Anda di halaman 1dari 124

ASPEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM PENGELOLAAN PULAU-PULAU

KECIL TERLUAR DI INDONESIA (STUDI KASUS : PULAU-PULAU KECIL


SUMATERA UTARA)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana

Oleh :

Beby Ferucha

150200396

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Program Sarjana Ilmu Hukum

Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Medan

2019

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segalapujibagi Allah SWT.Yang Maha Esa dan Maha

Kuas atas segalanya, yang tidak pernah berhenti memutuskan rahmat-Nya dari segi

kesehatan, kesempatan dan kemudahan dalam memahami ilmu yang diberikan

kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul :

”ASPEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM PENGELOLAAN PULAU-

PULAU TERLUAR DI INDONESIA (STUDI KASUS : PULAU-PULAU

KECIL SUMATERA UTARA ”. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan

skripsi ini masih banyak kekurangan yang terdapat di dalamnya baik dari segi isi

maupun penyajiannya. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis sering mendapat

kendala yang menjadikan penulisan skripsi menjadi terhambat, namun atas izin

Allah SWT. Segala rintangan tersebut dapat diatasi dan skripsi ini dapat

diselesaikan. Terimakasih yang tidak dapat di ungkapkan hanya dari sekedar kata-

kata kepada kedua orang tua penulis yang selalu memberikan doa, kasih sayang,

motivasi, semangat dan nasehat kepada penulis agar selalu mengerjakan skripsi ini

dengan penuh semangat. Dan juga kepada adik dan abang saya yang menambah

semangat penulis dalam penulisan skripsi ini yang selalu memberikan cinta dan

dukungan agar penulis dapat bersemangat mengerjakan skripsi ini dengan sebaik

mungkin.

Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis juga mendapat banyak

dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan

i
Universitas Sumatera Utara
dan ucapan terimakasih terhadap semua dukungan dan bantuan yang telah

di berikan, penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Dekan fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. OK Saidin, SH., M.Hum selaku Waki lDekan I Fakultas

HukumUniversitas Sumatera Utara.

4. Ibu PuspaMelati, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Abdul Rahman, SH., M.H selaku Ketua Departemen Hukum

Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Bapak Dr. Sutiarnoto, SH., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang

telah banyak membantu penulis dalam memberikan masukan, arahan-

arahan, nasihat, serta bimbingan di dalam pelaksaan penulisan skripsi ini.

8. Bapak Arif, SH., M.H selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak

membantu penulis dalam memberikan masukan, arahan-arahan, nasihat,

serta bimbingan di dalam pelaksaan penulisan skripsi ini.

9. Kepada seluruh staf pengajar di Fakultas HukumUniversitas Sumatera

Utara.

ii
Universitas Sumatera Utara
10. Kepada seluruh staf administrasi dan pegawai yang turut serta

membantu saya dalam proses administrasi selama saya menuntut ilmu di

fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Kepada sahabatku Rica Asrosa, Putri Ananda Bangko, Asra Audina,

Anggi Ramadhani dan seluruh Grup GEMA yang selalu menyemangati

penulis hingga saat ini dan mendengarkan keluh kesah penulis dalam

berbagai situasi, mereka adalah bagian dari rahmat Allah Swt. Yang paling

berharga di kehidupan penulis.

13. Kepada teman seperjuangan saya Intan Dwi Cahya dan Rahmita

Kairunisa Manalu selama mengerjakan skripsi, yang tidak kenal lelah

untuk memberikan dukungan dan semangat kepada saya sesama

Departemen.

12. Kepada seluruh teman-teman saya di ILSA dan mahasiswa seangkatan

Fakultas HukumUniversitas Sumatera Utara.

13. Kepada seluruh teman-teman saya di BTM Aladdinsyah,SH FH USU

yang memberikan warna di masa perkuliahan saya.

iii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PERNYATAAN

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... iv

ABSTRAK ...................................................................................................... vi

BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................ 11

D. Keaslian Penulisan ......................................................................................... 12

E. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 13

F. Metode Penelitian ...........................................................................................19

G. Sistematika Penulisan ..................................................................................... 21

BAB II : TINJAUAN UMUM HUKUM INTERNASIONAL PADA KONVENSI

HUKUM LAUT 1982 MENGENAI NEGARA KEPUALAUAN................... 24

A. Hukum Internaisonal untuk membentuk Konvensi Hukum Laut 1982 ......................... 24

B. Definisi Negara Kepualauan menurut konvensi Hukum Laut 1982 .............................. 26

C. Penganturan zona maritim Negara Kepulauan menurut Konvensi hukum Laut

1982 ............................................................................................................. 34

BAB III : PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

TENTANG PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL ........................ 39

iv
Universitas Sumatera Utara
A. Hukum Internasional tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil ............................... 39

B. Hukum Nasional tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil ..................................... 42

BAB IV : IMPLIKASI PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR

DI SUMATERA UTARA .................................................................. 81

A. Profil Wilayah Perairan Sumatera Utara ........................................................ 81

B. Aspek Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sumatera

Utara ........................................................................................................ 97

C. Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar Sumatera Utara ..................................104

BAB V : PENUTUPAN .................................................................................. 108

A. Kesimpulan ................................................................................................ 108

B. Saran ........................................................................................................ 110

Daftar Pustaka

v
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Beby Ferucha*
Dr. Sutiarnoto, SH., M.Hum**
Arif S.H., M.H***

Bagi Negara Kepulauan, Pulau terluar adalah suatu hal yang sangat penting dalam
penentuan wilayah yurisdiksi wilayah laut perairan negaranya. United Nations Convention on
the Law Of the Sea 1982 memberikan kepastian bahwasanya Negara Kepulauan dapat
menarik Garis Pangkal lurus untuk menentukan Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan
Landasan Kontinen yang diukur dari Garis pangkal dan dimana Garis Pangkal tersebut berada
di pulau terluar. Rumusan masalah yang diangkat adalah bagaimana pengaturan hukum
internasional pada Konvensi Hukum Laut 1982 mengenai Negara Kepulauan, bagaimana
pengaturan hukum internasional dan hukum nasional dalam mengatur pengelolaan pulau-
pulau terluar Indonesia, sejauhmana implemnetasi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di
Sumatera Utara.
Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan penelitian yuridis
normatif. Penelitian yuridis normatif menjadikan suatu peristiwa atau permasalahan yang
memiliki akibat hukum dipandang dalam sebuah norma dan diberikan tanggapan dan
tindakan berdasarkan peraturan yang berlaku. Metode penelitian yuridis normatif
mengumpulkan data dengan menggunakan pendekatan data sekunder yaitu data yang berasal
dari kepustakaan (dokumen) baik yang bersumber dari media cetak maupun media elektronik.
Dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sumber yang tertulis dan bersifat ilmiah
yang berhubungan dengan hukum internasional dan hukum nasional mengenai hukum laut
dan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.
Pengelolaan pulau-pulau terluar harus dioptimalkan, sumber kekayaan yang ada dilaut
memerlukan pengelolaan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip Pembangunan
Berkelanjutan tanpa merusak lingkungan laut sehingga dapat digunakan untuk kemakmuran
masyarakat. Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan pulau-pulau
kecil yang ada di wilayah kedaulatan negaranya. Pengelolaan pulau terluar di Sumatera Utara
yang masih relatif kecil membuat Pemerintah Daerah Sumatera Utara harus meningkatkan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar guna untuk melindungi kedaulatan Nasional Indonesia.
Mengingat Indonesia pernah kehilangan pulau-pulau kecil karena kurangnya pemanfaatan
yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.

Kata Kunci : Pulau Terluar, Pengelolaan, Sumatera Utara.


______________________________________
* Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
** Dosen Pembimbing I
*** Dosen Pembimbing II

vi
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Beby Ferucha*
Dr. Sutiarnoto, SH., M.Hum**
Arif S.H., M.H***

For the archipelago, the outermost island is an important matter in determining the
territorial sea jurisdictions of the country. United Nations Convention on the Law of the Sea
in 1982 confirmed that the archipelago could draw a straight baseline to determine the
Territorial Sea, Exclusive Economic Zone and Continental Shelf measured from the baseline
and where the baseline was on the outermost island. The problem formulations raised are
how the regulation of international law at Sea Law Convention in 1982 concerning the
Archipelago, how regulations of international law and national law in organizing the
regulation of Indonesia's outer islands, to what extent the management implementation of the
outermost small islands in North Sumatera.
The research methodology in this study used normative juridical research. Normative
juridical research formulates an event or issue that has legal consequences to be seen in a
norm and given responses and actions based on applicable regulations. The normative
juridical research method collects the data using a secondary data approach which originated
data from literature (documents) whether sourced from printed or electronic media. The
proposed documents in this study are written and scientific sources regarding to international
law and national law pertaining the law of the sea and the regulation of the outermost small
islands.
Regulations of the outer islands must be optimized. The wealth sources that exist at
sea require good management in accordance with the principles of Sustainable Development
without damaging the marine environment therefore it can be used for community prosperity.
The country or state has an obligation to protect and preserve the small islands in the
country's sovereignty. The relatively small regulations of the outer islands in North Sumatera
has predisposed the Regional Government of North Sumatera must improve the management
of the outermost small islands to protect Indonesia's national sovereignty. Having said that,
Indonesia has ever lost small islands due to lack of utilization carried out by the Government
of Indonesia.

Keywords: Outermost Island, Regulations, North Sumatera.

______________________________________
* Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
** Dosen Pembimbing I
*** Dosen Pembimbing II

vii
Universitas Sumatera Utara
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk dan bertambahnya

kebutuhan akan sumber daya alam di dunia, The Utenberg mengemukakan bahwa

hanyalah perubahan dalam sistem hukum yang akan mampu mengatur pembagian

sumber daya alam yang tersedia di dunia secara proporsional guna terciptanya

kesejahteraan bersama. Kondisi geografis bumi menunjukan bahwa wilayah

lautan lebih besar dari wilayah daratan, sehingga konsekuensi logisnya adalah

bahwa sebagian besar sumber daya alam yang diperlukan untuk mendukung

kesejahteraan manusia tersedia di lautan. Fungsi utama laut di samping sebagai

penyedia media transportasi guna mendukung terselenggaranya perdagangan

internasional, juga sebagai penyedia sumber daya alam yang paling besar, baik

sumber daya alam hayati maupun non-hayati. Sehingga tidaklah mengherankan

bahwa sejak abad ke- 15 negara-negara berebut hak akses atas wilayah laut guna

ekplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di laut, sementara itu negara-negara

berpantai berebutan mengajukan klaim atas wilayah laut di sekitar dan di

sekeliling wilayah daratannya guna melindungi sumber daya laut tersebut hanya

untuk masing-masing warga negaranya. Hal ini menyebabkan munculnya konflik

antara dua kelompok kepentingan atas wilayah laut, keadaan semacam inilah yang

kemudian mendorong perkembangan Hukum Laut Internasional1. Namun masalah

1
Dhiana Puspitawati, Hukum Laut Internasional (Depok:Kencana, 2017), hal. 2

1
Universitas Sumatera Utara
kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara

tertentulah yang mempunyai wilayah laut, yaitu negara dimana wilayah daratnya

berbatasan dengan laut. Laut adakalanya merupakan batas suatu negara dengan

negara lain dengan titik batas yang ditentukan melalui ekstradisi bilateral atau

multilateral yang berarti pula merupakan batas kekuasaan suatu negara2.

United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 megatur

bahwa Negara Kepulauan adalah negara yang terdiri dari atas satu atau lebih

gugusan pulau, di mana antaranya terdapat pulau-pulau lain yang merupakan satu

kesatuan politik atau secara historis merupakan satu ikatan3. UNCLOS mengatur

tentang rezim-rezim hukum laut, termasuk hukum negara kepulauan

„Archipelagic State‟ (yang mempunyai arti dan peranan penting untuk

memantapkan kedudukan Indoenesia dalam rangka implementasi wawasan

nusantara sesuai amanat MPR RI ) secara menyeluruh. Konsep Archipelagic State

adalah hasil perjuangan Indonesia.

Usaha Indonesia supaya konsep Negara Kepulauan diakui secara

internasional merupakan upaya untuk mencari legalitas dalam membatasi kapal

asing diperairan Indonesia. Deklarasi Juanda tidak mendapat dukungan berarti

dan dianggap hanya sebagai pernyataan sepihak dari Indonesia yang tidak

mengikat secara hukum terutama hukum internasional. Walaupun UNCLOS I

berhasil menghasilkan empat konvensi intenasional, dua isu penting belum

terselesaikan yang meliputi (i) lebar laut teritorial dan (ii) batas zona perikanan.

Oleh karena itu, UNCLOS I dalam Resolusi VIII merekomendasikan kepada

2
P.Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hal. 1
3
Pasal 46 ayat (1) United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) 1982

2
Universitas Sumatera Utara
Majelis Umum PBB untuk diadakannya UNCLOS II. Selanjutnya Majelis Umum

PBB melalui Resolusi 1307 (XIII) tanggal 10 Desember 1958 memutuskan untuk

mengadakan UNCLOS II pada tanggal 17 sampai dengan 26 Maret 1960 di

Jenewa. Sementara itu, gagalnya UNCLOS I dalam mengakui konsep Negara

Kepulauan memaksa Indonesia untuk memikirkan cara lain agar konsep Negara

Kepulauan diakui secara internasional. Pada saat itu Indonesia beranggapan jika

konsep Negara Kepulauan dituangkan dalam bentuk peraturan dan bukan hanya

deklarasi sepihak yang diakuinya konsep tersebut oleh masyarakat internasional

akan terbuka. Oleh karena itu pada tahun 1960 Indonesia merumuskan Undang-

Undang Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia. Undang-undang ini

menegaskan kembali konsep Negara Kepulauan yang dianut oleh Indonesia.

Namun pada UNCLOS II konsep Negara Kepulauan juga gagal untuk diakui oleh

masyarakat Internasional. UNCLOS II bahkan tidak menghasilkan suatu konvensi

apapun, akan tetapi UNCLOS II menyepakati butuhnya metode teknis dalam hal

perikanan. Tidak menyerah sampai disitu, walaupun belum mendapatkan

pengakuan dari masyarakat intenasional, Indonesia secara konsisten menerapkan

konsep Negara Kepulauan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8

Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai, Undang-Undang Nomor 1 tentang

Landasan Kontinen dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona

Ekonomi Eksklusif (ZEE). Selanjutnya UNCLOS III inilah konsep Negara

Kepulauan diakui dan dituangkan dalam Bab IV UNCLOS 1982. Pembahasan

tentang Negara Kepulauan dilakukan oleh Sub-Committe II dengan mendasarkan

diri pada proposal yang diajukan oleh empat Negara Kepulauan yaitu Indonesia,

3
Universitas Sumatera Utara
Philippina, Fiji dan Mauritius yang kemudian dikenal dengan „Four-State Draft

1974‟ dan draft ini sebagaian besar diadopsi ke dalam ketentuan-ketentuan

UNCLOS 19824.

Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang dilintasi oleh garis

khatulistiwa, dan berada diantara dua benua yaitu Asia dan Australia serta berada

di antara dua samudra yaitu Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia

merupakan Negara Kepulauan (Archipelagic State) terbesar di dunia dan dikenal

sebagai Kawasan Nusantara ( Kepulauan Antara). Posisi Indonesia terletak pada

koordinat 6ºLU - 11º08‟LS dan dari 95º‟BB - 141º45‟BT. Wilayah Indonesia

terbentang sepanjang 3.997 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.

Luas daratan Indonesia mencapai 1.922.570 km2 sedangkan luas perairannya

mencapai 3.257.483 km2. Indonesia terdiri dari lima pulau besar, yaitu Jawa

dengan luas 132.107 km2, Sumatera dengan luas 473.606 km2, Kalimantan dengan

luas 539.460 km2, Sulawesi dengan luas 189.216 km2, dan Papua dengan luas

421.981 km2 dan luas ZEE 2,7 juta km2. Jarak dari Barat ke Timur lebih panjang

dari pada jarak antara London dan Siberia sebagaimana yang pernah digambarkan

oleh Multatuli.5

Indonesia memiliki pulau yang berjumlah sekitar 13.000, dengan garis

pantai sepanjang 95.181 km. Termasuk dalam kawasan kepulauan ini adalah

pulau-pulau besar seperti Sumatera, Jawa, sekitar tiga perempat Borneo, Sulawesi,

Kepulauan Maluku dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, dan separuh bagian Barat

4
Puspitawati, Op.Cit., 104
5
Yudhi Wijayanto, Disertasi: “Implementasi Kebijakan Pemerintah terhadap
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (Studi Kasus Pulau Miangas Kabupaten Kepulauan
Talaud Provinsi Sulawesi Utara)” (Jakarta: UI,2016), Hal. 1

4
Universitas Sumatera Utara
dari pulau Papua dan dihuni oleh ratusan suku bangsa. Dari belasan ribu pulau

yang dimiliki Indoensia, terdapat 111 pulau terluar ditetapkan oleh pemerintah

yang tersebar di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan luas

masing-masing pulau rata-rata 0,02 hingga 200 kilometer persegi. Hanya 50%

dari pulau terluar tersebut yang berpenghuni. Enam puluh tujuh dari 111 itu

berbatasan dengan negara tentangga yaitu Malaysia, Papua Nugini, Timur Leste,

Singapura, Philipina, Palau, Australia, India, Thailand, dan Vietnam 6. Dimana

penetapan batas zona laut Indonesia ditentukan oleh Pulau-pulau terluar yang ada

di Indonesia. Pulau terluar merupakan pulau yang sangat strategis guna

melakukan klaim terhadap wilayah laut, strategisnya Pulau terluar tersebut antara

lain:7

1. Pulau terluar merupakan tempat Garis Pangkal, dimana baik Laut

Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Landasan Kontinen semua

itu diukur dari Garis Pangkal, sedangkan garis pangkal tersebut adanya

di pulau terluar.

2. Pulau-pulau yang lain tidak memiliki garis pangkal,jelasnya garis

pangkal adanya hanya di Pulau Terluar.

Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan tidak

berpenduduk dan jauh dari perhatian pemerintah. Keberadaan pulau-pulau ini

secara geografis sangatlah strategis dan mempunyai peranan penting sekali

berkaitan dengan penentuan batas wilayah, peranan pulau-pulau terluar yaitu

6
Ibid., Hal. 2
7
Nur Yanto, Memahami Hukum Laut Indonesia (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2014),
Hal. 58

5
Universitas Sumatera Utara
penarikan garis pangkal menentukan lebarnya laut teritorial yang mana jaraknya

sampai 12 mil dan juga tempat menentukan ZEE jaraknya sampai sejauh 200 mil.

Dari jumlah 111 pulau tersebut, 12 diantaranya rawan berpotensi konflik,

kedua belas pulau tersebut adalah8:

a. Pulau Rondo

Pulau Rondo terletak di ujung Barat laut Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam. Disini terdapat Titik dasar (TD) 177. Pulau ini adalah

pulau terluar di sebelah Barat wilayah Indonesia yang berbatasan

dengan perairan India.

b. Pulau Berhala

Pulau Berhala terletak di perairan Timur Sumatera Utara yang

berbatasan langsung dengan Malaysia. Di tempat ini terdapat Titik

Dasar (TD) 184. Pulau ini menjadi sangat penting karena karena

menjadi pulau terluar Indonesia di Selat Malaka, salah satu selat yang

sangat ramai karena merupakan jalur pelayarana internasional.

c. Pulau Nipah

Pulau Nipah adalah salah satu pulau yang berbatasan langsung dengan

Singapura. Secara administratif pulau ini termasuk ke dalam wilayayah

Kelurahan Pemping kecamatan Belakang Padang Kota Batam Provinsi

Kepualauan Riau. Pulau Nipah ini tiba-tiba menjadi terkenal karena

beredarnya isi mengenai hilangnya/tenggelamnya pulau ini atau

hilangnya titik dasar yang ada di pulau tersebut.

8
Erwin, “Urgensi Perlindungan Pulau-Pulau Terluar Dalam Kaitan Integritas Teritorial
Indonesia”. Vol. 6 No.2, Juli 2011, hal. 191

6
Universitas Sumatera Utara
d. Pulau Sekatung

Pulau ini merupakan pulau terluar Provinsi Kepualauan Riau di

sebelah Utara dan berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan. Di

pulau ini terdapat Titik Dasar (TD) 030 yang menjadi TD dalam

pengukuran dan penetapan batas Indonesia dengan Vietnam.

e. Pulau Marore

Pulau ini terletak di bagian Utara Provinsi Sulawesi Utara, berbatasan

langsung dengan Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat titik dasar

055.

f. Pulau Miangas

Pulau ini terletak di bagian Utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan

langsung dengan Pulau Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat titik

dasar 056.

g. Pulau Fani

Pulau ini terletak Barat laut kepala burung Provinsi Irian Jaya Barat,

berbatasan langsung dengan Negara Kepulauan Palau. Di pulau ini

terdapat titik dasar 066.

h. Pulau Fanildo

Pulau ini terletak di Kepulauan Asia, Barat Laut kepala burung

Provinsi Irian Jaya Barat, berbatasan langsung dengan Negara

Kepulauan Palau. Di pulau ini terdapat titik dasar 072.

