Husni Tamrin
Mahasiswa UIN Sultan Syarif Kasim Riau
husnitamrin237@gmail.com
Abstrak :
Prinsip ekonomi syariah merupakan prinsip yang berbasis Islam
yang mengendalikan setiap pelaku usaha dan konsumen sebagai batasan-
batasan untuk bertransaksi. Salah satu hal yang membedakan antara
ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional, adalah dasar yang dijadikan
pedoman untuk berprilaku sesuai aturan yang sudah ada dan yang sudah
ditetapkan berkenaan dengan hal ini ekonomi syariah lebih kental dengan
hukum Islam yaitu al-qur’an dan hadist sesuai dengan syariat Islam.
Sistem ekonomi indonesia adalah sistem yang harus diterapkan sesuai
dengan peraturan pemerintah dan sesuai dengan peraturan hukum islam
agar adanya keselarasan diantara kedua hukum tersebut untuk
memperlancar segala rutinitas umat manusai yang beretika baik jujur dan
tidak merugikan orang lain.Setiap tindakan pasti berujung pertengkaran
apabila tidak sesuai dengan aturan-aturan yang ada,perlu adanya regulasi
hukum yang menjamin pihak konsumen maupun membuat jera para pelaku
usaha untuk tidak semena-mena terhadap pelanggan dan memanipulasi
sesuatu yang diperdagangkan untuk mendapatkan keuntungan maupun
hasil yang sebesar-besarnya.
1
A. Pendahuluan
1
Sumantoro, Kegiatan Perusahaan Nasional, Problema Politik, Hukum, dan Ekonomi
dalam Pembangunan Nasional, (Jakarta: PT Gramedia), hlm. 219
2
Wahyu Widiana dan Kamaluddin, Ekonomi Syari’ah dalam Perspektif UU No. 3 tahun
2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, http://www.pta-
semarang.go.id/artikelperadilan/63-ekonomisyariahdalamperspektifuuno3tahun2006.html
2
Ekonomi syariah yang dimaksudkan dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tersebut adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi bank syariah, lembaga
keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana
syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun
lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah. Undang-Undang ini
memberikan dasar hukum atas kewenangan Pengadilan Agama dalam
menyelesaikan perkara termasuk perkara-perkara ekonomi syariah
tersebut.3
Sebagai pedoman bagi para hakim dalam menyelesaikan
sengketa ekonomi syari’ah, maka Mahkamah Agung (MA) menyusun
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang ditetapkan melalui
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) nomor 2 tahun 2008. Landasan
yuridis formal bagi Mahkamah Agung untuk menyusun dan membentuk
PERMA Nomor 2 Tahun 2008 tentang KHES tersebut adalah berdasarkan
pasal 24 UUD 1945, yaitu menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna
menegakkan hukum dan keadilan. Demikian pula, pasal 24A ayat (1)
UUD 1945 menegaskan bahwa Mahkamah Agung mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang
terhadap undang-undang dan kewenangan lainnya yang diberikan
undang-undang.
