Anda di halaman 1dari 16

SENGKETA EKONOMI SYARAIAH dan PENYELESAIANNYA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


“Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah’”

Disusun oleh:
Rakhma Ikafitria Dewi (102180070)
Wahyu Nur Hidayah (102180076)
Eko Tri Cahyono (102180086)

Kelompok/Kelas : 1/HES C

Dosen Pengampu:
Dr. Khusniatain Rofiah, M.S.I

FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
2020

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pemerintah telah mendukung perkembangan ekonomi syariah, hal tersebut
perlu diapresiasi. Adapun regulasi pengakuan terhadap prinsip ekonomi syariah
diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-
Undang Nomor 40 tahun 2007 yang mengamandemen Undang-Undang Nomor 1
tahun 1995 tentang PT. Pelembagaan Prinsip Syariah dalam aplikasi perbankan di
Indonesia pasca diundangkannya Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998, hal
tersebut merupakan satu bentuk konkretisasi proses transformasi subsistem hukum
muamalah Islam menjadi sistem hukum positif perbankan nasional sebagai
seperangkat aturan yang secara eksklusif mengatur sistem operasional kegiatan
usaha perbankan. Dari segi otoritas hukum Islam dalam operasional konsep dan
sistem ekonomi syariah akan semakin kuat, sebagaimana dikeluarkannya putusan
Mahkamah konstitusi Republik Indonesia Nomor : 93/PUU-X/2012 tanggal 29
Agustus 2013 hak nasabah dan unit usaha syariah untuk mendapat kepastian
hukum akan terpenuhi sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang
dasar 1945 dan juga memberikan wewenang absolut Pengadilan Agama untuk
mengadili sengketa ekonomi syariah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian sengketa ekonomi syariah?
2. Apa saja sebab-sebab terjadinya sengketa ekonomi syariah?
3. Apa landasan hukum dan Prinsip penyelesaian sengketa ekonomi syariah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian sengketa ekonomi syariah
2. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya sengketa ekonomi syariah
3. Untuk mengetahui landasan hukum dan prinsip penyelesaian sengketa
ekonomi syariah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sengketa Ekonomi Syariah


Sengketa adalah pertentangan, perselisihan, atau percekcokan yang terjadi antara
pihak yang satu dengan pihak lainnya yang berkaitan dengan hak yang bernilai, baik
berupa uang atau benda.1
Suyudd Margono mengatakan bahwa proses sengketa terjadi karena tidak adanya titik
temu antara pihak-pihak yang bersengketa. Secara potensial, dua pihak yang mempunyai
pendirian/pendapat yang berbeda dapat beranjak ke situasi sengketa. Secara umum orang
akan mengutarakan pendapat yang mengakibatkan kontlik terbuka. Hal ini disebabkan
oleh kemungkinan timbulnya konsekuensi yang tidak menyenangkan, di mana seseorang
(pribadi atau sebagai wakil kelompoknya) harus menghadapi situasi rumit yang
mengundang ketidaktentuan sehingga dapat memengaruhi kedudukannya.Dari konflik
hingga berlanjut kepada persengketaan hukum mempakan rangkaian yang terjadi pada
umumya. Salah satu fungsi hukum adalah untuk menyelesaikan konflik di dalam
masyarakat. 2

B. Sebab- Sebab Terjadinya Sengketa


Perselisihan atau sengketa ekonomi syariat merupakan ranah sengketa dalam kegiatan
bisnis atau perdagangan. Sengketa ekonomi syariat dapat terjadi sebelum maupun pasca
perjanjian disepakati, misalnya mengenai objek perjanjian, harga barang, dan isi
perjanjian (akad). Timbulnya bentuk-bentuk sengketa ekonomi syariat atau kontlik pada
pada umumnya disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya:

1
Amran Suadi., Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan dan Kaidah Hukum (Jakarta:
Prenadamedia Group)., 30
2
Ibid., 30-31

3
a. Konflik Data (Data Conflicts)
Konflik data terjadi karena kekurangan informasi (lack of information), kesalahan
informasi (misinformation), adanya perbedaan pandangan, adanya perbedaan interpretasi
terhadap data, dan adanya pcrbcdaan penafsiran tcrhadap prosedural. Data mcrupakan
suatu hal yang sangat penting dalam suatu persetujlian, oleh karena itu keakuratan data
diperlukan agar tercapainya kesepakatan yang baik.

b. Konflik Kepentingan (Interest conflicts) Dalam mclakukan setiap kegiatan para pihak
mcmiliki kepentingan, tanpa adanya kcpcntingan para pihak tidak akan mengadakan
kcrja
1. Adanya perasaan atau tindakan yang bersaing
2. Adanya kepentingan atau substansi lain
3. Adanya kepentinga procedural
4. Adanya kepentingan psikologi

c. Konfllk Hubungan (Relationship Conflict)


Konflik hubungan dapat terjadi disebabkan oleh adanya emosional yang kuat
(strong emotions), adanya kesalahan persepsi, miskin komunikasi (poor communication),
atau kesalahan komunikasi (miscommunication), dan tingkah laku negatif yang berulang-
ulang (repetitive negative behavior). Para pihak yang mengadakan kerja sama hams dapat
mengontrol emosi melalui suatu aturan main yang disepakati, klarifikasi perbedaan
persepsi dan bangun persepsi yang positif, kemudian perbaiki kualitas dan kuantitas
komunikasi dan hilangkan tingkah laku negatif yang dilakukan secara berulang-ulang.

d. Konflik Struktur (Structural Conflict).


Konflik struktur akan terjadi disebabkan oleh adanya pola memsak perilaku atau
interaksi, kontrol yang tidak sama, kopemilikan atau distribusi sumber daya yang tidak
sama, adanya kekuasaan dan kekuatan, geografl, sikologi yang tidak sama, atau faktor-
faktor lingkungan yang menghalangi kerja sama, serta waktu yang scdikit.

4
C. Sistem atau Bentuk Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah

1. Perdamaian (Sulhu)

Langkah pertama yang perlu diupayakan ketika hendak menyelesaikan


perselisihan, ialah melalui cara damai. Untuk mencapai hakekat perdamaian, prinsip
utama yang perlu dikedepankan adalah kesadaran para pihak untuk kembali kepada
Allah (Al-Qur’an) dan RosulNya (Al-Sunnah) dalam menyelesaikan segala persoalan.
Upaya damai tersebut biasanya ditempuh melalui musyawarah (syuura) untuk
mencapai mufakat di antara para pihak yang berselisih. Dengan musyawarah yang
mengedepankan prinsip-prinsip syari’at, diharapkan apa yang menjadi persoalan para
pihak dapat diselesaikan.

2. Arbitrase Syari’ah (Tahkim)

Untuk menyelesaikan perkara/ perselisihan secara damai dalam hal keperdataan,


selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para pihak, juga dapat dicapai
melalui keterlibatan pihak ketiga sebagai wasit (mediator). Upaya ini biasanya akan
ditempuh apabila para pihak yang berperkara itu sendiri ternyata tidak mampu
mencapai kesepakatan damai.
Institusi formal yang khusus dibentuk untuk menangani perselisihan/ sengketa
disebut arbitrase, yaitu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.

A. Lembaga Peradilan Syari’ah (Qadha)

Dengan disahkannya UU No. 3 Th. 2006 tentang perubahan UU No. 7 Th. 1989
tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga
Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan
wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain di bidang perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah (pasal49). Dengan adanya
kewenangan ini maka perkara yang timbul terkait dengan penyelesaian sengketa
syari’ah selain dapat diselesaikan melalui cara damai (sulhu) dan arbitrase syari’ah
(tahkim), juga dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan (qadha).

