SYARIAH
Abstrak
A. PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Pasca amandemen UU No. 7 Tahun 1989 khususnya pasal 49
kewenangan Peradilan Agama menjadi bertambah. Perluasan kewenangan
Peradilan Agama untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah, merupakan
fenomena baru yang harus dihadapi oleh seluruh jajaran aparat (pegawai dan
hakim) Peradilan Agama. Di satu sisi, peradilan agama harus memiliki hakim-
1
hakim khusus yang kapabel dalam menangani sengketa ekonomi syari‟ah.
Para hakim juga dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi
kompetensinya. Karena hakim dianggap tahu akan hukumnya, sehingga hakim
tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih hukumnya tidak
ada atau kurang jelas. Di sisi lain, seluruh hakim peradilan agama memiliki latar
belakang pendidikan hukum Islam, yang selama ini tidak menangani sengketa
yang terkait dengan ekonomi syari‟ah, sehingga wawasan mereka tentang
ekonomi syari‟ah sangat terbatas. Sejalan dengan itu, setiap hakim Pengadilan
Agama dituntut untuk lebih mendalami dan menguasai soal ekonomi syari‟ah.
Kebutuhan pembentukkan KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‟ah) di
Indonesia dipandang sangat mendesak, karena praktek ekonomi syari‟ah telah
berjalan di masyarakat. Oleh karenanya sangat tidak diharapkan terjadi
kekosongan hukum dalam bidang ekonomi syari‟ah, atau masih menggunakan
peraturan lain seperti hukum perdata barat (BW) yang tidak sesuai dengan jiwa
syari‟ah dan nilai aktualitas. Keberhasilan pelaksanaan kewenangan
Pengadilan Agama dalam mengadili bidang ekonomi syari’ah terpengaruh juga
oleh persepsi hakim terhadap UU No 3 tahun 2006.1
2. RUMUSAN MASALAH
Permasalahan apa saja yang masuk dalam Kewenangan Peradilan Agama
Dalam Mengadili Sengketa Ekonomi Syariah?
3. TEORI/PENELITIAN TERDAHULU
➢ KEWENANGAN PERADILAN AGAMA DI DALAM PERKARA
EKONOMI SYARIAH oleh Asep Saepullah Fakultas Syariah dan
Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Kesimpulan dari jurnalnya
adalah;
Kompetensi peradilan agama dalam perkara ekonomi syariah
telah memunculkan berbagai kontroversi yang dipicu oleh perbedaan
sudut pandang dan kepentingan dalam menafsirkan UU No. 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Hasil
1 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya,
(Jakarta, Gema Insani Press, 1996), hlm. 87.
2
penelitian ini menunjukkan bahwa pendapat pihak-pihak yang
mempersoalkan kompetensi peradilan agama dalam perkara ekonomi
syariah lebih didasarkan pada kepentingan politis dan lemahnya
pemahaman hukum dan kesadaran ketatanegaraan, sehingga
penafsiran terhadap instrumen perundang-undangan yang berlaku tidak
sesuai dengan kaidah normatif-yuridis yang seharusnya menjadi
paradigma penafsiran dalam ranah hukum dan perundang-undangan.
Secara yuridis, ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008
beserta penjelasannya menunjukkan bahwa telah terjadi reduksi
terhadap kompetensi peradilan agama dalam bidang perbankan syariah.
UU No. 3 Tahun 2006 telah memberikan kompetensi absolut dalam
perkara ekonomi syariah kepada peradilan agama. Tetapi, ketentuan UU
No. 3 Tahun 2006 itu direduksi oleh UU No. 21 Tahun 2008 yang pada
dasarnya dimaksudkan untuk memudahkan penanganan perkara
ekonomi syariah, khususnya di bidang perbankan syariah.
3
mengatur tentang hukum acara dan hukum materill bank Syari'ah.
Pengaturan yang ada sekarang pada "umumnya berdasarkan fiqh
parafuqaha' dan sebagian keciinya, terutama berhubungan dengan
masalah perbankan, mengandalkan fatwa yang diterbitkan oleh DSN.
Melihat kasus-kasus yang diajukan kepada Badan Arbitrase Syari'ah
Nasional (BASYARNAS) menyangkut sengketa antara bank Syari'ah
dan nasabahnya, ternyata semuanya berdasarkan akad atau kontrak
antara kedua belah pihak, baik akad mudharabah, musyarakat atau
murabahah.
Dalam penyelesaian sengketa-sengketa yang ada,
BASYARNAS menggunakan dua hukum yang berbeda, yaitu tiukum
Islam seperti diformulasikan oleh DSN dan pasal-pasal KUHPerdata.
Hal itu dllakukan karena ketiadaan peraturan perundang-uhdangan
tentang perbankan Syari'ah secarakhusus dan ekonomi Syari'ah secara
umum. Sebeium lahirnya undang-undang khusus ekonomi syari'ah
dalam 11 item di atas, maka kemungkinan besar para hakim PA akan
mengadiii perkara ekonomi syari'ah berdasarkan hukum perjanjian,
balk berdasarkan fiqh para fuqaha' maupun KUHPerdata.
B. METODE PENELITIAN
Metode berasal dari kata methodos yang artinya jalan, atau cara. Secara
umum, metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan
tujuan tertentu.
2Asep Saepul Hamdi, Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi Dalam Pendidikan (Yogyakarta:
Deepublish, 2012), 3-4.
5
1. Metode Pendekatan Dalam penelitian hukum dengan subjek peraturan
perundang- undangan dan putusan pengadilan dapat dikategorikan sebagai
penelitian hukum doktrinal, yaitu peneltian inventarisasi hukum positif, asas-
asas, penemuan hukum in concreto, sistem hukum dan sinkronisasi hukum.
Metode pendekatan penelitian ini yang lebih tepat digunakan adalah metode
penelitian yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut
akan menelaah secara mendalam terhadap asas-asas hukum, peraturan
perundangundangan, yurisprudensi, dan pendapat ahli hukum sera
memandang hukum secara komprehensif. Artinya hukum bukan saja sebagai
seperangkat kaidah yang bersifat normatif atau apa yang menjadi teks
undang-undang (law in book) tetapi juga melihat bagaimana bekerjanya
hukum (law in action).
C. PEMBAHASAN
Kewenangan Peradilan Agama Dalam Mengadili Sengketa Ekonomi Syariah
Kewenangan atau kekuasaan Peradilan Agama menyangkut dua hal, yaitu
kekuasaan relatif dan absolut. Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan
pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan
kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya.3
Dengan kata lain, kekuasaan relatif adalah kekuasaan dan wewenang yang
diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau
wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama
dalam lingkungan Peradilan Agama. Misalnya anatar Pengadilan Agama Bandung
dengan Pengadilan Agama Bogor. Sedangkan kekuasaan absolut adalah
kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan
pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan
golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam. Kekuasaan
absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 UU No. 7 Th. 1989.4
Kewenangan yang dimiliki Peradilan Agama ketika itu memang masih
sangat terbatas. Penyelesaian sengketa yang menjadi kompetensi Peradilan
Agama masih berkisar penyelesaian masalah nikah, talaq, cerai dan rujuk (NTCR)
3 Roihan A Rosyd, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 25-
27
4 Abdullah Tri Whyudi, Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 87
6
saja. Oleh karena itu, diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama, merupakan kemajuan yang luar biasa. Sebuah perwujudan cita-
cita yang sangat didambakan oleh umat Islam di Indonesia pada umumnya serta
Hakim Agama khususnya, setelah melewati perjalanan sejarah yang amat
panjang. Sebenarnya, pembaharuan Peradilan Agama sudah dimulai sejak
ditetapkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, namun ketika itu masih jauh
dari harapan. Hal itu sangat tampak terutama persoalan independensinya,
mengingat UU No. 14 Tahun 1970 masih menganut sistem dua atap (double roof
system), seperti ditegaskan pada Pasal 11 ayat (1).5
2. SARAN
9
DAFTAR PUSTAKA
Roihan A Rosyd, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003),
10