Anda di halaman 1dari 96

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Fakultas Hukum Skripsi Sarjana

2019

Penegakan Hukum Terhadap Kapal


Asing yang Melakukan Pencurian Ikan
di Wilayah Perairan Indonesia
Berdasarkan Unclos 1982

Kevin, Samudra
Universitas Sumatera Utara

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/13888
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING YANG
MELAKUKAN PENCURIAN IKAN DI WILAYAH
PERAIRAN INDONESIA BERDASARKAN
UNCLOS 1982

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan


memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum

Oleh :

Samudra Kevin P
130200550

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

i
Universitas Sumatera Utara
ii
Universitas Sumatera Utara
iii
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING YANG
MELAKUKAN PENCURIAN IKAN DI WILAYAH
PERAIRAN INDONESIA BERDASARKAN
UNCLOS 1982
* Samudra Kevin P
** Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.H
*** Abdul Rahman, S.H., M.H

Praktek penangkapan ikan secara illegal merupakan tindak kriminal lintas


negara yang terorganisir dan telah menyebabkan kerusakan serius bagi Indonesia
dan negara-negara dikawasan lainnya. Selain meruikan secara ekonomi, sosial,
dan ekologi, praktik ini merupakan tindakan yang melemahkan kedaulatan
wilayah suatu bangsa. Adapun permasalahan dalam penelitian ini pengaturan
hukum nasional terhadap penenggelaman kapal asing yang melakukan pencurian
ikan di wilayah perairan Indonesia. Dampak penenggelaman kapal asing yang
melakukan pencurian ikan di wilayah perairan indonesia dalam perspektif Hukum
internasional. Penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan pencurian
ikan di wilayah perairan Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982.
Jenis penelitian atau metode pendekatan yang dilakukan adalah metode
penelitian hukum normatif atau disebut penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.
Pengaturan hukum nasional terhadap penenggelaman kapal asing yang
melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia, yaitu Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan. UNCLOS 1982 tidak mengatur tentang ketentuan hukum
penenggelaman kapal asing. Dampak penenggelaman kapal asing yang melakukan
pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia dalam perspektif Hukum
internasional terhadap penenggelaman kapal asing ilegal diyakini tidak akan
mempengaruhi hubungan bilateral, regional, dan multilateral Indonesia dengan
negara lain. Penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan pencurian
ikan di wilayah perairan Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982, penegakan
hukum di laut merupakan langkah atau tindakan serta upaya dalam rangka
memelihara dan mengawasi ditaatinya ketentuan-ketentuan hukum baik hukum
nasional maupun hukum internasional yang berlaku di laut yurisdiksi nasional
Indonesia.
Kata Kunci : Penegakan Hukum, Kapal Asing, Pencurian Ikan.1

1
* Samudra Kevin P, Mahasiswa FH. USU
** Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.H, Dosen FH USU
*** Abdul Rahman, S.H., M.H, Dosen FH USU

i
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuha Yang Maha Esa atas limpahan rahmat,

nikmat dan karunia-Nya, sehinggga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripisi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar

sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi

ini berjudul “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING YANG

MELAKUKAN PENCURIAN IKAN DI WILAYAH PERAIRAN

INDONESIA BERDASARKAN UNCLOS 1982” Penulis menyadari bahwa

penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan di dalam penulisan, oleh karena

itu penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk di

masa yang akan datang.

Terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera

Utara

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan, Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. O.K. Saidin, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan I, Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum., selaku Wakil Dekan II, Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan III, Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

ii
Universitas Sumatera Utara
6. Bapak Abdul Rahman SH., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum

Internasional, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus dosen

Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu dan tenaga buat penulis

sehingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.H, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah

meluangkan waktu dan tenaga buat penulis sehingga terselesaikannya skripsi

ini.

8. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Teristimewa kedua orang tua ayahanda Aga Putra dan ibunda Susi Andrian

dan Saudara-Saudari saya Chiquita vidya , Gilang Cempaka , Farah Millenia ,

Muhammad Bintang, Tryan Widjanarko, Iqbal Tawakal yang telah

memberikan dukungan dan bantuan moril sehingga terselesaikannya skripsi

ini.

10. Untuk teman-teman Nurul Nurdiningrum, Ufa Antia, Aditya Nanda, Maher

Syalal, Abdul Haris, Audi Enzo, Rahmanuel Siahaan, Acha Rouyas, Erastus

Manurung, Sandro Simangungsong, Fadli Hadi, Raka Rambe, Nando

Simanjuntak, Albert Lumbantoruan, Hadyan Fahmi, Christ Imanuel, Daniel

Lumbangaol, Daniel Sihite, Dimas Pratama, Josep Banjarnahor, Kriselia

Tobing, Muhammad Iqbal, Kadzimi Sembiring, Bung Randy, Asril Gunawan,

Maichael Sinambela, Tria Noverisa, Nanda Mandry, Mira Yusuf, BMC 94 dan

Senior FH USU Serta untuk teman-teman angkatan 013 yang tidak mungkin

disebutkan satu persatu

iii
Universitas Sumatera Utara
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan.

Oleh karena itu penulis seraya minta maaf sekaligus sangat mengharapkan kritik

dan saran dari pembaca demi penyempurnaan dan kemanfaatannya

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada

semua pihak dan semoga kritik dan saran yang telah diberikan mendapatkan

balasan kebaikan berlipat dari Tuhan Yang Maha Esa dan semoga skripsi ini

bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum di Negara Republik Indonesia.

Medan, November 2018

Penulis,

Samudra Kevin P

iv
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................... 1

B. Perumusan Masalah ................................................................... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ................................................... 6

D. Keaslian Penulisan ..................................................................... 6

E. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 8

F. Metode Penelitian ....................................................................... 15

G. Sistematika Penulisan................................................................. 19

BAB II PENGATURAN HUKUM NASIONAL TERHADAP


PENENGELAMAN KAPAL ASING YANG
MELAKUKAN PENCURIAN IKAN DI WILAYAH
PERAIRAN INDONESIA

A. Wilayah Perairan Indonesia ...................................................... 21

B. Yurisdiksi Indonesia dalam Penenggelaman Kapal Asing


Pencuri Ikan berdasarkan UNCLOS 1982 ................................. 29

C. Pengaturan Hukum Nasional Terhadap Penengelaman


Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan
Di Wilayah Perairan Indonesia .................................................. 33

v
Universitas Sumatera Utara
BAB III DAMPAK PENENGGELAMAN KAPAL ASING YANG
MELAKUKAN PENCURIAN IKAN DI WILAYAH
PERAIRAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM INTERNASIONAL

A. Kebijakan Penenggelaman Kapal Asing Yang


Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia ...... 42

B. Dampak Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan


Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia Dalam
Perspektif Hukum Internasional ................................................. 51

C. Dampak Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan


Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia Dalam
Perspektif Hukum Nasional ....................................................... 54

BAB IV PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING


YANG MELAKUKAN PENCURIAN IKAN DI
WILAYAH PERAIRAN INDONESIA BERDASARKAN
UNCLOS 1982

A. Hak Negara Pantai Menurut UNCLOS 1982 ............................. 58

B. Penegakan hukum terhadap Kapal Asing Yang


Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan
Indonesia Berdasarkan Hukum Nasional .................................. 64

C. Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing Yang


Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan
Indonesia Berdasarkan Unclos 1982 .......................................... 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ............................................................................... 76

B. Saran........................................................................................... 77

DAFTAR PUSTAKA

vi
Universitas Sumatera Utara
BAB I

PENDAHULUAN

H. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk Republik. Sebagai

negara kesatuan merupakan suatu konsekuensi atas kondisi geografis Indonesia

dengan pulau-pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke dan memiliki

wilayah laut yang sangat luas, sekitar 2/3 (dua pertiga) wilayah Indonesia berupa

lautan. Dengan cakupan wilayah laut yang begitu luasnya, maka Indonesia pun

diakui secara Internasional sebagai negara kepulauan yang ditetapkan dalam

UNCLOS 1982 yang memberikan kewenangan dan memperluas wilayah laut

Indonesia dengan segala ketetapan yang mengikutinya.2

Laut yang sangat luas dan garis pantai yang panjang membuat Indonesia

menyimpan hasil laut yang berlimpah. Kekayaan laut NKRI sangat besar dan

beraneka ragam, baik berupa sumber daya alam terbarukan (seperti perikanan,

terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk farmasi

bioteknologi); sumber daya alam yang tak terbarukan (seperti minyak dan gas

bumi, emas, perak, timah, biji besi, bauksit dan mineral lainnya); energi kelautan

seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan Ocean Thermal Energy Conversion

(OTEC); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan

transportasi laut.3

2
Ayu Efritadew, Penenggelaman Kapal Illegal Fishing Di Wilayah Indonesia Dalam
Perspektif Hukum Internasional, Jurnal Selat, Volume. 4 Nomor. 2 Mei 2017, hlm 261.
3
Sri Puryono, Mengelola Laut Untuk Kesejahteraan Rakyat, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2016, hlm 5.

1
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan UNCLOS 1982 zona laut suatu negara dibagi menjadi zona

dimana negara memiliki kedaulatan penuh didalamnya dan zona dimana negara

hanya memiliki yurisdiksi yang terbatas dan hak berdaulat saja. Jika mengacu

pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan, Zona Maritim

dibagi menjadi Wilayah Perairan dan Wilayah Yurisdiksi. Wilayah perairan

meliputi Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan dan Laut Teritorial. Sedangkan

Wilayah Yurisdiksi meliputi Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

dan Landas Kontinen sedangkan pada Zona Tambahan negara hanya mempunyai

Yurisdiksi tertentu, pada ZEE dan Landas Kontinen hanya tempat berdaulat.

Dalam Zona dimana negara pantai mempunyai kedaulatan penuh negara dapat

menerapkan aturan hukum nasionalnya sama seperti yang ditetapkan diwilayah

daratnya kepada orang, benda, ataupun peristiwa yang terjadi di Zona tersebut.4

Praktek penangkapan ikan secara illegal merupakan tindak kriminal lintas

negara yang terorganisir dan telah menyebabkan kerusakan serius bagi Indonesia

dan negara-negara dikawasan lainnya. Selain merugikan secara ekonomi, sosial,

dan ekologi, praktik ini merupakan tindakan yang melemahkan kedaulatan

wilayah suatu bangsa.5

Kegiatan Illegal fishing yang paling sering terjadi di wilayah pengelolaan

perikanan Indonesia adalah pencurian ikan oleh kapal-kapal ikan asing (KIA)

yang berasal dari beberapa negara tetangga. Tindakan kapal nelayan asing yang

memasuki wilayah perairan Indonesia tanpa izin serta mengeksploitasi kekayaan

4
Ibid
5
Haryanto, Kebijakan Penenggelaman Kapal Asing Pelaku Illegal Fishing Oleh
Pemerintah Indonesia Dalam Persfektif Hukum Pidana Internasional, Jurnal Law Reform, Volume
13, Nomor 1, Tahun 2017, hlm 71

2
Universitas Sumatera Utara
alam di dalamnya adalah pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia. Berdasarkan

hasil pengawasan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa illegal fishing oleh

KIA sebagian besar terjadi di ZEE dan juga cukup banyak terjadi di perairan

kepulauan (archipelagic state). Salah satu upaya penanggulangan untuk

memberantas praktik illegal fishing, Presiden telah memerintahkan agar petugas

pengawas di lapangan untuk bertindak tegas, jika perlu dengan menenggelamkan

kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Tindakan tersebut

merupakan salah satu upaya negara untuk mengamankan kekayaan alam dan

lautIndonesia, yang merupakan amanat UUD 1945 sebagaimana dijabarkan dalam

Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.6

Maraknya kasus illegal fishing yang terjadi di wilayah Pengelolaan

Perikanan Republik Indonesia di ZEEI sangat merugikan bangsa Indonesia.

Berdasarkan data audit BPK 2012 menemukan potensi pendapatan Negara hilang

mencapai Rp.300 triliun/tahun akibat illegal fishing yang dilakukan oleh kapal-

kapal ikan berbendera asing dengan menggunakan peralatan-peralatan modern.

Illegal fishing merupakan masalah serius yang harus segera ditanggulangi, Untuk

itu, pemerintah menyatakan perang terhadap illegal fishing.7

Akibat pencurian ikan ini, negara ditaksir mengalami kerugian sebesar

Rp.101 triliun per tahunnya. Selain hilangnya daya saing nelayan Indonesia,

illegal fishing juga telah menimbulkan kerugian negara di antaranya tidak

tercatatnya ekspor dari hasil penangkapan ikan di teritorial Indonesia dan matinya

6
Ibid
7
Ketut Darmika, Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan Oleh Kapal Perang
Republik Indonesia (KRI) Dalam Perspektif Undang-Undang Ri Nomor 45 Tahun 2009 Tentang
Perikanan, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015hlm 486-487

3
Universitas Sumatera Utara
aktivitas di pelabuhan hingga pasar lelang karena praktik pemindahan muatan di

tengah laut (transhipment) selama ini.8

Maraknya pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal berbendera asing di

wilayah perairan Indonesia tentu sangat merugikan para nelayan yang nyatanya

didominasi oleh nelayan-nelayan skala kecil, menjadi kalah bersaing, dan

berpotensi mendesak mata pencaharian masyarakat nelayan kecil. Kerugian lain

yang tidak dapat dinilai secara materil namun sangat terkait dengan harga diri

bangsa, citra negatif bangsa Indonesia di kalangan dunia internasional karena

dianggap tidak mampu mengelola sumber daya kelautan dan perikanan dengan

baik.9

Undang-undang ini merupakan penyempurnaan dari Undang-undang No. 9

Tahun 1985 dan Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang

dipandang belum mampu sepenuhnya mengantisipasi perkembangan teknologi

dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber

daya ikan.10 Gatot Supramono berpendapat bahwa kelemahan undang-undang

tersebut meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu aspek menajemen pengelolaan, aspek

birokrasi, dan aspek hukum.11

Salah satu bentuk penegakan hukum di bidang perikanan yaitu

penenggelaman kapal berbendera asing yang melakukan tindak pidana perikanan

8
Teddy Nurcahyawan, Penegakan Hukum Dan Penenggelaman Kapal Asing (Studi
Kasus Tindak Pidana Pelaku Illegal Fishing), Era Hukum. Volume 2, No. 1, Juni 2017, hlm 344-
345
9
Ibid., hlm 345
10
Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2013,
hlm 40
11
Gatot Supramono, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pudana di Bidang Perikanan,
Jakarta, Rineka Cipta, 2011, hlm 8.

4
Universitas Sumatera Utara
di perairan Indonesia, Pasal 69 Ayat (4) UU Perikanan menyatakan bahwa dalam

melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau

pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran

dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan

bukti permulaan yang cukup. Pada penjelasan Pasal 69 Ayat (4) UU Perikanan

dinyatakan bahwa bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk

menduga adanya tindak pidana di bidang perikanan oleh kapal perikanan

berbendera asing. Misalnya kapal perikanan berbendera asing tidak memiliki

Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) maupun Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan

(SIKPI), serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan ketika

memasuki wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.12

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dilakukan

penelitian dengan judul Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing Yang

Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia Berdasarkan UNCLOS

1982.

I. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka permasalahan

yang dibahas dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimanakah pengaturan hukum nasional terhadap penengelaman kapal

asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia?

2. Apakah dampak penenggelaman kapal asing yang melakukan pencurian ikan

di wilayah perairan Indonesia dalam perspektif Hukum internasional?

12
Ibid

5
Universitas Sumatera Utara
3. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan

pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982?

J. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan utama

penulisan, yaitu:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum nasional terhadap penengelaman kapal

asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia.

2. Untuk mengetahui dampak penenggelaman kapal asing yang melakukan

pencurian ikan di wilayah perairan indonesia dalam perspektif Hukum

internasional.

3. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan

pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982.

2. Manfaat Penulisan

Di dalam penulisan ini sangat diharapkan adanya kegunaan karena nilai suatu

penulisan ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari penulisan.

Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penulisan ini antara lain:

1. Manfaat teoritis

1.Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi

pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum

internasional pada khususnya.

6
Universitas Sumatera Utara
2.Diharapkan hasil penulisan ini dapat digunakan sebagai referensi di

bidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penulisan sejenis dimasa

yang akan datang.

K. Keaslian Penulisan

Penulis telah melakukan penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara baik secara fisik maupun online terkait dengan judul

Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di

Wilayah Perairan Indonesia Berdasarkan UNCLOS 1982, tidak ditemukan namun

ada beberapa judul terkait dengan penenggelam kapal pencuri ikan di perairan

Indonesia, antara lain:

Belardo Prasetya Mega Jaya. Fakultas Hukum Universitas Lampung

(2016), dengan judul penelitian Tindakan Penegakan Hukum Terhadap Kapal

Asing Yang Melakukan Illega L Fishing Di Wilayah Pengelolaan Perikanan

Indonesia. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di

Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia sesuai dengan hukum

internasional dan hukum nasional.

2. Prosedur penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan llegal

fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

Jessie Asley. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan (2018),

dengan judul penelitian Tinjauan Yuridis Terhadap Kebijakan Penenggelaman

Kapal Asing Illegal Fishing Di Indonesia Oleh Kementerian Kelautan Dan

7
Universitas Sumatera Utara
Perikanan Dalam Perspektif Hukum Nasional Dan Internasional. Adapun

permasalahan dalam penelitian ini :

1. Pengaturan mengenai pencurian ikan (illegal fishing) oleh kapal asing dalam

perspektif hukum nasional.