Pembentukan PERMA Nomor 2 Tahun 2008 tentang KHES
sebagai aplikasi dari teori “Lingkaran Konsentris” yang dikemukakan oleh
Tahir Azhary yang menunjukkan betapa eratnya hubungan agama, hukum,
dan negara. Menurut Ichtijanto, teori tersebut dapat dijadikan landasan di
masa mendatang, dan teori tersebut berpangkal dari teori yang
3
Nandang Ikhwanudin, Sengketa Ekonomi Syari’ah dan Solusi Penyelesaiannya,
http://staisiliwangi.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=84:sengketa-ekonomi-
syariah- dan-solusi-penyelesaiannya&catid=41:islamica-vol-3-no-2-th-2016
3
dikemukakan oleh Friederik Julius Stahl dan Hazairin.4
Perluasan kewenangan Pengadilan Agama untuk menangani
sengketa ekonomi syariah merupakan fenomena baru yang harus dihadapi
oleh seluruh jajaran Pengadilan Agama, terutama hakim sebagai aparat
penegak hukum yang paling dominan dalam menentukan putusan perkara
yang disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap
nilai-nilai keadilan. Para hakim Pengadilan Agama yang memiliki latar
belakang pendidikan hukum Islam diharapkan juga harus memiliki
kemampuan dalam menangani sengketa ekonomi syariah, sehingga
dituntut untuk bisa memahami segala perkara yang menjadi
kompetensinya dan tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan
dalih hukumnya tidak tahu atau kurang jelas.5
Para hakim ditutut untuk selalu memperkaya pengetahuan hukum
termasuk medalami dan memahami soal perekonomian syariah, sebagai
bentuk pertanggungjawaban moral atas klaim bahwa apa yang telah
diputus oleh hakim harus dianggap benar (res judicata pro veretatur
habetur). Hal ini sesuai adagium ius curia novit, karena dalam hal ini
hakim dianggap tahu akan hukumnya walaupun perkara tersebut adalah
perkara yang baru yang menjadi kewenangannya yaitu yang terkait
penanganan sengketa ekonomi syariah, dimana wawasan hakim masih
sangat terbatas.6
Penerapan KHES dalam menyelesaikan sengketa bisnis syariah
dalam beberapa tahun terakhir, secara nasional menunjukkan adanya
peningkatan kasus dan berhasil diselesaikan oleh Pengadilan Agama.
Berdasarkan data yang dihimpun SIPP MA, pada bulan Nopember 2016
4
Darwin, “Studi Efektifitas PERMA no. 2 tahun 2008 tentang KHES Sebagai Pedoman
Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah Di Pengadilan Agama,” dalam Jurnal Tamwil,
Volume I, No, 2, Juli – Desember 2015
5
Syaifuddin, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, Suara ULDILAG No.13
Mahkamah Agung, 2008.
6
Siti Nurhayati, “Penguatan Peran Hakim Pengadilan Agama Dalam penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah Pasca Putusan MK No, 93.PUU-X/2012”, Jurnal Pemikiran Dan
Penelitian Sosial Keagamaan, Yudisial, Vol. 7, Nomor 2 Desember 2016, hal 325.
4
sudah ada 146 perkara ekonomi syariah yang berhasil ditangani Pengadilan
Agama di seluruh Indonesia, dan ini belum termasuk perkara ekonomi
syariah tahun sebelumnya yang diputus pada tahun 2017. Juga belum
termasuk perkara ekonomi syariah yang masih dalam upaya hukum, naik
banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Akan tetapi, dibandingkan
dengan keseluruhan perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama yang
berjumlah sampai 500 ribu kasus, jumlah ini memang belum sebanding.
Akan tetapi jika dilihat dari perkembangan 10 tahun terakhir sejak
diberlakukannya kewenangan Pengadilan Agama dalam menangani
sengketa syariah, maka jumlah kasus ini sudah menunjukkan adanya
peningkatan yang drastis, yaitu bertambah sekitar 10 kali lipat.7
B. Pembahasan
9
PERMA Nomor 02 Tahun 2008, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 3
10
Abbas Arfan, 99 Kaidah-Kiadah Fiqh Muamalah Kulliyah dan Tipologi Penerapannya
DalamEkonomi Islam & Perbankan Syariah, 127.
11
Abdul Ghofur Anshori, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Analisis Konsep
dan UUNomor. 21 Tahun 2008), 79.
6
syariah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
12
PERMA Nomor 02 Tahun 2008, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, xiii.
13
Ibid
7
Berdasarkan pada tradisi hukum positif di Indonesia, terdapat
dua cara penyelesaian perkara, yaitu melalui proses Litigasi (melalui
lembaga peradilan) dan proses non-Litigasi (di luar lembaga peradilan).
