Anda di halaman 1dari 129

CINTA TANAH AIR PRESPEKTIF AL-QUR`AN

( Studi Komparatif antara Tafsir Al-Huda dan Tafsir Al-Azhar)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama


(S.Ag)

Oleh:

Azzah Nuril Mudli’ah

NIM: 14210567

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

PRODI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR

INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ) JAKARTA

2018 M/ 1439 H
CINTA TANAH AIR PRESPEKTIF AL-QUR`AN
( Studi Komparatif antara Tafsir Al-Huda dan Tafsir Al-Azhar)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama


(S.Ag)

Oleh:

Azzah Nuril Mudli’ah

NIM: 14210567

Dosen Pembimbing:

Ali Mursyid, M.Ag

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

PRODI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR

INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ) JAKARTA

2018 M/ 1439 H
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul Cinta Tanah Air Prespektif Al-Qur`an (Studi


Komparatif antara Tafsir Al-Huda dan Tafsir Al-Azhar)” yang disusun oleh
Azzah Nuril Mudli‟ah dengan Nomor Induk Mahasiswa 14210567 telah
melalui proses bimbingan dengan baik dan disetujui untuk diujikan pada
sidang munaqasyah.

Jakarta, 12 Agustus 2018

Pembimbing

Ali Mursyid, M.Ag

i
LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi dengan judul “Cinta Tanah Air Prespektif Al-Qur`an (Studi


Komparatif antara Tafsir Al-Huda dan Tafsir Al-Azhar)” oleh Azzah Nuril
Mudli‟ah dengan NIM 14210567 telah diujikan pada sidang Munaqasyah
Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta pada tanggal
Agustus 2018. Skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Agama (S.Ag).

Jakarta, 18 Agustus 2018


Dekan Fakultas Ushuluddin

Dra. Hj. Maria Ulfah, MA

Sidang Munaqasyah

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Dra. Hj. Maria Ulfah, MA Dra. Siti Ruqoyyah Tamami

Penguji I, Penguji II,

Drs. Arison Sani, MA Iffaty Zamimah, MA

Pembimbing

Ali Mursyid, M.Ag

ii
PERNYATAAN PENULIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Azzah Nuril Mudli’ah

NIM : 14210567

Tempat/tgl. Lahir : Tegal, 25 Februari 1996

Menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Cinta Tanah Air Prespektif Al-
Qur`an(Studi Komparatif antara Tafsir Al-Huda dan Tafsir Al-Azhar)”
adalah benar-benar asli karya saya kecuali kutipan-kutipan yang sudah
disebutkan. Kesalahan dan kekurangan di dalam karya ini sepenuhnya
menjadi tanggung jawab saya.

Jakarta, 18 Agustus 2018

Azzah Nuril Mudli’ah

iii
PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini saya persembahkan untuk Ummi dan Abi

Yang telah bersedia menjadi tangan kanan Allah dalam mendidik Azzah,
merawat Azzah dengan penuh kasih dan sayang.

Yang doanya selalu mengalir untuk kebaikan dan keberhasilan Azzah.

untuk Abah, meski ragamu tak lagi disini,

Semoga sedikit dari apa yang Azzah berikan mampu menjadi penerang alam
kuburmu, dan mendapatkan tempat terindah disisi-Nya.

Tak lupa, untuk para penjaga kalam-Nya di Pondok Pesantren Putri


Tahfidzul Qur`an Miftahul Huda „Ceria, yang selalu histeris berjejer rapi di
balkon atas ketika Azzah harus berangkat lagi ke Jakarta. I Love You mbak-
mbak.

iv
MOTTO

Setiap kau menemukan persoalan dalam hidupmu, bacalah Al-Qur`an dan


mintalah kepada Allah agar menyelesaikan persoalan itu.

(Dr. K. H. Ahsin Sakho Muhammad, Renungan Kalam Langit)

v
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, atas Rahmat Allah penulis mampu menyelesaikan


skripsi dengan judul “Cinta Tanah Air Prespektif Al-Qur`an (Studi
Komparatif Tafsir Al-Huda dan Tafisr Al-Azhar).”

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda


Nabi Muhammad s.a.w. Sang pendidik dan pembawa risalah agama Islam.

Hamdan lillah, tak henti-hentinya penulis haturkan kepada Sang Maha


Kuasa, sehingga atas Kuasa-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini
merupakan akumulasi dari perjuangan-perjuangan kecil penulis. Dalam
penyelesaian skripsi ini penulis harus mengkolaborasikan antara kesabaran
dan semangat, serta senantiasa menjaga keduanya agar tetap stabil selama
masa pengerjaan.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa karya sederhana ini sejatinya


bukanlah mutlak hasil dari kerja keras penulis seorang. Karna banyak sekali
sumbangsih orang lain dalam proses pengerjaannya. Untuk itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terimaksih kepada:

1. Allah swt, yang Maha Baik atas setiap kemudahan dan kejutan-Nya
selama penulis mengerjakan skripsi ini.
2. Ibu Prof. Dr. Hj. Khuzaemah Tahido Yanggo, Lc, MA. Ibunda kita
semua, Rektor Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta.
3. Ibu Dr. Hj. Maria Ulfa, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta, atas kesediaannya menyetujui
judul penulis.
4. Bapak Ali Mursyid, MA selaku dosen pembimbing terbaik penulis,
atas ketelatenannya dalam membimbing proses pembuatan skripsi ini,
sejak masih berbentuk proposal hingga menjadi skripsi yang utuh.

vi
Terimakasih telah mengajarkan kami arti kesabaran menunggu,
sehingga dapat berwujud tanda tangan tanda disahkannya skripsi ini
untuk diujikan.
5. Ibu Atiqoh, Ibu Mahmudah, Kak A‟yuna, Ibu Muthmainnah, dan Ibu
Istiqomah. Instruktur tahfidz yang selalu memberikan dukungan serta
semangat penulis, sehingga penulis sampai pada titik ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Qur`an
(IIQ) Jakarta yang telah membagikan ilmunya pada penulis, sehingga
penulis mendapatkan dan memahami banyak hal terkait ilmu-ilmu Al-
Qur`an.
7. Seluruh staf Fakultas yang telah membantu tahap demi tahap proses
yang penulis lalui.
8. Pimpinan dan staf perpustakaan Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta,
perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan PSQ,
perpustakaan Sadra, dan perpustakaan Iman Jama‟, terimakasih atas
kesempatannya untuk penulis dalam mencari bahan yang diperlukan
dalam menyusun skripsi.
9. Ummi Hj. Nur Mahfudloh dan Abi Syamsul Ma‟arif S.Sos.I,
terimakasih sebanyak-banyaknya Azzah sampaikan untuk Ummi dan
Abi, tanpa doa, dukungan, serta keikhlasan Ummi dan Abi, tak akan
mungkin Azzah mampu menyelesaikan hingga tahap ini. Ridhoi
setiap langkah Azzah Umi, Abi.
10. Abah H. M. Hadun Miftah (alm), meski kini engkau tak lagi bersama
kami, Abah. Azzah yakin engkau selalu mendoakan kami di alam
sana. Mendoakan untuk keberhasilan dan kesuksesan Azzah.
Terimakasih Abah, 12 tahun yang sangat berharga dan
membahagiakan. Azzah sayang Abah, Azzah rindu Abah.

vii
11. Adik-adikku yang sholeh dan sholehah. Ismatul Izzah, terimakasih
telah menyemangati mbak selama ini, memberikan dukungan moral
yang berharga untuk mbak, semoga Allah memudahkan segala
langkahmu dik. Almira Kanzus Shofa dan Ahmad Adzhan Husem
Fawaz, calon Hafidzhah dan Hafidz kecil, Insya Allah. Terimakasih
untuk doa dan hiburan dikala penat dan suntuk melanda mbak,
sehingga mbak mampu menyelesaikan skripsi dengan baik.
12. Arina Alfa Khasanatin, Ammah yang selalu ikhlas Azzah repotkan
dalam segala hal. Terimakasih Ammah, atas doa dan dukungan
semangat untuk Azzah. Tahun depan harus jadi comlude lagi ya.
13. Seluruh anggota Pasukan Asrama bu Ema, yang telah memberikan
atmosfer positif dan semangat yang luar biasa kepada penulis.
14. Teman-teman angkatan 2014 terkhusus untuk teman-teman
Ushuluddin A, atas kebersamaan, kerjasama dan semangatnya selama
masa perkuliahan hingga sekarang. Semoga silaturrahim tetap terjalin
diantara kita.
15. Asatidz-asatidzah Rumah Cinta Al-Qur`an (RCA) al-Islamiyyah,
Jakarta Utara. Terimakasih untuk kebersamaan selama satu tahun ini,
untuk pengalaman dan semangat membaranya kepada penulis.
16. Kak Egi Sukma Baihaqi, yang meminjami penulis Tafsir Al-Huda
karya Bakri Syahid, dimana Tafsir ini sangat dibutuhkan dalam
penyusunan skripsi ini.
17. Keluarga perantauan Jawa Tengah, terkhusus kang Fahmi, kang Faiq,
kang Ghozali, kang Muhib, mbakyu Echa. Terimakasih telah
memberikan kehangatan layaknya keluarga, yang selalu ada kapanpun
penulis butuhkan, untuk dukungan semangatnya, sehingga penulis
bisa mengikuti wisuda di tahun ini.

viii
Tak lupa penulis ucapkan permohonan maaf kepada seluruh pembaca
jika terdapat kesalah fahaman dalam penulisan maupun penyusunan skripsi
ini. Penulis menyadari, masih banyak sekali kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Karena kesempurnaan hanya milik Allah saw. dan kekurangan ada
pada diri penulis. Harapan penulis, semoga skripsi ini mampu memberikan
kontribusi positif di dunia akademis, serta memberikan pemahaman baru
pada masyarakat.

Jakarta, 18 Agustus 2018

Azzah Nuril Mudli‟ah

ix
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING...............................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................ii
PERNYATAAN PENULIS........................................................................iii
PERSEMBAHAN........................................................................................iv
MOTTO.........................................................................................................v
KATA PENGANTAR.................................................................................vi
DAFTAR ISI.................................................................................................x
PEDOMAN TRANSLITERASI...............................................................xii
ABSTRAKSI...............................................................................................xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah................................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah......................13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................14
D. Tinjauan Pustaka..........................................................................14
E. Metodologi Penelitian..................................................................18
F. Tehnik Sistematika Penulisan......................................................19

BAB II DISKURSUS TENTANG CINTA TANAH AIR

A. Pengertian Cinta Tanah Air.........................................................23


B. Cinta Tanah Air dalam sejarah islam...........................................26
C. Cinta Tanah Air dalam Al-Qur`an...............................................40
D. Cinta Tanah Air dalam Hadis......................................................48
BAB III MENGENAL TAFSIR AL-HUDA DAN TAFSIR AL-AZHAR
A. Profil Tafsir Al-Huda
1. Biografi Bakri Syahid............................................................51
2. Karya-karya Bakri Syahid.....................................................54

x
3. Profil Tafsir Bakri Syahid.....................................................54
B. Profil Tafsir Al-Azhar
1. Biografi Prof. Hamka.............................................................59
2. Karya-karya Prof. Hamka......................................................64
3. Profil Tafsir Prof. Hamka.......................................................67
BAB IV ANALISIS CINTA TANAH AIR MENURUT TAFSIR AL-
HUDA DAN TAFSIR AL-AZHAR
A. Penafsiran Bakri Syahid dan Prof. Dr. Hamka tentang Ayat
Terkait Cinta Tanah Air
1. Penafsiran kata “Bangsa”.......................................................75
2. Menyamakan level pengusiran dengan kematian...................82
3. Menguatkan kesamaan level antara terbunuh dan terusir.......89
4. Menyamakan level keterusiran seseorang dari negaranya
dengan pembunuhan...............................................................93
5. Jangan membuat kerusakan..................................................100
6. Doa Nabi Ibrahim a.s............................................................102
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................108
B. Saran-saran................................................................................109

DAFTAR PUSTAKA

xi
PEDOMAN TRANSLITERASI

Skripsi ini ditulis dengan mneggunakan pedoman transliterasi sebagaimana


diuraikan di bawah ini. Trasliterasi ini ditulis dengan menggunakan pedoman
transliterasi huruf Arab ke huruf latin yang telah disusun oleh Institut Ilmu
Al-Qur`an (IIQ) Jakarta Tahun 2017.

1. Konsonan

‫أ‬ :a ‫ط‬ : th

‫ة‬ :b ‫ظ‬ : zh

‫ث‬ :t ‫ع‬ :„

‫ث‬ : ts ‫غ‬ : gh

‫ج‬ :j ‫ف‬ :f

‫ح‬ :h ‫ق‬ :q

‫خ‬ : kh ‫ك‬ :k

‫د‬ :d ‫ل‬ :l

‫ذ‬ : dz ‫م‬ :m

‫ز‬ :r ‫ن‬ :n

‫ش‬ :z ‫و‬ :w

‫س‬ :s ‫ي‬ :h

xii
‫ش‬ : sy ‫ء‬ :`

‫ص‬ : sh ‫ي‬ :y

‫ض‬ : dh

2. Vocal

Vocal Tunggal Vocal Panjang : Vocal Rangkap:


Fathah: a ‫أ‬: â ْْ‫ي‬...: ai
Kasrah : i ‫ي‬: î ْْ‫…و‬: au
Dhammah: u‫و‬: û
3. Kata Sandang

a. Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (‫ )ال‬qamariyah


ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, Contoh:
‫ البقسة‬: Al-Baqarah ‫المبئدة‬: Al-Mâidah
b. Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (‫)ال‬ syamsiyah
ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan
sesuai dengan bunyinya. Contoh:
‫ السجل‬: ar-rajulu ‫السيدة‬: as-Sayyidah
‫الشمس‬: asy-Syams ‫الدازمي‬: ad-Dârimî
c. Syaddah (Tasydîd) dalam system aksara Arab digunakan lambang
(ّ_), sedangkan untuk alih aksara dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan cara menggandakan huruf yang bertanda tasydîd. Aturan ini
berlaku secara umum, baik tasydîd yang berada di tengah kata, di
akhir kata ataupun yang terletak setelah kata sandang yang diikuti
oleh huruf-huruf syamsiyah. Contoh:
ْ ‫أ َمىّبْبِب‬: Âmannâbillâhi
ِ‫لل‬ ْ‫أ َمهَ ْال ّسفَهَبء‬: Âmana as-Sufahâ’u
xiii
َْ‫إِ َّنْالَّ ِريْه‬: Inna al-ladzîna ْ‫ َوالسُّ َّك ِع‬: waar-rukka’i
d. Ta Marbûthah(‫)ة‬
Ta Marbûthah (‫ )ة‬apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh kata
sifat (na’at), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf “h”.
Contoh:
‫ األفئدة‬: al-Af`idah ‫ الجبمعتْاألسالميت‬: al-Jâmiah al-Islâmiyah
Sedangkan ta marbûthah (‫ )ة‬yang diikuti atau disambungkan (di-
washal) dengan kata benda (ism), maka dialih aksarakan menjadi
huruf “t”. Contoh:
ٌ‫َبصبَ ْت‬
ِ ‫ َعبِملَتٌْو‬: ÂmilatunNâshibah
e. Huruf Kapital
Sistem penulisan huruf Arab tidak mengenal huruf kapital, akan
tetapi apabila telah dialih aksarakan maka berlaku ketentuan Ejaan
Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, seperti penulisan
awal kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri dan
lain-lain. Ketentuan yang berlaku pada EYD berlaku pula dalam alih
aksara ini, seperti cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold) dan
ketentuan lainya.

xiv
ABSTRAKSI
Azzah Nuril Mudli’ah (14210567)
Cinta Tanah Air Prespektif Al-Qur`an (Studi Komparatif antara Tafsir Al-Huda dan
Tafsir Al-Azhar)
Pada zaman sekarang media sosial sangatlah berperan penting dalam segala hal,
terutama dalam membagikan ilmu-ilmu sebagaiamana yang sudah banyak dilakukan oleh
para pendakwah masa kini. Salah satu alasan penulis mengambil judul ini, karena ada satu
pendakwah masa kini yang bernama Felix Siaw penah membuat opini bahwa "membela
nasionalisme, nggak ada dalilnya, nggak ada panduannya | membela Islam, jelas pahalanya,
jelas contoh tauladannya", padahal sudah jelas bahwa ada nasehat dari Hadlratusy Syaikh
KH. Hasyim Asy'ari terkait dengan Islam dan Nasionalisme. Beliau pernah mengatakan,
"Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme
adalah bagian dari Agama, dan keduanya saling menguatkan”. Sedangkan alasan penulis
memilih kedua tafsir diatas, karena kedua penafsir diatas memiliki jiwa nasionalisme yang
sangat tinggi, terlihat pada penafsiran Bakri Syahid terhadap surat al-Baqarah ayat 11 lafadz
‫الَتَ ْف ِسدوْ ا‬, Bakri Syahid menafsirkan: Janganlah membuat kerusakan dimuka bumi baik
kerusakan batin maupun kerusakan lahir, serta hal-hal yang merusak mental, yang hal ini
sangan ditakutkan. Sedangkan pemilihan Tafsir Al-Azhar karena hampir sebagian karya-
karya Prof. Hamka mengenai nasionalisme, seperti Falsafah Hidup, Tasawuf, Pandangan
Hidup Muslim, Pembela Islam, Adat Mingkabau dan Agama Islam. Karena itu penulis
tertarik untuk meneliti cinta tanah air menurut Al-Qur`an.
Pada skripsi ini penulis hanya membahas bagaimana penafsiran Bakri Syahid dan
Prof. Dr. Hamka dalam ayat-ayat cinta tanah air, serta bagaimana persamaan dan perbedaan
Cinta Tanah Air menurut Tafsir al-Huda dan Tafsir al-Azhar.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan komparatif. Dalam
penelitian ini, penulis mencoba menjawab permasalahan yang ada melalui studi dokumen
dan pustaka (library research) dengan merujuk pada data primer dan sekunder. Sumber
data primer yang penulis gunakan adalah Tafsir Al-Huda dan Tafsir Al-Azhar. Sementara
data sekundernya merupakan buku-buku Wawasan Al-Qur‟an, Membumikan Islam
Nusantara, Literatur Tafsir Indonesia dan tafsir-tafsir nusantara serta buku-buku dan jurnal
yang berkaitan dengan pembahasan. Adapun teknik analisis datanya yaitu teknik deskriptif
komparatif.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak ada ayat yang menunjukkan arti
cinta tanah air secara langsung, namun melihat kajian terdahulu, terdapat 7 ayat yang
merujuk pengertian cinta tanah air, diantaranya ayat yang menafsirkan kata “Bangsa”,
menyamakan level pengusiran dengan kematian, menguatkan kesamaan level antara
terbunuh dan terusir, menyamakan level keterusiran seseorang dari negaranya dengan
pembunuhan, jangan membuat kerusakan, dan doa Nabi Ibrahim a.s. Menurut penafsiran
Bakri Syahid, cinta tanah air adalah jangan merusak ajaran agama, yang fungsinya sebagai
unsur pembangunan bangsa dan karakter bangsa itu kewajiban bagi pemerintah dan
masyarakat, harus berjalan bersama, harus dijaga, dan dibina dengan baik. Jangan sampai
ada sikap jiwa menyepelekan ajaran agama. Sedangkan menurut penafsiran Prof. Hamka
adalah belum beriman seseorang sebelum taat kepada Rasul dan ridha menerima
hukumannya. Bahkan Allah memerintahkan untuk menguji ke Imanan seseorang dengan
membunuh dirinya, atau keluar dari negerinya, tinggalkan kampung halaman untuk
berjuang. Adapun dari penjelasan dua penafsir tersebut rupanya ayat-ayat terkait cinta tanah
air menurut Al-Qur`an mendukung nasehat yang disampaikan KH. Hasyim Asy‟ari.
Dengan begitu penelitian ini sangat membantah pernyataan Felix Siaw, karena
kenyataannya banyak ayat yang membahas mengenai cinta tanah air.

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Negara kesatuan Republik Indonesia adalah suatu wilayah negara
kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau dan diapit oleh dua samudra dan dua
benua, serta didiami oleh ratusan juta penduduk. Selain itu Indonesia
memiliki keanekaragaman budaya dan adat istiadat yang berlainan satu sama
lain, dan tercermin dalam satu ikatan yang terkenal dengan sebutan Bhineka
Tunggal Ika. Karena letak wilayah Indonesia di sekitar khatulistiwa, maka
Indonesia memiliki iklim tropis dan memiliki dua musim saja, yaitu musim
hujan dan musim kemarau.
Indonesia memiliki 17.504 pulau (termasuk 9.634 pulau yang belum
diberi nama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni). Di sini ada 2 dari 6
pulau terbesar di dunia yaitu Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Wilayah
Indonesia terbentang sepanjang 3.977 m diantara Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik. Luas daratan Indonesia 1.922.570 km2.1
Sebagai bangsa yang telah mencapai kemerdekaan, Pancasila tercipta
sebagai dasar dan ideologi negara yang akan menuntun kita untuk bersikap
dan berperilaku layaknya warga negara yang baik.
Pancasila mengandung dasar dari cita-cita Indonesia merdeka.
Kemerdekaan sebagai hasil perjuangan bangsa Indonesia dengan persatuan,
haruslah dijaga kelangsungannya. Untuk itu Indonesia merdeka haruslah
mempunyai dasar, sebuah dasar yang diatasnya akan dibangun negara semua
untuk satu, dan satu untuk semua.2

1
www.academia.edu/7663694/Negara_Kesatuan_Republik_Indonesia_NKRI_ di
akses Tanggal 28September 2018 pukul 11:52 WIB
2
Tashadi, Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan Ir. H. Soekarno dan KH.
Ahmad Dahlan, (Jakarta: CV Ilham Bangun Karya, 1999), h. 56

1
2

Pancasila sendiri mengandung nilai-nilai luhur yang harus tertanam


pada diri seseorang sebagai warga negara yaitu nilai agama, nilai budaya,
nilai pendidikan dan nilai kebangsaan atau nasionalisme.
Cinta tanah air merupakan salah satu hal utama dalam membentuk
sebuah karakter warga negara, kemudian rasa memiliki, rasa menjaga, rasa
melestarikan, rasa ingin memajukan akan tumbuh dengan bermula dari sikap
cinta tersebut. Dengan sikap cinta itu pula keadaan negara akan menjadi
lebih baik. Sebagai seorang warga negara wajib baginya untuk
menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air tersebut karena di tanah air
itulah tempat ia berpijak baik secara kultural maupun historis. Oleh
karenanya, patutlah kita sebagai warga negara untuk mengabdikan diri
kepada negara kita sendiri bermula dengan menanamkan sikap cinta tanah
air. Bukan hanya diungkapkan secara verbal dalam bentuk kata-kata saja,
akan tetapi diwujudkan dalam upaya memperbaiki tatanan kehidupan
bangsa.
Tanah tumpah darah tempat kita dilahirkan, adalah daerah yang kita
cintai. Supaya tahu betapa mendalamnya cinta kita kepada tanah air, cobalah
tinggalkan sekali. Niscayalah terasa pada kita rindu kepadanya. Merantau
jauh-jauh, terbayanglah kampung halaman. Dan apabila bendera bangsa-
bangsa berkibar di gedung PBB di New York, maka yang terlebih dahulu
dicari oleh mata kita ialah di mana terletaknya “Merah-Putih”. Ketika itu kita
tidak berfilosofi, tetapi perasaanlah yang tersingung.
Mukhlas Samani dan Haryanto mengatakan, “Cinta tanah air adalah
cinta dan penuh pengabdian kepada negaranya dan peduli terhadap
pertahanannya, rela berkorban demi keutuhan negara”.3

3
Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 127
3

Menurut Akhmad Muhaimin Azzel, “Salah satu tanda bahwa seseorang


telah mempunyai sikap cinta terhadap tanah air adalah bisa menghargai
karya seni dan budaya nasional yang ada di Indonesia”.4
Seseorang yang bisa menghargai karya seni dan budaya biasanya
mempunyai sikap bisa menghargai karya orang lain, mempunyai kesabaran
dalam berproses, juga mempunyai kebijaksanaan dalam hidup. Hal tersebut
bisa menumbuhkan rasa cinta seseorang terhadap bangsa dan negeri sendiri.
Dengan demikian, akan tumbuh pula rasa nasionalisme.
Cinta kepada tanah air sama halnya dengan cinta antar sesama
manusia. Cinta seseorang kepada sesama juga merupakan wujud rasa cinta
kepada Allah. Saling menasihati, saling bersilaturahim, saling mengunjungi
dan saling memberi menunjukkan adanya saling mencintai. Kalau saja tidak
ada cinta diantara keduanya maka tidak akan ada saling menyambung,
bersilaturrahim, menasihati, mengunjungi maupun memberi. Banyak bentuk
kesenangan dan kenikmatan duniawi yang diperkenankan dan merupakan
sumber pahala.
Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, termasuk di dalamnya terdapat nilai-nilai kemanusiaan yang
ditujukan untuk bangsa.5 Menurut M. Quraish Shihab, cinta tanah air
bukanlah sebagian dari iman. Cinta tanah air adalah naluri manusia. 6 Sebagai
manusia, Nabi Muhammad saw. pun sangat cinta kepada kota Mekkah,
tempat kelahiran beliau. Pentingnya mencintai tanah air didasarkan pada
sebuah peristiwa terkenal saat Nabi saw diusir keluar dari Makkah. Saat
hendak meninggalkan Makkah, beliau menghadap ke arah Ka‟bah seraya

4
Akhmad Muhaimin Azzel, Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia,(Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011), h. 75
5
Said Ismail Ali, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2010), h. 281
6
Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati,
2009), cet ke-V, h. 424-425
4

berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau adalah


tanah Allah yang paling Dia cintai, lembah terbaik yang ada di atas muka
bumi dan yang paling dicintai oleh Allah. Seandainya penduduk tidak
mengusirku, aku pasti takkan pernah meninggalkanmu.”7
Imam Fakhruddin Ar Razi (w.1209 M/ 1210 M) memiliki pandangan
yang bagus dalam memberikan dalil dari Al-Qur`an terkait cinta tanah air,
yang menegaskan bahwa cinta tanah air adalah dorongan fitrah yang sangat
kuat di dalam diri dan jiwa manusia. Beliau mengatakan hal itu ketika
menafsirkan firman Allah SWT :

             

              

“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka


bunuhlah dirimu atau keluarlah dari kampungmu” (QS An Nisaa : 66)

Imam Fakhruddin Ar-Razi berkomentar, ”Allah menjadikan tingkatan


meninggalkan kampung halaman setingkat dengan bunuh diri”. Seakan Allah
SWT berfirman: “Seandainya Aku perintahkan kepada mereka salah satu
dari dua kesulitan terbesar di alam semesta, pasti mereka tidak akan
melakukannya. Dua kesulitan terbesar di alam semesta itu adalah bunuh diri
atau meninggalkan tanah air”. Allah menjadikan kesulitan untuk melakukan
bunuh diri sama persis dengan kesulitan meninggalkan tanah air.
Meninggalkan kampung halaman, bagi orang yang berakal adalah hal
yang sangat sulit dilakukan, sama sakitnya seperti bunuh diri. Hal ini

7
Said Ismail Ali, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2010), h. 281
5

menunjukkan bahwa kecintaan pada tanah air mempunyai makna yang


sangat dalam bagi diri manusia.8
Syekh Wahbah al-Zuhaily (w. 8 Agustus 2015) dalam tafsirnya al-
Munir fil Aqidah wal Syari’ah wal Manhaj menyebutkan:

‫ َو َج َعلَوُ قَ ِريْ َن قَ ْت ِل‬، ‫َّاس بِِو‬


ِ ‫الوطَ ِن َوتَ َعلُّ ِق الن‬
َ ‫ب‬ ِّ ‫اخ ُر ُج ْو ِام ْن ِديَا ِرُك ْم) إِ ْْيَءٌ إِ ََل ُح‬ْ ‫ (أ ِو‬:‫ويف قولو‬
9 ِ ِ ‫صعُ ْوبَِة‬
.‫األوطَان‬ ْ ‫اهلشجَرِة من‬ ْ ِ ‫النَّ ْف‬
ُ ‫ َو‬. ،‫س‬
Artinya: “Di dalam firman-Nya )ْ‫ (أ ِوا ْخرُجُ ْو ِامنْ ِديَا ِرُكم‬terdapat isyarat akan
cinta tanah air dan ketergantungan orang dengannya, dan Allah
menjadikan keluar dari kampung halaman sebanding dengan bunuh
diri, dan sulitnya hijrah dari tanah air.”

Ayat Al-Qur`an selanjutnya yang menjadi dalil cinta tanah air menurut
ahli tafsir kontemporer, Syekh Muhammad Mahmud Al-Hijazi yaitu pada
Q.S At-Taubah: 122

             

          
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke
medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara
mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (Q.S At-Taubah:122)

Syekh muhammad mahmud al-Hijazi (w. 1383 H) dalam Tafsir al-


Wadlih menjelaskan ayat diatas sebagai berikut:
“Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa belajar ilmu adalah suatu
kewajiban bagi umat secara keseluruhan, kewajiban yang tidak mengurangi
kewajiban jihad, dan mempertahankan tanah air juga merupakan kewajiban

8
majelissholawatbontang.org/detailpost/cinta-tanah-air-dalam-tinjauan-ulama
diakses tanggal 10 Mei 2018
9
Wahbah Al-Zuhaily, al-Munir fil Aqidah wal Syariah wal Manhaj, (Damaskus:
Dar Al-Fikr Al-Mu‟ashir, 1418 H), juz 5, h. 144
6

yang suci. Karena tanah air membutuhkan orang yang berjuang dengan
pedang (senjata), dan juga berjuang dengan argumentasi dan dalil.
Bahwasannya memperkokoh moralitas jiwa, menanamkan nasionalisme dan
gemar berkorban, mencetak generasi yang berwawasan „cinta tanah air
sebagian dari iman‟, serta mempertahankannya (tanah air) adalah kewajiban
yang suci. Inilah pondasi bangunan umat dan pilar kemerdekaan mereka.”10
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA juga mengatakan bahwa
salah satu ayat yang membahas mengenai kebangsaan terdapat pada Q.S Al-
Hujurat: 13.