2. Pengaturan mengenai pencurian ikan (illegal fishing) oleh kapal asing dalam

perspektif hukum internasional.

3. Tinjauan yuridis terhadap kebijakan penenggelaman kapal asing illegal fishing

oleh kementerian kelautan dan perikanan Indonesia sebagai bentuk dari

penegakan hukum dalam perspektif hukum nasional dan internasional.

Nurul Efridha. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2015),

dengan judul penelitian Pencurian Ikan (Illegal Fishing) Oleh Nelayan Asing Di

Wilayah Laut Indonesia Di Tinjau Dari Hukum Laut Internasional. Adapun

permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Yurisdiksi negara pantai diatas wilayah laut berdasarkan Ketentuan hukum

laut internasional.

2. Yurisdiksi negara Indonesia atas pencurian ikan oleh nelayan asing di wilayah

laut Indonesia.

3. Upaya Indonesia dalam menangani masalah pencurian ikan di wilayah laut

Indonesia.

Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini,

maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, dan

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun akademi.

8
Universitas Sumatera Utara
L. Tinjauan Pustaka

1. Kapal Asing

Pasal 1 angka 39 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang

Pelayaran, kapal asing adalah kapal yang berbendera selain bendera Indonesia dan

tidak dicatat dalam daftar kapal Indonesia.13 Berkaitan dengan hak lintas kapal

asing, banyak yang berpikiran bahwa kapal asing tidak boleh melintasi wilayah

perairan nasional, akan tetapi pada daratan berlaku kedaulatan penuh sedangkan di

kawasan laut berbeda. Kedaulatan penuh (sovereignty) wilayah perairan hanya

berada pada pada laut territorial (12 mil laut dari garis pangkal) sedangkan di luar

itu (zona tambahan, ZEE dan landas kontinen) berlaku hak berdaulat (sovereign

right) yaitu hak untuk mengelola dan memanfaatkan, bukan memiliki secara

penuh.

Hak dan kewajiban kapal asing pada alur laut kepulauan, berikut adalah

hak negara kepulauan menurut UNCLOS 1982, yaitu: Negara kepulauan berhak

menentukan alur laut kepulauannya untuk digunakan sebagai rute pelayaran,

Negara kepulauan berhak untuk menentukan traffic separation schemes untuk

keselamatan pelayaran dan negara kepulauan berhak untuk mengadopsi peraturan

Perundang-Undangan terkait dengan alur laut kepulauan. Adapun kewajiban dari

negara kepulauan, adalah: Negara kepulauan berkewajiban menyediakan jalur

pelayaran sebagai konsekuensi dari pembuatan peraturan mengenai hak lintas alur

laut kepulauan, Negara kepulauan berkewajiban untuk tidak menghalang halangi

lintas alur laut kepulauan, negara kepulauan berkewajiban mempublikasikan

13
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 1 angka 39

9
Universitas Sumatera Utara
setiap bahaya pelayaran dan penerbangan kepada semua kapal dan pesawat udara

yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan dan Negara kepulauan berkewajiban

untuk tidak menangguhkan lintas alur laut kepulauan.14

Ketentuan Pasal 53 dan 54 UNCLOS 1982, hak dan kewajiban bagi kapal-

kapal yang melakukan lintasan tunduk pada peraturan yang telah ditetapkan oleh

negara bersangkutan. Pokok utama dari pengaturan ini adalah bahwa semua kapal

dan pesawat udara dapat melakukan hak lintas alur laut kepulauan melalui alur-

alur laut dan rute penerbangan yang telah ditetapkan. Dengan demikian hak ini

juga dapat dinikmati oleh kapal-kapal perang maupun pesawat-pesawat udara

militer. Mengenai hal ini, ketentuan yang dapat di pakai adalah ketentuan-

ketentuan dari Pasal 39 dan 40. Mengenai kewajiban kapal yang terdapat dalam

Pasal 54 yang merujuk pada Pasal 39, 40, 42 dan 44 memberikan perincian

tentang rangkaian kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh kapal-kapal dan

pesawat udara, yang dibedakan antara lain:

a. Kewajiban-kewajiban yang berlaku umum baik bagi kapal-kapal maupun

pesawat udara;

b. Kewajiban-kewajiban yang berlaku bagi kapal-kapal; dan

c. Kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh pesawat udara15

Pada waktu melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan, setiap kapal

maupun pesawat udara diwajibkan untuk:

a. Lewat dengan cepat melalui atau diatas selat;

14
Nadya Khaeriyah Yusran, Tinjauan Hukum Terhadap Hak dan Kewajiban Kapal Asing
Melakukan Lintas Di Alur Laut Kepulauan Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Makassar, 2017, hlm 64
15
Ibid., hlm 66

10
Universitas Sumatera Utara
b. Menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun

terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara

yang berbatasan dengan selat, atau dengan cara lain apapun yang

melanggar asas-asas hukum internasional seperti tercantum dalam Piagam

PBB

c. Menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain dari transit secara terus-

menerus, langsung dan secepat mungkin dalam cara normal, kecuali

karena force majeur atau karena kesulitan;

d. Memenuhi ketentuan lain dari bagian ini yang relevan.

Khusus bagi kapal-kapal, pada waktu melakukan hak lintas alur laut

kepulauan, ketentuan-ketentuan dibawah ini harus dipatuhi, yaitu:

a. Memenuhi aturan hukum internasional yang diterima secara umum,

prosedur dan praktek tentang keselamatan di laut termasuk peraturan

internasional tentang pencegahan tubrukan di laut;

b. Memenuhi peraturan internasional yang diterima secara umum, prosedur

dan praktek tentang pencegahan, pengurangan dan pengendalian

pencemaran yang berasal dari kapal.16

2. Pencurian Ikan oleh kapal asing

Salah satu bentuk ancaman yang nyata terhadap pencurian kekayaan alam

Indonesia adalah tindak pidana pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal erikanan

berbendera asing. Pengoperasian kapal-kapal pencuri ikan asing ini jelas

melanggar hukum, terutama hukum pidana internasional karena kapal ikan illegal

16
Ibid.

11
Universitas Sumatera Utara
tersebut telah memasuki atau melanggar wilayah dan melakukan pelanggaran

hukum dari sebuah negara berdaulat tanpa memperdulikan aturan Hukumnya dan

kedaulatannya.17

Illegal fishing merupakan bagian dari isu Non Traditional Security atau

disingkat NTS (Keamanan Non Tradisional). Menurut pemikiran tradisionalis,

pemahaman mengenai keamanan hanya berkaitan dengan militer dan tidak

menerima adanya perluasan konsep keamanan. Prespektif tradisional menyatakan

bahwa kebijakan keamanan keamanan terdiri dari penggunaan pasukan

bersenjata- militer dan polisi- untuk membebaskan negara dan rakyat dari

berbagai ancaman. Dalam hal ini, keamanan selalu terkait dengan isu kedaulatan,

dan pertahanan teritori negara.18 Ancaman dalam kajian keamanan non tradisional

menirut Terrif, et al. memiliki empat karakteristik umum. Pertama, sebagian besar

dari masalah ini tidak bersifat state-centred, tetapi lebih berdasarkan kepada

faktor atau aktor non negara. Kedua, ancaman keamanan tidak memiliki satu

wilayah geografis tertentu. Ketiga, keamanan tersebut tidak diselesaikan hanya

dengan mengandalkan kebijakan keamanan tradisional. Keempat, sasaran

ancaman individu dan negara.19 Illegal fishing bukanlah ancaman berdimensi

penyerangan akan tetapi skalanya pada pelanggaran kedaulatan oleh non state

actor. Perlu diketahui NTS di masyarakat internasional cenderung sangat

17
Haryanto., Op.Cit., hlm 78
18
Sezer Ozcan, “Securitization Of Energy Through The Lenses Of Copenhagen School”,
Orlando International Conference, West East Institute, Orlando, hal. 4. Diakses dari:
http://www.westeastinstitute.com/wp-content/uploads/2013/04/ORL13-155-Sezer-Ozcan-Full-
Paper.pdf, pada tanggal 31 Oktober 2017
19
Metrini Geopani, “Analisi kebijakan pengelolaan 12 pulau kecil tertular indonesia
(ditinjau dari proses sekuritisasi dan lingkungan hidup)”, 2008, Tesis Universitas Indonesia
Program Studi Kajian Ilmu Lingkungan, hal 9. diakses dari:
http://lib.ui.ac.id/detail.jsp?id=120836&lokasi=lokal#horizontalTab2, pada tanggal 31 Oktober
2018

12
Universitas Sumatera Utara
menekankan keamanan manusia. "Manusia" di sini tidak hanya mengacu pada

manusia pada umumnya, tetapi juga mencakup individu.

Illegal fishing adalah dalam definisi internasional, kejahatan perikanan

tidak hanya pencurian ikan (illegal fishing), namun juga penangkapan ikan yang

tidak dilaporkan (unreported fishing), dan penangkapan ikan yang tidak diatur

(unregulated fishing). Negara yang belum melaporkan status perikananannya

dengan jelas, bisa dikategorikan telah melakukan kejahatan. Tindakan yang tepat

dilakukan sekarang ini adalah melaporkan sesuai data yang akurat sehingga dunia

internasional dapat membantu Indonesia melalui tindakan yang tepat.

3. Perairan Indonesia Berdasarkan UNCLOS 1982.

Republik Indonesia telah memproklamasikan zona ekonomi eksklusif

Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980 melalui suatu Pengumuman Pemerintah,

tanpa menunggu terbentuknya konvensi secara resmi. Tindakan ini membawa

konsekuensi hukum yaitu diperlukannya pengaturan yang dapat melindungi

kepentingan nasional Indonesia sendiri. Kemudian Pengumuman Pemerintah ini

diikuti dengan pembentukan undang-undang yang mengatur Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona

Ekonomi Eksklusif Indonesia. 20

Laut territorial laut yang luas dan kaya akan jenis-jenis maupun potensi

perikanannya, dimana potensi di bidang penangkapan mencapai 6,4 juta ton per

tahun, potensi perikanan umumnya sebesar 305.650 ton per tahun serta potensi

20
Ida Kurnia, Penerapan Unclos 1982 Dalam Ketentuan Perundang-Undangan Nasional,
Khususnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Jurnal Hukum Prioris, Volume 2, Nomor 1,
September 2008, hlm 45

13
Universitas Sumatera Utara
kelautan kurang dari 4 miliar USD/tahun.21 Dalam UNCLOS 1982 juga

ditentukan lebar Zona Ekonomi Eksklusif. Adapun lebar Zona Ekonomi

Eksklusif diatur dalam Pasal 57, yang berbunyi sebagai berikut : The exclusive

economic zone shall not extend beyond 200 nautical miles from the baselines

from which the breadth ofthe territorial sea is measured. Dengan terjemahan

sebagai berikut : Pasal 57 : zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil

laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur. 22

Di dalam peraturan perundang-undangan nasional seperti telah disebutkan

di atas bahwa ZEEI diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983. Yang

dimaksudkan dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah berbunyi sebagai

berikut : ZEEI adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia

sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang

perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya

dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut

wilayah Indonesia. Rumusan Pasal 2 yang mengandung batasan sekaligus lebar

serta perairan Indonesia, yang berarti bahwa wilayah mana yang termasuk ke

dalam kedaulatan negara Indonesia dan wilayah mana yang tidak termasuk ke

dalam kedaulatan negara Indonesia atau di wilayah mana negara Indonesia hanya

memiliki hak-hak berdaulat saja, yaitu suatu rezim di mana Indonesia memiliki

hak-hak berdaulat atas sumber daya alam hayati.23

21
Supriadi dan Alimuddin, Hukum Perikanan Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2011,
hlm. 2
22
Ida Kurnia., Op.Cit., hlm 46
23
Ibid.

14
Universitas Sumatera Utara
Dengan telah diratifikasinya konvensi PBB tentang UNCLOS 1982, yaitu

melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS

1982, maka Indonesia sebagai negara kepulauan harus mampu menampung

kepentingan internasional yang berkaitan dengan kedaulatan maupun hak

berdaulat. Hal ini mengakibatkan di laut disamping berlaku hukum nasional juga

berlaku hukum internasional. Kedua aturan ini, yaitu UNCLOS 1982 dan aturan

hukum nasional yang berkaitan dengan pengaturan zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia menunjukkan adanya persamaan persepsi dan justru dengan

diratifikasinya UNCLOS 1982 memperkuat penerapan hukum nasional dalam

lingkup internasional. 24

M. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder.25

2. Sifat penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk

memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-

gejala lainnya.26 Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data

yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.27

24
Ibid., hlm 47-48
25
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum Jakarta,Raja
Grafindo Persada, 2006, hlm. 118.
26
Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian hukum, Surakarta, Program
Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2010, hlm 20
27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2007, hlm. 10.

15
Universitas Sumatera Utara
3. Data penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang terbagi atas:

a. Bahan hukum primer yaitu berbagai bahan hukum yang bersifat mengikat

yang terdiri dari:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

3) Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF).

4) International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal,

Unreported, Unregulated Fishing 2001 (IPOA-IUU Fishing).

5) Statuta Mahkamah Internasional.

6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif

Indonesia.

8) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Tentang : Pengesahan

United Nations Convention On. The Law Of The Sea 1982 (UNCLOS

1982).

9) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

10) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

11) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tentara Nasional

Indonesia

12) Undang-Undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

13) Undang-Undang Nomorr 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

14) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

16
Universitas Sumatera Utara
15) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

16) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan.

17) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan.

18) Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen

Kelautan dan Perikanan.

19) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per/18/Men/2011

tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan Nomor Per.13/Men/2005 tentang Forum Koordinasi

Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan.

20) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.01/Men/2009

tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Peraturan

Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.16/Men/2010 tentang

Pemberian Kewenangan SIPI dan SIKPI Untuk Kapal Perikanan

Berukuran Di Atas 30 (Tiga Puluh) Gross Tonnage Sampai Dengan 60

(Enam Puluh) Gross Tonnage Kepada Gubernur.

21) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN-

KP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan.

22) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.50/Men/2012

tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan

Illegal, Unreported, And Unregulated Fishing (IUU Fishing) Tahun

2012-2016.

17
Universitas Sumatera Utara
23) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2005 tentang

Badan Koordinasi Keamanan Laut.

24) Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan

Laut

b. Bahan-bahan hukum sekunder, adalah juga seluruh informasi tentang

hukum yang berlaku atau yang pernah berlaku di suatu negeri. Namun,

berbeda dengan bahanbahan hukum primer, bahan-bahan hukum yang

sekunder ini, secara formal tidak dapat dikatakan sebagai hukum positif.28

Bahan-bahan hukum sekunder dapat membantu menganalisa, memahami,

dan menjelaskan bahan hukum primer, antara lain berupa; Buku-buku

literatur. Tulisan-tulisan ilmiah berupa jurnal, makalah, maupun artikel-

artikel ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini. Tulisan-tulisan ilmiah

berupa jurnal, skripsi, tesis, makalah, maupun artikel-artikel ilmiah yang

berkaitan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier yaitu berbagai bahan yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti Kamus Hukum,

Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, serta ensiklopedia.

4. Teknik pengumpulan data

Jenis data dalam penelitian ini meliputi data sekunder. Teknik

pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan

cara studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan (library research)

dilakukan untuk mengumpulkan data melalui pengkajian terhadap peraturan

28
Soetanyo Wignjosoebroto, Hukum, Konsep dan Metode, Malang, Setara Press, 2013,
hlm 68-69

18
Universitas Sumatera Utara
perundang-undangan, literatur, tulisan-tulisan para ahli hukum, putusan-putusan

hakim yang berkaitan dengan judul penelitian ini.

5. Analisis data

Penelitan ini merupakan penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif

yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan

permasalahan yang terjadi. Analisis yang digunakan adalah pendekatan kualitatif

terhadap data sekunder yang didapat. Bahan hukum yang dianalisis secara

kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan

menjelaskan hubungan antara berbagai jenis bahan hukum, selanjutnya semua

bahan hukum diseleksi dan diolah, kemudian dinyatakan secara deskriptif

sehingga menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, sehingga

memberikan jawaban terhadap permasalahan yang dimaksud. Dari hasil tersebut

kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan

ini.

N. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan dalam penulisan, dan pengembangan terhadap isi

skripsi ini, maka diperlukan kerangka penulisan yang sistematis. Sistematika

penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang diorganisirkan ke dalam bab demi

bab sebagai berikut

Bab I, Pendahuluan, bab ini merupakan awal latar belakang, perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka,

metode penelitian dan sistematika penulisan.

19
Universitas Sumatera Utara
Bab II, Pengaturan Hukum Nasional Terhadap Penengelaman Kapal

Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia, yang

berisikan Wilayah Perairan Indonesia. Yurisdiksi Indonesia dalam

Penenggelaman Kapal Asing Pencuri Ikan berdasarkan UNCLOS 1982.

Pengaturan Hukum Nasional Terhadap Penengelaman Kapal Asing Yang

Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia.

Bab III, Dampak Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan

Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia Dalam Perspektif Hukum

Internasional, bab ini berisikan Kebijakan Penenggelaman Kapal Asing Yang

Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia. Dampak

Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah

Perairan Indonesia Dalam Perspektif Hukum Internasional. Dampak

Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah

Perairan Indonesia Dalam Perspektif Hukum Nasional.

