Ta’ala.
Mereka tidak mau menggunakan potensi diri mereka untuk
memikirkan ayat-ayat Allah Ta’ala, sehingga ia dicela dalam
Al-Qur’an dengan ungkapan,
“…dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami
adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita.” (QS. Al-
An’am, 6: 39).
Padahal Allah Ta’ala telah memberikan kesempatan yang
cukup kepada mereka untuk memikirkan ayat-ayat-Nya,
“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu : ‘Ya Tuhan
kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan
amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami
kerjakan’. Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu
dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau
berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi
peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada

9
bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.” (QS.
Fathir, 35: 37)
2. Al-irtiyab (keragu-raguan).
Hal ini disebabkan karena sedikitnya ilmu dan ma’rifah
(pemahaman). Bisa dikatakan pula, keragu-raguan ini lahir
dari kebodohan. Begitulah orang-orang munafik, selalu
berada dalam kondisi terombang-ambing antara iman dan
kafir,
“Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian
(iman atau kafir); tidak masuk kepada golongan ini (orang-
orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu
(orang-orang kafir), maka kamu sekali-kali tidak akan
mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (QS.
An-Nisa, 4: 143)
Mereka disesatkan oleh Allah Ta’ala karena keingkarannya
dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah Ta’ala.
Maka orang-orang kafir dan munafik itu terhalang dari
mengenal Allah Ta’ala, mereka dalam kondisi ragu-ragu
sepanjang hidupnya hingga datang kematian yang tiba-tiba.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam
keragu-raguan terhadap Al Qur’an, hingga datang kepada
mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang
kepada mereka azab hari kiamat..” (Al-Hajj, 22 : 55)
3. Al-inhiraf (penyimpangan)
Manakala manusia tidak mau berpegang teguh kepada
petunjuk Allah Ta’ala; tidak mau berkomitmen melaksanakan
tuntunan-Nya; bahkan mereka malah mengikuti hawa nafsu
dan akal fikirannya; maka pada saat itulah hatinya akan keras
membatu. Terhijablah petunjuk Allah Ta’ala darinya. Ia pun
melangkah semakin jauh dari jalan yang lurus, sehingga tak

10
mampu mengenal Allah Ta’ala dengan benar. Hal seperti ini
pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi pada masa lalu.
Allah Ta’ala berfirman,
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk
mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu.
Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-
tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari
apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu
(Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari
mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak
berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah
mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik.” (QS. Al-Maidah, 5 : 13)
4. Al-ghaflah (kelalaian)
Dalam poin pertama telah disebutkan bahwa jika manusia
tidak menggunakan potensi dirinya untuk memahami ayat-
ayat Allah Ta’ala, maka mereka akan terhalang dalam
mengenal-Nya. Hal ini karena kebodohan mereka itu
membuat mereka lalai atau lengah,
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan
dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah
lalai.” (QS. Ar-Rum, 30:7)
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka
Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih

11
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-
A’raf, 7 : 179)

2.1.4 Bukti Kehadiran Allah


Allah hadir dimana-mana. Dia azh-Zahir sekaligus al-Bathin.
Dia adalah azh-Zahir yakni nampak dengan jelas melalui ayat-ayat di
pentas alam raya ini yang merupakan bukti-bukti wujud dan keesaan-
Nya. Nalar tidak dapat membayangkan betapa alam raya dapat wujud
apalagi dengan segala keindahan, keserasian, dan keharmonisannya,
tanpa kehadiran-Nya. Dia yang menunjukkan kepada kita kerajaan
dan kekuasaan-Nya, dengan menyadarkan kita bahwa dalil-dalil
wujud-Nya terbentang dimana-mana. Segala sesuatu yang
diciptakanNya-walau yang bisu sekalipun-adalah hujjah yang
berbicara tentang wujudnya
Ayat-ayat berupa bukti-bukti dan tanda-tanda wujud dan
keesaan-Nya terhampar dimana-mana. Ia tertuang dalam kitab suci-
Nya, juga terhampar di alam raya yang merupakan ciptaan-Nya. Yang
terhampar itu ada yang ditemukan pada diri manusia secara individu
atau kolektif, dan ada juga pada benda-benda, atau peristiwa-peristiwa
alam dan masyarakat.
Ayat-ayat itu menunjukkan bahwa Allah wujud dan “berada”
dimana-mana. Ayat-ayat itu mampu membimbing manusia
melaksanakan tugas-tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah
dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Ayat-ayat itu adalah pelajaran
berharga bagi yang hendak memperhatikannya, sekaligus dapat
menjadi siksa bagi yang mengabaikannya. Ayat-ayat dan tanda-tanda
itu dapat juga merupakan latihan olah jiwa yang pada akhirnya
menjadikan wawasan pemerhatinya merasakan kenikmatan ruhani.
Ayat-ayat/tanda-tanda Allah itu sangat jelas, lagi sesuai dengan
tingkat pemikiran siapapun. Ia sangat rapi dan siap untuk difahami
dan dihayati oleh setiap hamba-Nya. Orang kebanyakan dapat
memahaminya setingkat dengan sepengetahuannya, dan ayat yang

12
sama dapat difahami oleh ilmuan dan cendekiawan sejalan dengan
keahliannya, lalu masing-masing dapat menarik pelajaran darinya.
Ayat-ayat itu disamping memuaskan nalar juga menenangkan pikiran
dan menyucikan hati. Siapa yang pada mulanya menemukan kesulitan
dalam memahaminya, maka Allah berjanji akan memudahkannya.
Demikian firman-Nya yang dikuatkan-Nya dengan sumpah
menyangkut Al-Quran, dan itu dinyatakanNya berulang ulang pada
QS. Al-Qamar ayat 17, 22, 32, dan 40

“Sungguh (Kami bersumpah bahwa) Kami telah mempermudah Al-


Quran untuk menjadi pelajaran, maka adakah yang ingin mengambil
pelajaran (Sehingga Allah melimpahkan karunia dan membantunya
memahami kitab suci itu?”
Menyangkut ayat-ayat-Nya di alam raya, Dia berjanji bahwa :
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di
segenap ufuk dan kepada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi
mereka bahwa Ia adalah haq / benar.” (QS. Fushshilat : 53)

2.1.5 Pengesaan Allah


Tauhid adalah sikap dasar orang Islam yang menjadikan Alloh
seba gai satu-satu Nya Dzat yang berhak untuk disembah dan dipatuhi
semua perintahNya dan dijauhi semua laranganNya. Dengan Tauhid
juga maka seorang muslim akan menjadikan Alloh swt sebagai satu-
satunya tujuan.
Menurut bahasa, kata “Tauhid” artinya satu, yang artinya Tuhan
Yang satu/ tiada Tuhan selain Dia ( Alloh). Tauhid menjadi inti ajaran
para nabi dan rosul sejak zaman nabi Adam hingga nabi nabi
Muhammad SAW.
Bukti-bukti keesaan Allah tertuang dalam Surah Al-An’aam
Ayat 1-83. Sebab turunnya ayat 1-3 sebagaimana diriwayatkan oleh
Ibnu Jarir dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas: orang-orang Nasrani
beranggapan bahwa Allah swt. Mempunyai anak, yaitu Isa Al-Masih
bin Maryam. Orang-orang Yahudi beranggapan, bahwa para malaikat

13
adalah anak perempuan Allah swt. (lihat Q.S.5: 17, 72). Sedangkan
orang-orang kafir lainnya tidak mengakui kekuasaan dan keesaan
Allah swt. Sehubungan dengan keadaan yang seperti itu, Allah swt.
Menurunkan ayat 1-3 ini untuk memuji Dzat-Nya sendiri sebagai
bantahan terhadap anggapan-anggapan orang-orang kafir tersebut.
Allah swt. adalah Zat yang Maha Kuasa, yang telah menciptaan langit
dan bumi seisinya, termasuk didalamnya umat manusia.
Ath Thabary dalam tafsir Ath Thabary17 menafsirkan bahwa
dalam surat Al-An’aam ayat 1 memberikan kejelasan tentang keesaan
dan ketuhanan Allah, dimana Tuhan Yang Maha Sempurna hanyalah
milik Allah swt, tidak ada satupun sekutu bagi-Nya, yang patut dipuji
dan disyukuri, dan inilah kewajiban umat manusia untuk tidak
mempersekutukan Allah dengan makhlukNya.
Muhammad Husain Thabathaba’i dalam Tafsir Al-Mizan,
menafsirkan bahwa keesaan Allah swt. itu bersifat umum yang berarti
bahwa Tuhan bagi manusia ialah Tuhan seru sekalian alam, dariNya
segala sesuatu berasal dan dariNya segala sesuatu akan kembali. Ia
mengutus Rasul yang memberi kabar gembira dan memberi ancaman,
serta menunjuki manusia kepada agama yang benar. Hal ini pula yang
menjadi latar belakang turunnya surah alAn’aam yang berisikan ajaran
tauhid, kenabian, dan khabar tentang hari kebangkitan.

2.1.6 Memurnikan Ibadah


Perintah menyembah hanya kepada Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya tanpa adanya syirik dan ria
“Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al Quran) dengan
(membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar:2). Allah memerintah
Muhammad untuk mengatakan kepada kaum musyrikin untuk
meyembah Allah, menaati perintah-Nya, memurnikan ketaatan dalam
menjalankan agama, berbuat adil, mengerjakan salat dan beribadah
dengan ikhlas karena Allah.

14
Ikhlas merupakan pondasi penting dalam membangun agama,
karena ikhlas mempunyai cakupan yang tidak kalah penting, antara
lain: Ikhlas dalam niat, yakni ikhlas beribadah dan beramal hanya
demi Allah semata. Ikhlas dalam nasihat, sebagaimana asal muara
kata nasihat (dalam bahasa Arab) adalah khulus atau kemurnian.
Ikhlas dalam agama atau akidah, adapun yang dimaksud akidah adalah
hakekat silam dan prinsip dasar yang terbangun atas ketundukan yang
mutlak hanya kepada Allah, tidak ada yang lainNya.
Kedudukan ikhlas sangat penting karena ia menjadi penentu
suatu amal. Ikhlas adalah penentu kualitas. Dalam beribadah yang
sifatnya ritual, menjadi bernilai di mata Allah SWT, jika ia dilakukan
semata karenaNya. Kita paham bahwa ibadah itu mulia, tetapi menjadi
sia-sia ketika tidak diniatkan karena Allah SWT. Oleh karena itu,
dengan setiap beribadah atau beramal, kita harus memurnikan niat
dengan hanya karena Allah SWT.

2.1.7 Bahaya Syirik


Adapun bahaya dari perbuatan syirik, yakni :
1. Dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah. Sebagaimana firman
Allah dalam (Q.S. an-Nisa : 48)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan
Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa
yang besar.” (Q.S. an-Nisa:48).
2. Orang yang meninggal dunia dalam keadaan musyrik akan masuk
neraka dan kekal didalamnya. Allah swt berfirman dalam surah
(Al-Maidah : 72)
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal A
lMasih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah
Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang

15
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka,
tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.”
3. Amalan shaleh yang sudah dikerjakan oleh orang-orang yang
berbuat syirik akan lenyap dan sia-sia (Q.S Az-Zumar : 65)
"Telah diwahyukan kepada engkau dan juga Rasulullah-
Rasulullah sebelum engkau. Apabila engkau berbuat syirik
(syirik akbar) maka akan gugurlah seluruh amalanmu, dan
sungguh engkau akan menjadi orang yang merugi (di neraka
Jahanam)" (QS. Az-Zumar: 65).

2.1.8 Makna Laa Ilaaha Ilallah


Makna dari kalimat Laa ilaha illallah adalah tiada Tuhan yang
haq untuk dijadikan sesembahan kecuali Allah. Kalimat ini
mengandung dua pengertian, yaitu: Penolakkan atas segala bentuk
sesembahan selain Allah dan menetapkan satu-satunya sesembahan
yang haq hanyalah Allah semata. Di dalam Al-Quran, Allah
berfirman: “Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwasannya tidak ada
sesembahan yang benar selain Allah.” (QS Muhammad (47): 19).
Berdasarkan ayat ini, maka belajar tentang makna dari kalimat laa
ilaha illallah adalah kewajiban pertama bagi seorang muslim sebelum
belajar tentang rukun-rukun Islam yang lain.
Kalimat laa ilaha illallah ini adalah merupakan kunci pokok bagi
keselamatan, keamanan, kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan
hidup seorang manusia, baik di dunia, maupun di akhirat. Seorang
manusia yang mengucapkan kalimat laa ilaha illallah dengan penuh
keikhlasan dan kesadaran, maka ia akan masuk surga. Dalam sebuah
hadits Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Barang
siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallah dengan ikhlas maka ia
akan masuk ke dalam surga.” Yang dimaksud orang ikhlas di sini
adalah orang yang betul-betul paham akan makna dan segala
konsekuensinya dari kalimat laa ilaaha illallah. Atas kepahamamannya

16
itu, maka ia sadar akan betapa pentingnya kalimat laa ilaaha illallah
bagi kehidupannya, dan kemudian mendorongnya secara ikhlas untuk
bersyahadat (bersumpah, berikrar, dan berjanji) di atas kalimat laa
ilaha illallah. Setelah dia bersyahadat, maka mulailah dia
membuktikan syahadatnya dalam hidup dan kehidupannya. Semakin
dia ikhlas dan berpegang teguh dengan syahadat laa ilaha illallah-nya,
maka ia pun semakin paham bagaimana konsekuensi dari pada
kalimat laa ilaha illallah itu sendiri.
Kalimat laa ilaha illallah menjadi sumber inspirasi dari semua
perilaku seorang manusia. Semua perilakunya harus disesuaikan
dengan kalimat laa ilaha illallah itu sendiri. Secara internal kalimat laa
ilaha illallah akan mengontrol seseorang manusia untuk tidak
melakukan tindakan-tindakan tercela dan berupaya melakukan
tindakan-tindakan terpuji, karena semua tindakan manusia, baik yang
tercela, maupun yang terpuji, akan dipertanggungjawabkan semuanya
nanti di akhirat.

2.1.9 Cinta Kepada Allah


Ma’rifatullah adalah sebagai pengarah yang akan meluruskan
orientasi hidup seorang muslim. Dari sinilah dia menyadari bahwa
hidupnya bukan untuk siapapun kecuali hanya untuk Allah .
Mahabbah kepada Allah berarti mencintai Allah karena keagungan
Allah, Menurut Said Ramadhan Al-Buthy dalam bukunya yang
berjudul “Qur‟an Kitab Cinta”, bahwa cinta adalah ketergantungan
hati kepada sesuatu sehingga menyebabkan kenyamanan dihati saat
berada didekatnya atau perasaan gelisah saat berada jauh darinya.
Seorang muslim selayaknya memahami bahwa keindahan cinta yang
paling hakiki adalah ketika mencintai Allah swt. Pondasi utama yang
harus dibangun oleh seorang muslim untuk menggapai keindahan
cinta tersebut dengan mengenal Allah.
Menurut Imam Al-Ghazali, kadar cinta itu ditentukan oleh tiga faktor,
yakni:

17
1. Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma„rifah) dan
pengetahuan.
2. Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan
pengetahuan.
3. Manusia tentu mencintai dirinya.
Selain itu sebab-sebab tumbuhnya cinta dalam diri kepada Allah
adalah dikarenakan oleh berbagai hal di bawah ini:
1. Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan
keberlangsungan hidup.
2. Cinta kepada orang yang berbuat baik.
3. Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya
tidak dirasakan.
4. Cinta kepada setiap keindahan.
5. Kesesuaian dan keserasian.
Menurut Ahlul Mahabbah, mahabbah mempunyai tiga tingkat:
1. Cinta orang biasa, yaitu selalu mengingat Allah Swt dengan
dzikir, suka menyebut nama-nama Allah Swt dan memperoleh
kesenangan dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa
memuji-Nya
2. Cinta orang shidîq (jujur, benar), yaitu orang yang kenal kepada
Allah Swt, seperti kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, dan ilmu-Nya.
Cinta ini dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri
seseorang dari Allah Swt, sehingga ia dapat melihat rahasia-
rahasia yang ada pada Allah Swt. Ia mengadakan dialog dengan
Allah Swt dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta
tingkat kedua ini membuat orang sanggup menghilangkan
kehendak dan sifat-sifat-Nya sendiri, sementara hatinya penuh
dengan perasaan cinta dan selalu rindu kepada Allah Swt.
3. Cinta orang arîf, yaitu cinta orang yang tahu betul akan Allah Swt
yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.
Cinta pada tingkat ketiga inilah yang menyebabkan seorang

18
hamba (sufi) dapat berdialog dan menyatu dengan kehendak
Allah Swt.
Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak menunjukkan suatu
proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat tuhan dengan
menyebut namanya melalui zikir, dilanjutkan dengan leburnya diri
(fana‟) pada sifat-sifat tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya
cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah sulfiyah.
Selanjutnya cinta kepada Allah itu bukan hanya pengakuan mulut
bukan pula khayalan dalam angan-angan saja. Tetapi harus disertai
sikap mengikuti Rasŭlullah saw., melaksanakan petunjuknya, dan
melaksanakan manhaj-Nya dalam kehidupan.

2.2 Mengenal Rasul


2.2.1 Kebutuhan Manusia terhadap Rasul
Kata Rasul dalam bahasa Arab berarti utusan. Secara Istilah,
rasul adalah seorang manusia yang dipilih oleh Allah SWT kepada
umat manusia untuk menyampaikan ajaraan agama (ajaran
mengesakan Allah). Definisi ini menggambarkan secara jelas bahwa
rasul merupakan manusia terbaik (pilihan) sehingga apa yang dibawa,
dikatakan, dan dilakukan oleh rasul merupakan sesuatu yang terpilih
terbaik dan mulia. Setiap manusia diciptakan oleh Allah SWT sesuai
dengan fitrah. Fitrah berarti sesuai dengan kodrat penciptaan Allah.
Fitrah manusia selalu suci, bersih dan memiliki kecenderungan pada
nilai nilai kebaikan dan hal-hal positif. Keyakinan yang benar
(beragama tauhid) juga merupakan bagian fitrah manusia, sejak ia
dilahirkan.
Salah satu fitrah manusia adalah mengakui Allah sebagai
pencipta, juga keinginan untuk beribadah dan menghendaki kehidupan
teratur. Fitrah demikian perlu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-
hari melalui petunjuk Al-quran (firman-firman Allah) dan panduan
sunnah (keteladanan dari rasul). Oleh karena itu, manusia pada
dasarnya tetap memerlukan keberadaan rasul dan ajaran agama demi

19
menerangi jiwa dan memberikan petunjuk bagi akal pikiran. Peran
rasul dalam kehidupan manusia sebagai teladan dalam segala hal
kebaikan, menghantarkan manusia pada sisi kehidupan dan martabat
yang jauh lebih baik dan berkualitas, secara lahiriyah dan rohaniyah.
Keberadaan rasul memperkuat fitrah manusia yang selalu ingin
dibimbing dan diarahkan kejalan yang lurus, yaitu jalan kehidupan
yang selamat di dunia dan akhirat. Manusia yang menjalankan
perintah Allah adalah orang yang berpedoman pada perintah rasul.
Sebab diantara peran rasul adalah membimbing manusia untuk dapat
mengenal, mengabdi dan mencintai tuhannya berdasarkan petunjuk
yang benar. Dua kalimat shahadat pun terdiri dari pengakuan pada dua
hal utama, yaitu mengakui dan meyakini eksistensi Allah dan
rasulnya.

2.2.2 Definisi Rasul


Dalam Ensiklopedi Islam (ringkas), pengertian nabi dibedakan
menjadi dua kelompok:
1. Rasul yang berarti “utusan”, “duta”. Al-Qur'an sering menyebut al-
mursalun (orang-orang yang dikirim) sebagai seorang utusan
Tuhan yang mengajarkan agama atau wahyu yang baru. Yang
tergolong dalam kelompok ini adalah Adam, Syis, Nuh, Ibrahim,
Ismail, Musa, Luth, Shaleh, Hud, Syu’aib, Isa (Yesus), dan
Muhammad. Al-Qur’an menyebutkan beberapa orang dari
kelompok ulul azmi (pemilik keteguhan hati), sekalipun al-Qur’an
tidak menyebutkan mereka yang tergolong kelompok ini. Namun
sejumlah mufasir mengajukan nama kelompok ulul azmi ini.
2. Nabi adalah seorang utusan Tuhan yang membawakan ajaran
agama yang telah dibawakan oleh rasul sebelumnya. Seorang nabi
juga disebut sebagai basyir (orang yang membawa berita gembira)
dan disebut juga sebagai nadzir (orang yang menyampaikan
peringatan) sesuai dengan ajaran yang disampaikannya.

20
Berdasarkan pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
nabi tidak diperingatkan menyampaikan wahyu Tuhan yang
diterimanya itu kepada umatnya, sedang rasul disamping menerima
wahyu kenabian untuk dirinya sendiri, juga mempunyai tugas untuk
menyampaikan wahyu itu kepada kaumnya. Rasul berkewajiban untuk
mengajak kaumnya ke jalan yang benar.
Amin Syukur dalam bukunya Pengantar Studi Islam juga
berpendapat sebagai berikut. Nabi secara terminologi ialah manusia
pilihan Allah untuk menerima wahyu. Nabi dalam pengertian ini sama
dengan pengertian rasul. Namun ada yang membelokkannya, bahwa
rasul ialah manuasia pilihan Allah yang mendapatkan wahyu untuk
disampaikan kepada umatnya, sedangkan nabi menerima wahyu akan
tetapi tidak diwajibkan menyampaikan wahyu kepada umatnya. Dan
ada yang mengatakan lain, bahwa rasul itu membawa syariat (aturan)
baru, sedangkan nabi tidak. Dalam al-Qur’an sering dipakai kedua
istilah tersebut untuk maksud yang sama. Dan akadang istilah rasul
diperuntukkan selain manusia seperti malaikat.
Para rasul hakekatnya adalah rahmat Ilahi yang dianugerahkan
kepada manusia. Maka sepanjang sejarah manusia dan dari segala
bangsa, Allah telah mengutur rasul untuk memimpin manusia ke jalan
yang benar. Sebagaimana Firman Allah SWT.:

Artinya: “Tiap-tiap umat mempunyai rasul, maka apabila telah datang


rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil
sedang mereka tidak dianiaya.” (QS Yunus: 47)
Sejalan dengan keterangan di atas, Taib Tahir Abd Muin mengatakan,
iman kepada para rasul Allah ialah kita wajib mempercayai bahwa
para rasul itu manusia yang dipilih menjadi utusan Allah untuk
menyampaikan hukumhukum, undang-undang atau aturan-aturan
kepada manusia pada setiap periode dan masanya masing-masing.