           

          
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S Al-Hujurat: 13)

Menurut beliau, kata sya’ab juga diterjemahkan sebagai “bangsa”


seperti ditemukan dalam terjemahan al-Qur`an yang disusun oleh Departemen
Agama RI.11
Memang benar saat ini Indonesia sudah merdeka dari para penjajah,
akan tetapi Indonesia hanya merdeka dalam bentuk fisik saja, sedangkan
dalam bentuk moral Indonesia belum merdeka.
Pada era globalisasi ini, rasa cinta terhadap tanah air masih sangat
dibutuhkan. Kenapa? karena walaupun negara kita sudah merdeka dari

10
Muhammad Mahmud al-Hijazi, Tafsir al-Wadlih, (Beirut: Dar al-Jil al-Jadid,
1413 H), juz II, h. 30
11
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an,(Bandung: PT. Mizan Pustaka,
2007), cet. I, h. 436
7

penjajahan, kita masih memiliki kewajiban untuk menjaga kemerdekaan


tersebut, kita harus menjaga keutuhan bangsa ini yang telah diperjuangkan
oleh para pahlawan.
Memiliki rasa cinta terhadap tanah air itu tidak serta merta dimiliki saat
hendak menghadapi penjajah yang menjajah negara kita. Karena penjajahan
itu tidak hanya berbentuk fisik, akan tetapi dapat terjadi pula dengan bentuk
penjajahan terhadap moral suatu bangsa.
Perwujudan rasa cinta tanah air tidak hanya bagi warga negara
Indonesia kepada negara Indonesia, akan tetapi sebagai warga negara di
negara mana pun itu kita harus memiliki rasa cinta tanah air, misalnya Mesir.
Pada abad ke 19, seorang tokoh Mesir bernama Ath-Thahthawi (w. 27
Mei 1873) yang merupakan salah seorang tokoh pembaharu di bidang
pendidikan membawa pembaharuan terhadap pendidikan di Mesir pada waktu
itu, bahkan dikenal pula sebagai pioner pertama pembaharu pendidikan.
Beliau merumuskan sebuah konsep pendidikan yang menjelaskan gagasan
beliau mengenai pendidikan. Beliau berpendapat bahwasannya tujuan
pendidikan itu adalah untuk pembentukan kepribadian, tidak hanya untuk
kecerdasan. Lebih dari pada itu, tujuan pendidikan juga berupaya
menanamkan rasa patriotisme (hubb al-wathan).
Patriotisme merupakan dasar utama yang membawa seseorang untuk
membangun masyarakat maju. Wacana patriotisme yang dimaksudkan Ath-
Thahthawi adalah cinta pada tanah tumpah darah yaitu Mesir, bukan seluruh
dunia Islam. Pemikiran Ath-Thahthawi tentang tujuan pendidikan tidak jauh
berbeda dengan pemikiran yang berada di Indonesia, bahwasannya
pendidikan itu tidak hanya untuk menambahpengetahuan akan tetapi
ditunjukkan pula untuk kepentingan bangsa.12

12
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: P.T Bulan Bintang, 1984), Cet.3,
h.220
8

Kita percaya kepada Tuhan dan kita mengabdi kepada Tuhan. Kita
bersyukur kepada-Nya karena kita dilahirkan di atas setumpuk dunia yang
indah. Tanah air adalah nikmat Ilahi kepada kita. Di atas bumi-Nya kita
dibesarkan, hasil buminya kita makan, airnya yang mengalir yang kita
minum.
Jadi dapat dikatakan, bahwasannya karena mencintai Tuhanlah maka
timbul cinta cinta kita kepada tanah air. Rumpun cinta yang seperti ini dari
Tauhid-lah asalnya.
Tetapi cinta itu terkadang terlepas dari uratnya, terbongkar dari asalnya,
sebagaimana juga pada segi-segi yang lain, cinta itu terlepas dari urat tauhid,
lalu menjadi musyrik.13
Jika cinta tanah air adalah naluri manusia, maka seorang mukmin
ataupun kafir selama masih naluri yang sehat pasti cinta kepada tanah airnya.
Dengan demikian cinta tanah air bukanlah bagian dari iman. Ungkapan ‫حب‬

‫ الوطن من االميان‬bukanlah hadis sahih. Hadis ini adalah palsu (maudhu’i)

menurut penilaian ash-Shaghghani sebagaimana dikutip oleh ulama hadis


Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 4 Oktober 1999) dalam kitabnya yang
berjudul Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Mawhu’ah, jilid I, hlm.
110.14
Sebagai manusia yang diciptakan Allah dengan berbagai potensi yang
membedakannya dengan makhluk lainnya, adalah melakukan kewajiban
manusia itu sendiri untuk mengenal Allah dari dekat, sekaligus untuk
mengabdi kepada-Nya. Salah satu cara mengenal Allah yang banyak tidak
disadari oleh kita semua yaitu dengan cara mencintai tanah air kita sendiri,

13
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Depok: Gema Insan Press, 1965)Cet.3,
h.220-221.
14
Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab, (Jakarta:Penerbit Lentera
Hati,2009),cet.V, h.424-425
9

seperti jargon yang suda ada sejak zaman penjajahan, yaitu “Hubbul Wathan
Minal Iman” yang artinya Cinta Tanah Air Sebagian dari Iman.
Ada sejumlah hadis yang mengisyaratkan tentang kecintaan orang
beriman kepada tanah airnya. Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abi
Hatim.

‫ َع ِن‬،ً‫ني َسنَة‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ فَ َسم ْعنَاهُ م ْن ُم َقات ٍل ُمْن ُذ َسْبع‬،‫ال ُس ْفيَا ُن‬ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ ثنا ابْ ُن أَِِب عُ َمَر‬،‫َحدَّثَنَا أَِِب‬
،َ‫اق إِ ََل َم َّكة‬ ْ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِم ْن َم َّكةَ فَبَ لَ َغ‬
َ َ‫اْلُ ْح َف َة ا ْشت‬ ُّ ِ‫"لَ َّما َخَر َج الن‬:‫ال‬
َ ‫َِّب‬ َ َ‫ ق‬،‫اك‬ ِ ‫َّح‬
َّ ‫الض‬
15 َّ
."َ‫فَأَنْ َزَل اللَّوُ تَبَ َارَك َوتَ َع َاَل َعلَْي ِو الْ ُق ْرآ َن " لََر ُّاد َك إِ ََل َم َع ٍاد " إِ ََل َمكة‬
“dari al-Dhahhak, beliau berkata: Ketika Rasulullah saw. keluar dari
kota Makkah, lalu sampai di al-Juhfar (tempat diantara Makkah dan
Madinah), beliau rindu dengan Makkah, maka Allah swt. Menurunkan
ayat: “...dan sungguh (Allah) akan mengembalikanmu ke tempat
kembali (yaitu ke Makkah).” ( H.R Ibn Abu Hatim al-Razi)

Hadis yang diriwayatkan Ibn Abu Hatim al-Razi (w. 890 M) didalam
tafsirnya ini, diamini oleh banyak penafsir Al-Qur`an, seperti al-
Thabathaba‟i, Ibn „Asyur (w. 12 Agustus 1975), dan Sayyid Quthub (w. 29
Agustus 1966) sebagaimana yang dijelaskan Quraish Shihab didalam tafsir
al-Misbah.
Fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini sebenarnya menunjukkan
kalau mencintai negara itu punya andil besar, dalam menjaga
keberlangsungan kehidupan dan pelaksanaan ajaran agama yang didasari
oleh keimanan. Pelajaran dari kearifan tokoh bangsa ketika menjadikan
ungkapan “Hubbul Wathan Minal Iman” adalah sarana meningkatkan
semangat juang rakyat, harus kita teladani dan ambil semangatnya pada hari
ini. Memakmurkan dan mengelola muka bumi ini adalah bagian dari ajaran

15
Abu Muhammad „Abdurrahman bin Muhammad bin Idris bin Mundzir at Tamimiy
al Handzaliy ar Razi bin Abi Hatim, Tafsir Al-Qur`anul „Adzim liabni Abi Hatim, (Kerajaan
Arab Saudi: Perpustakaan Nizar Mustafa el Baz),Cet III, h. 419
10

islam, yaitu mensyukuri pemberian nikmat hidup di dunia ini, dengan


bekerja mencari nafkah yang halal. Memang, tanah air ini tidak hanya soal
kelahiran, ataupun kampung halaman. Mulla al-Qari (w. 1605 M)16
misalnya, menambahkan kalau al-wathan juga memiliki tafsiran makna
akhirat, karena kita semua akan kembali ke „kampung‟ akhiran, maka
pantaslah kalau kita merindukannya..
Atas dasar pandangan-pandangan diatas, merupakan suatu kewajiban
bagi umat Islam untuk memahami lebih jauh lagi ajaran Islam, sebelum kita
memahamkan orang lain dan membuktikannya dengan tindakan nyata bahwa
Islam adalah agama yang akan menebar kasih di muka bumi dan mencintai
tanah air bukan hanya tabiat, tetapi juga lahir dari bentuk keimanan kita.
Karenanya, jika kita mengaku diri sebagai orang yang beriman, maka
mencintai indonesia sebagai tanah air yang jelas-jelas penduduknya
mayoritas muslim merupakan keniscayaan. Inilah makna penting pernyataan
hubbul wathan minal iman (Cinta tanah air sebagian dari iman).
Pada dasarnya, kata cinta tanah air dalam Al-Qur`an tidak disebutkan
secara langsung. Namun nilai-nilai cinta tanah air banyak ditemukan dalam
Al-Qur`an. Nilai-nilai cinta tanah air tersebut juga tidak bertentangan dengan
konsep ajaran agama Islam yang menjadikan Al-Qur`an sebagai kitab
pedoman hidup. Nilai-nilai tersebut diantaranya adalah: (1) nilai persatuan
dan kesatuan, terdapat dalam Q.S. Al Anbiya‟: 92, Q.S. Al Hujurat: 13, Q.S.
Ali Imron: 103, dan Q.S.As Shaff: 4 (2) nilai rela berkorban, terdapat dalam
Q.S. Al Anfal: 60, Q.S. Qashsas: 7, dan Q.S. An Nisa‟: 135 (3) nilai
kesetiaan, terdapat dalam Q.S. An Nisa‟: 59, dan Q.S. Ali Imron: 103 (4)
nilai taat terhadap peraturan, terdapat dalam Q.S. An Nisa‟: 59, dan Q.S. An
16
Mulla al-Qari adalah seorang ulama ahli hadis yang bermadzhab Hanafi. Ketinggian
ilmu dan pribadi beliau diakui umat sehingga digelar sebagai “al-Imam Naashirus Sunnah
dan Pembasmi Bid‟ah- Imam Pembela Sunnah dan Pembasmi Bid‟ah”. Lihat
https://bahrusshofa.blogspot.com/2011/12/nur-muhammad-mulla-ali-al-qari.html?m=1
diaskes pada tanggal 12 September 2018 pukul 16:58
11

Nisa‟: 135 (5) nilai toleransi antar umat beragama terdapat dalam Q.S. Al
Mumtahanah: 8, dan Q.S. Al An‟am: 108.17
Pada penulisan skripsi ini, penulis mencoba membandingkan antara
tafsir al-Huda18 karya Bakri Syahid (w. 1994) dengan tafsir al-Azhar19 karya
Prof. Dr. Hamka (w. 24 juli 1981). Alasan penulis memilih judul tersebut,
dikarenakan ada sebagian ulama yang menyatakan cinta tanah air bukanlah
sebagian dari agama, tidak ada dalil mengenai cinta tanah air, kemudian
sebagai syabab (anggota resmi) HTI, Felix siauw memiliki pandangan anti
terhadap Nasionalisme. Salah satu "fatwa" Felix yang cukup menyita
perhatian, bahwa Nasionalisme tidak ada dalilnya dari sisi agama. "membela
nasionalisme, nggak ada dalilnya, nggak ada panduannya | membela Islam,
jelas pahalanya, jelas contoh tauladannya", kicau Felix melalui akun
twitternya pada 29 November 2012 pukul 22:53. Inilah kesalahan fatal Felix,
ia berupaya mempertentangkan Islam dengan Nasionalisme, bahkan
menyebut pembelaan terhadap Nasionalisme tidak ada dalil dari sisi agama.
Hal itu tentu berbeda dengan pandangan para ulama yang justru berupaya
menanamkan nasionalisme dan tidak mempertentangkannya dengan Islam.
Memang, ada dua kutup terkait Islam dan Nasionalisme yaitu ada
kelompok Islamis dan ada kelompok Nasionalis. Tetapi dengan
kepiawaiannya, ulama mampu memadukan keduanya. Inilah yang dilakukan
oleh Nahdlatul Ulama (NU) sehingga nasionalisme tidak menjadi 'gersang'
tetapi berlandaskan pada agama. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul

17
http://journal2.um.ac.id/index.php/jppk diakses tanggal 10 Mei 2018 pukul 15:37
18
Salah satu dari 8 tafsir karya Bakri Syahid yang ditulis sebelum beliau menjabat
sebagai pejabat di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tafsir ini dicetak dalam satu jilid,
bersampul hijau dengan panjang 24 cm dan lebar 15,5 cm dengan ketebalan 5,5 cm dan
berjumlah 1.376 halaman. Sumber rujukan utama yang dipakai Bakri Syahid adalah al-
Qur`an dan terjemahannya yang dikeluatkan oleh Departemen Agama RI.
19
Salah satu dari sekian banyak karya Prof. Dr. Hamka yang ditulis ketika beliau
berada di tahanan selama kurang lebih dua tahun, lengkap 30 juz, yang kemudian di
terbitkan pada tahun 1967 dan dinamai dengan Tafsir Al-Azhar.
12

Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siraj pernah mengatakan, NU telah berhasil
mengawinkan antara Agama dan semangat nasionalisme. NU telah
memberikan sumbangsih dalam menentukan bentuk negara Indonesia;
sebuah negara yang dijiwai nilai-nilai agama dan nasionalisme. Wakil Ketua
Umum PBNU H. As‟ad Said Ali membedakan antara nasionalisme yang
bertumpu pada nilai-nilai Islam dan nasionalisme yang sekuler. Hal itu yang
membedakan dengan NU. Ia menegaskan bahwa rasa kebangsaan NU
tumbuh dan dilandasi nilai-nilai keagamaan pesantren. Hal inilah yang
membedakan nasionalisme NU dengan nasionalisme sekuler. Dan berikut
nasehat Hadlratusy Syaikh KH. Hasyim Asy'ari terkait dengan Islam dan
Nasionalisme. Beliau pernah mengatakan, "Agama dan Nasionalisme adalah
dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari
Agama, dan keduanya saling menguatkan" Dengan semangat nasionalisme
juga, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama KH. Abdul Wahab Hasbullah
pernah membentuk organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air)
pada tahun 1916.20
Sedangkan alasan penulis memilih kedua tafsir diatas, karena kedua
penafsir memiliki jiwa nasionalisme yang sangat tinggi, terlihat pada
penafsiran Bakri Syahid terhadap surat al-Baqarah ayat 11 lafadz ‫الَتَ ْف ِس ُد ْوا‬,

Bakri Syahid menafsirkan: Janganlah membuat kerusakan dimuka bumi baik


kerusakan batin maupun kerusakan lahir, serta hal-hal yang merusak mental,
yang hal ini sangan ditakutkan. Sedangkan pemilihan Tafsir Al-Azhar karena
hampir sebagian karya-karya Prof. Hamka membahas terkait nasionalisme,
seperti Falsafah Hidup, Tasawuf Modern, Pandangan Hidup Muslim,
Pembela Islam, Adat Mingkabau dan Agama Islam.

20
http://www.muslimedianews.com/2015/02/nasehat-sang-kyai-untuk-felix-siauw.html
diakses tanggal 10 juli 2018 pukul 13:24
13

Sehingga berdasarkan asumsi di atas, terlebih lagi sikap cinta yang


ditujukan untuk tanah air semakin berkurang. Maka penulis tertarik dan
memberanikan diri menganalisa lebih jauh terkait cinta tanah air untuk
diangkat menjadi sebuah skripsi yang berjudul “Cinta Tanah Air
Prespektif Al-Qur`an (Studi Komparatif antara Tafsir Al-Huda dan
Tafsir Al-Azhar)”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah


I. Identifikasi Masalah
Ada beberapa aspek yang dapat disoroti sebagai problema sehingga
perlu mengangkat penelitian ini. Pertama, banyaknya asumsi-
asumsi yang mendasari bahwa cinta tanah air merupakan sistem
yang bertentangan dengan Islam, sebab menjauhkan persatuan umat
karena hanya akan mengkotak-kotakkan mereka. Berbeda dengan
Islam yang mengajarkan persatuan umat seluruh dunia. Sementara
ada beberapa kitab tafsir yang membahas mengenai cinta tanah air.
Kedua, menjabarkan bagaimana pengertian cinta tanah air menurut
Bakri Syahid dan Prof. Hamka.

II. Batasan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini agar lebih terarah
dan fokus membahas ayat-ayat terkait cinta tanah air dalam Tafsir
Al-Huda karya Bakri Syahid dan Tafsir Al-Azhar karya Prof. Dr.
Hamka, diantaranya: Q.S Al-Hujurat: 13, Q.S an-Nisa:66, Q.S al-
Baqarah:126, Q.S. al-Baqarah:11, Q.S al-Baqarah:84-85, dan Q.S
al-Anfal:30.
III. Rumusan masalah
14

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka penulis akan menarik suatu
rumusan masalah agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah
dan sistematis. Pokok masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penafsiran Bakri Syahid dan Prof. Dr. Hamka dalam
ayat-ayat terkait cinta tanah air?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan Cinta Tanah Air menurut
Tafsir al-Huda dan Tafsir al-Azhar?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk:
1. Ingin mengetahui bagaimana penafsiran Bakri Syahid dan Prof. Dr.
Hamka dalam ayat-ayat terkait cinta tanah air.
2. Ingin mengetahui bagaimana persamaan dan perbedaan Cinta Tanah
Air menurut Tafsir al-Huda dan Tafsir al-Azhar.

D. Tinjauan Pustaka
Dari hasil penelusuran yang dilakukan penulis terhadap literatur
yang ada, yang mengkolaborasikan tentang cinta tanah air cukup
banyak. Diantaranya jurnal yang berjudul “Nilai – Nilai Cinta Tanah
Air Dalam Perspektif Al-Qur’an” karya M. Alifudin Ikhsan, di
dalamnya memberikan penjelasan yang lengkap mengenai nilai-nilai
cinta tanah air, dimulai dari metode hingga tentang kajian ijtihad Ulama‟
“Hubb Al Wathan Minal Iman”.
Perbedaan penelitian ini dengan skripsi penulis adalah penulis lebih
terfokuskan pada sifat keumuman cinta taah air. Namun dengan begitu
penelitian ini sangat banyak memberikn kontribusi untuk skripsi yang
akan penulis buat.21

21
http://journal2.um.ac.id/index.php/jppk diakses tanggal 10 Mei 2018 pukul 15:37
15

Selanjutnya skripsi karya Bahiyah Solihah yang berjudul “Konsep


Cinta Tanah Air Prespektif Ath-Thahthawi dan relevansinya dengan
pendidikan di Indonesia”, pada skripsi ini Bahiyah menjelaskan lebih
banyak konsep cinta tanah air yang berpengaruh pada bidang
pendidikan. Menurutnya konsep cinta tanah air prespektif Ath-
Thahthawi adalah sebagai penduduk atau bangsa yang baik yaitu akan
membela negaranya dengan seluruh manfaat dirinya, melayani dengan
mengorbankan seluruh yang apa dimiliki, mempertaruhkan nyawanya,
melindunginya dari segala sesuatu yang membahayakan sebagaimana
perlindungan seorang ayah terhadap anaknya. Terdapat 2 relevansi
konsep cinta tanah air prespektif Ath-Thahthawi dengan pendidikan di
Indonesia yaitu, terletak pada tujuan yaitu terleak pada tujuan dari pada
pendidikan dan kurikulum pendidikan ini merupakan komponen
terpenting pada pendidikan.
Perbedaan yang ada pada skripsi Bahiyah yaitu ia lebih menjelaskan
tentang konsep cinta tanah air terhadap pendidikan, sedangkan yang
penulis teliti ialah semua yang berkaiatan tentang cinta tanah air, tidak
hanya dalam segi pendidikannya. Dan persamaannya, skripsi Bahiyah
dan penulis sama-sama merujuk pada tujuan cinta tanah air. Dan skripsi
dari Bahiyah juga sidikit memberikan kontribusi untuk skripsi yang akan
penulis teliti.22
Kemudian buku karya Prof. Hamka yang berjudul “Pandangan
Hidup Muslim” yang mana di dalamnya terdapat satu pembahasan
mengenai cinta tanah air, kemanusiaan dan islam. Menurut beliau karena
mencintai Tuhanlah maka timbul cinta cinta kita kepada tanah air.
Rumpun cinta yang seperti ini dari Tauhid-lah asalnya. Tetapi cinta itu

22
Bahiyah Solihah,”Konsep Cinta Tanah Air Prespektif Ath-Thahthawi dan
Relevansinya dengan Pendidikan di Indonesia”, Skripsi, (Jakarta: UIN Jakarta, 2015),t.d
16

terkadang terlepas dari uratnya, terbongkar dari asalnya, sebagaimana


juga pada segi-segi yang lain, cinta itu terlepas dari urat tauhid, lalu
menjadi musyrik. Pada buku karya Prof. Hamka ini hanya membahas
sedikit mengenai cinta tah air yang akan penulis teliti, sehingga penulis
harus menelti langsung pada tafsir al-Azhar karya beliau. Namun dengan
begitu, buku ini sudah sedikit memberi kontribusi untuk skripsi yang
akan penulis teliti.23
Selanjutnya sebuah penelitian tesis karya Lukman Hakim yang
berjudul “Analisis Penafsiran Kh Bisri Mustofa Tentang Nasionalisme
Dalam Tafsir Al-Ibriz”, penelitian ini menjelaskan secara rinci tentang
ayat-ayat al-Qur`an mengenai cinta tanah air menurut Kh. Bisri Mustofa.
Menurut peneliti Nasionalisme berasal dari akar kata nation yang berarti
bangsa dan isme adalah paham, kalau digabungkan arti dari
Nasionalisme adalah paham cinta bangsa (tanah air). Di dalam
Nasionalisme KH Bisri Mustofa terdiri dari beberapa unsur yaitu: cinta
tanah air, patriotisme, persamaan keturunan, pluralisme, persatuan dan
pembebasan.
Perbedaan yang ada pada penelitian diatas dengan penulisan skripsi
ini ialah penelitian di atas hanya berfokus pada pemikiran Kh. Bisri
Mustofa, sedangkan penulis akan membandingkan pemikiran Prof. Dr.
Hamka dengan Bakri Syahid. Namun begitu, penulis juga akan meneliti
mengenai cinta tanah air, sehinga penelitian di atas tentu sudah
memberikan kontribusi untuk penulisan skripsi ini.24
Kemudian skripsi lain karya Erni Nur Hidayati yang berjudul
“Upaya Meningkatkan Cinta Tanah Air”, pada skripsi ini menjelaskan

23
Prof. Dr. Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984) ,cet.
Ke III
24
Luqman Hakim, “Tafsir Ayat-ayat Nasionalisme dalam Tafsir al-Ibriz karya KH
Bisri Mustofa”, Thesis,(Semarang:IAIN Walisongo, 2014),t.d
17

nasionalisme secara umum melibatkan identifikasi etnis dan negara.


Adanya nasionalisme, masyarakat dapat meyakini bahwa bangsa adalah
sangat penting. Nasionalisme merupakan kata yang dimengerti sebagi
gerakan untuk mendirikan atau melindungi tanah air. Menurut
Kemendiknas dalam Wibowo (2012: 102) cinta tanah air merupakan
cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa dan
lingkungan.
Skripsi di atas lebih fokus pada cara meningkatkan karakter siswa di
lingkungan sekolah dan sekitar, sedangkan skripsi yang akan penulis
angkat lebih bersifat umum dan menyeluruh. Namun skripsi Erni sudah
memberi sedikit kontribusi untuk skripsi yang akan penulis buat.25
Selanjutnya skripsi karya Lia Marlinta yang berjudul “Pelaksanaan
Pendidikan Karakter Cinta Tanah Air Pada Resimen Mahasiswa
Unnes”, dalam skripsi Lia Marlinta dijelaskan Upaya untuk
menggalakkan kembali semangat Cinta Tanah Air untuk mewujudkan
mahasiswa yang baik dan memiliki peran tersebut adalah melalui
pendidikan karakter. Pendidikan karakter di lingkungan mahasiswa Unnes
dapat diterapkan dalam proses pembelajaran (akademik) dan melalui
pembinaan kemahasiswaan pada Unit kegiatan Mahasiswa (UKM). Salah
satu Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergerak dalam bidang pembinaan
mahasiswa yang telah mencoba menerapkan pendidikan karakter Cinta
Tanah Air adalah Unit Kegiatan Mahasiswa Resimen Mahasiswa.
Penelitian skrispi Lia Marlinta lebih menjurus pada karakter
mahasiswa dalam menerapkan cinta tanah air, dicontohkan pada kegiatan-
kegiatan yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
kampus Unnes. Sedangkan skripsi yang akan penulis teliti adalah

25
Erni Nur Hidayati, “Upaya Meningkatkan Cinta Tanah Air”, Skripsi, (Cilacap:UMP,
2016),t.d
18

penafsiran cinta tanah air menurut tafsir al-Huda dan tafsir al-Azhar.
Namun dengan begitu, skripsi Lia Marlinta sedikit memberi kontribusi
untuk skripsi yang akan penulis teliti.26

E. Metodologi Penelitian
Agar suatu penelitian lebih terarah dan sistematis, tentunya
diperlukan suatu metodologi yang jelas. Begitu juga penelitian ini,
tentunya penulis gunakan untuk memaparkan, mengaji serta
menganalisis data-data yang ada untuk diteliti.
a. Jenis penelitian
Penulisan skripsi ini akan dilakukan dengan metode library
research (riset kepustakaan) dengan mengungkapkan dan
membandingan penjelasan dari Tafsir al-Huda dan Tafsir al-Azhar.
Penelitian ini berorientasi pada pengumpulan data-data yang
terdapat dalam berbagai sumber baca yang ada. Penelitian terhadap
cinta tanah air ini juga menggunakan telaah studi naskah dengan
teknik pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi.
Yakni penelitian terhadap teks-teks Al-Qur`an yang membicarakan
tentang suatu masalah tertentu. Penulis juga akan berusaha
semaksimal mungkin untuk mengumpulkan bahan-bahan yang
dibutuhkan dalam pembuatan skripsi ini.
b. Sumber data
Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, maka
penulis mengambil sumber diantaranya:
Sumber data primer:
 Tafsir al-Huda

26
Lia Marlinta, “Pelaksanaan Pendidikan Karakter Cinta Tanah Air Pada Resimen
Mahasiswa Unnes”,Skripsi,(Semarang:Unnes, 2013),t.d
19

 Tafsir al-Azhar
Sumber data sekunder:
 Pandangan Hidup Muslim
 Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh
 Wawasan Al-Qur‟an
 Membumikan Islam Nusantara
 Literatur Tafsir Indonesia
 Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar
 Tasawuf Modern
 Rujukan-rujukan jurnal dan buku lainnya.
c. Tehnik pengumpulan data
Dalam penelitian ini, penulis memerlukan informasi mengenai
cinta tanah air dalam segala segi, yang nantinya bisa menjadi
pemicu semangat pembaca untuk lebih menyadari peranan dirinya
terhadap bangsa.
Untuk mendapatkan hal tersebut, penulis mengumpulkan data-
data yang ada dalam berbagai karya. Penulis sengaja memilih
penelitian ini karena informasi yang dibutuhkan lebih banyak
bersifat deskirptif yaitu, informasi yang berbentuk uraian dalam
suatu dokumentasi ilmiyah.
d. Metode Analisis Data
Data-data yang telah dikumpulkan akan dianalisa secara
deskriptif dan komparatif terhadap kedua tafsir tersebut.

