Anda di halaman 1dari 19

Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum

Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa


Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

KOMPETENSI NOTARIS DALAM MENJALANKAN PERAN, TUGAS


DAN KEWENANGAN PADA PERBANKAN SYARIAH
(STUDI PADA BANK PERMATA SYARIAH)
Rina Taurina1, Endang Purwaningsih2, Irwan Santosa3
1,2,3
Program Magister Kenotariatan Universitas YARSI
Email: r.taurina83@gmail.com

ABSTRAK
Perkembangan industri Perbankan Syariah semakin tumbuh ditengah meningkatnya kesadaran
masyarakat akan perlunya perbankan yang sesuai dengan syariat Islam. Hal ini menjadi peluang
sekaligus tantangan bagi Notaris sebagai pejabat pembuat akta auntentik dalam perannya di
perbankan syariah. Penelitian ini menganalisis penerapan prinsip syariah sebagai pedoman Notaris
dalam membuat konstruksi akta akad perbankan syariah agar sesuai dengan amanat Undang-Undang
Perbankan Syariah serta Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Selanjutnya poin utama adalah kompetensi Notaris dalam menjalankan peran, tugas dan
kewenangannya pada perbankan syariah. Metode penelitian yang digunakan adalah normatif empiris
melalui wawancara dengan pihak perbankan syariah, Ikatan Notaris Indonesia (INI) dan DSN-MUI.
Disimpulkan bahwa Notaris memiliki peran strategis dalam penerapan prinsip syariah agar akta sesuai
dengan hukum normatif dan menjamin kepastian hukum serta nilai keadilan bagi masyarakat.
Kompetensi dalam memahami aspek filosofis dan praktis mutlak diperlukan dan Notaris wajib
meningkatkan wawasan dan kompetensinya terkait akad syariah. Kekosongan hukum dalam hal
kewenangan Notaris pada pembuatan akta syariah khususnya perbankan, menjadi kendala dalam
pelaksanaan peran Notaris. Undang-Undang Jabatan Notaris maupun Perbankan Syariah, tidak
memuat klausul mengenai kewenangan Notaris. Pemerintah sebagai regulator bertanggungjawab
untuk mencipkatan produk hukum guna menjamin kepastian hukum dan keadilan.
Kata kunci: Notaris, Kompetensi, Perbankan Syariah

ABSTRACT
The growth of the Islamic banking industry is growing amid increasing public awareness of banking
which is in accordance with Islamic law. This is an opportunity as well a challenge for a Notary as an
official who makes an authentic deed in his role in Islamic bank. This study analyzes the
implementation of sharia principles as a guide for Notaries in making the construction of sharia
banking contract to comply with the mandate of Sharia Banking Law and Fatwa of National Sharia
Council. Furthermore, the main point is the competence of Notaries in in carrying out their roles,
duties and authorities in Islamic Banking. The research method used is empirical normative through
interviews with Islamic banking and the Indonesian Notary Association and National Sharia Council.
It is concluded that Notary has a strategic role in the application of sharia principles so that the deed
is in accordance with normative law and guarantees legal certainty and the value of justice.
Competence in understanding philosophical and practical aspect is absolutely needed and Notaries
are required to improve their insight and competence related sharia contracts. The legal vacuum in
terms of their authority in making sharia deeds, especially banking becomes an obstacle in the
implementation of the Notary’s role. UUJN and Sharia Banking Law, do not contain a clause
regarding the authority of Notary. The government as regulator is responsible for creating legal
products to ensure legal certainty and justice.
Keywords: Notary, Competence, Islamic Banking

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 148


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perkembangan sektor perbankan syariah di Indonesia semakin pesat, salah satunya
ditandai dengan berdirinya Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai hasil penggabungan
(merger) tiga bank plat merah yaitu Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah dan BRI Syariah
pada tanggal 1 Februari 2021. Integrasi ini sebagai tolak ukur eksistensi perbankan syariah
sekaligus menggambarkan semakin meningkatnya kesadaran dan kebutuhan masyarakat
terhadap perbankan syariah dan ekonomi syariah secara umum. Sebagaimana diamanatkan
oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bahwa pembangunan bertujuan untuk
menciptakan masyarakat yang adil dan makmur melalui pengembangan sistem ekonomi yang
berbasis kerakyatan, merata dan berkeadilan serta memiliki daya saing di tingkat
Internasional. Berdasarkan data statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada bulan Oktober
tahun 2021, keseluruhan aset Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah sebesar Rp. 633,78 triliun
(enam ratus tiga puluh tiga koma tujuh puluh delapan triliun) rupiah yakni naik sekitar 30%
(tiga puluh persen) dalam tiga tahun terakhir.
Perbedaan utama antara perbankan syariah dan konvensional adalah menyangkut pada
substansi perjanjian atau yang disebut akad sebagai aspek legalitas. Sistem perbankan syariah
berdasarkan prinsip syariah yakni adanya larangan menggunakan sistem bunga (riba),
ketidakpastian (gharar) dan spekulasi (maisir) karena secara syariah hal tersebut diharamkan.
Selain itu terdapat perbedaan model bisnis atau kegiatan usaha, serta kekhususan lembaga
penyelesaian sengketa yaitu melalui pengadilan agama.
Pada praktiknya ditemukan ketidaksesuaian antara aturan dengan pelaksanaannya
yang sering terjadi pada bank syariah terkait penerapan prinsip syariah sebagaimana diatur
dalam UU Perbankan Syariah yakni mengenai larangan praktik riba, gharar, maisir, zalim
dan haram. Misalnya pengenaan denda akibat keterlambatan pembayaran yang dilarang
dalam Islam karena merupakan salah satu bentuk riba, atau perhitungan margin pada akad
murabahah yang tidak didasari harga pokok barang melainkan dari besarnya plafon
pembiayaan yang disetujui bank.
Keberadaan Undang-Undang Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008 tentang
sebagai hukum positif, sekaligus memperkuat eksistensi perbankan syariah dalam
menjalankan bisnisnya. Pasal 2 UU Perbankan Syariah menyebutkan “Perbankan Syariah