7
Universitas Sumatera Utara
i. Pulau Brass

Pulau ini terletak di Kepulauan Asia, Barat Laut kepala burung

Provinsi Irian Jaya Barat, berbatasan langsung dengan Negara

Kepualauan Palau. Di pulau ini terdapat titik dasar 072A.

j. Pulau Batek

Pulau ini terletak di Selat Ombai, di pantai Utara Nusa Tenggara Timur

dan Oecussi Timor Lestle. Di pulau ini belum ada titik dasar.

k. Pulau Marampit.

Pulau ini terletak di bagian Utara Provinsi Sulawesi Utara, berbatasan

langsung dengan Pulau Mindanau Filipina, di pulau ini terdapat titik

dasar 057.

l. Pulau Dana

Pulau ini terletak di bagian Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur,

berbatasan langsung dengan Pulau Karang Ashmore Australia. Di

pulau ini terdapat titik dasar 121.

Melihat arti penting pulau terluar di Indonesia tersebut, ada manfaat atau

arti penting dari pulau terluar tersebut, seperti (i) fungsi kemananan, (ii) fungsi

ekonomi dan (iii) fungsi ekologi. Sehingga perlindungan dan pengelolaan pulau-

pulau terluar sudah harus di optimalkan mengingat pentingnya pulau-pulau terluar

bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia9.Dengan pulau yang sangat banyak dan

sumberdaya alam yang melimpah tentunya sangat menguntungkan Indoneisa,

namun sebaliknya juga dapat menjadi ancaman. Ancaman itu seperti kasus

9
Puspitawati, Op.Cit., Hal 105

8
Universitas Sumatera Utara
pencaplokan pulau, dan pelanggaran batas laut oleh Negara tetangga. Indonesia

harus belajar dari kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Pemerintah tidak boleh

kecolongan lagi. Maka, perhatian kepada pulau terluar (pulau terdepan) dan

daerah perbatasan Indonesia harus diperkuat. Apalagi kesenjangan sosial

masyarakat di pulau terluar sangat mengkhawtirkan. Sangat kompleks persoalan

di perbatasan Indonesia yang harus mendapat perhatian serius Pemerintah.

Semenjak di tetapkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 tahun 2017

tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar, Pulau Simuk dan Pulau Wunga

yang terletak di bagian Pantai Barat Sumatera Utara masuk kedalam daftar 111

pulau-pulau kecil terluar yang dimana sebelum adanya Keppres tersebut yang

termasuk pulau terluar hanyalah Pulau Berhala yang teletak di bagian Pantai

Timur Sumatera Utara. Dengan telah di daftarkannya pulau Simuk dan Pulau

Wunga dimana pulau tersebut merupakan pulau yang berpenghuni sehingga

seharusnya pemerintah memperhatikan kehidupan dari masyarakat yang tinggal di

pulau-pulau tersebut. Potensi wilayah pesisir Timur dan Barat Sumatera Utara

sampai saat ini belum dikelola secara optimal, dimana pengelolaan yang telah

dilakukan selama ini masih bersifat eksploitatif, sektoral dan tumpang tindih. Oleh

karena itu dalam jangka menegah dan jangka panjang perlu dilakukan re-orientasi

kebijaksanaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir.10

10
www.pemkomedan.go.id/RADPPK/Renstra_Bappeda.pdf diakses pada tanggal 26
september 2018 jam 22 : 37 Wib

9
Universitas Sumatera Utara
Sebenarnya pemerintah telah berupaya mengeluarkan kebijakan dalam

pengelolaan pulau terluar melalui : (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil, (3)

Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2016 tentang Perencanaan Wilayah Pesisir

Dan Pulau Kecil Jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Daerah dan (4) Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan

Pulau-Pulau Kecil Terluar dimana perlunya perhatian khusus terhadap 111 pulau

terluar dalam menjaga kedaulatan wilayah NKRI.

Mengingat akan pentingnya pulau-pulau terluar bagi Indonesia dan

banyaknya persoalan yang harus diselesaikan tentang pengelolaan pulau terluar

baik dari sumberdaya alam nya maupun sumberdaya manusianya, sehingga dapat

diperoleh kesimpulan atas bagaimana seharusnya pengelolaan terhadap pulau-

pulau terluar di Indonesia tersebut, maka dari itu penulis menulis skripsi dengan

judul Aspek Hukum Internasional Dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Terluar

Di Indonesia (Studi kasus : Pulau-Pulau Terluar di Sumatera Utara).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan sebelumnya maka yang

menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan hukum internasional pada konvensi hukum laut

mengenai Negara Kepulauan ?

10
Universitas Sumatera Utara
2. Bagaimana pengaturan hukum internasional dan hukum nasional dalam

mengatur pengelolaan pulau-pulau terluar Indonesia ?

3. Bagaimana implementasi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di

Sumatera Utara ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, memiliki tujuan dan manfaat yang

ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini, sebagaimana tujuan penulisan skripsi

melalui judul ini antara lain :

a. Untuk mengetahui pengaturan hukum internasional pada konvensi laut

mengenai Negara Kepulauan.

b. Untuk mengetahui pengaturan hukum internasional dan hukum nasional

dalam mengatur pengelolaan pulau-pulau terluar Indonesia.

c. Untuk mengetahui sejauhmana implementasi pengelolaan pulau-pulau

terluar khususnya di Sumatera Utara.

Selain tujuan dari penulisan skripsi ini, perlu diketahui pula manfaat yang

diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini, adapun manfaat dalam

penulisan skripsi ini antara lain :

a. Manfaat Teoritis

Dalam penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah referensi,

literatur serta memperkaya khasanah intelektual di dunia, umunya dalam bidang

hukum. Selain itu, juga agar dapat menambah wawasan para akademisi maupun

pratiksi hukum khususnya pada kajian yang berkaitan dengan pengaturan hukum

internasional pada konvensi laut mengenai Negara Kepulauan serta pembahasan

11
Universitas Sumatera Utara
pengaturan hukum internasional dan hukum nasional dalam mengatur pulau-pulau

terluar Indonesia dan implikasinya khususnya pulau-pulau terluar di Sumatera

Utara.

b. Manfaat Praktis

Dalam penulisan skripsi ini kiranya dapat memberi gambaran pengaturan

hukum internasional mengenai Negara Kepulauan serta bagaimana peranan

hukum internasional dalam mengatur pengelolaan pulau-pulau terluar yang

menuangkannya dalam bentuk peraturan nasional di Indonesia. Bagi pemerintah

dapat memanfaatkan skripsi ini untuk menganalisis dan mengevaluasi peraturan

dan kebijakan untuk meweujudkan peraturan yang baik untuk di terapkan dalam

negaranya. Bagi masyarakat dapat menfaatkan skripsi ini untuk mendapatkan

informasi tentang pengaturan apa yang harus dilakukan dalam pengelolaan pulau-

pulau terluar di Indonesia khususnya di Sumatera Utara.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini merupakan hasil karya asli dari penulis dan bukan

merupakan hasil salinan atau plagiasi dari penulisan skripsi orang lain.

Untuk menghindari kesamaan dalam penelitian ini, maka dilakukan

penelurusan kajian terdahulu yang mungkin berkaitan dengan penelitian ini,

berikut kajian terdahulu yang ditemukan :

1. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan Juli 2014,

yang disusun oleh Andrea Gayus Sinulingga dengan judul “ Kedudukan

Pulau Nipa Sebagai Pulau Terluar Untuk Penarikan Garis Pangkal Laut

Terluar Indonesia Yang Berbatasan Dengan Singapura”. Dalam penelitian

12
Universitas Sumatera Utara
ini membahas tentang pengaturan batas wilayah di perairan Indonesia

menurut hukum internasionalnya serta bagaimana suatu Negara Kepulauan

untuk dapat menarik Garis Pangkal pantai nya yang ada di wilayah pulau-

pulau terluar Indonesia.

2. Disertasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,

Depok Mei 2016, yang disusun oleh Yudhi Wijayanto dengan judul “

Implementasi Kebijakan Pemerintah terhadap Pengelolaan Pulau-Pulau

Kecil Terluar ( Studi kasus Pulau Mianggas Kabupaten Kepulauan Talaud

Provinsi Sulawesi Utara)”. Dalam penelitian ini membahas tentang isi

kebijakan dan konteks implementasi kebijakan pemerintah terhadap

pengelolan Pulau Miangas serta untuk mendapatkan konsep alternatif

tentang kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan.

Khusus untuk yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara Medan, keaslian penulisan ini ditunjuk dengan adanya penegasan dari pihak

administrator bagian/jurusan hukum internasional.

E. Tinjauan Pustaka

Penulisan skripsi ini berkisar tentang pengaturan-pengaturan tentang

pengelolaan pulau-pulau terluar di Indonesia khusunya di Sumatera Utara,

adapaun tinjauan kepustakaan sebagai berikut :

1. Tinjauan umum mengenai Hukum Internasional

Pada umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari

peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur

hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam

13
Universitas Sumatera Utara
kehidupan masyarakat internasional. Hukum internasional bukan hanya mengatur

hubungan antar negara tetapi juga subjek-subjek hukum lainnya seperti

organisasi-organisasi internasional, kelompok-kelompok supransional, dan

gerakan-gerakan pembebasan nasional. Bahkan, dalam hal-hal tertentu, hukum

internasional juga diberlakukan terhadap individu-individu dalam hubungannya

dengan negara-negara. Walaupun hukum internasional tidak lagi semata-mata

merupakan hukum antar negara dengan tampilan aktor-aktor baru non-negara,

tetapi dalam kehidupan internasional negara masih tetap memainkan peranan

utama mengingat dampak kedaulatan yang dimilikinya terhadap keseluruhan

sistem hukum internasional.Sehingga dapat di rumuskan bahwasanya hukum

internasional adalah sebagai suatu kaidah atau norma-norma yang mengatur hak

dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum internasional yaitu negara, lembaga

dan organisasi internasional, serta individu dalam hal-hal tertentu. Dalam sitem

hukum internasional tidak ada kekuasaan tertinggi yang dapat memaksakan

keputusan-keputusannya kepada negara-negara, tidak ada badan legislatif

internasional yang membuat ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat langsung

negara-negara anggota di samping tidak adanya angkatan bersenjata untuk

melaksanakan sanksi-sanksi kepada negara-negara pelanggar hukum. Hukum

internasional memang tidak selengkap hukum nasional karena tidak adanya unsur-

unsur tersebut di atas. Namun demikian, negara-negara tetap percaya bahwa

hukum internasional itu ada dan sebagai negara berdaulat serta menjunjung tinggi

martabatnya terdapat kewajiban moral bagi suatu negara untuk menghormati

hukum internasional dan secara umum mematuhinya. Negara-negara mematuhi

14
Universitas Sumatera Utara
hukum internasional karena kepatuhan tersebut diperlukan untuk mengatur

hubunganya antara satu dengan yang lain dan untuk melindungi kepentinganya

sendiri. Negara-negara tersebut patuh karena merupakan kepentingan mereka

berbuat demikian11.

Sebagaimana telah dikemukan sebelumnya, tidak ada badan legislatif

internasional untuk membuat ketentuan-ketentuan yang mengatur secara langsung

kehidupan masyarakat internasional. Satu-satunya organisasi yang kira-kira

melakukan fungsi legislatif adalah Majelis Umum PBB, tetapi resolusi-resolusi

yang dikeluarkannya tidak mengikat kecuali yang menyangkut kehidupan

organisasi internasional itu sendiri. Memang ada konverensi-konverensi

internasional yang diselenggarakan dalam kerangka PBB untuk membahas

masalah-masalah tertentu, tetapi tidak selalu merumuskan law making treaties.

J.G. Starke menguraikan bahwa sumber-sumber materiil hukum internasional

dapat didefinisikan sebagai bahan-bahan aktual yang digunakan oleh para ahli

hukum internasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu peristiwa

atau situasi tertentu. Pada garis besarnya, bahan-bahan tersebut dapat

dikategorikan dalam lima bentuk, yaitu12 :

1. Kebiasaan;

2. Traktat;

3. Keputusan pengadilan atau badan-badan arbitrasi;

4. Karya-karya hukum;

5. Keputusan atau ketetapan organ-organ/lembaga internasional.

11
Boer Mauna, Hukum Internasional, (Bandung: P.T.Alumni, 2013), Hal. 1-3
12
Ibid., Hal 7-8

15
Universitas Sumatera Utara
Mengingat bahwa yang membuat hukum internasional adalah negara-

negara, baik melalui hukum kebiasaan maupun hukum melalui hukum tertulis dan

karena negara-negara itu pula yang merupakan pelaku dan sekaligus pengawasan

dari pelaksanaan hukum tersebut tentu saja hukum internasional tidak mungkin

sekuat hukum nasional. Seperti dikemukakan Prof. Charles Rousseau, pakar

hukum internasional Universite Paris- Sorbonne : alors que le droit interne est un

droit de subordination, le droit international se presente comrne un droit de

coordination, yang berarti bila hukum nasional merupakan hukum subordinasi,

maka hukum internasional adalah hukum koordinasi. Walaupun hukum

intenasional masih jauh dari bentuk supranasional, tetapi sistem hukum tersebut

telah berhasil merumuskan berbagai asas dan ketentuan hukum yang mengatur

segala macam hubungan dan kegiatan masyarakat internasional yang kian hari

makin bertambah padat dan kompleks di era globalisasi ini sebagai akibat

kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi 13.

2. Pengelolaan pulau-pulau terluar

Pulau-pulau kecil terluar merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) yang berbatasan dengan negara tetangga, sehingga

keberadaannya mempunyai arti yang strategis dalam proses pembangunan.

Menurut Dahuri potensi pulau-pulau perbatasan dapat dikelompokan menjadi tiga,

yaitu (1) potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan, (2) potensi ekonomi, dan

(3) potensi sebagai bisnis pertahanan negara.

13
Mauna, Loc.Cit

16
Universitas Sumatera Utara
Lebih lanjut Dahuri menyatakan bahwa potensi sumberdaya alam dan jasa

lingkungan di pulau-pulau kecil terluar terdiri dari sumberdaya hayati ( padang

lamun, terumbu karang, dan hutan maggrove), yang sangat berperan dalam

mengendalikan keseimbangan ekosistem termasuk kelestarian biota-biota

perairan. Sementara itu, potensi sumberdaya non-hayati seperti bahan tambang,

energi laut dan jasa lingkungan (terutama pariwisata) dapat dimanfaatkan untuk

mendorong ekonomi.14

Definisi pulau dalam Pasal 121 UNCLOS, adalah daratan yang dibentuk

secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan ada yang di atas permukaan air pada

air pasang15, sedangkan definisi pulau sebagaimana yang tercantum dalam

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 198516 bahwa: pulau adalah massa daratan

yang terbentuk secara alamiah, di kelilingi oleh air dan selalu berada/muncul

diatas permukaan air pasang tinggi. Sedangkan, pulau-pulau kecil secara harfiah

merupakan kumpulan pulau berukuran kecil yang secara fungsional saling

berinteraksi dari sisi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Interaksi ini

menyebabkan pulau-pulau kecil tersebut terpisah dari pulau induknya (mainland).

Karakteristik pulau-pulau kecil yang sangat menonjol menurut Griffith dan

Inniss serta Beller adalah :

1. Terpisah dari habitat pulau induk sehingga bersifat insuler

2. Memiliki persedian air tawar yang sangat terbatas, termasuk air tanah atau

air permukaan

14
R. Dahuri, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, (Bogor:
IPB,1998), Hal. 23
15
Pasal 121 United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) 1982
16
Undang-Undang No 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Convention On The
Law Of The Sea

17
Universitas Sumatera Utara
3. Rentan terhadap gangguan eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan

manusia

4. Memiliki spesies endemik yang memiliki fungsi ekologi yang tinggi, dan

5. Tidak memiliki daerah hinterland.

Permasalah yang terjadi di pulau-pulau kecil terluar adalah kondisinya

yang relatif terisolasi dan jauh dari pulau induk, terbatasnya saranan dan prasarana

perekonomian seperti : jalan raya, pelabuhan, pasar, penerangan listrik, lembaga

perbankan, sehingga berakibat pada kesejahteraan dan pendapat masyarakat

rendah serta kualitas sumberdaya manusia rendah akibat kurangnya fasilitas

pendidikan, tidaktersedianya informasi dan komunikasi serta fasilitas kesehatan.

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan Pasal 5

dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, meliputi kegiatan

perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian terhadap interaksi

manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta

proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil wajib dilakukan dengan cara

mengintegrasikan kegiatan : (a). antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, (b)

antar Pemerintah Daerah, (c) antar sektor, (d) antara Pemerintah dan dunia usaha,

(e) antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut dan, (f) antara ilmu pengetahuan

dan prinsip-prinsip manajemen17.

17
Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

18
Universitas Sumatera Utara
F. Metode Penelitian

Seorjono Soekanto mendefiniskan metode penelitian sebagai suatu prosedur atau

cara memperoleh pengetahuan yang benar atau kebenaran melalui langkah-

langkah yang sistematis18. Metode penelitian yang digunakan dalam upaya untuk

mengumpulkan data dan analisi data dalam rangka menyelesaikan tugas akhir

penelitian hukum ini adalah :

a. Tipe Penelitian

Penelitian yang dilakukan di dalam membahas rumusan masalah dalam

skripsi ini adalah melalui tipe pendekatan yuridis normatif, pendekatan yuridis

normatif adalah pendekatan yang melakukan analisa hukum atas norma-norma

hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-

putusan hakim dalam proses persidangan19 serta norma-norma dalam masyarkat,

juga sinkronisasi suatu aturan dengan atauran lain secara hirarki.

b. Sumber dan Jenis Bahan Hukum

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif makan sumber data

yang diperoleh di dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang mengikat yang merupakan

landasan utama yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari catatan resmi atau

risalah dalam membuat perundang-undangan dan putusan hakim sebagaimana

yang berlaku bahan hukum primer yang digunakan antara lain :

18
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004) hal. 1
19
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004) hal. 14.

19
Universitas Sumatera Utara
1. United Nations Convention on the Law of the Sea ( UNCLOS –

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengatur tentang

Hukum Laut Internasional

2. Djuanda Declaration – deklarasi yang menyatakan Indonesia

adalah Negara Kepulauan (Archipelagic State)

3. Convention on the Continental Shelf 1958 – Konvensi tentang

Landasan Kontinen.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang berupa bahan publikasi

dengan tujuan menunjang dan memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer

seperti buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah dan para pendapat dari para ahli hukum

internasional yang terkait objek penelitian.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu, bahwa hukum yang memberikan petunjuk-

petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder yang berasal

dari kamus, ensiklopedia, jurnal, majalah, surat kabar, dan sebagainya.

4. Metode pengumpulan data

Teknik yang digunakan di dalam pengumpulan data adalah library

research atau studi kepustakaan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan landasan

dalam menganalisa data-data yang diperoleh dari sumber yang dapat dipercaya

langsung ( buku-buku, artikel-artikel, dokumen pemerintah termasuk kepada

perundang-undangan dan konvensi internasional) maupun tidak langsung (media

elektronik). Dengan penelusuran bahan hukum di Perpustakaan Pusat Universitas

20
Universitas Sumatera Utara
Sumatera Utara maupun di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara dan internet sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang terarah dari pohok

bahasan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan upaya atau cara untuk mempermudah

dalam melihat dan memahami isi dari tulisan ini secara menyeluruh. Dalam

sistematika penulisan dibagi ke dalam 5 (lima) bab. Setiap bab menguraikan

pembahasan-pembahasan tersendiri secara sistematis dan saling terkait antara bab

satu dengan bab yang lainya. Setiap bab terdiri dari subbab sebagai penjabaran

lebih lanjut dari bab yang ada yang akan mendukung keutuhan pembahasan dan

terarahnya penulisan skripsi ini. Adapun sistematika penulisan dalam skripsi

yaitu:

a. BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penjelasan secara jelas sistematika dan komponen

awal ataupun dasar dalam penulisan skripsi ini, membahas

mengenai latar belakang yang menjelaskan alasan pemilihan judul

penelitian yang kemudian akan di lanjutkan dengan perumusan

masalah dan diikuti dengan tujuan penelitian serta manfaat dari

penelitian, tinjauan keperpustakaan, metode penulisan apakah yang

digunakan di dalam penulisan skripsi ini serta diakhiri dengan

sistematika penulisan.

