Anda di halaman 1dari 30

ANALISIS PUTUSAN PERKARA WANPRESTASI

(PUTUSAN NOMOR 565/PDT.G/2020/PA.JU)

ABSTRAK

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui kesesuaian antara Kasus PUTUSAN
NOMOR 565/PDT.G/2020/PA.JU dengan prosedur gugatan dalam hukum acara
perdata. Mahkamah Agung Melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) telah
mengeluarkan suatu produk hukum yang dapat dijadikan dasar pengambilan
putusan hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara ekonomi syariah yang mana
dalam penyelesaiannya menjadi kewenangan obsolut Peradilan Agama sesuai
dengan pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yang mengacu pada hukum atau
perundang-undangan yang berlaku. Pendekatan ini difokuskan untuk mengkaji
istilah hukum dalam kaidah-kaidah hukum positif dan Fatwa DSN-MUI. Pada
penelitian ini penulis menemukan masalah dan ingin menganalisisnya dengan
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang istilah
wanprestasi yang sering muncul dalam perekonomian di Indonesia. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bersifat dengan
pengumpulan data yang digunakan berupa kajian pustaka (library research)
dengan mencari data-data yang ada di perpustakaan yang berkaitan dengan
pembahasan. Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau
penelitian kepustakaan.11 Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan studi
kepustakaan dari berbagai referensi yang relevan dengan pokok pembahasan
mengenai wanprestasi, dengan melakukan analisa melalui peraturan perundang-
undangan menurut KUHPerdata dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Dari
hasil penelitian yang penulis lakukan dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa
Putusan hakim dalam suatu perkara wanprestasi syariah kasus gadai syariah
dengan nomor putusan 565/Pdt.G2020/PA.JU tersebut sudah sesuai dengan aturan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) meskipun dasar pertimbangan
dalam penetapan wanprestasi gadai syariah tersebut menggunakan KUHPer
namun tidak bertentangan dengan syariah islam.

Kata kunci : Wanprestasi, KUHPerdata, KHES


PENDAHULUAN.

Sektor perbankan memiliki posisi yang strategis sebagai lembaga


intermediasi yang menunjang perekonomian nasional, oleh karena itu peranan
perbankan perlu lebih ditingkatkan lagi sesuai dengan fungsinya dalam
menghimpun, menyalurkan dana masyarakat dan menyediakan jasa perbankan
lainnya. Terutama dalam istilah perbankan yang dijelaskan dalam fatwa juga harus
difungsikan keberadaannya yang sesuai dengan aturan hukum Islam. Karena
sektor perbankan merupakan salah satu sumber utama pembiayaan yang menjadi
penunjang dalam keberlangsungan hidup bagi perusahaan yang ada diperbankan
syariah, para pengusaha maupun secara individu.

Perbankan syariah merupakan sistem keuangan yang berlandaskan prinsip-


prinsip syariah dalam operasionalnya. Prinsip utama dalam perbankan syariah
adalah larangan riba, yang melarang adanya bunga dalam transaksi keuangan. Hal
ini berbeda dengan perbankan konvensional yang mengandalkan bunga sebagai
salah satu sumber pendapatan utama. Dalam konteks perbankan syariah, peran
perbankan sangat penting dalam menyediakan layanan keuangan yang sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah. Bank syariah bertanggung jawab dalam
menghimpun dana dari masyarakat yang nantinya akan digunakan untuk
memberikan pembiayaan kepada individu, bisnis, maupun entitas lainnya yang
membutuhkan.

Selain itu, bank syariah juga berperan dalam memfasilitasi transaksi jual
beli, menyediakan jasa pengamanan dana nasabah, serta memberikan layanan
konsultasi keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Bank syariah
juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa seluruh operasionalnya
berada dalam batasan syariah yang ditetapkan. Dalam meningkatkan peran
perbankan syariah, terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan. Pertama,
penting bagi bank syariah untuk terus meningkatkan literasi keuangan masyarakat
terkait dengan produk dan layanan perbankan syariah. Hal ini dapat dilakukan
melalui penyediaan informasi yang jelas dan mudah dipahami mengenai
keuntungan dan manfaat dari perbankan syariah.
Kedua, bank syariah perlu terus mengembangkan produk dan layanan
yang inovatif sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan menghadirkan produk
dan layanan yang menarik dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, bank syariah
dapat menarik minat masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan syariah.
Selain itu, kolaborasi antara bank syariah dengan pemerintah, lembaga keuangan
lainnya, dan sektor riil juga penting dalam mengembangkan perbankan syariah.
Kolaborasi ini dapat mencakup pembentukan kebijakan yang mendukung
pertumbuhan perbankan syariah, pengembangan infrastruktur yang mendukung
operasional perbankan syariah, serta pemberian dukungan finansial dan non-
finansial kepada bank syariah.

Di samping itu, pengawasan dan regulasi yang efektif juga merupakan


faktor penting dalam meningkatkan peran perbankan syariah. Pemerintah perlu
memastikan bahwa bank syariah beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah
dan mematuhi aturan yang telah ditetapkan. Selain itu, pengawasan yang ketat
juga dapat memberikan kepercayaan kepada masyarakat terkait dengan keamanan
dan keandalan perbankan syariah.

Pada tahun 1989 telah muncul Undang-Undang Tentang Peradilan Agama


yaitu UndangUndang Nomor 7 tahun 1989 yang kemudian disempurnakan dengan
Undang-undang yang baru yaitu Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang
perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1989, dalam pasal tersebut
disebutkan tentang pengertian peradilan agama yaitu peradilan bagi orang-orang
yang beragama Islam, dimaksudkan dengan peradilan Islam karena jenis-jenis
perkara yang menjadi kompetensinya merupakan jenis perkara menurut agama
Islam. Istilah peradilan itu sendiri juga berasal dari kata adil mendapatkan awalan
perdan akhiran -an, yang berarti sesuatu yang ada hubungannya dengan masalah
urusan tentang adil.

Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan yang berperan


sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang menegakkan hukum dan keadilan bagi
rakyat pencari keadialan bagi pihak berperkara yang beragama islam dalam suatu
perkara tertentu dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
sedekah dan ekonomi syariah. Kedudukannya pun diera reformasi sudah sejajar
dengan badan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung. Hal ini terjadi ketika
tahun 1999 lahir Undang-Undang No 35 tentang tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman.

Penyelesaian sengketa ekonomi syariah dalam hal ini menjadi kewenangan


peradilan sesuai ketentuan Undang-undang nomor 7 tahun 1989. Ekonomi syariah
merupakan sistem ekonomi yang dalam penerapan dan prinsipnya berlandaskan
ajaran islam. Munculnya peraturan yang berkaitan dengan ekonomi syariah ini
berawal dari adanya UU No 7 tahun 1992 tentang perbankan yang
memperbolehkan Bank untuk memiliki unit usaha berdasarkan prinsip bagi hasil
atau sesuai dengan prinsip islam. Chapra berpendapat bahwa ekonomi Islam
adalah sebuah pengetahuan yang membantu upaya relisasi kebahagiaan manusia
melalui sumber daya yang berada dalam koridor yang mengacu pada pengajaran
Islam tanpa memeberikan kebebasan individu yang berkesinambungan. Pada pasal
6 poin l dan 13 poin c dalam UU Perbankan dijelaskan bahwa salah satu jenis
usaha dari bank umum adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah
berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah1

Setelah Undang-undang tersebut, pemerintah kemudian mengesahkan UU


No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan yang memberikan peraturan yang lebih spesifik mengenai Bank
Syariah. Kemudian pada tahun 2008 terbitlah UU 23 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Setelah legal hukum yang berkaitan tentang ekonomi syariah
semakin baik tentunya lembaga-lembaga keuangan yang berlandaskan prinsip
ekonomi syariah semakin mendapat kepercayaan dari masyarakat yang kemudian
banyak masyarakat yang melakukan transaksinya di lembaga keuangan syariah,
namun semakin banyaknya transaksi yang terjadi tentunya memunculkan
permasalahan baik akibat kurang pahamnya masyarakat, kurangnya informasi dari
1
Layla Martama’na Suratul Fatekhah, L., Mutimatun, N. A., & SH, M. (2018). Tinjauan Hukum
Terhadap Sengketa Wanprestasi Hutang Piutang Dengan Jaminan Sertifikat Tanah (Analisis
Putusan No.: 26/Pdt. G/2014/PN. Kln) (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta).
pihak lembaga keuangan maupun kurang sadarnya masyarakat terhadap tanggung
jawabnya masing-masing, diantara banyaknya permasalahan yang terjadi salah
satunya yaitu sengketa ekonomi syariah. Penyelesaian perkaranya dilakukan oleh
(BAMUI) yang kini namanya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan
Majelis Ulama Indonesia.

