2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat Allah Ta’ala. atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “SUMBER AJARAN
ISLAM” dapat kami selesaikan dengan baik.Penulis berharap makalah ini dapat menambah
pengetahuan tentang Al Qur’an dan Hadist sebagai sumber ajaran agama Islam.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini. Kepada kedua
orang tua kami yang telah memberikan banyak kontribusi bagi kami, dosen pembimbing
kami, Ibu Siti Alifatur Rohmaniah,S.Si.M.Sc, dan juga kepada teman-teman seperjuangan
yang membantu kami dalam berbagai hal. Harapan kami, informasi dan materi yang terdapat
dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di dunia, melainkan
Allah SWT. Tuhan Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan saran yang
membangun bagi perbaikan makalah kami selanjutnya.
Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau
pun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf.
Tim penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya
makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.
JUDUL........................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN........................................................................................................................3
BAB III.....................................................................................................................................11
PENUTUP................................................................................................................................11
3.1 KESIMPULAN..............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Di zaman dahulu ulama telah mengkaji mempelajari dan mengambil hukum yang bersumber
pada Al Qur’an yang hukum tersebut telah ditetapkan oleh banyak ulama.sebagian Ulama
berpendapat banyak tentang al quran sebagai sumber ajaran islam Berikut ini pandangan Al-
Qur’an sebagai Sumber Hukum menurut Mahzab, sebagai berikut:
Bahkan beliau berpendapat, “tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama
manapun, kecuali petunjuk terdapat didalam Al-qur’an.” (asy-syafi’i, 1309:20) oleh
karena itu Imam Syafi’i senantiasa mencantumkan nash-nash Al-qur’an setiap kali
mengeluarkan pendapatnya. Sesuai metode yang digunakan, yakni deduktif. Namun,
asy-syafi’i menganggap bahwa Al-qur’an tidak bisa dilepaskan dari sunnah. Karena
kaitannya sangat erat sekali. Kalau para ulama lain menganggap bahwa sumber hukum
islam pertama Al-qur’an dan kedua assunnah, maka Imam Syafi’i berpandangan bahwa
Al-qur’an dan sunnah berada pada satu martabat (keduanya wahyu ilahi yang berasal
dari Allah) firman Allah ( surat an-najm : 4), yang artinya: “Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
Sebenarnya, Imam Syafi’i pada beberapa tulisannya yang lain tidak menganggap
bahwa Al-qur’an dan sunnah berada dalam satu martabat (karena dianggap sama-sama
wahyu, yang berasal dari Allah), namun kedudukan sunnah tetap setelah Al-qur’an. Al-
qur’an seluruhnya berbahasa arab. Tapi Asy-syafi’i menganggap bahwa diantara
keduanya terdapat perbedaan cara memperolehnya. Dan menurutnya sunnah merupakan
penjelas bagi keterangan yang bersifat umum yang berada didalam Al-qur’an.
Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan,
perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan,
perbuatan, dan perkataan.
1. Hadits Qauliyah ( ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah SAW, yang diucapkannya
dalam berbagai tujuan dan persuaian (situasi).
2. Hadits Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti pekerjaan
melakukan shalat lima waktu dengan tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan
menunaikan ibadah hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan
sumpah dari pihak penuduh.
3. Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan
oleh Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar
itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik
terhadap perbuatan itu, sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila
seseorang melakukan suatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan
Nabi atau pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan
mampu menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal itu
merupakan pengakuan dari Nabi. Keadaan diamnya Nabi itu dapat dilakukan pada
dua bentuk :
Pertama, Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi.
Dalam hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa siapa pelaku berketerusan melakukan
perbuatan yag pernah dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah
menunjukkan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Dalam bentuk lain, Nabi tidak
mengetahui berketerusannya si pelaku itu melakukan perbuatan yang di benci dan dilarang
itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya.
Kedua, Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula
haramnya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah meniadakan
keberatan untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi
mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesalahan,
sedangkan Nabi terhindar dari kesalahan.
Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum
dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat
dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian fungsi hadits yang utama adalah
untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat An-
Nahl :64
Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar
kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka Hadits
disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan
Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi senagai berikut :
Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata shalat yang masih samar
artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa dipahami secara
umum waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan
dan pebuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam.