F. Teknik dan Sistematika Penulisan


Dalam usaha untuk mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini,
penulis berusaha semaksimal dan sebisa mungkin membuat sistem yang
sesuai dengan buku petunjuk yang ada. Untuk teknisi penulisan
20

dalam penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman kepada buku


Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi Institut Ilmu Al-Qur`an
(IIQ) Jakarta Tahun 2017.
Sedangkan sistematika penulisannya, skripsi ini terbagi menjadi
lima bab pembahasan. Dimana masing-masing bab diuraikan dalam sub-
bab pembahasan dengan urutan sebagai berikut:
Bab pertama (Pendahuluan) menjelaskan Latar Belakang dahulu
untuk mengidentifikasi permasalahan yang memunculkan penelitian ini.
Kemudian dilanjutkan Pembatasan dan Perumusan Masalah, setelah itu
penulis mengungkapkan Tujuan dan Kegunaan Penelitian. Lalu
Tinjauan Pustaka yang merupakan uraian tentang posisi penelitian
penulis sendiri dengan karya terkait mengenai cinta tanah air.
Penguraian Metode Penelitian sangat penting, karna hal ini terkait
dengan bagaimana penelitian akan dilakukan dan prediksi hasil akhir
penelitian juga. Penulisan skripsi ini tentu mengacu pada Pedoman
Skripsi yang di keluarkan oleh Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta.
Bab kedua (Pembahasan) menguraikan diskursus tentang cinta
tanah air dalam Islam, mulai dari pandangan para pakar, cinta tanah air
dalam sejarah islam dan cinta tanah air dalam pengertian dalam Al-
Qur`an dan Hadis.
Bab ketiga (Pembahasan) penulis memperkenalkan tafsir yang akan
di teliti, yang mana didalamnya terdapat profil dari tiap-tiap tafsir.
Bab keempat (Pembahasan) membahas analisis cinta tanah air
menurut tafsir al-Huda dan tafsir al-Azhar, yang mana didalamnya
menjelaskan penafsiran tentang ayat cinta tanah air menurut Tafsir Al-
Huda dan Tafsir Al-Azhar, sampai persamaan dan perbedaan penafsiran
Bakri Syahid dan Prof. Dr. Hamka dalam Ayat yang menjelaskan Cinta
Tanah Air.
21

Bab kelima, merupakan penutup dari pembahasan skripsi ini. Pada


bab terakhir ini berisi kesimpulan dan saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA: Pada bagian akhir, penulis akan
mencantumkan daftar pustaka yang berkaitan dengan penulisan skripsi
ini agar pembaca dapat menelaah jauh hal-hal yang berkaitan dengan
cinta tanah air.
BAB II

DISKURSUS TENTANG CINTA TANAH AIR

A. Pengertian Cinta Tanah Air


Perasaan cinta sebenarnya mengandung unsur kasih dan sayang terhadap
sesuatu. Kemudian, dalam diri akan tumbuh suatu kemauan untuk merawat,
memelihara dan melindungunya dari segala bahaya yang mengancam. Cinta
tanah air berarti rela berkorban untuk tanah air dan membela dari segala
ancaman dan gangguan yang datang dari bangsa manapun. Para pahwalan
telah membuktikan cintanya kepada tanah airnya yaitu tanah air Indonesia.
Mereka tidak rela Indonesia diinjak-injak oleh kaum penjajah. Mereka tidak
ingin negerinya dijajah, dirampas atau diperas oleh bangsa penjajah. Mereka
berani mengorbankan nyawanya demi membela tanah air Indonesia.
Cinta tanah air adalah perasaan yang timbul dari dalam hati sanubari
seorang warga negara, untuk mengabdi, memelihara, membela, melindungi
tanah airnya dari segala ancaman dan gangguan. Definisi lain mengatakan
bahwa rasa cinta tanah air adalah rasa kebanggaan, rasa memiliki, rasa
menghargai, rasa menghormati dan loyalitas yang dimiliki oleh setiap
individu pada negara tempat ia tinggal yang tercermin dari perilaku membela
tanah airnya, menjaga dan melindungi tanah airnya, rela berkorban demi
kepentingan bangsa dan negaranya, mencintai adat atau budaya yang ada di
negaranya dengan melestarikannya dan melestarikan alam lingkungnya.1
Cinta tanah air biasa juga disebut dengan nasionalisme, berasal dari kata
nation yang berarti bangsa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata
bangsa memiliki arti: (1) kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan,
adat, bahasa, dan sejarahya serta berpemerintahan sendiri; (2) golongan

1
https://belanegarari.com/2016/03/23/pengertian-rasa-cinta-tanah-air/#more-2598
diakses tanggal 26 Mei 2018 pukul 11:32

23
24

manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal usul yang


sama dan sifat khas yang sama atau kebersamaan; dan (3) kumpulan manusia
yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti
umum, dan yang biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi.2
Beberapa makna kata bangsa di atas menunjukkan arti bahwa bangsa adalah
kesatuan yang timbul dari kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan, dan
tempat. Pengertian ini berkaitan dengan arti kata “suku” yang sama diartikan
sebagai golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan; golongan bangsa
sebagai bagian dari bangsa yang besar.3
Kata bangsa mempunyai dua pengertian: pengertian antropologis-
sosiologis dan pengertian politis. Menurut pengertian antropologis-
sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan persekutuan
hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota masyarakat tersebut
merasa satu kesatuan suku, bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadat.
Pengertian ini memungkinkan adanya beberapa bangsa dalam suatu negara
dan sebaliknya, suatu bangsa tersebar ada yang memiliki beragam suku
bangsa, seperti Amerika Serikat yang menaungi beragam bangsa yang
berbeda. Kasus kedua adalah sebagaimana yang terjadi pada bangsa Korea
yang terpecah menjadi dua negara, Korea Utara dan Korea Selatan. Dalam
pengertian politis, bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama
dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan
tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa (nation) dalam pengertian politis
inilah yang kemudian menjadi pokok pembahasan nasionalisme.4
Istilah nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia
memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara

22
Lukman Ali, DKK, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1994), h. 89
3
Lukman Ali, DKK, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 970
4
Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme, (Bandung: Nuansa, 2001), h. 58
25

sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial
atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabdikan
identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu.5
Nasionalisme berarti menyatakan keunggukan suatu afinitas (persamaan,
pertalian) kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa, budaya, dan
wilayah. Istilah nasionalis dan nasional, yang berasal dari bahasa Latin yang
berarti “lahir di”, kadang kala tumpang-tindih dengan istilah yang berasal
dari bahasa Yunani, etnik. Namun istilah yang disebut terakhir ini biasanya
digunakan untuk menujuk kepada kultur, bahasa, dan keturunan di luar
konteks politik.6
Menurut Huszer dan Steveson, nasionalisme adalah yang menentukan
bangsa mempunyai rasa cinta alami kepada tanah airnya. Dalam pengertian
lain yang disampaikan L. Stoddard, nasionalisme adalah suatu kejadian jiwa
dan suatu kepercayaan yang dianut oleh sejumlah besar individu sehingga
mereka membentuk suatu kebangsaan. Nasionalisme adalah rasa
kebersamaan segolongan sebagai suatu bangsa. Hans Kohn, bapak teoritikus
nasionalisme, menuturkan bahwa nasionalisme negara kebangsaan adalah
cita-cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik, dan bahwa
bangsa adalah sumber dari semua tenaga kebudayaan kreatif dan
kesejahteraan ekonomi.7
Dalam prespektif Islam, ada dua kata yang biasanya dikaitkan dengan
ide nasionalisme; al-Wathaniyah dan al-Qawmiyah. Menurut al-Banna,
pengertian dua kata tersebut dalam konteks kebangsaan adalah bahwa al-
Wathaniyah sepadan dengan kata patriotisme yang berarti cinta tanah air.
Konsep ini merujuk pada ruang tertentu, tempat tinggal dan tanah tumpah
5
Lukman Ali, DKK, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1994), h. 684
6
Michael A. Riff, Kamus Ideologi Politik Modern, terj. M. Miftahuddin dan
Hertian Silawati, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 193-194
7
Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme, (Bandung: Nuansa, 2001), h. 58
26

darah. Keterikatan pada identitas bersifat given atau dalam teori sosiologi
sebagai status yang diperoleh (ascribed status). Singkatnya adalah rama
memiliki negeri sendiri.8 Adapun kata al-Qawmiyah berarti rasa berbangga
dan bernegara, rasa memiliki kesatuan masyarakat politik yang dicapai dan
diraih melalui perjuangan tertentu. Konsep ini mengacu pada orang atau
sekelompok orang, biasanya disatukan oleh satu ideologi, visi, dan aspirasi
tertentu untuk mencapai tujuan bersama.9
Beberapa definisi di atas memberi kesimpulan bahwa nasionalisme
adalah kecintaan alamiah terhadap tanah air, kesadaran yang mendorong
untuk membentuk kedaulatan dan kesepakatan untuk membentuk negara
berdasar kebangsaan yang disepakati dan dijadikan sebagai pijakan pertama
dan tujuan dalam menjalani kegiatan kebudayaan dan ekonomi.

B. Cinta Tanah Air dalam Sejarah Islam


Nasionalisme Arab pertama lahir di Libanon. Di Libanon “Modernisasi”
dan pembentukan kesadaran politik yang baru secara langsung dipengaruhi
oleh penetrasi pendidikan, politik, dan perdagangan bangsa Eropa. Di
Libanon dan di daerah pedalaman Syria, volume perdagangan yang sedang
berkembang membangkitkan produksi pertanian yang laku keras seperti
sutra, kapas, dan padi-padian yang dengan mudah dapat dikirim kewilayah
pesisir. Disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk dan
meningkatnya spesialisasi ekonomi, beberapa pengusaha, seperti pemintal
sutra berkesempatan mempertinggi posisi mereka. Beberapa produk lain,
seperti pakaian Syria yang disulam dengan benang perak dan benang emas,

8
Abdul Hamid Al-Ghazali, Peta Pemikiran Hasan Al-Banna: Meretas Jalan
Kebangkitan Islam, (Solo: Era Intermedia, 2001), h. 195
9
Abdul Hamid Al-Ghazali, Peta Pemikiran Hasan Al-Banna: Meretas Jalan
Kebangkitan Islam, h. 198
27

yang tidak dapat ditiru oleh produk Eropa, mampu mempertahankan


posisinya dalam pasaran khusus.10
Dengan alasan yang berbeda, belakangan nasionalisme Arab juga
berkembang dikalangan bangsawan Muslim Damascus. Dalam hal ini faktor
utamanya bukan alasan otonomi politik atau penetrasi perdagangan,
melainkan alasan yang lebih bersifat operasional dari sistem usmani dan
sebagai reaksi Muslim terhadap kemajuan perdagangan Eropa (dan warga
Kristen lokal) yang tengah berkembang. Sebelum tahun 1860 kalangan
bangsawan Damascus pada umumnya adalah ulama‟ keturunan ulama‟ besar
abad delapan belas yang menduduki beberapa jabatan seperti mufti, khatib,
dan kelompok keturunan Nabi. Mereka mengelola kekayaan wakaf dan
mendapat dukungan yang besar dari kalangan pedagang, pengrajin, jennisari,
dan mereka mengelola beberapa wilayah perkotaan. Pada akhir abad delapan
belas dan abad sembilan belas keluarga-keluarga ini bekerja sama dengan
kepala militer kesukuan (aghwat) yang kekuatan mereka bersandar pada
perwalian jennisari, dan bersandar pada penguasaan atas beberapa wilayah
sub-perkotaan dan penguasaan pada perdagangan gandum yang beredarnya
melalui mereka. Pada akhir abad sembilan belas keluarga ulama dan aghawat
bergabung menjadi sebuah kekuatan gabungan elite tuan tanah dan elite
agama. para pengusaha yang kaya raya dan beberapa pejabat Usmani juga
tergabung dalam elite ini. Pada masa ini banyak keluarga mengirimkan
putranya sekolah-sekolah profesional Usmani dan mereka memperebutkan
beberapa posisi kedinasan dalam pemerintahan Usmani. Meskipun demikian,
kalangan bangsawan tidak merupakan satu kesatuan tubuh, melainkan

10
Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1999) , bag.III, cet. I. h. 139
28

mereka terdiri dari sejumlah keluarga dan faksi yang terlibat dalam
persaingan.11
Kemudian Masalah nasionalisme menjadi hangat semenjak Napoleon
Bonaparte pada akhir abad 18 menguasai dan menjajah bangsa lain di Eropa.
Bangsa-bangsa yang menjajah ini dapat menikmati segala keuntungan dari
negara yang dijajahnya. Sedangkan bangsa-bangsa yang dijajah benar-benar
merasa tertindas oleh bangsa lain; nasib bersama menimbulkan kebutuhan
kepada persatuan, terutama diantara mereka yang dijajah.12
Menurut Barbara Ward, akar nasionalisme di dunia barat, diawali
setelah runtuhnya Kerajaan Roma di Eropa Barat dimana menumbuhkan
kelompok-kelompok kesukuan dan setelah melakukan serangkaian
penaklukan lalu menjadi negara-negara feodal13. Dengan majunya abad
pertengahan, tiga dari kelompok-kelompok ini mulai mengambil bentuk
nasional yang dapat dilihat. Suku-suku Gaul telah ditaklukkan Caesar dan
mereka diberi bahasa yang dilatinisasi. Di bawah pembagian tanah secara
feodal diantara pangeran-pangeran Inggris, raja-raja Capet dan pengikut-
pengikut Burgundia maka masyarakat mulai memakai bahasa Perancis yang
memepunyai bentuknya sendiri dan daerah bahasa ini mempunyai batas-
batasnya yang tegas secara geografis sepanjang Laut Atlantika, sepanjang
Pegunungan Pyrenea dan Alpen. Akhir abad ke-14, Perancis menjadi sadar
tentang dirinya sebagai sebuah kelompok nasional yang besar yang memakai
bahasa Perancis.14

11
Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, h. 142-143
12
Tukiran Taniredja. Konsep Dasar Kewarganegaraan. (Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2013). h. 50
13
Feodal adalah berhungan dengan susunan mesyarakat yang dikuasai oleh kaum
bangsawan; mengenai kaum bangsawan; mengenai cara pemilikan tanah pada abad
pertengahan di Eropa. Lihat pada apl. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
14
Ita Mutiara Dewi. Nasionalisme dan Kebangkitan dalam Teropong. Mozaik
Vol.3 No. 3, Juli 2008 ISSN 1907-6126
29

Menurut Yosaphat Haris Nusarastriya pada essai penelitiannya sejarah


nasionalisme dunia Barat khususnya di Eropa dibagi menjadi tiga fase,
yakni:
Pertama, fase ini ditandai dengan runtuhnya banyak kerajaan beserta
sistemnya yang kemudian dilanjutkan dengan berdirinya negara-negara
nasional. Fase ini dimulai pada zaman akhir abad pertengahan. Ciri utama
yang sangat ketara dalam fase ini ialah identifikasi bangsa dalam perorangan
yang berkuasa.
Kedua, fase ini sering juga disebut sebagai “the middle class
nationalism”. Dimana pada fase ini terdapat banyak kekacauan perang yang
dibuat oleh Napoleon dan yang segera berakhir pada tahun 1914.
Nasionalisme pada masa ini bukan hanya tercermin dari perilaku seorang
raja saja, tapi juga pada masyarakat secara umum yang memiliki peran
signifikan kala itu.
Ketiga, pada fase ini nasionalisme sering disebut dengan tema
”sosialisasi dari pada bangsa”. Corak yang paling dominan pada fase ini
adalah melebih-lebihkan kepentingan bangsa sendiri, melampaui batas
sehingga mudah menjelma menjadi suatu nasionalisme sempit dan congkak
yang berkeinginan untuk mengadakan adu kekuatan dengan bangsa lain. 15
Nasionalisme bersifat statis dan senantiasa mengalami perkembangan
dan perubahan. Perubahan pola dan sistem nasionalisme banyak dipengaruhi
oleh kondisi sosial suatu negara kala itu. Di abad ke- 20, nasionalisme di
negara-negara Barat seperti Jerman dan Italia dan beberapa negara lainnya
lebih condong ke arah nasionalisme totaliter. Nasionalisme totaliter di
Jerman dengan Italia jauh berbeda. Di Italia nasionalisme lebih mengarah ke
paham fasisme, yakni paham yang menekankan kedaulatan negara diatas

15
Yosaphat Haris Nusarastriya. Sejarah Nasionalisme Dunia Dan Indonesia,
(tt.p.:t.p.,t.t) h.. 2-3
30

kedaulatan rakyat. Berbeda halnya dengan Jerman. Dibawah pimpinan


Hitler, Jerman lebih menitik beratkan faktor ras. Nasionalisme semacam ini
dekenal dengan Nasionalisme Sosialis (NAZI). Paham ini merupakan
penurunan tradisi nasionalisme-romantisme Jerman yang dulu pernah ada
pada abad ke-19, tetapi kemudian muncul kembali dan bermetamorfosis di
abad ke-20 dalam bentuk yang dianggap ekstrim.16
Mengutip dari buku Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme,
Modernisme, hingga Post-Modernisme karya Azyumardi Azra menjelaskan
bahwa Pada awalnya, Islam tidak mengenal istilah nasionalisme. Adapun
yang dikenal hanya dua konsep teritorial-religious yakni wilayah damai
(Darul Islam) dan wilayah perang (Darul Harb). Oleh karena itu, munculnya
konsep negara bangsa (nation state) telah melahirkan beberapa ketegangan
historis dan konseptual dikalangan Islam. Meski demikian, di dalam Islam
dikenal dua terminologi yang mendekati konsep negara-bangsa yaitu kata
millah dan ummah yang berarti masyarakat atau umat. Akan tetapi istilah
tersebut lebih mengacu pada kelompok sosio-religius bukan kepada
masyarakat politik. Pada pihak lain, konsep negara-bangsa mengacu atas
kriteria etnisitas, kultur, bahasa dan wilayah serta mengabaikan unsur
religius. Sedangkan pada tataran institusional konsep negara-bangsa
berbenturan dengan konsep khilafah atau pan-Islamisme.17
Nasionalisme di dunia Islam dapat dipelajari dari sejarah negara-negara
muslim yang ada di dunia yang bersentuhan secara langsung dengan
masyarakat dan negara-negara Eropa. Dalam realita sejarah, tidak semua ide
dan model nasionalisme yang ada di Eropa dapat diterima oleh masyarakat
Islam, namun juga tidak dijumpai negara dan pemikir muslim yang secara

16
Ita Mutiara Dewi. Nasionalisme dan Kebangkitan dalam Teropong. Mozaik
Vol.3 No. 3, Juli 2008 ISSN 1907-6126
17
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme,
hinggaPost-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 12
31

terang-terangan menentang dan menempatkan dirinya pada posisi yang


antagonistik terhadap Eropa.
Turki adalah salah satu negara muslim yang menerima secara terbuka
konsep nasionalisme sebagaimana yang ada di negara-negara barat. Dinasti
Turki Utsmani kala itu menguasai hampir seluruh kawasan Timur Tengah.
Negara-negara ini mengakui dan mengagumi beberapa konsep politik Eropa
diantaranya di bidang adminitrasi negara dan militernya. Hal itu terbukti
pada tahun 1730-an pemerintah Turki dengan cepat dan sistematis
melakukan pembaruan dan reorganisasi militernya sesuai dengan sistem
yang berlaku di Eropa, dan puncak pembaruan tercatat pada pemerintahan
Sultan Salim III (1792). Perubahan yang dilakukan olehnya tidak hanya
sebatas pada aspek sistem pemerintah saja, tetapi perubahan secara totalitas,
atau lebih tepatnya dia melakukan westernisasi. Perubahan tersebut dimulai
dari organisasi militer, sistem pemerintahan pusat maupun propinsi, sampai
menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan sistem perdagangan, keuangan,
dan diplomatik.
Tokoh Turki yang cinta terhadap peradaban Eropa adalah Namik Kemal
dan Ziya Gokalp. Keduanya terus mengembangkan dasar-dasar intelektual
dan teooritis nasionalisme Turki secara lebih rinci. Kemal (w. 1888 M)
bahkan terkenal sebagai orang yang membawa dua gagasan besar, yaitu
kebebasan (free-dom) dan cinta tanah air (fatherland). Sedangkan Gokalp
secara tegas mengatakan bahwa nasionalisme Turki dibangun dengan pola
modernisasi dan dengan memosisikan agama pada ranah prifat.
Ide besar tentang nasionalisme yang diudung oleh para pemikir Turki
saat ini tidak bisa dilepas dari setting sejarah umat Islam sendiri. Sejarah
membuktikan, ketika Turki Utsmani berada di ambang kehancuran, terutama
setelah kekalahannya dalam Perang Dunia I, sebuah gerakan nasionalisme
Ataturk melihat bahwa satu-satunya ideologi gerakan yang bisa memobilisasi
32

massa dan meyakinkan kaum intelektual Turki waktu itu adalah


nasionalisme. Bagi Ataturk, ideologi Pan-Islamisme (kekhalifahan) tidak lagi
memiliki daya panggil untuk berjihad melawan sekutu. 18
Dalam konteks sejarah, nasionalisme muncul dan berkembang di Barat
sejak abad ke-15. Ketika itu, wacana nasionalisme di kawasan lain belum
muncul. Model kekuasaan politik di luar Eropa, terutama di Asia dan Afrika
memiliki kesamaan dengan model imperium yang bersifat dinasti dengan
didasarkan pada identitas-identitas kultural dan religius. Namun demikian,
nasionalisme Eropa yang pada kelahirannya menghasilkan deklarasi hak-hak
manusia berubah menjadi kebijakan yang didasarkan atas kekuatan dan self
interest dan bukan atas kemanusiaan.19 Dalam perkembangannya,
nasionalisme Eropa berpindah haluan menjadi persaingan fanatisme nasional
antarbangsa-bangsa Eropa yang melahirkan penjajahan terhadap negeri-
negeri di Benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang saat ini belum
memiliki identitas kebangsaan (nasionalisme).
Nasionalisme yang pada awalnya mementingkan hak-hak asasi manusia
pada tahap selanjutnya menganggap kekuasaan kolektif yang terwujud dalam
negara lebih penting daripada kemerdekaan individual. Pandangan yang
menjadikan negara sebagi pusat merupakan pandangan beberapa pemikir
Eropa saat itu, di antaranta Hegel. Dia berpendapat bahwa kepentingan
negara didahulukan dalam hubungan negara-masyarakat, karena ia
merupakan kepentingan objektif sementara kepentingan masing-masing
individu adalah kepentingan subjektif. Negara adalah ideal (geist) yang
diobjektif melalui keanggotaannya dalam negara. Lebih jauh lagi dia
menyatakan bahwa negara memegang monopoli untuk menentukan apa yang

18
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme,
hinggaPost-Modernisme, h. 59
19
Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme, (Bandung: Nuansa, 2001), h.
63
33

benar dan salah mengenai hahikat negara, menentukan apa yang moral dan
apa yang bukan moral, seta apa yang baik dan apa yang destruktif. 20 Hal ini
melahirkan kecenderungan nasionalisme yang terlalu mementingkan tanah
air (patriotisme yang mengarah pada chauvinisme), yang mendorong
masyarakat Eropa melakukan ekspansi-ekspansi ke wilayah dunia lain.
Absolitisme negara di hadapan rakyat memungkinkan adanya pemimpin
totaliter, yang merupakan bentuk ideal negara yang diciptakan Hegel, yaitu
monarki.21
Di Timur, paham nasionalisme mulai muncul pada abad ke-19 di mana
kolonisme oleh bangsa Barat marak terjadi di Asia dan Afrika. Kegagalan
dan kekalahan politik yang disertai eksploitasi ekonomi oleh Barat terhadap
negeri-negeri Asia, Afrika, dan Amerika Latin inilah yang menjadikan
kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk kesadaran akan pentingnya
suatu identitas baru (nasionalisme) yang dapat digunakan sebagai alat pada
gilirannya membangkitkan semangat untuk melakukan perlawanan.
Semangat perlawanan terhadap Barat justru dilakukan dengan
mengguanakn ide-ide yang lahir dan berkembang di Barat: Nasionalisme.
Dari sini mulai disadari bahwa nasionalisme merupakan suatu gerakan
perjuangan rakyat yang modern dan berperan penting dalam membangun
suatu kekuatan bangsa melawan kolonialisme bangsa Eropa, sekaligus dalam
rangka mendirikan suatu negara dan pemerintahannya. Nasionalisme yang
sama dengan Barat yang menganjurkan adaranya suatu identitas baru yang
menegaskan ikatan nonreligius dan nonetnis.
Di sinilah kemudian terjadi persinggungan antara Islam dan konsep
nasionalisme. Studi tentang hal ini menunjukkan bahwa hubungan Islam dan

20
Marsillam Simandjuntak, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur, dan
Riwayat dalam Persiapan UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2003), h. 166
21
Marsillam Simandjuntak, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur, dan
Riwayat dalam Persiapan UUD 1945, h. 224
34

nasionalisme bermula dari kawasan Timur Tengah. Seperti halnya di


Indonesia, sejumlah pelajar Timur Tengah yang belajar di Eropa kembali
dengan membawa konsep nasionalisme yang dipelajari di Barat. Konsep
Barat tentang patria (tanah air) mempengaruhi wathan dalam bahasa Arab
dengan memberi pengertian politik padanya. Mereka percaya bahwa
kemajuan yang dicapai Eropa dipengaruhi oleh kuatnya patriotisme individu
dan masyarakat terhadap negara. Hal ini tergambar dari penyataan al-
Tahtawi, seorang teoritis nasionalisme Arab berpengaruh: “Patriotisme
adalah sumber kemajuan dan kekuatan, suatau sarana untuk mengatasi gap
antara wilayah Islam dan Eropa.”22
Jika ditarik kebelakang, perbincangan tentang nasionalisme
sesungguhnya diawali oleh gagasan pan-Islamisme yang telah berkembang
sebelumnya dengan dipelopori oleh Al-Afghani (w. 9 Maret 1897) dan
Muhammad Abduh (w. 11 Juli 1905). Dalam analisis mereka, penyebab
keruntuhan Islam dan kaum Muslimin bukanlah kelemahan atau kekurangan
internal kaum muslim, melainkan imperialisme agresif yang dilancarkan
Kristen Eropa yang bertujuan untuk memperbudak kaum Muslimin dan
menghancurkan Islam. Beberapa pemikir awal Arab dan Turki menggagas
nasionalisme yang murni berwatak Eropa modern dan sekuler. Di Mesir
muncul tokoh yang bernama Abdurrahman al-Kawakibi (1849-1903) yang
dianggap sebagai ideolog utama nasionalisme Arab; di Turki terdapat Ziya
Gokalp (1876-1924), sang penulis utama nasionalisme Turki. Keduanya
mengambil gagasan nasionalisme dari sumber yang sama, Eropa. Mereka
yakin bahwa nasionalisme model Eropa-lah yang dapat dijadikan energi
untuk melakukan perubahan sosial dan politik di dunia Islam.23

22
Dr. Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara, (Jakart: PT Serambi Ilmu
Semesta, 2014), cet. Ke-1, h. 83-84
23
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 38
35

Hasan al-Banna (w. 12 Februari 1949), seorang pembaru yang cukup


berpengaruh, mencoba memparalelkan antara konsep nasionalisme Barat dan
konsep-konsep yang ada di Islam. ia mencoba merestorasi konsepsi awal
patriotisme dan nasionalisme yang Eropa sentris dan berwatak sekuler
menjadi konsep yang telah diisi pemahaman baru sesuai Islam dan
dimanfaatkan untuk kebangkitan Islam. Unsur-unsur terbaik dari patriotisme
atau nasionalisme diserap dan dirumuskan untuk menjadi alat perjuangan
kebangkitan Islam.24
Sebaliknya, bagi kaum nasionalis (sempit), semua orang yang ada di luar
batas tanah tumpah darahnya sama sekali tidak diperdulikan. Mereka hanya
mengurus semua kepentingan yang terkait langsung apa yang ada dalam
batas wilayahnya. Perbedaan akan tampak lebih jelas ketika suatu bangsa
hendak memperkuat dirinya dengan cara yang merugikan bangsa lain. Islam
sama sekali tidak membenarkan itu tetapi menginginkan kekuatan dan
kemaslahatan untuk semua bangsa-bangsa muslim. Kata al-Banna,
“Sesungguhnya Ikhwanul Muslimin mencintai negeri mereka; menginginkan
persatuan dan kesatuan; tidak menghalangi siapapun untuk loyal kepada
negerinya, lebur ke dalam cita-cita bangsanya, dan mengharapkan
kemakmuran dan kejayaan negerinya. Kita bersama mereka yang berhaluan
nasionalis ekstrem sejauh menyangkut kemaslahatan bagi negeri ini dan
rakyatnya. Sebab, cinta tanah air adalah bagian dari ajaran Islam. perbedaan
pokok antara kita dan mereka hanyalah bahwa kita memandang batas-batas
nasionalisme itu dengan kriteria akidah, sedangkan mereka memandang
batas-batas itu terletak pada peta bumi dan letak geografis.” Bagi al-Banna,

24
Tulisan Hasan al-Banna, “Kita sepakat terhadap nasionalisme dalam semua
maknanya yang baik dan dapat mendatangkan manfaat bagi manusia dan tanah airnya.
Sekarang juga telah terlihat, betapa paham nasionalismme dengan slogan dan yel-yel
panjangnya, tidak lebih dari kenyataan bahwa ia merupakan bagian sangan kecil dari
keseluruhan ajaran Islam yang agung.” Lihat, Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan
Ikhwanul Muslim, buku 1, (Solo:Era Intermedia, 2002), h. 39-40.
36

batas wilayah dan geografis bukanlah ujung batas nasionalisme dalam Islam
yang mana batas-batas itu sifatnya hanyalah administratif, tetapi dalam
batas-batas makro, yaitu darul Islam.25
Pasca perang Dunia II, negeri-negeri Islam di Afrika Utara, Timur
Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan di berbagai penjuru dunia lainnya,
mulai keluar dari jurang kolonialisme dan mulai memasuki alam merdeka
dan berdaulat. Respons masyarakat muslim di negara-negara tersebut
terhadap konsep-konsep kenegaraan Barat atau politik pada umumnya
berbeda-beda. Ada yang mencoba menyelaraskan konsep-konsep tersebut
dengan kultur masyarakat dan negaranya, ada yang menolak dan mencoba
mengaplikasikan sistem yang dianggapnya islami, ada yang menerima secara
bulat-bulat. Eksperimen-eksperimen itu dalam banyak hal sangat beragam
seiring dengan beragamnya pandangan para pemikir Islam tentang relasi
Islam dan negara sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Bagi yang menerima konsep nasionalisme, landasan argumennya bahwa
kelahiran manusia secara kodrati memang sebagai komunitas suku bangsa
yang mendapat basis legitimasi dari al-Qur`an (Q.S. al-Hujurat: 13). Secara
kodrati pula manusia memiliki keterikatan dan hubungan emosional dengan
tanah airnya. Potensi inilah yang muncul sebagai motor penggerak semangat
juang untuk menghapuskan kezaliman dan penindasan yang menghegemoni
bangsanya.26
Bagi yang menolak mendasarkan argumen pada konsep universalisme
Islam. nasionalisme menurut faksi ini akan menjebak dan membuat manusia
terkotak-kotak ke dalam negara-bangsa dan melahirkan sikap paling dasar
yang mengarah kepada nasionalisme antagonistik dan eksklusif. Faktor-

25
Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslim, buku 1, (Solo:Era
Intermedia, 2002), h. 283
26
Anwar Harjono, Pemikiran dan Perjuangan M. Natsir, dalam Tarmid zi Taher,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 130-132
37

faktor inilah yang menurut faksi ini menyebabkan sikap permusuhan dan
penaklukan negara-bangsa terhadap negara lain yang menyebabkan
kesengsaraan rakyat negara bangsa yang ditaklukkan tersebut. 27 Paham
nasionalisme juga dipandang merusak ukhuwwah islamiyah dan sendi-sendi
universalitas agama dan menempatkan negara bangsa sebagai puncak
loyalitas. Jika yang dimaksud dengan nasionalisme adalah kerinduan dan
keberpihakan terhadap tanah air, keharusan berjuang membebaskan tanah air
dari penjajahan ikatan kekeluargaan antarmasyarakat, dan pembebasan
negeri-negeri lain maka nasionalisme dalam makna demikian dapat diterima
dan bahkan dalam kondisi tertentu dianggap sebagai kewajiban.28
Banyak sejarah dari masa Nabi SAW. sampai sekarang yang
menunjukkan cinta tanah air. Seperti halnya perjalanan hijrah Nabi
Muhammad SAW. dari Mekkah ke Madinah. Nabi ingin mempunyai tanah
air (negara) sehingga dakwah Islam bisa berkembang dengan baik. Ini pula
mengapa al-Qur`an masih menyebut-nyebut tentang kisah fir‟aun serta kisah-
kisah para Nabi lainnya. sebab kisah-kisah tersebut menyingkap adanya
sejarah tentang tanah air atau daerah yang pernah dihuni oleh raja-raja
terdahulu dan para Nabi dalam menjalankan roda pemerintahan dan misi
kenabiannya.
Dalam pepatah Arab dikatakan, “Barang siapa yang tidak memiliki
tanah air, ia tidak memiliki sejarah. Dan, barang siapa yang tidak memiliki
sejarah, akan terlupakan. Contoh nyata adalah bangsa kurdi yang tidak
memiliki tanah air sehingga tercerai-berai hidup berdiaspora di Turki, Irak,
dan Suriah.

