Anda di halaman 1dari 22

ALASAN PENGHAPUS PIDANA

• Muhamad Fikri Ramadhan 1193060049


• Muhammad Alfien Abdan Mardlian 1193060050
• Muhammad Ghazi Al-Ghifari 1193060054
• Neng Rahma Tila ila Hopipah 1193060058
• Rafi Muhammad Rahmat 1193060068
• Rosabella Wahyuditya 1193060074
• Syabilla Aulia aziz 1193060085
• Tyas Nurfadilah 1193060088
TEORI-TEORI ALASAN PENGHAPUS PIDANA
A. Tidak mampu bertanggung jawab
Dalam memberikan definisi terkait pertanggung jawaban , seperti hal nya yang telah
di utarakan dalam bab mengenai pertanggung jawaban pidana , Van Hamel telah
memberi ukuran mengenai kemampuan bertanggung jawab yang meliputi tiga hal :
pertama , mampu memahami secara sungguh-sungguh akibat dari perbuatannya.
Kedua , mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan itu bertentangan dengan
ketertiban masyarakat. Ketiga , mampu untuk menentukan kehendak berbuat.
Praduga dari semua pertanggung jawaban dalam hukum pidana yaitu pelaku cukup
normal untuk dapat menginsyafi baik - buruk dan dapat mengarahkan perbuatannya.
Terkait praduga ini pompe menyatakan secara tegas :
( Pertanggung jawaban bukan lah unsur perbuatan pidana. Hanya merupakan suatu
anggapan. Dapat dimengerti , bahwa kebanyakan orang berfikir demikian. Keadaan
tersebut , meskipun tidak jelas , dinyatakan sebagai normal. Tidak dapat di
pertanggung jawabkan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 37 adalah suatu dasar
penghapus pidana.
Oleh karena itu (setelah penyidikan) , tetap meragukan mengenai dapat
dipertanggung jawabkan , pelaku tetap dipidana).
Berdasarkan pernyataan pompe dapat kita simpulkan bahwa , Pertama ,
pertanggung jawaban dalam konteks kemampuan bertanggung jawab adalah
sesuatu yang terlepas dari perbuatan pidana. Kedua , setiap orang di anggap
bertanggung jawab atas apa yang dilakukan olehnya. Ketiga , jika tidak mampu
bertanggung jawab , maka hal itu merupakan dasar penghapus pidana.
Kemampuan bertanggung jawab dalam KUHP tidak dirumuskan secara positif ,
melainkan dirumuskan secara negatif. Pasal 44 KUHP ( Pasal 37 Wetboek van
Strafrecht yang di singgung dalam pendapat pompe di atas ) menyatakan :
Tidak mampu bertanggung jawab :
1. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat di pertanggung jawabkan
padanya , disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena
penyakit , tidak dipidana.
2. Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya
disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau teganggu karena penyakit ,
maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukan ke dalam rumah
sakit jiwa , paling lama satu tahun sebagai percobaan.
3. Ketentuan tersebut dalam ayat ( 2 ) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung ,
Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
Berdasarkan ketentuan pasal 44 KUHP dapat ditarik dari beberapa kesimpulan ,
Pertama , kemampuan bertanggung jawab dilihat dari sisi si pelaku berupa keadaan
akal atau jiwa yang cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit.
Menurut sejarahnya istilah jiwanya cacat dalam tumbuhnya dimunculkan karena
istilah gangguan penyakit terlalu sempit sehingga tidak mencakup situasi kejiwaan
abnormal yang merupakan sifat bawaan dari lahir. Kedua , penentuan kemampuan
bertanggung jawab dalam konteks yang pertama harus dilakukan oleh seorang
psikiater. Ketiga , ada hubungan kasual antara keadaan jiwa dan perbuatan yang
dilakukan. Perihal kedua dan ketiga ini , kita mengenal ajaran integrasi dari Nieboer.
Menurut Nieboer harus ada pengintegrasian kedua bidang ilmu yakni psikiatri dan
hukum pidana yang menyatakan kausalitas penyimpangan psikis harus turut
dipertimbangkan dalam suatu delik. Dan adapun menurut Durham yang
berpendapat semakin besar peran deviasi psikis, semakin kecil tingkat kesalahannya.
Ke empat , penilaian terhadap hubungan tersebut merupakan otoritas hakim yang
mengadili perkara.
Kelima , sistem yang dipakai dalam KUHP adalah deskriptif normatif karena disatu sisi ,
menggambarkan keadaan jiwa oleh psikiater, namun disisi lain secara normatif hakim
akan menilai hubungan antara keadaan jiwa dan perbuatan yang dilakukan.
Berkaitan dengan ke empat dan kelima , melalui ilustrasi grafis , Nieboer menunjukan
sebagaimana melalui penafsiran ulang sangat mungkin terjadi bahwa psikopatalog
memutuskan ada kemampuan penuh untuk mempertanggung jawabkan perbuatan ,
namun disisi lain ada pertimbangan kepatutan hakim justru memutuskan tanggung
jawab dalam kadar yang lebih kecil. Lebih sederhana terkait tidak mampu bertanggung
jawab dinyatakan oleh schaffmeister , kaijzer dan sutorius bahwa tidak mampu
bertanggung jawab tidak hanya karena gangguan jiwa , tetapi juga karena cacat yang
mengakibatkan tidak dipertanggung jawabkan kepada pelakunya sebagaimana yang
telah di utarakan diatas . Oleh karena itu , yang harus menjadi perhatian hukum pidana
adalah : Pertama , apakah terdapat cacat dalam pertumbuhan atau gangguan karena
penyakit jiwa. Kedua , kalau ya , apakah ada hubungan kasual antara cacat dalam
pertumbuhan atau gangguan karena penyakit dan dilakukannya perbuatan. Ketiga ,
kalau ya , apakah perbuatan tersebut dapat dicelakakan kepada pelaku. Berdasarkan
apa yang dikemukakan tadi dapat simpulkan bahwa tidak mampu bertanggung jawab
adalah alasan penghapus pidana yaitu alasan pemaaf yang berasal dari diri pelaku.
B.
C.
D.
E.
F. Melaksanakan perintah Undang-Undang
Pasal 50 KUHP mengatur, barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan
ketentuan undang-undang tidak dipidana titik ketentuan ini merupakan pertentangan
antara dua kewajiban hukum artinya perbuatan tersebut di satu sisi untuk mentaati
suatu peraturan, namun di sisi lain perbuatan tersebut melanggar peraturan yang lain.
Oleh karena itu, untuk melaksanakan perintah undang-undang digunakan, theory of
lesser evils atau teori tingkat kejahatan yang lebih ringan. Dengan demikian
melaksanakan perintah undang-undang merupakan alasan pembenar yang menghapus
elemen melawan hukumnya perbuatan.
Dalam melaksanakan perintah undang-undang prinsip yang dipakai adalah subridaritas
dan proporsionalitas prinsip subridaritas dalam kaitannya dengan perbuatan pelaku
adalah untuk melaksanakan peraturan undang-undang dan mewajibkan pelaku berbuat
demikian. Sedangkan prinsip proporsionalitas yaitu pelaku hanya dibenarkan jika dalam
pertentangan antara dua kewajiban hukum yang lebih besarlah yang diutamakan. Hal
lain yang perlu diperhatikan dapat melaksanakan perintah undang-undang adalah
karakter dari pelaku yang pelaku tersebut selalu melaksanakan tugas-tugas dengan
itikad baik atau justru sebaliknya. .
Contoh melaksanakan perintah undang-undang adalah seorang jurusita yang dalam
rangka mengosongkan rumah menaruh barang-barangnya yang disita di jalan, hal ini
bertentangan dengan peraturan yang melarang menaruh barang-barang di jalan akan
tetapi perbuatan jurusita ini dibenarkan karena harus mengeksekusi, dalam hal ini
mengosongkan rumah berdasarkan putusan pengadilan.
G. Perintah jabatan
Id damnum dat qui iubet dare; eius vero nulla culpa est, cui parrere necesse sit.
demikian suatu postulat dasar yang berarti pertanggungjawaban tidak akan diminta
terhadap mereka yang patuh melaksanakan perintah melainkan akan Diminta kepada
pihak yang memberikan perintah. Oleh karena itu menurut theory of pointless
punishment, tidak ada gunanya menjatuhkan pidana kepada seseorang yang
melaksanakan perintah jabatan dengan patuh. Hanya saja Menurut hemat penulis
theory of pointless Punishment dalam perintah jabatan adalah sesuatu yang berasal
dari luar diri pelaku. Postulat id damnum dat qui iubet dare; eius veri nulla culpa est cui
parrere necesse sit berasal dari hukum Romawi yang sama tuanya ketika berbicara
mengenai kekuasaan negara postulat inilah yang kemudian dalam peraturan hukum
konkret dituangkan pada pasal 51 ayat 1 KUHP.
Secara tegas pasal a quo, berbunyi "barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak
dipidana". Perintah jabatan yang dikeluarkan oleh yang berwenang memberikan hak
kepada yang menerima perintah untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Dengan demikian hak ini menghapuskan elemen melawan hukumnya perbuatan
sehingga dimasukkan sebagai alasan pembenar.
Ada beberapa persyaratan sehingga seseorang dibebaskan dari Pertanggungjawaban
pidana atas dasar melakukan perintah jabatan.
1. Antara memerintah dan diperintah berada dalam dimensi hukum publik. contoh :
untuk mengurai kemacetan polisi lalu lintas memerintahkan pengguna kendaraan
bermotor roda dua untuk melewati jalan yang dilarang masuk. pengguna kendaraan
bermotor roda dua tidak dapat dipidana karena memasuki jalan ada tanda larangannya
berdasarkan perintah jabatan.
2. Antara yang memerintah dan yang diperintah Terdapat hubungan subordinasi atau
hubungan dalam dimensi kepegawaian. Mengenai persyaratan ini Sudarto memberikan
contoh : seorang Letnan polisi diperintahkan oleh kolonel polisi untuk menangkap
penjahat Kolonel tersebut berwenang untuk memerintahkan Nya sehingga letnan polisi
tersebut melaksanakan perintah jabatan.
3. Melaksanakan perintah jabatan harus dengan cara yang tepat dan seimbang sehingga
tidak melampaui batas kewajaran.
Hal lain dalam perintah jabatan bahwa si penerima perintah tidak mesti menerima
perintah secara langsung dari yang memberi perintah. Artinya perintah tersebut baik
secara tertulis maupun lisan dimungkinkan termasuk melalui berbagai macam sarana
komunikasi menurut remmelink dalam konteks yang demikian kita bersinggungan
dengan teori pendelegasian wewenang bahwa orang yang menerima perintah sangat
mungkin mengeluarkan perintah mengatasnamakan yang memberi perintah.
Kewenangan dalam pendelegasian kewenangan tidak hanya meliputi kompetensi yang
memberi perintah namun juga keabsahan dari seluruh perintah tersebut.
H.
ALASAN PENGHAPUS PIDANA UMUM DILUAR UNDANG-UNDANG
A. Izin
B. Daya Paksa
Pasal 48 KUHp menyatakan, “Barangsiapa melakukan perbuatan karena lengaruh daya
paksa, tidak dipidana”. Daya paksa adalah terjemahan dari overmacht yang selalu
menjadi perdebatan berabad-abad ketika membicarakan alasan penghapusan pidana.
Para ahli hukum pidana untuk menggolongkan daya paksa, apakah sebagai alasan
pembenar ataukah alasan pemaaf. KUHP tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.
Terdapat beberapa postulat terkait daya paksa tersebut. Pertama, quod alias non fuit
licitum necessitas licitum facit. Artinya, keadaan terpaksa memperbolehkan apa yang
tadinya dilarang oleh hukum. Kedua, in casu extremae necessitates omnia sunt
communia yang berarti dalam keadaan terpaksa, tindakan yang diambil dipandang
perlu. Ketiga, necessitas quod cogit defendit: keadaan terpaksa melindungi apa yang
harus diperbuat. Keempat, necessitas sub lege non continetur, quia quod alias non est
licitum necessitas facit licitum.
Artinya, keadaan terpaksa tidak ditahan oleh hukum, perbuatan yang dilarang oleh
hukum, namun dilakukan dalam keadaan terpaksa maka perbuatan tersebut dianggap
sah.
C. Keadaan Terpaksa
Dalam KUHP tidak ada aturan mengenai apa yang dimaksudkan dengan keadaan
darurat. Menurut sejarah pembentukan KUHP (memorie van toelichting) dan notulensi
Komisi De - Wal, situasi keadaan darurat digolongkan dalam overmacht atau daya laksa
sehingga pengaturan keadaan darurat tersendiri dianggap tidak perlu. Demikian juga
dalam konteks teori yang memasukkan keadaan darurat sebagai bagian dari daya paksa.
Keadaan darurat atau noodtoestand adalah alasan pembenar. Artinya, perbuatan
pidana yang dilakukan dalam keadaan darurat menghapuskan elemen melawan
hukumnya perbuatan.
Dalam keadaan darurat ada tiga kemungkinan. Pertama, pertentangan antara dua
kepentingan. Tegasnya, ada konflik antara kepentingan yang satu dengan kepentingan
yang lain. Kedua, pertengangan antara kepentingan dan kewajiban. Ketiga,
pertentangan antara dua kewajiban.
D. Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa atau noldweer dalam KUHP diatur pada Pasal 49 ayat 1 yang menyatakan,
“Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau
ancaman derangan seketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain,
terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.
Kendatipun dalam Memorie van Toelichting tidak ditemukan istilah “pembelaan terpaksa” namun
ketentuan Pasal 49 ayat 1 secara implisit memberikan persyaratan terhadap pembelaan terpaksa.
Syarat - Syarat Pembelaan Terpaksa menurut Pasal 49 ayat 1:
1. Ada serangan seketika
2. Serangan tersebut bersifat melawan hukum
3. Pembelaan merupakan keharusan
4. Cara pembelaan adalah patut.
Prinsip - prinsip pembelaan terpaksa
1. Prinsip subsidarita. Artinya, tidak ada kemungkinan yang lebih baik atau jalan lain sehingga
pembelaan tersebut harus dilakukan.
2. Prinsip proporsionalitas. Artinya, harus ada keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi
dengan kepentingan yang dilanggar
3. Prinsip culpa in causa. Artinya, seseorang yang karena ulahnya sendiri diserang oleh orang lain
secara melawan hukum, tidak dapat membela diri karena pembelaan terpaksa.
E. Hak jabatan
Hak jabatan atau pekerjaan biasanya berkaitan dengan profesi dokter, apoteker, perawat dan
peneliti ilmiah di bidang kesehatan. Misal, penelitian ilmiah dibidang kesehatan dengan tujuan
memberantas suatu penyakit. Dalam penelitian tersebut seringkali dilakukan percobaan-
percobaan terhadap hewan. Pada akhirnya menyakiti atau menyiksa hewan tersebut yang pada
hakikatnya menyakiti atau menyiksa hewan adalah perbuatan pidana sesuai pasal 302 KUHP. Akan
tetapi karena pekerjaan tersebut timbul sebagai hak jabatan, maka elemen melawan hukum dari
perbuatan pidana dihapuskan.
F. Mewakili urusan orang lain
Mewakili urusan orang lain adalah seseorang yang secara sukarela tanpa berhak mendapat ulah
mengurusi kepentingan orang lain tanpa perintah orang yang diwakilinya. Apabila terjadi
perbuatan pidana dalam menjalankan urusan tersebut, maka sifat melawan hukum perbuatan
dihapuskan.
Penghapusan Pidana menurut pasal 221 KUHP
Dalam ilmu hukum pidana alasan penghapus pidana dibedakan menjadi dua
1. alasan penghapus pidana umum adalah alasan penghapus pidana yang berlaku umum untuk
setia tindak pidana dan disebut dalam pasal 44, 48 t 51 KUHP
2. alasan penghapus pidana khusus adalah alasan penghapus pidana yang berlaku hanya untuk
tindak pidana tertentu. Misalnya pasal 122, 221 ayat (2), 261,
310, dan 367 ayat (1) KUHP30
Dalam pasal 221 ayat (2) KUHP ini diberikan ketentuan bahwa aturan di atas, yaitu tindak pidana
yang dirumuskan dalam pasal 221 ayat (1) KUH Pidana, tidak berlaku bagi orang yang melakukan
perbuatan tersebut dengan maksud untuk, menghindarkan atau menghilangkan penuntutan
terhadap:
a. Seorang keluarga sedarah atau semenda garis lurus atau dalam garis menyimpang derajat
kedua atau ketiga, atau
b. Terhadap suami/isterinya atau bekas suami isterinya.
Ayat (2) dari pasal 221 KUH Pidana
ini merupakan suatu alasan penghapus pidana. Sebagaimana telah dikemukakan dalam
pembedaan macam-macam alasan penghapus pidana, alasan penghapus pidana ini merupakan
alasan penghapus pidana khusus. Disebut sebagai alasan penghapus pidana khusus karena alasan
penghapus pidana ini hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu saja, yaitu untuk pidana yang
dirumuskan dalam pasal 221 ayat (1) KUH Pidana. Menurut pasal 221 ayat (2) KUH Pidana ini,
ketentuan ini hanya dapat diterapkan jika hubungan antara pihak adalah:
1. Antara anggota keluarga sedarah dalam garis lurus. Yang dimaksudkan disini adalah :
a) dengan cucu Orang tua dengan anak,
b) Kakek/Nenek , dan seterusnya dalam garis lurus.
2. Antara angota keluarga sedarah dalam garis menyimpang derajat kedua atau
ketiga. Yang dimaksudkan disini adalah hubungan antara :
a) Kaka-adik, dan
b) Paman/bibi dengan keponakan.
3. Antara anggota keluarga semenda
dalam garis lurus. Yang dimaksudkan disini adalah hubungan antara :
a) Menantu dengan mertua,
b) Menantu dengan orang tua dari
mertua, dan seterusnya dalam garis lurus.
pasal 310 KUHP
Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan
menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum diancam karena
pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribublima ratus ribu rupiah
Ayat (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan di pertunjukan atau
ditempelkan di muka umum maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan Atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah
Ayat (3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan jelas dilakukan
demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Berdasarkan konstruksi Pasal 310 ayat (3) KUHP terdapat alasan penghapus pidana jika perbuatan
tersebut demi kepentingan umum atau untuk membela diri. Artinya, elemen melawan hukum
perbuatan sebagaiman yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) dihapus. Dengan
demikian ketentuan ayat (3) Pasal 310 KUHP merupakan alasan pembenar.
ALASAN PENGHAPUS PIDANA PUTATIF
Alasan penghapus pidana putatif adalah seseorang yang mengira telah berbuat sesuatu
dalam daya paksa atau dalam keadaan darurat atau dalam menjalankan undang-undang
atau dalam melaksanakan perintah jabatan yang sah, namun kenyataannya tidak
demikian Pelaku yang demikian tidak dapat dijatuhi pidana jika dapat dibuktikan bahwa
dalam keadaan yang demikian pelaku bertindak secara wajar. DI sini ada kesesatan yang
dialami. Termasuk dalam alasan penghapus pidana putatif ini adalah overmacht putatif
dan noodweer putatif.
Jan Remmelink memberi contoh overmacht putatif adalah seorang kapten kapal
mengira bahwa ia terancam akan diserbu perompak sehingga kapten kapal tersebut
meninggalkan kapal. Pada kenyataannya, perkiraan kapten kapal tersebut adalah keliru.
Penulis memberi ilustrasi noodweer putatifsebagai berikut: A melihat B ditodong oleh C
yang bertopeng dengan menggunakan pistol. Dengan tangkas A menendang Chingga
terjatuh. Ternyata C adalah teman akrab B yang bersenda gurau sehingga pistol yang
digunakanpun hanyalah pistol mainan. A dibebaskan darf pertanggungjawaban pidana
berdasarkan pembelaan terpaksa yang putatif.

Anda mungkin juga menyukai