Anda di halaman 1dari 123

PERDAMAIAN DALAM PERSEPEKTIF AL-QUR’AN: KAJIAN

ATAS PENAFSIRAN MUFASIR NUSANTARA

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Agama (S.Ag.)

Oleh
Agus Sulistiantono
NIM: 11140340000257

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2019 M
ABSTRAK
Agus Sulistiantono
Perdamaian dalam Perspektif al-Qur’an: Kajian Atas Penafsiran
Nusantara
Rasa damai dan aman adalah nilai esensial dalam kehidupan
manusia. Dengan kedamaian terciptalah hubungan dan interaksi yang
harmonis. Olehnya itu al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam adalah
kitab suci yang membawa perdamaian bagi kemanusiaan universal. Begitu
juga dengan misi Rasulullah saw. dalam menebar pesan pesan perdamaian
dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Penelitian ini berupaya
mendeskripsikanan pesan perdamaian dalam QS. an-Nisā’ (4): 86 dengan
menjabarkan beberapa rumusan masalah sebagai berikut. Pertama,
bagaimana hakikat pesan perdamaian dalam QS. an-Nisā’(4): 86. Kedua,
bagaimana wujud pesan perdamaian dalam QS. an-Nisa’/4: 86, dan 3).
Bagaimana implementasi pesan perdamaian dalam QS. an-Nisā’(4): 86.
Skripsi ini termasuk kategori penelitian kualitatif deskriptif berupa
penelitian kepustakaan atau library research. Data yang dikumpulkan
dengan mengutip, menyadur, dan menganalisis dengan mengadopsi
pendekatan ilmu tafsir. Pendekatan tersebut diterapkan dengan empat
teknik interpretasi yaitu : qurani, linguistik, sistemis, dan kultural. Secara
spesifik penulis memakai metode tafsir tahlīlī untuk menginterpretasikan
ayat al-Qur’an yang menjadi sumber data primer, dengan menjadikan QS.
an-Nisā’(4): 86 sebagai objek kajian utama.
Kesimpulannya dari penelitian ini sebagai berikut, perdamaian atas
nama agama merupakan tema yang sangat penting untuk dikaji karena jika
tidak paham dalam konsep perdamaian sering menjadi akar kekerasan
didalam dunia maupun diantar agama. Perdamaian merupakan hak setiap
manusia di muka bumi ini dengan perdamaian maka tidak akan muncul
konflik diantara manusia dalam kehidupan sehari hari. Hidup damai dalam
kehidupan sehari hari merupakan anjuran dari Nabi Muhammad saw. maka
dari itu perdamaian itu sangat dianjurkan dalam kehidupan sehari hari.

Kata Kunci: Perdamaian, Tafsir Nusantara, an-Nisā’ (4): 86

v
KATA PENGANTAR

ِ ‫بِسِمِِللاِِ ِالر‬
‫حمنِِ ِالرحِيِ ِم‬

Assalamu’alaikum. Wr. Wb. Segala puji bagi Allah swt. Tuhan


semesta alam yang telah memberikan kenikmatan jasmani maupun rohani,
serta Rahmat dan hidayah-Nya, dan kemudahan serta kesabaran dalam
menghadapi berbagai rintangan dan kesulitan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir kuliah ini (Skripsi) berkat pertolongan-Nya.
Solawat dan salam punulis sampaikan dan haturkan kepada manusia yang
paling mulia kekasih Allah swt. yakni Baginda Nabi Muhammad saw. Serta
doa untuk keluarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya hingga akhir
zaman. Selanjutnya saya sampaikan rasa terima kasih setinggi-tingginya
kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Amany Lubis, M.A, selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan bapak Fahrizal Mahdi, Lc.
MIRKH, selaku Sekretaris Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Serta
seluruh dosen dan staf akademik Fakultas Ushuluddin, khususnya prodi
Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang telah membagikan waktu, tenaga, dan
ilmu pengetahuan juga pengalaman yang berharga kepada penulis.
4. Bapak Dr. Hasani Ahmad Said, M.A, selaku dosen pembimbing
penulis yang telah memberikan arahan, saran dan dukungan kepada
penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Mohon maaf yang
sebesar-besarnya jika selama proses bimbingan penulis banyak

vi
merepotkan. Semoga bapak senantiasa diberikan kesehatan, dan
kelancaran dalam segala urusan. Amīn.
5. Kedua orang tuaku tercinta terkhusus almarhumah ibu yang baru saja
dipanggil Allah SWT semoga dengan ini menjadi amal jariah kedua
orang tuaku terkhusus ibu ku, tersenyum di sana melihatku.
6. Istriku tercinta, Lailiya Saidah, SH. Yang senantiasa mensuport dan
mendukung perjuangan sang suami, terimakasih atas semangatnya
yang tidak pernah bosan mengingatkan suamimu untuk berjuang
menyelesaikan study ini. I love you istriku sayang.
7. Teman-teman seperjuangan, kepada seluruh teman-teman jurusan Ilmu
al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2014, khususnya teman-teman TH-B,
Abdul Haisman, Raja Hotlan Harahap, Fikri Aulia, Bagus Eryanto,
Mohamad Husni, Sofyan Tsauri yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu. Semua kita semua tetap dalam ikatan silaturahmi dan jalinan
persahabatan yang indah tiada akhir. Terima kasih atas kerja sama
selama ini semoga kita semua di lancarkan oleh Allah dalam segala
urusan. Amīn.
8. Serta masih banyak lagi pihak-pihak yang sangat berpengaruh dalam
proses penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu.

Semoga Allah swt membalas semua kebaikan yang telah diberikan,


dan semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan umumnya bagi para pembaca agar selalu berpegang pada
ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw. Amin.
Ciputat, 06 November 2019

Agus Sulistiantono

vii
DAFTAR ISI

COVER
LEMBAR PERNYATAAN PENULIS.....................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING .............................iii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI......................................................iv
ABSTRAK....................................................................................................v
KATA PENGANTAR................................................................................vi
DAFTAR ISI.............................................................................................viii
TRANSLITERASI.......................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.....................................................................1
B. Identifikasi Masalah...........................................................................9
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah...............................................10
D. Tujuan Penelitian.............................................................................10
E. Manfaat Penelitian...........................................................................10
F. Metodologi Penelitian......................................................................11
G. Tinjauan Pustaka..............................................................................12
H. Sistematika Penulisan......................................................................17

BAB II KONSEPSI PERDAMAIAN DALAM AL-QUR’AN................19


A. Definisi Perdamaian.........................................................................19
B. Sejarah dan Asal Usul Perdamaian...................................................23
C. Pentingnya Perdamaian....................................................................28
D. Pesan Perdamaian............................................................................30
E. Perdamaian dalam Perspektif Ulama...............................................33
F. Term Perdamaian dalam al-Qur’an..................................................38

viii
BAB III TINJAUAN UMUM TAFSIR NUSANTARA...........................43
A. Karya-Karya Tafsir Nusantara.........................................................44
B. Karakteristik Tafsir Nusantara.........................................................59

BAB IV PANDANGAN PENAFSIRAN MUFASIR NUSANTARA


TERHADAP PERDAMAIAN DALAM AL-QURAN............................67
A. Ayat-Ayat Tentang Perdamaian dalam al-Qur’an............................68
B. Penafsiran Perdamaian Menurut Beberapa Ulama Nusantara..........70
C. Ayat-Ayat Perdamaian.....................................................................73
1. Perdamaian dalam Lingkup Internal Kaum Muslimin...............73
2. Perdamaian Rumah Tangga.......................................................77
3. Perdamaian di Antara Umat Manusia.........................................91
D. Tujuan Perdamaian dalam al-Quran.................................................95
E. Hikmah dari Perdamaian..................................................................97
F. Ajaran untuk Perdamaian...............................................................100

BAB V PENUTUP....................................................................................103
A. Kesimpulan.....................................................................................103
B. Saran...............................................................................................104

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................95

ix
PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusan


bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/U/1987.

1. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

‫ا‬ Tidak dilambangkan

‫ب‬ B Be

‫ت‬ T Te

‫ث‬ ṡ es dengan titik atas

‫ج‬ J Je

‫ح‬ ḥ ha dengan titik bawah

‫خ‬ Kh ka dan ha

‫د‬ D De

‫ذ‬ Ż zet dengan titik atas

‫ر‬ R Er

‫ز‬ Z Zet

x
‫س‬ S Es

‫ش‬ Sy es dan ye

‫ص‬ ṣ es dengan titik bawah

‫ض‬ ḍ de dengan titik bawah

‫ط‬ ṭ te dengan titik bawah

‫ظ‬ ẓ zet dengan titik bawah

‫ع‬ ‘
Koma terbalik di atas hadap
kanan

‫غ‬ Gh ge dan ha

‫ف‬ F Ef

‫ق‬ Q Qi

‫ك‬ K Ka

‫ل‬ L El

‫م‬ M Em

‫ن‬ N En

‫و‬ W We

xi
‫ه‬ H Ha

‫ء‬ ’ Apostrof

‫ي‬ Y Ye

2. Vokal

Vokal terdiri dari dua bagian, yaitu vokal tunggal dan vokal rangkap.
Berikut ketentuan alih aksara vokal tunggal:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ﹷ‬ A Fatḥah

‫ﹻ‬ I Kasrah

‫ﹹ‬ U Ḍammah

Adapun vokal rangkap ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ﹷِي‬ Ai a dan i

‫ﹷِو‬ Au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang dalam bahasa Arab


dilambangakan dengan harkat dan huruf, yaitu:

xii
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ِ‫مى‬ Ā a dengan topi di atas

ِ‫ىي‬ Ī i dengan topi di atas

ِ‫ىُو‬ Ū u dengan topi di atas

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan


huruf ‫ ال‬dialih aksarakan menjadi huruf ‘l’ baik diikuti huruf syamsiyah

maupun huruf qamariyah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl.

5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydīd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan


dengan sebuah tanda (‫)ﹽ‬, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,

yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata ‫ الضرورة‬tidak ditulis ad-ḍarūrah tapi al-ḍarūrah.

6. Tā’ Marbūṭah

Kata Arab Alih Aksara Keterangan

xiii
‫طريقة‬ Ṭarīqah Berdiri sendiri

‫اجلامعةِاإلسالمية‬ Al-jāmi‘ah al-


Diikuti oleh kata sifat
islāmiyyah

‫وحدةِالوجود‬ waḥdat al-wujūd


Diikuti oleh kata
benda

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam system tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, alih
aksara huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permukaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama seseorang,
dan lain-lain. Jika nama seseorang didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital adalah huruf awal nama tersebut. Misalnya:
Abū ‘Abdullāh Muhammad al-Qurṭubī bukan Abū ‘Abdullāh Muhammad
Al-Qurṭubī

Berkaitan dengan judul buku ditulis dengan cetak miring, maka


demikian halnya dengan alih aksaranya, demikian seterusnya. Jika terkait
nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri,
disarankan tidak dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari
bahasa Arab. Contoh: Nuruddin al-Raniri tidak ditulis dengan Nūr al-Dīn
al-Rānīrī.

xiv
8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja, kata benda, maupun huruf ditulis secara
terpisah. Berikut contohnya dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan
diatas:

Kata Arab Alih Aksara

ِ‫تِال ُقرآ من‬


‫فمإذماِقم مرأ م‬ Faiżā qara’ta al-Qur’āna

ٍ ُ‫ابِمكن‬
ِ‫ون‬ ٍ
‫ِفِكتم م‬ Fī kitābin Mak

ِ‫أمفم مالِيمتم مدب ُرو منِال ُقرآ من‬ Afalā yatadabbarūna al-Qur’āna

ِ‫مَلِمَيم ُّسهُِإَلِال ُمطمه ُرو من‬ Lā yamassuhū illa al-Muṭahharūna

9. Singkatan

Huruf Latin Keterangan


Swt, Subḥāh wa ta‘ālā
Saw, Ṣalla Allāh ‘alaih wa sallam
QS. Quran Surat
M Masehi
H Hijriyah
w. Wafat
MSI Mushaf Stndar Indonesia
MP Mushaf Pakistan

xv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam merupakan agama terakhir dan penyempurna agama-agama
terdahulu, maka bisa dipahami bahwa Islam mengandung ajaran yang
paling lengkap dan sempurna, Islam sangat rinci mengatur kehidupan
umatnya. Salah satunya tentang perdamaian, beranjak dari hal tersebut
maka penulis ingin mengulas penafsiran QS. al-Hujurāt ayat 9-10, di mana
di dalamnya mengatur mengenai perdamaian antara dua kelompok
mukmin.1
Kata damai dalam KBBI definisinya adalah tidak ada perang, tidak
ada kerusuhan.2 Sedangkan definisi kata damai atau peace secara
etimologi ditemukan sekitar abad ke-12 berasal dari kata Bahasa Inggris
abad pertengahan yaitu pes, yang diambil dari bahasa Anglo-Perancis pes
di mana kata pes sendiri diambil dari bahasa latin yaitu pax yang berarti
persetujuan, diam atau damai dan keselarasan.3 Berdasarkan pengertian
tersebut maka lawan kata dari peace adalah konflik, kata yang berasal dari
abad ke-15 diambil dari Bahasa Inggris pertengahan dan latin yaitu
conflictus yang bermakna membentur, menolak, tidak selaras. Sedangkan
pengertian peace atau perdamaian secara terminologi adalah tidak ada
peperangan conflictus atau kekerasan. Dengan demikian konflik pada
akhirnya menjurus kepada terjadinya perang baik antara seseorang

1
Imam Taufiq, Al-Qur’an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis
Al-Qur’an (Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2016), 7.
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga
(Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 234.
3
Imam Taufik, Perdamaian Dalam Pandangan Sayyid Qutb, (Kairo: Dar al-Imān,
1998), 298.

1
2

ataupun kelompok yang bertujuan untuk menghilangkan potensi kekuatan


ataupun hak hidup orang atau kelompok.4
Dasar utama mewujudkan kedamaian yang paripurna adalah
melalui kejujuran karena sifat inilah yang menjadi kriteria pertama dan
utama terhadap kenabian sehingga nabi bukan saja berada pada posisi
kenabian secara etik, tetapi telah menjelma menjadi kenabian yang
menjadi panutan. Dalam keadaan yang demikianlah seseorang nabi
sungguh-sungguh membawa model kepercayaan yang disebut teologi
transformasi. Setelah persyaratan kejujuran kemudian disusul dengan
orang yang tepercaya terus mengembangkan pesan-pesan kebenaran dan
kemudian terakhir seorang nabi selalu memancarkan kepribadian yang
cerdas dan tanggap terhadap berbagai situasi. 5
Apabila dianalogikan kepada sebuah masyarakat maka keempat
kriteria di atas adalah juga merupakan persyaratan terhadap sebuah model
kepemimpinan yang berwibawa dan bagus dalam mengantarkan terjadinya
proses transformasi dalam kehidupan bermasyarakat. Kepemimpinan yang
efektif dalam masyarakat akan bisa menggambarkan semangat perdamaian
yang ditentukan oleh potensi kemampuan dirinya untuk memiliki empat
kriteria tersebut dan ditambah lagi dengan adanya modal sosial yang
mendorong terciptanya suasana saling mengakui, menghormati dan
menghargai dalam hubungan antar manusia. Masyarakat akan kehilangan
modal sosial manakala kepemimpinan dalam sebuah masyarakat tidak
mampu mendorong terwujudnya suasana perdamaian akibat dari berbagai
virus perilaku yang menyimpang yaitu berbohong, pelanggaran janji, dan
pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat.6

4
Taufik, Perdamaian Dalam Pandangan Sayyid Qutb, 230.
5
Taufik, Perdamaian Dalam Pandangan Sayyid Qutb, 232.
6
Taufik, Perdamaian Dalam Pandangan Sayyid Qutb, 233.
3

Perdamaian tidaklah hanya mencakup semata-mata keamanan fisik


atau tidak adanya perang dan pertikaian di antara manusia di bumi ini,
negara yang sedang bersatu tetapi tidak meletus menjadi perang dapat juga
disebut perdamaian, tetapi dalam arti yang negatif, kendatipun pengertian
di atas mengandung arti yang sangat penting dan juga merupakan inti dari
perdamaian sesungguhnya, tetapi keadaan perdamaian yang dilukiskan
demikian itu hanyalah suatu segi pasif dan terbatas dari arti sesungguhnya.
Apalagi kalau ingin hendak membandingkannya dengan pengertian
perdamaian yang lebih bagus lagi.7
Perdamaian adalah penyesuaian dan pengarahan yang baik di mana
pihak bersangkutan dapat menyelesaikan masalah dengan cara damai
karena ditemukan jalan keluar yang sama-sama tidak merugikan sehingga
dapat menciptakan suasana yang kondusif. Namun, dalam arti yang lebih
luas perdamaian adalah penyesuaian dan pengarahan yang baik dari
seorang terhadap penciptanya pada satu pihak dan kepada sesamanya pada
pihak yang lain. Hal ini berlaku bagi keseluruhan hubungan konsentrasi
antara seseorang dan orang lainnya, seseorang dan masyarakat lainnya
bangsa dan bangsa lainnya. Singkatnya adalah antara keseluruhan umat
manusia satu dan lainnya dan antara manusia dan alam semesta.
Perdamaian yang juga mencakup segala bidang kehidupan fisik,
intelektual, akhlak, dan kerohanian. Perdamaian beginilah yang
merupakan ruang perhatian yang utama dari agama.8
Tantangan bagi perdamaian adalah pertikaian di mana adanya
pertikaian berarti ada perbedaan paham atau alternatif-alternatif bertindak
atau juga kepentingan-kepentingan yang saling mengecualikan.

7
Anak Agung Banyu Perwita, Kajian Konflik dan Perdamaian (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2015), 34.
8
Ridawan Lubis, Agama dan Perdamaian: Landasan,Tujuan, dan Realitas
Kehidupan Beragama di Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2017), 315.
4

Selanjutnya ada dua kemungkinan untuk memecahkan pertikaian yaitu


secara damai atau secara paksa. Paksaan bersifat fisik atau secara damai
sosial dalam berbagai dimensi saling menekan atau memaksa untuk
melakukan tidak melakukan sesuatu. Apabila pertikaian berlatih menjadi
perkelahian, maka sama halnya dengan pihak-pihak yang bersangkutan
tidak mau memecahkannya secara damai. Dalam perkelahian atau perang
yang menang adalah yang lebih kuat, bukan yang lebih benar. Oleh karena
itu upaya-upaya meredam pertikaian ataupun perkelahian harus
dilaksanakan.9
Suasana nyaman yang terbebas dari segala gangguan, bebas dari
permusuhan, kebencian, dendam, dan segala perilaku yang menyusahkan
orang lain. Nabi Muhammad saw. mendefinisikan muslim ideal sebagai
muslim yang mampu memberi kedamaian bagi masyarakat dari perilaku
dan komunikasinya, sebagaimana dalam hadis:
“Seorang Muslim sejati adalah yang mampu memberi rasa damai Kaum
Muslim lainnya dari lisan dan tangannya.”
Hadis ini merupakan jawaban atas pertanyaan Abu Musa kepada
Nabi Muhammad saw. tentang kriteria keislaman yang utama, ayy al-
Islām afḍal? Islam yang seperti apa yang lebih utama? Nabi Muhammad
saw. menjawab dengan memberi deskripsi tentang kriteria tersebut, seperti
memberi rasa aman dan damai dari perilaku dan ucapan yang
mengganggu. Pada hadis lain lain riwayat ‘Abdullāh bin ‘Umar, Nabi
Muhammad saw. diminta keterangan, ayy al-Islām khair? Jenis Islam
yang seperti apa yang baik? Nabi Muhammad saw. menjelaskan bahwa
Islam yang baik adalah dengan memberi makanan dan mendoakan untuk
damai kepada siapa saja, yang dikenal maupun tidak dikenal.

9
Lubis, Agama dan Perdamian Dunia, 320.
5

Upaya untuk menciptakan perdamaian juga jelas terekam dalam


tradisi dan hidup Nabi Muhammad saw. Setidaknya terlihat dari sikap
Nabi Muhammad saw. yang menolak penyelesaian masalah dengan
kekerasan. Pada periode Mekkah Nabi Muhammad saw. tidak
menunjukkan kecenderungan pada praktek kekerasan dan kekuatan fisik,
bahkan untuk pertahanan diri sekalipun, Nabi Muhammad saw. tidak
mengajarkan tindak kekerasan. Nabi Muhammad saw. mengampanyekan
anti kekerasan yang berporos pada kesabaran dan keteguhan dalam
menghadapi penindasan dan kekerasan. Nabi Muhammad saw.
menempatkan perdamaian pada posisi yang penting dalam Islam, seperti
yang ditunjukkan oleh persaudaraan Kaum Muhajirin dan Ansar di
Madinah.10
Perdamaian merupakan hal yang esensial dalam kehidupan
manusia karena dalam kedamaian itu tercipta dinamika yang sehat,
harmonis, dan humanis dalam setiap interaksi setiap sesama. Dalam
suasana aman dan damai manusia akan hidup dalam suasana ketegangan
dan kegembiraan. Bahkan kehadiran damai dalam kehidupan setiap
makhluk merupakan tuntunan, karena dibalik ungkapan damai menyimpan
keramahan, kelembutan, keadilan dan persaudaraan, dan ajaran islam
sebagai agama rahmatan lil’ālamīn senantiasa untuk mengajak untuk
saling memberikan rasa damai dan aman bagi seluruh umat manusia.
Makna perdamaian juga terkandung di dalam ucapan assalamu’alaikum,
yang salām berarti damai pernyataan hormat dalam perspektif Islam.11
Semangat persaudaraan ini melahirkan kedamaian di hati Umat
Islam yang berimbas pada rasa perdamaian dalam hubungan sosial,
bahkan terhadap non muslim sekalipun.

10
Thoha Hamim, dkk, Resolusi Konflik Islam Indonesia (Surabaya: LSAS dan
IAIN Sunan Ampel, 2007), 18.
11
Sayyid Qutb, Islam dan Perdamaian dunia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 65.
6

Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh para imam hadis, dengan


berbagai redaksi, menguatkan isi pesan utama ini:

‫ب ىِف‬ ْ ُ‫اَّلل‬
َ َ‫اْلَْل َق َكت‬ َّ ‫ال « لَ َّما َخلَ َق‬ َ َ‫َّب – صلى هللا عليه وسلم – ق‬ ‫ى ىى‬ ‫ى‬
ِّ ‫َع ْن أَِب ُهَريْ َرةَ َعن الن‬
‫ى‬ ‫ى‬ ‫ وهو و ْ ى‬، ‫كىتَابىىه – هو يكْتُب علَى نَ ْف ىس ىه‬
‫ضىب‬
َ ‫ب َغ‬ُ ‫ض ٌع عْن َدهُ َعلَى الْ َع ْر ىش – إ َّن َر ْْحَىِت تَ ْغل‬ َ ََْ َ ُ َ َُ
“Ketika Allah menciptakan makhluk, Dia tulis dalam kitab-Nya dan
diletakkan di atas Arasy: Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan
murka-Ku.”12

‫ى‬ ‫ى‬
Dalam riwayat ini berbunyi :‫ضىب‬
َ ‫َغ‬ ُ ‫إ َّن َر ْْحَىِت تَ ْغل‬
‫ب‬ (sesungguhnya
rahmat-Ku mendahului murka-Ku). Dalam berbagai versi, yang isinya
sama, hadis ini diriwayatkan juga oleh Muslim, Tirmidzī, dan ibn Mājah.
Ayat dan hadis qudsi di atas menunjukkan pesan utama Islam sebagai
agama kasih sayang dan cinta damai melebihi aspek lain. Jika sekarang ini
banyak kelompok Islam yang mengamalkan Islam dengan penuh murka,
kembalilah kepada prinsip ajaran Islam sebagai agama welas asih: Islam
rahmatan li al-‘alamīn.
Penulis ingin melakukan penelitian tentang perdamaian perspektif
tafsir Indonesia yang berfokus pada tafsir al-Iklīl dan tafsir al-Ibrīz.
Bagaimana bentuk langkah perdamaian yang dianjurkan untuk dilakukan
berdasarkan Tafsir Indonesia. Islam selalu memprioritaskan perdamaian
dalam menghadapi suatu permasalahan. Contohnya masalah dalam rumah
tangga bagian suatu kumpulan dari masyarakat terkecil yang terdiri dari
pasangan suami istri, anak-anak, mertua dan sebagainya. Ini yang kerap
terjadi di masyarakat bentuk dari aplikasi penting sebuah perdamaian
dalam menyelesaikan masalah. Terwujudnya rumah tangga yang syah
setelah akad nikah atau perkawinan sesuai dengan ajaran agama dan
undang-undang.13

Abū al-Hasan al-Qāri`, Mu’jam al-`Ahādits al-Qudsiyyah, terjemhan (Kairo: Dar


12

al-Imān, 1998), 467.