Bab IV, Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing Yang Melakukan

Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982, bab

ini berisikan Hak Negara Pantai Menurut UNCLOS 1982. Penegakan hukum

terhadap Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan

Indonesia Berdasarkan Hukum Nasional. Penegakan Hukum Terhadap Kapal

Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia

Berdasarkan Unclos 1982.

20
Universitas Sumatera Utara
Bab V, Kesimpulan dan Saran, merupakan bab terakhir dari isi skripsi ini.

Pada bagian ini, dikemukakan kesimpulan dan saran yang didapat sewaktu

mengerjakan skripsi ini mulai dari awal hingga pada akhirnya.

21
Universitas Sumatera Utara
BAB II
PENGATURAN HUKUM NASIONAL TERHADAP PENENGELAMAN
KAPAL ASING YANG MELAKUKAN PENCURIAN IKAN
DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA

D. Wilayah Perairan Indonesia

Konsepsi negara kepulauan diterima oleh masyarakat internasional dan

dimasukkan kedalam UNCLOS III Tahun 1982, utamanya pada Pasal 46. Dalam

pasal tersebut, disebutkan bahwa, “Negara Kepulauan” berarti suatu negara yang

seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau

lain. Sedangkan pengertian “kepulauan” berarti suatu gugusan pulau, termasuk

bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang

hubungannya satu sama lain demikian beratnya sehingga pulau-pulau, perairan

dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografis, ekonomi dan

politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.29

Perairan Indonesia yang meliputi laut territorial, perairan pedalaman,

perairan kepulauan laut, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen Indonesia,

baik permukaan lautnya, daerah perairannya, maupun derah dasar laut dan tanah

dibawahnya memiliki manfaat atau fungsi yang sangat besar. 30

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia,

menyatakan pada Pasal 3 ayat:

(1) Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan

kepulauan, dan perairan pedalaman.

29
Maskun .http://www.negarahukum.com/hukum/konsepsi-negara-epulauan.html,diakses
tanggal 28 Oktober 2018
30
Abdul Muthalib Tahar, Zona-zona Maritim Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982
dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia, Lampung, Universitas Lampung, 2011, hlm. 5-6.

Universitas Sumatera Utara


(2) Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang

diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5.

(3) Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang ter-letak pada sisi

dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa mem-perhatikan kedalaman atau

jaraknya dari pantai.

(4) Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi

darat dari garis air rendah dari pantaipantai Indo-nesia, termasuk ke dalamnya

semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis

penutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.31

Secara geografis sebagai negara Kepulauan, Negara Republik Indonesia

terletak di sekitar khatulistiwa antara 94°45' BT-141°01' BT dan dari 06° 08' LU-

11°05' LS, sedangkan secara spasial, wilayah teritorial Indonesia membentang

dari barat ke timur sepanjang 5.110 km dan dari utara ke selatan 1.888 km². 65%

dari seluruh wilayah Indonesia ditutupi oleh laut dengan luas total perairan laut

Indonesia mencapai 5,8 juta km2 , terdiri dari 3,1 juta km² wilayah laut kedaulatan

(0,3 juta KM2 Perairan Teritorial, dan 2,8 juta km2 Perairan Nusantara) dan 2,7

km² laut ZEE berdasarkan UNCLOS 1982. Oleh sebab itu keberadaan suatu

lembaga yang menjalankan fungsi Keamanan dan Keselamatan di wilayah laut

Indonesia adalah hal yang mutlak demi tegaknya Kedaulatan dan Hukum serta

31
Lusy K. F. R. Gerungan, Penegakan Hukum Di Wilayah Perairan Indonesia Lex et
Societatis, Vol. IV/No. 5/Mei/2016, hlm 7

22
Universitas Sumatera Utara
terpeliharanya segala aspek kelautan dan pemanfaatannya demi kepentingan

nasional.32

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan

Indonesia telah memperkuat kedudukan dan landasan hukum yang mengatur

wilayah perairan Indonesia, kedaulatan, yurisdiksi, hak dan kewajiban serta

kegiatan di perairan Indonesia dalam rangka pembangunan nasional berdasarkan

Wawasan Nusantara.11 Berdasarkan data yang dimiliki terdapat 17.508 pulau dan

yang telah terinventarisir sejumlah 7. 353 pulau yang bernama dan 10.155 pulau

yang belum bernama yang tersebar di seluruh NKRI. Dari antara 7.353 pulau yang

bernama tersebut, terdapat 67 pulau yang berbatasan langsung dengan negara

tetangga dan 10 di antaranya perlu mendapat perhatian khusus, karena terletak di

perbatasan terluar yang langsung berbatasan dengan negara tetangga.33

Pengaturan dalam Bab IV UNCLOS 1982 dimulai dengan penggunaan

istilah negara kepulauan (archipelagic state). Pada pasal 46 butir (a) disebutkan

bahwa, “Negara Kepulauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu

atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain”. Maksud dari Pasal

46 butir (a) tersebut adalah, secara yuridis, pengertian negara kepulauan akan

berbeda artinya dengan definisi negara yang secara geografis wilayahnya

berbentuk kepulauan. Hal ini dikarenakan, dalam Pasal 46 butir (b) disebutkan

bahwa kepulauan adalah suatu gugusan pulau-pulau, termasuk bagian pulau,

perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama

lain demikian erat sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu

32
Ibid
33
Ibid

23
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki atau yang

secara historis dianggap sebagai demikian. Dengan kata lain, Pasal 46 ini

membedakan pengertian yuridis antara negara kepulauan (archipelagic state)

dengan kepulauan (archipelago) itu sendiri.34

Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983

tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia , dimana tentang Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia ini merupakan realisasi juridis perluasan wilayah laut,

terutama yang menyangkut keadaan ekonomi dalam pengeloloahan , pengawasan

dan pelestarianya. Sehingga upaya untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa

dengan cara memanfaatkan sumber daya alam laut dapat dilaksanakan dengan

sebaik-baiknya.35

Perairan nusantara (archipelagic waters) adalah perairan yang berada di

antara pulaupulau dengan batas luarnya adalah garis pangkal kepulauan (Pasal 49

UNCLOS 1982). Indonesia mempunyai kedaulatan penuh atas wilayah laut, dasar

laut dan subsoil, serta udara di atasnya berikut sumber daya alam yang terkandung

di dalamnya dengan kewajiban untuk menjamin terselenggaranya hak lintas damai

(Pasal 52 UNCLOS 1982) dan hak lintas pada alur-alur laut kepulauan Indonesia

(Pasal 53 UNCLOS 1982), serta menghormati hak-hak penangkapan ikan

tradisional, hak-hak yang terbit dari perjanjian-perjanjian yang telah ada dan hak-

hak atas kabel dan pipa dasar laut yang telah ada (Pasal 51 UNCLOS 1982).36

34
Abdul Muthalib Tahar., Loc.Cit
35
P. Joko Subagyo , Hukum Laut Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta , 2005, hlm 63
36
Tommy Hendra Purwaka, Tinjauan Hukum Laut Terhadap Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia Mimbar Hukum Volume 26, Nomor 3, Oktober 2014, hlm 360

24
Universitas Sumatera Utara
Kawasan laut Indonesia sangat luas, mencapai 3.273.810 km2, anugerah ini

sangat menguntungkan bagi Indonesia, sebab di wilayah laut Indonesia

terkandung berbagai macam sumber daya kelautan, mulai dari berbagai macam

jenis ikan seperti pelagis besar, pelagis kecil, demersal dan udang hingga terumbu

karang berkembang biak dengan baik di perairan Indonesia sebagai tempat tinggal

ikan yang dimiliki Indonesia sekitar 574 spesies jenis karang dari 605 total jenis

terumbu karang yang diketahui dunia.37

Laut teritorial (territorial sea) adalah perairan selebar 12 mil laut diukur

dari garis pangkal kepulauan dimana Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas

wilayah laut, dasar laut, subsoil, dan udara di atasnya berikut sumber daya alam

yang terkandung di dalamnya. Indonesia mempunyai kewajiban untuk menjamin

terselenggaranya hak lintas damai baik melalui alur-alur kepulauan maupun alur-

alur tradisional untuk pelayaran internasional (Pasal 49, 52 dan 53 UNCLOS

1982). Zona tambahan (contiguous zone): Pasal 48 UNCLOS 1982 memberi

peluang kepada negara kepulauan untuk mendeklarasikan zona tambahan selebar

24 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan atau 12 mil laut diukur dari batas

luar laut teritorial, namun demikian Indonesia belum memanfaatkan peluang

tersebut.38

Zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone) adalah perairan laut

selebar 200 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan atau 188 mil laut diukur

dari batas luar laut teritorial (Pasal 55 jo. Pasal 57 UNCLOS 1982). Indonesia

mempunyai hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi,


37
Ni Wayan Purnama Sari. “Metode Baru Sebagai Usaha Untuk Merehabilitasi Terumbu
Karang di Indonesia Secara Cepat”, Majalah Ilmiah Oseana, No. 1, vol. XL, (2015), hlm. 27.
38
Tommy Hendra Purwaka., Loc.Cit.

25
Universitas Sumatera Utara
konservasi, dan pengelolaan sumber daya alam, baik hayati maupun non hayati,

yang terkandung di perairan, dasar laut, dan subsoil, pendirian bangunan laut,

penelitian ilmiah kelautan, dan perlindungan lingkungan laut (Pasal 56 UNCLOS

1982). Perairan ZEE berstatus laut lepas, demikian juga status udara diatasnya. Di

wilayah tersebut berlaku kebebasan bagi pelayaran dan penerbangan. Ketentuan-

ketentuan hukum mengenai ZEE diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1980 tentang

ZEE Indonesia dan Bab V UNCLOS 1982. Landas kontinen (continental shelf)

adalah wilayah dasar laut termasuk subsoil yang merupakan kelanjutan alamiah

dari daratan pulau-pulau Indonesia. Bila kelanjutan alamiah tersebut bersifat

landai, maka batas terluar landas kontinen ditandai dengan adanya continental

slope. Bila kelanjutan alamiah bersifat curam secara mendadak tidak jauh dari

letak garis pangkal kepulauan, maka batas terluar landas kontinen berimpit dengan

batas luar ZEE, yaitu 200 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan. Ketentuan

hukum landas kontinen tersebut diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1973 tentang

Landas Kontinen Indonesia dan Bab VI UNCLOS 1982.39

Berdasarkan UNCLOS 1982 zona laut suatu negara dapat dibagi menjadi

zona yang di mana negara memiliki kedaulatan penuh di dalamnya dan zona di

mana negara hanya memiliki yurisdiksi yang terbatas dan hak berdaulat saja. Zona

maritim di mana negara pantai mempunyai kedaulatan penuh adalah perairan

pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters), dan laut

teritorial (territorial sea). Dengan demikian batas terluar dari zona laut di mana

suatu negara mempunyai kedaulatan penuh adalah batas terluar dari laut

39
Ibid

26
Universitas Sumatera Utara
teritorialnya yakni berdasarkan UNCLOS 1982 tidak boleh melebihi 12 mil laut

diukurdari garis pangkalnya. Sedangkan zona maritim di mana negara pantai

mempunyai yurisdiksi yang terbatas adalah zona tambahan (contiguous zone),

zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landasan kontinen (continental shelf). Di luar

dari zona-zona ini, yakni di laut lepas (high seas) dan kawasan dasar laut

internasional (international sea bed area) tidak ada satu negara pun yang dapat

mengklain kedaulatan ataupun yurisdiksi di atasnya.40

Negara lain memang masih bisa menikmati hak lintas damai melalui laut

teritorial, perairan pedalaman, ataupun perairan kepulauan dari suatu negara

namun itu harus dilakukan dengan seizin dari negara pantai dan tunduk pada

aturan hukum nasional negara pantai tersebut dan UNCLOS 1982. Hal yang

berbeda terjadi di ZEE dan Zona tambahan di mana yuridiksi suatu negara

terbatas karena dalam UNCLOS 1982, negara pantai hanya diakui memiliki hak

berdaulat dan yurisdiksi terbatas sesuai yang telah ditetapkan dalam UNCLOS

1982. Dalam ZEE negara mempunyai hak berdaulat dan yurisdiksi mengenai

eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, baik hayati maupun non-hayati, atau

kegiatan lain yang berkaitan dengan eksploitasi ZEE seperti pemanfaatan arus air

dan angin untuk menghasilkan energi, serta mencakup kegiatan pemakaian dan

pembuatan pulau buatan, instalasi dan bangunan, atau kegiatan riset ilmiah

kelautan, dan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Dalam zona tambahan

negara pantai dapat mengklaim melalui peraturan perundang-undanganya

40
Gerald Alditya Bunga, Pembentukan Undang Undang Tentang Zona Tambahan
Sebagai Langkah Perlindungan Wilayah Laut Indonesia, Jurnal Selat, Mei VOl. 2 No. 2 Edisi 4,
2014, hlm 263

27
Universitas Sumatera Utara
yurisdiksi legislatif dan yurisdiksi penegakan hukum di wilayah tersebut.

Yurisdiksi legislatif merupakan yurisdiksi suatu negara untuk membuat atau

menetapkan suatu peraturan perundang-undangan mengenai suatu obyek atau

perma-salahan yang belum terdapat aturan yang mengatur mengenainya dalam

hukum nasionalnya.41

Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan

kepulauan, dan perairan pedalaman.42 Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut

selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan

Indonesia,43 Sedangkan Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan

yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan

kedalaman atau jaraknya dari pantai.44 Adapun perairan Pedalaman Indonesia

adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari

pantai-pantai Indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang

terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7.45

Ketentuan Pasal 7 ini menentukan bahwa di dalam perairan kepulauan,

untuk penetapan batas perairan pedalaman, Pemerintah Indonesia dapat menarik

garis-garis penutup pada mulut sungai, kuala, teluk, anak laut, dan pelabuhan.46Di

mana perairan pedalaman terdiri atas : (a) laut pedalaman, yaitu bagian laut yang

terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dari garis air rendah; dan

41
Ibid., hlm 264
42
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Pasal 3 ayat (1)
43
Ibid, ayat (2)
44
Ibid, ayat (3)
45
Ibid, ayat (4)
46
Ibid, Pasal 7 ayat (1

28
Universitas Sumatera Utara
(b) perairan darat, yaitu segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air

rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang

terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.47

E. Yurisdiksi Indonesia dalam Penenggelaman Kapal Asing Pencuri Ikan

berdasarkan UNCLOS 1982

Pasal 94 Konvensi Hukum Laut 1982 (Duties of the flag State) yang

berbunyi : Every State shall effectively exercise its jurisdiction and control in

administrative, technical and social matters over ships flying its flag, yang berarti

adalah bahwa bahwa setiap negara harus melaksanakan secara efektif

jurisdiksinya dan mengendalikannya di bidang administratif, teknis, dan sosial di

atas kapal yang mengibarkan benderanya. Di laut lepas, kapal perang dan kapal

untuk dinas pemerintah memiliki kekebalan penuh terhadap jurisdiksi negara

mana pun kecuali negara benderanya sebagaimana diatur oleh Pasal 95-96

Konvensi.48

Kedaulatan merupakan sebagai kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh

suatu negara dalam batas wilayahnya, yang meliputi wilayah darat, laut, dan

udara. Kedaulatan Negara dibatasi oleh wilayah negara itu dan berlaku dalam

batas-batas wilayahnya. Negara dikatakan sebagai subjek hukum internasional

47
Ibid, Pasal 7 ayat (2,3, dan 4)
48
Abdul Alim Salam, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut
Internasional (unclos 1982) di Indonesia, Jakarta, Departemen Kelautan dan Perikanan
Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia Tahun Anggaran 2008, hlm 46-47

29
Universitas Sumatera Utara
apabila memiliki batas-batas wilayah tertentu sebagai satu kesatuan geografis

disertai dengan kedaulatan dan yurisdiksinya. 49

UNCLOS dijadikan acuan dalam pembentukan Undang-Undang Nomor

45 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang

Perikanan Dalam Pasal 69 ayat (4) undang-undang tersebut disebutkan bahwa:

“...penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus

berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera

asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.” Ketentuan ini memungkinkan

penerapan sanksi pidana berupa penenggelaman kapal asing yang beroperasi di

wilayah perairan Indonesia dengan “bukti permulaan yang cukup” melanggar

peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Yurisdiksi Indonesia

melakukan penenggelaman kapal asing illegal fishing di teritorial perairan

Indonesia dibutuhkan guna meminimalisir illegal fishing secara besarbesaran,

mengurangi dampak kerugian yang ditimbulkan baik itu dalam menjaga ekosistem

laut Indonesia dan peluang bagi nelayan Indonesia dalam memanfaatkan ikan-ikan

untuk memajukan perekonomian negara, serta dapat menimbulkan efek jera bagi

pelaku kepentingan yang tidak bertanggung jawab. Jika ditinjau dari UNCLOS,

Negara lain harus mentaati peraturan perundang-undangan yang dibuat negara

pantai sepanjang itu tidak bertentangan dengan konvensi dan Hukum

Internasional.50

49
Kadek Rina Purnamasari, Yurisdiksi Indonesia Dalam Penerapan Kebijakan
Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan Illegal Fishing Berdasarkan United Nations
Convention On The Law Of The Sea, Artikel Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2017, hlm 4
50
Ibid., hlm 4-5