5
Contoh Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
Contoh sengketa Bank Syari’ah misalnya adalah antara Pertamina dengan bank
syari’ah. Pertamina mengajukan pembiayaan dalam akad murabahah (jual beli)
kepada dua bank syari’ah untuk membiayai pengadaan 100 unit kendaraan. Kedua
bank Syari’ah tersebut sepakat menyalurkan pembiayaan untuk 50 unit kendaraan.
Suatu kali, pertamina terlambat membayar, namun secara sepihak salah satu bank
syari’ah tiba-tiba menaikkan harga jual barang, sedangkan menurut fatwa DSN No.4/
DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang Murabahah, pihak bank Syari’ah tersebut tidak boleh
menaikkan harga barang selama masa pembiayaan sesuai kesepakatan. Sengketa ini
tidak kunjung selesai karena pihak bank Syari’ah tidak bersedia membawa kasus ini
ke Basyarnas, sedangkan sengketa bank Syari’ah baru bisa dibawa ke Basyarnas kalau
kedua belah pihak menyetujui. Pihak bank Syari’ah memilih untuk diselesaikan
melalui peradilan umum karena bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp
250.000.000,00. Sementara, kuasa hukum Pertamina melaporkan kasus ini ke BI,
bank Syari’ah yang bersangkutan, DSN-MUI dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS),
namun hasilnya tetap nihil, yang tepat dalam kasus ini adalah harus diselesaikan
melalui lembaga peradilan agama.3

D. Landasan Hukum dan Prinsip Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah


Pada prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan
kehakiman (judicial Power) yang secara konstitusional lazim disebut badan yudikatif
(Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian, maka yang berwenang memeriksa dan
mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan
kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung. Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970
secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan
peradilan hanya badan-badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang.
Di luar itu tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official serta
bertentangan dengan prinsip under the authority of law. Namun berdasarkan Pasal
1851,1855,1858 KUHP, Penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 serta UU No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terbuka
kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga
selain pengadilan (non litigasi), seperti arbitrase atau perdamaian (islah).
3
https://syariah99.blogspot.com/2014/06/penyelesaian-sengketa-dalam-ekonomi.html
6
Secara garis besar, terdapat dua sistem dalam menyelesaikan sengketa ekonomi
syariah, pertama secara litigasi, yaitu penyelesaian sengketa yang diselesaikan di
lembaga pengadilan dengan berbagai hukum acaranya, kedua secara nonlitigasi yaitu
penyelesaian sengketa yang diselesaikan  diluar lembaga pengadilan.4
1. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Non Litigasi
Di Indonesia, penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi diatur dalam satu
pasal, yakni Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
a. Arbitrase
Dalam perspektif Islam arbitrase dapat disepadankan dengan istilah
tahkim.Tahkim berasal dari kata hakkama, secara etimologis berarti menjadikan
seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Pengertian tersebut erat kaitannya
dengan pengertian menurut terminologisnya. Lembaga ini telah dikenal sejak
zaman pra Islam. Pada masa itu, meskipun belum terdapat sistem peradilan yang
terorganisir, setiap ada perselisihan mengenai hak milik, waris dan hak-hak lainnya
seringkali diselesaikan melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk oleh
masing-masing pihak yang berselisih.
Gagasan berdirinya lembaga arbitrase Islam di Indonesia, diawali dengan
bertemunya para pakar, cendekiawan muslim, praktisi hukum, para kyai dan ulama
untuk bertukar pikiran tentang perlunya lembaga arbitrase Islam di Indonesia.
Pertemuan ini dimotori Dewan Pimpinan MUI pada tanggal 22 April 1992. Setelah
mengadakan beberapa kali rapat dan setelah diadakan beberapa kali
penyempurnaan terhadap rancangan struktur organisasi dan prosedur beracara
akhirnya pada tanggal 23 Oktober 1993 telah diresmikan Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI), sekarang telah berganti nama menjadi Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang diputuskan dalam Rakernas
MUI tahun 2002. Perubahan bentuk dan pengurus BAMUI dituangkan dalam SK
MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 sebagai lembaga
arbiter yang menangani penyelesaian perselisihan sengketa di bidang ekonomi
syariah.
b. Alternatif Penyelesaian Sengketa

4
https://pa-sampit.go.id/prinsif-penyelesaian-sengketa-dalam-hukum-ekonomi-syariah/