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 149


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

dalam melakukan kegiatan usahanya, berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan
prinsip kehati-hatian”.
Notaris adalah bagian profesi yang mendukung kegiatan usaha bank syariah terkait
pembuatan akta. Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun 2004
yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, Pasal 1 ayat (1)
menjelaskan “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik
dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau
berdasarkan undangundang lainnya”.
Suatu jenis akta akad syariah untuk memenuhi syarat sebagai akta yang sah harus
mengacu pada peraturan-peraturan tertentu. Notaris dalam merencanakan jenis akta akad
syariah harus fokus pada pengaturan UUJN. Sampai saat ini belum ada rumusan khusus
mengenai jenis akta perjanjian dan ketentuannya sehingga pada dasarnya perjanjian antara
bank dengan nasabah sebenarnya berpedoman pada hukum positif yang berlaku saat ini.
Permasalahan muncul ketika Notaris harus membuat akta perbankan syariah namun
belum memiliki aturan yang jelas mengenai formalitas dan isi klausul dari akad itu sendiri.
Sebagaimana kita ketahui akta yang secara formil maupun materil memiliki cacat, berdampak
terhadap keabsahan akta tersebut. Selain itu pada UU Perbankan syariah juga tidak ada pasal
yang membahas mengenai Notaris sebagai pihak yang berafiliasi dengan perbankan syariah.
Notaris dalam mengemban perannya membutuhkan keahlian serta kompetensi terkait
akad pada perbankan syariah agar akad yang dibuatnya sesuai dengan prinsip syariah dan
peraturan perundangan, sehingga memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi
masyarakat. Bertolak dari latar belakang dan isu hukum tersebut, penelitian ini disusun
dengan judul “KOMPETENSI NOTARIS DALAM MENJALANKAN PERAN,
TUGAS DAN KEWENANGANNYA PADA PERBANKAN SYARIAH (Studi pada
Bank Permata Syariah).”

METODE PENELITIAN
Penulis menggunakan penelitian normatif empiris yakni tentang kompetensi Notaris
dalam menerapkan prinsip syariah pada akta akad perbankan syariah agar sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Melalui pendekatan perundangan (statute approach),

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 150


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

pendekatan sosiologis, dan pendekatan kasus (case approach) guna mengkaji implementasi
dari kaidah dan norma hukum dalam praktiknya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penerapan Syariah Pada Akta Akad Perbankan Syariah
Sebagai pejabat pembuat akta dalam perbankan syariah, Notaris memiliki tanggung
jawab penuh tentang kebenaran konstruksi akad maupun subtansinya. Kewajiban Notaris
untuk memahami dan mengimplementasikan prinsip syariah yang diamanatkan oleh UU
Perbankan Syariah serta fatwa DSN/MUI kedalam akta yang dibuatnya. Meskipun secara
prinsip isi akta merupakan perwujudan keinginan para pihak namun Notaris berperan penting
sebagai legal advice sehubungan dengan pembuatan akta.
Akad pada perbankan syariah lebih beragam dibanding perbankan konvensional, dan
masing-masing akad memiliki konsekuensi hukum secara syariah. Berikut beberapa analisa
praktik perbankan syariah terkait pemenuhan prinsip syariah:
1. Akad Murabahah
Secara bahasa murabahah artinya ar-ribh yang artinya keuntungan dalam
perniagaan. Jadi akad murabahah adalah akad jual beli dimana pembeli dan penjual
menyepakati harga jual suatu barang serta keuntungannya. Ketentuan mengenai akad
murabahah diatur pada Fatwa DSN-MUI Nomor 4/DSN-MUI/IV/2000. Bank berperan
sebagai penjual dan pembeli adalah nasabah. “Pada awal berdirinya bank syariah konsep
akad yang ditawarkan beberapa ekonom muslim adalah murabahah lil aamir bisysyiraa
yang artinya akad jual beli murabahah yang disertai janji untuk jual beli bilamana
barang yang dipesan telah dimiliki bank”.
Dari sudut pandang ekonomi Islam, ada rukun dan syarat dalam jual beli murabahah
yaitu pihak yang berakad (Al-‘aqidain), objek yang diakadkan (Mahallul’aqad), tujuan
akad (Maudhu’ul aqad), akad (Sighat al-aqad)
Dalam praktiknya terdapat beberapa pelanggaran pada akad murabahah antara lain:
a. Pelanggaran syarat kepemilikan barang (milkiyah). Dalam jual beli, kepemilikan
merupakan syarat yang mutlak. Rasulullah bersabda pada sebuah hadist “janganlah
menjual barang yang belum dimiliki olehnya”. Pada praktik perbankan, dikenal
dengan akad murabahah bil wakalah dimana atas kuasa bank, nasabah membeli

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 151


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

barang kepada pemasok. Artinya akad wakalah terjadi sebelum akad murabahah.
Namun pada kenyataannya bank menyelesaikan akad murabahah terlebih dahulu
setelah itu baru memberikan sejumlah uang kepada nasabah untuk membeli barang
yang diinginkan nasabah. Artinya saat bank menjual kepada nasabah, bank pada
prinsipnya belum sebagai pemilik.
b. Pelanggaran syarat jumlah modal (ra’sulmal ma’lum). Ketika nasabah mengajukan
pembiayaan, bank menawarkan besaran plafon atau pagu berikut margin. Perhitungan
margin bukan dari harga barang yang sesungguhnya atau modal yang dikeluarkan
bank (ra’sul maal) tetapi dari plafon yang disetujui bank.
c. Penempatan akad yang tidak tepat
Misalnya pada pembiayaan renovasi rumah, bank syariah menempatkan akad
murabahah, padahal seharusnya akad istisna’ paralel, dimana harga ditentukan di
awal dan tanpa persyaratan jumlah modal (ra’sulmal ma’lum) serta keuntungan (ar-
ribh ma’lum), selanjutnya serah terima rumah dilakukan setelah renovasi selesai.
d. Ada unsur maisir dalam menentukan margin. Secara harfiah maisir artinya spekulasi,
dalam hal ini bank memperhitungkan faktor inflasi dalam perhitungan margin. Hal ini
sangat bertentangan dengan syariah karena tingkat inflasi yang akan datang adalah
sesuatu yang sifatnya tidak pasti atau mengandung spekulasi (maisir).
e. Pengenaan denda atas keterlambatan pembayaran, ini termasuk riba jahiliyah. Bank
mengakali istilah denda dengan menggunakan istilah “biaya adminitrasi” yang
dihitung secara otomatis sejak saat kewajiban pembayaran telah melewati tanggal
jatuh tempo hingga dilaksanakannya pembayaran. Berdasarkan defenisi OJK biaya
adiministrasi adalah sejumlah biaya yang dibayarkan secara berkala kepada
pemegang rekening suatu bank seperti biaya rekening koran atau biaya iuran tahunan
kartu kredit. Jadi biaya akibat keterlambatan bukan termasuk kategori biaya
admistrasi, melainkan denda. Walaupun Fatwa Nomor 17/DSN-MUI/IX/2000
membolehkan sanksi atas nasabah yang mampu membayar namun menunda
pembayaran dengan disengaja. Tujuan pengenaan denda demi kedisiplinan nasabah
dalam memenuhi kewajibannya, dan denda tersebut dipergunakan sebagai dana sosial
atau kebajikan. Namun dalam praktiknya pengenaaan denda berlaku secara umum
dan otomatis tanpa memperhatikan alasan penundaan pembayaran. Menurut Erwandi