30
Universitas Sumatera Utara
Sebagai konsekuensi dari penarikan garis pangkal kepulauan, timbul

persoalan mengenai perairan laut yang terletak pada sisi dalamnya. Pasal 49

UNCLOS ayat (1) dan (2) menyatakan kedaulatan suatu negara kepulauan

meliputi perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan yang ditarik sesuai

dengan ketentuan Pasal 47 UNCLOS 1982, disebut sebagai perairan kepulauan,

tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai, Kedaulatan ini

meliputi ruang udara diatas perairan kepulauan , juga dasar laut dan tanah

dibawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Dengan kata

lain, perairan kepulauan merupakan perairan yang berada atau terletak pada sisi

dalam dari garis pangkal kepulauan. Pasal 50 UNCLOS mengatur tentang

penetapan batas perairan pedalaman. Ditegaskan bahwa di dalam perairan

kepulaunnya , negarakepulauan dapat menarik garis-garis penutup (closing lines)

untuk tujuan penetapan batas-batas perairan pedalaman.51

Pengaturan tentang kedaulatan dan yurisdiksi negara dilaut secara

komprehensif mulai dilakukan oleh empat Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1958

yang mengatur tentang laut teritorial dan zona tambahan, perikanan dan

konservasi sumberdaya hayati dilaut lepas, landas kontinen dan laut lepas. Sampai

dengan sekitar tahun 1970-an keempat Konvensi tersebut masih dianggap cukup

memadai untuk mengatur segala kegiatan manusia dilaut. Tuntutan untuk

melakukan peninjauan kembali terhadap Konvensi-konvensi tersebut muncul

seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi penambangan didasar

laut, dan menurunnya persediaan sumberdaya hayati dilaut. Di samping itu,

51
I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional Dan Hukum Laut Indonesia, Bandung,
Yrma Widya, 2014,hlm 136

31
Universitas Sumatera Utara
pesatnya teknologi perkapalan juga merupakan salah satu faktor penting yang

menyebabkan Konvensi-konvensi itu dianggap sudah tidak memadai lagi.52

Salah satu ketentuan baru yang dihasilkan oleh Konfrensi Hukum Laut

Ketiga adalah pengakuan masyarakat internasional tentang pengaturan khusus

bagi selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Diluar laut teritorialnya,

dalam suatu jalur/zona yang berbatasan dengannya yang disebut jalur/zona

tambahan, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk

mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangannya dibidang bea cukai,

fiskal, imigrasi, dan saniter.53

Di dalam UNCLOS 1982 disebutkan hak dan yurisdiksi negara pantai di

ZEE meliputi: (1) eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan (hayati-non

hayati); (2) membuat dan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan; (3)

pembangunan pulau buatan dan instalasi permanen lainnya; (4) mengadakan

penelitian ilmiah kelautan; dan (5) perlindungan lingkungan laut. Sedangkan

kewajiban negara pantai ZEE meliputi: (1) menghormati eksistensi hak dan

kewajiban negara lain atas wilayah ZEE; (2) menentukan maximum allowable

catch untuk sumber daya hayati dalam hal ini perikanan; dan (3) dalam hal negara

pantai tidak mampu memanen keseluruhan allowable catch, memberikan akses

kepada negara lain atas surplus allowable catch melalui perjanjian sebelumnya

52
Muchtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasiona, Bandung, Alumni, 2003,
hlm 170.
53
Ibid. hlm 174 & 175.

32
Universitas Sumatera Utara
untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan terutama sumber daya

perikanan dengan tujuan konservasi.54

Berkenaan dengan yurisdiksi dalam penegakan hukum atas wilayah

teritorial dikenal adanya dua asas yaitu asas teritorial subyektif dan asas teritorial

obyektif. Dalam asas teritorial subyektif negara-negara menjalankan yurisdiksi

agar dapat menuntut dan menghukum kejahatan-kejahatan yang dimulai dalam

wilayah mereka, tetapi diselesaikan di wilayah negara lain. Asas ini didasarkan

pada Genewa Convention for the Suppression of Counterfeiting Currency (1929)

dan Genewa Convention for the Suppression of the Illicit Drug Traffic (1936).

Sedangkan pada asas teritorial obyektif, beberapa negara melaksanakan yurisdiksi

teritorial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dimulai di negara lain.55

F. Pengaturan Hukum Nasional Terhadap Penengelaman Kapal Asing Yang

Melakukan Pencurian Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia

Perairan Kepulauan adalah zona maritim yang tidak dimiliki oleh semua

negara pantai, namun hanya dimiliki oleh negara-negara pantai yang dapat

digolongkan sebagai negara kepulauan. Pasal 49 UNCLOS 1982 menyatakan

bahwa yang dimaksud dengan Perairan Kepulauan adalah perairan yang

dilingkupi oleh Garis Pangkal Kepulauan (archipelagic base line) tanpa

memperhatikan kedalaman dan jaraknya dari garis pantai.56 Sebuah negara yang

dikategorikan sebagai negara kepulauan memiliki kedaulatan penuh di dalam

wilayah perairan kepulauannya, ruang udara diatasnya, dalam dasar laut di

54
Usmawadi Amir, Penegakan Hukum Iuu Fishing Menurut Unclos 1982, (Studi Kasus:
Volga Case) Jurnal Opinio Juris, Vol. 12 Januari-April 2013, hlm 72-73
55
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, Aksara Persada Indonesia, 2009.
56
Pasal 49 UNCLOS 1982

33
Universitas Sumatera Utara
bawahnya, di bawah tanah dan juga atas kekayaan yang terkandung di

dalamnya.57

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia,

wilayah perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan,

dan perairan pedalaman. Wilayah perairan tersebut menjadi wilayah yang berada

di bawah Kedaulatan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam

Pasal 4. Oleh karena itu Indonesia mempunyai wewenang penuh terhadap wilayah

tersebut dan dapat menetapkan hukum dalam wilayah kedaulatannya.58

Lebih lanjut, jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014

tentang Kelautan, Zona Maritim dibagi menjadi Wilayah Perairan dan Wilayah

Yurisdiksi. Wilayah perairan meliputi Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan

dan Laut Teritorial. Sedangkan Wilayah Yurisdiksi meliputi Zona Tambahan,

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen sedangkan pada Zona

Tambahan negara hanya mempunyai Yurisdiksi tertentu, pada ZEE dan Landas

Kontinen hanya tempat berdaulat. Dalam Zona dimana negara pantai mempunyai

kedaulatan penuh negara dapat menerapkan aturan hukum nasionalnya sama

seperti yang ditetapkan diwilayah daratnya kepada orang, benda, ataupun

peristiwa yang terjadi di Zona tersebut. Mengacu pada pasal 5 ayat (3) Undang-

Undang 32 tahun 2014 tentang kelautan yaitu kedaulatan Indonesia sebagaimana

pada ayat (2) tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan, konvensi

57
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional,
Yogyakarta, Graha Ilmu, 2011, hlm 30
58
Budiyono, Pembatasan Kedaulatan Negara Kepulauan Atas Wilayah Laut, Bandar
Lampung,Justice Publisher, 2014, hlm 84

34
Universitas Sumatera Utara
perserikatan bangsa-bangsa tentang hukum laut tahun 1982 dan hukum

internasional terkait lainnya.

Keberadaan sumber daya Ikan yang terkandung di dalam laut teritorial

Indonesia sangat banyak, baik dari segi kualitasnya maupun beraneka ragam

jenisnya dapat di kelola dan dimanfaatkan untuk kemasyarakatan bangsa dan

negara, khususnya masyarakat secara keseluruhan. dalam Undang-Undang Nomor

31 Tahun 2004 yang sekarang menjadi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009

telah di tegaskan bahwa laut territorial yang berada di bawah kedaulatan dan

yuridiksi negara kesatuan Republik Indonesia dan zona ekonomi eksklusif

Indonesia serta laut lepas berdasarkan ketentuan internasional, mengandung

sumber daya Ikan dan lahan pembudidaya Ikan yang potensial, merupakan berkah

dari Tuhan Yang Maha Esa.59

Pencurian kekayaan laut dalam bentuk ikan, banyak dilakukan oleh

nelayan asing. Penangkapan ikan tanpa izin, banyak dilakukan di perairan laut

Indonesia dengan peralatan lengkap umumnya mereka mempergunakan pukat

harimau. Modus operasinya bermacam-macam antara lain dengan mempekerjakan

nelayan lokal maupun memakai kapal asing berbendera Merah dan Putih (bendera

Republik Indonesia), namun mereka tidak memiliki izin untuk menangkap ikap di

perairan laut wilayah Indonesia. Pencurian ikan semacam ini cukup merugikan

negara. Pernah tertangkap nelayan asing telah berhasil menangkap ikan sebanyak

20 ton. Seperti diberitakan, kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia

mencapai 1000 kapal per hari. Perairan yang rawan pencurian, antara lain, laut

59
Supriadi dan Alimuddin, Op.Cit., hlm 5

35
Universitas Sumatera Utara
Natuna yang berbatasan dengan laut Cina Selatan, perairan Sulawesi Utara yang

berbatasan dengan Samudra Pasifik dan Laut Arafura. Pencurian ikan oleh kapal-

kapal asing dilakukan secara terang-terangan, menggunakan alat tangkap pukat

harimau (trawl) yang menangkap mulai dari benih hingga ikan besar. Kerugian

Indonesia akibat pencurian ikan setiap tahun sekitar Rp. 30 triliun.60

UNCLOS 1982, hak Indonesia atas perairan dan lautnya dibagi menjadi 2

kategori besar. Pertama adalah Perairan Kedaulatan Indonesia (sovereignty) yang

terdiri atas Perairan Pedalaman (sungai, teluk, pelabuhan dll), Perairan Kepulauan

(Selat dan Laut antara pulau-pulau di Indonesia yang berada di dalam Garis

Pangkal) dan Laut Teritorial (12 Nm dari Garis Pangkal). Pada Perairan

Kedaulatan ini, hak negara pantai (Indonesia) adalah berdaulat penuh atas air,

wilayah udara di atasnya, dasar laut dan bawah laut. Penggolongan kedua adalah

Hak Berdaulat (sovereign right) atas kekayaan alam. Yang termasuk dalam

penggolongan ini adalah ZEE dan Landas Kontinen (12 sd 200 Nm dari Garis

Pangkal) dan Landas Kontinen Tambahan (extended continental shelf sejauh

maksimal 350 Nm atau 100 Nm di luar Isobar 2.500 m dan harus dibuktikan

secara ilmiah dan submit ke the Commission on the Limits of the Continental Shelf

- CLCS).61

Aturan mengenai prosedur penegakan hukum atas pelaku IUU Fishing di

Laut Pedalaman, Perairan Kepulauan dan Laut Teritorial tidak dibahas secara

khusus dalam UNCLOS 1982. Akan tetapi apabila kita kaji bahwa hak negara lain

60
Sukandarrumidi, Mari Kembali Ke Laut (Mengenal Potensi Bahari Yang Tak Habis
Terkuras) Dengan Studi Kasus, Yogyakarta, Yayasan Pustaka Nusatama, 2009, hlm. 172.
61
Dedi Gunawan Widyatmoko, https://news.detik.com/kolom/d-3818937/
penenggelaman-kapal-asing-dalam-konvensi-hukum-laut-1982/diakses tanggal 29 Oktober 2018

36
Universitas Sumatera Utara
atas perairan-perairan tersebut hanyalah Hak Lintas (Lintas Damai untuk Laut

Teritorial dan Lintas ALKI untuk Perairan Kepulauan), maka setiap pelanggaran

atas ketentuan hak lintas tersebut merupakan hak negara pantai (Indonesia) untuk

menegakkanya sesuai peraturan perundang-undangan. Salah satu tindakan yang

melanggar Hak Lintas Damai kapal-kapal negara lain adalah seluruh aktivitas

menangkap ikan (UCLOS 1982 Pasal 19 ayat 2(i)). Sudah menjadi hak dan

kewajiban negara pantai (Indonesia) untuk menjaga kedaulatan wilayahnya pada

perairan-perairan tersebut dengan menerapkan hukum domestik atas pelanggaran

Lintas Damai oleh kapal asing. Aktivitas IUU Fishing oleh kapal asing pada

perairan-perairan tersebut adalah pelanggaran Kedaulatan Indonesia sebagaimana

latihan perang, aktivitas yang menyebabkan polusi, melaksanakan riset,

propaganda dan spionase dan aktivitas-aktivitas sejenisnya. 62

Penegakan hukum oleh negara pantai atas ZEE diatur dalam Pasal 73

UNCLOS 1982 ayat 1 dalam Pasal 73 tersebut menyatakan bahwa negara pantai

bisa untuk mengambil tindakan-tindakan dalam melindungi hak-haknya di ZEE

seperti menghentikan, memeriksa, dan menangkap kapal asing yang terbukti

melakukan IUU Fishing. Ayat (2) menyebutkan bahwa kapal dan ABK-nya harus

segera dilepas setelah memberikan jaminan yang cukup. Pada ayat 3 menjelaskan

bahwa hukuman bagi pelanggaran UU Perikanan di ZEE tidak termasuk hukuman

penjara. Ayat 4-nya menjelaskan bahwa dalam hal penangkapan kapal asing di

ZEE, negara pantai harus dengan cepat memberitahu negara asal (flag state)

sesuai jalur termasuk dalam hal hukuman yang diberikan.

62
Ibid

37
Universitas Sumatera Utara
Pasal 73 UNCLOS ini tidak secara detail membahas tentang boleh atau

tidaknya menenggelamkan kapal pelaku IUU Fishing. Akan tetapi apabila kita

lihat keseluruhan ayat 1 sampai 4, sangat jelas adanya hak negara bendera (Flag

State) untuk mendapatkan pemberitahuan (notification) atas perlakuan terhadap

kapal-kapal ikannya yang diperiksa, ditangkap, dan diproses hukum oleh negara

pantai (Indonesia) di ZEE Indonesia. 63

Untuk ZEE, UNCLOS memberi guidance untuk memberi notifikasi

negara asal kapal pelaku IUU Fishing atas tindakan-tindakan hukum negara pantai

(Indonesia). Menteri KKP dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa

pihaknya sudah sering berkomunikasi dengan duta besar negara-negara asal kapal

yang ditenggelamkan dan tidak ada protes dari pihak mereka. Ada kemungkinan

mereka menyadari kesalahan kapal-kapalnya atau justru kapal tersebut bukan

benar-benar berada di bawah administrasi negara tersebut (stateless ships).

Undang-Undang ini mengatur bahwa setiap orang yang melakukan usaha

perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan,

dan pemasaran ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dan di

ZEEI wajib memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan

Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).64Pada kenyataannya

kapal-kapal asing banyak yang tidak memenuhi syarat tersebut, dalam hal ini

63
Ibid
64
Pasal 26, 27, 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

38
Universitas Sumatera Utara
tidak memiliki kelengkapan surat-surat tersebut. Bahkan ada juga yang memiliki

surat-surat yang ternyata merupakan surat palsu.65

Tindakan khusus penenggelaman kapal asing oleh Indonesia sebenarnya

bukanlah hal yang baru karena aturan mengenai tindakan tersebut telah tercantum

sejak tahun 2009 pada UU No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 69 ayat 4

UU tersebut menyatakan bahwa: penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat

melakukan tindalan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal

perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Undang-Undang Perikanan selain berisi hukum pidana materil yang berisi

petunjuk dan uraian tentang delik juga berisi hukum pidana formil yang mengatur

bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana

dan menjatuhkan pidana.66

Pada tanggal 11 Desember 1982, UNCLOS 1982 yang diratifikasi ke

dalam UU Nomor 17 Tahun 1985, menetapkan asas-asas dasar untuk penataan

kelautan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa UNCLOS 1982 ini merupakan suatu

perjanjian internasional sebagai hasil dari negosiasi antar lebih dari seratus negara,

yang mengatur materi yang begitu luas dan kompleks. Secara rinci UNCLOS

1982 menetapkan hak dan kewajiban, kedaulatan, hak-hak berdaulat, dan

yuridiksi negara-negara dalam pemanfaatan dan pengelolaaan laut. Dengan UU

No. 17 Tahun 1985 ini berarti Indonesia telah menundukkan diri pada konvensi

65
Akhmad Solihin, Pemberantasan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing
Menurut Hukum Internasional dan Implementasinya Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Nasional, tesis, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2008, hlm. 163
66
Firmansyah Abdul, Pencurian Ikan Oleh Kapal Asing Di Wilayah Teritorial Indonesia
Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016, hlm 157

39
Universitas Sumatera Utara
ini, sehingga segala kebijakan Indonesia di bidang kelautan harus sesuai dengan

ketentuan konvensi tersebut.67

Pengaturan kewajiban kapal asing yang berada di wilayah laut nasional,

sudah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36

Tahun 2002, tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Melaksanakan Lintas