Proses non- Litigasi dapat dilakukan melalui: (1) Perdamaian dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR); dan (2) Arbitrase
(Tahkim).Mekanisme penyelesaian sengketa bisnis syariah yang bersifat
perdata secara umum dapat diselesaikan melalui 3 alternatif yaitu:
melalui lembaga arbitrase syariah, melalui sistim ADR (Alternative
Dispute Resolution) dan melalui jalur Litigasi (proses peradilan di
Pengadilan Agama, atau Pengadilan Negeri, tergantung klausa
perjanjian yang disepakati).14
Model penyelesaian perkara di atas juga dilakukan oleh lembaga
keuangan syari’ah. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan
oleh perbankan dengan cara mediasi, sedangkan jalur pengadilan
dilakukan melalui Pengadilan Agama. Mediasi merupakan suatu
prosedur penengahan di mana seseorang bertindak sebagai “kendaraan”
untuk berkomunikasi antarpara pihak sehingga pandangan mereka yang
berbeda atassengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan,
tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada
ditangan para pihak sendiri.15
14
Mardani, Penyelesian Sengketa Bisnis Syari’ah, dalam Mimbar Hukum, Volume
22,Nomor 2, Juni 2010, hlm. 310
15
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa - Arbitrase Nasional Indonesia
danInternasional, (Edisi II; Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.15-16.
8
menghasilkan titik temu di antara bank dan nasabah.16
Langkah yang diambil oleh perbankan syariah di atas merupakan
hal yang dapat dibenarkan. Penyelesaian sengketa tidak mesti harus
diselesaikan melalui jalur hukum ketika permasalahan tersebut masih
bisa diselesaikan dengan mengambil kesepakatan bersama dan berdamai
sebagaimana pilihan penyelesaian sengketa yang telah dipaparkan
sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang tercantum pada Pasal 1 angka 10
Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999, Alternatif Penyelesaian Sengketa
terdiri dari penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Jenis-jenis APS
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 10 UU No. 30 tahun 1999
tersebut dapat dipilih baik oleh para pelaku bisnis maupun masyarakat
pada umumnya untuk menyelesaikan persengketaan perdata yang mereka
alami.17
16
Muhammad Zulhefni, Kendala Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui
Pengadilan Agama Kota Malang, Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol. 8 No.2 Tahun 2017
17
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa..., h.15
18
Kuliah Umum tentang Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia: Peluang
danTantangan, yang diadakan oleh Jurusan Business Law, Binus University (21/05/2016).
9
Untuk dapat menyelesaikan permasalahan ekonomi syariah
yang muncul, para hakim dibekali dengan kemampuan dan kualifikasi
tambahan. Untuk hal tersebut, MA-RI mengeluarkan PERMA Nomor 5
Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah. Berdasarkan
PERMA ini, yang yang akan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah
adalah hakim yang telah lulus sertifikasi yang diadakan oleh MA-RI
dengan melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga terkait
seperti MUI, DSN, Basyarnas, OJK dan DPS. Hakim yang
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah adalah hakim khusus yang
mempunyai pemahaman yang baik tentang ekonomi syariah.19
19
Abdul Rasyid, Kesiapan Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah http://business-law.binus.ac.id/2016/05/29/kesiapan-peradilan-agama-dalam-penyelesaian-
sengketa-ekonomi-syariah/.
10
hukum dalam mengadili perkara ekonomi syariah dan melakukan
penemuan hukum (rechtsvinding) untuk mewujudkan keadilan dalam
beracara. Disamping itu, hakim ekonomi syariah juga harus memenuhi
persyaratan integritas, yakni tidak sedang dalam menjalani hukuman
disiplin (lihat Pasal 6).20
Para hakim yang telah memenuhi persyaratan dan dinyatakan
lulus oleh tim seleksi, mengikuti pelatihan selama dua belas hari
dengan menggunakan kurikulum, materi ajar, serta metode yang
disiapkan oleh tim khusus dan Pusdiklat Teknis MA-RI. Dalam hal
ini,MA telah melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga seperti
OJK dan BI dalam rangka meningkatkan kompetensi hakim ekonomi
syariah. Para hakim yang telah lulus kemudian diangkat sebagai hakim
ekonomi syariah oleh ketua MA. Para hakim ini nantinya ditempatkan
di Pengadilan Agama dan mempunyai kewenangan khusus
menyelesaikan ekonomi syariah.21
Sampai saat ini, jumlah hakim agama yang sudah bersertifikasi
ekonomi hanya 120 dari sekitar 3.000 orang pengadilan yang ada di
Indonesia. Para hakim tersebut juga diberikan kesempatan untuk studi
banding ke beberapa negara degan mayoritas penduduk muslim, seperti
Turki, Mesir, Oman, Maroko, dan Yordania. Di samping itu, hakim
yang lulus dalam seleksi juga diberi kesempatan untuk mengikuti
pelatihan-pelatihandan short course yang diselenggarakan oleh MA-RI,
baik di dalam maupun di luar negeri. Short course tersebut dapat diikuti
oleh para hakim melalui seleksi dan test yang ketat.22
Menurut Abdul Azis, sertifikasi hakim ekonomi syari’ah
memang sangat diperlukan untuk membekali para hakim dalam
menjalankan tugasnya menangani perkara ekonomi syariah. Perkara
20
Abdul Rasyid, Sertifikasi Hakim Ekonomi Syari’ah, http://business-
law.binus.ac.id/2016/09/28/sertifikasi-hakim-ekonomi-syariah/
21
Ibid
22
Media Indonesia, kamis, 27 Agustus, 2017, Baru 120 Hakim Bersertifikasi Ekonomi
Syariah, http://mediaindonesia.com/read/detail/119201-baru-120-hakim-bersertifikasi-ekonomi-
syariah
11
tersebut sebisa mungkin ditangani oleh hakim yang memiliki keahlian
tertentu, tidak hanya dalam segi mikro yaitu substansi ekonomi
syariah saja, tetapi juga segi makro yaitu praktik perbankan syariah
dalam menjalankan usahanya. Tuntutan pengetahuan dalam bentuk
keahlian di segi makro itulah yang belum sepenuhnya dipahami oleh
hakim Pengadilan Agama praktiknya. Oleh karena itu, sertifikasi ini
menjadi penting untuk menambah kesiapan para hakim Pengadilan
Agama dalam menghadapi perkara ekonomi syariah.
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa sebenarnya
hakim Pengadilan Agama bukanlah tidak memiliki kualifikasi di
bidang ekonomi syari’ah sehingga harus melakukan berbagai macam
pelatihan termasuk sertifikasi hakim, akan tetapi hanya sebatas untuk
lebih memantapkan kesiapan para hakim agar dapat dipercaya oleh
pelaku ekonomi syariah. Dengan usaha persiapan diri yang maksimal,
maka persepsi inferior Pengadilan Agama terhadap pengadilan lain
tidak ada lagi.
Menurut Prof. Manan, memang tantanganyangpalingterberat
adalah membangun trust (kepercayaan) masyarakat atau pelaku
ekonomi terhadap Pengadilan Agama. Mereka harus percaya bahwa
Pengadilan Agama mampu dan siap untuk menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah yang diajukan kepadanya.23
Pemilihan lembaga Pengadilan Agama dalam meyelesaikan
sengketa ekonomi syariah merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana.
Hal ini akan dicapai keselarasan antara hukum materiil yang
berlandaskan prinsip-prinsip Islam dengan lembaga Pengadilan Agama
yang merupakan representasi lembaga Peradilan Islam, dan juga selaras
dengan para aparat hukumnya yang beragam Islam serta telah
menguasai hukum Islam.24
23
Op.cit
24
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan
Agama, 473.
12
Adapun Sengketa di bidang ekonomi syariah yang menjadi
kewenangan Pengadilan Agama adalah:
a. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan
lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya.
b. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesama lembaga
keuangan dan lembaga pembiayaan syariah.
c. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang
beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan
tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan
pinsip-prinsip syariah.25
25
Adrian Sutedi, Perbankan Syariah Tinjauan Dari Beberapa segi hukum, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2009), 177.
26
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta:Kencan.2006), 278.
13
Apabila tidak ditemukan dalam sumber-sumber tersebut maka
hakim harus mencarinya dengan metode interpretasi dan konstruksi,
adalah sebagai berikut:
1. Metode interpretasi
Metode interpretasi adalah penafsiran terhadap teks Undang-
Undang, yang mana masih tetap berpegang pada bunyi teks tersebut,
di Indonesia metode interpretasi dapat dibedakan jenis-jenisnya
sebagai berikut:
a. Metode penafsiran substantife adalah penafsiran dimana hakim
harus menerapkan suatu teks Undang-Undang terhadap kasus in
konkreto dengan belum memasuki rapat penggunaan penalaran
yang lebih rumit, tetapi sekedar menerapkan silogisme.
b. Metode penafsiran gramatikal adalah peraturan Perundang-
undangan dituangkan dalam bentuk bahasa tertulis, putusan
pengadilan juga disusun dalam bahasa yang logis sistematis.
Untuk mengetahui makna ketentuan Undang-undang yang belum
jelas perlu ditafsirkan dengan menguraikannya menurut bahasa
umum sehari-hari.
c. Metode penafsiran sistematis atau logis adalah peraturan
Perundang- undangan dengan menghubungkannya dengan
peraturan hukum atau Undang-Undang lain atau dengan
keseluruhan sistem hukum.
d. Metode penafsiran historis adalah penafsiran yang didasarkan
kepada sejarah terjadinya peraturan tersebut. Dalam praktik
peradilan, penafsiran historis dapat dibedakan menjadi dua
bentuk antara lain:
e. Interpretasi menurut sejarah Undang-Undang (wetshistorisch)
adalah mencari maksud dari Perundang-undangan itu seperti apa
yang dilihat oleh pembuat Undang-Undang ketika Undang-
Undang itu dibentuk dulu, disini kehendak pembuat Undang-
Undang yang menentukan.
14
f. Interpretasi menurut sejarah hukum (rechistorisch) adalah
metode yang ingin memahami Undang-Undang dalam konteks
seluruh ajaran hukum, suatu peraturan Perundang-Undangan
tidak cukup dilihat pada sejarah lahirnya Undang-Undang itu
saja, melainkan juga harus diteliti lebih jauh esse aejarah yang
mendahuluinya.
g. Metode penafsiran sosiologis atau teleologis adalah peraturan
yang menerapkan makna Undang-Undang berdasarkan tujuan
kemasyarakatan. Hakim menafsirkan Undang-Undang sesuai
dengan tujuan pembentuk Undang-Undang, titik beratnya adalah
pada tujuan Undang-Undangdibuat, bukan pada bunyi kata-
katanya. Peraturan Perundang-undangan yang telah usang,
disesuaikan penggunaannya dengan menghubungkan
dengan kondisi dan situasi saat ini atau situasi sosial yang baru
h. Metode penafsiran komperatif adalah penafsiran Undang-
Undang dengan memperbandingkan antara berbagai sistem
hukum. Penafsiran model ini paling banyak dipergunakan dalam
bidang hukum perjanjian internasional dan penafsiran komparatif
sangat jarang dipakai.
i. Metode penafsiran restriktif adalah penafsiran untuk
menjelaskan Undang- Undang dengan cara ruang lingkup
ketentuan Undang-Undang itu dibatasi dengan mempersempit
arti Suatu peraturan dengar bertitik tolak pada
artinya menurut bahasa.
j. Metode penafsiran ekstensif adalah metode penafsiran yang
membuat penafsiran melampaui batas yang diberikan oleh
penafsiran gramatikal. Seperti perkataan menjual dalam Pasal
1576 KUH Perdata, ditafsirkan bukan hanya jual beli semata-
mata tetapi juga peralihan hak.
k. Metode penafsiran futuristis adalah penafsiran Undang-Undang
yang bersifat antisipasi dengan berpedoman kepada Undang-
15
Undang yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius
constituendum). Misalnya suatu rancangan UndangUndang yang
masih dalam proses perundangan, tetapi pasti akan
diundangkan.27
2. Metode Konstruksi
Konstruksi mengandung arti pemecahan atau menguraikan
makna ganda, kekaburan, dan ketidakpastian dari Perundang-
Undangan sehingga tidak bisa dipakai dalam peristiwa konkrit yang
diadilinya. Para hakim dalam melakukan konstruksi penemuan dan
pemecahan masalah hukum, harus mengetahui tiga syarat utama
yaitu:
a. Konstruksi harus mampu meliput semua bidang hukum positif
yang bersangkutan
b. Dalam pembuatan konstruksi tidak boleh ada pertentangan logis
didalamnya,
c. Konstruksi kiranya mengandung faktor keindahan dalam arti
tidak dibuat-buat, tetapi dengan dilakukan konstruksi persoalan
yang belum jelas dalam peraturan-peraturan itu diharapkan
muncul kejelasan- kejelasan.
Konstruksi harus dapat memberikan gambaran yang jelas
tentang sesuatu hal, oleh karena itu harus cukup sederhana dan tidak
menimbulkan masalah baru dan boleh tidak dilaksanakan.
Sedangkan tujuan dari konstruksi adalah agar putusan hakim dalam
peristiwa konkrit dapat memenuhi tuntutan keadilan dan bermanfaat
bagi pencari keadilan.28
27
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
279.
28
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
h. 282
16
5. Tehnik Pengambilan Putusan di Pengadilan Agama
Dari segi metodologi, secara sederhana para hakim di lingkungan
Pengadilan Agama dalam mengambil keputusan terhadap suatu
perkara yang diperiksa dan diadili hendaknya melalui proses
tahapan-tahapan sebagai berikut :
a. Perumusan masalah atau pokok sengketa dari suatu perkara
dapat disimpulkan dari infomasi baik dari Penggugat maupun
dari Tergugat, yang termuat dalam gugatannya dan jawaban
Tergugat, replik dan duplik. Dari persidangan tahap jawab-
menjawab inilah hakim yang memeriksa perkara tersebut
memperoleh kepastian tentang peristiwa konkrit yang
disengketakan oleh para pihak, Peristiwa yang disengketakan
inilah yangmerupakan pokok masalah dalam suatu perkara.
b. Pengumpulan data dalam proses pembuktian, setelah hakim
merumuskan pokok masalahnya, kemudian hakim menentukan
siapa yang dibebani pembuktian untuk pertama kali. Dari
pembuktian ini, hakim akan mendapatkan data untuk diolah guna
menemukan fakta yang dianggap benar atau fakta yang dianggap
salah (dikonstatir). Data berupa fakta yang
dinyatakan oleh alat-alat bukti dan sudah diuji kebenarannya.
c. Analisa data untuk menemukan fakta, data yang telah diolah
akan melahirkan fakta yang akan diproses lebih lanjut sehingga
melahirkan suatu keputusan yang akurat dan benar.
d. Penentuan hukum dan penerapannya, setelah fakta yang
dianggap benar ditemukan, selanjutnya hakim menemukan dan
menerapkan hukumnya. Menemukan hukum tidak hanya sekedar
mencari Undang-Undangnya untuk dapat diterapkan pada
peristiwa yang konkrit, tetapi yang dicarikan
hukumnya untuk diterapkan pada suatu peristiwa yang konkrit,
jika peristiwa konkrit itu telah ditemukan hukumnya maka
langsung menerapkan hukum tersebut, jika tidak ditemukan
17
hukumnya maka hakim harus mengadakan interpretasi terhadap
peraturan Perundang-Undangan tersebut. Sekiranya interpretasi
tidak dapat dilakukannya maka ia harus mengadakan konstruksi
hukum sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
e. Pengambilan keputusan, para hakim yang menyidangkan suatu
perkara hendaknya menuangkannya dalam bentuk tulisan yang
disebut dengan putusan. Putusan tersebut merupakan suatu
penulisan argumentatif dengan format yang telah ditentukan
Undang-Undang. Dengan dibuat putusan tersebut diharapkan
dapat menimbulkan keyakinan atas kebenaran peristiwa hukum
dan penerapan peraturan Perundang-undangan secara tepat dalam
perkara yang diadili tersebut.29
29
Op.cit
30
Darwin, “Studi Efektifitas PERMA no. 2 tahun 2008 tentang KHES Sebagai
Pedoman Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah Di Pengadilan Agama ,” dalam
Jurnal Tamwil, Volume I, No, 2, Juli – Desember 2015
18
yang sudah bersertifikasi ekonomi syari’ah hanya 120 dari sekitar
3.000 orang hakim pengadilan yang ada di Indonesia.
Kedua, kurangnya kualifikasi kuasa hukum lembaga keuangan
syari’ah dalam bidang ekonomi syari’ah. Kuasa hukum lembaga
keuangan syari’ah tersebut boleh dikatakan seluruhnya berasal dari
latar pendidikan hukum umum, sehingga tentang ekonomi syari’ah
hanya mereka dapatkan melalui pelatihan-pelatihan ataupun kursus-
kursus yang diadakan oleh perbankan. Hal tersebut dapat dimaklumi
karena hukum acara dan tata cara beracara di Pengadilan Agama pada
prinsipnya sama dengan tata cara acara di Pengadilan Negeri.
Ketiga, kualifikasi pengacara/advokat perkara ekonomi syari’ah
yang belum memadai. Untuk hal ini dapat diketahui melalui beberapa
perkara yang sudah digelar di Pengadilan Agama Pada umumnya,
sidang perkara tidak sampai kepada pengujian materi, apalagi sampai
kepada putusan. Pada tahap pembuktian biasanya perkara sudah
dihentikan atau dicabutoleh advokat karena menyadari bahwa perkara
yang diajukan tidak cukup dalil dan bukti. Bagi seorang advokat,
mencabut perkara lebih terhormat daripada melanjutkannya lalu ditolak
oleh hakim. Kondisi ini ditambah lagi dengan banyaknya pengacara
non-muslim yang sudah barang tentu tidak memahami sepenuhnya
tentang ekonomi syari’ah.
Keempat, Kendala berikutnya yang dirasakan oleh PA dalam
menghadapi perkara ekonomi syari’ah adalah adanya kebijakan mutasi
hakim yang berkualifikasi ekonomi syari’ah ke Pengadilan Agama lain
yang tidak segera mendapatkan gantinya, sehingga akan menjadi
kendala pada putusan berikutnya.31
31
Op.cit
19
C. Penutup
20
DAFTAR PUSTAKA
Sumantoro, Kegiatan Perusahaan Nasional, Problema Politik, Hukum, dan Ekonomi dalam
Pembangunan Nasional, (Jakarta: PT Gramedia)
Darwin, “Studi Efektifitas PERMA no. 2 tahun 2008 tentang KHES Sebagai Pedoman Dalam
Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah Di Pengadilan Agama,” dalam Jurnal Tamwil,
Volume I, No, 2, Juli – Desember 2015
Abbas Arfan, 99 Kaidah-Kiadah Fiqh Muamalah Kulliyah dan Tipologi Penerapannya Dalam
Ekonomi Islam & Perbankan Syariah
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa - Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasional, (Edisi II; Jakarta: Sinar Grafika, 2012)
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama
Adrian Sutedi, Perbankan Syariah Tinjauan Dari Beberapa segi hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2009)
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana.2006)
Abdul Ghofur Anshori, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Analisis Konsep dan UU
Nomor. 21 Tahun 2008)
Siti Nurhayati, “Penguatan Peran Hakim Pengadilan Agama Dalam penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah Pasca Putusan MK No, 93.PUU-X/2012”, Jurnal Pemikiran Dan
Penelitian Sosial Keagamaan, Yudisial, Vol. 7, Nomor 2 Desember 2016,
Wahyu Widiana dan Kamaluddin, Ekonomi Syari’ah dalam Perspektif UU No. 3 tahun 2006
tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
http://www.pta- semarang.go.id/artikelperadilan/63-
ekonomisyariahdalamperspektifuuno3tahun2006.html
Hermansyah, 10 Tahun Perkara Ekonomi Syariah Bertambah Lebih dari 10 Kali Lipat, 14
Nopember 2016, Jakarta, Badilag.net.
Mardani, Penyelesian Sengketa Bisnis Syari’ah, dalam Mimbar Hukum, Volume 22, Nomor 2,
Juni 2010,
21
22
23