Anda di halaman 1dari 5

4.

LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH


Lembaga keuangan adalah Badan usaha yang kekayaan utama berbentuk aset keuangan
atau tagihan (claims); yang fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan antara unit
defisit dengan unit surplus dan menawarkan secara luas berbagai jasa keuangan (misal:
simpanan, kredit, proteksi asuransi, penyediaan mekanisme pembayaran & transfer dana) dan
merupakan bagian dari sistem keuangan dalam ekonomi modern dalam melayani masyarakat.
LKS adalah lembaga, baik bank maupun non-bank, yang memiliki spirit Islam; baik dalam
pelayanan maupun produk-produknya, dalam pelaksanaannya diawasi oleh Dewan
Pengawasan Syariah. Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa lembaga keuangan
syariah mencakup semua aspek keuangan baik persoalan perbankan maupun kerjasama
pembiayaan, keamanan dan asuransi perusahaan, dan lain sebagainya yang berlangsung di
luar konteks perbankan. (Mis: Asuransi, Pegadaian, Reksa Dana, Pasar Modal, BPRS, dan
BMT).

Sejarah Lembaga Keuangan Syariah


Diskusi mengenai sejarah LKS tidak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai
kemunculan perbankan syariah yang merupakan embrio dari LKS di seluruh dunia pada era
1940-an. Ide-ide tentang LKS atau bank yang bebas bunga sudah mulai bermunculan. Ide-ide
tersebut dilontarkan oleh beberapa pemikir Islam dalam beberpa tulisan mereka tentang
perbankan syariah, seperti Muhammad Hamidullah (1944-1962), Anwar Qureshi (1946),
Naiem Siddiq (1948) dan Mahmud Ahmad (1962) serta al-Mahdudi (1962) yang menulis
kembali pemikiran tersebut secara lebih rinci.

Beberapa prinsip operasional dalam LKS adalah :


1. Keadilan, yakni berbagi keuntungan atas dasar penjualan riil sesuai kontribusi dan
resiko masing-masing pihak.
2. Kemitraan, yang berarti posisi nasabah investor (penyimpan dana), dan pengguna
dana, serta lembaga keuangan itu sendiri, sejajar sebagai mitra usaha yang saling
bersinergi untuk memperoleh keuntungan.
3. Transparansi, lembaga keuangan Syariah akan memberikan laporan keuangan secara
terbuka dan berkesinambungan agar nasabah investor dapat mengetahui kondisi
dananya.
4. Universal, yang artinya tidak membedakan suku, agama, ras, dan golongan dalam
masyarakat sesuai dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Ciri-ciri Lembaga Keuangan Syariah


1. Dalam menerima titipan dan investasi, LKS harus sesuai dengan fatwa Dewan
Pengawas Syariah.
2. Hubungan antara investor (penyimpan dana), pengguna dana, dan LKS sebagai
intermediary institution, berdasarkan kemitraan, bukan hubungan debitur-kreditur.
3. Bisnis LKS bukan hanya berdasarkan profit orianted, tetapi juga falah orianted,
yakni kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
4. Konsep yang digunakan dalam transaksi LKS berdasarkan prinsip kemitraan bagi
hasil, jual beli atau sewa menyewa guna transaksi komersial, dan pinjam-meminjam
(qardh/ kredit) guna transaksi sosial.
5. LKS hanya melakukan investasi yang halal dan tidak menimbulkan kemudharatan
serta tidak merugikan syiar Islam.

Prinsip-prinsip Lembaga Keuangan Syariah


1. Larangan menerapkan bunga pada semua bentuk dan jenis transaksi.
2. Menjalankan aktivitas bisnis dan perdagangan berdasarkan pada kewajaran dan
keuntungan yang halal.
3. Mengeluarkan zakat dari hasil kegiatannya.
4. Larangan menjalankan monopoli.
5. Bekerja sama dalam membangun masyarakat, melalui aktivitas bisnis dan
perdagangan yang tidak dilarang oleh Islam.

Peranan LKS dalam Proses Intermediasi


1. Pengalihan Aset (Assets Transmutation), LKS memiliki aset dalam bentuk pinjaman
dan dana kepada pihak lain dalam jangka waktu tertentu, dana pembiayaan aset
tersebut diperoleh dari tabungan masyarakat.
2. Likuiditas (Liquidity), berkaitan dengan kemampuan untuk memperoleh uang tunai
pada saat dibutuhkan.
3. Realokasi Pendapatan (Income Reallocation), LKS sebagai tempat realokasi
pendapatan untuk persiapan di masa yang akan datang.
4. Transaksi (Transaction), LKS menyediakan jasa untuk mempermudah transaksi
moneter.
5. Efesiensi, LKS dapat menurunkan biaya transaksi dengan jangkauan pelayanannya
juga memperlancar serta mempertemukan pihak-pihak yang saling membutuhkan.

Tujuan Berdirinya Lembaga Keuangan Syariah


1. Mengembangkan LKS yang sehat berdasarkan efisiensi dan keadilan, serta mampu
meningkatkan partisipasi masyarakat banyak sehingga menggalakkan usaha-usaha
ekonomi rakyat, antara lain memperluas jaringan lembaga keuangan syariah ke
daerah-daerah terpencil.
2. Meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat bangsa Indonesia,
sehingga dapat mengurangi kesenjangan sosial ekonomi. Dengan demikian akan
melestarikan pembangunan nasional yang antara lain melalui:
 Meningkatkan kualitas dan kuantitas usaha,
 Meningkatkan kesempatan kerja, dan
 Meningkatkan penghasilan masyarakat banyak
3. Meningkatkan partisipasi masyarakat banyak dalam proses pembangunan, terutama
dalam bidang ekonomi keuangan yang selama ini diketahui masih banyak masyarakat
yang enggan berhubungan dengan bank ataupun lembaga keuangan lainnya, karena
menganggap bahwa bunga adalah riba.
4. Mendidik dan membimbing masyarakat untuk berpikir secara ekonomi, berperilaku
bisnis dan meningkatkan kualitas hidup mereka.

Jenis-Jenis LKS
1. LKS Berbentuk Bank
• Bank Umum Syariah
• Unit Usaha Syariah
• Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
2. LKS Non Bank
• Reksadana Syariah
• Asuransi Syariah
• Pegadaian Syariah
• Obligasi Syariah
• Pasar Modal Syariah
• BMT (Baitu maal wa tamwil)
• Koperasi Syariah
• Modal Ventura Syariah

Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Indonesia


Setiap Lembaga Keuangan Syariah (LKS), baik perbankan ataupun non bank dalam
menjalankan kegiatan operasionalnya harus sejalan dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah, menyebutkan bahwa prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Penerapan prinsip-prinsip syariah juga harus
mengacu pada etika bisnis secara islami yaitu berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-sunnah.
Tidak hanya itu, etika bisnis dalam Islam juga mengacu pada tauhid, keseimbangan,
kehendak bebas, pertanggungjawaban dan ikhsan (Muchlis, 2007: 73).
Untuk mendukung perkembangan LKS di Indonesia, maka diperlukan perangkat hukum yaitu
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan LKS. Hal ini diperlukan untuk
mengantisipasi persengketaan ekonomi syariah yang akan terjadi di masa mendatang. Akan
tetapi, dalam kegiatannya LKS tidak cukup hanya diatur oleh perundang-undangan saja,
namun juga dibutuhkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai otoritas di bidang
keagamaan sebagai bagian dari perangkat hukum LKS, agar kegiatan operasional yang
dilakukan LKS sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Atas dasar itu, MUI membuat lembaga khusus dalam menangani masalah-masalah yang
berhubungan dengan aktifitas LKS dan lembaga bisnis syariah yaitu Dewan Syariah Nasional
(DSN), yang termuat dalam Keputusan Dewan Pimpinan MUI Nomor kep-754/MUI/II/1999.
Fungsi utama DSN adalah mengawasi produk-produk LKS agar sesuai dengan syariat Islam
bukan hanya mengawasi bank syariah saja tetapi juga LKS yang lain seperti asuransi,
reksadana, modal ventura, BMT dan sebagainya (Antonio, 1999: 285). Fungsi lain dari DSN
adalah dapat memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah apabila lembaga yang
bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan dan jika lembaga
keuangan tersebut tidak mengindahkan teguran tersebut, maka DSN dapat mengusulkan
kepada otoritas yang berwenang (Antonio, 1999: 286)
Untuk menjamin bahwa operasional LKS tidak keluar dari tuntutan syariah, maka DSN-MUI
membentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk mengawasi operasional LKS agar
senantiasa sesuai tuntutan syariah (Nafis, 2011: 98). Kehadiran DPS sangat diperlukan karena
mereka merupakan wakil DSN di LKS. Menurut Keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia No. 03 Tahun 2000 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota
Dewan Pengawas Syariah Pada Lembaga Keuangan Syariah, kewajiban LKS terhadap DPS
adalah menyediakan ruang kerja serta fasilitas yang diperlukan dalam membantu kelancaran
tugas DPS dan tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha LKS agar sesuai dengan
ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh DSN.
Salah satu LKS non bank yang menjalankan kegiatan operasionalnya menerapkan prinsip-
prinsip syariah adalah Baitul Maal wat Tamwil (BMT). BMT adalah baitul maal yang
kegiatannya lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non-
profit, seperti zakat, infaq, dan shadaqah sedangkan baitul tamwil sebagai usaha
pengumpulan dan penyaluran dana komersial (Sudarsono, 2007: 107). Peran umum BMT
adalah melakukan pembinaan dan pendanaan yang berdasarkan sistem syariah, sehingga
peran ini menegaskan arti penting prinsip-prinsip syariah dalam kehidupan ekonomi
masyarakat (Sudarsono, 2007: 107). Sebagai LKS yang bersentuhan langsung dengan
kehidupan masyarakat kecil yang serba cukup ilmu pengetahuan ataupun materi, maka BMT
mempunyai tugas penting dalam mengemban misi keislaman dalam segala aspek kehidupan
masyarakat (Sudarsono, 2007: 108). Oleh karena itu, BMT haruslah tetap menjaga prinsip-
prinsip syariah dengan menerapkan fatwa MUI yang telah ada agar masyarakat kecil tidak
merasa dirugikan dan di dzalimi. Masyarakat kecil sudah seharusnya dibina dan didanai agar
dapat melanjutkan keberlangsungan kehidupannya.
Namun, dalam realisasinya masih banyak BMT yang belum menerapkan sepenuhnya fatwa
DSN-MUI dalam kegiatan operasionalnya. Sebagai contoh pada akad murabahah (jual-beli),
fatwa DSN-MUI menyatakan “bahwa bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas
nama bank sendiri dan pembelian harus sah dan bebas riba” (Fatwa Dewan Syariah Nasional
No. 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah). Menurut Dr. Muhammad Arifin Badri
dalam Majalah Pengusaha Muslim (Edisi 25, 20 : 2012) menyatakan LKS tidak benar-benar
menerapkan ketentuan ini, karena di Indonesia bank/BMT hanya berperan dalam sebagai
badan intermediasi saja, artinya hanya berperan dalam pembiayaan dan bukan membeli
barang untuk kemudian dijual kembali kepada nasabah. Sehingga diragukan barang yang
diperjual-belikan benar-benar telah dibeli oleh bank/BMT atas nama sendiri, karena jika
memang benar bank pernah memiliki barang tersebut maka akan tertulis pada laporan
keuangan bahwa bank/BMT pernah memiliki barang tersebut dan kemudian menjualnya
kepada nasabah.
Industri keuangan syariah di Indonesia memiliki potensi untuk terus bertumbuh dan memiliki
kemanfaatan yang besar bagi perekonomian. Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) yang
berbasis syariah pun menjadi satu pilar kekuatan di industri keuangan syariah, yang
perkembangannya diharapkan bisa ikut menumbuhkembangkan perekonomian syariah di
Indonesia.
IKNB Syariah adalah bidang kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas di industri asuransi,
dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya, yang dalam
pelaksanaannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Secara umum,
kegiatannya memang tidak memiliki perbedaan dengan IKNB konvensional. Namun terdapat
beberapa karakteristik khusus, dengan produk dan mekanisme transaksi yang berdasarkan
prinsip syariah.
Di antaranya yang dilakukan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) berbasis Hukum Syariah
yang difatwakan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) adalah
Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), Pembiayaan Musyarakah, Pembiayaan Ijarah, Wakalah,
Akad Mudharabah Musytarakah, dan Akad Kafalah.
OJK sebagai lembaga pengatur dan pengawas di keuangan syariah juga memiliki fungsi dan
kewenangan untuk melakukan integrasi arah kebijakan, strategi, dan tahapan pengembangan
di industri keuangan syariah, termasuk di IKNB Syariah. Tentu instrumen regulasi yang
dikeluarkan juga sesuai dengan prinsip syariah, dengan melibatkan DSN MUI.

Anda mungkin juga menyukai