7
Di dalam terminologi Islam dikenal dengan ash-shulhu, yang berarti
memutus pertengkaran atau perselisihan. Dalam pengertian syari’at ash-shulhu
adalah suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa)
antara 2 (dua) orang yang bersengketa. Alternatif penyelesaian sengketa hanya
diatur dalam satu pasal, yakni Pasal 6 Undang - Undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa yang menjelaskan tentang
mekanisme penyelesaian sengketa. Sengketa atau beda pendapat dalam bidang
perdata Islam dapat diselesaikan oleh para pihak melaui Alternative Penyelesaian
Sengketa yang didasarkan pada iktikad baik dengan mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi. Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan,
maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat
diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui
seorang mediator.
Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lambat 14 (empat belas)
hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang
mediator tidak berhasil juga mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil
mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi
lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
Setelah penunjukan mediator oleh lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa,
dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator tersebut
dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh
kedua belah pihak yang terkait.
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis
adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta
wajib didaftarkan di Pengadilan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak penandatanganan. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
tersebut wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak penandatanganan. Tidak seperti arbiter atau hakim, seorang mediator tidak
membuat keputusan mengenai sengketa yang terjadi tetapi hanya membantu para
pihak untuk mencapai tujuan mereka dan menemukan pemecahan masalah dengan
hasil win-win solution. Tidak ada pihak yang kalah atau yang menang, semua
sengketa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, sehingga hasil keputusan

8
mediasi tentunya merupakan konsensus kedua belah pihak. Pemerintah telah
mengakomodasi kebutuhan terhadap mediasi dengan mengeluarkan Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.5

Secara umum, terdapat tiga cara dalam menyelesaikan sengketa ekonomi


syariah melalui cara nonlitigasi, yaitu :

Pertama, penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui alternatif


penyelesaian sengketa (APS) atau dikenal juga dengan alternative dispute
resolution (ADR) cara ini semakin banyak diminati karena banyak memiliki
keunggulan.

Kedua, penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui lembaga arbitrase.


Dalam konsepsi Islam disebut dengan tahkim secara terminologi dapat berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu kebijaksanaan atau damai oleh arbiter
atau wasit. Oleh pemerintah Indonesia secara umum telah dikukuhkan dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Dengan demikian sejak berlakunya Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tersebut model penyelesaian sengketa di luar pengadilan
telah dilembagakan dalam sistem hukum Indonesia.

Ketiga, penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui lembaga konsumen.


Berbeda dengan alternatif penyelesaian sengketa  (APS) dan arbitrase. Dalam hal
ini, penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui lembaga konsumen diatur secara
khusus dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen.6

2. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Jalur Litigasi

5
https://www.researchgate.net/publication/314482176_PENYELESAIAN_SENGKETA_EKONOMI_SY
ARIAH_DI_INDONESIA

6
https://pa-sampit.go.id/prinsif-penyelesaian-sengketa-dalam-hukum-ekonomi-syariah/

9
Mengenai badan peradilan mana yang berwenang menyelesaikan perselisihan
jika terjadi sengketa perbankan syariah memang sempat menjadi perdebatan di
berbagai kalangan. Apakah menjadi kewenangan Pengadilan Umum atau Pengadilan
Agama karena memang belum ada undang-undang yang secara tegas mengatur hal
tersebut, sehingga masing-masing mencari landasan hukum yang tepat. Dengan
diamandemennya Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka perdebatan mengenai siapa
yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah sudah terjawab.
Amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 memberikan wewenang
kekuasaan Peradilan Agama bertambah luas, yang semula sebagaimana diatur dalam
Pasal 49 Undang Undang Nomor 7 tahun 1989 hanya bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang: a) perkawinan, b) kewarisan, wasiat dan hibah
yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan c) wakaf dan shadaqah.
Dengan adanya amandemen Undang-Undang tersebut, maka ruang lingkup
tugas dan wewenang Peradilan Agama diperluas. Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) UU
No. 3 Tahun 2006 Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili
dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam dalam bidang ekonomi syariah yang meliputi: a) bank syariah, b) lembaga
keuangan mikro syariah, c) asuransi syariah, d) reasuransi syariah, e) reksa dana
syariah, f) obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g)
sekuritas syariah, h) pembiayaan syariah, i) pegadaian syariah, j) dana pensiun
lembaga keuangan syariah, dan k) bisnis syariah.
Dalam penjelasan Pasal tersebut antara lain dinyatakan:
“Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah
termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri
dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan
Pengadilan Agama sesuai ketentuan pasal ini.”
Dari penjelasan Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan
dan lembaga pembiayaan syariah, atau bank konvensional yang membuka unit usaha
syariah dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam
pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan. Adapun sengketa di
bidang ekonomi syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah:

