Beliau meletakkan dasar-dasar zikir qalbi yang sirri, zikir batin qalbi yang tidak berbunyi dan
tidak bergerak, dan beliau meletakkan kemurnian ibadat semata-mata lillaahi ta’ala, tergambar
dalam do’a beliau yang diajarkan kepada murid-muridnya "Ilahii anta makshuudii waridhaaka
mathluubii". Secara murni meneruskan ibadat Thariqatus Sirriyah zaman Rasulullah, Thariqatul
Ubudiyah zaman Abu Bakar Siddiq dan Thariqatus Siddiqiyah zaman Salman al Farisi. Beliau
amat masyhur dengan keramat-keramatnya dan makmur dengan kekayaannya, lagi terkenal
sebagai wali akbar dan wali quthub yang afdhal, yang amat tinggi hakikat dan makrifatnya. Dari
murid-muridnya dahulu sampai dengan sekarang, banyak melahirkan wali-wali besar di Timur
maupun di Barat, sehingga ajarannya meluas ke seluruh pelosok dunia. Beliau pulalah yang
mengatur pelaksanaan iktikaf atau suluk dari 40 (empat puluh) hari menjadi 10 (sepuluh) hari,
yang dilaksanakan secara efisien dan efektif, dengan disiplin dan adab suluk yang teguh. Dan
dari beliau turun kepada ;
Kemudian turun pula rahasia Ilmu Thariqat Naqsyabandiyah yanga sangat mulia ini
kepada muridnya lagi Khalifah yang sangat tertib adabnya serta lembut tuturnya, kuat pendirian
dan aqidahnya yang senantiasa siang dan malam mengharapkan ridha dan Magfirah Tuhannya.
Dialah ;
PEMEGANG SILSILAH TN KAMPUNG BABUSALAM
wafat sejak sekitar 77 tahun silam, keberadaannya terasa di Kampung Babussalam, Tanjung
Pura, Langkat, Sumatra Utara. Peziarah mengalir ke makamnya di kampung yang didirikannya.
Syekh Abdul Wahab Rokan memang dikenal sebagai ulama ternama di Sumaera.
Lahir pada 19 Rabiul Akhir 1230 H (28 September 1811) di Kampung Danau Runda, Rantau
Binuang Sakti, Negeri Tinggi, Rokan Tengah, Kab. Rokan hulu, Riau, Wahab tumbuh di
lingkungan keluarga yang menjunjung agamanya. Nenek buyutnya, H Abdullah Tembusai,
dikenal sebagai alim ulama besar yang disegani.
Salah seorang putra Abdullah Tembusai, bernama M Yasin menikah dengan Intan. Buah
perkawinan itu melahirkan di antaranya Abdul Manap. Putra tertuanya ini, kemudian menikah
dan melahirkan Syekh Wahab Rokan.
Dengan titisan darah demikian, Wahab sejak kecil terdidik, terutama untuk pelajaran agama.
Demi menghapal AlQuran, Wahab kecil tak jarang bermalam, di rumah gurunya. Ia pun patuh
pada guru, bahkan kerap mencucikan pakaian orang yang mendidiknya itu.
Keistimewaan telah tampak sejak Wahab masih bocah. Suatu ketika, saat orang terlelap pada
dinihari, Wahab masih menekuni AlQuran. Mendadak muncul seorang tua mengajarinya
membaca aLQuran. Setelah rampung satu khatam, orang tua itu menghilang.
Kesalihannya ini tak jarang mengalami godaan. Saat ia melanjutkan pendidikan di Tembusai,
seorang wanita menggodanya, bahkan mengunci pintu tempat Wahab berada. Wahab terus
melantunkan doa sehingga terlepas dari jebakan wanita yang tergila-gila padanya. Begitu pun,
suatu ketika saat mandi di sungai, seorang gadis melarikan sarungnya.
Godaan itu tak membuat imannya meleleh. Bahkan, ia kian kukuh mendalami ilmu agama.
Setelah dari Tambusai, ia pun ke Malaysia, untuk mendalami ilmu agama kepada Syekh H M
Yusuf asal Minangkabau. Wahab yang tumbuh menjadi pemuda berdagang untuk menopang
kehidupannya. Menariknya, berkat kesalihannya, ia menyuruh pembeli menimbang sendiri
barang yang dibeli. Ini demi menghindarkan kecurangan.
Melanjutkan pendidikan ke MAkkah, ia belajar kepada beberapa guru, di antaranya Zaini Dahlan
(mufti mazhab Syafii), Syekh Zainuddin Rawa. Terakhir, ia mendalami ilmu tarEkat kepada
Syekh Sulaiman Zuhdi di puncak Jabal Abi Kubis. Sulaiman Zuhdi dikenal sebagai penganut
tarEkat Naqsyabandiah.