Sesudah itu Nabi bersabda :inilah shalat itu, kerjakanlah shalat sebagimana kamu melihat
saya mengerjakan shalat.
Menetapkan suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian kelihatan bahwa Hadits menetapkan sendiri hukumyang tidak ditetapkan
dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam bentuk ini disebut itsbat. Sebenarnya bila diperhatikan
dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan hadits itu pada hakikatnya adalah
penjelasan terhadap apa yang disinggung Al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan
Al-Qur’an secara terbatas. Umpamanya Allah SWT mengharamkan memakan bangkai,
darah, dan daging babi. Larangan Nabi ini menurut lahirnya dapat dikatakan sebagai hhukum
baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena memang apa yang diharamkan Nabi ini secara jelas
tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi kalau dipahami lebih lanjut larangan Nabi itu
hanyalah sebagai penjelasan terhadap larangan Al-Qur’anlah memakan sesuatu yang kotor.
Ditinjau dari segi kekuatan di dalam penentuan hukum, otoritas Al Qur’an lebih tinggi satu
tingkat daripada otoritas Hadits, karena Al- Qur’an mempeunyai qath’I baik secara global
maupun terperinci.Disisi lain karena Nabi Muhammad SAW, sebagai manusia yang tunduk
di bawah perintah dan hukum-hukum Al-Qur’an,Nabi Muhammad SAW tidak lebih hanya
penyampai Al Qur’an kepada manusia,Rasulullah SAW adalah orang yang setiap perkataan
dan perbuatannya mendapat petunjuk Allah SWT). Karena itu beliau ma’shum(senantiasa
mendapat petunjuk Allah SWT). Dengan demikian pada hakekatnya Sunnah Rasul adalah
petunjuk yang juga berasal dari Allah SWT. Kalau Al Qur’an merupakan petunjuk yang
berupa kalimat-kalimat jadi, yang isi maupun redaksinya langsung diwahyukan Allah, maka
Sunnah Rasul adalah petunjuk dari Allah yang di ilhamkan kepada beliau, kemudian beliau
menyampaikannya kepada umat dengan cara beliau sendiri.
Pada periode Islam awal istilah ijtihad memiliki pengertian yang lebih sempit dan
khusus, yakni berarti pertimbangan yang bijaksana atau pendapat seorang ahli atau ulama.
Selama ini, cerita mengenai keputusan khalifah Umar tentang waktu buka puasa dipahami
sebagai awal mula istilah ijtihad digunakan. Umar mengumumkan bahwa waktu berbuka
telah tiba, karena matahari telah terbenam. Namun setelah beberapa saat, ia diberi tahu bahwa
matahari terlihat kembali di ufuk barat. Berdasarkan hal ini diceritakan bahwa ia berkata : „‟
kami sudah berijtihad (qad ijtihadna) „‟. Dengan ungkapan lain, Umar berkata bahwa ia telah
mengeluarkan satu kebijaksanaan yang didasarkan pada pertimbangan yang rasional. Oleh
karena itu dalam periode awal sejarah hukum Islam pertimbangan pendapat pribadi ra‟y,
diakui merupakan sarana utama pelaksanaan ijtihad.
Penting dijelaskan, dikalangan masyarakat Arab saat itu istilah ra‟y memang
mengacu pada pendapat yang diketengahkan oleh seorang pribadi tertentu, yang dianggap
sebagai orang yang bijaksana dan berpengaruh dalam masyarakat. Oleh karena itu, bangsa
Arab memiliki satu istilah khusus untuk mereka yang dikenal memiliki persepsi mental dan
pertimbangan yang bijaksana, dzu „I-ray, khususnya dalam memberitakan pengutusan hukum
atas persoalan-persoalan yang berkembang dimasyarakat. Kemudian istilah dzu „I-ray
dipertentangkan dengan isttilah mufannad, sebutan yang dialamatkan kepada mereka yang
dikenal memilki kelemahan dalam pertimbangan dan tidak bijaksana dalam berfikir.
Penggunaan qiyas sebagai saran melakukan ijtihad pada awalnya secara sederhana.
Kesejajaran dan persamaan „illat antara dua kasus hukum sudah dianggap memadai untuk
melakukan ijtihad dengan cara qiyas lebih dikalangan masyarakat madinah, yang memiliki
akses lebih besar terhadap preseden-preseden dari masa nabi Muhammad, penggunaan qiyas
dalam memutuskan satu masalah hukum di lakukan dengan mudah, tanpa harus memenuhi
kriteria yang sangat kompleks seperti pada masamasa kemudian, khususnya masa dan setelah
Iman al-Syafi‟I, seorang ahli hukum Islam dan pendiri mazhab syafi‟i. Menurut al-syafi‟I
qiyas harus dilakukan dengan seperangkat ketentuan yang ketat, seperti harus berpegang pada
nashsh-nashsh Alquran dengan menimalisir penggunaan rasio, ra‟y, harus bertolak dari satu
landasan yang orisinal dan independen, bukan pada satu kesimpulan yang diturunkan secara
analogis; dan hanya bisa di lakukan pada dua masalah hukum dari tradisi masyarakat dalam
periode yang sama.
Dengan demikian qiyas oleh imam syafi‟I dipahami bidang cakupan sangat terbatas
jika dibandingkan dengan ra‟y, karena dalam ra‟y penekanan diberikan pada situasi actual,
sementara pada qiyas penekanannya pada analogi yang abstrak. Kemudian imam syafi‟I
menetapkan keriteria bagi mereka yang menggunakan qiyas, yang tampak sangat
menekankan penguasaan pada kaidah hukum nashsh-nashsh al quran dibanding masalah-
masalah actual dimasyarakat yang menjadi sasaran pelaksanaan qiyas, seperti ungkapan
perintah, amr dalam al quran, nasikh dan mansukh, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
pemahaman terhadap makna teks teks Alquran. Oleh kerena itu, bagi al syafi‟I keputusan
hukum dengan qiyas ditempatkan pada tingkat lebih rendah daripada putusan yang dilakukan
berdasarkan Alquran dan sunnah.
Satu cara lain dalam pelaksanaan ijtihad adalah istihsan. Dibanding dua cara yang telah
dijelaskan diatas, ra‟y dan qiyas, istihsan tampak lebih mendekati cara-cara yang dilakukan
dalam ra‟y. Dalam istihsan, putusan hukum dilakukan dengan mengacu pada hukum yang
sudah mapan dalam suatu keadaan tertentu di masyarakat, atau bisa pula disebut dengan
tradisi (atsar). Dalam hal ini pelaksanaan istihsan sangat mensyaratkan pengunaan penalaran
secara mutlak, bukan analogi seperti pada qiyas, terhadap kondisi kehidupan masyarakat
bersangkutan. Sehingga, hukum yang diberlakukan bisa benar-benar dengan kebutuhan dasar
dan berfungsi efektif bagi masyarakat. Hal ini sesuai dengan makna dasar kata istihsan, yang
berasal dari kata bahasa Arab istahana berarti „‟memilih yang terbaik‟‟.
Legalisasi ijtihad paling tidak sebagaimana yang pernah dikatakan Rasulullah SAW,
„‟apabila seorang hakim dalam menetapkan hukum menggunakan ijtihad dan ijtihadnya
benar, maka baginya mendapat dua pahala. Tetapi apabila seseorang berijtihad dan ijtihadnya
salah maka baginya satu pahala „‟(HR.Bukhari dan Muslim). Kemudian kisah gubernur
Yaman Muadz bin Jabal ketika ditanya rasulullah saw, dengan apa dia menghukumi
seandainya ada persoalan tidak secara eksplisit tidak ada dalam Alquran dan Sunnah. Muadz
bin Jabal menjawab dengan berijtihad atas keduanya (Alquran dan Sunnah) dengan
menggunakan pemikirannya. Rasulullah mengatakan Maha Suci Allah yang telah
memberikan bimbingan kepada utusan RasulNya dengan suatu sikap yang sesuai dengan
RasulNya„‟. Dengan kedua dasar ini paling tidak dapat menguatakan perlunya ijtihad-ijtihad
di masyarakatkan dalam setiap pengambilan keputusan syariah yang berada diluar tekstual
Alquran dan Hadits. Namun yang harus menjadi catatan bahwa tidak setiap individu mampu
melakukan ijtihad atau melakukan konsesnsus, selain mereka yang memiliki otoritas
keilmuan dibidangnya.
Dengan demikian qiyas oleh syafi‟I dipahami bidang cakupan sangat terbatas jika
dibandingkan dengan ra‟y, karena dalam ra‟y penekanan diberikan pada situasi actual,
sementara pada qiyas penekanannya pada analogi yang abstrak. Kemudian alsyafi‟I
menetapkan keriteria bagi mereka yang menggunakan qiyas, yang tampak sangat
menekankan penguasaan pada kaidah hukum nashsh-nashsh al quran dibanding masalah-
masalah actual dimasyarakat yang menjadi sasaran pelaksanaan qiyas, seperti ungkapan
perintah, amr dalam al quran, nasikh dan mansukh hal-hal lain yang berkaitan dengan
pemahaman terhadap makna teks teks Alquran. Oleh kerena itu, bagi al syafi‟I keputusan
hukum dengan qiyas ditempatkan pada tingkat lebih rendah daripada putusan yang dilakukan
berdasarkan Alquran dan sunnah.
Satu cara lain dalam pelaksanaan ijtihad adalah istihsan. Dibanding dua cara yang telah
dijelaskan diatas, ra‟y dan qiyas, istihsan tampak lebih mendekati cara-cara yang dilakukan
dalam ra‟y. Dalam istihsan, putusan hukum dilakukan dengan mengacu pada hukum yang
sudah mapan dalam suatu keadaan tertentu di masyarakat, atau bisa pula disebut dengan
tradisi (atsar). Dalam hal ini pelaksanaan istihsan sangat mensyaratkan pengunaan penalaran
secara mutlak, bukan analogi seperti pada qiyas, terhadap kondisi kehidupan masyarakat
bersangkutan. Sehingga, hukum yang diberlakukan bisa benar-benar dengan kebutuhan dasar
dan berfungsi efektif bagi masyarakat. Hal ini sesuai dengan makna dasar kata istihsan, yang
berasal dari kata bahasa Arab istahana berarti „‟memilih yang terbaik‟‟.
Legalisasi ijtihad paling tidak sebagaimana yang pernah dikatakan Rasulullah SAW,
„‟apabila seorang hakim dalam menetapkan hukum menggunakan ijtihad dan ijtihadnya
benar, maka baginya mendapat dua pahala. Tetapi apabila seseorang berijtihad dan ijtihadnya
salah maka baginya satu pahala „‟(HR.Bukhari dan Muslim). Kemudian kisah gubernur
Yaman Muadz bin Jabal ketika ditanya rasulullah saw, dengan apa dia menghukumi
seandainya ada persoalan tidak secara eksplisit tidak ada dalam Alquran dan Sunnah. Muadz
bin Jabal menjawab dengan berijtihad atas keduanya (Alquran dan Sunnah) dengan
menggunakan pemikirannya. Rasulullah mengatakan Maha Suci Allah yang telah
memberikan bimbingan kepada utusan RasulNya dengan suatu sikap yang sesuai
dengan RasulNya„‟. Dengan kedua dasar ini paling tidak dapat menguatakan perlunya
ijtihad-ijtihad di masyarakatkan dalam setiap pengambilan keputusan syariah yang berada
diluar tekstual Alquran dan Hadits. Namun yang harus menjadi catatan bahwa tidak setiap
individu mampu melakukan ijtihad atau melakukan konsesnsus, selain mereka yang memiliki
otoritas keilmuan dibidangnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari beberapa uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa :
Majid, Nurcholis. Taqliq dan ijtihad masalah kontinuitas dan kreatifitas dalam memahami
agama, dalam kontekstual doktrin, Bandung: Pusataka, 1986
Irfan Ansori, “Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam Pertama”, diakses dari
http://rahasiasuksesirfanansori.wordpress.com/2011/10/31/al-quran-sebagaisumber-hukum-
islam-pertama/, pada tanggal 26 Oktober 2022