10
a. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga
pembiayaan syariah dengan nasabahnya;
b. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesama lembaga keuangan dan lembaga
pembiayaan syariah;
c. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang
mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang
dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Selain dalam hal kewenangan sebagaimana diuraikan di atas, Pasal 49 UU No.
3 Tahun 2006 juga mengatur tentang kompetensi absolute (kewenangan mutlak)
Pengadilan Agama. Oleh karena itu, pihak-pihak yang melakukan perjanjian
berdasarkan prinsip syariah (ekonomi syariah) tidak dapat melakukan pilihan hukum
untuk diadili di Pengadilan yang lain. Apalagi, sebagaimana tercantum dalam
Penjelasan Umum UU No. 3 Tahun 2006 alenia ke-2, pilihan hukum telah dinyatakan
dihapus.
Politik hukum Mahkamah Agung sebagai lembaga yang mempunyai
kewenangan penyelesaian sengketa antar lembaga peradilan seharusnya mengambil
langkah-langkah konkrit terkait aturan pelaksanaan dari ketentuan Undang-Undang,
bahkan dalam perjalannya ada Surat Edaran Mahkamah yang keberadaannya saling
tumpang tindih dan mekanisme penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat
diselesaikan oleh tiga lembaga yaitu Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri dan
BASYARNAS jelas melemahkan eksistensi ketentuan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU
No.21 Tahun 2008 sehingga harus ada kejelasan tentang mekanisme penyelesaian
sengketa syariah, yaitu harus mengembalikan pada Pengadilan Agama sebagai
lembaga yang mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Sebagai konsekuensi kewenangan dan kekuasaan Pengadilan Agama sesuai
dengan pasal 49 khususnya dalam memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang
ekonomi syariah sehingga diperlukan kesiapan dalam tiga aspek :
a. Aspek hukum materiil
Bahwa belum semua bidang Pengadilan Agama sebagaimana ditentukan
dalam pasal 49 memiliki hukum materiil yang berbentuk peraturan perundang-
undangan. Yang sudah mendapat pengaturan yang jelas dan lengkap hanya perbankan
syariah yang mendasarkan pada Undang-undang Perbankan dan Undang-undang
Bank Indonesia, serta berbagai peraturan Bank Indonesia Lembaga Keuangan Mikro

11
Syariah, Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, Reksa Dana Syariah dan lainnya
sebagaimana dalam penjelasan pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 belum
memiliki payung hukum berupa peraturan perundang-undangan tersendiri.

b. Aspek hukum Sumber daya manusia


Hakim Pengadilan Agama yang akan menangani perkara niaga syariah sebagai
kewenangan baru di lingkungan Peradilan Agama perlu meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan. Hakim yang bertugas di Pengadilan Agama seyogyanya mampu
mempraktikkan ketentuan pasal 16 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, yaitu bahwa
hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.
c. Aspek sarana dan prasarana
Salah satu sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mendukung
peningkatan kinerja pengadilan Agama dalam menangani perkara dan sengketa
ekonomi syariah adalah tersediannya perpustakaan di lingkungan peradilan.7

Dalam ranah lembaga keuangan syariah seperti perbankan syariah


sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan
syariah bahwa sengketa lembaga keuangan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama juga yang dilihat adalah penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai isi akad dan tidak bertentangan dengan prinsif syariah. Hal ini jelas
merupakan prinsip fundamental dalam menangani dan menyelesaikan perkara
ekonomi syariah di Pengadilan Agama. Hal itu juga ditegaskan dalam peraturan
Mahkamah Agung No 14 Tahun 2016 pasal 1 ayat (3).