21
2.2.3 Kedudukan Rasul
Beberapa kedudukan dan derajat Rasulullah SAW sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Quran:
1. Tunduk dan pasrah dihadapan Allah SWT
Allah swt dalam banyak ayat menjelaskan kedudukan dan derajat
Nabi Muhammad SAW didunia dan akhirat. Diantara posisi
istimewa itu adalah sikap tunduk dan pasrah dihadapan Allah.
Rasul SAW memiliki kepasrahan yang begitu murni sampai-
sampai Allah SWT. Rasulullah Saw memiliki kepasrahan yang
begitu murni sampai-sampai Allah SWT memuji kedudukan ini.
(QS: Ali Imran: 2, Al An’am:41, 17 dan 361).
2. Risalah Kenabian
Risalah kenabian termasuk posisi stimewa lain yang diberikan
Allah SWT kepada Muammad SAW. Risalah kenabian beliau
SAW memiliki keistimewaan yang khas dibanding risalah para
Nabi As sebelumnya, penyempurna risalah para Nabi terdahulu,
ditujukan untuk seluruh umat manusia, dan sebagai rahmat bagi
semesta alam. Ciri-ciri ini dimiliki oleh para Nabi sebelumnya.
Risalah Nabi-nabi as terdahulu hanya untuk kaum tertentu saja dan
sesuai dengan kondisi pada masa itu. Sementara risalah Nabi
Muhammad Saw diperuntukkan bagi seluruh umat manusia dan
berlaku hingga akhir zaman. Allah Swt juga telah menjelaskan
bahwa Rasulullah Saw adalah penutup para Nabi lain setelahnya.
3. Pemberi Syafaat
Pemberi syafaat termasuk gelar lain yang disandang oleh Rasul
Saw. Kedudukan ini juga dapat diperoleh oleh manusia biasa
melalui shalat tajahud dan sunnah di pertengahan malam. Hanya
saja syafaat yang dimiliki Rasul Saw adalah syafaat yang bersifat
mutlak. Allah Swt memberi wewenang kepada Rasul Saw untuk
memberi syafaat kepada umatnya kelak. Meski Allah Swt dalam
kitab sucinya tidak pernah menyebutkan nama seorang pun yang
kelak di hari kiamat akan memberikan syafaat, namun al-Quran

22
menyebutkan beberapa kriteria pemberi syafaat dan siapa saja yang
memiliki sifat-sifat tersebut, berarti ia adalah pemberi syafaat di
hari kiamat.
4. Kesucian Mutlak
Kemaksuman mutlak (kesucian mutlak) juga termasuk kedudukan
lain yang dimiliki Rasul Saw. Mazhab Syiah meyakini bahwa Nabi
Muhammad Saw dan Nabi-nabi as lain terjaga dari dosa dan
maksiat, baik dosa kecil atau besar, yang disengaja atau tidak.
Tujuan utama diutusnya Nabi Saw adalah untuk memberikan
petunjuk kepada seluruh umat manusia dan membimbing mereka
kepada hakikat kebenaran. Pada dasarnya, Nabi Saw adalah duta
Tuhan untuk seluruh umat manusia. Beliau ditugaskan untuk
memberi hidayah kepada jalan yang lurus. Allah Swt dalam ayat
23 dan 231 surat Ali Imran menegaskan kewajiban mentaati Rasul
Saw secara mutlak dan menganggap ketaatan kepada manusia suci
ini sebagai ketaatan kepada-Nya. Perintah ini mengindikasikan
kemaksuman mutlak dan sempurna yang dimiliki Rasul Saw, sebab
jika tidak demikian, tentu saja Allah Swt akan memerintahkan
manusia untuk mematuhinya dalam kasus tertentu saja.
5. Hakim dan Pemberi Putusan
Di antara kedudukan dunia dan akhirat Nabi Muhammad Saw
adalah bertindak sebagai hakim dan pemberi putusan atas sebuah
perkara dan sengketa yang terjadi di tengah umatnya. Selama di
dunia, Nabi Saw juga bertugas memutuskan perkara dan sengketa
di tengah umat manusia berdasarkan hukum Allah Swt. Beliau
bertindak sebagai hakim dan memberi putusan yang adil terhadap
setiap kasus. Sementara diakhirat, Nabi Saw menjadi pembagi
antara penghuni surga dan neraka.
6. Wilayah dan Kepemimpinan
Rasulullah Saw mengemban tugas untuk memberi penjelasan
berbagai urusan dunia dan akhirat umat manusia. Beliau
menjelaskan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan wahyu.

23
Beliau juga menjalankan roda pemerintahan yang kelak menjadi
sumber manifestasi rahmat Tuhan
7. Penghambaan
Lembaran kehidupan Rasul Saw adalah kumpulan makrifat,
keilmuan dan amal saleh yang mendidik umat manusia. Manusia
agung ini telah melakukan puncak penghambaan kepada Allah Swt
dan melepaskan diri dari segala bentuk ikatan selain-Nya. Di
hadapan keagungan Allah Swt, beliau menjadi hamba yang pasrah
secara mutlak sehingga menggapai kekuatan spiritual yang agung.
Karena itu, Rasulullah Saw tidak pernah gentar menghadapi
kekuatan syirik, kufur, gemerlap materi atau penguasa yang berhias
diri dengan harta dan bala tentara. Ibadah adalah tangga yang
mengantarkan manusia ke puncak kesempurnaan ruh dan spiritual.
Setiap amal kebaikan yang dilakukan dengan niat mendekatkan diri
kepada Allah Swt, Tergolong ibadah dan penghambaan.

2.2.4 Sifat-sifat Rasul


Sifat yang mulia yaitu Shidiq, Amanah, Fathonah dan Tabligh.
Karakter Shidiq mencakup karakter jujur dan karakter disiplin.
Karakter Amanah mencakup karakter kerja keras dan karakter
bertanggung jawab. Karakter Fathonah mencakup karakter rasa ingin
tahu, karakter gemar membaca, dan karakter kreatif. Karakter Tabligh
mencakup karakter peduli lingkungan, karakter peduli sosial, dan
karakter komunikatif (Arrosyad, 2015). Penjelasan tersebut dapat
dipahami bahwa karakter 4 sifat Nabi Muhammad Saw dapat
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa karakter
positif seseorang dapat dengan mudah melakukan tindakan yang
menyakiti dan merugikan diri sendiri dan orang lain. [ CITATION Ely15 \l
1033 ].

2.2.5 Tugas Rasul

24
Dalam Al-Qur'an, manusia secara umum merupakan khalifah
Allah di muka bumi untuk merawat dan memberdayakan bumi beserta
isinya. Sedangkan khalifah secara khusus maksudnya adalah
pengganti Nabi Muhammad saw sebagai Imam umatnya, dan secara
kondisional juga menggantikannya sebagai penguasa sebuah edentitas
kedaulatan Islam (negara). Sebagaimana diketahui bahwa Muhammad
saw selain sebagai Nabi dan Rasul juga sebagai Imam, Penguasa,
Panglima Perang, dan lain sebagainya. [ CITATION Zae20 \l 1033 ]
Tugas agung mereka ialah mengajak manusia beribadah kepada
Allah dan meninggalkan sesembahan selainNya.
1. Dakwah kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah
merupakan dasar dan jalan dakwah para rasul seluruhnya.
2. Menyampaikan syari’at Allah kepada manusia dan menjelaskan
agama yang diturunkan kepada manusia.
3. Menunjukkan umat kepada kebaikan dan menyampaikan kabar
kepada mereka tentang pahala yang disiapkan bagi pelakunya,
serta memperingatkan kepada mereka dari kejelekan dan siksaan
yang disiapkan untuk yang melanggarnya
4. Memperbaiki manusai dengan teladan dan contoh yang baik
dalam perkataan dan perbuatan.
5. Para rasul mempunyai tugas menegakkan dan menerapkan
syari’at Allah diantara hamba-hambaNya
6. Menjadi saksi sampainya hujjah kepada manusia.

2.2.6 Kewajiban terhadap Rasul (Wajibuna Nahwar Rasul)


Keyakinan bahwa Muhammad adalah Rasulullah (utusan Allah)
mengandung makna sebagai berikut:
1. Tashdiquhu fima akhbar (membenarkan apa-apa yang
disampaikan olehnya)
Salah satu ciri ketakwaan seorang muslim adalah senantiasa
membenarkan apa yang dibawa oleh Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

25
َ ِ‫ق بِ ِه ۙ أُو ٰلَئ‬
‫ك هُ ُم ْال ُمتَّقُون‬ َ ‫ص َّد‬ ِّ ‫َوالَّ ِذي َجا َء بِال‬
ِ ‫ص ْد‬
َ ‫ق َو‬
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan
membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Az-Zumar, 39: 33)

Salah satu contoh teladan bagi kita dalam hal ini adalah Abu Bakar
As-Shidiq, yang dalam berbagai momen selalu menjadi orang yang
terdepan dalam membenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ia termasuk golongan laki-laki yang pertama beriman di
dalam Islam; Ia pula yang banyak mengorbankan hartanya untuk
mendukung dakwah Islam. Dialah orang yang tanpa ragu segera
membenarkan peristiwa Isra Mi’raj yang dialami nabi saat orang-
orang mendustakan peristiwa itu; dialah yang menjadi teman Nabi
dalam perjalanan hijrah ke Madinah, dan seterusnya.

2. Tha’atuhu fima amar (mentaati apa yang beliau perintahkan)


Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka


dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum
(mengadili) di antara mereka ialah ucapan. ‘Kami mendengar,
dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (QS. An-Nur, 24: 51).

Dalam ayat lain juga disebutkan,

26
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

Dalam sebuah hadits, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin


Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai ia
menundukkan hawa nafsunya untuk tunduk pada ajaran yang aku
bawa.” (Diriwayatkan dalam kitab Al-Hujjah dengan sanad yang
shahih menurut Imam Nawawi. Namun penshahihan hadits ini
tidak tepat menurut Ibnu Rajab).

3. Ijtanabu ma naha ‘anhu  (menjauhi apa yang dilarang olehnya)


Allah Ta’ala berfirman,

27
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS.
Al-Hasyr, 59: 7)

Sikap seorang muslim, apabila telah mengetahui ada sebuah


larangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih
(benar) dan sharih (jelas), maka tidak ada pilihan baginya kecuali
menjauhi apa yang dilarangnya tersebut; walaupun larangan itu
tidak disebutkan secara langsung di dalam kitabullah.
4. La na’budullaha illa bima syara’a (kita tidak beribadah kepada
Allah kecuali dengan apa-apa yang disyariatkan [dicontohkan]
oleh beliau)
Tidak dibenarkan bagi seorang muslim melaksanakan
peribadatan yang tidak sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh
Allah Ta’ala melalui rasul-Nya. Perilaku beribadah dengan
mengikuti hawa nafsu (sekehendak hati) adalah mirip perilaku
orang-orang musyrikin. Allah Ta’ala berfirman,

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah


yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan
Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah)

28
tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-
orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat
pedih.” (QS. As-Syura, 42: 21).

Kewajiban Kita Kepada Rasul


Dengan makna seperti itu, maka kewajiban kita kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
A. Pertama, al-imanu bihi (beriman kepadanya) dengan
keimanan yang tidak disisipi oleh keraguan sedikitpun.
Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-


orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah.
Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat, 49:
15)
B. Kedua, mahabbatuhu (mencintainya).
Allah Ta’ala berfirman,

“Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara,


isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu

29
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari
Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan Nya”. Dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
fasik.” (QS. At-Taubah, 9: 24)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak beriman salah seorang dari kalian, sehingga aku ia lebih
cintai daripada anaknya, orangtuanya dan seluruh
manusia.” (HR. Muslim)

C. Ketiga, ta’dhimuhu (mengagungkannya)

Ta’dhimuhu, artinya memuliakan dan mendahulukan sabda


beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam atas segala ucapan makhluk
serta mengagungkan sunnah-sunnahnya.
Allah Ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului


Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS. Al-Hujuraat, 49: 1)
D. Keempat, ad-difa’u anhu (membelanya)
Ad-difa’u anhu adalah membela risalah beserta sunnah-
sunnahnya dari gangguan orang-orang kafir dan jahil (bodoh),
sebagaimana pembelaan hawariyyun terhadap risalah Nabi
Isa ‘alaihissalam.

30
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong
(agama) Allah sebagaimana ‘Isa ibnu Maryam telah berkata
kepada pengikut- pengikutnya yang setia: ‘Siapakah yang akan
menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama)
Allah?’ Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: ‘Kamilah
penolong-penolong agama Allah’, lalu segolongan dari Bani
Israil beriman dan segolongan lain kafir; maka Kami berikan
kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-
musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang
menang.” (QS. As-Shaf, 61: 14)

E. Kelima, mahabbatu man ahabbahu (mencintai orang-orang


yang mencintainya)
Orang yang benar-benar mencintai nabi pastilah orang yang
beriman. Oleh karena itu sebagai sesama hamba beriman -sebagai
sesama pecinta nabi- kita harus saling mencintai dan menyayangi.
Allah Ta’ala berfirman,

31
Muhammad adalah utusan Allah; dan orang-orang yang bersama
dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan
sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud…” (QS. Al-
Fath, 48: 29)
F. Keenam, ihya-u sunnatih (menghidupkan sunnahnya)
Dari ‘Amr bin ‘Auf bin Zaid al-Muzani radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-
sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan
mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang
mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka
sedikit pun“ (HR Ibnu Majah [No. 209], Syaikh Al-Albani
menshahihkannya dalam kitab “Shahih Ibnu Majah” [No. 173]).
G. Ketujuh,  iktsarus shalawati ‘alaihi (memperbanyak
bershalawat kepadanya)
Anjuran bershalawat kepada nabi diperintahkan langsung oleh
Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an,

32
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat
untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah
kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya.” (QS. Al-Ahzab, 33: 56)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali
maka Allah akan bershalawat baginya sepuluh kali, dan
digugurkan sepuluh kesalahan (dosa)nya, serta ditinggikan
baginya sepuluh derajat/tingkatan (di surga kelak)” (HR an-
Nasa’i [No. 1297])

Bershalawat artinya: kalau dari Allah berarti memberi rahmat;


dari Malaikat berarti memintakan ampunan; dan kalau dari orang-
orang mukmin berarti berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan
perkataan: “Allahuma shalli ala Muhammad.” 

Sedangkan ucapan ‘salam penghormatan’ yang dimaksud dalam


surat Al-Ahzab ayat 56 di atas, misalnya ucapan
seperti: “Assalamu`alaika ayyuhan Nabi”, artinya: semoga
keselamatan tercurah kepadamu Hai Nabi.

H. Kedelapan, ittiba’u manhajihi (mengikuti manhajnya)


Wajib bagi mereka yang mengaku beriman dan mencintai
Allah dan rasul-Nya untuk ittiba’ kepada Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

33
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran,
3: 31)
Wajib bagi setiap muslim untuk ittiba’ kepada manhaj (pedoman)
yang telah digariskan olehnya. Secara bahasa
kata “manhaj” berasal dari kata “nahaja” yang berati jalan yang
terang (Al Jauhari, Al-Shihah, 1/346). Bisa juga berarti jalan yang
ditempuh seseorang.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,


“Demi Allah, Rasulullah tidak meninggal dunia, hingga
meninggalkan jalan yang jelas” (HR Al-Darami: No. 83)

I. Kesembilan, wiratsatu risalatihi (mewarisi risalahnya)


Artinya kita harus melanjutkan risalah beliau dalam rangka
menebarkan petunjuk dan agama yang benar sehingga diikuti dan
dikenal keunggulannya oleh seluruh umat manusia.

“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk


dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala
agama-agama meskipun orang musyrik membenci.” (QS. As-
Shaff, 61: 9)

34
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk
dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua
agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. Al-Fath, 48 :
28)
J. Memahami bahwa Rasulullah saw. adalah Nabi penutup
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-
laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup
nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
(Al-Ahzab: 40)
Nabi Muhammad adalah nabi terakhir, penutup para nabi.
Tidak ada lagi nabi, rasul, dan wahyu setelahnya. Umat Islam
tidak perlu terjebak akan adanya klaim dari manusia yang
mengaku bahwa dirinya adalah seorang nabi. Jikapun ada, bisa
dipastikan bahwa hal itu palsu. Tidak perlu diikuti bahkan harus
diingkari. Akidah tentang khatmun nubuwwah (Muhammad nabi
terakhir) akan membebaskan kita dari masalah teologis. Kita tidak
perlu lagi mencari ajaran-ajaran kewahyuan di luar ajaran Nabi
SAW.

2.2.7 Pengaplikasian Makrifatullah dan Makrifarurrasul dalam


Keperawatan
Mengaplikasian makrifatullah dan makrifarurrasul dalam
keperawatan, kita sebagai seorang perawat sebaiknya selalu terus dan
terus menggali ilmu sebanyak banyaknya karena dengan ilmu tersebut
kita dapat memberikan informasi kepada orang lain sehingga ilmu
tersebut bermanfaat, walaupun kita sudah mendapatkan ilmu kita tidak
boleh sombong karena merasa kita lebih pintar dari pada orang lain.
Kita harus menggunakan ilmu yang kita miliki untuk jalan yang benar
sesuai dengan ajaran agama agar bermanfaat bagi orang lain. Adanya
semboyan: “agama tanpa ilmu buta, dan ilmu tanpa agama lumpuh”.

35
Dalam melaksanakan tugas pun kita harus meniatkan apa yang
kita lakukan semata-mata karna Allah, mengerjakan dengan sungguh-
sungguh berusaha maksimal, melakukan sesuai SOP, melaksanakan
dengan ikhlas namun juga tetap berdoa kepada Allah karena Allah
SWT lah Maha dari segala kebaikan.

Pengaplikasian makrifarurrasul dalam keperawatan. Kita


sebagai perawat juga dapat mencontoh dari sifat nabi Muhammad
SAW, antara lain:
a. Amanah: kita sebagai perawat karena kita harus merawat pasien
maka kita harus mendapatkan rasa kepercayaan baik dari pasien
maupun rasa percaya dari keluarga agar proses pengobatan
berjalan dengan lancar. Bagaimana kita dapat menjadi seseorang
yang amanah? Contohnya setiap kita berinteraksi dg pasien
utamakan senyum, komunikasi terapeutik, sampaikan informasi
yang benar.
b. Sebagai seorang perawat harus terus belajar dengan rajin sampai
ke liang lahat.
c. Dalam melakukan asuhan keperawatan kepada pasien, kita
sebagai perawat harus memberikan asuhan tanpa membeda-
bedakan pasien dalam hal apapun itu (agama, ras, kebudayaan,
sosial ekonomi, dll).
d. Dalam melakukan tindakan keperawatan, sebagai seorang perawat
tidak melebihi kewenangan legal etik mencontoh sifat-sifat Rasul.
e. Manusia biasa: kita sebagaimana makhluk biasa juga tidak luput
dari kesalahan, namun dalam menjalankan tugas sebaiknya
melatih diri kita untuk lebih teliti agar kita terbiasa dan
meminimalisir kesalahan, melakukan sesuai SOP.
f. Jujur: kita sebagai perawat harusnya menjunjung tinggi sifat jujur,
karna jujur kunci dari seseorang agar dapat dipercaya. Walaupun
seberat apapun kondisi pasien kita harus menyampaikan keadaan
pasien baik pada keluarga maupun pada pasien, tidak hanya itu

36
juga kita harus jujur dalam menuliskan data apa saja yang kita
temukan agar tidak ada kerancuan.
g. Cerdas: kita sebagai perawat dituntut untuk cerdas karena kita
tidak tahu kondisi yang takterduga dari pasien sehingga apabila
ada keadan darurat kita harus bisa berfikir kritis serta
memecahkan sebuah masalah.
h. Komitmen: kita sudah memilih jalan hidup kita sebagai seorang
perawat maka kita harus berkomitmen sampai akhir bahwa
apapun rintangannya profesi perawat sebagai ladang pahala untuk
kita. Berkomitmen untuk belajar menggapai ilmu dengan
sungguh-sungguh. Mengerjakan sesuatu semaksimal mungkin.
i. Dalam melakukan asuhan keperawatan kepada pasien, kita
sebagai perawat juga harus berkolaborasi dengan tenaga kerja
yang lain
j. Dan lain-lain.

Selain itu, Kita sebagai perawat mengaplikasian makrifatullah dan


dalam keperawatan, antara lain:

a. Membebaskan Diri dari Kesombongan


Profesi perawat merupakan profesi sebagai pelayan masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya melayani masyarakat dalam bidang
kesehatan, tentunya sikap dan perilaku seorang perawat harus baik
guna menjaga perasaan serta kenyamanan pasien. Namun selama ini,
masih sering dan banyak masyarakat yang mengeluhkan sikap perawat
di rumah sakit. Tidak ramah, jahat, sombong, hal-hal seperti ini yang
sering dikeluhkan oleh masyarakat kita.
Sifat angkuh dan sombong telah banyak mencelakakan makhluk
ciptaan Allah subhanahu wata'ala, mulai dari peristiwa terusirnya Iblis
dari surga karena kesombongannya untuk tidak mau sujud kepada
Nabi Adam as tatkala diperintahkan oleh Allah untuk sujud hormat
kepadanya. Allah juga telah menenggelamkan Fir'aun dan bala
tentaranya di lautan karena kesombongan dan keangkuhannya terhadap

37
Allah subhanahu wata'ala dan juga kepada sesama kaumnya, dan
karena kesombongannya itulah dia lupa diri sehingga dengan
keangkuhannya dia menyatakan dirinya adalah tuhan yang harus
disembah dan diagungkan.
Dalam QS Al-A’raf [7]: 146, Allah berfirman: “Aku akan
memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka
bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku”.
Rasulullah Saw, bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di
dalam hatinya terdapat sifat sombong walau seberat biji sawi. Dan
tidak akan masuk neraka orang yang di dalam hatinya terdapat
keimanan walau seberat biji sawi”.
Sudah selayaknya sebagai perawat muslim kita bersikap tawadhu
terhadap pasien. Nabi Saw. telah mengangkat kedudukan akhlak mulia
dan menjelaskan bahwa sebaik baik bekal hamba kepada Tuhan-Nya
pada hari kiamat adalah akhlak mulia, dan sesuatu yang paling berat
dalam timbangan orang mukmin adalah akhlak mulia.

b. Membebaskan Diri dari Kelalaian


Orang lalai menurut Allah adalah orang yang tidak menggunakan
mata, telinga dan hati sesuai dengan fungsi yang sebenarnya. Bahkan
Allah menyebutnya seperti binatang atau lebih sesat lagi dari binatang.
Hati yang lalai mengingat Allah sangat mudah dipengaruhi oleh
syaitan. Bagi orang lalai, hawa nafsu akan diperturutinya. Allah
berfirman QS 7:179 :
“ ..Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahanam
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakan untuk memahami ayat-ayat Allah dan mereka
mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat tanda
kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak
dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-
orang yang lalai...”

38
Kelalaian sendiri disebabkan oleh sifat main-main dalam
melakukan tindakan. Ketika seorang perawat menganggap dunia
hanyalah permainan dan senda gurau maka akan berakibat pada
tindakan keperawatan yang dilakukannya. Kemungkinan besar akan
terjadi kelalaian yang merugikan klien dan berimbas pada perawat.
Oleh karena itu selayaknya perawat membebaskan diri dari kelalaian
demi lancarnya tindak keperawatan.
Kelalaian yang dilakukan perawat di antaranya adalah
Recklessness Criminal Practice tindakan malpraktik kriminal yang
bersifat ceroboh, contohnya melakukan tindakan medis tanpa
persetujuan pasien informed consent. Selain itu adalah Negligence
Criminal Malpractice yaitu tindakan malpraktik kriminal yang bersifat
lalai misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat, atau
meninggalnya pasien, ketinggalam klem dalam perut pasien saat
melakukan operasi. Diharapkan dengan implikasi ma'rifatullah dalam
dunia keperawatan akan memberikan manfaat bagi hubungan perawat
dengan klien, serta hubungan perawat dengan Allah SWT.

c. Membebaskan Diri dari Dosa


Segala tindak keperawatan yang dilakukan tentunya diharapkan
akan memberikan manfaat untuk klien. Perlu dipahami bahwa sedekah
tidak hanya berbentuk materi, tindakan tulus kita yang bermanfaat bisa
dianggap sebagai sedekah. Akan tetapi pahala sedekah itu hanya akan
kita dapat ketika Allah berkehendak. Ketika kita masih berbuat dosa
dan tidak berusaha untuk menghindarinya maka akan tercipta hijab
yang menghalangi amalan kita untuk sampai ke Arsy Allah SWT.
Maka sebagai perawat, agar tindakan yang dilakukan dapat memberi
manfaat yang penuh dan barakah, selayaknya perawat berusaha untuk
membebaskan diri dari perbuatan dosa.
Tindakan yang dapat menimbulkan dosa dalam dunia keperawatan
di antaranya adalah tindakan malpraktik kriminal yang bersifat sengaja
(Intensional Criminal Malpractice) misalnya melakukan euthanasia

39
(pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP),
membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi
tanpa indikasi medis (pasal 299 KUHP).
d. Perawat Berbuat Baik (Al-Ihsaan)
Berbuat baik kepada diri sendiri, kepada orang lain, kepada
makhluk lainnya dan kepada Allah SWT adalah ciri orang yang
menyadari bahwa perlunya kita membalas kebaikan Allah dan adanya
pengawasan Allah. Berbuat baik ini sebagai respon dari pengenalan
kepada Allah (ma’rifatullah) secara benar. Motivasi berbuat baik
karena menyadari secara baik pengawasan Allah kepada hambaNya
seperti pengawasan atas tingkah laku manusia, gerak-geriknya bahkan
niat dalam hati manusia bisa diketahui Allah melalui para malaikatnya.
Para malaikat ini senantiasa mencatat dan mengawasi segala tingkah
laku manusia yang baik juga yang buruk. Kesadaran mendalam bahwa
Allah melihat kita dan mengawasi kita, tentunya akan menjadikan
perawat dalam bertindak penuh dengan kehati-hatian sebab tidak ingin
mendapatkan hukuman dari Allah.
e. Perawat Beramal Saleh (Al-Amal Ash-Shaalih)
Wujud dari keimanan kepada Allah dan RasulNya adalah beramal
saleh. Perbuatan yang baik sebagai wujud dari kesadaran akan budi
baik Allah yang begitu banyak mesti diamalkan dalam kerangka
ibadah kepada Allah. Dalam Al Quran begitu banyak rangkaian kata-
kata iman dengan amal saleh. Bentuk amal saleh cukup banyak
diantaranya ibadah yang wajib, sunnah yang khusus dan ibadah umum.
Perawat yang bertugas memberikan jasa perawatan kepada klien
menerapkan prinsip caring merupakan salah satu ibadah kepada Allah.
Ibadah ini merupakan wujud suatu keimanan kepada Allah dengan
beramal saleh melalui keikhlasan dalam memberikan pelayanan
kepada klien. Allah berfirman dalam QS 47:7
“Hai orang –orang beriman , jika kamu menolong agama Allah,
niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu...”

40
Perbuatan yang Ihsaan (Ihsaan Al Amal) biasa disebut dengan
pekerjaan yang baik dan profesional. Walaupun munculnya dengan
niat yang ikhlas dan proses kegiatan yang baik dan profesional,
perbuatan yang ihsan ini mesti didasari dengan semangat dan motivasi
yang baik, di antaranya untuk ibadah kepada Allah. Allah mengatakan
berbuat baiklah kamu sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada
kita.
Setelah niat yang ikhlas menghasilkan kerja yang baik maka
kemudian muncul penyelesaian kerja yang baik pula. Allah SWT
menyuruh kita untuk bekerja dengan sungguh-sungguh (Jaudah Al
Adaa) dalam surat 29:69. Selain itu, kita disuruh segera mengerjakan
berikutnya setelah suatu pekerjaan selesai disempurnakan. Dengan
demikian segala proses kegiatan tersebut akan menghasilkan pekerjaan
yang ihsan dan profesional.
f. Perawat Mencintai Apapun yang Dicintai Allah (Lawaazim Al-
Mahabbah)
Loyalitas kepada Allah dapat dibuktikan dengan mencintai siapa
saja yang dincantai Allah. Misalnya Allah mencintai Nabi SAW, maka
untuk mendapatkan balasan dan cinta dari Allah, kita harus pula
mencintai Nabi SAW. Hal ini dijelaska dalam banyak Al Quran
tentang cinta kepada Allah wajib diikuti dengan cinta kepada Rasul.
Mencintai siapapun yang dicintai kekasih merupakan bagian
tingkah laku yang wujud dari cinta kepada yang dicintai. Mencintai
Nabi SAW maka kita juga perlu mencintai umat Nabi yang dincintai
Rasul.
Perawat sebagai ujung tombak tenaga kesehatan baik pada
pelayanan primer dan sekunder akan berinteraksi dengan klien dan
keluarga selama 24 jam sehingga menerapkan apa yang diperintahkan
Allah untuk mencintai apa yang dicintai Nabi yakni seluruh umat
manusia tanpa membedakan kepercayaan mereka.

Peran Perawat dalam Ajaran Islam

41
Perawat adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dan tanggung
jawab yang berusaha berdasarkan kemanusiaan untuk meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan bagi terwujudnya manusia yang sehat
seutuhnya. Sehat secara bio-psiko, sosial-spiritual-kultural, untuk
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan klien tersebut seorang perawat
di tuntut untuk mampu membantu klien yang tidak mau, tidak mampu, dan
tidak tahu menjadi mau, mampu, dan tahu.
Tokoh keperawatan yaitu sosok seorang muslimah RUFAIDAH, beliau
adalah tokoh wanita dari kabilah islam yang biasa mengobati orang yang
terluka. Beliau merawat pasien-pasiennya dengan landasan penuh keikhlasan.
Seorang perawat tidak hanya bertugas memberikan perawatan pada klien
dengan ilmu-ilmu yang dimilikinya, tapi di tuntut lebih dari itu bahkan ada hal
yang sering dianggap sepele dan jarang dilakukan oleh seorang perawat yaitu
adalah membimbing pasien dalam hal ibadahnya. Namun, seorang perawat
profesional adalah yang mengutamakan kepentingan klien namun tetap tanpa
mendzolimi dirinya sendiri. Seandainya mampu kita kerjakan walau kita
sibuk, maka kerjakanlah, ini berarti seorang perawat dituntut untuk
mengutamakan menolong pasien ketimbang mendahulukan kepentingan
pribadinya. Islam sendiri telah menerangkan hal tersebut,  Allah SWT
berfirman dalam Q.S Al-Hasyr ayat 9 :
“... dan mereka tiada meneruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-
apa yang di berikan kepada mereka (orang muhajirin) dan mereka
mengutamakan  (orang-orang muhajirin, atas diri mereka sendiri.” (Q.S Al-
Hasyr : 9)
Perawat yang holistik mempertimbangkan aspek spirituality dan religion
pasiennya. Karena hal tersebut menjadi sumber kekuatan (energi), kedamaian,
ketabahan, keyakinan, dan tata nilai tahu tujuan hidup, merasa dibimbing
Allah SWT keyakinan diri bahwa ada alam perhitungan. Pandangan Islam
terkait tanggung jawab perawat terhadap pasien adalah memberikan pelayanan
terbaik. Definisi terbaik dalam konsepsi keperawatan memberikan bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar manusia pasien secara holistik/menyeluruh
(mencakup bio-psiko-sosio-dan spiritual), paripurna (tuntas), dan

42
berkesinambungan (baik selama pasien dirawat sampai pasien siap atau
mampu melakukan perawatan (mandiri/dibantu) keluarga dirumah.
Terkait bantuan pelaksanaan ibadah adalah bagian dari pemenuhan
kebutuhan spiritual. Perawat wajib memfasilitasi pasien memenuhi kewajiban
ibadahnya sesuai dengan tingkat kemampuan pasien. Bila pasien mampu
menjalankan ibadah secara mandiri perawat wajib memfasilitasi ibadah pasien
tetap memenuhi kaidah syar’i dengan mengingatkan waktu sholat,
menyediakan tempat tidur yang akan jadi tempat ibadah pasien sebersih dan
sesuci mungkin, memposisikan pasien menghadap kiblat, suasana ruangan
yang tidak gaduh, dll). Bila pasien tidak mampu menjalankan ibadah, maka
perawat wajib membantunya. Bantuannya dapat berupa memberikan
pemahaman (ilmu) bila pasien tidak mampu menjalankan ibadah karena tidak
tau cara ibadah saat kondisi sakit, tidak tau cara tayamum, tidak tau cara sholat
dengan posisi tidur, tidak tau bahwa sakit tetap wajib sholat. Bila pasien tidak
mampu memenuhi terbiasa sholat tepat waktu, perawat perlu setidaknya
membisikan bahwa waktu sholat sudah tiba, mentayamumi dan bila perlu
membimbingnya sholat. Selain itu, perawat juga berkewajiban mentalqinkan
pasien saat kebutuhan ibadahnya karena tidak mau, maka perawat
berkewajiban menggali alasan ketidakmauan pasien, mengingatkan bila lupa,
mencerahkan bila ketidakmauan pasien karena belum tercerahkan. Jika pasien
tidak ibadah karena tidak mampu dalam artian secara fisik sangat lemah, tapi
masih mampu mendengar, mengingat, berbicara, perawat wajib membantunya
untuk tetap melaksanakan ibadah secara maksimal sesuai kemampuan pasien
yg terbatas tersebut. Bila kondisi tidak sadar dan pasien menjelang kematian.
Namun bukan berarti bahwa perawat harus melakukan semua ini sendiri.
Perawat senantiasa mengajak pasien untuk selalu berdoa dan beridah dan
berkeyakinan bahwa doa yang penuh kekuatan iman akan dapat memberikan
kesembuhan pada pasien. Agar dalam keadaan sakit pasien tidak
meninggalkan kewajibannya untuk beribadah. (Herbert dan William, 1984).
Perawat memberikan keyakinan untuk pasien agar selalu berpikiran positif
dan berharap untuk sembuh, untuk meyakinkan pasien bahwa doa dan ibadah
sangat berarti untuk kesembuhannya karena hanya Allah SWT yang

43
memberikan kesehatan pada umatnya dengan perantara tenaga kesehatan
(dokter atau perawat). Dalam pelaksanaanya perawat harus melibatkan
keluarga pasien. Karenanya keluarga juga menjadi salah satu sasaran
intervensi keperawatan (menyiapkan mereka agar mampu membantu pasien
memenuhi kebutuhannya (termasuk kebutuhan ibadah dan kebutuhan
spiritual), keluarga juga perlu dipersiapkan menghadapi kondisi yg mungkin
tdak sesuai harapan (pasien meninggal misalnya).

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Mengenal Allah bukan lewat dzat-Nya melainkan mengenal Allah lewat
ayat-ayat di dalam Al-Quran dan tanda-tanda kebesaran Allah swt. Orang
yang telah mengenal Allah swt akan menyadari tugas yang harus ia emban
dalam kehidupan di dunia ini yaitu beribadah kepadaNya untuk mencari
keridhaan Nya. “Dengan mengenal Allah maka kita dapat mengetahui
dengan pasti apa tujuan hidup kita” (QS Adh-Dhaariyat 51:56). Cara
mengenal Allah yaitu dengan melihat tanda-tanda kekuasaan Allah (ayat
kauniyah) dan merenungi & mentadaburi ayat-ayat Al Quran, serta dengan
memahami Asmaul Husna. Bukti adanya keberadaan allah antara lain:
adanya alam semesta, fitrah, kejadian dan pengalaman, bukti-bukti dari naqal,
dalil naqli, pengokoh ketuhanan, dari adanya bukti tersebut kita percaya
bahwa Allah itu Esa Maha pemilik semua yang ada di bumi maupun di langit

44
tak beranak dan tidak pula diperanakkan. Tidak hanya mengetahui dan
mengakui Allah saja kita juga harus bertauhid yaitu menghambakan diri
hanya kepada Allah secara murni dan konsekuen, dengan menaati segala
perintahNya dan menjauhi segala laranganNya dengan penuh rendah diri,
cinta, harap, dan takut kepadaNya, menghindari syirik agar terhindar dari
segala bahayanya. Jika kita terhindarkan dari syirik berarti kita telah
menyadari bahwa tidak ada yang berhak dan layak untuk disembah kecuali
Allah semata. Hal ini berarti menafikan semua makna Tuhan selain Allah,
sekaligus menetapkan bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Sehingga
menimbulkan cinta yang murni cinta syar’i yang hanya ditujukan kepada
Allah SWT. Kita sebagai manusia biasa juga membutuhkan mengenal rasul
karena saat ini kita tidak hidup bersama dengan rasul sehingga kita butuh
mengenali rasul untuk dijadikan contoh dijadikan teladan meniru dan
menerapkan sifat-sifat baiknya. Kita jadikan rasul sebagai penuntun kita
dalam menggapai ridha-Nya agar kita terhindar dari godaan syaitan. Sikap
kita yaitu membenarkan dan mengikuti ajaran yang diajarkan oleh rasul,
selain taat kepada Allah kita juga taat kepada rasul, menjauhi segala sesuatu
yang tidak disukai oleh rasul, memahami bahwa Rasul merupakan nabi
penutup dan membela rasul.

45
Daftar Pustaka

Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Ath Thabari. 2009. Tafsir Ath Thabari, Juz VII.
Cet III. Jakarta : Pustaka Azzam
Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Jilid VIII, hal. 537

Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Jilid VII hal. 597

Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Jilid I hal. 45


Aulia Press Sabiq, Sayid. 2002. Aqidah Islam. Bandung: Bandung: Penerbit
Penerbit Diponegoro. Diponegoro. Suyadi. 2008.
Ely, Z. (2015). PERADABAN ISLAM PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN.
Jurnal Intelegensia, 50-58.
Firdaus, I. 2016. Berdamai Dengan Hati. Yogyakarta: Safirah
HR. Al Bukhari dan Muslim

46
Ilyas, Yunahar. 2004.  Kuliah  Kuliah Aqidah Islam.  Yogyakarta: LPPI
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Jasiman, Lc. 2009. Syarah Rasmul Bayan Tarbiyah.  (Hal. 110-112). Surakarta:

Meneladani Akhlak Rasul SAW dan Sahabat. Universitas Brawijaya

Shihab, M.Q. 2008. Dia Dimana-mana. Tangerang : PT Lentera Hati


Tafsir al-Qurthubi : 19/170
Tafsir al- Baghawi, Ma’alim at- Tanzil: 8/365
Thabathaba’I, Muhammad Husain. 1998. Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an Juz VII.
Lebanon : Beirut

Zaen, M. (2020). IMPLEMENTASI SIFAT-SIFAT RASULULLAH DALAM


KONSELING BEHAVIORAL. Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 151-
159.

47

Anda mungkin juga menyukai