27
Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional Islam, (Jakarta: Cipta Andi Pustaka, 1990),
Jilid 2, h. 31
28
Dr. Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara, (Jakart: PT Serambi Ilmu
Semesta, 2014), cet. Ke-1, h. 89-90
38

Anehnya, dilingkungan keagamaan muncul pandangan yang


memperlawankan antara nasionalosme dan agama. bahkan, banyak
kelompok keagamaan yang menolak nasionalisme dan malah menyebutnya
sebagai “kafir” atau thoghut29. Jangan heran jika di negeri-negeri dimana
mayoritas umat Islam sering kali terjadi pertumpahan darah. Lihatlah
Afganistan, Somalia, Irak, Yaman, atau Suriah. Konflik di negeri-negeri
Muslim ini tampak sudah berada diambang batas kemanusiaan. Apalagi
dengan kemunculan NIIS30.
Kejadian di Timur Tengah tersebut menunjukkan, ternyata kesamaan
dalam agama belum atau tak mempu menyatukan masyarakat. Islam di
Timur Tengah ternyata berpotensi menimbulkan konflik akibat salah tafsir
yang kebablasan. Somalia atau Afganistan misalnya, 100 persen rakyat
memeluk Islam. Namun yang terjadi perang saudara, saling rebut kekuasaan
dan penindasan oleh rezim berkuasa.
Ini berbalik fakta dengan apa yang terjadi di Indonesia. Semenjak
dahulu kala, Islam di Nusantara sudah memperlihatkan wajah yang arif dan
damai. Pertikaian memang terjadi, tetapi hanya lokal dan regional yang tak
menimbulkan tragedi nasional, seperri Irak atau Suriah dewasa ini. Dan,
konflik-konflik yang pernah terjadi di Nusantara tersebut justru

29
Thaghut diambil dari kata )‫ ( َطغَي‬yang artinya melampaui batas. Secara istilah
thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melebihi batasnya, baik itu
sesuatu yang diibadahi, diikuti, atau ditaati.
30
Negara Islam di Irah dan Suriah (NIIS), adalah kelompok militan ekstremis.
Kelompok ini dipimpin oleh dan didominasi oleh anggota Arab Sunni dan Irak dan Suriah.
Hingga maret 2015, NIIS menguasai wilayah berpenduduk 10 juta orang di Irak dan Suriah.
Lewat kelompok lokalnya, NIIS juga menguasai wilayah kecil di Libya, Nigeria, dan
Afganistan. Kelompok ini juga beroprasi atau memiliki afiliasi di berbagai wilayah dunia,
termasuk Afrika Utara dan Asia Selatan. Lihat pada
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Negara_Islam_Irak_dan_Syam. di akses tanggal 28 Mei
2018 pukul 15:53
39

menumbuhkan sikap dewasa dan matang, seperti secara khusus kita lihat
dalam perjalanan dakwah keislaman di bumi Nusantara ini.31
Meski nasionalisme bukan istilah yang lahir dari Islam, tetapi makna
dan substansinya sebetulnya tidak bertentangan dengan Islam. Sebab itu,
mencari landasan nasionalisme atau dalil cinta tanah air tidak begitu sulit
dalam Islam. bahkan, Rasulullah sendiri dikisahkan dalam beberapa hadis
juga memiliki rasa cinta terhadap tanah airnya.
Ibnu Abbas (w.687 M) dalam hadis riwayat al-Tirmidzi menjelaskan
betapa cinta dan bangganya Rasul pada tanah kelahirannya. Rasa cinta
tersebut terlihat dari ungkapan beliau terhadap Mekah. Beliau mengatakan,
“Alangkan indahnya dirimu (Mekah). Engkaulah yang paling kucintai.
Seandainya saja penduduk Mekah tidak mengusirku, pasti aku masih tinggal
di sini”. (HR: al-Tirmidzi)32
Tidak hanya Mekah yang dicintai Rasul, madinah pun juga demikian.
Dikisahkan oleh sahabat Anas dalam hadis riwayat al-Bukhari ketika
Rasulullah pulang dari perjalanan jauh, beliau mempercepat kendaraannya
(unta) saat melihat dinding kota Madinah, karena cintanya pada Madinah.
(HR. Al-Bukhari)33
Dilihat dari sejarahnya, sangat wajar bila Rasulullah SAW mencintai
dua negeri ini, Mekah sebagai tempat kelahiran beliau dan Madinah sebagai
31
Islamnusantara.com/belajar-cinta-tanah-air-dari-nabi-muhammad/ diakses 28 mei
2018 pukul 16:14
ِ ‫ َعن َع ْب ِد‬،‫ض ْيل بْن سلَ ْيما َن‬
،‫اهلل بْ ِن ُعثْ َما َن بْ ِن ُخثَ ْي ٍم‬ ُّ ‫ص ِر‬
َ ُ ُ ُ َ ‫ َحدَّثَنَا ال ُف‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ي‬ ْ َ‫وسى الب‬ َ ‫َحدَّثَنَا ُم َح َّم ُد بْ ُن ُم‬
32
ْ
‫ َما‬:َ‫صلَّى اللَّهُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم لِ َم َّكة‬ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اهلل‬ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫اس‬ ٍ َّ‫ َع ِن ابْ ِن َعب‬،‫ َوأَبُو الطَُّف ْي ِل‬،‫ َحدَّثَنَا َسعِي ُد بْ ُن ُجبَ ْي ٍر‬:‫ال‬ َ َ‫ق‬
.‫ت غَ ْي َر ِك‬ ِ ‫َن قَوِمي أَ ْخرجونِي ِم ْن‬ َّ ‫ك إِل‬ ِ َّ‫ وأَحب‬،‫ك ِمن ب لَ ٍد‬ ِ
ُ ‫ك َما َس َك ْن‬ َُ ْ َّ ‫ َول َْوالَ أ‬،‫َي‬ َ َ َ ْ َ‫أَطْيَب‬
Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-dhahak, Sunan At-Tirmidzi, Abu
Isa, Sunan At-Tirmidzi, (Bairut: Dar Ghorib al-Islami, 1998 M), juz 6, h.208. no. 3926
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه‬ ِ ٍ َ‫ َعن أَن‬،‫ َعن حم ْي ٍد‬،‫اعيل بْن ج ْع َف ٍر‬ ِ
َ ‫َن النَّبِ َّي‬
َّ ‫ «أ‬،ُ‫ضي اللَّهُ َعنْه‬
َ ‫س َر‬ َ ُ ُ ‫ َحدَّثَنَا إِ ْس َم‬،ُ‫َحدَّثَنَا قُتَ يْبَة‬
33
ْ َُ ْ
»‫احلَتَهُ َوإِ ْن َكا َن َعلَى َدابٍَّة َح َّرَك َاا ِم ْن ُحبَ َاا‬
ِ ‫ضع ر‬ ِ ِ ‫ات‬
َ َ َ ‫ أ َْو‬،‫المدينَة‬
َ
ِ ‫ فَ نَظَر إِلَى ج ُدر‬،‫ َكا َن إِ َذا قَ ِدم ِمن س َف ٍر‬،‫وسلَّم‬
َ ُ َ َ ْ َ َ ََ
Muhammad bin „Ismail abu Abdullah al Bukhori al Ju‟fi, Shohih Bukhori,
(Damaskus: Dar Tuq Al-Najat: 1422 H), cet. Ke-I, h. 23, Juz.3, no. 1886
40

tempat hijrah Rasul. Sebab itu, rasa cinta tanag air atau nasionalisme
bukanlah paham thoghut dan kafir sebagaimana dituduhkan oleh sebagian
kelompok.
Kalau dikatakan paham kafir dan bertentangan dengan Islam, buktinya
Rasulullah sendiri juga cinta pada tanah kelahirannya. Tidak ada bedanya
rasa cinta kita terhadap bangsa Indonesia dengan cinta Rasul terhadap Mekah
dan Madinah. Oleh karenanya, para ulama mengatakan, Hubbul wathan
minal iman, cinta tanah aiar bagian dari keimanan.34

C. Cinta Tanah Air dalam Al-Qur`an


Cinta tanah air adalah salah satu dari hal yang sangat alami bagi
manusia. Pembawaan manusia adalah mencintai tempat dimana mereka
tumbuh di dalamnya. Biasanya, manusia menginginkan tempatnya lahir dan
tumbuh menjadi tempatnya menua dan menghabiskan masa hidupnya.
Makanya, tidak aneh jika manusia mencintai negaranya setengah mati.
Cinta tanah air itu memiliki hubungan langsung dengan agama dan
iman. Agama telah menganjurkan manusia mencintai negara tempatnya
tumbuh dan dididik. Kita ingat ketika Nabi SAW. hendak berhijrah ke
Madinah karena tindakan represif 35 kaum Musyrikin dan kafir Quraisy, Nabi
SAW. bersabda, “Betapa indahnya engkau wahai Makkah, betapa cintanya
aku kepadamu. Jika bukan karena aku dikeluarkan oleh kaumku darimu, aku
tidak akan meninggalkanmu selamanya, dan aku tidak akan meninggalkan
negara selainmu.”36
Inilah dalil yang menunjukkan betapa cintanya Rasulullah SAW kepada
negaranya dan juga dalil bahwa cinta tanah air itu adalah hal yang penting.
34
https://islami.co/rasulullah-juga-cinta-tanah-air/ diakses 03 juni 2018 pukul16:26
35
Melihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, represif artinya
menekan,mengekang, menahan atau menindas.
36
https://resistensia.org/religi/dalil-nasionalisme-dalam-al-quran-dansunnah/ di
akses tanggal 12 Juli 2018 pukul 22:55
41

Dr. Ahmad Abdul Ghani Muhammad al-Najuli dalam al-Muwathanah di al-


Islam Wajabatun wa Huquq menerjemahkan tanah air secara luas, bahwa di
era globalisasi ini sesungguhnya tanah air itu adalah alam semesta secara
keseluruhan. Yang diistilahkannya sebagai al-muwathanah al-alamiyyah
(tanah air alam semesta).
Maksud sebenarnya adalah kewajiban menjaga dan mencintai alam
semesta yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Oleh karena itu, setiap
muslim dilarang merusak alam semesta (wala tufsidu fil ardhi ba‟da
ishlahiha: jangan merusak bumi setelah perbaikannya).
Mafhum mukhalafah-nya (pemahaman terbaliknya) adalah bahwa setiap
muslim harus mencintai dan melestarikan alam semesta. Atas dasar qiyas
awlawi, maka setiap muslim seharusnya lebih mencintai tanah air tempatnya
dilahirkan, dibesarkan, dan hidup. Lebih gampangnya begini: kepada alam
semesta saja muslim wajib mencintainya, apalagi kepada tanah air tempatnya
lahir dan tumbuh.
kemudian, ada yang mengatakan bahwa nasionalisme itu tidak ada
landasan di dalam Islam. sementara pengertian nasionalisme menurut
berbagai literatur adalah suatu sikap politik dari masyarakat suatu bangsa
yang mempunyai kesamaan budaya, dan wilayah serta kesamaan cita-cita
dan tujuan, dengan demikian masyarakat suatu bangsa tersebut merasakan
adanya kesetiaan terhadap bangsa itu sendiri.
Nasionalisme diterjemahkan sebagai ideologi yang berdasarkan premis
bahwa kesetiaan dan pengabdian kepada negara bangsa itu harus melebihi
kesetiaan kepada individu dan kelompok. Secara sederhana bisa kita
samakan antara nasionalisme dan cinta tanah air.
Jika nasionalisme adalah cinta tanah air, maka sesungguhnya dalilnya di
dalam al-Qur`an begitu banyak. Kata cinta tanah air dalam Al-Qur`an tidak
disampaikan secara langsung, melainkan menggunakan perumpamaan-
42

perumpamaan yang terkait cinta tanah air. Di dalam Al-Qur`an terdapat 8


ayat yang terkait cinta tanah air, diantaranya:
Allah swt berfirman di dalam QS. Al-Hasyr: 9

            

           

       

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah


beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka
(Anshar) „mencintai‟ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin),
dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan
mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri,
sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-
Hasyr: 9)

Ayat ini menjelaskan bahwa kaum Anshar sudah menempati kota


Madinah dan telah beriman sebelum kedatangan kaum Muhajirin, yaitu pada
Baiat al-Aqabah pertama dan kedua. Mereka mencintai kaum Muhajirin
dengan cinta kasih yang tulus.
Mereka mengutamakan kaum Muhajirin, sekalipun mereka dalam
kesusahan. Ini adalah ayat yang berisi pujian Allah swt kepada kaum Anshar
yang telah membangun kota Madinah dengan baik dan mau menerima kaum
Anshar dengan cinta kasih.

Lalu pada ayat sebelumnya, yaitu QS. Al-Hasyr: 8, Allah swt berfirman:
43

         

         


“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung
halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari
Allah swt dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-
Nya. mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hasyr: 8)

Pada Ayat menggambarkan kesulitan yang dihadapi oleh kaum Muhajirin


yang harus meninggalkan harta-benda, rumahnya, anak-anaknya,
keluarganya. Maka, jadilah mereka orang-orang yang fakir miskin pada saat
menjadi orang-orang yang berhijrah.
Ayat ini juga menggambarkan bahwa pujian Allah swt atas kaum Anshar
(yang telah beriman sebelumnya, membangun Madinah dengan baik, dan
lebih mengutamakan kaum Anshar atas harta-harta mereka) itu disamakan
dengan orang-orang Muhajirin yang harus meninggalkan semua yang mereka
miliki (baik harta-benda, keluarga, handai taulan, dan seterusnya) terlebih
tanah airnya tercinta.
Perasaan yang hancur-lebur akibat terusir ini lebih hebat kesedihannya
dari pada membagi harta bendanya, sedangkan mereka masih tinggal di
negaranya, di rumahnya, bersama anak-istri, keluarga, sahabat, dan juga
lainnya.
Dalam ayat lain, Allah SWT menyamakan level kesulitan pengusiran
dengan kematian:

            

     


“Dan ingatlah ketika orang-orang kafir Qurays memikirkaan daya
upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau
membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan
44

Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalasan


tipu daya. (Q.S al-Anfal:30)

Lihatlah bagaimana level pengusiran seseorang dari tanah airnya itu


disamakan dengan level penghilangan nyawa. Inilah makna dari Q.S al-
Baqarah ayat 191 yang terkenal dengan pemelesetan “Fitnah lebih kejam dari
pembunuhan”.
Arti dari frasa “al-Fitnatu asyaddu minal qatli” adalah lebih baik mati
dari pada menjadi musyrik setelah dipaksa oleh orang-orang kafir. Ini
menegaskan bahwa pengusiran seseorang dari negaranya itu sama level
kesulitannya dengan pembunuhan. Pilihannya adalah terusir dan mengungsi,
atau terbunuh dan tetap memeluk agama Islam.37
Ayat lain yang menguatkan kesamaan level antara terbunuh dan terusir
ini adalah Q.S an-Nisa: 66

              

             
“Dan sesungguhnya kalau kami perintahkan kepada merekaa:
“Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”. Niscaya
mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka
melakukan pelajaran yang diberikan kepada mereka. Tentulah hal yang
demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan iman
mereka.” (Q.S an-Nisa:66)

Ada juga dalam Q.S al-Baqarah ayat 84-85 yang menyamakan level
keterusiran seseorang dari negaranya dengan pembunuhan:

37
https://resistensia.org/religi/dalil-nasionalisme-dalam-al-quran-dansunnah/ di
akses tanggal 12 Juli 2018 pukul 22:55
45

          

          

          

        

           

             

 
“Dan ingatlah, ketika kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu
tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak
akan mengusir dirimu (saudara sebangsa) dari kampung halamanmu,
kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu
mempersaksikannya.” (Q.A al-Baqarah: 84)
“Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudara sebangsa)
dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya,
kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan
permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan,
kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang
bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat)
dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang
yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada
siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu
perbuat.” (Q.S al-Baqarah: 85)

Semua ayat yang menyamakan level antara terbunuh dan terusir dari
negara itu adalah ayat yang menegaskan tentang begitu pentingnya
kedudukan negara dalam beragama.
Jika diingat dalam 5 maqashid al-syariah (maksud-maksud
diterapkannya syariah Islam), yang mana isinya a. Hifdz ad-Din (Memelihara
46

Agama), b. Hifdz An-Nafs (Memelihara Jiwa), c. Hifdz al-Aql (Memelihara


Akal, d. Hifdz an-Nasb (Memelihara Keturunan), e. Hifdz al-Maal
(Memelihara Harta).38 Maka kedudukan menjaga jiwa itu kalah dengan
kedudukan menjaga agama. Di dalam maqashid ini kedudukan menjaga
agama dimenangkan atas kedudukan menjaga jiwa; kedudukan menjaga
keluarga; kedudukan menjaga keluarga mengalahkan kedudukan menjaga
harta.
Kelima maqashid ini penerapannya dilakukan berurutan jika diharuskan
memilih satu diantara dua atau tiga atau lebih. Namun, jika dikumpulkan
menjadi satu, maka seluruh maqashid ini terkumpul dalam kaidah jalb al-
mashalih (menaik kebaikan-kebaikan) dan daf`u al-mafasid (menolak
kerusakan-kerusakan).
Kedua inti syariah Islam ini terkumpul dalam satu hal: al-muwathanah
(kebangsaan): sebuah istilah yang mustahil hidup di luar tanah air yang aman,
damai dan sejahtera. Diantara ayat yang menerangkan urut-urutan prioritas
yang memprioritaskan tanah air atas seluruh maqashid (kecuali agama)
adalah Q.S at-Taubah: 24

        

        

            

   


“Katakanlah jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri,
kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang
kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai,

38
Dr. Ahmad Qorib, MA, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), cet.
Ke-II, h.175
47

adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di
jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.
dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (Q.S
at-Taubah: 24)

Pada ayat ini, frasa “tempat tinggal yang kamu sukai” diartikan oleh Dr.
Ahmad Abdul Ghani Muhammad al-Najuli dalam al-Muwathanah fi al-Islam
sebagai tanah air. Maksudnya adalah kepentingan mencintai dan menjaga
tanah air itu di atas kepentingan menjaga keluarga, harta-benda, dan
seterusnya. Kewajiban menjaga tanah air ini hanya kalah dengan kewajiban
menjaga hak-hak agama. 39
Ada sebuah ayat yang jika diartikan secara harfiah hanyalah sebuah doa
dari Nabi Ibrahim as. untuk Makkah. Tetapi, di dalam Tafsir al-Tahrir wa al-
Tanwir oleh Syeikh Ibnu Asyur (w. 12 Agustus 1973) ayat ini dinyatakan
sebagai disyaratkannya kaum muslimin untuk berdoa atas tanah airnya.

            

             

     


“Dan ingatlah, ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri
ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizqi dari buah-buahan
kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan
hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafir pun aku
beri kenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka
dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S al-Baqarah: 126)

Ibnu Asyur (w. 12 Agustus 1973) mengatakan bahwa doa ini juga
diucapkan oleh seluruh nabi atas negaranya masing-masing. Setiap nabi
berdoa atas negaranya agar terwujud keadilannya, kebanggaan, dan

39
https://resistensia.org/religi/dalil-nasionalisme-dalam-al-quran-dansunnah/ di
akses tanggal 12 Juli 2018 pukul 22:55
48

kesejahteraan. Menurut Ibnu Asyur, ketiha hal ini penting untuk membangun
negara dan mengaturnya kekayaan dan sumber daya tiap negara. Sebagai
mana yang dijelaskan pada Q.S al-Qashash ayat 85

             

      


“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmy (melaksanakan hukum-hukum)
Al-Qur`an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.
Katakanlah: “Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan
orang yang dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S al-Qashash: 85)

Ayat ini turun saat Nabi saw. dalam perjalanan malam menuju madinah.
Sesampainya di Juhfah, Nabi saw. merasa sangat rindu kepada Mekkah.
Maka Jibril turun dan menyampaikan ayat ini. Kerinduan Nabi saw. ini
mungkin terjadi karena cintanya yang teramat dalam kepada tanah airnya.
Cinta yang teramah dalam inilah yang disebut sebagai nasionalisme.40

D. Cinta Tanah Air dalam Hadis


Ada beberapa bukti hadis-hadis Nabi saw. yang menceritakan betapa
nasionalisme itu dimiiki oleh Nabi saw. diantaranya ialah:

‫َن النَّبِ َّي‬ ِ ٍ


َّ ‫ «أ‬،ُ‫ضي اللَّهُ َع ْنه‬ ٍ ٍ ِ ِ
ُ ‫ َح َّدثَنَا إ ْس َماع‬،ُ‫َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَة‬
َ ‫ َع ْن أَنَس َر‬،‫ َع ْن ُح َم ْيد‬،‫يل بْ ُن َج ْع َفر‬
ِ َ ‫ أَو‬،‫ات الم ِدين ِة‬ ِ ‫ فَنَظَر إِلَى ج ُدر‬،‫ َكا َن إِ َذا قَ ِدم ِمن س َف ٍر‬،‫صلَّى اهلل َعلَْي ِه وسلَّم‬
ُ‫ض َع َراحلَتَه‬ ْ َ َ َ ُ َ َ ْ َ َ ََ ُ َ
41
1886 »‫َوإِ ْن َكا َن َعلَى َدابٍَّة َح َّرَك َاا ِم ْن ُحبَ َاا‬
“Dari Anas, bahwasannya Nabi saw. jika pulang dari bepergian beliau
melihat kearah tembok-tembok gedung di Madinah lalu mempercepat
jalannya. Jika beliau berada di atas kendaraan (seperti kuda atau onta),

40
https://resistensia.org/religi/dalil-nasionalisme-dalam-al-quran-dansunnah/ di
akses tanggal 12 Juli 2018 pukul 22:55
41
Muhammad bin Isma‟il Abu Abdullah al-Bukhari al-Ju‟fi, Shohih al-Bukhori,
bab Kota itu Menyangkal Terak (Dar Tawf al-Najat:1422), cet. I, Juz 3, h. 23
49

beliau akan mengguncang-ngguncangkan tali kekang kendaraannya


(agar cepat sampai) karena kecintaanya kepada Madinah.” (HR.
Bukhori- 1886)

Suatu hari, sahabat Ashil al-Ghiffari pulang dari Makkah (saat itu belum
ada syariah memakai hijab bagi istri-istri Rasulullah saw.) aisyah bertanya
kepadanya, “Bagaimana kamu meninggalkan Mekkah wahai Ashil?”, Ashil
menjawab, “Saya meninggalkannya saat sungai-sungainya memutih, pohon-
pohon mulai tumbuh daun-daunnya, dan bunga-bunganya mulai berkembang
dan keluar daun-daunnya.”
Mendengar itu air mata Rasulullah saw menetes. Rasulullah saw.
bersabda, “Janganlah kau berbuat kami merindu wahai Ashil.” Dalam riwayat
lain, “Sudahlah wahai Ashil, jangan membuat kami bersedih.” (Syarh al-
Zyarqani ala al-Muwaththa‟ al-Imam Malik)
Hadis ini mengisyaratkan bahwa Nabi saw. adalah warga Madinah,
sedangkan Mekkah adalah tanah airnya tempat beliau dilahirkan dan
dibesarkan. Cintanya kepada Mekkah abadi. Jika saja tidak diusir oleh
kaumnya, dan tidak diizinkan oleh Allah SAW untuk berhijrah, Nabi saw.
tidak akan meningalkan Mekkah.
Tanah kelahiran itu agung mulia, sejahat apapun penghuninya kepada
Nabi saw. perpisahan dengan Mekkah menimbulkan kemurungan di dalam
hati Nabi saw. dalam hadispun diisyariatkan bernyayi atau berpuisi tentang
kerinduan terhadap tanah air, juga menyebut yang indah-indah tentang tanah
air.
Bahkan, bagi siapa saja yang terusir dari negaranya diperbolehkan berdoa
atas kedzaliman yang menimpa mereka, berdoa agar secepatnya dikemalikan
ke negaranya.42

42
https://resistensia.org/religi/dalil-nasionalisme-dalam-al-quran-dansunnah/ di
akses tanggal 12 Juli 2018 pukul 22:55
50

Semua itu menunjukkan bahwa nasionalisme ada dalilnya dalam Islam.


memang tidak mudah menggali hukum-hukum Islam, diperlukan ketekunan,
kejelian, dan keinginan yang kuat untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang
luas, yang tidak menghibur dan membohongi, apalagi sampai memanipulasi
bagi masyarakat.
Kemudian hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim.

‫ َع ِن‬،ً‫ني َسنَة‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ فَ َسم ْعنَاهُ م ْن ُم َقات ٍل ُمْن ُذ َسْبع‬،‫ال ُس ْفيَا ُن‬ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ ثنا ابْ ُن أَِِب عُ َمَر‬،‫َحدَّثَنَا أَِِب‬
،َ‫اق إِ َل َم َّكة‬ ْ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِم ْن َم َّكةَ فَبَ لَ َغ‬
َ َ‫اْلُ ْح َف َة ا ْشت‬ ُّ ِ‫"لَ َّما َخَر َج الن‬:‫ال‬
َ ‫َِّب‬ َ َ‫ ق‬،‫اك‬ ِ ‫َّح‬
َّ ‫الض‬
43 َّ
."َ‫فَأَنْ َزَل اللَّوُ تَبَ َارَك َوتَ َع َال َعلَْي ِو الْ ُق ْرآ َن " لََر ُّاد َك إِ َل َم َع ٍاد " إِ َل َمكة‬
“dari al-Dhahhak, beliau berkata: Ketika Rasulullah saw. keluar dari
kota Makkah, lalu sampai di al-Juhfar (tempat diantara Makkah dan
Madinah), beliau rindu dengan Makkah, maka Allah swt. Menurunkan
ayat: “...dan sungguh (Allah) akan mengembalikanmu ke tempat
kembali (yaitu ke Makkah).” (H.R Ibn Abu Hatim al-Razi)

Hadis yang diriwayatkan Ibn Abu Hatim al-Razi (w. 890 M) didalam
tafsirnya ini, diamini oleh banyak penafsir Al-Qur`an, seperti al-
Thabathaba‟i, Ibn „Asyur (w. 12 Agustus 1975), dan Sayyid Quthub (w. 29
Agustus 1966) sebagaimana yang dijelaskan Quraish Shihab didalam tafsir
al-Misbah.