13
Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1993), 26.
7

Rumah tangga adakalanya terjadi konflik, konflik-konflik dalam


perkawinan yang menyebabkan keretakan hubungan suami istri atau
bahkan menyebabkan perceraian, biasanya bersumberkan pada
kepribadian suami istri dan hal-hal yang erat kaitannya dengan
perkawinan.14
Istri/suami ketika khawatir mengalami nusyūz dalam rumah
tangganya maka perdamaian adalah jalan yang yang dipilih. Di dalam
kitab sahihaīn disebut melalui hadis Hisyām ibn ‘Urwah, dari ayahnya,
dari Aisyah ra. yang menceritakan, “Ketika usia Saudah binti Zam’ah
sudah lanjut, ia menghadiahkan hari gilirannya kepada Aisyah ra. sejak
saat itu Nabi saw. menggilir Aisyah selama dua hari, satu hari milik
Aisyah, sedangkan hari yang lain hadiah dari Saudah. Sehingga, turunlah
ayat QS: an-Nisā` ayat 128 ini.
‫صلى َحا بَْي نَ ُه َما‬ ‫واى ىن امراَةٌ خافَت ىم ْۢن ب علىها نشوزا اَو اى‬
ْ ُّ‫اح َعلَْي ىه َمآ اَ ْن ي‬ ‫ن‬
َ
َ ُ ‫ج‬ ‫َل‬ َ ‫ف‬
َ ‫ا‬ ‫اض‬
ً ‫ر‬ ‫ع‬
َۗ ْ ً ْ ُ ُ َ ْ َ ْ ْ َ َ ْ َ
ْ
‫اَّللَ َكا َن ىِبَا تَ ْع َملُ ْو َن‬ ‫ى‬ ‫ضر ىت ْاْلَنْ ُفس الش َّ ى ى‬ ‫ى‬
ِّ‫ُّح َوا ْن ُُْتسنُ ْوا َوتَتَّ ُق ْوا فَا َّن ه‬ ُ َ ‫الص ْل ُح َخْي ٌر َۗواُ ْح‬
ُّ ‫ص ْل ًحا َۗو‬ ُ
‫َخبىْي ًرا‬
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyūz (keangkuhan suami
yang mengakibatkannya meremehkan istri dan menghalang-halangi
hak-haknya) atau sikap berpaling (yakni sikap tidak acuh) dari
suaminya (sehingga si istri merasa tidak mendapatkan sikap ramah
yang dikhawatirkan dapat mengantar pada perceraian), maka tidak
ada dosa bagi keduanya mengadakan perdamaian itu lebih baik,
walaupun kekikiran selalu dihadirkan dalam jiwa (manusia). Dan
jika kamu berbuat ihsan (memperlakukan orang lain lebih baik dari
perlakuannya terhadap diri sendiri) dan bertakwa, maka
sesungguhnya Allah adalah Mahateliti terhadap apa yang kamu
kerjakan.” (QS. an-Nisā` [4]: 128).15

14
Hadisubrata, Keluarga dalam Dunia Modern, tantangan dan Pembinaannya,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2003), 25

15
M. Quraish Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya, cet. Ke-2 (Ciputat: Lentera Hati,
2013), 99.
8

Dalam tafsir al-Iklīl fȋ ma’ānī al-Tanzīl karangan KH. Misbah bin


Zainil Musthafa mengenai nusyūz ini menjelaskan bahwa perdamaian
antara suami istri lebih baik daripada perceraian, jika seorang suami atau
istri berbuat baik terhadap pasangan masing-masing maka nusyūz itu tidak
akan terjadi, dan perbuatan baik itu pasti akan diketahui oleh Allah swt.16
Kitab tafsir al-Ibrīz li ma’rifah tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz
menjelaskan tentang nusyūz, baik perempuan atau laki-laki yang
melakukan nusyūz maka tidak ada larangan bagi keduanya untuk
mengadakan perdamaian. Apa diteruskan hidup bersama sampai rukun
kembali atau berpisah/bercerai dengan cara yang baik. Maka perdamaian
itu langkah yang lebih baik untuk ditempuh. Laki-laki atau perempuan
yang bersikap baik terhadap pasangan masing-masing maka Allah swt.
Maha mengetahui dan akan membalas dengan kebaikan pula.17
Dilihat dari sikap istri kepada suaminya dapat dipilah menjadi dua.
Pertama, istri yang salah. Kedua, istri yang berusaha keluar dari
kewajibannya sebagai istri, berusaha meninggalkan suami sebagai pucuk
pimpinan rumah tangga, menghendaki agar kehidupan rumah tangga
menjadi berantakan. Istri yang demikian disebut istri yang nusyūz.18
Sebenarnya nusyūz tidak hanya berlaku pada istri namun nusyūz juga
berlaku pada suami.19 Hal ini sebagaimana tersirat dalam al-Qu’ran QS.
an-Nisā` ayat 128, bahwa nusyūz tidak hanya dialami atau dilakukan oleh
istri tetapi dapat juga dilakukan oleh suami. Selama ini yang selalu
diangkat ke permukaan adalah nusyūz istri. Sementara istri atau suami

16
Misbah bin Zainil Musthafa, al-Iklīl fȋ ma’ānī al-Tanzīl, jilid v (Bangil: al-
Ihsan, 1982), 813.
17
Mustofa Bisri, Tafsīr al-Ibrīz fi tafsīr al-Qur`ān al-‘Azīz, 78.
18
Supriatna, dkk., Fiqh Munakahat II (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN,
2008), 5.
19
Norzulaili Mohd Ghazali, Nusyūz, Syiqāq dan Hakam Menurut al-Qur’an,
Sunnah dan Undang-Undang Keluarga Islam, (Kuala Lumpur: Kolej Universiti Islam
Malaysia, 2007), 19.
9

keduanya adalah manusia biasa yang tidak menutup kemungkinan bisa


berbuat kekeliruan atau melakukan kesalahan.20
KH. Misbah bin Zainil Musthafa dan Mustofa Bisri dua ulama itu
penulis angkat sebagai pembahasan skripsi untuk diteliti karena dua ulama
tersebut merupakan kiai pesantren. Dari karya-karya yang dihasilkan
tersebut menunjukkan bahwa pesantren bukan hanya sebagai ruang di
mana transfer ilmu pengetahuan dan pendidikan karakter dilakukan oleh
para kiai. Mereka juga merepresentasikan pendidikan dalam berbagai
bidang keilmuan Islam yang cukup kaya dan komprehensif. Di tangan
kiai, pesantren menjadi skriptorium dan sekaligus tempat di mana kiai
menulis teks-teks keagamaan Islam dan mempublikasikan di tengah
masyarakat Indonesia, sehingga bisa dibaca oleh masyarakat luas.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka terdapat
masalah-masalah yang teridentifikasi sebagai berikut:
1. Perdamaian merupakan aspek penting bagi ajaran islam, oleh
karena itu penelitian yang mendalam terhadap konsep perdamaian
dalam al-Qur’an ini merupakan sesuatu yang urgent dalam upaya
untuk menemukan perdamaian dalam al-Qur’an yang
sesungguhnya.
2. Aspek perdamaian dalam al-Qur’an masih banyak yang belum
mengetahuinya, oleh karena itu perdamaian dalam al-Qur’an ini
merupakan rujukan utama bagi generasi di masa yang akan datang.

20
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan (Jakarta: El-
Kahfi, 2008), 291.
10

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Pembatasan Masalah
Mengingat keterbatasan kemampuan, dana, dan waktu penulis,
maka untuk memudahkan dan memaksimalkan pemanfaatan instrumen-
instrumen, maka penulis membatasi masalah pada:
a. Perdamaian dalam perspektif al-Qur’an penafsiran mufasir
Nusantara.
b. Batasan ayat yang dibahas, QS. an-Nisā’ : 128, QS. al-Rum :
21, QS. al-Baqarah : 224, QS. al-Hujarat : 9-10
2. Perumusan Masalah
Sedangkan rumusan masalahnya adalah bagaimana konsep
perdamaian dalam al-Qur’an perspektif Tafsir Nusantara.

D. Tujuan Penelitian
Dengan mengangkat topik ini, maka diharapkan setiap individu
dapat mengetahui perdamaian dalam al-Qur’an yang merupakan salah satu
pembahasan penting dalam ajaran pokok islam. Di samping itu, penulis
mempunyai beberapa tujuan lain, yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana perdamaian dalam al-Qur’an
perspektif mufasir Nusantara
2. Untuk menambah khazanah keilmuan penulis
3. Untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan studi S1 sehingga
memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag)

E. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari dilakukannya
penelitian ini yaitu sebagai berikut:
11

1. Agar memberikan sumbangsih pemikiran ilmiah dalam kajian


keislaman terutama dalam hubungannya dengan al-Qur’an tentang
perdamaian dalam al-Qur’an.
2. Agar dapat memberikan penjelasan tentang konsep perdamaian
dalam al-Qur’an, agar tidak di salah pahami oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab.

F. Metode Penelitian
Penelitian yang hendak penulis lakukan ini berupa kajian
kepustakaan (Library Research) yang bekerja untuk menemukan
pemahaman akan fenomena yang terdapat pada objek sesuai dengan apa
yang dialami oleh pengamatan subyek penelitian. Bahan informasi
mengenai objek penulis telusuri dalam literatur-literatur, baik klasik
maupun modern, termasuk jurnal-jurnal ilmiah yang berkaitan.21
1. Metode Pengumpulan Data
Adapun jenis data yang penulis kumpulkan untuk menuntaskan
kajian ini yaitu dengan menggunakan data dan berbagai literatur. Yaitu
berupa data primer dan data sekunder.
a. Data Primer yaitu data langsung dikumpulkan oleh peneliti dari
sumber utamanya. Adapun sumber tersebut di antaranya sumber
tertulis kitab-kitab tafsir Indonesia, seperti Tafsir al-Misbah,
Tafsir al-Ibrīz, Tafsir Kemenag dan lain-lainnya
b. Data sekunder yaitu data yang biasanya telah tersusun dalam
bentuk dokumen yang berupa dari buku-buku dan sumber lainnya
yang tidak secara langsung berkaitan dengan tema. Di antaranya
adalah seperti buku kodrat perdamaian dalam Islam, buku-buku

21
Marzuki, Metode Riset, ( Yogyakarta : Hanindita offest, 1986), 56
12

tentang perdamaian dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan judul


penulis. Data sekunder lain sebagai tambahan perbendaharaan
pemahaman tentang kajian misalnya dengan menelusuri di jurnal
ilmiah, karya tulis, internet dan sebagainya.

2. Analisa data
Analisis data dilakukan oleh peneliti selama penelitian ini
berlangsung hingga seluruh data telah dianggap cukup. Analisis
dilakukan dengan cara memahami persoalan di sekitar objek penelitian.
Peneliti mencoba memposisikan diri pada posisi netral dengan tetap
berpikir kritis. Kajian ini bersifat deskriptif analisis dengan meneliti
sosok tokoh para mufasir Indonesia seperti: Bisri Musthofa Buya
Hamka, Quraish Shihab dan tokoh-tokoh lainnya dengan menganalisis
data tentang nilai-nilai perdamaian dalam al-Qur’an yang ada di dalam
kitab Tafsir karangan mufasir Nusantara
3. Pendekatan penelitian
Untuk pendekatan pengambilan data, penulis menggunakan
metode tematik: yaitu membahas ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai
dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Sedangkan pendekatan
penelitian yang lain dengan pendekatan historis filosofis. Historis
berarti akan ditelusuri dan dipotret perjalanan metodologis Tafsir al-
Azhar, Tafsir al-Misbah, dan kitab-kitab tafsir lainnya. Pendekatan
filosofis dilakukan untuk menelaah lebih jauh pemikiran dan penafsiran
Buya Hamka, M. Quraish Shihab dan lain-lainnya tentang nilai-nilai
kepemimpinan perempuan yang ada di dalam kitab tafsir tersebut.

G. Tinjauan Pustaka
Pembahasan mengenai perdamaian telah banyak dikaji oleh
penelitian-penelitian terdahulu, tetapi penelitian yang membahas
13

mengenai peace building (membangun perdamaian) dalam al-Quran


belum ditemukan. Dari penelusuran yang dilakukan terhadap kajian-kajian
terdahulu, ditemukan beberapa penelitian yang setema dengan judul
penelitian, di antaranya:
1. Ana Husnatul, Etika Islam Untuk Perdamaian: Perspektif Fiqih.
Jurnal el-Hikam (2010). Di dalam jurnal ini membahas bahwa
syariah Islam tidak hanya mengatur masalah ubudiah tetapi juga
mencakup beberapa nilai universal yang harus menjadi dasar dalam
upaya perdamaian.
2. Firdaus Wadji, Ayat-ayat Damai dalam Al-Qur’an. Jurnal
Universitas Negeri Jakarta (2010). Di dalam jurnal ini dijelaskan
bahwa Damai adalah kata yang sekarang ini menjadi semakin
penting. Perang dan konflik dengan berbagai sebab menjadi
semakin umum saat ini. Banyak sekali alasan untuk berperang dan
memulai konflik, tetapi tidak ada satu alasan pun yang dapat
dibenarkan untuk itu. Umat manusia membutuhkan kedamaian dan
generasi yang moderat untuk kehidupan yang lebih.
3. Aulia Agustin, Perdamaian Sebagai Perwujudan dalam Dialog
Antar Agama. Jurnal Institut Pesantren KH. Abdul Chalim
Mojokerto (2011). Di dalam jurnal membahas tentang dialog
keagamaan sebagai sebuah gerakan untuk mengajak semua umat
beragama untuk bertemu membuat strategi untuk membangun
hubungan antara orang-orang berdasarkan kompilasi dan hidup
berdampingan secara damai di berbagai komunitas.
4. Abizal Muhammad Yati, Islam Dan Kedamaian Dunia. Mahasiswa
Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh (2011). Di dalam karya
imiah ini dijelaskan bahwa Islam adalah agama rahmatan
lil’alamin. Oleh karenanya damai dan memberi kedamaian kepada
14

yang lain. Terdapat tiga dimensi kedamaian dalam Islam. Pertama,


dimensi tauhidiah (ketuhanan), di mana Allah adalah inspirasi dan
sumber kedamaian. Kedua, dimensi insāniah (kemanusiaan).
Dalam konteks ini, manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan
suci dan memiliki nilai-nilai asasi yang perlu dijaga dan dijunjung
tinggi untuk bisa hidup damai, tenang, rukun dan toleran. Dalam
dimensi ini, seseorang harus damai dengan dirinya sendiri, damai
dalam keluarga dan damai dengan lingkungan masyarakatnya.
Ketiga, dimensi kauniyyah (alam), dalam pengertian bahwa alam
diciptakan oleh Allah agar dikelola manusia dengan baik dan untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Kehilangan salah satu dari ketiga
dimensi tersebut menjadikan keseimbangan dan keharmonisan
tidak akan tercipta.
5. Abd. Halim, Budaya Perdamaian dalam Al-Qur’an, PSQH (Pusat
Studi al-Qur’an Hadis) UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta, E-
Journal UIN Sunan Kali Jaga (2012). Di dalam artikel ini bahwa
al-Qur’an sebenarnya sangat menjunjung tinggi budaya
perdamaian. Perdamaian yang tersurat maupun yang tersirat dalam
al-Qur’an mencakup semua aspek kehidupan di antaranya;
perdamaian dalam keluarga, dalam masyarakat yang multikultur,
perdamaian antar umat beragama bahkan sampai perdamaian
dalam peperangan. Selagi jalan damai bisa dilakukan, maka
mengapa harus ada perang yang dilakukan. Jika masyarakat
muslim Indonesia memahami secara benar dan mengamalkan ayat-
ayat yang telah dijelaskan di atas, maka penulis yakin bahwa
Indonesia akan menjadi negeri impian, sebagaimana disebut dalam
al-Qur’an sebagai baldah tayyibah wa rabbun ghafūr (Negeri yang
makmur dan disayang Tuhan). Oleh karena itu, ayat-ayat tentang
15

perdamaian ini sudah selayaknya kita sosialisasikan dalam


kehidupan bermasyarakat dengan berbagai macam metode baik
melalui seminar-seminar, ceramah keagamaan, tulisan dalam buku
maupun metode-metode yang lainnya.
6. Imam Taufiq, Al-Qur’an Bukan Kitab Teror: Membangun
Perdamaian Berbasis Al-Qur’an. Jurnal UIN Sunan Gunung Djati
Bandung (2015). Di dalam Jurnal tersebut mengurai makna damai
secara luas dan rinci, begitu juga beberapa wujud dari pesan
perdamaian dalam al-Qur’an, sehingga dengan buku ini kiranya
secara umum dapat diketahui wujud dari pesan perdamaian yang
diisyaratkan dalam al-Qur’an.
7. Nur Hidayat, Nilai-Nilai Ajaran Islam Tentang Perdamaian. Jurnal
UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta (2015). Di dalam Islam gagasan
tentang perdamaian merupakan pemikiran yang sangat mendasar
dan mendalam karena berkait erat dengan watak agama islam.
Bahkan merupakan pemikiran universal Islam mengenai alam,
kehidupan, dan manusia
8. Ahmadan Lestaluhu, Teologi Perdamaian Dalam Tafsir Jihad.
Jurnal UIN Surabaya (2016). Di dalam jurnal ini dijelaskan bahwa
jihad bukan sepenuhnya diartikan perang. Tapi, ada makna yang
lebih luas yaitu usaha untuk lepas dari segala bentuk egoisme yang
berujung pada tindakan kekerasan dan penegasiaan nilai-nilai
kemanusiaan. Di sisi lain, apa yang dilakukan para teroris yang
mengatas namakan jihad dengan melakukan teror di berbagai
tempat lebih didasari oleh semangat teologis yang tidak holistik,
jika tidak mengatakan kurang sempurna. Pasalnya, diskusi teologis
yang diyakini lebih banyak berkutat pada prinsip-prinsip
ketuhanan, tanpa melibatkan diskusi kemanusiaan sebagai bahan
16

dan lahan diskusi yang berimbang. Yang terakhir, bahwa semangat


jihad yang menjadi perintah agama harus ditempatkan dalam upaya
menciptakan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan perwujudan
perdamaian. Karenanya, keyakinan atas keesaan Tuhan
menimbulkan persepsi bahwa penyeragaman kultur kemanusiaan
bagian dari bentuk pengingkaran-Nya sebab Tuhan laisa kamithlihi
shaiun. Dan jihad demi perdamaian, sekali lagi, adalah bentuk dari
usaha menghindari dari pengingkaran pada esensi-Nya.
9. Ahmad Tri Muslim, Pesan Perdamaian Dalam Al-Qur’an: Kajian
Tahlȋli terhadap QS. an-Nisā` [4]: 86. Skripsi UIN Sunan Kali
Jaga tahun 2016. Di dalam skripsi ini dijelaskan bahwa hakikat
pesan perdamaian dalam QS. an-Nisā` [4]: 86 dengan
menggunakan term tahiyyah pada dasarnya adalah penghormatan
yang mengantar pelakunya untuk memberikan syafa‘ah hasanah
berupa doa, hadiah, memberi rasa aman, dan memperlakukan
semua manusia baik yang disenangi maupun yang tidak disenangi
sebagai sosok yang memiliki harga diri dan hak setara dengan
dirinya sebagai manusia berupa ucapan atau perbuatan yang pada
akhirnya terjalin hubungan yang ramah, santun dan harmonis.
Adapun wujud pesan perdamaian dalam QS. an-Nisā` [4]: 86
dibagi atas tiga, yakni perintah untuk memberi tahiyyah, membalas
tahiyyah dengan tahiyyah yang lebih baik dan membalas dengan
tahiyyah yang serupa. Dari sini pula dipahami bahwa implementasi
pesan perdamaian dalam al-Qur’an terkait dengan spiritual, yakni
upaya memberikan rasa aman disertai niat untuk mendapatkan rida
Allah swt. dan terkait dengan masalah humanis, yakni manusia
secara keseluruhan memiliki hak untuk merasakan kedamaian
tanpa melihat status sosialnya.
17

10. Ahmad Tajuddin Arafat, Etika Perdamaian Islam Dalam Wacana


Global. Jurnal IAIN Tunlungagung (2017). Di dalam jurnal ini
membahas tentang etika Islam dan perdamaian menuju
pemahaman masalah globalisasi. Islam sebagai agama, menyatakan
bahwa tujuan akhir islam adalah tunduk kepada Allah sebagai
Tuhan. Tetapi Islam tidak hanya mengarahkan pada penyerahan
kepada Tuhan tetapi juga menekankan secara mendalam pada akar
ajaran dan tradisi perdamaian dalam kehidupan sehari-hari muslim.
Kesimpulan, islam dan perdamaian tidak bisa dipisahkan dalam
kehidupan sehari-hari muslim.

Perbedaan antara tinjauan pustaka semua yang di atas dengan judul


penelitian penulis sangat signifikan. Di antara semua tinjauan pustaka
yang di atas tidak ada satu pun penelitian yang sama dengan judul
penelitian penulis, di penelitian ini penulis lebih fokus membahas tentang
perdamaian yang ada di kalangan masyarakat dari segi sosial, perbedaan
pendapat, kekerasan, dan sebagainya.

H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari empat bab,
masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab pembahasan. Yaitu
sebagai berikut:
Bab pertama merupakan bab pendahuluan, bab ini berisi: Latar
belakang masalah, batasan masalah dan rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat, metode penelitian, dan kajian pustaka.
Bab kedua adalah landasan teori. Terdiri dari empat subbab
bahasan yaitu: definisi perdamaian, sejarah perdamaian, pentingnya
perdamaian, pesan perdamaian.
18

Bab ketiga tinjauan tentang Tafsīr al-Ibrīz dan al-Iklȋl sejarah


penulisan, sistematika penulisan, tarīqoh dan manhaj serta pandangan
ulama terhadap dua tafsir tersebut.
Bab keempat penafsiran Bisri Musthofa dan Misbah Musthofa
tentang ayat-ayat perdamaian dalam al-Qur’an, di antaranya perdamaian
dalam rumah tangga, perdamaian di antara umat manusia, perdamaian
dalam lingkup kaum muslimin serta tujuan, hikmah dan anjuran
perdamaian.
Bab kelima merupakan bab penutup. Pada bab ini memuat
kesimpulan dari penelitian karya ilmiah ini dan saran-saran.
BAB II
KONSEPSI PERDAMAIAN DALAM AL-QUR’AN

A. Definisi Perdamaian
Secara umum perdamaian dipahami sebagai keadaan tanpa perang,
kekerasan atau konflik seperti yang tercantum dalam pikiran manusia,
mendefinisikan perdamaian secara lebih lengkap yang dijabarkan dalam
dua pengertian, yaitu yang pertama perdamaian negatif dan perdamaian
positif. Perdamaian negatif dijabarkan sebagai situasi absennya berbagai
bentuk kekerasan lainnya. Definisi ini sederhana dan mudah dipahami,
namun dalam realitas yang ada, masyarakat masih mengalami penderitaan
akibat kekerasan yang tidak nampak dan ketidakadilan. Melihat kenyataan
ini, maka terjadilah perluasan definisi perdamaian dan muncullah definisi
perdamaian positif. Definisi perdamaian positif adalah tidak adanya
kekerasan struktural atau terciptanya keadilan sosial sehingga terbentuklah
suasana yang harmoni.1
Perdamaian secara makna kata yang sebenarnya tidaklah hanya
mencakup semata-mata keamanan fisik yang terlihat dengan kasatmata
atau tidak adanya perang dan pertikaian di antara manusia satu sama lain
di bumi ini.2 Kendatipun demikian pengertian di atas mengandung arti
yang sangat luas dan penting, juga merupakan inti dari perdamaian
sesungguhnya, tetapi keadaan perdamaian yang dilukiskan demikian itu
hanyalah suatu segi pasif dan terbatas dari arti sesungguhnya, apalagi
kalau hendak membandingkannya dengan pengertian perdamaian yang
lebih luas lagi. Perdamaian adalah penyesuaian dan pengarahan yang baik
di mana pihak bersangkutan dapat menyelesaikan masalah atau

1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 2008), 467.
2
Eric Hendra, Kajian Konflik dan Perdamaian (Jakarta: Gramedia, 2015), 23.

19
20

pertentangannya dengan cara damai dikarenakan ditemukannya jalan


keluar yang sama-sama tidak merugikan sehingga dapat menciptakan
suasana yang kondusif atau kekacauan dan kekerasan.3
Namun, dalam arti yang lebih luas Perdamaian adalah,
“penyesuaian dan pengarahan yang baik dari orang seorang terhadap
Penciptanya pada satu pihak dan kepada sesamanya pada pihak yang lain.”
Hal ini berlaku bagi keseluruhan hubungan konsentris (bertitik pusat yang
sama) antara seorang dengan orang lainnya, seseorang dengan masyarakat,
masyarakat dengan masyarakat, bangsa dengan bangsa dan pendek kata
antara keseluruhan umat manusia satu sama lainnya, dan antara manusia
dan alam semesta. Perdamaian yang juga mencakup segala bidang
kehidupan fisik, intelektual, akhlak dan kerohanian. Perdamaian beginilah
yang merupakan ruang perhatian yang utama dari agama.4
Galtung (dalam Windhu, 1992) mendefinisikan perdamaian secara
lebih lengkap yang dijabarkan dalam dua pengertian, yaitu perdamaian
negatif dan perdamaian positif. Perdamaian negatif (negative peace)
dijabarkan sebagai situasi absennya berbagai bentuk kekerasan lainnya
atau dalam kata lain definisi ini sama dengan definisi yang tercantum
dalam KBBI (2008). Definisi ini sederhana dan mudah dipahami, namun
dalam realitas yang ada, masyarakat masih mengalami penderitaan akibat
kekerasan yang tidak nampak dan ketidakadilan. Melihat kenyataan ini,
maka terjadilah perluasan definisi perdamaian dan muncullah definisi
perdamaian positif (positive peace). Definisi perdamaian positif adalah

3
Johan Galtung, Globalizing God, Religion, Sprituality (Tt. Kolofon Pres, 2008),
16.
4
Irwan Suhanda, Damai Untuk Perdamaian (Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara. 2006), 45.
21

tidak adanya kekerasan struktural atau terciptanya keadilan sosial sehingga


terbentuklah suasana yang harmoni (Galtung dalam Windhu, 1992).5
Gus Dur juga berpendapat tentang definisi konsep perdamaian kata
Gus Dur, perdamaian bukanlah sesuatu yang pasif, tetapi aktif dan
dinamis. Untuk itu, syarat utama perdamaian adalah keadilan. ia pernah
berpesan soal perdamaian yang masih relevan dengan kondisi tersebut.
Salah satu pesannya berbunyi, “Yang sama jangan dibeda-bedakan, yang
beda jangan disama-samakan.” Untuk dapat menghargai perbedaan, setiap
individu harus melihat manusia lain sebagai sesama ciptaan Tuhan yang
dalam terminologi agama disebut sebagai persaudaraan antar sesama
manusia.6
Mahatma Gandhi salah satu tokoh perdamaian dunia pada saat itu
di India memang sangat begitu berpengaruh pada dunia perdamaian.
Nilai-nilai ajarannya yang berpegang pada ajaran tradisional Hindu, yakni
Satya (kebenaran) dan Ahimsa (nir kekerasan) menjadi inspirasi bagi
tokoh-tokoh dunia setelahnya seperti Martin Luther King dan Nelson
Mandela. Kehebatan Gandhi telah dicatat sejarah dengan berhasil,
mengutip istilah M. Hart, memaksa Inggris angkat kaki dari negeri
Hindustan itu. Gandhi tak menggunakan kekerasan dalam aktivismenya
melawan penjajahan. Tapi karena itu juga, penjajah melunak dan pergi.
Kini pemikiran-pemikiran Gandhi telah menjadi mutiara dunia yang perlu
dijaga. Salah satu penerusnya kini telah menjelajah dunia untuk
mengabarkan nilai-nilai Gandhi. Adalah Rajmoan Gandhi, cucu Mahatma,
yang kini semangat melakukan hal tersebut.7

5
Johan Galtung, Studi Perdamaian (Surabaya: Pustaka Eureke, 2003), 21.
6
Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis (Yogyakarta:
LKiS, 2010), 55.
7
Asnawi dan Safruddin, Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik
Pembangunan dan Peradapan (Surabaya: Pustaka Eureka, 2003), 21.
22

Sejak lebih dari satu abad yang lalu agama telah mendapat
tekanan-tekanan dari berbagai jurusan, dalam berbagai aspek kehidupan di
berbagai tempat di seluruh dunia ini. Adapun mereka yang menaruh
perhatian pada agama, kendatipun mereka dalam keadaan mayoritas dari
umat manusia, namun mereka masih dapat merasakan dan menyadari akan
hal ini. Bahwasanya tekanan-tekanan itu telah mengakibatkan agama akan
mengarah menuju keterasingan dari penghayatan parapemeluknya.
Untuk mengembalikan fungsi agama sebagaimana mestinya, dan
agar institusi agama dapat berperan maksimal dalam menyelesaikan
persoalan kemanusiaan termasuk pembentuk nilai-nilai moral perilaku
umatnya, tawaran Fazlur Rahman memiliki signifikan cukup besar untuk
diangkat. Untuk mencapai tujuan itu, ia mengusulkan agar pesan agama
dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh bukan sebagai perintah atau
ajaran yang terpisah-pisah. Keutuhan akan dicapai apabila aspek teologi
(akidah, keimanan) diletakkan sejajar dalam pola hubungan
interdependensi dengan aspek fikih (hukum atau aturan interaksi sosial)
yang dirangkaikan secara sistematis oleh etika atau sistem moral. Dalam
pola pemahaman itu, teologi diformulasikan sebagai suatu pandangan
dunia yang dapat menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhan atau
dengan sesamanya sebagai makhluk Tuhan.8 Kecenderungan ini nampak
jelas sekali pada sebagian besar generasi muda dalam berbagai ragam
masyarakat, selanjutnya merebak luas dengan cepatnya pada berbagai
kalangan lainnya di berbagai belahan dunia. Perdamaian yang menjadi
arahan dan tujuan yang hendak diwujudkan Islam itu adalah merupakan
dorongan hati nurani yang bertitik tolak dari dalam batin manusia. 9

8
Elga Sarapung, dkk, Sejarah, Teologi, dan Etika Agama-Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), 278.
9
Irwan Suhanda, Damai Untuk Perdamaian, 51.
23

Tidak seorang pun akan dapat mempunyai hubungan damai dengan


saudaranya, kalau ia sendiri tidak berada dalam keadaan damai dengan
dirinya sendiri dan tak seorang pun berada dalam keadaan damai dengan
dirinya sendiri, jika ia tidak mempunyai hubungan damai dengan
Penciptanya. Masyarakat adalah perkalian dari orang-orang dan umat
manusia adalah perkalian dari masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan.
Jadi inti dan sari pati dari masalah perdamaian adalah bahwa orang
seorang harus berada dalam keadaan damai dengan dirinya sendiri dan
dengan umat manusia dan dengan sebagai akibat dari penempatan dirinya
dalam hubungan damai dengan penciptanya.10

B. Sejarah dan Asal Mula Perdamaian


Damai memiliki banyak pengertian dari sejarahnya. Arti dari
kedamaian berubah sesuai dengan hubungannya dengan suatu kalimat.
Damai dapat berarti sebagai sebuah keadaan yang tenang, seperti yang
umum di beberapa tempat yang terpencil, mengizinkan untuk tidur
ataupun meditasi. Damai dapat juga menggambarkan suatu keadaan emosi
dalam diri. Pengertian dari damai setiap orang berbeda sesuai dengan
budaya dan juga lingkungan. Berikut beberapa penjelasan arti perdamaian
dari sejarahnya sehingga timbulnya sebuah perdamaian, antara lain:

1. Tidak Ada Perang


Suatu definisi yang sederhana dan sempit dari damai adalah tidak
adanya perang. Damai dapat juga terjadi secara sukarela, di mana peserta
perang memilih untuk tidak masuk dalam suatu keributan, atau dapat
dipaksa dengan cara menekan siapa yang menyebabkan gangguan.
Misalnya seperti kenetralan kuat yang telah membuat Swedia menjadi

10
Eric Hendra. Kajian Konflik dan Perdamaian, 98
24

terkenal sebagai sebuah negara yang mempertahankan perdamaian sejak


lama. Sejak invasi pada tahun 1814 M. Norwegia, Kerajaan Swedia tidak
melakukan suatu kekerasan gaya militer.

2. Tidak Ada Kekerasan


Membatasi konsep suatu perdamaian hanya kepada tidak adanya
perang secara internasional hanya menutupi terorisme dan juga
kekerasan lainnya yang terjadi dalam negara. Oleh karena itu, beberapa
orang juga mendefinisikan damai sebagai tidak adanya kekerasan.
Banyak juga yang percaya bahwa perdamaian tidak hanya memiliki
pengertian ketiadaan dari kejadian sosial yang sangat tragis, tetapi juga
kehadiran suatu keadilan di tengah masyarakat.

3. Tidak Semena-Mena
Damai sering kali diartikan sebagai sikap persahabatan dan
sportivitas. Tetapi tidak jarang bahwa damai berpijak di tempat yang
salah demi untuk menggapai beberapa kepentingan tertentu. Berbicara
soal damai dan juga perdamaian sepertinya tidak akan ada habisnya,
tetapi yang jelas manusia tidak boleh melupakan aspek masyarakat,
kepentingan umum dalam tataran norma-norma yang telah disepakati,
sebagai titik acuan dari perdamaian. Itulah beberapa arti sebuah
perdamaian yang sebenarnya. Setiap manusia pasti menginginkan hidup
secara damai tanpa suatu tindakan yang dapat menyakiti satu sama lain.
Oleh karena itu, beberapa pengertian perdamaian yang telah disebutkan
di atas dapat dilakukan.11

11
Hadi Suryono, Merawat Perdamaian: Metode Sistem Peringatan Dini Konflik
(Yogyakarta: Semesta Ilmu, 2012), 28.
25

Dari sini penulis melihat sejarah sebuah perdamaian itu muncul di


mana saja ketika ada permasalahan dari aspek apapun ketika dua belah
pihak punya kesepakatan untuk berdamai melalui negosiasi antara dua
belah pihak untuk kemaslahatan bersama dari masalah yang dimiliki.
Perdamaian itu juga bisa muncul bisa diakibatkan dengan adanya
kekerasan, kekerasan itu sendiri tang dimaksud adalah sebuah aksi atau
tindakan yang bertujuan untuk merusak, mencederai, melukai,
memusnahkan properti bahkan manusia, dan kekerasan sendiri terbagi
menjadi dua yaitu kekerasan secara langsung dan kekerasan struktural.12
Yang dimaksud dengan kekerasan secara langsung tidak sekedar
melakukan kekerasan secara nyata, tapi lebih dari itu. Yakni merupakan
aksi yang bertujuan untuk menciptakan hierarki dan hegemoni. Kedua
adalah kekerasan struktural (structural violence), yakni kekerasan yang
diawali dari adanya perbedaan kelas dan posisi yang menghegemoni dan
hegemoni sehingga memungkinkan terjadinya tindakan alienasi-
diskriminasi-eksploitasi-represi yang bertujuan untuk menjaga hierarki
yang sudah ada oleh kelompok yang berkuasa, maupun bertujuan untuk
menghancurkannya oleh kelompok yang tertindas. Kekerasan struktural
biasanya dilakukan oleh kelompok mayoritas atau yang memegang
kekuasaan sehingga di dalam penerapan kehidupan berbangsa dan
bernegara selalu memihak pada kelompok berkuasa/mayoritas dan
mendiskriminasi kelompok yang tertindas/minoritas.13
Contohnya seperti ketidakbebasan untuk berkeyakinan, tidak ada
kesempatan untuk menerima pendidikan yang adil, hak sosial dan politik
yang tidak setara maupun pengekangan untuk mendapat kehidupan yang
layak. Bentuk perdamaian akibat dari kekerasan struktural bisa berbentuk

12
C. B. Mulyanto, Filsafat Perdamaian: Menjadi Bijak Bersama Eric Weil
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), 109.
13
Eric Hendra, Kajian Konflik dan Perdamaian, 73.
26

rasisme, sek-isme maupun bentuk chauvinism yang lain, yang kemudian


kekerasan secara struktural ini bisa memicu tindakan perlawanan dari
kelompok yang ditindas dan memicu konflik. Berbagai macam bentuk
konflik dan kekerasan kemudian menjadi stimulan untuk menerapkan
metode-metode baru konsep perdamaian agar bisa menjawab tantangan
yang ada. Salah satu konsep dasar dan konvensional yang ditawarkan
adalah konsep negative peace, negative peace lebih menekankan pada
aspek meniadakan perang saja.
Juga bentuk konflik kekerasan yang luas terhadap kehidupan
manusia, terutama kekerasan yang sudah lintas batas negara seperti perang
antar negara maupun perang sipil yang besar di dalam satu negara,
maupun mengeliminasi segala bentuk kekerasan langsung.14 Pada
prakteknya pendekatan negatif menghendaki tidak terjadinya konflik
dengan kekuatan militer dan efek penggetarnya atau istilahnya damai
karena kuat dan adagium terkenal lainnya adalah jika ingin damai siapkan
perang, pada umumnya pendekatan negatif (memaksa) dan reaktif.
Kemudian, bentuk lain dari metode perdamaian selain pendekatan
negatif dan pendekatan positif, karakter epistemologi dari pendekatan
positif adalah pendekatan multidisiplin dan memiliki nilai-nilai moral.
Serta visi dari pendekatan positif lebih luas dari sekedar tidak adanya
peperangan/konflik kekerasan. Pendekatan positif ini ingin menunjukkan
kehadiran secara simulasi keinginan membangun sudut pandang di
masyarakat seperti keselarasan, keadilan dan kesetaraan, dan pada
prinsipnya pendekatan positif bertujuan untuk mengeliminasi berbagai
hambatan terhadap potensi yang dimiliki manusia, terutama permasalahan
ekonomi dan struktur sosial politik.15

14
Johan Galtung, Globalizing God, Religion, Sprituality, 23.
15
Johan Galtung, Globalizing God, Religion, Sprituality, 25.
27

Pendekatan positif berbeda dari pendekatan negatif yang


melakukan pendekatan kekuatan dan memaksa, pendekatan positif lebih
meletakkan pendekatan nilai dan moral, serta menekankan aspek
pencegahan sehingga dalam proses penerapannya pendekatan positif lebih
menawarkan bantuan dan penyelesaian konflik struktural yang terjadi baik
pada masa lampau dan sekarang dengan harapan agar ke depannya tidak
terjadi konflik kekerasan. Bisa disimpulkan bahwa pendekatan
positif tidak hanya berfokus pada ketidakhadiran peperangan tapi juga
fokus pada kehadiran perdamaian, cinta dan nilai-nilai moral sosial di
masyarakat, serta menekankan pada aspek pemenuhan kebutuhan
manusia. Pendekatan holistik yang ditawarkan oleh pendekatan
positif secara langsung mengharuskan pembangunan perdamaian melalui
jalur ekonomi, sosial dan lingkungan. Tujuan akhir dari pendekatan positif
adalah meminimalisir kekerasan baik secara langsung maupun yang
struktural.16
Selain dua pendekatan perdamaian di atas, muncul alternatif
pendekatan ketiga, yaitu pendekatan yang berusaha mengelaborasi dan
mengunifikasi pendekatan negatif dan positif yang diistilahkan oleh
ilmuwan barat yang bernama Charles Webel dengan sebutan Strong
Peace (Charles Webel, 2007). Strong peace lebih menekankan pentingnya
pendekatan perdamaian, yang tidak saja pada level lokal tapi juga
internasional. Adanya kecenderungan para aktor perdamaian positive
peace mendapatkan tekanan yang luar biasa sehingga menciptakan
ketakutan, keraguan dan tidak aman pada diri mereka sendiri, sehingga
suatu waktu bisa menghentikan program perdamaian. Maka diperlukan
sebuah elaborasi antara pendekatan perdamaian yang struktural/mikro
dengan nilai-nilai kemanusiaan untuk mendapatkan jaminan keamanan

16
Johan Galtung, Globalizing God, Religion, Sprituality, 30
28

dan perlindungan hukum pada skala nasional dan internasional (makro),


serta adanya keinginan para pengambil kebijakan pada level negara untuk
berkomitmen pada perdamaian sehingga bisa tercipta proses perdamaian
yang lebih komprehensif dan kuat.17

C. Pentingnya Perdamaian
Indonesia merupakan negara yang majemuk dengan beragam suku,
agama, etnis, dan keyakinan. Perbedaan tersebut terkadang dapat
menimbulkan suatu masalah yang tidak jarang menyebabkan konflik
sosial. Terkadang, masalah tersebut dapat menimbulkan perpecahan dalam
masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman akar rumput yang
harus tertanam dalam diri masyarakat agar terciptanya perdamaian dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.18

Sebagai negara yang memiliki cita-cita luhur untuk ikut


melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan
perdamaian abadi, tentunya Indonesia telah berkomitmen untuk menjadi
prakarsa dalam hal mewujudkan perdamaian dunia. Hal ini terlihat dari
banyaknya peran serta kontribusi Indonesia untuk mengatasi masalah
konflik di berbagai negara. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa di
dalam negeri sendiri masih sering terjadi pertikaian antar suku di berbagai
daerah, contohnya di Papua, Indonesia tetap menunjukkan eksistensinya
sebagai salah satu pelopor perdamaian dunia.19

17
Mirza Masroor Ahmad, Krisis Dunia dan Jalan Menuju Perdamaian Dunia
(Jakarta: Mizan, 2010), 48.
18
M. Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian: Landasan, dan Realitas Kehidupan
Beragama di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017), 112.
19
Surahman Hidayat, Islam, Pluralisme, dan Perdamaian (Jakarta: Robbani
Press, 2008), 135.
29

Saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa perdamaian memiliki peran


penting dalam kehidupan bermasyarakat. Di Indonesia sendiri, perdamaian
dimaknai oleh sebagian orang dengan menganggap setiap warga negara
berhak menyuarakan aspirasi yang bebas dari unsur paksaan dan tekanan.
Selain itu, perdamaian juga dimaknai dengan adanya harmonisasi antara
masyarakat dan pemerintah. “Arti perdamaian adalah semua manusia
damai hatinya, damai pemerintahnya, tenteram, dan tidak ada
peperangan”.20

Pada hakikatnya, perdamaian harus mampu diciptakan oleh seluruh


masyarakat Indonesia karena perdamaian merupakan sesuatu yang
didambakan masyarakat. Meskipun manusia berbeda-beda kepercayaan,
semua pada hakikatnya mendambakan perdamaian. Meskipun perbedaan
merupakan hal yang sangat mencolok. Akan tetapi, hal tersebut menjadi
sebuah komitmen bersama untuk menyadari betapa besar andil masyarakat
dalam menciptakan suatu kerukunan. Manusia memang memiliki
perbedaan di hampir semua sektor kehidupan, tapi sebesar apapun
perbedaan itu, kita sesungguhnya disatukan, dirangkai, dan dirajut dengan
tujuan kita bersama. Bagaimana bisa mewujudkan perdamaian di tengah-
tengah keberagaman itu sendiri. Selain itu, perlu disadari bahwa
perdamaian bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja. Hal yang sangat
mustahil untuk dicapai apabila seluruh masyarakat Indonesia ini pasif
dalam menyerukan perdamaian. Tidak cukup bagi semua kalangan untuk
bersikap pasif. Apabila seluruh elemen masyarakat Indonesia dapat
bersinergi dalam menjaga stabilitas sosial, bukan tidak mungkin Indonesia
menjadi tolak ukur negara yang mempunyai keragaman.21

20
Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian, 115.
21
Surahman Hidayat, Islam, Pluralisme, dan Perdamaian, 139.
30

D. Pesan Perdamaian
Islam adalah agama perdamaian. Pesan-pesan persaudaraan atas
nama cinta dan kemanusiaan begitu jelas terekam dalam kitab suci al-
Qur’an. Persaudaraan meniscayakan adanya kepedulian, tolong-
menolong (al-Ta’āwun), dan perdamaian. Karena itu, Islam sangat
menganjurkan agar umatnya mempererat tali al-ukhuwwah (saudara)
sekaligus juga menebarkan kebaikan kepada umat lain dengan penuh kasih
sayang. Membangun persaudaraan merupakan suatu kewajiban.
Persaudaraan dengan siapa pun saja. Karena dengan begitu, kita bisa
saling menasihati, tentunya dalam hal kebajikan. Hadis nabi yang
menyatakan bahwa tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai
orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, adalah ajaran yang
mensyaratkan adanya persaudaraan. Sebab, tidak mungkin mencintai
orang lain jika dalam hati tak ada spirit persaudaraan. Dan persaudaraan
dibangun salah satunya melalui cinta dan kasih sayang. Nilai-nilai inilah
yang harus diteguhkan di tengah realitas perpecahan umat yang sampai
saat ini masih terjadi.22
Kebanyakan di antara manusia lebih suka hidup bercerai-berai
daripada rukun dan damai. Antar satu sama lain saling menaruh curiga, iri
dengki, mencela, menghasut, dan sebagainya. Bagaimana mungkin
mereka saling menyayangi dan mencintai jika spirit persaudaraan yang
ada telah luntur. Bagaimana antar satu sama lain dapat membangun
perdamaian jika iri dengki sudah tertanam kuat pada diri masing-masing
manusia. Bagaimana mungkin mereka dapat hidup dengan penuh

22
Amak Baldjun, Islam dan Perdamaian Dunia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987),
127.
31

kebahagiaan jika yang dilakukan ialah saling memfitnah dan menebar


kebencian.23
Dalam konteks inilah ajaran-ajaran hidup Rasulullah, khususnya
yang berkaitan dengan upaya membangun tali persaudaraan, penting
diteladani bahwa Rasulullah memberikan pelajaran kepada manusia
bagaimana persaudaraan itu dibangun tanpa melihat perbedaan suku, ras,
golongan bahkan perbedaan agama sekalipun. Bagi Rasulullah, semua
manusia itu bersaudara. Karena bersaudara, maka wajib mencintai dan
menolongnya. Penghargaan Rasulullah kepada orang-orang Nasrani,
misalnya, membuktikan bahwa beliau adalah sosok yang betul-betul
menginginkan persaudaraan dan perdamaian. Rasulullah sangat mencintai
mereka sebagaimana beliau juga mencintai dirinya dan pengikutnya
sendiri. Walaupun berbeda keyakinan, Rasulullah tidak membeda-bedakan
dan bahkan tidak memprioritaskan di antara mereka untuk disantuni. Hati
beliau betul-betul lapang menerima segala perbedaan.24
Manusia seharusnya banyak mengambil pelajaran dari apa yang
telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Sebab, jika kita hidup di dunia ini
masih selalu mempersoalkan perbedaan-perbedaan, maka rahmat Tuhan
tidak akan tercurahkan. Bukankah perbedaan itu adalah rahmat, dan Tuhan
sendiri menginginkan para hamba-Nya hidup dalam kerukunan dan
perdamaian. Hati manusia memang harus selalu dilatih untuk arif dalam
menerima segala bentuk perbedaan. Sebab konflik sosial atau bahkan
perang yang terjadi di mana-mana sering kali dilatarbelakangi oleh
kecenderungan masing-masing manusia yang tidak memahami hakikat
perbedaan. Sehingga siapa pun yang berbeda dengan diri atau

23
Abdurrahman Azzam, Konsepsi Perdamaian Islam (Jakarta: Karya Unipres,
1985), 9.
24
Amak Baldjun, Islam dan Perdamaian Dunia, 129.
32

kelompoknya maka harus disingkirkan dan tidak dianggap sebagai


saudara.25
Rasulullah saw. adalah seorang pemimpin besar yang menjadi
rujukan umat manusia. Bahan, dalam buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh
di Dunia, Michael Hart menempatkan Rasulullah di urutan teratas.
Kepemimpinan sekaligus kepribadian Rasulullah memang sangat
menakjubkan dan menjadi teladan paling sempurna. Karena kebenaran
berpendar di mana-mana, maka tentu saja hati harus dilatih untuk
menangkap pesan-pesan kebenaran-Nya yang bertebaran di mana saja.
Seseorang yang mampu memungut kebenaran di mana-mana, maka sikap-
sikap berupa kesantunan, keadilan, kepedulian dan mengayomi kepada
siapa pun saja adalah karakter dari kepemimpinannya. Bahkan beliau
sanggup menjalin hubungan sosial dengan siapa pun, tak pandang agama,
golongan, musuh atau siapa pun. Bagi beliau, bersikap ramah adalah
kewajiban setiap manusia yang hidup di dunia.26
Pesan perdamaian harus menjadi motivasi untuk individu masing-
masing di sini penulis melihat masih banyak kejanggalan yang belum
terpenuhi untuk mewujudkan sebuah perdamaian dengan tidak menerima
sebuah perbedaan seperti perbedaan agama, ras, suku, dan sebagainya,
sudah sepantasnya manusia itu sendiri dari kecil sudah ditanamkan jiwa
perdamaian dengan adanya dedikasi sejak usia dini untuk tidak terjadinya
perpecahan di masa yang akan datang.

25
Abdurrahman Azzam, Konsepsi Perdamaian Islam, 11.
26
Abdurrahman Azzam, Konsepsi Perdamaian Islam, 132.
33

E. Perdamaian dalam Perspektif Ulama


1. M. Quraish Shihab
Bagi Quraish, kendatipun ditemukan sejumlah perbedaan dalam
batas tubuh setiap ajaran Agama, tidak boleh diabaikan sebuah fakta
bahwa seluruh Agama mengajarkan pemeluknya untuk menebar
perdamaian kepada orang-orang yang berbeda. Artinya, seluruh Agama
menghendaki terciptanya perdamaian di dunia. Dengan demikian, ajakan
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip perdamaian tak bisa
diasosiasikan dengan nama Agama. Entah itu namanya Islam, Kristen,
Budha, Hindu atau apa saja.27 Quraish memandang bahwa
menyeruaknya fanatisme di antara para pemeluk Agama disebabkan oleh
hilangnya rasa saling menghargai perbedaan pendapat yang terjadi di
antara mereka. Padahal, perbedaan itu tegas Quraish merupakan
kehendak yang Maha Kuasa. Karena ia merupakan kehendak Yang Maha
Kuasa, maka tugas manusia adalah menerima apa yang sudah menjadi
kehendak-Nya. Yang salah dikoreksi selama itu bisa, dan yang benar di
bumi lestarikan agar kelak bertuah manfaat bagi generasi selanjutnya.28
Apa yang dikatakan Quraish penting untuk disadari oleh semua
pemeluk Agama. Bahwa setiap aksi kekerasan, penistaan, pelecehan,
apalagi pembunuhan dan pembantaian tak bisa dan tak boleh
diasosiasikan dengan Agama apapun yang terserak di alam dunia.
Dengan kata lain, Agama dan perdamaian merupakan dua sisi dari satu
koin yang sama. Agama yang tak mengajarkan prinsip-prinsip
perdamaian tak layak dikatakan sebagai sebuah Agama, sebagaimana
ajaran perdamaian yang kering dari nilai-nilai keagamaan tak akan
mampu memberikan makna perdamaian yang sesungguhnya.

27
Sahabuddin, dkk., Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera
Hati, 2008), 90.
28
Sahabuddin, Ensiklopedia al-Qur’an, 93.
34

Perdamaian, kata Quraish, adalah harapan semua (amal al-Jāmi’).


Dengan itu, Quraish seolah-olah ingin menegaskan bahwa impian akan
terwujudnya perdamaian merupakan bagian dari fitrah manusia. Karena
itu, sebagai sebuah ajaran yang senafas dengan fitrah manusia, Islam tak
boleh dipertentangkan dengan prinsip-prinsip perdamaian, karena impian
akan terwujudnya perdamaian dan kedamaian merupakan bagian dari
fitrah manusia pada umumnya.29
Semua pemeluk Agama perlu menyadari bahwa menyeruaknya
aksi-aksi kekerasan, pelecehan, dan penistaan yang terjadi antara
pemeluk Agama itu bukan karena Agama, melainkan didasari oleh
keluncas-pahaman dalam menafsirkan teks-teks Agama. Dikatakan
demikian karena semua Agama seperti yang ditegaskan Quraish
menghendaki para pemeluknya untuk hidup damai, aman dan sentosa.
Hanya saja, nafsu duniawi kita sering menjadi tameng hitam yang
menutupi itu semua. Menisbatkan aksi-aksi kekerasan, penistaan,
pelecehan, apalagi pembunuhan, kepada suatu (ajaran) Agama, pasti
hanya akan dilakukan oleh orang-orang yang tak beragama dan tak
mampu menjiwai ajaran Agama meskipun dirinya berlabel Agama.
Agama hanya menghendaki kesejahteraan dan kebahagiaan, bukan
kesengsaraan apalagi pembunuhan. Agama tak menghendaki sengketa
dan perkelahian, tapi Agama menginginkan persaudaraan dan
perdamaian.
Agama yang dijadikan sebagai lahan untuk membumi lestarikan
ujaran kebencian tak akan mampu memberikan kedamaian. Tapi Agama
yang dipahami sebagai jalan untuk menuju kebahagiaan, pasti akan
mampu membangun perdamaian dan kedamaian. Semoga seluruh

29
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), 123.
35

Agama di dunia ini menjadi Agama Perdamaian, bukan Agama


Kebencian, apalagi Agama yang hanya dijadikan sebagai pelampiasan
nafsu setan. Aku berlindung kepadamu Tuhan dari (ajaran) Agama
demikian.30

2. Buya Hamka
Pandangan Buya Hamka tentang ayat-ayat perdamaian toleransi.
Allah swt. sumber kasih sayang di dalam al-Qur’an seperti:

‫الرِحْي ِم‬
َّ ‫ْح ِن‬ َّ ِ‫اّلل‬
‫الر ْ ه‬ ٰ‫بِ ْس ِم ه‬
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang” (QS. al-Fātihah [1]: 1)
Dalam ayat pertama surah al-Fātihah ini disebutkan dua sifat Allah
swt. yaitu al-Rahmān dan al-Rahīm yang berarti murah, kasih sayang,
cinta, santun, dan perlindungan. Alasan kedua sifat ini dijelaskan terlebih
dahulu sebelum menyebut sifat-sifatnya yang lain adalah untuk
menangkis anggapan terhadap berayal-ayal orang yang masih primitif
tentang Allah. Sebagian besar mereka menggambarkan tuhan itu sebagai
sesuatu yang amat ditakuti atau menakutkan, seram, dan kejam, yang
orang terpaksa memujanya karena takut akan murkanya. Maka, ketika
bacaan dimulai dengan menyebut nama Allah, dengan kedua sifatnya
yang Rahman dan Rahim, mulailah Nabi Muhammad saw. menentukan
perumusan baru dan yang benar tentang Allah. diketahui dan dirasakan
oleh manusia bahwa Dia Rahmān dan Rahīm.31
Kemudian pada ayat yang lain, Buya Hamka juga berpandangan
ajakan pada kalimat yang satu.

30
Shihab, Tafsir al-Mishbah, 124.
31
Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid I (Jakarta: Gema Insani, 2015), 65.
36

‫اّللَ َوََّل نُ ْش ِرَك بِه َشْئًا َّوََّل‬ ِ ٍٍۢ ۤ ٍ ِ ِ ِ ‫قُل هاٰيَ ْهل الْ ِكت‬
ٰ‫هب تَ َعالَ ْوا ا هٰل َكل َمة َس َواء بَْي نَ نَا َوبَْي نَ ُك ْم اَََّّل نَ ْعبُ َد اََّّل ه‬ َ ْ
‫اّللِ ۗ فَاِ ْن تَ َولَّْوا فَ ُق ْولُوا ا ْش َه ُد ْوا َِبَ ََّّن ُم ْسلِ ُم ْو َن‬ ِ ِ
ٰ‫ضا اَْرََب ًَٔب ٰم ْن ُد ْون ه‬
ًٔ ‫ضنَا بَ ْع‬
ِ
ُ ‫يَتَّخ َذ بَ ْع‬
Katakanlah, “Wahai, Ahlul Kitab! Marilah kemari kepada
kalimat yang sama di antara kami dan kalian, yaitu janganlah kita
menyembah melainkan kepada Allah, dan janganlah kita
menyekutukan sesuatu dengan Dia, dan jangan menjadikan
sebagian dari kita akan sebagian yang lain menjadikan Tuhan-
Tuhan selain Allah.” Maka jika mereka berpaling, hendaklah
kamu katakana, “Saksikanlah olehmu bahwa kami ini adalah
orang-orang Islam.” (QS. ‘Ali Imrān [3]: 64)
Disebut dalam Tafsir al-Azhar berkaitan dengan ayat ini.32
Betapapun pada kulitnya kelihatan kita ada perbedaan, ada Yahudi, ada
Nasrani, dan ada Islam, namun pada kita ketiganya terdapat satu kalimat
yang sama, satu kata yang menjadi titik pertemuan kita. Yaitu
“Janganlah menyembah melainkan kepada Allah,” sekiranya saudara-
saudara sudi kembali kepada satu kalimat itu, niscaya tidak akan ada
selisih kita lagi. Menurut keterangan Hamka ayat ini jugalah yang
dijadikan Nabi Muhammad saw. sebagai alasan untuk mengirim surat
kepada Heraclius Raja Romawi Syam. Tidak Ada Paksaan Dalam
Agama. Allah swt. berfirman:
ٍۢ ۗ ِ ِ
‫َِب هّٰللِ فَ َق ِد‬ ِ ‫الر ْش ُد ِمن الْغَ ِي ۚ فَمن يَّ ْك ُفر َِبلطَّاغُو‬
‫ت َويُ ْؤِم ْن‬ ْ ْ َْ ٰ َ َ َّ َ‫ََّلا ا ْكَر َاه ِِف ال ٰديْ ِن قَ ْد تَّب‬
ُّ ‫َّي‬
‫اّللُ ََِسْي ٌع َعلِْي ٌم‬ ِ ِ
َ ‫ك َِبلْعُ ْرَوة الْ ُوثْ هقى ََّل انْف‬
ٰ‫ص َام ََلَا َۗو ه‬ َ ‫استَ ْم َس‬
ْ
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam),
sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar
dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Thogut dan
beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang
(teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah
Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqārah [2]: 256)

32
Hamka, Tafsir al-Azhar, 66.
37

Dalam menafsiri ayat ini Hamka mengemukakan asbabunnuzul


yang diriwayatkan oleh Abū Dāwud, al-Nasāi`, Ibn al-Mundzir, ibn Jarīr,
ibn Abū Hātim, Ibn Hibbān, Ibn Mardawaihi, dan al-Baihaqi dari ibn
‘Abbās dan beberapa riwayat lainnya. bahwa penduduk Madinah
sebelum memeluk agama Islam, merasa bahwa kehidupan orang Yahudi
lebih baik dari kehidupan mereka sebab mereka masih jahiliah. Sebab
itu, di antara mereka ada yang menyerahkan anaknya kepada orang
yahudi untuk dididik dan setelah besar mereka menjadi Yahudi. Ada pula
perempuan Arab yang tiap beranak mati maka kalau ia beranak lagi,
lekas-lekas diserahkan kepada orang Yahudi. Dan oleh orang Yahudi
anak-anak tersebut di-yahudikan. Selanjutnya, orang Madinah menjadi
Islam, dan menjadi Kaum Ansār. 33
Maka setelah Rasulullah pindah ke Madinah, dibuatlah perjanjian
dengan kabilah-kabilah Yahudi yang tinggal di Madinah. Akan tetapi
dari bulan ke bulan, tahun ke tahun, perjanjian itu mereka ingkari, baik
dengan cara halus ataupun kasar. Akhirnya, terjadilah pengusiran
terhadap Yahudi Bani Nadīr yang telah didapati telah dua kali hendak
membunuh Nabi. Namun di tengah-tengah Bani Nadīr itu ada anak orang
Ansār yang telah menjadi Yahudi. Ayah anak itu memohon kepada Nabi
supaya anak itu ditarik kepada Islam, kalau perlu dengan paksaan. Si
ayah yang telah memeluk Islam tidak sampai hati melihat anaknya yang
menjadi Yahudi. “belahan diriku sendiri akan masuk neraka, ya
Rasulallah!” kata orang Ansār itu. Di waktu itulah turun ayat ini.
Menurut riwayat Ibn ‘Abbās, Nabi saw. Hanya memanggil anak-anak itu
dan disuruh memilih, apakah mereka sudi memeluk agama ayah mereka,
yaitu Islam, atau tetap dalam Yahudi dan turut diusir? Menurut riwayat,
ada di antara anak-anak itu yang memilih Islam dan ada yang terus

33
Hamka, Tafsir al-Azhar, 67.
38

menjadi Yahudi lalu berangkat dengan orang Yahudi yang mengasuhnya


itu meninggalkan Madinah. 34
Menurut Buya Hamka ayat ini merupakan suatu tantangan kepada
manusia karena Islam adalah benar. Orang tidak akan dipaksa
memeluknya, tetapi orang hanya diajak untuk berpikir. Asal dia berpikir
sehat, dia pasti akan sampai pada Islam. Keyakinan suatu agama tidaklah
boleh dipaksakan dipaksakan sebab “Telah nyata kebenaran dan
kesesatan.” Orang boleh menggunakan akalnya untuk menimbang dan
memilih kebenaran itu, dan orang pun mempunyai pikiran waras untuk
menjauhi kesesatan.35

F. Term Perdamaian dalam Al-Qur’an


1. Pengertian Kata al-Sulhu (Perdamaian)

al-Sulhu menurut bahasa artinya damai, sedangkan menurut istilah


yaitu perjanjian perdamaian di antara dua pihak yang berselisih. al-
Sulhu dapat juga diartikan perjanjian untuk menghilangkan dendam,
persengketaan atau permusuhan (memperbaiki hubungan kembali).
Hukum al-Sulhu (Perdamaian). Hukum sulhu atau perdamaian adalah
wajib, sesuai dengan ketentuan-ketentuan atau perintah Allah Swt. di
‫اّللَ لَ َعلَّ ُك ْم‬
َّ ‫َخ َويْ ُك ْم ۚ َواتَّ ُقوا‬ ِ ‫إََِّّنَا الْمؤِمنو َن إِخوةٌ فَأ‬
dalam al-Qur’an: َ ‫َّي أ‬
َ ْ َ‫َصل ُحوا ب‬
ْ َْ ُ ُْ
‫“تُ ْر َْحُو َن‬Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwa kepada Allah
supaya kamu mendapat rahmat” (QS. al-Hujurat : 10) ‫الص ْل ُح َخْي ٌر‬
ُّ ‫َو‬
“Perdamaian itu amat baik” (QS. an-Nisā`: 128). 36

34
Hamka, Tafsir al-Azhar, 68.
35
Hamka, Tafsir al-Azhar, 69.
36
Wasid, “Teologi Perdamaian Dalam Tafsir Jihad,” Teosofi, vol. 1, no. 1,
(Desember, 2011), 270-289.
39

2. Rukun dan Syarat al-Sulhu (Perdamaian).


a. Mereka yang sepakat damai adalah orang-orang yang sah
melakukan hukum.
b. Tidak ada paksaan.
c. Masalah-masalah yang didamaikan tidak bertentangan dengan
prinsip Islam.
d. Jika dipandang perlu, dapat menghadirkan pihak ketiga. Seperti
yang disindir dalam al-Qur’an surah an-Nisā` ayat 35.

Macam-macam Perdamaian. Dari segi orang yang berdamai, sulhu


macamnya sebagai berikut:
a. Perdamaian antar sesama muslim.
b. Perdamaian antar muslim dengan non muslim.
c. Perdamaian antar Imam dengan Kaum Bughat
d. Perdamaian antara suami istri.
e. Perdamaian dalam urusan muamalah dan lain-lain.37
Pernah mendengar kata al-Islāẖ? al-Islḍāh sering diartikan dengan
“perbaikan” atau “memperbaiki.” Jika kita menengok pada tujuan utama
dari dakwah para nabi, maka sejarah membuktikan bahwa tujuan mereka
adalah al-Islāh, atau memperbaiki kondisi umat. Seperti perkataan Nabi
Soleh as. yang diabadikan dalam al-Qur’an berikut ini,

‫ت‬
ُ ‫استَطَ ْع‬ ْ ‫يد إَِّلَّ ا ِإل‬
ْ ‫صالَ َح َما‬ ُ ‫إِ ْن أُِر‬
“Aku hanya bermaksud (melakukan) perbaikan semampuku.” (QS.
Hud [11]: 88)

Nabi Soleh as. ingin memfokuskan bahwa tujuan dari jerih payah
dan usahanya selama ini hanya untuk memperbaiki kondisi umat manusia,

37
Wasid, “Teologi Perdamaian,” ,283.
40

semampunya. Dan seluruh nabi pun punya tujuan yang sama. Dan kali ini,
kita akan mendalami makna al-islāh dalam al-Qur’an. Kata al-islāh sering
digunakan dalam al-Qur’an. Kata ini bisa memiliki dua makna. Jika
diambil dari dari kalimat al-sulhu maka artinya adalah mendamaikan dua
orang atau kelompok yang berselisih. Makna al-islāh dengan arti pertama
(mendamaikan perselisihan) digunakan untuk beberapa hal seperti.

a. Mendamaikan Suami Istri


ِ ‫اق بَْينِ ِه َما فَابْ َعثُواْ َح َكمأً ِٰم ْن أ َْهلِ ِه‬
َ ‫َو َح َكمأً ِٰم ْن أ َْهل َها إِن يُِر‬
ْ ِ‫يدا إ‬
ًٔ‫صالَحا‬ َ ‫َوإِ ْن ِخ ْفتُ ْم ِش َق‬
ِ
ٰ ‫يُ َوفٰ ِق‬
‫اّللُ بَْي نَ ُه َما‬
“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya,
maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan
seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah Memberi taufik
kepada suami istri itu.” (QS. an-Nisā` [4]:35)
b. Mendamaikan Dua Kelompok

‫َصلِ ُحوا بَْي نَ ُه َما‬ ِِ ِِ ِ


َ ‫َوإِن طَائ َفتَان م َن الْ ُم ْؤمن‬
ْ ‫َّي اقْ تَ تَ لُوا فَأ‬
“Dan apabila ada dua golongan orang Mukmin berperang, maka
damaikanlah antara keduanya.” (QS. al-Hujurāt [49]: 9)
c. Mendamaikan Secara Umum

‫ات بِْينِ ُك ْم‬ ِ ‫فَاتَّ ُقواْ اّلل وأ‬


َ ‫َصل ُحواْ َذ‬
ْ َ َٰ
“Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di
antara sesamamu.” (QS. al-Anfāl [8]: 1)38
Jika diambil dari kata al-islāh maka artinya adalah melakukan
kebaikan dan menyingkirkan keburukan. Makna ini juga menjadi lawan
kata dari al-fasād yang artinya melakukan keburukan ataupun kerusakan.

38
‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz al-Qursyi, Samahah al-Islām, terj. Abdul fikri
(Riyādh: Maktabah al-Adib, 2006), 89.
41

Makna Pertama : Mendamaikan yang Berselisih.

‫ات بِْينِ ُك ْم‬ ِ ‫فَاتَّ ُقواْ اّلل وأ‬


َ َ‫َصل ُحواْ ذ‬
ْ َ َٰ
“Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di
antara sesamamu.” (QS. al-`Anfāl [8]: 1)
Ayat ini menarik untuk kita perhatikan lebih dalam. Bertakwalah!
Lalu perbaiki hubungan di antara sesamamu! Ayat ini seakan ingin
berbicara bahwa tak ada artinya takwa tanpa kepedulian kepada kondisi
sekitar kita. Tak ada artinya takwa tanpa rasa peduli untuk mendamaikan
saudara yang berselisih.

‫اّللَ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْر َْحُو َن‬


َّ ‫َخ َويْ ُك ْم َواتَّ ُقوا‬ ِ ‫إََِّّنَا الْمؤِمنو َن إِخوةٌ فَأ‬
َ ‫َّي أ‬
َ ْ َ‫َصل ُحوا ب‬
ْ َْ ُ ُْ
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. al-
Hujurāt [49]: 10).39
Namun inilah manusia. Semakin hari rasa kepedulian ini semakin
pudar. Orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing dan acuh
dengan kondisi sekitarnya. Walaupun ada yang memang tidak
mampu untuk mendamaikan, ada pula yang tidak mau. Bahkan akhir-
akhir ini semakin banyak orang yang tidak mendamaikan perselisihan
tapi malah membakar api provokasi dan memecah belah saudaranya
sendiri. Padahal menurut al-Qur’an tidak ada kebaikan dalam perkataan
rahasia (bisik-bisik) yang dilakukan manusia kecuali dalam 3
pembicaraan saja seperti Firman Allah swt.

ٍ ٍ ِ‫َّلَّ خي ر ِِف َكثِ ٍري ِمن ََّّْنواهم إَِّلَّ من أَمر ب‬


ِ ‫َّي الن‬
‫َّاس‬ ْ ِ‫ص َدقَة أ َْو َم ْع ُروف أ َْو إ‬
َ ْ َ‫صالَ ٍح ب‬ َ ََ ْ َ ْ ُ َ ٰ ََْ

39
Umar bin Abdul Aziz Qursyi. Samahah al-Islam, 90
42

“Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka,


kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang)
bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di
antara manusia.” (QS. an-Nisā’ [4]: 114).40
Mendamaikan perselisihan termasuk sesuatu yang sangat
ditekankan dalam Islam. Tentu kebalikan dari mendamaikan ini (seperti
adu domba dan memecah persatuan) punya bahaya dan ancaman yang
begitu besar pula. Jangan pernah pesimis ketika ingin mendamaikan
orang yang berselisih, karena Allah tidak pernah menanyakan “berhasil
atau tidak?,” tapi yang akan ditanyakan adalah “kenapa tidak
menyampaikan? kenapa tidak berusaha mendamaikan?”. Setiap orang
pasti tau bahwa bohong itu haram dan pembohong itu terlaknat. Tapi
khusus dalam masalah mendamaikan orang, kebohongan itu diizinkan.
Misalkan berbohong kepada orang yang berselisih bahwa “musuhnya”
tadi memujinya dan ingin memperbaiki hubungan dengannya.41

Kebohongan macam ini diperbolehkan dalam Islam. Namun


kenyataannya, kebohongan itu sering digunakan untuk adu domba dan
memecah belah masyarakat. Fitnah disebar untuk merusak keharmonisan
umat. Mereka menggunakan alasan “Membela al-Qur’an tapi sungguh
amat jauh dari ajaran sucinya. Mendamaikan orang yang berselisih
bukanlah perkara kecil. Perbuatan ini amat agung di Sisi Allah swt.
Rasul pun sering bersabda tentang pahala mendamaikan perselisihan.

40
Umar bin Abdul Aziz Qursyi. Samahah al-Islam, 91
41
Umar bin Abdul Aziz Qursyi, Samahah al-Islȃm, 92.
BAB III
TINJAUAN UMUM TAFSIR NUSANTARA

Dalam penulisan tafsir al-Qur’an, bukti paling awal di Nusantara


baru tampak setelah lebih dari 300 tahun sejak komunitas muslim
Nusantara itu mulai mewujudkan dirinya dalam kekuasaan politik,
Bersamaan dengan proses awal masuknya Islam di Nusantara tersebut,
kitab suci al-Qur’an diperkenalkan para penjuru dakwah kepada penduduk
pribumi di Nusantara. Pengenalan awal terhadap al-Qur’an itu, bagi
penyebar Islam tentu suatu hal yang penting karena al-Qur’an adalah kitab
suci agama Islam yang diimani sebagai pedoman hidup bagi orang yang
telah memeluk agama Islam.

Sekedar untuk menunjukkan, bahwa sejak semula umat Islam di


Indonesia mempunyai perhatian besar terhadap al-Qur’an yang baik,
sesuai ilmu tajwid, hingga kajian-kajian mendalam mengenai kandungan
al-Qur’an.1 Dalam khazanah tafsir di Asia Tenggara, terjemahan tokoh-
tokoh muslim Indonesia menempati kedudukan penting. Hamzah Fansuri
lahir pada periode al-Qur’an dalam Bahasa Melayu abad XIV,
Syamsuddin Sumatrani, Nur al-Din al-Raniri (w. 1658), Abd al-Rauf al-
Sinkili (1615-1693), Muhammad Yusuf al-Maqqassari (1627-1699),2
Syekh Abd Rauf Singkel dikenal sebagai ulama pelopor3dengan kitabnya
Tarjuman al-Mustafid merupakan tafsir al-Qur’an yang pertama ditulis
dengan berbahasa Melayu pada abad ke-17.

1
Ervan Nurtawab, Tafsir Al-Quran Nusantara Tempo Doeloe, cet. I (Jakarta:
Ushul Press, 2009), h 57
2
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika Hingga
Ideologi (Yogyakarta: LKiS, 2013), 32.
3
Nurdinah Muhammad, “Karakteristik Jaringan Ulama Nusantara Menurut
Pemikiran Azyumardi Azra.” Jurnal Subastantia, vol.14 no.1 (tb, 2012), 74.

43
44

Kemudian Syaikh Nawawy al-Bantany menulis Tafsir Marah


Labid di Makkah pada akhir abad ke-19,4 adalah di antara tokoh penting
yang berperan dalam tradisi penulisan karya-karya keislaman di Nusantara
dalam bidang-bidang keilmuan yang cukup beragam5 begitulah sampai
pada masa modern. Awal abad ke-20 Mahmud Yunus menulis tafsir
berbahasa Melayu Indonesia yang pertama, selanjutnya banyak banyak
juga para ulama lain yang menafsirkan al-Qur’an seperti di antaranya
Buya Hamka dengan karyanya yang terkenal yakni Tafsir al-Azhar dan
tafsir karya M. Quraish Shihab dengan kitabnya Tafsir al-Mishbah.
Kelahiran dan perkembangan ilmu tafsir di Nusantara dapat dilihat dari
dua aspek, yaitu aktivitas pengajian dan penulisannya. sejarah
perkembangan ilmu tafsir di Nusantara telah dirintis oleh seorang ulama
bernama Abdul Rauf al-Fansuri melalui karya beliau yang terkenal
berjudul Tarjuman al-Mustafid. 6

A. Karya-Karya Tafsir Nusantara


1. Tarjuman al-Mustafid
Nama lengkap pengarang Tafsir Tarjuman al-Mustafid adalah
Syaikh Abdurrauf ibn ali al-Jawi al-Fansuri as-Sinkili. Di dalam Tafsir
Tarjuman al-Mustafid ini, penulis menggunakan metode tahlīlī. Hal ini
bias dibuktikan dengan adanya ragam pendekatan dalam menafsirkan
ayat al-Quran, seperti qira’ah, penjelasan suku kata, latar belakang

4
Mafri Amir, Literature Tafsir Indonesia (Tangerang Selatan: Mazhab Ciputat,
2013), 5
Islah Gusmian, “Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia dari Tradisi,
5

Hierarki Hingga Kepentingan Pembaca,” Jurnal Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Surakarta, vol. 6, no.1 (tb, 2010), 4
6
Mustaffa bin Abdullah dan Abdul Mamam Syafi‟i, Khazanah Tafsir Di
Nusantara Penelitian Terhadap Tokoh dan Karyanya di Malaysia, Brunei Darussalam,
Singapura dan Thailand” Jurnal Kontekstualita, vol. 25, no. 1 (tb, 2009), 31.
45

turunnya ayat, nasikh-mansukh, dan munasabatul ayat. Tafsir ini


pertama kali dicetak di Kota Istanbul Turki pada tahun 1615-1693 M.
Tafsir ini diduga kuat sebagai tafsir pertama karya Ulama Nusantara
yang menafsirkan al-Quran 30 juz secara lengkap. Salah satu ciri
khasnya yang lain dari kitab ini adalah pendekatan pada nilai-nilai
tasawuf.7

2. Marah Labid li Kasyfi Ma’na Quran Majid


Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Itulah nama lengkap pengarang
kitab tafsir ini, atau lebih dikenal Syaikh Nawawi Banten. Kitab yang
terbit pada 1818-1897 ini juga dikenal dengan nama al-Munir li
Ma’alimit Tanzil. Kedua nama ini memang tampak di sampul kitab tafsir
ini. Nama Tafsir al-Munir diperkirakan diberikan oleh pihak penerbit.
Sedangkan nama Marah Labid berasal dari Syaikh Nawawi langsung.
Tafsir Marah Labid dapat digolongkan sebagai salah satu tafsir dengan
metode ijmalī (global). Dikatakan ijmalī karena dalam menafsirkan
setiap ayat, Syaikh Nawawi menjelaskan setiap ayat dengan ringkas dan
padat, sehingga mudah dipahami. Sistematika penulisannya pun
menuruti susunan ayat-ayat dalam mushaf. Tafsir Marah Labid terlihat
sangat detail dalam menafsirkan setiap kata pada setiap ayat.

3. Tamsyiyatul Muslimin
Kitab tafsir karya KH. Ahmad Sanusi ini memiliki nama lengkap
Tamsyiyatul Muslimin fi Tafsiri Kalami Rabbil ‘Alamin. Tafsir ini terbit
secara berkala, yakni satu bulan sekali, pada 1 Oktober 1934 dan dicetak
di percetakan al-Ijtihad Sukabumi. Cetakan ini kemudian beredar di
Jakarta, Bengkulu, Bandung, dan Singapura. Tafsir ini telah dicetak

7
Mafri Amir, Literature Tafsir Indonesia, 39
46

ulang berpuluh kali dan sampai sekarang masih dipakai oleh majelis
taklim di wilayah Jawa Barat. Karya lainnya adalah serial Tamsyiyatul
Muslimin dalam bahasa Melayu. Setiap ayat-ayat al-Qur’an ditulis
dengan huruf Arab sekaligus ditulis (transliterasi) dalam huruf latin.8

4. al-Quranul ‘Adzim
Tafsir Al-Quranul ‘Adzim berbeda dengan tafsir pada umumnya.
Kitab tafsir ini lebih dikenal dengan nama Tafsir Tiga Serangkai karena
H. Abdul Halim Hasan menyusunnya bersama dua ulama lain, H. Zainal
Arifin Abbas dan Abdurrahim Haitami. Kitab tafsir ini disusun dan
diterbitkan pada tahun 1937.

5. al-Ibrīz
Dari sekian kitab hasil karya KH. Bisri Mustofa, yang paling
terkenal adalah kitab tafsirnya yang bernama al-Ibriz. Tafsir al-Ibriz ini
bersumber dari ijtihad Kiai Bisri yang menggunakan Bahasa Jawa dan
ditulis dengan huruf Arab pegon. Alasan ayah KH. A. Musthofa Bisri ini
menulisnya menggunakan pegon adalah supaya kaum muslimin yang
berada di Jawa dan waktu itu belum banyak yang bias membaca huruf
latin dapat memahami makna al-Quran dengan mudah dan dapat
memberi manfaat di dunia atau pun akhirat. Penulisan kitab al-Ibriz ini
membutuhkan waktu enam tahun mulai 1954 sampai 1960. Corak
kombinasi antara fikih dan tasawuf pun bias terlihat di kitab itu. Kitab
yang mencakup tafsir al-Quran secara keseluruhan, tafsir ini dibagi
menjadi tiga jilid.

8
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, 40
47

6. al-Mahmudy
Tafsir al-mahmudy ditulis oleh KH. Ahmad Hamid Wijaya pada
tahun 1989. Tafsir al-Mahmudy diterbitkan oleh PBNU pada saat
Muktamar NU di Krapyak, Yogyakarta. Penerbitan itu lengkap beserta
dengan kata pengantar dari PBNU dan juga dari beberapa pengurus
PBNU yang menjabat pada periode tersebut. Sebab, penulis tafsir al-
Mahmudy adalah Katib Am PBNU yang menjabat selama dua periode.9

7. Tafsir al-Misbah
Nama Prof. Dr. KH. M. Quraish Shihab dengan pada penghujung
abad ke-20 sebagai cendekiawan muslim Indonesia. Salah satu karya
terbaiknya adalah Tafsir al-Mishbah. Dalam kitab ini Prof. Quraish lebih
menggunakan pendekatan eksploratif, deskriptif, analitis, dan
perbandingan. Ini merupakan metode penelitian yang berupaya menggali
sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan oleh ulama-ulama tafsir.
Tafsir al-Mishbah yang terdiri dari lima belas jilid ini sangat berpengaruh
di Indonesia. Bukan hanya menggunakan corak baru dalam penafsiran,
tafsir ini juga menggunakan metode penulisan dengan mengombinasikan
antara metode tahlili dengan metode maudhū’i. Sebelum menafsirkan
dengan metode tahlili terlebih dahulu ia menafsirkan dengan
menggunakan metode maudhū’i.

8. al-Iklīl
Kitab ini dikarang oleh Ulama dari Bangilan, Tuban. Beliau
merupakan adik kandung KH. Bisri Mustofa, Rembang. Metode
penulisan Tafsir al-Iklil terdiri dari tiga bentuk sistematika penulisan. Di

9
Mafri Amir, Literature Tafsir Indonesia, 41
48

antaranya adalah penulisan ayat al-Quran dengan terjemahan Bahasa


Jawa menggunakan aksen pegon, menerangkan secara detail makna yang
dikandung dalam ayat al-Quran dan mengulang penjelasan makna yang
penting.
Metodologi penafsiran terperinci, lugas dan tidak bertele-tele
sehingga sangat tepat dikonsumsi untuk kalangan awam pada umumnya
dan kalangan pesantren pada khususnya. Melihat cara penafsiran yang
digunakan dapat disimpulkan bahwa Tafsir al-Iklil menggunakan metode
tahlīlī.10

9. al-Munir
Penulis kitab ini adalah KH. Daud Islam Soppeng. Karena itulah,
kitab yang ditulis dalam bahasa Bugis ini juga dikenal dengan sebutan
Tafsir Daud Ismail. Tafsir ini memiliki komposisi yang sederhana. Hal
ini bias kita lihat dengan dimulainya suatu pembahasan dengan
mengelompokkan ayat-ayat yang ingin diterjemahkan dan ditafsirkan.
Satu kelompok biasanya terdiri antara 3-10 ayat atau lebih dan kadang-
kadang diberi judul pada setiap kelompok ayat. Penerjemahan ayat-ayat
dalam tafsir Daud Ismail ini mengacu pada terjemahan Departemen
Agama yang sudah ada sebelumnya.

10. Tafsir an-Nur


Tafsir al-Qur’anul Majid atau yang lebih dikenal dengan nama
Tafsir an-Nur ini adalah salah satu karya monumental ulama Indonesia
asal Aceh, yaiitu Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiegy.
Tafsir an-Nur pertama kali terbit pada tahun 1956. Ini adalah kitab tafsir
lengkap pertama karya ulama ahli tafsir Indonesia yang diterbitkan di

10
Mafri Amir, Literature Tafsir Indonesia, 42
49

Indonesia. Tafsir ini mudah dicerna oleh semua golongan masyarakat,


dari para peneliti sampai para pemula. Tafsir inilah pula yang menjadi
rujukan Terjemah Qur’an Departemen Agama Indonesia yang pertama
tahun 1952. Tafsir an-Nur menggunakan dua metode sekaligus, yaitu
maudhū’i tahlili karena dibuat berdasarkan urutan dan susunan al-
Qur’an, ayat per ayat dan surah per surah, dan dengan bentuk penyajian
yang rinci, dan juga metode maudhū’i (tematik) karena sebelum
menjelaskan tafsir suatu surah terlebih dahulu dijelaskan gambaran
umum surah tersebut.11
Tafsir ini juga dapat digolongkan sebagai at-tafsir bil ra’y (tafsir
berdasarkan ijtihad), walaupun tidak semua ayat dijelaskan dengan
metode tersebut. Dapat pula digolongkan sebagai at-tafsir bil-ma’tsur
(tafsir dengan riwayat), yaitu penjelasan suatu ayat dengan ayat lain atau
dengan hadits dan atsar yang sahih. Dalam kitab tafsir ini Hasbi ash-
Shiddieqy banyak mengutip dari rujukan-rujukan mu`tabar (otoritatif).
Sebut saja di antaranya, Tafsir Jami` al-Bayan karya ath-Thabari, Tafsir
al-Qur’an al-`Azhim karya Ibnu Katsir, tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-
Kasysyaf karya az-Zamakhsyari, dan at-Tafsir al-Kabir karya
Fakhruddin ar-Razi. Tidak hanya tafsir klasik, tafsir ulama
muta’akhkhirin juga menjadi sumber ash-Shiddieqy, seperti, tafsir al-
Manar karya Muhammad Rasyid Ridha, tafsir al-Maraghi, Tafsir al-
Qasimi, dan Tafsir al-Wadhih. Selain kitab-kitab tafsir, ia juga merujuk
kepada kitab-kitab induk hadis yang mu`tamad (dipercaya), semisal,
kitab Shahih al-Bukhari wa Shahih Muslim, dan kitab-kitab as-Sunan.12

11
Mafri Amir, Literature Tafsir Indonesia, 43
12
Mafri Amir, Literature Tafsir Indonesia, 45
50

11. Tafsir al-Azhar Karangan Hamka


Hamka adalah seorang pemikir muslim progresif dan tokoh
Muhammadiyah yang rela berkorban dalam memperjuangkan islam
hingga dia dipenjara. Namun maksudnya dia ke penjara bukan menjadi
hambatan dalam berkarya, justru di dalam sel kata itu ia hanya
menyelesaikan penulisan Tafsir al-Azhar. Tafsir al-Ahar adalah salah
satu tafsir karya warga Indonesia yang dirujuk atau dianut dari Tafsir al-
Manar karya Muhammad Abdu dan Rasyid Ridha. Melihat ciri khas
yang ada dalam tafsir karya Hamka tersebut, maka Nampak metode
tahlili (analisis) bergaya tertib mushaf dan corak kombinasi al-Adabi al-
Ijtima’i-Sufi.
Upaya kajian terhadap al-Qur’an dalam bentuk penafsiran
sebenarnya sudah terjadi sejak lama, karena bagaimanapun memahami
pesan-pesan al-Qur’an menjadi hal yang niscaya. Penulisan tafsir al-
Qur’an di Nusantara sudah terjadi sejak abad ke16. Buktinya telah
ditemukan kitab Tafsir surah al-Kahfi [18]: 9 yang ditulis pada masa-
masa itu, meskipun belum diketahui siapa penulis dari kitab tersebut.13
Karya-karya tafsir di Nusantara pada periode abad ke-17 M ditulis
dalam bahasa Melayu berhuruf Arab (Jawi). Hal ini dimungkinkan
terjadi, karena berdasarkan lacakan Anthony H. Johns, seperti telah
dikutip di depan, pada akhir abad ke-16 M telah terjadi pembahasan
lokal Islam di berbagai wilayah Nusantara, seperti tampak pada
penggunaan aksara (script) Arab yang kemudian disebut dengan aksara

13
M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia dari Kontestasi Metodologi
hingga Kontekstualisasi (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014), 61
51

Jawi dan pegon.14 Hampir semua pengkajian sejarah al-Qur’an dan tafsir
di Indonesia sepakat menjadikan Abd Al-Ra‟uf Singkili sebagai perintis
pertama tafsir di Indonesia, bahkan di dunia Melayu.15 Penafsiran
lengkap pertama di Indonesia ditulis oleh Abdur Ra’uf al-Singkili
berjudul Tarjuman Al-Mustafid. Abdur Ra‟uf lahir sekitar 1615 M dan
namanya mengindikasikan keluarganya hidup di Sinkil kepulauan
Sumatera yang saat ini dikenal sebagai bagian dari wilayah Aceh. Beliau
menghabiskan sekitar 19 tahun belajar tafsir, fiqh, dan ilmu-ilmu
keislaman di Arabia antara tahun 1640-an dan kembali ke Aceh sekitar
tahun 1661 M. Kemudian 32 tahun sisa hidupnya dihabiskan untuk
menulis berbagai karya ke Islaman seperti fiqh, tafsir dan tasawuf.
Diantara karya kesusastraannya selama periode ini adalah Tarjuman
alMustafid.16
Karakteristik yang dimiliki tafsir Tarjuman al-Mustafid ini dilihat
dari segi metode dan tehnik penafsiran, Abdur Ra’uf tampaknya hanya
menerjemahkan secara harfiah ayat-ayat al-Qur’an. Kenyataannya tetap
bahwa terjemahannya dari bahasa Arab, sebagaimana tampak dalam
kitab Tarjuman, sangatlah literal. Dia sering kali menggunakan sebuah
teknik-apa yang Riddell sebut kesesuaian kata per kata antara bahasa
Arab dan Melayu (word for word correspondence between the Arabic
and malay) dan kurang memperhatikan bentuk-bentuk sintaks
kesusastraan Melayu. Akibatnya, kata Riddell, hasil produksinya secara
virtual adalah teks bahasa Arab, namun dengan kata-kata Melayu.
Mengamati berbagai katalog manuskrip berbahasa Arab terungkap

14
Anthony Johns, “The Qur’an In The Malay World: Reflection On `Abd Al-
Rauf Of Sinkel (1615-1693)”, Al-Jami‟ah Journal of Islamic Studies. Vol. 9, no. 2 (tb,
1998), 121
15
Faried F. Senong, “al-Qur’an, Modernism Dan Tradisionalisme: Ideologisasi
Sejarah Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia”, Jurnal Studi Al-Qur’an, Ciputat, vol. I, no. 3,
(tb, 2006), 511.
16
Ervan Nurtawab, Tafsir Al-Qur’ān Nusantara Tempo Doeloe, 27-28.
52

bahwa al-Jalalan menjadi sumber utama kajian tafsir yang populer di


berbagai pusat kajian Islam di Arabia dan kemudian di kawasan
Nusantara.
Popularitasnya terletak pada susunannya yang relatif teratur
dengan metode yang ringkas dalam penafsirannya. Tafsirnya disusun
dalam level yang dapat dicapai oleh sebagian masyarakat. Tidak ada
usahanya untuk menjelaskan kandungan ayat yang sedang diterjemahkan
dengan memakai ayat-ayat seide tidak juga dengan hadis nabi, riwayat
sahabat, apalagi dengan kisah israiliyat.17 Pada abad 19 M ini ada pula
literatur tafsir utuh yang ditulis oleh ulama Islam Indonesia, Imam
Nawawi al-Bantani (1813-1879) yaitu Tafsir Munīr li Ma’ālim alTanzīl
yang lebih dikenal dengan tafsir Marah Labid. Namun tafsir yang
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar ini, ditulis di luar
Nusantara, yaitu Makkah. Pada permulaan tahun 1880. Penulisannya
selesai pada Hari Rabu, 5 Rabiul Akhir 1305 H atau 21 Desember
1887.18 sebelumnya naskahnya disodorkan kepada para ulama Makkah
dan Madinah untuk teliti, lalu naskahnya di cetak di negri itu.18 Atas
cemerlang dalam manulis tafsir itu, oleh ulama Mesir, Imam Nawawi
diberi gelar ”sayyid ulama al-hijaz” (pemimpin ulama Hijaz). Mengenai
penulisan tafsirnya ini Syaikh Nawawi, dengan kerendahan hati
(tawadhu), menyebut dirinya sebagai “ahqarul wara” dan menyatakan
bahwa sebagian sahabatnya meminta pendapatnya agar menulis sebuah
tafsir al-Qur’an.
Permintaan tersebut menjadi bahan pemikirannya dalam tempo
waktu yang cukup lama, karena ia merasa khawatir jangan sampai
termasuk orang yang menafsirkan al-Qur’an menurut pendapat dan

17
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, 21.
18
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga
Ideology. (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2013), 45
53

pemikirannya sendiri.19 Metode dan sistematika pada penulisan ini selain


diadakan penelitian dari beberapa metode tafsir yang ada dengan
mengacu pada pendapat al-Farmawi yang membagi metode penafsiran
al-Qur’an pada empat macam: tahlili, ijmali, muqarran dan maudhu’i,
Marah Labid merupakan model tafsir al-tahlīli. Seperti kitab tafsir
standar lainnya, ia ditulis untuk menjelaskan makna al-Qur’an menurut
susunan buku ayat dan surat, dari al-Fatihah sampai al-Nas.
Penjelasan ayat disusun dengan analisis gramatika, hadis nabi,
asbabunnuzul, dan pendapat sahabat serta para penafsir terdahulu, juga
ulama mujtahidin. Dalam menafsirkan ayat, Nawawi biasanya
menggunakan teknik eksegetik berikut: penjelasan kata atau frase (glos),
identifikasi dan perifrase. Ia menggunakan pendekatan ini bukan saja
untuk menjelaskan makna ayat yang menekankan pelajaran yang
didukungnya, tetapi untuk mengungkap koherensi esensial ayat al-
Qur’an (nazm al-ayat) dan memastikan setiap kekosongan potensial diisi
dengan makna implisit.20 Dalam rentang waktu abad-20, tafsir al-Qur’an
pertama yang terbit adalah tafsir al-Qur’an Karim bahasa Indonesia,
ditulis oleh Muhammad Yunus.21 Tafsir kontemporer mulai muncul
berkenaan dengan istilah pembaharuan yang sangat gencar dipopulerkan
oleh beberapa ulama yang menginginkan Islam sebagai agama yang
sudah sejak 14 abad silam. Pemahaman al-Qur’an yang terkesan “jalan di
tempat” ini sungguh menghilangkan ciri khas al-Qur’an sebagai kitab

19
Endad Musaddad, Studi Tafsir Di Indonesia Kajian atas Tafsir Karya Ulama
Nusantara, 50
20
Endad Musaddad, Studi Tafsir Di Indonesia Kajian atas Tafsir Karya Ulama
Nusantara, 52
21
Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsir Al-Qur’ān Di Indonesia Abad Keduapuluh,
Jurnal LSAF, vol. III, no.4 (tb, 1992), 71.
54

yang sangat sempurna dan komplit sekaligus dapat menjawab segala


permasalahan klasik maupun modern.22
Pada tahun 1938, Mahmud Yunus menerbitkan Terjamah al-
Qur’an al-Karim, yang telah dimulai pada tahun 1924. Ini merupakan
karya pertama yang dapat diakses dalam bahasa Melayu untuk
keseluruhan ayat al-Qur’an sejak karya, Abd Ra’uf Tarjuman al-
Mustafid yang muncul sekitar tiga abad sebelumnya.23 Latar belakang
penulisan tafsir ini berawal pada tahun 1922 di Indonesia ia mulai
menerjemahkan al-Qur’an dan diterbitkan tiga juz dengan huruf Arab
Melayu untuk memberi pemahaman bagi masyarakat yang belum begitu
paham bahasa Arab.
Akan tetapi pada waktu tersebut umumnya ulama Islam
mengatakan haram menerjemahkan al-Qur’an dan ia tidak mendengarkan
bantahan itu. Kemudian usahanya itu berhenti, karena ia ingin
meneruskan studinya ke Mesir. Sepulang menuntut ilmu, tepatnya pada
bulan Ramadhan tahun 1354 H (Desember 1935), ia mulai kembali
menerjemahkan serta tafsir ayat-ayat penting yang diberi nama “Tafsir
al-Quran al-Karīm”. Berkat pertolongan Allah akhirnya pada bulan
April 1938 tamatlah ia menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur’an
sampai tiga puluh juz. Metode yang digunakan pada tafsir al-Qur’an al-
Karīm Mahmud Yunus ini menunjuk pada metode tahlili,24 suatu metode
tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari
seluruh aspeknya yang runtut dari awal sampai akhir mushaf. Dalam
22
Muhammad Sayyid Thanthawi, Mabahits fi Ulum Al-Qur’ān (Kairo: Azhar
Press, 2003), h 12.
23
Anthony H. Jons, “Tafsir Al-Qur’an Di Dunia Indonesia-Melayu,”, Jurnal
Studi Al-Qur’an, vol. I, no. 3 (Ciputat, 2006), 481.
24
Metode tafsir tahlili lebih populer tafsir tahlili sahaja adalah tafsir sejenis
tafsir yang berusaha menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’ān dari berbagai seginya secara
meluas, berdasarkan urutan ayat-ayat atau surat sebagaimana tersusun pada mushaf.
Metode penafsirannya menonjolkan analitis terhadap lafaz-lafaz, sebab-sebab turun,
hadis yang berhubungan dan pendapat-pendapat para mufasir terdahulu.
55

menafsirkan al-Qur’an para ulama tafsir mempergunakan berbagai


metode tahlili, ijmali, muqarān, dan maudhu‟i. untuk menafsirkan al-
Qur’an.
Yunus menempuh metode ijmali, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-
Qur’an secara singkat mulai dari surat pertama (al-Fatihah) sampai surat
terakhir (al-Nās), berdasarkan susunan mushaf Utsmani. Dalam tafsirnya
tersebut Yunus hanya menjelaskan pokok-pokok kandungan ayat. Dari
ayat sekian sampai ayat selanjutnya, kurang lebih 1 sampai 3 ayat dalam
satu penjelasan (tafsirnya).25 Sesudah tafsir al-Qur’an Karim bahasa
Indonesia oleh Mahmud Yunus, dijumpai pula tafsir al-Qur’an yang
ditulis oleh salah satu dari beberapa karya tafsir berbahasa Jawa dan
cukup fenomenal yakni al-Ibriz Li Ma‟rifah Tafsīr al-Qur‟ān al-Aziz
karya Bisri Musthofa. Seorang ulama karismatis asal Rembang Jawa
Tengah. Bisri Musthofa, nama kecilnya mashadi, dilahirkan di Kampung
Sawahan Gang Pelen, pada tahun 1915 M di Rembang Jawa Tengah dan
wafat pada 16 Safar 1397/24 Februari 1977.
Dalam tradisi pesantren, terutama pesantren di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, karya tafsir Bisri Musthofa ini sama sekali tidak asing.
Karya ini lumrah dikaji oleh para santri sejak kemunculannya hingga
kini. Karya ini memang ditunjukkan oleh para santri pesantren.
Sehingga, tidak aneh jika karya ini dikenal sangat luas di kalangan
pesantren dan tidak di luar pesantren. Kemudian dengan penggunaan
bahasa Jawa yang sangat kental, karya ini menjadi kian akrab dengan
suasana pesantren di Jawa. Tafsir al-Ibriz menurut kitab kamus bahasa
Arab terkemuka, berasal dari kata Yunani yang berarti emas murni. Dari
segi judul, bisa jadi ia terilhami Kitab Manaqib klasik al-Ibriz, yang

25
7Endad Musaddad, Studi Tafsir di Indonesia Kajian atas Tafsir Karya Ulama
Nusantara, 92
56

ditulis sufi besar asal Maroko yang hidup di abad ke-18, Syaikh Abdul
Aziz al-Dabbagh.26
Metode dalam Tafsir al-Ibriz ini adalah metode tahlili, hal ini
dapat kita lihat ketika Bisri Musthafa mengungkapkan keseluruhan ayat
al-Qur’an sesuai dengan mushaf Utsmani. Penafsiran ini menggunakan
kalimat yang praktis dan mudah dipahami tanpa berbelit-belit. Kemudian
sistematika yang ia pakai dalam memetakan sistematika penulisan tafsir
al-Ibriz yakni: Ayat al-Qur’an ditulis di tengah dengan diberi makna
gundul.27 Terjemahan tafsir ditulis di bagian pinggir dengan memakai
nomor, nomor ayat berada di akhir di sebuah kalimat sedangkan nomor
terjemah berada di awal.28Kemudian keterangan-keterangan lain yang
terkait dengan penafsiran ayat dimasukkan dalam subbab kategori
tanbih, faidah, muhimmah, dan lainlain. Kemudian muncul lagi ulama
pejuang yang berhasil menjadi peletak dasar kebangkitan komunitas
Islam modern atau Kaum Gedongan yaitu H. Abdul Karim Malik
Amarullah (Hamka) nama ini adalah nama sesudah ia menunaikan
ibadah haji pada 1927 dan mendapatkan tambahan haji, lahir di Sungai
Batang, Maninjau (Sumatera Barat) pada hari Ahad, tanggal 16 Februari
1908 M/13 Muharram 1326 H dari kalangan keluarga yang taat
beragama, gelar buya diberikan kepadanya, sebuah panggilan buat orang
Minangkabau yang berasal dari kata abi atau abuya yang dalam bahasa
Arab berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.29

26
Mafri Amir, Literatur Tafsir di Indonesia (Tangerang: Mazhab Ciputat, 2013),
147-149.
27
Makna gundul adalah metode pemberian makna dengan memakai huruf pegon
dan ditulis secara miring di bawah sebuah lafal atau kata yang diberi makna, yang dalam
hal ini adalah ayat al-Qur’an.
28
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, 147-149
29
Endan Musaddad, Studi Tafsir Di Indonesia Kajian atas Tafsir Karya Ulama
Nusantara. (Tangerang: Sintesis, 2012), 121
57

Buya Hamka banyak menulis tulisan baik dalam bentuk sastra,


maupun tulisan-tulisan tentang keislaman. Salah satunya Tafsir al-Azhar
karya Hamka ini merupakan karya monumentalnya sendiri. Lewat tafsir
ini Hamka mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya hampir di
semua disiplin yang tercakup oleh bidang agama Islam. Hamka berusaha
menampilkan tafsirnya dengan bahasa yang mudah dan lugas. Ia
mencoba menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dari beberapa aspek dengan
menggunakan pembahasan yang relatif tidak terlalu panjang lebar, tetapi
juga tidak terlalu pendek. Dengan kata lain ia berusaha menghidangkan
sebuah hidangan karya tafsir yang cukup dan sesuai dengan selera
pembacanya. Sumber penafsiran yang digunakan oleh buya Hamka
dalam menafsirkan al-Qur’an adalah penafsiran ayat dengan ayat yang
lain, juga ayat dengan hadis (tafsir bi al-ma’tsur). Di samping itu buya
Hamka juga menggunakan sejarah, antropologi, dan sosiologi sebagai
sumber penafsiran untuk memperkaya tafsirnya.30
Gaya dan kecenderungan tafsir seperti itu oleh para ahli tafsir,
disebut dengan tafsir al-adāb al-ijtima’i. Adapun sistematika yang
ditempuh Hamka dalam tafsirnya antara lain: pertama, menyebut nama
surat berikut terjemahannya dalam bahasa Indonesia, nomor urut surat
dalam susunan mushaf, jumlah ayat dan tempat diturunkannya surat.
Kedua, mengelompokkan ayat-ayat dalam satu surat menjadi beberapa
kelompok sesuai tuntunan sub tema dari keseluruhan tema surat.
Sistematika penyusunan semacam ini bisa kita bandingkan dengan tafsir
departemen agama, al-Maraghi atau Tafsir al-Nur dan al-Misbah.
Ketiga, memberi pendahuluan atau pengantar sebelum masuk pada ayat-
ayat yang sudah dipenggal dalam satu kelompok ayat.

30
Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz ke-1, cet ke-1 (Jakarta:Penerbit Pustaka
Panjimas, 1982), 42.
58

Pengantar ini adakalanya didahului dengan mengutip suatu riwayat


tentang surat yang akan ditafsirkan yaitu berupa asbabunnuzul turunnya
suatu surat atau ayat.31 Selanjutnya pada titik ini, yakni Prof. Dr.
Muhammad Quraish Shihab pun mengalami hal yang sama. Bahwasanya
tafsir itu sangat dipengaruhi oleh kondisi di mana mufasir itu hidup. Baik
kondisi masyarakatnya, relasi dan jaringan ulama. Muhammad Quraish
Shihab, lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, 16 februari 1944/21 safar
1363 H. Quraish Shihab adalah seorang cendekiawan muslim dalam
ilmu-ilmu al-Qur’an. Ayahnya Prof. Dr. Abdurrahman Shihab, seorang
penggagas sekaligus pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI)
Makassar.32
Muhammad Quraish Shihab ini sudah banyak mengarang buku,
satu di antara karyanya yang monumental adalah tafsir al-Misbah, tafsir
ini diberi nama al-Misbah oleh dia sendiri. Dari segi penamaannya, al-
Mishbah berarti “lampu, pelita, atau lentera” yang mengindikasikan
makna kehidupan dan berbagai persoalan umat diterangi oleh cahaya al-
Qur’an.33 Penulisnya menceritakan al-Qur’an agar semakin „membumi‟
dan mudah dipahami oleh pembacanya. Tafsir yang terdiri dari 15
volume besar ini menafsirkan al-Qur’an secara tahlili, yaitu menafsirkan
ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam setiap surat. Penekanan
dalam uraian-uraian tafsir itu adalah pada pengertian kosakata dan
ungkapan-ungkapan al-Qur’an dengan merujuk kepada pandangan pakar
bahasa dan ulama tafsir, kemudian memperhatikan bagaimana kosakata
atau ungkapan itu digunakan oleh al-Qur’an. Kitab tafsir yang berjumlah
lima belas jilid ini mempunyai corak penafsiran al-Adabi al-Ijtima’i. bisa

31
Endan Musaddad, Studi Tafsir Di Indonesia Kajian atas Tafsir Karya Ulama
Nusantara, 124.
32
Mafri Amir, Literature Tafsir Indonesia, 169.
33
Mafri Amir, Literature Tafsir Indonesia, 273.
59

juga dikatakan bahwasanya tafsir ini memiliki kecenderungan lughawi.


Hal ini didasarkan kepada banyaknya pembahasan tentang kata. Apalagi
terhadap kata atau ungkapan yang selama ini disalahpahami oleh
sebagian pembaca. Karena tujuan penafsiran adalah untuk meluruskan
yang keliriuan masyarakat terhadap al-Qur’an. Selain itu, penafsiran
yang dilakukan oleh Quraish Shihab ini juga berdasar pada
pemikirannya. Maka menurut penulis bahwa Tafsir al-Mishbah ini
merupakan karya tafsir bil ra’yi.34

B. Karaktristik Tafsir Nusantara

Dalam perspektif metodologis, tafsir Nusantara dilacak mengukur


metode dan corek penafsirannya. Adapun yang dimaksud ialah metode
tafsir tahlīli (analisa), ijmāli (global), muqāran (komparasi) dan maudhū’i
(tematik)35. Sementara untuk melacak perkembangan tafsir dalam
dinamika perubahan waktu dapat dilihat dengan pendekatan sejarah.

Jika diamati dengan seksama tafsir al-Qur’an yang diterapkan oleh


para ulama, belum mengacu pada bentuk yang baku secara ketat, dari
sudut dan coraknya dapat dikatakan bersifat umum. Artinya penafsiran
yang diberikan tidak didominasi oleh satu warna atau pemikiran tertentu,
tetapi menjelaskan ayat-ayat yang dibutuhkan secara umum dam
proporsional, misalnya ayat-ayat tentang hukum-hukum fiqih dijelaskan
jika terjadi kasus-kasus fiqhiyah seperti salat, zakat dan puasa. Begitu pula
ayat mu’amalah, misalnya jual beli, ditafsirkan pada saat berlangsung

34
Tafsir bil ra‟yi adalah metodologi bayan al-Qur’ān berdasarkan rasionalitas
pikiran (alra‟yu), dan pengetahuan empiric (ad-dirayah). Tafsir jenis ini mengandalkan
kemampuan “ijtihad” seorang mufassir, dan tidak berdasarkan pada kehadiran riwayat-
riwayat (ar-riwayat). Disamping aspek itu, kemampuan tete bahasa, retorika, etimologi,
konsep yurispru densi, dan pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan
35
Fauzi Saleh, “Mengungkap Keunikan Tafsir Aceh.” Jurnal al-Ulum, vol. 12,
no. 2 (tb, 2012), 381.
60

transaksi jual beli sesuai dengan aturan-aturan muamalah. Ayat tentang


perkawinan ditafsirkan ketika terjadi akad nikah. Dengan demikian, corak
penafsiran yang diberikan menjadi umum dan proporsional. hal ini sangat
logis karena para ulama waktu itu tidak bertujuan menyampaikan tafsir al-
Qur’an secara khusus dan simultan, tetapi yang menjadi tujuan utama
mereka ialah menyampaikan ajaran Islam secara utuh dalam satu paket,
baik tafsir, teologi, fiqih, maupun tasawuf. jadi pada hakikatnya tafsir al-
Qur’an klasik ini menganut corak umum tidak mengacu pada satu corak
tertentu. Mengenai bahasa yang digunakan pada tafsir Nusantara dapat
dilihat melalui gambaran sebuah penafsiran al-Qur’an dalam masyarakat
Jawa, Sunda dan Melayu saat itu sudah melewati proses transmisi yang
amat panjang. Dominasi ideologis yang muncul akan berbeda antara satu
teks dengan teks yang lain. Perbedaan ini karena adanya dominasi salah
satu dari empat faktor yang tidak sama, antara lain: pertama, kualitas dan
kuantitas ilmu keislaman yang diserap; kedua, arabisasi; ketiga, kualitas
struktur teks dan masyarakat yang telah menafsirkan al-Qur’an terlebih
dahulu; dan keempat, kemapanan struktur teks dan masyarakat yang
bersangkutan.

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa proses penafsiran al-Qur’an


yang terjadi pada suatu kultur akan menghasilkan setidaknya tiga corak
penafsiran yang berbeda seiring dengan perbedaan kultur historis dan
sosiologisnya ketika mencoba memahami al-Qur’an. Ketiga corak tersebut
antara lain: pertama, penafsiran dan jenis teks tafsir yang dihasilkan sesuai
dengan penafsiran dalam struktur budaya dan bahasa pada kultur asal.
Misalnya: Marāh Labid karya imam Nawawi al-Bantanī. Kedua,
penafsiran dan jenis tafsir yang dihasilkan mengalami penyesuaian dengan
struktur teks dan budaya masyarakat lokal. Hal ini terlihat dari usaha
pengarang dalam menggunakan bahasa lokal dalam memberi penafsiran
61

dan tetap mencantumkan teks al-Qur’an yang asli. Ketiga, penafsiran dan
jenis tafsir yang dihasilkan mengalami proses lokalisasi secara
signifikan.36

Seperti tafsir al-Qur’an di Jawa dan Sunda yang sering disebut


dengan huruf jawi dan pegon kemudian model aksara ini terus berusaha
menjadi dominan dalam tradisi penulisan naskah-naskah keislaman,
khususnya naskah tafsir, yang berkembang di masyarakat Jawa dan Sunda,
begitu juga Melayu.37Pada sebagian besar tafsir Jawa dan Sunda yang
menggunakan pegon aksara bahasa Jawa, dominasi struktur budaya dan
bahasa Jawa jauh lebih mapan ketimbang bahasa yang lain, terutama
terhadap bahasa Sunda. Dari segi isi, kenyataan menunjukkan bahwa
didominasi ideologi bahasa akan tampak ketika penafsiran dilakukan
menggunakan bahasa tertentu. Hal ini menyebabkan terjadinya
pergumulan dua atau lebih ideologi ketika proses penafsiran itu
dilakukan.38 Naskah-naskah keislaman di Jawa banyak ditulis berbahasa
dan beraksara Jawa.

Jarang sekali terlihat penggunaan bahasa Arab dalam penulisan


naskah keagamaan selain penulisan al-Qur’an, hal ini juga ditandai dengan
berbagai kesalahan pengejaan istilah-istilah Arab lantaran perbedaan
dialek antar kedua bahasa tersebut. Faktor-faktor di atas menguatkan bukti
sangat kuatnya struktur bahasa dan sastra Jawa jika dikaitkan dengan
konversi Islam dan arabisasi terhadap budaya sinkretis masyarakat Jawa
itu. Penjelasan di atas membuktikan bahwasanya kultur asal sangat
mempengaruhi penafsiran al-Qur’an di Nusantara.

36
Ervan Nutawab, Tafsir Al-Qur’ān NusantaraTempo Doeloe, 203-204
37
Ervan Nurtawab, “Melacak Tradisi Awal Penafsiran Al-Qur’ān di Nusantara”,
Jurnal Lektur Kegamaan vol. 4, no, 2 (tb, 2006), 13.
38
7 Ervan Nurtawab, Tafsir Al-Qurān Nusantara Tempo Doeloe. 179
62

Mayoritas kalangan modernis berargumen bahwa (sebagian besar)


umat Islam tidak memahami pesan al-Qur’an yang sesungguhnya
karenanya kehilangan sentuhan dengan inti pengetahuan, semangat
rasional dari teks.48 Adapun karakteristik yang menonjol yang
membedakannya dari pemahaman metodologi tafsir yang terdahulu
adalah: pertama, metodologi tafsir pada saat ini menjadikan al-Qur’an
sebagai kitab petunjuk, atau meminjam istilah amīn khūllī (w. 1966 M),
al-ihtidā’ bi al-Qur’ān.39 Hal ini tidak terlepas dari pengaruh Syaikh
Muḥammad Abduh yang ingin mengembalikan fungsi al-Qur’an sebagai
kitab petunjuk.40 Dan kedua adanya kecenderungan penafsir yang melihat
kepada pesan yang ada dibalik teks al-Qur’an. Dengan kata lain
metodologi tafsir pada saat ini tidak menerima begitu saja apa yang
diungkapkan oleh al-Qur’an secara literal, tetapi mencoba melihat lebih
jauh sasaran yang ingin dicapai oleh ungkapan literal tersebut, dengan
demikian apa yang ingin dicari adalah “ruh” atau pesan moral al-Qur’an.41

Dalam upaya mengembalikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk


(hudan li alnās), para mufasir berpandangan bahwa al-Qur’an adalah kitab
suci yang tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang mati, namun al-Qur’an
adalah kitab suci yang hidup. Menurut para muslim sekarang ini, bahwa
al-Qur’an adalah kitab suci yang kemunculannya tidak terlepas dari
konteks kesejahteraan umat manusia. al-Qur’an diturunkan bukan dalam
hampa budaya, namun datang dan diturunkan dalam zaman dan ruang
yang sarat budaya. Pada awal abad ke-20 M, kemudian bermunculan
beragam literatur tafsir yang mulai ditulis oleh kalangan Muslim

39
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qurān Kontemporer Dalam
Pandangan Fazlur Rahman (Ciputat: Sulthan Thaha Press, 2007), 81.
40
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qurān Kontemporer Dalam
Pandangan Fazlur Rahman, 81.
41
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Dalam
Pandangan Fazlur Rahman, 81.
63

Indonesia. Kita mengenal sederet nama, misalnya Mahmud Yunus, A.


Hassan, T.M. Hasbi Ashiddieqy, Hamka, Bisri Mustofa, sebagai generasi
selanjutnya yang masing-masing menulis tafsir genap 30 juz dengan
model penyajian runtut (tahlīlī) sesuai dengan urutan surah dalam mushaf
utsmani. Disamping itu banyak nama-nama lain yang menulis tafsir bukan
dengan model runtut, tetapi dengan model tematik. Yang terkini, kita
mengenal sederet nama yang menyusun tafsir, seperti Jalaluddin Rahmat,
Syu’bah Asa, Didin Hafiduddin, M. Quraish Shihab dan yang lain.42

Adapun metode penafsiran al-Qur’an pada masa sekarang ini


menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat
penafsirannya. Persoalan yang muncul di hadapan dikaji dan dianalisis
dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan problem yang sedang
dihadapinya serta sebab-sebab yang melatarbelakanginya. Adapun
problem kemanusiaan yang muncul di hadapan adalah seperti; masalah
Kemiskinan, Pengangguran, Kesehatan, Ketidakadilan, Hukum, Ekonomi,
Politik, Budaya, Diskriminasi, Sensitifitas Gender, HAM dan masalah
ketimpangan yang lain. Sehingga dengan demikian metodologi tafsir saat
ini adalah kajian di sekitar metode-metode tafsir yang berkembang pada
43
era kontemporer. Dengan adanya kodifikasi al-Qur’an maka teks kitab
suci ini menjadi korpus tertutup dan terbatas. Padahal, problem umat

42
Islah Gusmian, Paradigma Penelitian Tafsir Al-Qur’an di Indonesia.
Epirisma Vol. 24 No.1 (Januari 2015), 10.
43
Istilah kontemporer berasal dari kata bahasa Inggris kontemporer yang berarti
“sekarang; modern” (Islah Gusmian, Paradigma Penelitian Tafsir al-Qur’ān di Indonesia.
Epirisma Vol. 24 No. 1 (Januari 2015), 10. Sementara itu tidak ada kesepakatan yang
jelas tentang cakupan istilah kontemporer. Misalnya apakah istilah ini meliputi abad ke-
19 atau hanya merujuk pada abad ke-20 atau ke-21?. Namun demikian sebagian pakar
berpendapat bahwa kontemporer identik dengan modern dan keduanya digunakan secara
bergantian (interchangeably). Dalam konteks peradaban Islam, kedua istilah itu dipakai
saat terjadi kontak intelektual pertama dunia muslim dengan barat, sebagaimana tampak
pada pemikiran al-thantawi (1817-1898) di India. Lihat Ahmad Syukri Saleh, Metodologi
Tafsir Al-Qur’ān Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jakarta: Gaung
Persada Press, 2007), 42.
64

manusia begitu komplek dan tidak terbatas. Ini meniscayakan para mufasir
untuk berusaha mengaktualkan dan mengkontekstualisasikan pesan-pesan
universal al-Qur’an ke dalam konteks partikular era kontemporer. Hal ini
hanya dapat dilakukan jika al-Qur’an ditafsirkan sesuai dengan semangat
zamannya, berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar universal al-
Qur’an.44

Perkembangan tafsir pada masa kini tidak dapat begitu saja


dilepaskan dengan perkembangannya di masa modern. Paradigma tafsir
kontemporer dapat diartikan sebagai sebuah model atau cara pandang,
totalitas premis-premis dan metodologis yang dipergunakan dalam
penafsiran al-Qur’an di era kekinian. Meskipun masing-masing paradigma
tafsir memiliki keunikan dan karakteristiknya sendiri, namun ada beberapa
karakteristik yang menonjol dalam paradigma tafsir kontemporer, antara
lain ialah corak. Secara umum, dapat dikatakan tafsir di Indonesia banyak
terpengaruh oleh corak tafsir di Mesir. Yakni banyak yang memakai
konsep Tafsir Adabiy-Ijtimāi (sastra kemasyarakatan). Pertama kali corak
ini dipandang sebagai corak tafsir kontemporer. Awal dari corak ini bisa
dilihat dalam Tafsir al-Manār karya Rasyid Ridha dan M. Abduh. Tafsir
dengan metode ini digunakan agar al-Qur’an lebih dekat dengan
masyarakat dan juga untuk menjawab problematika yang mereka rasakan
waktu itu. Pertama kali corak tafsir ini berkembang di Mesir. Paham
progresif dan modernis inilah yang kemudian muncul di Indonesia.
Apalagi waktu itu Indonesia pun sedang mengalami penjajahan yang
dilakukan oleh Belanda dan Jepang dalam waktu hampir bersamaan. Maka
paham progresif dan modernis ini cepat menyebar di Indonesia. Adapun
corak tafsir yang berkembang hingga saat ini di antara corak sufi, falsafi,

44
Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS
Printing Cemerlang, 2011). h 55.
65

llmī, al-adāb al-ijtima’ī45 Adapun tafsir yang merujuk ulama salaf pertama
tafsir berdasarkan riwayah, yang biasa disebut tafsir bi al-ma`tsur, kedua,
tafsir yang berdasarkan dirayah, yang dikenal dengan tafsir bi al ra`y atau
bi al ajtihadi, dan ketiga, tafsir yang berdasarkan isyarat yang populer
dengan nama Tafsir al-Isyri.46

Pada perkembangan dewasa ini, yang merujuk pada temuan ulama


kontemporer, yang dianut sebagian pakar al-Qur’an misalnya al-Farmawi
(di Indonesia) yang dipopulerkan oleh M. Quraish Shihab dalam berbagai
tulisanya – adalah pemilahan metode tafsir al-Qur`an kepada empat
metode Ijmali (Global), Tahlili (Analis), Muqarin (Perbandingan),
Maudlu`i (Tematik). Metode tafsir bedasarkan riwayah, dirayah, dan
Isyra`I dikategorikan dalam metode klasik, sedangkan empat metode yang
berupa Ijmali, Tahlili, Muqarin, dan Maudlu`i, ditambah satu metode lagi,
yaitu metode kontekstual (menafsirkan al-Qur`an berlandaskan
pertimbangan latar belakang sejarah, sosiologi, budaya, adat istiadat, dan
pranata-pranata yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Arab
sebelum dan sesudah turunnya al-Qur`an) termasuk dalam kategori tafsir
kontemporer.

Adanya pengklasifikasian metode tafsir ini tentunya tidak


dimaksudkan untuk mendekonstuksi atas yang favorit dan yang tidak
favorit, tapi lebih ditunjukan untuk mempermudah penelusuran sejarah
tersebut, dan untuk melengkapi satu sama lainnya.47 Dari empat macam
tafsir yang telah disebutkan tadi bahwasannya karya-karya tersebut lebih

45
auzi Saleh, Mengungkap Keunikan Tafsir Aceh. (Banda Aceh: Jurnal Al-
Ulum, 2012). Vol 12, No.2, 381. Lihat juga Muhammad Husayn al-Dhahabi, al-Tafsir wa
al-Mufassirūn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2003), 10.
46
Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al Qur`an Kontemporer dalam Pandangan
Fazlur Rahman, 44-45.
47
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’ān Kontemporer dalam
Pandangan Fazlur Rahman. (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), 47.
66

bersifat terjemahan daripada tafsir yang luas dan rinci, metode yang
digunakan dalam karya itu ialah metode global (ijmali). Namun pada ayat
tertentu yang dianggap penting, ada yang memberikan penafsiran agak
rinci, seperti penafsiran Mahmud Yunus beliau menerapkan pada sebagian
besar ayat al-Qur’an, dan itu tentu saja akan masuk katagori tahlili dengan
uraian yang cukup memadai dan rinci. Yang dibahas tidak hanya masalah-
masalah tarbiyah, akidah, akhlak dan kandungan ayat lainnya, tetapi lebih
dari itu ia menggunakan sejumlah perbedaan pendapat, baik menyangkut
redaksi (qira’āt) ayat maupun kandungan maknanya. Semua itu dijelaskan
dengan argumen yang kuat, baik dari al-Qur’an sendiri, hadis-hadis nabi,
maupun pendapat ulama48. Kemudian tafsir al-Azhar karya Hamka,
Hamka memakai metode analitis sehingga peluang untuk mengemukakan
tafsir yang rinci dan memadai menjadi lebih besar. Kiranya perlu
dikemukakan bahwa urutan nominansi metode global, analitis,
perbandingan, tematik dan kontekstual, di sini tidak berarti bahwa metode
global lebih awal munculnya atau unggul dibanding metode analisis atau
perbandingan, tetapi lebih didasarkan pada realitas perkembangan terakhir
penerapan metode-metode tersebut.49

48
Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al Qur`an Kontemporer dalam Pandangan
Fazlur Rahman, 46
49
ashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur‟ān di Indonesia (Solo: Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri), 92.
BAB IV
PANDANGAN PENAFSIRAN MUFASIR NUSANTARA
TERHADAP PERDAMAIAN DALAM AL-QUR’AN

Dalam al-Qur’an sebenarnya banyak sekali ayat-ayat yang


mengisyaratkan bahwa al-Qur’an sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
kedamaian. Sebab, pada dasarnya al-Qur’an diturunkan sebagai raḥmat li
al-‘ālamīn (menjadi rahmat bagi sekalian alam) yang tidak terbatas pada
orang-orang muslim saja (beragama Islam). Kehadiran al-Qur’an di
tengah-tengah masyarakat multikultur, multietnis, dan sifat-sifat
keberagaman yang lain sebetulnya membawa misa perdamaian. Hal ini
terbukti dengan ayat-ayat yang akan dijelaskan dalam pembahasan ini.
Namun, penulis hanya menyeleksi beberapa ayat sesuai dengan yang
ditentukan oleh dosen pengampu dan mencoba untuk mengelaborasinya
dengan ayat-ayat lain yang dipandang relevan dengan pembahasan tentang
perdamaian ini. Analisis historis juga digunakan untuk menghasilkan
pemahaman yang komprehensif.1

Sebelum penulis masuk kepembahasan pandangan Bisri Musthofa


dalam tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Ibrīz dan Misbah Musthofa dalam
tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Iklīl terhadap ayat-ayat perdamaian
dalam al-Qur’an disini juga penulis akan menuangkan pandangan-
pandangan mufasir yang lainnya. Penulis menambahkan pendapat mufasir
lain untuk memperkokoh penelitian ini, yang digunakan adalah Tafsir al-
Misabah karangan M. Quraish Shihab, Tafsir Kementrian Agama Republik
Indonesia, Tafsir Fī Dzilil Qur’ān Karya Sayyid Qutub, Tafsir Ibn Katsir
karya ibn Katsir, Tafsir as-Sa’di karya Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di,

1
Said Agil Husain Munawar, al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), 3.

67
68

dan Tafsir al-Ahkam karya Syaikh Abdul Halim, serta pendapat Jumhūr
Ulama.

A. Ayat-Ayat Tentang Perdamaian dalam al-Qur’an


Setelah penulis mencari ayat-ayat tentang perdamaian dalam al-
Qur’an dalam beberapa buku dan kita: Mu’jam al-Mufahras li al-Fadzi al-
Qurān al-Karīm2, Ensklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata3, Ensiklopedia
al-Quran Dunia Islam Modern4, Kunci dan Klasifikasi Ayat-Ayat al-
Quran5, Indeks al-Qur’an: Panduan Mencari Ayat al-Quran Berdasarkan
Kata dasarnya6, Indeks Terjemah al-Quranul-Karim7, dan Konkordasi
Quran: Panduan Kata Dalam Mencari Ayat Quran8. Maka ayat-ayat
perdamaian ada dalam Surah al-Baqarah: 224, an-Nisā’: 128, ar-Rūm: 21,
dan al-Ḥujurāt: 9-10. Untuk memudahkannya penulis membuatkan tabel
sebagai berikut.

Tabel 4. 1: Ayat-Ayat Tentang Perdamaian

No Lafaz Lokasi Arti

2
Muhammad ’Abd al-Baqi, Mu’jam al-Mufahras li al-Fadzi al-Qurān al-Karīm
(Bairūt, Dar al-Fikr, 1994)
3
Pusat Studi al-Quran, Enskikolopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta:
Lentera Hati, 2007)
4
HM. Sonhaji, Ensiklopedia al-Quran Dunia Islam Modern (Yogyakarta, PT.
Dana Bhakti Primayasa, 2003)
5
A. Hamid Hasan Qolay, Kunci dan Klasifikasi Ayat-Ayat al-Quran (Bandung,
Penerbit Pustaka, 1989)
6
Azharuddin Sahil, Indeks al-Qur’an: Panduan Mencari Ayat al-Quran
Berdasarkan Kata dasarnya (Jakarta, Penerbit Mizan, 1996)
7
A. Hamid Hasan Qolay, Indeks Terjemah al-Quranul-Karim (Jakarta, PT.
Inline Raya Jakarta, 1997)
8
Ali Auda, Konkordasi Quran: Panduan Kata Dalam Mencari Ayat Quran
(Jakarta, PT. Pustaka Literasi Antar Nusa, 1997)
69

9
1 ‫تْصْلْحْوْا‬ al-Baqarah: 224 Kedamaian10

11
2 ْ‫يْصْلْحا‬ an-Nisā’: 128 Perdamaian12

13
3 ‫صْلْحْا‬ an-Nisā’: 128 Perdamaian14

15
4 ْ‫الصْلْح‬ an-Nisā’: 128 Perdamaian16

17
5 ْ‫موَّدة‬ ar-Rūm: 21 Kasih18

19
6 ْ‫وْرْحْة‬ ar-Rūm: 21 Sayang20

21
7 ‫فْاصْلْحْوْا‬ al-Ḥujurāt: 9 Damaikanlah22

23
8 ‫فاصلحوا‬ al-Ḥujurāt: 9 Damaikanlah24

25
9 ‫فاصلحوا‬ al-Ḥujarāt:10 Damaikanlah26

9
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, cet.
12 (Jakarta, PT. APP Sinarmas, Jakarta), 35.
10
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 35.
11
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 99.
12
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 99.
13
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 99.
14
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 99.
15
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 99.
16
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 99.
17
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 406.
18
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 406.
19
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 406.
20
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 406.
21
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 516.
22
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 516.
23
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 516.
24
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 516.
25
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 516.
26
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 516.
70

B. Penafsiran Perdamaian Menurut Beberapa Ulama Nusantara

Dalam al-Quran ada sembilan kata yang memiliki arti perdamaian,


di Surah al-Baqarah: 224 pada kata “‫”تْصْلْحْْوا‬, Surah an-Nisā’: 128 pada
kata “ْ‫”يْصْلْحا‬, “‫”صْلْحْا‬, dan “ْ‫”الصْلْح‬, pada Surah ar-Rūm: 21 pada kata
“ْ‫ ”مو َّدة‬dan “ْ‫”ْوْرحْة‬, pada al-Ḥujurāt: 9 pada kata “‫ ”فْاصْلْحْْوا‬dan “‫”فاصلحوا‬,
serta pada Surah al-Ḥujurāt: 10 “‫”فاصلحوا‬. Untuk memudahkannya maka
penulis membuatkan tabel sebagai berikut, bagaimana pandangan
beberapa Ulama Nusantara tentang perdamaian.

Tabel 4. 2: Pandangan Para Mufasir Nusantara Tentang Perdamaian

No Lafaz Tafsir Tafsir Tafsir Tafsir al- Tafsir al-

Qurān Qurān an-Nuur Iklīl27 Ibrīz

Karim

28
1 ‫تصلحْوا‬ Perdamai Mempe Perbaika fāda islah Islah

an29 rdamai n (melakuka (perbaikan

kan30 (Perdama n islah)32 antara

ian)31 manusia)

27
Kīai Hāji Misbāh bin Zaini al-Musthofā, Tafsir al-Iklīl (Surabaya, Maktabah
al-Ihsān, t.t)
28
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, cet.
12 (Jakarta, PT. APP Sinarmas, Jakarta), 35.
29
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Qurān, cet. VI (Jakarta,
Widjaya 1973), 49.
30
H. Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t),
48.
31
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur
(Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000) 381.
71

33
2 ْ‫يصلحا‬ Perundin Perdam Perdamai Agawe Perdamaia

gan34 aian35 an36 rukun n

(Berbuat

rukun)37

38
3 ‫صلحا‬ Perdamai Perdam Perdamai Kalawen Perdamaia

an aian39 an40 rukun n

temenena

n (Dengan

rukun

yang

benar-

benar)41

32
Kīai Hāji Misbāh bin Zaini al-Musthofā, Tafsir al-Iklīl (Surabaya, Maktabah
al-Ihsān, t.t), 241.
33
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 99.
34
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Qurān, cet. VI (Jakarta,
Widjaya 1973), 136.
35
Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t), 133.
36
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur
(Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 963.
37
Kīai Hāji Misbāh bin Zaini al-Musthofā, Tafsir al-Iklīl (Surabaya, Maktabah
al-Ihsān, t.t), 813.
38
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 99.
39
Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t), 134.
40
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur
(Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 963.
41
Kīai Hāji Misbāh bin Zaini al-Musthofā, Tafsir al-Iklīl (Surabaya, Maktabah
al-Ihsān, t.t), 813.
72

42
4 ْ‫الصلح‬ Perundin Berda Perdamai nuweh Perdamaia

gan mai44 an45 bagus n

perdamai (kebaikan)

an43 46

47
5 ْ‫موَّدة‬ Cinta48 Kasih Kasih Cinta Kelapanga

sayang mesra50 n dan


49
kekosonga

51
6 ْ‫ورحة‬ Kasih Rahmat Rahmat54 Kasih Rahmat

sayang52 53
sayang

7 ‫فاصلحْوا‬ Damaika Perdam Mendam Damaikan Damaikanl

n56 aikan57 aikan58 ah

42
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 99.
43
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Qurān, cet. VI (Jakarta,
Widjaya 1973), 136.
44
Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t), 134.
45
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur
(Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 963.
46
Kīai Hāji Misbāh bin Zaini al-Musthofā, Tafsir al-Iklīl (Surabaya, Maktabah
al-Ihsān, t.t), 813.
47
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 406.
48
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Qurān, cet. VI (Jakarta,
Widjaya 1973), 589.
49
Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t), 596.
50
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-
Nuur (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 3168.
51
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 406.
52
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Qurān, cet. VI (Jakarta,
Widjaya 1973), 589.
53
Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t), 596.
54
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur
(Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 3168
73

55

8 ‫فاصلحْوا‬ Damaika Perdam Damaika Damaikan Damaikanl

nlah60 aikan61 nlah62 lah ah


59

9 ‫فاصلحْوا‬ Damaika Perdam Mendam Mendamai Damaikanl

nlah64 aikanla aikan kan ah


63
h65

C. Ayat-ayat Perdamaian dalam al-Qur’an


Di dalam Tartib al-Ayat wa tartib al Suwar ayat yang pertama kali
ditutukan berkaiatan tentang perdamaian yaitu:

1. Perdamaian dalam Lingkup Internal Kaum Muslimin


Perdamaian yang ditujukan kepada umat Islam secara khusus dapat
dijumpai dalam al-Qur’an:
56
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Qurān, cet. VI (Jakarta,
Widjaya 1973), 759.
57
Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t), 765.
58
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur
(Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 3917.
55
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 516.
59
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 516.
60
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Qurān, cet. VI (Jakarta,
Widjaya 1973), 759.
61
Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t), 765.
62
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur
(Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 3917.
63
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 516.
64
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Qurān, cet. VI (Jakarta,
Widjaya 1973), 759.
65
Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t), 765.
74

ْۢ ۚ ۤ
ْ‫وان ْطا ِٕىف نٰت ْمن ْالمؤمنْي ْاق ت ت لوا ْفاصلحوا ْب ي ن هما ْفان ْب غت ْاح ندىهما ْعلى ْاْلخ نرى‬
ۤ ‫ۤ ى‬
ٰ‫ف قاتلواْالَِّتْت بغيْح نّٰتْتفيءْا نٰلْامر ن‬
ْ‫ْاّللْۖفانْفاءتْفاصلحواْب ي ن هماِْبلعدل ْْواقُِواْاا َّن‬

ٰ‫بْالمقُِْيْاَّّْناْالمؤمن ونْاخوةٌْفاصلحواْب ْيْاخويكمْواتَّقو ن‬


ࣖ ْ‫اْاّللْلعلَّكمْت رحون‬ ٰ‫ن‬
ُّ ‫اّللُْي‬
“Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang,
maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari
keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka
perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan
itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah
kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-
orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara
kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah
agar kamu mendapat rahmat.” (QS. al-Hujurāt [49]: 9-10).
Ayat al-Qur’an di atas menegaskan pentingnya mewujudkan
perdamaian di antara sesama muslim, sekaligus merupakan bentuk pesan
perdamaian dalam al-Qur’an berupa langkah-langkah mewujudkan
perdamaian tersebut. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, perdamaian merupakan nilai fundamental, sehingga
bagaimana pun keadaannya, perdamaian harus tetap diwujudkan dalam
dinamika kehidupan sosial.66 Bahkan dalam keadaan perang atau konflik
di antara golongan kaum beriman sekalipun, usaha untuk mendamaikan
antara keduanya adalah suatu hal yang mesti dilakukan dengan segera.
Kedua, jika berbagai cara dan strategi telah dilakukan untuk
mendamaikan konflik, ketegangan, dan perang di antara dua golongan
kaum beriman, namun belum berhasil menciptakan perdamaian, maka al-
Qur’an mengizinkan kepada pemerintah yang sah untuk memerangi
bughat (makar/pemberontak), yakni pihak yang keras kepala,

66
Kementrian Agama Republik Indonesia, Hubungan Antar-Umat Beragama,
123.
75

memaksakan kehendak, dan secara terbuka menolak berbagai upaya


untuk mengakhiri konflik, ketegangan dan perang.67
Ketiga, al-Qur’an mengizinkan menggunakan senjata untuk
mengakhiri perang dengan target dan langkah yang terukur, yakni hingga
pihak yang menolak untuk berdamai bersedia mematuhi perintah Allah
swt. Menghentikan perang dan bersedia maju ke meja perundingan untuk
membahas perjanjian damai.
Keempat, al-Qur’an menekankan agar kaum muslim mendukung
keinginan pihak yang ingin berdamai dengan mewujudkan perdamaian
yang adil dan bermartabat, serta menguntungkan kedua belah pihak yang
bertikai.68
Kelima, semua bentuk tahapan untuk mewujudkan perdamaian
harus didasarkan pada prinsip bahwa semua orang beriman adalah
saudara, sehingga atas dasar persaudaraan tersebut muncul energi kuat
dari kedua belah pihak yang bertikai untuk berdamai. Keenam,
perdamaian yang sudah dicapai berkat kerja keras dan usaha dari
berbagai pihak tersebut harus dijaga kesinambungannya dengan
mewujudkan pola hidup takwa yang akan mendatangkan rahmat dan
kasih sayang Allah swt.69
Asbabunnuzul surah al-Hujarat ayat 9-10. Dalam suatu riwayat
disebutkan bahwa Nabi Saw. naik keledai pergi ke rumah ‘Abdullah bin
Ubay (seorang munafik). Berkatalah ‘Abdullah bin Ubay: “Enyahlah
Engkau dariku! Demi Allah, aku terganggu karena bau busuk keledaimu
ini.” Seorang Anshar berkata : “Demi Allah, keledai ini lebih harum
baunya daripada engkau.”. marahlah anak buah ‘Abdullah bin Ubay

67
Kementrian Agama Republik Indonesia, Hubungan Antar-Umat Beragama,
123-124.
68
Kementrian Agama Republik Indonesia, Hubungan Antar-Umat Beragama,
124-125.
69
Kementrian Agama Republik Indonesia, Hubungan Antar-Umat Beragama, 125
76

kepadanya, sehingga timbullah kemarahan pada kedua belah pihak, dan


terjadilah perkelahian dengan menggunakan pelepah kurma, tangan dan
sandal. Maka turunlah ayat kesembilan surah al-Hujurȃt berkenaan
dengan peristiwa tersebut.
Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan
kepada kami Mu'tamir berkata, aku mendengar bapakku bahwa Anas
radliallahu 'anhu berkata: "Dikatakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam "Sebaiknya Baginda menemui 'Abdullah bin Ubay." Maka
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menemuinya dengan menunggang
keledai sedangkan Kaum Muslimin berangkat bersama Beliau dengan
berjalan kaki melintasi tanah yang tandus. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam menemuinya, ia berkata: "Menjauhlah dariku, demi Allah, bau
keledaimu menggangguku". Maka berkatalah seseorang dari kaum
Anshar diantara mereka: "Demi Allah, sungguh keledai Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam lebih baik daripada kamu". Maka seseorang
dari kaumnya marah demi membela 'Abdullah bin Ubay dan ia
mencelanya sehingga marahlah setiap orang dari masing-masing
kelompok. Saat itu kedua kelompok saling memukul dengan pelepah
kurma, tangan, dan sandal. Kemudian sampai kepada kami bahwa telah
turun ayat QS. Al Hujurat: 10 yang artinya ("jika dua kelompok dari
kaum muslimin berperang maka damaikanlah keduanya").70
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya tentang Surah ar-Rūm ayat 21
mengatakan, hal ini menjelaskan tentang perselisihan atau adanya
indikasi akan berselisih antar Kamu Muslim baik itu pertikaian kecil
ataupun besar. Maka bersalah keduanya jangan sampai perselisihan ini
terus terjadi atau akan terjadi. Apabila salah satu dari kedua kelompok

70
Qamaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul:Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-
Ayat al-Qur’an cet. X, edisi. II (Bandung : CV. Diponegoro, 2009), 510.
77

tersebut masih enggan untuk berdamai, maka arahkanlah kelompok


tersebut ke jalan Allah, jika sudah kembali ke jalan Allah, maka
damaikanlah antara keduanya.71 Teungku Muhammad Hasbi ash-
Shiddeeqy dalam tafsirnya menambahkan, jika salah satu Kaum Muslim
masih melakukan perselisihan atau tetap melanggar maka mereka harus
patuh pada sangsi berupa yang telah ditetapkan.72
Sedangkan pada ayat 10 M. Quraish Shihab mengatakan, setelah
berdamai keduanya maka, karena Kaum Muslim adalah satu saudara
dengan Kaum Muslim lainnya secara Agama Islam, maka semestinya
harus saling berdamai dan hilangkan kebencian dan permusuhan.73
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, karena semua orang
mukmin adalah satu saudara.74
M. Mahmud Yunus dalam tafsirnya berkata, Agama Islam telah
meletakkan dasar-dasar untuk memelihara perdamaian dunia. Jika di
antara doa golongan tersebut terjadi pertengkaran dan peperangan, maka
janganlah dibiarkan saji peperangan itu terjadi, melainkan hendaklah
didamaikan antara keduanya.75

2. Perdamaian Rumah Tangga


Dalam proses konflik relasi keluarga, terkhusus terhadap suami
dan istri, al-Qur’an memberikan jalan dengan cara yang bijak dan

71
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, jilid XII, cet. I (Tangerang, Lentera
Hati, 2003), 595.
72
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-
Nuur (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 759.
73
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, jilid XII, cet. I (Tangerang, Lentera
Hati, 2003), 599.
74
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-
Nuur (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 3918.
75
H. Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t),
759.
78

mendamaikan. Salah satu ayat yang berbicara terkait dengan persoalan


tersebut adalah QS. al-Nisȃ` [4]: 128.
ْۢ
ْ‫وانْامراةٌْخافتْمنْب علهاْنشوزاْاوْاعراضاْفَلْجناحْعليهماىْانْيُّصلحاْب ي ن هماْصلْحا ا‬
‫ا‬
‫ُّحْوانُْتِن واْوت تَّقواْفا َّن ٰن‬
‫ْاّللْكانِْباْت عملونْخبي را‬ َّ ‫الصلحْخي ٌْر واحضرتْاْلن فسْالش‬
ُّ ‫و‬
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyūz (keangkuhan
suami yang mengakibatkannya meremehkan istri dan
menghalang-halangi hak-haknya) atau sikap berpaling (yakni
sikap tidak acuh) dari suaminya (sehingga si istri merasa tidak
mendapatkan sikap ramah yang dikhawatirkan dapat mengantar
pada perceraian), maka tidak ada dosa bagi keduanya
mengadakan perdamaian itu lebih baik, walaupun kekikiran
selalu dihadirkan dalam jiwa (manusia). Dan jika kamu berbuat
ihsan (memperlakukan orang lain lebih baik dari perlakuannya
terhadap diri sendiri) dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah
adalah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-
Nisā` [4]: 128).
Kīai Hāji Misbāh bin Zaini al-Musthofā dalam Tafsir al-Iklīl
mengatakan, kalau perempuan itu takut suaminya marah tidak mau
mempergauli atau tidak mau menafkahi karena tidak senang karena ada
perempuan lain atau tidak mau menemui istrinya, tidak berdosa apabila
ada pihak untuk merukunkan keduanya, karena hal itu lebih bagus
ketimbang bercerai.76

Sedangkan Kīai Bisyrī Muṣtofha dalam Tafsir al-Ibrīz


berpendapat, tidak jauh berbeda dengan tafsir al-Iklīl perdamaian itu lebih
baik, atau berpisah dengan secara baik-baik akan tetapi perdamaian lebih
baik lagi.77

M. Quraish Shihab dalam tafsirnya mengatakan, ayat ini


menerangkan kehidupan suami misteri yang sedang bertengkar dalam

76
Kīai Hāji Misbāh bin Zaini al-Musthofā, Tafsir al-Iklīl (Surabaya, Maktabah
al-Ihsān, t.t), 813.
77
Kīai Bisyrī Muṣtofha, Tafsir al-Ibrīz (Kudus: Menara Kudus, t.t), 247.
79

berumah tangga, misal akan ada indikasi ke arah nusyūz. Maka dianjurkan
bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian meskipun mengorbankan
sebagian haknya kepada pasangannya, dengan syarat tidak melanggar
pada tuntutan ilahi, karena hal itu lebih baik.78

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy berpendapat, misal,


jika suami atau istri melepaskan sebagian haknya dengan dikurangi
nafkahnya, asal masih tetap jadi istri. Karena perdamaian masih lebih
baik.79

Perkataan nusyūz disebut sebanyak 2 kali dalam al-Qur’an, yaitu


pada QS. al-Nisȃ` [4]: 34 dan 128. Dalam QS. al-Nisā` [4]: 34
menjelaskan suami yang khawatir istrinya bersikap nusyûz terhadap
suami, sedangkan QS. al-Nisȃ` [4]: 128 menjelaskan istri yang khawatir
suaminya bersikap nusyûz terhadap istri. Pada kedua ayat tersebut
sebagaimanana yang disebutkan Ibn Ishȃq nusyûz terjadi pada suami
maupun istri karena penolakan, keengganan, dan perasaan bosan pada
hubungan suami-istri secara alamiah. al-Qur’an memandang bahwa nusyûz
pada suami maupun istri harus segera diatasi dengan jalan perdamaian.
Hal tersebut bertujuan untuk menjaga keteraturan, keharmonisan, dan
kelestarian ikatan pernikahan. Langkah-langkah perdamaian di antara
suami dan istri adalah dengan cara adil dan bermartabat adalah tindakan
yang harus disegerakan.80

Kecenderungan manusia untuk berkeluarga merupakan naluri yang


diwariskan secara genetika agar kelangsungan generasi spesies manusia

78
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, jilid II, cet. I (Tangerang, Lentera Hati,
2003), 579.
79
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-
Nuur (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 965.
80
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2012), 117.
80

tetap terjaga. Syariat Islam telah mengatur kecenderungan naluri itu agar
tidak brutal, liar, dan bermartabat dengan pernikahan yang diharapkan
menciptakan keluarga yang harmonis. al-Qur’an sangat menekankan
agar kaum muslim mewujudkan perdamaian dalam menyelesaikan
masalah keluarga guna menjaga kelestarian ikatan keluarga dan
pengasuhan anak. Menurut al-Qur’an, menjaga keutuhan dan
menciptakan kedamaian pada level keluarga sama pentingnya dengan
menciptakan perdamaian di antara sesama kaum muslim, demikian juga
menciptakan perdamaian dalam lingkup manusia secara universal tidak
kalah pentingnya dengan menciptakan perdamaian dalam kehidupan
keluarga.81
Keluarga harmonis umumnya diartikan sebagai keluarga yang
anggotaanggotanya saling memahami dan menjalankan hak dan
kewajiban sesuai dengan fungsi dan kedudukan masing-masing, serta
berupaya saling memberi kedamaian, kasih sayang dan berbagi
kebahagiaan. Dua individu yang berbeda dari jenis kelamin dan
perbedaan-perbedaan lainnya bersatu dalam membina rumah tangga,
harus dilandasi tekad kuat untuk bersama-sama dalam suka dan
malapetaka. Ciri utama dari keluarga harmonis adalah relasi yang sehat
antar anggotanya sehingga dapat menjadi sumber inspirasi, dorongan
berkreasi untuk kesejahteraan diri, keluarga, masyarakat, dan umat
manusia secara universal. Oleh karena itu, keluarga memiliki peranan
yang besar dalam upaya penyejahteraan masyarakat, karena keluarga
merupakan bagian terkecil dari masyarakat yang jika tiap-tiap keluarga
terjalin hubungan harmonis dalam keluarganya, maka akan dengan
mudah membentuk masyarakat yang berperadaban dan harmonis.82

81
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, 2.
82
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, 8.
81

al-Qur’an menggunakan istilah keluarga harmonis dengan term


sakinah, yaitu keluarga yang dibangun di atas dasar mawaddah (cinta)
dan rahmah (kasih sayang). Hal ini dipahami dalam firman Allah:

ْ‫ومن ْانينتهْانْ ْخلقْ ْلكمْ ْ ٰمنْ ْان فِكمْ ْازواجا ْلٰتِكن ىوا ْالي ها ْوجعلْ ْب ي نكمْ ْ َّم ْوَّدة ْ َّورحةْاا َّن ِْف‬
ْ ْ‫تْلٰقوٍمْيَّت ف َّكرون‬
ٍ ‫ْْل ني‬
‫نذلك ن‬
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran) Nya ialah Dia
menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri,
agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia
menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. al-Rum [30]: 21).
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya mengatakan, Allah
menciptakan manusia berpasang pasangan (laki-laki dan perempuan) agar
tercipta mawadah dan rahmat. Kata mawadah di sini memiliki arti bukan
Cuma rela berpasangan hidup tetapi lebih dari itu, tidak akan rela
pasangannya dilanda sesuatu yang buruk, dan rela menampung keburukan
tersebut serta rela mengorbankan dirinya untuk kekasihnya.83 Kata
‘rahmat’ yang memiliki arti, pasangan yang merahmati dengan keturunan
dan mendapatkan kebahagiaan di usia tua.84

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy dalam tafsirnya, kata


“ْ‫ ”مو َّدة‬dan “ْ‫ ”ورحة‬ditafsirkan, menjadikan keduanya kasih sayang dan
rahmat, supaya hidup keluarganya berjalan dalam keadaan mesra. Allah
menjadikan jiwanya dengan sangat kuat, yang kadang-kadang melebihi
hubungan keduanya melebihi hubungan dengan orang-orang yang paling
dekat denganmu.85

83
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, jilid XI, cet. I (Tangerang, Lentera
Hati, 2003), 35.
84
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, 36.
85
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-
Nuur (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 3170.
82

M. Mahmud Yunus dalam tafsirnya berkata, hidup damai, cinta


dan kasih sayang antara suami istri, itulah pokok kerukunan rumah tangga,
keberuntungan hidup dan keselamatan keturunan.86

Kata sakinah berasal dari kata sakana yang pada mulanya berarti
sesuatu yang tenang atau tetap setelah bergerak. Kata ini merupakan
antonim dari kegoncangan, dan tidak digunakan kecuali untuk
menggambarkan ketenangan dan ketenteraman setelah sebelumnya
terjadi gejolak, apapun latar belakangnya. Rumah dikatakan maskan
karena ia merupakan tempat untuk beristirahat setalah beraktivitas.
Begitu juga waktu malam dinyatakan oleh al-Qur’an dengan sakan,
karena ia digunakan untuk tidur dan istirahat setelah sibuk di siang
harinya. Pada mulanya, kata ini digunakan untuk menunjukkan arti
ketenangan jasmaniah, namun dalam perkembangannya ia berarti
ketenangan yang bersifat rohaniah yang juga disebut dengan majaz
isti‘ȃrah. Dengan kata lain, sakinah yang dipahami sebagai ketenangan
jiwa bukan merupakan makna yang sebenarnya. Meskipun begitu,
karakter dasar dari kata sakȋnah adalah ketenangan setelah bergerak atau
bergejolak, baik yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah.87
Asbabunnuzul surah ar-Rum ayat 21. Imam Ahmad mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Sa'id dan Gundar. Mereka
berdua mengatakan, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Qasamah
ibn Zuhair, dari Abu Musa yang telah menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari
segenggam tanah yang Dia ambil dari semua penjuru bumi, maka jadilah
anak-anak Adam sesuai dengan kadar dari tanah itu; di antara mereka

86
H. Mahmud Yunus, Tafsir Qurān Karim (Singapore, Tawakal Tranding, t.t),
589.
87
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, 58-59.
83

ada yang berkulit putih, ada yang berkulit merah, dan ada yang berkulit
hitam serta ada yang campuran di antara warna-warna tersebut; ada pula
yang buruk, yang baik, yang mudah, dan yang susah serta yang
campuran di antara perangai-perangai tersebut.
Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui
berbagai jalur dari Auf Al-A'rabi dengan sanad yang sama. Imam
Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Sa’ad bin Fawwāz al-Sumail berpendapat maksud dari QS. al-
Nisȃ` [4]: 128, apabila ada seorang wanita akan kedurhakaan suaminya,
yaitu bersikap congkak padanya, yaitu tidak suka kepadanya, dan tidak
acuh padanya, maka dalam kondisi seperti ini sebaik baiknya diadakan
perbaikan diantara mereka berdua, dengan cara menggugurkan beberapa
haknya yang wajib atas suaminya agar ia tetap bersama suaminya
tersebut, yaitu rela dengan yang lebih sedikit dari yang seharusnya
berupa nafkah atau pakaian atau tempat tinggal atau memberikan jatah
hari atau malamnya kepada suaminya atau kepada madunya, lalu bila
meraka berdua telah sepakat dengan kondisi seperti itu, maka tidaklah
berdosa dan tidak salah mereka berdua melakukan itu, tidak mengapa
bagi suami dan tidak mengapa pula bagi istri, karena itu suaminya boleh
tetap bersama istrinya tersebut dalam kondisi seperti itu dan hal lain itu
lebih baik daripada bercerai dan karena itu Allah berfirman: “Dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).”88
Dapat diambil dari keumuman lafazh dan makna ayat ini bahwa
perdamaian antara atara dua orang yang masing-masing mempunyai hak
atau perselisihan dalam perkara apapun adalah lebih baik daripada
masing-masing dari mereka berdua itu saling ngotot dalam

88
‘Abd al-Rahman bin Nasīr al-Sa’dī, Tafsir al-Sa’dī (Jakarta: al-Huda, 2009),
221-222.
84

memperthankan hak-haknya, karena dengan berdamai agar menjadi


tenang dan tetap berada dalam nuansa saling cinta serta sama-sama
memakai predikat sifat toleransi dan saling memaafkan, hal ini boleh
dalam segala perkara, kecuali dalam perkara menghalalkan yang haram
atau mengharamkan yang halal karena sesungguhnya hal itu bukanlah
merupakan suatu perdamaian akan tetapi menjadi sebuah tindakan yang
melampaui batas, dan ketauhilah bahwa setiap hukum dari hukum-
hukum yang ada tidaklah akan sempurna dan terpenuhi kecuali dengan
adanya tuntutan-tuntutannya dan tidak adanya penghalang-
penghalangnya, maka diantra hukum tersebut adalah ketetapan yang
besar ini, yaitu perdamaian Allah swt. menyebutkan tuntutan akan hal
tersebut dan Allah mengingatkan bahwa hal itu adalah baik, dan
kebaikan itu akan dicari dan disukai oleh setiap orang yang berakal,
disamping itu Allah juga memerintahkan dan sangat menganjurkannya
hingga seorang mukmin akan menambah usahanya dalam mencarinya.89
Dan Allah juga menyebutkan penghalangnya dalam firman-Nya
“Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir” maksudnya, jiwa
manusia itu telah diciptakan memiliki watak kikir, yaitu tidak suka
mengarahkan apa yang menjadi hak manusia lain, namun sangat
berusaha memenuhi hak dirinya dan jiwa itu telah diarahkannya kepada
hal seperti itu secara penciptaan-Nya, dan seharusnya kalian berusaha
untuk menghilngkan akhlak yang hina ini dari jiwa-jiwa kalian, dan
menggantikannya dengan sifat yang bertolak belakang dengannya, yaitu
berlapang dada, artinya mengarahkan hak yang menjadi kewajiban atas
dirinya dan bersikap puas dangan beberapa hak untuk dirinya, dan ketika
seseorang manusia dapat dibimbing kepada akhlak yang baik ini, niscaya
disaat itu mudahlah baginya perdamaian antara dia dengan lawan-

89
al-Sa’dī, Tafsir al-Sa’dī, 222.
85

lawannya, dan akan mudahlah jalan keluar yang menyampaikan mereka


kepada yang dikehendaki bersama berbeda dengan orang yang tidak
berusaha menghilangkan sifat kikir dari jiwanya, maka pastilah akan
terasa susah baginya perdamaian dan persetujuan tersebut, karena ia
tidak akan rela kecuali menerima semua haknya dan ia tidak rela untuk
menunaikan semua kewajibannya apalagi bila musuhnya itu seperti dia,
maka tambah sukarlah perkaranya.90
Kemudian Allah swt. berfirman: “Dan jika kamu bergaul dengan
istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyûz dan sikap tak
acuh)” yaitu kalian berbuat baik dalam beribadah kepada Allah dengan
cara seorang hamba menyembah Tuhannya seolah olah ia melihatnya,
dan berbuat baik kepada makhluk dengan berbagai jalan kebaikan berupa
manfaat harta, ilmu, jabatan, atau selainnya dan kalian bertakwa kepada
Allah dengan mengajarkan perkara yang dilarang atau kalian berbuat
baik dengan mengerjakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah dan
kalian bertqwa dengan meninggalkan hal-hal yang dilarang “Maka
sesungguhnya Allah adalah Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan” sesungguhnya pengetahuan dan ilmu-Nya meliputi segala hal
baik lahir maupun batin lalu Allah menjaganya untuk kalian dan
membalasnya dengan balasan yang sempurna.91
Pada prinsipnya Islam melalui al-Qur’an dan Hadis
memerintahkan suami agar bersabar terhadap tindakan-tindakan istri
yang tidak disukainya dan bergaul dengan istri secara ma‘rûf untuk
tujuan berdamai. Dalam konteks ini relasi suami dan istri adalah relasi
dua hati dan dua jiwa untuk mewujudkan kebahagiaan rumah tangga. Di
samping itu Islam datang mengemban misi utama untuk pembebasan,

90
al-Sa’dī, Tafsir al-Sa’dī, 223.
91
al-Sa’dī, Tafsir al-Sa’dī, 223.
86

termasuk pembebasan dari kekerasan, menuju peradaban yang egaliter.


Juga, telah disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang
didalamnya terdapat peraturan hukum untuk mencegah, melindungi
korban, dan menindak perilaku kekerasan dalam rumah tangga. Negara
dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan dan
penindakan yang sesuai. Istilah nusyûz pada umumnya hanya
diperuntukan pada istri. Kata nusyûz diartikan sebagai pembangkangan
atau sikap durhaka pada suami. Hal ini tertera dalam QS. al-Nisȃ` ayat
34. Selain itu al-Qur’an menggunakan kata nusyûz tidak hanya pada istri,
tetapi juga pada suami, seperti tercantum dalam QS. an-Nisā` ayat 128.
Penggunaan istilah nusyūz pada suami dan istri dalam al-Qur’an
menunjukkan bahwa nusyūz merupakan tindakan meninggalkan
kewajiban bersuami istri yang dapat berdampak serius bagi
kelangsungan perkawinan. ibn Katsir dalam tafsirnya mengartikan al-
Nusyuz dalam QS. an-Nisa` ayat 34 yaitu tinggi diri, wanita yang nusyuz
ialah wanita yang bersikap sombong terhadap suaminya, tidak mau
melakukan perintah suaminya, berpaling darinya, dan membenci
suaminya. Sedangkan dalam QS. an-Nisa` ayat 128 diartikan bahwa istri
merasa kuatir suaminya tidak lagi menyukainya dan bersikap acuh tak
acuh padanya, hingga perlu diadakan perdamaian. Pada dasarnya inti dari
ajaran agama Islam, sangat menganjurkan dan menegakkan prinsip
keadilan. al-Qur’an sebagai prinsip dasar atau pedoman moral tentang
keadilan tersebut, mencakup berbagai anjuran untuk menegakkan
keadilan ekonomi, politik, dan kultural termasuk keadilan gender.
87

Seiring berkembangnya zaman, banyak persoalan dan jenis ketidakadilan


yang muncul di masyarakat.92
Untuk itu diperlukan pisau analisis dalam menafsirkan ayat-ayat
yang zannī yang bisa dipinjam dari ilmu-ilmu lainnya, termasuk
meminjam pisau analisis gender. Dengan begitu pemahaman atau
tafsiran terhadap ajaran keadilan prinsip dasar agama akan berkembang
selaras dengan pemahaman atas realita sosial, berkaca pada prinsip dasar
agama Islam yang menyerukan keadilan yang tetap relevan.
Selanjutnya, terkait dengan persepsi pemaknaannya, terdapat beberapa
penafsiran dari kalangan ulama tafsir (mufassȋr). Adapun pemaparan tentang
penafsiran tersebut sebagai berikut:

a. Sayyid Qutb
Menurut Sayyid Qutb di dalam kitab tafsir fi zilāl al-Qur’an, yang
dimaksud dengan nusyūz adalah seorang wanita yang menonjolkan dan
meninggikan (menyombongkan) diri dengan melakukan pelanggaran dan
kedurhakaan terhadap suaminya. selanjutnya ia menjelaskan juga bahwa
Manhaj Islam tidak menunggu hingga terjadinya nusyūz secara nyata,
dikibarkan bendera pelanggaan, gugurnya karisma kepemimpinan, dan
terpecahnya organisasi rumah tangga menjadi dua lascar, yang mana hal
tersebut dapat menimbulkan sebuah kejadian terhadap suatu hal yang tidak
pernah diinginkan. Oleh karenanya, perlu segera dipecahkan ketika nusyûz
tersebut baru terjadi pada awal permulaan timbul.93

92
Mansour Fakih, Analisis Gender Dan Transformasi Sosial, cet. 2 (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), 135.
93
Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, jilid, II (Jakarta : Gema Insani, 2001),
357.
88

b. Syaikh Abdul Halim Hasan.


Menurut Syaikh Abdul Halim Hasan di dalam tafsirnya, yaitu tafsir
al-Ahkam, beliau memandang bahwa nusyūz adalah seorang
perempuan yang keluar meninggalkan rumah, dan tidak melaksanakan
kewajibannya selaku istri kepada suaminya. Sehingga dia termasuk
orang yang telah durhaka kepada suaminya.94

c. Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar sering kali memandang antara kaum Hawa dan
Kaum Adam terdapat diantaranya sebuah kesetaraan gender, sehingga
dalam menetapkan nusyūz banyak pertimbangan yang dilakukan
olehnya. Menurut Nasaruddin Umar, konsep nusyūz yang berkeadilan
gender bisa diwujudkan jika konsep tersebut tidak hanya dipahami dari
sisi ketidak taatan seorang isteri terhadap suaminya, sebab seorang
suami juga merupakan manusia biasa yang tidak menutup
kemungkinan untuk melakukan hal-hal yang menyeleweng (nusyūz).
Kemudian menurut pandangannya, untuk memahami konsep nusyūz
dalam kompilasi hukum Islam yang berkeadilan gender, sewajarnyalah
untuk mengetahui bagaimana kondisi sosial pada masa sekarang ini,
yaitu bagaimana relasi suami isteri dalam keluarga tersebut.95

d. Jumhūr Ulama.
Menurut Jumhûr (kalangan) Ulama bahwa perilaku nusyūz yang
ditimbulkan oleh seorang istri terhadap suaminya adalah dengan

94
Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa,
2011), 98.
95
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman al-Qur’an dan Hadis (Jakarta:
Media Komputindo, 2015), 18.
89

memperhatikan qarinah perempuan tersebut, atau dapat dilihat dari


perubahan gerak-gerik seorang istri ketika melayani suaminya.
Adapun penafsiran Bisri Musthofa di dalam Tafsirnya al-Ibrīz
terhadap QS. al-Nisa` ayat 128 beliau berpendapat apabila ada seorang
perempuan semenjak dinikahi oleh suaminya tidak ditemani tidur, tidak
dinafkahi, didiamkan dan sebagainya tidak ada halangan bagi seorang
laki-laki dan perempuan hendaknya melakukan perdamaian apa yang
harus diteruskan hidup bersama sampai rukun dan baik atau berpisah
dengan baik-baik perdamaian itu lebih bagus, pelit itu sudah menjadi
watak manusia, laki-laki dan perempuan. Apabila kalian berbuat baik
dalam kebersamaan terhadap perempuan dan menjaga jangan sampai
berbuat dusta atau kasar, sesungguhnya Allah swt. akan membalas
kebaikan, karena Allah swt. senantiasa mengetahui apa yang kalian
lakukan. Disini beliau menegaskan apabila ada permasalahan yang
dihadapai sepasang suami istrinya hendaknya dirembukkan dulu untuk
bermusyawarah karena dengan jalan bermusyawarah mendapatkan
sebuah perdamaian dengan demikian nusyûz itu bisa diselesaikan.96
Sedangkan penafsiran dari Misbah Musthofa di dalam Tafsirnya
al-Iqlīl QS. al-Nisā` ayat 128 beliau berpendapat apabila seorang
perempuan takut atau khawatir apabila suaminya nusyûz tidak mau
menggauli istrinya, tidak mau menafkahi istrinya karena tidak suka
dengan istrinya tersebut dan suka terhadap perempuan lain atau tidak
mau bertemu dengan istrinya perempuan tersebut tidak ada dosa
apabila berusaha merukunkan atau mendamaikan, perdamian itu lebih
baik daripada perceraian, manusia pada dasarnya mempunyai sifat
pelit, apabila seorang suami saling ingin berbuat baik dengan

96
Bisri Mustofa, al-Ibriz li Mar’ifah Tafsir al-Qur’an al-Aziz (Kudus: Menara
Kudus), 247.
90

mempergauli istrinya sebab mempergauli istrinya dan mau berhati-hati


jangan sampai berbuat lacut.97 Allah swt. mengetahui apa yang
diperbuat kemudian dijaga oleh banyak orang apabila mas kawinnya
dicukupi, ‘Aisyah ra. kemudian para sahabat meminta fatwa kepada
Rasulullah saw. kemudian Allah swt. menurunkan ayat ini
diriwayatkan ‘Ȃisyah ra. berkata: ayat ini turun bersamaan seorang
dengan yang tidak begitu cinta terhadap istrinya kemudian ingin men
talaq istrinya dan ingin menikah wanita lain kemudia istrinya berkata:
aku ingin tetap menjadi istri mu jangan engkau talaq, engkau boleh
menikah dengan perempuan lain dan halal bagimu tidak memberikan
nafkah untuk ku dan tidak memberikan kebutuhan sebagai istri,
‘Ȃisyah ra. berkta: yaitu yang diucapkan “maka keduanya dapat
mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih
baik (bagi mereka)” yang dinamakan nusyûz tidak suka istrinya nusyûz
terkadang datang dari laki-laki dan terkadang datang dari perempuan.
Ibn ‘Abbȃs berkata: perempuan boleh berdamai terhadap suaminya
yaitu menggugurkan terhadap haknya sebagai istri seperti ucapan
perempuan contohnya “aku jangan engkau ceraikan, kamu boleh
menikah dengan perempuan lain, terserah engkau dengan pilihan mu
walaupun aku tidak diberikan kebutuhan seorang istri dan tidak engkau
berikan nafkah.”98
Sedangkan pendapat penulis dari dua penafsiran diatas kiai Bisri
Musthofa dan Misbah Musthofa senada dengan dua mufassir tersebut
perdamian lebih diutamakan dalam menjaga keutuhan rumah tangga
yaitu apabila diantara kedua belah pihak antara suami dan istri terjadi

97
Diterjemahkan dari bahasa Jawa, artinya berbuat terlanjur bohong, berbuat tidak
baik.
98
Misbah Musthofa, Tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil (Surabaya: Maktabah al-
Ihsan, t.t.), 813-814.
91

nusyûz baik nusyûz tersebut dari pihak suami tauapun pihak istri maka
dilakukan perundingan bersama dengan kesepakatan kedua belah pihak
tanpa ada yang dirugikan satu sama lain dalam arti nusyûz boleh
dilakukan daripada terjadinya perceraian.
Asbabunnuzul surah an-Nisa’ ayat 128. Diriwayatkan oleh Al-
Hakim yang bersumber dari Aisyah: bahwa turunnya ayat ini berkenaan
dengan seorang laki-laki yang mempunyai seorang istri dan telah
beranak banyak, ingin menceraikan istrinya dan kawin lagi dengan
yang lain. Akan tetapi istrinya merelakan dirinya untuk tidak mendapat
giliran asal tidak diceraikannya. Ayat ini (An-Nisa ayat 128)
membenarkan perdamaian dalam hubungan suami istri.
Diriwayatkan oleh ibn Jarir yang bersumber dari Sa’id bin Jubair:
bahwa ketika turun awal ayat ini (An-Nisa ayat 128) ada seorang
wanita berkata kepada suaminya: “Saya ridha mendapat nafkah saja
darimu, walaupun tidak mendapat giliran, asal tidak dicerai”. Maka
turunlah kelanjutan ayat itu sampai akhir yang membolehkan perbuatan
seperti itu.99

3. Perdamaian Antar Umat Manusia


al-Qur’an tidak membatasi perjuangan untuk mewujudkan
perdamaian itu pada diri sendiri, keluarga dan sesama kaum muslim,
tetapi juga perdamaian bagi umat manusia secara universal. Menurut
Khadijah al-Nabrawi perdamaian yang merupakan esensi ajaran Islam
harus diwujudkan oleh setiap muslim bagi. dirinya, keluarga, kaum
kerabat, tetangga, kaum muslim, dan seluruh manusia secara universal
al-Qur’an melarang kaum muslim menjadikan sumpah sebagai alasan

99
Qamaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-
Ayat al-Qur’an), 345.
92

untuk tidak menciptakan perdamaian antara sesama umat manusia. Allah


swt. berfirman:
‫ا‬
ٰ‫اْاّللْعرضة ْْٰلْيانكمْانْت ب ُّرواْوت تَّقواْوتصلحواْب ْيْالنَّاسْو ن‬
ْ ‫اّللْسْي ٌعْعلي ٌْم‬ ٰ‫وْلَْتعلو ن‬
“Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu
sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan
menciptakan kedamaian di antara manusia. Allah Maha
Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 224).

Bersumpah dengan menyebut nama Allah swt. bahwa dirinya tidak


akan melakukan kebaikan, ketakwaan, dan tidak menciptakan
perdamaian di antara sesama manusia adalah tindakan yang salah dan
tidak dibenarkan oleh al-Qur’an. Sebab kebaikan, ketakwaan dan
perdamaian merupakan sendi utama kehidupan kaum muslim dalam
masyarakat majemuk yang diajarkan al-Qur’an.100 Jika orang beriman
terlanjur bersumpah demikian, maka sumpah yang demikian harus
diabaikan dan dianggap tidak pernah ada, tetapi melakukan kafarat
sumpah. Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an tidak sekedar
mengapresiasi perdamaian, tetapi juga menjadikannya syarat mutlak
untuk membangun kehidupan sejahtera. Begitu pula dalam QS. al-
Mumtahanah [60]: 8, disebutkan untuk tidak menjadikan perbedaan
agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan kerja sama, apalagi
mengambil sikap tidak bersahabat.101
al-Qur’an tidak melarang seorang muslim untuk berbuat baik dan
memberikan sebagian hartanya kepada siapa pun, selama mereka tidak
memerangi kaum muslim dengan motivasi keagamaan atau mengusir
kaum muslim dari negeri mereka.

100
Kementrian Agama Republik Indonesia, Hubungan Antar-Umat Beragama,
123-124.
101
Kementrian Agama Republik Indonesia, Hubungan Antar-Umat Beragama,
112.
93

Adapun penafsiran Misbah Musthofa di dalam Tafsirnya al-iklil


terhadap QS. al-Baqarah ayat 224 beliau berpendapat jangan sesakali
bersumpah atas nama Allah untuk menutupi perbuatan kebaikan
kemudian tidak melakukan takwa dan tidak saling berdamai terhadap
manusia Allah itu Maha Mendengar kepada setiap ucapan dan mustahil
salah terhadap tingkah manusia itu sendiri jelasnya arti ayat ini demikian
perbuatan yang bisa menghasilkan kebaikan sesama manusia yaitu
jangan saling mudah bersumpah ingin meninggalkan perbuatan tersebut,
sumpah yang seperti itu makruh apabila yang disumpahi tidak akan
melakukannya itu perkara sunnah, seperti shodaqoh apabila sesorang
sudah terlanjur bersumpah disunnahkah mengingat sumpahnya kemudia
membayar kafarat yaitu memberi makan kepada sepuluh orang miskin
atau memberi pakaian atau memerdekakan budak Nabi Muhammad saw.
bersabda:
“Barang siapa bersumpah dengan satu sumpah kemudian melihat
perkara yang lebih baik daripada sumpah tersebut sebisa mungkin
menandai sumpahnya dan membayar kafārat dan melakukan apa yang
lebih baik”.
Apabila yang disumpahi yaitu apabila melakukan perkara yang
baik seperti ucapan Demi Allah aku besok kamis aku akan berjiarah
berjiarah kepada orang-orang sholeh jika demikian yang diucapkan maka
tidak makruh justru sebagian dari ketaatan.102
Sedangkan pendapat penulis jangan dalam setiap perbuatan yang
dilakukan untuk menutupi kesalahan dari kebaikan yang dilakukan atau
hanya semata-mata ingin meyakinkan seseorang atas diri sendiri dengan
mudahnya bersumpah dengan nama Allah walau sekalipun ketika
bersumpah dengan nama Allah itu makruh hendaknya ditinggalkan
walaupun juga bersumpah atas nama Allah akan melakukan kebaikan itu

102
Misbah Musthofa. Tafsir al-Iklil, 241.
94

termasuk sunnah jika menjadi kebiasaan terhdap pribadi selalu berkata


atas nama Allah maka tanpa sadar berdusta pun akan membawa nama
Allah swt. karena bagiamana pun juga sumpah atas nama Allah
dilakukan seseoran untuk mendaptakan kepercayaan lebih terhadap
sesama maka harus dihindari sumpah atas nama Allah.
Asbabunnuzul surah al-Baqarah ayat 224. Adalah: “Diturunkan
berkenaan dengan sumpah Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk tidak memberi
belanja lagi kepada Misthah (seorang fakir miskin yang hidupnya
dibiayai oleh Abu Bakar), karena ia ikut memfitnah Siti Aisyah. Ayat
tersebut sebagai teguran agar sumpah itu tidak menghalangi seseorang
untuk berbuat kebaikan.” (Diriwayatkan oleh ibu Jarir).
“Kita adalah umat yang lahir di masa terakhir tetapi yang paling
awal masuk ke dalam surga pada hari kiamat kelak.” Dan beliau
bersabda: “Demi Allah, salah seorang di antara kalian yang
mempertahankan sumpahnya untuk memojokkan keluarganya, lebih
berdosa di sisi Allah daripada -melanggar sumpah itu- dengan membayar
kafarat (denda) yang telah diwajibkan Allah atasnya.” (HR. Muslim
19/21)103
Kīai Hāji Misbāh bin Zaini al-Musthofā dalam Tafsir al-Iklīl
mengatakan, janganlah kalian sering-sering melakukan sumpah dalam
membenarkan perkara kalian, misal dalam kebaikan ataupun islah, karena
itu hukumnya makruh. Sebaliknya jika kalian melakukan sumpah dalam
perkara ‘akan tidak melakukan’ misal tidak islah atau hal keburukan,
maka itu hukumnya sunah.104

M. Quraish Shihab dalam tafsirnya mengatakan, seseorang jangan


mudah mengucapkan sumpah atas nama Allah (demi Allah) melakukan

103
Qamaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-
Ayat al-Qur’an), 433

104
Kīai Hāji Misbāh bin Zaini al-Musthofā, Tafsir al-Iklīl (Surabaya, Maktabah
al-Ihsān, t.t), 241.
95

sesuatu, misal dalam hal kebijakan, bertengkar dalam hubungan suami


misteri, islah (memperbaiki hubungan antar sesama) ataupun lainnya.
Apalagi sumpah tersebut tidak ucapkan pada tempatnya dengan ucapan
sumpah yang tidak jujur, karena Allah mengetahui isi hati setiap orang.105

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy menambahkan, karena


Allah amat tidak suka sumpah sebagai sasaran karena kebaikanmu dan
perdamaianmu. Dalam arti lain, janganlah sering melakukan sumpah
dalam hal-hal tertentu.106

D. Tujuan Perdamaian dalam al-Qur’an


al-Qur’an menggunakan istilah al-Salȃm untuk menyampaikan
makna perdamaian. Kata ini terulang sebanyak 42 kali dalam al-Qur’an
dalam berbagai konteks. Di luar al-Qur’an pun kata ini sangat populer,
bukan saja dalam literatur agama atau kalangan agamawan, tetapi juga di
kalangan politisi. Bahkan, di tingkat dunia sekalipun ditemukan ajakan
untuk menegakkan perdamaian. Meskipun kata ini sering digunakan
dalam dinamika kehidupan umat manusia, kata tersebut hanya mudah
ditemukan dalam tulisan dan ucapan, tetapi sulit untuk ditemukan dalam
realitas kehidupan manusia.107
Kata salām terambil dari kata sin, lam, dan mim yang menunjuk
pada makna selamat, aman, bersih, damai dari kacau balau dan dari
penyakit lahir dan tidak nyata. Salām juga mengandung makna tidak ada
perang, sehingga hidup bersandar pada cinta dan kasih sayang. Orang-

105
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, jilid I, cet. I (Tangerang, Lentera Hati,
2003), 450.
106
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddeeqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-
Nuur (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 382.
107
Alim Roswantoro, dkk., Antologi Isu-isu Global dalam Kajian Agama dan
Filsafat (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2010), 16-17.
96

orang muslim pun menggunakan kalimat assalāmu‘alaikum yang memberi


kesan untuk saling memberi kedamaian dan tidak ada perang. M. Quraish
Shihab dalam Secercah Cahaya Ilahi menjelaskan bahwa makna dasar dari
kata salȃm adalah luput dari kekurangan, kerusakan dan aib. Dari sini kata
selamat diucapkan misalnya jika terjadi hal yang tidak diinginkan, namun
tidak mengakibatkan kekurangan atau kecelakaan. Salȃm seperti ini
dinamai salȃm (damai) yang pasif. Ada juga yang disebut dengan salam
(damai) yang aktif, yakni perolehan kesuksesan atau kebahagiaan dalam
usaha sehingga darinya diucapkan kata selamat.108
Al-Quran dan Nabi Muhammad saw. selalu menyeru dan
meneladankan perdamaian. Bahkan memerintahkan untuk mengadakan
perdamaian (QS. al-Nisȃ`: 114). Terhadap orang musyrik sekalipun kita
dilarang berlaku semena-mena, kita wajib memberi perlindungan tatkala
mereka memohon suaka (tempat berlindung) dan Kita wajib berbuat yang
baik ketika mereka juga berbuat baik (QS. Al-Taubah: 6-7) apalagi
terhadap sesama muslim.109 Kita juga diajarkan untuk berbesar hati
memaafkan dan membalas keburukan dengan kebaikan agar orang yang
tidak menyukai kita jadi berbalik menyukai dan menganggap kita teman
(QS. Fusilat: 34) meskipun Allah juga mengizinkan hukum qisȃs
dilakukan. Solusi bijak yang dapat di lakukan sebagai umat islam untuk
perdamaian Indonesia dan dunia melalui tiga hal yaitu:
Pertama, sudah saatnya sebagai umat Islam kembali pada al-
Qur’an dan Hadis sebagai sumber kebenaran. Telaah dan pelajari kembali
dua dalil sahih yang kemudian kita komparasikan dengan ke Indonesiaan,
dengan ideologi pancasila. Untuk mewujudkan cita-cita para pejuang dulu

108
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an, cet. 2
(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013), 416.
109
Kementrian Agama Republik Indonesia, Hubungan Antar-Umat Beragama,
134.
97

untuk menciptakan Indonesia yang damai dengan keragamannya bukan


keseragamannya. Niscaya kebenaran itu tidak akan mengingkari nilai
kemanusiaan dan hati nurani. Sebagaimana al-Qur’an menerangkannya
dalam beberapa ayat yang tidak sedikit jumlahnya. Hubungan hablun min
Allah harus seimbang dengan hubungan hablun min an-nās. Artinya jika
seseorang beriman dan menyakini keberadaan Allah dengan selalu
menjaga kehadiran Allah dalam dirinya, otomatis hubungan horizontal
sesama manusia juga dijaga sebaik mungkin untuk perdamaian.
Kedua, harus diluruskan, murnikan lagi niat ada niat benar-benar
untuk menjadi umat beragama yang baik, taat dan berwawasan luas. Niat
untuk menjaga Indonesia, suku, bahasa dan keragamannya dengan sikap
tenggang rasa dan saling tolong menolong dalam kebaikan. Niat untuk
mampu menjadi teladan bagi generasi selanjutnya.
Ketiga, perlunya evaluasi dan merenungkan kembali kesalahan
individual. Dengan disibukkannya aktivitas supuya untuk memperbaiki
kesalah kecil. Bukan saling tunjuk dan mengkambing hitamkan. Tidak
perlu saling menghujat dan menuding. Jika tidak mampu dan merasa
memiliki kapasitas maka wajib maju sebagai orang yang bijaksana bukan
malah sibuk menyalahkan dalam menjunjung tinggi perdamaian.110

E. Hikmah dari Perdamaian


Islam sebagai agama damai sesungguhnya tidak membenarkan
adanya praktek kekerasan. Cara-cara radikal untuk mencapai tujuan politis
atau mempertahankan apa yang dianggap sakral bukanlah cara-cara yang
Islami. Di dalam tradisi peradaban Islam sendiri juga tidak dikenal adanya
label radikalisme. Firman Allah (QS. al-`Anbiyȃ` [21]: 107).

110
Kementrian Agama Republik Indonesia, Hubungan Antar-Umat Beragama,
139.
98

ْ ْ‫وماىْارسلننكْاَّْلْرحةْلٰل نعلمْي‬
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.”
Perdamaian merupakan hal yang pokok dalam kehidupan manusia,
karena dengan kedamaian akan tercipta kehidupan yang sehat, nyaman
dan harmonis dalam setiap interaksi antar sesama. Dalam suasana aman
dan damai, manusia akan hidup dengan penuh ketenangan dan
kegembiraan juga bisa melaksanakan kewajiban dalam bingkai
perdamaian. Oleh karena itu, kedamaian merupakan hak mutlak setiap
individu.111
Bahkan kehadiran damai dalam kehidupan setiap mahluk
merupakan tuntutan, karena dibalik ungkapan damai itu menyimpan
keramahan, kelembutan, persaudaraan dan keadilan. Dari paradigma ini,
Islam diturunkan oleh Allah swt. ke muka bumi dengan perantaraan
seorang Nabi yang diutus kepada seluruh manusia untuk menjadi rahmat
bagi seluruh alam, dan bukan hanya untuk pengikut Muhammad semata.
Islam pada intinya bertujuan menciptakan perdamaian dan keadilan bagi
seluruh manusia, sesuai dengan nama agama ini: yaitu al-islām. Islam
bukan nama dari agama tertentu, melainkan nama dari persekutuan agama
yang dibawa oleh Nabi-Nabi dan dinisbatkan kepada seluruh pengikut
mereka. Itulah misi dan tujuan diturunkannya Islam kepada manusia.
Karena itu, Islam diturunkan tidak untuk memelihara permusuhan atau
menyebarkan dendam di antara umat manusia. Konsepsi dan fakta-fakta
sejarah Islam menunjukan, bagaimana sikap tasȃmuh (toleran) dan kasih
sayang kaum muslim terhadap pemeluk agama lain, baik yang tergolong
ke dalam ahlu al-kitāb maupun kaum musyrik, bahkan terhadap seluruh

111
Syarifuddin Jurdi, Islam dan Ilmu Sosial Indonesia. (Yogyakarta: LABSOS
UIN Sunan Kalijaga, 2011), 45.
99

makhluk, Islam mendahulukan sikap kasih sayang, keharmonisan dan


kedamaian.112 Di dalam Islam gagasan tentang perdamaian merupakan
pemikiran yang sangat mendasar dan mendalam karena berkait erat
dengan watak agama Islam, bahkan merupakan pemikiran universal Islam
mengenai alam, kehidupan, dan manusia. Yang dimaksud universal disini
adalah pemikiran Islam yang sama tujuannya dengan ajaran-ajaran Nabi-
Nabi terdahulu dalam upaya menciptakan kemanusiaan dan keadilan di
muka bumi.113
Ada berbagai pendapat tentang kejelasan maksud arti dari “rahmat
bagi semesta alam,” ada yang berpendapat bahwa rahmat tersebut hanya
berlaku untuk orang Islam saja dan ada yang mengatakan bahwa rahmat
tersebut berlaku untuk seluruh umat manusia.114 Telah di sepakat dengan
pendapat yang kedua bahwa kasih sayang diberikan kepada siapa saja
yang berada di muka bumi tanpa membedakan dari segi apapun baik suku,
bangsa, agama, ras dan lain sebagainya sesuai dengan watak perdamaian
dalam islam. Di samping sumber dari al-Qur’an, hadits-hadits juga banyak
mencantumkan tema perdamaian. Sebagai contoh: “Allah mencintai
kelembutan, Allah memberikan keberkahan atas kelembutan, dan bukan
atas kekerasan”.
Dalam hadis tersebut, perdamaian digambarkan dengan
kelembutan. Artinya, perdamaian akan tercipta jika setiap orang
melakukan sesuatu dengan kelembutan. Misalnya di Negara kita yang
multikultural ini, perbedaan-perbedaan akan selalu ada, baik agama,
kebudayaan, warna kulit dan lain sebagainya. Maka jika kelembutan tidak
kita terapkan dalam menerima perbedaan tersebut maka perdamaian tidak
akan terwujud.

112
Syarifuddin Jurdi, Islam dan Ilmu Sosial Indonesia, 49.
113
Syarifuddin Jurdi, Islam dan Ilmu Sosial Indonesia, 50.
114
Syarifuddin Jurdi, Islam dan Ilmu Sosial Indonesia, 51.
100

F. Anjuran untuk Berdamai


Memaafkan merupakan sikap mulia yang amat dianjurkan dalam
agama Islam. Seberat atau sepedih apa pun manusia mengalami dampak
akibat kesalahan yang dilakukan orang lain, Allah swt. tetap
memerintahkan setiap hamba untuk melapangkan dada terhadap kesalahan
sesama. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

ْ‫الِعة ْان ْيُّؤت ىواْاوٰل ْالقرنٰب ْوالم نِكْي ْوالم نهجرين ِْفْ ْسبيل‬
َّ ‫وْل َْيتل ْاولوْالفضل ْمنكم ْو‬
‫ا‬
ٰ‫ْاّللْلكمْاو ن‬
ْ ‫اّللْغفوٌر َّْرحي ٌْم‬ ٰ‫اّللْۖولي عفواْوليصفحواْاْلُْتبُّ ْونْانْيَّغفر ن‬
ٰ‫ن‬
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan
memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (Nya), orang-orang yang
miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan
Allah. Dan hendaklah mereka memberi maaf dan lapang dada.
Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. an-Nur [24]: 22).
Terkait ayat tersebut pakar tafsir M. Quraish Shihab mengatakan
bahwa orang yang saleh dan memiliki kekayaan dalam suatu komunitas
hendaknya tidak bersumpah untuk tidak memberikan derma kepada
kerabat, orang miskin, orang yang berada di jalan Allah dan orang yang
berhak menerima infak lainnya, hanya karena alasan-alasan yang bersifat
pribadi seperti dengan sengaja menyakiti. Sebaliknya, mereka hendaknya
memaafkan dan tidak membalas keburukan yang ditimpakan. Apabila
seseorang ingin agar Allah memaafkan kesalahan-kesalahannya, maka
hendaknya tetap berbuat baik kepada orang yang mungkin pernah
melakukan kesalahan. Ayat ini diturunkan ketika sahabat Abû Bakar al-
Siddȋq bersumpah untuk tidak lagi memberikan bantuan ekonomi kepada
kerabatnya yang bernama Mistah bin `Utsȃtsah lantaran terlibat kasus
tuduhan bohong (hadis al-`Ifk) terhadap istri Rasulullah saw. Aisyah ra.115

115
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, 419.
101

Ayat di atas menegaskan bahwa memaafkan merupakan sikap


mulia yang hendaknya dimiliki setiap orang karena Allah sendiri maha
pemberi maaf dan menyayangi hamba-Nya. Pemberian maaf sebagaimana
ditekankan dalam ayat ini tidak harus menunggu permintaan maaf.
Substansi memaafkan berdasarkan ayat tersebut adalah berlapang dada
dan membuka pintu maaf selebar-lebarnya kepada orang lain dengan
kesadaran penuh bahwa kesalahan merupakan suatu keniscayaan yang
pasti pernah dilakukan oleh setiap manusia. Perintah memaafkan dalam
ayat di atas juga mesti dipahami bahwa mengampuni kesalahan orang lain
harus disertai keikhlasan, artinya melapangkan dada dan menyadari bahwa
seluruh ganjalan yang selama ini tebersit dalam hati telah hilang
sepenuhnya, sehingga yang tersisa adalah optimisme untuk menatap masa
depan yang lebih damai dan tenteram. Enggan memaafkan kesalahan
orang lain, saudara atau kerabat, apalagi disertai sumpah serapah yang bisa
mengancam keutuhan jalinan persaudaraan tidaklah mencerminkan sikap
seorang muslim sejati. Oleh sebab itu islah, rekonsiliasi atau perbaikan
hubungan antar pihak-pihak yang berselisih sangat dianjurkan dalam
Islam.116
Mendamaikan orang-orang yang sedang berselisih memang bukan
perkara mudah karena masing-masing pihak pasti dipenuhi ego masing-
masing. Namun, umat muslim dapat meneladani Rasulullah saw. yang
hampir sepanjang hidupnya senantiasa mengupayakan perdamaian di
antara kabilah-kabilah Arab yang bertikai. Hal itu beliau lakukan karena
Islam yang dirisalahkan kepadanya adalah agama yang mendamaikan dan
menyatukan manusia.117

116
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, 420.
117
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, 421.
102

Dalam al-Qur’an surah al-Hujurat surah ke-49 ayat ke-10, Allah


swt. berfirman:

ٰ‫اَّّناْالمؤمن ونْاخوةٌْفاصلحواْب ْيْاخويكمْواتَّقو ن‬


ْ‫اْاّللْلعلَّكمْت رحون‬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara,
karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih)
dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat” (QS. al-
Hujurat [49]: 10).

Melalui ayat tersebut Allah Swt. mengingatkan bahwa segala


bentuk perselisihan di antara umat manusia hendaknya didudukkan secara
adil serta diupayakan jalan keluarnya yang paling baik dan bisa diterima
oleh pihak-pihak yang terlibat. Dalam konteks masa kini di mana kita
hidup di era milenial yang ditandai dengan kemajuan ilmu dan teknologi,
ayat di atas masih tetap relevan dan akan terus relevan sepanjang zaman.
Terlebih lagi dihadapkan pada tahun politik seperti yang sedang melanda
Indonesia, berbagai inisiatif untuk mewujudkan islāh sesama anak bangsa
sangat diperlukan.118

118
Syarifuddin Jurdi, Islam dan Ilmu Sosial Indonesia, 55.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nilai-nilai perdamaian pada hakikatnya banyak termaktub dalam
al-Qur’an dan juga secara jelas diindikasikan dalam berbagai riwayat
Hadis Nabi. Tidak ada satu ayat pun dalam al-Qur’an, dan tidak ada satu
Hadis pun yang mengobarkan semangat kebencian, permusuhan,
pertentangan, atau segala bentuk perilaku negatif dan represif yang
mengancam stabilitas dan kualitas kedamaian hidup. Perdamaian memiliki
banyak arti, arti kedamaian berubah sesuai dengan hubungannya dengan
kalimat. Perdamaian dapat menunjuk ke persetujuan mengakhiri sebuah
perang, atau ketiadaan perang, atau ke sebuah periode di mana sebuah
angkatan bersenjata tidak memerangi musuh.
Damai dapat juga berarti sebuah keadaan tenang, seperti yang
umum di tempat-tempat yang terpencil, mengizinkan untuk tidur atau
meditasi. Damai dapat juga menggambarkan keadaan emosi dalam diri
dan akhirnya damai juga dapat berarti kombinasi dari definisi-definisi di
atas. Di dalam Islam gagasan tentang perdamaian merupakan pemikiran
yang sangat mendasar dan mendalam karena berkait erat dengan watak
agama islam, bahkan merupakan pemikiran universal Islam mengenai
alam, kehidupan, dan manusia.
Agama Islam yang disebarkan dan diajarkan oleh Nabi
Muhammad merupakan agama yang ditujukan demi kesejahteraan dan
keselamatan seluruh umat sekalian alam. Kata Islam sendiri yang berasal
dari bahasa Arab berarti tunduk, patuh, selamat, sejahtera, dan damai.
Maka, agama Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menegakkan
perdamaian di dunia sehingga persaudaraan dapat terjalin dengan erat.

103
104

Islam juga mengajarkan bagaimana menghadapi perpecahan dan segala


perselisihan yang bermaksud memecah belah umat.
Kemudian, penulis dalam karya ilmiah ini menjelaskan tentang
macam-macam perdamaian dari segi orang yang berdamai, sebagai
berikut:
a. Perdamaian antar sesama muslim
b. Perdamaian antar muslim dengan non muslim
c. Perdamaian antar imam dengan Kaum Bughat
d. Perdamaian antar suami istri
e. Perdamaian dalam urusan muamalah dan lain-lain.

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian skripsi mengenai ” Perdamaian dalam
Perspektif al-Quran kajian atas mufasir Nusantara” penulis memberikan
saran kepada masyarakat luas agar dalam mengarungi kehidupan
mengimplementasikan dari sekian banyak jalan yang ditawarkan al-Quran
melalui para mufasir nusantara untuk menciptakan keadaan dan interaksi
yang damai dan harmonis. Penelitian sebagai salah satu instrumennya
untuk mencapai tujuan tersebut semestinya dipahami bersama dan
dibumikan bersama sebagai wujud persaudaraan global antara sesama
manusia dengan cara memberi atau menjawab penghormatan dengan suatu
penghormatan yang lebih baik, atau yang sebanding.
Perlu diadakan penelitian lebih lanjut oleh akademisi dalam
mengkaji tafsir nusantara terutama mengenai pesan perdamaian yang lebih
spesifik dan terperinci agar tidak terlalu global. Kemudian penulis
berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk seluruh lapisan
masyarakat, akademisi, dan terutama penulis sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Mirza Masror. Krisis Dunia dan Jalan Menuju Perdamaian


Dunia. Jakarta: Mizan. 2010.

Ahmad, Munawar. Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis.


Yogyakarta: LKiS. 2010.

Asnawi dan Safruddin. Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik


Pembangunan dan Peradaban. Surabaya: Pustaka Eureka. 2003.

Azzam, Abdurrahman. Konsepsi Perdamaian Islam. Jakarta: Karya


Unipres. 1985.

Baidhowi, Akhmad. “Aspek Lokalitas Tafsir al-Iklīl fȋ ma’ānī al-Tanzīl


Karya KH Misbah Musthafa.” Nun. Vol. 1 No.1. (UIN Sunan
Kalijaga 2015). 33-61.

Bakry, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Rumah Tangga. Jakarta: Pedoman


Ilmu Jaya. 1993.

Baldjun, Amak. Islam dan Perdamaian Dunia. Jakarta: Pustaka Firdaus.


1987.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi


Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. 2008.

Fakih, Mansour. Analisis Gender Dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar. 1996.

al-Farmāwī, ‘Abd al-Hayy. Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Maudū`i. Penerj.


Suryana A. Jamrah. Metode Tafsir Maudū`i: sebuah pengantar.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1996.

Galtung, Johan. Globalizing God, Religion, Sprituality. Tt.: Kolofon Pres.


2008.

Ghazali, Norzulaili Mohd. Nusyūz, Syiqāq dan Hakam Menurut al-


Qur’an, Sunnah dan Undang-Undang Keluarga Islam. Kuala
Lumpur: Kolej Universiti Islam Malaysia. 2007.

Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga


Ideologi. Yogyakarta: LKiS. 2013.

95
96

Hadisubrata. Keluarga dalam Dunia Modern, tantangan dan


Pembinaannya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2003.

Hamim, Thoha dkk. Resolusi Konflik Islam Indonesia. Surabaya: LSAS


dan IAIN Sunan Ampel. 2007.

Hamka, Buya. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Gema Insani. 2015.

Hasan, Abdul Halim. Tafsir al-Ahkam. Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa.
2011.

Hendra, Eric. Kajian Konflik dan Perdamaian. Graha Ilmu, 2015.

Hidayat, Surahman. Islam, Pluralisme, dan Perdamaian. (Jakarta:


Robbani Press. 2008.

HS, M. Ramli. Corak Pemikiran Kalam KH. Bisri Musthafa: Studi


Komperatif dengan teologi tradisional Asy’ariyah. Jakarta: IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. 1994.

Huda, Achmad Zainal. Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH.


Bisri Mustofa. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2011.

Ibnû Taimiyah. Muqaddimah fi usūl al-Tafsīr. Kuwait: Dar al-Qur’an al-


Karīm. 1971.

Jurdi, Syarifuddin. Islam dan Ilmu Sosial Indonesia. Yogyakarta:


LABSOS UIN Sunan Kalijaga. 2011.

Kementrian Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya.


Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an. 2012.

Lubis, M. Ridwan. Ridawan. Agama dan Perdamaian: Landasan,Tujuan,


dan Realitas Kehidupan Beragama di Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama. 2017.

Marzuki. Metode Riset. Yogyakarta : Hanindita offest. 1986.

Maslukhin. “Kosmologi Budaya Jawa dalam Tafsir al-Ibriz Karya K.H.


Bisri Mustofa.” Mutawatir. Vol. 5. No. 1 (Juni 2015) 74-94.

Mulyanto, C.B. Filsafat Perdamaian: Menjadi Bijak Bersama Eric Weil.


Yogyakarta: Kanisius. 2008.
97

Munawar, Said Agil Husain. al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan


Hakiki. Jakarta: Ciputat Press. 2003.

Musthofa, Misbah. Tafsir al-Iklīl fi Ma’ānī al-Tanzīl. Surabaya: Maktabah


al-Ihsān. t.t.

Mustofa, Bisri. Al-Ibrīz li Ma’rifah Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz. Kudus:


Maktabah wa Matba’ah Menara Kudus.

Nasution, Harun. Teologi Islam: Analisa Perbadingan Sejarah dan


Mazhabnya. Jakarta: UI Press. 1986.

Perwita, Anak Agung Banyu. Kajian Konflik dan Perdamaian.


Yogyakarta: Graha Ilmu. 2015.

al-Qāri`, Abū al-Hasan. Mu’jam al-`Ahādits al-Qudsiyyah. Kairo: Dar al-


Imān. 1998.

al-Qursyi, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz. Samahah al-Islām. Penerj. Abdul


fikri. Riyad: Maktabah al-Adȋb. 2006.

Qutb, Sayyid. Islam dan Perdamaian dunia. Jakarta: Pustaka Firdaus.


1987.

Rokhmad, Abu. Heurmaneutika Tafsir Al-Ibriz: Studi Pemikiran KH. Bisri


Mustofa dalam Tafsir al-Ibrȋz. Semarang: Pusat Penelitian IAIN
Walisongo. 2004.

Roswantoro, Alim. dkk. Antologi Isu-isu Global dalam Kajian Agama dan
Filsafat. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta. 2010.

al-Sa’dī, ‘Abd al-Rahman bin Nasīr. Tafsīr al-Sa’dī. Jakarta: Al-Huda.


2009.

Sahabuddin. dkk. Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta:


Lentera Hati. 2008.

Sarapung, Elga. Dkk. Sejarah, Teologi, dan Etika Agama-Agama.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005.

Shihab, M. Quraish. Al-Qur’an dan Maknanya. Ciputat: Lentera Hati.


2013.
98

Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta:


El-Kahfi. 2008.

Suhanda, Irwan. Damai Untuk Perdamaian. PT. Kompas Media


Nusantara. 2006.

Supriatna. Dkk. Fiqh Munakahat II. Yogyakarta: Bidang Akademik UIN.


2008.

Suryono, Hadi. Merawat Perdamaian: Metode Sistem Peringatan Dini


Konflik. Yogyakarta: Semesta Ilmu. 2012.

Syarofi, Ahmad. Penafsiran Sufi Surat Al-Fatihah dalam Tafsir Tāj al-
Muslimīn dan tafsir al-Iklīl karya KH. Misbah Musthofa. Tuban:
Majlis Ta’lif wa al-Watat. 1990.

Taufik, Imam. Perdamaian dalam Pandangan Sayyid Qutb. Kairo: Dar al-
Imān, 1998.

Taufiq, Imam. Al-Qur’an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian


Berbasis Al-Qur’an. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka. 2016.

Umar, Nasaruddin. Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis.


Jakarta: Media Komputindo. 2015.

Anda mungkin juga menyukai