Melihat banyaknya kasus sengketa ekonomi syariah pemerintah


mengambil langkah dengan mengesahkan UU yang mengatur tentang sengketa
ekonomi syariah. Penyelesaian sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan
absolut lembaga peradilan agama, hal ini sesuai dengan UU No.3 tahun 2006
sebagai perubahan atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, yang kemudian disusul dengan UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah yang juga diperkuat deangan putusan MK No. 93/PUU-X yang
menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah satu-satunya pengadilan yang
berwenang menangani kasus dalam perkara perbankan syariah. Ketentuan
mengenai kewenanagan peradilan agama dalam menangani kasus sengketa
ekonomi syariah, diatur dalam Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama yang dalam pasal tersebut menyatakan bahwa peradilan agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama anatara orang-orang yang beragama Islam baik itu dalam bidang
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi
syariah. Adapun bidang ekonomi itu sendiri menurut penjelasan Pasal 49 huruf (i)
UU tersebut meliputi, bank syariah, lembaga keungan mikro syariah, asuransi
syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, dan surat berharga
berjangka menengah syariah, sekuritas syariah pembiayaan syariah, pegadaian
syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.

Dari penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa pegadaian syariah


termasuk dalam ranah ekonomi syariah yang tentu saja penyelesaian hukum yang
terjadi di dalamnya termasuk dalam ranah kewenangan Peradilan Agama. Dalam
ruang lingkup ekonomi syariah khususnya dalam bidang pegadaian syariah
seringkali terjadi permasalahan sengketa ekonomi syariah berupa wanprestasi atau
disebut juga dengan cidera janji yang mana dalam hal ini menjadi kewenagan
peradilan agama sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 200610
menyebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam salah satunya dibidang ekonomi syariah.

Munculnya sengketa ekonomi syariah yang terjadi di Indonesia terutama


dalam kasus ekonomi Syariah di suatu perusahaan yang timbul karena adanya
wanprestasi yang dilakukan oleh nasabah yang tidak dapat memenuhi prestasinya.
Wanprestasi merupakan tidak terpenuhinya atau lalai melaksanakan kewajiban
dalam suatu perjanjian yang disepakati dalam suatu perikatan. Wanprestasi atau
tidak dipenuhinnya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak
disengaja, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1243 KUHPerdata juga
dijelaskan pengertian wanprestasi dalam KHES pasal 36 yaitu Tidak melakukan
apa yang dijanjikan, melakukan namun tidak sebagaimana yang dijanjikan,
melakukan namun terlambat, atau melakukan apa hal yang tidak boleh dilakukan.2

Kasus sengketa yang terjadi pada perbankan syariah masih banyak yang
menggunakan KUHPerdata saja dalam menyelesaikan beberapa putusan
sengketanya, padahal sumber hukum perdata ekonomi syariah berbeda dengan
sumber hukum ekonomi konvensional. Penggunaan KUHPerdata disini tidak
disusun berdasarkan Al-Quran dan Sunnah sebagai landasan hukumnya,
melainkan hanya menggunakan aturan pemerintah yang disusun berdasarkan
hukum konvensional, Sedangkan penyelesaian ekonomi syariah harus
berlandaskan dengan syariat Islam. Dalam Majalah Peradilan Agama edisi 8
dicantumkan terdapat beberapa kasus ekonomi syariah yang terjadi sengketa,
dalam penerapan 8 kasus tersebut diantaranya menggunakan peraturan
KUHPerdata, KHES, fatwa DSN-MUI, dan yurisprudensi sebagai sumber
hukumnya, namun terdapat satu putusan yang hanya menggunakan KUHPerdata
dan PBI sebagai sumber pengambilan putusan.16 Artinya sumber putusanya tidak
berlandaskan nash sama sekali.3
2
Lubis, S., Sugeng, S. H., SI, M., Wiyono, S. H., & Hartomo, S. H. ANALISIS PUTUSAN
PENGADILAN TENTANG WANPRESTASI
3
Nainggolan, D., Fahrezi, E. A., & Ndraha, Y. D. (2021). Tinjauan Yuridis Mengenai Sengketa
Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Iso Tank (Analisis Putusan Nomor 121/PDT.
G/2018PN JKT. SEL). Jurnal Hukum Al-Hikmah: Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan
Terdapat dalam putusan No. 565/Pdt.G/2020/PA.JU yang dalam putusan
pengadilan kasus tersebut membahas tentang wanprestasi yang mana dalam duduk
perkaranya pihak tergugat tidak menjalankan kewajibannya dengan tidak
membayar marhun biih, mu’nah dan biaya-biaya lainnya. Namun dalam
penyelesaiannya hakim menggunakan dasar hukum wanprestasi yang di atur
dalam KUHPerdata, sedangkan menurut pengertian wanprestasi dalam
KUHPerdata menjelaskan bahwa undang-undang tersebut berlaku hingga adanya
undang-undang yang menggantikannya, terutama dalam kasus ekonomi syariah
seharusnya penyelesaiannya terikat untuk tunduk kepada hukum dan ajaran Islam.

Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu wanprestastie yang


memiliki arti tidak dipenuhinya suatu prestasi atau kewajiban yang telah
ditetapkan sebelumnya terhadap pihak-pihak yang bersepakat dalam suatu
perikatan, baik berupa perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian maupun
perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang mengatur. Dalam
kamus hukum istilah wanprestasi berarti kelalaian, cidera janji, tidak menepati
kewajibannya dalam suatu perjanjian. Mariam Darus badrulzaman memberikan
pernyataan bahwa apabila debitur melakukan suatu kesalahan sehingga tidak
menjalankan kewajibannya yang diperjanjikan maka debitur tersebut dinyatakan
wanprestasi atau cidera janji, kata arti salah di sini bukan berarti tidak melakukan
sama sekali sebuah perjanjian yang disepakatinya, melainkan melaksanakan
namun terjadi di kesalahan dalam pelaksanaannya sehingga menjadikan sebuah
perjanjian tidak sempurna.

Wanprestasi juga memiliki hubungan yang sangat erat dengan somasi.


Somasi merupakan terjemahan dari ingerbreakerstelling dan di atur juga dalam
pasal 1238 KUHPerdata dan juga pasar 1243 KUHPerdata yang isi dalam pasal
tersebut menyatakan bahwa: “penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak
dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang,
setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau

Masyarakat, 2(2), 264-276.


dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya”.

Pada umumnya terjadinya wanprestasi dimulai dengan adanya debitur


yang dinyatakan telah lalai dalam memenuhi prestasinya atau dengan kata lain
debitur tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu di luar
kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Apabila dalam pelaksanaan
perjanjian tidak ditentukan tenggang waktu maka kreditur dipandang perlu untuk
mengingatkan debitur agar ia menjalankan kewajibannya, teguran ini disebut
dengan somasi. Somasi adalah sebuah pemberitahuan atau pernyataan dari
kreditur kepada debitur yang dalam pernyataan tersebut berisi tentang ketentuan
bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi dalam jangka waktu yang
ditentukan di pemberitahuan.

Cara debitur dapat dikatakan bahwa ia telah melakukan wanprestasi


apabila telah dinyatakan atas diberikan somasi oleh kreditur. Apabila somasi
tersebut dihiraukan atau tidak di terima oleh debitur maka kreditor berhak
membawa permasalahan ini ke pengadilan dan pengadilan lah yang akan
memutuskan Apakah debitur tersebut melakukan wanprestasi atau tidak. Dan
untuk memperingati debitur yang tidak melaksanakan somasi maka kreditur dapat
memberikan peringatan secara tertulis yang menyatakan debitur wajib memenuhi
prestasinya dalam waktu yang ditentukan, dan jika dalam waktu tersebut debitur
tidak mampu maka debitur dapat dinyatakan wanprestasi. Peringatan tertulis
tersebut secara resmi dilakukan oleh pengadilan yang berwenang dalam
menyampaikan peringatan kepada debitur.

Kata lain wanprestasi juga dapat diartikan suatu perbuatan ingkar janji
yang dilakukan oleh salah satu pihak yang tidak melaksanakan isi perjanjian, isi
ataupun melaksanakan tetapi terlambat atau melakukan apa yang sesungguhnya
tidak boleh dilakukannya. Hal tersebut dapat merugikan salah satu pihak apabila
debitur tidak melaksanakan prestasinya dengan baik. Sehingga timbulnya
wanprestasi ini dapat melemahkan adanya perjanjian.

Istilah perjanjian juga diatur dalam KUHPerdata tepatnya dalam buku III
KUHperdata yang mengatur tentang perikatan, dalam buku tersebut menjelaskan
bahwa definisi dari perjanjian adalah dengan menggunakan kata persetujuan,
maksud dari suatu persetujuan tersebut adalah perbuatan yang melibatkan 1 orang
atau lebih dengan mengikatkan dirinya terhadap orang lain, satu orang atau lebih
lainnya. Maka dapat dijelaskan bahwa suatu perjanjian adalah dimana seseorang
atau dua orang lebih mengadakan persetujuan atau perjanjian untuk melaksanakan
suatu hal yang mana objek nya berupa benda dan memiliki sifat kebendaan dan
akibat adanya perjanjian tersebut menjadikan pihak-pihak terikat satu sama lain
baik secara lisan maupun tercatat dalam bentuk tulisan. Menurut beberapa
pendapat menyatakan bahwa bukanlah kelalaian debitur yang dapat menyebabkan
batalnya sebuah perjanjian namun putusan hakim lah yang dapat membatalkan,
sehingga sebuah putusan itu bersifat constitutif dan bukan declaratoir. Sebaliknya
hakim mempunyai suatu kekuasaan Discretionair, artinya hakim berwenang untuk
menilai prestasi pada debitur. Apabila ke layang-layang tersebut dianggap kecil
oleh pihak hakim maka ia berhak menolak pembatalan perjanjian meskipun ganti
rugi yang diminta harus dilunaskan.

Mengenai pengertian dari wanprestasi tidak hanya diatur dalam


KUHPerdata ataupun KHES saja melainkan para ahli juga memberikan
pendapatnya tentang definisi wanprestasi. Adapun para ahli tersebut yang
memberikan pendapatnya mengenai wanprestasi, terdapat Ahmadi Miru,
menurutnya wanprestasi itu dapat berupa perbuatan yang Sama sekali tidak
memenuhi prestas, Prestasi yang dilakukan tidak sempurna, Terlambat memenuhi
prestasi dan Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.

Wanprestasi itu sendiri secara umum diartikan sebagai tidak terlaksananya


prestasi karena sebuah kesalahan dari perbuatan debitur baik karena disengaja
untuk melakukan ataupun karena kelalaiannya sendiri tidak menjalankan
perjanjian atau kesepakatan dengan baik. Sedangkan para tokoh berpendapat
mengenai wanprestasi, seperti yang disampaikan oleh beberapa tokoh tersebut
memberikan pendapat yang berbeda dengan peraturan perundangundangan
berdasarkan pemikiran masing-masing. Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi yaitu isi dari
perjanjian tersebut, jadi isi dari perjanjian tersebut tidak berjalan dengan baik dan
menjadi tidak berlaku. Selain itu, J. Satrio juga menungungkapkan pendapatnya
mengenai wanprestasi, menurutnya wanprestasi yaitu suatu keadaan dimana
debitur tidak dapat memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana
mestinya atau yang sudah diperjanjikan, kesemuanya itu dapat dipersalahkan
kepadanya dan dipermasalahkan oleh kreditur.

Sedangkan menurut A. Qirom Syamsudin Meliala memberikan


pendapatnya tentang wanprestasi itu berupa a) Tidak memenuhi prestasi sama
sekali b) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya, Apabila prestasi debitur
masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi
prestasi tetapi tidak tepat waktu, sehingga dapat dikatakan wanprestasi c)
Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru, Debitur yang memenuhi prestasi
tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka
debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Abdul kadir Muhammad, menyatakan wanprestasi terjadi dikarenakan


adanya 2 (dua) kemungkinan yaitu Keadaan memaksa (overmach / force mejeur)
yaitu suatu keadaan atau kejadian yang tidak dapat diduga-duga terjadinya,
sehingga menghalangi seorang debitur untuk melakukan prestasinya sebelum ia
lalai untuk apa dan keadaan mana tidak dapat dipersalahkan kepadanya. dan
alasan kedua Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun lalai.4

Menurut Sri Soedewi Masyehoen Sofwan, debitur dinyatakan wanprestasi


apabila memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu:

1. Perbuatan yang dilakukan debitur tersebut dalam disesalkan.


2. Akibatnya dapat diduga lebih dahulu baik dalam arti yang objektif yaitu
orang yang normal dapat menduga bahwa keadaan itu akan timbul.
Maupun dalam arti yang subjektif, yaitu sebagai orang yang ahli dapat
menduga keadaan demikian akan timbul.
3. Dapat diminta untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, artinya
bukan orang gila atau lemah ingatan.

4
Hanafi, I. (2018). Analisis Putusan Pengadilan Agama Purbalingga Tentang Wanprestasi Akad
Murabahah Studi Kasus Putusan Perkara Nomor 0311/Pdt. g/2014/PA. Pbg (Doctoral dissertation,
IAIN SALATIGA).
Apabila seorang dalam keadaan-keadaan tertentu beranggapan bahwa
perbuatan debiturnya akan merugikan, maka ia dapat minta pembatalan perikatan.
Menurut pendapat yang paling banyak dianut, bukanlah kelalaian debitur yang
menyebabkan batal, tetapi putusan hakim yang membatalkan perjanjian, sehingga
putusan itu bersifat “constitutief” dan tidak “declaratoir”. Malahan hakim itu
mempunyai suatu kekuasaan “discretionair” artinya ia berwenang menilai
wanprestasi debitur. Apabila kelalaian itu dianggapnya terlalu kecil hakim
berwenang untuk menolak pembatalan perjanjian, meskipun ganti rugi yang
diminta harus diluluskan.

Terjadinya wanprestasi tidak luput karena adanya suatu permasalahan


yang timbul baik dari pihak debitur yang tidak memenuhi kewajibannya atau dari
pihak kreditur yang lalai dalam melaksanakan tugasnya. Dan setiap sesuatu pasti
mengandung resiko terutama dalam adanya sebuah perjanjian yaitu pasti terdapat
dan prestasi dalam perjanjian tersebut. Adapun beberapa faktor yang dapat
menjadikan timbulnya sebuah wanprestasi dirangkum sebagai berikut:

1. Kelalaian

Kelalaian adalah peristiwa dimana seorang debitur seharusnya tahu atau


patut menduga, bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan
timbul kerugian. Yang mendasari atas adanya suatu perjanjian yaitu adanya janji
itu sendiri yang dalam hal ini ini merupakan janji yang disepakati oleh kedua
belah pihak yang ingin melakukan sebuah perikatan. Janji tersebut dilakukan atas
dasar kesepakatan dan rasa tanggung jawab yang mana apabila janji tersebut tidak
ditunaikan maka dianggap sebuah kelalaian.

Pada intinya dalam suatu perjanjian ada suatu hal yang harus dipenuhi dan
tidak dapat dilakukan, yaitu kewajiban untuk memberikan, kewajiban untuk
melaksanakan, serta kewajiban untuk melakukan sesuatu hal yang telah disepakati
dalam suatu perjanjian. Sehingga dengan terlaksananya perjanjian tersebut dengan
baik maka tidak akan pernah timbul suatu wanprestasi. Sehubungan dengan
adanya kelalaian tersebut maka perlu diketahui kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh debitur yaitu Kewajiban untuk memberikan sesuatu yang telah
dijanjikan, Kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan dan Kewajiban untuk
tidak melaksanakan suatu perbuatan.

2. Keadaan Memaksa

Keadaan memaksa adalah Debitur tidak melaksanakan suatu kewajibannya


dikarenakan suatu hal yang tidak terduga atau bukan atas kehendaknya sendiri
serta debitur tidak dapat melakukan apa-apa.51 Perbuatan diluar kehendaknya
maka dapat diringankan oleh pihak yang bersangkutan diluar paksaan. Berkaitan
dengan keadaan memaksa ini tercantum dalam kitab KUHP perdata Pasal 1244
KUH Perdata dan Pasal 1245 KUH Perdata. Terdapat pula dalam Pasal 40 KHES
yang membahas tentang wanprestasi yaitu Keadaan memaksa atau darurat adalah
keadaan dimana salah satu pihak yang mengadakan akad terhalang untuk
melaksanakan prestasinya. Berdasarkan penjelasan pasal tersebut wanprestasi
yang terjadi akibat keadaan memaksa tidak dapat dikenakan sanksi pidana dan
bukan merupakan kesalahan debitur dan orang yang tidak bersalah tidak dapat di
kenakan sanksi atas kelalainnya. Berbeda halnya jika seseorang melakukan
wanprestasi karena kehendaknya, maka hal tersebut dapat melibatkan kedudukan
hukum karena telah melalaikan apa yang seharusnya menjadi kewajibannya yang
perjanjiannya dibuat diatas hukum.

Terdapat beberapa unsur dalam keadaan memaksa yang dapat terjadi,


unsur-unsur tersebut dikemukakan sebagai berikut:

a. Tidak terpenuhinya suatu prestasi karena adanya peristiwa yang dapat


membinasakan benda yang menjadi objek perikatan tersebut, hal ini dapat
bersifat tetap atau abadi.
b. Tidak dapat dipenuhinya prestasi karena adanya sebuah peristiwa yang
menghalangi perbuatan debitur untuk melaksanakan prestasinya hal
tersebut dapat bersifat tetap atau sementara.
c. Dan peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan
terjadi pada waktu pembuatan perikatan dilaksanakan baik dari pihak
debitur maupun kreditur. Sehingga hal tersebut tidak dapat disalahkan oleh
perbuatan debitur karena bukan karena perbuatannya.
Hukum adalah sanksi atau hukum yang dikenakan kepada debitur apabila
tidak memenuhi suatu perikatan tersebut, Adapun akibat hukum atau sangsi yang
diberikan kepada debitur karena melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut:

1. Kewajiban membayar ganti rugi


Kewajiban membayar ganti rugi telah diatur dalam pasal 1246
KUHPerdata dan juga pasal 38 KHES. Dalam KUHPerdata ganti rugi
diperinci menjadi tiga bagian yaitu biaya ganti biaya rugi serta bunga yang
timbul. Ganti rugi adalah membayar semua kerugian yang timbul karena
hilangnya atau rusaknya barang-barang milik kreditur yang diserahkan
kepada pihak debitur yang kerusakan tersebut terjadi karena akibat
kelalaian dari debitur itu sendiri. Dalam hal ganti rugi untuk menuntut
debitur dalam mengganti harus ada penagihan atau yang di dimaksud
dengan somasi terlebih dahulu hal tersebut dapat dilakukan kecuali dalam
peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak memerlukan adanya sebuah
teguran. Dalam proses ganti rugi jumlah atau nominal harus dihitung
berdasarkan uang dan arus berbentuk uang. Hal tersebut dimaksudkan agar
dapat menghindari sebuah peristiwa atau permasalahan yang terjadi karena
kesulitan dalam menghitung penilaian jika diganti dengan cara lain atau
objek lain.
2. Pembatalan perjanjian
Sanksi lain yang dapat dilakukan akibat adanya kelalaian seorang debitur
yaitu dengan melakukan pembatalan perjanjian. Pembatalan perjanjian
dalam suatu perikatan setidaknya diatur dalam KUH Perdata yaitu Pasal
1266 dan Pasal 1267 isi pasal tersebut sebagai berikut:
Pasal 1266 menyatakan bahwa “Syarat batal dianggap selalu dicantumkan
dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal
demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan".
Pasal 1267 “Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat
memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal
itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan
penggantian biaya, kerugian dan bunga.”
Selain KUHPerdata juga terdapat dalam pasal 38 poin b KHES yang
menyatakan pembatalan akad akibat terjadinya ingkar janji, artinya
perjanjian dapat dibatalkan namun bukan batal akibat hukum melainkan
melalui pengajuan ke pengadilan.
3. Peralihan resiko
Peralihan resiko yang terjadi akibat wanprestasi dapat dilakukan apabila
suatu perjanjian tersebut obyeknya berupa suatu barang misalkan yang
terjadi pada leasing, mengenai mengenai peralihan resiko telah diatur
dalam pasal 38 c KHES dan juga KUHPerdata pasal 1237. Dari penjelasan
pasal tersebut dapat diartikan bahwasanya segala Resiko yang timbul yang
semula atas tanggung jawab leasing kemudian beralih menjadi menjadi
tanggung jawab debitur.

PEMBAHASAN

Putusan dalam bahasa Belanda dikenal dengan kata (vonnis) dan dalam
bahasa Arab dikenal dengan kata (al-qada'u) yang memiliki arti produk dari
pengadilan agama yang dikeluarkan karena adanya dua belah pihak yang
berlawanan dalam suatu perkara yaitu disebut dengan “penggugat dan tergugat”.
Biasanya produk pengadilan agama yang seperti ini diistilahkan sebagai produk
peradilan yang sesungguhnya dan bersifat abadi atau istilahnya “jurisdiction
cententiosal”.

Putusan peradilan perdata juga disebut dengan peradilan agama yaitu itu
selalu membuat perintah dari pengadilan terhadap pihak yang yang lemah untuk
melakukan sesuatu atau memberi hukuman terhadapnya agar membuat sesuatu
untuk diberikan kepada pengadilan. Sehingga dictum vonis selalu bersifat
condemnatoir yang artinya menghukum atau bersifat constitutif yang artinya
menciptakan. Namun jika perintah tersebut dilakukan dengan secara paksa maka
hal tersebut disebut dengan eksekusi.
Putusan hakim atau dapat disebut dengan istilah putusan pengadilan
adalah suatu hal yang sangat diinginkan atau dinantikan oleh para pihak yang
berperkara untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara keduanya dengan
sebaik- baiknya yang mana dengan putusan hakim tersebut para pihak yang
berperkara mengharapkan suatu kepastian hukum dan keadilan dalam perkara
mereka. Karena lahirnya putusan dalam suatu perkara merupakan titik akhir dalam
suatu perselisihan.

Untuk menyelesaikan suatu perkara peradilan dan memberi putusan yang


benar-benar menciptakan kepastian hukum dan memberi keadilan Hakim sebagai
aparatur sipil negara yang melaksanakan peradilan harus betul memahami duduk
perkara yang sedang terjadi serta peraturan hukum yang berkaitan dengan perkara
tersebut baik peraturan hukum yang tertulis maupun peraturan hukum yang tidak
tertulis karena dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman menyatakan
bahwa Hakim harus menggali mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.5

Mengenai pengertian terkait dengan putusan hakim atau bisa disebut


dengan putusan pengadilan terdapat beberapa definisi yang didefinisikan oleh para
ahli hukum titik menurut Prof sudikno mertokusumo SH mendefinisikan putusan
hakim sebagai suatu pernyataan Hakim sebagai pejabat yang Diberi wewenang itu
yang diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau suatu sengketa antara para pihak yang
berperkara. Dalam hal ini Prof sudikno mertokusumo mencoba untuk menegaskan
bahwa yang dimaksud dengan putusan hakim tersebut adalah yang diucapkan
dalam suatu persidangan.

Tidak hanya Prof Soedikno beberapa ahli hukum lainnya pun ikut
mendefinisikan terkait pengertian putusan hakim di antaranya Muhammad Nasir
mendefinisikan bahwa putusan hakim sebagai suatu pernyataan yang dibuat oleh
Hakim sebagai Aparatur Negara yang diberikan wewenang dalam menyampaikan
putusan. Untuk itu dan diucapkan di depan persidangan yang Tujuannya adalah

5
Ihsan, M. A. D. (2023). Analisis Yuridis Tanggung Renteng Wanprestasi Dalam Perjanjian Kerja
Pembangunan Perumahan (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 286 K/Pdt/2019) (Doctoral
dissertation, Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara).
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antara para pihak yang
bersengketa.6

Moh Taufik Makarao memberikan memberikan definisi putusan hakim


sebagai suatu pernyataan oleh Hakim sebagai pejabat negara yang berwenang
untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri suatu perkara
atau sengketa antara para pihak. Adapun Ridwan Syahroni lebih suka
mendefinisikan putusan sebagai suatu pernyataan hakim yang diucapkan dalam
suatu peradilan sidang secara terbuka untuk umum yang tujuannya yaitu
menyelesaikan suatu perkara perdata. Sementara itu para ahli hukum lainnya
seperti Lilik yang mendefinisikan mengenai putusan hakim jika ditinjau dari segi
Visi praktik dan teoritis, menurutnya yang dimaksud putusan hakim yaitu putusan
yang diucapkan seorang Hakim karena jabatannya dalam suatu perkara perdata
yang terbuka untuk umum setelah melalui beberapa proses dan prosedur hukum
acara perdata pada umumnya dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan
menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara.7

Dari beberapa definisi terkait pengertian putusan yang telah dipaparkan di


atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwasanya definisi putusan hakim secara
garis besarnya adalah suatu pernyataan yang diucapkan oleh hakim sebagai
pejabat atau aparatur negara yang memiliki wewenang dalam hal mengadili,
menyelesaikan atau memutuskan suatu perkara, baik perkara tersebut perdata
maupun pidana yang diucapkan di depan persidangan secara terbuka.

Pengertian hakim menurut pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 48


tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, yang dimaksud dengan hakim adalah
hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan

6
Susmayanti, R. (2019). Analisis Putusan tentang Gugatan Wanprestasi terhadap Pengingkaran
Janji Kampanye oleh Presiden Terpilih. Jurnal Supremasi, 39-50.

7
Lazwardi, M. (2018). Wanprestasi Dalam Akad Pembiayaan Ijarah Multijasa (Analisis Putusan
Pengadilan Agama Purbalingga No. 1721/Pdt. G/2013/PA. Pbg). Rechtidee, 13(2), 139-159.
agama,lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.

Dari beberapa ahli hukum juga mendefinisikan pengertian hakim, seperti


halnya Bambang Mulyono yang mengartiakan hakim sebagai organ pengadilan
yang dianggapnya telah paham hukum dan dipundaknya dipikulkan suatu
tanggung jawab agar keadilan dan ketegakan hukum terjadi. Baik yang
berdasarkan hukum tertulis maupun tidak tertulis dan tidak boleh bertentangan
dengan asas-asas peradilan. Sedangkan menurut Al. Wisnu Broto, hakim
merupakan bentuk konkretisasi hukum dan keadilan secara abstrak, bahkan ada
yang mengumpamakan hakim sebagai wakil tuhan di bumi dalam menegakkan
suatu hukum dan keadailan.

Dari berbagai definisi yang diuraikan diatas terkait pengertian hakim dapat
ditarik kesimpulan bahwa hakim adalah organ atau bagian daripada peradilan
pada mahkamah agung dan peradilan dibawahnya yang dianggap paham hukum
yang biasa disebut sebagai ahli hukum, kemudian diberikan wewenang untuk
menyelesaikan, memutuskan atau mengadili suatu perkara demi tegaknya suatu
hukum dan keadilan terutama diindonesia yang berdaulatkan pancasila.

Seorang hakim memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan dan


memutuskan suatu perkara perdata terhadap pihak yg bersengketa. Namun dalam
menjalankan tugasnya hakim harus memenuhi peraturan yang sudah ditetapkan
sebelumnya. Selain itu seorang hakim harus memiliki keyakinan yang tinggi akan
kebenaran yang diungkapkan yang didasarkan pada ada aturan dan memiliki
kepastian hukum yang dapat dijadikan sebagai dasar dari tuntutan hak.
Diungkapkan menurut sudikno yang menyatakan bahwa apabila hakim dalam
menyelesaikan suatu perkara maka seorang hakim memiliki tugas sebagai berikut:

a. Mengkonstatir suatu peristiwa yang diajukan berdasarkan kebenaran atau


hanya pengadaan suatu masalah
b. Mengkualifisir atas peristiwa yang terjadi
c. Mengkonstituir peristiwa tersebut maksudnya adalah menetapkan dan
menerapkan hukum terhadap peristiwa dan memberikan keadaan yang
sepatutnya dengan putusan hakim.
Adanya putusan hakim dijatuhkan memiliki tujuan untuk menyelesaikan
sebuah perkara yang terjadi antara tergugat dan penggugat, sehingga ketika hakim
telah menjatuhkan suatu putusan maka hakim harus memberikan jawaban tersebut
dengan rasa keadilan khususnya bagi para pihak yang bersengketa sehingga dapat
diterima oleh masyarakat pada umumnya. Disamping rasa keadilan yang dimiliki
oleh hakim maka seorang hakim perlu memperhatikan suatu ketentuan hukum
yang harus dipenuhi dalam memutus suatu sengketa dengan rasa di bawah tegas
dan bertanggung jawab.

Putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau pasti (in kracht Van
gewijsde) dalam perkara perdata mempunyai 3 macam kekuatan yaitu sebagai
berikut:

1. Kekuatan mengikat (Bindende Kracht)


Artinya adalah dalam menyelesaikan suatu perkara dan menetapkan
hukumnya atas permintaan para pihak untuk menyelesaikan perkaranya di
pengadilan, sehingga para pihak harus taat dan patuh terhadap putusan
serta menghormati akhir dari isi putusan tersebut. Maksud dari adanya
putusan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yaitu suatu keputusan
hakim yang tidak dapat ditarik kembali walaupun dapat dilakukan bening
atau kasasi karena putusan tersebut telah mempunyai hukum tetap dan
mengikat. Keterlibatan putusan tersebut di antara para pihak tergugat dan
penggugat dapat menimbulkan beberapa teori yang yang dapat dilakukan
dalam memberikan dasar tentang kekuatan mengikat dari suatu putusan
yaitu a) teori hukum materiil, b) teori hukum acara, c) teori hukum
pembuktian, d) terikatnya para pihak pada putusan dan e) kekuatan hukum
yang pasti. Mengikatnya suatu putusan antara kedua belah pihak yang
berperkara, membuat mereka tidak dapat mengingkari isi dari putusan
tersebut, dan apabila di kemudian hari salah satu pihak merasa tidak puas
akan isi dari putusan maka ia tidak dapat mengajukan gugatan baru
mengenai hal yang sama. Jika gugatan yang baru tersebut dinyatakan nebis
in idem yaitu perkara yang sama dengan hal yang sama dan dengan pihak
yang sama tidak dapat diperiksa dan tidak dapat diputus lagi karena segala
sesuatu yang telah diputus oleh para pihak akan dianggap benar atau dalam
kata lain res yudicata proveritate habetur.
2. Kekuatan pembuktian (Bewijzende Kracht)
Kekuatan pembuktian yang dituangkan dalam bentuk tulisan yang
merupakan autentik dengan tujuan agar dapat digunakan sebagai alat untuk
membuktikan para pihak dalam mengajukan banding, kasasi atau
pelaksanaan lainnya. Dalam suatu putusan jika hukum tersebut sudah
dinyatakan melalui hukum pembuktian maka putusan dapat diartikan telah
memperoleh suatu kepastian dan kejelasan dari peristiwa yang mempunyai
kekuatan pembuktian walaupun putusan tersebut tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat terhadap pihak ketiga.
3. Kekuatan Eksekutorial (Executoriale Kracht)
Kekuatan putusan yang dimaksudkan yaitu untuk menyelesaikan suatu
persengketaan dan menetapkan hak atau hukumnya terutama keputusan
tersebut dapat dilaksanakan secara paksa (eksekusi). Putusan pengadilan
yang tidak cukup terealisasi dalam menetapkan suatu hukum dengan tegas
maka diperlukannya kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan untuk dapat
dilaksanakan secara paksa yang telah ditetapkan oleh negara. Dan putusan
dapat memiliki kekuatan eksekutorial apabila telah dilakukan oleh
peradilan yang ada di Indonesia dengan menganut irah-irah "Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Analisis Perkara Putusan Nomor 565/PDT.G/2020/PA.JU

Penggugat dalam kasus putusan ini adalah PT. Pegadaian Syariah yang
dalam hal ini perusahaan tersebut merupakan Perseroan yang bergerak dibidang
jasa keuangan berupa pegadaian. Gadai yang biasa dilakukan dapat berupa barang
bergerak maupun tidak bergerak seperti, Emas, BPKB Motor atau mobil, tanah
atau barang yang memiliki harga lainnya. Dalam surat gugatannya tercantum
tanggal 17 Februari 2020 telah mengajukan permohonan gugatan ekonomi
syariah, yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Utara,
dengan Nomor putusan 565/Pdt.G/2020/PA.JU dibuat pada tanggal 03 Maret
2020.

Tergugat merupakan nasabah lama yang biasa melakukan transaksi gadai


berupa perhiasan, namun pada sebelumnya tidak pernah melakukan sebuah
kesalahan hingga jatuh tempo. Pada suatu saat tergugat menggadaikan perhiasan
berupa berlian dengan jenis round shape lepasan sebanyak 8 buah deangan
menerima marhun bih atau uang pinjaman sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta
rupiah) dengan batas jatuh tempo ditetapkan pada 12 Februari 2019 yang tertuang
dalam suatu surat bukti rahn (perjanjian gadai), perjanjian tersebut dibuat
tertanggal 16 September 2018. Dalam isi perjanjian ruangan tersebut terdapat
kesepakatan diantara kedua belah pihak yaitu antara nasabah atau tergugat dengan
penggugat untuk menerima segala ketentuan yang tertuang dalam surat perjanjian
rahn, namun pada nyatanya pihak tergugat melakukan pelanggaran dengan tidak
memenuhi perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, sehingga pada saat jatuh
tempo pihak Pegadaian atau penggugat mengirimkan surat pemberitahuan kepada
tergugat sebagai pengingat bahwa tergugat harus memenuhi kewajibannya dan
membayar tagihan yang harus dilunasi.

Namun hingga surat tersebut telah dikirimkan dan sampai pada ada tangan
tergugat, tergugat masih saja belum melaksanakan kewajibannya sama sekali dan
dipandang tidak ada itikad baik untuk memenuhi kewajibannya. Padahal
Berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat dan ditandatangani oleh tergugat
mengenai surat pemberitahuan yang telah disampaikan tergugat seharusnya telah
melaksanakan pembayaran pinjaman sesuai dengan surat perjanjian yang tertera
dalam perjanjian gadai. Pihak pegadaian atau penggugat telah beberapa kali
mengirimkan surat peringatan pelunasan marhun bih, munah, dan menjelaskan
tentang biaya-biaya lainnya kepada tergugat, namun tergugat tetap tidak ada itikad
baik untuk melaksanakan kewajibannya sehingga tergugat dengan ini terbukti
melakukan wanprestasi sesuai dengan pasal 1238 KUHPerdata. Berdasarkan surat
somasi yang dilayangkan penggugat kepada tergugat tertanggal 3 september 2019,
tergugat memiliki hutang beserta biaya lainnya dengan total jumlah
Rp.110.151.000,- (seratus sepuluh juta seratus lima puluh satu ribu rupiah)
sehingga penggugat meminta kepada tergugat untuk melakukan pelunasan
pembayaran dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari.

Berdasarkan keterangan yang sudah disampaikan oleh kuasa hukum dari


pihak penggugat, setelah dilakukan beberapa pengujian terhadap barang yang
digunakan sebagai objek gadai oleh tergugat. Melalui beberapa bentuk proses
terdapat sebuah fakta bahwa berlian yang digunakan oleh tergugat tersebut
sebagai jaminan gadai ternyata merupakan berlian sintetik dan tidak memiliki
harga nilai jual pasar, sehingga barang tersebut tidak dapat memenuhi segala
hutang tergugat kepada penggugat. Adanya fakta ini membuat penggugat
mengajukan permohonan sita jaminan atas harta kekayaan dan aset lainnya yang
dimiliki oleh tergugat, Hal tersebut dilakukan sebagai ganti atas pelunasan hutang
yang tidak dipenuhi sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan, dan hal ini
sesuai dengan pasal 1131 KUHPerdata yang dalam pasal tersebut menyatakan
bahwa segala barang bergerak maupun tidak bergerak milik debitur atau tergugat
menjadi jaminan atas perikatan yang dibuat oleh debitur.

Karena hal tersebutlah pihak penggugat merasa bahwa pihak tergugat telah
melakukan wanprestasi karena pada saat jatuh tempo telah disepakati dalam
perjanjian pihak tergugat masih belum membayar kewajibannya kepada
penggugat. Bahkan hingga sampai pada saat perkara telah diajukan ke pengadilan
agama tergugat masih belum juga membayar kewajibannya. Pengajuan kepada
pengadilan agama dilakukan karena dalam hal ini pelanggaran yang dilakukan
oleh tergugat menimbulkan permasalahan dengan Pegadaian Syariah yang dalam
aturannya menganut pada hukum Islam. Pada tenggang waktu yang telah
disampaikan oleh penggugat ia telah melakukan upaya persuasif atau
kekeluargaan sebagai bentuk penyelesaian dalam permasalahan wanprestasi ini,
baik dengan cara penagihan maupun memberikan surat surat peringatan (somasi)
kepada pihak tergugat namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil sehingga
dalam hal ini penggugat dinyatakan sangat dirugikan dan diperlukan tindak lanjut
yang diserahkan kepada Pengadilan Agama Jakarta Utara.

Pertimbangan Hakim
Pada hari persidangan yang telah ditentukan pemohon hadir ke
persidangan sedangkan termohon tidak hadir meskipun telah di paggil secara
resmi oleh pihak pengadilan dan juga tidak mengutus kuasa hukumnya dan tanpa
alasan yang sah, maka dengan ini termohon dinyatakan tidak hadir dan pemohon
diperiksa secara verstek sesuai dengan pasal 125 ayat (1), 126 HIR. Adapun
perkara ini mengenai gugatan ekonomi syariah dan menjadi kewenangan absolut
peradilan agama hal ini sesuai dengan pasal 49 undang-undang nomor 3 tahun
2006 atas perubahan Undang- Undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama.
Majelis hakim sudah berusaha menasihati penggugat untuk berdamai dan
menyelesaikannya secara kekeluargaan sesuai dengan pasal 130 HIR / 154 RBg.
dan PERMA RI nomor 1 tahun 2018, namun hal tidak berhasil. Usaha perdamaian
melalui media tidak dapat dilaksanakan karena tergugat tidak pernah menghadiri
persidangan dan tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya atau kuasa
hukumnya yang sah hal ini sesuai peraturan Mahkamah Agung RI nomor 01 tahun
2016 tentang prosedur mediasi.

Penggugat telah di wakilkan oleh kuasa hukum advokat berdasarkan surat


kuasa substansi yang telah terdaftar di pengadilan agama jakarta utara tertanggal 2
juni 2020 dan telah memiliki kartu advokat yang masih berlaku serta terdafatar
dan tersumpah sebagai advokat PERADI, yang dikeluarkan oleh pengadilan tinggi
jawa tengah tanggal 21 Desember 2017 maka Advokat tersebut dapat beracara
sesuai dengan ketentuan surat ketua Mahkamah Agung RI Nomor
052/KMA/HK.01/III/2010 perihal penjelasan surat ketua Mahkamah Agung RI
Nomor 089/KMA/VI/2010 angka 2 dan 3. Sehubungan dengan sengketa gadai
(rahn) antara penggugat dan tergugat nomor akad 6013918020049271 tanggal 16
September 2018 sudah sesuai dengan ketentuan pasal 1151 kuhp perdata dan telah
memenuhi syarat gugatan maka secara formil gugatan penggugat dapat diterima.
Adapun yang menjadi pokok perkara adalah:

1. Antara penggugat dan tergugat telah terdapat hubungan hukum


berdasarkan perjanjian kredit dengan jaminan gadai berupa berlian yang
dibuat dan ditandatangani antara penggugat dan tergugat pada cabang PT
Pegadaian Syariah Kramat Raya.
2. Tergugat menerima marhun bih atau uang pinjaman dari penggugat
sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).
3. Tanggal jatuh tempo adalah 12 Februari 2019.
4. Tergugat telah menyerahkan jaminan gadai berupa 8 (delapan) buah
berlian dengan jenis round shape lepasan.
5. Terdapat surat bukti rahn nomor akad tertanggal 16 September 2018.
6. Tergugat menerima dan setuju terhadap uraian penetapan besarnya taksiran
marhun, uang pinjaman, tarif mun’ah, biaya pemeliharaan akad, biaya
pemeliharaan marhun dalam proses lelang jika ada, biaya proses lelang
jika ada biaya lelang sebagaimana yang tertera dalam surat bukti rahn.
7. Tergugat telah berhutang kepada murtahin dan berkewajiban untuk
membayar marhun bih atau uang pinjaman, mun’ah (biaya) pemeliharaan
pada saat pelunasan atau membayar cicilan marhun bih (uang pinjaman)
jika ada, mun’ah (biaya) pemeliharaan, mun’ah (biaya) akad pada saat
perpanjangan.
8. Apabila sampai dengan tanggal jatuh tempo tidak melakukan pelunasan
atau perpanjangan akad maka murtahin atau Pegadaian berhak melakukan
penjualan marhun atau barang jaminan melalui lelang.

Sehingga dengan hal ini perjanjian kredit atau jaminan gadai rahan sudah
sesuai dengan pasal 1151 KUHPerdata, Namun faktanya tergugat sampai tanggal
jatuh tempo yang diatur dalam surat bukti rahn tersebut belum juga melunasi
hutangnya sama sekali. Berdasarkan penjelasan tersebut tergugat telah melewati
batas waktu pembayaran meskipun telah disampaikan surat pemberitahuan jatuh
tempo sebagaimana surat tersebut di atas. Maka dari itu telah jelas dan terang
benderang primavasi bahwa perjanjian gadai yang dibuat dan ditandatangani
antara penggugat dan tergugat sebagaimana yang tertuang dalam surat bukti rahn
telah jatuh tempo sehingga penggugat telah mengirimkan surat pemberitahuan
jatuh tempo kepada tergugat.8

8
Zakia, I. (2020). Wanprestasi Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Secara Angsuran Dan
Tanggung Jawab Notaris Berdasarkan Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 884
PK/PDT/2018. Indonesian Notary, 2(002), 1-21.
Penggugat telah beberapa kali menyampaikan permintaan pelunasan
marhun Bih mudah dan jabatannya kepada tergugat namun tergugat tetap tidak
mengindahkannya sehingga sesuai dengan ketentuan pasal 12 38 88 kuhp perdata
tergugat telah berada dalam keadaan wanprestasi. Berdasarkan surat dari
penggugat kepada tergugat perihal somasi per tanggal 3 September 2019 pada
intinya menyatakan bahwasanya tergugat mempunyai utang dan ditambah gaya
lainnya dengan total sebesar 110 151 1000 sehingga penggugat meminta kepada
tergugat untuk segera melunasi nya dalam jangka tempo 7 hari masa kerja.
Berdasarkan keterangan dari kuasa hukum penggugat kepada tergugat bahwa wa
barang jaminan yang berupa berlian merupakan berlian sintetis sehingga tidak
memiliki daya jual atau tidak memiliki nilai sama sekali.

Hasil Identifikasi ditetapkan berdasarkan pengujian yang dilakukan


olehtim gemologis Pegadaian G-Lab dengan beberapa tahapan pengujian dengan
menggunakan peralatan:

- Long wave dan short wave UV Light.


- Fourler Transform Infra Red.
- Diamond View.
- Polariskop.
- Mikroskop.

Menimbang pernyataan penggugat dalam petitumnya yang menyatakan


bahwa perjanjian kredit dengan jaminan gadai yang berdasarkan surat bukti rahn
no. akad tertanggal 16 oktober 2018 yang dibuat dan ditandatangani antara kedua
pembuat perjanjian adalah sah secara hukum dan sesuai peraturan perundang-
undangan. Hal tersebut disampaikan berdasarkan pemeriksaan yang telah
dilakukan oleh para pihak yang berwenang terkait perjanjian kredit dengan
jaminan gadai.

Majelis hakim menimbang setelah meneliti secara seksama bukti petitum


penggugat telah terdapat sedikitnya 5 unsur rahn yaitu, suheni sri mulyani adalah
rahin atau pihak yang berutang, pegadaian syariah cabang kramat raya sebagai
murtahin atau pihak yang menyediakan jasa pinjaman uang dengan jaminan gadai,
barang jaminan gadai berupa 8 buah berlian jenis round shape lepasan, uang
pinjaman sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) dari penggugat, surat
perjanjian gadai No. Akad 6013918020049271 tertanggal 16 september 2018.

Kemudian somasi haruslah dilakukan sebanyak dua kali oleh juru sita
atapun kreditur dengan tenggang waktu antara somasi pertama dan somasi kedua
sebanyak satu minggu hari kerja, walaupun faktanya banyak pihak perbankan
yang melakukan somasi sebanyak 3 kali. Apabila somasi tersebut tidak di
indahkannya maka kreditur berhak membawa pesoalan tersebut ke pengadilan
yang selanjutnya mengenai status wanprestasi akan ditentukan oleh pengadilan.
Berdasarkan penjelasan tersebut penggugat telah melakukan proses yang sesuai
dengan patokan tersebut dan penggugat juga telah berhasil membuktikan bahwa
tergugat terbukti melakukan tindakan wanprestasi. mengenai pelunasan ganti rugi
uang pinjaman, mun'ah dan biaya biaya lainnya majelis hakim mengambil
pandangan dari pendapat ahli yaitu Prof. Dr. Drs. H. Abdul Manan S.H., S.IP.,
M.Hum. yang berpendapat bahwa terdapat beberapa akibat hukum bagi debitur
yang melakukan wanprestasi seperti:

- membayar kerugian kreditur berupa pembayaran ganti rugi


- pembatalan perjanjian
- peralihan resiko
- membayar biaya perkara

Maka dari itu gugatan penggugat menyangkut pembayaran ganti rugi,


munah dan biaya biaya lainnya patut dikabulkan. Penggugat dalam petitumnya
juga menuntut uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.20.000.000,- ( Dua puluh juta)
untuk setiap hari keterlambatan yang dilakukan tergugat. Adapun dalam hal uang
paksa (dwangsom) sesuai dengan pasal 606 a Rv adalah hanya terhadap putusan
hakim yang bersifat komdemnator berupa menyerahkan suatu barang,
mengosongkan sebidang tanah, atau bangunan, melakukan suatu perbuatan
tertentu, tidak melakukan suatu perbuatan atapun menghentikan suatu perbuatan.

Akan tetapi terhadap putusan yang disampaikan oleh komdemnator berupa


pembayaran sejumlah uang tidak dapat diterapkan uang paksa dalam
penyelesaiannya, sebagaimana yang dijelaskan dalam yurisprudensi Mahkamah
Agung RI tercatat Nomor 791 K/Sip/1972 dan Nomor 307 K/Sip/1976, dalam
aturan tersebut menjelaskan bahwa tuntutan uang paksa yang dikenal dengan
istilah (dwangsom) yang diajukan oleh pihak penggugat terhadap tergugat tidak
dapat diterima dan ditolak. Adapun menurut pasal 192 ayat 1 R.BG yang
menyatakan bahwa pihak yang kalah harus dibebani untuk membayar biaya
perkara yang dalam hal ini pihak yang kalah adalah pihak tergugat:9

1. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil secara resmi dan patut untuk
menghadap di persidangan, tidak hadir;
2. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian dengan Verstek;
3. Menyatakan Tergugat telah berada dalam keadaan Wanprestasi terhadap
surat Perjanjian Rahn Nomor Akad tertanggal 16 Oktober 2018;
4. Menghukum Tergugat untuk melunasi kewajiban pembayaran ganti rugi
uang pinjaman (Marhun bih), Mun’ah dan biaya-biaya lainnya berupa
biaya Administrasi penyelesaian Marhun dalam proses Lelang yang
seluruhnya berjumlah sebesar Rp. 110.151.000,00 (seratus sepuluh juta
seratus lima puluh satu ribu rupiah)
5. Menolak selain dan selebihnya;
6. Membebankan kepada Tergugat untuk membayar seluruh biaya perkara ini
sejumlah Rp. 1.016.000,00 (sejuta enam belas ribu rupiah)

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis uraikan dalam BAB-BAB


diatas tentang analisis putusan terhadap putusan hakim di Pengadilan Agama
Jakarta Utara tentang perkara wanprestasi gadai syariah, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa:

9
Asyhadi, F. (2020). Analisis Putusan Hakim Dalam Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan Tentang Wanprestasi Akad Murabahah (Putusan Nomor 3353/PDT.
G/2018/PA. JS). Buana Ilmu, 5(1), 185-198.
1. Putusan hakim dalam suatu perkara wanprestasi syariah kasus gadai
syariah dengan nomor putusan 565/Pdt.G2020/PA.JU tersebut sudah
sesuai dengan aturan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
meskipun dasar pertimbangan dalam penetapan wanprestasi gadai syariah
tersebut menggunakan KUHPer namun tidak bertentangan dengan syariah
islam.
2. Adapun terkait Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
masih dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan hukum para hakim
dalam memutus suatu putusan terutama dalam perkara sengketa syariah,
namun dalam hal ini terdapat garis besar bahwa penggunaan KUHPerdata
dapat digunakan selama hukum tersebut tidak bertentangan dengan hukum
Islam.

Dalam memutuskan perkara sengketa terutama dalam sengketa ekonomi


syariah sebaiknya seorang hakim Pengadilan Agama menggunakan sumber
hukum yang berpacu pada hukum syariah baik berupa kompilasi hukum Islam
(KHI), kompilasi hukum ekonomi syariah (KHES) ataupun Fatwa DSN-MUI.
Walaupun KUHPerdata juga mengatur mengenai sengketa tersebut, namun Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) hanya berlaku sampai adanya
undang-undang baru yang mengaturnya.10

Karena di Indonesia itu sendiri sudah mengatur dan menganut adanya


sumber hukum normatif Islam yang memiliki payung hukum dan memiliki
kekuatan hukum, serta berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadist dalam
menentukan hukumnya. Sehingga dalam memutus suatu perkara tersebut terutama
dalam sengketa Syariah maka aturan hukum Islam dapat dijadikan dasar hukum
yang dapat digunakan oleh hakim dan telah diakui memiliki kekuatan hukum
yang mengikat.

10
Harahap, M. Y. (2020). Pengikatan Jaminan Kebendaan dalam Kontrak Pembiayaan Muḍārabah
sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Debitur Wanprestasi (Analisis Putusan Mahkamah Agung
Nomor 272/K/AG/2015 tentang Pembiayaan Mudharabah). Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum
Islam, 14(1), 51-67.
DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, I. (2018). Analisis Putusan Pengadilan Agama Purbalingga Tentang


Wanprestasi Akad Murabahah Studi Kasus Putusan Perkara Nomor
0311/Pdt. g/2014/PA. Pbg (Doctoral dissertation, IAIN SALATIGA).

Susmayanti, R. (2019). Analisis Putusan tentang Gugatan Wanprestasi terhadap


Pengingkaran Janji Kampanye oleh Presiden Terpilih. Jurnal Supremasi,
39-50.

Lazwardi, M. (2018). Wanprestasi Dalam Akad Pembiayaan Ijarah Multijasa


(Analisis Putusan Pengadilan Agama Purbalingga No. 1721/Pdt.
G/2013/PA. Pbg). Rechtidee, 13(2), 139-159.

Layla Martama’na Suratul Fatekhah, L., Mutimatun, N. A., & SH, M. (2018).
Tinjauan Hukum Terhadap Sengketa Wanprestasi Hutang Piutang
Dengan Jaminan Sertifikat Tanah (Analisis Putusan No.: 26/Pdt.
G/2014/PN. Kln) (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta).

Ihsan, M. A. D. (2023). Analisis Yuridis Tanggung Renteng Wanprestasi Dalam


Perjanjian Kerja Pembangunan Perumahan (Studi Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 286 K/Pdt/2019) (Doctoral dissertation, Fakultas
Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara).

Zakia, I. (2020). Wanprestasi Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Secara


Angsuran Dan Tanggung Jawab Notaris Berdasarkan Analisis Putusan
Mahkamah Agung Nomor 884 PK/PDT/2018. Indonesian Notary, 2(002),
1-21.

Asyhadi, F. (2020). Analisis Putusan Hakim Dalam Sengketa Ekonomi Syariah di


Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tentang Wanprestasi Akad Murabahah
(Putusan Nomor 3353/PDT. G/2018/PA. JS). Buana Ilmu, 5(1), 185-198.

Harahap, M. Y. (2020). Pengikatan Jaminan Kebendaan dalam Kontrak


Pembiayaan Muḍārabah sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Debitur
Wanprestasi (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor
272/K/AG/2015 tentang Pembiayaan Mudharabah). Al-Manahij: Jurnal
Kajian Hukum Islam, 14(1), 51-67.

Lubis, S., Sugeng, S. H., SI, M., Wiyono, S. H., & Hartomo, S. H. ANALISIS
PUTUSAN PENGADILAN TENTANG WANPRESTASI.

Nainggolan, D., Fahrezi, E. A., & Ndraha, Y. D. (2021). Tinjauan Yuridis


Mengenai Sengketa Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Iso
Tank (Analisis Putusan Nomor 121/PDT. G/2018PN JKT. SEL). Jurnal
Hukum Al-Hikmah: Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan
Masyarakat, 2(2), 264-276.

Anda mungkin juga menyukai