43
Abu Muhammad „Abdurrahman bin Muhammad bin Idris bin Mundzir at
Tamimiy al Handzaliy ar Razi bin Abi Hatim, Tafsir Al-Qur`anul „Adzim liabni Abi Hatim,
(Kerajaan Arab Saudi: Perpustakaan Nizar Mustafa el Baz), Cet III, h. 419
BAB III

MENGENAL TAFSIR AL-HUDA DAN TAFSIR AL-AZHAR

A. Profil Tafsir Bakri Syahid


1. Biografi Bakri Syahid
Nama lengkap beliau adalah Kolonel (Purn) Drs. H. Bakri Syahid.
Beliau lahir di kampung Suronatan kecamatan Ngampilan Yogyakarta
pada hari Senin, 16 Desember 1918 M. Beliau lahir dari pasangan
Muhammad Syahid yang berasal dari kota Gede Yogyakarta dan dari ibu
Dzakirah yang berasal dari kampung Suronatan Yogyakarta. Di
kampung inilah beliau menghabiskan masa kecilnya hingga dewasa. Ia
merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara.
Keluarganya dikenal sebagai keluarga yang agamis. Ayah dan
ibunya adalah tokoh agama di kampungnya dan aktif dalam kegiatan
Muhammadiyah-an. Dalam kesehariannya, kedua orang tua Bakri
Syahid sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Dengan penuh
kesabaran kedua orang tuanya menanamkan nilai-nilai keislaman.
Kendatipun demikian, kedua orang tuanya tidak melupakan nilai-nilai
kejawaan mereka. Mereka menerapkan nilai-nilai kebudayaan Jawa
yang sekiranya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. semua
dilakukan agar anak-anaknya dapat tumbuh dewasa dengan dasar
keimanan dan keislaman yang kokoh serta memiliki kearifan dalam
mengarungi hidup bermasyarakat.1
Pada masa kecilnya, Bakri Syahid dikenal sebagai anak yang rajin,
cerdas dan memiliki sikap mandiri. Ia juga dikenal sebagai sosok yang
pekerja keras dan mempunyai semangat tinggi. Untuk meringankan

1
Imam Muhsin, Al-Qur`an dan Budaya Jawa, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2013),
hal. 32

51
52

beban kedua orang tuanya, ia sekolah dengan menjual pisang goreng.


Ketika masih bersekolah di Madrasah Mu‟allimin, ia masuk menjadi
salah satu anggota Gerilyawan2. Keaktifannya sebagai anggota
Gerilyawan ini pula yang dikemudian hari mengantarkannya menjadi
anggota ABRI atau yang sekarang dikenal dengan sebutan TNI.
Setelah menginjak usia dewasa, Bakri Syahid kemudian dijodohkan
oleh orang tuanya dengan seorang gadis bernama Siti Isnainiyah. Gadis
ini lahir pada tahun 1925 M. Dari pernikahannya tersebut kemudian
lahir seorang anak laki-laki yang oleh Bakri Syahid diberi nama Bagus
Arafah. Namun, menginjak usia ke-9 bulan anaknya sakit yang
kemudian menghembuskan nafas terakhirnya. Bakri Syahid sangat
berharap untuk mendapatkan anak dari pernikahannya yang pertama itu,
namun hingga bertahun-tahun anak yang di tunggu itu tidak juga hadir.
Mengetahui kenyataannya tersebut, ayahnya diam-diam mulai resah. Ia
kemudian mendesak Bakri Syahid untuk menikah kembali dengan
harapan akan mendapatkan keturunan lagi. Desakan ayahnya tersebut
baru dilaksanakan olehnya setelah pensiun. Ia menikah dengan seorang
gadis mantan anak asuhnya yang alumni Madrasah Mu‟allimat bernama
Sunarti. Gadis yang berasal dari Wonosari Gunung Kidul tersebut
dinikahi oleh Bakri Syahid pada tahun 1983 M dan dilakukan secara siri.
Dari pernikahannya yang kedua itu lahir dua orang anak. Anak
perempuan pertama diberi nama Siti Arafah Manishati sedangkan anak
kedua laki-laki yang kemudian diberi nama Bagus Hadi Kusuma.
Bersama istri keduanya Bakri Syahid tinggal di Jakarta. Meskipun

2
Gerilyawan adalah orang yang bergerilya, berperang dengan taktik gerilya; cara
berperang yang tidak terikat secara resmi pada ketentuan perang (biasanya dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi dan secara tiba-tiba): perang secara kecil-kecilan dan tidak terbuka.
Lihat pada apl. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
53

demikian, ia masih sering kembali ke Yogyakarta untuk menjenguk istri


pertamanya.3
Pendidikan agamanya diperoleh di sekolah Kweekschool Islam
Muhammadiyah tamat pada tahun 1935 M. Beliau pernah menjadi
pengajar H.I.S Muhammadiyah Sepanjang, Surabaya dan Sekayu
Palembang sampai tahun 1942 M. Tahun 1963 beliau menyelesaikan
pendidikan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tahun 1964 M
mendapat tugas pendidikan militer di Amerika Serikat tepatnya di Fort
Hamilton, New York, USA, oleh Jendral Ahmad Yani. Bakri Syahid
banyak melanglang buana keseluruh Nusantara, berkarya dalam
berbagai bidang: pertanian, perdagangan, kesenian, pendidikan,
pesantren, kepemimpinan, pegawai ABRI dan juga transmigran. Dharma
bakti yang pernah diembannya adalah Komandan Kompi, wartawan
perang no. 6-MBT, ketua staf batalyon STM Yogyakarta, kepala
pendidikan Pusat Rawatan Ruhani Islam Angkatan Darat, wakil kepala
Pusroh Islam A. D, dan asisten Sekretaris Negara, serta rektor IAIN
Sunan Kalijaga dari tahun 1972 M sampai 1976 M, dan rektor Univertas
Muhammadiyah Yogyakarta. Setelah Barki Syahid pensiun dari jabatan
rektor dan colonel infanteri NRP. 15382 Angkatan Darat, pada 1
Oktober 1977 M Bakri dilantik menjadi anggota MPR RI dari fraksi
ABRI.4
Bakri Syahid dikenal sebagai sosok yang luhur, memiliki solidaritas
yang tinggi, serta sangat sayang dan perhatian terhadap istri dan anak-
anaknya. Bakri Syahid meninggal dunia pada usia yang ke-76 tahun
tepatnya pada tahun 1994 M dengan meninggalkan dua orang istri dan

3
Imam Muhsin, Al-Qur`an dan Budaya Jawa, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2013),
hal. 32
4
Bakri Syahid, Tafsir al-Huda Tafsir Al-Qur`an Bahasa Jawi, (Yogyakarta:
Persatuan Perss, 1979), hal. 9
54

dua orang anak. Ia meninggal pada waktu dini hari sewaktu ia


melakukan shalat tahajud di rumah istri pertamanya dan diduga
meninggal karena penyakit jantungnya.
2. Karya-karya Bakri Syahid
a. Tata Negara RI
b. Ilmu Jiwa Sosial
c. Kitab Fiqih
d. Kitab Aqidah
Keempat karya ini beliau tulis ketika beliau menjadi mahasiswa.
Selanjutnya karya beliau yang lain adalah:
e. Kitab Pertahanan dan Keamanan Sosial
f. Ilmu Kewiraan
g. Ideology Negara Pancasila
h. Tafsir al-Huda
Keempat karya selanjutnya ini beliau tulis ketika menjadi pejabat di
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

3. Profil Tafsir Bakri Syahid


a. Identifikasi Fisiologis
Setiap edisi tafsir al-Huda dicetak dalam satu jilid. Pada edisi
cetakan pertama, tafsir al-Huda dicetak pada kertas buram dengan
sampul berwarna hijau dengan panjang 24 cm dan lebar 15,5 cm
dengan ketebalan 5,5 cm dan berjumlah 1.376 halaman.5
Sumber rujukan utama yang dipakai oleh Bakri Syahid dalam
menafsirkan al-Qur`an ke dalam bahasa Jawa adalah al-Qur`an dan
terjemahnya yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI.

5
Imam Muhsin, Al-Qur`an dan Budaya Jawa, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2013),
hal. 34
55

b. Identifikasi Metodologis
1) Latar Belakang Penulisan
Latar belakang penulisan kitab tafsir ini bermula pada saat
dilaksanakannya sarasehan di Mekah dan Madinah. Banyak
pihak yang terlibat dalam sarasehan tersebut. Sarasehan itu
bertempat di kediaman Syekh Abdul Manan. Pihak-pihak yang
terlibat dalam sarasehan tersebut antara lain adalah kolega-
koleganya yang berasal dari Suriname dan masyarakat Jawa yang
merantau ke Singapura, Muangthai dan Filipina. Dalam
sarasehan berdama tersebut menghasilkan sebuah rasa
keprihatinan terhadap minimnya karya Tafsir al-Qur`an dalam
bahasa Jawa yang disertai dengan tuntunan membaca dalam
tulisan latih dan keterangan penting lainnya. hal inilah yang
paling kuat melatarbelakangi Bakri Syahid untuk menulis kitab
tafisr yang sesuai dengan harapan dari sarasehan tersebut.
Dengan latarbelakang tersebutlah kemudian memotivasi Bakri
Syahid untuk menulis Kitab Al-Huda Tafsir Al-Qur`an Basa
Jawi yang kemudian diterbitkan pertama kali pada tahun 1979 M
oleh penerbit Bagus Arafah Yogyakarta.6
Pada penerbitan yang pertama kalinya, tafsir al-Huda
mengalami delapan kali cetakan dalam setiap kali cetakan
jumlahnya tidak kurang dari 1000 hingga 2000 eksemplar. Pada
cetakan pertama yaitu pada tahun 1979 itu, Tafsir al-Huda
berhasil dicetak sebanyak 10.000 eksemplar yang bekerja sama
dengan pengadaan Kitab Suci al-Qur`an Departemen Agama
Republik Indonesia. Hasil cetakan pertama disebar luaskan untuk

6
Bakri Syahid, Tafsir al-Huda Tafsir Al-Qur`an Bahasa Jawi, (Yogyakarta:
Persatuan Perss, 1979), hal. 8
56

masyarakat Jawa yang tinggal di Jawa sendiri dan ada pula yang
didistribusikan untuk masyarakat Jawa yang tinggal di Suriname.
2) Sumber, Metode dan Corak Penafsiran
Penafsiran yang dilakukan oleh Bakri Syahid dalam kitab
Tafsir al-Huda ini dengan menuliskan tafsirannya dalam sebuah
catatan kaki di kitab tafsirnya. Adapun fungsi dari catatan kaki
dalam kitab tafsirnya antara lain:
a) Sebagai tafsiran dari al-Qur`an, dalam hal ini, pengarang
kitab menafsirkan al-Qur`an seperti memberi komentar
terhadap perkara-perkara yang menurut pengarang kitab
perlu ditafsirkan. Jadi, pengarang kitab tafsir ini tidak
menafsirkan seluruh ayat al-Qu`an.
b) Sebagai intisari sebuah surat dalam al-Qur`an. Jadi,
pengarang kitab tafsir ini ketika di akhir surat memberikan
intisari dari surat tersebut.
c) Sebagai muhasabah antar surat, beliau memberikan
munasabah antar surat yang terletak di akhir surat dan di
awal surat untuk memberikan gambaran kepada pembaca
tentang adanya hubungan antar surat.
d) Sebagai petunjuk keterangan tafsir yang membahas tema
yang sama, ketika ada tema yang telah ditafsirkan dalam
suatu surat kemudian disurat lain ada tema yang sama,
maka pengarang kitab tafsir hanya menuliskan petunjuk
agar pembaca melihat surat yang telah di tafsirkan di awal
surat tanpa menafsirkannya kembali.7

7
Ali Hasan, al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tadsir, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994), hal. 47
57

Bakri Syahid dalam Tafsir al-Huda juga mengutip hadis Nabi


(meskipun tidak dijelaskan secara detail teks dari hadis tersebut)
hal itu bisa kita lihat dari penafsiran ayat ketujuh dari al-Fatihah
yang berbunyi: “Sasampanipun maos fatihah maos... Aamiin”.
(setelah membaca al-Fatihah dianjurkan membaca amin).
Jadi, Bakri Syahid menjadikan riwayat-riwayat sebagai titik
tolak dalam penafsirannya, namun demikian dalam beberapa
tempat masih dalam pemikirannya. Bakri Syahid dalam
penafsirannya pun mendapatkan pengaruh dari keorganisasian,
kemiliteran, keilmuan, dan posisinya sebagai MPR, serta Sosial-
Budaya masyarakat dalam tafsirannya. Pengaruh keorganisasian
terlihat dalam kandungan surat al-Fatihah ketika berbicara
cakupan puasa meliputi menu, bahkan sikap wara‟i (tidak rakus,
dan tidak banyak mengeluh), menjauhi dari sikap berlebihan
(hidup wajar dan apa adanya). Menurut Mistsuo Nakamura inilah
motto hidup masyarakat Muhammadiyah.8
Pengaruh kepemiliterannya dan jiwa kenasionalismenya juga
terlihat dalam penafsirannya pada surat al-Baqarah ayat 11 lafadz
‫الَتَ ْف ِس ُد ْْوا‬, Bakri Syahid menafsirkan: Janganlah membuat

kerusakan dimuka bumi baik kerusakan batin maupun kerusakan


lahir, serta hal-hal yang merusak mental, yang hal ini sangan
ditakutkan. Adanya perserikatan bangsa-bangsa merupakan
bentuk usaha mulia yang harus didukung sepenuhnya.
Secara metodologis langkah-langkah penafsiran al-Quran
dalam tafsir al-Huda merupakan sebuah pendekatan yang dapat
disebut pendekatan Tsaqafi Ijma‟i sosial budaya. Dalam

8
Ali Hasan, al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tadsir, hal. 48
58

pendekatan ini ayat-ayat Al-Qur`an dipahami berdasarkan


konteks militer dan historinya kemudian diproyeksikan dalam
situasi dan kondisi masyarakat Jawa yang melingkupi lahirnya
Tafsir al-Huda berdasarkan sudut pandang budaya Jawa.
Dialegtika al-Qur`an dan nilai-nilai budaya Jawa dalam Tafsir al-
Huda merupakan proses perkumpulan antara al-Qur`an warisan
budaya Jawa yang dimiliki pengarang dan kondisi sosial budaya
Jawa yang melingkupinya.
Tafsir al-Huda bercorak tafsir bi al-ra‟yi9, cenderung bersifat
rasional, dan menggunakan penalaran. Dalam penjelasan
terhadap ayat-ayat al-Qur`an, kadang-kadang Tafsir al-Huda
didukung dengan riwayat yang berkaitan dengan kandungan
nyata atau yang sedang dijelaskan, termasuk riwayat yang
berhubungan dengan asbabun nuzul, tetapi tidak jarang
penjelasan itu dilakukan dengan menggunakan penalaran akal
semata-mata tanpa mengemukakan riwayat yang relevan. Fungsi
riwayat hanya sebagai legitimasi bagi suatu penafsiran bukan
sebagai titik tolah atau subjek.10
Sumber rujukan utama yang dipakai oleh Bakri Syahid dalam
menafsirkan al-Qur`an ke dalam bahasa Jawa adalah al-Qur`an
dan terjemahnya yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI.
3) Sistematika Penulisan

9
Berdasarkan pengertian etimologi, ar-Ra‟yi berarti keyakinan (i‟tiqod), analogi
(qiyas), dan Ijtihad. Ra‟yi dalam terminologi tafsir adalah ijtihad. Adapun yang dimaksud
tafsir bial-Ra‟yi ialah penafsiran al-Qur`an yang dilakukan berdasarkan Ijtihad mufassir
setelah mengenali lebih dahulu bahasa Arab dari berbagai aspeknya serta mengenal lafal-
lafal bahasa arab dan dari segi argumentasinya yang dibantu dengan menggunakan syair-
syair jahiliyah serta mempertimbangkan sabab nuzul, dan lain-lain sarana yang dibutuhkan
oleh mufassir. Lihat https://www.tongkronganislami.net/tafsir-bil-rayi-atau-bid-diroyah/ di
akses pada tanggal 30 mei 2018, 22:37 WIB
10
Ali Hasan, al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tadsir, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994), hal. 48
59

Tafsir Al-Huda menafsirkan seluruh surat dalam Al-Qur`an


yang berjumlah 114 surat dan 30 juz penuh. Tafsir ini disajikan
secara urut menurut Mushaf Utsmani dari surat al-Fatihah sampai
surat an-Nas. Pembahasan dalam setiap surat diawali dengan
mengemukakan sifat khusus surat tersebut, kemudian pembahsan
dilanjutkan dengan menyajikan materi inti dari tafsir tersebut
yaitu: Pertama teks-teks al-Qur`an dalam tulisan aslinya yaitu
tulisan Arab yang berada di sisi sebelah kanan. Kedua
transliterasi bacaan al-Qur`an dalam huruf latin yang ditulis di
bawah teks asli. Ketiga terjemahan ayat-ayat al-Qur`an dalam
bahasa Jawa yang ditulis di sisi kiri. Keempat keterangan atau
penjelasan makna ayat al-Qur`an dalam bahasa Jawa yang ditulis
di bagian bawah dalam bentuk catatan kaki. Kelima, poin penting
berkaitan dengan topik-topik ibadah yang diberi judul
“Katarangan Sawatis Ingkang Wigatos Murakabi”, Keenam
daftar pustaka.11

A. Profil Tafsir Prof. Dr. Hamka


1. Biografi Buya Hamka
H. Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenl sebagai Buya
Hamka, lahir pada 17 februari 1908 (14 Muharram 1326 H). Di
Maninjau, Sumatra Barat.12 Nama ini adalah nama sesudah beliau
menunaikan ibadah haji pada 1927 dan mendapatkan tambahan haji.
Beliau dilahirkan disebuah desa bernama Tanah Sirah, dalam Nagari

11
Bakri Syahid, Tafsir al-Huda Tafsir Al-Qur`an Bahasa Jawi, (Yogyakarta:
Persatuan Perss, 1979), hal. 13
12
Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Republik Penerbit, 2015)
60

Sungai Batang, di tepi Danau Maninjau13, Sumatra Barat, pada 17


februari 1908 (14 Muharram 1326 H). Ayahnya seorang ulama terkenal
Dr. H. Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul pembawa faham-faham
Islam di Minangkabau.14 Ibu Hamka bernama Syofiah. Ayah dari
Syofiah mempunyai gelar adat bagindo nan batuah. Dikala mudanya,
bagindo terkenal sebagai guru tari, nyanyian dan pencak silat. Di waktu
Hamka masih kecil, selalu mendengarkan pantun-pantun yang berarti
dan mendalam dari kakeknya Buya Hamka dalam memorinya
mengatakan “Ayahku menaruh harapan atas kelahiranku agar aku kelak
menjadi orang alim pula seperti ayahnya, neneknya dan kakek-kakeknya
yang terdahulu”. Ketika Hamka lahir, ayahnya mengatakan kepada
neneknya bahwa kelak setelah berusia sepuluh tahun, si malik akan
dikirim ke Mesir agar menjadi ulama.15
Hamka mengawali pendidikan membaca al-Qur`an dirumah orang
tuanya ketika mereka sekeluarga memutuskan pindah dari Maninjau ke
Padang Panjang pada tahun 1914 M. Dan setahun kemudian, setelah
Hamka mencapai tujuh tahun, dia dimasukkan di sekolah desa. Pada
tahun 1916 sekolah Diniyah Putra16 dan pada tahun 1918 belajar juga di

13
Danau Maninjau adalah sebuah danau di kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten
Agam, Profinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau ini terletak sekitar 140 kilometer sebelah
utara kota Padang, ibukota Sumatra Barat. Minanjau yang merupakan danau vulkanik ini
berada di ketinggian 461,50 meter di atas permukaan laut. Luas danau minanjau sekitar 99,5
km2 dan memiliki kedalaman maksimum 495 meter. Di salah satu bagian danau yang
merupakan hulu dari Batang Antokan terdapat PLTA Maninjau. Puncak tertinggi di
perbukitan sekitar danau Maninjau dikenal dengan nama Puncak Lawang. Puncak bukit ini
setiap tahun menjadi star olahraga terbang layang bertaraf Internasional. Untuk bisa
mencapai danau maninjau dari arah Bukittinggi, maka akan melewati jalan berkelok-kelok
yang dikenal dengan kelok 44 sepanjang kurang lebih 10 km dari Ambun Pagi sampai ke
Maninjau. Lihat, http:/id.wikipedia.org/wiki/maninjau di akses tanggal 30 mei 2018, 23:25
WIB
14
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2007), hal. 11
15
Mafri Amir, Literatur Tafsir di Indonesia, (Banten: Madzhab Ciputat, 2013), hal.
170-171
16
Sekolah Diniyah putra didirikan oleh Zainuddin Labai el-Yanusi, kakak Rahmah
el-Yunusiyah pendiri Diniyah Putri yang berlokasi di Pasar Usang Padang Panjang
61

Thawalib School.17 Pagi hari ke Sekolah Desa, sore belajar di Sekolah


Diniyah, dan pada malam harinya berada di surau bersama teman-teman
sebayanya. Ini merupakan aktifitas harian seorang Hamka di masa
kecilnya dan ini juga merupakan keinginan ayahnya agar kelak anaknya
menjadi ulama seperti dirinya.18
Pada tahun 1924, dalam usia 16 tahun, Hamka berangkat menuju
tanah Jawa. Kunjungannya ke tanah Jawa itu mempu memberikan
“Semangat Baru” baginya dalam mempelajari Islam. dalam pencarian
ilmu di tanah Jawa, Hamka memulai dari kota Yogyakarta yang
merupakan kota awal berdirinya organisasi keislaman
Muhammadiyah.19 Lewat Ja‟far Amrullah yang merupakan pamannya,
Hamka dapat berkesempatan untuk mengikuti kursus-kursus yang
diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Syarikat Islam.
Dalam kesempatan ini pula, Hamka bisa bertemu dengan Ki Bagus
Hadikusumo, dan dia mendapatkan pelajaran Tafsir al-Qur`an. Hamka
juga bertemu dengan H.O.S. Cokroaminoto, dan mendengar ceramahnya
tentang Islam dan Sosialisme. Disamping itu Hamka berkesempatan
bertukar pikiran dengan beberapa tokoh penting lainnya, seperti Haji
Fachruddin dan Syamsul Ridjal.

17
Thawalib School adalah pengembangan pendidikan yang ada di Surau Jembatan
Besi. Ini terjadi setelah Syekh Abdul Karim Amrullah kembali dari perlawatannya ke tanah
Jawa. Pada langkah pertama perubahan itu, Thawalib School masih dalam pengajian surau,
buku-buku yang dipakai masih buku-buku lama. Kebaruan hanya dilihat dari sudut
pembagian kelas ke dalam tujuh kelas. Lihat dalam Hamka, Kenang-kenangan Hidup,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), jilid I, hal. 54-55, juga dalam catatan akhir M. Yunan Yusuf,
Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Penamadani, 2003), cet. Ke-2, hal. 61
18
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, (Jakarta:
Penamadani, 2003), cet. Ke-2, hal. 40
19
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 H/ 18 November 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis,
kemudian dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan. Diakses dari
http://www.muhammadiyah.or.id/sejarah-muhammadiyah.html tanggal 30 mei 2018 jam
23:52
62

Pada usia 17 tahun, Hamka kembali ke Minangkabau. Hamka telah


tumbuh menjadi pemimpin di tengah-tengah lingkungannya. Dia
memulai berpidato, bertabligh di tengah masyarakat Minangkabau. Dia
pun membuka kursus pidato bagi teman-temannya di Surau Jembatan
Besi. Kemampuan dalam menyusun kata-kata, baik dalam berpidato
maupun dalam menulis, telah menempatkan Hamka pada posisi
istimewa di kalangan teman-temannya. Dia catat dan susun kembali
pidato-pidato temannya, kemudian diterbitkan dalam sebuah majalah
yng dipimpin serta diberi nama Khatibul Ummah.20
Hamka menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan pada 29 April
1929 di usia 22 tahun.21 Beberapa waktu setelah perkawinannya dengan
Siti Raham, dia mengaktifkan diri sebagai pengurus Muhammadiyah
Cabang Padang Panjang. Dalam kongres Muhammadiyah ke-19 yang
berlangsung di Bukit Tinggi pada tahun 1930, Hamka menjadi
pemrasaran dengan membawakan makalah berjudul, “Agama Islam dan
Adat Minangkabau”. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-20 di
Yogyakarta pada tahun 1933, lagi-lagi Hamka muncul dengan makalah
berjudul, “Muhammadiyah di Sumatra”. Setahun kemudian diutus ke
Makasar menjadi muballigh atas kepercayaan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Pada tahun 1933, dia menghadiri Muktamar
Muhammadiyah di Semarang dan pada tahun 1934, diangkat menjadi
anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah.22
Pada tahun 1936, Hamka pindah ke Medan. Di kota ini Hamka
bersama M. Yunan Nasution menerbitkan majalah Pedoman

20
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, (Jakarta:
Penamadani, 2003), cet. Ke-2, hal. 45-46
21
Kata Pengantar Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjiman, 1982), jilid
I, hal. 2
22
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, (Jakarta:
Penamadani, 2003), cet. Ke-2, hal. 48
63

Masyarakat. Pada tahun 1942, Jepang mendarat di kota Medan, dan


kehadiran Jepang ini tidak sedikit membawa perubahan, majalah
Pedoman Masyarakat diberangus. Bendera Merah Putih tidak boleh lagi
dinaikkan. Segala bentuk persyarikatan dan perkumpulan dilarang.
Semua rakyat harus turut serta dalam membantu cita-cita memenangkan
Perang Asia Timur Raya.23
Hamka memperoleh kedudukan istimewa dari pemerintas Jepang.
Sebagai tokoh Muhammadiyah dan pemuka masyarakat, dia diangkat
sebagai anggota Syusangi Kai, Dewan Perwakilan Rakyat, pada tahun
1944. Dalam kedudukan ini, Hamka diminta pertimbangan oleh Jepang
untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dari kalangan umat
Islam.
Pada tahun 1945, Hamka meninggalkan kota Medan kemudian
berada di Padang Panjang. Pada tahun 1946, dia mendapatkan
kepercayaan sebagai Ketua dalam Kongres Muhammadiyah di Padang
Panjang. Pada tahun 1952, pemerintah Amerika Serikat mengundang
Hamka untuk menetap selama empat bulan. Selain berkunjung ke
Amerika Serikat, Hamka juga beberapa kali melakukan kunjungan luar
negeri lainnya seperti, menjadi anggota misi kebudayaan ke Muangthai
(1953), mewakili Departemen Agama menghadiri peringatan
mangkatnya Budha ke-2500 di Burma (1954). Kemudian pada tahun
1955, berlangsung pemilihan umum di Indonesia, dan Hamka ikut
berkecimpung dalam politik praktis sebagai anggota Konstituante dari
Partai Masyumi. Ia juga pergi ke Lahore (1958) untuk menghadiri
Konferensi Islam, dan menghadiri undangan Universitas al-Azhar di
Kairo untuk memberikan ceramah tentang “Pengaruh Muhammad

23
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, cet. Ke-2, hal. 49
64

Abduh di Indonesia”, ceramah tersebut menghasilkan gelar Doktor


Honorius Causa bagi Hamka.24
Hamka juga menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
(MUI)25 pertama sejak tahun 1975, dan kemudian mengundurkan diri.
Pengunduran diri ini disebabkan oleh masalah perayaan “natal bersama”
antara umat Kristen dan agama lain, termasuk Islam. Majelis Ulama
Indonesia, yang Hamka menjadi ketua umumnya, mengeluarkan fatwa
bahwa haram hukumnya seorang muslim mengikuti perayaan natal.
Dua bulan setelah pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia, Hamka dirawat di Rumah Sakit disebabkan serangan
jantung yang cukup berat. Selama lebih kurang satu minggu, Hamka
dirawat di Rumah Sakit Pertamina Jakarta Pusat, ditangani oleh para
dokter ahli. Namun, kendatipun dokter telah mengerahkan seluruh
kemampuan mereka bagi kesembuhan Hamka, akan tetapi Allah swt.
lebih menyayangi beliau, karena sesungguhnya Allah lebih mengetahui
sesuatu yang terbaik bagi hambanya-Nya. Pada hari Jum‟at tanggal 24
Juli 1981/22 Ramadhan 1401 H, yang dikelilingi oleh istrinya
Khadijah26 dan beberapa teman dekat serta puteranya Afif Amrullah,
Hamka meninggal dunia dalam usia 73 tahun.

2. Karya-karya Buya Hamka


Buya Hamka banyak menulis dalam bentuk fiksi, sejarah dan
biografi, doktrin Islam, etika dan tasawuf, politik dan adat Minangkabau

24
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, cet. Ke-2, hal. 52
25
MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Organisasi Kemasyarakatan yang
mewadahi ulama, zu‟ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing,
membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia
berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jkarta,
Indonesia.
26
Siti Khadijah adalah istri ke-2 Hamka setelah meninggalnya Siti Rham. Siti
Khadijah berasal dari Cirebon, Jawa Barat.
65

dan Tafsir. Yang sudah dibukukan tercatat kurang lebih 118 buah, belum
termasuk karangan-karangan panjang dan pendek yang dimuat
diberbagai media masa dan disampaikan dalam beberapa kesempatan
kuliah atau ceramah ilmiah. Kalau dicermati dalam kurun waktu enam
tahun (1936-1942), Hamka terlihat mengkonsentrasikan diri dalam hal
menulis karya-karya diberbagai bidang ilmu.27
Dengan kemahiran berbahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat
menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah, seperti
Zaki Mubarok, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustapa al-Mafalutidan
Husain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana
Perancis, Inggris dan Jerman. Hamka sejak muda juga rajin membaca
dan bertukar fikiran dengan tokoh-tokoh terkenal di Jawa seperti H.O.S.
Tjokromonoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachruddin, A.R. Sultan
Mansur dan I Bagus Hadikusumo sambil mengasal bakatnya sehingga
menjadi seorang ahli pidato yang handal. Banyak karya-karya Buya
Hamka yang terkenal hingga kepelosok penjuru Indonseia, diantaranya:
Karya-karya Buya Hamka:
a. Khatibul Ummah, jilid 1-3. Ditulis dalam huruf bahasa Arab.
b. Si Sabariyah. (1928).
c. Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abu Bakar as-Shiddik), 1929.
d. Adat Minangkabau dan Agama Islam (1929).
e. Ringkasan Tarikh Ummat Islam (1929).
f. Kepentingan Melakukan Tabligh (1929).
g. Hikmat Isra‟ Mi‟raj.
h. Arkanul Islam (1932) di Makasar.
i. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.

27
M. Thalhah Ahmad Hakim, Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka,
(Yogyakarta: UII Press, 2005), cet. Ke-I, hal. 33
66

j. Majallah „Tentera‟ (4 nomor) 1932, di Makasar.


k. Majalah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makasar.
l. Mati Mengandung Malu (Salinan al-Manfalithi) 1934.
m. Dibawah Lindungan Ka‟bah (1936) Pedoman Masyarakat, Balai
Pustaka.
n. Tenggelamnya Kapal Van Der Wick (1937) Pedoman Masyarakat,
Balai Pustaka.
o. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai
Pustaka.
p. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
q. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.
r. Tuan Direktur, 1939.
s. Dijemput Mamaknya, 1939
t. Dll.
Dalam bidang sastra Hamka juga menghasilkan beberapa karya
seperti Merantau ke Deli, Di Bawah Lindungan Ka‟bah, Di Dalam
Lembah Kehidupan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wick, Margaretta
Gauthier, Kenang-Kenangan Hidup, dll.
Dalam bidang karya-karya non-satra antara lain Falsafah Hidup,
Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Tasawuf Modern, Tasawuf,
Perkembangan & pemurniannya, Sejarah Umat Islam, Antara Fakta
dan Khayal “Tuanku Rao”. Tanaya Jawab I& II, Dari Lembah Tjita-
Tjita, Lembaga Hikmat, Bohong di Dunia, Karena Fitnah Tuan
Direktur, Pandangan Hidup Muslim, Perkembangan Kebatinan di
Indonesia, dan Tafsir al-Azhar, dll.28

28
Buntaran Sanusi Nasir Tamara dan Vicent Djauhari, Hamka di Mata Hati Umat,
(Jakarta: Sinar Harapan), hal. 139-142
67

Hamka juga memimpin majalah-majalah Islami antaranya Majalah


Pedoman Masyarakat, pada tahun 1936-1942, Majalah Panji Masyarakat
dari tahun 1956, dan juga memimpin Majalah Mimbar Agama
(Departemen Agama), tahun 1950-1953.
3. Profil Tafsir al-Azhar
a. Latar Belakang Penulisan Tafsir al-Azhar
Ada beberapa faktor, diantara lain:
1) Adanya semangat para pemuda di Indonesia dan di daerah-
daerah yang berbahasa Melayu yang sangat ingin mengetahui
isi al-Qur`an, padahal mereka tidak mempunyai kemampuan
untuk mempelajari bahasa Arab. Untuk mereka inilah tujuan
pertama tafsir ini disusun.
2) Golongan peminat Islam yang disebut muballigh atau ahli
dakwah. Mereka ini, para muballigh, menghadapi bangsa
yang sudah mulai cerdas dengan habisnya buta huruf.
Masyarakat mulai berani membantah keterangan agama yang
disampaikan apabila tidak masuk akal. Kalau mereka itu
diberi keterangan berdasarkan al-Qur`an secara langsung,
maka dapatlah mereka lepas dari dahaga jiwa. Maka tafsir ini
merupakan suatu alat penolong bagi mereka untuk
29
menyampaikan dakwah itu.
Sebelum Hamka memulai penulisan Tafsir al-Azhar, Hamka
awalnya memberikan ceramah setiap setelah shalat subuh sejak tahun
1959 di Masjid al-Azhar yang membahas Tafsir al-Qur`an. Ceramah
itu dimuat secara teratur dalam majalah Gema Islam sampai januari
1964. Demikianlah tanpa diduga sebelumnya pada hari senin 12

29
Pendahuluan Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Jilid I,
hal. 4
68

Ramadhan 1383 H bertepatan dengan 27 Januari 1964 M, sesaat


setelah Hamka memberikan pengajian di hadapan kurang lebih 100
orang kaum ibu di Masjid al-Azhar, beliau ditangkap oleh penguasa
Orde Lama lalu dimasukan ke dalam tahanan.30 Sebagai tahanan
politik, Hamka ditempatkan di beberapa tempat antara lain Bungalow
Herlina, Harjuna, Bungalow Brimob Megamendung, dan Kamar
Tahanan Polisi Cimacan. Di waktu ditahan inilah Hamka mempunyai
kesempatan yang cukup untuk menulis Tafsir al-Azhar
Disebabkan kesehatannya yang sempat menurun, Hamka pernah
dipindah ke Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun Jakarta.
Selama perawatan, Hamka meneruskan dan memperbaiki penulisan
tafsirnya. Setelah jatuhnya Orde Lama dan kemudian muncul Orde
Baru, Hamka dibebaskan dari tuduhan. Pada tanggal 21 Januari 1966
M/ 29 Ramadhan 1385 H, sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri,
Hamka kembali menemukan kebebasannya setelah mendekam dalam
penjara selama kurang lebih dua tahun. Kesempatan inipun kemudian
dipergunakan Hamka untuk memperbaiki serta menyempurnakan

30
Penangkapan ini lebih disebabkan oleh pertentangan antara kubu Islam dan
komunis yang telah hampir mencapai klimaksnya. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang
membawa ideologi komunis (sekaligus atheis) bergandengan rapat dengan presiden
soekarno. Golongan Islam telah benar-benar dipinggirkan. Mohammad Natsir, yang pernah
menjadi kartu truf bagi Soekarno dalam menghadapi persoalan-persoalan dalam negerti,
telah diasingkan dari panggung politik. Partai Masyumi telah dibubarkan beberapa tahun
sebelumnya, bahkan PKI menggunakan “Masyumi” untuk konotasi buruk, sebagaimana
media Barat kini mengasosiasikan jihad dengan terorisme. Antara Buya Hamka dan
Soekarno telah terjadi benturan yang sangat keras dan nampaknya sudah tak bisa diperbaiki
lagi. Buya, yang tadinya memandang Soekarno sebagai anak muda penuh kharisma dan
semangat, kini memandangnya telah kebablasan. Pernah suatu ketika Soekarno menyatakan
pandangannya dalam sebuah sidang, kemudian ia mengatakan, “inilah ash-shiraath al-
mustaqiim! (jalan yang benar)”. Buya menimpali, “Bukan, itu adalah as-shiraat ila al-jahiim!
(jalan menuju Neraka Jahim).” Sudah barang tentu, Buya tidak pernah bisa menerima
pemikiran Soekarno pada masa itu yang sudah terlalu terkontaminasi dengan pemikiran-
pemikiran sekuler dan komunis.
69

Tafsir al-Azhar yang sudah pernah dia tulis di beberapa rumah


tahanan sebelumnya.31

b. Kajian Filologis Kitab Tafsir al-Azhar


Penerbitan pertama Tafsir al-Azhar karya Hamka, dilakukan
Penerbit Pembimbing Masa, yang dipimpin oleh H. Mahmud.
Cetakan pertama oleh Pembimbing Masa itu hanya merampungkan
penerbitan sampai juz keempat. Kemudian diterbitkan pula juz 30
dan juz 15 sampai 29 oleh Pustaka Islam Surabaya. Dan akhirnya juz
5 sampai dengan juz 14 diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam
Jakarta.32
Secara filologis, kitab Tafsir al-Azhar yang teliti ini, kondisi
fisiknya sebagai berikut:
a) Terdapat 30 juz, yang mana setiap jilid menafsirkan satu juz
al-Qur`an.
b) Desain Sampul : Berwarna Hijau.
c) Sampul Dalam: Terdapat satu lembar yang bertuliskan nama
kitab, nama pengarang, nama penerbit, pencetak, hak cipta.
d) Lembar Pertama: Berisikan daftar isi, sebagai catatan setiap
juz dari Tafsir ini mempunyai daftar isi tersendiri.
e) Pada juz I, Lembar ke-2 sampai ke-66 berturut-turut berisikan
sebagai berikut: Kata pengantar, pendahuluan, al-Qur`an,
i‟jazul Qur`an, isi mukjizat al-Qur`an. Al-Qur`an dan makna,
menafsirkan al-Qur`an, haluan tafsir, mengapa dinamai
“Tafsir al-Azhar”, hikmah ilahi, dan petunjuk pembaca.

31
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, (Jakarta:
Penamadani, 2003), cet. Ke-2, hal. 55-57
32
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, cet. Ke-2, hal. 56
70

f) Layout Konten: pada juz I, diawali dengan surat-surat


selanjutnya sesuai urutan mushaf.
g) Pada juz II sampai XXX, terdapat Muqaddimah setiap juz
yang akan dibahas.
h) Buku Tafsir ini ditulis dengan kertas ukuran A5.
i) Akhir penulisan tafsir per juz kadang mencantumkan hari,
tanggal, bulan, dan tahun penyelesaian juz tersebut.
j) Tidak setiap akhir jilidnya terdapat bibliografi.

c. Karakteristik Penafsiran al-Azhar


1) Sumber dan Metode Penafsiran
Buya Hamka dalam penafsiran Tafsir al-Azhar ini
menggunakan sumber bi al Ra‟yi,33 karena dalam hal
menafsirkan beliau mengemukakan pendapat-pendapat beliau
tentang tafsir ayat-ayat tersebut.
Jika dilihat dari urutan suratnya, Tafsir al-Azhar
menggunakan tartib mushafi. Karena itu, metodenya disebut
dengan metode tahlili.34
Dalam hal memilih sumber referensi untuk Tafsir al-Azhar,
Hamka tidak fanatik terhadap satu karya tafsir dan tidak terpaku
pada satu madzhab pemikiran. Hamka mengutip berbagai kitab,
bukan hanya kitab tafsir melainkan kitab hadis dan sebagainya

33
Bi al Ra‟yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan menetapkan rasio sebagai
titik tolak, atau dinamakan juga Tafsir bi al-Ijtihadi, yaitu penafsiran dengan ijtihad, karena
didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir. Lihat Subhi al-Shalih, Mabahis fi „Ulum
al-Qur`an, (Baerut: Dar al-„Ilm Li al-Malayin, 1977), hal. 292
34
Tahlili adalah Penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat al-Qur`an dari sekian
banyak seginya yang ditempuh oleh mufassir dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai
urutan di dalam mushaf melalui penafsiran kosa kata, penjelas sebab nuzul, munasabah serta
kandungan ayat-ayat itu sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir itu. Lihat M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 117
71

yang menurutnya penting untuk dikutip. Akan tetapi, ada


beberapa kitab tafsir yang diakuinya mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap tafsirnya. Bukan saja dari segi pemikiran,
tetapi juga haluan serta coraknya.
2) Sumber Literatur Tafsir al-Azhar
Adapun sumber literatur Tafsir al-Azhar karya Hamka,
adalah:
a) Tafsir al-Manar karya Sayid Rasyid Ridha yang
berdasarkan pada ajaran tafsir gurunya Muhammad
Abduh.
b) Tafsir al-Maraghi karya Mustafa al-Maraghi
c) Tafsir al-Qasimi
d) Tafsir al-Thabari karya Ibnu Jarir al-Thabari
e) Tafsir al-Razi karya Fakhruddin al-Razi
f) Sunan Abu Dawud
g) Sunan at-Tirmidzi
h) Muwaththa‟ karya Imam Malik
i) Tafsir an-Nur, M. Hasbi as-Shiddiqie
j) Tafsir DEPAG
Dan masih banyak lagi kitab-kitab karangan ahli Tafsir,
sarjana-sarjana modern, dan karangan-karangan Orientalis Barat.

3) Kecenderungan Perspektif Penafsiran al-Azhar


Hamka menggunakan contoh-contoh yang ada di tengah
masyarakat, baik masyarakat kelas atas seperti raja, rakyat biasa,
maupun secara individu, semua tergambar di dalam karyanya.
Uraian Hamka yang demikian menyentuh perasaan manusiawi
yang dalam. Berdasarkan hal tersebut, Tafsir al-Azhar dalam
72

menjelaskan ayat itu bercorak sastra budaya kemasyarakatan


(adabi ijtima‟i).35
4) Langkah Penafsiran
Langkah penafsiran dalam tafsir ini adalah pertama-tama
mengemukakan muqadimah dan pendahuluan pada setiap awal
juz, yang isinya bisa dikatakan merupakan resensi juz yang akan
dibahas. Disamping itu juga, Hamka terkadang mencari
munasabah (kolerasi) antara juz yang sebelumnya dengan juz
yang akan dibahas.
Selanjutnya, Hamka juga menyajikan beberapa ayat di awal
pembahasan secara tematik. Dia lebih banyak menafsirkan
kelompok ayat yang dianggap memiliki satu tema untuk
memudahkan penafsiran sekaligus memahami kandungannya.
Seperti hal ini memang sesuai dengan tujuan Hamka menyusun
Tafsir al-Azhar yang ditujukan bagi masyarakat Indonesia agar
lebih dekat dengan al-Qur`an. Hamka dengan terlebih dahulu
menerjemahkan ayat tersebut ke dalam bahasa Indonesia agar
lebih mudah dipahami.
Dalam tafsir ini, Hamka juga menjauhkan diri dari berlarut-
larut dalam uraian mengenai pengertian kata, salain hal itu
dianggap tidak terlalu cocok untuk masyarakat Indonesia yang
memang banyak yang tidak memahami bahasa Arab, Hamka
menilai pengertian tersebut telah tercakup dalam terjemahannya.
Walaupun demikian bukan berarti Hamka sama sekali tidak
pernah menjelaskan pengertian sebuah kata dalam al-Qur`an.
35
Adabi ijtima‟i adalah suatu corak yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an yang
mengungkapkan dari segi balaghah dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan
susunan yang dituju oleh al-Qur`an mengungkapkan hukum-hukum alam dan tatanan-
tatanan masyarakat yang dikandung di dalamnya. Lihat Said Agil Husain al-Munawwar,
I‟jaz al-Qur`an dan Metodologi Tafsir, (Semarang: Dina Utama, 1994), cet ke-I, hal. 37
73

Sesekali penafsiran atas sebuah kata akan disajikan dalam


tafsirnya.
Setelah menerjemahkan ayat, Hamka memulai penafsirannya
terhadap ayat tersebut dengan luas dan terkadang dikaitkan
dengan kejadian pada zaman sekarang, sehingga pembaca dapat
menjadikan al-Qur`an sebagai pedoman sepanjang masa.36

36
Mafri Amir, Literatur Tafsir di Indonesia, (Banten: Madzhab Ciputat, 2013), hal.
188-189
BAB IV

ANALISIS CINTA TANAH AIR MENURUT TAFSIR AL-HUDA DAN


AL-AZHAR

Pada bab II telah disebutkan beberapa ayat-ayat di dalam Al-Qur`an yang


menyinggung pengertian cinta tanah air. Namun dalam bab ini penulis akan
lebih fokus membahas ayat-ayat tersebut dalam penafsiran Bakri Syahid dan
Prof. Hamka, yang kiranya pembahasan ini penting untuk penulis teliti
karena pada zaman ini terlebih warga Indonesia sendiri sepertinya lupa
bagaimana seharusnya menumpahkan rasa cinta terhadap tanah air kita
sendiri.

A. Penafsiran Bakri Syahid dan Prof. Dr. Hamka tentang Ayat Cinta
Tanah Air
Cinta tanah air adalah perasaan yang timbul dari dalam hati sanubari
seorang warga negara, untuk mengabdi, memelihara, membela, melindungi
tanah airnya dari segala ancaman dan gangguan. Definisi lain mengatakan
bahwa rasa cinta tanah air adalah rasa kebanggaan, rasa memiliki, rasa
menghargai, rasa menghormati dan loyalitas yang dimiliki oleh setiap
individu pada negara tempat ia tinggal yang tercermin dari perilaku membela
tanah airnya, menjaga dan melindungi tanah airnya, rela berkorban demi
kepentingan bangsa dan negaranya, mencintai adat atau budaya yang ada di
negaranya dengan melestarikannya dan melestarikan alam lingkungnya.1
Cinta tanah air itu memiliki hubungan langsung dengan agama dan iman.
Agama telah menganjurkan manusia mencintai negara tempatnya tumbuh dan
dididik. Kita ingat ketika Nabi SAW hendak berhijrah ke Madinah karena

1
https://belanegarari.com/2016/03/23/pengertian-rasa-cinta-tanah-air/#more-2598
diakses tanggal 26 Mei 2018 pukul 11:32

74
75

tindakan represif2 kaum Musyrikin dan kafir Quraisy, Nabi SAW bersabda,
“Betapa indahnya engkau wahai Makkah, betapa cintanya aku kepadamu.
Jika bukan karena aku dikeluarkan oleh kaumku darimu, aku tidak akan
meninggalkanmu selamanya, dan aku tidak akan meninggalkan negara
selainmu.”3
1. Penafsiran kata “Bangsa”

‫َّاس إِنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن ذَ َك ٍر َوأُنْثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبًا َوقَبَائِ َل لِتَ َع َارفُوا إِ َّن‬ُ ‫يَا أَيُّ َها الن‬
)31( ٌ‫يم َخبِري‬ ِ ِ ِ ِ
ٌ ‫أَ ْكَرَم ُك ْم عْن َد اللَّو أَتْ َقا ُك ْم إ َّن اللَّوَ َعل‬
a. Penafsiran Bakri Syahid dalam Tafsir Al-Huda
“He para manungsa! Sayekti ingsun wus anitahake sira kabeh saka
wong lanang lan wadon, ingsun banjur andadekake sira kabeh dadi
pirang-pirang bangsa lan turunan, supaya sira padha wewanuhan
weruh wineruhan, sanyata wong kang inganggep mulya mungguhing
Allah iku wong kang luwih taqwa ing panjenengaNe, sayekti Allah iku
Maha Uninga tur kang Waspada.” (Q.S Al-Hujurat:13)4

Bakri Syahid menafsirkan ayat ini sebagai berikut “Wahai


manusia! Sesungguhnya kami telah menciptakan kamu semua dari
seorang laki-laki dan perempuan. Kami kemudian menjadikan kamu
semua menjadi beberapa banga dan keturunan, supaya kamu saling
kenal-mengenal, sesungguhnya orang yang di anggap mulia di sisi
Allah adalah orang yang lebih bertaqwa kepada-Nya, sesungguhnya
Allah itu Maha Mengerti juga Maha Teliti.”
b. Penafsiran Prof. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar.
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.” (pangkal ayat 13). Kita

2
Lihat selengkapnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, represif artinya
menekan,mengekang, menahan atau menindas.
3
https://resistensia.org/religi/dalil-nasionalisme-dalam-al-quran-dan-sunnah/ di
akses tanggal 12 Juli 3018, pukul 18:22
4
Bakri Syahid, al-Huda Tafsir Qur`an Baha Jawi, (Yogyakarta: PT. Bagus Arafah,
1987), cet.Ke-V, hal. 1036
76

boleh menafsirkan hal ini dengan dua tafsir yang keduanya nyata dan
tegas. Pertama ialah bahwa seluruh menusia itu dijadikan pada
mulanya dari seorang laki-laki, yaitu Nabi Adam dan seorang
perempuan yaitu Siti Hawa. Beliau berdualah manusia yang mula
diciptakan dalam dunia ini. Dan boleh kita tafsirkan secara sederhana
saja. Yaitu bahwasannya segala manusia sejak dahulu sampai sekarang
ialah terjadi daripada seorang laki-laki dan seorang perempuan, yaitu
ibu. Maka tidaklah ada manusia di dalam alam ini yang tercipta kecuali
dari percampuran seorang laki-laki dengan seorang perempuan,
persetubuhan yang menimbulkan berkumpulnya dua kumpul mani
(khama) jadi satu 40 hari lamanya, yang dinamai nuthfah. Kemudian
40 hari pula lamanya jadi darah, dan 40 hari pula lamanya menjadi
daging („alaqah).
Setelah tiga kali 40 hari, nuthfah, „alaqah dan mudhghah, jadilah
dia manusia yang ditiupkan nyawa kepadanya dan lahirlah dia ke
dunia, kadang-kadang karena percampuran kulit hitam dan kulit putih,
atau bangsa Afrika dan bangsa Eropa. Jika diberi permulaan
bersatunya mani itu, belumlah kelihatan perbedaan warna, sifatnya
masih sama saja, “Dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku, supaya kenal-mengenallah kamu.” Yaitu bahwasannya
anak yang mulanya setumpuk mani yang berkumpul berpadu satu
dalam satu keadaan belum nampak jelas warnanya tadi, menjadilah
kemudian dia berwarna menurut keadaan iklim buminya, hawa
udaranya, letak tanahnya, peredaran musimnya, sehingga berbagailah
timbal warna wajah dan diri manusia dan berbagai pula bahasa yang
mereka pakai, terpisah di atas bumi dalam keluasannya, hidup mencari
kesukaannya, sehingga dia pun berpisah berpecah, dibawa untung
masing-masing, berkelompok karena dibawa oleh dorongan dan
77

panggilan hidup, mencari tanah yang cocok dan sesuai, sehingga lama-
kelamaan hasillah apa yang dinamai bangsa-bangsa dan kelompok
yang lebih besar dan rata, dan bangsa-bangsa tadi terpecah pula
menjadi berbagai suku dalam ukuran lebih kecil terperinci. Dan suku
tadi terbagi pula kepada berbagai keluarga dalam ukuran lebih kecil,
dan keluargapun terperinci pula kepada berbagai rumahtangga, ibu-
bapak, dan sebagainya.
Di dalam ayat ditegaskan bahwasannya terjadi berbagai bangsa,
berbagai suku sampai kepada perinciannya yang lebih kecil, bukanlah
agar mereka bertambah lama bertambah jauh, melainkan sepaya
mereka kenal-mengenal. Kenal-mengenal dari mana asal usul, dari
mana pangkal nenek-moyang, dari mana asal keturunan dahulu kala.
Seumpama kami orang tepi Danau Meninjau, umum rata menyebut
bahwa asal kami datang dari Luhak Agam; dan Luhak Agam adalah
berasal dari Pagarruyung. Menjadi kebiasaan pula menurut pepatah
“jika jauh mencari suku, jika dekat menjadi hindu”. Walaupun orang
suku Tanjung datang dari negeri Tanjung Sani, lalu dia merantau ke
Tapan Indrapura di Pesisir Selatan, atau ke Kampar daerah Riau,
mulanya secara iseng-iseng orang dari Tanjung Sani tadi menanyakan
kepada orang tepatnya di Indrapura atau Kampar tadi, apakah suku.
Jika dijawab bahwa yang ditanyai itu adalah bersuku Tanjung,
merekapun mengaku bersaudara seketurunan.
Kalau yang ditanyai menjawab bahwa sukunya ialah Jambak,
misalnya, maka orang Tanjung dari Tanjung Sani tadi menjawab
dengan gembira bahwa orang suku Jambak adalah “Bako" saya,
artinya saudara dari pihak ayahnya. Dan kalau orang itu menjawab
sukunya Guci, maka dengan gembira dia menjawab bahwa saya ini
adalah menantu tuan-tuan, sebab isteri dan anak-anak saya adalah suku
78

Guci. Demikianlah seterusnya, bahwasannya ke manapun manusia


pergi, dia suka sekali mengaji asal-usul, mencari tarikh asal
kedatangan. Karena ingin mencari pertalian dengan orang lain, agar
yang jauh menjadi dekat, yang renggang menjadi karib.
Kesimpulannya ialah bahwasannya manusia pada hakikatnya adalah
asal keturunan yang satu. Meskipun telah jauh berpisah, namun di asal-
usul adalah satu. Tidaklah ada perbedaan di antara yang satu dengan
yang lain dan tidaklah ada perlunya membangkit-bangkit perbedaan,
melainkan menginsafi adanya persamaan keturunan “Sesungguhnya
yang semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang setakwa-takwa
kamu.” Ujung ayat ini adalah memberi penjelasan bagi manusia
bahwasannya kemuliaan sejati yang dianggap bernilai oleh Allah lain
tidak adalah kemuliaan hati, kemuliaan budi, kemuliaan perangai,
ketaatan kepada Ilahi.
Hal ini dikemukakan oleh Tuhan dalam ayatnya, untuk
menghapus perasan setengah manusia yang hendak menyatakan bahwa
dirinya lebih baik dari yang lain, karena keturunan, bahwa dia bangsa
raja, orang lain bangsa budak. Bahwa dia bangsa keturunan Ali bin
Abi Thalib dakan perkawinannya dengan Siti Fatimah al-Batul, anak
perempuan Rasulullah, dan keturunan yang lain adalah lebih rendah
dari pada itu
Sabda Tuhan ini pun sesuai pula dengan sabda Rasulullah s.a.w.:

‫ َع ْن‬،‫يل‬ ِ ‫ حدَّثَنَا ح ِاِت بن إِ ْْس‬:‫اق الب ْل ِخي قَ َال‬


‫اع‬ َّ ‫َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َع ْم ٍرو‬
َ َ ُْ ُ َ َ ُّ َ ُ ‫الس َّو‬
ٍِ ‫ َع ْن أَِِب َح‬،‫ ابْ ََن عُبَ ْي ٍد‬،‫يد‬
:‫اِت املَزِِنِّ قَ َال‬ ٍ ِ‫ عن ُُم َّم ٍد وسع‬،‫عب ِد اللَّ ِو ب ِن ىرمز‬
َ َ َ ْ َ َُ ْ ُ ْ َْ
ُِ ْ
ِ ِ ُ ‫قَ َال رس‬
ُ‫ض ْو َن دينَوُ َو ُخلَُقو‬َ ‫ «إِ َذا َجاءَ ُك ْم َم ْن تَ ْر‬:‫صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم‬
َ ‫ول اللَّو‬ َُ
،‫ول اللَّ ِو‬
َ ‫ يَا َر ُس‬:‫ قَالُوا‬،»‫اد‬ ٌ ‫ض َوفَ َس‬ ِ ‫ إََِّّل تَ ْف َعلُوا تَ ُك ْن فِْت نَةٌ ِِف األ َْر‬،ُ‫فَأَنْ ِك ُحوه‬
79

َ ‫ ثَََل‬،»ُ‫ض ْو َن ِدينَوُ َو ُخلَُقوُ فَأَنْ ِك ُحوه‬ ِِ


‫ث‬ َ ‫ «إِ َذا َجاءَ ُك ْم َم ْن تَ ْر‬:‫َوإِ ْن َكا َن فيو؟ قَ َال‬
ُ ‫ َوََّل نَ ْع ِر‬،ٌ‫ص ْحبَة‬
‫ف‬ ٍِ ‫ َوأَبُو َح‬،‫يب‬
ُ ُ‫اِت املَُزِِنُّ لَو‬ ٌ ‫يث َح َس ٌن َغ ِر‬ ٌ ‫ « َى َذا َح ِد‬:‫ات‬ ٍ ‫مَّر‬
َ
5 ِ ِ
»‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َغْي َر َى َذا احلَديث‬ ِّ ِ‫لَوُ َع ِن الن‬
َ ‫َِّب‬
“Apabila datang kepada kamu orang yang kamu sukai agamanya
dan budi pekertinta, maka nikahkanlah dia. Kalau tidak, niscaya
akan timbullah fitnah dan kerusakan yang besar.” (H.R Tirmidzi)

Dengan Hadis ini jelaslah bahwasannya yang pokok pada ajaran


Allah dan pembawaan Rasul Allah pada mendirikan kafa‟ah, atau
mencari jodoh, bukanlah keturunan, melainkan agama dan budi
pekerti, dan inilah yang cocok dengan hikmat agama. Karena agama
dan budi pekerti timbul dari sebab takwa kepada Allah, maka takwa
itulah yang meninggikan gengsi dan martabat manusia. Tetapi
setengah manusia tidak memperdulikan agama itu. Dia hanya
memperturutkan hawa nafsu karena mempertahankan keturunan,
seorang anak bangsa syarifah tidak boleh kawin dengan laki-laki yang
bukan Sayid, walaupun laki-laki itu beragama yang baik dan berbudi
yang terpuji. Dalam hal ini Sabda Rasulullah mesti disingkirkan ke
tepi. Tetapi kalau bertemu seorang yang disebut keturunan Sayid,
keturunan Syarif, daripada Hasan dan Husain meskipun seorang yang
fasik, seorang pemabuk, seorang yang tidak mengerjakan agama sama
sekali, dialah yang mesti diterima menjadi jodoh dari pada Syarifah
itu. Sedang zaman sekarang ini adalah zaman kekacauan budi,
kehancuran nilai agama. Lalu terjadilah hubungan-hubungan di luar
nikah dalam pergaulan yang bebas secara orang Barat diantara yang
bukan Syarif dengan puteri Syarifah. Padahal ghiirah keagamaan tidak

5
Muhammad bin „Isa bin Surah bin Musa al-Dahhak, at-Tirmidzi, abu „Isa, Sunan
at-Tirmidzi, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi Printing Press, 1975 M), cet ke-2, juz 3, h.
387
80

ada lagi, sehingga diamlah dalam seribu bahasa kalau terjadi hubungan
di luar nikah, dan ributlah satu negeri kalau ada seorang pemuda yang
bukan Sayid padahal dia berbudi dan beragama, kalau dia mengawani
seorang Syarifah.
Penutup ayat adalah: “Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui, lagi Maha mengenal.” (ujung ayat 13). Ujung ayat ini,
kalau kita perhatikan dengan seksama adalah jadi peringatan lebih
dalam lagi bagi manusia yang silau matanya karena terpesona oleh
urusan kebangsaan dan kesukuan, sehingga mereka lupa bahwa
keduanya itu gunanya bukan untuk membanggakan suatu bangsa
kepada bangsa yang lain, suatu suku kepada suku yang lain. Kita di
dunia bukan buat bermusuhan, melainkan buat berkenalan. Dan hidup
berbangsa-bangsa, bersuku-suku bisa saja menimbulkan permusuhan
dan peperangan, karena orang telah lupa kepada nilai ketakwaan.6

c. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran


Melihat penafsiran Bakri Syahid pada ayat ini, Allah menjelaskan
bahwa manusia diciptakan dari laki-laki dan perempuan, yang
kemudian menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
sehingga saling kenal-mengenal diantara mereka, karena
sesungguhnya derajat yang paling mulia di sisi Allah ialah yang
bertakwa kepada-Nya. Pada ayat ini Bakri Syahid tidak menambahkan
foodnote sebagai penambahan penjelasannya.
Sedangkan pada Prof. Hamka lebih mendetail lagi dalam
menafsirkannya, beliau lebih dulu menjelaskan bagaimana proses
terjadinya manusia, dari berbentuk nuthfah sampai lahirnya bayi

6
Prof. Hamka, Tafsir Al-Azhar juz XXV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), cet. Ke-
2, hal. 208-210
81

kedunia. Yang mana awalnya hanya setumpuk mani yang belum jelas
warnanya, kemudian menjadi jelas sesuai dengan iklim, hawa
udaranya, letak tanahnya dan peredaran musimnya. Sehingga
menjadikan berbagai ragam bangsa dan kelompok yang lebih besar,
dari yang lebih besar itu terpecah lagi menjadi suku dalam ukuran
lebih kecil terperinci. Dan suku tadi terbagi pula kepada berbagai
keluarga dalam ukuran lebih kecil, dimana dalam keluargapun
terperinci lagi kepada berbagai rumah tangga, ibu-bapak dan
sebagaimana. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa terjadinya berbagai
bangsa menjadi perincian lebih kecil bukan untuk bertambah jauh,
melaikan supaya saling kenal-mengenal asal usul dari mana nenek
moyang dan asal keturunan dahulu kala.
Kemudian Allah menjelaskan bahwa kemuliaan yang di anggap
bernilai oleh Allah adalah kemuliaan hati, kemuliaan budi, kemuliaan
oerangai dan ketaatan kepada Ilahi. Ini ditegaskan untuk menghapus
perasaan setengah manusia yang ini mengatakan bahwa dirinya lebih
dari yang lain karena keturunan, bahwasa dia bangsa raja, orang lain
bangsa budak. Bahwa dia bangsa keturunan Ali bin Abi Thalib dalam
perkawinannya dengan Siti Fatimah al-Batul, anak perempuan
Rasulullah, dan keturunan yang lain adalah lebih rendah.
Pada kedua Tafsir diatas, sama-sama menjelaskan mengenai
bangsa. Hanya saja pada Tafsir Al-Azhar sangat lebih detail
menjelaskannya, terlebih ketika menjelaskan proses terjadinya
manusia hingga menjadi kaum yang berbangsa-bangsa.

2. Menyamakan level pengusiran dengan kematian


82

            

     

“dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya


terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu,
atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan
tipu daya itu. dan Allah Sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Q.S Al-Anfal: 30)
a. Penafsiran Bakri Syahid dalam Tafsir Al-Huda
“Lan sira elinga Muhammad ing nalikane wong kafir Qurasy
padha ngrekadaya ing sira perlu nukup sira, utawa arep mrajaya
sira, serta arep nudhung sira saka Negaranira. Wong-wong kafir iku
padha angrekadaya. Allah uga banjur males pangrekadayane wong-
wong mau. Dene Allah iku luwih becik-becike Pangeran kang
ngrancang angrekadaya.” (Q.S al-Anfal: 30)7
Bakri Syahid menafsirkan ayat ini sebagai berikut, “Dan kamu
ingatlah Muhammad ketika orang-orang kafir Qurays memikirkaan
daya upaya terhadapmu, atau untuk memenjarakanmu, dan mau
mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan
tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalasan tipu daya.”

b. Penafsiran Prof. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar


Setelah itu datanglah peringatan kepada Rasulullah s.a.w. tentang
hal yang nyaris terjadi terhadap diri beliau, sebelum beliau berpindah
hijrah ke Madinah:
“Dan ingatlah tatkala telah mengatur tipudaya orang-orang kafir
itu terhadap engkau, buat menawan engkau atau membunuh engkau,
atau mengeluarkan engkau.”(pangkal ayat 30). Ketiga-tiga maksud ini
telah pernah dimusyawarahkan oleh kaum musyrikin, terutama oleh

7
Bakri Syahid, al-Huda Tafsir Qur`an Baha Jawi, (Yogyakarta: PT. Bagus Arafah,
1987), cet.Ke-V, hal. 312-313
83

pemuka-pemuka mereka di Makkah. menurut riwayat dari Ibnul Ishaq


dalam sirahnya, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi
Hatim dalam Tafsir mereka pula, dan Abu Nu‟aim dan al-Baihaqi
dalam Dalailul Nubuwwah, riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa orang-
orang yang terkemuka dari kabilah-kabilah Qurasy itu berkumpul
memperkatakan sikap yang akan diambil terhadap Nabi s.a.w. ke
Majlis Darun Nadwah, yaitu balairung mereka yang terkenal.
Masing-masing menyatakan fikiran, sikap apa yang baik
dilakukan terhadap Muhammad. Maka satu golongan mengatakan
lebih baik dia segera ditangkap dibelenggu tangannya dan dimasukkan
ke dalam penjara, diputuskan hubungannya dengan dunia luar, dikirim
saja makanan ke dalam dan dibiarkan di sana sampai mati.
Yang lain menyatakan pula satu cara lain, yaitu dia diusir dan
dibuang dari dalam Negeri Makkah, dan tidak boleh lagi masuk ke
dalam Makkah buat selama-lamanya.
Dalam riwayat itu disebutkan bahwa seorang orangtua, yang
mengatakan bahwa dia datang dari Nejd, minta izin mauk dalam
majlis itu. Orang tidak kenal siapa dia selama ini. Pembawa riwayat
mengatakan bahwa dia adalah iblis sendiri menjelmakan diri sebagai
manusia. Maka diapun turut campur memberikan nasihatnya, lalu
membantah kedua usul itu. Tentang usul yang pertama, orangtua dari
Nejd itu membantah, mengatakan bahwa pengikut-pengikut
Muhammad tentu akan megeluarkannya dari dalam penjara dengan
paksa, lalu mereka keluar bersama-sama dari negeri ini, sehingga
kamu tidak aman kalau keluar hendak pergi kemana-mana dari dalam
negeri ini. Usul yang kedua dibantahnya pula. Katanya, kamu sendiri
tahu bahwa Muhammad itu sangat bijak berkata-kata, pandai menarik
hati orang, lidahnya amat fasih. Maka kalau kamu baung dia dari
84

dalam negeriini, dia akan mencari pengikut yang lebih banyak, dan
orang-orang Arab di luar Makkah akan mengikutnya dengan setia,
maka negerimu ini akan mereka serang, kamu semua akan diusir dari
dalamnya dan pemuka-pemuka kamu akan dibunuhnya.
Kemudian Abu Jahal mengemukakan usul yang ketiga: “Kita
ambil dari tiap-tiap kabilah seorang pemuda yang gagah, dan tiap-tiap
pemuda itu kita beri sebilah pedang, kemudian semua pemuda itu
disuruh menikam Muhammad sampai mati, dan dengan demikian
darahnya menjadi terbagi-bagi pada seluruh kabilah, sehingga Bani
Hasyim (kabilah Muhammad s.a.w.) tidak sanggup buat
memaklumkan perang pada seluruh Quraisy, dan dengan demikian
habislah soal Muhammad ini, dan terlepaslah kita dari kekacauan yang
dibawanya selama ini.”
Mendengar usul Abu Jahal yang demikian, berkatalah orangtua
dari Nejd itu: “Itulah pendapat yang paling jitu dan tepat, tidak ada
jalan lain lagi yang lebih bagus dari pada itu.”
Dalam riwayat itu pula diterangkan bahwa setelah mufakat itu
putus, Jibril datang kepada Rasulullah s.a.w. mencegahnya tidur di
tempat tidurnya yang biasamalam itu. Nasihat Jibril itu diterima
Rasulullah, sehingga tidak beliau tidur di tempat tidurnya.
Kita menerima riwayat yang terkenal ini, dan kitapun boleh
memakai tinjauan bahwa orangtua itu bukanlah benar-benar Iblis yang
menjelma merupakan diri sebagai orangtua dari Nejd, tetapi seorang
manusia yang sangat benci kepada Nabi s.a.w. dan kepada Islam, tidak
menyebutkan siapa namanya, lalu dikatakannyasaja bahwa dia datang
dari Nejd. Perbuatannya adalah sebagai Iblis, yang menunjukkan
tipudaya siasat busuk buat mencelakakan Nabi kita. Dan kitapun dapat
juga menyatakan penaksiran bahwa Rasulullah sebagai mata-mata.
85

Diantaranya paman beliau sendiri, Abbas bin Abdul Muthalib, tidak


menyatakan diri dengan terang menyetujui Islam, tetapi dia selalu
membantu kemenakannya dengan diam-diam, bahkan turut hadir
ketika menerima tetamu kaum Anshar, ketika diperbuat persetiaan
(Bai‟at) „Aqabah.
Oleh sebeb itu, selain kita menerima dengan penuh riwayat bahwa
Jibril yang membisikkan kepada Rasulullah s.a.w. menyuruh berkisar
tempat tidur pada malam itu, kemungkinan laporan dari mata-mata
beliaupun ada. Maka tipudaya tiga tingkatan, pertama menangkap dan
memasukkannya ke penjara, kedua membuangnya dan tidak boleh
tinggal selama-lamanya di Makkah, dan ketiga membunuhnya dengan
mengerahkan pemuda-pemuda dari tiap-tiap kabilah, sebagai tipudaya
dari kaum kafir itu, 1111diperingatkan kembali oleh Allah kepada
RasulNya, dan menjadi peringatan pula bagi kita, bahwasannya
peperangan Badar yang hebat itu, yang di sana pemuka-pemuka
Quraisy yang penting, termasuk Abu Jahal sendiri telah tewas,
bukanlah sesuatu yang tidak berpangkal. Jika mereka dengan tipudaya
jahathendak membunuh Nabi, maka kekalahan mereka di Perang
Badar bukanlah suatu kecurangan dari Rasulullah s.a.w. terhadap
mereka, tetapi balasan dari lanjutan kejahatan mereka sendiri, yang
memang dengan sengaja mengerahkan lebih 1000 orang tentara untuk
menghancurkan Nabi s.a.w.
“Dan mereka mengatur tipudaya, sedang Allahpun mengatur
tipudaya, dan Allah itu adalah sepandai-pandai pengtur tipudaya.”
(ujung ayat 30).
Dalam kisah bahagaimana hijrahnya Rasulullah s.a.w. ke
Madinah, kita melihat betapa gagalnya tipudaya kaum Quraisy itu,
yang digagalkan oleh tipudaya Allah. Meskipun keduanya disebut
86

makar, yang kita artikan tipudaya, namun corak tipudaya adalah


berbeda.
Tipudaya si kafir bermaksud jahat, membunuh Rasul dan
memadamkan Islam sebelum tumbuh. Mereka berhadapan dengan
tipudaya Allah, yang bermaksud membela RasulNya dan memberi
kemenangan kepada agamaNya. Rasulullah tidak tidur di tempat
tidurnya yang biasa, melainkan disuruhnya Ali bin Abu Thalib tidur di
tempat itu, lalu beliau menyelusup keluar dari dalam kepungan ketika
pengepung-pengepung itu tertidur nyenyak, mungkin karena
kepayahan berjaga-jaga sejak siang. Dan seketika Rasul s.a.w. telah
keluar, baru mereka tersentak, dan langsung masukke rumahnya.
Allahpun melanjutkan ti pudayanya yang lebih baik dari segala
tipudaya, yaitu mereka buka lebih dahulu selimut Ali. Jelas kelihatan
oleh mereka bukan Muhammad yang tidur di situ, melainkan Ali.
Mereka takut melanggar perintah ketua-ketua yang menyuruh,
sehingga Ali tidak mereka bunuh.
Sampai ketika mereka mengadakan pengejaran dan memeriksa
sekitar puncak gunung Tsaur, tidak mereka menekur buat melihat
Rasulullah s.a.w. yang bersembunyi di dalam gua bersama Abu Bakar.
Mereka hanya melihat ke atas saja, padahal kaki mereke kelihatan oleh
Nabi s.a.w. dan Abu Bakar r.a. setelah hari ketiga mereka
bersembunyi di sana, yang selalu diantari makanan oleh „Asma binti
Abu Bakar, sambil pura-pura mengembala kambing, baru mereka
meneruskan perjalanan ke Madinah.
Saat-saat yang penting itu menunjukkan pertolongan Allah
dengan tipudaya yang bagus dan lebih baik, tipudaya Allah berhasil.
Dan di sini kita melihat pula bahwa Rasulullah sendiripun tidak hanya
menyerah kepada “siasat” tipudaya Allah saja, diapun berikhtiah.
87

Kecerdikan „Asma binti Abu Bakar yang berulang-ulang ke tempat itu


sampai tiga hari, membawakan Rasul s.a.w. dan ayahnya rotipun
adalah satu bagian dari tipudaya Allah itu, yang membrikan petunjuk
kepada si gadis kecil itu buat melakukan perbuatan yang amat
berbahaya. Akhirnya selamatlah Rasul s.a.w. sampai ke Madinah.
Selanjutnya maka segala tipudaya yang diatur oleh Quraisy mnjadi
gagal, mereka kalah menyolok mata di dalam perang Badar, dan
lanjutan tipudaya Allah berhasul. Islam menang buat seterusnya.8

c. Persamaan dan perbedaan antara Tafsir al-Huda dan Tafsir al-Azhar


Menurut penafsiran Bakri Syahid pada ayat ini, bahwa Allah
mengingatkan kepada Nabi Muhammad s.a.w tentang tipudaya orang
kafir Qurays terhadapnya. Yang kemudian Allah swt. gagalkan
tipudaya itu, dan Allah pula membalas tipudaya kafir Qurays.
Sedangkan penafsiran Prof. Hamka lebih merinci lagi dalam
menafsirkannya, Di ayat ini dijelaskan bahwa sempat ada
musyawarah oleh kaum musyrikin, yang diikuti oleh pemuka-pemuka
mereka di Mekkah. Masing-masing pemuka memberikan saran atas
sikap yang sebaiknya dilakukan terhadap Muhammad. Ada yang
menyatakan untuk menangkap lalu membelenggu tangganya
kemudian di masukkan di penjara dan diputus hubungan dengan dunia
luar, sehingga hanya di kirim makanan saja ke dalam dan biarkan
sampai mati.
Ada juga yang menyatakan untuk diusir saja dan di buang dari
Makkah, lalu tidak boleh masuk ke Makkah selama-lamanya. Namun
kedua pernytaan itu dibantah oleh seorang orangtua yang mengaku

8
Prof. Hamka, Tafsir Al-Azhar juz IX, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), cet. Ke-2,
hal. 299-301
88

datang dari Nejd. Hingga akhirnya datanglah pernyataan dari Abu


Jahal dan kemudiam disetujui oleh semua pemuka yang hadir pada
musyawarah tersebut, termasuk orangtua dari Nejd itu. Rupanya
penyataan dari Abu Jahal itu ialah, upaya untuk mengirimkan
pemuda-pemuda dari tiap-tiap kabilah yang masing-masing diberi
sebilah pedang, kemudian semua pemuda itu disuruh untuk menikam
Muhammad sampai mati. Dengan seizin Allah, semua rencana yang
telah disusun oleh kaum Qurays itu dapat di gagalkan dengan mudah
melalui perantara malaikat Jibril.9
Persamaan yang penulis dapatkan dari kedua tafsir tersebut
adalah, sama-sama membahas mengenai Nabi Muhammad yang
diingatkan oleh Allah atas tipudaya kaum Qurays kepadanya yang
digagalkan oleh Allah. Namun, perbedaan yang sangat terlihat ialah
penafsiran Prof. Hamka sangatlah detail menceritakan awal mula
tipudaya itu dibuat,hingga bagaimana tipudaya itu digagalkan oleh
Allah. Dan tentunya penafsiran Prof. Hamka pula yang menjadikan
pembaca lebih mengerti maksud dari penafsiran ayat tersebut.

3. Menguatkan kesamaan level antara terbunuh dan terusir

             

              

“dan Sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah


dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan
melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. dan Sesungguhnya
kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka,
tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih
menguatkan (iman mereka)” (Q.S An-Nisa:66)

9
Sebagaimana yang dijelaskan secara rinci pada bab IV hal. 13-14
89

a. Penafsiran Bakri Syahid


“Lan menowo ingsun dhawuh amajibake marang wong-wong
mau: “Sira padha matenana awakira, utawa sira padha lunga saka
Negaranira”*) dheweke ora padha gelem anindakake, kajaba mung
wong sathithik kang gelem, ing mangka manawa dheweke padha
gelem anindhakake barang kang didhawuhake mau, yekti becik
tumprap dheweke lan saya anyantosakake teteping atine gumolonging
imane.” (Q.S an-Nisa: 66)10

Menurut Bakri Syahid, penafsiran ayat ini adalah “Dan jika kami
perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu
dari negaramu”. Niscaya mereka tidak mau melakukannya kecuali
sebagian kecil dari mereka melakukan pelajaran yang diberikan
kepada mereka. Tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka
dan lebih menguatkan iman mereka.” (Q.S an-Nisa:66)
Maksud dari bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari negaramu
ialah supaya memerangi orang yang saling memimpin dan kelakuan
ingkar terhadap Tuhan atau hijrah dari tempat yang merdeka
melakukan syari‟at Islam.
b. Penafsiran Prof. Hamka
Sehubungan dengan orang-orang yang hatinya pecah, yang masih
bertahkim kepada thaghut, padahal Rasul telah diutus, dan dia yang
wajib ditaati, bersabdalah Tuhan selanjutnya:
“Dan kalau kiranya kami wajibkan atas mereka, supaya
“Bunuhlah diri kamu atau keluarlah kamu dari kampung kamu”.
Tidaklah akan mereka lakukan kecuali sedikit saja dari mereka.”
(pangkal ayat 66)
Tadi sudah dinyatakan: Demi Tuhan, belum beriman kamu
sebelum taat kepada Rasul dan ridha menerima hukumannya. Bahkan

10
Bakri Syahid, al-Huda Tafsir Qur`an Baha Jawi, (Yogyakarta: PT. Bagus Arafah,
1987), cet.Ke-V, hal. 149
90

kalau masih ada agak sedikit pun rasa sanggahan dalam hati, meskipu
tidak dinyatakan, masihlah Iman itu belum sempurna. Maka untuk
menguji sudahkah beriman kepada Allah dan taat kepada Rasul benar-
benar telah memenuhi jiwa! Perintah Tuhan akan datang. Bunuhlah
diri kamu! Siapkah kamu untuk mati? Atau keluarlah dari negerimu,
tinggalkan kampung halaman untuk berjuang dan tanda taat setia
kepada Rasul. Sudahkah kamu bersedia? Niscaya maksud ayat ini
bukan membunuh diri, karena memang sudah diharamkan.
Tetapi kalau disuruh pergi ke medan perang, bukanlah itu
menghadang maut? Mati ialah perceraian badan dengan.
Meninggalkan kampung halaman, ialah perceraian badan dengan yang
dicintai. Sudahkah kamu bersedia? Tuhan menjelaskan habwa hanya
sedikit yang suka, dan banyak yang ragu-ragu. Sebab mereka hanya
mau taat kalau tidak akan memberatkan. Inilah tanda-tanda dari
Nifaq11, dari jiwa yang belah! Padahal:
“Dan kalau mereka kerjakan apa yang diajarkan kepada
mereka,” di antaranya bersedia mati kalau datang perintah, bersedia
hijrah kalau datang ajakan Rasul, tanda ketaatan yang tidak ada
keraguan lagi.
“Niscaya itulah yang terlebih baik bagi mereka dan itulah yang
terlebih tepat.” (Ujung ayat 66).
Artinya, kalau jiwa tidak ragu-ragu lagi, disuruh mati sedia mati,
disuruh hijrah sedia hijrah, namun kalau belum mati kata Tuhan,
tidaklah akan mati. Orang yang telah bersedia mati karena
menegakkan ketaatan kepada Allah dan Rasul, akan mati hanya sekali
jua, kini mati seakan mati. Orang yang hijrah, akan meninggalkan

11
Nifaq ialah menampakkan ke Islaman dan kebaikan tetapi menyembunyikan
kekufuran dan kejahatan.
91

kampung halaman karena ada tujuan suci yang dituju, akan mendapat
pribadi yang lebih teguh dan kokoh. Orang ini akan memperoleh
kegembiraan hidup lahir dna batin, sebab jelas apa yang
diperjuangkan. Nilai hidupnya ditentukan oleh kemuliaan cita-cita-
nya. tidak ada lagi suatu cita pun di dalam hidup ini, yang lebih mulia
daripada menunjukkan taat setia kepada Allah dan Rasul. Adapun
sikap yang ragu-ragu, dari pada pergi surut yang lebih, adalah
meremuk-redamkan jiwa sendiri, atau meruntuhkan mutu diri.
“Maukah engkau mati untuk agama Allah?” - Dengan tidak ragu
dai menjawab: “Mau!”
“Maukah engkau meninggalkan kampung halaman, sengsara,
terasingkan?” – Dia menjawab dengan tidak ragu-ragu: “Mau!”
Maka tuhan pun tidak ragu-ragu, bahkan Tuhan tidak pernah ragu
di dalam memberikan janji.12

c. Persamaan dan perbedaan Tafsir al-Huda dan Tafsir al-Azhar


Menurut Bakri Syahid pada ayat ini, apabila kami memerintahkan
kepada mereka, bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari negaramu,
niscaya mereka tidak akan melakukan itu kecuali sebagian kecil dari
mereka yang melakukan pelajaran atas apa yang diberikan kepada
mereka. Tidak lain dari maksud bunuhlah dirimu atau keluarlah dari
negramu ialah supaya memerangi orang yang saling memimpin dan
kelakuan ingkar terhadap Tuhan, atau hijrah dari tempat yang merdeka
melakukan syari‟at Islam.
Menurut penafsiran Prof. Hamka, belum beriman seseorang
sebelum taat kepada Rasul dan ridha menerima hukumannya. Bahkan

12
Prof. Hamka, Tafsir Al-Azhar juz V , (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), cet. Ke-2,
hal. 190-192
92

Allah memerintahkan untuk menguji ke Imanan seseorang dengan


membunuh dirinya, atau keluar dari negerinya, tinggalkan kampung
halaman untuk berjuang. Namun, maksud dari membunuh dirinya
adalah pergi ke medan perang, yang sudah pasti itu menghadang maut.
Dan mereka mengerjakan apa yang sudah di ajarkan kepada
mereka, seperti bersedia mati jika datang perindah, dan bersedia hijrah
kalau datang ajakan Rasul. Sesungguhnya apabila mereka benar-benar
tidak ada keraguan dalam dirinya, orang itu akan memperoleh
kegembiraan hidup lahir dan batin.
Persamaan kedua tafsir di atas adalah sama-sama membahas
kesamaan level terbunuh dan terusir. Hanya saja, pada Tafsir Al-Azhar
lebih rinci lagi dalam menjelaskan tingkat ke Imanan seseorang, dan
bagaimana kedudukan seseorang yang tidak ada lagi keragu-raguan
dalam Imannya. Sudah pasti apabila pembaca membaca penafsiran
dari kedua tafsir tersebut, Tafsir al-Azharlah yang lebih memberikan
banyak pemahaman akan penafsiran ayat diatas.

4. Menyamakan level keterusiran seseorang dari negaranya dengan


pembunuhan

           

         

          

        

            
93

             


“dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak
akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan
mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian
kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.” (Q.S
Al-Baqarah: 84)
“kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan
mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu
membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi
jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, Padahal
mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada
sebahagian Al kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?
Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka
dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa
yang kamu perbuat.” (Q.S Al-Baqarah: 85)

a. Penafsiran Bakri Syahid dalam Tafsir Al-Huda


“Lan padha elinga nalika Ingsun mundhut perjanjian kang
dikukuhake marang wong Bani Israil, yaiku: sira aja padha ngilekake
gethira, lan aja padha nundhung awakira saka negaranira”. Sira
banjur padha sanggem lan nyekseni.” (Q.S al-Baqarah: 84)
Bakri Syahid menafsirkannya sebagai berikut: “Dan ingatlah,
ketika kami mengambil janji dari Bani Israil: kamu tidak akan
menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan jangan mengusir
dirimu (saudara sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu
berikrar (akan memenuhinya) dan kamu mempersaksikannya.”

“Nuli sira wong Bani Israil padha pepaten ing kalanganira


dhewe, lan sira padha nudhung sagolongan saka kancasira saka
Negarane. Sira padha dene golek bantuan konco perlu nandukake
laku dosa lan mamungsuhan ketujokake marang dheweke mau.
Ewadene yen ana boyongan teka marang sira, banjur sira padha
nebusi, ing mangka sira, banjur sira padha dilarang nundhung wong
94

mau. Yen mengkono tetela sira iku padha iman marang saperangan
kitabing Allah, lan padha kafir marang saparangan liyane? Ing
mangka ora ono piwalese wong kang nindakake mangkono iku saka
sira kabeh kajaba mung padha digawe asor ing panguripan donya,
serta besuk dina Kiyamat bakal padha digiring marang siksa Neraka
kang abot banget. Allah ora pisan-pisan supe ing samubarang kang
padha sira tindakake.” (Q.S al-Baqarah: 85)13

Selanjutnya penafsirannya pada ayat ini ialah: “Kemudian kamu


Bani Israil membunuh saudara sendiri dan mengusir segolongan
daripada kamu dari Negaranya, kamu bantu membantu terhadap
mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka
datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal
mengusir mereka juga terlarang bagimu. Apakah kamu beriman
kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian
yang lain? Maka tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian
daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada
hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa Neraka yang sangat
berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
Menurut beliau, Asbabun Nuzul dari ayat tersebut adalah: Kaum
Aus bermusuhan dengan Kaum Khazraj. Yahudi Madinah yang
awalnya hijrah dari Bani Quraizhah bersekutu dengan Kaum Aus.
Lalu, Yahudi Bani Nadhir bersekutu dengan Kaum Khazraj, karena
keduanya sama-sama bersekutu dengan Yahudi, peperangan dan
tawan-menawan, pada akhirnya sama-sama nebus tawanan.

b. Penafsiran Prof. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar


Dibuka lagi suatu pemungkiran janji dari Bani Israil, yaitu janji
mereka dengan Tuhan sebagai pelaksanaan dari janji yang tersebut

13
Bakri Syahid, al-Huda Tafsir Qur`an Baha Jawi, (Yogyakarta: PT. Bagus Arafah,
1987), cet.Ke-V, hal.36
95

tadi. Janji hidup rukun sekeluarga dan sekaum. Kalau terjadi selisih
hendaklah diselesaikna dan didamaikan dengan baik:
“Dan ingatlah, tatkala kami perbuat perjanjian dengan kamu
(yaitu): tidak boleh kamu menumpahkan darah kamu (membunuh
orang).” (pangkal ayat 84).
Demikian padatnya janji itu, sehingga jika ada darah tertumpah
karena aniaya, tidak lain adalah darah kamu juga. Darah saudaramu
adalah darah kamu sendiri, tidak boleh kamu tumpahkan, tidak boleh
kamu bunuh. “dan tidak boleh kamu mengeluarkan diri-diri kamu dari
kampung halaman kamu.” Jika timbul sengketa dan permusuhan,
sehingga ada anak saudaramu yang kamu usir, itu adalah diri kamu
sendiri juga. Demikianlah janji yang telah mereka ikat dengan
sepengetahuan kesaksian Tuhan sendiri: “Kemudian telah ikrar
kamu.” Artinya janji itu telah kamu ikrarkan akan dipegang teguh-
teguh tidak akan diubah-ubah lagi. “dan kamupun menyaksikan.”
(ujung ayat 84). Artinya pemuka-pemuka yang ada wktu itu turut
menyaksikan ketika janji diperbuat.
Untuk mengetahui bunyi perjanjian-perjanjian itu, pokok dan
uraiannya bertemu di dalam Kitab Perjanjian Lama yang bernama
Kitab Ulangan. Seluruh isi perjanjian itu ada termaktub di dalamnya.
Terutama peringatan-peringatan agar mereka sesama mereka hidup
bersatu dan berdamai, agar kuat mereka menghadapi musuh-musuh
pada negeri yang akan mereka diami sesudah keluar dari Mesir itu.
Janji termaktub dalam kitab mereka, tetapi sebagai janji yang di
atas tadi juga. Termaktub dalam kitab, mereka akui kebenarannya,
tetapi mereka langgar semena-mena; ini dijelaskan dalam ayat
selanjutnya: “Kemudian itu kamu, merekapun.” (pangkal ayat 85).
Artinya di antara golongan mereka yang telah berpecah-belah dan
96

bermusuhan. “Kamu bunuh diri-diri kamu dan kamu keluarkan


sebagian dari pada kamu dari kamoung halaman mereka.” Inilah
yang menjadi kenyataan di antara Bani Israil sendiri di jaman
Rasulullah di negeri Madinah itu.
Bani Qainuqa‟ Yahudi membuat perjanjian persahabatan dengan
suku Aus dari Arab Madinah. Bani Quraizhah membuat pula
perjanjian persahabatan dengan suku Khazraj.bani Nadhir akhirnya
mengikat persahabatan pula dengan suku Khazraj.
Oleh karena di antara Aus dengan Khazraj di jaman jahiliyah
bermusuhan, sampai berperang-perangan, maka pihak Yahudi yang
berpecah itu mengambil persahabatan dengan masing-masing pihak
untuk menghantam lawannya. Setelah agama Islam datang, Aus dan
Khazraj bersatu kembali di bawah pimpinan Rasulullah, namun Bani
Israil berpecah, setelah di jakam jahiliyah itu pernah terjadi
peperangan, maka terjadilah tawan-menawan, dan terjadi pengusiran
dari kampung halaman. Terjadilah bunuh-membunuh sesama
keturunan, itu sebab di sebut kamu bunuh diri kamu; karena
membunuh teman sedarah sama dengan membunuh diri sendiri.
“Berbantu-bantuan kamu atas mencelakakan mereka dengan dosa
dan permusuhan.” Maka kalau orang lain berbantu-bantuan pula,
tetapi atas dosa dan permusuhan. Maka janji yang telah kamu ikrarkan
di muka Allah dengan penuh kesaksian itu telah kamu injak-injak
sendiri. “Padahal jika mereka datang kepada kamu sebagai orang-
orang tawanan, kamu tebus mereka.” Setelah terjadi peperangan Bani
Quraizhah dan Bani Qainuqa‟ yang kedua belah pihaknya bersekutu
dengan kabilah Arab yang bermushuan pula, yaitu Aus dan Khazraj,
kalau ada orang Bani Israil tertawan oleh pihak Arab, segera kamu
tebus mereka dari dalam tawanan. Jika ditanya mengapa ditebus?
97

Kamu jawab, tidaklah pantas seorang keturunan Bani Israil menjadi


tawanan. Sebab yang demikian itu sangat hina dalam pandangan
Taurat. Itulah maksud ayat: “Padahal telah diharamkan atas kamu
mengeluarkan mereka.” Artinya, mengapa dalam hal menebus mereka
dari tawanan itukamukembali memagang isi Taurat? Padahal
mengeluarkan mereka dari kampung halaman mereka dan memerangi
merekapun diharamkan atas kamu oleh Kitab Taurat itu juga? Seketika
menebus kamu berpegang teguh pada taurat, tetapi sebab-sebab
mengapa mereka tertawan, yaitu perpecahan di antara kamu tidak
kamu ingat. Hendaknya tutuplah pangkal perpecahan sesama sendiri
ini sejak bermula, jangan hanya di ujung saja memegang Taurat,
sedang di pangkal telah bocor. “Apakah kamu mempercayai sebagian
Kitab dan kamu kafir dengan yang sebagian (lagi)?”
Kamu tebus saudaramu dari tawanan, karena beriman kepada
sebagian dari pada isi kitab; sedang yang sebagian lagi, yaitu supaya
jangan bunuh-membunuh dan usir-mengusir tidak kamu jalankan.
Kemudian dijelaskan tuhanlah akibat kecelakaan bagi mereka karena
memegang isi kitab dengan timpang itu: “Maka tidaklah ada ganjaran
bagi orang-orang yang berbuat demikian dari pada kamu, melaikan
kehinaan dalam kehidupan di dunia ini.” Sebab isi kitab tidak lagi
kamu pegang dengan sungguh-sungguh dan janji dengan Tuhan telah
kamu pemurah-murah. Kehinaan akan menimpa kamu di dunia ini,
sebab kesatuanmu telah pecah. Tuhan mempunyai undang-undang
sendiri terhadap pergaulan manusia di dunia ini. Masyarakat yang
sudah seperti demikian tidak diharap akan dapat mengangkat muka
lagi. Mereka akan jatuh hina. Dan dalam masa sepuluh tahun Nabi kita
s.a.w. di Madinah, memang satu demi satu hancur kekuatan Bani Israil
itu karena salah mereka sendiri. Yang sedianya tidak akan kejadian
98

kalau bukan kerusakan-kerusakan jiwa di kalangan mereka. “Dan


pada hari kiamat akan dikembalikan mereka kepada sesangat-sangat
azab.” Karena segala janji dimungkiri, kitab Suci diubah-ubah,
perintahNya tidak dijalankan dan di antara sesama sendiri bermusuh-
musuhan. “Dan tidaklah Allah lengah dari pada apa yang kamu
kerjakan.” (ujung ayat 85).
Peringatah di ujung ayat ini adalah bayangan dari Tuhan terhadap
mereka tentang nasib yang akan mereka terima lantaran segala
kesalahan itu. Bani Nadhir kesudahannya diusir habis (Surat al-Hasyr),
Bani Quraizhah disapu bersih (Surat al-Ahzab), karena menghianati
janji dengan Rasulullah, dan benteng Khaibar dimusnahkan.14

c. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran


Menurut penafsiran Bakri Syahid, ayat ini mengingatkan ketika
kami mengambil janji dari Bani Israil bahwa kamu tidak akan
membunuh orang, jangan mengusir saudara sebangsa dari kampung
halaman, dan kamu berjanji akan memenuhinya, serta kamu
menjadikannya saksi. Namun kemudian Bani Israil membunuh dan
mengusir saudaranya sendiri, dan membuat mereka menjadi
bermusuhan. Seperti Kaum Aus bermusuhan dengan Kaum Khazraj,
Bani Quraizhah bersekutu dengan Kaum Aus, Bani Nadhir bersekutu
dengan Kaum Khazraj.
Tapi jika mereka datang kepada Bani Israil sebagai tawanan,
maka akan ditebuslah mereka, padahal mengusir mereka juga terlarang
bagi Bani Israil. Ini lah bukti bahwa Bani Israil ingkar terhadap janji-
janjinya, yang mana tiadalah balasan bagi orang yang ingkar,

14
Prof. Hamka, Tafsir Al-Azhar juz I, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), cet. Ke-2,
hal. 304-308
99

melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat


Bani Israil akan dikembalikan kepada siksa Neraka yang sangat berat.
Sedangkan pada penafsiran Prof. Hamka selalu lebih mendetail
dalam menafsirkannya. Menurut penafsirannya, jika ada darah yang
tumpah karena aniaya, tidak lain adalah darah Bani Israil juga, karena
darah saudaramu adalah darahmu juga yang tidak boleh kamu
tumpahkan, dan tidak boleh kamu bunuh. Apabila timbul sengekta dan
perselisihan, maka itu juga Bani Israil sendiri, itulah janji yang telah
mereka ikat dengan kesaksian Tuhan sendiri. Adapun isi dari
perjanjian-perjanjian itu, ada dalam Kitab Perjanjian Lama yang
bernama Kitab Ulangan. Namun kemudian mereka mengingkari janji-
janjinya, sehingga golongan mereka berpecah belah dan bermusuhan.
Pada kedua penafsiran di atas, sama-sama menjelaskan mengenai
Bani Israil yang ingkar terhadap janji-janjinya, sehingga golongannya
menjadi terpecah belah. Namun pada Tafsir Al-Huda tidak dijelaskan
secara jelas bagaimana golongan Bani Israil menjadi berpecah belah,
sedangkan pada Tafsir Al-Azhar dijelaskan secara rinci.

5. Jangan membuat kerusakan

           
“dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di
muka bumi[24]". mereka menjawab: "Sesungguhnya Kami orang-orang yang
Mengadakan perbaikan." (Q.S Al-Baqarah: 11)

a. Penafsiran Bakri Syahid dalam Tafsir Al-Huda


“Ing nalika wong mau didhawuhi: ,,Sira aja padha agawe rusak*
ana ing Bumi”, atur wangsulane wong-wong mau: ,,Sanyata aku
kabeh iku padha tumindak kabecikan!”15

15
Bakri Syahid, al-Huda Tafsir Qur`an Baha Jawi, (Yogyakarta: PT. Bagus Arafah,
1987), cet.Ke-V, hal. 21
100

Menurut penafsiran Bakri Syahid, “dan ketika orang tersebut di


nasehati, kamu sekalian jangan membuat kerusakan di muka bumi,
lalu mereka menjawab: jelas, saya sekalian selalu berbuat kebaikan.”
Yang dimaksud jangan membuat kerusakan adalah jangan
merusak ajaran agama, yang fungsinya sebagai unsur pembangunan
bangsa dan karakter bangsa itu kewajiban bagi pemerintah dan
masyarakat, harus berjalan bersama, harus dijaga, dan dibina dengan
baik. Jangan sampai ada sikap jiwa menyepelekan ajaran agama,
seperti yang tersebut pada ayat diatas.

b. Penafsiran Prof. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar


“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu
berbuat kerusakan di bumi”, mereka jawab: “Tidak lain kerja kami,
hanyalah berbuat kebaikan.” (ayat 11)

Dengan lempar batu sembunyi tangan mereka berusaha


menghalang-halangi perbaikan, pembangunan rohani dan jasmani
yang sedang dijalankan Rasul dan orang-orang yang beriman. Hati
mereka sakit melihatnya, lalu mereka buat sikap lain secara sembunyi
untuk menentang perbaikan itu. Kalau ditegur secara baik, jangan
begitu, mereka jawab bahwa maksud mereka adalah baik. Mereka
mencari jalan perbaikan atau jalan damai. Lidah yang tak bertulang
pandai saja menyusun kata yang elok-elok bunyinya padahal kosong
isinya.16

c. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran

16
Prof. Hamka, Tafsir Al-Azhar juz I, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), cet. Ke-2,
hal. 187
101

Melihat penafsiran Bakri Syahid di atas, ketika mereka di nasehati


agar jangan membuatkerusakan di muka bumi, mereka menjawab
dengan jawaban yang bohong, yang sebenarnya hanya menyepelekan
ajaran agama.
Seperti halnya pada penafsiran Prof. Hamka, ketika mereka
dinasehati, mereka justru melempar batu sembunyi tangan. Mereka
pandai menyusun kata yang baik-baik padahal hasil atau isinya
kosong.
Pada ayat ini, kedua tafsir tersebut sama-sama membahas tentang
larangan membuat kerusakan dimuka bumi. Keduanya hanya
menjelaskan penafsirannya secara singkat, begitu juga penafsiran
Prof. Hamka, tidak sedetail ayat-ayat sebelumnya. Namun begitu,
penafsiran Prof. Hamka menggunakan permainan bahasa yang halus.

6. Doa Nabi Ibrahim a.s.

            

             

     


“Dan ingatlah, tatkala berkata Ibrahim: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini,
negeri yang aman, dan karuniakanlah kepada penduduknya dari berbagai
buah-buahan, (yaitu) barang siapa yang beriman diantara mereka kepada
Allah dan hari kemudian. Berfirman Dia: “Dan orang-orang yang kafirpun
aku beri kenangan untuk dia sementara, kemudian akan Kami helakan dia
kepada siksaan neraka, yaitu seburuk-buruk tujuan.” (Q.S al-Baqarah: 126)

a. Penafsiran Bakri Syahid dalam Tafsir Al-Huda


“Lan nalika Nabi Ibrahim munjuk nenuwun: “Dhuh Pangeran
kawula, mugi paduka karsa andadosaken Nagari punika Nagari
ingkang tata-tentrem, saha mugi tansah paring sawarnining woh-
102

wohan dhumateng tetiyang ing negeriku sintena kemawon ingkang


iman dhumateng Allah lan dinten Akhir”. Dhawuhe Allah: “Lan sapa
bae kang kafir, ingsun bakal paring kaseneng sethithik, tumuli Ingsun
bakal meksa ing dheweke marang siksa Neraka, yaiku ala-alaning
panggonan ngungsi.” (Q.S al-Baqarah: 126)17
Pada ayat ini, Bakri Syahid juga menafsirkannya sebagai berikut:
“Dan ketika Nabi Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini,
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizqi dari buah-buahan
kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan
hari Akhir”. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafir pun aku
beri kesenangan sedikit, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka
dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”

b. Penafsiran Prof. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar


“Dan ingatlah, tatkala berkata Ibrahim: “Ya Tuhanku, jadikanlah
negeri ini, negeri yang aman.” (pangkal ayat 126). Dimohonkan oleh
Ibrahim a.s., hendaknya negeri itu tetap aman sentosa selama-
lamanya, sehingga tenteramlah jiwa orang-orang yang melakukan
ibadat bertawaf dan beri‟tikaf, sembahyang dengan ruku‟ dan
sujudnya. Menurut peraturan sembahyang yang ada pada masa itu
“Dan karuniakanlah pada penduduknya dari berbagai buah-
buahan.” Oleh karena wadi (lembah) itu amat kering tidak ada
sesuatu yang dapat tumbuh di dalamnya, dimohonkan pula oleh Nabi
Ibrahim a.s. agar penduduk lembah itu jangan sampai kekurangan
makanan, supaya hati merekapun tidak bosan tinggal disana menjaga
peribadatan yang suci mulia itu. Tetapi Nabi Ibrahim a.s. memberi
alasan permohonannya: “Yaitu barang siapa yang beriman di antara
mereka itu kepada Allah dan hari Kemudian.” Sebagai seorang

17
Bakri Syahid, al-Huda Tafsir Qur`an Baha Jawi, (Yogyakarta: PT. Bagus Arafah,
1987), cet.Ke-V, hal. 44
103

hamba Allah yang patuh, Nabi Ibrahim a.s. memohonkan agar yang
diberi makanan cukup dan buah-buahan yang segar ialah yang
beriman kepada Allah saja. Tetapi Tuhan Allah menjawab: “Dan
orang-orang yang kafirpun, akan aku beri kesenangan untuk dia
sementara.” Dengan penjawaban ini Tuhan Allah telah memberikan
penjelasan, bahwasannya dalam soal makanan atau buah-buahan,
Tuhan Allah akan berlaku adil juga. Semuanya akan diberi makanan.
Semuanya akan diberi buah-buahan, baik mereka beriman kepada
Allah dan hari Akhirat, ataupun mereka kufur. Oleh sebab itu maka
dalam urusan dunia ini, orang beriman dan orang kafir akan sama-
sama diberi makan. Beratus tahun Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail
a.s. wafat, telah banyak penduduk di dalam lembah Makkah itu yang
menyembah berhala namun makanan dan buah-buahan mereka dapat
juga. Sebab demikianlah keadilan Allah dalam kehidupan ini:
“Kemudian akan kami tarikkan dia kepada siksaan neraka (yaitu)
seburuk-buruk tujuan.” (ujung ayat 126).
Di dunia mendapat bagian yang sama di antara Mukmin dan kafir.
Malahan kadang-kadang rezeki yang diberikan kepada kafir lebih
banyak dari pada yang diberikan kepada orang yang beriman. Tetapi
banyak atau sedikit pemberian Allah di atas dunia ini, dalam soal
kebendaan belumlah boleh dijadikan ukuran. Nanti di akhirat baru
akan diperhitungkan di antara iman dan kufur. Yang kufur kepada
Allah, habislah reaksinya sehingga hidup ini saja. Ujian akan di
adakan lagi di akhirat. Betapapun kaya-raya banyaknya tanamn-
tanaman, buah-buahan di dunia ini, tidak akan ada lagi setelah
gerbang maut dimasuki. Orang yang kaya kebendaan tetapi miskin
jiwa, gersang dan sunyi dari pada iman, adalah neraka yang menjadi
tempatnya.
104

Semuanya itu disuruh-ingatkan kembali kepada kaum musyrikin


Arab, supaya mereka kenangkan bahwasannya kedudukan yang aman
sentosa di negeri Mekkah itu adalah atas kehendak dari karunia
Tuhan, yang disuruh laksanakan kepada kedua RasulNya, Ibrahim a.s.
dan Ismail a.s., yaitu nenek-moyang mereka. Negeri itu telah mereka
dapati aman, buah-buahan da sayur-sayuran diangkut orang dari
negeri-negeri di luar Mekkah, dari Thaif ataupun lembah-lembah
yang lain. Diperingatkan kepada mereka asal mula segala kejadian
itu, yaitu supaya mereka menyembah Allah Yang Maha Esa, bersih
dari pada berhala dan segala macam kemusyrikan. Sudah mereka
dapati sentosa, makmur dan subur, tempat kediaman mereka menjadi
pusat peribadatan seluruh manusia sejak zaman purbakala, telah
beratus beribu-tahun.18

c. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran


Pada penafsiran Bakri Syahid, ayat ini merupakan doa dari Nabi
Ibrahim, isinya meminta agar negerinya dijadikan negeri yang aman
sentosa, serta diberikan rizqi dari buah-buahan keoada penduduknya
yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, namun Allah berfirman
bahwa orang kafirpun akan mendapat kesenangan sedikit, yang
kemudian Aku paksa ia menjadi siksa neraka.
Kemudian pada penafsiran Prof. Hamka, Nabi Ibrahim berdoa
untuk negerinya agar tetap aman sentosa selama-lamanya, sehingga
tentramlah jiwa orang-orang yang melakukan ibadah tawaf dan
beri‟tikaf, sembahyang dengan ruku‟ dan sujudnya. Kemudian
didoakan juga oleh Nabi Ibrahim agar penduduk lembah jangan

18
Prof. Hamka, Tafsir Al-Azhar juz I, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), cet. Ke-2,
hal. 387-388
105

sampai kekurangan makanan, agar betah tinggal disana dan menjaga


peribadatan yang suci mulia itu. Tetapi Nabi Ibrahim juga memberi
alasan permohonannya juga, yaitu agar hanya orang-orang yang
beriman saja. Namun Allah menjawab, bahwa dalam soal makanan
dan buah-buahan Allah bersikap adil, baik kepada mereka yang
beriman ataupun yang kufur. Nanti ketika di Akhirat baru akan
diperhitungkan anatara Iman dan Kufur.
Dua penafsiran ayat ini sama-sama membahas doa yang di
panjatkan Nabi Ibrahim kepada Allah untuk negerinya. Hanya saja
pada penafsiran Prof. Hamka lebih mendetail dalam menceritakan
bagimana Nabi Ibrahim berdoa dan kemudian Allah berfirman,
sedangkan penafsiran Bakri Syahid sangatlah ringkas. Tentu ketika
pembaca membandingakan dengan membaca dua penafsiran ini, akan
lebih menghanyutkan ketika pembaca penafsiran dari Prof. Hamka.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Cinta tanah air adalah salah satu dari hal yang sangat alami bagi
manusia. Pembawaan manusia adalah mencintai tempat dimana mereka
tumbuh di dalamnya.
Berdasarkan uraian bab-bab sebelumnya, penelitian ini dapat
disimpulkan ke dalam beberapa poin, sebagai berikut:
Pertama, cinta tanah air di dalam al-Qur`an ialah terjemahan tanah
air secara luas, bahwa di era globalisasi ini sesungguhnya tanah air itu
adalah alam semesta secara keseluruhan. Yang diistilahkannya sebagai al-
muwathanah al-alamiyyah (tanah air alam semesta). Maksudnya adalah
kewajiban menjaga dan mencintai alam semesta yang harus dimiliki oleh
setiap muslim. Oleh karena itu, setiap muslim dilarang merusak alam
semesta (wala tufsidu fil ardhi ba’da ishlahiha: jangan merusak bumi
setelah perbaikannya). Pemahaman terbaliknya adalah bahwa setiap
muslim harus mencintai dan melestarikan alam semesta. Atas dasar qiyas
awlawi, maka setiap muslim seharusnya lebih mencintai tanah air
tempatnya dilahirkan, dibesarkan, dan hidup. Lebih gampangnya begini:
kepada alam semesta saja muslim wajib mencintainya, apalagi kepada
tanah air tempatnya lahir dan tumbuh.
Kedua, cinta tanah air menurut penafsiran Bakri Syahid adalah
jangan merusak ajaran agama, yang fungsinya sebagai unsur
pembangunan bangsa dan karakter bangsa itu kewajiban bagi pemerintah
dan masyarakat, harus berjalan bersama, harus dijaga, dan dibina dengan
baik. Jangan sampai ada sikap jiwa menyepelekan ajaran agama.
Ketiga, cinta tanah air penafsiran Prof. Hamka adalah belum beriman
seseorang sebelum taat kepada Rasul dan ridha menerima hukumannya.

108
109

Bahkan Allah memerintahkan untuk menguji ke Imanan seseorang dengan


membunuh dirinya, atau keluar dari negerinya, tinggalkan kampung
halaman untuk berjuang. Namun, maksud dari membunuh dirinya adalah
pergi ke medan perang, yang sudah pasti itu menghadang maut. Dan
mereka mengerjakan apa yang sudah di ajarkan kepada mereka, seperti
bersedia mati jika datang perindah, dan bersedia hijrah kalau datang
ajakan Rasul. Karena sesungguhnya meninggalkan kampung halaman
adalah satu hal yang sangat sulit untuk dilakukan, karena harus
meninggalkan badan dengan yang dicintai.
Perbedaan yang ada antara Tafsir Al-Huda dan Tafsir Al-Azhar
adalah, pada Tafsir Al-Huda penafsiran setiap ayatnya lebih sedikit dari
pada Tafsir Al-Azhar, karena pada dasarnya Tafsir Al-Huda hanya
menafsirkannya melalui catatan kaki, dan tidak semua ayat beliau
tafsirkan, sehingga tentu lebih sedikit penafsirannya daripada Tafsir Al-
Azhar yang sangat detail menceritakan setiap kejadiannya, bahkan
dikaitkan dengan kehidupan sekarang sehingga untuk pembaca yang
membaca Tafsir Al-Azhar akan lebih mudah memahami penafsiran yang
di maksud dan menjadikan Al-Qur`an sebagai pedoman sepanjang masa.
Dalam hal ini Tafsir Al-Huda menggunakan metode Mushafi, yang mana
cara menafsirkan Al-Qur`an dengan mengemukakan makna global
(mujmal), dan untuk Tafsir Al-Azhar sendiri menggunkan metode tahlili.
Sedangkan persamaan pada kedua penafsir ini ialah, mereka sama-sama
menjelaskan ayat-ayat yang terikat cinta tanah air, juga sama-sama
menggunakan corak bi al-Ra’yi.
B. Saran
Sebagai akhir dari pembahasan skripsi ini, penulis memberikan saran-
saran. Semoga melalui saran sederhana ini bisa menjadikan manfaat dan
masukan untuk kita semua
110

Meski penafsiran cinta tanah air tidak diperlihatkan secara langsung,


namun ayat-ayat diatas sudah dapat membuktikan bahwa rasa cinta tanah
air sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad s.a.w. yang mungkin sampai
saat ini jarang sekali orang ketahui. Oleh karenaitu, setidaknya skripsi ini
bisa menjadi wawasan baru untuk para pembaca sekalian. Sehingga tidak
termakan opini-opini bohong di media sosial.
Perbedaan penafsiran dan pemahaman ayat Al-Qur`an merupakan
suatu keniscayaan yang tidak dapat terelakkan. Oleh karena itu, penulis
berharap penelitian sederhana ini mampu menghadirkan pemahaman yang
lebih bijak dalam memahami berbagai pendapat yang ada pada
pendakwah masa kini. Bukan untuk memecah belah umat, namun untuk
saling memberi tahu dan mengingatkan satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA

A, Michael Riff, Kamus Ideologi Politik Modern, terj. M. Miftahuddin dan


Hertian Silawati, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995

Ali, Lukman, DKK, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1994

Amir, Mafri, Literatur Tafsir di Indonesia, Banten: Madzhab Ciputat, 2013

Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme,


Modernisme, hinggaPost-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996

Depdikbud, Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan Ir. H. Soekarno dan


KH. Ahmad Dahlan, Jakarta: CV Ilham Bangun Karya, 1999

Hakim, Luqman, Tafsir Ayat-ayat Nasionalisme dalam Tafsir al-Ibriz karya


KH Bisri Mustofa, Thesis, IAIN Walisongo, 2014

Hamid, Abdul Al-Ghazali, Peta Pemikiran Hasan Al-Banna: Meretas Jalan


Kebangkitan Islam, Solo: Era Intermedia, 2001

Hamka, Falsafah Hidup, Jakarta: Republik Penerbit, 2015

Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Jakarta: Bulan Bintang, 1979

Hamka, Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjiman, 1982

Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2007

112
113

Haris, Yosaphat Nusarastriya. Sejarah Nasionalisme Dunia Dan Indonesia,


tt.p.:t.p.,t.t

Harjono, Anwar, Pemikiran dan Perjuangan M. Natsir, dalam Tarmid zi


Taher, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996

Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslim, buku 1, Solo:Era


Intermedia, 2002

Hasan, Ali, al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tadsir, Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada, 1994

http://journal2.um.ac.id/index.php/jppk diakses tanggal 10 Mei 2018 pukul


15:37

http://www.muhammadiyah.or.id/sejarah-muhammadiyah.html tanggal 30
mei 2018 jam 23:52

http://www.muslimedianews.com/2015/02/nasehat-sang-kyai-untuk-felix-
siauw.html diakses tanggal 10 juli 2018 pukul 13:24

https://bahrusshofa.blogspot.com/2011/12/nur-muhammad-mulla-ali-al-
qari.html?m=1 diaskes pada tanggal 12 September 2018 pukul 16:58

https://belanegarari.com/2016/03/23/pengertian-rasa-cinta-tanah-air/#more-
2598 diakses tanggal 26 Mei 2018 pukul 11:32

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Negara_Islam_Irak_dan_Syam. di akses
tanggal 28 Mei 2018 pukul 15:53

https://resistensia.org/religi/dalil-nasionalisme-dalam-al-quran-dansunnah/ di
akses tanggal 12 Juli 2018 pukul 22:55

Islami.co/rasulullah-juga-cinta-tanah-air/ diakses 03 juni 2018 pukul16:26


114

Islamnusantara.com/belajar-cinta-tanah-air-dari-nabi-muhammad/ diakses 28
mei 2018 pukul 16:14

Ismail, Said Ali, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, Jakarta:


Pustaka Al-Kautsar, 2010

Qorib, Ahmad, MA, Ushul Fiqh 2, Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997

Quraish, M. Shihab, Membumikan al-Qur`an, Bandung: Mizan, 1992

Quraish, M. Shihab, Quraish Shihab Menjawab, Jakarta:Penerbit Lentera


Hati,2009

Quraish, M Shihab, Wawasan Al-Qur`an,Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007

M, Ira Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 1999
M, Muchlis Hanafi, Moderasi Islam, Ciputat: pusat Studi Al-Quran, 2013

Mahmud, Muhammad al-Hijazi, Tafsir al-Wadlih, Beirut: Dar al-Jil al-Jadid,


1413 H

majelissholawatbontang.org/detailpost/cinta-tanah-air-dalam-tinjauan-ulama
diakses tanggal 10 Mei 2018

Marlinta, Lia, Pelaksanaan Pendidikan Karakter Cinta Tanah Air Pada


Resimen Mahasiswa Unnes, Skripsi: Unnes, 2013

Masykur, Ali Musa, Membumikan Islam Nusantara, Jakart: PT Serambi


Ilmu Semesta, 2014
115

Muhaimin, Akhmad Azzel, Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia,


Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011

Muhammad, Abu ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Idris bin Mundzir at


Tamimiy al Handzaliy ar Razi bin Abi Hatim, Tafsir Al-Qur`anul
‘Adzim liabni Abi Hatim, Kerajaan Arab Saudi: Perpustakaan Nizar
Mustafa el Baz

Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-dhahak, Sunan At-Tirmidzi,
Abu Isa, Sunan At-Tirmidzi, Bairut: Dar Ghorib al-Islami, 1998 M

Muhammad bin ‘Ismail abu Abdullah al Bukhori al Ju’fi, Shohih Bukhori,


Damaskus: Dar Tuq Al-Najat: 1422 H

Muhsin, Imam, Al-Qur`an dan Budaya Jawa, Yogyakarta: Elsaq Press, 2013

Muslim bin Hajaj Abul Hasan, Ensiklopedi Hadis Muslim, (Bairut: Daar ihya
at-Turats al-‘Arabi, tt

Mutiara, Ita Dewi. Nasionalisme dan Kebangkitan dalam Teropong. Mozaik


Vol.3 No. 3, Juli 2008 ISSN 1907-6126

Nur, Erni Hidayati, Upaya Meningkatkan Cinta Tanah Air , Skripsi: UMP,
2016

Samani, Muchlas dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter,


Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011
Sanusi, Buntaran Nasir Tamara dan Vicent Djauhari, Hamka di Mata Hati
Umat, Jakarta: Sinar Harapan
116

Simandjuntak, Marsillam, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur,


dan Riwayat dalam Persiapan UUD 1945, Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti. 2003

Solihah, Bahiyah, Konsep Cinta Tanah Air Prespektif Ath-ThahThawi dan


Relevansinya dengan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Skripsi UIN
Jakarta, 2015

Syahid, Bakri, Tafsir al-Huda Tafsir Al-Qur`an Bahasa Jawi, Yogyakarta:


Persatuan Perss, 1979

Thalhah, M. Ahmad Hakim, Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka,


Yogyakarta: UII Press, 2005

Taniredja, Tukiran. Konsep Dasar Kewarganegaraan. Yogyakarta: Penerbit


Ombak, 2013

Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional Islam, Jakarta: Cipta Andi Pustaka,


1990

Wahbah Al-Zuhaily, al-Munir fil Aqidah wal Syariah wal Manhaj,


Damaskus: Dar Al-Fikr Al-Mu’ashir, 1418 H

www.academia.edu/7663694/Negara_Kesatuan_Republik_Indonesia_NKRI
_ di akses Tanggal 28September 2018 pukul 11:52

Yatim, Badri, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme, Bandung: Nuansa, 2001

Yunan, M. Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Jakarta:


Penamadani, 2003

Anda mungkin juga menyukai