Menyimak ketekunan muridnya, suatu ketika Sulaiman Zuhdi, resmi mengangkat Wahab sebagai
khalifah besar. Penabalan itu diiringi dengan bai'ah dan pemberian silsilah tarekat
Naqsyabandiyah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW hingga kepada Sulaiman Zuhdi yang
kemudian diteruskan kepada Wahab. Ijazahnya ditandai dengan dua cap. Ia pun mendapat gelar
Al Khalidi Naqsyabandi.
Setelah kurang lebih enam tahun di MAkkah, ia kembali ke Riau. Di sana, ia yang saat itu
berusia 58, mendirikan Kampung Mesjid. Dari sana, ia mengembangkan syiar agama dan tarEkat
yang dianutnya, hingga Sumatra Utara dan Malaysia. Namanya pun semerbak. Raja di berbagai
kerajaan di Riau dan Sumatra Utara mengundangnya.
Suatu ketika, Sultan Musa Al-Muazzamsyah dari Kerajaan Langkat, gundah. Putranya sakit
parah dan akhirnya wafat. Rasa kehilangan ini tak terperikan. Syekh HM Nur yang -- sahabat
karib Wahab saat di MAkkah -- menjadi pemuka agama di kerajaan, menyarankan agar Sultan
bersuluk di bawah bimbingan Wahab. Sultan menyetujui dan mengundang Wahab.
Wahab pun datang ke Langkat. Ia mengajarkan tarEkat Naqsyahbandi dan bersuluk kepada
Sultan. Setelah berulang bersuluk, Sultan Musa -- yang belakangan melepaskan tahtanya dan
memilih menekuni agama --- memenuhi saran Wahab, menunaikan ibadah haji, sekaligus
bersuluk kepada Sulaiman Zuhdi di Jabal Kubis.
Berkat kekariban hubungan guru-murid, Sultan Musa menyerahkan sebidang tanah di tepi
Sungai Batang Serangan, sekitar 1 km dari Tanjung Pura. Sultan berharap gurunya dapat
mengembangkan syiar agama dari tanah pemberiannya. Wahab menyetujui dan menamakan
kampung itu Babussalam (pintu keselamatan). Maka pada 15 Syawal 1300 H, ia bersama ratusan
pengikutnya, menetap di sana.
Hingga kini, kampung itu terjaga sebagai pusat pengembangan tarekat Naqsyahbandiyah. Tetap
mendapatkan perlakuan khusus dari Pemda setempat, aktivitas sehari-hari -- ditandai dengan
kegiatan suluk setiap hari -- dipimpin khalifah. Saat ini khalifah kesepuluh Syekh H Hasyim
yang memimpin.
Kendati terjalin erat, hubungan Wahab dan Sultan, tak berarti selalu harmonis. Bahkan antara
keduanya sempat renggang, saat Wahab difitnah membuat uang palsu. Akibatnya, Sultan
memerintahkan penggeledahan ke rumah Wahab. Kendati tak terbukti, bahkan saling
memaafkan, Wahab seusai peristiwa itu pindah ke Malaysia. Kepindahannya ini kabarnya
menyebabkan sumur minyak di Pangkalan Brandan surut penghasilannya.
Begitu pun, suatu kali penjajah Belanda 'menekan' Sultan. Dalihnya, berbekal potret Wahab,
ditengarai Tuan Guru Babussalam --- demikian panggilan kehormatannya --- turut bertempur
membantu pejuang Aceh melawan Belanda. Padahal, pada saat bersamaan, pengikutnya
menegaskan Tuan Guru berdzikir di kamarnya.
Kendati dikenal sebagai pemuka agama, tak berarti Tuan Guru tak memiliki kepedulian pada
politik. Ia mengutus anaknya untuk menemui HOS Cokroaminoto pada 1913. Tujuannya untuk
membicarakan pembukaan cabang Sarekat Islam di Babussalam. Tak lama kemudian, SI pun
berdiri di kampung yang dipimpinnya.
Tuan Guru wafat di usia 115, pada 21 Jumadil Awal 1345 H (27 Desember 1926), meninggalkan
4 istri, 26 anak, dan puluhan cucu. Hingga kini, setiap peringatan hari wafat (haul), dirayakan
besar-besaran. Ratusan pengikutnya yang memegang tarekat Naqsyahbandiah dari berbagai kota
di Sumatra hingga Malaysia, dan Thailand hadir.
Para zurriyat, khalifah dan jamaah Babussalam terserak di dalam maupun luar negeri. Akibatnya
silaturahmi menjadi longgar. Demi mengikat silahturahmi Ikatan Keluarga Babussalam Langkat
menyelenggarakan silaturrahmi nasional (silatnas).