Prosedur pemeriksaan perkara ekonomi  syariah di persidangan agama mesti


sesuai hukum acara perdata. Dalam acara biasa apabila upaya penyelesaian melalui
perdamaian tidak berhasil, di mana kedua belah pihak tidak menemui kata sepakat 
untuk menyelesaikan perkaranya secara damai , maka sesuai dengan ketentuan pasal
115 Rbg atau Pasal 131 HIR ayat (1) dan (2) jo pasal 18 ayat (2) peraturan Mahkamah
Agung hakim harus melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut sesuai dengan
ketentuan hukum acara yang berlaku. Ketentuan penyelesaian sengketa ekonomi

7
https://www.researchgate.net/publication/314482176_PENYELESAIAN_SENGKETA_EKONOMI_S
YARIAH_DI_INDONESIA

12
syariah juga tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 tahun 2016
tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah.

BAB III
PENUTUP

13
A. Kesimpulan
1. Pengadilan Agama secara umum telah siap dalam Menyelesaikan Sengketa di
Bidang Ekonomi syariah sesuai Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Namun,
sampai saat ini belum ada perkara ekonomi syariah yang masuk untuk
didaftarkan, perlu adanya dukungan dari pemerintah, kalangan perbankan dan
perguruan tinggi untuk mendorong penyelesaian sengketa ekonomi syariah
melalui Pengadilan Agama.
2. Upaya-upaya yang bisa dilakukan diperlukan dalam rangka optimalisasi
pelaksanaan kewenangan menyelesaikan sengketa syariah menyangkut pada
kesiapan dalam tiga aspek yaitu; pertama, materi hukum yaitu peraturan
pendukung dan aturan pelaksanaan dari UU. No. 3 Tahun 2006 harus segera
diwujudkan termasuk penegasan hanya pengadilan agama yang bisa
mengeksekusi putusan BASYARNAS; kedua, aspek sumber daya manusia
penyiapan tenaga-tenaga hakim yang profesional dalam menangani sengketa
ekonomi syariah dengan jalan menjaring lulusan sarjana ekonomi syariah atau
memang orang -orang yang ahli dalam bidang ekonomi syariah untuk menjadi
hakim dan; ketiga, aspek sarana dan prasarana dari Pengadilan Agama sendiri
harus dipenuhi untuk menangani perkara-perkara dalam bidang ekonomi syariah.
3. Respon dari masyarakat pada umunya ragu dengan kesiapan Pengadilan Agama
mampu mengemban amanat dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah,
Kewenangan Pengadilan Agama dalam Menyelesaikan Sengketa di BidangM
Ekonomi syariah dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu materi hukum berupa
peraturan perundang-undang tentang kewenangan penyelesaian sengketa syariah
banyak berbenturan dengan undang-undang yang lain, politik hukum dari
Mahkamah MAgung yang masih belum memberikan dukungan terhadap
kewenangan tersebut dan budaya hukum dari masyarakat utamanya kalangan
pelaku bisnis syariah yang masih memandang sebelah mata terhadap pengadilan
agama.

B. Penutup

14
Demikan makalah ini kami buat semoga dapat menambah pengetahuan para
pembaca. kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam menulis ejaan, kalimat
yang kurang jelas. Dan kami juga mengharap saran dan kritik dari para pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

15
DAFTAR PUSTAKA

Suadi., Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan dan Kaidah Hukum (Jakarta:
Prenadamedia Group)
https://syariah99.blogspot.com/2014/06/penyelesaian-sengketa-dalam-ekonomi.html
https://pa-sampit.go.id/prinsif-penyelesaian-sengketa-dalam-hukum-ekonomi-syariah/
https://www.researchgate.net/publication/314482176_PENYELESAIAN_SENGKETA_
EKONOMI_SYARIAH_DI_INDONESIA

16

Anda mungkin juga menyukai