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 152


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

Tarmizi “denda keterlambatan pembayaran dalam jual beli murabahah dengan cara
cicilan (kredit) hukumnya haram. Hal ini juga ditegaskan oleh keputusan muktamar
Majma’ Al Fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) nomor 51 (2/6) tahun 1990 yaitu apabila
pembeli (secara kredit) terlambat membayar angsuran pada tempo yang telah
ditentukan maka tidak boleh memberikan sanksi berupa penambahan utang; baik hal
ini disyaratkan sebelumnya pada akad maupun tidak karena ini merupakan riba yang
diharamkan.”
2. Akad Mudharabah
Mudharabah Suatu akad kesepakatan antara dua pihak atau lebih, dimana pemodal
(shahibul maal) menginvestasikan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib). Jika untung
dibagi sesuai kesepakatan namun bila rugi, menjadi tanggungan pemodal sepanjang tidak
disebabkan karena kelalaian pengelola. Bilamana karena kelalaian pengelola timbul kerugian,
maka ia bertanggungjawab sepenuhnya atas kerugian tersebut. Konsep mudharabah
termaktub dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Mudharabah.
Aplikasi akad mudharabah pada perbankan syariah yaitu pada produk simpanan dan
pembiayaan. Pada simpanan baik dalam bentuk tabungan atau deposito, bank berperan selaku
pengelola modal sedangkan pada akad pembiayaan bank adalah pemilik modal. Pada produk
tabungan atau deposito bank menetapkan persentase nisbah bagi hasil yang diberikan kepada
nasabah misalnya 55 : 45 dimana besarnya nisbah tergantung dari hasil pengelolaan dana
oleh bank dalam bentuk penyaluran pembiayaan. Untuk pembiayaan juga bank menetapkan
nisbah yang menjadi haknya atau usaha yang dikelola nasabah. Dalam hal pembiayaan, pada
akad mudharabah biasanya diterapkan untuk pembiayaan modal kerja.
Kritik terkait akad mudharabah pada perbankan syariah yaitu pertama, bahwa bank
dalam hal ini memiliki peran ganda yakni sebagai pemodal sekaligus pelaku usaha. Menurut
Imam An Nawawi “tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan
modal yang ia terima kepada pihak ketiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan
atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah pertama dan berubah status
menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan.
Akan tetapi, ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari
keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 153


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

batil.”. Kedua, bank tidak memilki usaha riil. Sebagian besar produk perbankan yang
ditawarkan terbatas pada pendanaan dan pembiayaan, peran perbankan hanya sebagai
penyalur sehingga sulit dibedakan antara perbankan syariah dan konvensional. Ketiga, bank
tidak berani mengambil resiko kerugian.
3. Akad Musyarakah
Musyarakah adalah akad atau kesepakatan diantara dua pihak atau lebih pada usaha
tertentu, dimana setiap pihak berkontribusi modal dengan aturan bahwa laba dan rugi
dibagi sesuai porsi kontribusi modal atau sesuai kesepakatan.
Di antara kemajuan bursa syariah dalam hal syirkah adalah Musyarakah
Mutanaqishah (MMQ). MMQ lahir akibat dua perjanjian dilaksanakan bersamaan.
Pertama, para pihak menyetorkan modal dalam suatu usaha atau proyek dengan estimasi
keuntungan tertentu. Kedua, nasabah menjalankan usaha dengan persekutuan modal
dimana keuntungan dibagi menurut kesepakatan para pihak. Selain itu, adanya
pembelian barang modal milik bank oleh nasabah dengan bertahap sehingga porsi modal
bank menjadi berkurang, ini disebut mutanaqishah.
Adapun dalam praktik perbankan terdapat pelanggaran terkait akad musyarakah antara
lain:
a. Sesuai ketentuan pada Fatwa DSN-MUI Nomor 8/DSN-MUI/IV/2000 keuntungan
ditentukan secara proposional atas dasar seluruh kuntungan bagi hasil, pada
praktiknya tidak didasarkan pada perkembangan usaha melainkan tingkat suku
bunga Bank Indonesia.
b. Return dari pembiayaan yang seharusnya dibagi dengan sistem profit/loss sharing,
namun praktiknya menggunakan sistem revenue sharing atau bagi pendapatan. Hal
ini karena bank tidak mau mengambil resiko sepenuhnya.
4. Menggunakan UU Hak Tanggungan dalam hal Jaminan
Salah satu prinsip yang dikedepankan oleh bank syariah adalah kehatihatian.
Penyaluran pembiayaan tetap dengan mengedepankan prinsip good corporate
governance atau tata kelola yang baik, transparansi dan akuntabilitas.
Bank dalam hal ini menentukan batas maksimum penyaluran dana berdasarkan
prinsip syariah, serta pemberian jaminan. Meskipun UU Perbankan Syariah mengatur
mengenai jaminan, namun dalam praktiknya penjaminan tersebut masih mempergunakan

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 154


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT), Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), serta Akta Pemberian Hak Tanggungan
(APHT) yang konvensional serta lelang umum. Menurut UUHT, pasal 1 angka 1:
“Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain”
APHT dibuat oleh PPAT guna memberikan hak tanggungan kepada kreditur tertentu
sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya dan merupakan perjanjian penyerta
(accessoir) atau tambahan dari perjanjian pokok utang. Perjanjian pada bank syariah baik
itu akad murabahah, mudharabah atau musyarakah bukanlah perjanjian utang melainkan
jual beli atau kerjasama. Peraturan mengenai klausul jaminan pada akad syariah terdapat
ketidakselarasan antara akad pokok dengan jaminannya. Meskipun pemberian
kredit/utang pada bank konvensional dengan pembiayaan pada bank syariah keduanya
merupakan penyaluran dana kepada nasabah, namun secara prinsip akadnya berbeda.
Dalam bank konvensional pengembalian dana disertai bunga dan sudah ditentukan di
awal sedangkan pada bank syariah konsep bunga adalah diharamkan, dan menggunakan
konsep bagi hasil (profit sharing) atau margin. Dasar keberadaan hak tanggungan adalah
menjamin pelunasan utang tertentu dan bukan sebagai jaminan pemenuhan kewajiban
pada akad jual beli atau kerjasama bank syariah.
5. Format Akta
UUJN pasal 38 telah mengatur mengenai akta secara formil yaitu meliputi awal
akta, badan akta dan akhir akta. Format akta sangat menentukan kekuatan
pembuktiannya. Sebagian akta bank syariah pada awal akta mencantumkan kata
Bismillahirrahmanirrahim atau kutipan ayat AlQuran pada awal akta atau pada akhir
akta. Maksud penulisan tersebut adalah sebagai pembeda dengan akta bank
konvensional. Menurut Habib Adjie, “pencantuman kalimat tersebut pada awal akta
perbankan syariah tidak selaras dengan ketentuan pasal 38 ayat (2) UUJN Perubahan dan
dapat disimpulkan bahwa akta tersebut telah cacat hukum dalam segi formalitas atau
bentuknya karena salah satu tidak terpenuhi. Kedudukan akta seperti itu terdegradasi

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 155


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

kedudukannya dari akta autentik menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
dibawah tangan sesuai dengan ketentuan pasal 1869 KUHPerdata.” Agar memenuhi
unsur formalitas sesuai pasal 38 UUJN, maka kalimat kutipan ayat Al-Quran dapat
dilakukan dengan cara memindahkan kutipan ayat tersebut pada bagian isi akta.
Pencantuman kalimat tersebut ditempatkan pada bagian awal dari isi akta yang
merupakan kehendak dan keinginan para pihak yang berkepentingan, sehingga secara
formalitas akta tersebut telah sesuai dengan kentuan pada pasal aquo Berdasarkan uraian
diatas mengenai pelanggaran dalam akad perbankan syariah, tentunya berlaku sanksi
administratif bagi bank syariah sebagai lembaga maupun elemen kepemimpinan di
dalamnya sesuai pasal 56 UU Perbankan Syariah. Dalam hal terjadinya pelanggaran
dalam prinsip syariah maupun tata kelola yang menimbulkan sengketa/perkara syariah
maka berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah diselesaikan pada ranah Pengadilan
Agama. Menurut pasal 1 angka 4 dijelaskan bahwa:
“perkara ekonomi syariah itu adalah perkara di bidang ekonomi syariah meliputi bank
syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana
syariah, obligasi syariah, surat berharga berjangka syariah, sekuritas syariah, pembiayaan
syariah, penggadaiaan syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, bisnis syariah,
termasuk wakaf, zakat, infaq, dan shadaqah yang bersifat komersial, baik yang bersifat
kontensius maupun volunteer”
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) adalah lembaga yang
dibentuk oleh MUI dan secara struktural berada dibawah MUI, untuk mewujudkan aspirasi
umat dan menerapkan ajaran Islam dibidang ekonomi agar sesuai dengan syariat. Selain itu
agar para ulama lebih efisien dalam berkoordinasi untuk menyikapi isu-isu terkait masalah
muamalah. Produk hukum yang dihasilkan oleh DSN MUI berupa fatwa yang merupakan
hasil ijtihad para ulama berdasarkan Al-Quran dan Hadist.
Salah satu tugas DSN-MUI adalah menetapkan fatwa terkait sistem, kegiatan, produk
dan jasa Lembaga Keuangan Syariah (LKS) serta melakukan pengawasan dalam penerapan
fatwa tersebut. DSN-MUI berwenang mengingatkan LKS agar tidak menyimpang dari fatwa
yang diterbitkan DSNMUI. Legitimasi dari kedudukan fatwa DSN-MUI salah satunya dalam
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/31/DPBS tentang Produk Bank Syariah dan Unit

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 156


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

Usaha Syariah, yang menyatakan permohonan persetujuan produk harus mendapatkan


rekomendasi DSN-MUI dan berpedoman pada fatwa tentang produk tersebut.
Untuk melakukan pengawasan dalam operasional maka berdasarkan pasal 32 ayat (1)
UU Perbankan Syariah “Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank
Umum Konvensional yang memiliki UUS”.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Pengurus DSN-MUI bahwa penerapan prinsip
syariah pada produk, pelayanan dan operasional perbankan syariah harus berpedoman fatwa
DSN-MUI. Selanjutnya pada bidang pengawas syariah menjadi wewenang DPS. Pengawasan
dilakukan secara menyeluruh dari pusat hingga ke cabang melalui pemeriksaan reguler
dengan metode random sampling secara menyeluruh terhadap akad perbankan syariah.
Dalam hal terdapat ketidaksesuaian maka menjadi temuan untuk ditindaklajuti ke pihak bank.
Penerapan prinsip syariah merupakan standar ketaatan terhadap regulasi perbankan syariah
dan juga parameter kesehatan bank syariah. Dua lembaga ini memegang peranan penting
dalam pengawasan LKS agar sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai Islam.
Dalam teori kepastian hukum Sudikno Mertokosumo berpendapat bahwa “kepastian
hukum adalah sebuah jaminan agar hukum dapat berjalan dengan semestinya dan merupakan
salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum, yaitu merupakan yustiabel
terhadap tindakan sewenangwenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh
sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu”. Dalam memahami nilai kepastian hukum
perlu diketahui bahwa nilai-nilai tersebut erat kaitannya dengan peran negara dalam tindakan
proaktif dalam penegakan hukum secara aktif.
Sejalan dengan pendapat tersebut, penulis menegaskan bahwa kepastian hukum dapat
terwujud bilamana pemahaman dan penegakan prinsip syariah sebagai pedoman pada
pembuatan akta syariah berjalan sebagaimana mestinya. Dengan adanya beberapa
pelanggaran pada prinsip syariah yang diamatkan UU Perbankan Syariah jika dikaitkan
dengan syarat perjanjian mengenai causa yang halal tentunya membuat akta menjadi batal
demi hukum. Disamping itu minimnya peran serta Notaris sebagai instrumen hukum
dikhawatirkan menyebabkan kepastian hukum sulit terwujud. Kepastian hukum dalam hal ini
tidak hanya menimbulkan ketertiban umum dalam masyarakat namun disisi lain bagi umat
Islam sebagai wujud ketaatannya pada ajaran agama.

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 157


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

Dalam konteks teori keadilan menurut John Rawls, sangat erat kaitannya ketika
Notaris dengan kompetensinya bisa memahami akad syariah dan menerapkan prosedur secara
benar maka dengan sendirinya keadilan dapat diwujudkan. Baik kepentingan nasabah
maupun bank adalah sama pentingnya untuk diperjuangkan dan tidak boleh ada pihak yang
dikorbankan. Dasar hukum mengenai peran dan kewenangan Notaris harus diperkuat dengan
aturan khusus terkait akta syariah baik pada UUJN maupun UU Perbankan Syariah atau
Fatwa DSN-MUI.
Kompetensi Notaris Dalam Menjalankan Peran, Tugas, dan Kewenangannya Pada
Perbankan Syariah
Secara umum kompetensi adalah wewenang untuk menentukan atau memutuskan
sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan manusia serta perilakunya. Seiring dengan
perkembangan teknologi diera 4.0 dan 5.0 berimbas pada produk hukum, salah satunya jasa
Notaris. Profesionalitas Notaris sangat ditentukan oleh keahliannya dalam memahami
persoalan hukum dan peraturan perundangan untuk selanjutnya dituangkan dalam akta
autentik. Dalam memberikan pelayanan Notaris perlu mengedepankan kompetensi,
profesionalitas serta prinsip kehati-hatian guna mewujudkan kepastian hukum. Cukup banyak
Notaris yang tidak memahami pentingnya kompetensi dan upgrading skill dalam
melaksanakan perannya, dan ironisnya ada oknum Notaris yang justru terlibat kasus
pelanggaran hukum baik perdata maupun pidana.
Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bidang Pengembangan, Ikatan Notaris
Indonesia (INI), disimpulkan bahwa Notaris adalah jabatan dan sebagai jabatan, yang utama
bukanlah kompetensi melainkan kewenangan. Selama yang bersangkutan telah mengikuti
persyaratan calon Notaris, telah menerima Surat Keputusan pengangkatan serta telah
disumpah, dan dilantik sebagai Notaris, maka baginya berlaku kewenangan, dan
tanggungjawab sebagai Notaris. Kewenangannya untuk membuat akta sepanjang tidak
dikecualikan oleh maka Notaris bisa membuat akta termasuk akta perbankan syariah.
Sertifikasi syariah lebih kepada formalitas, artinya bahwa Notaris yang tidak memiliki
sertifikat pun bisa membuat akta perbankan syariah. Kompetensi diperlukan dalam upaya
memastikan bahwa akta yg dibuat mengacu pada hukum positif dan menjadi dasar bagi
Notaris dalam mengkonstantir kesepakatan yang akan dituangkan dalam akta apakah telah
sesuai dengan prinsip syariah. Namun tidak mempengaruhi keabsahan akta, artinya jika

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 158


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

terjadi kesalahan tidak berakibat hukum baginya, seorang Notaris yang mengakomodir
keterangan penghadap namun ternyata salah tidak bisa dikenakan sanksi hukum, melainkan
hanya sanksi moral dari masyarakat.
INI sebagai wadah organisasi yang menaungi Notaris berperan dalam peningkatan
kompetensi, upgrading Notaris sesuai dengan mutu yang dikehendaki. Untuk menjadi Notaris
dimulai dengan melakukan pelatihanpelatihan serta penyaringan calon Notaris salah satunya
melalui Ujian Kode Etik Notaris, INI melakukan pembinaan Notaris dan pengawasan Kode
Etik melalui Dewan Kehormatan Notaris yang memiliki kewenangan dalam pembinaan moral
dan etika selanjutnya melakukan pemeriksaan atas pelanggaran dan sanksi sesuai
kewenangannya. Dalam rangka meningkatkan keahlian Notaris secara regular INI
memberikan pelatihan-pelatihan internal maupun bekerjasama dengan lembaga lainnya
seperti Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI).
Terkait dengan perannya dalam menetapkan Fatwa, dari hasil wawancara
dikemukakan bahwa DSN-MUI tidak memiliki kewenangan untuk mengatur mengenai syarat
kompetensi bagi Notaris rekanan Bank Syariah, meskipun sangat penting bagi bank syariah
selaku user untuk memastikan bahwa Notaris paham dan memiliki keilmuan terhadap akad
yang dibuatnya. DSN-MUI memberi himbauan atau taklimat kepada perbankan syariah untuk
mempercepat sosialisasi mengenai hal ini, agar selanjutnya ditindaklanjuti dengan regulasi
dalam bentuk Peraturan OJK (POJK).
Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut adalah kompetensi yang terkait dengan domisili hukum atau
wilayah jabatan Notaris, artinya kewenangan Notaris dalam menjalankan jabatannya
berdasarkan tempat kedudukan masing-masing. Dalam UUJN diatur secara jelas mengenai
wilayah kedudukan Notaris pada pasal 18 yaitu
(1) “Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota
(2) Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat
kedudukannya”
Misalnya Notaris yang memiliki wilayah jabatan di Jakarta Selatan, maka ia hanya
boleh menjalankan kewenangannya di seluruh wilayah provinsi DKI Jakarta, begitu pula
dengan Notaris di Kabupaten Bekasi, ia berwenang diseluruh provinsi Jawa Barat.
Selanjutnya pada pasal 19 disebutkan

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 159


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

(1) “Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat


kedudukannya.
(2) Tempat kedudukan Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib mengikuti tempat
kedudukan Notaris.
(3) Notaris tidak berwenang secara berturut-turut dengan tetap menjalankan jabatan di luar
tempat kedudukannya. Dan Notaris juga dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah
jabatannya.”
Dalam pasal 17 ayat (1) huruf a: “Notaris dilarang menjalankan jabatan di luar
wilayah jabatannya”. Hal ini dimaksudkan agar memberikan kepastian hukum bagi
masyarakat sebagai pengguna jasa Notaris sesuai pembagian wilayah masing-masing.
Disamping itu agar terciptanya persaingan sehat dalam profesi Notaris. Akibat hukum dari
suatu akta yang dibuat di luar wilayah jabatan Notaris yaitu menjadikan akta sebagai akta di
bawah tangan.
Kompetensi Relatif
Dalam peradilan kompetensi relatif adalah kompetensi yang berkaitan dengan tugas
dan wewenangnya untuk mengadili suatu perkara, contohnya bagi penduduk muslim yang
berwenang untuk menyelesaikan perkara perceraiannya adalah pengadilan agama sedangkan
untuk non muslim adalah pengadilan umum. Bagi Notaris kompetensi relatif berkaitan
dengan peran Notaris dalam menjalankan kewenangannya didasarkan pada kemampuan dan
keahliannya dalam membuat akta tertentu. Adapun kewenangan Notaris yang berkaitan
dengan kompetensi keahliannya yakni sebagai berikut : 1. Notaris sebagai Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT)
Dasar hukum kewenangan Notaris untuk dapat menjadi PPAT diatur pada pasal 15
ayat 2 huruf f UUJN. Untuk menjadi PPAT ada syarat yang harus dipenuhi salah satunya
lulus dalam ujian yang diadakan oleh kementrian agraria/pertanahan; dan menjalani magang
minimal 1 (satu) tahun di kantor PPAT setelah lulus pendidikan kenotariatan.
Notaris sebagai Pejabat Lelang Kelas II
Notaris diangkat langsung oleh Menteri Keuangan sesuai ketentuan perundang-
undangan. Wewenang Notaris untuk membuat akta risalah lelang harus melalui pengangkatan
oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara. Selain itu Notaris wajib mengikuti pendidikan dan

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 160


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

pelatihan yang diselenggarakan oleh Kementrian Keuangan dan wajib melakukan praktik
kerja (magang).
Notaris sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal
Penunjukan Notaris sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal dinyatakan dalam pasal
64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Salah satu persyaratan terkait
kewenangan Notaris sebagai Penunjang Pasar Modal adalah mempunyai pengetahuan tentang
pasar modal yang didapat melalui program pendidikan profesi dengan jumlah minimal 30
SKS (satuan kredit profesi).
Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pada pasal 37 ayat (5) menyebutkan “Persyaratan
Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri”. Salah satu
persyaratannya adalah mempunyai sertifikat kompetensi wakaf yang dikeluarkan oleh
Kementrian Agama.
Notaris sebagai Pembuat Akta Koperasi
Surat Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik
Indonesia Nomor 98/KEP/ M. KUKM/IX/2004 pasal 1 ayat (4) menyebutkan bahwa Notaris
sebagai Pembuat Akta Koperasi adalah “Pejabat Umum yang diangkat berdasarkan Peraturan
Jabatan Notaris yang diberi kewenangan antara lain untuk membuat akta pendirian, akta
perubahan anggaran dasar dan akta-akta lainnya yang terkait dengan kegiatan koperasi”.
Untuk dapat ditetapkan sebagai Pembuat Akta Koperasi, Notaris harus memenuhi syarat yang
diatur pada pasal 4 nya yaitu:
a. “Notaris yang telah berwenang menjalankan jabatan sesuai Peraturan
Jabatan Notaris;
b. Memiliki sertifikat tanda bukti telah mengikuti pembekalan di bidang perkoperasian
yang ditandatangani oleh Menteri.”
Kewenangan-kewenangan Notaris tersebut diatas pada prinsipnya bersifat khusus dan
masing-masing membutuhkan persyaratan keahlian atau kompetensi untuk dapat
menjalankannya. Termasuk dalam hal peran Notaris pada perbankan syariah, yang juga
memerlukan pemahaman dalam hal prinsip syariah. Namun justru pada kenyataannya belum
ada regulasi yang jelas mengenai kewenangan Notaris pada Perbankan Syariah.

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 161


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

Untuk menganalisa penerapan prinsip syariah serta peran Notaris pada perbankan
syariah, penulis melakukan penelitian pada Bank Permata Syariah sebagai Unit Usaha
Syariah (UUS) dari Bank Permata.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Head of Mortgage Bank Permata Syariah, peran
Notaris salah satunya dalam pembuatan akta pada perjanjian pembiayaan dan akta hak
tanggungan. Dalam pembuatan akad pembiayaan, dikarenakan Bank Permata Syariah adalah
Unit Usaha Syariah (UUS), maka sejauh ini format akad masih mengacu kepada standar
kontrak pada bank konvensional sebagai induknya, dengan penyesuaian terkait prinsip
syariah. Bank telah memiliki standar akad (standard contract) dimana isi klausul telah
ditentukan oleh pihak bank. Notaris tinggal memindahkannya ke dalam akta sesuai format.
Dalam hal ini pemahaman mengenai akad dan prinsip syariah tersebut bukan hal yang wajib
dipenuhi oleh Notaris. Selain itu tidak ada persyaratan yang mewajibkan sertifikasi syariah
bagi Notaris untuk menjadi rekanan Bank Permata Syariah. Hal ini sangat beresiko bagi
Notaris yang tidak memiliki pemahaman yang cukup, meskipun sejauh ini di Bank Permata
Syariah belum ada permasalahan mengenai substansi akad, permasalahan hanya lebih kepada
hal teknis seperti status objek jaminan yang belum clean dan clear, atau wanprestasi nasabah
dalam pemenuhan kewajiban.
Dari hasil wawancara, penulis menyimpulkan bahwa peranan Notaris dalam
penerapan prinsip syariah pada akta akad di Bank Permata tidak terlalu dominan, karena
praktisnya Notaris hanya sebatas mengesahkan akad sedangkan isi dari akad sepenuhnya
ditentukan oleh bank. Kompetensi dan pemahaman mengenai akad dan prinsip syariah juga
bukan merupakan prasyarat yang harus dipenuhi oleh Notaris. Ini adalah problematika hukum
dimana tanggungjawab terhadap akta akad perbankan syariah menjadi lebih lebih luas
daripada perbankan konvensional. Artinya Notaris di perbankan syariah tidak hanya dituntut
untuk memahami berbagai hukum perdata barat maupun nasional tetapi juga paham
mengenai hukum Islam yang digunakan. Ketidakpahaman Notaris dapat menjadi masalah
ketika para pihak mempercayakan dan menyerahkan konsekuensi yuridis kepada Notaris
terkait akta yang dibuatnya, sehingga apabila dikemudian hari muncul permasalahan dan para
pihak merasa dirugikan, Notaris menjadi turut bertanggungjawab.
Eksistensi akta Notaris dalam bisnis syariah adalah sebagai penggabungan hukum
perdata barat dan hukum perdata Islam ditengah semakin meningkatnya kesadaran dan

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 162


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

kebutuhan masyarakat akan bisnis syariah. Bisnis yang bersandarkan pada prinsip muamalah
secara Islam bukan hanya untuk mencari keuntungan semata. Kehalalan merupakan unsur
yang harus ditekankan dalam bermuamalah disamping adanya kerelaan dari masing-masing
pihak. Urgensi akan pentingnya keberadaan Notaris syariah antara lain dikarenakan:
1. Mayoritas penduduk Indonesia adalah penduduk muslim dan semakin meningkatnya
kesadaran untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam terutama pada bidang
muamalah.
2. Perkembangan bisnis syariah dan kebutuhan untuk transaksi halal sesuai prinsip syariah
semakin pesat, ditandai banyak industri mulai menggunakan label halal, di sektor
keuangan dengan hadirnya bank umum atau unit usaha syariah, terobosan terbesar yaitu
mergernya tiga bank umum syariah awal tahun 2021 kemarin.
3. Kebanyakan Notaris yang ada belum memiliki pemahaman syariah dari segi aspek
teoritis maupun praktik dalam hukum bisnis.
4. Adanya perbedaan konsep hukum bisnis syariah dengan konvensional, baik dari segi
filosofis maupun akad/kontraknya.
5. Adanya pelanggaran dalam pembuatan akta perbankan syariah baik menyangkut materil
atau substansinya terkait prinsip syariah maupun dari sisi formalitas akta.
6. Terkait keberadaan Peradilan Agama yang memiliki kewenangan sebagai lembaga
penyelesaian sengketa ekonomi syariah, maka peran Notaris diperlukan untuk
merumuskan akad-akad bisnis syariah sehingga diantara berbagai profesi hukum tercipta
kompetensi yang seimbang dan selanjutnya menentukan kualitas penegakan hukum di
Indonesia.
Sejauhmana pemahaman dan kompetensi Notaris dalam menjalankan perannya pada
perbankan syariah sejatinya perlu untuk dilakukan evaluasi dan uji kompetensi agar
melahirkan Notaris yang memang mempunyai kapasitas dalam membuat akta syariah.
Tujuannya agar tercipta Notaris yang paham secara filosifis dan praktis terhadap prinsip dan
nilai-nilai syariah, sehingga ia mampu bertanggungjawab terhadap akta yang dibuatnya.
Pelatihan terhadap Notaris juga tidak kalah pentingnya dalam upaya untuk
meningkatkan kualitas jabatan Notaris. INI diharapkan mampu memfasilitasi kebutuhan
Notaris dalam hal peningkatan kompetensinya terkait akad syariah.

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 163


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

Melalui pelatihan internal maupun kerjasama dengan lembaga yang relevan dalam hal
ini, seperti Lembaga Pelatihan Perbankan Indonesia (LPPI) atau lembaga lain yang selama ini
berperan dalam memberikan pelatihan perbankan syariah.
Secara regulasi, eksistensi dan kompetensi Notaris syariah juga harus didasari
landasan hukum yang jelas. Perlu aturan hukum setingkat undangundang dan turunannya
yang mengatur peranan Notaris syariah khususnya di bidang perbankan. Pemberlakukan yang
sama seperti peran Notaris pada pasar modal atau dalam bidang wakaf yang diatur secara
jelas oleh undang-undang.

KESIMPULAN
1. Penerapan prinsip syariah pada akta akad perbankan syariah terdapat beberapa
ketidaksesuaian antara praktik di lapangan dengan ketentuan pada Undang-Undang
Perbankan Syariah dan Fatwa DSN-MUI.
Pelanggaran dalam penerapan prinsip syariah tersebut jika dikaitkan dengan
ketentuan pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat causa yang halal (tidak
bertentangan dengan undang-undang), tentunya dapat menyebabkan akta batal demi
hukum. Akta akad yang dibuat Notaris harus dipastikan tidak memuat hal yang
dilarang seperti, riba, gharar, dan maisir. Dalam praktik di lapangan, Notaris tidak
terlibat langsung dalam mengkonstruksi akad perbankan syariah, karena draft akad
sudah disiapkan oleh bank syariah. Hal ini tentunya menjadi problematika dalam
upaya menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.
2. Kompetensi Notaris dalam pembuatan akta perbankan syariah dapat dikategorikan
sebagai kompetensi relatif yang didasarkan pada kemampuan dan keahliannya. Sama
halnya dengan kewenangan Notaris sebagai PPAT, Pejabat Lelang Kelas II, atau
Notaris sebagai Penunjang Pasar Modal maupun kewenangan lain yang bisa
didapatnya setelah melewati pelatihan dan uji kompetensi. Meskipun keberadaan
Notaris dalam perbankan syariah sangat penting, namun belum ada regulasi yang jelas
sebagai payung hukum bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya. UUJN tidak
mengatur secara tegas mengenai peran dan kewenangan Notaris terkait akta syariah.
Begitupula pada UU Perbankan Syariah, tidak ditemukan satu kata Notaris pun dalam
keseluruhan pasalnya. Artinya ada kekosongan hukum terkait peran, tugas dan

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 164


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

kewenangan Notaris pada perbankan syariah. Ketidakpahaman Notaris terhadap akta


akad yang dibuatnya berpotensi menimbulkan masalah atau sengketa hukum dan
menyeret Notaris sebagai pihak turut tergugat.

DAFTAR PUSTAKA
Adjie, Habib, 2017, Akta Notaris untuk Perbankan Syariah, Citra Aditya Bakri, Cetakan
Pertama, Bandung
Aidil, 2011, Mengenal Notaris Syariah, Citra Aditya Bakti, Bandung
Ar Royyan Ramly, 2019, The Concept of Gharar and Masyir and It’s Application to Islamic
Financial Institutions, International Journal of
Bart Van Looy, Roland Van Dierdonck, Paul Gemmel, 1998, Services Management, An
Integrated Approach, Financial Times, London
Deny K. Yusup, 2015, Peran Notaris Dalam Praktik Perjanjian Bisnis di Perbankan Syariah
(Tinjauan dari Perspektif Hukum Ekonomi Syariah), Jurnal Al-‘Adalah Volume 12
Nomor 4
Dudi Badruzaman, 2019, Isu Kontemporer Peran Notaris Dalam Akad Murabahah di
Lembaga Keuangan Syariah, Jurnal Muslim Heritage,
Ekonomi Syariah), Jurnal Notarius, Volume 13 Nomor 1
Erwandi Tarmizi, 2020, Harta Haram Muamalah Kontemporer, Berkat Mulia
Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
Herlien Budiono, 2019, Peran, Fungsi, dan Keberadaan Notaris Indonesia.
Holly Muridi Zham-Zham, Thea Yori Mataheru, 2020, Kewenangan Notaris Dalam
Penerapan dan Pengembangan Hukum Ekonomi Islam di Indonesia, Jurnal Hukum
Bisnis Bonum Commune, Volume 3 Nomor 2 Muhammad Akbar, Fadhil Yazid , 2020,
Implementasi Ketentuan Akta Autentik Notaris Pada Pembuatan Akad di Perbankan
Syariah, Law Jurnal, Volume 1 Nomor 1
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta
Insani, Bogor
Islamic Studies and Social Sciences, Volume 1, Nomor 1
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kode Etik Notaris
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Lon L. Fuller, Morality of Law, Revised Edition, 1969, Yale University, New Haven, hal 39
M. Cholil Nafis, 2011, Teori Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Indonesia, Jakarta
Nabila Zulfa, Bentuk Maisir Dalam Transaksi Keuangan, Jurnal Hukum Ekonomi Islam,
APPHEISI
NNP, Isi Kisi-Kisi Rancangan Permenkumham Uji Kompetensi Notaris,
Notaris Pasar Modal, Bizlaw
Nur Wahid, 2021, Perbankan Syariah Tinjauan Hukum Normatif dan Hukum
Nurlailiyah Aidatus Sholihah, Fikry Ramadhan Suhendar, 2019, Konsep Akad Dalam
Lingkup Ekonomi Islam, Jurnal Ilmiah Indonesia, Volume 4 Nomor 12
Otoritas Jasa Keuangan, 2016, Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah, Jakarta
Otoritas Jasa Keuangan, 2016, Standar Produk Perbankan Syariah, Musyarakah dan
Musyarakah Mutaqanishah, Jakarta

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 165


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 3 Nomor 1 Januari 2023
DOI Issue: 10.46306/rj.v3i1

Otoritas Jasa Keuangan, 2019, Standar Produk Perbankan Syariah, Mudharabah, Jakarta
Otoritas Jasa Keuangan, Akad-Akad Dalam Transaksi Perbankan Syariah
Pembuatan Akta Akad Perbankan Syariah, Tesis Fakultas Syariah dan
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/16/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI Nomor
9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan
Dana dan Penyaluran serta Pelayanan Jasa Bank Syariah
Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2013, tentang Tata Cara Perwakafan Benda
Tidak Bergerak dan Benda Bergerak Selain Uang
Perpustakaan Nasional, Jakarta
Positif , Kencana, Jakarta
Raihan, 2017, Metodologi Penelitian, Universitas Islam, Jakarta
Sofyan Sulaiman, 2016 Penyimpangan Akad Murābahah Pada Perbankan Syariah di
Indonesia, Jurnal Ekonomi Syariah Iqtishodia, Volume 1 Nomor 2
Stephen P. Robbins, 2005, Organizational Behaviour, Prentice Hall, New Jersey
Suparman Hasyim, 2017, Kompetensi dan Sharia-Compliance Notaris Dalam
Surat Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik
Indonesia Nomor 98/KEP/ M.KUKM/IX/2004 tentang Notaris Sebagai Pembuat Akta
Koperasi.
Syofyan Hadi, Teori Kewenangan (Theori Van Bevoegdheid), Jurnal Academia
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
Veithzal Rivai, Abdul Hadi Sirait, Tatik Mariyanti, Hanan Wihasto, 2012, Principle of
Islamic Finance atau Dasar-Dasar Keuangan Islam, BPFE, Yogyakarta
Volume 4 Nomor 1
Wakid Yusuf, 2017, Akad Dalam Fiqh Muamalah
WindyAudya Harahap, Agus Nurdin, Budi Santoso, 2020, Kompetensi Notaris Dalam
Pembuatan Perjanjian Syariah (Tinjauan Dari Perspektif Hukum
Zainal Arifin Moechtar, Eddy O.S Hiariej, 2021, Dasar Dasar Ilmu Hukum,

Doi Artikel: 10.46306/rj.v3i1.63 166

Anda mungkin juga menyukai