Damai Melalui Perairan Indonesia (Pasal 4 ayat (1), huruf a). Isi ketentuan pasal

tersebut yaitu: (1) Dalam melaksanakan Lintas Damai melalui Laut Teritorial dan

Perairan Kepulauan, kapal asing tidak boleh melakukan salah satu kegiatan-

kegiatan sebagai berikut: Melakukan perbuatan yang merupakan ancaman atau

penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, kemerdekaan

politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran

asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan

Bangsa-Bangsa.68

Regulasi nasional yang menguatkan sanksi bagi pengancam kedaulatan

(pencuri ikan) adalah Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996,

tentang Perairan Indonesia, yang materinya: ayat (1) Yurisdiksi dalam penegakan

kedaulatan dan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial

dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

Konvensi, hukum internasional lainnya, dan peraturan perundang-perundangan

yang berlaku.69

67
Ibid
68
*Hertria Maharani Putri, dkk. Kebijakan Penenggelaman Kapal Pencuri Ikan Di
Wilayah Perairan Indonesia Dalam Perspektif Hukum Kebijakan Sosek KP Vol. 7 No. 2 Desember
2017, hlm 96
69
Ibid

40
Universitas Sumatera Utara
Penjelasan Pasal 24 ayat (2), menyebutkan bahwa yurisdiksi terhadap

kapal asing bisa mengenai pidana, perdata, dan lainnya. Pasal sanksi pidana

pelaku pencurian menurut UU Perikanan diatur dalam Pasal 69 ayat (4): Dalam

melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud ayat (1) penyidik atau pengawas

perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran atau

penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti

permulaan yang cukup.70

Pengaturan pencurian ikan terkait dengan wilayah kedaulatan berdasarkan

UNCLOS 1982, yaitu laut teritorial, perairan pedalaman, dan perairan kepulauan

berwenang menetapkan hukum demi menjaga kedaulatannya. Di sisi lain, pada

ZEEI, Indonesia hanya dapat memberikan sanksi berupa denda administrasi dan

meminta reasonable bond (uang jaminan yang layak) kepada kapal asing yang
71
melakukan perbuatan pencurian ikan. Implementasi ketentuan UNCLOS 1982

terkait dengan tindak pidana di bidang perikanan (illegal fishing), dijabarkan

dalam beberapa peraturan perundang-undangan nasional. Peraturan-peraturan

tersebut antara lain adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan

Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan Undang-

Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang mengatur dengan tegas pemberian sanksi

70
Ibid
71
R. Ismala Dewi, Penegakan Hukum Tindak Pidana Di Bidang Perikanan, Jakarta, Dian
Rakyat, 2016, hlm 8

41
Universitas Sumatera Utara
berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal asing yang melakukan

pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia.72

72
Ibid., hlm 8-9

42
Universitas Sumatera Utara
BAB III
DAMPAK PENENGGELAMAN KAPAL ASING YANG MELAKUKAN
PENCURIAN IKAN DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

A. Kebijakan Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian

Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia

Indonesia adalah merupakan Negara Kepulauan, yang sebagian besar

wilayahnya terdiri dari wilayah perairan (laut) dengan potensi perikanan yang

sangat besar dan beragam. Potensi perikanan yang dimiliki merupakan potensi

ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan perekonomian nasional .

Permasalahan yang banyak muncul dan berpotensi menganggu perekonomian

nasional Indonesia dalam memanfaatkan sumber daya perikanan dan kelautan

yakni praktik pencurian ikan atau IUU (Illegal, Unregulated and Unreported

fishing practices) oleh nelayannelayan menggunakan armada kapal ikan asing dan

alat tangkap ikan yang dapat merusak ekosistem laut adalah yang paling banyak

merugikan negara.73

Kedaulatan Negara adalah kekuasaan tertinggi dari suatu negara.

Kedaulatan yang dimiliki suatu negara menunjukan bahwa negara itu merdeka,

atau tidak tunduk pada kekuasaan negara lain. Tetapi hal itu tidak dapat diartikan

bahwa kedaulatan itu tidak ada yang membatasi, atau tidak terbatas sama sekali.

Pembatasnya adalah hukum, baik hukum nasional maupun hukum internasional.

Kedaulatan pada dasarnya mengandung dua aspek yaitu: Pertama, aspek internal

73
Eka Setiawati, Analisis Terhadap Pilihan Kebijakan Pemerintah Untuk
Menenggelamkan Kapal Ikan Nelayan Asing Di Lihat Dari Sisi Kemanfaatan Kepada Nelayan
Tradisional Indonesia Dan Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak, Jurnal Magister Hukum
Untan, 2016, hlm 17

Universitas Sumatera Utara


yaitu berupa kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala sesuatu yang ada atau

terjadi di dalam batas-batas wilayahnya. Kedua, aspek eksternal yaitu kekuasaan

tertingi untuk mengadakan hubungan dengan anggota masyarakat intenasional

maupun mengatur segala sesuatu yang berada atau terjadi di luar wilayah negara

itu, sepanjang masih ada kaitannya dengan kepentingan negara itu. Namun,

sebagaimana telah dikemukakan, semuanya itu dibatasi oleh hukum.74

Kebijakan kelautan nasional atau national ocean policy secara umum dapat

dipahami sebagai arah dari berbagai macam kegiatan pembangunan kelautan

nasional yang diselenggarakan di wilayah laut Indonesia untuk mewujudkan,

melindungi, dan mempertahankan kepentingan-kepentingan nasional, termasuk

kepentingan kelautan setiap warga negara. Wilayah laut Indonesia merupakan

bagian penting dari keseluruhan pembangunan kelautan nasional. Kapasitas

potensial (potential capacity) yang terkandung di dalam wilayah laut Indonesia

perlu diberdayakan menjadi daya dukung (carrying capacity) dan daya tampung

(absorptive capacity) yang memadai untuk mendukung dan menampung kegiatan-

kegiatan pembangunan kelautan nasional.75

Sehubungan dengan maksud tersebut di atas, kebijakan kelautan nasional

haruslah memiliki komponen kebijakan tentang wilayah laut Indonesia. Kebijakan

kelautan nasional tentang wilayah laut Indonesia terdiri dari kebijakan umum,

kebijakan teknis, dan kebijakan pelaksanaan. Kebijakan umum hendaknya berisi

arahan-arahan tentang cara pandang negara dan warga negara dalam memaknai

wilayah laut sebagai masa depan bangsa. Cara pandang seperti ini disebut

74
Haryanto., Op.Cit., hlm 77
75
Tommy Hendra Purwaka., Op.Cit., hlm 363

43
Universitas Sumatera Utara
Wawasan Nusantara. Wilayah laut sebagai masa depan bangsa menjadi tidak

bermakna apa bila tidak diisi dengan pembangunan kelautan nasional dan

pelaksanaan pembangunan kelautan nasional merupakan implementasi Wawasan

Nusantara. Landasan dari implementasi wawasan nusantara adalah kedaulatan dan

hak-hak berdaulat Indonesia di wilayah laut.76

Tata hukum itu merupakan filter yang menyaring kebijaksanaan

pemerintah sehingga menjadi tindakan yang dapat dilaksanakan). Hukum

merupakan sekumpulan aturan atau norma, tertulis atau tidak tertulis, yang

berkenaan dengan perilaku benar dan salah, hak dan kewajiban. Terciptanya

bangunan hukum nasional yang baik membentuk harmonisasi pengelolaan

perikanan yang terarah dalam mencapai tujuannya, serta upaya memberantas

kegiatan pencurian ikan. Pelanggaran yang dilakukan oleh kapal asing dapat

ditindak tegas, apabila akibat kejahatannya dirasakan oleh Indonesia.77

Instruksi yang dikeluarkan Presiden untuk mengambil langkah tegas

terhadap para pelaku pencurian ikan di wilayah perairan Indoneisia yang salah

satunya dilakukan dengan menenggelamkan kapal dilakukan dengan berpedoman

kepada Pasal 69 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Perikanan, yang

menyatakan: “Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan

dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan

Negara Republik Indonesia; selanjutnya dalam melaksanakan fungsi sebagaimana

tersebut penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus

76
Ibid
77
Hertria Maharani Putri, et.all , Kebijakan Penenggelaman Kapal Pencuri Ikan Di
Wilayah Perairan Indonesia Dalam Perspektif Hukum.Jurnal Kebijakan Sosek KP Vol. 7 No. 2
Desember 2017, hlm 95

44
Universitas Sumatera Utara
berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang

berbenderaasing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.” 78

Penjelasan Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Perikanan juga dijelaskan

mengenai pengertian “bukti permulaan yang cukup”, yaitu: “Yang dimaksud

dengan “bukti permulaan yang cukup” adalah bukti permulaan untuk menduga

adanya tindak pidana dibidang perikanan oleh kapal perikanan berbendera

asing,misalnya kapal perikanan berbendera asing tidak memiliki SIPI dan SIKPI,

serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan ketika memasuki wilayah

pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.79

Cara atau aksi yang dilakukan oleh pemerintah digambarkan melalui

implementasi regulasi yang sudah dimiliki. Implementasi merupakan proses

umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu

(Grindle, 1980). Pembuatan kebijakan merupakan penjamin konsistensi kepastian

hukum, yang dibutuhkan guna memperhitungkan maupun mengantisipasi resiko

diberlakukannya tindakan penenggelaman kapal sebagai peraturan publik.

Menurut Menteri KP (Susi Pudjiastuti) sejak bulan Oktober 2014 hingga bulan

Juli tahun 2017, KKP sudah menenggelamkan 317 kapal pencuri ikan. Kapal

asing yang paling banyak tertangkap yaitu Vietnam (142 kapal), Filipina (70

kapal), dan Malaysia (58 kapal) (Aliya, 2017). Tindakan penenggelaman kapal

sebenarnya sudah dilakukan sebelum era Menteri KP yang sekarang.80

78
Zaqiu Rahman, Penenggelaman Kapal Sebagai Usaha Memberantas Praktik Illegal
Fishing, Jurnal Media Pembinaan Hukum Nasional, RechtsVinding Online, 2015, hlm 4
79
Ibid
80
Hertria Maharani Putri.,dkk., Op.Cit., hlm 93-94

45
Universitas Sumatera Utara
Tindakan pencurian ikan yang terjadi selama ini sebagian besar pelakunya

nelayan asing. Modus pencurian ikan oleh nelayan asing biasanya menggunakan

bendera Indonesia ataupun menggunakan anak buah kapal atau awak dari

Indonesia. Pelanggaran juga dilakukan oleh investor atau perusahaan asing yang

berdomisili di Indonesia dan memasok ikan tangkapan hasil pencurian ikan.

Menteri KP menyampaikan, bahwa jumlah tangkapan ilegal untuk semua jenis

ikan sebuah kapal asing di perairan Indonesia bisa mencapai 300 ton hingga 600

ton per tahun. Kondisi ini menyebabkan Indonesia diperkirakan rugi sekitar

US$15 miliar-US$25 miliar per tahunnya.81

Ketentuan internasional yang memberikan limitasi terhadap subjek orang

yang melakukan pelanggaran di wilayah perairan ZEE diatur dalam UNCLOS,

yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985,

tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi

Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut). Ratifikasi terhadap UNCLOS,

membawa konsekuensi logis bagi Indonesia untuk melaksanakan amanat

mengenai hak maupun kewajiban dalam pengelolaan wilayah kelautan

berdasarkan hukum internasional. Implikasi ratifikasi UNCLOS 1982

mengharuskan Indonesia menjaga kekayaan sumber daya alam di laut, serta

memanfaatkannya dengan optimal bagi kepentingan nasional dan seluruh rakyat

Indonesia. Apabila pembuatan perjanjian telah sampai tahap pengikatan

(ratifikasi), maka regulasi yang mempengaruhi tidak hanya ketentuan hokum

81
Ibid

46
Universitas Sumatera Utara
internasional saja (berkaitan juga dengan pemenuhan ketentuan hukum nasional

suatu negara).82

Kebijakan penenggelaman kapal asing dan eks asing yang dilakukan oleh

Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan wujud dari visi kedaulatan

negara dibidang kelautan dan perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan

telah menetapkan visi kedaulatan, yaitu Membangun kedaulatan yang mampu

menopang kemandirian ekonomi dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan

perikanan. Visi tersebut kemudian dioperasionalisasikan kedalam misi berupa

kebijakan “Membangun kedaulatan yang mampu menopang kemandirian ekonomi

dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Untuk mewujudkan misi

tersebut disusunlah beberapa strategi yang salah satunya memberantas Ilegal,

Unreported dan Unregulated (IUU) Fisihing.83

Salah satu tindakan operasional pemberantasan IUUF yang dilakukan oleh

KKP adalah penenggelaman kapal (Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan

Perikanan 2015-2019). Pelaksanaan kebijakan penenggelaman kapal asing dan

eks-asing oleh KKP ditandai dengan beberapa fenomena kegiatan, yaitu:

1. Dukungan kepastian peraturan perundang-undangan, keputusan presiden, dan

ketetapan lembaga penegak hukum yang meligitimasi pelaksanaan kebijakan

penenggelaman kapal. Sejak KKP dipimpin oleh Susi Pudjiastuti, telah

menenggelamkan hingga sebanyak 151 kapal penangkapan ikan secara ilegal

di berbagai daerah di Tanah Air. Jumlah tersebut sebagian besar berasal dari

82
Ibid
83
Chairun Nasirin, Kontroversi Implementasi Kebijakan Penenggelaman Kapal Dalam
Rangka Pemberantasan Illegal Fishing di Indonesia, Spirit Publik, Volume 12, Nomor 1, April
2017, hlm 17

47
Universitas Sumatera Utara
sejumlah negara tetangga, antara lain 50 kapal Vietnam, 43 kapal Filipina, 21

kapal Thailand, 20 kapal Malaysia, dua kapal Papua Nugini, serta satu kapal

Tiongkok dan 14 kapal berbendera Indonesia. Sejumlah kapal asing dan eks-

asing yang telah ditenggelamkan tersebut memiliki landasan hukum seperti

instruksi presiden dan keputusan tetap dari pengadilan.

2. Melaksanakan pola instruksional dan koordinasi penenggelaman kapal asing

dan eks asing pelaku pencurian ikan. Kebijakan penenggelaman kapal

dijalankan dengan pola instruksional dari Presiden kepada Kementerian KKP

dan Lembaga Peradilan kepada Kementerian KKP.

3. Implementasi kebijakan penenggelaman kapal asing dan eks asing

dilaksanakan dengan komitmen tinggi top manajemen, sehingga pelaksanaan

kebijakan tersebut memiliki karakter progresif, konsisten, tegas, dan

berkesinambungan.

4. Dukungan pendanaan untuk pemberantasan illegal fishing memudahkan

pelaksanaan penenggelaman kapal. Pada tahun 2016, Satgas yang dipimpin

langsung oleh Menteri Susi sebagai Komandan Satgas ini mendapatkan

alokasi anggaran sebesar Rp 1 triliun dalam RAPBN 2016 untuk berburu

pencuri ikan di lautan Indonesia. Anggaran tersebut terbagi untuk 2 periode

operasi yang lamanya 6 bulan per periode, masing-masing periode operasi

mendapat alokasi anggaran Rp 500 miliar.84

Kebijakan penenggelaman kapal asing pelaku tindak pidana pencurian

ikan pada dasarnya merupakan kebijakan yang dimaksudkan untuk menegakan

84
Ibid., hlm 17-18

48
Universitas Sumatera Utara
kedaulatan, pelaksanaan kewenangan dan pemaksaan peraturan perundang-

undangan terhadap permasalahan pelanggaran kedaulatan, yang pada dasarnya

merupakan pelanggaran hukum terhadap pertahanan dan keamanan wilayah

negara. Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Pertahanan Negara menegaskan bahwa

sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan

lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan

bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain

dari kekuatan bangsa.85

Kebijakan dan tindakan tegas semacam ini tampak efektif memberikan

shock therapy terhadap pelaku berkewarganegaraan asing, sekaligus mampu

mengembalikan kehormatan dan martabat Indonesia atas kedaulatan wilayahnya.

Indonesia secara yuridis memiliki kekuatan untuk menjaga kedaulatannya dari

gangguan-gangguan asing, termasuk pencurian ikan dalam wilayah perairan laut

Indonesia. Dengan demikian kebijakan penenggelaman kapal asing pelaku tindak

pidana pencurian ikan, pada prinsipnya merupakan pelaksanaan teori dan atau

konsep kedaulatan negara yang diakui oleh hukum pidana internasional.