21
Universitas Sumatera Utara
b. BAB II : TINJAUAN UMUM HUKUM INERNASIONAL PADA

KONVENSI HUKUM LAUT 1982 NEGARA KEPULAUAN

Dalam bab ini membahas tentang bagaimana pengaturan hukum

internasional terhadap hukum laut yang dimulai dari bagaimana

suatu hukum internasional dapat mengadakan konvensi

internasional yang diakui oleh masyarakat internasional serta

bagaiamana pengaturan negara kepulauan menurut konvensi

hukum laut 1982.

c. BAB III : PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM

NASIONAL TENTANG PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL

Dimana dalam bab ini terbagi atas beberapa fokus pembahasan,

yang pertama membahas tentang peraturan hukum internasional

mengenail pengaturan internasional yang berhubungan dengan

pengelolaan hukum internasional yang biasanya lahir dari

konvensi-konvesi, deklarasi ataupun perjanjian-perjanjian

internasional. Kedua tentang hukum nasional hasil ratifikasi dari

sumber-sumber hukum internasional tersebut sehingga pemerintah

Indonesia lebih dalam lagi membahas peraturan tentang

pengelolaan pulau-pulau kecilnya.

d. BAB IV : IMPLIKASI PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL

TERLUAR DI SUMATERA UTARA

Dalam bab ini fokus membahas bagaimana dampak dari peraturan-

peraturan mengenai pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dari

22
Universitas Sumatera Utara
aspek hukum Pemerintah Daerah Sumatera Utara, rencana zonasi

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecilnya serta bagaimana

pemanfaatan dari pengengolalan pulau-pulau kecil terluar di

Sumatera Utara.

e. Bab V : PENUTUP

Dalam bab ini terdapat kesimpulan dan saran sebagai bagian akhir

dari penulisan skripsi ini, memberikan rangkuman dari kesimpulan

jawaban atas semua rumusan masalah serta saran berupa masukan-

masukan dalam penyelesaian masalah yang ada di dalam penulisan

skripsi ini sebagai rekomendasi kedepannya agar dapat mencegah

permasalahan yang serupa timbul kembali.

23
Universitas Sumatera Utara
BAB II

TINJAUAN UMUM HUKUM INERNASIONAL PADA KONVENSI

HUKUM LAUT 1982 MENGENAI NEGARA KEPULAUAN

A. Hukum internasional untuk membentuk Konvensi Hukum Laut 1982

Hukum internasional memandang bahwasannya eksistensi dan kedaluatan

suatu negara merupakan suatu kekuasaan tertinggi. Dengan kata lain hukum

internasional mendasarkan diri pada kesamaan derajat negara-negara (equaity of

states). Hukum laut internasional merupakan salah satu cabang dari hukum

internasional yang mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam

setidaknya 50 (lima puluh) tahun terakhir ini dan akan selalu berkembang secara

dinamis dari waktu ke waktu. Sebelum diadakanya konferensi Hukum Laut

Internaisonal I atau yang biasa disebut First United Nations Conference on the

Law of the Sea (UNCLOS I) pada tahun 1958, pemanfaatan laut diatur oleh

kebiasaan internasional20, dimana kebiasaan ini merupakan suatu pola tindak dari

serangkaian tindakan-tindakan mengenai suatu hal dan dilakukan secara berulang-

ulang. Tindakan yang dimaksud adalah kaitan dengan hubungan internasional.

Batas waktu tindakan tersebut tidak ada batasnya berapa kali tindakan itu

dilakukan secara terulang, hal ini tergantung dari situasi dan kondisi setempat

serta kebutuhannya,apabila secara pergaulan internasional sudah cukup

mendapatkan pengakuan dalam arti tidak menimbulkan pertanyaan ataupun

20
Puspitawati, Dhiana, Hukum Laut Internasional( Depok: Kencana, 2017), hal 11

24
Universitas Sumatera Utara
permasalahan yang dapat berjalan secara lancar didalam pergaulaan internasional

tersebut21. Selain kebiasan internasional, ada juga perjanjian internasional yang

diadakan oleh bangsa sebagai subjek hukum internasional, yang bertujuan untuk

menggariskan hak dan kewajiban yang ditimbulkan serta akibat lainnya yang

berpengaruh bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Para pihak terikat

dan tunduk pada perjnajian sesuai dengan ketentuan yang menjadi kesepakatan

bersama. Pada umumnya perjanjian dibuat dengan memperhatikan kepentingan

para pihak dengan saling menguntungkan dan tidak meninggalkan landasan-

landasan masing-masing pihak serta memperhatikan segala ketentuan hukum

internasional yang ada22.

Negara yang berdaulat dalam pergaulan internasional merupakan syarat

mutlak terciptanya masyakat yang tunduk pada hukum internasioanl atau

membentuk suatu konvensi serta perjanjian yang ada dapat dilakukan. Dari kedua

hal tersebut tidak cukup untuk mengatur kedaulatan wilayah lautan suatua negara.

Negara-negara melakukan kondifikasi hukum laut internasional karena mengingat

perkembangan teknologi kelautan dan kemampuan negara-negara untuk

mengadakan eksplorasi dan ekploitasi sumber daya laut terutama minyak,

ketertarikan suatu wilayah laut menjadi tren pada tahun 1930. Sehingga,

masyarakat internasional memutuskan untuk membuat suatu aturan hukum

mengenai hukum laut internasional. Alhasil,membutuhkan waktu 30 tahun untuk

bisa mengkondifikasi ketentuan-ketentuan hukum laut internasonal, dimulai pada

tahun 1958 ketika diselenggarakanya UNCLOS I, diikuti dengan Konferensi

21
Subagyo, P.Joko, Hukum Laut Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,1993), hal. 17
22
Ibid., hal. 18

25
Universitas Sumatera Utara
Hukum Laut Internasional II (UNCLOS II) pada tahun 1960, diikuti oleh

Konferensi Hukum Laut III (UNCLOS III) yang dimulai pada tahun 1973 dan

berakhir pada tahun 1982, ketika diadopsinya Konvensi Internasional Hukum

Laut 1982 atau yang biasa dikenal dengan United Nations Convention on the Law

of the Sea (UNCLOS 1982). UNCLOS 1982 merupakan konvensi internasional

yang secara komprehensif mengatur pemanfaatan laut termasuk kedaulatan suatu

negara atas wilayah laut guna pengaturan pembagian sumber daya alam di laut

baik oleh negara berpantai maupun land-locked states. Oleh karena itu, UNCLOS

1982 menngatur pembagian zona-zona maritim dengan rezim hukumnya masing-

masing serta, yang sangat revolusioner dalam perkembangan hukum laut

internasional adalah diakuinya konsep Negara Kepualauan dalam Bab IV

UNCLOS 1982, sehingga dari konvensi UNLOS 1982 tersebut konsep Negara

Kepulauan di akui oleh Masyakarat Internasional23.

B. Definisi Negara Kepulauan menurut Konvensi Hukum Laut 1982

Terwujudnya Konvensi Hukum laut tahun 1982 merupakan hal yang

sangat penting bagi Indonesia, karena dalam konvensi ini dimuat ketentuan-

ketentuan mengenai Negara Kepulauan yang telah diperjuangkan selama 25 tahun

yaitu sejak konverensi PBB tentang Hukum Laut I (1958). Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa konsepsi Negara Kepulauan telah mendapat pengakuan

internasional, meskipun konvensi belum berlaku. Sebagai anggota masyarakat

internasional, Indonesia memerlukan pengakuan terhadap konsepsi yang merubah

status perairan dan dasar laut kepulaun Indonesia yang sebelumnya merupakan

23
Loc., Cit,. Hal. 12

26
Universitas Sumatera Utara
laut lepas menjadi perairan dan dasar laut yang berada di bawah kedaulatan bagi

kepentingan internasional. Dengan adanya pengakuan ini kedaulatan Indonesia

berdasarkan konsep kepulauan menjadi terjamin dan dihormati oleh masyarakat

internasional24.

Dalam konsepsi Negara Kepulauan tersebut yang dikemukan oleh

Indonesia, Filipina, Fiji dan Mauritus, dikemukan prinsip-prinsi Negara

Kepulauan. Prinsip-prinsip Negara Kepulauan tersebut adalah :

1. An Archipelagic State, whose componen islands and other natural

features from an instrinsic geographical, economic and political entity

and historically have or may have been regarded as such, and draw

straight baselines connecting the outermost points of the outermost

island and drying reefs of the archipelago from which the extent of

territorial sea of the archipelagic state is or may be determined.

2. The water within the baselines, regarded of their depth or distance

from the coast, the seabed ant the subsoil thereof, and the superjacent

air space, as well as all their resources, belong to, and are subject to

the souvereignty of the archipelagic state.

3. Innocent passage of foreign vessels though the water of the

archipelagic state shall be allowed in accordance with its national

legislations, having regard to the existing rules of internasional law.

24
Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut,( Jakarta Selatan: badan penelitian dan
pengembangan departemen luar negeri, 1986). Hal.97

27
Universitas Sumatera Utara
Such passage be thorough sea lanes as many designated for that

purpose by the archipelagic state.

Intisari dari prinsip Negara Kepulauan sebagaimana dimaksud di atas :

pertama adalah tentang definis dari Negara Kepulauan secara hukum dan dapat

menarik garis pangkal lurus. Kedua adalah bahwa Negara Kepulauan berdaulat

atas perairan yang terdapat di dalam garis pangkal lurus yang ditarik dari pulau-

pulau terluar dan ketiga menegaskan bahwa lintas damai dari kapal asing melalui

perairan kepulauan akan diperkenankan sesuai dengan undang-undang nasional

dan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Berdasarkan usulan

dari Indonesia, Filipina, Fiji dan Mauritius tersebut, maka akhirnya konsepsi

Negara Kepulauan berhasil diterima sebagai ketentuan tentang rejim Negara

Kepulauan dalam UNCLOS25.

Adapun definisi yang diberikan oleh UNCLOS 1982 tentang Negara

Kepulauan dapat dilihat dari Pasal 46 yaitu26 :

(1) “ means a state constituted wholly by one more islands and may

include other islands”.

(2) “means a group of islands,including parts of islands, interconnecting

waters and other natural features which are so closely interrelated

that such islands, waters and other natural features form an intrictic

geographical, economic and political entity, or which historically

have been regarded as so”.(Pasal 46 ayat 1 dan ayat 2 UNCLOS

1982)

25
Indien Winarwati, Konsep Negara Kepulauan, (Malang: Setara Press, 2016), Hal. 6
26
Pasal 46 United Nations Confention on The Law of the Sea (UNCLOS) 1982

28
Universitas Sumatera Utara
Pada Pasal 46 ayat (1) disebutkan bahwa “Negara Kepulauan adalah suatu

negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup

pulau-pulau lain”. Maksud dari pasal 46 ayat (1) tersebut adalah : secara yuridis,

pengertian Negara Kepulauan akan berbeda artinya dengan definisi negara-negara

yang secara geografis wilayahnya berbentuk kepulauan. Hal ini disebabkan dalam

pasal 46 ayat (2) disebutkan bahwa kepulauan adalah suatu gugusan pulau-pulau,

termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang

berhubungannya satu sama lain sedemikian erat sehingga pulau-pulau, perairan

dan wujud alamiahnya lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografis, ekonomi,

dan politik yang hakiki atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.

Dengan kata lain, pasal 46 ini membedakan pengertian yuridis antara Negara

Kepulauan (archipelagic state) dengan kepulauan (archipelago)27.

Perbedaan yang diuraikan dalam Pasal 46 UNCLOS di atas menimbulkan

konsekuensi bahwa penarikan garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline)

tidak bisa dilakukan oleh semua negara yang mengatasnamakan dirinya sebagai

Negara Kepulauan. Hal ini dikarenakan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi

bila ingin melakukan penarikan garis pangkal lurus kepulauan : Pertama, satu

kesatuan geografis, ekonomi, politik dan historis ; kedua, ada ketentuan khusus

Hukum Laut (spesific rules) yang membuktikan keberadaan pulau Negara

Kepulauan yang relatif kecil (small islands, socially, and economically

insignificant) tidak bisa dijadikan tempat menarik garis pangkal kepulauan 28.

Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan ketentuan-ketentuan bagi Negara


27
Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, (Bandung: PO Box 31
Ujungberung, 2007),hal. 81
28
Ibid., Hal. 82

29
Universitas Sumatera Utara
Kepulauan untuk digunakan dalam menentukan batas-batas maritim dan lalu

lintas kapal di perairan mereka. Konvensi menentukan bahwa untuk menetapkan

lebar laut teritorial Negara-Negara Kepulauan dapat menarik garis lurus dasar

kepulauan sampai 100 mil laut yang menghubungkan titik paling luar dan batu-

batu karang, selama ratio air dan daratan di dalam garis-garis tersebut tidak

melebihi 9 berbanding 1, dengan ketentuan bahwa kawasan yang diperoleh tidak

memotong negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif. Kapal-kapal

dari semua negara memperoleh hak lintas damai melalui perairan kepulauan, dan

Negara Kepulauan dapat menutup perlintasan tersebut apabila hal ini penting

untuk keselamatannya 29.

Dalam konvensi ini juga ditegaskan bahwa Negara Kepulauan memiliki

kedaulatan atas perairan laut yang terletak di dalam garis-garis pangkal

kepulauannya (archipelagic baselines). Negara Kepulauan juga memiliki

kedaulatan atas udara di atas perairannya dan atas dasar laut dan tanah

dibawahnya30. Sebagaimana telah dibahas diatas pada pasal 46 Konvensi Hukum

Laut 1982 memuat unsur pulau sebagi salah satu kompenan dalam pengertian

Negara Kepualauan. Maka pada Pasal 121 UNCLOS mendefiniskan pulau yaitu :

(1) An island is a naturally formed area of land, surrounded by water, which

is above water at high tide.

(2) Expect as provided for in paragraph 3, the territorial sea, the contiguous

zone, the exclusive economic zone and the continental shelf of an island

29
Chairul Anwar, Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982,
(Jakarta: Djambatan,1989), hal. 22
30
Op.chit., hal. 82

30
Universitas Sumatera Utara
are determined in accordance with the provisions of this Convention

applicable to other land territory.

(3) Rocks which cannot sustain human habitation or economic zone or

continental shelf.

Dimana inti sari dari pengertian diatas ialah ; pertama, pulau adalah

daratan yang terbentuk secara alami dan dikelilingi oleh air, dan selalu di atas

muka air pada saat pasang naik tertinggi, dengan kata lain sebuah pulau tidak

boleh tenggelam pada saat air pasang naik. Kedua, pulau yang dibentuk secara

alamiah, berdasarkan hukum laut dapat dipakai sebagai titik pangkal penentu

lebar laut teritorial, zona tambahan, ZEE, dan landas kontinen. Ketiga, batuan

yang tidak dapat mempertahankan tempat tinggal manusia atau kehidupan

ekonomi mereka sendiri tidak akan memiliki zona ekonomi eksklusif atau landas

kontinen, dimana pada Pasal ini menjelaskan “rock” (batu di laut) dapat dianggap

sebagai pulau, kecuali batu-batu ini tidak dapat menopang kehidupan manusia

tidak dapat dipakai sebagai titik pangkal untuk menentukan ZEE dan landas

kontinen. Syarat „rock‟ dianggap pulau, harus memenuhi syarat sebagai daratan

dikelilingi oleh air dan harus selalu berada diatas muka air tinggi, dapat dipakai

sebagai titik pangkal untuk menentukan lebar laut teritorial dan zona tambahan.

Dalam definis sebutan “dikelilingi oleh air” sebagai syarat suatu pulau, artinya

jika pada surut (air rendah) daratan tidak lagi dikelilingi oleh air maka syarat

sebagai pulau tidak dipenuh artinya bukan suatu pulau. Kalau dekat atau menyatu

dengan daratan berupa tanjung atau ujung. Tidak ada ketentuan berapa tinggi air

31
Universitas Sumatera Utara
pada suru rendah. Secara logika, sebutan “ dikelilingi oleh air”, jika manusia tidak

dapat melaluinya 31.

Penarikan Garis Pangkal kepulauan ( archipelagic baselines ) tidak bisa

dilakukan oleh semua negara yang mengatasnamakan dirinya sebagai Negara

Kepulauan. Hal ini dikarenakan pada beberapa syarat yang harus dipenuhi bila

ingin melakukan penarikan garis pangkal lurus kepulauan. Adapun persyaratan

objektif yang harus dipenuhi oleh negara kepualan dalam melakukan penarikan

garis pangkal lurus kepulauan sesuai Pasal 47 UNCLOS 1982, yaitu :

1. Rasio (perbandingan antara luas wilayah perairan dengan daratan, yaitu

suatu Negara kepualauan minimal harus memiliki luas peraioran yang

sama bear atau makasimal hanya sembilan kali dengan luas daratannya.

2. Panjang maksimum setiap segmen garis pangkal, yaitu panjang setiap

garis lurus yang menghubungkan dua titik pangkal ditetapkan diteteapkan

tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bila tiga persen dari jumlah

seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulaaun dapat melebihi

kepanjangan tersebut, maka dapat digunakan batas maksimum 125 mil

laut.

3. Penarikan garis pangkal demikian tidak boleh menyimpang terlalu jauh

dari konfigurasi umum kepulauan tersebut.

4. Garis pangkal demikian tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut,

kecuali apabila diatasnya telah dibangun mercusuar atau instalasi serupa

31
http://www.didisadili.com/2011/02/khususnya-di-kementrian-kelautan-dan.html
diakses tanggal 22 Oktober 2018 Jam 20:59 Wib

32
Universitas Sumatera Utara
yang secara permanen berada diatas permukaan laut atau apabila elevasi

surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang

tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau terdekat

5. Sistem garis pangkal demikian, tidak boleh diterapkan oleh suatu negara

kepulauan dengan cara yang demikian rupa sehingga memotong laut

teritorial negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.

6. Apabila suatu bagian perairan kepulauan suatu negara kepulauan, terletak

diantara dua bagian suatu negara tetangga yang langsung berdampingan,

hak-hak yang ada dan kepentingan-kepentingan sah lainnya yang

dilaksanakan secara tradisional oleh negara tersebut terakhir diperairan

mereka, serta segala hak yang ditetapkan dalam perjanjian antara negara-

negara tersebut akan tetap berlaku dan harus dicermati.

7. Untuk maksud menghitung perbandingan perairan dengan daratan, daerah

daratan dapat mencakup didalamnya perairan yang terletak didalam

tebaran karang pulau-pulau dan Atol, termasuk bagian plateau oceanic

yang bertebing curam yang tertutup atau hampir tertutup oleh serangkaian

pulau batu gamping dan karang kering diatas permukaan laut yang terletak

disekeliling plateau tersebut.

8. Garis pangkal yang ditarik sesuai dengan ketentuan pasal ini, harus

dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk

menegaskan posisinya, dapat dibuat daftar koordinat geografis titiki-titik

yang secara jelas memerinci datum geodetik.

33
Universitas Sumatera Utara
9. Negara kepulauan harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau

daftar koordinat geografis demikian dan harus mendepositkan satu salinan

setiap peta atau daftar demikian ke Sekjen PBB.

Selanjutnya, diatur bahwa ketentuan yang tertuang dalam pasal 47

merupakan garis pangkal untuk pengukuran lebar laut teritorial, zona tambahan,

ZEE dan landas kontinen bagi suatu negara kepulauan (pasal 48). Dengan kata

lain, pasal 48 mengukuhkan bahwa untuk suatu negara kepulauan, garis-garis

pangkal lurus kepulauan mempunyai fungsi yang sama dengan garis-garis pangkal

lain yang diakui oleh Konvensi Hukum Laut 1982, seperti garis –garis pangkal

biasa dan garis-garis pangkal lurus.

C. Pengaturan Zona maritim Negara Kepulauan menurut Konvensi Hukum

Laut 1982

Konvensi Hukum Laut 1982 memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur

berbagai zona maritim dengan status hukum yang berbeda-beda. Secara garis

besarnya, konvensi membagi laut ke dalam tiga bagian, pertama, laut yang

merupakan bagian dari wilayah kedaulatannya (yaitu laut teritorial, laut

pedalaman), Kedua laut yang bukan merupakan wilayah kedaulatannya namun

negara tersebut memiliki hak-hak dan yurisdiksi terhadap aktifitas tertentu (yaitu

zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif, ketiga laut yang bukan merupakan

wilayah kedaulatannya dan bukan merupakan hak/yurisdiksi namun negara

tersebut memiliki kepentingan (yaitu laut bebas).

Pasal 48 UNCLOS 1982 menegaskan bahwasanya Negara Kepulauan

dapat melakukan penarikan garis pangkal kepualanya untuk menentukan lebar laut

34
Universitas Sumatera Utara
teritorial, zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen bagi suatu

Negara Kepualan, dimana penjelasan hal tersebut dijelaskan sebagai berikut :

1. Laut Teritorial dan Zona tambahan

Berdasarkan pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982 lebar laut teritorial dari

suatu pulau dapat mencapai suatu batas yang tidak melebihi 12 mill laut diukur

dari garis pangkal pulau tersebut. Laut teritorial secara hukum merupakan

perluasan dari kedaulatan wilayah Negara Pantai. Negara Pantai menurut Pasal 33

Konvensi Hukum Laut 1982 mempunyai wewenang untuk menetapkan jalur

tambahan yang lebarnya tidak boleh melebihi 24 mill laut diukur dari garis

pangkal yang dipergunakan untuk menetapkan lebar laut teritorialnya. Dalam

menetapkan lebar laut teritorial suatu Negara Pantai, Konvensi Hukum Laut 1982

memuat ketentuan-ketentuan mengenai cara-cara penarikan garis pangkal, yaitu

garis air rendah (low water mark) sebagai garis pangkal biasa sebagaimana diatur

dalam Pasal 5 dan garis pangkal lurus yang diatur dalam Pasal 7. Selain garis

pangkal biasa dan garis pangkal lurus, Konvensi Hukum Laut 1982 juga mengatur

jenis-jenis garis pangkal lain yang umum digunakan, yakni penutup mulut sungai

(Pasal 9), penutup mulut teluk (Pasal 10), Pelabuhan (Pasal 11), dan elevasi surut

(low-tide elevation). Bagi Negara Kepulauan cara penarikan garis pangkal

dilakukan menurut ketentuan Pasal 47 Konvensi Hukum Laut 1982 32. Dalam zona

tambahan Negara Pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk :

pertama, mencegah berbagai pelanggaran Perundang-undangan yang berkaitan

dengan masalah bea cukai (custom), perpajakan (fiskal), keimigrasian

32
Ibid., hal. 226

35
Universitas Sumatera Utara
(imigration), dan kesehatan (sanitary) di dalam wilayah teritorialnya; dan kedua,

melaksanakan tidakan hukum terhadap berbagai pelanggaran atas peraturan

perundang-undangan tersebut di atas yang terjadi di dalam wilayah atau laut

teritorialnya.

2. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

Sesuai dengan Pasal 56 Konvensi Hukum Laut 1982, Indonesia

mempunyai dan dapat melaksanakan :

a. Hak-hak berdaulat untuk melakukan eksploirasi dan eksploitasi

pengolaan dan pelestarian sumber daya alam hayati dan non hayati

dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya, dan hak-

hak berdaulat untuk melakukan kegiatan-kegiatan eksploirasi

lainnya di jalur tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus

dan angin ;

b. Yuridiksi yang berhubungan dengan:

- Pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-

instalasi, dan bangunan-bangunan lainnya.

- Penelitian ilmiah mengenai laut, dan

- Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

Hak-hak yang tercantum dalam Pasal ini sepanjang yang menyangkut

dasar laut dan tanah dibawahnya harus dilaksanakan berdasarkan rejim landas

kontinen, penetapan zona keselamatan di sekeliling pulau-pulau dan instalasi

ditetapkan dalam Pasal 60. Pelaksanaan yang dilakukanya Pengumuman

Pemerintah Tanggal 21 Maret 1980 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia.

36
Universitas Sumatera Utara
Pasal 57 Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan bahwa lebar ZEE dari suatu

pulau dapat mencapai suatu batas yang tidak boleh melebihi 200 mil laut diukur

dari garis pangkal pulau tersebut33.

3. Landas Kontinen

Dalam Konvensi Hukum laut PBB 1982, tentang landas kontinen diatur

dalam Bagian VI mulai dari Pasal 76-85. Pasal 76 yang terdiri dari ayat 1-10

seluruhnya mengatur tentang substansi dan ruang lingkup dari landas kontinen.

Dengan sedemikian banyaknya ayat yang terdapat dalam suatu pasal yang secara

khusus hanya mnegatur tentang batasan landas kontinen, menunjukan bahwa

Konvensi ini berusaha memperjelas dan mempertegas batasan landasan

kontinen34. Pasal 76 ayat 1 memberikan batasan tentang landas kontinen sebagai

berikut :

“ The continental self of a coastal State comprises of the seabed and subsoil of the

submarine areas that extend beyond its territorial sea throughout the natural

prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin, or to

a distance of 200 nautical miles from the baselines from which the breath of the

territorial sea is measured where the outer edge of the continental margin does

not extend up to that distance”35.

(Landas kontinen dari suatu Negara Pantai meliputi dasar laut dan tanah

dibawahnya dari area di bawah perairan laut yang terletak di luar area laut

teritorial yang merupakan perpanjangan atau kelanjutan secara alamiah dari

33
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri, Loc.cit., hal 111
34
I Wayan Parthiana, Landas Kontinen Dalam Hukum Laut Internasional (Bandung:
Mandar Maju, 2005) Hal.24
35
UNCLOS 1982 Pasal 76 ayat 1

37
Universitas Sumatera Utara
wilayah daratannya sampai pada pinggiran luar dari tepi kontinen atau sampai

pada pinggiran luar dari tepi kontinen atau sampai pada suatu jarak 200 mil laut

dari garis pangkal tempat lebar laut teritorial Negara Pantai itu diukur serta

pinggiran luar dari tepi kontinen tidak boleh melampaui dari jarak tersebut).

Ditetapkan juga antara lain bahwa garis batas luar landas kontinen yang ditarik

sesuai dengan Pasal 76 ayat 4 (i) dan (ii) tidak boleh melebihi 350 mil. Ketentuan-

ketentuan ini berbeda dengan ketentuan Konvensi Jenewa 1958 yang menetapkan

landas kontinen sejauh kedalaman 200 m dan kemampuan eksploitasi. Indonesia

mempunyai hak berdaulat atas landas kontinenya sesuai dengan ketentuan-

ketentuan Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang meliputi Pasal-Pasal 76 sampai

dengan 85. Indonesia dapat mengadakan eksploirasi dan eksploitasi sumber-

sumber kekayaan non-hayati di landas kontinen ini. Dan berbeda dengan

ketentuan ZEE yang memungkinkan surplus perikanan diambil oleh negara-

negara lain, maka dalam ketentuan landas kontinen tidak seorang pun (negara

manapun) dapat melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, walaupun

Indonesia belum memanfaatkannya,kecuali dengan persetujuanya (Pasal 77 ayat

2). Tetapi hak berdaulat Indonesia ini tidak mempengaruhi status hukum perairan

di atasnya atau ruang udara di atas perairan tersebut. Indonesia juga tidak boleh

menghalangi pemasangan atau pemeliharaan kabel atau pipa di landas kontinen

dengan ketentuan yang ada (Pasal 79). Demikian pula mengenai pembangunan

pulau buatan, instalasi dan bangunan di atas landas kontinen dalam Pasal 60 ZEE

berlaku sama untuk landas kontinen Pasal 8036.

36
Dikdik Mohamad Sodik Op.cit., hal. 117-118

38
Universitas Sumatera Utara
BAB III

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

TENTANG PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL

A. Hukum Internasional tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil

Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, disahkan dengan Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. UNCLOS

1982 tidak mengatur secara khusus dalam Pasal-Pasal nya tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Tetapi tersirat bahwa sumber kekayaan

yang ada di laut memerlukan pengelolaan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip

Pembangunan Berkelanjutan, tanpa merusak lingkungan laut, sehingga dapat

digunakan untuk kemakmuran umat manusia. Pengaturan tentang pentingnya

perlindungan dan pelestarian lingkungan laut diatur dalam UNCLOS 1982 bagian

XII tentang Protection and Preservation of the Marine Enviroment.

Kewajiban diatas diatur dalam Pasal 192 Konvensi Hukum Laut 1982

yang menyatakan : “ States have the obligation to protect and preserve the marine

environment ”37 ( Negara-Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan

melestarikan lingkungan laut ). Ketentuan-ketentuan tersebut diatur lebih lanjut

dalam Pasal 193 yang menyatakan: “ Sovereign right of States to exploit their

natural resources, States have the sovereign right to exploit their natural

resources pursuant to their environmental policies and in accordance with their

duty to protect and preserve the marine enviroment “38 (Negara-negara

mempunyai hak-hak berdaulat untuk mengeksploitasikan sumberdaya alam

37
UNCLOS 1982 Pasal 192
38
UNCLOS 1982 Pasal 193

39
Universitas Sumatera Utara
mereka serasi dengan kebijkasanaan lingkungan mereka serta sesuai pula dengan

kewajiban mereka untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut ).

Implementasi pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil berbentuk soft law, yaitu ketentuan-ketentua yang memuat prinsip umum

(General principles), bersifat penyataan sikap atau komitmen moral dan tidak

mengikat secara yuridis. Daya ikatanya tergantung kepada kesediaan negara-

negara untuk menerimanya sebagai hukum nasional, misalnya dalam bentuk

deklarasi, piagam atau protokol. Beberapa komitmen (soft law) yang mendukung

pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan mengacu

pada integrated coastal management adalah39 :

1. Agenda 21

Indonesia telah menerima Agenda 21 Global sebagai persetujuan

tidak mengikat (nonbinding agreement) hasil konferensi The United

Conference on Environment and Development 1992 (UNCED) dan

menjadikannya sebagai pedoman dasar bagi penyelengaraan dan

penyusunan kebijakan lingkungan dan pembangunan. Ketentuan Bab 18

dalam Agenda 21-Indonesia tentang pengelolaan wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil serta laut menjadi sangat penting karena kondisi

lingkungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta laut mencakup

aspek keterpaduan dan kewenangan kelembagaan, sehingga diharapkan

sumberdaya yang terdapat di kawasan ini dapat menjadi produk unggulan

dalam pembangunan bangsa Indonesia di masa mendatang.

39
https://sustainabledevelopment.un.org/content/documents/Agenda21 diakses
Tanggal 23 November 2018 Jam 15.40 Wib.

40
Universitas Sumatera Utara
2. Jakarta Mandate 1995

Agenda 21 Chapter 17 telah menghasilkan suatu program yang

dikenal dengan “ Jakarta Mandate On The Conservation and Sustainable

Use of Marine and Coastal Biological Diversity “ pada Tahun 1995.

Keanekaragaman sumberdaya alam di pesisir, baik di negara maju maupun

berkembang mengalami over-exploitation, sehingga diperlukan suatu

program kerja yang terintegrasi dalam pengelolaannya dengan prioritas

aktivitas pada 5 elemen, yaitu :

1. implementation of Integrated Marine and Coastal Area

Management;

2. Marine and Coastal Living Resources;

3. Marine and Coastal Protected areas;

4. Mariculture; and

5. Alien Species and Genotype.

Jakarta Mandate on The Conservation and Sustainable Use of

Marine and Coastal Biological Diversity, elemen 1 tentang

Implementation of Integreted Marine and Coastal Area Management

merupakan upaya yang harus dilakukan oleh negara-negara dalam

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta lautnya, seperti

tercantum dalam Agenda 21 Chapter 17 program (a).

41
Universitas Sumatera Utara
3. Deklarasi Bunaken 1998

Deklarasi Bunaken dideklarasikan oleh Presiden Republik

Indonesia BJ Habibie pada 26 September Tahun 1998 bertepatan dengan

pencanangan Tahun 1998 sebagai “Tahun Bahari Indonesia”. Deklarasi ini

merupakan salah satu tonggak pembangunan kelautan Indonesia dan

merupakan upaya untuk memanfaatkan kembali laut setelah pembangunan

yang dilaksanakan pada era sebelumnya lebih berorientasi darat (land-

based development). Diharapkan dari deklarasi ini semua jajaran

pemerintah dan masyarakat memberikan perhatian untuk pengembangan,

pemanfaatan, dan pemeliharaan potensi kelautan Indonesia.

B. Hukum Nasional Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil

Pemerintah mengeluarkan tentang Pengelolaan Pulau-pulau telah ada

dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia, walau

aturan tersebut tidak terkhusus pada Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil tetapi

pengelolaan di Perairan Indonesia. Dimana hal tersebut di tegaskan dalam Bab IV

Pasal 23 sebagai berikut40 :

(1) Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan

Perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-

undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional.

(2) Administrasi dan yurisdiksi, perlindungan, dan pelestarian lingkungan

Perairan Indonesia dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

40
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Pasal 23

42
Universitas Sumatera Utara
(3) Apabila diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan,

perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibentuk suatu badan

koordinasi yang ditetapkan dengan keputusan presiden.

Supaya pengembangan dan pengelolaan pulau-pulau terluar itu terpadu,

maka Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005

Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Dalam ketentuan Peraturan

Presiden Nomor 78 Tahun 2005 ditegaskan, bahwa41 : “ Pengelolaan pulau-pulau

kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu untuk

memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumber daya pulau-pulau kecil

terluar dari wilayah Negara Republik Indonesia untuk menjaga keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia”. Sedangkan tujuan dari Pengelolaan pulau-pulau

terluar tersebut ialah42 :

a. Menjaga kutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,

keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan

stabilitas kawasan.

b. Memanfaatkan sumber daya alam dalam rangka pembangunan yang

berkelanjutan.

c. Memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.

Dari dua peraturan yang telah dijelaskan bahwasannya pengelolaan pulau-

pulau kecil merupakan hal yang sangat penting dan harus dilakukan dengan serius

oleh Pemerintah Indonesia. Masih ada beberapa peraturan khusus yang


41
Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 1 ayat (1)
42
Ibid. Pasal 2

43
Universitas Sumatera Utara
dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengatur tentang pengelolaan

pulau-pulau kecil terluar yang akan dijelaskan secara rinci dibawah ini.

1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Pertimbangan penetapan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diundangkan pada

tanggal 17 Juli 2007 adalah sebagai berikut43 :

a. Bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan bagian dari

sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa

dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga

kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan

datang;

b. Bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memiliki keragaman

potensi Sumber Daya Alam yang tinggi, dan sangat penting bagi

pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga

kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan

dan berwawasan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi

masyarakat dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum

nasional;

43
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil

44
Universitas Sumatera Utara
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf

a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Asas-asas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang

tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 adalah :

a. Keberlanjutan;

b. Konsistensi;

c. Keterpaduan;

d. Kepastian hukum;

e. Kemitraan;

f. Pemerataan;

g. Peran serta masyarakat;

h. Keterbukaan;

i. Desentralisasi;

j. Akuntabilasi; dan

k. Keadilan.

Adapun Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menurut Pasal

4 Undang Nomor 27 Tahun 2007 bertujuan untuk :

a. Melindungi, mengkonservasi merehabilitasi, memaanfaatkan dan

memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem

ekologisnya secara berkelanjutan;

45
Universitas Sumatera Utara
b. Menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan

Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil;

c. Memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta

mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan,

dan berkelanjutan; dan

d. Meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui

peran serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil.

Dalam hubungan dengan inisiatif dan peran serta masyarakat, perlu

diperhatikan masyarakat adat yang menurut Pasal 1 ayat 33 diartikan sebagai

kelompok masyarakat pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah

geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan

yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya

sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum44.

Partisipasi masyarakat adat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil perlu diakomodasi, mengingat menurut ketentuan Pasal 5, bahwa

pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi kegiatan

perencanaan, pemafaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi

manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta

proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

44
Ibid., Pasal 1 ayat 33

46
Universitas Sumatera Utara
masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apalagi

berdasarkan ketentuan Pasal 6, bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib dilakukan dengan cara

mengintegrasikan kegiatan :

a. Antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah;

b. Antara Pemerintah Daerah;

c. Antara sektor;

d. Antara Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat;

e. Anatara ekosistem darat dan ekosistem laut; dan

f. Antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.

Selanjutnya, Pasal 7 ayat (1) menetapkan bahwa Perencanaan Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 5 terdiri

atas :

a. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang

selanjutnya disebut RSWP-3-K;

b. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang

selenjautnya disebut RZWP-3-K;

c. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang

selanjutnya disebut RPWP3-K; dan

d. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang

selanjutnya disebut RAPWP-3-K.

Hal yang perlu memperoleh perhatian adalah ketentuan ayat 3 Pasal yang

sama tentang kewajiban pemerintah daerah untuk menyusun semua rencana

47
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Dalam menyusun rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

menurut ayat 4, Pemerintah Daerah perlu melibatkan masyarakat berdasarkan

norma, standar, dan pedoman. Dalam ketentuan ayat 5 dinyatakan bahwa

Pemerintah Daerah kabupaten/kota menyusun Rencana Zonasi rinci di setiap

Zona Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu dalam wilayahnya. Dalam

kaitannya dengan Pasal 7, ketentuan Pasal 8 ayat 1 menyebutkan bahwa Rencana

Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K) merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari rencana pembangunan jangka panjang setiap

Pemerintah Daerah. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

(RSWP-3-K) sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat 1, menurut ketentuan ayat

2 wajib mempertimbangkan kepentingan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Adapun jangka waktu Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

(RSWP-3-K) Pemerintah Daerah menurut ayat 3 selama 20 (dua puluh) tahun dan

dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali.

Ketentuan mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil (RZWP-3-K) dimuat dalam Pasal 9 ayat 1 yang menyatakan bahwa RZWP-

3-K merupakan arahan pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah kabupaten/kota.

Berdasarkan ketentuan ayat 2 Pasal yang sama, bahwa Rencana Zonasi Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) harus diserasikan, diselaraskan, dan

diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang (RTRW) Pemerintah Provinsi atau

Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-

48
Universitas Sumatera Utara
Pulau Kecil (RZWP-K-3) menurut ketentuan ayat 3, perlu kiranya

dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

a. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung

ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang

dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan

dan keamanan;

b. Keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika

lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; dan

c. Kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses masyarakat dalam

pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai

fungsi sosial dan ekonomi.

Jangka waktu berlakunya Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil (RZWP-K-3) menurut ayat 4 selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau

kembali setiap 5 (lima) tahun. Dalam ayat 5 disebutkan bahwa Rencana Zonasi

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) ditetapkan dengan Peraturan

Daerah. Sehubungan dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil (RZWP-K-3) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10 menyatakan

bahwa RZWP-3-K terdiri atas:

a. Pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan

Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan alur laut.

b. Keterkaitan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dalam suatu

bioekoregion;

c. Penetapan pemanfaatan ruang laut; dan

49
Universitas Sumatera Utara
d. Penetapan prioritas Kawasan Laut untuk tujuan konservasi, sosial

budaya, ekonomi, transportasi laut, industri strategis, serta pertahanan

dan keamanan.

Pasal 11 ayat 1 yang mengatur Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil Kabupaten/Kota (RZWP-3-K) Kabupaten/Kota berisi arahan

tentang :

a. Alokasi ruang dalam Rencana Kawasan Pemanfaatan Umum, rencana

Kawasan Konservasi, rencana Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan

rencana alur; dan

b. Keterkaitan antaraekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam suatu

bioekoregion.

Dalam ayat 2 ditegaskan, bahwa Penyusunan RZWP-3-K sebagaimana

dimaksud pada ayat 1 diawajibkan mengikuti dan memadukan rencana

Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan Kawasan, Zona,

dan/atau Alur Laut yang telah ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Ketentuan-ketentuan diatas memberikan cukup wewenang pada

Pemerintah Daerah untuk mengatur Recana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil. Wewenang-wewenang pengaturan tidak terbatas dalam proses

pengambilan keputusan dalam penataan kawasan, dan zona, tetapi juga meliputi

pengaturan dalam Alur Laut. Hal ini menunjukan adanya keterkaitan antara

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dengan Peraturan Perundang-Undangan

tentang Alur Laut, yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Lebih lanjut

50
Universitas Sumatera Utara
dalam ketentuan Pasal 12 ayat disebutkan bahwa Rencana Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K) berisi :

a. Kebijakan tentang pengaturan serta prosedur administrasi pengunaan

sumber daya yang dizinkan dan yang dilarang;

b. Skala prioritas pemanfaatan sumber daya sesuai dengan karakteristik

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

c. Jaminan-jaminan terakomodasikannya pertimbangan-pertimbangan hasil

konsultasi publik dalam penetapan tujuan pengelolaan Kawasan serta

revisi terhadap penetapan tujuan dan perizinan;

d. Mekanisme pelaporan yang teratur dan sistematis untuk menjamin

tersediannya data dan informasi yang akurat dan dapat diakses; serta

e. Ketersediaan Sumber Daya Manusia yang terlatih untuk

mengimplementasikan kebijakan dan prosedurnya.

Menurut ketentuan ayat 2, bahwa RPWP-3-K berlaku selama 5 (lima) tahun

dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya satu tahun kali. Sehubungan

dengan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal

13 menyatakan bahwa :

(1) RAPWP-3-K dilakukan dengan mengarahkan Rencana Pengelolaan dan

Rencana Zonasi sebagai upaya mewujudkan rencana strategis dan

(2) RAPWP-3-K berlaku satu sampai dengan tiga tahun.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 23 ayat 1 dinyatakan, bahwa

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan

kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau

51
Universitas Sumatera Utara
besar di dekatnya. Dalam ketentuan ayat 2 dinyatakan, bahwa Pemanfaatan Pulau-

Pulau Kecil dan Perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih

kepentingan berikut :

a. Konservasi;

b. Pendidikan dan pelatihan;

c. Penelitian dan pengembangan;

d. Budidaya laut;

e. Pariwisata;

f. Usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari;

g. Pertanian organik; dan/atau

h. Peternakan.

Untuk upaya menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia

sesuai dengan ketentuan ayat 2, Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil terluar

sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam

perkembangan pengaturan, beberapa Pasal dalam Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2007 telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (selanjutnya disebut dengan Undang –

Undang Nomor 1 Tahun 2014). Salah satu pertimbangan diterbitkannya Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2014 adalah karena Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil belum

memberikan kewenangan dan tanggungjawab Negara secara memadai atas

Pengelolaan Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sehingga beberapa pasal perlu

52
Universitas Sumatera Utara
disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di

masyarakat.

Pada Perubahan beberapa Pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2014 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ialah, pertama adalah definisi

masyarakat hukum adat sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2007 berubah menjadi kelompok orang secara turun-

temurun bermukim di wilayah geografis tertentu Negara Kesatuan Republik

Indonesia karena adanya ikatan pada asas leluhur, hubungan yang kuat dengan

tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata Pemerintah Adat, dan tatanan

hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pada Pasal 1 ayat 33 dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 ini

memberi pengakuan hak asal usul masyarakat hukum adat untuk mengatur

wilayah perairan yang telah dikelola secara turun menurun.

Perubahan kedua adalanya penambahan “kepentingan-kepentingan” dari

ketentuan sebelumnya yang hanya menitikberatkan pada “salah satu atau lebih

kepentingan” yang harus diprioritaskan dalam pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan

Perairan disekitarnya. Di samping itu adanya penambahan unsur pertahanan dan

keamanan negara sebagai salah satu kepentingan yang harus yang perlu di

prioritaskan dalam pemanafaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di sekitarnya.

Hal-hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan ayat 2, yang berbunyi bahwa

pemanafaatan Pulau-Pulau Kecil dan Periaran di sekitarnya diprioritaskan untuk

kepentingan sebagai berikut :

53
Universitas Sumatera Utara
a. Konservasi;

b. Pendidikan dan pelatihan;

c. Penelitian dan pengembangan;

d. Budi daya laut;

e. Pariwisata;

f. Usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari,

pertanian organik;

g. Peternakan; dan/atau

h. Pertahanan dan keamanan negara.

Perubahan ketiga adalah diantara ketentuan Pasal 26 dan Pasal 27

disisipkan satu pasal, yakni Pasal 26 A ayat 1, yang menyatakan bahwa

pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam

rangka penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri. Dalam ketentuan

ayat 2 dinyatakan bahwa penanaman modal asing sebagaimana dimaksud dalam

ayat 1 harus mengutamakan kepentingan nasional. Menurut ayat 3 izin

sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan setelah mendapat rekomendasi dari

bupati/wali kota. Dalam ketentuan ayat 4 Pasal yang sama ditegaskan bahwa izin

sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. Badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas;

b. Menjamin akses publik;

c. Tidak berpenduduk;

d. Belum ada pemanfaatan oleh masyarakat lokal;

e. Bekerja sama dengan peserta Indonesia;

54
Universitas Sumatera Utara
f. Melakukan pengalihan saham secara bertahap kepada peserta

Indonesia;

g. Melakukan ahli teknologi; dan

h. Memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan.

Dari ketentuan-ketentua di atas tampak bahwa pemanfaatan pulau-pulau

dan perairan oleh pihak investor asing harus mendapat izin dari Menteri Kelautan

dan Perikanan. Regulasi baru ini memperberat syarat investor asing dalam

pengelolaan perairan dan pesisir. Meskipun penanaman modal asing

diperbolehkan, akan tetapi disertai dengan sejumlah syarat, antara lain harus

bermitra dengan perusahaan lokal di pulau kecil yang tidak berpenghuni, belum

ada pemanfaatan oleh masyarakat setempat, melakukan pengalihan saham secara

bertahap, melakukan ahli teknologi dan luasan investasinya dibatasi dengan

pertimbangan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Perubahan ini semakin

memperdayakan masyarakat, termasuk nelayan kecil yang ditandai dengan

masuknya unsur masyarakat adat dalam inisiasi penyusunan rencana zonasi. Hal

ini berarti, bahwa masyarakat adat mempunyai kedudukan yang sama dengan

pemerintah dan dunia usaha lainnya. Meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2014 dirancang untuk memperkuat kedudukan Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2007, khususnya ketentuan yang menyangkut kedudukan masyarakat adat,

berbagai tantangan masih tetap dihadapi.

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan


Di dalam UU No. 32 Tahun 2014 dikatakan bahwa kelautan adalah hal

yang berhubungan dengan laut dan/atau kegiatan di wilayah laut yang meliputi

dasar laut dan tanah di bawahnya, kolom air dan permukaan laut, termasuk

55
Universitas Sumatera Utara
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil45. Oleh karena itu di dalam UU ini juga

diatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam hal

pemanfaatan sumber daya kelautan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 32

Tahun 2014, salah satu yang menjadi perhatian adalah terhadap sumber daya

pesisir dan pulau-pulau kecil46. Selain itu UU No. 32 Tahun 2104 juga mengatur

mengenai kebijakan ekonomi yang mana menjadikan kelautan sebagai basis

pembangunan ekonomi. Dan yang menjadi basis pembangunan ekonomi kelautan

ini diutamakan masyarakat pesisir47.

UU No. 32 Tahun 2014 juga mengatur secara khusus mengenai

pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Menurut

UU No. 32 Tahun 2014, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan

pulau-pulau kecil bertujuuan untuk :48

a. Melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan

memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem

ekologisnya secara berkelanjutan.

b. Menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-

pulau kecil.

c. Memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta

mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya

45
Pasal 1 angka 2 UU No. 32 Tahun 2014
46
Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2014
47
Pasal 15 UU No. 32 Tahun 2014
48
Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2014

56
Universitas Sumatera Utara
pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan,

dan berkelanjutan.

d. Meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui

peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan

pulau-pulau kecil.

Pengelolaan ruang laut yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2014

dilakukan dengan kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan

pengendalian. Hal ini juga berlaku dalam hal pengelolaan wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menurut UU

No. 32 Tahun 2014 juga dilakukan dengan kegiatan perencanaan, pemanfaatan,

pengawasan, dan pengendalian, sama halnya dengan yang terdapat di dalam UU

No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014. Kegiatan perencanaan dalam

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang diatur di dalam UU No.

32 Tahun 2014 berkaitan perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil49. Dan kegiatan pemanfaatan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil yang diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2014 berkaitan dengan izin

lokasi50. UU No. 32 Tahun 2014 menyatakan bahwa kegiatan perencanaan,

pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian dalam pengelolaan wilayah pesisir

dan pulau-pulau kecil akan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

49
Pasal 43 UU No. 32 Tahun 2014
50
Pasal 47 UU No. 32 Tahun 2014

57
Universitas Sumatera Utara
3. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan

Pulau-Pulau Kecil Terluar.

Sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2007 yang disebutkan di atas, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah

Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Pada Bab

sebelumnya telah diuraikan, bahwa Pulau-Pulau Terluar atau pulau-pulau

terdepan Indonesia digunakan untuk menentukan batas-batas laut teritorial, ZEE,

dan landas kontinen Indonesia51.

Dalam ayat 3, terdapat pengertian Kawasan Strategis Nasional Tertentu

(KSNT),yaitu “Kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian

lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pengembangan

diprioritaskan bagi kepentingan nasional”. Dalam penjelasan Pasal 1 ayat 3

disebutkan bahwa Pulau-Pulau Kecil Terluar sebagai Kawasan Strategis Nasional

Tertentu (KSNT), selain memiliki potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan

yang tinggi, juga mempunyai peran strategis dalam menjaga kedaulatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kawasan ini di satu sisi menyediakan

sumber daya alam yang produktif seperti terumbu karang, padang lamun

(seagrass), hutan mangrove, perikanan dan kawasan konservasi, namun di sisi

lain sangat penting untuk kepentingan pertahanan dan keamanan karena berada di

beranda depan NKRI. Istilah lain yang perlu memperoleh perhatian adalah

pengertian Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) dalam ayat 4, yaitu “

kegiatan yang berkaitan dengan upaya memanfaatkan potensi sumber daya PPKT

51
Didik Mohamad Sodik, op.ci,. Hal : 225

58
Universitas Sumatera Utara
dan perairan sekitarnya sampai paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari

garis pantai dalam upaya menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik

Indonesia”.

Pasal 2 ayat 1 menyatakan, bahwa wewenang Pemerintah dalam

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama

dengan Pemerintah Daerah. Tujuan Pemanfaatan PPKT sebagaimana diatur dalam

ketentuan ayat 2 adalah untuk menjaga Kedaulatan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Pasal 4 ayat 1 menyatakan, bawa Pemanfaatan PPKT dilakukan

berdasarkan Rencana Zonasi yang ditetapkan oleh Menteri dengan

mempertimbangkan masukan Menteri/Pimpinan lembaga pemerintah non

kementerian terkait. Berdasarkan ketentuan ayat 2, bahwa Rencana Zonasi PPKT

sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri atas subzona yang meliputi pertahanan,

keamanan, kesejahteraan masyarakat, dan/atau pelestarian lingkungan.

Dalam Pasal 5 ayat 1 ditetapkan, bahwa pemanfaatan PPKT hanya dapat

dilakukan untuk :

a. Pertahanan dan keamanan;

b. Kesejahteraan masyarakat; dan/atau

c. Pelestarian lingkungan.

4. Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2012


Peraturan Presiden No. 121 Tahun 2012 mengatur tentang Rehabilitasi

Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Perpres ini merupakan peraturan

pelaksana daripada Pasal 33 ayat (2) UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun

2014. Rehabilitasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah proses pemulihan

59
Universitas Sumatera Utara
dan perbaikan kondisi ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun

hasilnya dapat berbeda dari kondisi semula52. Rehabilitasi wajib dilakukan apabila

pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mengakibatkan kerusakan

ekosistem atau populasi yang melampaui kriteria kerusakan ekosistem atau

populasi53.

Rehabilitasi dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan

orang yang memanfaatkan secara langsung atau tidak langsung wilayah pesisir

dan pulau-pulau kecil. Rehabilitasi dilakukan terhadap : terumbu karang,

mangrove, lamun, estuari, laguna, teluk, delta, gumuk pasir, pantai, dan/atau

populasi ikan54.

Untuk mengetahui perlu atau tidaknya rehabilitasi ditentukan berdasarkan

kriteria kerusakan ekosistem atau populasi. Kriteria kerusakan ekosistem atau

populasi ditentukan berdasarkan kerusakan fisik, kerusakan kimiawi, dan/atau

kerusakan hayati55. Kerusakan fisik dapat berupa : penurunan manfaat dan fungsi

fisik ekosistem atau populasi, penurunan luasan ekosistem atau populasi, dan/atau

pencemaran habitat. Kerusakan kimiawi dapat berupa : penyimpanan derajat

keasaman/pH, penurunan oksigen terlarut dalam air, peningkatan jumlah oksigen

yang diperlukan oleh bakteri untuk mendekomposisikan bahan organik hingga

stabil pada kondisi aerobik, peningkatan padatan yang terkandung dalam air,

peningkatan total padatan tersuspensi, dan/atau peningkatan berbagai macam

senyawa toksik. Sedangkan kerusakan hayati dapat berupa : kerapatan rendah,

52
Pasal 1 angka 1 Perpres No. 121 Tahun 2012 tentang Rehabilitasi Wilayah Pesisir Dan
Pulau-Pulau Kecil
53
Pasal 2 ayat (2) Perpres No. 121 Tahun 2012
54
Pasal 2 ayat (3) Perpres No. 121 Tahun 2012
55
Pasal 3 Perpres No. 121 Tahun 2012

60
Universitas Sumatera Utara
tutupan rendah, dominasi jenis tinggi atau keanekaragaman rendah, penurunan

populasi melebihi kemampuan alam untuk pulih, dan/atau penurunan dan/atau

hilangnya daerah pemijahan, daerah pembesaran, serta daerah pencarian makan 56.

Rehabilitasi dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan,

dan pemeliharaan57.

5. Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2015


Peraturan Presiden No. 73 Tahun 2015 mengatur tentang Pelaksanaan

Koordinasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Tingkat Nasional.

Perpres ini merupakan peraturan pelaksana daripada Pasal 53 ayat (3) UU No. 27

Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014.

Pelaksanaan koordinasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

tingkat nasional adalah proses harmonisasi dan upaya sinkronisasi, serta sinergi

pelaksanaan kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau keci pada

tingkat nasional secara terpadu dan berkelanjutan58. Tujuan dari pelaksanaan

koordinasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tingkat nasional

yang diatur oleh Perpres ini adalah agar pelaksanaan kegiatan pengelolaan

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada tingkat nasional harmoni, sinergi,

terpadu, dan berkelanjutan59. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

pada tingkat nasional dilaksanakan di bawah koordinasi Menteri Kelautan dan

Perikanan. Untuk melaksanakan koordinasi Menteri membentuk tim terpadu

nasional koordinasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan

56
Pasal 4 Perpres No. 121 Tahun 2012
57
Pasal 5 Perpres No. 121 Tahun 2012
58
Pasal 1 angka 1 Perpres No. 73 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Koordinasi
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Tingkat Nasional
59
Pasal 2 Perpres No. 73 Tahun 2015

61
Universitas Sumatera Utara
keanggotaan melibatkan kementerian/lembaga terkait60. Pengelolaan wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil pada tingkat nasional meliputi kegiatan yang bersifat

lintas provinsi dan kegiatan di Kawasan Strategis Nasional Tertentu 61. Kawasan

Strategis Nasional Tertentu adalah kawasan yang terkait dengan kedaulatan

negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang

pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional62.

Jenis kegiatan yang dikoordinasikan dalam hal pengelolaan wilayah pesisir

dan pulau-pulau kecil adalah :63

a. Penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap sektor sesuai dengan

perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

terpadu.

b. Perencanaan sektor, daerah, dan dunia usaha.

c. Program akreditasi nasional

d. Rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan kewenangan tiap-tiap

instansi pemerintah.

e. Penyediaan data dan informasi bagi pengelolaan wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil yang bersifat lintas provinsi dan kawasan tertentu

yang bertujuan strategis.

6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2007


Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18 Tahun 2007 mengatur

tentang Organisasi Dan Tata Kerja Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Dan

60
Pasal 11 Perpres No. 73 Tahun 2015
61
Pasal 3 ayat (2) Perpres No. 73 Tahun 2015
62
Pasal 1 angka 2 Perpres No. 73 Tahun 2015
63
Pasal 3 ayat (3) Perpres No. 73 Tahun 2015

62
Universitas Sumatera Utara
Laut. Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) adalah unit

pelaksana teknis di bidang pengelolaan sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau

kecil yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal

Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan64.

BPSPL mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan yang terdiri atas

perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya pesisir, laut, dan pulau-

pulau kecil yang berkelanjutan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku65.

Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, BPSPL menyelenggarakan fungsi,

yaitu :66

a. penyusunan rencana, program, dan evaluasi di bidang perlindungan,

pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau

kecil, serta ekosistemnya.

b. pelaksanaan perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya

pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, serta ekosistemnya.

c. pelaksanaan mitigasi bencana, rehabilitasi, dan penanganan pencemaran

sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, serta ekosistemnya.

d. pelaksanaan konservasi habitat, jenis, dan genetika ikan.

e. pelaksanaan pengawasan lalu lintas perdagangan jenis ikan yang

dilindungi.

f. pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.

64
Pasal 1 Permen KP No. 18 Tahun 2007 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Balai
Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Dan Laut
65
Pasal 2 Permen KP No. 18 Tahun 2007
66
Pasal 3 Permen KP No. 18 Tahun 2007

63
Universitas Sumatera Utara
g. fasilitasi penataan ruang pesisir dan laut.

h. pelaksanaan bimbingan pengelolaan wilayah pesisir terpadu serta

pendayagunaan pulau-pulau kecil.

i. pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

7. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2008


Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17 Tahun 2008 mengatur

tentang Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Permen

KP ini merupakan peraturan pelaksana daripada Pasal 28 UU No. 27 Tahun 2007

jo UU No. 1 Tahun 2014. Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah

upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan

kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap

memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya 67.

Kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dikategorikan

menjadi :68

a. Kawasan Konservasi Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K)

b. Kawasan Konservasi Maritim (KKM)

c. Kawasan Konservasi Perairan (KKP)

d. Sempadan Pantai

Di dalam Permen KP No. 17 Tahun 2008 ini hanya akan dibahas mengenai

KKP3K dan KKM.

67
Pasal 1 angka 7 Permen KP No. 17 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Di
Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
68
Pasal 4 Permen KP No. 17 Tahun 2008

64
Universitas Sumatera Utara
8. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2008

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18 Tahun 2008 mengatur

tentang Akreditasi Terhadap Program Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-

Pulau Kecil. Permen KP ini merupakan peraturan pelaksana daripada Pasal 40

ayat (8) UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014.

Akreditasi adalah prosedur pengakuan suatu kegiatan yang secara

konsisten telah memenuhi standar baku sistem pengelolaan wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil yang meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap

program-program pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat secara sukarela 69.

Penyelenggaraan akreditasi program PWP-3-K meliputi juga program rehabilitasi,

reklamasi, mitigasi bencana, dan/atau pengembangan ekonomi 70.

9. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 20 Tahun 2008


Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 20 Tahun 2008 mengatur

tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Dan Perairan Di Sekitarnya. Permen KP

ini merupakan peraturan pelaksana daripada Pasal 26 UU No. 27 Tahun 2007 jo.

UU No. 1 Tahun 2014. Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya

dilakukan untuk kepentingan pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan budaya

dengan berbasis masyarakat dan secara berkelanjutan. Pemanfaatan pulau-pulau

kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan dengan memperhatikan aspek : 71

69
Pasal 1 angka 1 Permen KP No. 18 Tahun 2008
70
Pasal 4 Permen KP No. 18 Tahun 2008
71
Pasal 2 Permen KP No. 20 Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Dan
Perairan Di Sekitarnya

65
Universitas Sumatera Utara
a. Keterpaduan antara kegiatan pemerintah dengan pemerintah daerah, antar

pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat dalam perencanaan dan

pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya.

b. Kepekaan/kerentanan ekosistem suatu kawasan yang berupa daya dukung

lingkungan, dan sistem tata air suatu pulau kecil.

c. Ekologis yang mencakup fungsi perlindungan dan konservasi.

d. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

e. Politik yang mencakup fungsi pertahanan, keamanan, dan kedaulatan

negara kesatuan Republik Indonesia.

f. Teknologi ramah lingkungan.

g. Budaya dan hak masyarakat adat, masyarakat lokal, serta masyarakat

tradisional.

Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diutamakan

untuk kegiatan-kegiatan seperti : konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian

dan pengembangan, budi daya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan

secara lestari, pertanian organik, atau peternakan. Pemanfaatan pulau-pulau kecil

dan perairan di sekitarnya juga dapat dilakukan untuk usaha pertambangan,

permukiman, industri, perkebunan, transportasi, dan pelabuhan72.

Kegiatan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dapat

diberikan kepada orang perseorangan warga negara Indonesia, badan hukum yang

72
Pasal 3 Permen KP No. 20 Tahun 2008

66
Universitas Sumatera Utara
didirikan berdasarkan hukum Indonesia, atau masyarakat adat. Sedangkan untuk

orang harus memperoleh persetujuan Menteri Kelautan dan Perikanan73.

Dalam kegiatan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya

perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan. Pembinaan dan pengawasan

terhadap kegiatan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya

dilakukan dengan cara :74

a. Pemberian arahan, masukan serta pertimbangan dalam pemanfaatan

pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya.

b. Bantuan pemeliharaan sarana dan prasarana.

c. Pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana yang telah

disusun.

d. Peningkatan kesadaran tentang pentingnya pemanfaatan pulau-pulau kecil

dan perairan di sekitarnya yang berkelanjutan.

e. Pelaporan pelaksanaan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di

sekitarnya dilakukan secara berkala dan berjenjang sekurang-kurangnya

satu kali dalam satu tahun sesuai dengan kepentingannya.

10. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2013


Permen KP No. 12 Tahun 2013 mengatur tentang Pengawasan

Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Permen KP ini dibuat

sebagai peraturan pelaksana daripada Pasal 36 ayat (4) dan Pasal 39 UU No. 27

Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014. Di dalam Permen KP No. 12 Tahun 2013

dibahas mengenai : pengawas PWP3K (pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-

73
Pasal 4 Permen KP No. 20 Tahun 2008
74
Pasal 10 Permen KP No. 20 Tahun 2008

67
Universitas Sumatera Utara
pulau kecil), wewenang dan tugas Polsus PWP3K, pelaksanaan pengawasan

PWP3K, pembinaan, dan pakaian dan atribut75. Pengawasan terhadap pengelolaan

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (PWP3K) dilakukan oleh pejabat pegawai

negeri sipil tertentu yang berwenang sesuai dengan sifat pekerjaannya. Pejabat

pegawai negeri sipil tertentu tersebut diberi wewenang kepolisian khusus, dan

disebut Polsus PWP3K76.

Pengasawan yang dilakukan oleh Polsus PWP3K dalam pengelolaan

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan pada tahap perencanaan dan

pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengawasan

tersebut dilakukan \secara terkoordinasi dengan instansi terkait dalam hal :

a. Pengumpulan dan perolehan dokumen rencana pengelolaan.

b. Pertukaran data dan informasi.

c. Tindak lanjut laporan/pengaduan.

d. Pemeriksaan sampel.

e. Kegiatan lain untuk menunjang pelaksanaan pengawasan wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pengawasan yang dilakukan Polsus PWP3K terhadap pemanfaatan

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan di : kawasan pemanfaatan

umum, kawasan konservasi, kawasan strategis nasional tertentu, dan alur laut 77.

75
Pasal 2 Permen KP No. 12 Tahun 2013 tentang Pengawasan Pengelolaan Wilayah
Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
76
Pasal 3 Permen KP No. 12 Tahun 2013
77
Pasal 24 Permen KP No. 12 Tahun 2013

68
Universitas Sumatera Utara
Selain itu Polsus PWP3K juga melakukan pengawasan terhadap kegiatan

rehabilitasi, reklamasi, dan mitigasi bencana 78.

11. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2014 dan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2013
Permen KP No. 17 Tahun 2013 mengatur Tentang Perizinan Reklamasi Di

Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, sedangkan Permen KP Nomor 28 Tahun

2014 merupakan perubahan atas Permen KP No. 17 Tahun 2013. Namun

perubahan hanya pada beberapa pasal.

Adapun perubahan yang terjadi terdapat pada :

1. Ketentuan Pasal 6 ditambahkan 1 huruf.

2. Ketentuan Pasal 8 ayat (3) huruf a dan ayat (5) huruf b diubah.

3. Ketentuan Pasal 11 diubah.

4. Ketentuan Pasal 13 ayat (2) dihapus dan ayat (3) diubah.

5. Ketentuan Pasal 14 diubah.

6. Pasal 15 ayat (2) dihapus dan ayat (3) diubah.

7. Ketentuan Pasal 33 ayat (5) diubah.

Permen KP No. 17 Tahun 2013 jo Permen KP No. 28 Tahun 2014

mengatur tentang Perizinan Reklamasi Di Wilayah Perairan Pesisir Dan Pulau-

Pulau Kecil. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka

meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan

sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase79.

78
Pasal 29 Permen KP No. 12 Tahun 2013
79
Pasal 1 angka 1 Permen KP No. 17 Tahun 2013 jo Permen KP No. 28 Tahun 2014
tentang Perizinan Reklamasi Di Wilayah Perairan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

69
Universitas Sumatera Utara
Jenis perizinan yang diatur dalam Permen KP ini terdiri atas izin lokasi

dan izin pelaksanaan reklamasi. Izin lokasi dibagi lagi atas izin lokasi reklamasi

dan izin lokasi sumber material reklamasi80.

Kewenangan dalam menerbitkan izin lokasi reklamasi dan izin

pelaksanaan reklamasi diserahkan kepada Menteri KP, Gubernur, atau

Bupati/Walikota. Menteri berwenang menerbitkan izin lokasi reklamasi dan izin

pelaksanaan reklamasi pada :81

a. Kawasan Strategis Nasional Tertentu.

b. perairan pesisir di dalam Kawasan Strategis Nasional.

c. kegiatan reklamasi lintas provinsi.

d. kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh

Kementerian.

e. kegiatan reklamasi untuk Obyek Vital Nasional sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Gubernur berwenang menerbitkan Izin Lokasi Reklamasi dan Izin

Pelaksanaan Reklamasi pada :82

a. wilayah lintas kabupaten/kota.

b. perairan laut di luar kewenangan kabupaten/kota sampai dengan paling

jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas

dan/atau ke arah perairan kepulauan.

c. kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh

pemerintah provinsi.
80
Pasal 2 Permen KP No. 17 Tahun 2013 jo Permen KP No. 28 Tahun 2014
81
Pasal 5 Permen KP No. 17 Tahun 2013 jo Permen KP No. 28 Tahun 2014
82
Pasal 6 Permen KP No. 17 Tahun 2013 jo Permen KP No. 28 Tahun 2014

70
Universitas Sumatera Utara
Bupati/walikota berwenang menerbitkan Izin Lokasi Reklamasi dan Izin

Pelaksanaan Reklamasi pada :83

a. perairan laut 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.

b. kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh

pemerintah kabupaten/kota.

Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang yang ingin memiliki izin

lokasi reklamasi harus mengajukan permohonan kepada Menteri KP disertai

dengan persyaratan administrasi dan persyaratan teknis84.

12. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 34 Tahun 2014


Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 34 Tahun 2014 merupakan

peraturan yang mengatur tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan

Pulau-Pulau Kecil. Permen KP ini menggantikan Permen KP No. 16 Tahun 2008

tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.

Lahirnya Permen KP No. 34 Tahun 2014 ini dikarenakan ditetapkannya UU No. 1

Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 sehingga Permen KP

No. 16 Tahun 2008 perlu untuk diganti dengan Permen KP No. 34 Tahun 2014

ini.

Tujuan dibuatnya Permen KP No. 34 Tahun 2014 ini adalah agar terwujud

perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu

pada tingkat pemerintah daerah provinsi dan/atau pemerintah daerah

83
Pasal 7 Permen KP No. 17 Tahun 2013 jo Permen KP No. 28 Tahun 2014
84
Pasal 11 ayat (1) Permen KP No. 17 Tahun 2013 jo Permen KP No. 28 Tahun 2014

71
Universitas Sumatera Utara
kabupaten/kota85. Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

dilakukan berdasarkan prinsip, yaitu :86

a. merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan/atau komplemen dari

sistem perencanaan pembangunan daerah.

b. mengintegrasikan kegiatan antara pemerintah dengan pemerintah daerah,

antarsektor, antara pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat, antara

ekosistem darat dan ekosistem laut, dan antara ilmu pengetahuan

danprinsip-prinsip manajemen.

c. dilakukan sesuai dengan kondisi biogeofisik dan potensi yang dimiliki

masing-masing daerah, serta dinamika perkembangan sosial budaya daerah

dan nasional.

d. melibatkan peran serta masyarakat setempat dan pemangku kepentingan

lainnya.

Kegiatan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

yang diatur dalam Permen KP ini sama dengan yang diatur di dalam UU No. 27

Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 yaitu meliputi rencana strategis, rencana

zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi pengelolaan.

13. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 40 Tahun 2014


Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 40 Tahun 2014 mengatur

tentang Peran Serta Dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Wilayah

Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Permen KP No. 40 Tahun 2014 ini merupakan

pengganti daripada Permen KP No. 08 Tahun 2009 tentang Peran Serta Dan

85
Pasal 2 Permen KP No. 34 Tahun 2014 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah
Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
86
Pasal 3 Permen KP No. 34 Tahun 2014

72
Universitas Sumatera Utara
Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau

Kecil.

Tujuan diaturnya peran serta dan pemberdayaan masyarakat dalam

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di dalam Permen KP No. 40

Tahun 2014 adalah untuk :87

a. meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan dalam pemanfaatan

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

b. meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk

berperan serta dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil.

c. menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat dalam

memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil secara

lestari.

d. memperkuat nilai-nilai kearifan lokal untuk mendukung proses

pembangunan kebangsaan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil.

Peran serta masyarakat adalah kepedulian dan keterlibatan masyarakat

secara fisik atau non fisik, langsung atau tidak langsung, atas dasar kesadaran

sendiri atau akibat peranan pembinaan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil88. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir

87
Pasal 3 Permen KP No. 40 Tahun 2014 tentang Peran Serta Dan Pemberdayaan
Masyarakat Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
88
Pasal 1 angka 5 Permen KP No. 40 Tahun 2014

73
Universitas Sumatera Utara
dan pulau-pulau kecil dapat dilakukan melalui tahap perencanaan, pelaksanaan,

dan pengawasan89.

Peran serta masyarakat dalam tahap perencanaan pengelolaan wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilakukan melalui usulan penyusunan RSWP-

3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K, dan melalui penyusunan RSWP-

3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K90.

Peran serta masyarakat dalam tahap pelaksanaan pengelolaan wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan :91

a. konsistensi pada perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil yang telah disepakati.

b. melakukan mitigasi bencana terhadap kegiatan yang berpotensi

mengakibatkan kerusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

c. melakukan kegiatan pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau

kecil memperhatikan keberadaan masyarakat hukum adat dan tidak

bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

d. menjaga, memelihara dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas serta

kelestarian fungsi lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

e. memantau pelaksanaan rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau- Pulau Kecil.

f. memberikan informasi atau laporan dalam pelaksanaan pemanfaatan

terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

89
Pasal 4 Permen KP No. 40 Tahun 2014
90
Pasal 5 Permen KP No. 40 Tahun 2014
91
Pasal 8 Permen KP No. 40 Tahun 2014

74
Universitas Sumatera Utara
Peran serta masyarakat dalam pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil dilakukan dengan :92

a. melaporkan kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan

pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

b. melaporkan dugaan pencemaran, pencemaran, dan/atau perusakan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya.

c. melaporkan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau kerusakan

lingkungan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan,

atau bantuan kepada Masyarakat dan nelayan tradisional agar mampu menentukan

pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil secara lestari93. Pemberdayaan masyarakat dilakukan berdasarkan potensi

dan karakteristik, serta analisa kebutuhan masyarakat dengan mempertimbangkan

kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan 94.

Kementerian dan Pemerintah Daerah berkewajiban mendorong kegiatan

usaha masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

melalui:95

a. peningkatan kapasitas

b. pemberian akses teknologi dan informasi

c. permodalan

d. infrastruktur

92
Pasal 9 Permen KP No. 40 Tahun 2014
93
Pasal 1 angka 6 Permen KP No. 40 Tahun 2014
94
Pasal 10 Permen KP No. 40 Tahun 2014
95
Pasal 11 Permen KP No. 40 Tahun 2014

75
Universitas Sumatera Utara
e. jaminan pasar

f. aset ekonomi produktif lainnya.

14. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 23 Tahun 2016

tentang Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Jo Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Peraturan dari Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

mengatur lebih lanjut tentang RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP3-K dan RAPWP-

3-K sebagai anjuran atau pedoman bagi Pemerintah Daerah dimana hal tersebut

dijelaskan pada Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 dari Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan yaitu96 :

(1) Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai norma, standar, dan

pedoman bagi Pemerintah Daerah Provinsi dalam melakukan

penyusunan Perencanaan Pengolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil.

(2) Tujuan ditetapkanya Peraturan Menteri untuk mewujudkan

Perencanaan Pengolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara

terpadu pada tingkat Pemerintah Daerah Provinsi.

Dimana Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai Kewenangan untuk

mengelola sumber daya di wilayah laut sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat 1-5

yang dijelaskan sebagai berikut97 :

(1) Daerah Provinsi yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan

untuk mengelolaa sumber daya di wilayah laut.


96
Perarutaran Menteri Kelautan dan Perikanan No.23 Tahun 2016 tentang Perencanaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 2
97
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 27

76
Universitas Sumatera Utara
(2) Kewenangan Daerah Provinsi untuk mengelola sumber daya alam di

laut sebagai dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut

di luar minyak dan gas bumi;

b. Pengaturan administratif;

c. Pengaturan tata ruang;

d. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan

e. Ikut serta dala pertahanan kedaulatan negara.

(3) Kewenangan Daerah provinsi untuk mengeola sumber daya alam di

laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua belas)

mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau kearah

perairan kepulauan.

(4) Apabila wilayah laut antardua Daerah provinsi kurang dari 24 (dua

puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di

laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah

dari wilayah antardua Daearah provinsi tersebut.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak

berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil.

Dimana Rencana Zonasi Wilayah pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini

dimaksudkan untuk menentukan arah pembangunan sumber daya tiap-tiap satuan

77
Universitas Sumatera Utara
perencanaan disertai dengan penetapan alokasi ruang pada kawasan perencanaan

yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan98.

15. Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-

Pulau Kecil Terluar.

Penimbangan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan

Pulau-Pulau Kecil terluar adalah sebagai berikut99 :

a. Bahwa Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan

Pulau-Pulau Kecil terluar ditetapkan 92 (sembilan puluh dua) Pulau-

Pulau Kecil Terluar;

b. Bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002

tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik garis pangkal

Kepulauan Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 terdapat perubahan jumlah Pulau-

pulau Kecil Terluar sehingga menjadi 111 (seratus sebelas) Pulau-

Pulau Kecil Terluar;

c. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor

62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar,

penetepan Pulau-Pulau Kecil Terluar dilakukan dengan Keputusan

Presiden;

98
https://kkp.go.id/djprl/artikel/893-kkp-percepat-penyusunan-rencana-zonasi-wilayah-
pesisir-dan-pulau-pulau-kecil-rzwp-3-k-di-34-provinsi diakses Tanggal 25 November 2018 Jam
19.00 Wib.
99
Kepres No. 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar

78
Universitas Sumatera Utara
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf

a, huruf b, huruf c, perlu menetapkan Keputusan Presiden tentang

Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar.

Ketentuan Pasal 1 Kepres Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-

Pualu Kecil Terluar menetapakn 111 (seratus sebelas) Pulau sebagai Pulau-Pulau

Kecil Terluar100. Dengan bertambahnya jumlah Pulau-Pulau Kecil Terluar

Indonesia tersebut, mendorong Pemerintah harus lebih memperhatikan batas-batas

wilayah terdepan kedaulatan NKRI tersebut demi keamanan dan perlindungan

wilayah NKRI.

Berdasarkan pada uraian diatas dapat dikemukan bahwa sebagai Negara

Kepualauan, Indonesia telah menerbitkan berbagai Peraturan Perundang-

Undangan mengenai Pulau-Pulau Kecil, antara lain Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2007 serta peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No 27

Tahun 2007 serta Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 dengan

berbagai peraturan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Peraturan

Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil

Terluar, dan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-

Pulau Kecil Terluar.

Upaya perbaikan dan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memperlihatkan

100
Ibid. Pasal 1

79
Universitas Sumatera Utara
semakin berkembangnya kebutuhan hukum dimasyarakat. Hal ini ditandai dengan

diakuinya kedudukan masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam penyusunan

Rencana Zonasi dan Pemanfaatan Pulau-Pulau dan perairan di sekitarnya. Untuk

itu, semua instansi pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan

pulau-pulau kecil harus meningkatkan kerjasama dan kordinasinya.

80
Universitas Sumatera Utara
BAB IV

IMPLIKASI PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DI

SUMATERA UTARA

A. Profil Wilayah Perairan Sumatera Utara

1. Luas dan batas wilayah administrasi

Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 182.981,23 km2 yang terdiri

dari luas daratan sebesar 72.981,23 km2 dan luas perairan sebesar 110.000,54 km2

sebagian besar berada di daratan Pulau Sumatera dan sebagaian kecil berada di

Pulau Nias, Pulau-Pulau Batu serta beberapa pulau kecil, baik di perairan bagian

barat maupun di bagian timur Pulau Sumatera. Panjang pantai 1.300 Km2 dengan

panjang Pantai Timur 545 Km2, Pantai Barat dan Kepulauan Nias 755 Km 2

dengan 3 (tiga) Pulau terluar dan 206 buah pulau terluar. Perkembangan wilayah

Provinsi Sumatera Utara mengikuti dinamika kehidupan sosial ekonomi dan

perpolitikan di Indonesia. Ada 85 Kecamatan Pesisir, 539 Desa pesisir dengan

jumlah Nelayan sebanyak 169.439 jiwa dengan 220.158,81 Ton Produksi

Perikanan Tangkap/Mei 2018 dan Produksi Perikanan Budidaya sebanyak

93.168,73/Mei 2018.101

2. Letak dan kondisi geografis

Provinsi Sumatera Utara terletak pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100°

Bujur Timur, merupakan salah satu Provinsi yang terletak di Pulau Sumatera.

Provinsi Sumatera Utara berbatasan sebelah Utara dengan Provinsi Aceh, sebelah

101
Aliharni, Seminar Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara, 2018.

81
Universitas Sumatera Utara
barat dengan Samudra Hindia, sebelah Selatan dengan Provinsi Riau dan Provinsi

Sumatera Barat serta sebelah Timur dengan Selat Melaka. Secara regional

Provinsi Sumatera Utara berada pada jalur strategis pelayaran internasional Selat

Melaka dengan Singapura, Malaysia dan Thailand. Terdapat 419 pulau dengan

237 pulau yang telah memiliki nama dengan 6 pulau di wilayah Pantai Timur

termasuk Pulau Berhala sebagai pulau terluar yang berbatasan dengan Selat

Melaka dan sisanya 182 pulau di wilayah Pantai Barat dengan Pulau Wungga dan

Pulau Simuk sebagai pulau terluar di wilayah Pantai Barat 102.

Pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdapat hutan mangrove

seluas 63.467,4 Ha dalam kondisi baik seluas : 27.019,67 Ha dan 36.447,83 Ha

dalam kondisi rusak yang tersebar di 6 Kabupaten (belum termasuk Nias). Selain

hasil laut dan perikanan lainnya, kawasan ini memiliki potensi pariwisata bahari

yang belum teridentifikasi seluruhnya. Daerah pantai di kawasan Pantai Barat

Sumatera Utara sangat bervariasi yaitu daerah yang curam, berbatu dan di

beberapa daerah terdapat pantai yang didominasi rawa. Kondisi pantai semacam

ini banyak ditemukan di daerah Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan,

Sibolga dan Mandailing Natal. Sedangkan Pantai Kabupaten Nias dan Kabupaten

Nias Selatan didominasi oleh pantai berbatu dan berpasir, khususnya yang

berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Banyak terdapat Pulau-Pulau

Kecil merupakan ciri yang di miliki oleh Kawasan Pesisir Barat Sumatera Utara.

Pantai Barat ini juga memiliki hamparan mangrove sekitar 14.270 Ha yang

membujur dari pantai Selatan Kabupaten Mandailing Natal sampai ke pantai

102
Ibid.

82
Universitas Sumatera Utara
selatan Kabupaten Tapanuli Tengah serta di daerah pulau-pulau di Kabupaten

Nias dengan ketebalan antara 50-150 meter. Terumbu karang di Pantai Barat

Sumatera Utara terdapat di tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Tengah,

Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan yang tumbuh pada kedalaman 3-10

meter.

3. Potensi

Potensi Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara terdiri dari Potensi

Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya, dimana Potensi Perikanan Tangkap

terdiri Potensi Selat Malaka sebesar 276.030 ton/tahun dan Potensi di Samudera

Hindia sebesar 1.076.960 ton/tahun. Sedangkan produksi Perikanan Budidaya

terdiri Budidaya tambak 20.000 Ha dan Budidaya Laut 100.000 Ha, Budidaya air

tawar 81.372,84 Ha dan perairan umum 155.797 Ha, wilayah pengembangan

Kelautan dan Perikanan di Provinsi Sumatera Utara dibagi menjadi 3 (tiga)

wilayah Pengembangan yang terdiri dari103 :

3.1 Wilayah Pantai Barat Sumatera Utara

Terdiri dari 12 Kabupaten/Kota yang berada di wilayah Pantai Barat yaitu

Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias

Utara, Kota Gunung Sitoli, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, Kabupaten

Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan, kota Padang Sidempuan,

Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara. Dimana potensi

Pengembangan pada wilayah ini adalah penangkapan ikan, pengolahan ikan.

Budidaya Laut yang terdiri dari Rumput Laut, Kerapu dan Kakap, Budidaya tawar

103
http://dkp.sumutprov.go.id/statis-4/potensi.html diakses tanggal 8 Desember 2018,
Jam 01.30 Wib.

83
Universitas Sumatera Utara
yang terdiri dari ikan Mas, Nila, Lele, Patin, Gurame, Tawes dan Nilam. Budidaya

Tambak yang terdiri dari Udang Vaname, Udang Windu, Kerapu, Kakap,

Bandeng.

3.2 Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara.

Terdapat 11 Kabupaten/Kota yang termasuk pada wilayah Pantai Timur

Sumatera Utara yang terdiri dari Kabupaten Langkat, Kota Binjai, Kabupaten

Serdang Bedagai, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Asahan, Kabupatn

Labuhan Batu, Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Kabupaten Labuhan Batu Utara,

Kabupaten Batubara, Kota Medan, Kota Tanjung Balai, dimana Potensi

pengembangan di wilayah Timur Sumatera Utara adalah penangkapan ikan,

pengolahan ikan. Budidaya Laut yang terdiri dari Kerapu, Kakap, dan Kerang

Hijau. Budidaya Tawar yaitu Mas, Nila, Lele, Patin, Gurame, Grass carp, Lobster

air tawar, Bawal tawar dan ikan hias, Budidaya Tambak yaitu Rumput Laut,

Udang Vaname, Udang Windu, Kerapu, Kakap, Bandeng, sedangkan Budidaya

perairan umum yaitu Mas, Nila.

Dengan banyak pulau-pulau yang terdapat di wilayah Sumatera Utara ada

3 (tiga) pulau terluar di Sumatera Utara yang masuk kedalam 111 Pulau-Pulau

terluar Indonesia menurut Keputusan Presiden No. 6 tahun 2017 tentang

Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar, adapun profil dari pulau-pulau tersebut

sebagai berikut :

1. Pulau Berhala

Pulau berhala merupakan salah satu pulau terluar dari 12 pulau

terluar yang perlu mendapat penanganan khusus karena letaknya sangat

84
Universitas Sumatera Utara
berdekatan dengan Malaysia. Pulau ini saat ini sedang digalakkan industri

pariwisata bahari yang dikelola oleh pemerintah daerah bekerja sama

dengan PT. Kawasan Wisata Pantai Cermin. Secara administratif terletak

di Kecamatan Tanjungberingin, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi

Sumatera Utara. Pulau ini terletak di Selat Malaka dan berbatasan dengan

negara tetangga yaitu Malaysia. Pulau berhala secara geografis berada

pada posisi 30 46‟ 38” LU dan 990 30‟ 03” BT. Pulau ini merupakan lokasi

titik dasar/Base Point (TD) no. 184 dan titik referensi (TR) no. 184,

terdapat sarana bantu navigasi berupa mercusuar (C 19s192m30M)104.

Luas pulau berkisar 2.5 hektare, kondisi pulau sangat alami dan

sudah memiliki penduduk105. Saat ini pulau dijaga oleh Tentara Nasional

Indonesia Angkatan Laut.

Adapun Ekositem dan Sumberdaya Hayati pulau ini ialah106 :

a. Terumbu Karang

Pulau ini memiliki kekayaan alam berupa keindahan terumbu

karang bawah laut dan hutan tropis dengan keanekaragaman hayati yang

tinggi, serta menjadi habitat berbagai jenis flora dan fauna. Vegetasi Pulau

Berhala terdiri dari hutan lahan basah, hutan lahan kering, lahan terbuka

yang beberapa bagiannya ditumbuhi pohon kelapa dan di oerairannya

ditutupi oleh terumbu karang dengan kondisi relatif baik.

104
http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/pulau_info/453
diakses tanggal 9 Desember 2018, Jam 14.05 Wib.
105
https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Berhala diakses tanggal 9 Desember 2018, Jam
14.20 Wib.
106
http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/pulau_info/453
Op. cit.

85
Universitas Sumatera Utara
b. Sumberdaya Perikanan

Perairan sekitar Pulau Berhala kaya dengan berbagai jenis ikan

baik ikan pelagis maupun ikan demersal. Perairannya cocok untuk

kegiatan memancing dan penangkapan ikan oleh nelayan. Di perairan

pulau ini terdapat karamba besi nelayan untuk menampung ikan hasil

tangkapan agar terjaga kualitasnya sebelum dijual ke pelelangan ikan

sehingga harganya tidak jatuh. Namun demikian, kegiatan penangkapan

ini kurang dikembangkan karena Pulau Berhala termasuk daerah terlarang

dan banyak dijaga oleh personil TNI AL karena merupakan pulau

terluar. Terlepas dari statusnya sebagai daerah terlarang, sumberdaya

perikanan dari laut yang mengelilinginya merupakan sumberdaya yang

sangat potensial. Hal ini terlihat dari berlimpahnya berbagai jenis ikan

ekonomis penting seperti ikan kembung, cakalang, kerapu, kakap, dan teri

di perairan sekeliling P. Berhala dibandingkan perairan di Selat Malaka.

Pulau Berhala memiliki topografi berombak dengan ketinggian

relatif rendah, sebagian landai dengan kemiringan 2-8 % dan sebagian

kecil bertopografi datar. Pulau seluas 2,5 km2 ini memiliki topografi

bergunung dengan hutan lebat dan pantainya berpasir putih dan sebagian

berbatu. Pada awal dan akhir tahun, pantai Pulau Berhala menjadi tempat

persinggahan penyu untuk bertelur. Bentuk lahan yang ada di Pulau

Berhala berupa dataran aluvial pantai, gisik, perbukitan denudasional

terkikis sedang, tombolo yang berupa dataran menjorok ke arah laut, dan

terumbu paparan pelataran di daerah perairannya. Pulau Berhala berada di

86
Universitas Sumatera Utara
Selat Malaka dan memiliki kondisi perairan yang relatif tenang dan cukup

jernih. Arus di perairan pulau ini berasal dari Selat Malaka yang bergerak

menuju timur dengan kecepatan arus sekitar 0,35 m/detik. Tinggi

gelombang rata-rata di daerah ini adalah 42,3 cm dengan periode 4,38

detik, sedangkan dalam kondisi cuaca buruk tinggi gelombang maksimum

mencapai 435 cm. Temperatur/suhu air berkisar 26 – 28,3 oC, pH 6,5,

BOD5 16,26 mg/l, turbidity 0,16 – 0,22 NTU, dan TSS 1 – 6 mg/l.

Kedalaman pantainya berada pada kisaran 14- 25 meter. Letak pulau ini

cukup rawan karena berada di jalur pelayaran internasional yang cukup

padat. Selain itu, daerah ini merupakan tempat pembuangan amunisi,

sehingga menjadi daerah terlarang untuk didatangi.

Pulau berhala memiliki potensi wisata yang layak dikembangkan,

karena panorama pantai yang landai dan indah. Air lautnya biru dan jernih,

hamparan pasir putih dan sebagian berbatu yang membentang di sekeliling

pulau serta terumbu karang yang masih alami merupakan pemandangan

yang indah untuk dinikmati. Selain keindahan pantai, pulau ini memiliki

keanekaragaman hayati yang tinggi, karena didalamnya terdapat dua tipe

hutan yang berbeda, yaitu hutan tropika basah dan hutan lahan kering.

Kekayaan hayati ini juga sangat potensial untuk dikembangkan sebagai

kawasan wisata alam. Hutan tropis dengan keaneka-ragaman hayati

berbagai jenis flora dan fauna menambah panorama alam yang akan

mampu mengundang wisatawan baik domestik maupun manca negara

untuk berkunjung ke pulau ini. Sebagai penunjang kegiatan wisata di

87
Universitas Sumatera Utara
pulau ini terdapat sumur yang digali hanya sekitar 10 - 15 meter dari bibir

pantai dengan airnya yang bening, tawar, dan tidak berbau. Kondisi inilah

yang menjadikan daerah ini memiliki potensi yang menjanjikan bagi

pengembangan pariwisata, khususnya wisata bahari berbasis lingkungan.

Potensi pariwisata lainnya adalah kegiatan memancing, menyelam, dan

berlayar.

2. Pulau Simuk

Simuk termasuk salah satu pulau terluar yang terletak di pesisir

Barat Sumatera Utara. Pulau ini mempunyai luas 13.04 Km 2 dan dihuni

oleh 4 (empat) desa yaitu Gobe,Mauva, Gondia, Silina termasuk ke dalam

wilayah Kecamatan Pulau-pulau Batu, Kabupaten Nias Selatan, Provinsi

Sumatera Utara dengan total jumlah penduduk kurang lebih 3.000 jiwa..

Pulau ini sangat datar dengan pantainya pasir putih yang landai. Terletak

di Samudera Hindia dan berbatasan dengan India. Secara geografis pulau

ini memiliki koordinat pada 00° 05‟ 33” LU dan 97° 51‟ 14” BT dan

mempunyai titik dasar pada TD.164 dan titik referensi TR.164. Penduduk

di Pulau Simuk sebagian besar berasal dari Pulau Nias dan sebagian lagi

berasal dari Sumatera Barat, sehingga agama yang dianut mayoritas

penduduk adalah katolik dan minoritas masyarakat muslim yang

berjumlah sekitar 5%. Aktivitas ekonomi masyarakat di Pulau Simuk

Salah mengandalkan kegiatan berkebun, berternak, melaut ,dan berdagang.

Kegiatan berkebun yang diusahakan utama adalah kopra, ternak yang

dominan diusahakan adalah berternak babi, sedangkan aktivitas

88
Universitas Sumatera Utara
menangkap ikan hanya dilakukan oleh sebagian kecil penduduk di daerah

pesisir sekitar pantai107.

Ekosistem dan Sumberdaya Hayati pulau ini adalah108 :

a. Terumbu Karang

Secara umum, kondisi terumbu karang yang terdapat di perairan

Pulau Simuk mempunyai kenampakan yang relatif sama. Terumbu karang

tersebut umumnya merupakan terumbu karang tepi (Fringing Reef) yang

berkembang sepanjang pantai dengan kemiringan agak landai. Penutupan

karang yang terjadi perairan Pulau Simuk diperkirakan mencapai 33,20 %

dengan kondisi terumbu karang yang masih alami. Kerusakan karang di

wilayah ini tidak banyak terjadi yang diduga oleh aktivitas penangkapan

yang tidak terlalu banyak dan hanya untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

b. Mangrove dan Vegetasi Pantai

Ekosistem mangrove yang dapat ditemukan di Pulau Simuk

mempunyai ketinggian antara 0,5 - 3,0 meter dengan tingkat kerapatan

yang rendah. Kondisi ekosistem mangrove ke arah daratan tidak

berkembang dengan baik karena beberapa bagian pantai berpasir yang

menyulitkan perkembangan mangrove dan pada bagian yang landai

dimanfaaatkan untuk perkebunan kepala. Pohon kelapa merupakan pohon

yang dominan dijumpai di Pulau Simuk dengan penutupan hingga 70%.

Sedangkan vegetasi lainya seperti padang lamun tidak ditemui di sekitar

perairan pulau ini.


107
http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/pulau_info/294
diakses tanggal 9 Desember 2018, Jam 16.00 Wib.
108
Ibid.

89
Universitas Sumatera Utara
c. Perikanan

Sumberdaya ikan pelagis yang banyak terdapat di perairan Pulau

Simuk adalah tuna, cakalang, teri, kembung, dan layang. Sedangkan

untuk ikan demersal di antaranya kerapu, udang sabu, lobster, dan

teripang. Alat-alat tangkap yang sering digunakan oleh nelayan di sekitar

Pulau Simuk adalah jaring hanyut dan pancing. Beberapa nelayan ada juga

yang melakukan penyelaman untuk menangkap teripang dan lobster.

Aktifitas penangkapan ikan di Pulau Simuk masih diusahakan secara

tradisional, hal ini dapat dari jenis alat tangkap yang digunakan dan perahu

yang masih banyak dijumpai perahu nelayan berukuran kecil tanpa motor.

d. Rumput Laut

Terdapat potensi rumput laut disekitar wilayah pantai, diantaranya

yang terdapat di Desa Silina Baru. Selain itu di sepanjang pantai desa

Silina Baru merupakan tempat bertelur penyu sisik.

e. Kopra

Pulau ini memiliki kebun kelapa yang sangat melimpah. Kelapa

merupakan hasil pertanian yang sangat penting sehingga menduduki

tempat kedua setelah padi.

Aktivitas Pengolaan Sumberdaya mengusahakan tanaman pangan

dan buah-buahan tidak dijumpai di pulau ini, sehingga untuk memenuhi

kebutuhan pangan pokok mengandalakan dari luar pulau. Pulau Simuk

memiliki topografi datar bergelombang, dengan ketinggian hingga sekitar

8 meter di atas permukaan laut (elevasi ketinggian 0 - 8 m di atas

90
Universitas Sumatera Utara
permukaan laut). Sebagian besar wilayah pulau ini merupakan dataran

rendah, bahkan hampir dikatakan seluruhnya datar. Terdapat bukit kecil

setinggi kurang lebih 8 meter di bagian tengah arah Tenggara pulau seluas

sekitar 5.000 meter persegi yang dimanfaatkan masyarakat sebagai pondok

pengungsian apabila terjadi tsunami. Untuk masuk pulau ini harus menuju

bagian luar pulau sebelah Barat menghadap laut lepas dengan jalur menuju

teluk berbentuk zig-zag. Pantainya landai tersusun dari pasir putih dan

pecahan karang. Apabila air surut banyak ditemukan karang hidup di

tepian pantai. Pulau Simuk termasuk pulau dengan iklim tropis, dilalui

oleh garis katulistiwa. Musim hujan terjadi antara bulan Juli sampai

dengan Desember setiap tahunnnya dengan curah hujan rata-rata mencapai

2.235,2 mm/tahun. Sedangkan musim kemarau terjadi antara bulan

Januari sampai dengan bulan Juni setiap tahunnya. Suhu udara di sekitar

pulau berkisar 20,5 – 29,8 °C. Cuaca di Pulau Simuk juga sangat

dipengaruhi oleh perubahan kondisi laut di sekitar perairan pulau,

sehingga sering terjadi badai baik di perairan maupun di pantai dan

daratan. Kondisi perairan Pulau Simuk sangat jernih dengan ombak dan

gelombang yang sangat besar. Hal ini karena letak Pulau Simuk yang jauh

dari pulau-pulau lainnya dan berada di perairan laut lepas Samudera

Hindia. Kedalaman perairan di sekitar Pulau Simuk berkisar 9 – 36,1

meter. Arus di daerah perairan pulau ini berasal dari Samudera Hindia

bergerak menuju timur dan sebagian dibelokkan ke selatan dengan

kecepatan sekitar 0,61 m/detik. Sedangkan kedalaman pantainya berada

91
Universitas Sumatera Utara
pada kisaran 7-36 meter. Kualitas perairan Pulau Simuk yaitu sebagai

berikut109 :

- Temperatur 28,3 – 29,8 °C

- pH 6,9

- turbidity berkisar antara 0,30 – 0,90 NTU

- total suspended solid (TSS) berkisa 2 – 8 mg/l

infrasturktur di Pulau Simuk antara lain 2 unit sekolah dasar yang

salah satunya di siang hari juga sedang masa percobaan digunakan untuk

SMP, puskesmas pembantu, jalan setapak penghubung antar desa, satu

buah masjid, gereja di setiap desa, dermaga pelabuhan yang sedang dalam

proses pembangunan dari donor non pemerintah, alat sistem peringatan

dini bencana alam gempa bumi/tsunsmi, dan tanda pemetaan dari

Bakosurtanal. Sumber energi kebutuhan masyarakat diperoleh dengan

genset diesel yang diselenggarakan secara mandiri oleh masyarakat, satu

buah genset diesel biasa dapat melayani 10 rumah. Akses transportasi

menuju dan dari Pulau Simuk secara reguler dilayani oleh dua kapal, kapal

pertama adalah kapal penumpang dengan frekuensi pelayanan dua minggu

sekali yang melayani rute: Teluk Dalam Ibu Kota Kabupaten Nias Selatan,

Telo Ibu Kota Kecamatan Pulau-Pulau Batu dan menuju Simuk. Kapal

kedua adalah adalah kapal pengangkut barang kebutuhan sehari-hari

dengan frekuensi pelayaran sepuluh hari sekali yang melayani rute:

Sibolga-Teluk Dalam-Telo-Simuk. Akses informasi masyarakat didapat

109
Ibid.

92
Universitas Sumatera Utara
dari siaran televisi yang menggunakan antena parabola satelit, sedangkan

sarana dan prasarana komunikasi tidak ditemukan di pulau ini. Pulau

Simuk dulu pernah terdapat sebuah menara suar di bagian dalam teluk

dekat pelabuhan, namun sejak gempa dan tsunami Bulan Maret 2005

menara tersebut runtuh dan belum ada upaya perbaikan. Keterbatasan

infrastruktur juga berakibat pada tidak tersedianya pelayanan administrasi

seperti Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Akte Kelahiran, Surat

Nikah, Surat kepemilikan lahan, dan lainnya. Sarana pelayanan keamanan

baik di darat maupun di laut juga belum tersedia di pulau tersebut. Padahal

pulau ini mempunyai Peluang pengembangan yang potensial seperti :

a. Usaha Penangkapan

b. Usaha Budidaya Perikanan (rumput kaut dan keramba apung)

c. Usaha pengolahan hasil perikanan (ikan asap dan asin)

d. Perkebunan Kelapa (kopra dan minya goreng)

e. Ekowisata (wisata bahari)

Karena ketaknya cukup jauh dan terpencil dari pusat pemerintahan

dan kurangnya saranan transportasi berdampak pada taraf hidup

penduduknya yang rendah. Sulitnya jaringan telekomunikasi berdampak

pada terhambatnya kegiatan perekonomian penduduk.

3. Pulau Wunga

Pulau Wunga terletak di sebelah Barat perairan Nias dan dikelilingi

oleh hamparan terumbu karang. Pulau ini berpenghuni satu desa yang

bermatapencaharian berkebun kelapa dan nelayan. Pulau Wunga memiliki

93
Universitas Sumatera Utara
luas 9 km2. Terdapat titik dasar/Base point (TD) no. 167 dan titik referensi

(TR) no. 167. Secara administratif pulau ini termasuk ke dalam wilayah

Desa Afulu, Kecamatan Afulu, Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara.

Terletak di Samudera Hindia dan berbatasan dengan negara tetangga yaitu

India. Secara geografis pulau ini memiliki koordinat pada 01º12‟47” U dan

97º04‟48” T. Pulau Wunga dihuni secara periodik oleh masyarakat Desa

Afulu dengan keperluan untuk memelihara dan memanen kopra. Terdapat

sekitar 23 unit bangunan rumah di pulau ini. Penduduk Desa Afulu yang

menghuni secara periodik, kebanyakan adalah orang-orang yang berasal

dari keturunan Aceh, kemudian terjadi akulturasi sehingga masyarakat

memiliki adat dan marga seperti halnya kebanyakan warga di Pulau Nias

lainnya. Agama yang dipeluk oleh masyarakat Desa Afulu adalah cukup

beragam yaitu Islam, Kristen, dan Katolik. Penghasilan utama masyarakat

Desa Afulu berasal dari berkebun dan menangkap ikan di laut110. Seluruh

aktivitas pemenuhan kebutuhan masyarakat utamanya seperti sandang-

pangan, pendidikan, dan kesehatan dipenuhi dari Desa Afulu di Pulau

Nias. Selain kopra, komoditas lain yang mulai dikembangkan oleh

masyarakat Desa Afulu di Pulau Wunga adalah budidaya kakao. Adapun

ekosistem dan Sumberdaya Hayati nya ialah :

a. Terumbu Karang, mangrove, dan Vegetasi Lain.

Vegetasi yang dapat dijumpai di Pulau Wunga antara lain beberapa

jenis pohon berukuran besar, tumbuhan perdu, beberapa jenis tanaman

110
http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/pulau_info/446
diakses tanggal 10 desember 2018, Jam 08.00 Wib.

94
Universitas Sumatera Utara
rawa, mangrove, dan pohon kelapa yang mendominasi penutupan vegetasi

hingga 70%. Potensi sumberdaya alam Pulau Wunga selain perikanan

yang menjadi andalan masyarakat adalah kebun kelapa. Kopra merupakan

hasil utama perkebunan masyarakat yang berada di Pulau Wunga. Spesies

binatang yang ditemukan di daratan pulau antara lain beberapa jenis reptil

kecil, umang hutan, burung gagak, dan binatang-binatang semak seperti

nyamuk dan mrutu.

b. Perikanan

Perairan sekitar Pulau Wunga kaya dengan berbagai jenis ikan

permukaan dan dasar, terutama ikan-ikan pelagis perenang cepat dan

lobster. Kegiatan penangkapan masih sangat tradisional dengan armada

penangkapan ikan yang sangat sederhana yaitu perahu bermesin 15 PK.

Keterbatasan jenis armada penangkapan ikan tersebut menyebabkan

daerah penangkapan hanya terbatas di sekeliling pulau. Selain ikan dan

lobster, di pesisir pantai Pulau Wunga juga merupakan tempat bertelurnya

penyu-penyu laut secara musiman.

Pulau Wunga memiliki topografi datar dengan ketinggian relatif

rendah, di bagian tengah pulau terdapat cekungan yang mampu

menampung air sehingga bentuk pulau dari atas menyerupai bentuk huruf

“C”. Pantainya berpasir putih dan sebagian berbatu terhampar

mengelilingi pulau. Kondisi perairan laut di sekitar Pulau Wunga sangat

dipengaruhi oleh karakteristik laut lepas Samudera Hindia sehingga

memiliki ombak dan gelombang laut yang besar terutama pada saat musim

95
Universitas Sumatera Utara
barat. Arus di perairan pulau ini berasal dari Samudera Hindia yang

bergerak menuju Timur dengan kecepatan arus sekitar 0,35 m/detik,

dengan tinggi gelombang rata-rata mencapai 2,5 meter dengan periode

4,38 detik, sedangkan dalam kondisi cuaca buruk tinggi gelombang

maksimum mencapai 12 meter. Temperatur/suhu air berkisar antara 26,8

– 30,2 oC, pH 7,0, turbidity 0,35 – 0,55 NTU, dan TSS 3 – 9 mg/l.

Kedalaman pantainya berada pada kisaran 10-47 meter111.

Infrastruktur umum yang terdapat di Pulau Wunga antara lain jalan

setapak antar kebun dan sedang dibangunnya Menara Navigasi milik

Departemen Perhubungan, sedangkan infrastruktur lainnya seperti

dermaga pendaratan, jalan keliling pulau, pos jaga TNI-AL belum terdapat

di pulau tersebut, sehingga kebutuhan lainnya sangat mengandalkan sarana

dan prasarana yang ada di Desa Afulu di Pulau Nias. Kondisi infrastruktur

di Desa Afulu sendiri tergolong paling tertinggal dibandingkan dengan

pembangunan infrastruktur di kecamatan lainnya di Kabupaten Nias.

Keterbatasan infrastruktur transportasi dan komunikasi baik menuju Desa

Afulu maupun menuju Pulau Wunga merupakan permasalahan yang sering

dikeluhkan oleh masyarakat. Untuk mencapai Desa Afulu lewat darat

hanya dapat ditembus oleh kendaraan gardan ganda melalui jalan yang

sangat terjal dan berbatu, apabila melalui jalur yang landai belum dapat

ditembus oleh kendaraan roda empat atau lebih. Sedangkan untuk

mencapai Pulau Wunga hanya tersedia angkutan kapal motor sampai 5 PK

111
Ibid.

96
Universitas Sumatera Utara
yang dimiliki oleh masyarakat Desa Afulu sebagai sarana trasportasi

mengangkut kopra. Di Desa Afulu belum terdapat jaringan telepon kabel,

sehingga pemenuhan kebutuhan komunikasi dua arah dilakukan dengan

menggunakan telepon seluler. Sudah terdapat menara telepon seluler

(Telkomsel) di Desa Afulu, namun jaringan sinyalnya untuk dapat

ditangkap hingga Pulau Wunga sangat tergantung dari cuaca, pasokan

bahan bakar minyak sebagai pembangkit energi menara juga menjadi

faktor penting dalam penyediaan prasarana komunikasi masyarakat.

Sehingga ada beberapa upaya Pengembangan yang perlu dilakukan di

Pulau Wunga, antara lain :112

1. Rekonstruksi dan pemeliharaan titik dasar dan titik referensi

2. Peningkatan oengawasan oleh aparat pemerintah terutama TNI

dengan menempatkan aparat keamanan untuk menjaga

kedaulatan pulau ini

3. Perlu dibangun pelindung pantai dari ancaman abrasi seperti

penanaman magrove atau membuat bangunan pemecah ombak

B. Aspek Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Sumatera Utara.

1. Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 18 Tahun 2013

tentang Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Sumatera Utara Tahun 2013-2033.

112
Ibid.

97
Universitas Sumatera Utara
Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang

disingkat RSPWP-3-K adalah Rencana yang menentukan arah penggunaan

sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan

struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan

yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat

dilakukan setelah memperoleh izin. Peraturan Gubernur ini sebagai standar

dan pendoman bagi Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dan

Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melakukan penyusunan perencanaan

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dimana bertujuan untuk

terwujudnya perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil di Sumatera Utara secara terpadu113. Ada 4 (empat) tujuan dari

Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2013-2033, yaitu114 :

a. Tujuan Ekologis yakni melindungi dan merehabilitasi

ekosistem wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di

Sumatera Utara.

b. Tujuan Pembangunan Ekonomi yakni mengembangkan sistem

pemanfaatan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil

secara optimal, efisien dan berkelanjutan untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi.

113
Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 18 tahun 2013 Pasal 1 dan Pasal 2
114
Lampiran Peraturan Gubernur Sumuatera Utara Nomor 18 Tahun 2013 tentang
RSWP3K.

98
Universitas Sumatera Utara
c. Tujuan Pembangunan Sosial yakini memulihkan dan

menjamin hak dan kewajiban masyarakat dalam mengelola

sumberdaya wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil secara

berkelanjutan.

d. Tujuan Administrasi yakni meminimalkan konflik

pemanfaatan dan kewenangan dalam pengelolaan wilayah

pesisir, laut dan pulau-pulau kecil sehinggga dicapai suatu

keterpaduan dan berkelanjutan program.

Sedangkan manfaat dari Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil Provinsi Sumatera Utara ini adalah115 :

a. Menfasilitasi Pemerintah Daerah dalam mencapai tujuan-

tujuan pembangunan daerah dan pembangunan nasional,

khususnya di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.

b. Memberikan landasan yang konsisten dan terarah bagi

penyusun Rencana Zonasi (Zonasi Plan), Rencana

Pengelolaan (Management Plan) dan Rencana Aksi (Action

Plan).

Adapun prinsip dari Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil menurut Peraturan Gubernur Nomor 18 Tahun 2013 ialah116 :

a. Merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan/atau

komplemen dari sistem perencanaan pembangunan daerah;

115
Ibid.
116
Pergub Sumut No. 18 Tahun 2013 Pasal 3

99
Universitas Sumatera Utara
b. Mengintegrasikan kegiatan antara pemerintah dengan

pemerintah daerah, antarsektor, antara pemerintah, dunia usaha

dan masyarakat, antara ekosistem darat dan ekosistem laut, dan

antara ilmu oengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen;

c. Dilakukan sesuai dengan kondisi biogeofisik dan potensi yang

dimiliki masing-masing daerah, serta dinamika perkembangan

sosial budaya daerah dan nasional; dan

d. Melibatkan peran serta masyarakat setempat dan pemamngku

kepentingan lainnya.

Dalam penyusunan RSWP-3-K memiliki tata cara yang diatur

dalam pasla 4 bagian ketiganya, yaitu :

1. RSWP-3-K merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan/atau

komplemen dari penyusunan Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Provinsi Sumatera Utara.

2. RSWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

arahan kebijakan dalam penyusunan :

a. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil (RZWP-3-K)

b. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil (RPWP-3-K)

c. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil (RAPWP-3-K).

100
Universitas Sumatera Utara
2. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sumatera

Utara.

Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil di Sumatera Utara

masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah Sumatera Utara. Menurut

Naskah Akademik Rencana Zonasi wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil, zonasi

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya mengelompokan kawasan ke

dalam zona-zona yang sesuai dengan kondisi fisik, potensi dan fungsinya. Tujuan

penentuan zonasi adalah untuk mengoptimalkan fungsi ekologi dan ekonomi dari

ekosistem suatu kawasan sehingga dapat dilakukan pengelolaa dan pemanfataan

kawasan secara serasi, optimal dan berkelanjutan. Penyusunan Rencana Zonasi

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ini berdasarkan atas Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2007 Jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan turunannya yaitu

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 23 Tahun 2016 tentang

Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Menurut kedua

peraturan tersebut, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara

hirarki terdiri atas kawasan, zona dan sub zona.

Recana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ( RZWP3K) adalah

rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan

perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada Kawasan

perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh

dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin di

daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan

101
Universitas Sumatera Utara
di darat dan laut dan pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km 2

berserta kesatuan ekosistemnya.

Rencana alokasi ruang WP3K Sumatera Utara secara umum terbagi

menjadi empat kawasan. Pertama, yaitu kawasan pemanfaatan umum, digunakan

sebagai zona pariwisata, zona pelabuhan, zona pertambangan, zona perikanan

tangkap, zona perikanan budidaya, zona industri, zona energi dan zona wilayah

pertahanan. Kedua yaitu, kawasan konsevasi yang merupakan zona pembatasan

pemanfaatan sumberdaya dan atau zona pelarangan pemanfaatan sumberdaya

(preservasi). Ketiga, yaitu kawasan stategis nasional tertentu digunakan untuk

tujuan primier tertentu misalkan pangkalan militer, pelabuhan beserta turunannya.

Keempat yaitu alur laut digunakan sebagai jalur pipa dasar laut, jalur lintas kapal

reguler maupun internasional dan jalur migrasi ikan.

Rencana alokasi ruang RZWP3K Sumatera Utara ditetapkan sebagai hasil

analisis tiga dimensi ruang, yaitu permukaan, kolom, dan dasar laut. Pada setiap

dimensi, alokasi ruang laut dapat mengakomodasikan kegiatan yang multifungsi

pada zona tertentu. Dalam kolom perairan pesisir dan dan pulau-pulau kecil secara

vertikal dapat dialokasikan untuk berbagai zona/subzona peruntukan.

Pemanfaatan ruang dimaksud didasarkan pada hasil analisis peruntukan ruangnya

secara vertikal. Walaupn demikian, alokasi berbagai zona/subzona tersebut harus

disertai dengan peraturan pemanfaatan ruang yang memuat aturan-aturan kegiatan

yang diperbolehkan , kegiatan yang tidak diperbolekan, serta kegiatan yang hanya

boleh dilakukan dengan syarat, yang disertai pengaturan tata waktu.

102
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan analisis RZWP3K Provinsi Sumatera Utara tahun 2017-2037

diperoleh arahan pola ruang Provinsi Sumatera Utara. Arahan pola dan

pemanfaatan ruang untuk kawasan pesisir Provinsi Sumatera Utara belum

dilakukan secara jelas, olehnya itu berdasarkan hasil analisis draft rencana zonasi

maka rekomendasi untuk pola arahan dan pemanfaatan ruang untuk kawasan

pesisir Provinsi Sumatera Utara terdiri dari atas Kawasan Pemanfaatan Umum,

Kawasan Konservasi, Kawasan Strategi Nasional Tertentu dan Alur, sebagaimana

disajikan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Pembagian Alokasi Ruang RZWP3K Provinsi Sumatera Utara

No Kawasan Zona Sub Zona Luas (ha)


4.032.824,96
Wisata Bentang 5.233,57
Alam
Pariwisata Wisata Alam 10. 177,14
Pantai/Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
DLKr dan DLkp 67. 981,82
Pelabuhan
WKOPP 1.437,53
1 Kawasan Pertambangan Minyak dan Gas 1.862,31
Pemanfaatan Bumi
Umum (KPU) Ikan Pelagis 3.200. 105,80
Perikanan Tangkap Ikan Demersal 331.506,14
Ikan Pelagis dan 319.336,94
Demersal
Perikanan Budidaya Budidaya Laut 94.208,12
Pergaraman Garam Rakyat 193,39
Industri Industri Maritim 694, 54
Industri Manufaktur 87,66
298.452,85
Zona Inti 1.757,91
Kawasan Konservasi Zona Pemanfaatan 73.314,66
2 Kawasan Perairan Zona Perikanan 9.694,69
Konservasi (KK) Berkelanjutan

103
Universitas Sumatera Utara
Zona Perancangan 213.395,21
KKP
3 Kawasan Strategis - 40.395,21
Nasional Tertentu PPKT
(KNKT) 1)
Alur pelayaran - -
Kabel/Pipa Bawah Laut - 40.395,21
4 Alur
- Pipa Gas dan - 5.103,30
Minyak
- Telekomunikasi 35. 291,91
TOTAL LUASAN 4. 371.673,02
Sumber : Hasil Analisis, 2017

Keterangan :

1) Luas KNKT sudah masuk dalam Kawasan Umum Zona Perikanan

Tangkap dan Konservasi.

Pengundangan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Ruang Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) harus digencar oleh Pemerintah Daerah

Sumatera Utara, mengingat pentingnya penataan ruang dipetakan secara detail

guna penataan pemukiman, pariwisata, zona budidaya dan zona lindung sehingga

mengurangi untuk tidak adanya terjadi konflik kepentingan antar sektoral dan

pengunaan lainnya di wilayah RZWP3K.

C. Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar Sumatera Utara

Pulau-pulau kecil yang terdapat di kawasan Pantai Barat dan Pantai Timur

Sumatera Utara menagandung potensi yang sangat besar untuk pariwisata bahari

dan nilai konservasi keanekaragaman hayati. Selain itu, pulau terluar memiliki

nilai strategis dalam kerangka kedaulatan negara dan perwujudan wawasan

nusantara.

104
Universitas Sumatera Utara
Akibat keterbatasan kemampuan pemerintah baik dalam anggaran maupun

pengawasan, banyak pulau-pulau kecil Sumatera Utara cukup terisolir dan kurang

tersentuh dari pembangunan, sehingga masyarakat dominan berada dalam garis

kemiskinan, dan terjadi degradasi sumber daya di dalam pulau maupun di sekitar

pulau. Di sisi lain, masih banyak pulau di Sumatera Utara yang masih asli dan

belum berpenghuni dan belum memiliki nama, dan pulau ini perlu dilindungi

untuk tetap mempertahankan keasliaan ekosistemnya.

Pulau-pulau kecil yang terdapat di Pantai Barat dan Timur Sumatera Utara

sampai saat ini masih sulit dijangkau akibat terbatasnya sarana dan prasarana

trasportasi. Tingginya harga bahan-bahan kebutuhan pokok dan sulitnya

memasarkan hasil produksi dari sumberdaya lokal, menyebabkan masyarakat

memiliki kesejahteraan yang rendah.

Ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di kawasan Pantai Barat dan

Pantai Timur Sumatera Utara memiliki potensi untuk pariwisata bahari. Di sekitar

pulau-pulau kecil, terumbu karang yang sehat bersama biota yang berasosiasi di

dalamnya menampilakn panorama bawah laut yang mempesona dan menjadi daya

tarik bagi pariwisata. Namun pengembangan eksistensi bahari tidak hanya

tergantung pada potensi dan keindahan sumberdaya terumbu karang, tetapi perlu

memperhitungkan faktor saranan pendukung seperti penyediaan fasilitas,

aksebilitas, keamanan, sikap dan dukungan masyarakat sekitarnya dalam

menerima kunjungan wisatawan117.

117
Naskah Akademik, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara tentang
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sumatera Utara.

105
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal pemanfaatan pulau-pulau terluar Sumatera utara ada beberapa

faktor yang mengahambat pemanfaatan pulau-pulau kecil ini, yaitu :

1. Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia

2. Rendahnya kesejahateraan Masyarakat Nelayan

3. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil

4. Belum adanya Tata Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau kecil

5. Kerusakan Mangrove dan Terumbu karang

6. Pencemaran wilayah pesisir daan laut oleh limbah industri dan

Domestik

7. Potensi wisata bahari belum dikembangkan secara optimal.

8. Terbatasnya saranan dam Prasarana Transpostasi ke Pulau-Pulau Kecil

9. Ancaman abrasi dan instusi air laut di wilayah Pesisir dan pulau-pulau

kecil

10. Belum optimalnya usaha penangkapan ikan dan budidaya laut

Pemanfataan pulau-pulau kecil Sumatera Utara masih relatif kecil dan

perairan Samudera Hindia masih under fishing. Akibat kerusakan berbagai jenis

ekosistem pesisir dan laut. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya perlindungan

dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut untuk memulihkan regenerasi

sumberdaya ikan, dan pengendalian ilegal fishing melalui penegakan hukum dan

pemeberdayaan masyarakat. Mengingat Provinsi Sumatera Utara sebagai Provinsi

yang memiliki nilai strategis wilayah baik secara nasional maupun regional tentu

106
Universitas Sumatera Utara
akan memberikan dampak pada aspek pertahanan dan keamanan118. Provinsi

Sumatera Utara dilalui jalur pelayaran internasional di Selat Malaka juga beberapa

pulau-pulau kecil serta pelabuhan penghubung yang langsung dengan negara

tetangga. Sehingga keamanan serta keselamatan di laut harus menjadi salah satu

perhatian Pemerintah Daerah dan seluruh stakeholders. Pemanfaatan pulau-pulau

kecil Sumatera Uatara oleh Pemerintah Daerah sebagai bentuk pengawasan

terhadap kedaulatan Nasional, mengingat Indonesia pernah kehilangan pulau-

pulau kecilnya karena kurangnya pemanfaatan yang ada di pulau-pulau terluar

tersebut.

118
Ibid,.

107
Universitas Sumatera Utara
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan skripsi yang telah penulis uraikan sebelumnya,

maka didapatlah beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Hukum internasional merupakan hukum yang berkembang sangat

pesat perkembangannya, hukum laut internasional merupakan salah

satu cabang ilmu dari hukum internasional tersebut, sehingga

mendorong masyarakat internasional untuk membembuat suatu

perjanjian internasional melalui konvensi internasioanl untuk

mengantur wilayah laut. Konvensi internasional tentang laut telah

dilakukan sebanyak tiga kali, namun pada konvensi ke tiga tahun

1982 baru diakuinya adanya konsep Negara Kepulauan oleh

masyarakat internasional. Dimana Konvensi Hukum Laut

internasional 1982 tersebut mengatur pembagian zona-zona maritim

dengan rezim hukumnya masing-masing.

2. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar tidak diatur secara khusus di

dalam UNCLOS Tahun 1982 tetapi secara tersirat,bahwasannya

sumber kekayaan yang ada dilaut memerlukan pengelolaan yang

baik sesuai dengan prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan

tampa merusak lingkungan laut sehingga dapat digunakan untuk

kemakmuran masyarakat. Negara mempunyai kewajiban tersebut

untuk melestarikan dan melindungi wilayah lautnya. Pengaturan

108
Universitas Sumatera Utara
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar tersebut secara khusus diatur

oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan

meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan

pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan

Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah

secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

3. Berbatasan dengan negara- negara tentangga, pulau terluar

Sumatera Utara juga sebagai pelabuhan internasional dan

merupakan jalur perdangangan internasional di Selat Malaka.

Pengelolaan pulau-pulau terluar di Sumatera Utara dapat dilakukan

dari segi parawisata, perikanan, industri, pertambangan dan

kawasan konservasi. Pengelolaan pulau-pulau terluar Sumatera

Utara masih belum optimal, mengingat susahnya akses transportasi

menuju pulau-pulau tersebut. Padahal Pemerintah Sumatera Utara

telah mengeluarkan peraturan daerahnya tentang pengelolaan pulau-

pulau kecil terluar. Pemanfaatan pulau-pulau terluar Sumatera Utara

masih relatif kecil, cukup terisolir dan kurang tersentuh dari

pembangunan membuat masyarakat dominan berada dalam garis

109
Universitas Sumatera Utara
kemiskinan, dan terjadi degradasi sumber daya di dalam pulau

maupun disekitar pulau.

B. Saran

1. Konvensi hukum laut internasional 1982 memberikan kewenagan

kepada Negara Kepualauan untuk menarik garis pangkal

kepulauannya untuk menentukan lebar laut teritorial,zona

tambahan,zona ekonimi eksklusif dan landasan kontinen. Konvensi

hukum laut 1982 tidak mengatur lebih jelas mengenai penarikan

garis pangkal jika terjadi perubahan tempat penarikan.

2. Konvensi hukum laut tahun 1982 yang telah berlaku baik secara

internasional maupun regional, seharusnya lebih dapat memberikan

kepastian penjelasan mengenai pengelolaan pulau-pulau terluar

suatu negara. Mengingat hal tersebut sangat penting bagi Negara

kepulauan dalam membentuk dan menentukan wilayah yurisdiksi

kedaulatan negaranya melalui wilayah laut.

3. Pemanfaatan pulau-pulau terluar di Sumatera Utara dengan

melakukan pengelolaan yang optimal harus dilakukan oleh

Pemerintah Daerah Sumatera Utara, karena pemanfaatan pulau-

pulau kecil terluar merupakan sebagai bentuk pengawasan terhadap

kedaulatan Nasional, mengingat Indonesia pernah kehilangan pulau

terluarnya karena tidak melakukan pengoptimalan pengelolaan di

wilayah pulau-pulau yang berbatasan langsung dengan negara

tetangga.

110
Universitas Sumatera Utara
Daftar Pustaka

A. Buku

Boer Mauna, Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2013.

Chairul Anwar, Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982,

Djambatan, Jakarta, 1989.

Dhiana Puspitawati, Hukum Laut Internasional, Kencana, Depok, 2017.

Didik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional Edisi Revisi, PT. Refika Aditama,

Bandung, 2016.

Indien Winarwati, Konsep Negara Kepulauan, Setara Press , Malang, 2016.

I Wayan Parthiana, Landas Kontinen Dalam Hukum Laut Internasional, Mandar

Maju, Bandung, 2005.

Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, PO Box 31

Ujungberung, Bandung, 2007.

Nur Yanto, Memahami Hukum Laut Indonesia, Mitra Wancana Media, Jakarta, 2014.

P.Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia( Edisi Pertama), Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

P.Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2013.

Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, badan penelitian dan pengembangan

departemen luar negeri, Jakarta Selatan, 1986.

R. Dahuri, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, IPB, Bogor,

1998.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo

Persada , Jakarta, 2004.

B. INSTRUMEN HUKUM

United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) 1982.

Universitas Sumatera Utara


Convention on the Continental Shelf 1958.

Undang-Undang No 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Convention On The

Law Of The Sea.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil

Terluar.

Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2012.

Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2015.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2007.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2008.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2008.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 20 Tahun 2008.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2013.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2013.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2014.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 34 Tahun 2014.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 40 Tahun 2014.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 23 Tahun 2016.

Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil

Terluar.

Universitas Sumatera Utara


Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 18 Tahun 2013 tentang Rencana Strategis

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sumatera Utara Tahun 2013-2033.

C. Makalah/Artikel Ilmiah/Jurnal/Disertasi

Aliharni, Seminar Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Dinas

Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara, 2018.

Erwin, “Urgensi Perlindungan Pulau-Pulau Terluar Dalam Kaitan Integritas

Teritorial Indonesia”. Vol. 6 No.2, Juli 2011.

Yudhi Wijayanto, Disertasi: “Implementasi Kebijakan Pemerintah terhadap

Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (Studi Kasus Pulau Miangas Kabupaten

Kepulauan Talaud Provinsi Sulawesi Utara)” (Jakarta: UI,2016).

D. Koran/Majalah/Internet

http://www.didisadili.com/2011/02/khususnya-di-kementrian-kelautan-dan.html

dan.html diakses tanggal 22 Oktober 2018 Jam 20:59 Wib

www.pemkomedan.go.id/RADPPK/Renstra_Bappeda.pdf diakses pada tanggal 26

september 2018 jam 22 : 37 Wib

https://setyawanandy.wordpress.com/2012/03/14/indonesia-sebuah-konsep-negara-

kepulauan/ diakses tanggal 22 November 2018 Jam 20.50 Wib.

https://agisardhifhub.wordpress.com/2011/05/13/urgensi-pembakuan-nama-pulau-

bagi-indonesia/ diakses tanggal 18 Desember 2018

http://www.big.go.id/rilis-pers/show/page-2329 diakses tanggal 18 Desember 2018

https://sustainabledevelopment.un.org/content/documents/Agenda21 diakses Tanggal

23 November 2018 Jam 15.40 Wib

Universitas Sumatera Utara


http://dkp.sumutprov.go.id/statis-4/potensi.html diakses tanggal 8 Desember 2018,

Jam 01.30 Wib.

http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/pulau_info/453

diakses tanggal 9 Desember 2018, Jam 14.05 Wib.

https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Berhala diakses tanggal 9 Desember 2018, Jam

14.20 Wib.

http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/pulau_info/294

diakses tanggal 9 Desember 2018, Jam 16.00 Wib.

http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/pulau_info/446

diakses tanggal 10 desember 2018, Jam 08.00 Wib.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai