Anda di halaman 1dari 10

KEWENANGAN PERADILAN AGAMA DI DALAM PERKARA EKONOMI

SYARIAH

Mellynia Ayu Wandira


931108818
Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syari’ah,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri
E-mail: mellyniaaw@gmail.com ; Nomor Telepon: 085655888733

Abstrak

Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan


kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat
pencari keadilan dalam perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah, dan ekonomi
syariah. Dengan penegasan kewenangan peradilan agama dalam menyelesaikan
perkara tertentu tersebut, termasuk pelanggaran atas undang-undang perkawinan
dan peraturan pelaksanaanya dan memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah
dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan qanun. Memilik
kekuasaan mengadili berdasarkan wilayah atau daerah. Kewenangan relatif
Pengadilan Agama sesuai dengan tempat dan kedudukannya. Pengadilan Agama
berkedudukan di ibu kota atau di ibu kota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kota atau kabupaten. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibu kota
provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

Kata Kunci : Kompetensi , Ekonomi Syari’ah dan Yuridis

A. PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Pasca amandemen UU No. 7 Tahun 1989 khususnya pasal 49
kewenangan Peradilan Agama menjadi bertambah. Perluasan kewenangan
Peradilan Agama untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah, merupakan
fenomena baru yang harus dihadapi oleh seluruh jajaran aparat (pegawai dan
hakim) Peradilan Agama. Di satu sisi, peradilan agama harus memiliki hakim-
1
hakim khusus yang kapabel dalam menangani sengketa ekonomi syari‟ah.
Para hakim juga dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi
kompetensinya. Karena hakim dianggap tahu akan hukumnya, sehingga hakim
tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih hukumnya tidak
ada atau kurang jelas. Di sisi lain, seluruh hakim peradilan agama memiliki latar
belakang pendidikan hukum Islam, yang selama ini tidak menangani sengketa
yang terkait dengan ekonomi syari‟ah, sehingga wawasan mereka tentang
ekonomi syari‟ah sangat terbatas. Sejalan dengan itu, setiap hakim Pengadilan
Agama dituntut untuk lebih mendalami dan menguasai soal ekonomi syari‟ah.
Kebutuhan pembentukkan KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‟ah) di
Indonesia dipandang sangat mendesak, karena praktek ekonomi syari‟ah telah
berjalan di masyarakat. Oleh karenanya sangat tidak diharapkan terjadi
kekosongan hukum dalam bidang ekonomi syari‟ah, atau masih menggunakan
peraturan lain seperti hukum perdata barat (BW) yang tidak sesuai dengan jiwa
syari‟ah dan nilai aktualitas. Keberhasilan pelaksanaan kewenangan
Pengadilan Agama dalam mengadili bidang ekonomi syari’ah terpengaruh juga
oleh persepsi hakim terhadap UU No 3 tahun 2006.1

2. RUMUSAN MASALAH
Permasalahan apa saja yang masuk dalam Kewenangan Peradilan Agama
Dalam Mengadili Sengketa Ekonomi Syariah?

3. TEORI/PENELITIAN TERDAHULU
➢ KEWENANGAN PERADILAN AGAMA DI DALAM PERKARA
EKONOMI SYARIAH oleh Asep Saepullah Fakultas Syariah dan
Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Kesimpulan dari jurnalnya
adalah;
Kompetensi peradilan agama dalam perkara ekonomi syariah
telah memunculkan berbagai kontroversi yang dipicu oleh perbedaan
sudut pandang dan kepentingan dalam menafsirkan UU No. 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Hasil

1 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya,
(Jakarta, Gema Insani Press, 1996), hlm. 87.
2
penelitian ini menunjukkan bahwa pendapat pihak-pihak yang
mempersoalkan kompetensi peradilan agama dalam perkara ekonomi
syariah lebih didasarkan pada kepentingan politis dan lemahnya
pemahaman hukum dan kesadaran ketatanegaraan, sehingga
penafsiran terhadap instrumen perundang-undangan yang berlaku tidak
sesuai dengan kaidah normatif-yuridis yang seharusnya menjadi
paradigma penafsiran dalam ranah hukum dan perundang-undangan.
Secara yuridis, ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008
beserta penjelasannya menunjukkan bahwa telah terjadi reduksi
terhadap kompetensi peradilan agama dalam bidang perbankan syariah.
UU No. 3 Tahun 2006 telah memberikan kompetensi absolut dalam
perkara ekonomi syariah kepada peradilan agama. Tetapi, ketentuan UU
No. 3 Tahun 2006 itu direduksi oleh UU No. 21 Tahun 2008 yang pada
dasarnya dimaksudkan untuk memudahkan penanganan perkara
ekonomi syariah, khususnya di bidang perbankan syariah.

➢ Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah Sebagai Sebuah Kewenangan


Baru Peradilan Agama oleh Rifyal Kabbah JURNAL HUKUM NO. 2 VOL
13MB2006; 241-250. Kesimpulan dari jurnalnya adalah;
Ekonomi Syari'ah di luar Indonesia terkenal dengan nama
ekonomi Islam, yaitu ekonomi berdasarkan prinslp-prinsip Syari'ah,
seperti diformulasikan oleh para fuqaha' sepanjang masadari nilai-nllal
Islam. Ekonomi Syari'ah berbeda dari ekonomi konvensional yang
berkembang di dunia dewasa ini yang hanya berdasarkan nilai-nilai
sekular yang terlepas dari agama. Ekonomi Syari'ah dibahas dalam
dua disiplin ilmu, yaitu ilmu ekonomi Islam dan ilmu hukum ekonomi
Islam. Ekonomi Syari'ah yang menjadi salah satu kewenangan baru
Peradilan Agama berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Pengadilan Agama berhubungan secara khusus dengan ilmu hukum
ekonomi. Kewenangan tersebut menyangkut kewenangan mengadlli 11
jenis perkara seperti dijelaskan oleh penjelasan Pasal 49 huruf (l).
Selain beberapa pasal dalam UU Perbankan dan UU Bank Indonesia
serta beberapa PBI dan SEBl, belum ada undang- undang khusus yang

3
mengatur tentang hukum acara dan hukum materill bank Syari'ah.
Pengaturan yang ada sekarang pada "umumnya berdasarkan fiqh
parafuqaha' dan sebagian keciinya, terutama berhubungan dengan
masalah perbankan, mengandalkan fatwa yang diterbitkan oleh DSN.
Melihat kasus-kasus yang diajukan kepada Badan Arbitrase Syari'ah
Nasional (BASYARNAS) menyangkut sengketa antara bank Syari'ah
dan nasabahnya, ternyata semuanya berdasarkan akad atau kontrak
antara kedua belah pihak, baik akad mudharabah, musyarakat atau
murabahah.
Dalam penyelesaian sengketa-sengketa yang ada,
BASYARNAS menggunakan dua hukum yang berbeda, yaitu tiukum
Islam seperti diformulasikan oleh DSN dan pasal-pasal KUHPerdata.
Hal itu dllakukan karena ketiadaan peraturan perundang-uhdangan
tentang perbankan Syari'ah secarakhusus dan ekonomi Syari'ah secara
umum. Sebeium lahirnya undang-undang khusus ekonomi syari'ah
dalam 11 item di atas, maka kemungkinan besar para hakim PA akan
mengadiii perkara ekonomi syari'ah berdasarkan hukum perjanjian,
balk berdasarkan fiqh para fuqaha' maupun KUHPerdata.

➢ RUANG LINGKUP KEWENANGAN PERADILAN AGAMA DALAM


MENGADILI SENGKETA EKONOMI SYARIAH oleh Diana Rahmi,
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari. Kesimpulan dari
jurnalnya adalah;

Ekonomi Syariah adalah bidang perdata yang secara sosiologis


merupakan kebutuhan umat Islam, sebab itu kemudian Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 mengamanatkan sengketa ekonomi Syariah masuk
dalam lingkup ke- wenangan Peradilan Agama. Namun peraturan
perundang-undangan yang lahir belakangan telah mereduksi
kewenangan dimaksud, meskipun telah lahir putusan MK yang
mengembalikan sebagian kewenangan dimaksud, namun belum
dibarengi dengan perubahan peraturan perundang-undangan lainnya.
Setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
menentukan batas ruang lingkup kewenangan Peradilan Agama dalam
4
mengadili sengketa ekonomi Syariah. Pertama, melingkupi semua
sengketa ekonomi Syariah bidang Hukum Perdata. Kedua, melingkupi
sengketa ekonomi Syariah yang tidak hanya terjadi antara orang- orang
yang beragama Islam melainkan juga dengan non Islam. Ketiga, tidak
melingkupi klausul yang memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
Peradilan Agama (sesuai isi akad). Keempat, tidak melingkupi hal-hal
terkait putusan arbitrase Syariah. Sejatinya memang penyelesaian
sengketa ekonomi Syariah dalam lingkup litigasi diwenangi secara
mutlak hanya oleh lembaga Peradilan Agama. Dengan pertimbangan
bahwa akan ditemui keselarasan antara implementasi hukum materil
yang berlandaskan prinsip-prinsip Syariah dengan lembaga Peradilan
Agama yang memang merupakan wadah bagi para aparat yang
Beragama Islam, pencari keadilan yang ber- agama Islam atau mereka
yang tunduk pada Hukum Islam. Sehingga putusan yang dikeluarkan
oleh Peradilan Agama adalah putusan yang benar-benar bertali ke langit
dan berakar ke bawah (masyarakat)

B. METODE PENELITIAN

Metode berasal dari kata methodos yang artinya jalan, atau cara. Secara
umum, metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan
tujuan tertentu.

Metode penelitian adalah merupakan suatu rangkaian langkah yang


dilakukan secara terencana dan sistematis berdasarkan pedoman untuk
mendapatkan pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan tertentu. Dalam pelaksanaannya, dibutuhkan langkah-
langkah yang sesuai dan saling mendukung satu sama lain agar penelitian yang
dilakukan mempunyai bobot yang cukup memadai dan memberikan kesimpulan
yang tidak diragukan.2

2Asep Saepul Hamdi, Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi Dalam Pendidikan (Yogyakarta:
Deepublish, 2012), 3-4.
5
1. Metode Pendekatan Dalam penelitian hukum dengan subjek peraturan
perundang- undangan dan putusan pengadilan dapat dikategorikan sebagai
penelitian hukum doktrinal, yaitu peneltian inventarisasi hukum positif, asas-
asas, penemuan hukum in concreto, sistem hukum dan sinkronisasi hukum.
Metode pendekatan penelitian ini yang lebih tepat digunakan adalah metode
penelitian yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut
akan menelaah secara mendalam terhadap asas-asas hukum, peraturan
perundangundangan, yurisprudensi, dan pendapat ahli hukum sera
memandang hukum secara komprehensif. Artinya hukum bukan saja sebagai
seperangkat kaidah yang bersifat normatif atau apa yang menjadi teks
undang-undang (law in book) tetapi juga melihat bagaimana bekerjanya
hukum (law in action).

C. PEMBAHASAN
Kewenangan Peradilan Agama Dalam Mengadili Sengketa Ekonomi Syariah
Kewenangan atau kekuasaan Peradilan Agama menyangkut dua hal, yaitu
kekuasaan relatif dan absolut. Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan
pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan
kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya.3
Dengan kata lain, kekuasaan relatif adalah kekuasaan dan wewenang yang
diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau
wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama
dalam lingkungan Peradilan Agama. Misalnya anatar Pengadilan Agama Bandung
dengan Pengadilan Agama Bogor. Sedangkan kekuasaan absolut adalah
kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan
pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan
golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam. Kekuasaan
absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 UU No. 7 Th. 1989.4
Kewenangan yang dimiliki Peradilan Agama ketika itu memang masih
sangat terbatas. Penyelesaian sengketa yang menjadi kompetensi Peradilan
Agama masih berkisar penyelesaian masalah nikah, talaq, cerai dan rujuk (NTCR)

3 Roihan A Rosyd, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 25-
27
4 Abdullah Tri Whyudi, Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 87

6
saja. Oleh karena itu, diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama, merupakan kemajuan yang luar biasa. Sebuah perwujudan cita-
cita yang sangat didambakan oleh umat Islam di Indonesia pada umumnya serta
Hakim Agama khususnya, setelah melewati perjalanan sejarah yang amat
panjang. Sebenarnya, pembaharuan Peradilan Agama sudah dimulai sejak
ditetapkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, namun ketika itu masih jauh
dari harapan. Hal itu sangat tampak terutama persoalan independensinya,
mengingat UU No. 14 Tahun 1970 masih menganut sistem dua atap (double roof
system), seperti ditegaskan pada Pasal 11 ayat (1).5

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang


Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pasal 49 menentukan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan
memutus sengketa tentang ekonomi Syariah. Penyebutan ekonomi syariah
menjadi penegas bahwa kewenangan Pengadilan Agama tidak dibatasi dengan
menyelesaikan sengketa di bidang perbankan saja, melainkan juga di bidang
ekonomi syariah lainnya. Penjelasan Pasal 49 menyebutkan rincian bidang-
bidang yang termasuk dalam lingkup ekonomi Syariah adalah 11 bidang. Adapun
yang di- maksud dengan Ekonomi Syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah antara lain meliputi : bank syari’ah,
lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa
dana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah,
sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, penggadaian syari’ah, dana pensiun
lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah.

Penyebutan 11 bidang tersebut di atas, tentulah tidak bersifat limitatif hal


ini dikarenakan sebelumnya didahului oleh kata ‘antara lain’, sehingga tentunya
tidak tertutup kemungkinan diluar 11 bidang dimaksud masih ada bidang kegiatan
ekonomi Syariah lainnya yang masuk. Demikian misalnya masih terbuka pada
bentuk kegiatan usaha seperti perusahaan Syariah, kepailitan Syariah, persaingan
usaha Syariah, dan lain sebagainya.

5Asep Saepullah, KEWENANGAN PERADILAN AGAMA DI DALAM PERKARA EKONOMI


SYARIAH, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon
7
Walaupun menurut Abdurrahman (Hakim pada Mahkamah Agung
Republik Indonesia), hal- hal tersebut dalam kaitannya dengan kewenangan
Peradilan Agama masih terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat
menyangkut bidang yang belum disebutkan dalam 11 bidang dimaksud tentu
selalu saja menimbulkan pertanyaan apakah Pengadilan Agama berwenang untuk
memeriksa dan mengadilinya atau tidak. Tetapi berangkat dari Penjelasan Pasal
49 tersebut di atas, yang tidak memberikan pengecualiaan maka lingkup
kewenangan Peradilan Agama bidang ekonomi Syariah adalah meliputi seluruh
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip Syariah.
Dalam rancangan semula kewenangan ini hanya terbatas pada persoalan
Perbankan Syariah, tetapi kemudian ditambah menjadi ekonomi Syariah.
Karenanya, dalam Penjelasan Pasal 49 tersebut dikatakan bahwa penyelesaian
sengketa tidak hanya dibatasi di bidang Perbankan Syariah melainkan juga di
bidang ekonomi Syariah lainnya.6

Perluasan kewenangan tersebut, tentunya menjadi tantangan tersendiri


bagi aparatur Peradilan Agama, terutama Hakim. Para Hakim dituntut untuk
memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Hal ini sesuai adagium
ius curia novit (Hakim dianggap mengetahui hukumnya), sehingga Hakim tidak
boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih hukumnya tidak atau
kurang jelas. Keniscayaan Hakim untuk selalu memperkaya pengetahuan hukum,
juga sebagai sebuah pertanggungjawaban moral atas klaim bahwa apa yang telah
diputus oleh Hakim harus dianggap benar (res judicata pro veriate habetur).
Sejalan dengan itu, setiap Hakim Pengadilan Agama dituntut untuk lebih
mendalami dan menguasai masalah-masalah perekonomian syariah.

6Diana Rahmi, RUANG LINGKUP KEWENANGAN PERADILAN AGAMA DALAM MENGADILI


SENGKETA EKONOMI SYARIAH, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari
8
D. PENUTUP
1. KESIMPULAN
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pasal 49 menentukan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan
memutus sengketa tentang ekonomi Syariah. Penyebutan ekonomi syariah
menjadi penegas bahwa kewenangan Pengadilan Agama tidak dibatasi
dengan menyelesaikan sengketa di bidang perbankan saja, melainkan juga di
bidang ekonomi syariah lainnya. Penjelasan Pasal 49 menyebutkan rincian
bidang- bidang yang termasuk dalam lingkup ekonomi Syariah adalah 11
bidang. Adapun yang di- maksud dengan Ekonomi Syari’ah adalah perbuatan
atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah antara lain
meliputi : bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah,
reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga
berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah,
penggadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis
syari’ah.

2. SARAN

Dengan adanya penambahan wewenang Peradilan Agama, otomatis


seorang hakim juga akan bertambah tanggung jawabnya dalam menangani
perkara mengenai ekonomi syari’ah jadi Hakim Pengadilan Agama dituntut
untuk lebih mendalami dan menguasai masalah-masalah perekonomian
syariah. Agar hukum di Indonesia semakin maju.

9
DAFTAR PUSTAKA

Roihan A Rosyd, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003),

Abdullah Tri Whyudi, Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2004)

Asep Saepul Hamdi, Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi Dalam Pendidikan


(Yogyakarta: Deepublish, 2012)

Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan,


dan Prospeknya, (Jakarta, Gema Insani Press, 1996)

Diana Rahmi, RUANG LINGKUP KEWENANGAN PERADILAN AGAMA DALAM


MENGADILI SENGKETA EKONOMI SYARIAH, Fakultas Syariah dan
Ekonomi Islam IAIN Antasari

Asep Saepullah, KEWENANGAN PERADILAN AGAMA DI DALAM PERKARA


EKONOMI SYARIAH, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh
Nurjati Cirebon

10

Anda mungkin juga menyukai