Masyarakat internasional mengakui bahwa setiap negara mempunyai hak

eksklusif (reserved domain/domestic juridiction of state) karena adanya prinsip

kedaulatan negara dalam batas wilayah negara yang bersangkutan tanpa adanya

keterikatan atau pembatasan hukum internasional. Kebijakan ini tidak hanya

untuk menjaga kedaulatan dan menegakan peraturan perundang-undangan sumber

daya kelautan dan perikanan Indonesia semata-mata, tetapi juga sebagai bentuk

85
Haryanto., Loc.Cit

49
Universitas Sumatera Utara
tanggung jawab Indonesia dalam menjaga keselamatan dan keamanan dunia

kemaritiman internasional.86

Upaya penegakan hukum telah dilakukan, antara lain dengan dibentuknya

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan pembentukan 10 Pengadilan

Perikanan di seluruh Indonesia. Pembahasan dalam kajian ini diantaranya

mengungkap bahwa secara umum implementasi kewenangan Pengadilan

Perikanan belumlah optimal. Jarak tempuh yang jauh antara Pengadilan Perikanan

yang ada dengan lokasi penangkapan pelaku tindak pidana perikanan berimplikasi

pada disidangnya kasus-kasus perikanan di berbagai Pengadilan Negeri. Sidang

kasus perikanan di Pengadilan Negeri memiliki kekurangan antara lain minimnya

hakim karir yang telah bersertifikat hukum perikanan, serta tidak adanya hakim

Ad Hoc perikanan yang ikut mengadili. Peningkatan hakim spesialis bidang

perikanan baik dari sisi kualitas dan kuantitas mutlak diperlukan untuk menjaga

kualitas putusan kasus-kasus perikanan.87

Kebijakan Pemerintah menenggelamkan kapal pelaku Illegal Fishing yang tidak

memiliki dokumen resmi atau melanggar ketentuan hukum RI didasarkan pada

ketentuan Pasal 69 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009

tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

(UU Perikanan). Pasal 69 ayat (1) UU Perikanan menentukan bahwa kapal

pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum

di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik

86
Ibid., hlm 78-79
87
R. Ismala Dewi, Op.Cit., hlm 7

50
Universitas Sumatera Utara
Indonesia. Sedangkan Pasal 69 ayat (4) berbunyi, dalam melaksanakan fungsi

sebagaimana ayat (1) penyidik dan atau pengawas perikanan dapat melakukan

tindakan khusus berupa pembakaran dan atau penenggelaman kapal perikanan

berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Selanjutnya tindakan

pemusnahan merujuk pada ketentuan Pasal 76 Huruf A UU Perikanan, bahwa

benda atau alat yang digunakan atau dihasilkan dari pidana perikanan dapat

dirampas atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan pengadilan.88

B. Dampak Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan

Di Wilayah Perairan Indonesia Dalam Perspektif Hukum Internasional

Dampak merupakan suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu

aktivitas. Dampak dapat bersifat negatif maupun positif, akan tetapi di negara

maju banyak orang lebih atau hanya mempertahankan dampak negatif daripada

dampak positif, bahkan umumnya dampak positif diabaikan.89

Hukum internasional merupakan norma hukum positif yang sesungguhnya

atau hanya sekedar norma moral (positive morality) merupakan masalah klasik

yang selalu diajukan oleh para pihak yang meragukan atau skeptic terhadap

hukum internasional.90 Menurut Austin hukum internasional bukanlah hukum

sesungguhnya karena untuk dikatakan sebagai hukum menurut Austin harus

memenuhi dua unsur, yaitu ada badan legislative pembentuk aturan serta aturan

tersebut dapat dipaksakan. Austin tidak menemukan kedua unsur ini dalam diri

88
Eka Setiawati, Loc.Cit.
89
Soemarwoto Otto, Analisis Dampak Lingkungan , Yogyakarta, Gadjah Mada
University, 2007, hlm 54
90
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2012,
hlm 7

51
Universitas Sumatera Utara
hukum internasional sehingga ia berkesimpulan bahwa hukum internasional

belum dapat dikatakan sebagai hukum, baru sekedar positif moralitiy saja.

Mencermati pendapat Austin tampak bahwa Austin melihat hukum dari kacamata

yang sangat sempit.91

Penenggelaman kapal berbendera asing tersebut tentunya berimplikasi

hukum terhadap pelaku. Pelaku dalam tindak pidana perikanan dapat dibagi

menjadi 2 (dua), yaitu pelaku ABK yustisia seperti Nahkoda dan Kepala Kamar

Mesin, sedangkan ABK lainnya selain Nahkoda dan Kepala Kamar Mesin

termasuk ABK non yustisia.92 Dengan demikian, pihak yang dapat dimintakan

pertanggungjawaban pidana terhadap dugaan tindak pidana perikanan adalah

Nahkoda dan Kepala Kamar Mesin, sedangkan ABK non yustisia dapat

dipulangkan ke negara asalnya melalui kantor imigrasi setempat.

Akibat penenggelaman kapal berbendera asing yang diduga melakukan

tindak pidana perikanan di wilayah perairan Indonesia, maka terbuka celah bagi

Indonesia untuk digugat oleh pemilik kapal asing, apabila ternyata pemilik kapal

belum tentu terlibat dalam praktik pencurian ikan. Artinya kapal yang

dipergunakan untuk menangkap ikan secara ilegal diperairan Indonesia itu belum

tentu milik si pelaku, bisa saja itu kapal sewaan. Bahwa tindak pidana perikanan

terbagi menjadi dua yaitu kejahatan dan pelanggaran. Dalam kaitannya dengan

penenggelaman kapal berbendera asing yang melakukan kegiatan pencurian ikan

di wilayah Indonesia apabila mengacu pada ketentuan Undang-Undang Perikanan,

hal tersebut dapat dibenarkan sesuai dengan Pasal 69 Ayat (4). Menurut KKP,

91
Ibid.
92
Teddy Nurcahyawan., Op.Cit., hlm, 373

52
Universitas Sumatera Utara
bentuk penenggelaman kapal asing tersebut dapat dilakukan untuk melindungi

sumber daya alam yang ada di wilayah ZEEI.93

Setidaknya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan oleh setiap negara

pantai (coastal state) dalam melakukan penegakan hukum sebagaimana yang

tertuang pada Pasal 73 UNCLOS :

1. Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk

melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber

kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil tindakan demikian,

termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses

peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan

perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan

Konvensi ini.

2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapalnya harus segera dibebaskan

setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan

lainnya.

3. Hukuman Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan

perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh

mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknyaantara

Negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan

lainnya.

4. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing Negara pantai harus

segera memberitahukan kepada Negara bendera, melalui saluran yang

93
Ibid., hlm 374

53
Universitas Sumatera Utara
tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman

yang kemudian dijatuhkan.94

Kebijakan pemerintah Indonesia menenggelamkan kapal-kapal ikan asing

yang terbukti melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia menuai

berbagai reaksi pro dan kontra, banyak yang mendukung tapi juga tak sedikit yang

menolak, demikian pula dengan protes dari negara bendera asal. Sebenarnya

kebijakan tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap ubungan persahabatan antar

negara-negara. Dari sekian banyak negara yang nyata-nyata melakukan keberatan

atas kebijakan penenggelaman kapal adalah Thailand, dimana negara tersebut

secara resmi membuat surat keberatan ditujukan kepada pemerintah Indonesia.95

Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berupa

pemidanaan dalam bentuk apapun, tidak dapat dibatalkan oleh kekuasaan

pemerintahan di luar lingkup badan peradilan. Dengan kata lain, putusan tersebut

tidak dapat diganggu gugat. Putusan pidana akan menimbulkan efek jera jika

pemidanaan yang dijatuhkan setimpal dengan perbuatan jahat yang dilakukan oleh

si terdakwa, hal ini akan mempengaruhi suasana mental secara luas agar tidak

melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh si terdakwa.96

C. Dampak Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan

Di Wilayah Perairan Indonesia Dalam Perspektif Hukum Nasional

Kebijakan pemerintah Indonesia untuk menenggelamkan kapal ikan yang

terbukti melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia memang menuai

94
Ibid., hlm 374-375
95
Ketut Darmika., Op.Cit., hlm 496
96
Ibid., hlm 496-497

54
Universitas Sumatera Utara
reaksi pro dan kontra. Dari sekian banyak negara yang nyata-nyata keberatan atas

kebijakan penenggelaman kapal adalah Thailand, dimana negara tersebut secara

resmi membuat surat keberatan yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia.

Pada dasarnya instruksi Presiden Republik Indonesia untuk menenggelamkan

kapal ikan illegal tidak melanggar hukum baik hukum nasional maupun hukum

Internasional. Hal ini merujuk pada asas-asas hukum pidana yang berlaku di

Indonesia, salah satunya adalah asas teritorial. Titik berat dari asas teritorial ini

adalah tempat atau teritorial terjadinya tindak pidana. Dengan demikian

berdasarkan asas teritorial ini maka setiap orang, baik orang Indonesia maupun

orang asing yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah atau teritorial

Indonesia harus tunduk pada aturan pidana Indonesia. Untuk itu negara lain harus

menghormati proses penegakan hukum dan pengadilan yang dilakukan di

Indonesia.97

Tindakan menenggelamkan kapal asing pelaku pencurian ikan pada

dasarnya bukan merupakan kebijakan baru bagi Pemerintah Indonesia, karena

kebijakan ini pernah dilakukan pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.

Seperti diketahui salah satu fungsi penerapan sanksi hukum adalah agar timbul

efek jera pada pelaku pelanggaran atau kejahatan. Lemahnya penegakan hukum

selama ini dan tidak adanya penindakan terhadap pelaku pelanggaran atau

kejahatan terjadi karena tidak berorientasi kepada efek jera dapat dianggap

sebagai kontribusi negara secara tidak langsung terhadap suburnya tindak pidana

yang terjadi. Bahkan dapat dikatakan sebagai bentuk ketidakmampuan negara

97
AyuEfritadewi, Penenggelaman Kapal Illegal Fishing Di Wilayah Indonesia Dalam
Perspektif Hukum Internasional, Jurnal Selat. Volume. 4 Nomor. 2,Mei 2017, hlm 270-271.

55
Universitas Sumatera Utara
dalam memberikan perlindungan hukum kepada warganya, baik nelayan pada

khususnya maupun rakyat Indonesia secara keseluruhan sebagai pemilik sumber

daya laut Indonesia.98

Tindakan ini akan menimbulkan efek jera karena kapal tersebut

merupakan alat produksi utama pelaku pencurian. Kalau kapal dan

perlengkapannya ditenggelamkan, pencuri akan berpikir seribu kali untuk

mengulangi pencurian di wilayah Indonesia karena mmotif pencurian adalah

mencari keuntungan. Walaupun terjadi pro dan kontra perihal peneggelaman

kapal asing yang melakukan tindak pidana illegal fishing di wilayah laut

Indonesia, tindakan tersebut bertujuan untuk menunjukkan ketegasan dan

kewibawaan pemerintah Indonesia dalam melindungi wilayah dan hasil alam yang

dimilikinya, serta melindungi kedaulatannya, menimbulkan efek jera,

mengamankan laut dari penjarahan pihak asing, sekaligus juga merupaka tindakan

nyata dari upaya untuk menerjemahkan visi poros maritime.99

Ketentuan internasional yang memberikan limitasi terhadap subjek orang

yang melakukan pelanggaran di wilayah perairan ZEE diatur dalam UNCLOS,

yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985,

tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi

Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut). Ratifikasi terhadap UNCLOS,

membawa konsekuensi logis bagi Indonesia untuk melaksanakan amanat

mengenai hak maupun kewajiban dalam pengelolaan wilayah kelautan

berdasarkan hukum internasional. Implikasi ratifikasi UNCLOS 1982

98
Firmansyah Abdul., Op.Cit., hlm 160
99
Ibid

56
Universitas Sumatera Utara
mengharuskan Indonesia menjaga kekayaan sumber daya alam di laut, serta

memanfaatkannya dengan optimal bagi kepentingan nasional dan seluruh rakyat

Indonesia. Apabila pembuatan perjanjian telah sampai tahap pengikatan

(ratifikasi), maka regulasi yang mempengaruhi tidak hanya ketentuan hokum

internasional saja (berkaitan juga dengan pemenuhan ketentuan hukum nasional

suatu negara).100

100
Hertria Maharani Putri.,dkk., Op.Cit., hlm 95

57
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING YANG
MELAKUKAN PENCURIAN IKAN DI WILAYAH
PERAIRAN INDONESIA BERDASARKAN
UNCLOS 1982

D. Hak Negara Pantai Menurut UNCLOS 1982

Laut teritorial adalah laut yang terletak di sisi luar garis pangkal yang tidak

melebihi lebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Negara pantai memiliki

kedaulatan penuh di perairan kedalaman. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di

atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya. Negara Pantai meskipun

mempunyai kedaulatan di laut teritorial ini, namun masih dimungkinkan negara-

negara lain menikmati hak lintas damai, yaitu hak setiap negara untuk melewati

Laut Teritorial. Dalam pengertian menurut Colombos, ada beberapa bagian dari

laut yang secara universal diakui sebagai kepanjangan wilayah teritorial dimana di

dalamnya diakui yurisdiksi Negara Pantai. Pembentukan zona-zona maritim

tersebut bergantung pada pertimbangan-pertimbangan yang berbeda, akan tetapi,

alasan pembenar adanya perluasan kedaulatan negara di luar batas daratnya selalu

sama, yaitu:

1. Keamanan negara memerlukan (mengharuskan) pemilikan secara eksekutif

atas pantainya, dengan demikian dapat dilakukan tindakan perlindungan.

2. Untuk tujuan mengefektifkan perdagangan, fiskal, dan kepentingan politik,

setiap negara harus mampu mengawasi semua kapal yang masuk,

meninggalkan, atau sedang berhenti di perairan teritorialnya.

Universitas Sumatera Utara


3. Pemanfaatan dan perolehan secara eksklusif atas hasil-hasil dari laut dan

perairan teritorial diperlukan untuk eksistensi dan kesejahteraan bangsa yang

bersangkutan.101

Kaitan dengan rezim Laut Teritorial, diatur ketentuan-ketentuan, sebagai

berikut:

1. Negara pantai memiliki kedaulatan penuh atas Laut Teritorial, ruang udara di

atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya.

2. Laut Teritorial berlaku hak lintas damai bagi kendaraan-kendaraan air asing.

Kendaraan air asing yang melakukan lintas laut damai di Laut Teritorial tidak

boleh melakukan kegiatan yang berbentuk ancaman atau penggunaan

kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik

negara pantai, serta tidak boleh melakukan kegiatan survey atau penelitian,

menganggu sistem komunikasi, melakukan pencemaran dan melakukan

kegiatan lain yang tidak ada hubungannya baik langsung maupun tidak

langsung dengan lintas damai. Pelayaran lintas damai tersebut harus dilakukan

secara terus-menerus, langsung dan secepatnya, sedangkan berhenti atau

membuang jangkar hanya dapat dilakukan bagi kepentingan navigasi yang

normal, karena keadaan memaksa atau dalam keadaan bahaya dengan tujuan

memberikan bantuan kepada orang, kapal pesawat udara yang berada dalam

keadaan bahaya.

101
Nur Yanto, Memahami Hukum Laut Indonesia, Jakarta, Mitra Wacana Media, hlm.
21-22

59
Universitas Sumatera Utara
3. Negara Pantai berhak membuat peraturan tentang lintas laut damai yang

berkenaan dengan keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas laut,

perlindungan alat bantu serta fasilitas navigasi, perlindungan kabel dan pipa

bawah laut, konservasi kekayaan alam hayati, pencegahan terhadap

pelanggaran atau aturan perikanan, pelestarian lingkungan hidup dan

pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran, penelitian ilmiah

kelautan dan survey hidrografi dan pencegahan pelanggran peraturan bea-

cukai, fiscal migrasi, dan kesehatan.102

Negara pantai memiliki hak-hak berdaulat dan yurisdiksi khusus dalam

pemanfaatan sumber daya alam ikan yang berada di ZEE. Sesuai dengan

ketentuan Bab V UNCLOS yang mengatur ZEE, Indonesia telah mengeluarkan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif

Indonesia.103

Kaitannya dengan penegakan hukum perikanan di ZEE, Pasal 73 ayat (1)

UNCLOS mengemukakan bahwa negara pantai dalam melaksanakan hak-hak

berdaulat di zona ekonomi eksklusifnya, dapat mengambil tindakan-tindakan

seperti menaiki, memeriksa, menahan, dan melakukan penuntutan hukum, yang

diperlukan untuk menjamin penataan peraturan perundang-undangan yang

dikeluarkan oleh negara pantai sesuai dengan UNCLOS. Oleh karena itu, negara

pantai dapat memaksakan berlakunya peraturan perundangan terhadap

pelanggaran oleh kapal-kapal perikanan asing yang melakukan penangkapan ikan

102
I.B.R. Supanca, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Peranjian Internasional di
Bidang Kewilayahan, Jakarta, Departrmen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2001, hlm. 28-
29
103
Dikdik Mohamad, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia,
Bandung, Refika Aditama, 2014, hlm. 165.

60
Universitas Sumatera Utara
tanpa izin di ZEE yang dimilikinya. Bagaimanapun, kewenangan untuk menaiki,

memeriksa, menahan dan menjatuhkan hukumankepada pelaku pelanggaran

tersebut diperlukan agar negara pantai mampu melaksanakan tindakan konservasi

dan pengelolaansumber daya ikan di ZEE.104

Berdasarkan Pasal 1 angka (1) UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah

Negara, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah salah satu unsur

negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman,

perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya,

serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung

di dalamnya. Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi

United Nations Convention on the Law of Sea (UNCLOS). Hal ini berarti

ketentuan tentang batas laut teritorial Indonesia mengikuti Hukum Internasional,

yakni 12 mil. Ketentuan tentang laut teritorial Indonesia diatur lebih lanjut dalam

Pasal 3, 4,5, dan 6 UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.105

Ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut,

rejim laut teritorial merupakan dasar kedaulatan Pemerintah Indonesia terhadap

wilayah teritorial laut. Atas dasar kedaulatan itu, hak-hak Pemerintah Indonesia

melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya

alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di

atasnya dan kegiatankegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis

di wilayah teritorial tersebut. Negara Indonesia, sebagai negara pantai, juga

berhak membuat aturan hukum untuk wilayah teritorial dan menegakkannya; the
104
Kadek Rina Purnamasari, Op.Cit., 3
105
Erlina, Kedaulatan Negara Pantai (Indonesia) Terhadap Konservasi Kelautan Dalam
Wilayah Teritorial Laut (Territorial Sea) Indonesia Vol. 2 / No. 2 / Desember 2013, hlm 220

61
Universitas Sumatera Utara
rights of the coastal state to make laws its territarial sea and to enforce them.

Negara pantai diakui mempunyai wewenang untuk mengadakan peraturan-

peraturan di laut wilayahnya untuk melindungi kepentingan keamanan dan

ketertiban serta kepentingan fiskalnya. Wewenang untuk mengadakan peraturan-

peraturan demikian bersumber kepada kedaulatan yang dimiliki oleh negara pantai

dalam laut wilayahnya. Selain membuat peraturan-peraturan, kedaulatan negara

mempunyai akibat lain dalam bidang hukum yakni wewenang untuk melakukan

penuntutan atas pelanggaran-pelanggaran ketentuan-ketentuan perundang-

undangan umum negara pantai baik di bidang pidana maupun perdata.106

Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona

Ekonomi Eksklusif mengatur tentang :

1. Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan

konserfasi sumber daya alam hayati non hayati dari dasar laut, tanah

dibawahnya dan air diatasnya serta kegiatan lain diatasnya.

2. Yurisdiksi yang berhubungan dengan pembuatan dan penggunaan pulau-pulau

buatan, instalasi dan bagunan lainnya, penelitian ilmiah perlindungan dan

pelestarian lingkungan laut, hak-hak dan kewajiban lainya berdasarkan

konvensi hukum laut yang berlaku.107

Kewajiban negara pantai, dalam hal ini Indonesia, adalah sebagaimana

disebutkan dalam Penjelasan Umum UU No 17 Tahun 1985 yang antara lain

disebutkan; “Negara Kepulauan berkewajiban pula menghormati hak-hak

106
Ibid., hlm 220-221
107
N.H.T. Siahaan dan Suhendi, Hukum Laut Nasional, Jakarta, Djambatan, 1999, hlm
121-122

62
Universitas Sumatera Utara
tradisional penangkapan ikan dan kegiatan lain yang sah dari negara-negara

tetangga yang langsung berdampingan, serta kabel laut yang telah ada di bagian

tertentu perairan kepulauan yang dahulunya merupakan Laut Lepas. Hak-hak

tradisional dan kegiatan lain yang sah tersebut tidak boleh dialihkan kepada atau

dibagi dengan negara ketiga atau warganegaranya”. Kewajiban negara pantai

untuk memberikan hak kepada negara-negara lain atau pihak yang berkepentingan

untuk menggunakan hak lintas damai. UNCLOS 1982 mengakui hak lintas damai

untuk kapal dari semua negara melalui laut teritorial suatu negara. Arti dari

melintasi ditentukan sebagai berlayar melalui laut teritorial dengan atau tanpa

maksud memasuki perairan pedalaman atau membuang sauh atau fasilitas

pelabuhan di luar perairan pedalaman kecuali alasan force majeur. 108

Kewajiban yang dimiliki oleh NKRI di ZEE UNCLOS Pasal 60 ayat 3 dan

Pasal 61, adalah :

1. Pemberitahuan sebagaimana mestinya tentang pembangunan pulau buatan,

instalasi, dan bangunan, serta zona keselamatan yang ditetapkan dengan

pertimbangan tidak mengganggu alur laut untuk pelayaran internasional;

2. Melakukan pemeliharaan dan perawatan pulau buatan, instalasi, dan/atau

bangunan;

3. Melakukan pembongkaran instalasi dan bangunan yang sudah tidak terpakai

dengan memperhatikan keselamatan pelayaran, penangkapan ikan, lingkungan

laut, dan hak Negara lain;

108
Erlina., Op.Cit., hlm 221

63
Universitas Sumatera Utara
4. Menentukan jumlah tangkapan sumber daya hayati yang diperbolehkan dalam

zona ekonomi eksklusifnya

5. Bekerja sama dengan organisasi internasional berwenang (sub-regional,

regional maupun global) yang bertujuan untuk pemeliharaan sumber kekayaan

hayati di zona ekonomi eksklusif.109

Batasan yang dimiliki oleh suatu negara yang memiliki zona ekonomi

eksklusif adalah lebarnya tidak lebih dari 200 NM yang diukur dari garis pangkal

(UNCLOS pasal 57). Garis pangkal yang dimaksud adalah garis pangkal yang

digunakan untuk mengukur lebar dari laut teritorial. Di zona ekonomi eksklusif ini

negara lain juga mempunyai hak dan kewajiban Hak yang dimiliki oleh negara

lain di zona ekonomi eksklusif yang bukan kepunyaan negara tersebut adalah

menikmati kebebasan pelayaran dan penerbangan serta kebebasan meletakkan

kabel dan pipa bawah laut (UNCLOS Pasal 58 ayat 1). Kewajiban yang dimiliki

oleh negara lain di ZEE yang bukan kepunyaan negara tersebut adalah

memperhatikan hak dan kewajiban negara pantai yang memiliki zona ekonomi

eksklusif dan mentaati peraturan yang ditetapkan oleh negara tersebut (UNCLOS

Pasal 58 ayat 3).110

E. Penegakan Hukum terhadap Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian

Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia Berdasarkan Hukum Nasional

Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau

konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya.

109
Ardigautama Agusta, Analisis Undang-Undang Kelautan di wilayah zona ekonomi
eksklusif, Gea. Jurnal Pendidikan Geografi, Volume 17, Nomor 2, Oktober 2017, hlm 150
110
Ibid

64
Universitas Sumatera Utara
Jadi Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep-

konsep tadi menjadi kenyataan. Istilah penegakan hukum dengan penggunaan

hukum. Penegakan hukum dan penggunaan hukum adalah dua hal yang berbeda.

Orang dapat menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tetapi orang juga

dapat menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau

kepentingan lain. Menegakkan hukum tidak persis sama dengan menggunakan

hukum.111

Hukum sebagai salah satu sumber daya Negara, dapat dimanfaatkan untuk

kepentingan pencapaian tujuan mulia yang ingin dicapai oleh suatu masyarakat,

bangsa dan negara. Di situlah inti dari politik hukum yang sesungguhnya.112

Penanganan pencurian ikan secara illegal oleh kapal asing di wilayah perairan

Indonesia, maka pemerintah telah lebih memilih untuk menunjukkan sebuah aksi

monumental peneggelaman kapal, yang diyakini efektif memberikan efek jera,

adalah:

1. Bahwa hukum pidana juga dipergunakan untuk menegaskan atau

menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar (basic social values) perilaku

hidup bermasyarakat dalam Negara kesatuan Republik Indonesia yang

dijiwai oleh falsafah dan idiologi Negara Pancasila

2. bahwa hukum pidana sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam

keadaan di mana cara lain melakukan pengendalian sosial tidak atau belum

dapat diharapkan keefektifannya

111
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua, Jakarta,
Buku Kompas, 2006, hlm. 169
112
Bernard L Tanya, Politik Hukum : Agenda Kepentingan Bersama, Jakarta, Genta
Publishing, 2016, hlm 3

65
Universitas Sumatera Utara
3. dalam menggunakan hukum pidana sesuai dengan kedua pembatasan itu,

harus diusahakan dengan sungguh-sungguh bahwa caranya seminimal

mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu, tetapi tanpa

mengurangi perlindungan terhadap kepentingan kolektifitas masyarakat

demokratik Indonesia yang modern.113

Terkait dengan permasalahan pencurian ikan, upaya suatu negara yang

mengalami kerugian juga merupakan hal yang patut diperhitungkan. Upaya yang

diambil suatu negara dalam menangani kasus Illegal Fishing harus diatur dalam

suatu peraturan yang jelas. Pada kenyataannnya upaya yang diambil oleh suatu

negara dengan negara yang lain berbeda. Salah satunya adalah kasus Illegal

Fishing yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 2014, yaitu upaya yang diambil

oleh pemerintah Indonesia adalah penenggelaman kapal nelayan asing dengan

cara peledakan atau penenggelaman.114

Penegakan hukum di laut merupakan langkah atau indakan serta upaya

dalam rangka memelihara dan mengawasi ditaatinya ketentuan-ketentuan hukum

baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku di Laut

Yurisdiksi Nasional Indonesia.115

Penegakan hukum di laut tidak dapat dilepaskan dari masalah penegakan

kedaulatan di laut. Pengertian penegakan hukum disatu pihak dan penegakan

kedaulatan di lain pihak dapat dibedakan namun keduanya tidak dapat dipisahkan

karena penegakan kedaulatan di laut mencakup penegakan hukum di laut.

113
Ibid
114
Ayu Efritadewi., Op.Cit., hlm 267
115
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung, Nusa Media, 2010,
hlm. 111

66
Universitas Sumatera Utara
Penegakan kedaulatan dapat dilaksanakan tidak hanya dalam lingkup negara,

melainkan dapat juga menjaring keluar batas negara, sedangkan penegakan

hukum di laut adalah suatu proses kegiatan penangkapan dan penyidikan suatu

kasus yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran di laut atas ketentuan

hukum yang berlaku baik ketentuan hukum internasional maupun nasional,

sehingga dalam pelaksanaannya penegakan kedaulatan dan penegakan hukum di

laut dilakukan serentak. Dengan demikian adanya perbedaan penegakan hukum

dengan penegakan kedaulatan tergantung intensitas ancaman yang dihadapi.

Sepanjang ancaman itu dianggap membahayakan eksistensi suatu negara, maka

tindakan yang dapat diambil menghadapi ancaman tersebut adalah berupa

penegakan kedaulatan.116

Dalam Pasal 103 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: ”Ketentuan-

ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII Buku ini juga berlaku bagi perbuatan-

perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lain diancam dengan pidana,

kecuali jika oleh undangundang ditentukan lain.” Berdasarkan ketentuan Pasal

103 tersebut, maka dikenal istilah tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang tercantum dalam KUHP

dan semua undang-undang yang mengubah atau menambah KUHP. Tindak

pidana khusus adalah semua tindak pidana yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan tertentu di luar KUHP salah satu diantaranya adalah

UndangUndang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia Undang-Undang

116
Raida L. Tobing dan Sriwulan Rios, Penegakan Kedaulatan dan Penegakan Hukum di
Ruang Udara, Jurnal Penelitian Hukum de jure, Vol.01 No 2, Februari 1998, hal 50

67
Universitas Sumatera Utara
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2004 tentang Perikanan.117

Penegakan hukum di laut sangat diperlukan bagi pengamanan di laut

mengingat adanya berbagai bentuk ancaman atau gangguan terhadap kegiatan

penggunaan atau pemanfaatan laut, antara lain:

1. Ancaman kekerasan, yaitu ancaman dengan menggunakan kekuatan bersenjata

yang terorganisir dan mempunyai kemampuan untuk mengganggu serta

membahayakan personel atau negara. Ancaman tersebut dapat berupa

pembajakan, perompakan, sabotase obyek vital, peranjauan dan aksi teror.

2. Ancaman Navigasi, yaitu ancaman yang ditimbulkan oleh kondisi geografi

dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu navigasi, seperti suar,

buoy dan lain-lain, sehingga dapat membahayakan keselamatan pelayaran.

3. Ancaman terhadap sumber daya laut, yaitu berupa pencemaran dan perusakan

ekosistem laut, serta konflik pengelolaan sumber daya laut, yang memiliki

kecenderungan mudah dipolitisasi dan selanjutnya akan diikuti dengan

penggelaran kekuatan militer, misalnya dalam sengketa kepulauan.

4. Ancaman pelanggaran hukum, yaitu tidak dipatuhinya hukum nasional

maupun internasional yang berlaku di perairan, seperti illegal fishing, illegal

logging, penyelundupan dan lain-lain.118

Penegakan hukum di ZEEI, UU No. 5 Tahun 1983 Pasal 13 menentukan,

bahwa dalam rangka melaksanakan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan

117
Ketut Darmika, Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan Oleh Kapal Perang
Republik Indonesia, Jurnal Penelitian Hukum Legalitas, Vol. 9 | No.1, tahun 2015, hlm 32
118
Didik Heru Purnomo, Pengamanan Laut RI Bagian Barat, Jurnal Hukum Internasional,
Desember 2004, hlm 32

68
Universitas Sumatera Utara
kewajiban-kewajiban aparatur penegak hukum Republik Indonesia yang

berwenang, dapat mengambil tindakan-tindakan penegakan hukum sesuai dengan

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana, dengan pengecualian sebagai berikut :

(a) Penangkapan terhadap kapal dan/atau orang-orang yang diduga

melakukan pelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia meliputi

tindakan penghentian kapal sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau

orang-orang tersebut dipelabuhan dimana perkara tersebut dapat diproses

lebih lanjut;

(b) Penyerahan kapal dan/atau orang-orang tersebut harus dilakukan secepat

mungkin dan tidak boleh melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari, kecuali

apabila terdapat keadaan force majeure;

(c) Untuk kepentingan penahanan, tindak pidana yang diatur dalam Pasal 16

dan Pasal 17 termasuk dalam golongan tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b Undang-undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.119

Penegak hukum di ZEEI, Pasal 14 menentukan sebagai berikut :

(1) Aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan

Laut yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia.

119
Khaidir Anwar, Hukum Laut Internasional dalam Perkembangan, Jakarta, BP. Justice
Publisher, 2014, hlm 24

69
Universitas Sumatera Utara
(2) Penuntut umum adalah jaksa pada pengadilan negeri sebagaimana

dimaksud dalam ayat (3).

(3) Pengadilan yang berwenang mengadili pelanggaran terhadap ketentuan

undang-undang ini adalah pengadilan negeri yang da erah hukumnya

meliputi pelabuhan dimana dilakukan penahanan terhadap kapal dan/atau

orang-orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a.120

Pada tahun 1985 melalui UU no 17/1985, Indonesia meratifikasi

UNCLOS 1982, hal ini berarti Indonesia sudah mengakui bahwa pasal-pasal

dalam UNCLOS 1982 tersebut telah menjadi hukum positif di Indonesia. Oleh

sebab itu, dalam memandang wilayah perairan dan laut, Indonesia harus melihat

UNCLOS 1982 sebagai rujukan ketentuan hukum. 121

Penenggelaman kapal ikan asing yang dilakukan oleh pemerintah RI

melalui otoritas.

1. Penenggelaman kapal melalui putusan pengadilan.

a. Otoritas yang menangkap kapal ikan asing membawa kapal dan ABK ke

darat;

b. Di darat dimana ada pengadilan perikanan akan dilaksanakan proses

hukum;

c. Setelah disidang dan di vonis bersalah dan putusan mempunyai kekuatan

hukum tetap maka kapal yang tertangkap tersebut akan disita;

120
Ibid
121
Dedi Gunawan Widyatmoko, Loc.Cit

70
Universitas Sumatera Utara
d. Apabila kapal disita maka tergantung pada jaksa eksekutor akan

melakukan apa terhadap kapal tersebut, apakah kapal akan dilelang atau di

musnahkan;

e. Apabila dimusnahkan menjadi pilihan maka salah satu cara adalah

diledakkan dan ditenggelamkan;

2. Tertangkap tangan oleh otoritas. Cara kedua ini didasarkan pada Pasal 69

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 yang berbunyi :

a. Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan

penegakan hukum dibidang perikanan dalam wilayah pengelolaan

perikanan Negara Republik Indonesia;

b. Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat

dilengkapi dengan senjata api;

c. Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa

dan menahan kapal yang diduga atau patut melakukan pelanggaran di

wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia ke pelabuhan

terdekat untuk pemprosesan lebih lanjut;

d. Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus

berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang

berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.122

Tindakan tegas terhadap para pelaku pencurian ikan berupa pembakaran

dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing dapat dilaksanakan

122
Ayu Efritadew., Op.Cit., hlm 269

71
Universitas Sumatera Utara
pada saat dilakukan pemeriksaan di tengah laut (dalam proses penyidikan).

Tindakan penenggelam kapal ikan berbendera asing dapat dilaksanakan pada saat

dilakukan pemeriksaan di tengah laut berdasarkan ketentuan Pasal69 ayat (4)

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang menyatakan: dalam melaksanakan

fungsi sebagaimana dimaksud ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan

dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman

kapal perikanan yang berbendara asing berdasarkan bukti permulaan yang

cukup.123

Di dalam penjelasan Pasal 69 ayat (4) tersebut, bukti permulaan yang

cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana di bidang

perikanan oleh kapal perikanan berbendera asing, misalnya kapal perikanan

berbendera asing tidak memiliki SIPI dan SIKPI, serta nyata-nyata menangkap

dan/atau mengangkut ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan perikanan

Negara Republik Indonesia . Ketentuan ini menunjukkan bahwa tindakan khusus

tersebut tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi hanya dilakukan

apabila penyidik dan/atau pengawas perikanan yakin bahwa kapal perikanan

berbendera asing tersebut betul-betul melakukan tindak pidana di bidang

perikanan.124

123
Ketut Darmika, Op.Cit., hlm 490
124
Ibid., hlm 490-491

72
Universitas Sumatera Utara
F. Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing Yang Melakukan Pencurian

Ikan Di Wilayah Perairan Indonesia Berdasarkan Unclos 1982

Pasal 55 UNCLOS 1982 menegaskan bahwa ZEE sebagai perairan (laut)

yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, tunduk pada rezim

hukum khusus (spesial legal regime) yang ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan

mana hak-hak dan yurisdiksi negara pantai, hak-hak, serta kebebasan-kebebasan

negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan dari konvensi ini. Rezim

hukum khusus ini tampak dalam kekhususan dari hukum yang berlaku pada ZEE

tersebut sebagai suatu keterpaduan yang meliputi:

1. hak-hak berdaulat, yurisdiksi,dan kewajiban negara pantai;

2. hak-hak serta kebebasan dari negara-negara lain;

3. kebebasan-kebebasan laut lepas; dan

4. kaidah-kaidah hukum internasional sebagaimana ditentukan dalam

konvensi.125

UNCLOS 1982 secara garis besar membedakan wilayah laut menjadi dua

kategori wilayah laut dimana negara dapat menegakan hukumnya terhadap IUU

Fishing, yaitu wilayah laut yang berada di bawah kedaulatan dan wilayah laut

dimana suatu negara memiliki yurisdiksi. Kawasan laut yang tunduk di bawah

kedaulatan suatu negara pantai/kepulauan adalah perairan pedalaman dan laut

territorial atau perairan kepulauan dan laut teritorial. Sedangkan kawasan laut

dimana suatu negara pantai/kepulauan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi

adalah ZEE dan Landas Kontinen. Wilayah ZEE mempunyai status hukum yang

125
I Wayan Parthiana, Op.Cit,hlm. 145

73
Universitas Sumatera Utara
sui generis (unik/berbeda). Keunikan tersebut terletak pada eksistensi hak dan

kewajiban negara pantai dan negara lain atas ZEE. Berbeda dengan i laut

teritorial, dimana negara pantai mempunyai kedaulatan, di ZEE negara pantai

hanya mempunyai hak berdaulat. Hak berdaulat tersebut terbatas pada eksplorasi

dan eksploitasi sumber daya kelautan baik sumber daya hayati maupun non-

hayati126

Jika pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai

terjadi di laut teritorial atau perairan pedalaman atau perairan kepulauan suatu

negara, maka sesuai dengan kedaulatan yang diberikan oleh Pasal 2 UNCLOS

1982, negara pantai dapat memberlakukan semua peraturan hukumnya bahkan

hukum pidananya terhadap kapal tersebut.

Asalkan pelanggaran tersebut membawa dampak bagi negara pantai atau

menganggu keamanan negara pantai sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 (1)

UNCLOS 1982. Akan tetapi jika unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 27 (1)

UNCLOS 1982 ini tidak terpenuhi, maka negara pantai tidak dapat menerapkan

yurisdiksi pidananya terhadap kapal tersebut.127

Pasal 27 (5) UNCLOS 1982 selanjutnya merujuk kepada Bab V tentang

ZEE dalam hal pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara

pantai yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya perikanan.

Berbeda jika pelanggaran terjadi di ZEE, terutama pelanggaran terhadap kegiatan

eksplorasi, eksploitasi, konsevasi dan pengelolaan sumber daya perikanan.

126
Usmawadi Amir, Loc.Cit.
127
Ibid., hlm 74

74
Universitas Sumatera Utara
Berkaitan dengan penegakan hukum negara pantai di ZEE, Pasal 73 UNCLOS

1982 mengatur:

1. Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan

eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati di zona

ekonomi eksklusif mengambil tindakan sedemikian, termasuk menaiki kapal,

memeriksa, menangkap dan melakukan proses pengadilan, sebagaimana

diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang

ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.

2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya harus segera dibebaskan setelah

diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya.

3. Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan

perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh

mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara negara-

negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya.

4. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing negara pantai harus

segera memberitahu kepada negara bendera, melalui saluran yang tepat,

mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang

kemudian dijatuhkan.128

128
Ibid., hlm 75-76

75
Universitas Sumatera Utara
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan permasalahn yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan

sebagai berikut

1. Pengaturan hukum nasional terhadap penengelaman kapal asing yang

melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia, yaitu Undang-

Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang

Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 69 ayat (1) “kapal

pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan

hukum dibidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara

Republik Indonesia” dan ayat (4) “Dalam melaksanakan fungsi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan / atau pengawan

perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan atau

penenggelaman kapal perikanan berbendera asing berdasarkan bukti

permulaan yang cukup” .UNCLOS 1982 tidak mengatur tentang ketentuan

hukum penenggelaman kapal asing.

2. Dampak penenggelaman kapal asing yang melakukan pencurian ikan di

wilayah perairan Indonesia dalam perspektif Hukum internasional,

Kebijakan penenggelaman kapal asing ilegal diyakini tidak akan

mempengaruhi hubungan bilateral, regional, dan multilateral Indonesia

dengan negara lain. Beberapa alasan kenapa kebijakan tersebut justru

layak didukung dan tidak akan memperburuk hubungan antarnegara yaitu

Universitas Sumatera Utara


tidak ada negara di dunia ini yang membenarkan tindakan warganya yang

melakukan kejahatan di negara lain, Kapal asing yang ditenggelamkan

merupakan kapal yang tidak berizin untuk menangkap ikan di wilayah

Indonesia, sehingga disebut tindak criminal, dan tindakan penenggelaman

dilakukan di wilayah kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia (Zona

Ekonomi Ekslusif).

3. Penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan pencurian ikan di

wilayah perairan Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982. Penegakan

hukum di laut merupakan langkah atau tindakan serta upaya dalam rangka

memelihara dan mengawasi ditaatinya ketentuan-ketentuan hukum baik

hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku di laut

yurisdiksi nasional Indonesia.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis mencoba memberikan saran,

antara lain :

1. Disarankan dengan penegakan hukum berupa penenggelaman kapal

tersebut harus juga diiringi dengan dukungan anggaran dan fasilitas yang

memadai dalam penegakannya, misalnya jumlah personel yang memadai,

sarana dan prasarana menunjang cukup seperti peralatan senjata api, kapal,

hingga, dukungan suplai Bahan Bakar Minyak untuk operasional yang

cukup, sehingga pengawas perikanan mampu menjangkau seluruh wilayah

laut Indonesia.

77
Universitas Sumatera Utara
2. Pemerintah perlu memikirkan supaya sisa-sisa penenggelaman kapal

jangan dibiarkan begitu saja tenggelam di dasar laut, karena kedepannya

dapat mempengaruhi atau bahkan merusak biota laut

3. Pemerintah Indonesia seyogyanya melakukan peningkatan kualitas

penegakan hukum dalam bidang perikanan dan kelautan dengan

mempertimbangkan pentingnya penawaran pelepasan dengan jaminan

pembayaran tertentu, yang ditawarkan sebelum eksekusi penenggelaman

kapal asing.

78
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum Jakarta,Raja


Grafindo Persada, 2006.

Anwar, Khaidir. Hukum Laut Internasional dalam Perkembangan, Jakarta, BP.


Justice Publisher, 2014.

Budiyono, Pembatasan Kedaulatan Negara Kepulauan Atas Wilayah Laut,


Bandar Lampung,Justice Publisher, 2014.

Hadiwijoyo, Suryo Sakti. Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum


Internasional, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2011.

Kusumaatmadja, Muchtar. Pengantar Hukum Internasiona, Bandung, Alumni,


2003.

Mohamad, Dikdik. Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia,


Bandung, Refika Aditama, 2014.

Otto, Soemarwoto Analisis Dampak Lingkungan , Yogyakarta, Gadjah Mada


University, 2007.

Parthiana, I Wayan. Hukum Laut Internasional Dan Hukum Laut Indonesia,


Bandung, Yrma Widya, 2014.

Prasetyo, Teguh. Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung, Nusa Media,


2010.

Puryono, Sri. Mengelola Laut Untuk Kesejahteraan Rakyat,(Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama, 2016.

Rahardjo, Satjipto. Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua,


Jakarta, Buku Kompas, 2006.

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta, Rajagrafindo Persada,


2012.

Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian hukum, Surakarta,


Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2010.

Siahaan, N.H.T. dan Suhendi, Hukum Laut Nasional, Jakarta, Djambatan, 1999.

79
Universitas Sumatera Utara
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2007.
Subagyo, P. Joko. Hukum Laut Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta , 2005.

Sukandarrumidi, Mari Kembali Ke Laut (Mengenal Potensi Bahari Yang Tak


Habis Terkuras) Dengan Studi Kasus, Yogyakarta, Yayasan Pustaka
Nusatama, 2009.

Supramono, Gatot. Hukum Acara Pidana dan Hukum Pudana di Bidang


Perikanan, Jakarta, Rineka Cipta, 2011.

Supanca, I.B.R. Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Peranjian Internasional di


Bidang Kewilayahan, Jakarta, Departrmen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia RI, 2001.

Supriadi dan Alimuddin, Hukum Perikanan Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika,


2011.

Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, Aksara Persada Indonesia,


2009.

Tanya, Bernard L. Politik Hukum : Agenda Kepentingan Bersama, Jakarta, Genta


Publishing, 2016.

Tribawono, Djoko. Hukum Perikanan Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti,


2013.

Wignjosoebroto, Soetanyo. Hukum, Konsep dan Metode, Malang, Setara Press,


2013.

Yanto, Nur. Memahami Hukum Laut Indonesia, Jakarta, Mitra Wacana Media,
2014.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF).

International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported,


Unregulated Fishing 2001 (IPOA-IUU Fishing).

Statuta Mahkamah Internasional.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

80
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Tentang : Pengesahan United


Nations Convention On. The Law Of The Sea 1982 (UNCLOS 1982).

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tentara Nasional Indonesia

Undang-Undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Undang-Undang Nomorr 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan.

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan.

Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Kelautan dan Perikanan.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per/18/Men/2011 tentang


Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
Per.13/Men/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di
Bidang Perikanan.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.01/Men/2009 tentang


Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. Per.16/Men/2010 tentang Pemberian
Kewenangan SIPI dan SIKPI Untuk Kapal Perikanan Berukuran Di Atas 30
(Tiga Puluh) Gross Tonnage Sampai Dengan 60 (Enam Puluh) Gross
Tonnage Kepada Gubernur.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN-KP/2014 tentang


Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.50/Men/2012 tentang


Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported,
And Unregulated Fishing (IUU Fishing) Tahun 2012-2016.

81
Universitas Sumatera Utara
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan
Koordinasi Keamanan Laut.

Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut

Jurnal/Artikel/Skripsi/Tesis

Abdul Alim Salam, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut
Internasional (unclos 1982) di Indonesia, Jakarta, Departemen Kelautan dan
Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia
Tahun Anggaran 2008.

Abdul Muthalib Tahar, Zona-zona Maritim Berdasarkan Konvensi Hukum Laut


1982 dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia, Lampung, Universitas
Lampung, 2011.

Ardigautama Agusta, Analisis Undang-Undang Kelautan di wilayah zona


ekonomi eksklusif, Gea. Jurnal Pendidikan Geografi, Volume 17, Nomor 2,
Oktober 2017.

Ayu Efritadew, Penenggelaman Kapal Illegal Fishing Di Wilayah Indonesia


Dalam Perspektif Hukum Internasional, Jurnal Selat, Volume. 4 Nomor. 2
Mei 2017.
Chairun Nasirin, Kontroversi Implementasi Kebijakan Penenggelaman Kapal
Dalam Rangka Pemberantasan Illegal Fishing di Indonesia, Spirit Publik,
Volume 12, Nomor 1, April 2017.

Dewi, R. Ismala. Penegakan Hukum Tindak Pidana Di Bidang Perikanan,


Jakarta, Dian Rakyat, 2016.

Didik Heru Purnomo, Pengamanan Laut RI Bagian Barat, Jurnal Hukum


Internasional, Desember 2004.

Eka Setiawati, Analisis Terhadap Pilihan Kebijakan Pemerintah Untuk


Menenggelamkan Kapal Ikan Nelayan Asing Di Lihat Dari Sisi Kemanfaatan
Kepada Nelayan Tradisional Indonesia Dan Potensi Penerimaan Negara
Bukan Pajak, Jurnal Magister Hukum Untan, 2016.

Erlina, Kedaulatan Negara Pantai (Indonesia) Terhadap Konservasi Kelautan


Dalam Wilayah Teritorial Laut (Territorial Sea) Indonesia Vol. 2 / No. 2 /
Desember 2013.

Firmansyah Abdul, Pencurian Ikan Oleh Kapal Asing Di Wilayah Teritorial


Indonesia Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia Lex et Societatis,
Vol. IV/No. 1/Jan/2016.

82
Universitas Sumatera Utara
Gerald Alditya Bunga, Pembentukan Undang Undang Tentang Zona Tambahan
Sebagai Langkah Perlindungan Wilayah Laut Indonesia, Jurnal Selat, Mei
VOl. 2 No. 2 Edisi 4, 2014.

Haryanto, Kebijakan Penenggelaman Kapal Asing Pelaku Illegal Fishing Oleh


Pemerintah Indonesia Dalam Persfektif Hukum Pidana Internasional, Jurnal
Law Reform, Volume 13, Nomor 1, Tahun 2017.

Hertria Maharani Putri, et.all , Kebijakan Penenggelaman Kapal Pencuri Ikan Di


Wilayah Perairan Indonesia Dalam Perspektif Hukum.Jurnal Kebijakan
Sosek KP Vol. 7 No. 2 Desember 2017.

Ida Kurnia, Penerapan Unclos 1982 Dalam Ketentuan Perundang-Undangan


Nasional, Khususnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Jurnal Hukum
Prioris, Volume 2, Nomor 1, September 2008.

Kadek Rina Purnamasari, Yurisdiksi Indonesia Dalam Penerapan Kebijakan


Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan Illegal Fishing Berdasarkan
United Nations Convention On The Law Of The Sea, Artikel Fakultas Hukum
Universitas Udayana, 2017.

Ketut Darmika, Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan Oleh Kapal Perang
Republik Indonesia (KRI) Dalam Perspektif Undang-Undang Ri Nomor 45
Tahun 2009 Tentang Perikanan, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4,
Nomor 3 November 2015.

_____________, Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan Oleh Kapal Perang


Republik Indonesia, Jurnal Penelitian Hukum Legalitas, Vol. 9 | No.1, tahun
2015.

Lusy K. F. R. Gerungan, Penegakan Hukum Di Wilayah Perairan Indonesia Lex


et Societatis, Vol. IV/No. 5/Mei/2016.

Nadya Khaeriyah Yusran, Tinjauan Hukum Terhadap Hak dan Kewajiban Kapal
Asing Melakukan Lintas Di Alur Laut Kepulauan Indonesia, Skripsi Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 2017

Ni Wayan Purnama Sari. “Metode Baru Sebagai Usaha Untuk Merehabilitasi


Terumbu Karang di Indonesia Secara Cepat”, Majalah Ilmiah Oseana, No. 1,
vol. XL, (2015).

Raida L. Tobing dan Sriwulan Rios, Penegakan Kedaulatan dan Penegakan


Hukum di Ruang Udara, Jurnal Penelitian Hukum de jure, Vol.01 No 2,
Februari 1998.

83
Universitas Sumatera Utara
Teddy Nurcahyawan, Penegakan Hukum Dan Penenggelaman Kapal Asing (Studi
Kasus Tindak Pidana Pelaku Illegal Fishing), Era Hukum. Volume 2, No. 1,
Juni 2017.

Tommy Hendra Purwaka, Tinjauan Hukum Laut Terhadap Wilayah Negara


Kesatuan Republik Indonesia Mimbar Hukum Volume 26, Nomor 3, Oktober
2014.

Usmawadi Amir, Penegakan Hukum Iuu Fishing Menurut Unclos 1982, (Studi
Kasus: Volga Case) Jurnal Opinio Juris, Vol. 12 Januari-April 2013.

Zaqiu Rahman, Penenggelaman Kapal Sebagai Usaha Memberantas Praktik


Illegal Fishing, Jurnal Media Pembinaan Hukum Nasional, RechtsVinding
Online, 2015.

Website

Akhmad Solihin, Pemberantasan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU)


Fishing Menurut Hukum Internasional dan Implementasinya Dalam Peraturan
Perundang-Undangan Nasional, tesis, Universitas Padjadjaran, Bandung,
2008.

Dedi Gunawan Widyatmoko, https://news.detik.com/kolom/d-3818937/


penenggelaman-kapal-asing-dalam-konvensi-hukum-laut-1982/diakses
tanggal 29 Oktober 2018

Sezer Ozcan, “Securitization Of Energy Through The Lenses Of Copenhagen


School”, Orlando International Conference, West East Institute, Orlando,
hal. 4. Diakses dari: http://www.westeastinstitute.com/wp-
content/uploads/2013/04/ORL13-155-Sezer-Ozcan-Full-Paper.pdf, pada
tanggal 31 Oktober 2017

Metrini Geopani, “Analisi kebijakan pengelolaan 12 pulau kecil tertular indonesia


(ditinjau dari proses sekuritisasi dan lingkungan hidup)”, 2008, Tesis
Universitas Indonesia Program Studi Kajian Ilmu Lingkungan, hal 9. diakses
dari: http://lib.ui.ac.id/detail.jsp?id=120836&lokasi=lokal#horizontalTab2,
pada tanggal 31 Oktober 2018.

Maskun .http://www.negarahukum.com/hukum/konsepsi-negara-kepulauan.
html,diakses tanggal 28 Oktober 2018.

84
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai