Anda di halaman 1dari 126

KAJIAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN PENGUASAAN PASAR

YANG DILAKUKAN OLEH DISTRIBUTOR AIR MINUM DALAM


KEMASAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999
TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN
USAHA TIDAK SEHAT
(STUDI KASUS: PUTUSAN KPPU NO. 22/KPPU-I/2016)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

YOHANNES UNGGUL

NIM: 140200447

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya:

Nama : Yohannes Unggul

NIM : 140200490

Judul : KAJIAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN PENGUASAAN

PASAR YANG DILAKUKAN OLEH DISTRIBUTOR AIR MINUM

DALAM KEMASAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 5

TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN

PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT (Studi Kasus: Putusan KPPU

No. 22/KPPU-I/2016)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil

penelitian saya sendiri dan tidak menjiplak ataupun meniru hasil karya orang lain

maupun dibuat oleh orang lain.

Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana

tersebut diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku termasuk menerima sanksi pencabutan gelar kesarjanaan

yang telah saya peroleh.

Medan, Juni 2018

YOHANNES UNGGUL
NIM. 140200447

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Segala hormat, puji, dan syukur Penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus

Kristus atas berkatNya yang melimpah dan kasih karuniaNya yang tiada

berkesudahan yang selalu menguatkan serta membimbing Penulis. Ada suatu ayat

dalam Alkitab yang tertulis di Keluaran 14 ayat yang ke 14 yang mengatakan

bahwa “Tuhan akan berperang untuk kamu dan kamu akan diam saja”. Lantunan

kalimat tersebut yang membuat Penulis merasakan berkat serta kekuatan sehingga

Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Kajian Hukum Terhadap

Pelanggaran Penguasaan Pasar yang Dilakukan Oleh Distributor Air Minum

Dalam Kemasan Ditinjau Dari Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi

Kasus: Putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016)”.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis juga mendapatkan banyak bimbingan,

arahan, semangat, saran, motivasi serta doa dari berbagai pihak. Untuk itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. OK. Saidin S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

Universitas Sumatera Utara


5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. selaku Ketua Departemen

Hukum Ekonomi;

7. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH., M.LI. selaku Dosen Pembimbing I

yang telah meluangkan waktunya dan memberikan bimbingan dan

masukan kepada Penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan

baik;

8. Bapak Dr. Mahmul Siregar S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II

yang telah meluangkan waktunya dan memberikan bimbingan dan

masukan kepada Penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan

baik;

9. Seluruh Dosen dan Pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara;

10. Lindawaty Simanihuruk, wanita terhebat, ibunda tercinta yang tiada henti

dan tiada lelah dalam mengajarkan anaknya mengenai segala sesuatu.

Karena dukungan beliau maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih sekali lagi penulis sampaikan kepada ibu. Melihat dirimu

tersenyum adalah salah satu alasan mengapa skripsi ini ada;

11. Yulina Lestari dan Lita Yennifer selaku kakak dari penulis yang turut

memberi semangat dan dukungan kepada penulis dalam mengerjakan

tugas akhir. Semoga kita bisa cepat berkumpul lagi ya;

12. Keluarga besar Sagala dan Manihuruk yang telah memberikan semangat,

doa, dan nasihat-nasihat kepada penulis;

ii

Universitas Sumatera Utara


13. Kelompok kecil Gamaliel (Kak Saidibot Roulina Panjaitan, Ruth Secylia

Siallagan, Kristian Hutapea, Elia Fransisco Silitonga, Sonny Siregar serta

Kak Evi Situmorang) yang turut memberi dukungan dan doa kepada

penulis setiap kali penulis berjumpa dengan mereka sejak masa

perkuliahan hingga sekarang. Sukses untuk kita semua, semoga kita bisa

cepat berkumpul kembali. Terima kasih atas segalanya. Terima kasih,

karena kalianlah kehidupan perkuliahan yang membosankan menjadi lebih

memiliki variasi warna. Tuhan Yesus memberkati kalian;

14. Dian Meinar Manurung, yang telah memberi perhatian serta waktu dalam

menemani dan memberi dukungan kepada penulis dalam menjalankan

perkuliahan hingga tahap tugas akhir;

15. Teman-teman satu perantauan dari Jakarta (Gary Ekatama Bangun, Gian

Edith Sojuaon, Tony Adam Lingga, Hans Maskulin Saragih, dan bang

Wardiman Silalahi) yang selalu membuat hari-hari penulis semakin „tidak

jelas‟. Senang bisa mengenal kalian, khususnya Gary Ekatama Bangun

yang sudah penulis kenal sejak kelas 1 SMA. Sukses untuk kita semua,

ditunggu petualangan berikutnya;

16. Sahabat Gundaling (bang Jan Sinaga, bang Yesaya Singarimbun, bang

Anggie Sihotang, bang Chrispo Simanjuntak, bang Clinton Simanungkalit

Yudika Sormin, Ishak, Ray, Star, Yan Reinold, dan masih banyak lagi

yang penulis tidak mungkin tulis satu per satu). Terima kasih sudah

memberikan tempat sebagai rumah ke dua bagi penulis. Sukses untuk kita

semua, Tuhan memberkati;

iii

Universitas Sumatera Utara


17. Teman-teman Grup E stambuk 2014 (Anes Ringo, Erinsiman Sinaga,

Hariz Novirja, Gary Christian Barus, Kevin Tobing, Marvel Perdana, Lufti

Muchtar, Andre Pasaribu, Sonny Siregar, Mahmuddin, Dede Arifin,

Rejeki Nainggolan, dan masih banyak lagi yang penulis tidak mungkin

tulis satu per satu), terima kasih atas segala bantuan, hiburan, serta mengisi

kekosongan hidup penulis selama perkuliahan;

18. Keluarga Besar Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)

Komisariat Fakultas Hukum Usu;

19. Legatura (OSIS SMAN 16 Jakarta Barat angkatan 2014) khususnya

Amanda Putri Paramitha yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih atas literaturnya;

20. Ikatan Mahasiswa Hukum Ekonomi (IMAHMI) Fakultas Hukum USU.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak

kekurangan dan kelemahan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun

sangat penulis harapkan agar dapat menghasilkan karya ilmiah yang lebih baik

di masa yang akan datang.

Medan, Juni 2018


Penulis

Yohannes Unggul
NIM. 140200447

iv

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. v

ABSTRAK ..................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................. 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ........................................... 7

D. Keaslian Penulisan ............................................................. 8

E. Tinjauan Kepustakaan ........................................................ 10

F. Metode Penelitian ............................................................... 14

G. Sistematika Penulisan ......................................................... 16

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERSAINGAN

USAHA DI INDONESIA ......................................................... 19

A. Gambaran Umum Persaingan Usaha .................................. 19

1. Sejarah Hukum Persaingan Usaha ................................. 22

2. Pengertian Persaingan Usaha ......................................... 30

B. Asas dan Tujuan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 ........ 36

C. Metode Pendekatan Dalam Hukum Persaingan Usaha ...... 38

Universitas Sumatera Utara


1. Pendekatan Per Se Illegal ................................................ 38

2. Pendekatan Rule of Reason ............................................. 41

D. KPPU Sebagai Badan Penegak Hukum Persaingan Usaha

di Indonesia .......................................................................... 43

1. Tugas dan Wewenang ..................................................... 45

2. Tahapan Beracara Dalam UU No. 5 Tahun 1999 ........... 49

BAB III PENGUASAAN PASAR SEBAGAI KEGIATAN YANG

DILARANG DALAM UNDANG-UNDANG NO. 5

TAHUN 1999 ............................................................................. 59

A. Perjanjian yang Dilarang ..................................................... 59

B. Kegiatan yang Dilarang Dalam Undang-undang No. 5 Tahun

1999 .................................................................................... 65

C. Konsep Penguasaan Pasar .................................................. 68

1. Pengertian Pasar ............................................................. 68

2. Struktur Pasar Dalam Konsep Persaingan Usaha .......... 70

3. Penguasaan Pasar ........................................................... 75

D. Bentuk-bentuk Penguasaan Pasar ....................................... 77

E. Akibat Hukum Penguasaan Pasar ....................................... 82

vi

Universitas Sumatera Utara


BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN KPPU

NO. 22/KPPU-I/2016 TENTANG KASUS

PELANGGARAN YANG DILAKUKAN AQUA DAN

DISTRIBUTORNYA ............................................................. 86

A. Putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016 ................................. 86

1. Kasus Posisi ................................................................... 86

2. Pertimbangan Hukum KPPU ......................................... 88

3. Putusan ........................................................................... 98

B. Analisa Hukum Terhadap Putusan Majelis Komisi Dalam

Memutus Perkara No. 22/KPPU-I/2016 ............................. 99

BAB V PENUTUP ................................................................................ 108

A. Kesimpulan ......................................................................... 108

B. Saran ................................................................................... 109

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 111

vii

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Yohannes Unggul*
Mahmul Siregar**
Natasya Ningrum Sirait***

Persaingan Usaha di antara pelaku usaha yang bergerak dalam bidang


usaha yang sejenis biasa terjadi. Dalam prakteknya perilaku persaingan usaha
yang terjadi di Indonesia masih banyak yang tidak sesuai dengan Undang-undang
No. 5 tahun 1999. Melalui Putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016, KPPU
menyatakan bahwa Aqua telah terbukti bersalah melanggar ketentuan Pasal 15
ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b Undang-undang No. 5 tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Pasar
bersangkutan yaitu Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan pengumpulan data-data yang
ada serta dengan penelitian kepustakaan. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan hukum persaingan usaha di
Indonesia khususnya penguasaan pasar sebagai kegiatan yang dilarang, dan untuk
mengetahui apakah tindakan Aqua sebagai terlapor memang benar melanggar
ketentuan UU No. 5/1999 atau sebaliknya.
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud penguasaan pasar dalam UU
No. 5/1999 merupakan penguasaan dalam arti negatif pada saat pelaku usaha
menguasai pasar maka akan melakukan tindakan-tindakan anti persaingan yang
bertujuan agar dapat tetap menjadi penguasa pasar dan mendapatkan keuntungan
yang maksimal. Adapun hasil dari penelitian ini adalah Putusan KPPU No.
22/KPPU-I/2016 yang telah memenuhi aspek hukum formiil sehingga putusan
tersebut sah menurut hukum. Dari segi penalaran hukum, Majelis KPPU sudah
menerapkan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada karena
para terlapor terbukti memenuhi unsur Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal 19
huruf a dan b. Dimana para terlapor terbukti menghalang-halangi konsumen
pelaku usaha pesaingnya untuk melakukan hubungan dengan pelaku usaha
pesaingnya.

Kata Kunci: Persaingan Usaha, Air Minum Dalam Kemasan.

* Mahasiswa

** Dosen Pembimbing II

*** Dosen Pembimbing I

viii

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan pesat dunia di bidang usaha mengakibatkan pelaku usaha

harus selalu mengedepankan unsur efisiensi dalam menjalankan kegiatan

usahanya. Ilmu ekonomi memiliki prinsip yang didalamnya terkandung asas

dengan pengorbanan tertentu dapat diperoleh hasil yang maksimal. Singkatnya,

prinsip ekonomi menekankan panduan dalam kegiatan ekonomi untuk mencapai

perbandingan rasional antara pengorbanan yang dikeluarkan dengan hasil yang

diperoleh. Segala macam hal dilakukan oleh pelaku usaha agar terjalannya prinsip

ekonomi tersebut seperti melakukan inovasi-inovasi produk maupun jasa,

melakukan perjanjian dengan perusahaan lain, penggunaan teknologi yang lebih

termutakhir, hingga perbuatan-perbuatan curang yang berakibat pada kerugian

konsumen maupun pelaku usaha lain.

Banyak orang memberi argumentasi bahwa persaingan yang hidup

menurunkan harga barang dan meningkatkan pengalokasian sumber daya secara

efisien. Persaingan juga membatasi kekuasaan bisnis dalam suatu pasar yang

bersaing.1 Sejak dahulu hingga sekarang, terus bermunculan perbuatan-perbuatan

curang yang dilakukan antar pelaku usaha yang biasanya terjadi karena rasa ingin

menjadi yang paling unggul dan kuat di pasar. Namun terkadang keinginan

tersebut tidak diikuti dengan kemampuan dalam meningkatkan kualitas dan

kuantitas barang dan jasa yang dihasilkannya. Sehingga demi mewujudkan

1
John W. Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi, (Jakarta: ELIPS II, 2002), hlm. 9.

Universitas Sumatera Utara


2

cita-citanya tak jarang dilakukan berbagai macam cara untuk menarik pelanggan

atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya sendiri atau pemasarannya

dalam menggunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan itikad baik dan

kejujuran dalam pergaulan perekonomian.

Oleh karena itu diperlukan suatu hukum untuk mengatur iklim

perekonomian di Indonesia. Menurut Jeremy Bentham, hukum itu sebagai

“rangkaian perintah dan larangan yang disampaikan oleh badan atau Lembaga

yang memiliki wewenang yang sah untuk membentuk hukum yang disertai sanksi

atas pelanggaran terhadap perintah dan larangan tersebut”.2

Untuk menciptakan suatu undang-undang diperlukan proses yang panjang

agar terciptanya norma hukum yang sesuai dengan sistem sosial yang dianut

Indonesia. Hukum hanya dapat dimengerti dengan jalan memahami sistem sosial

terlebih dahulu dan bahwa hukum merupakan suatu proses.3

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

(selanjutnya disebut UUD NRI 1945) merupakan dasar konstitusional

perekonomian di Indonesia. Orientasi perekonomian di Indonesia menganut

sistem ekonomi kerakyatan4 berdasarkan instruksi UUD NRI 1945. Pasal 33 UUD

NRI 1945 yang merupakan dasar acuan normatif menyusun kebijakan

perekonomian nasional yang menjelaskan bahwa tujuan pembangunan ekonomi

adalah berdasarkan demokrasi yang bersifat kerakyatan dengan keadilan sosial

2
E. Sumaryono, Etika dan Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 221.
3
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm.
5.
4
Ekonomi kerakyatan adalah suatu sistem perekonomian yang dibangun pada kekuatan
ekonomi yang dapat memberikan kesempatan yang luas untuk masyarakat dalam berpartisipasi
sehingga perekonomian dapat terlaksana dan berkembang secara baik, Rennata Hariatna,
“Pengertian Ekonomi Kerakyatan dan Ciri-cirinya”, https://dosenekonomi.com/ilmu-
ekonomi/ekonomi-mikro/pengertian-ekonomi-kerakyatan, (diakses pada tanggal 24 Maret 2018).

Universitas Sumatera Utara


3

bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pendekatan kesejahteraan dan mekanisme

pasar.5

Ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945 secara lengkap menyatakan:

a. Perekonomian disusun sebagai usaha Bersama berdasar atas asas


kekeluargaan
b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan
c. Bumi, air dan kekayaan alam lainnya dipergunakan sebesar besarnya
untuk kemakmuran rakyat indonesia

Perekonomian Indonesia berupaya menghindarkan diri dari sistem free

fight liberalism6 yang mengeksploitasi manusia atau dominasi perekonomian oleh

negara serta persaingan curang dalam berusaha dengan melakukan pemusatan

kekuatan ekonomi pada satu kelompok tertentu saja. Praktek ini muncul dalam

berbagai bentuk monopoli ataupun monopsoni yang merugikan serta bertentangan

dengan instruksi Pasal 33 UUD NRI 1945.7

Dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 5 Tahun 19998 yang

bertujuan untuk menciptakan lingkungan perekonomian yang kondusif dan demi

tercapainya asas ekonomi kerakyatan, telah muncul harapan baru bagi bangsa

Indonesia agar terwujudnya persaingan usaha yang sehat dan membangun.

Ternyata masih banyak penyimpangan dan pelanggaran yang terjadi. Selama

5
Ningrum Natasya Sirait (a), Hukum Persaingan di Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa
Press, 2011), hlm. 1.
6
Free fight liberalism merupakan sistem persaingan bebas yang saling menghancurkan
dan dapat menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain sehingga dapat
menimbulkan kelemahan struktural ekonomi nasional, dikutip dari “Sistem Ekonomi di
Indonesia”, http://utamanyailmu.com/sistem-ekonomi-di-indonesia/ (diakses pada tanggal 24
Maret 2018)
7
Ningrum Natasya Sirait (a), op. cit, hlm. 2.
8
UU No. 5 Tahun 1999, Undang-undang tentang Larangan Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, LN No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817.

Universitas Sumatera Utara


4

berlakunya UU No. 5/1999, dunia bisnis dan perdagangan di Indonesia masih

kerap diwarnai berbagai persaingan usaha tidak sehat seperti halnya masalah

persekongkolan tender, penguasaan pasar, perjanjian kartel, dan perbuatan anti

persaingan yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak

sehat. Berkumpulnya para pelaku usaha untuk menguasai pasar adalah tindakan

kolusif yang dapat mendistorsi pasar.9

Salah satu pelanggaran yang muncul dan menjadi sorotan publik adalah

penguasaan pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha yang menguasai pasar dari

hulu hingga hilir. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya kasus yang masih

dalam proses pemeriksaan maupun yang sudah diputus oleh Komisi Pengawas

Persaingan Usaha (selanjutnya disebut sebagai KPPU). Pada dasarnya hukum

persaingan memperbolehkan penguasaan pasar dengan persyaratan penguasaan

pasar tersebut diperoleh dan dipergunakan dengan cara persaingan usaha yang

sehat. Tolak ukur persaingan usaha yang sehat yaitu jika para pelaku usaha

bersaing meningkatkan mutu barang dan jasa dari produk masing-masing pelaku

usaha, tanpa adanya penyimpangan dan perbuatan terlarang yang melanggar

ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, salah satu parameter

untuk menentukan persaingan usaha yang sehat adalah tidak adanya hambatan

bagi pelaku usaha pesaing untuk masuk pasar (barrier to entry10).

Kasus pelanggaran penguasaan pasar objek perkara Air Minum Dalam

Kemasan (AMDK) yang dilakukan PT. Tirta Investama (Danone Indonesia)


9
Ningrum Natasya Sirait (b), Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan:
Pustaka Press, 2003), hlm. 16.
10
Barrier to entry adalah kegiatan yang menghalangi atau menghambat pelaku usaha lain
masuk ke dalam persaingan terhadap produk barang, jasa, atau barang dan jasa yang sama. Lihat
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012), hlm. 233.

Universitas Sumatera Utara


5

selaku produsen dan PT. Balina Agung Perkasa sebagai distributor merupakan

bukti sikap tidak sportif dalam menjalankan usaha ataupun perdagangan dalam

dunia bisnis. Kasus dengan nomor putusan 22/KPPU-I/2016 merugikan pelaku

usaha pesaingnya dan dapat mematikan usaha pelaku usaha pesaingnya. Dimana

dalam putusan KPPU, terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa Terlapor I dan

Terlapor II melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b Undang-undang No. 5/1999 dan

Pasal 19 huruf a dan b Undang-undang No. 5/1999. Terlapor I yaitu PT. Tirta

Investama dikenakan sanksi denda sebesar Rp.13.845.450.000 (Tiga Belas Miliar

Delapan Ratus Empat Puluh Lima Juta Empat Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah)

dan Terlapor II untuk membayar denda sebesar Rp.6.294.000 (Enam Miliar Dua

Ratus Sembilan Puluh Empat Juta Rupiah). 11

Larangan yang terdapat pada Pasal 15 ayat (3) b dikaitkan dengan suatu

prakondisi, yaitu pemberian insentif dalam kaitannya dengan harga atau potongan

harga tertentu atas produk yang diperjualbelikan mensyaratkan bahwa pembeli

produk tersebut tidak akan membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku

usaha lain yang menjadi pesaing dari pemasok. 12 Sedangkan pasal 19 huruf a dan

b dikaitkan dengan indikasi menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu

untuk melakukan hubungan usaha dengan pelaku usahanya serta membatasi

peredaran penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan. 13

Perkara ini bermula dari laporan para pedagang ritel maupun eceran ke

Kantor KPPU pada September 2016. Pedagang mengaku dihalangi oleh pihak PT

11
Putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016
12
Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 131.
13
Ibid, hlm. 137.

Universitas Sumatera Utara


6

Tirta Investama untuk menjual produk Le Minerale yang diproduksi PT Tirta

Fresindo Jaya (Mayora Group). Salah satu klasul perjanjian ritel menyebutkan,

apabila pedagang menjual produk Le Minerale maka statusnya akan diturunkan

dari star outlet (SO) menjadi whole saler (eceran). Atas perbuatan itu, PT Tirta

Fresindo Jaya selaku Pelapor ini melayangkan somasi terbuka terhadap PT Tirta

Investama di surat kabar pada 1 Oktober 2017. Somasi ini selanjutnya ditanggapi

oleh otoritas persaingan usaha. KPPU mengendus praktik persaingan usaha tidak

sehat dalam industri Air Minum Dalam Kemasan Kemasan (selanjutnya disebut

sebagai AMDK).14

Walaupun volume kasus penguasaan pasar yang masuk ke dalam KPPU

tidak sebanyak kasus persekongkolan tender15, perilaku penguasaan pasar juga

sangat merugikan bagi pelaku usaha pesaing serta konsumen. Kondisi tersebut

menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam

judul: “Kajian Hukum Terhadap Pelanggaran Penguasaan Pasar yang Dilakukan

Oleh Distributor Air Minum Dalam Kemasan Ditinjau Dari Undang-undang No. 5

Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat”. Untuk itu, penulis akan membahas tentang kegiatan yang dilarang dalam

hal ini penguasaan pasar, serta menganalisis Putusan KPPU Nomor: 22/KPPU-

I/2016 tentang penguasaan pasar Air Minum Dalam Kemasan yang dilakukan

14
Deliana Prahita Sari dkk., Persaingan Usaha Tidak Sehat: Asal Mula Kasus Aqua
versus Le Minerale, dikutip dari http://kabar24.bisnis.com/read/20170711/16/670224/persaingan-
usaha-tidak-sehat-asal-mula-kasus-aqua-vs.-le-minerale, diakses pada tanggal 9 Maret 2018.
15
Hingga 2017, kata Hakim, KPPU sudah menerima 2.537 laporan masyarakat terkait
dugaan pelanggaran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999. Sebanyak 1.278
laporan di antaranya terkait tender. Wahyudi Aulia Siregar, Kasus Persaingan Usaha Tidak Sehat
Paling Banyak Terjadi di Jakarta, dikutip dari
https://economy.okezone.com/read/2017/06/15/320/1717063/wah-kasus-persaingan-usaha-tidak-
sehat-paling-banyak-terjadi-di-jakarta, diakses pada tanggal 9 Maret 2018.

Universitas Sumatera Utara


7

oleh Aqua (PT Tirta Investama selaku produsen dan PT Balina Agung Perkasa

selaku distributor) terhadap Le Minarale (PT Tirta Fresindo Jaya).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, ada beberapa

pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penguasaan pasar yang dimaksud sebagai kegiatan yang

dilarang dalam sudut pandang Undang-undang No. 5 Tahun 1999?

2. Bagaimanakah analisis hukum terhadap putusan KPPU Nomor: 22/KPPU-

I/2016 tentang kasus pelanggaran penguasaan pasar Air Minum Dalam

Kemasan yang dilakukan Aqua dan distributornya (PT. Tirta Investama

dan PT. Balina Agung Perkasa) ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah yang penulis kemukakan diatas, maka

tujuan penelitian ini untuk:

1. Mengetahui Tinjauan umum mengenai penguasaan pasar yang terdapat

dalam bab kegiatan yang dilarang dalam sudut pandang Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat.

2. Mengetahui apakah tindakan Aqua beserta distributornya memang benar

bersalah karena telah melanggar ketentuan Undang-undang No. 5/1999

sesuai keputusan Majelis KPPU No. 22/KPPU-I/2016.

Universitas Sumatera Utara


8

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Secara umum, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat

dalam perkembangan ilmu hukum khususnya di bidang hukum persaingan

usaha. Serta dapat menambah wawasan pemikiran dalam menganalisis

masalah pelanggaran penguasaan pasar yang dalam hal ini dilakukan oleh

Aqua dan distributornya.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, tulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran

penulis bagi perkembangan hukum persaingan usaha dalam memberi

masukan serta penilaian kepada pemerintah terhadap peraturan perundang-

undangan saat ini. Serta untuk pelaku usaha sebagai pedoman untuk

menjalankan usahanya agar dapat terciptanya persaingan yang sehat. Dan

tulisan ini juga memiliki manfaat bagi penulis, dengan adanya tulisan ini

diharapkan penulis dapat menambah wawasannya serta pengetahuannya di

bidang Hukum Persaingan Usaha.

D. Keaslian Penulisan

Sebagai tugas akhir serta syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum,

penulis mengajukan skripsi dengan judul “Kajian Hukum Terhadap

Pelanggaran Penguasaan Pasar yang Dilakukan Oleh Distributor Air Minum

Universitas Sumatera Utara


9

Dalam Kemasan Ditinjau Dari Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi

Kasus: Putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016)”, penulis terlebih dahulu

melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pusat Dokumentasi dari Informasi

Hukum/Perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum USU melalui surat

tertanggal 23 Februari 2018 menyatakan bahwa “tidak ada judul yang sama”

dalam arsip/dokumen skripsi yang telah ditulis oleh mahasiswa maupun alumni

Universitas Sumatera Utara berkenaan dengan judul tersebut diatas.

Penulis juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media

internet, dan sepanjang penelusuran yang dilakukan oleh penulis, belum ada

penulis lain yang pernah mengangkat judul tersebut. Maka berdasarkan

pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Kajian

Hukum Terhadap Pelanggaran Penguasaan Pasar yang Dilakukan Oleh Distributor

Air Mineral Dalam Kemasan Ditinjau Dari Undang-undang No. 5 Tahun 1999

Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi

Kasus: Putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016)” belum pernah ada penelitian

dilakukan dalam topik permasalahan yang sama. Sekalipun ada, hal tersebut

adalah diluar pengetahuan penulis.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran

yang didasarkan pada pengertian, teori-teori, dan aturan hukum yang berlaku yang

diperoleh dari media cetak, media elektronik, maupun bantuan dari beberapa

pihak. Penelitian ini disebut asli sesuai dengan keilmuan yaitu jujur, rasional,

objektif, dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Universitas Sumatera Utara


10

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Monopoli

Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang

dana atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu

kelompok pelaku usaha.16 Istilah monopoli berasal dari Bahasa Inggris, yaitu

monopoly dan istilah tersebut menurut sejarahnya berasal dari Bahasa Yunani,

yakni “monos polein” yang berarti sendirian menjual. Kebiasaan masyarakat di

Amerika menyebut monopoli sebagai “antitrust” untuk antimonopoly atau istilah

“dominasi” yang banyak digunakan oleh orang Eropa untuk menyebut istilah

monopoli. Istilah monopoli harus dibedakan dengan istilah monopolis yang berarti

orang yang menjual produknya secara sendirian (monopolist).17

Pengertian monopoli secara umum adalah jika ada satu pelaku usaha

(penjual) ternyata merupakan satu-satunya penjual bagi produk barang dan jasa

tertentu, dan pada pasar tersebut tidak terdapat produk substitusi (pengganti).

Akan tetapi karena perkembangan jaman, maka jumlah satu (dalam kalimat satu-

satunya) kurang relevan dengan kondisi riil di lapangan, karena ternyata banyak

pelaku usaha industri yang terdiri dari lebih dari satu perusahaan mempunyai

perilaku seperti monopoli. Berdasarkan kamus Ekonomi Collins yang dimaksud

dengan monopoli adalah: 18

16
UU No. 5/1999, op. cit, Pasal 1 angka 1.
17
Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usahaa Antara Teks & Konteks deutch
gesellschaft fur technische zusammenarbeit (GTZ), 2009, hlm. 127.
18
Ibid, hlm. 128.

Universitas Sumatera Utara


11

“Salah satu jenis struktur pasar yang mempunyai sifat-sifat, bahwa satu
perusahaan dengan banyak pembeli, kurangnya produk substitusi atau
pengganti serta adanya pemblokiran pasar (barrier to entry) yang tidak
dapat dimasuki oleh pelaku usaha lainnya”.
Selain itu, Black’s Law Dictionary memberikan definisi tentang monopoli

dari segi yuridis sebagai berikut:

“Monopoly is a privilege or peculiar advantage vested in one or more


persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry
out on a particular business or trade, manufacture a particular article, or
control the sale of the whole supply of a particular commodity.”

2. Praktek Monopoli

Selain definisi monopoli, undang-undang juga memberi perngertian dari

praktek monopoli, yaitu pemusatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha

yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan

atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat

merugikan kepentingan umum.19 Dari penjabaran pasal 1 angka 2 ini dapat dinilai

bahwa perbuatan praktek monopoli tersebut memiliki indikasi seperti halnya

pemusatan kekuatan ekonomi dimana pemusatan tersebut dapat dilakukan oleh

satu atau lebih pelaku usaha ekonomi yang menimbulkan perbuatan persaingan

usaha tidak sehat hingga merugikan kepentingan umum.

3. Pelaku Usaha

Istilah pelaku usaha terdapat juga dalam UU No. 5/1999. Dimana pasal 1

angka 5 menjelaskan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau

badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang

didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum


19
UU No. 5/1999, op. cit, pasal 1 angka 2.

Universitas Sumatera Utara


12

negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui

perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

Klasifikasi menurut sistematik undang-undang terhadap subyek hukum yang

melakukan kegiatan usaha, yaitu apakah yang bersangkutan dianggap perorangan

atau badan hukum, tidak berpengaruh disini. Ini nyata dalam formulasi undang-

undang tersebut melalui kalimat “orang perorangan atau badan usaha”.

Pengecualian hanya terdapat dalam Pasal 50 Huruf I UU No. 5/1999, yang

mengecualikan usaha koperasi dari jangkauan undang-undang, sepanjang kegiatan

koperasi tersebut secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.

Pengecualian tersebut tidak bermaksud mengecualikan sama sekali koperasi dari

jangkauan UU No. 5/1999, akan tetapi hanya apabila kegiatannya bertujuan

mengabdi kepada kesejahteraan umum anggotanya, yaitu apabila terdapat upaya

pengembangan koperasi terhadap anggotanya. 20

4. Persaingan usaha tidak sehat

Ketentuan ini terdapat pada Pasal 1 angka 6 UU No. 5/1999 yang

menjabarkan pengertian persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar

pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang

dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau

menghambat persaingan usaha. Menurut sistematik Pasal 1 angka 6 UU No.

5/1999, persaingan usaha tidak sehat ditandai tiga alternatif kriteria, yaitu 21:

20
Knud Hansen dkk, Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, (Jakarta: Deutsche gesellschaft für technische zusammenarbeit (GTZ), 2002),
hlm. 50.
21
Ibid, hlm. 61.

Universitas Sumatera Utara


13

a. Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara tidak jujur,

b. Melawan hukum dan

c. Menghambat persaingan usaha.

5. Pasar Bersangkutan

Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau

daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama

atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut. 22 Pengertian pasar

bersangkutan berdasarkan Pasal 1 angka 10 diatas menekankan pada konteks

horizontal yang menjelaskan posisi pelaku usaha beserta pesaingnya. Cakupan

pasar bersangkutan dalam UU No. 5/1999 dapat dikategorikan dalam dua

perspektif, yaitu pasar berdasarkan geografis dan pasar berdasarkan produk. Pasar

berdasarkan cakupan geografis terkait dengan jangkauan dan/atau daerah

pemasaran. Sementara, pasar berdasarkan produk terkait dengan kesamaan, atau

kesejenisan dan/atau tingkat substitusinya. 23

Definisi istilah “pasar bersangkutan” berdasarkan Pasal 2 I Huruf c

UNCTAD Model Law: “Pasar bersangkutan” menunjuk kepada sektor

perdagangan yang mengalami hambatan persaingan usaha dan menunjuk kepada

daerah geografis pasar bersangkutan, didefinisikan agar meliputi semua barang

dan jasa yang dapat mensubstitusi, serta semua pesaing di daerah berdekatan yang

22
UU No. 5/1999, op. cit, Pasal 1 angka 10.
23
Peraturan KPPU No. 3 Tahun 2009 tentang pedoman penerapan pasal 1 angka 10
tentang pasar bersangkutan berdasarkan undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang larangan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Universitas Sumatera Utara


14

dapat dihubungi pembeli apabila hambatan atau penyalahgunaan tersebut

mengakibatkan kenaikan harga yang berarti”.24

6. Penguasaan Pasar

Penguasaan pasar merupakan keinginan dari sebagian besar pelaku usaha,

karena melalui penguasaan pasar pelaku usaha dapat mewujudkan efisiensi biaya

atau menjamin pasokan bahan baku atau produk untuk mencapai skala ekonomi.

Dalam UU No.5/1999 terdapat bentuk kegiatan yang dilarang yaitu penguasaan

pasar. Namun, UU No.5/1999 tidak menentukan pengertian penguasaan pasar,

namun demikian penguasaan pasar ini adalah kegiatan yang dilarang karena dapat

mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak

sehat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 UU

No.5/1999. Di samping dilarangnya penguasaan pasar yang besar oleh satu atau

sebagian kecil pelaku usaha pasar, juga dilarang penguasaan pasar secara tidak

adil, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau praktik

persaingan usaha tidak sehat.25

F. Metode Penelitian

Dalam melakukan suatu penelitian, diperlukan metode sebagai suatu tipe

pemikiran yang secara sistematis untuk memperoleh data kredibel dan akurat.

Oleh karena itu metode yang dipergunakan dalam penelitian sangatlah

menentukan hasil akhir. Adapun metode penelitian ini adalah sebagai berikut:

24
Knud Hansen dkk, op. cit, hlm. 93-94.
25
Susanti Adi Nugroho, op.cit, hlm. 383.

Universitas Sumatera Utara


15

1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian normatif yang

bersifat kualitatif. Metode normatif digunakan untuk meneliti penguasaan pasar

dihubungkan dengan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan dan putusan pengadilan. Metode penelitian yuridis normatif

yang bersifat kualitatif artinya tidak mementingkan data secara kuantitas tetapi

lebih menekankan kepada analisis pendalaman. Penelitian ini dikatakan sebagai

penelitian perpustakaan karena penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data

bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian ini memiliki sifat deskriptif

yang menurut Soerjono Soekanto yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk

memberikan data yang seteliti mungkin tentang keadaan yang menjadi objek

penelitian sehingga akan mempertegas hipotesa dan dapat membantu memperkuat

teori lama atau membuat teori baru.26

Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu

dengan menganalisa permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan terhadap

asas-asas hukum yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam

peraturan perundang-undangan. Penulis juga menggunakan pendekatan kasus

(Case Approach) yaitu pendekatan yang bertujuan untuk mempelajari penerapan

norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama

mengenai kasus-kasus yang telah diputus terhadap perkara-perkara yang menjadi

fokus penelitian. Kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap

dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum,

26
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2014), hlm.10.

Universitas Sumatera Utara


16

serta menggunakan hasil analisis untuk bahan masukan dalam eksplanasi

hukum.27

2. Data yang digunakan

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait,

antara lain: Undang-Undang, yaitu Undang-undang Nomor 5 tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,

serta Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 3 Tahun 2009

tentang Pedoman Pasal 1 angka 10 UU No. 5/1999 dan Peraturan Komisi

Pengawas Persaingan Usaha No. 1/2010 mengenai Tata Cara Penanganan

Perkara.

b. Bahan hukum sekunder, berupa Putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016,

buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel-artikel, koran,

majalah, wacana yang dikemukakan oleh pendapat para sarjana hukum

dan ekonomi, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya yang

diperoleh penulis baik melalui media cetak maupun media elektronik.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum

tersier yang penulis gunakan seperti kamus hukum, majalah, serta bahan-

bahan diluar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk

melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

27
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2006), hlm. 321.

Universitas Sumatera Utara


17

3. Analisa Data

Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data-data yang ada, maka

penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya. Metode analisa data yang

dilakukan penulis adalah bersifat kualitatif, yaitu dengan:

a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang

relevan dengan permasalahan yang terdapat pada penelitian ini.

b. Melakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum yang relevan agar

sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan

kesimpulan dari permasalahan.

d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan

kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan

dan tulisan.

G. Sistematika Penulisan

Untuk penulisan yang lebih terarah dan lebih mudah untuk dipahami,

maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur. Secara sistematis,

penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 5 (lima) bab

yang terperinci sebagai berikut:

Bab satu merupakan bab pendahuluan. Adapun pendahuluan tersebut

berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

Universitas Sumatera Utara


18

Bab dua menguraikan tentang Tinjauan Umum Persaingan Usaha di

Indonesia. Bab Terdiri dari 4 bagian, yaitu mengenai gambaran umum persaingan

usaha, asas dan tujuan UU No. 5/1999, Metode pendekatan dalam Hukum

Persaingan Usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai badan Penegak

Hukum persaingan usaha di Indonesia.

Bab tiga menggambarkan tentang penguasaan pasar dalam UU No.

5/1999. Pada bab ini, akan membahas penguasan pasar secara keseluruhan dalam

sudut pandang UU No. 5/1999. Terdiri dari 4 sub bab yaitu Kegiatan yang

dilarang, konsep penguasaan pasar, bentuk-bentuk penguasaan pasar, dan akibat

hukum penguasaan pasar.

Bab empat menguraikan tentang Analisis terhadap putusan KPPU No.

22/KPPI-I/2016. Merupakan hasil analisis hukum yang berfokus pada

pelanggaran penguasaan pasar, bab ini juga menjabarkan kasus posisi,

pertimbangan hukum KPPU, serta Putusan Majelis.

Pada bab terakhir yaitu bab lima akan dikemukakan kesimpulan dari

bagian awal hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari

substansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis ciptakan dalam

kaitannya dengan masalah yang dibahas.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERSAINGAN USAHA DI

INDONESIA

A. Gambaran Umum Persaingan Usaha

Indonesia sudah cukup dikenal dengan kebudayaannya yang berorientasi

pada kebersamaan, gotong royong. Hal-hal tersebut merupakan nilai hidup pada

kehidupan masyarakat. Bersaing kerap dikatakan kegiatan yang bersifat

individualistis dan hanya berorientasi pada kepentingan sepihak dengan cara

melakukan berbagai cara dan upaya semaksimal mungkin untuk mencapai

keuntungan yang sebesar besarnya. Pandangan tersebut menjadi salah apabila

dilakukan dengan cara yang tidak jujur.28

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan, bahwa terminologi

„persaingan‟ berasal dari kata dasar „saing‟ yang memiliki dua makna. Pertama,

artinya “perihal berlomba (bersaing); konkurensi”. Dan kedua, artinya “suatu

usaha memperlihatkan keunggulan masing-masing yang dilakukan perseorangan

(perusahaan, negara pada bidang perdagangan, produksi, persenjataan, dan lain

sebagainya)”29. Istilah persaingan pada umumnya adalah suatu proses sosial

ketika ada dua pihak atau lebih saling berlomba dan berbuat sesuatu untuk

mencapai kemenangan tertentu. 30

28
Ningrum Natasya Sirait (a), op.cit, hlm. 14-15.
29
Kemdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikutip dari
http://kbbi.kemendikbud.go.id, diakses pada tanggal 23 Mei 2018.
30
Pengertian persaingan dan contohnya, dikutip dari
http://artikelsiana.com/2015/06/pengertian-persaingan-competition-contoh.html, diakses pada
tangga 23 Mei 2018.
19

Universitas Sumatera Utara


20

Sesungguhnya, bersaing bukanlah sesuatu yang harus dihindarkan.

Disamping mendapat kesempatan untuk melihat dan sekaligus mendapatkan hasil

yang terbaik dari suatu persaingan, banyak hasil positif yang ditemukan dalam

persaingan. Fenomena ini sering muncul secara alamiah diantara para pelaku

bisnis di dunia usaha. Persaingan memang timbul secara natural demi untuk

mendapatkan keuntungan yang sebesar besarnya dari masyarakat konsumen

produknya merupakan tujuan utama dari para pelaku usaha.31

Pada dasarnya hubungan antara pelaku usaha dan konsumen merupakan

hubungan yang bersifat ketergantungan, karena pelaku usaha membutuhkan dan

sangat bergantung atas dukungan konsumen sebagai pelanggan, dan sebaliknya

konsumen juga kebutuhannya sangat bergantung dari pelaku usaha. Kebutuhan

kedua pihak tersebut dapat menciptakan hubungan yang bersifat terus-menerus

dan berkesinambungan, sesuai dengan tingkat ketergantungan akan kebutuhan

yang tidak terputus-putus.32

Dalam aktivitas bisnis dapat dipastikan terjadi persaingan diantara pelaku

usaha. Pelaku usaha akan berusaha menciptakan, mengemas, serta memasarkan

produk yang dimilikinya sebaik mungkin agar diminati dan dibeli oleh konsumen.

Persaingan dalam usaha dapat berimplikasi positif, sebaliknya dapat juga menjadi

negatif jika dijalankan dengan perilaku negatif dan sistem ekonomi yang

menyebabkan tidak kompetitif.33

31
Ibid, hlm. 15.
32
Amad Sudiro, “Nilai Keadilan Pada Hubungan Pelaku Usaha dan Konsumen Dalam
Hukum Transportasi Udara Niaga” dalam Amad Sudiro dan Deni Bram (ed), Hukum dan
Keadilan (Aspek Nasional & Internasional), (Depok: Rajagrafindo Persada, 2013), hlm. 7.
33
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.8.

Universitas Sumatera Utara


21

Indonesia bukan hanya negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara,

tetapi juga negara demokrasi terbesar di Asia. Dengan populasi lebih dari 250 juta

orang, bukan hal yang mudah bagi pemerintah untuk membuat lapangan

pekerjaan demi tercapainya kesejahteraan rakyat. Hal tersebut juga merupakan

salah satu faktor munculnya sikap persaingan untuk mendapatkan suatu lapangan

pekerjaan.34

Indonesia yang sedang dalam tahap liberalisasi ekonomi dan tengah

beradaptasi terhadap ekonomi pasar saat ini sedang banyak mengadakan

deregulasi dalam berbagai perundangan. Hukum Persaingan adalah suatu elemen

yang esensial dalam perekonomian modern sehingga kebutuhan akan Hukum

Persaingan merupakan kebutuhan akan adanya suatu “code of conduct” yang

mengarahkan pelaku usaha untuk bersaing secara sehat. Disamping memberikan

landasan bagi persaingan usaha maka negara juga mempunyai objektivitas bahwa

kebijakan persaingan adalah untuk menjaga kelangsungan proses kebebasan

persaingan itu sendiri yang diasosiasikan dengan freedom of trade (kebebasan

berusaha), freedom of choice (kebebasan untuk memilih) dan access to market

(terobosan memasuki pasar).35

Para ekonom dan praktisi hukum persaingan sepakat bahwa umumnya

persaingan menguntungkan bagi masyarakat. Pembuat kebijakan persaingan pada

berbagai jenjang pemerintahan perlu memiliki pemahaman yang jelas mengenai

keuntungan persaingan, tindakan apa saja yang dapat membatasi maupun

mendorong persaingan dan bagaimana kebijakan yang mereka terapkan dapat


34
Tulus Tambunan, Competition Law and SMEs in Indonesia,
http://cambridge.org/core/books/competition-law-regulation-and-smes-in-the-
asiapacific/competition-law-and-smes-in-indonesia/D971F42FD206478DD81F10B2BDE358DE,
diakses pada tanggal 13 Maret 2018.
35
Ningrum Natasya Sirait (a), op. cit, hlm. 17.

Universitas Sumatera Utara


22

berpengaruh terhadap proses persaingan. Pemahaman ini akan membantu

pembuat kebijakan untuk bisa mengevaluasi dengan lebih baik apakah kebijakan

tertentu, misalnya dalam hukum persaingan usaha atau perdagangan menciptakan

suatu manfaat luas bagi rakyat.36

Sebelum mengenal persaingan usaha di Indonesia lebih lanjut, alangkah

baiknya mempelajari sejarahnya terlebih dahulu. Karena sejarah diperlukan untuk

menjabarkan serta membahas suatu variabel yang ada, yang berguna untuk

mengetahui asal usul variabel tersebut sehingga dapat dimengerti eksistensinya.

1. Sejarah Hukum Persaingan Usaha

Indonesia baru memiliki aturan hukum dalam bidang persaigan usaha,

setelah atas inisiatif DPR disusun RUU Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat. RUU tersebut akhirnya disetujui dalam sidang paripurna DPR pada

tanggal 18 Februari 1999, dalam hal ini pemerintah diwakili oleh Menteri

Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan. Setelah seluruh prosedur

legislasi terpenuhi, akhirnya Undang-undang tentang Larangan Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat ditandatangani Presiden Bachruddin Jusuf Habibie

dan diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999 serta berlaku satu tahun setelah

diundangkan.

Sebelumnya persaingan usaha tidak sehat dan tindak pidana monopoli,

diatur baik secara eksplisit maupun implisit dalam berbagai perundang-undangan

36
Andi Fahmi Lubis, op. cit, hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara


23

yang ada. Berikut beberapa peraturan perundang-undangan yang telah mengatur

persaingan usaha di Indonesia37;

a. Pasal 382 bis W.V.S (KUHP)

“Barangsiapa mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil


perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan
perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang
tertentu diancam karena persaingan curang dengan pidana paling lama
satu (1) tahun empat bulan atau denda paling banyak Rp.13.500,00 jika
hal itu dapat menimbulkan kerugian bagi saingannya sendiri atau
saingan orang lain.”

b. Pasal 1365 KUHPerdata

“Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian

kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan suatu

kerugian tersebut karena kesalahannya untuk mengganti kerugian

tersebut.”

c. Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Upaya pencegahan terhadap terjadinya praktik monopoli dan usaha

tidak sehat terdapat dalam ketetapan-ketetapan MPR, yaitu:

1) Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973 tentang GBHN bidang

pembangunan ekonomi.

2) Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1978 tentang GBHN pada

bidang Pembangunan Ekonomi pada Sub Bidang Usaha Swasta

dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah.

3) Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1983 tentang GBHN pada

bidang Pembangunan Ekonomi Sub Bidang Usaha Swasta

Nasional dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah

37
Mustafa Kamal Rokan, op. cit, hlm. 21.

Universitas Sumatera Utara


24

4) Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1988 tentang GBHN pada

Bidang Pembangunan Ekonomi Sub Bidang Dunia Usaha

Nasional.

5) Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1993 tentang GBHN pada

Bidang Pembangunan Ekonomi Sub Bidang Usaha Nasional.

6) Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN pada

kondisi umum

d. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria

Pada pasal 13 ayat (2) UU No. 5/1960 tentang Pokok Agraria

menentukan pemerintah harus mencegah usaha-usaha dari organisasi-

organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta. Dalam

ayat 3 disebutkan bahwa monopoli pemerintah dalam lapangan

agrarian dapat diselenggarakan asal dilakukan berdasarkan undang-

undang.

e. Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

“Dalam pasal 7 memuat ketentuan tentang kewenangan pemerintah

untuk melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap

industri untuk: (1) mewujudkan pengembangan industri yang lebih

baik, secara sehat dan berhasil guna, (2) mengembangkan persaingan

yang baik dan sehat serta mencegah persaingan tidak jujur, (3)

mencegah pemutusan atau penguasaan industri oleh satu kelompok

atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.”

f. Pasal 81 dan 82 Undang-undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek

sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang No. 14 Tahun 1997

Universitas Sumatera Utara


25

Pasal 81 dan 82 berintisarikan melarang setiap orang dengan

sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama dengan merek

terdaftar milik orang lain atau milik badan hukum untuk barang dan

jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan. Menurut pasal

83 perbuatan yang diatur dalam pasal 81 dan 82 merupakan kejahatan.

g. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank

Umum

Pada Pasal 15 (1) disebutkan, merger dan konsolidasi hanya dapat

dilakukan setelah ada izin dari Menteri Keuangan.

h. Undang-undang No, 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas

Dalam Undang-undang ini khususnya Bab VII Pasal 102 hingga

109 yang mengatur mengenai penggabungan (merger), peleburan

(konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi).

i. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil

Undang-undang ini menyatakan pemerintah harus menjaga iklim

usaha dalam kaitannya dengan persaingan dengan membuat peraturan-

peraturan yang diperlukan. Untuk melindungi usaha kecil, pemerintah

juga harus mencegah pembentukan struktur pasar yang mengarah pada

pembentukan monopoli, oligopoli, dan monopsoni.

j. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

Dalam Pasal 10 melarang adanya ketentuan yang menghambat

adanya persaingan sehat dalam pasar modal.

k. Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan,

Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas

Universitas Sumatera Utara


26

Dalam pasal 4 (b) disebutkan bahwa penggabungan, peleburan, dan

pengambilalihan perusahaan, hanya dapat dilakukan dengan

memerhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan usaha.

Latar belakang yang mendorong penyusunan undang-undang antimonopoli

adalah perjanjian yang dilakukan antara Dana Moneter Internasional (IMF)

dengan pemerintah Republik Indonesia, pada tanggal 15 Januari 1998. Dalam

perjanjian tersebut, IMF menyetujui pemberian bantuan keuangan kepada Negara

Republik Indonesia sebesar US$ 43 miliar yang bertujuan untuk mengatasi krisis

ekonomi, akan tetapi dengan syarat Indonesia melaksanakan reformasi ekonomi

dan hukum ekonomi tertentu. Hal ini menyebabkan diperlukannya undang-undang

antimonopoli.38

Ada yang berpendapat bahwa peran serta IMF cukup penting dalam

mendorong pemerintah untuk melakukan deregulasi pada beberapa materi

perundang-undangan baru khususnya yang menyangkut mengenai persaingan

usaha. Walaupun ditentang sebagian pihak, tetapi kenyataannya menunjukkan

bahwa peran IMF sebagai bagian dari Letter of Intent cukup signifikan dalam

menentukan beberapa perubahan yang terjadi terutama dalam kebijakan

perekonomian dan hukum. Beberapa diantara butir-butir kesepakatan Letter of

Intent tersebut yang menyentuh dalam persaingan usaha adalah39:

a. Butir (31) bulan November, pemerintah menyusun strategi ambisius


untuk reformasi structural yang bertujuan untuk membawa ekonomi
kembali kearah pertumbuhan yang cepat dengan mengubah ekonomi
biaya tinggi ke ekonomi lebih terbuka, kompetitif, dan efisien. Untuk
mencapai perubahan itu strategi yang ditujukan untuk liberalisasi

38
Ibid, hlm. 12
39
Natasya Ningrum Sirait, op. cit, hlm. 8.

Universitas Sumatera Utara


27

perdagangan dan investasi asing, deregulasi kegiatan domestic dan


mempercepat program swastanisasi. Pada saat yang bersamaan,
dipertimbangkan langkah-langkah lanjutan untuk menghadapi
kemiskinan.
b. Butir (32) pemerintah sudah menyiapkan strategi ekonomi yang lebih
terbuka dan meningkatkan daya saing dengan mencabut monopoli
Bulog untuk produk gandum, kedelai, bawang putih. Importir
diperkenankan menjual seluruh produk ini di pasar dalam negeri,
kecuali gandum. Untuk mempermudah penyesuaian ongkos bagi
petani, tarif yang saat ini masih dibatasi 20% akan diturunkan sampai
5% pada tahun 2003.
c. Butir (33) Harga Patokan Sementara (HPS) semen dihapus serta
penurunan harga bahan-bahan konstruksi pada bulan November. Tarif
produk kimiia akan diturunkan menjadi 5% mulai 1 Januari 1998,
sedangkan untuk barang metal dan baja akan dimulai sejak 1 Januari
1999. Dengan demikian tarif maksimum produk-produk ini ditargetkan
mencapai 10% pada tahun 2003.
d. Butir (41) terhitung sejak 1 Februari 1998 para pedagang produk-
produk pertanian seperti cengkeh, jeruk, dan vanilla akan memiliki
kebebasan membeli, menjual, komoditinya tanpa ada batasan wilayah.
Cengkeh, para pedagang bisa membeli dan menjualnya dengan harga
bebas, dan BPPC akan dibubarkan pada bulan Juni 1998.
e. Butir (43) monopoli Bulog akan dibatasi pada beras. Efektif sejak 1
Februari 1998, semua pedagang akan diizinkan untuk mengimpor gula
dan memasarkannya pada pasar domestik, dan petani akan dibebaskan
dari ketentuan formal dan informal untuk menanam tebu.

Perjanjian tersebut memang bukan satu-satunya alasan penyusunan

undang-undang antimonopoli. Sejak 1989, telah terjadi diskusi intensif di

Indonesia mengenai perlunya perundang-undangan antimonopoli. Reformasi

sistem ekonomi yang luas dan khususnya kebijakan regulasi yang dilakukan sejak

tahun 1980, dalam jangka waktu 10 tahun telah menimbulkan situasi yang

dianggap sangat kritis. Timbul konglomerat pelaku usaha yang dikuasai oleh

keluarga atau partai tertentu, dan konglomerat tersebut dikatakan menyingkirkan

pelaku usaha kecil dan menengah melalui praktek usaha yang kasar serta berusaha

Universitas Sumatera Utara


28

untuk mempengaruhi semaksimal mungkin penyusunan undang-undang serta

pasar keuangan.40

Kalangan konglomerat tersebut bahkan menikmati perlindungan undang-

undang melalui serangkaian kartel untuk semen, kaca, kayu, serta penetapan harga

semen, gula, dan beras, pengaturan akses ke pasar untuk kayu dan kendaraan

bermotor, lisensi istimewa untuk pajak pabean, dan kemudahan kredit dalam

sektor industri pesawat dan mobil.41 Dengan latar belakang demikian, maka

disadari bahwa pembubaran ekonomi yang dikuasai negara dan perusahaan

monopoli saja tidak cukup untuk membangun suatu perekonomian yang

bersaing.42

Disadari juga hal-hal yang merupakan dasar pembentukan setiap undang-

undang antimonopoli, yaitu justru pelaku usaha itu sendiri yang cepat atau lambat

melumpuhkan dan menghindarkan dari tekanan persaingan usaha dengan

melakukan perjanjian atau penggabungan perusahaan yang menghambat

persaingan serta penyalahgunaan posisi kekuasaan ekonomi untuk merugikan

pelaku usaha yang lebih kecil. Disadari adanya keperluan bahwa negara menjamin

keutuhan proses persaingan usaha terhadap gangguan dari pelaku usaha dengan

menyusun undang-undang, yang melarang pelaku usaha mengganti hambatan

perdagangan oleh Negara yang baru saja ditiadakan dengan hambatan persaingan

swasta.43

Fenomena diatas berkembang dan didukung oleh adanya hubungan yang

terkait antara pengambilan keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara

40
Ibid, hlm. 13.
41
Suyud Margono, Hukum Antimonopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 26.
42
Andi Fahmi Lubis, loc.cit.
43
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


29

langsung maupun tidak langsung, sehingga makin memperburuk keadaan, serta

cenderung menunjukkan corak yang monopolistik. Para pelaku usaha yang dekat

dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan

sehingga berdampak pada kesenjangan sosial. Dengan memperhatikan situasi dan

kondisi tersebut di atas, menuntut kita untuk mencermati dan menata kembali

kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh dan berkembang

secara sehat dan wajar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat,

terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok

tertentu, antara lain dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak

sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan

sosial.44

Tahun-tahun awal reformasi di Indonesia memunculkan rasa keprihatinan

rakyat terhadap fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar yang disebut

konglomerat menikmati pangsa pasar terbesar dalam perekonomian nasional

Indonesia. Dengan berbagai cara mereka berusaha mempengaruhi berbagai

kebijakan ekonomi pemerintah sehingga mereka dapat mengatur pasokan atau

supply barang dan jasa serta menetapkan harga-harga secara sepihak yang tentu

saja menguntungkan mereka.45

Koneksi yang dibangun dengan birokrasi Negara membuka kesempatan

luas untuk menjadikan mereka sebagai pemburu rente. Apa yang mereka lakukan

sebenarnya hanyalah mencari peluang untuk menjadi penerima rente (rent

seeking) dari pemerintah yang diberikan dalam bentuk lisensi, konsesi, dan hak-

hak istimewa lainnya. Kegiatan pemburuan rente tersebut, oleh pakar ekonomi
44
Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.
11.
45
Andi Fami Lubis, loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


30

William J. Baumol dan Alan S. Blinder dikatakan sebagai salah satu sumber

utama penyebab infisiensi dalam perekonomian.46

2. Pengertian Persaingan Usaha

Persaingan atau „competition’ dalam Bahasa Inggris oleh Webster

didefinisikan sebagai “a struggle or contest between two or more persons for

some objects”. Dalam memperhatikan terminology persaingan usaha tersebut,

dapat disimpulkan bahwa dalam setiap persaingan akan terdapat unsur dua pihak

atau lebih yang terdapat dalam upaya saling mengungguli dan adanya kehendak di

antara mereka untuk mencapai tujuan yang sama. 47

Terdapat berbagai istilah yang dikenal dan sering digunakan untuk

menunjuk instrumen hukum yang mengatur persaingan dan monopoli, yakni

sebagai berikut48:

a. Hukum anti Monopoli atau Undang-undang Anti Monopoli

(Antimonopoly Law) yang berisi ketentuan-ketentuan untuk menentang

atau meniadakan monopoli

b. Hukum Antitrust atau Undang-undang Antitrust (Antitrust Law) secara

hakiki istilah hukum anti monopoli. Keduanya dipakai untuk

menunjuk ketentuan-ketentuan hukum yang ditujukan untuk

meniadakan monopoli.

46
William J. Baumol dan Alan S Bliner, Economic, Principles and Policy, 3rd ed.
(Florida: Harcourt Brace Jovanovich Publisher Orlando, 1985) p.550 dalam Andi Fahmi Lubis,
Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks (Jakarta: GTZ, 2009), hlm. 13.
47
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 13.
48
Ibid, hlm. 30

Universitas Sumatera Utara


31

c. Hukum Persaingan (Competition Law)

Hukum persaingan merupakan instrumen hukum yang menentukan

tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan, yaitu mengatur

sedemikian rupa sehingga tidak menjadi sarana untuk mendapatkan

monopoli.

d. Hukum Praktik-Praktik Perdagangan Curang (Unfair Trade Practices

Law) dimana istilah ini secara khusus memberi penekanan pada

persaingan di bidang perdagangan.

e. Hukum Persaingan Sehat (Fair Competition Law), merupakan istilah

yang memiliki pengertian yang sama dengan Competition Law.

Perbedaannya adalah secara sekilas istilah ini menegaskan bahwa yang

ingin dijamin adalah persaingan yang sehat.

Dengan melihat istilah tersebut diatas, istilah-istilah tersebut pada

dasarnya membahas tentang pencegahan atau peniadaan monopoli. Lalu

membahas mengenai terjadinya persaingan yang sehat. Kemudian larangan

persaingan yang tidak jujur. Istilah yang lebih sering digunakan adalah “hukum

persaingan usaha” yang mencakup ketentuan-ketentuan anti monopoli maupun

ketentuan persaingan dalam bidang usaha.

Persaingan sering dikonotasikan negatif yang berkorelasi dengan

mementingkan kepentingan sendiri. Walaupun pada kenyataannya seorang

manusia, apakah dalam kapasitasnya sebagai individual maupun anggota suatu

organisasi, secara ekonomi tetap akan berusaha mendapatkan keuntungan yang

sebesar-besarnya. Alfred Marshal, seorang ekonom terkemuka sampai

mengusulkan agar istilah persaingan digantikan dengan economic freedom

Universitas Sumatera Utara


32

(kebebasan ekonomi) dalam menggambarkan atau mendukung tujuan positif dari

proses persaingan.49

Kamus lengkap Ekonomi yang ditulis oleh Christoper Pass dan Bryan

Lowes mengartikan Competition Law sebagai bagian dari perundang-undangan

yang mengatur tentang monopoli, penggabungan dan pengambilalihan, perjanjijan

perdagangan yang membatasi praktik anti persaingan. 50 Dari pengertian diatas,

Hermansyah menyimpulkan bahwa hukum persaingan usaha adalah seperangkat

aturan hukum yang mengatur mengenai segala aspek yang berkaitan dengan

persaingan usaha, yang mencakup hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang

dilarang dilakukan oleh pelaku usaha.51

Adapun Black Law‟s Dictionary memberikan pengertian persaingan atau

persaingan usaha sebagai the effort or action of two or more commercial interest

to obtain the same business from third parties. Dengan memperhatikan

terminologi „persaingan‟ di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam setiap

persaingan akan terdapat unsur-unsur yaitu adanya dua pihak atau lebih yang

terlibat dalam upaya saling mengungguli dan ada kehendak di antara mereka

untuk mencapai tujuan yang sama.52

Undang-undang No. 5/1999 memberikan pengertian persaingan usaha

tidak sehat dalam pasal 1 angka 6 sebagai persaingan antar pelaku usaha dalam

menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang

dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat

49
Ningrum Natasya Sirait (a), op. cit, hlm. 50.
50
Christoper Pass & Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, ed. 2, (Jakarta: Erlangga,
1994) dalam Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 2
51
Hermansyah, op. cit, hlm. 2.
52
Arie Siswanto, op.cit, hlm. 13.

Universitas Sumatera Utara


33

persaingan usaha. Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan

yang dilakukan dengan cara melawan hukum akan berimplikasi pada proses

persaingan usaha secara sehat. Adapun menurut Elyta Ras Ginting, UU

antimonopoli Indonesia mengacu pada Sherman Act. Sherman Act merupakan

refleksi dari kehendak banyak kelompok kepentingan yang berbeda-beda, mulai

dari petani, kaum populis, pengusaha kecil dan frontiersman yang menghendaki

agar praktik bisnis tidak jujur dapat dihentikan.53

Dengan melihat pengertian persaingan usaha dari berbagai sudut padang

diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya persaingan itu tidak

seharusnya dikonotasikan dengan negatif. Karena persaingan merupakan

kehendak alamiah setiap manusia dalam mencapai suatu keinginan atau nilai

kebenaran yang dimiliki masing-masing individu. Pemerintah dalam menciptakan

UU No. 5/1999 melihat pembukaan UUD NRI 1945 sebagai landasan yuridisnya.

Bahwa tujuan pembangunan nasional adalah melindungi segenap bangsa dan

seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.54

Istilah keadilan dan kemakmuran pada dasarnya merupakan rangkaian kata

yang menerangkan tentang kondisi kehidupan manusia yang dicita-citakan oleh

setiap kelompok masyarakat manapun. Keadilan dan kemakmuran sangat erat

kaitannya dengan proses pemenuhan kebutuhan hidup manusia, baik yang berupa

kebutuhan materiil maupun yang berupa kebutuhan spirituil. Dalam proses

pemenuhan kebutuhan hidup manusia itu, keadilan mempunyai suatu konotasi

53
Endang Purwaningsih, Hukum Bisnis, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 90.
54
Naskah Pembukaan UUD NRI 1945.

Universitas Sumatera Utara


34

terpenuhinya kebutuhan kehidupan manusia secara merata dalam arti merata

karena jumlahnya sama atau merata karena proporsionalnya. Sedangkan

kemakmuran mempunyai konotasi tercapainya kondisi kehidupan yang

mencerminkan tidak adanya beban atau permasalahan baik materiil maupun

spirituil.

Keadilan, pada dasarnya merupakan suatu nilai yang tertinggi di antara

segala nilai yang ada dalam hubungan antar manusia dalam hidup

bermasyarakat.55 Hal ini disebabkan karena keadilan itu merupakan suatu

integrasi dari berbagai nilai kebijaksanaan (wisdom) yang telah, sedang dan akan

selalu diusahakan di setiap waktu, untuk mencapai berbagai bidang dan masalah

yang dihadapi, dimana semakin lama akan semakin meningkat, selaras dengan

berkembangnya rasa keadilan dunia dan peradaban bangsa. Maka dengan kata lain

keadilan itu sendiri dapat bersifat dinamis karena mengikuti perkembangan sosial

dalam masyarakat. Terminologi diatas yang dijabarkan dari Pembukaan UUD

NRI 1945 memiliki korelasi dengan arti dan tujuan dari persaingan usaha itu

sendiri.

Dalam konteks Hukum Persaingan Usaha dapat dimaknai dengan dua

bahasan kata, yakni hukum dan persaingan usaha. Upaya ini dimaksud agar dapat

dibedakan antara hukum itu sendiri dengan persaingan usaha, agar dalam

pembahasannya kemudian dapat dimengerti apa yang dimaksud hukum

persaingan dalam berusaha.

55
Purnadi Purbacaraka & A. Ridwan Halim, Hak Milik Keadilan dan Kemakmuran:
Tinjauan Falsafah Hukum. Cetakan ke-2, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 24 dalam
Parluhutan Sagala, Tesis: “Keberadaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Sebuah Kajian Yuridis dan Kelayakannya
di Indonesia” (Depok: Universitas Indonesia, 1999), hlm. 65.

Universitas Sumatera Utara


35

Untuk pengertian persaingan usaha telah diuraikan pada tulisan terdahulu.

Sedangkan pengertian hukum menurut Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam

Hukum Indonesia mengemukakan “Hukum adalah himpunan petunjuk-petunjuk

hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam

suatu masyarakat, dan oleh karena itu seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat

yang bersangkutan”.

Dalam karya Caspar Rudolph Ritter von Jhering yang berjudul “Law As A

Means to An End” berbicara tentang konsep hukum. Dimana beliau mengatakan

peran hukum disini sebagai: “Law is not the end in itself; but merely a means to

an end, the final end being the existence of society” yang artinya hukum bukanlah

suatu tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan itu, yakni tujuan akhir dari

eksistensi masyarakat manusia.56

Dengan menelaah pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum

adalah suatu alat untuk mencapai suatu tujuan dari masyarakat untuk mengatur

tata tertib dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mendapatkan

gambaran mengenai hukum persaingan usaha, beberapa pendapat ahli mengenai

pengertian hukum persaingan usaha perlu juga dikemukakan.

Arie Siswanto, mengemukakan bahwa hukum persaingan usaha

(competition law) merupakan instrumen hukum yang menentukan tentang

bagaimana persaingan itu harus dilakukan. Meskipun secara khusus menekankan

pada aspek “persaingan”, hukum persaingan juga berkaitan erat dengan

pemberantasan monopoli, karena yang juga menjadi perhatian dari hukum

56
Herman Bakir, Filsafat Hukum: Tema-tema Fundamental Keadilan dari sisi Ajaran
Fiat Justitia Ruat Caelum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm.173.

Universitas Sumatera Utara


36

persaingan adalah mengatur persaingan sedemikian rupa sehingga ia tidak

menjadi sarana untuk mendapatkan monopoli.57

Sedangkan Hermansyah berpendapat “yang dimaksud dengan hukum

persaingan usaha adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai

segala aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha, yang mencakup hal-hal

yang boleh dilakukan dan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha.

Dengan memperhatikan pendapat para ahli diatas, bahwa semuanya bertumpu

pada “aturan hukum yang dijadikan sebagai petunjuk atau perintah dan larangan

yang mengatur agar terjalinnya tata tertib dalam masyarakat yang harus ditaati

bersama”. Dalam kaitannya dengan hukum persaingan usaha, pendapat diatas

bertalian dengan tiga hal pokok58:

a. Pencegahan atau peniadaan monopoli

b. Menjamin terjadinya persaingan yang sehat; dan

c. Melarang persaingan yang tidak jujur.

B. Asas dan Tujuan Undang-undang No. 5 Tahun 1999

Pembangunan Indonesia di bidang Ekonomi diarahkan kepada

terwujudnya kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur. Hal ini sejalan dengan

amanat dan cita-cita Pancasila dan Undang-undang Dasar Tahun 1945.59 Undang-

undang Anti Monopoli sebenarya dirancang untuk mengkoreksi tindakan-tindakan

57
Suhasril, op. cit, hlm. 37.
58
Ibid, hlm. 38.
59
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), hlm. 89.

Universitas Sumatera Utara


37

dari sekelompok pelaku ekonomi yang menguasai pasar. Adapun asas dan tujuan

dari undang-undang ini, yaitu60:

1. Mencapai efisiensi ekonomi yang tinggi. Efisiensi akan bias dibangun

melalui produktivitas, dalam arti memproduksi suatu barang dengan harga

yang rendah, dengan adanya inovasi dan kretivitas yang artinya orang bias

bersaing di pasar kalua setiap saat dia bisa menciptakan produk-produk

baru yang berbeda dengan sebelumnya.

2. Menciptakan fairness atau kelayakan. Apabila 1% dari pelaku usaha

menguasai 60% kekayaan nasional maka di sana tidak ada fairness. Yang

fair adalah apabila 1% dari pelaku usaha menguasa 1% asset ekonomi,

40% penduduk menguasai 40% dari kekayaan nasional. Oleh karena itu di

seluruh dunia asas fairness ini menjadi asas utama dan tujuan dari

penerapan undang-undang anti monopoli.

3. Demokrasi Ekonomi. Yang berintikan untuk memberikan hak yang sama

bagi pelaku usaha untuk memasuki pasar, mengakses sumber daya

ekonomi tanpa ada hambatan-hambatan yang secara artifisial diciptakan

oleh pelaku-pelaku ekonomi. Pelaku ekonomi besar memiliki potensi

untuk menciptakan berbagai barrier to entry, halangan-halangan masuk

bagi pelaku usaha lain. Begitu ada barrier to entry maka pelaku lain

kehilangan akses pada kegiatan ekonomi.

Ke tiga hal di atas merupakan asas umum yang terdapat dalam UU No. 5/1999

termuat di dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Dimana pasal 2 berbunyi “pelaku usaha di

Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi

60
Emmie Yuhassarie (ed), Undang-undang No. 5/1999 dan KPPU, (Jakarta: Pusat
Pengkajian Hukum, 2005), hlm. 5-6.

Universitas Sumatera Utara


38

dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan

kepentingan umum.

Pasal 3 berbunyi “Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk: (1)

menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional

sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; (2)

mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha

yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama

bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; (3)

mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang

ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan (4) terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam

kegiatan usaha.”

Efisiensi dinamis yang paling menguntungkan adalah persaingan usaha

memberikan insentif untuk melakukan penelitian dan pengembangan serta

memperkenalkan metode produksi dan distribusi, produk dan jasa yang baru serta

menciptakan atau masuk pasar baru untuk terus menerus dapat mendahului

pesaing usahanya. Lebih dari itu ada banyak jalan yang dapat ditempuh oleh

kemajuan teknologi, persaingan usaha memungkinkan banyak dari jalan-jalan

tersebut diuji dan akhirnya dipilih yang paling baik. Suatu hal yang sulit

dilakukan oleh monopoli, yaitu keterbukaan pasar terhadap peserta baru dengan

ide baru merupakan syarat penting bagi kemajuan teknologi.61

Jadi dapat dikemukakan bahwa undang-undang ini merupakan penjabaran dari

pasal 27 dan 33 UUD 1945. Semua tujuan itu bermuara pada terwujudnya

61
Suyud Margono, op. cit, hlm. 30.

Universitas Sumatera Utara


39

kesejahteraan rakyat Indonesia sebagaimana dikehendaki dalam alinea keempat

Pembukaan UUD NRI 1945 tentang tujuan pembangunan nasional.62

C. Metode Pendekatan Dalam Hukum Persaingan Usaha

1. Pendekatan Per Se Illegal

Kata “per se” berasal dari Bahasa latin berarti by itself; in itself; taken

alone; by means of itself; inherently; in solation; unconnected; with other

matters; simply as such; in its own nature without reference to ites relation.63

Apabila suatu aktivitas adalah jelas maksudnya dan mempunyai akibat merusak,

hakim tidak perlu sampai harus mempermasalahkan masuk akal tidaknya dari

peristiwa yang sama (dengan peristiwa yang sedang diadili) sebelum menentukan

bahwa peristiwa yang bersangkutan merupakan pelanggaran hukum persaingan.

Prinsip ini dikenal dengan “per se doctrine”.64

Per se illegal, yang sering juga disebut per se violation dalam hukum

persaingan adalah istilah yang mengandung maksud bahwa jenis-jenis perjanjian

tertentu, misalnya penetapan harga (horizontal price fixing), dianggap secara

inheren bersifat anti kompetitif dan merugikan masyarakat tanpa perlu dibuktikan

bahwa perbuatan tersebut secara nyata telah merusak persaingan. 65

Seperti yang dikatakan di atas bahwa larangan ini bersifat tegas dan

mutlak disebabkan perilaku yang sangat mungkin merusak persaingan sehingga

tidak perlu lagi melakukan pembuktian akibat dari perbuatan tersebut. Dalam

ukuran per se illegal maka pihak yang menuduh melakukan pelanggaran hanya
62
Janus Sidabalok, Pengantar Hukum Ekonomi, (Medan: Bina Media, 2003), hlm. 163.
63
Ayudha D. Prayoga dkk (ed), Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di
Indonesia, (Jakarta: ELIPS, 1999), hlm. 62.
64
Ibid.
65
Ibid, hlm. 63

Universitas Sumatera Utara


40

harus membuktikan bahwa tindakan itu benar dilakukan tanpa harus membuktikan

efek atau akibatnya.66

Pada prinsipnya terdapat dua syarat dalam melakukan pendekatan per se

illegal, yakni pertama, harus ditujukan lebih kepada “perilaku bisnis” dari pada

situasi pasar, karena keputusan melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai

pemeriksaan lebih lanjut, misalnya, mengenai akibat dan hal-hal yang

melingkupinya. Metode pendekatan seperti ini dianggap fair, jika perbuatan

illegal tersebut merupakan “tindakan sengaja” oleh perusahaan, yang seharusnya

dapat dihindari. Kedua, adanya identifikasi secara cepat atau mudah mengenai

jenis praktek atau batasan perilaku yang terlarang. Dapat ditarik kesimpulan

bahwa penilaian atas tindakan dari pelaku usaha, baik di pasar maupun dalam

proses pengadilan harus dapat ditentukan dengan mudah. Meskipun demikian

diakui, bahwa terdapat perilaku yang terletak dalam batas-batas yang tidak jelas

antara perilaku terlarang dan perilaku yang sah. 67

Pembenaran substantif dalam per se illegal harus didasarkan pada fakta

atau asumsi, bahwa perilaku tersebut dilarang karena dapat mengakibatkan

kerugian bagi pesaing lainnya dan atau konsumen. Hal tersebut dapat dijadikan

pengadilan sebagai alasan pembenar dalam pengambilan keputusan. Oleh karena

itu, terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan oleh pengadilan yakni

dampak merugikan yang signifikan dari pelaku tersebut dan kerugian tersebut

harus tergantung pada kegiatan yang dilarang. 68 Dalam UU No. 5/1999, bentuk

66
Natasya Ningrum Sirait (b), op. cit, hlm. 103.
67
Andi Fahmi Lubis, op. cit, hlm. 81.
68
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


41

pendekatan per se illegal bersifat imparatif melalui pasalnya yang memiliki

interpretasi yang memaksa.69

Bagan 2.1

(Per se approach)

TINDAKAN TERBUKTI ILEGAL

2. Pendekatan Rule of Reason

Rule of reason merupakan kebalikan dari per se illegal. Artinya, untuk

menyatakan bahwa suatu perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum

persaingan, pencari fakta harus mempertimbangkan keadaan di sekitar kasus

untuk menentukan apakah perbuatan itu membatasi persaingan secara tidak patut.

Untuk itu disyaratkan bahwa otoritas pemeriksa dapat menunjukkan akibat-akibat

antikompetitif, atau kerugian yang nyata terhadap persaingan. Bukan dengan

menunjukkan apakah perbuatan itu tidak adil ataupun melawan hukum. Dalam

rule of reason, kepatutan dan validitas hambatan perdagangan ditentukan oleh

kepatutan berdasarkan asas hukum dan kewajiban untuk menerapkan dan

melaksanakan kepentingan umum yang termuat dalam peraturan perundang-

undangan.70

Substansi pasal-pasal UU No. 5/1999 yang menggunakan pendekatan rule

of reason tergambar dalam konteks kalimat yang membuka alternatif interpretasi

bahwa tindakan tersebut harus dibuktikan dahulu, akibatnya secara keseluruhan.


69
Natasya Ningrum Sirait (a), op.cit, hlm. 81.
70
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2012), hlm. 694.

Universitas Sumatera Utara


42

Cara pembuktiannya adalah memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam

Undang-undang, apakah telah mengakibatkan terjadinya praktik monopoli

ataupun praktik persaingan usaha yang tidak sehat.71

Pendekatan rule of reason akan diterapkan terhadap tindakan-tindakan

yang tidak bisa secara mudah dilihat ilegalitasnya tanpa menganalisis akibat

tindakan itu terhadap persaingan, karena tindakan semacam itu selalu dianggap

membawa akibat negatif. Di dalam pendekatan rule of reason pengadilan

disyaratkan untuk mempertimbangkan faktor-faktor seperti latar belakang

dilakukannya tindakan, alasan bisnis di balik tindakan itu, serta posisi si pelaku

tindakan dalam industri tertentu. Setelah mempertimbangkan faktor-faktor

tersebut, barulah dapat ditentukan apakah suatu tindakan bersifat ilegal atau

tidak.72

Pendekatan rule of reason dipergunakan untuk mengakomodasi tindakan-

tindakan yang berada dalam “grey area” antara legalitas dan ilegalitas. Dengan

analisis rule of reason, tindakan-tindakan yang berada dalam “grey area” namun

ternyata berpengaruh positif terhadap persaingan menjadi berpeluang untuk

diperbolehkan. Pendekatan rule of reason ini seakan-akan lantas menjamin bagi

para pelaku usaha untuk secara leluasa mengambil langkah bisnis yang mereka

kehendaki, sepanjang langkah itu reasonable.

Pendekatan rule of reason memiliki sisi keunggulan serta kelemahan.

Pendekatan ini memiliki keunggulan dalam menggunakan analisis ekonomi untuk

mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti, yaitu apakah suatu tindakan

pelaku usaha memiliki implikasi kepada persaingan. Dengan perkataan lain,

71
Ibid.
72
Arie Siswanto, op. cit, hlm.66.

Universitas Sumatera Utara


43

apakah suatu tindakan dianggap menghambat persaingan atau mendorong

persaingan, ditentukan oleh “… economic values, that is, with the maximization of

consumer want satisfaction through the most efficient allocation and use

resources…”. Sedangkan sisi kelemahan pendekatan ini yaitu, bahwa rule of

reason yang digunakan oleh para hakim dan juri mensyaratkan pengetahuan

tentang teori ekonomi dan sejumlah data ekonomi yang kompleks, di mana

mereka belum tentu memiliki kemampuan yang cukup untuk memahaminya, guna

dapat menghasilkan keputusan yang rasional.73

Bagan 2.2

(Rule of reason approach)

TINDAKAN TERBUKTI FAKTOR LAIN UNREASONABLE ILEGAL

REASONABLE LEGAL

D. KPPU Sebagai Badan Penegak Hukum Persaingan Usaha di Indonesia

Implementasi kebijakan persaingan usaha (competition policy) yang

efektif dibentuk dari sinergi positif terhadap kewenangan persaingan usaha di

suatu negara. Efektivitas implementasi itu diyakini mampu meningkatkan

keberhasilan suatu lembaga persaingan dalam penegakan hukum persaingan usaha

itu sendiri. Negara yang memiliki hukum persaingan usaha berada dalam kondisi

73
Emmy Yuhassarie (ed), op. cit, hlm. 111.

Universitas Sumatera Utara


44

aktual yang berbeda dalam sistem penegakan hukum persaingan dan kewenangan

Lembaga persaingan usahanya.74

Di Indonesia, esensi keberadaan undang-undang No. 5 Tahun 1999 pasti

memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya. Berlakunya undang-

undang No. 5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak

sehat sebagai landasan kebijakan persaingan (competition policy) diikuti dengan

berdirinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) guna memastikan dan

melakukan pengawasan terhadap dipatuhinya ketentuan dalam undang-undang

Antimonopoli tersebut.75

Lembaga-lembaga negara yang berada di luar UUD NRI 1945

keberadaannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seringkali

disebut Regulatory Body. Keberadaan Lembaga-lembaga ini berfungsi untuk

mempercepat akselerasi penuntasan dan atau penanganan sesuai bidang dan

kebutuhan masing-masing. Karenanya lembaga-lembaga ini disebut extra

auxiliary. Extra auxiliary organ adalah lembaga negara atau komisi negara yang

dibentuk di luar konstitusi yang tugas utamanya adalah membantu, menguatkan

tuas lembaga negara pokok (eksekutif, legislatif, maupun yudikatif) dan

menyelesaikan permasalahan dengan cepat dan efektif, yang biasa disebut juga

dengan lembaga negara independen (quasi organs).76

Sebagai suatu lembaga independen, dapat dikatakan bahwa kewenangan

yang dimiliki komisi sangat besar yang meliputi juga kewenangan yang dimiliki

oleh Lembaga peradilan. Kewenangan tersebut meliputi penyidikan, penuntutan,

74
Hermansyah, op. cit, hlm. 73.
75
Ibid
76
Sukarmi, “Kedudukan KPPU Dalam Lembaga Extra Auxiliary”, Jurnal Persaingan
Usaha, edisi 6, Desember, 2011, hlm. 32.

Universitas Sumatera Utara


45

konsultasi, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Sebagai perbandingan,

menurut Jimly Asshiddiqie, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai

oragan semu negara memiliki perbedaan dalam hal kedudukan dengan KPPU.

KPK disebut sebagai komisi negara yang independen berdasarkan konstitusi atau

yang memiliki constitutional importance. Hal ini dikarenakan walaupun

pembentukan KPK dengan UU, namun keberadaan KPK memiliki sifat

constitutional importance berdasarkan pasal 24 ayat (3) UUD NRI 1945.

Sedangkan KPPU merupakan lembaga independen lain yang dibentuk

berdasarkan undang-undang.77

Untuk mengawasi pelaksanaan UU Antimonopoli, maka dibentuklah

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan Keputusan Presiden No. 75

Tahun 1999 yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 30 ayat 1 UU

Antimonopoli yang berbunyi “untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini

dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi”.

Adapun ketentuan lebih lanjut pada ayat 2 yang mengartikan “komisi” adalah

suatu Lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan

pemerintah serta pihak lain. Serta di ayat 3 diatur mengenai komisi ini bahwa

komisi bertanggung jawab kepada presiden.

Berdasarkan Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi

Pengawas Persaingan Usaha yang ditetapkan pada tanggal 18 Juli 1999 maka

secara resmi KPPU sudah terbentuk dan pembentukan komisi ini bertujuan untuk

mengawasi pelaksanaan undang-undang No. 5/1999 demi terwujudnya

77
Tri Anggraini, Hukum Persaingan Usaha: studi konsep pembuktian terhadap
perjanjian penetapan harga dalam persaingan usaha, (Malang: Setara Press, 2013), hlm. 31.

Universitas Sumatera Utara


46

perekonomian Indonesia yang efisien melalui penciptaan iklim usaha yang

kondusif dan kompetitif, yang menjamin adanya kesempatan berusaha.78

1. Tugas dan Wewenang

Untuk pertama kali anggota KPPU ditetapkan dengan Keputusan Presiden

No. 162/M Tahun 2000 tertanggal 7 Juni 2000, yang terdiri sebelas anggota

selama lima tahun ke depan. Tugas dari KPPU dijabarkan dalam Pasal 35 UU

Antimonopoli meliputi 79:

a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan


terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur di dalam pasal 4 sampai dengan pasal 16;
b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dana tau tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal 17
sampai dengan pasal 24;
c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan
posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur
dalam pasal 25 sampai dengan pasal 28;
d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana
diatur di dalam pasal 36;
e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat;
f. Menyusun pedoman dana tau publikasi yang berkaitan dengan undang-
undang ini;
g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada
presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Sebagai sebuah Lembaga Penegak Hukum independen, KPPU dalam

melaksanakan tugasnya memiliki visi yaitu “menjadi lembaga pengawas

persaingan usaha yang efektif dan kredibel untuk meningkatkan kesejahteraan

rakyat”. KPPU memiliki misi, yaitu (1) menegakkan hukum persaingan, (2)

78
Hermansyah, op.cit, hlm. 75.
79
Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara


47

menginternalkan nilai-nilai persaingan, (3) membangun kelembagaan yang efektif

dan kredibel.80

Sedangkan wewenang Komisi, sebagai tindak lanjut dari tugas yang

diberikan Pasal 35 huruf d. Dan wewenang Komisi tersebut diatur dalam Pasal 36,

sebagai berikut:

a. Menerima laporan dari masyarakat dana tau dari pelaku usaha tentang
dugaan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang
ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya.
d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada
atau tidak adanya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan undang-undang ini.
f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang
ini.
g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f
yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi.
h. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang
melanggar ketentuan undang-undang ini.
i. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, alat bukti
lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan.
j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
pelaku usaha lain atau masyarakat.
k. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku
usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

80
Suhasril, op. cit, hlm. 150.

Universitas Sumatera Utara


48

Komisi juga mempunyai fungsi sebagaimana diatur dalam Keputusan

Presiden RI No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha,

dalam Pasal 5 menyebutkan:

a. Penilaian terhadap perjanjian, kegiatan usaha, dan penyalahgunaan


posisi dominan;
b. Pengambilan tindakan sebagai pelaksanaan kewenangan;
c. Pelaksanaan administratif.

Kewenangan Komisi yang cukup strategis adalah peran konsultatif ketika

memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam hal yang berkaitan

keputusan suatu Lembaga yang menyangkut kebijakan ekonomi. Kewenangan

komisi yang menyerupai Lembaga yudikatif adalah kewenangan komisi

melakukan fungsi penyelidikan, memeriksa, memutus, dan akhirnya menjatuhkan

hukuman administratif atas perkara diputusnya. Demikian juga kewenangannya

menjatuhkan sanksi ganti rugi atau denda kepada terlapor. Kewenangan legislatif

pada KPPU adalah kewenangan komisi menciptakan peraturan baik secara

internal mengikat pada pekerjanya, maupun eksternal kepada publik, misalnya

guidelines, tata cara prosedur penyampaian laporan dan penanganan perkara.81

Selanjutanya kewenangan yang menyerupai Lembaga eksekutif dapat dilihat pada

kewenangan KPPU untuk dapat melaksanakan atau mengeksekusi kewenangan

yang diberikan oleh UU No. 5/1999 serta peraturan pelaksanaannya seperti

Keputusan KPPU. Kewenangan tersebut dibuat oleh KPPU dalam rangka

mengimplementasikan Hukum Persaingan di Indonesia. 82

Sementara itu guna menjamin independensi dan menghindari benturan

kepentingan, maka anggota Komisi terikat oleh kode etik internal Komisi atau

81
Natasya Ningrum Sirait (a), op. cit, hlm. 111.
82
CICODS FH-UGM, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya,
Yogyakarta: CICODS, 2009, hlm. 159.

Universitas Sumatera Utara


49

disebut juga dengan Tata Tertib Komisi yang melarang anggota Komisi untuk

aktif pada posisi berikut ini83:

a. Anggota dewan komisaris atau pengawas, atau direksi suatu perusahaan;

b. Anggota pengurus atau badan pemeriksa suatu koperasi;

c. Pihak yang memberikan layanan jasa kepada suatu perusahaan, seperti

konsultan, akuntan publik, dan penilai; dan

d. Pemilik saham mayoritas.

2. Tahapan Beracara dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999

Menurut ajaran Montesquieu, kekuasaan untuk mempertahankan peraturan

perundang-undangan atau kekuasaan peradilan (kekuasaan yudikatif) berada di

tangan badan peradilan yang terlepas dan bebas dari campur tangan kekuasaan

eksekutif dan legislatif. Untuk dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-

baiknya, badan peradilan memerlukan peraturan-peraturan hukum yang mengatur

cara-cara bagaimana dan apakah yang akan terjadi jika norma-norma hukum yang

telah diadakan tidak ditaati oleh masyarakat. Peraturan-peraturan tersebut

dinamakan Hukum Acara ataupun Hukum Formil, yakni suatu rangkaian kaidah

hukum yang mengatur tata cara bagaimana mengajukan sesuatu perkara ke muka

suatu badan peradilan serta cara-cara hakim memberikan putusan, dan juga dapat

dikatakan hukum yang mengatur tentang tata cara memelihara dan

mempertahankan hukum meteriil.84

83
Ibid, hlm. 112.
84
CST, Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), hlm. 329.

Universitas Sumatera Utara


50

Sumber Hukum acara di bidang persaingan usaha terdiri dari85:

a. UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat;

b. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor: 1 Tahun 2010

tentang Tata Cara Penanganan Perkara; dan

c. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2005

tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan

KPPU.

Mengenai tata cara penanganan perkara atas dugaan pelanggaran Undang-

undang No. 5 Tahun 1999 sebagaimana diatur Peraturan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di

KPPU tersebut terdiri dari 7 (tujuh) tahapan yaitu:

a. Penelitian dan klarifikasi laporan, yang mencakup: penyampaian laporan,


kegiatan penelitian dan klarifikasi, hasil penelitian dan klarifikasi, dan
jangka waktu penelitian dan klarifikasi.
b. Pemberkasan, yang mencakup: pemberkasan, kegiatan pemberkasan, hasil
pemberkasan, dan jangka waktu pemberkasan.
c. Gelar laporan, yang mencakup: rapat gelar laporan, hasil gelar laporan,
dan jangka waktu gelar laporan.
d. Pemeriksaan pendahuluan, yang mencakup: tim pemeriksa pendahuluan,
kegiatan pemeriksaan pendahuluan, hasil pemeriksaan pendahuluan,
jangka waktu pemeriksaan pendahuluan, dan perubahan perilaku.
e. Pemeriksaan lanjutan tim pemeriksa lanjutan, kegiatan pemeriksaan
lanjutan, hasil pemeriksaan lanjutan, dan jangka waktu pemeriksaan
lanjutan.
f. Sidang Majelis Komisi, yang mencakup: majelis komisi, siding majelis
komisi, dan putusan komisi.
g. Pelaksanaan putusan, yang mencakup: penyampaian petikan putusan,
monitoring pelaksanaan putusan.

85
Ningrum Natasya Sirait dkk, Ikhtisar Ketentuan Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta:
The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program, 2010), hlm. 225.

Universitas Sumatera Utara


51

Mengenai pemeriksaan pendahuluan, KPPU mengenal metode perubahan

perilaku yang diatur pada Pasal 37 – Pasal 40 Peraturan KPPU No. 1 tahun 2006

tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU. Dimana Komisi dapat

menetapkan tidak perlu dilakukan Pemeriksaan Lanjutan meskipun terdapat

dugaan pelanggaran, apabila Terlapor bersedia melakukan perubahan perilaku. 86

Perubahan perilaku yang dimaksud dapat dilakukan dengan membatalkan

perjanjian dan/atau menghentikan kegiatan dan/atau menghentikan

penyalahgunaan posisi dominan yang diduga melanggar dan/atau membayar

kerugian akibat dari pelanggaran yang dilakukan.87 Selanjutnya selama proses

monitoring yang dilakukan oleh Komisi berlangsung dan Komisi menilai bahwa

Terlapor telah melaksanakan Penetapan Komisi mengenai perubahan perilaku,

maka Komisi akan memberhentikan proses monitoring dan tidak melanjutkan ke

Pemeriksaan lanjutan. Namun bila Terlapor tidak melaksanakan penetapan

Komisi, maka Komisi akan memberhentikan proses monitoring dan menetapkan

untuk melakukan Pemeriksaan lanjutan.88

Namun sayangnya semenjak diberlakukannya peraturan KPPU No. 1 tahun

2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara yang menggantikan kehadiran sosok

peraturan KPPU No. 1 tahun 2006, tidak ada lagi diatur mengenai perubahan

perilaku dalam proses pemeriksaan pendahuluan. Padahal metode tersebut

berguna untuk meminimalisir volume perkara yang masuk ke KPPU. Metode

perubahan perilaku ini mirip dengan mekanisme proses pemeriksaan milik

Federal Trade Commission (selanjutnya disebut sebagai FTC) yang dinamakan


86
Pasal 37 ayat 1 Peraturan KPPU No. 1 tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan
Perkara di KPPU.
87
Pasal 37 ayat 2 peraturan KPPU No. 1 tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan
Perkara di KPPU
88
Ibid, Pasal 38 – Pasal 41.

Universitas Sumatera Utara


52

consent order/consent decree89. Saat FTC mengirimkan pemberitahuan bahwa

pemeriksaan akan dimulai, maka pemberitahuan itu juga dibarengi dengan

consent order. Bila terlapor setuju dengan isi consent order, maka keputusan itu

akan didaftarkan dalam registrasi publik selama 60 hari untuk melihat pendapat

atau reaksi. Dimana kemudian FTC mengeluarkan penerimaan atau bila ditolak,

mengeluarkan disposisi bahwa pemeriksaan akan dimulai dan prosedur consent

order ini telah ditutup. Prosedur selanjutnya adalah diikuti dengan prosedur

hukum acara yang biasa atau pembuktian sebagaimana umumnya. 90

Dalam rangka pemeriksaan lanjutan, Undang-undang memberikan hak kepada

KPPU untuk mendengar keterangan saksi, saksi ahli, dan atau pihak lainnya yang

relevan. Sebagai jaminan atas diri pelapor, KPPU wajib merahasiakan identitas

pelapor yang bukan pelaku usaha yang dirugikan. Demikian juga sebaliknya

sebagai jaminan bagi pelaku usaha yang diperiksa, KPPU juga diwajibkan untuk

menjaga kerahasiaan atas segala informasi yang diperoleh KPPU dari pelaku

usaha yang dikategorikan sebagai rahasia perusahaan.91

Proses penanganan perkara persaingan usaha berdasarkan UU No. 5/1999

sebahagian berada dalam lingkup kewenangan penuh dari KPPU dan sebahagian

lagi berada di luar lingkup kewenangan KPPU. Proses penanganan perkara yang

berada sepenuhnya berada dalam lingkup kewenangan KPPU terdiri dari92:

89
Consent Decree merupakan persetujuan para terlapor untuk menghentikan tindakan
atau perbuatan yang masih diduga sebagai pelanggaran tanpa adanya pengakuan bersalah
sebagaimana yang diajukan oleh FTC dalam Hikmahanto Juwana dkk, Peran Lembaga Peradilan
Dalam Menangani Perkara Persaingan Usaha, (Jakarta: PBC, 2003), hlm. 60.
90
Natasya Ningrum Sirait (a), op.cit, hlm. 209.
91
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 58.
92
Natasya Ningrum Sirait dkk, op. cit, hlm. 227.

Universitas Sumatera Utara


53

a. Tindak Lanjut Pelaporan

Dalam hal ini UU tidak menyebutkan secara jelas bagaimana tindakan

konkrit dari tindak lanjut laporan tersebut, akan tetapi dalam Pasal 38 ayat

4 diberikan wewenang kepada KPPU untuk mengatur lebih lanjut

ketentuan pelaporan.

b. Pemeriksaan pendahuluan atas laporan masyarakat baik yang tidak

dirugikan secara langsung maupun laporan pelaku usaha yang dirugikan

dan pemeriksaan atas inisiatif KPPU tanpa adanya laporan masyarakat.

c. Pemeriksaan Lanjutan

d. Membuat Putusan

Mengenai penyampaian laporan atas dugaan pelanggaran Undang-undang No.

5/1999 ini diatur dalam ketentuan Pasal 38. Pasal 38 ayat (1):

“setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi
pelanggaran terhadap undang-undang ini dapat melaporkan secara tertulis
kepada komisi dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya
pelanggaran, dengan menyertakan identitas pelapor.”

Pasal 38 Ayat (2):


“Pihak yang dirugikan sebagai akibat pelanggaran terhadap undang-
undang ini dapat melaporkan secara tertulis kepada komisi dengan
keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta
kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor.”

Berdasarkan Pasal 38 Ayat (1) dan (2) itu dapat disimpulkan bahwa yang

dapat menyampaikan laporan atas dugaan terjadinya praktik monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat itu kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha

terbagi dalam 2 (dua) pihak, yaitu93:

93
Hermansyah, op. cit, hlm. 97.

Universitas Sumatera Utara


54

a. Setiap orang atau siapa yang mengetahui telah terjadi atau adanya

dugaan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat

yang dilakukan oleh pelaku usaha tertentu.

b. Pihak yang secara langsung mengalami kerugian yang diakibatkan

adanya pelanggaran terhadap Undang-undang No. 5 Tahun 1999.

Selanjutnya mengenai persyaratan dan tata cara penyampaian laporan telah

terjadi atau dugaan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat

ditentukan dalam Pasal 38 ayat (4) yang menyatakan bahwa tata cara

penyampaian laporan sebagaimana di maksud dalam ayat (1) dan (2) diatur lebih

lanjut oleh komisi. Dimana kelanjutannya terdapat dalam Pasal 12 sampai dengan

Pasal 14 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 1 Tahun 2006 tentang

Tata cara Penanganan Perkara di KPPU. 94

Pasal 12 Ayat (1):

“Laporan dibuat secara tertulis dengan ditandatangani oleh pelapor dalam


Bahasa Indonesia dengan memuat keterangan yang jelas dan lengkap
mengenai telah terjadinya atau dugaan terjadinya pelanggaran terhadap
undang-undang dengan menyertakan identitas diri”.

Pasal 12 Ayat (2):

“Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas disampaikan kepada


Ketua Komisi”.

Pasal 12 Ayat (3):

“Dalam hal Komisi telah memiliki kantor perwakilan di daerah, laporan


sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat disampaikan kepada Ketua Komisi
melalui kantor perwakilan Komisi di daerah”.

Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa laporan atas telah terjadi atau

dugaan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat itu wajib

94
Ibid, hlm. 98.

Universitas Sumatera Utara


55

dibuat secara tertulis dan diperkuat oleh keterangan yang jelas dan lengkap. Ini

merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi bagi setiap orang yang

mengetahui dan pihak yang dirugikan atas pelanggaran UU No. 5/1999 yang

berkehendak untuk menyampaikan laporan telah terjadinya atau dugaan terjadinya

praktik monopoli dan persaingan tidak sehat yang dilakukan oleh seorang atau

sekelompok pelaku usaha.95

Untuk proses penanganan perkara yang berada di luar lingkup kewenangan

penuh KPPU dan penanganan proses tersebut harus melibatkan badan peradilan

yakni Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung adalah:96

a. Pemeriksaan upaya hukum keberatan

b. Kasasi; dan

c. Eksekusi putusan

Setelah KPPU menyelesaikan pemeriksaan lanjutan, KPPU diwajibkan untuk

memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap UU No. 5/1999

dalam tenggang waktu tiga puluh hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan

lanjutan. Kewajiban ini ditentukan dalam Pasal 43 ayat (3) UU No. 5/1999.

Putusan tersebut harus dibacakan dalam upaya persidangan yang terbuka untuk

umum, yang harus diberitahukan kepada pelaku usaha.97 Segera setelah Majelis

Komisi membacakan Putusan Komisi, Panitera menyampaikan petikan putusan

komisi berikut Salinan putusannya kepada terlapor.98

Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan Putusan Majelis KPPU dan tidak

pula melakukan upaya hukum keberatan terhadap putusan Majelis Komisi, maka

95
Ibid, hlm. 99.
96
Natasya Ningrum Sirait dkk, op.cit, hlm. 228.
97
Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga, op. cit, hlm. 59.
98
Natasya Ningrum Sirait dkk, op.cit, hlm. 272.

Universitas Sumatera Utara


56

Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan

penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (vide

Pasal 44 ayat (4) UU No. 5/1999). Apabila Pelaku Usaha tidak mengajukan upaya

hukum keberatan, maka putusan komisi telah mempunyai kekuatan hukum yang

tetap dan terhadap putusan tersebut dimintakan penetapan eksekusi kepada

Pengadilan Negeri. Ketentuan penetapan eksekusi ini dipertegas dalam Perma No.

3 Tahun 2005. Pasal 7 ayat (1) Perma tersebut menyatakan Permohonan

penetapan eksekusi atas putusan yang tidak diajukan keberatan, diajukan kepada

Pengadilan Negeri tempat kedudukan hukum pelaku usaha.99

Apabila pelaku usaha telah menerima pemberitahuan petikan putusan KPPU,

pelaku usaha dapat menentukan sikapnya, yaitu tidak menerima isi putusan

dengan cara mengajukan keberatan atau menerima isi putusan tersebut, dalam arti

pelaku usaha tidak mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri. Dasar

hukum pengajuan keberatan ditentukan dalam pasal 44 ayat (2) UU No. 5/1999

yang berbunyi:

“pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri


selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima
pemberitahuan putusan tersebut”.

Ketentuan lebih lanjut dapat juga dilihat dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2)

terkait dengan pengajuan upaya hukum pelaku usaha yang keberatan terhadap

putusan KPPU, sebagai berikut:

(1) Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan pelaku usaha sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari
sejak diterimanya keberatan tersebut.
(2) Pengadilan Negeri harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut.

99
Ibid, hlm. 279.

Universitas Sumatera Utara


57

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Perma RI No. 3 Tahun 2005 Keberatan

terhadap keputusan KPPU diajukan ke Pengadilan Negeri di tempat kedudukan

hukum usaha Pelaku Usaha tersebut100. Keberatan atas Putusan KPPU diperiksa

dan diputus oleh Majelis Hakim.101

Pasal 3 Perma RI No. 3 Tahun 2005 mengkategorikan Putusan atau

Penetapan KPPU mengenai pelanggaran Undang-undang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tidak termasuk sebagai Keputusan

Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara.

Merujuk pada Ketentuan Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 3

Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap

Putusan KPPU, bahwa ketentuan Pasal 4 ini diatur dalam 8 (delapan) ayat, untuk

mengatur tata cara pengajuan upaya hukum keberatan terhadap putusan KPPU,

uraiannya sebagai berikut102:

(1) Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari terhitung
sejak Pelaku Usaha menerima pemberitahuan putusan KPPU dan atau
diumumkan melalui website KPPU.
(2) Keberatan diajukan melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri yang
bersangkutan sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara perdata dengan
memberikan Salinan keberatan kepada KPPU.
(3) Dalam hal keberatan diajukan oleh lebih dari 1 (satu) Pelaku Usaha untuk
putusan KPPU yang sama, dan memiliki kedudukan hukum yang sama,
perkara tersebut harus didaftar dengan nomor yang sama.
(4) Dalam hal keberatan diajukan oleh lebih dari (1) Pelaku Usaha untuk
putusan KPPU yang sama, tetapi berbeda tempat kedudukan hukumnya,
100
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun
2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Keputusan KPPU, 18 Juli
2005, Pasal 2 ayat 1.
101
Ibid, Pasal 2 ayat 2.
102
Suhasril, op. cit, 196-197.

Universitas Sumatera Utara


58

KPPU dapat mengajukan permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung


untuk menunjuk salah satu Pengadilan Negeri disertai usulan Pengadilan
mana yang akan memeriksa keberatan tersebut.
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), oleh KPPU
ditembuskan kepada seluruh Ketua Pengadilan Negeri yang menerima
permohonan keberatan.
(6) Pengadilan Negeri yang menerima tembusan permohonan tersebut harus
menghentikan pemeriksaan dan menunggu penunjukkan Mahkamah
Agung.
(7) Setelah permohonan diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari menunjuk
Pengadilan Negeri yang memeriksa keberatan tersebut.
(8) Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima pemberitahuan dari
Mahkamah Agung, Pengadilan Negeri yang tidak ditunjuk harus
mengirimkan berkas perkara disertai (sisa) biaya perkara ke Pengadilan
Negeri yang ditunjuk.

Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 4 di atas, ada 3 (tiga) aturan pokok

secara esensial diatur di dalamnya, yakni 103:

a. Mengenai jangka waktu pengajuan keberatan terhadap putusan KPPU ke

Pengadilan Negeri sesuai dengan prosedur perkara perdata dengan

melampirkan Salinan putusan KPPU;

b. Mengenai Pengadilan Negeri yang berwenang atau mempunyai

kompetensi untuk memeriksa keberatan terhadap putusan KPPU;

c. Mengenai wewenang Mahkamah Agung untuk menunjuk Pengadilan

Negeri yang berwenang memeriksa keberatan terhadap putusan KPPU

tersebut.

Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri, dapat mengajukan

upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung sebagaimana ditentukan oleh Undang-

undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat, dalam pasal 45 ayat (3) dan (4), yang menyatakan:

103
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


59

(3) Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat

mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

(4) Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga

puluh) hari sejak permohonan kasasi diterima.

Pengajuan Permohonan Kasasi ini adalah sesuai dengan Tata Cara

Permohonan Kasasi yang diatur dan berpedoman kepada Hukum Acara Perdata.

Karena hal ini tidak diatur dalam UU No. 5/1999 maupun peraturan KPPU No. 1

Tahun 2006. Hanya berpedoman kepada Pasal 8 peraturan MA No. 3 Tahun 2005

tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan

KPPU.104

104
Ibid, hlm. 200.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

PENGUASAAN PASAR SEBAGAI KEGIATAN YANG DILARANG

DALAM UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999

A. Perjanjian yang Dilarang

Sebelum membahas masalah penguasaan pasar sebagaimana yang

termasuk dalam kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5/1999, penulis akan sedikit

membahas tentang perjanjian yang dilarang dalam UU No. 5/1999 karena bunyi

putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016 menyinggung masalah perjanjian tertutup

sebagaimana diatur dalam pasal 15 UU No. 5/1999. Secara umum, perjanjian

diartikan sebagai suatu peristiwa dimana dua orang atau dua pihak saling berjanji

untuk melakukan suatu hal.105 Jika diperhatikan pasal 1 angka 7 UU No. 5/1999,

perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan

diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis

maupun tidak tertulis.

Dalam BAB III UU No. 5/1999 diatur mengenai beberapa pasal tentang

perjanjian yang dilarang, yaitu dari pasal 4 sampai dengan pasal 16. Beberapa

perjanjian tersebut adalah106:

1. Oligopoli (Pasal 4)
2. Penetapan Harga
a. Penetapan Harga (Pasal 5)
b. Diskriminasi Harga (Pasal 6)
c. Jual Rugi (Pasal 7)
d. Pengaturan Harga Jual Kembali (Pasal 8)
3. Pembagian Wilayah (Pasal 9)

105
Hermansyah, op.cit, hlm. 24
106
Andi Fahmi Lubis, op.cit, hlm. 92.
59

Universitas Sumatera Utara


60

4. Pemboikotan (Pasal 10)


5. Kartel (Pasal 11)
6. Trust (Pasal 12)
7. Oligopsoni (Pasal 13)
8. Integrasi Vertikal (Pasal 14)
9. Perjanjian Tertutup
a. Exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat 1)
b. Tying agreements (Pasal 15 ayat 2)
c. Vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat 3)
10. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri (Pasal 16)

Pasal 4: “Perjanjian Oligopoli yaitu dimana pelaku usaha dilarang


membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama
melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.”

Pengertian oligopoli dalam Kamus Lengkap Ekonomi Edisi Kedua yang

disusun oleh Christopher Pass dan Bryan Lowes adalah suatu tipe struktur pasar

(market structure) yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut107:

1. Sedikit perusahaan dan banyak pembeli

2. Produknya homogen atau dibedakan

3. Pasar yang sulit dimasuki

Pasal 5: “Perjanjian penetapan harga (price fixing) dimana pelaku usaha


dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan
harga atas mutu suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen
atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.”
Pasal 6: “Perjanjian Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian yang
mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga uang berbeda
dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang
sama (diskriminasi harga).
Pasal 7: “Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan
harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat.
Pasal 8: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
lain yang membuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan
menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan
harga yang lebih rendah dari pada yang telah diperjanjikan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

107
Hermansyah, op.cit, hlm. 25.

Universitas Sumatera Utara


61

Ketentuan Pasal 5 adalah perjanjian menetapan harga atas suatu barang

dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan. Penetapan harga

ini dapat dilakukan sesame pelaku usaha yang menghasilkan produk barang

dan/atau jasa yang sama dengan menetapkan harga yang harus dibayar oleh

konsumen. Untuk Pasal 6 yang berbicara mengenai diskriminasi harga dimana

diskriminasi harga itu sendiri dapat menguntungkan maupun merugikan. Sebagai

contoh diskriminasi harga yang digunakan sebagai alat untuk mendorong sebuah

pabrik untuk melakukan produksi dengan kapasitas penuh sehingga

memungkinkan produksi ekonomi yang berskala besar untuk dicapai. Di sisi lain

diskriminasi harga mungkin digunakan sebagai suatu alat untuk memperbesar laba

monopoli dengan demikian jelaslah dilarang dalam UU No. 5/1999 itu adalah

diskriminasi harga yang digunakan sebagai alat atau instrumen yang dapat

menimbulkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.108

Kemudian pada pasal 9 mengatur tentang pembagian wilayah. Pembagian

wilayah adalah perjanjian yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau

alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal

9 UU No. 5/1999. Ketentuan pasal 9 ini berbunyi sebagai berikut:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha


pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar
terhadap barang dan/atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan/atau persaingan tidak sehat.”

Perjanjian wilayah ini dapat bersifat vertikal atau horizontal. Perjanjian ini

dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi persaingan dengan

cara membagi wilayah pasar atau alokasi pasar. Wilayah pemasaran dapat berarti

wilayah negara Republik Indonesia atau bagian wilayah negara Republik


108
Ibid, hlm. 28.

Universitas Sumatera Utara


62

Indonesia misalnya kabupaten, provinsi, atau wilayah regional lainnya. Membagi

wilayah pemasaran atau alokasi pasar berarti membagi wilayah untuk memperoleh

atau memasok barang, jasa, atau barang dan jasa, menetapkan dari siapa saja dapat

memperoleh atau memasok barang, jasa, atau barang dan jasa.109

Bagian ke empat, Pasal 10 mengenai Pemboikotan, dimana pelaku usaha

dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat

menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk

tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri. Atau pelaku usaha dilarang

membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual

setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut

akan merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau

membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau

jasa dari pasar bersangkutan. Hal ini dapat juga disebut dengan group boykot.110

Bagian kelima, Pasal 11 mengenai Kartel dimana pelaku usaha dilarang

membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk

mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang

dan atau jasa dari pasar bersangkutan. Adapun teori mengenai kesuksesan

perjanjian kartel ini adalah sangat bergantung kepada kesetiaan para pelakunya

yang bila tidak dapat dipertahankan maka akan mengakibatkan harga kembali

pada titik persaingan.111

Bagian keenam, Pasal 12 mengenai Trust dimana pelaku usaha dilarang

membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama

dengan membentuk gabungan perusahaan atau perusaan atau perseroan yang lebih
109
Ibid, hlm. 31.
110
Natasya Ningrum Sirait(a), op.cit, hlm. 91.
111
Ibid, hlm. 92.

Universitas Sumatera Utara


63

besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-

masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol

produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa sehingga dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak

sehat.112

Bagian ketujuh, Pasal 13 mengenai Oligopsoni dimana pelaku usaha

dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai

pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang

dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Untuk bagian kedelapan,

Pasal 14 mengenai integrasi vertikal dimana pelaku usaha dilarang membuat

perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi

sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa

tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau

proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang

dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan

masyarakat.113

Pada umumnya argumentasi pembenaran dari tindakan melakukan

integrase vertikal adalah alasan pencapaian efisiensi yang sebenarnya justru

disarankan oleh undang-undang. Tetapi yang menjadi perhatian dari perilaku yang

menghambat persaingan apabila suatu perusahaan ketika menghadapi persaingan

kemudian melakukan transfer pricing ataupun kecurangan biaya produksi dalam

invoice atau kwitansi mereka. Transfer pricing adalah saat pelaku usaha

112
Ibid.
113
Ibid, hlm. 93.

Universitas Sumatera Utara


64

memberikan harga yang lebih rendah kepada perusahaan yang terintegrasi diatas

atau dibawahnya dengan tujuan membuat biaya produksi lebih rendah sehingga

akan mengakibatkan harga jual yang lebih rendah dibanding pesaingnya karena

biaya produksi yang relatif lebih rendah. Tujuannya adalah menekan biaya yang

terjadi di level terbawah yang akan menjadi relatif rendah dibandingkan dengan

biaya produk yang tidak berasal dari proses Integrasi Vertikal.114

Mengenai Pasal 15 yang berbicara mengenai perjanjian tertutup, pada

prinsipnya seorang pelaku usaha bebas untuk menentukan sendiri pihak penjual

atau pembeli atau pemasok suatu produk di pasar sesuai dengan berlakunya

hukum pasar. Karena itu, dilarang setiap perjanjian yang bertentangan dengan

kebebasan tersebut dan dapat mengakibatkan timbulnya persaingan tidak sehat.

Perjanjian yang dapat membatasi kebebasan pelaku usaha tertentu untuk memilih

sendiri pembeli, penjual, atau pemasok, disebut dengan istilah “perjanjian

tertutup”.115 Adapun bunyi pasal 15 sebagai berikut:

1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa
hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa
tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
2. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu
harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok.
3. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan
harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa
pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha
pemasok:
a. Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok; atau
b. Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari
pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

114
Ibid, hlm. 94.
115
Susanti Adi Nugroho, op.cit, hlm. 213.

Universitas Sumatera Utara


65

Untuk pasal 16 yang mengatur perjanjian dengan pihak luar negeri

menjelaskan bahwa perjanjian dengan pihak luar negeri adalah perjanjian yang

memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli

dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal 16

UU No. 5/1999. Selengkapnya pasal ini mengatakan bahwa “pelaku usaha

dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan

yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha

tidak sehat”.116

B. Kegiatan yang Dilarang Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999

Dengan adanya persaingan usaha yang sehat dan adil (fair competition),

memang dapat membantu meningkatkan kualitas suatu produk barang dan/atau

jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Tanpa adanya persaingan, tidak akan

dapat diketahui apakah kinerja yang dijalankan sudah mencapai tingkat optimal.

Ini dikarenakan tidak adanya pembanding yang dapat dijadikan acuan sehingga

kita selalu terjebak dalam penilaian subjektif bahwa kita sudah melakukan yang

terbaik. Dengan adanya pesaing, masing-masing pihak dapat mengukur kinerja

dengan membandingkan kinerja pesaingnya. 117

Untuk mencegah timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat, dalam

Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah ditentukan secara jelas

terstruktur mengenai kegiatan-kegiatan yang dilarang yang berdampak merugikan

persaingan pasar, meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

116
Hermansyah, op.cit, hlm.38.
117
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hlm. 224.

Universitas Sumatera Utara


66

a. Kegiatan Monopoli (Pasal 17)

b. Kegiatan Monopsoni (Pasal 18)

c. Penguasaan Pangsa Pasar (Pasal 19 – Pasal 21)

d. Persekongkolan (Pasal 22 – Pasal 24)

Bentuk monopoli118 (Pasal 17) yang dilarang ialah apabila memenuhi unsur-

unsur melakukan kegiatan penguasaan atas produk barang, jasa, atau barang dan

jasa tertentu, melakukan kegiatan penguasaan atas pemasaran produk barang, jasa,

atau barang dan jasa tertentu, penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya

praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Kemudian Pasal 18 mengatur tentang Monopsoni yang dijelaskan bahwa

pelaku usaha yang dapat dikatakan melakukan kegiatan monopsoni apabila

dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha atau yang

bertindak sebagai pembeli tunggal, kemudian telah menguasai lebih dari 50%

pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu, dan yang terpenting adalah

kegiatan tersebut mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan

usaha tidak sehat.

Dalam pasal 19 diatur perbuatan yang dilarang mengenai penguasaan pasar.

Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri

maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik

monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, yakni:

118
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli (pasal 1(1))
yaitu suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa
tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha.

Universitas Sumatera Utara


67

(1) Menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan


kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan
(2) Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk
tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu
(3) Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar
bersangkutan
(4) Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu

Untuk Pasal 20 diatur mengenai Dumping, pelaku usaha dilarang melakukan

pemasokan barang, jasa, atau barang dan jasa dengan cara menjual rugi atau

menetapkan harga yang sangat rendah (dumping) dari harga produksi yang sejenis

dengan maksud untuk menyikirkan atau mematikan usaha pelaku usaha

pesaingnya di pasar yang sama, kegiatan tersebut dengan sendirinya dapat

mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 21 merupakan larangan bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan

memanipulasi biaya produksi dan biaya lain yang nantinya akan diperhitungkan

sebagai salah satu komponen harga barang, jasa, atau barang dan jasa yang akan

dipasarkan kepada konsumen, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya

persaingan usaha yang tidak sehat atau merugikan masyarakat. Indikasi biaya

yang dimanipulasi terlihat dari harga yang lebih rendah dari harga seharusnya.119

Selanjutnya, Persekongkolan juga merupakan kegiatan yang dilarang

dalam UU No. 5/1999. Persekongkolan berarti kerjasama antar pelaku usaha

untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang

bersekongkol. Ada beberapa bentuk persekongkolan yang dilarang oleh UU No.

5/1999 dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 24, yaitu:

119
Tri Anggraini, op. cit, hlm. 23.

Universitas Sumatera Utara


68

a. Dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur


dan/atau menentukan pemenang tender sehingga mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
b. Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk dapat informasi kegiatan
usaha pesaingnya yang diklasifikasikan rahasia perusahaan/rahasia
dagang.
c. Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi
dan/atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaing dengan
maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan menjadi berkurang,
baik jumlah, kualitas maupun kecepatan waktu yang dipersyaratkan.

C. Konsep Penguasaan Pasar

1. Pengertian Pasar

Pasal 1 angka 9 UU No. 5/1999 merumuskan pengertian “pasar” adalah

lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual, baik secara langsung

maupun tidak langsung, dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan/atau

jasa. Pasar sebagai tempat untuk bergeraknya roda ekonomi dipengaruhi oleh

berbagai faktor. Pelaku usaha baik sebagai produsen, distributor dan konsumen

merupakan salah satu pihak yang memiliki peran terbesar dalam menentukan

sehat atau tidaknya suatu pasar. Pasar yang terdistorsi mengakibatkan harga yang

terbentuk di pasar tidak lagi merefleksikan hukum permintaan dan penawaran

yang riil, di mana proses pembentukan harga dilakukan secara sepihak oleh

pengusaha atau produsen. Ini merupakan perwujudan dari kondisi persaingan

usaha yang tidak sehat, akibatnya fatal yaitu dapat melumpuhkan perekonomian

salah satu pelaku usaha, masyarakat luas bahkan yang terbesar dapat

melumpuhkan suatu negara.120

120
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hlm. 384.

Universitas Sumatera Utara


69

Pendefinisian pasar bersangkutan merupakan bagian terpenting dari upaya

pembuktian pelanggaran UU No. 5/1999. Dalam beberapa pasal yang diatur

dalam UU No. 5/1999, terdapat pasar bersangkutan yang merupakan unsur dari

pasal, sehingga pendefinisiannya diperlukan sebagai bagian dari proses

pemenuhan unsur. Pasar bersangkutan adalah sebuah konsep yang dilakukan

untuk mendefinisikan tentang ukuran pasar dari sebuah produk. Ukuran pasar ini

penting karena dapat mengidentifikasi seberapa besar penguasaan produk tertentu

dalam pasar tersebut oleh suatu pelaku usaha.121

Dalam menentukan pasar yang bersangkutan, UU No. 5/1999

mermberikan definisi pasar bersangkutan sebagaimana tertuang dalam Pasal 1

angka 10 yaitu pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran

tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau

substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut. Pengertian pasar bersangkutan

tersebut menekankan pada konteks horizontal, karena menjelaskan posisi pelaku

usaha serta persaingnya. Berdasarkan pasal tersebut, cakupan pengertian pasar

bersangkutan dapat dikategorikan dalam dua perspektif, yaitu pasar berdasarkan

geografis dan pasar berdasarkan produk.

Pasar produk didefinisikan sebagai produk-produk pesaing dari produk

tertentu ditambah dengan produk lain yang bisa menjadi substitusi dari produk

tersebut. Produk lain menjadi substitusi sebuah produk jika keberadaan produk

lain tersebut membatasi ruang kenaikan harga dari produk tersebut. 122 Produk

akan dikategorikan dalam pasar bersangkutan atau dapat digantikan satu sama lain

121
Ibid.
122
Natasya Ningrum Sirait dkk, op. cit, hlm. 12.

Universitas Sumatera Utara


70

apabila menurut konsumen terdapat kesamaan dalam hal fungsi/penggunaan,

karakter spesifik, serta perbandingan tingkat harga produk tersebut dengan harga

barang lainnya. Dari sisi penawaran, barang substitusi merupakan produk yang

potensial yang dihasilkan oleh pelaku usaha yang berpotensi masuk ke dalam

pasar tersebut.123

Pasar geografis adalah wilayah dimana suatu pelaku usaha dapat

meningkatkan harganya tanpa menarik masuknya pelaku usaha baru atau tanpa

kehilangan konsumen yang signifikan, yang berpindah ke pelaku usaha lain di

luar wilayah tersebut. Hal ini antara lain terjadi karena biaya transportasi yang

harus dikeluarkan konsumen tidak signifikan, sehingga tidak mampu mendorong

terjadinya perpindahan konsumsi produk tersebut.124

Apabila dalam sebuah negara dijual sebuah produk dengan biaya

transportasi yang tidak signifikan, maka pasar geografis produk tersebut adalah

seluruh wilayah negara tersebut. Di sisi lain, jika pelaku usaha tidak memiliki

akses terhadap produk dari luar wilayah tersebut, maka juga dapat disimpulkan

bahwa pasar geografis produk adalah wilayah tersebut.125

2. Struktur Pasar Dalam Konsep Persaingan Usaha

Struktur pasar merupakan keadaan pasar yang memberikan petunjuk

tentang aspek-aspek yang memiliki pengaruh penting terhadap perilaku usaha dan

kinerja pasar, antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar

pasar, keragaman produk, sistem distribusi, dan penguasaan pasar (Pasal 1 angka

123
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hlm. 387.
124
Natasya Ningrum Sirait dkk, loc. cit.
125
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hlm. 386.

Universitas Sumatera Utara


71

11 UU No. 5/1999). Pasal tersebut dapat menimbulkan penafsiran bahwa

produsen barang atau jasa tidak tercakup karena penekanannya hanya pada jumlah

penjual dan pembeli yang merupakan penghujung mengalirnya suatu produk

barang atau jasa.126

Pada prinsipnya struktur pasar diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu pasar

persaingan sempurna (perfect competition) dan pasar persaingan tidak sempurna

(imperfect competition). Dimana pasar persaingan tidak sempurna terbagi lagi

menjadi 3 (tiga), yaitu pasar monopoli, pasar monopolistis, dan pasar oligopoli.

2.1 Pasar Persaingan Sempurna (perfect competition).

Pasar persaingan sempurna adalah struktur pasar yang ideal dikehendaki

oleh sistem ekonomi pasar. Harga yang terbentuk di pasar merupakan harga

keseimbangan di mana jumlah yang diminta oleh pembeli persis sama dengan

jumlah barang yang ditawarkan oleh penjual. Jenis pasar persaingan sempurna ini

merupakan salah satu jenis dimana produsen (penjual) dan konsumen (pembeli)

tidak dapat melakukan penetapan harga atau kata lain, harga yang berlaku di pasar

tidak akan dapat dipengaruhi oleh satu pihak individu. Baik dari pihak produsen

maupun konsumen.127

Dalam analisis ekonomi, sering dipermisalkan bahwa perekonomian

merupakan pasar persaingan sempurna. Akan tetapi dalam prakteknya tidaklah

mudah untuk menentukan junis industri yang struktur organisasinya dapat

digolongkan kepada persaingan sempurna yang murni, yaitu ciri-cirinya

126
Insan Budi Maulana, Pelangi Haki dan Antimonopoli, (Jakarta: Yayasan Klinik Haki,
2000), hlm. 232.
127
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hlm. 248.

Universitas Sumatera Utara


72

sepenuhnya bersamaan dengan didalam teori. Bentuk pasar persaingan sempurna

mempunyai ciri-ciri sepenuhnya sebagai berikut128:

a. Terdapat banyak pembeli dan penjual dari suatu produk tersebut dan

mereka berada dalam posisi yang sama-sama kuat sehingga tidak bias

mempengaruhi harga, semua pelaku adalah price taker atau penerima

harga;

b. Produk yang diperdagangkan homogen;

c. Setiap peserta ekonomi mengetahui benar kondisi pasarnya (pengetahuan

sempurna atau perfect information), dimana semua pelaku mempunyai

pengetahuan sempurna terhadap pasar;

d. Mobilitas dari sumber dayanya mudah untuk keluar dan masuk.

2.2 Pasar Monopoli

Dimana hanya terdapat satu penjual dan merupakan kondisi yang

merugikan karena monopoli mengakibatkan beban bagi masyarakat melalui

alokasi sumber daya yang tidak efisien dan merugikan secara sosial karena tidak

terpenuhinya permintaan, pilihan dan kebutuhan. Indikasi terjadinya monopoli

adalah bila didapat melalui paten, sehingga dikategorikan sebagai monopoli yang

legal, kemudian adanya pengontrolan terhadap bahan mentah dari suatu produk

dengan seijin pemerintah atau melalui waralaba (franchise). Penurunan dalam

biaya dimana biaya rata-rata turun dan output mampu memenuhi kebutuhan

permintaan pasar, bila harga dimana marginal cost sama dengan marginal

128
Monika Suhayati, Tesis Magister: “Kajian Yuridis Perjanjian Tertutup dan Penguasaan
Pasar Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha (Studi Atas Perkara Pemblokiran Terhadap SLI 001
dan 008 di Beberapa Warung Telekomunikasi oleh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk.)”
(Jakarta:UI, 2006), 45. Diakses pada tanggal 21 Maret 2018.

Universitas Sumatera Utara


73

revenue (biaya marginal sama dengan pendapatan marginal), bedanya hanya

dalam hal ini pelaku monopoli akan mengontrol jumlah output yang diproduksi.129

Pasar monopoli mempunyai ciri-ciri sebagai berikut130:

a. Pasar monopoli adalah industri satu firma;

b. Tidak terdapat barang pengganti yang mirip (close substitute);

c. Tidak terdapat kemungkinan untuk masuk ke dalam industri;

d. Firma monopoli dapat menguasai penentuan harga;

e. Promosi iklan kurang diperlukan karena firma monopoli adalah satu-

satunya firma di dalam industri.

2.3 Pasar Monopolistis (Monopolistic Competition)

Struktur pasar persaingan monopolistik adalah struktur pasar yang

memiliki kedekatan karakteristik dengan pasar persaingan sempurna. Namun

setiap perusahaan di pasar tidak hanya menerima harga yang berlaku di pasar,

melainkan mampu menentukan sendiri harga untuk setiap produk yang dihasilkan.

Kemampuan menentukan harga sendiri ini muncul dikarenakan perusahaan tidak

memproduksi barang yang homogen, melainkan memproduksi barang yang

memiliki karakteristik berbeda dengan produk perusahaan lain. Perbedaan jenis

129
Natasya Ningrum Sirait (a), op. cit, hlm. 32.
130
Monika Suhayati, Tesis Magister: “Kajian Yuridis Perjanjian Tertutup dan
Penguasaan Pasar Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha (Studi Atas Perkara Pemblokiran
Terhadap SLI 001 dan 008 di Beberapa Warung Telekomunikasi oleh PT Telekomunikasi
Indonesia Tbk.)” (Jakarta:UI, 2006), 48. Diakses pada tanggal 21 Maret 2018

Universitas Sumatera Utara


74

produk yang dihasilkan ini yang menjadi pembeda utama antara struktur pasar

persaingan monopolistik dengan pasar persaingan sempurna. 131

Pasar ini mempunyai karakteristik yaitu dapat dilihat dari banyaknya

penjual seperti struktur pasar persaingan sempurna serta memiliki produk yang

terdiferensiasi dan bebas masuk dan keluar pasar. Perbedaan utama antara struktur

pasar persaingan monopolistik dengan pasar persaingan sempurna terletak pada

jenis produk yang dihasilkan. Dengan memproduksi produk yang terdiferensiasi,

perusahaan mampu menentukan harga untuk masing-masing produknya. Dengan

demikian perusahaan di struktur pasar persaingan monopolistik sudah memiliki

market power atau kekuatan untuk mempengaruhi harga keseimbangan.132

2.4 Pasar Oligopoli

Merupakan bentuk organisasi pasar dimana hanya ada dua penjual

(duopoly), produk yang dijual bias homogen (pure poligopoly) atau berbeda

(differentiated oligopoly), dapat dimungkinkan produsen baru masuk dalam

pasar/industri dan masuknya produsen tersebut tidak sesulit dalam monopoli,

dantindakan seorang produsen dalam pasar oligopoli akan mempengaruhi

produsen lain.133

Biasanya struktur dari industri dalam pasar oligopoli adalah terdapat

perusahaan raksasa yang menguasai sebagian besar pasar oligopoli dan terdapat

pula beberapa perusahaan kecil. Beberapa perusahaan golongan yang pertama

(yang menguasai pasar) saling mempengaruhi satu sama lain, karena keputusan

131
Andi Fahmi Lubis, op. cit, hlm. 34.
132
Ibid, hlm. 35.
133
Tri Anggraini, op. cit, hlm. 10.

Universitas Sumatera Utara


75

dan tindakan oleh salah satu daripadanya sangat mempengaruhi perusahaan-

perusahaan lainnya. Sifat ini menyebabkan setiap perusahaan harus mengambil

keputusan yang berhati-hati di dalam mengubah harga, membuat desain,

mengubah teknik memproduksi dan sebagainya. Sifat saling mempengaruhi

(mutual interdependence) ini merupakan sifat yang khusus dari firma dalam pasar

oligopoli.134

3. Penguasaan Pasar

Setiap pelaku usaha selalu ingin mengembangkan usahanya dengan sebaik

dan semaksimal mungkin agar bisa menjadi yang terbaik di bidangnya. Ambisi

tersebut memaksa setiap pelaku usaha untuk meningkatkan kinerja dan daya

saing, baik melalui inovasi maupun efisiensi untuk mengungguli pesaingnya.

Dalam hal jika pelaku usaha dapat mewujudkan ambisinya tersebut, bisa

dikatakan pelaku usaha tersebut mendapatkan posisi dominan karena telah

mengungguli pesaingnya. Pengusaha tersebut juga akan memiliki posisi dominan

dan/atau kekuatan pasar (market power).

Dalam sudut pandang ekonomi, memiliki kemampuan penguasaan pasar

lewat keunggulan inovasi dan efisiensi dapat memberikan efek positif bagi

konsumen. Melalui penguasaan pasar, pelaku usaha dapat mewujudkan efisiensi

biaya (cost saving) atau menjamin pasokan bahan baku atau produk untuk

mencapai skala ekonomi. Penguasaan pasar bersangkutan juga memungkinkan

134
Monika Suhayati, Tesis Magister: “Kajian Yuridis Perjanjian Tertutup dan Penguasaan
Pasar Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha (Studi Atas Perkara Pemblokiran Terhadap SLI 001
dan 008 di Beberapa Warung Telekomunikasi oleh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk.)”
(Jakarta:UI, 2006), 50. Diakses pada tanggal 21 Maret 2018

Universitas Sumatera Utara


76

pelaku usaha untuk dapat menekan biaya rata-rata produksi melalui cakupan

produksi yang luas. Semuanya bisa berujung pada terciptanya harga yang rendah

dan menguntungkan konsumen secara keseluruhan.135

Namun dalam UU No. 5/1999 terdapat larangan dalam bentuk kegiatan

yang dilarang yaitu penguasaan pasar. UU No. 5/1999 tidak menentukan

pengertian penguasaan pasar, namun demikian penguasaan pasar ini adalah

kegiatan yang dilarang karena dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli

dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal

19, Pasal 20, dan Pasal 21 UU No. 5/1999. Di samping dilarangnya penguasaan

pasar yang besar oleh satu atau sebagian kecil pelaku pasar, juga dilarang

penguasaan pasar secara tidak adil, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik

monopoli dan/atau praktik persaingan usaha tidak sehat.136

Perlu diketahui, bahwa Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 UU No. 5/1999 ini

merupakan pasal yang memiliki frasa “dapat mengakibatkan”, berarti pasal-pasal

ini memiliki pendekatan secara rule of reason, dimana perbuatan tersebut tidak

dapat dikatakan salah atau melanggar hukum jika belum dilakukan pengkajian

apakah perbuatannya dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat atau tidak. Singkatnya, penguasaan pasar tersebut

diperbolehkan asal tidak mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha

tidak sehat.

Penguasaan pasar merupakan keinginan dari sebagian besar pelaku usaha,

karena penguasaan pasar yang cukup besar memiliki potensi positif seperti yang

sudah dijelaskan sebelumnya dimana potensi positif tersebut terdapat kepuasaan


135
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hlm. 383.
136
Ibid, hlm. 254.

Universitas Sumatera Utara


77

konsumen dan tingkat keuntungan yang bisa diperoleh oleh pelaku usaha. Namun

perilaku pelaku usaha tersebut yang menjadi inti permasalahan pokok Pasal 19,

Pasal 20, dan Pasal 21 UU No. 5/1999. Penguasaan pasar yang cukup besar oleh

pelaku usaha biasanya dimanfaatkan pelaku usaha untuk melakukan tindakan-

tindakan anti persaingan yang bertujuan agar dia dapat tetap menjadi penguasa

pasar dan mendapatkan keuntungan yang maksimal.

D. Bentuk-bentuk Penguasaan Pasar

Penguasaan pasar tidak dapat dilakukan oleh pelaku usaha biasa yang

tidak memiliki power dalam pangsa pasar. Pihak yang dapat melakukan

penguasaan pasar adalah pelaku usaha yang mempunyai market power, yaitu

pelaku usaha yang dapat menguasai pasar, sehingga dapat menentukan harga

barang dan/atau jasa di pasar yang bersangkutan. Kriteria penguasaan pasar

tersebut tidak harus 100%, satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha

telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis produk tertentu, sudah

dapat dikatakan mempunya market power.137 Wujud penguasaan pasar dapat

terjadi dalam bentuk penjualan barang dan/atau jasa dengan cara138:

a. Jual rugi (predatory pricing) dengan maksud untuk mematikan

pesaingnya.

b. Melalui praktik penetapan biaya produksi secara curang serta biaya

lainnya yang menjadi komponen harga barang.

c. Melakukan perang harga maupun persaingan harga.

137
Ibid, hlm. 225.
138
Andi Fahmi Lubis, op. cit, hlm.139.

Universitas Sumatera Utara


78

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 UU No. 5/1999, pelaku usaha dilarang

melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku

usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau

persaingan usaha tidak sehat berupa:

1. Menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan

kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan (refuse to deal).

Menolak pesaing yaitu menolak atau menghalang-halangi pelaku usaha

tertentu (pesaing) dalam hal melakukan usaha yang sama pada pasar

bersangkutan. Salah satu cara yang sering kali digunakan untuk menyingkirkan

pesaing adalah dengan menerapkan strategi refusal to deal. Strategi ini pernah

diterapkan oleh Eastman Kodak Co, ketika perusahaan tersebut berniat untuk

menguasai jalur distribusi peralatan fotografi (integrasi ke hilir). Untuk menguasai

jalur distribusi peralatan fotografi, maka Kodak harus menguasai perusahaan retail

yang menjual peralatan fotografi. Salah satu perusahaan retail, Southern Photo

Materials Co, menolak menjual perusahaannya pada Kodak. Terhadap perusahaan

yang menolak untuk menjual perusahaan distribusi ini, Kodak menolak untuk

menjual peralatan fotografi. Dalam hal ini Kodak menggunakan kekuatan pasar

pada industri hulu untuk mendapatkan kekuatan pasar pada industri hilir. Namun

demikian, harus diperhatikan bahwa setiap perusahaan memiliki kebebasan untuk

menjual/tidak menjual produknya. Misalnya, dengan alasan kepedulian

lingkungan, dapat saja suatu perusahaan menolak menjual produknya pada

perusahaan yang mencemarkan lingkungan.139

139
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hlm. 256-257.

Universitas Sumatera Utara


79

Refusal to deal yang dianggap menghambat persaingan adalah 140:

a. Harus dibuktikan bahwa motivasi utama tindakan refusal to deal itu adalah untuk

menguasai pasar.

b. Harus dibuktikan bahwa tindakan refusal to deal tersebut dapat mengarah pada

penguasaan pasar.

c. Harus dibuktikan bahwa penguasaan pasar itu pada gilirannya akan memberikan

kekuatan pasar yang memungkinkannya untuk menerapkan harga supra

competitive atau menghambat persaingan berikutnya.

2. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak

melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu.

Menghalangi konsumen yaitu menghalang-halangi pihak konsumen dari

pelaku usaha lain (pesaing) untuk tidak melakukan atau meneruskan hubungan

usaha dengan pihak usaha pesaing tersebut. Hal yang dilakukan oleh pelaku usaha

ini ialah dengan mengadakan upaya perjanjian antara distributor dari pelaku usaha

tersebut yang memasarkan produknya dengan pihak grosir, pengecer, ritel atau

toko yang menjual produknya tersebut kepada masyarakat namun melarang

menjual produk-produk lain.141

Perjanjian mengikat kedua pihak dengan konsekuensi apabila para grosir,

pengecer, maupun ritel ini menjual barang lain, maka akan diberhentikan

pengiriman barang oleh distributor, dan ini bagi para grosir, pengecer, maupun

ritel akan jelas merugikan, karena memang produk dari pelaku usaha ini memang

140
Ibid
141
Ibid, hlm. 258.

Universitas Sumatera Utara


80

diminati oleh para konsumen dengan tingkat permintaan dan penjualan yang

besar. Dengan perjanjian inilah, kemudian bagi para pelaku usaha lain akan

mengalami kesulitan di dalam memasarkan produknya karena para grosir,

pengecer dan ritel ini menolak untuk menjual produknya tersebut.142

3. Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar

bersangkutan.

Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri

maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik

monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, berupa membatasi peredaran

produk yaitu membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada

pasar yang bersangkutan.143 Perilaku yang termuat dalam Pasal 19 Huruf c

berbentuk hambatan penggunaan, misalnya apabila penyalur kendaraan untuk

pembentulan kendaraan tersebut, hanya boleh menggunakan suku cadang yang

dipasok oleh produsen dan komponen tersebut hanya boleh dipasang oleh montir

yang menerima latihan khusus dari produsen. Pasal 19 Huruf c juga dapat

mencakup perjanjian distribusi, dimana produsen barang mermerek menentukan

atau malahan melarang daerah pemasaran dan/atau pembeli tertentu. Akhirnya

perjanjian di mana pemasokan barang tergantung pada penerimaan barang lain

(tying agreement) juga mengakibatkan pembatasan saluran pemasokan atau

penerimaan. 144

142
Ibid.
143
Ibid.
144
Knud Hansen dkk, Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha tidak sehat, (Jakarta: Katalis, 2002), hlm.294.

Universitas Sumatera Utara


81

4. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri

maupun bersama pelaku lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik

monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat berupa melakukan praktik

monopoli terhadap pelaku usaha tertentu (Pasal 19 huruf d). Berdasarkan pasal

tersebut jelas bahwa menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu tidak boleh

dilakukan dengan cara yang tidak wajar atau dengan alasan non-ekonomi,

misalnya karena perbuatan suku, ras, status sosial, dan lain-lain.145

Dalam Pasal 4 II huruf b UNCTAD model law diskriminasi didefinisikan

sebagai “menentukan dengan cara tidak beralasan harga yang berbeda-beda atau

persyaratan pemasokan atau pembelian barang atau jasa”. Melakukan praktek

diskriminasi artinya termasuk menolak sama sekali melakukan hubungan usaha,

menolak menyepakati syarat-syarat tertentu atau perbuatan lain, di mana pelaku

usaha lain diperlakukan dengan cara yang tidak sama. Pelaku usaha lain bebas

untuk melakukan praktek diskriminasi terhadap pelanggan, pemasok dan pesaing,

asalkan perilaku mereka tidak melanggar peraturan hukum lain. Bentuk perilaku

diskriminasi tak terhitung, dan usaha menentukan kegiatan diskriminasi tertentu

beralasan atau tidak tergantung pada keadaan setiap kasus. Untuk dapat

menentukan perbuatan diskriminasi tertentu beralasan atau tidak, maka diperlukan

analisis seksama serta pengimbangan teliti kepentingan pelaku usaha yang

melakukan kegiatan diskriminasi dan kepentingan pelaku usaha yang kena

145
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hlm. 258.

Universitas Sumatera Utara


82

kegiatan diskriminasi tersebut. Oleh sebab itu dalam rangka jumlah kasus contoh

yang makin meningkat, yurisprudensi akan berperan utama dalam praktek.146

E. Akibat Hukum Penguasaan Pasar

Akibat hukum ialah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh

suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan

ini dinamakan tindakan hukum. Jadi dengan lain perkataan, akibat hukum adalah

akibat dari suatu tindakan hukum atau akibat hukum merupakan akibat yang

ditimbulkan oleh suatu peristiwa hukum. Akibat hukum dapat berwujud147 :

a. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum

b. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum, antara dua

atau lebih subyek hukum, di mana hak dan kewajiban pihak yang satu

berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak lain.

c. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum.

Pokok pembahasan akibat hukum yang terdapat dalam UU No. 5/1999 ini

adalah segala sesuatu tindakan hukum yang mengakibatkan persaingan usaha

tidak sehat yang dapat juga berimbas kepada kerugian yang dialami pelaku usaha

pesaingnya maupun konsumen. Suatu akibat hukum dapat ditimbulkan oleh

adanya suatu hubungan hukum. Suatu hubungan hukum tersebut memberikan hak

dan kewajiban yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga kalau

dilanggar akan berakibat, bahwa orang yang melanggar itu dapat dituntut di

146
Knud Hansen dkk, op. cit, hlm. 296.
147
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 296.

Universitas Sumatera Utara


83

pengadilan. Dalam hal ini para pelaku usaha yang melakukan tindakan hukum

seperti halnya perjanjian dan kegiatan anti persaingan yang terdapat dalam UU

No. 5/1999 akan mendapat akibat hukum hukum juga yaitu sanksi.

Dalam UU No. 5/1999, sanksi diatur dalam Pasal 47 sampai dengan Pasal 49.

UU ini juga memberikan wewenang kepada KPPU untuk menerapkan sanksi yang

terdapat di dalam UU No. 5/1999. Dimana terdapat sanksi administratif dan

pidana. Tindakan administratif sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 47 ayat 2

yaitu:

a. Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4


sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau
b. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrase vertical
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
c. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dana tau menyebabkan persaingan usaha
tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
d. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi
dominan; dan atau
e. Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan
pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
f. Penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
g. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah).

Adapun penetapan sanksi pidana pokok oleh Pasal 48 yaitu sebagai berikut:

a. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14,


Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28
diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp. 25.000.000.000 (dua puluh
lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 100.000.000.000,00
(serratus milliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-
lamanya 6 (enam) bulan.
b. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15,
Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini
diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp.5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-
lamanya 5 (lima) bulan.

Universitas Sumatera Utara


84

c. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam


pidana denda serendah-rendahnya Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah),
atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

Kemudian dalam Pasal 49 UU No. 5/1999 yang merujuk pada pasal 10 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap pidana sebagaimana dalam

Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan dapat berupa:

a. Pencabutan izin usaha; atau


b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau
komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima)
tahun; atau
c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian pada pihak lain.

Jadi, akibat hukum dari penguasaan pasar ini, memiliki sanksi hukum yang

ditekankan pada Pasal 47 angka 2 huruf g dimana diatur pengenaan denda

serendah-rendahnya Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-

tingginya Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). Serta diatur juga

dalam pidana pokok di Pasal 48 dimana disebutkan salah satunya adalah

pelanggaran pada pasal 19 akan diancam pidana denda serendah-rendahnya

Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya

Rp.100.000.000.000,00 (serratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti

denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN KPPU NO. 22/KPPU-I/2016

TENTANG KASUS PELANGGARAN YANG DILAKUKAN AQUA DAN

DISTRIBUTORNYA

A. Putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016

1. Kasus Posisi

Perkara ini bermula dari laporan para pedagang ritel maupun eceran ke

Kantor KPPU pada September 2016. Pedagang mengaku dihalangi oleh pihak PT

Tirta Investama untuk menjual produk Le Minerale yang diproduksi PT Tirta

Fresindo Jaya (Mayora Group). Salah satu klasul perjanjian ritel menyebutkan,

apabila pedagang menjual produk Le Minerale maka statusnya akan diturunkan

dari star outlet (SO) menjadi whole saler (eceran). Kemudian PT Tirta Fresindo

Jaya melayangkan somasi terbuka terhadap PT Tirta Investama di surat kabar

pada 1 Oktober 2016. Somasi ini selanjutnya ditanggapi oleh otoritas persaingan

usaha. KPPU mengendus praktik persaingan usaha tidak sehat dalam industri

AMDK. Dalam kasus ini, PT Tirta Investama diduga melanggar tiga pasal, yaitu

pasal 15 ayat (3), pasal 19 dan pasal 25 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 148

KPPU dengan inisiatif sendiri tanpa adanya laporan mengadakan penyelidikan

dan selanjutnya menyidangkan kasus ini. Saat Komisi melakukan penelitian

tentang adanya dugaan pelanggaran dalam pasar Air Minum Dalam Kemasan,
148
Sakina Rakhma, Aqua vs Le Minerale, Pemilik toko diminta tidak pajang Le Minerale,
dikutip dari https://ekonomi.kompas.com/read/2017/08/23/063026426/aqua-vs-le-minerale-
pemilik-toko-diminta-tidak-pajang-le-minerale, diakses pada tanggal 5 April 2018.

86

Universitas Sumatera Utara


87

maka sekretariat Komisi merekomendasikan untuk dilakukan penyelidikan.

Setelah Komisi melakukan penyelidikan terhadap Laporan Hasil Penelitian, dan

memperoleh bukti yang cukup, kejelasan, dan kelengkapan dugaan pelanggaran

yang dituangkan dalam Laporan Hasil Penyelidikan, komisi melakukan

pemberkasan dan laporan hasil penyelidikan tersebut dinilai layak untuk

dilakukan gelar laporan dan susunan dalam bentuk rancangan laporan dugaan

pelanggaran Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1999 dalam Produk Air Minum Dalam Kemasan Air Meneral

yang dilakukan oleh:

a. Terlapor I : PT Tirta Investama, yang beralamat kantor di Cyber Building,

12th Floor, Jl. HR. Rasuna Said Blok X-5 No. 13, Jakarta;

b. Terlapor II : PT Balina Agung Perkasa yang beralamat kantor di Jl.

Rajawali I Nomor 1, Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur.

Dari sidang-sidang di KPPU diketahui bahwa tim investigator setidaknya

memiliki tiga bukti. Salah satu bukti yang dimiliki tim investigator yakni bukti

komunikasi berupa e-mail. Investigator mengaku menemukan komunikasi dua

arah antara terlapor I dan II, yang saling dikirim melalui alamat e-mail kantor. E-

mail yang ditemukan tim investigator berjudul "Degradasi Star Outlet (SO)

Menjadi Whole saler." E-mail itu berisi sanksi yang diterapkan oleh terlapor II

kepada pedagang SO. Bahkan, terlapor II disebut telah mengeksekusi sanksi

tersebut kepada salah satu SO.

Universitas Sumatera Utara


88

Terlapor I diketahui memiliki distributor sejumlah 63 (enam puluh tiga)

distributor dan salah satunya adalah Terlapor II. Jangkauan distribusi atau

pemasaran Terlapor II dalam memasarkan produk Terlapor I meliputi Cikampek,

Cikarang, Bekasi, Babelan, Pulo Gadung, Sunter, Prumpung, Kiwi, Lemah

Abang, Rawagirang, Cibubur, Cimanggis, atau setidak-tidaknya wilayah lain yang

termasuk jangkauan dari Terlapor II. Tempat-tempat tersebut merupakan bagian

dari pasar geografis yang terdapat dalam perkara ini.

2. Pertimbangan Hukum KPPU

Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi Hakim dalam

memutuskan suatu perkara. Pertimbangan hukum muncul saat setelah

terungkapnya fakta yang ada setelah dilangsungkannya persidangan dari awal

sampai sebelum pembacaan putusan. Pertimbangan hukum juga dijadikan sebagai

materi dalam amar putusan. Untuk itu, pertimbangan hukum diperlukan dalam

memutus suatu perkara.

Berdasarkan kesimpulan Terlapor I menyatakan yang pada pokoknya bahwa

Tim Investigator telah salah memproses perkara a quo sebagai perkara inisiatif;

Bahwa atas pendapat tersebut, Majelis Komisi memberikan pertimbangan sebagai

berikut:

a. Berdasarkan ketentuan Pasal 40 UU Nomor 5 Tahun 1999, Majelis Komisi

berpendapat bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat melakukan

pemeriksaan atas dugaan pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 1999 tanpa

adanya laporan;

Universitas Sumatera Utara


89

b. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 15 Peraturan KPPU Nomor 1

Tahun 2010 ditegaskan kembali bahwa KPPU dapat melakukan

penanganan perkara berdasarkan data atau informasi, tanpa adanya laporan

tentang adanya dugaan pelanggaran Undang-Undang;

c. Bahwa data dan informasi tersebut dapat bersumber paling sedikit dari:

1) Hasil Kajian;

2) Berita di media;

3) Hasil Pengawasan;

4) Laporan yang tidak lengkap;

5) Hasil Dengar Pendapat yang dilakukan Komisi;

6) Temuan dalam Pemeriksaan.

Atas dasar ketentuan tersebut, Majelis Komisi menilai bahwa perkara a

quo telah memenuhi ketentuan tata cara penanganan perkara sebagaimana

ditetapkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 dan Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun

2010.

Untuk pemenuhan unsur Pasal 15 ayat (3) huruf b UU No. 5/1999, Majelis

menimbang bahwa Pasal 15 ayat (3) huruf b UU No. 5/1999 menyebutkan sebagai

berikut:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau


potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat
persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa
dari pelaku usaha pemasok”

Universitas Sumatera Utara


90

b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari
pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok

Untuk membuktikan terjadi atau tidaknya pelanggaran Pasal 15 ayat (3)

huruf b UU No. 5/1999, Majelis memberikan pertimbangan Unsur-unsur sebagai

berikut:

a. Unsur Pelaku Usaha

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 5/1999 tentang

pelaku usaha, Terlapor I dan Terlapor II memenuhi unsur tersebut karena para

terlapor merupakan pelaku usaha sebagai mana dimaksud dalam Pasal 1 angka

5 UU No. 5/1999. Terlapor I dan Terlapor II juga merupakan pelaku usaha

yang berkaitan dengan kegiatan pemasaran produk. Terlapor I merupakan

pemasok dan Terlapor II sebagai distributor yang terikat dengan perjanjian

eksklusif dengan Terlapor I untuk memasarkan produk Terlapor I saja.

Berdasarkan pertimbangan ini, unsur pelaku usaha terpenuhi.

b. Unsur membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu

atas barang dan atau jasa;

Bahwa menurut pasal 1 angka 7 UU No. 5/1999 menyebutkan Batasan

pengertian perjanjian yaitu “suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha

untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan

nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”. Serta dalam Pasal 1 angka

16 UU No. 5/1999 juga menyebutkan Batasan pengertian barang yaitu “setiap

benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak

Universitas Sumatera Utara


91

bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau

dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha”. Menurut pertimbangan

majelis, unsur barang ini memenuhi, barang yang dimaksud sebagaimana

terdapat dalam pasar produk yaitu produk air minum dalam kemasan

(AMDK). Majelis juga memberi pertimbangan berdasarkan alata bukti terkait

bahwa Terlapor I menetapkan harga beli distributor dan selanjutnya Terlapor I

menetapkan rekomendasi strata harga jual produk yang ditetapkan kepada

Sub-Distributor (Star Outlet, Whole Saler, dan Retail).

Berdasarkan alat bukti terkait yaitu komunikasi dua arah antara Terlapor I

dan Terlapor II melalui e-mail yang ditemukan investigator yang berisikan

pelaksanaan degradasi dan ancaman degradasi bagi sub-distributor, tindakan

tersebut dapat dikategorikan sebagai perjanjian yang terkait dengan harga atau

potongan harga karena kedudukan pelaku usaha dalam bagian sub-distributor

sangat menentukan tingkat harga yang didapat pelaku usaha yang dipasok.

Dengan ini majelis mempertimbangkan sesuai alat bukti yang didapat bahwa

Terlapor I dan Terlapor II membuat perjanjian mengenai harga atau potongan

harga tertentu atas barang dan atau jasa.

c. Unsur yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima


barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang

menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Berdasarkan alat bukti terkait dengan perilaku para terlapor dalam

pelaksanaan degradasi dan ancaman degradasi bagi sub-distributor, majelis

memberi pertimbangan berdasarkan komunikasi dua arah antara Terlapor I

Universitas Sumatera Utara


92

dan Terlapor II melalui e-mail bahwa apabila pelaku usaha sub-distributor

tetap menerima dan/atau memasarkan yang merupakan produk pesaingnya,

maka terlapor akan memberikan sanksi berupa degradasi yang berdampak

pada harga beli yang diperolehnya. Serta berdasarkan keterangan para saksi

yang telah di degradasi tokonya dan dilarang untuk menjual air mineral merek

Le Minerale. Atas dasar pertimbangan tersebut majelis menilai unsur Unsur

yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan

atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing

dari pelaku usaha pemasok terpenuhi.

Majelis Komisi juga memberikan pertimbangan terhadap pemenuhan unsur

pasal 19 huruf a dan b UU No. 5/1999. Beriikut bunyi pasal 19 huruf a dan b:

“Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik


sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa”;

a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan


kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau;

b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk


tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu;

Untuk membuktikan terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran Pasal 19 huruf a

UU No. 5 Tahun 1999, maka Majelis Komisi mempertimbangkan unsur-unsur

sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


93

a. Unsur pelaku usaha

Bahwa yang dimaksud pelaku usaha sudah diterangkan

sebelumnya sesuai Pasal 1 angka 5 UU No. 5/1999. Terlapor I dan

Terlapor II memenuhi unsur sebagai pelaku usaha. Dengan demikian unsur

pelaku usaha terpenuhi.

b. Unsur Melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun


bersama pelaku usaha lain

Sebagaimana telah diuraikan bahwa Terlapor I dan Terlapor II

secara bersama-sama melakukan kegiatan usaha untuk memasarkan barang

yang diproduksi oleh Terlapor I. Serta dalam kerjasama, Terlapor I telah

menunjukkan secara eksklusif kepada Terlapor II sebagai distributor yang

memasarkan produk Terlapor I di area fokus yang telah ditetapkan.

Dengan demikian Unsur Melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik

sendiri maupun bersama pelaku usaha lain terpenuhi.

c. Unsur menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk


melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan

Berdasarkan alat bukti yang diperoleh, majelis memiliki

pertimbangan berdasarkan penilaian telah terbukti adanya perilaku Para

Terlapor terhadap para Sub-Distributor untuk tidak menjual produk Le

Minerale diproduksi oleh PT Tirta Fresindo Jaya. Majelis Komisi menilai

perilaku Para Terlapor tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan

Universitas Sumatera Utara


94

menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan

kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan.

d. Unsur dapat mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha

tidak sehat

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU No.5/99, persaingan usaha tidak

sehat didefinisikan sebagai persaingan antar pelaku usaha dalam

menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang

dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat

persaingan usaha. Majelis menilai perilaku para Terlapor tersebut dapat

dikategorikan sebagai hambatan persaingan usaha.

Majelis mempertimbangkan unsur-unsur terjadinya pelanggaran Pasal 19

huruf b UU No. 5/1999 sebagai berikut:

a. Unsur Pelaku Usaha

Yang dimaksud pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 5 No. 5/1999

sebagaimana dibahas dalam perkara yang bersangkutan adalah

Terlapor I dan Terlapor II.

b. Unsur melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun


bersama pelaku usaha lain

Bahwa Terlapor I dan Terlapor II secara bersama-sama melakukan

kegiatan usaha untuk memasarkan barang yang diproduksi oleh

Terlapor I. Dalam kerja sama tersebut, Terlapor I telah menunjukan

Universitas Sumatera Utara


95

secara eksklusif Terlapor II sebagai distributor yang memasarkan

produk Terlapor I di area fokus yang telah ditetapkan. Dengan

demikian Unsur Melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri

maupun bersama pelaku usaha lain terpenuhi.

c. Unsur Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing


untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha

pesaingnya

Dasar pertimbangan hukum majelis berdasarkan alat bukti yang

diperoleh selama proses persidangan. Majelis menilai telah terbukti

adanya perilaku para Terlapor terhadap para Sub-distributor untuk

tidak menjual produk Le Minerale yang diproduksi oleh PT Tirta

Fresindo Jaya. Majelis menilai perilaku para Terlapor tersebut dapet

dikategorikan sebagai tindakan menghalangi konsumen atau pelanggan

produk Le Minerale yang diproduksi pesaing Terlapor I. Maka majelis

komisi menilai bahwa perilaku para terlapor tersebut dapat

dikategorikan tindakan menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku

usaha dengan pelaku usaha pesaingnya.

Sebelum memutus, Majelis juga membuat pertimbangan serta memandang

perlu memberikan rekomendasi pada Kementrian Perdagangan untuk pengawasan

terhadap pelaku usaha distributor dan keagenan agar dalam melaksanakan bisnis

atau aktifitasnya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di

Kementerian Perdagangan dan prinsip persaingan usaha yang sehat. Serta

memberikan rekomendasi juga kepada Kementerian Tenaga Kerja Republik

Universitas Sumatera Utara


96

Indonesia untuk melakukan pengawasan kepada Terlapor I dan Terlapor II dalam

pelaksanaan peraturan kepegawaian agar sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang ada.

Sebelum memutus, Majelis juga mempertimbangkan hal-hal yang

meringankan serta memberatkan;

a. Bahwa Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal yang meringankan

bagi Terlapor I yaitu kooperatif dalam memberikan data dan dokumen

b. Bahwa Majelis Komisi juga mempertimbangkan hal-hal yang

memberatkan bagi Terlapor I yaitu bersikap tidak sopan dalam proses

persidangan

c. Bahwa Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal yang meringankan

bagi Terlapor II yaitu kooperatif dalam memberikan data dan telah

bersikap sopan dalam persidangan

Mengenai penghitungan denda, Majelis Komisi mempertimbangkan sanksi

denda bagi para terlapor, Majelis Komisi memperhitungkan hal-hal sebagai

berikut:

a. Bahwa menurut Pedoman Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999 (selanjutnya

disebut “Pedoman Pasal 47”) tentang Tindakan Administratif, denda

merupakan usaha untuk mengambil keuntungan yang didapatkan oleh

pelaku usaha yang dihasilkan dari tindakan anti persaingan. Selain itu

denda juga ditujukan untuk menjerakan pelaku usaha agar tidak

melakukan tindakan serupa atau ditiru oleh calon pelanggar lainnya;

Universitas Sumatera Utara


97

b. Bahwa berdasarkan Pasal 36 huruf l jo. Pasal 47 ayat (1) UU No. 5 Tahun

1999, Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan

administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU No. 5

Tahun 1999;

c. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat (2) huruf g UU No. 5 Tahun
1999, Komisi berwenang menjatuhkan sanksi tindakan administratif

berupa pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh

lima miliar rupiah);

d. Bahwa berdasarkan Pedoman Pasal 47, Majelis Komisi menentukan


besaran denda dengan menempuh dua langkah, yaitu pertama, penentuan

besaran nilai dasar dan kedua, penyesuaian besaran nilai dasar dengan

menambahkan dan/atau mengurangi besaran nilai dasar tersebut;

e. Bahwa dalam penentuan rentang besaran denda, Perkom menentukan


jumlah akhir dari besaran denda dalam keadaan apapun tidak boleh

melebihi 10% dari total turn over tahun berjalan dari pihak Terlapor.

Apabila 10% turn over lebih besar dari Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh

lima miliar rupiah) maka akan dikenakan denda akhir sebesar Rp

25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), sementara apabila 10%

turn over dari pihak Terlapor lebih kecil dari Rp 25.000.000.000,00 (dua

puluh lima miliar rupiah) maka akan dikenakan denda akhir sebesar 10%

turn over;

Universitas Sumatera Utara


98

f. Bahwa dalam perkara a quo nilai turn over atau nilai penjualan dari para

Terlapor adalah sebagaimana diuraikan pada butir 5 Tentang Hukum,

dimana 10% dari nilai turn over tersebut jauh melebihi

Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah);

g. Bahwa Perkom mengatur juga mengenai pertimbangan hal-hal yang

memberatkan dan meringankan sebagai dasar untuk melakukan

penyesuaian besaran nilai dasar denda. Namun, oleh karena nilai 10% turn

over jauh melebihi Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah)

sebagai batasan sanksi denda maksimal, maka Majelis Komisi tidak lagi

memperhatikan hal-hal dimaksud.

3. Putusan

Tentang diktum putusan, Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta,

penilaian, analisis dan kesimpulan di atas, serta dengan mengingat Pasal 43 ayat

(3) UU No. 5 Tahun 1999 sebagai dasar Hukum majelis untuk memutus, maka

Majelis Komisi memutuskan:

1. Menyatakan bahwa Terlapor I, dan Terlapor II terbukti secara sah dan

meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b

Undang Undang No.5 Tahun 1999;

2. Menghukum Terlapor I denda sebesar Rp.13.845.450.000 (Tiga Belas Miliar

Delapan Ratus Empat Puluh Lima Juta Empat Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah)

dan disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di

bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Universitas Sumatera Utara


99

melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda

Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

3. Menghukum Terlapor II denda sebesar Rp.6.294.000.000 (Enam Miliar Dua

Ratus Sembilan Puluh Empat Juta Rupiah) dan disetor ke Kas Negara sebagai

setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan

Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan

kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang

Persaingan Usaha);

4. Bahwa setelah Terlapor I dan Terlapor II melakukan pembayaran denda, maka

salinan bukti pembayaran denda tersebut dilaporkan dan diserahkan ke KPPU;

B. Analisa Hukum Terhadap Putusan Majelis Komisi Dalam Memutus

Perkara No. 22/KPPU-I/2016.

Dari putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016, Majelis menyatakan bahwa

Terlapor I (PT Tirta Investama) dan Terlapor II (PT Balina Agung Perkasa)

terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal

19 huruf a dan b UU No. 5/1999. PT Tirta Investama dikenakan denda sebesar

Rp.13.845.450.000 (tiga belas miliar delapan ratus empat puluh lima juta empat

ratus lima puluh ribu rupiah) dan PT Balina Agung Perkasa dikenakan denda

sebesar Rp.6.294.000.000 (enam miliar dua ratus Sembilan puluh empat juta

rupiah).

Universitas Sumatera Utara


100

Dari Putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016 dan denda yang diberikan

KPPU kepada masing-masing terlapor, maka penulis akan memberikan Analisa

hukum secara yuridis berdasarkan norma hukum yang ada yaitu sesuai dengan

dasar hukum UU No. 5/1999. Apakah sanksi yang diberikan KPPU sudah sesuai

norma hukum atau tidak. Namun, penulis tidak akan menyentuh perbuatannya

yang melanggar pasal 15 ayat (3) huruf b, karena fokus sasaran penulis sekarang

adalah tindakan penguasaan pasarnya.

Terlapor I dan Terlapor II melanggar Pasal 19 huruf a dan b UU No.

5/1999 yang berbunyi:

“Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:

a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk


melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau

b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya


untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya itu;”

Penulis akan membahas huruf a terlebih dahulu dimana terdapat beberapa

unsur didalam Pasal 19 huruf a yaitu:

a. Pelaku usaha

Unsur ini memiliki Batasan pengertian yang terdapat pada Pasal 1 angka 5

UU No. 5/1999 yang berbunyi:

“Pelaku usaha adalah setiap orang atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama melalui

Universitas Sumatera Utara


101

perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam


bidang ekonomi.”

Pasal ini memiliki unsur:

1) Orang atau Badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan

badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan

kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, Orang atau Badan

Usaha tersebut adalah:

a) PT Tirta Investama (Terlapor I)

merupakan badan usaha berbentuk badan hukum yang didirikan

berdasarkan Akta Pendirian Perusahaan Nomor 142 tanggal 16

Juni 1994 yang dibuat oleh Rachmat Santoso, S.H., Notaris di

Jakarta dan terakhir diubah dengan akta perubahan Nomor 21

tanggal 08 Juni 2017 yang dibuat oleh Linda Herawati, S.H.,

Notaris di Jakarta Pusat serta telah mendapat pengesahan dari

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Nomor AHU-AH.01.03-0144329 Tahun 2017 dicetak pada tanggal

09 Juni 2017.

b) PT Balina Agung Perkasa (Terlapor II)

merupakan badan usaha berbentuk badan hukum yang didirikan

berdasarkan Akta Pendirian Perusahaan Nomor 33 tanggal 8 Juli

1999 yang dibuat oleh Dr. Purbandari, S.H., M.Hum., MM., M.Kn.

Notaris di Jakarta dan terakhir diubah dengan akta perubahan

Nomor 09 tanggal 15 Oktober 2016 yang dibuat oleh Rahyu

Universitas Sumatera Utara


102

Minarti, S.H., Notaris di Jakarta Pusat serta telah mendapat

pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia Nomor AHU-AH.01.03-0091305 Tahun 2016 Tanggal

20 Oktober 2016.

2) Unsur melakukan kegiatan usaha di bidang ekonomi

PT Tirta Investama dan PT Balina Agung Perkasa adalah Perseroan

Terbatas dengan bidang usaha di pasar air minum dalam kemasan

(AMDK). Dimana Terlapor I sebagai produsen dan Terlapor II sebagai

Distributor. Jadi, unsur melakukan kegiatan usaha di bidang ekonomi

telah terpenuhi.

b. Praktek Monopoli dan atau Persaingan Usaha Tidak Sehat

Praktek Monopoli diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 5/1999 yang

berbunyi:

“Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu


atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi
dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum.”

Persaingan Usaha tidak sehat diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU No.

5/1999:

“Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku


usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau
melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.”

Universitas Sumatera Utara


103

Dalam hal ini, Terlapor I dan Terlapor II dinyatakan melakukan

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa menolak

pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada

pasar bersangkutan dan menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku

usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku

usaha pesaingnya. Penulis sependapat dengan Majelis bahwa perilaku para

terlapor ini dapat dikategorikan sebagai hambatan persaingan usaha.

Bahwa prilaku para terlapor yang melarang pedagang SO untuk tidak

menjual produk Le minerale berdampak pada produk Le minerale selaku

pesaing terdekat dari AQUA menjadi tidak tersedia lagi setidak-tidaknya

di toko pedagang yang dilarang (availability product) menjadi tidak ada.

c. Unsur menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk

melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan

Berdasarkan alat bukti yang diperoleh selama proses persidangan, yaitu

komunikasi dua arah oleh Terlapor I dan Terlapor II melalui e-mail, serta

kesaksian para saksi di persidangan yang menyatakan pernah dilarang oleh

Terlapor II untuk menjual Air Mineral merek Le Minerale dan juga para

saksi yang mengaku telah mengalami degradasi toko yang telah di copot

dari Star Outlet, Majelis Komisi menilai telah terbukti adanya perilaku

Para Terlapor terhadap para Sub-Distributor untuk tidak menjual produk

Le Minerale yang diproduksi oleh PT Tirta Fresindo Jaya sehingga

perilaku para terlapor dapat dikategorikan sebagai tindakan menolak dan

atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha

Universitas Sumatera Utara


104

yang sama pada pasar bersangkutan. Dengan demikian unsur menolak dan

atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha

yang sama pada pasar bersangkutan Terpenuhi.

Dari unsur-unsur diatas, penulis menyimpulkan bahwa perilaku para

terlapor memenuhi segala unsur yang terdapat di pasal 19 huruf a. Para terlapor

terbukti melakukan penolakan dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu (PT

Fresindo Jaya, produsen AMDK Le Minerale) untuk melakukan kegiatan usaha

yang sama pada pasar bersangkutan. Penulis mengambil kesimpulan berdasarkan

alat bukti yang didapat selama persidangan dimana Terlapor I dan Terlapor II

melakukan perjanjian agar Terlapor II mengancam para sub-distributor untuk

tidak memasarkan produk Le Minerale dengan ancaman degradasi toko.

Perjanjian tersebut diketahui karena adanya Surat Elektronik (email) antara

karyawan Terlapor I dengan karyawan Terlapor II serta keterangan para saksi

yang dihadirkan selama persidangan.

Kemudian penulis akan mengkaji pelanggaran Pasal 19 huruf b UU No.

5/1999 yang dilakukan Terlapor I dan Terlapor II. Berikut bunyinya:

“menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk

tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu;”

Terdapat beberapa unsur di dalam Pasal 19 huruf b ini, yakni:

a. Unsur Pelaku Usaha

Yang dimaksud pelaku usaha sesuai Pasal 1 angka 5 UU No. 5/1999 sudah

diuraikan sebelumnya pada kajian Pasal 19 huruf a. Yang dimaksud

Universitas Sumatera Utara


105

Pelaku Usaha dalam perkara ini adalah PT Tirta Investama (Terlapor I)

dan PT Balina Agung Perkasa (Terlapor II). Dengan demikian unsur ini

terpenuhi.

b. Unsur melakukan satu atau beberapa kegiatan baik sendiri maupun

bersama pelaku usaha lain

Bahwa Terlapor I dan Terlapor II secara bersama-sama melakukan

kegiatan usaha untuk memasarkan barang yang diproduksi oleh Terlapor I.

Hal ini dibuktikan dalam rantai distribusi Terlapor I dan penunjukan

Terlapor II sebagai distributor Terlapor I berdasarkan pada perjanjian

penunjukan (exclusive agreement) sebagai distributor. Hal tersebut

diperkuat dengan pengakuan Presiden Direktur Terlapor I (Corine Daniele

Tap) dalam Sidang Majelis Komisi Tanggal 26 Oktober 2017. Dengan

demikian unsur melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri

maupun bersama pelaku usaha lain terpenuhi.

c. Unsur Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing untuk

tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya

Berkaitan dengan peran Terlapor I dalam pelaksanaan mekanisme

degradasi toko, terdapat beberapa bukti dalam persidangan yang

memperkuat unsur ini. Surat Elektronik (email) antara karyawan Terlapor

I dengan karyawan Terlapor II merupakan bukti perjanjian yang dilakukan

para terlapor untuk melarang Sub-Distributor memasarkan produk pelaku

usaha pesaingnya (Le Minerale). Serta beberapa fakta persidangan dari

beberapa saksi juga menguatkan dugaan pelanggaran tersebut. Dengan

Universitas Sumatera Utara


106

demikian, penulis menyimpulkan bahwa perilaku para terlapor tersebut

dapat dikategorikan sebagai tindakan menghalangi konsumen atau

pelanggan produk Le Minerale yang diproduksi pesaing Terlapor I.

Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa majelis hakim sudah

tepat dalam mengambil keputusan. Terlapor I dan Terlapor II terbukti bersalah.

Karena segala unsur yang terdapat dalam Pasal 19 huruf a dan b tentang

penguasaan pasar telah terpenuhi.

Penulis juga menyimpulkan bahwa pelanggaran yang dilakukan para

terlapor merupakan pelanggaran penguasaan pasar yang dilakukan para pelaku

usaha dalam hubungan secara vertical dimana para pelaku usaha tersebut terbukti

menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan kegiatan usaha pada pasar

bersangkutan serta menghalangi pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak

melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya. Hal ini diperkuat

dengan ditemukannya bukti berupa surat elektronik antara Terlapor I dan Terlapor

II yang melakukan pernjanjian untuk melaksanakan degradasi toko terhadap sub-

distributor yang memasarkan produk Le Minerale sehingga bukti tersebut

merupakan pelanggaran perjanjian tertutup dalam Pasal 15 angka 3 huruf b.

Kemudian, di dalam Putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016 terdapat sanksi

administratif yang diberikan kepada masing-masing terlapor. Menurut pedoman

Pasal 47 UU No.5/1999, Tindakan administratif denda merupakan usaha untuk

mengambil keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha yang dihasilkan dari

tindakan anti persaingan. Selain itu denda juga ditujukan untuk menjerakan

pelaku usaha agar tidak melakukan tindakan serupa atau ditiru oleh calon

Universitas Sumatera Utara


107

pelanggar lainnya. Menurut penulis, penjatuhan sanksi administratif ini sudah

sesuai dengan norma yang ada sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat 2 huruf g

UU No. 5/1999, “komisi berwenang menjatuhkan sanksi tindakan administratif

berupa pengenaan denda serendah-rendahnya Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.25.000.000.000,00 (Dua puluh lima miliar

rupiah).

Menurut pandangan penulis, KPPU dalam meniliti dan menindaklanjuti

perkara ini seharusnya tidak langsung memproses dugaan pelanggaran tersebut.

Dimana KPPU terkesan terburu-buru dalam menyusun dugaan pelanggaran.

Sehingga yang menjadi lawan Aqua merupakan KPPU sendiri bukannya pelaku

usaha lain yang dirugikan dari perilaku para Terlapor (Le Minerale). Ditambah

lagi kasus pelanggaran ini menurut penulis tidak terlalu besar dan masih masuk

skala kecil karena pasar bersangkutannya adalah Air Minum Dalam Kemasan

(AMDK) tidak seperti kasus-kasus lainnya seperti contohnya kasus Temasek

maupun yang baru-baru ini terjadi yaitu tindakan kartel yang dilakukan Yamaha

dan Honda.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada pembahasan sebelumnya, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Penguasaan pasar merupakan salah satu kegiatan yang dilarang yang terdapat

dalam UU No. 5/1999. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan oleh pelaku

usaha yang cenderung menguasai pangsa pasar. Dimana pelaku usaha yang

memiliki nama besar dalam pasar bersangkutan, cenderung melakukan

perbuatan menyimpang agar dia bisa tetap menjadi penguasa pasar (market

power) dan bisa menjadi price setter dalam suatu pasar. Pengaturan mengenai

penguasaan pasar terdapat dalam Pasal 19 UU No.5/1999 yang terdiri dari 4

poin. Poin pertama yang mengatur tentang penolakan pelaku usaha tertentu

untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan (refuse

to deal). Poin kedua mengenai penghalangan terhadap konsumen pelaku usaha

pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha

pesaingnya. Kemudian yang ketiga mengenai pembatasan peredaran dan/atau

penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan. Dan yang terakhir

pengaturan tentang larangan melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku

usaha tertentu. Kegiatan yang dilarang dalam UU No. 5/1999 ini memiliki

beberapa bentuk yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan

persekongkolan. Pengaturan kegiatan yang dilarang ini bertujuan untuk

menghukum para pelaku usaha yang memiliki perilaku anti persaingan dalam

108

Universitas Sumatera Utara


109

berusaha. Akibat hukum dalam penguasaan pasar diatur dalam Bab 8

mengenai sanksi Pasal 47 dan 48 UU No. 5/1999. Dimana terdapat sanksi

administratif serta sanksi pidana.

2. PT Tirta Investama dan PT Balina Agung Perkasa terbukti secara sah

melanggar Pasal 15 ayat 3 huruf b dan pasal 19 huruf a dan b sebagaimana

dalam putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016 berdasarkan terpenuhinya segala

unsur yang terdapat dalam pasal 15 ayat 3 huruf b dan pasal 19 huruf a dan b.

Adapun unsur melakukan praktek monopoli dalam kasus ini terbukti karena

dari alat bukti yang didapat selama persidangan berupa pengakuan para sub-

distributor yang dilarang oleh Terlapor II (PT. Balina Agung Perkasa) untuk

menjual produk Le Minerale yang dikategorikan sebagai penghambat

persaingan usaha. Perilaku ini juga sekaligus dinyatakan telah memenuhi

unsur menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing untuk

tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya. Penulis

menyatakan pertimbangan hukum yang diberikan oleh majelis KPPU sudah

tepat dan tidak melampaui batas sanksi dalam UU No.5/1999. Namun, saat

ini, PT Tirta Investama mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan atas Putusan KPPU pada 31 Januari 2018 lalu.

B. Saran

1. Sebaiknya, amandemen UU No. 5/1999 yang sedang berlangsung dapat

memperbaharui sanksi administratifnya. Karena, ukuran sanksi administratif

maksimum yang terdapat dalam UU No. 5/1999 hanya Rp.25.000.000.000,00

(dua puluh lima miliar). Ukuran dua puluh miliar tersebut termasuk besar pada

Universitas Sumatera Utara


110

tahun dimana Undang-undang tersebut lahir. Namun sekarang, dua puluh lima

miliar termasuk rendah jika dibandingkan dengan penghasilan pelaku usaha

yang melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

2. Penulis juga menyarankan agar KPPU mengamandemen Peraturan KPPU No.

1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara untuk mengadopsi

kembali metode perubahan perilaku dalam mekanisme pemeriksaan

pendahuluan yang dulu pernah diatur dalam Peraturan KPPU No. 1 Tahun

2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara. Namun metode tersebut

dihilangkan sejak berlakunya peraturan KPPU No. 1 tahun 2010 tentang Tata

Cara Penanganan Perkara dan dicabutnya peraturan KPPU No. 1 tahun 2006.

Karena dengan adanya metode perubahan perilaku, akan sangat efektif untuk

meminimalisir perkara atau laporan yang masuk ke KPPU. Sehingga KPPU

juga akan semakin produktif dalam menyelesaikan semua perkara atau laporan

yang diterimanya. Kemudian, metode perubahan perilaku ini juga termasuk

langkah awal yang baik dalam pencegahan praktik persaingan tidak sehat dan

sebagai pembinaan untuk para Terlapor yang diduga melakukan praktik

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Universitas Sumatera Utara


111

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anggraini, Tri. Hukum Persaingan Usaha: Studi Konsep Pembuktian Terhadap

Perjanjian Penetapan Harga Dalam Persaingan Usaha. Malang: Setara

Press, 2013.

Bakir, Herman. Filsafat Hukum: Tema-teman fundamental keadilan dari sisi ajaran fiat

Justitia ruat caelum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

CICODS FH-UGM. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya.

Yogyakarta: CICODS, 2009.

Hansen, Knud dkk. Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat. Jakarta: Katalis, 2002.

Head, John W. Pengantar Umum Hukum Ekonomi, Jakarta: ELIPS II, 2002.

Hermansyah. Pokok-pokok Hukum Persaingan di Indonesia. Jakarta: Kencana,

2008.

Ibrahim, Johnny. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:

Bayumedia Publishing, 2006.

Juwana, Hikmahanto. Peran Lembaga Peradilan Dalam Menangani Perkara

Persaingan Usaha. Jakarta: PBC, 2003.

Kansil, CST. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka, 2002.

Universitas Sumatera Utara


112

Lubis, Andi Fahmi, dkk. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks,

deutch gesellscahft fur technische zusammenarbeit (GTZ), 2009.

Margono, Suyud. Hukum Antimonopoli. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Maulana, Insan Budi. Pelangi Haki dan Antimonopoli. Jakarta: Yayasan Klinik

Haki, 2000.

Nugroho, Susanti Adi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Kencana,

2012.

Prayoga, Ayudha, dkk (ed). Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di

Indonesia. Jakarta: ELIPS, 1999.

Purwaningsih, Endang. Hukum Bisnis. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Rokan, Mustafa Kamal. Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di

Indonesia, Jakarta: Rajawali pers, 2010.

Sidabalok, Janus. Pengantar Hukum Ekonomi. Medan: Bina Media, 2003.

Sirait, Ningrum Natasya (a). Hukum Persaingan di Indonesia. Medan: Pustaka

Bangsa Press, 2011.

Sirait, Ningrum Natasya (b). Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat. Medan:

Pustaka Bangsa Press, 2003.

Sirait, Ningrum Natasya, dkk. Ikhtisar Ketentuan Hukum Persaingan Usaha.

Jakarta: The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program,

2010.

Siswanto, Arie. Hukum Persaingan Usaha. Bogor: Ghalia Indonesia, 2002.

Universitas Sumatera Utara


113

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2012.

Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers,

2012.

Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Sudiro, Amad dan Deni Bram (ed). Hukum dan Keadilan (Aspek Nasional &

Internasional). Depok: Rajagrafindo Persada, 2013.

Sumaryono, E. Etika & Hukum. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Suhasril, Mohammad Taufik Makarao. Hukum Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia,

2010.

Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Sinar

Grafika, 2013.

Wibowo, Destivano dan Harjon Sinaga. Hukum Acara Persaingan Usaha.

Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli. Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 1999.

Yuhassarie, Emmy (ed). Undang-undang No, 5/1999 dan KPPU. Jakarta: Pusat

Pengkajian Hukum, 2005.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

Universitas Sumatera Utara


114

Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat

Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2005 Mengenai Tata Cara Penanganan

Perkara

Peraturan Komisi No. 3 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pasal 1 angka 10 UU

No.5/1999

Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara

Artikel Ilmiah/ Jurnal, Skripsi, dan Tesis Melalui Media Cetak Maupun

Elektronik

Amad Sudiro, Nilai Keadilan Pada Hubungan Pelaku Usaha dan Konsumen

Dalam Hukum Transportasi Udara Niaga

Deliana Prahita Sari dkk, Persaingan Usaha Tidak Sehat: Asal Mula Kasus Aqua

vs. Le Minerale,

http://kabar24.bisnis.com/read/20170711/16/670224/persaingan-usaha-

tidak-sehat-asal-mula-kasus-aqua-vs.-le-minerale, diakses pada tanggal 9

Maret 2018.

Kemdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikutip dari

http://kbbi.kemendikbud.go.id, diakses pada tanggal 23 Mei 2018.

Suhayati, Monika, Tesis Magister: “Kajian Yuridis Perjanjian Tertutup dan

Penguasaan Pasar Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha (Studi Atas

Perkara Pemblokiran Terhadap SLI 001 dan 008 di Beberapa Warung

Universitas Sumatera Utara


115

Telekomunikasi oleh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk.)”. Jakarta:UI,

2006. Diakses pada tanggal 21 Maret 2018.

Sukarni. Kedudukan KPPU dalam Lembaga extra auxiliary, Jurnal Persaingan

Usaha edisi 6, Desember, 2011.

Wahyudi Aulia Siregar, Kasus Persaingan Usaha Tidak Sehat Paling Banyak

Terjadi di Jakarta,

https://economy.okezone.com/read/2017/06/15/320/1717063/wah-kasus-

persaingan-usaha-tidak-sehat-paling-banyak-terjadi-di-jakarta, diakses

pada tanggal 9 Maret 2018.

Pengertian persaingan dan contohnya, http://artikelsiana.com/2015/06/pengertian-

persaingan-competition-contoh.html, diakses pada tangga 23 Mei 2018.

Tulus Tambunan, Competition Law and SMEs in Indonesia,

http://cambridge.org/core/books/competition-law-regulation-and-smes-in-

the-asiapacific/competition-law-and-smes-in-

indonesia/D971F42FD206478DD81F10B2BDE358DE, diakses pada

tanggal 13 Maret 2018.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai