Anda di halaman 1dari 201

VOL. 8 NO.

1, JUNI 2017 ISSN: 2087-295X

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi..................................................................................................... iii-vi


Abstrak....................................................................................................................... vii-xx
Bentuk Badan Hukum Koperasi untuk Menjalankan Kegiatan Usaha Perbankan
Dian Cahyaningrum.................................................................................................. 1-30
Hak Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan Kredit Perbankan
Trias Palupi Kurnianingrum.................................................................................... 31-54
Pelaksanaan Perizinan Tenaga Kerja Asing melalui
Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Daerah
Monika Suhayati....................................................................................................... 55-83
Pola Akuntabilitas Anggota Badan Perwakilan Rakyat:
Identifikasi terhadap City Council di Liverpool, Vancouver, dan Shah Alam
Inna Junaenah dan Bilal Dewansyah....................................................................... 85-106
Constitutional Courts and Judicial Review: Lesson Learned for Indonesia
Muhammad Siddiq Armia......................................................................................... 107-130
Kendala Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi sebagai
Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Puteri Hikmawati...................................................................................................... 131-150
Bahasa Hukum dalam Putusan Perkara Pidana
Usman Pakaya.......................................................................................................... 151-175
Pedoman Penulisan
PENGANTAR REDAKSI

Jurnal Negara Hukum memuat tulisan ilmiah yang berupa kajian terhadap berbagai masalah
hukum. Sebagai jurnal di lingkungan DPR RI, sudut pandang hukum hampir selalu dikaitkan
dengan fungsi legislasi (pembentukan undang-undang) sebagai salah satu fungsi DPR RI, termasuk
pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang. Jurnal Negara Hukum Edisi Juni 2017 kali
ini merupakan penerbitan tahun ke delapan, yang memuat hasil kajian literatur dan penelitian
empiris, meliputi hukum ekonomi, hukum tata negara, dan hukum pidana.
Publikasi tulisan yang dimuat dalam Jurnal Negara Hukum dilakukan setelah melalui proses
koreksi dan seleksi dari Mitra Bestari dan diputuskan dalam Rapat Dewan Redaksi. Pada terbitan
kali ini Jurnal Negara Hukum memuat 7 (tujuh) tulisan. Tulisan pertama, kedua, dan ketiga
merupakan pembahasan masalah hukum ekonomi. Tulisan keempat dan kelima membahas
masalah hukum tata negara. Selanjutnya, tulisan keenam dan ketujuh membahas masalah yang
merupakan ruang lingkup hukum pidana. Berikut akan diuraikan secara singkat isi dari setiap
tulisan.
Tulisan pertama berjudul “Bentuk Badan Hukum Koperasi untuk Menjalankan Kegiatan
Usaha Perbankan”, ditulis oleh Dian Cahyaningrum. Penulis mengungkapkan bahwa persaingan
yang cukup ketat di bidang perbankan di era global menghendaki adanya bentuk badan hukum
yang sesuai untuk dapat menjalankan kegiatan usaha perbankan. Sehubungan dengan hal ini,
bentuk badan hukum koperasi diragukan keandalannya untuk dapat menjalankan kegiatan usaha
perbankan, seperti halnya perseroan terbatas (PT) sehingga muncul wacana untuk menutup
peluang koperasi melakukan kegiatan usaha perbankan dalam Rancangan Undang-Undang
(RUU) Perbankan. Melalui penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris, Penulis berpendapat
bahwa bentuk badan hukum koperasi perlu tetap dipertahankan dalam RUU Perbankan. Tidak
diberinya peluang koperasi untuk menjalankan kegiatan usaha perbankan merupakan pelanggaran
terhadap Pasal 33 dan Pasal 28I ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, sehingga dapat diajukan judicial review. Tidak berkembangnya koperasi di bidang perbankan
tidak berarti harus menghilangkan koperasi dalam RUU Perbankan melainkan harus diupayakan
agar koperasi dapat berkembang dengan baik. Adapun permasalahan hukum yang dihadapi oleh
bank koperasi, di antaranya adanya dualisme pengaturan antara bidang perbankan dan koperasi.
Permasalahan lainnya, koperasi diperlakukan seperti PT, sehingga terjadi pelanggaran terhadap
aturan dan prinsip-prinsip perkoperasian. Selain itu, juga tidak ada aturan area usaha bank
sehingga bank koperasi yang modalnya kecil harus bersaing dengan bank-bank besar. Selanjutnya,
penulis memberikan solusi, yaitu dengan melakukan terobosan hukum untuk merancang ulang
peraturan perundang-undangan di bidang perkoperasian untuk dapat memisahkan bentuk badan
hukum koperasi dan bidang usaha koperasi agar koperasi dapat berkembang dengan baik, dan
untuk itu perlu dibentuk undang-undang yang mengatur koperasi untuk menjalankan kegiatan
usaha perbankan. Selain itu, juga perlu ada aturan area usaha bank agar persaingan antar-bank
dapat dilakukan secara sehat.
Berikutnya, tulisan kedua ditulis oleh Trias Palupi Kurnianingrum, berjudul “Hak Kekayaan
Intelektual sebagai Jaminan Kredit Perbankan”. Penulis menguraikan bahwa Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) pada dasarnya mempunyai nilai ekonomis. Dengan adanya perkembangan
masyarakat global, HKI dapat dijadikan agunan untuk mendapatkan kredit perbankan secara
internasional. Pengaturan materi baru terkait HKI sebagai objek jaminan kredit sebagaimana telah
diatur dalam Pasal 16 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Pasal 108 ayat (1)

PENGANTAR REDAKSI iii


UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten, secara tidak langsung menjadi landasan motivasi bagi para
kreator, pencipta, inventor untuk lebih produktif dalam menciptakan karya-karya baru. Ini berarti
juga menjadi dasar adanya pengakuan dan pelindungan bahwa negara menghargai karya mereka.
Meskipun sudah dinyatakan tegas dalam peraturan perundang-undangan, namun menurut Penulis,
pemberlakuan tersebut masih mengalami kendala, yaitu jangka waktu pelindungan HKI yang
terbatas, belum adanya konsep yang jelas terkait due diligence, penilaian aset HKI, dan lembaga
appraisal HKI di Indonesia, serta belum adanya dukungan yuridis, baik dalam bentuk peraturan
terkait aset HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan maupun revisi mengenai Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No. 9/6/PBI/2007 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum terkait agunan
kredit menjadi salah satu faktor utama mengapa pihak bank belum dapat menerima HKI sebagai
objek jaminan kredit perbankan. Selanjutnya, Penulis mengemukakan bahwa untuk mewujudkan
konsep pembaharuan tersebut, diperlukan dukungan yuridis yang tegas dan detail terkait aset
HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan, sosialisasi secara menyeluruh, serta adanya lembaga
appraisal HKI di Indonesia.
Monika Suhayati menulis artikel mengenai ”Pelaksanaan Perizinan Tenaga Kerja Asing
Melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Daerah”, yang merupakan tulisan ketiga dalam Jurnal
Negara Hukum ini. Penulis mengemukakan bahwa penggunaan tenaga kerja asing (TKA)
dan perizinannya di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
beserta peraturan pelaksanaannya. Perizinan penggunaan TKA merupakan salah satu perizinan
yang dilakukan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Perizinan tersebut dilakukan
melalui dua tahap, yaitu tahap proses Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing dan proses Izin
Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Tulisan ini mengkaji urgensi perizinan TKA di PTSP,
pengaturan perizinan TKA melalui PTSP, dan efektivitas pelaksanaan perizinan TKA melalui
PTSP. Sebagai hasil kajian, Penulis mengungkapkan bahwa urgensi perizinan TKA dilakukan
di PTSP agar terciptanya penyederhanaan dan percepatan penyelesaian perizinan TKA yang
akan meningkatkan investasi. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, penyelenggaraan PTSP oleh pemerintah daerah
dilaksanakan oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP)
Provinsi atau Kabupaten/Kota berdasarkan pendelegasian wewenang dari gubernur atau bupati/
walikota kepada Kepala BPMPTSP Provinsi atau Kabupaten/Kota. Dalam pelaksanaannya di
beberapa daerah, terjadi permasalahan antara lain pengurusan penerbitan perpanjangan IMTA
yang belum dilimpahkan ke PTSP Provinsi atau Kabupaten/Kota, belum semua Dinas Tenaga
Kerja Provinsi atau Kabupaten/Kota menugaskan tenaga fungsional di PTSP Provinsi atau
Kabupaten/Kota dengan mekanisme Bawah Kendali Operasi. Dalam bagian penutup, Penulis
mengatakan perlu dilakukan revisi pengaturan kewenangan penerbitan IMTA perpanjangan di
tingkat provinsi atau kabupaten/kota, pembenahan koordinasi antarsektor terkait, peningkatan
sosialisasi SPIPISE kepada masyarakat, penganggaran perbaikan sarana dan prasarana perizinan
TKA di PTSP Provinsi atau Kabupaten/Kota, serta pembenahan dan peningkatan kinerja aparat
penanaman modal.
Selanjutnya, tulisan keempat berjudul “Pola Akuntabilitas Anggota Badan Perwakilan
Rakyat: Identifikasi terhadap City Council di Liverpool, Vancouver, dan Shah Alam, ditulis
oleh Inna Junaenah dan Bilal Dewansyah. Kedua Penulis mengemukakan, bahwa peraturan
perundang-undangan memberikan fungsi pembentukan peraturan daerah, fungsi pengawasan,
dan fungsi anggaran, kepada DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketiga fungsi tersebut
memunculkan hak-hak secara kelembagaan maupun secara individu. Namun, masih terjadi
kesenjangan, yaitu ketiga fungsi secara kolektif dan kolegial tersebut belum diperkuat dengan

iv NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


ketentuan kewajiban yang tepat. Unsur kewajiban hanya dilekatkan kepada individu anggota,
karena yang merepresentasikan rakyat pemilih adalah individu dan bukan kolektif. Meskipun
demikian, ketentuan yang ada tidak dapat menjadikan anggota DPRD untuk meningkatkan
kompetensinya supaya dapat memperkuat ketiga fungsi tersebut. Berdasarkan latar belakang
tersebut, kedua Penulis ingin mencari rumusan model akuntabilitas anggota DPRD secara
individu. Untuk memperoleh konsep tersebut, Penulis melakukan perbandingan hukum mengenai
praktik yang diterapkan di berbagai tempat sebagai cara memastikan fungsi-fungsi semacam city
council terlaksana. Adapun tujuan yang dikehendaki dari penelitian ini adalah terbangun konsep
akuntabilitas anggota DPRD di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan pendekatan
komparatif di Liverpool, Vancouver, dan Shah Alam. Sebagai rekomendasi, Penulis membuat
bahan perumusan ketentuan dalam suatu perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Tulisan kelima dalam Jurnal ini berjudul “Constitutional Courts and Judicial Review: Lesson Learned
for Indonesia”, ditulis oleh Muhammad Siddiq Armia. Dalam tulisan ini, Penulis mengungkapkan
bahwa posisi peradilan memainkan peranan penting dalam proses uji materi undang-undang. Ide
dasar pengujian peraturan perundang-undangan melalui lembaga peradilan berkembang luas di
dunia hingga sampai ke Indonesia. Sistem pengujian undang-undang dengan melibatkan hakim
sudah sering dipraktikkan di berbagai negara. Selanjutnya, disebutkan bahwa terdapat dua organ
kenegaraan yang mempunyai peran vital dalam memainkan peran ini yaitu mahkamah konstitusi
dan mahkamah agung. Model seperti ini lebih dikenal dengan model terpusat di suatu lembaga
negara, sebagaimana yang di Amerika Serikat. Sedangkan negara yang mempunyai mahkamah
konstitusi akan melimpahkan kewenangan pengujian undang-undang kepada mahkamah
konstitusi, model ini dikenal dengan model Kelsen. Pada model ini mahkamah konstitusi hanya
berfokus pada konstitutionalitas peraturan perundang-undangan serta memastikannya agar tidak
bertentangan dengan norma dalam konstitusi. Mahkamah agung pada model ini hanya berfokus
untuk menangani kasus sehari-hari saja, bukan untuk menguji peraturan perundang-undangan.
Dua model pengujian undang-undang ini (melalui mahkamah konstitusi dan mahkamah agung)
sering diterapkan dalam sistem ketatanegaraan dunia, termasuk juga di Indonesia. Penulis
menguraikan, bahwa pada zaman rezim otoriter, Indonesia menerapkan sistem pengujian undang-
undang terpusat, dengan memposisikan Mahkamah Agung sebagai organ tunggal negara yang
menangani perkara sehari-hari dan pengujian undang-undang. Menemukan hambatan dengan
model terpusat ini, akhirnya Indonesia membentuk Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi
Indonesia hanya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tetap menjadi kewenangan Mahkamah
Agung. Modifikasi seperti ini berakibat rentannya terjadi pertentangan putusan antara Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Tulisan keenam dan ketujuh dalam Jurnal ini terkait dengan Hukum Pidana. Tulisan kelima
berjudul “Kendala Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi sebagai Pelaku Tindak
Pidana Korupsi”, ditulis oleh Puteri Hikmawati. Dalam artikel ini, Penulis mengemukakan bahwa
penanganan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum belum secara maksimal menjerat
korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Padahal, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah mengatur korporasi sebagai subjek
tindak pidana. Namun, sampai saat ini hanya beberapa korporasi yang dihukum sebagai terpidana
korupsi. Oleh karena itu, permasalahan dalam tulisan ini adalah kendala dalam penerapan
pertanggungjawaban korporasi. Dalam pembahasan, diuraikan ketidaklengkapan ketentuan
mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam UU Tipikor yang menimbulkan kendala

PENGANTAR REDAKSI v
dalam penerapannya. Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman
Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi dan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi dianggap
dapat mengisi kekosongan hukum dalam menjerat korporasi sebagai subjek hukum pidana.
Namun, kedudukan Peraturan Jaksa Agung dan Peraturan Mahkamah Agung tidak termasuk
dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, hanya diakui keberadaannya, sehingga
hanya mengikat ke dalam. Artikel ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam melakukan
perubahan terhadap UU Tipikor, KUHP, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
Tulisan terakhir yang dimuat dalam Jurnal ini ditulis oleh Usman Pakaya, berjudul
“Bahasa Hukum dalam Putusan Perkara Pidana”. Tulisan yang merupakan hasil penelitian ini
mengemukakan penggunaan bahasa hukum dan aspek-aspek pembangun bahasa dalam teks
hukum putusan perkara pidana. Dalam hal ini, Penulis menggunakan beberapa teori pendukung,
di antaranya adalah bahasa hukum, struktur wacana, tindak tutur, pengistilahan, variasi bahasa,
koherensi dan kohesi, serta karakteristik bahasa hukum. Sementara metodologi penelitian yang
digunakan peneliti adalah metode penelitian kualitatif. Sebagai sumber data penelitian, penulis
memperolehnya dari putusan perkara pidana PN Kota Gorontalo (kelas IB), PN Kabupaten
Boalemo (kelas IIA), dan PN Kabupaten Pohuwato (kelas IIA). Adapun hasil penelitian
menunjukkan bahwa surat putusan perkara pidana dibangun dari beberapa unsur pembangun
bahasa, yaitu struktur wacana, tindak tutur, pengistilahan, variasi bahasa, koherensi dan kohesi,
serta karakteristik khas.
Hasil pemikiran dan penelitian yang dimuat dalam Jurnal Negara Hukum ini diharapkan
dapat memperluas wawasan dan pengetahuan pembaca serta menjadi referensi, baik untuk bahan
penelitian atau membuat kajian yang lebih mendalam, maupun perumusan kebijakan atau norma
hukum. Untuk meningkatkan kualitas Jurnal ini, Redaksi terbuka menerima kritik dan saran dari
pembaca.

Jakarta, Juni 2017

Redaksi

vi NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


VOL. 8 NO. 1, JUNI 2017 ISSN: 2087-295X

Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh difotokopi
BENTUK BADAN HUKUM KOPERASI
UNTUK MENJALANKAN KEGIATAN USAHA PERBANKAN

Dian Cahyaningrum

Abstrak
Persaingan yang cukup ketat di bidang perbankan di era global menghendaki adanya bentuk badan
hukum yang sesuai untuk dapat menjalankan kegiatan usaha perbankan. Sehubungan dengan hal ini,
bentuk badan hukum koperasi diragukan keandalannya untuk dapat menjalankan kegiatan usaha
perbankan, seperti halnya perseroan terbatas (PT) sehingga muncul wacana untuk menutup peluang
koperasi melakukan kegiatan usaha perbankan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perbankan.
Melalui penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris dengan menggunakan data primer dan sekunder
yang disajikan secara kualitatif dan dianalisis secara deskriptif dan preskriptif diperoleh hasil bentuk
badan hukum koperasi perlu tetap dipertahankan dalam RUU Perbankan. Tidak diberinya peluang
koperasi untuk menjalankan kegiatan usaha perbankan merupakan pelanggaran terhadap Pasal 33 ayat
(1) dan Pasal 28I ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga
dapat diajukan judicial review. Tidak berkembangnya koperasi di bidang perbankan tidak berarti harus
menghilangkan koperasi dalam RUU Perbankan melainkan harus diupayakan agar koperasi dapat
berkembang dengan baik. Tidak berkembangnya koperasi di bidang perbankan tersebut disebabkan
adanya permasalahan hukum yang dihadapi bank koperasi, di antaranya adanya dualisme pengaturan
antara bidang perbankan dan koperasi. Permasalahan lainnya, koperasi diperlakukan seperti PT sehingga
terjadi pelanggaran terhadap aturan dan prinsip-prinsip perkoperasian. Selain itu, juga tidak ada aturan
area usaha bank sehingga bank koperasi yang modalnya kecil harus bersaing dengan bank-bank besar.
Solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan melakukan terobosan hukum untuk
merancang ulang peraturan perundang-undangan di bidang perkoperasian untuk dapat memisahkan
bentuk badan hukum koperasi dan bidang usaha koperasi agar koperasi dapat berkembang dengan baik.
Solusi lainnya perlu dibentuk undang-undang perbankan perkoperasian yang mengatur koperasi dalam
menjalankan kegiatan usaha perbankan. Selain itu juga perlu ada aturan area usaha bank agar persaingan
antar-bank dapat dilakukan secara sehat.
Kata kunci: koperasi, bank, perseroan terbatas, tata kelola koperasi yang baik.

ABSTRAK vii
Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh difotokopi
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL SEBAGAI JAMINAN KREDIT PERBANKAN

Trias Palupi Kurnianingrum

Abstrak
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada dasarnya mempunyai nilai ekonomis. Dengan adanya
perkembangan masyarakat global, HKI dapat dijadikan agunan untuk mendapatkan kredit perbankan
secara internasional. Pengaturan materi baru terkait HKI sebagai objek jaminan kredit sebagaimana
telah diatur di dalam Pasal 16 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Pasal 108 ayat
(1) UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten secara tidak langsung menjadi landasan motivasi bagi para
kreator, pencipta, inventor untuk lebih produktif dalam menciptakan karya-karya baru. Ini berarti juga
menjadi dasar adanya pengakuan dan pelindungan bahwa negara menghargai karya mereka. Meskipun
sudah dinyatakan tegas dalam peraturan perundang-undangan namun pemberlakuan tersebut masih
mengalami kendala. Jangka waktu pelindungan HKI yang terbatas, belum adanya konsep yang jelas
terkait due diligence, penilaian aset HKI, dan lembaga appraisal HKI di Indonesia, serta belum adanya
dukungan yuridis baik dalam bentuk peraturan terkait aset HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan
maupun revisi mengenai Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9/6/PBI/2007 tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum terkait agunan kredit menjadi salah satu faktor utama mengapa pihak bank belum
dapat menerima HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan. Untuk mewujudkan konsep pembaharuan
tersebut, diperlukan dukungan yuridis yang tegas dan detail terkait aset HKI sebagai objek jaminan
kredit perbankan, sosialisasi secara menyeluruh, serta adanya lembaga appraisal HKI di Indonesia.
Kata kunci: hak kekayaan intelektual, jaminan perbankan, pembaharuan hukum

viii NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh difotokopi
PELAKSANAAN PERIZINAN TENAGA KERJA ASING
MELALUI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DI DAERAH

Monika Suhayati

Abstrak
Penggunaan tenaga kerja asing (TKA) dan perizinannya di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan beserta peraturan pelaksanaannya. Perizinan penggunaan TKA merupakan
salah satu perizinan yang dilakukan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Perizinan tersebut
dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap proses Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing dan proses
Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Tulisan ini hendak mempelajari urgensi perizinan
TKA di PTSP, pengaturan perizinan TKA melalui PTSP, dan efektivitas pelaksanaan perizinan TKA
melalui PTSP di daerah. Permasalahan dianalisa menggunakan asas legalitas, delegasi kewenangan, dan
efektivitas penegakan hukum. Sebagai hasil dari kajian ini, urgensi perizinan TKA dilakukan di PTSP
agar terciptanya penyederhanaan dan percepatan penyelesaian perizinan TKA yang akan meningkatkan
investasi. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu, penyelenggaraan PTSP oleh pemerintah daerah dilaksanakan oleh Badan
Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Provinsi atau Kabupaten/Kota
berdasarkan pendelegasian wewenang dari gubernur atau bupati/walikota kepada Kepala BPMPTSP
Provinsi atau Kabupaten/Kota. Dalam pelaksanaannya di beberapa daerah, terjadi permasalahan antara
lain pengurusan penerbitan perpanjangan IMTA yang belum dilimpahkan ke PTSP Provinsi atau
Kabupaten/Kota, belum semua Dinas Tenaga Kerja Provinsi atau Kabupaten/Kota menugaskan tenaga
fungsional di PTSP Provinsi atau Kabupaten/Kota dengan mekanisme Bawah Kendali Operasi. Sebagai
kesimpulan, perlu dilakukan revisi pengaturan kewenangan penerbitan IMTA perpanjangan di tingkat
provinsi atau kabupaten/kota, pembenahan koordinasi antarsektor terkait, peningkatan sosialisasi
SPIPISE kepada masyarakat, penganggaran perbaikan sarana dan prasarana perizinan TKA di PTSP
Provinsi atau Kabupaten/Kota, pembenahan dan peningkatan kinerja aparat penanaman modal.
Kata kunci: penanaman modal, tenaga kerja asing, perizinan, izin menggunakan tenaga kerja asing

ABSTRAK ix
Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh difotokopi
POLA AKUNTABILITAS ANGGOTA BADAN PERWAKILAN RAKYAT:
IDENTIFIKASI TERHADAP CITY COUNCIL DI LIVERPOOL, VANCOUVER, DAN
SHAH ALAM

Inna Junaenah dan Bilal Dewansyah

Abstrak
Peraturan perundang-undangan memberikan fungsi pembentukan peraturan daerah, fungsi pengawasan,
dan fungsi anggaran, kepada DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketiga fungsi tersebut
memunculkan hak-hak secara kelembagaan maupun secara individu. Namun masih terjadi kesenjangan,
yaitu ketiga fungsi secara kolektif dan kolegial tersebut belum diperkuat dengan ketentuan kewajiban
yang tepat. Unsur kewajiban hanya dilekatkan kepada individu anggota, karena yang merepresentasikan
rakyat pemilih adalah individu dan bukan kolektif. Meskipun demikian, ketentuan yang ada tidak dapat
menjadikan anggota DPRD untuk meningkatkan kompetensinya supaya dapat memperkuat ketiga fungsi
tersebut. Penelitian ini ingin mencari bagaimana rumusan model akuntabilitas anggota DPRD secara
individu. Untuk memperoleh konsep tersebut, dilakukan perbandingan hukum mengenai praktik yang
diterapkan di berbagai tempat sebagai cara memastikan fungsi-fungsi semacam city council terlaksana.
Penelitian ini juga ingin menunjukkan bahwa upaya-upaya tersebut dapat diidentifikasi sebagai model
akuntabilitas terhadap para councilor. Oleh karena itu, tujuan yang dikehendaki dari penelitian ini adalah
terbangun konsep akuntabilitas anggota DPRD di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan
pendekatan komparatif di Liverpool, Vancouver, dan Shah Alam. Adapun rekomendasi dalam penelitian
ini berupa bahan perumusan ketentuan dalam suatu perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Kata kunci: akuntabilitas individu, badan perwakilan daerah, identifikasi

x NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh difotokopi
CONSTITUTIONAL COURTS AND JUDICIAL REVIEW:
LESSON LEARNED FOR INDONESIA

Muhammad Siddiq Armia

Abstract
In the context of reviewing law through judiciary organ, the court plays significant role to review several
regulation. This article specifically will discuss regarding the role of court on judicial review. This idea
spreads out worldwide including in Indonesia. The Constitutional court and judicial review are two
words which having inextricably meaning that attached to each other. On worldwide, the system of
reviewing law by involving judges commonly has been practiced by several countries. There are two most
significant state organs that plays role in the system, they are constitutional court and supreme court.
Most countries do not have constitutional court and will deliver the authority of judicial review through
supreme court. It has added more tasks, not only to adjudicate the common case, but also regarding
constitutionality matter of an act against constitution. This model is commonly known as a centralized
model, as practiced in the United State of America. In the Countries that owned a constitutional
court, will certainly deliver the authority of judicial review through constitutional court. This model is
commonly known as Kelsenian’s model. In this model, the constitutional court will merely focus on the
constitutionality of regulations, and ensuring those regulations not in contradicting with the constitution.
The Supreme Court in this model merely focus on handling common cases instead of regulations. Those
two model of judicial review (through the constitutional court and the supreme court) has widely been
implemented in the world legal systems, including in Indonesia. In the authoritarian regime, Indonesia
implemented the centralized model, which positioned the Supreme Court as the single state organ to
handle the common case and also judicial review. Having difficulties with the centralized model, after the
constitution amendment in 2003, Indonesia has officially formed the constitutional court as the guardian
of constitution. However, the Indonesian Constitutional Court (ICC) merely examine and/or review
the statute that against the Indonesian’s Constitution year 1945, and related to the legislations products
lower than the statute will remains the portion of the Supreme Court jurisdiction. Such modification is
vulnerable resulting a judgement conflict between the ICC and the Supreme Court.
Keywords: comparative studies, constitutional courts, judicial review

ABSTRAK xi
Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh difotokopi
KENDALA PENERAPAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

Puteri Hikmawati

Abstrak
Penanganan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum belum secara maksimal menjerat korporasi
sebagai pelaku tindak pidana. Padahal, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana. Namun, sampai
saat ini hanya beberapa korporasi yang dihukum sebagai terpidana korupsi, salah satunya kasus korupsi
yang melibatkan PT Giri Jaladi Wana (PT GJW) dalam proyek pembangunan Pasar Sentra Antasari di
Banjarmasin. Ada kendala dalam penerapan pertanggungjawaban korporasi, yang menjadi permasalahan
dalam artikel ini. Data yang digunakan dalam penulisan artikel ini sebagian diperoleh dari hasil penelitian
di Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur. Dalam pembahasan, diuraikan ketidaklengkapan ketentuan
mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam UU Tipikor yang menimbulkan kendala dalam
penerapannya. Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan
Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun
2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi dianggap dapat mengisi kekosongan
hukum dalam menjerat korporasi sebagai subjek hukum pidana. Namun, kedudukan Peraturan Jaksa
Agung dan Peraturan Mahkamah Agung tidak termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan, hanya diakui keberadaannya, sehingga hanya mengikat ke dalam. Artikel ini diharapkan
dapat menjadi bahan masukan dalam melakukan perubahan terhadap UU Tipikor, KUHP, dan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Kata kunci: pertanggungjawaban pidana, korporasi, tindak pidana, korupsi

xii NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh difotokopi
BAHASA HUKUM DALAM PUTUSAN PERKARA PIDANA

Usman Pakaya

Abstrak
Penelitian ini tentang penggunaan bahasa hukum dan aspek-aspek pembangun bahasa dalam teks
hukum putusan perkara pidana. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teori pendukung
di dalam menguraikan dan menganalisis persoalan putusan perkara pidana, di antaranya adalah bahasa
hukum, struktur wacana, tindak tutur, pengistilahan, variasi bahasa, koherensi dan kohesi, serta
karakteristik bahasa hukum. Sementara metodologi penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian
ini adalah metode penelitian kualitatif, metode ini digunakan untuk menemukan kebenaran ilmiah
dari sebuah objek penelitian secara mendalam. Untuk sumber data penelitian, peneliti memperolehnya
dari putusan perkara pidana PN Kota Gorontalo (kelas IB), PN Kabupaten Boalemo (kelas IIA), dan
PN Kabupaten Pohuwato (kelas IIA). Pemilihan wilayah kota dan kabupaten dipertimbangkan untuk
melihat keterwakilan sumber data berdasarkan pembagian kelas pada Pengadilan Negeri. Lebih lanjut
penelitian ini bertujuan mengelaborasi bahasa hukum, struktur, tindak tutur, pengistilahan, gaya bahasa,
serta koherensi dan kohesi putusan perkara pidana. Adapun hasil penelitian menunjukan bahwa surat
putusan perkara pidana dibangun dari beberapa unsur pembangun bahasa, yaitu struktur wacana, tindak
tutur, pengistilahan, variasi bahasa, koherensi dan kohesi, serta karakteristik khas.
Kata kunci: hukum, pengadilan, sosiolinguistik, pragmatik

ABSTRAK xiii
VOL. 8 NO. 1, JUNE 2017 ISSN: 2087-295X

The Keywords noted here are the words which represent the consept applied in a writing. These abstracs are allowed to
copy without permission from the publisher and free of charger.
COOPERATIVE AS A LEGAL ENTITY TO CONDUCT BANKING BUSINESS ACTIVITIES

Dian Cahyaningrum

Abstract
The appropriate enterprise is needed in order to face the tight competition in the banking sector in this globalization
era. Not like limited enterprise, the cooperative is considered not appropriate to conduct the banking business
activities. That statement raise an issue that cooperative should not be given chance to conduct banking business
in the Banking Draft (Bill). Through this juridical normative and juridical empirical research, using primary and
secondary data which are presented qualitatively and analyzed in discriptive and precriptive method to get the
result that the cooperative still should be given a chance to conduct banking business activities in the Banking
Draft (Bill). If not, the Banking Draft (Bill) is considered as a breach of the Article 33 (1) and Article 28 I (2)
of the Constitution (UUD NRI Tahun 1945) that can be submitted for judicial review to the Constitutional
Court. The chance of the cooperative to conduct banking business activities should not be eliminated if the
cooperative does not develop however it is necessary to do some efforts to make it develop well. There are so
many juridical problems faced by the cooperative which prevent its development. Those problems are dualism
of the rules between banking rules and the cooperative rules. The other problem is cooperative is being treated
as limited enterprise which cause a breach of the cooperatives rules and principles. In addition, there is no rule
that manage a good competition between banks with big capital and cooperative banks with small capital also
become problem faced by the coopeerative bank. In order to solve those problems it would need to redesign the
cooperative law to separate the cooperative as an legal entity and its business fields, so that the cooperative will
be able to develop properly. Therefore, it is necessary to create a law that regulating the cooperative to conduct
the banking business activities. In addition, it is also need banking bussiness sector rules that kept banks compete
in a healthy competition
Keywords: cooperative, bank, limited enterprise, good cooperative governance

xiv NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


The Keywords noted here are the words which represent the consept applied in a writing. These abstracs are allowed to
copy without permission from the publisher and free of charger.
INTELLECTUAL PROPERTY AS BANKING CREDIT GUARANTEE

Trias Palupi Kurnianingrum

Abstract
Intellectual Property Rights (IPR) basically have an economic value. Globally, the IPR can be used as a collateral
to obtain a bank loan internationally. The arrangement of the new materials related to IPR as an object of
credit guarantee already arranged in Article 16 Paragraph (3) Law No. 28 Year 2014 regarding Copyright
and Article 108 Paragraph (1) Law No. 13 Year 2016 regarding the Patent. This new arrangement regarding
the IPR assets as a collateral of bank loan indirectly can be a motivation for the creators, inventors to be more
productive in order to create new inventions. This also mean that state appreciate the inventors for their creation.
Unfortunately, although its already regulated in legal act the implementation still having some obstacles. The
limited protection periods of the IPR’s ownership, the lack of concepts of due diligence, the IPR’s assets appraisal,
and the IPR’s appraisal institution and the absence of the juridical support in form of regulation related to the
IPR as collateral and the revision of the Bank Indonesia Regulation No. 9/6/PBI/2007 concering the bank credit
collateral can be consider as the major factors why bank cannot accepted the IPR assets as an object of bank
credit guarantee. In order to implemented the renewal concepts, its required firm juridical support and detailed
regulation about the IPR’s assets as an object of bank credit guarantaee, and the existance of the IPR’s apparaisal
institution in Indonesia.
Keywords: intellectual property, banking security, renewal of law

ABSTRAK xv
The Keywords noted here are the words which represent the consept applied in a writing. These abstracs are allowed to
copy without permission from the publisher and free of charger.
THE IMPLEMENTATION OF THE FOREIGN LABOR PERMITS THROUGH
THE REGIONAL ONE STOP INTEGRATED SERVICES

Monika Suhayati

Abstract
The utilization of the foreign labors and its licenses in Indonesia is regulated in Law No. 25 year 2007 regarding
The Investment and Law No. 13 year 2003 regarding The Labor and its implementing regulations. The permits
of the foreign labor is one of the licensing processed through the One Stop Integrated Services (PTSP). This
licensing process is conducted in two stages, known as the stage of Foreign Labor Utilization Plan and the stage of
Licensing the Foreign Labor. This paper is made to study the urgency of foreign labor licensing through One Stop
Integrated Services, the regulation of foreign labor working permits through One Stop Integrated Services, and
the effectiveness of the implementation of foreign labor working permits through the regional One Stop Integrated
Services. The problem is analyzed using the principle of legality, delegation of authority, and the effectiveness of
law enforcement. As the result of this study, the urgency of the foreign labor work licensing conducted through
One Stop Integrated Services is to create the simplification and acceleration of the foreign labor working permits
completion which will increase the investment. Based on the Presidential Regulation No. 97 year 2014, the
implementation of One Stop Integrated Services by the regional government is carried out by the Provincial or
Regency/Municipality Investment Body and One-Stop Integrated Services (BPMPTSP) based on the delegation
of authority from the Governor or Head of Regent/Mayor to the Head of BPMPTSP of Provincial or Regency/
Municipality. In the implementation in some regions, there are problems such as The management of the issuance
of the extension of Foreign Labor Utilization Permits which have not been transferred to the Provincial or
Regency/Municipality One Stop Integrated Services: The Manpower Office at the provincial level has not yet
assigned its functional personnel to The Provincial or Regency/Municipality One Stop Integrated Services under
the control operation mechanism. In conclusion, it is necessary to revise the authority of the issuance of Foreign
Labor Utilization Permits at the provincial/regency/municipality level, improve the coordination between related
sectors, increase socialization of the SPIPISE, the budgeting the improvement of the foreign labor working permit
facilities and infrastructure at the provincial/regency/municipality One Stop Integrated Services, and improve the
performance of the investment officers.
Keywords: investment, foreign labor, licensing, foreign labor utilization permit

xvi NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


The Keywords noted here are the words which represent the consept applied in a writing. These abstracs are allowed to
copy without permission from the publisher and free of charger.
THE ACCOUNTABILITY PATTERN OF MEMBER OF THE REPRESENTATIVE BODY:
IDENTIFICATION TOWARD THE CITY COUNCILS IN THE LIVERPOOL, VANCOUVER,
AND SHAH ALAM

Inna Junaenah dan Bilal Dewansyah

Abstract
Indonesian legal system determines that the Local Representatives Body, known as the DPRD has the functions
to establishing, supervising the execution of local affairs and budgeting. Those functions provides the rights
to the DPRD both collectively and individually. However, there are also legal obligations applied only for
individual. The problem is those three functions has not been embodied properly in the elaborated duties of the
Representatives Body. It can be seen, that inspite of the collectivity, a number of duties are also inherent to the
member of DPRD individually. Yet, the existing provisions have lack of support for the member of DPRD to
increase their competence in order to strengthen those functions. In this paper, the author try to identify some
models of individual accountability where there is a practical references applied in the three-municipalities, which
are city council of Liverpool, Vancouver and Shah Alam. Considered as identification due to that there are no
similarity certainty for all the mentioned places. Eventually, once the pattern of accountability has been found, it
becomes the raw material of recommendation on revision of the Local Government Act.
Keywords: individual accountability, local council, identification

ABSTRAK xvii
The Keywords noted here are the words which represent the consept applied in a writing. These abstracs are allowed to
copy without permission from the publisher and free of charger.
MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG:
PEMBELAJARAN BAGI INDONESIA

Muhammad Siddiq Armia

Abstrak
Posisi peradilan memainkan peranan penting dalam proses uji materi undang-undang. Mahkamah konstitusi dan
pengujian undang-undang merupakan dua kata yang saling berkaitan memiliki keterikatan. Ide dasar pengujian
peraturan perundang-undangan melalui lembaga peradilan berkembang luas di dunia hingga sampai ke
Indonesia. Sistem pengujian undang-undang dengan melibatkan hakim sudah sering digunakan dan dipraktekkan
di berbagai negara. Terdapat dua organ kenegaraan yang mempunyai peran vital dalam memaikan peran ini
yaitu mahkamah konstitusi dan mahkamah agung. Model seperti ini lebih dikenal dengan model terpusat di
suatu lembaga negara sebagaimana yang di Amerika Serikat. Sedangkan negara yang mempunyai mahkamah
konstitusi akan melimpahkan kewenangan pengujian undang-undang kepada mahkamah konstitusi, model ini
dikenal dengan model Kelsen. Pada model ini mahkamah konstitusi hanya berfokus pada konstitutionalitas
peraturan peraturan perundang-undangan serta memastikannya agar tidak bertentangan dengan norma
dalam konstitusi. Mahkamah agung pada model ini hanya berfokus untuk menangani kasus sehari-hari saja,
bukan untuk menguji peraturan perundang-undangan. Dua model ini pengujian undang-undang ini (melalui
mahkamah konstitusi dan mahkamah agung) sering diterapkan dalam sistem ketatanegaraan dunia, termasuk
juga di Indonesia. Pada zaman rezim otoriter, Indonesia menerapkan sistem pengujian undang-undang terpusat,
dengan memposisikan Mahkamah Agung sebagai organ tunggal negara yang menangani perkara sehari-hari dan
pengujian undang-undang. Menemukan hambatan dengan model terpusat ini, akhirnya Indonesia membentuk
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi Indonesia hanya menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945. Sedangkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tetap menjadi
kewenangan Mahkamah Agung. Modifikasi seperti ini berakibat rentannya terjadi pertentangan putusan antara
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Kata kunci: studi perbandingan, mahkamah konstitusi, pengujian undang-undang

xviii NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


The Keywords noted here are the words which represent the consept applied in a writing. These abstracs are allowed to
copy without permission from the publisher and free of charger.
THE OBSTACLES OF IMPLEMENTING THE CRIMINAL
LIABILITY OF THE CORPORATION AS A CRIMINAL OF CORRUPTION

Puteri Hikmawati

Abstract
The handling of corruption by the law enforcement officers do not yet optimally entangled the corporation as the
perpetrator of a criminal act. Whereas, the Law concerning the Eradication of the Criminal Act of Corruption
Law Number 31 year 1999 which has been amended by Law Number 20 year 2001 the has been regulated that
the corporation as the subject of criminal act. However, only a few corporations have been convicted, one of them
is the case involving PT Giri Jaladi Wana (PT GJW) in development of Sentra Antasari Market’s project in
Banjarmasin. There are obstacles on implementing the corporate liability in corruption criminal act, as an example
the case in this article. Part of the data used in the writing of this article is obtained from the results of research
in North Sumatra Province and East Java Province. This article describes the lack of complementary provisions
on corporate criminal liability in Law Number 31 year 1999, which causing difficulties in its application by the
law enforcement officers. The Regulation of Attorney General Number PER-028/A/JA/10/2014 concerning the
Guidance on Criminal Case Handling with Corporation As a Legal Subject and the Supreme Court’s Regulation
Number 13 Year 2016 concerning the Standard Procedures for Handling Criminal Acts by Corporation, are
considered to fill the legal vacant. However, the legal standing of The Attorney General Regulation and The
Supreme Court’s Regulation are did not include as the types and hierarchy of legislation, which can only be
recognized, therefore it is only bind internally. This article is expected to be inserted into the amendment of Law
Number 31 year 1999, the Criminal Code, and Law Number 8 year 1981 on Criminal Code Procedures.
Keywords: criminal liability, corporation, criminal offenses, corruption

ABSTRAK xix
The Keywords noted here are the words which represent the consept applied in a writing. These abstracs are allowed to
copy without permission from the publisher and free of charger.
THE LEGAL LANGUAGE IN THE CRIMINAL CASE DECISION

Usman Pakaya

Abstract
This research is regarding the application of legal language and the language generating aspects on the legal
text in the criminal case decision. In this research, the researcher applied several supporting theories in order
to elaborating and analyzing the issue in the criminal case decision, which among others: the legal language,
structure of discourse, speech act, terminology, language variation, coherent and cohesion, and legal language
characteristic. Whilst the methodology of research applied by the researcher is a qualitative methodology, this
method is used to find out the scientific truth of the research object with more depth. For the purpose of this
research, the researcher obtained the data research from the criminal case decision in Gorontalo’s civil court
(IB), Boalemo’s civil court (IIA), and Pohuwato’s civil court (IIA). The selection of city and regency are being
considered in order to see the representation of the data sources based on existing class division in the civil court.
Furthermore the purpose of this research is to elaborate the legal language, the structure, speech act, terminology,
language variation, coherent and cohesion, and the characteristic of the criminal case decision. The result of the
research have shown that the criminal case decision are built by several element of language generating, which
is include: structure of discourse, speech act, terminology, language variation, coherence and cohesion, and a
specialized characteristic.
Keywords: law, court, sociolinguistics, pragmatics

xx NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


BENTUK BADAN HUKUM KOPERASI UNTUK MENJALANKAN
KEGIATAN USAHA PERBANKAN

COOPERATIVE AS A LEGAL ENTITY TO CONDUCT


BANKING BUSINESS ACTIVITIES

Dian Cahyaningrum
Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI
Komplek MPR/DPR/DPD Gedung Nusantara I Lantai 2,
Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta
Email: cahyaningrum@yahoo.com

Naskah diterima: 10 April 2017


Naskah direvisi: 30 Mei 2017
Naskah diterbitkan: 20 Juni 2017

Abstract
The appropriate enterprise is needed in order to face the tight competition in the banking sector in this
globalization era. Not like limited enterprise, the cooperative is considered not appropriate to conduct the
banking business activities. That statement raise an issue that cooperative should not be given chance
to conduct banking business in the Banking Draft (Bill). Through this juridical normative and juridical
empirical research, using primary and secondary data which are presented qualitatively and analyzed
in discriptive and precriptive method to get the result that the cooperative still should be given a chance
to conduct banking business activities in the Banking Draft (Bill). If not, the Banking Draft (Bill) is
considered as a breach of the Article 33 (1) and Article 28 I (2) of the Constitution (UUD NRI Tahun
1945) that can be submitted for judicial review to the Constitutional Court. The chance of the cooperative
to conduct banking business activities should not be eliminated if the cooperative does not develop however
it is necessary to do some efforts to make it develop well. There are so many juridical problems faced by the
cooperative which prevent its development. Those problems are dualism of the rules between banking rules
and the cooperative rules. The other problem is cooperative is being treated as limited enterprise which
cause a breach of the cooperatives rules and principles. In addition, there is no rule that manage a good
competition between banks with big capital and cooperative banks with small capital also become problem
faced by the coopeerative bank. In order to solve those problems it would need to redesign the cooperative
law to separate the cooperative as an legal entity and its business fields, so that the cooperative will be able
to develop properly. Therefore, it is necessary to create a law that regulating the cooperative to conduct
the banking business activities. In addition, it is also need banking bussiness sector rules that kept banks
compete in a healthy competition
Keywords: cooperative, bank, limited enterprise, good cooperative governance

Abstrak
Persaingan yang cukup ketat di bidang perbankan di era global menghendaki adanya bentuk
badan hukum yang sesuai untuk dapat menjalankan kegiatan usaha perbankan. Sehubungan
dengan hal ini, bentuk badan hukum koperasi diragukan keandalannya untuk dapat menjalankan
kegiatan usaha perbankan, seperti halnya perseroan terbatas (PT) sehingga muncul wacana untuk
menutup peluang koperasi melakukan kegiatan usaha perbankan dalam Rancangan Undang-
Undang (RUU) Perbankan. Melalui penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris dengan
menggunakan data primer dan sekunder yang disajikan secara kualitatif dan dianalisis secara
deskriptif dan preskriptif diperoleh hasil bentuk badan hukum koperasi perlu tetap dipertahankan
dalam RUU Perbankan. Tidak diberinya peluang koperasi untuk menjalankan kegiatan usaha
perbankan merupakan pelanggaran terhadap Pasal 33 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) Undang

DIAN CAHYANINGRUM: Bentuk Badan Hukum Koperasi... 1


Undang Dasar Negara Republik Indonesia berkembang adalah bentuk badan hukum
Tahun 1945 sehingga dapat diajukan bank. Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) dan ayat
judicial review. Tidak berkembangnya (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
koperasi di bidang perbankan tidak berarti tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
harus menghilangkan koperasi dalam RUU dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
Perbankan melainkan harus diupayakan
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
agar koperasi dapat berkembang dengan
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
baik. Tidak berkembangnya koperasi di
(untuk selanjutnya UU Nomor 7 Tahun 1992
bidang perbankan tersebut disebabkan
adanya permasalahan hukum yang dan perubahannya yaitu UU Nomor 10 Tahun
dihadapi bank koperasi, di antaranya 1998 dalam kajian ini disebut UU Perbankan),
adanya dualisme pengaturan antara bidang baik bank umum maupun Bank Perkreditan
perbankan dan koperasi. Permasalahan Rakyat (BPR) dapat berbentuk hukum koperasi,
lainnya, koperasi diperlakukan seperti PT perseroan terbatas (PT), dan perusahaan daerah.
sehingga terjadi pelanggaran terhadap Selain ketiga bentuk tersebut, bentuk hukum
aturan dan prinsip-prinsip perkoperasian. BPR dapat berupa bentuk lain yang ditetapkan
Selain itu, juga tidak ada aturan area dengan peraturan pemerintah. Dibukanya
usaha bank sehingga bank koperasi kemungkinan bagi BPR untuk memiliki bentuk
yang modalnya kecil harus bersaing lain dimaksudkan untuk memberikan wadah
dengan bank-bank besar. Solusi untuk bagi penyelenggaraan lembaga perbankan yang
menyelesaikan masalah tersebut adalah
lebih kecil dari BPR, seperti bank desa, lumbung
dengan melakukan terobosan hukum untuk
desa, badan kredit desa, dan lembaga-lembaga
merancang ulang peraturan perundang-
lainnya yang dipersamakan dengan itu.1
undangan di bidang perkoperasian untuk
dapat memisahkan bentuk badan hukum Dari ketiga bentuk badan hukum
koperasi dan bidang usaha koperasi agar tersebut, menurut Gatot Supramono, bentuk
koperasi dapat berkembang dengan baik. badan hukum yang paling menonjol dan
Solusi lainnya perlu dibentuk undang- banyak digunakan dalam praktik adalah PT
undang perbankan perkoperasian yang dibandingkan dengan koperasi atau perusahaan
mengatur koperasi dalam menjalankan daerah (Perusda). PT dianggap sebagai bentuk
kegiatan usaha perbankan. Selain itu juga badan hukum yang ideal bagi bank karena
perlu ada aturan area usaha bank agar kedudukan dan sifatnya memperlancar usaha
persaingan antar-bank dapat dilakukan bank. PT merupakan badan hukum yang
secara sehat. memiliki tujuan utama mencari keuntungan
Kata kunci: koperasi, bank, perseroan atau profit oriented sehingga harus diurus
terbatas, tata kelola koperasi oleh pengurus yang profesional. Selain
yang baik itu, pertanggungjawaban PT berada pada
badan hukumnya, sedangkan pendiri hanya
bertanggung jawab terbatas pada modal yang
I. PENDAHULUAN dimasukkan.2
Di era globalisasi terjadi persaingan Tidak seperti PT, menurut Gatot Supramono,
yang cukup ketat antar-bank seiring dengan koperasi pada umumnya merupakan perusahaan
dibukanya peluang untuk mendirikan bank yang kurang berani bersaing dengan perusahaan-
atau membuka cabang bank di lintas batas perusahaan lainnya. Koperasi berstatus sebagai
negara, termasuk di Indonesia. Oleh karena
itu, bank harus benar-benar dikelola dengan 1 Penjelasan Pasal 21 ayat (2) huruf d Undang-Undang
baik sehingga bank berkembang dan memiliki Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
daya saing tinggi dengan bank lainnya. Salah 2 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu
satu faktor penting yang mempengaruhi Tinjauan di Bidang Yuridis, Jakarta: Rineka Cipta, 2009,
pengelolaan bank agar bank dapat maju dan hal. 53-54.

2 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


badan hukum yang modalnya berasal dari pelaksanaan dan pengawasan perbankan antara
simpanan para anggota. Meskipun koperasi OJK4 dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
sebagai perusahaan bertujuan untuk mencari dan Menengah; 4) sulitnya mengambil keputusan
keuntungan, namun tujuan utama koperasi pada bank yang berbadan hukum koperasi,
adalah untuk menyejahterakan anggotanya. khususnya apabila jumlah anggota koperasi cukup
Selain itu, banyak pengurus dan anggota koperasi banyak karena rapat anggota koperasi sebagai
yang ada di Indonesia kurang menguasai cara organ tertinggi koperasi sulit diselenggarakan
menjalankan koperasi sebagai perusahaan. sewaktu-waktu; dan 5) beralihnya bank berbadan
Pengurus koperasi juga kurang profesional hukum koperasi menjadi koperasi simpan pinjam
selaku pengusaha. Hal inilah yang menyebabkan apabila dibubarkan oleh BI karena suatu alasan,
banyak orang ragu-ragu untuk mendirikan bank misalnya terkena sanksi atau bank bangkrut
yang berbentuk badan hukum koperasi. Bank sehingga dikhawatirkan dapat merugikan
berbentuk badan hukum koperasi dianggap nasabah.5
kurang atau tidak akan berhasil menjalankan Berbeda dengan BI, beberapa anggota
tugasnya melayani masyarakat.3 Komisi XI DPR RI Periode 2009-2014
Senada dengan Gatot Supramono, Bank berpandangan bahwa RUU Perbankan
Indonesia (BI) pada saat Rapat Dengar Pendapat seharusnya membuka ruang untuk membentuk
Umum (RDPU) dalam rangka penyusunan RUU bank yang berbadan hukum koperasi.
Perbankan di Komisi XI DPR RI Periode 1999- Ditutupnya ruang untuk membentuk bank
2014 juga berpandangan bahwa PT dianggap berbadan hukum koperasi merupakan
sebagai bentuk badan hukum bank terbaik pelanggaran terhadap Pasal 33 ayat (1) Undang-
karena: 1) modal sewaktu-waktu dapat ditambah Undang Dasar Negara Republik Indonesia
melalui penjualan saham, 2) bank dipimpin oleh Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang
direksi yang profesional dan berkualitas, 3) ada menyebutkan “Perekonomian disusun sebagai
Dewan Komisaris yang mengawasi Direksi dalam usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.
melakukan pengurusan pada bank, 4) bank Sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad
tunduk pada aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hatta yang dikenal sebagai bapak Koperasi
dan juga diawasi oleh OJK, dan keputusan dapat Indonesia, bentuk usaha yang sesuai dengan
diambil secara cepat karena pemegang saham usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan
mayoritas memegang peranan yang besar dalam sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat
pengambilan keputusan. Dengan kelebihannya (1) UUD Tahun 1945 adalah koperasi. Dengan
tersebut, bentuk badan hukum PT ini jugalah demikian, tidak diakomodasinya bentuk
yang berlaku dalam UU Nomor 21 Tahun 2008 badan hukum koperasi pada bank dalam RUU
tentang Perbankan Syariah, sebagaimana dapat Perbankan dikhawatirkan dapat mengakibatkan
dilihat dalam Pasal 7 UU Nomor 21 Tahun RUU Perbankan setelah disahkan menjadi
2008 yang berbunyi “bentuk badan hukum Bank UU Perbankan diajukan judicial review ke
Syariah adalah perseroan terbatas”. Mahkamah Konstitusi (MK), apalagi saat ini
BI juga sependapat dengan Gatot Supramono masih ada BPR yang berbadan hukum koperasi.
bahwa bentuk badan hukum koperasi memiliki
banyak kelemahan apabila diterapkan pada bank.
Beberapa kelemahan dimaksud adalah: 1) kurang 4
Berdasarkan UU Undang-Undang Nomor 10 Tahun
kuatnya permodalan; 2) kurangnya sumber daya 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
manusia (SDM) yang berkualitas yang dapat 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bank diawasi oleh
menjadi pengurus atau duduk sebagai jajaran Bank Indonesia. Namun setelah UU No. 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dibentuk maka
manajerial bank karena pengurus diambil dari
pengawasan bank dilakukan oleh OJK.
anggota koperasi; 3) adanya dualisme pengaturan 5
Rapat Penyusunan RUU Perbankan antara Komisi XI
DPR RI Periode 2009-2014 dengan Bank Indonesia pada
3
Ibid. tahun 2013 di Hotel Continental Jakarta.

DIAN CAHYANINGRUM: Bentuk Badan Hukum Koperasi... 3


Selain argumen tersebut, pada kenyataannya menjadi RUU Perbankan inisiatif DPR. Selain
berdasarkan data dari International Co-operative itu, politik hukum perbankan, khususnya yang
Alliance (ICA, 1998) menunjukkan bahwa berkaitan dengan bentuk badan hukum bank
pangsa pasar dari bank-bank koperasi di negara- pada masa DPR RI Periode 2014-2019 juga
negara maju seperti Perancis, Austria, Finlandia, dimungkinkan berubah dan berbeda dengan
dan Siprus cukup besar yaitu mencapai sekitar politik hukum perbankan pada masa DPR RI
sepertiga dari total bank yang ada. Sebagai contoh Periode 2009-2014. Namun kenyataan bahwa
dua bank terbesar di Eropa, yaitu Credit Agricole hingga saat ini belum ada bank umum yang
di Perancis dan RABO-Bank di Netherlands berbadan hukum koperasi, selain juga pendapat
dimiliki oleh koperasi. Begitupula di Jepang, peran BI adanya berbagai kelemahan dalam bank yang
koperasi di pedesaan Jepang telah menggantikan berbadan hukum koperasi sangatlah menarik.
fungsi bank sehingga koperasi sering disebut Berdasarkan pada paparan tersebut,
sebagai bank rakyat karena koperasi di Jepang permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini adalah
beroperasi dengan menerapkan sistem perbankan. apakah bentuk badan hukum koperasi cocok untuk
Bahkan salah satu bank besar di Jepang adalah dapat menjalankan kegiatan usaha perbankan.
koperasi, yakni Nurinchukin Bank.6 Sehubungan dengan permasalahan tersebut maka
Sehubungan dengan adanya perbedaan tulisan ini akan menganalisis bagaimana peraturan
pandangan tersebut, dalam diskusi penyusunan perundang-undangan memberikan peluang
RUU Perbankan di Komisi XI DPR RI Periode bagi koperasi untuk melaksanakan kegiatan
2009-2014 akhirnya diputuskan bahwa bank usaha perbankan, permasalahan hukum yang
umum harus berbadan hukum Indonesia yang terjadi pada BPR Koperasi dan upaya yang dapat
berbentuk PT, sedangkan untuk BPR dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan
berbadan hukum Indonesia yang berbentuk hukum tersebut. Mengingat sampai saat ini belum
PT atau Koperasi (Pasal 21 RUU Perbankan).7 ada bank umum yang berbadan hukum koperasi
Dasar pertimbangan dari keputusan tersebut maka kajian ini fokus pada BPR yang berbadan
adalah pada saat keputusan diambil, belum hukum koperasi (BPR Koperasi). Adapun tujuan
ada bank umum yang berbadan hukum dari kajian ini adalah untuk mengetahui peluang
koperasi dan ada sejumlah BPR yang berbadan yang diberikan oleh peraturan perundang-
hukum koperasi sehingga perlu diakomodasi undangan kepada koperasi untuk melakukan
keberadaannya dalam RUU Perbankan. kegiatan usaha perbankan, permasalahan hukum
Berdasarkan data, jumlah BPR yang berbadan yang terjadi pada BPR Koperasi dan upaya
hukum koperasi sampai dengan Maret 2013 ada yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan
sebanyak 29 Koperasi BPR yang tersebar di 21 permasalahan hukum tersebut.
kabupaten dan 2 kota di tujuh provinsi.8 Kajian ini merupakan kajian baru yang
RUU Perbankan pada masa DPR RI Periode belum pernah diteliti atau pun dikaji sebelumnya.
2009-2014 memang belum disahkan menjadi Namun demikian, ada beberapa penelitian
UU dan baru disetujui Paripurna DPR RI untuk atau kajian terkait diantaranya penelitian yang
dilakukan oleh M. Muhtarom dari Fakultas
6
“Membangun “Koperasi Modern” Indonesia dengan UU Agama Islam Universitas Muhammadiyah
No. 17 Tahun 2012”, www.kspintidana.com, diakses
tanggal 21 April 2016.
Surakarta yang meneliti mengenai “Harmonisasi
7
RUU Perbankan ini telah disahkan dalam Rapat Paripurna Hukum Perbankan dan Perkoperasian dalam
DPR RI Periode 2009-2014 sebagai RUU Perbankan Pengaturan tentang Penghimpunan Dana
inisiatif DPR, yang selanjutnya dikirim ke Pemerintah Simpanan Masyarakat.” Dalam penelitiannya
untuk dibahas. Namun karena masa jabatan DPR RI
Periode 2009-2014 telah berakhir maka RUU Perbankan
tersebut, M. Muhtarom melihat adanya
belum memasuki tahap pembahasan dengan pemerintah. inkonsistensi pelaksanaan atau ketidakefektifan
8
Purwanto Waluyo, “Rancu Bank Perkreditan Rakyat UU Perbankan dan UU Perkoperasian sehingga
Berbadan Hukum Koperasi”, www.kspintidana.com, menjadi persoalan terhadap nilai keadilan dan
diakses tanggal 25 Februari 2016.

4 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


kepastian hukum lembaga keuangan. Banyak Miknyo Jadmiko memperbandingkan BPR
koperasi simpan pinjam yang menghimpun dana Koperasi dan BPR PT, namun penelitian
dari masyarakat, padahal berdasarkan Pasal 16 tersebut tidak mengupas permasalahan hukum
ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 1998 yang dapat yang dihadapi BPR dalam bentuknya sebagai
melakukan kegiatan usaha menghimpun dana koperasi sebagaimana yang akan dikupas dalam
dari masyarakat adalah bank.9 tulisan ini.
Begitupula Dessy Lina Oktaviani Suendra
dari Program Pascasarjana Universitas II. METODE PENELITIAN
Udayana Denpasar, Bali juga pernah menulis Penelitian ini merupakan penelitian yuridis
tesis mengenai “Pertanggungjawaban Pidana normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis
Koperasi dalam Tindak Pidana Perbankan normatif dilakukan dengan meneliti peraturan
Tanpa Izin”. Dalam tesisnya tersebut, Desy perundang-undangan yang mengatur bentuk
meneliti mengenai pertanggunggungjawaban badan hukum koperasi yang menjalankan
pidana koperasi simpan pinjam yang melakukan kegiatan usaha perbankan. Sedangkan
kegiatan perbankan yang seharusnya tidak boleh penelitian yuridis empiris dilakukan dengan
dilakukannya. Kegiatan perbankan dimaksud meneliti pelaksanaan peraturan perundang-
adalah menghimpun dana dari masyarakat undangan tersebut, yaitu apakah peraturan
dan menyalurkan dana kepada calon anggota perundang-undangan tersebut menimbulkan
koperasi.10 Seperti halnya M. Muhtarom, objek permasalahan pada bentuk badan hukum
yang dikaji oleh Dessy Lina Oktaviani adalah koperasi yang menjalankan kegiatan usaha
koperasi simpan pinjam, bukan bank yang perbankan.
berbentuk badan hukum koperasi sebagaimana Data yang diperlukan dalam penelitian
yang akan dikaji dalam tulisan ini. yuridis normatif dan yuridis empiris ini adalah
Penelitian terkait lainnya adalah penelitian data sekunder dengan dukungan data primer.
yang dilakukan oleh Andreas Miknyo Jadmiko Data sekunder yang dimaksud meliputi
dari Universitas Negeri Surabaya mengenai peraturan perundang-undangan yang relevan,
“Analisis Perbandingan Resiko Keuangan diantaranya Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945,
BPR Perseroan Terbatas dan BPR Koperasi”. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
tingkat risiko keuangan BPR yang berbadan 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU
hukum PT dan BPR yang berbadan hukum Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, UU
koperasi. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian,
risiko keuangan BPR Koperasi lebih tinggi UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
jika dibandingkan dengan BPR yang berbadan Terbatas, dan aturan-aturan pelaksanaan dari
hukum PT.11 Meskipun penelitian Andreas UU tersebut. Data sekunder lainnya adalah
ulasan atau komentar para pakar yang terdapat
9
M. Muhtarom, “Harmonisasi Hukum Perbankan dan
dalam buku, artikel, dan jurnal, termasuk yang
Perkoperasian dalam Pengaturan tentang Penghimpunan
Dana Simpanan Masyarakat”, SUHUF, Vol.25, No. 1, Mei dapat diakses melalui internet. Sedangkan
2013, www.publikasiilmiah.ums.ac.id., diakses tanggal 21 data primer diperoleh dari responden di
April 2016, hal. 30-45. lokasi penelitian yaitu di Jawa Barat dan Jawa
10
Dessy Lina Oktaviani Suendra, “Pertanggungjawaban Pidana
Timur. Beberapa responden dimaksud adalah
Koperasi dalam Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin”, Tesis,
Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, 2015, pejabat/pegawai OJK, direksi/pegawai BPR
www.pps.unud.ac.id, diakses tanggal 20 April 2016. yang berbadan hukum koperasi (BPR Koperasi),
11
Andreas Miknyo Jadmiko, “Analisis Perbandingan Risiko Dinas Koperasi dan UMKM, dan akademisi/pakar
Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Perseroan
yang kompeten di bidang perbankan dan
Terbatas dan BPR Koperasi”, Jurnal Akuntansi UNESA,
Vol.1, No.2, 2013, http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/ perkoperasian.
jurnal-akuntansi/article/view/730/1206, diakses tanggal
10 Februari 2017.

DIAN CAHYANINGRUM: Bentuk Badan Hukum Koperasi... 5


Data yang terkumpul disajikan secara orang perseorangan yang memiliki usaha
kualitatif dan dianalisis secara deskriptif sejenis, yang mempersatukan dirinya secara
dan preskriptif. Analisis yuridis deskriptif sukarela, dimiliki bersama, dan dikendalikan
menggambarkan mengenai pengaturan atau secara demokratis untuk memenuhi aspirasi
norma-norma mengenai beberapa masalah yang dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi.
diteliti. Sedangkan secara preskriptif, penelitian
Sebagai wadah kumpulan usaha sejenis yang
ini mengemukakan rumusan-rumusan regulasi memiliki kepentingan yang sama baik untuk
atau pengaturan yang diharapkan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas
menjadi alternatif penyempurnaan norma- yang penuh dengan nilai-nilai universal yang
norma yang mengatur bentuk badan hukum merupakan kekuatan dasar membangun modal
koperasi untuk menjalankan kegiatan usaha sosial.14
perbankan. Menurut Mohammad Hatta, tujuan
koperasi bukan mencari laba atau keuntungan,
III. KOPERASI DAN TATA KELOLA melainkan untuk memenuhi kebutuhan
KOPERASI (GOOD COOPERATIVE bersama anggota koperasi.15 Untuk memenuhi
GOVERNANCE) kebutuhan bersama para anggota koperasi, maka
Koperasi lahir di Rochdale Inggris pada muncul berbagai jenis koperasi diantaranya:16
tahun 1848 dan berkembang di Eropa sebagai a. Koperasi konsumsi adalah jenis koperasi
bentuk perlawanan terhadap kapitalisme konsumen. Anggota koperasi konsumsi
yang telah mendorong kemajuan-kemajuan memperoleh barang dan jasa dengan harga
ekonomi masyarakat-masyarakat barat, dimana lebih murah, lebih mudah, lebih baik dan
kemajuan tersebut sangat berkaitan erat dengan dengan pelayanan yang menyenangkan.
paham liberalisme dan individualisme. Sangat b. Koperasi produksi disebut juga koperasi
berlainan dengan kapitalisme, kooperativisme pemasaran. Koperasi produksi didirikan
bertumpu pada kerja sama diantara orang- oleh anggota yang bekerja di sektor usaha
orang yang dilakukan secara demokratis, tanpa produksi seperti petani, pengrajin, peternak,
memandang besarnya modal. Setiap orang dan sebagainya.
berhak satu suara. Oleh karena itu, koperasi c. Koperasi jasa didirikan bagi calon anggota
dikatakan sebagai perkumpulan orang, bukan yang menjual jasa. Misalnya usaha distribusi,
perkumpulan modal. Hal ini tidak berarti modal usaha perhotelan, angkutan, restoran, dan
tidak penting untuk koperasi. Namun modal lain-lain.
dimiliki secara merata diantara para anggota d. Koperasi simpan pinjam didirikan untuk
koperasi.12 mendukung kepentingan anggota yang
Berdasarkan pada prinsip kooperativisme membutuhkan tambahan modal usaha dan
tersebut, koperasi dapat diartikan sebagai suatu kebutuhan finansial lainnya.
perkumpulan yang beranggotakan orang-orang e. Koperasi single purpose dan multi purpose.
atau badan-badan yang memberikan kebebasan Koperasi single purposes adalah koperasi
untuk masuk dan keluar sebagai anggota; dengan yang aktivitasnya terdiri dari satu macam
bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan usaha. Misalnya koperasi kebutuhan
usaha, untuk mempertinggi kesejahteraan pokok, alat-alat pertanian, koperasi simpan
jasmaniah para anggota. Pengertian lain
13
14
Muslimin Nasution, Koperasi Menjawab Kondisi Ekonomi
dari koperasi adalah badan hukum yang
Nasional, Jakarta: Pusat Informasi Perkoperasian, 2008,
melakukan kegiatan usaha yang didirikan hal. 6.
15
“Sejarah Koperasi di Indonesia”, https://who21.wordpress.
12
Elli Ruslina, Dasar Perekonomian Indonesia dalam com/2013/11/02/sejarah-koperasi-di-indonesia/, diakses
Penyimpangan Mandat Konstitusi UUD Negara Tahun tanggal 10 Maret 2017.
1945, Yogyakarta: Total Media, 2013, hal. 327. 16
Bernhard Limbong, Pengusaha Koperasi, Jakarta:
13
Pandji Anoraga dan Ninik Widiyati, Dinamika Koperasi, Margaretha Pustaka, 2010, hal. 75-76.
Jakarta: Rineka Cipta, 2007, hal. 1-2.

6 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


pinjam, dan lain-lain. Sedangkan koperasi koperasi yang sehat berdasarkan pada prinsip-
multi purpose adalah koperasi yang didirikan prinsip dan nilai-nilai koperasi.
oleh para anggotanya untuk dua atau lebih Prinsip-prinsip koperasi itulah yang menjadi
jenis usaha. Misalnya, koperasi simpan kekuatan koperasi yang membedakannya
pinjam dan konsumsi, koperasi ekspor dan dengan badan usaha lain sehingga diharapkan
impor, dan lain-lain. koperasi dapat bertahan (survive) dalam
Sebagai suatu bentuk usaha yang dapat menghadapi persaingan. Adapun prinsip-prinsip
menjalankan kegiatan usaha di berbagai koperasi berdasarkan ICA Identity Cooperative
bidang, termasuk bidang perbankan, koperasi Statement (IICS) adalah:19
juga harus menghadapi persaingan yang a. Voluntary and open membership (sukarela
cukup ketat dengan pelaku usaha lainnya di dan terbuka).
era global. Untuk itu penting bagi koperasi Koperasi adalah organisasi sukarela,
untuk menerapkan tata kelola koperasi yang terbuka kepada semua orang untuk dapat
baik (good cooperative governance/GCG) agar menggunakan pelayanan yang diberikannya
kinerja koperasi dapat berjalan dengan baik. dan mau menerima tanggung jawab
Tata kelola koperasi diperlukan agar pengurus keanggotaan, tanpa membedakan jenis
koperasi bertindak sesuai dengan kepentingan kelamin, sosial, suku, politik, atau agama.
anggota koperasi, selain itu juga memastikan b. Democratic member control (kontrol anggota
system check & balance dalam organisasi koperasi demokratis).
berjalan dengan baik sehingga kecurangan dan Koperasi adalah organisasi demokratis
konflik kepentingan yang mungkin terjadi bisa yang dikontrol oleh anggotanya, yang aktif
diminimalisasi. berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan
Menurut Prijambodo, tata kelola koperasi dan membuat keputusan.
merupakan rangka re-design organisasi, menuju c. Member economic participation (partisipasi
organisasi yang sehat, transparan, akuntabel, ekonomi anggota).
mandiri, responsible dan wajar dengan tetap Anggota berkontribusi secara adil dan
mengacu pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip pengawasan secara demokrasi atas modal
koperasi.17 Sementara Karthikeyan mengartikan koperasi.
tata kelola koperasi sebagai suatu sistem tata d. Autonomy and independence (otonomi dan
kelola demokratis dan mandiri untuk mengatur independen).
entitas koperasi berdasarkan prinsip-prinsip, Koperasi adalah organisasi mandiri yang
nilai-nilai, dan filosofis koperasi melalui dikendalikan oleh anggota-anggotanya.
struktur organisasi yang efektif dan perangkat Walaupun koperasi membuat perjanjian
organisasi yang profesional.18 Berdasarkan pada dengan organisasi lainnya termasuk
pengertian tersebut, tata kelola koperasi dapat pemerintah atau menambah modal
diartikan sebagai suatu sistem untuk menata dari sumber luar, koperasi harus tetap
struktur organisasi koperasi agar menjadi dikendalikan secara demokrasi oleh anggota
dan mempertahankan otonomi koperasi.
17
Karlonta Nainggolan, Tohap Parulian, dan Ali Usman e. Education, training, and information
Siregar, “Indikator Membangun Good Cooperative
Governance untuk Menumbuhkan Kepercayaan
(pendidikan, pelatihan, dan informasi).
Masyarakat terhadap Koperasi, Studi di Kota Medan”, Koperasi menyediakan pendidikan dan
Jurnal Aplikasi Manajemen, Vol. 14 No. 2, 2016, http:// pelatihan untuk anggota, wakil-wakil yang
jurnaljam.ub.ac.id/index.php/jam/article/view/894, dipilih, manager, dan karyawan sehingga
diakses tanggal 16 Maret 2017.
18
Siti Nurfitriani dan Nurul Husnah, “Analisis Tata Kelola
mereka dapat berkontribusi secara efektif
dan Kinerja Koperasi Peternak Sapi di Jawa Barat”, Jurnal untuk perkembangan koperasi.
Pengkajian Koperasi dan UKM, Vol. 8 No. 1, Oktober 2013,
www.jurnal.smecda.com/index.php/pengkajiankukm/
19
Andjar Pachta W., Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia
article/view/82, diakses tanggal 16 Maret 2017. Maulisa Benemy, Hukum Koperasi Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012, hal. 22-25.

DIAN CAHYANINGRUM: Bentuk Badan Hukum Koperasi... 7


f. Cooperation among cooperatives (kerja sama karena mereka user-ownered, user-controlled,
antar koperasi). dan user benefited.
Koperasi melayani anggota-anggotanya d. Koperasi adalah organisasi demokratis
dan memperkuat gerakan koperasi melalui yang dikontrol oleh anggotanya. Mereka
kerja sama dengan struktur koperasi lokal, memilih pengurus yang berasal dari anggota
nasional, dan internasional. untuk menjadi perwakilan anggota dalam
g. Concern for community (perhatian terhadap mengelola kegiatan koperasi.
komunitas). e. Pengurus bertanggung jawab secara
Koperasi bekerja untuk perkembangan yang langsung pada anggotanya serta
berkesinambungan atas komunitasnya. melaksanakan keputusan dan kebijakan
Sedangkan nilai yang diyakini koperasi yang telah disetujui oleh anggota. Pengurus
ada 4 yaitu: 1) kejujuran; 2) keterbukaan, 3) memberikan informasi kepada anggota
bertanggung jawab, dan 4) kepedulian terhadap secara rutin mengenai kinerja keuangan
orang lain. Sedangkan menurut artikulasi dan progres pelaksanaan keputusan,
International Labour Organisation (ILO), prinsip kegiatan yang direncanakan, dan lain-lain.
dan nilai koperasi adalah “… include but not f. Anggota memiliki hak suara yang sama
limited to self-help, self responsibility, democracy, tanpa melihat besar kecilnya simpanan
equality, equity, and solidarity.20 yang mereka berikan kepada koperasi (one
Dari prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi man one vote).
tersebut terlihat bahwa tata kelola koperasi g. Tujuan utama koperasi adalah memenuhi
memiliki keunikan. Menurut pedoman kebutuhan anggota dan memastikan
tata kelola koperasi pertanian Bhutan yang kepuasan anggota, bukan sekedar
dikeluarkan Royal Government of Bhutan, menghasilkan profit.
keunikan tata kelola koperasi diantaranya:21 h. Prinsip-prinsip koperasi juga menekankan
a. Kegiatannya didasarkan pada prinsip dan pentingnya kepedulian terhadap masyarakat
nilai (dasar dan etika) yang diakui secara sehingga koperasi harus menyusun dan
internasional. Prinsip-prinsip dan nilai melaksanakan kebijakan serta strategi
ini menjadi acuan pelaksanaan kegiatan untuk mewujudkan pembangunan yang
koperasi untuk mencapai kebutuhan berkelanjutan di lingkungan masyarakatnya.
ekonomi, sosial, dan budaya anggota- Tata kelola koperasi dengan keunikannya
anggotanya melalui usaha yang dijalankan tersebut menghendaki tertatanya struktur
bersama. organisasi yang efektif dan perangkat organisasi
b. Koperasi merupakan badan usaha sekaligus yang profesional yang dapat menjalankan
perkumpulan individu. Untuk itu koperasi tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.
harus dapat menjaga keseimbangan antara Berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 1992,
praktik-praktik bisnis komersial dan perangkat organisasi koperasi terdiri dari
hubungan antar individu di dalamnya. rapat anggota, pengurus, dan pengawas
c. Koperasi dimiliki dan dikontrol oleh anggota koperasi. Rapat anggota merupakan pemegang
yang memperoleh manfaat dari produk dan kekuasaan tertinggi dalam koperasi yang harus
jasa yang dihasilkannya. Dengan kata lain, dilakukan paling sedikit sekali dalam setahun.
koperasi berbeda dengan badan usaha lain Rapat anggota memiliki hak untuk meminta
keterangan dan pertanggungjawaban pengurus
20
Karlonta Nainggolan, Tohap Parulian, dan Ali Usman dan pengawas koperasi mengenai pengelolaan
Siregar, “Indikator Membangun Good Cooperative
Governance untuk Menumbuhkan Kepercayaan
koperasi dan menetapkan: a) anggaran
Masyarakat terhadap Koperasi, Studi di Kota Medan”. dasar; b) kebijaksanaan umum di bidang
21
Siti Nurfitriani dan Nurul Husnah, “Analisis Tata Kelola organisasi manajemen, dan usaha koperasi;
dan Kinerja Koperasi Peternak Sapi di Jawa Barat”. c) pemilihan, pengangkatan, pemberhentian

8 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


pengurus dan pengawas; d) rencana kerja, koperasi, bahkan dapat mengakibatkan koperasi
rencana anggaran pendapatan dan belanja dibubarkan oleh pemerintah. Pembubaran
koperasi, serta pengesahan laporan keuangan; koperasi berdasarkan keputusan pemerintah akan
e) pengesahan pertanggungjwaban pengurus dilakukan apabila terdapat tiga alasan, yaitu: 1)
dalam pelaksanaannya; f) pembagian sisa hasil terdapat bukti bahwa koperasi yang bersangkutan
usaha (SHU); dan g) penggabungan, peleburan, tidak memenuhi ketentuan undang-undang; 2)
pembagian, dan pembubaran koperasi.22 kegiatan koperasi bertentangan dengan ketertiban
Perangkat lainnya yaitu pengurus koperasi umum dan/atau kesusilaan; dan 3) kelangsungan
dipilih dari dan oleh anggota koperasi dalam hidup koperasi tidak dapat lagi diharapkan.
rapat anggota. Pengurus bertanggung jawab Pembubaran koperasi karena alasan koperasi
mengenai segala kegiatan pengelolaan koperasi terbukti tidak memenuhi undang-undang dan
atau usahanya kepada rapat anggota dan bertentangan dengan ketertiban umum dan/
rapat anggota luar biasa. Selain pengurus, agar atau kesusilaan dapat dibuktikan setelah adanya
check and balance dalam struktur organisasi keputusan pengadilan negeri. Sedangkan
koperasi berjalan dengan baik maka dalam pembubaran karena alasan kelangsungan
struktur organisasi koperasi terdapat pengawas hidupnya tidak dapat lagi diharapkan, antara lain
koperasi yang dipilih dari dan oleh anggota karena dinyatakan pailit. Selain itu koperasi juga
koperasi dalam rapat anggota. Oleh karena itu, dapat dibubarkan berdasarkan keputusan rapat
pengawas koperasi bertanggung jawab kepada anggota.24
rapat anggota. Dalam hal terjadi pembubaran koperasi,
Penerapan tata kelola koperasi yang baik anggota koperasi hanya menanggung kerugian
sangat bermanfaat bagi koperasi. Manfaat sebatas simpanan pokok, simpanan wajib, dan
penerapan tata kelola koperasi yang baik pada modal penyertaan yang dimilikinya. Sedangkan
dasarnya sama dengan manfaat yang diperoleh modal pinjaman koperasi dan anggota tidak
dari penerapan good corporate yang baik, yaitu: termasuk kerugian yang ditanggung oleh
meminimalkan agency cost; meminimalkan cost anggota koperasi. Dengan berakhirnya proses
of capital; proses pengambilan keputusan akan penyelesaian, pemerintah akan mengumumkan
berlangsung secara lebih baik; mencegah atau pembubaran koperasi dalam Berita Negara RI.
meminimalisasi tindakan penyalahgunaan Status badan hukum koperasi pada akhirnya
wewenang oleh direksi dalam pengelolaan menjadi hapus sejak tanggal pengumuman
perusahaan; nilai perusahaan di mata investor pembubaran koperasi tersebut dalam Berita
meningkat; menaikkan nilai saham dan Negara RI.25
deviden; motivasi dan kepuasan kerja karyawan
diperkirakan meningkat; tingkat kepercayaan IV. LANDASAN YURIDIS PELUANG
para stakeholders kepada perusahaan meningkat; KOPERASI DI SEKTOR PERBANKAN
dan meningkatkan kualitas laporan keuangan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 merupakan
perusahaan.23 landasan yuridis konstitusional kegiatan
Tidak diterapkannya tata kelola koperasi perekonomian di Indonesia, termasuk kegiatan
yang baik dapat berdampak buruk terhadap usaha perbankan. Pasal 33 ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 menyebutkan “perekonomian
22
Pengaturan rapat anggota koperasi dalam Bab VI, Bagian
disusun sebagai usaha berdasar atas asas
Kedua, Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 UU No.25 Tahun
1992 tentang Perkoperasian. kekeluargaan”. Bentuk usaha yang sesuai
23
Jojok Dwiridotjahjono, “Penerapan Good Corporate dengan ketentuan tersebut adalah koperasi yang
Governance: Manfaat dan Tantangan Serta Kesempatan merupakan bentuk usaha yang mengutamakan
Bagi Perusahaan Publik di Indonesia”, Jurnal Administrasi
kemakmuran bersama, bukan kemakmuran
Bisnis, Vol. 5, No.2, 2009, Fisip-Unpar, www.journal.
unpar.ac.id/index.php/JurnalAdministrasiBisnis/article/ 24
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis,
download/2108/191., diakses tanggal 27 Maret 2017, hal. Jakarta: Rineka Cipta, 2007, hal. 22-23.
101-112. 25
Ibid.

DIAN CAHYANINGRUM: Bentuk Badan Hukum Koperasi... 9


orang seorang. Hal ini disebutkan secara jelas koperasi, Pemerintah diantaranya memberikan
dalam Penjelasan Pasal 33 UUD NRI Tahun kesempatan usaha yang seluas-luasnya kepada
1945 yang berbunyi sebagai berikut: koperasi”. Peluang koperasi untuk dapat
“... Produksi dikerjakan oleh semua, untuk menjalankan kegiatan usaha perbankan
semua di bawah pimpinan atau penilikan sangatlah penting mengingat bank memiliki
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan peran yang sangat strategis untuk mendukung
kemakmuran orang seorang. Sebab itu kegiatan perekonomian. Peran bank dimaksud
perekonomian disusun sebagai usaha bersama adalah sebagai financial intermediary yang
berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun
perusahaan yang sesuai dengan itu ialah menghimpun dana dari masyarakat yang
koperasi...” berkelebihan dana dan menyalurkannya
Dengan demikian berdasarkan Pasal 33 kembali kepada masyarakat yang membutuhkan
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, koperasi diakui dana dalam bentuk kredit.27 Sebagai financial
sebagai salah satu pelaku ekonomi di Indonesia, intermediary, bank koperasi dapat melaksanakan
disamping perusahaan negara (Badan Usaha fungsi dan perannya sebagaimana disebutkan
Milik Negara/BUMN) dan swasta. Sebagai pelaku dalam Pasal 4 UU Nomor 25 Tahun 1992 yaitu:
ekonomi, koperasi memiliki peran yang sangat a. membangun dan mengembangkan potensi
penting untuk mewujudkan demokrasi ekonomi dan kemampuan ekonomi anggota pada
yang terkandung dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun khususnya dan masyarakat pada umumnya
1945. Sebagaimana dikemukakan oleh Cornelis untuk meningkatkan kesejahteraan
Rintuh dan Miar dalam bukunya “Kelembagaan ekonomi dan sosialnya;
dan Ekonomi Rakyat”, yang dimaksud dengan b. berperan serta secara aktif dalam upaya
demokrasi ekonomi adalah kedaulatan rakyat di mempertinggi kualitas kehidupan manusia
bidang kehidupan ekonomi. Dengan kata lain, dan masyarakat;
demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi yang c. memperkokoh perekonomian rakyat
dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk sebagai dasar kekuatan dan ketahanan
rakyat. Demokrasi ekonomi mengutamakan perekonomian nasional dengan koperasi
kemakmuran masyarakat, bukan kemakmuran sebagai sokogurunya;
masing-masing individu. Nilai kemasyarakatan d. Berusaha untuk mewujudkan dan
dalam kehidupan ekonomi tersebut adalah mengembangkan perekonomian nasional
keadilan dalam kehidupan ekonomi. Dengan yang merupakan usaha bersama berdasar
demikian bicara tentang demokrasi ekonomi atas asas kekeluargaan dan demokrasi
adalah berbicara tentang kedaulatan ekonomi ekonomi.
rakyat yang berarti berbicara mengenai keadilan Dalam hierarki peraturan perundang-undangan
ekonomi.26 sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 12
Sebagai pelaku ekonomi, untuk Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
mewujudkan kemakmuran masyarakat maka Perundang-undangan, UUD NRI Tahun 1945
koperasi perlu diberi peluang untuk dapat menempati urutan paling atas. Urutan selanjutnya
menjalankan kegiatan usaha apa pun termasuk adalah Ketetapan MPR; Undang-Undang/Peraturan
perbankan seperti halnya 2 pelaku ekonomi Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan
lainnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah
Pasal 61 UU Nomor 25 Tahun 1992 yang Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
menyebutkan “dalam upaya menciptakan Sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie,
dan mengembangkan iklim dan kondisi yang 27
Dian Cahyaningrum, “Perlindungan Nasabah dalam
mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan Penyeleggaraan Laku Pandai: Studi Pelindungan Nasabah
Laku Pandai BCA di Jawa Tengah dan BRI di Papua”,
26
Rudyanti Dorotea Tobing, Aspek-Aspek Hukum Bisnis Jurnal Negara Hukum, Vol. 7 No. 2, November 2016,
Pengertian, Asas, Teori dan Praktik, Surabaya: LaksBang Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, hal.
Justitia, 2015, hal. 26. 213-234.

10 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


peraturan perundang-undangan tersebut walaupun bersifat memaksa dan dituangkan dalam bentuk
bersifat mandiri, memperoleh validitasnya28 dari perundang-undangan. Undang-Undang tersebut
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang
Hubungan hirarkhis tersebut terjalin secara utuh Dasar. Apabila bertentangan, maka Undang-
dan berpuncak pada konstitusi yang dalam hukum Undang tersebut dapat diuji melalui proses
dikenal sebagai prinsip supremasi hukum.29 Prinsip peradilan judicial review ke Mahkamah Konstitusi
supremasi hukum tersebut sejalan dengan teori (MK). Jika terbukti bertentangan maka Undang-
tangga (stufen bouw theory) dari Hans Kelsen yang Undang tersebut dapat dibatalkan dan dinyatakan
menyatakan bahwa norma-norma hukum itu tidak berlaku mengikat untuk umum.31
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu Berdasarkan pada paparan tersebut, maka
hirarkhi tata susunan, dimana suatu norma yang peraturan perundang-undangan yang mengatur
lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada perbankan juga harus memberi peluang pada
norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi koperasi untuk dapat menjalankan kegiatan
berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang usaha perbankan. Ditutupnya peluang koperasi
lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada untuk dapat menjalankan kegiatan usaha
suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut perbankan dapat menyebabkan ketentuan
dan bersifat hipotetis dan fiktif yang disebut dengan tersebut diajukan judicial review. Sehubungan
Norma Dasar (Grundnorm). Norma Dasar yang dengan hal ini maka dapat dipahami jika
merupakan norma tertinggi dalam sistem norma koperasi telah diberi peluang untuk dapat
tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang menjalankan kegiatan usaha perbankan
lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan sejak awal mula dibentuknya undang-undang
terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar perbankan, yaitu UU Nomor 14 Tahun 1967
yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang tentang Pokok-Pokok Perbankan.32 Begitu
berada di bawahnya sehingga suatu norma dasar itu pula koperasi tetap diberi peluang untuk dapat
dikatakan pre-supposed.30 menjalankan kegiatan usaha perbankan dalam
Berpijak pada prinsip supremasi hukum dan undang-undang perbankan yang menggantikan
teori tangga, maka Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 UU Nomor 14 Tahun 1967, yaitu UU Nomor
sebagai grundnorm yang dalam hierarki peraturan 7 Tahun 1992 tentang Perbankan beserta
perundang-undangan menempati urutan paling perubahannya yaitu UU Nomor 10 Tahun
atas harus menjadi sumber hukum bagi peraturan 1998. Bahkan dalam UU Perbankan, koperasi
perundang-undangan di bidang ekonomi yang dapat menjalankan kegiatan usaha perbankan
hierarkinya berada di bawahnya. Pasal 33 UUD baik sebagai bank umum maupun sebagai BPR.
NRI Tahun 1945 harus menjadi kebijakan Adapun yang dimaksud dengan bank
umum, khususnya dalam pembentukan hukum di umum adalah bank yang melaksanakan
bidang ekonomi. Maksudnya kebijakan-kebijakan kegiatan usaha secara konvensional dan
tersebut bersifat mengikat dan keberlakuannya atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
28
Validitas hukum berarti norma-norma hukum tersebut
mengikat, yaitu orang harus berbuat sesuai dengan yang pembayaran.33 Sedangkan BPR adalah bank
diharuskan oleh norma-norma hukum, bahwa orang yang melaksanakan kegiatan usaha secara
harus mematuhi dan menerapkan norma-norma hukum konvensional atau berdasarkan prinsip syariah
(Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara,
diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien dari buku Hans 31
Elli Ruslina, Dasar Perekonomian Indonesia dalam
Kelsen “General Theory of Law and State”, Bandung: Nusa Penyimpangan Mandat Konstitusi UUD Negara Tahun
Media, tanpa tahun, hal. 53) 1945, hal. 64.
29
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Bernegara Praksis Kenegaraan 32
Pasal 9, Pasal 13 dan Pasal 18 UU No. 14 Tahun 1967
Bermartabat dan Demokratis, Malang: Setara Press, 2015, tentang Pokok-Pokok Perbankan.
hal. 182. 33
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
30
Maria Farida Indrati Soeprapto, “Ilmu Perundang- tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya”, Yogyakarta: Tahun 1992 tentang Perbankan.
Kanisius, 1998, hal. 25.

DIAN CAHYANINGRUM: Bentuk Badan Hukum Koperasi... 11


yang dalam kegiatannya tidak memberikan f. menempatkan dana pada, meminjam dana
jasa dalam lalu lintas pembayaran.34 Dengan dari, atau meminjamkan dana kepada bank
demikian, berdasarkan pada penggolongan lain, baik dengan menggunakan surat,
jenis koperasi maka koperasi yang menjalankan sarana telekomunikasi maupun dengan
kegiatan usaha perbankan (bank koperasi) wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
dapat dikategorikan sebagai koperasi jasa. Jasa g. menerima pembayaran dari tagihan atas
yang diberikan oleh bank koperasi sebagai surat berharga dan melakukan perhitungan
bank umum mencakup usaha-usaha yang dapat dengan atau antar pihak ketiga;
dilakukan oleh bank umum sebagaimana diatur h. menyediakan tempat untuk menyimpan
dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU Perbankan. barang dan surat berharga;
Berdasarkan Pasal 6 UU Perbankan, usaha- i. melakukan kegiatan penitipan untuk
usaha yang dapat dilakukan oleh bank umum kepentingan pihak lain berdasarkan suatu
mencakup: kontrak;
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam j. melakukan penempatan dana dari nasabah
bentuk simpanan berupa giro, deposito kepada nasabah lainya dalam bentuk surat
berjangka, sertifikat deposito, tabungan, berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan k. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha
dengan itu; kartu kredit dan kegiatan wali amanat;
b. memberikan kredit; l. menyediakan pembiayaan dan atau
c. menerbitkan surat pengakuan hutang; melakukan kegiatan lain berdasarkan
d. membeli, menjual atau menjamin atas prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan
risiko sendiri maupun untuk kepentingan yang ditetapkan oleh BI;
dan atas perintah nasabahnya: m. melakukan kegiatan lain yang lazim
1. surat-surat wesel termasuk wesel dilakukan oleh bank sepanjang tidak
yang diakseptasi oleh bank yang masa bertentangan dengan UU Perbankan dan
berlakunya tidak lebih lama daripada peraturan perundangan-undangan yang
kebiasaan dalam perdagangan surat- berlaku.
surat dimaksud; Sedangkan berdasarkan Pasal 7 UU
2. surat pengakuan hutang dan kertas Perbankan, kegiatan yang dapat dilakukan oleh
dagang lainnya yang masa berlakunya bank umum meliputi:
tidak lebih lama dari kebiasaan dalam a. melakukan kegiatan dalam valuta asing
perdagangan surat-surat dimaksud; dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan
3. kertas perbendaharaan negara dan oleh BI;
surat jaminan pemerintah; b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada
4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI); bank atau perusahaan lain di bidang keuangan,
5. Obligasi; seperti sewa guna usaha, modal ventura,
6. Surat dagang berjangka waktu sampai perusahaan efek, asuransi, serta lembaga
dengan 1 (satu) tahun; kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan
7. Instrumen surat berharga lain yang memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI;
berjangka waktu sampai dengan 1 c. melakukan kegiatan penyertaan modal
(satu) tahun; sementara untuk mengatasi akibat kegagalan
e. memindahkan uang baik untuk kepentingan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan
sendiri maupun untuk kepentingan prinsip syariah, dengan syarat harus menarik
nasabah; kembali penyertaannya, dengan memenuhi
ketentuan yang ditetapkan oleh BI; dan
34
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 d. bertindak sebagai pendiri dana pensiun
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan.
dan pengurus dana pensiun sesuai dengan

12 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


ketentuan dalam peraturan perundang- untuk melakukan kegiatan usaha perbankan,
undangan dana pensiun yang berlaku. khususnya menghimpun dana dari masyarakat
Meskipun bank umum dapat melakukan dan menyalurkannya ke masyarakat yang
berbagai usaha dan kegiatan sebagaimana membutuhkan dalam bentuk kredit. Sedangkan
disebutkan dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU koperasi simpan pinjam tidak mendapatkan
Perbankan, ada beberapa usaha/kegiatan yang tidak ijin dari OJK untuk melakukan kegiatan usaha
boleh dilakukan oleh bank umum. Berdasarkan perbankan. Oleh karena itu, koperasi simpan
Pasal 10 UU Perbankan, usaha/kegiatan yang tidak pinjam tidak dapat menghimpun dana dari
boleh dilakukan bank umum adalah melakukan masyarakat seperti halnya bank koperasi.
penyertaan modal, selain penyertaan modal pada Berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 25
bank/perusahaan lain di bidang keuangan dan Tahun 1992, koperasi simpan pinjam hanya
penyertaan modal sementara untuk mengatasi dapat menghimpun dana dan menyalurkannya
akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan melalui kegiatan simpan pinjam dari dan untuk
berdasarkan prinsip Syariah. Bank umum juga anggota koperasi yang bersangkutan, koperasi
dilarang untuk melakukan usaha perasuransian dan lain dan/atau anggotanya.
usaha lain di luar kegiatan usaha yang disebutkan Dalam UU Perbankan, peluang koperasi
dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU Perbankan di atas. untuk dapat menjalankan kegiatan usaha
Sedangkan jasa BPR mencakup usaha-usaha perbankan dapat dilihat dalam Pasal 21 UU
yang dapat dilakukan oleh BPR sebagaimana Perbankan yang menyebutkan bentuk hukum
diatur dalam Pasal 13 UU Perbankan. Usaha- suatu bank umum dapat berupa PT; koperasi;
usaha BPR dimaksud adalah: dan perusahaan daerah. Sedangkan bentuk
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam hukum suatu BPR dapat berupa perusahaan
bentuk simpanan berupa deposito berjangka, daerah, koperasi, PT, dan bentuk lain yang
tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. BPR
dipersamakan dengan itu; dapat ”berbentuk lain” yang bukan PT, koperasi,
b. memberikan kredit; atau perusahaan daerah karena usaha bank
c. menyediakan pembiayaan dan penempatan ini lebih terbatas dibandingkan bank umum.
dana berdasarkan prinsip syariah, sesuai Tujuannya adalah untuk memberikan wadah
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI; bagi penyelenggaraan perbankan yang lebih
d. menempatkan dananya dalam bentuk SBI, kecil seperti bank desa, lumbung desa, badan
deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/ kredit desa, bank pasar, bank pegawai, lembaga
atau tabungan pada bank lain. perkreditan kecamatan, dan sebagainya.35
Selain usaha-usaha tersebut, berdasarkan Mengingat landasan yuridis konstitusional
Pasal 14 UU Perbankan, BPR dilarang: kegiatan perekonomian Indonesia yaitu Pasal
a. menerima simpanan berupa giro dan ikut 33 UUD Tahun 1945 secara substansial belum
serta dalam lalu lintas pembayaran; berubah, maka bentuk badan hukum koperasi
b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing; seharusnya juga tetap perlu diberi peluang
c. melakukan penyertaan modal; untuk dapat menjalankan kegiatan usaha
d. melakukan usaha perasuransian; perbankan baik sebagai bank umum maupun
e. melakukan usaha lain di luar kegiatan BPR. Hal ini juga dikemukakan oleh beberapa
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal narasumber36 bahwa koperasi seharusnya tetap
13 UU Perbankan. 35
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu
Dari jasa atau usaha yang dapat diberikan oleh Tinjauan di Bidang Yuridis, hal. 53.
bank koperasi baik sebagai bank umum maupun 36
Narasumber dimaksud diantaranya Eni (Direksi BPR
Semanding, Tuban, Jawa Timur), wawancara dilakukan
BPR terlihat bahwa bank koperasi berbeda
di BPR Semanding Tuban, Jawa Timur pada tanggal
dengan koperasi simpan pinjam. Perbedaannya 15 Agustus 2016; Rahmaida (Direksi BPR Sejahtera
adalah bank koperasi mendapat ijin dari OJK Mojokerto, Jawa Timur), wawancara dilakukan di BPR
Sejahtera Mojokerto, Jawa Timur pada tanggal 10 Agustus

DIAN CAHYANINGRUM: Bentuk Badan Hukum Koperasi... 13


diperbolehkan menjalankan kegiatan usaha baik BUMN, swasta (PT), maupun koperasi
perbankan, asalkan dapat menjalankan kegiatan dalam menjalankan kegiatan usaha perbankan
usahanya tersebut dengan baik. Begitu pula seharusnya tidak semata-mata berorientasi pada
Gusria (Kepala Bagian Pengawas OJK Regional keuntungan. Di sisi lain meskipun koperasi
II Jawa Barat) juga mengemukakan bahwa OJK tidak berorientasi pada keuntungan, koperasi
tidak mempermasalahkan bentuk badan hukum juga tidak boleh merugi dalam upayanya untuk
bank, apakah berbentuk koperasi ataukah PT. menyejahterakan anggota. Bahkan koperasi
OJK hanya menekankan bahwa semua bank, harus untung. Keuntungan koperasi nantinya
baik yang berbentuk PT maupun koperasi harus dinikmati oleh anggota dalam bentuk perolehan
sesuai dan mentaati peraturan perundang- Sisa Hasil Usaha (SHU) yang akan menambah
undangan, memiliki kinerja yang baik, sehat, penghasilan anggota sehingga pada akhirnya
dan prudent (hati-hati dan terpercaya) dalam akan dapat meningkatkan kesejahteraan anggota
menjalankan kegiatan usahanya.37 dan keluarganya. Sebaliknya jika koperasi hanya
Namun demikian narasumber lainnya yaitu berorientasi pada kesejahteraan anggota tanpa
Nur Wahyuni memiliki pendapat yang berbeda. ada motivasi atau orientasi untuk mengejar
Menurut Nur Wahyuni bentuk badan hukum keuntungan dikhawatirkan koperasi kurang bisa
koperasi tidak dapat diterapkan di bidang berkembang dengan baik atau bahkan merugi
perbankan karena perbankan berorientasi pada sehingga justru akan merugikan anggota karena
keuntungan, sedangkan koperasi berpijak pada koperasi dapat dibubarkan oleh pemerintah
prinsip-prinsip koperasi yaitu kesejahteraan karena kelangsungan hidup koperasi tidak dapat
anggota atau berorientasi pada dari anggota diharapkan lagi (pailit).
dan untuk anggota.38 Ini berarti pendapat Nur Alasan lain pendapat Nur Wahyuni dan
Wahyuni senada dengan BI, yaitu sama-sama BI tidak dapat dibenarkan sepenuhnya adalah
tidak memberi peluang kepada koperasi untuk jika koperasi tidak diperkenankan menjalankan
menjalankan kegiatan usaha perbankan. Namun kegiatan usaha perbankan, berarti koperasi
alasan yang digunakan oleh BI berbeda dengan telah diperlakukan diskriminatif terhadap 2
Nur Wahyuni. Sebagaimana telah dipaparkan, pelaku ekonomi lainnya. Diskriminasi tersebut
menurut BI bentuk badan hukum koperasi bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD
sebaiknya tidak diterapkan di bidang perbankan Tahun 1945 yang melarang perlakuan yang
karena menimbulkan banyak permasalahan. bersifat diskriminatif atas dasar apa pun
Jika mengacu pada Pasal 33 UUD NRI terhadap setiap warga negara39 dan menjamin
Tahun 1945, pendapat Nur Wahyuni dan BI tidak perlindungan hukum setiap warga negara
dapat dibenarkan sepenuhnya. Bank merupakan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.
badan usaha yang mempunyai karakteristik Tidak diperkenankannya koperasi menjalankan
tersendiri yaitu mengelola dana masyarakat dan kegiatan usaha perbankan juga akan mencederai
bertujuan tidak sepenuhnya mencari keuntungan. Pasal 33 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang
Dengan demikian semua pelaku ekonomi menyatakan koperasi sebagai bentuk usaha
2016; dan Agus (Dosen Hukum Perusahaan Fakultas 39
Setiap warga negara ini juga termasuk badan usaha
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur),
yang berbadan hukum karena badan hukum merupakan
wawancara dilakukan di Fakultas Hukum Universitas
rechtpersoon yaitu orang (persoon) yang diciptakan oleh
Airlangga, Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 16 Agustus
hukum. Badan hukum merupakan kumpulan manusia
2016.
pribadi (natuurlijk persoon) dan mungkin pula kumpulan
37
Gusria (Kabag Pengawas OJK Regional 2 Jawa Barat),
dari badan hukum yang pengaturannya sesuai menurut
wawancara dilakukan di Kantor OJK Regional 2 Jawa
hukum yang berlaku. Badan hukum sebagai subjek hukum
Barat pada tanggal 28 Juli 2016.
dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-
38
Nur Wahyuni (Dosen Hukum Perbankan Fakultas
perbuatan hukum seperti manusia (Baca: C.S.T. Kansil
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur),
dan Chistine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia
wawancara dilakukan di Fakultas Hukum Universitas
Aspek Hukum dalam Ekonomi, Bagian 1, cetakan keenam,
Airlangga, Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 18 Agustus
Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2001, hal. 19-30).
2016.

14 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


yang sesuai Pasal 33 ayat (1) UUD NRI Tahun terlepas dari kebijakan deregulasi perbankan yang
1945. Akibatnya ketentuan RUU Perbankan dilakukan oleh Pemerintah dan BI40 pada waktu
yang menutup peluang koperasi menjalankan itu yaitu dengan dikeluarkannya paket kebijakan
kegiatan usaha perbankan apabila nantinya 27 Oktober 1988 atau yang sering dikenal dengan
disahkan menjadi UU dapat diajukan judicial Pakto 88. Pakto 88 memberikan kemudahan untuk
review ke MK untuk dapat dibatalkan karena dapat mendirikan bank.41 Pembukaan kantor
bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. cabang bank baru hingga tingkat kecamatan,
Berdasarkan pada paparan tersebut dan baik untuk bank umum maupun BPR juga cukup
berpijak pada Pasal 33 UUD NRI Tahun mudah. Berdasarkan Pakto 88, minimum modal
1945, maka keberadaan koperasi sebagai disetor untuk mendirikan bank umum hanya
salah satu pelaku usaha perbankan tetap perlu Rp10 miliar. Sedangkan minimum modal disetor
dipertahankan dalam RUU Perbankan yang untuk mendirikan BPR hanya sebesar Rp50 juta.42
nantinya akan menggantikan UU Perbankan Dengan modal disetor hanya Rp50 juta,
setelah disahkan. Koperasi tetap perlu diberi banyak koperasi simpan pinjam pada waktu itu
peluang untuk dapat menjalankan kegiatan yang beralih menjadi BPR Koperasi. Koperasi
usaha perbankan baik sebagai bank umum simpan pinjam atau yang disebut dengan koperasi
maupun BPR, sama seperti 2 pelaku kegiatan kredit (kopdit), dan secara internasional disebut
ekonomi lainnya yaitu BUMN dan swasta. credit union merupakan badan usaha yang dimiliki
Hal ini juga sesuai dengan Pasal 43 ayat (3) oleh warga masyarakat, yang diikat oleh satu
UU Nomor 25 Tahun 1995 yang mengatur ikatan pemersatu, bersepakat untuk menyimpan
mengenai lapangan usaha koperasi yaitu bahwa dan menabungkan uang mereka pada badan
koperasi menjalankan kegiatan usaha dan usaha tersebut, sehingga tercipta modal bersama
berperan utama di segala bidang kehidupan untuk dipinjamkan kepada sesama selaku
ekonomi rakyat. Alasan BI bahwa banyak anggota koperasi untuk tujuan produktif dan
permasalahan yang terjadi di bank koperasi kesejahteraan.43 Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UU
tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk Perbankan44, koperasi simpan pinjam tidak dapat
menutup peluang koperasi menjalankan 40
Sebelum dibentuknya UU No. 21 Tahun 2011 tentang
kegiatan usaha perbankan. BI atau Otoritas Otoritas Jasa Keuangan, pengawasan bank dilakukan oleh BI.
Jasa Keuangan (OJK) yang menggantikan tugas 41
Budi Soesatio (Deputi Direktur Pengawasan OJK
BI untuk melakukan pengawasan terhadap Regional 3 Jawa Timur), wawancara dilakukan di Kantor
OJK Regional 3 Jawa Timur pada tanggal 9 Agustus 2016;
bank berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2011
dan Nur Wahyuni (Dosen Hukum Perbankan Fakultas
tentang Otoritas Jasa Keuangan justru memiliki Hukum UNAIR), wawancara dilakukan di Fakultas
tugas penting untuk melakukan pembinaan Hukum UNAIR pada tanggal 16 Agustus 2016.
agar bank koperasi dapat berkembang dengan 42
Adi Wikanto, “Pakto 88 dan Booming Perbankan Indonesia”,
www.lipsus.kontan.co.id., diakses 30 November 2016.
baik. 43
I Gede Hartadi Kurniawan, “Tindakan Koperasi Simpan
Pinjam yang Mengakibatkan Perbuatan Tindak Pidana”,
V. PERMASALAHAN HUKUM BENTUK Lex Jurnalica, Volume 10, Nomor 1, April 2013, hal. 1-7.
BADAN HUKUM KOPERASI DI 44
Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
SEKTOR PERBANKAN
7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menyebutkan “Setiap
Meskipun UU Perbankan memberikan pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana
peluang bagi koperasi untuk dapat menjalankan dari masyarakat dalam bentuk simpanan, wajib terlebih
kegiatan usaha perbankan di samping PT dan dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum
atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank
BUMN, namun hingga Agustus 2016 baik di Jawa
Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana
Barat maupun di Jawa Timur tidak ada bank umum dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang
yang berbentuk koperasi. Semua bank umum tersendiri. Setelah dibentuknya UU No. 21 Tahun 2011
berbentuk PT. Bentuk koperasi hanya ada pada tentang Otoritas Jasa Keuangan, izin usaha bank baik
sebagai bank umum maupun BPR dikeluarkan oleh
BPR. Keberadaan BPR Koperasi tersebut tidak
Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

DIAN CAHYANINGRUM: Bentuk Badan Hukum Koperasi... 15


melakukan kegiatan usaha untuk menghimpun PT diantaranya BPR Koperasi Semanding
dana dari masyarakat. Oleh karena itu peralihan Tuban. Namun berdasarkan keputusan rapat
status dari koperasi simpan pinjam menjadi BPR anggota tahunan, BPR Koperasi Semanding
Koperasi didasarkan pada pertimbangan BPR Tuban tetap mempertahankan bentuk badan
Koperasi lebih leluasa untuk menjalankan kegiatan hukum koperasi karena alasan historis dan agar
usaha simpan pinjam karena BPR Koperasi tidak tetap menjadi usaha bersama.49
hanya dapat menghimpun dan menyalurkan dana Tidak adanya bank umum yang berbadan
dari dan ke anggotanya, melainkan juga dapat hukum koperasi dan berubahnya bentuk badan
menghimpun dan menyalurkan dana dari dan hukum BPR Koperasi menjadi BPR yang
ke masyarakat yang membutuhkan dana dalam berbentuk PT menandakan bentuk badan
bentuk kredit.45 hukum koperasi kurang favorit dan dianggap
Berdasarkan hasil penelitian, jumlah BPR sebagai pelaku ekonomi “kelas dua”. Hal
berbentuk koperasi yang menjalankan kegiatan tersebut juga dikemukakan oleh Agus bahwa
usaha perbankan (BPR Koperasi) di Jawa Barat PT-lah yang selama ini dianggap sebagai bentuk
hanya ada 3 yaitu BPR Koperasi Tanjung Raya, badan hukum yang ideal untuk menjalankan
BPR Koperasi Artos Parahyangan, dan BPR bisnis, termasuk bisnis perbankan.50 Image
Koperasi Bara Ujungberung.46 Sedangkan di koperasi sebagai pelaku ekonomi “kelas dua”
Jawa Timur ada 21 BPR Koperasi, diantaranya inilah yang menurut Sinta Kadhita menjadi
BPR Koperasi Semanding di Tuban dan BPR salah satu faktor penyebab koperasi sulit
Koperasi Sejahtera di Mojokerto.47 Sedikitnya berkembang di Indonesia, disamping faktor-
jumlah BPR Koperasi di lokasi penelitian faktor lainnya yaitu:51
disebabkan jumlah BPR Koperasi mengalami a. Koperasi berkembang di Indonesia bukan
penurunan. Bahkan di Mojokerto, yang semula dari kesadaran masyarakat, melainkan
ada 3 BPR Koperasi, pada Agustus 2016 hanya muncul dari dukungan pemerintah yang
tinggal 1 BPR Koperasi yaitu BPR Koperasi disosialisasikan ke bawah.
Sejahtera.48 Menurunnya jumlah BPR Koperasi b. Tingkat partisipasi anggota koperasi masih
tersebut disebabkan banyak BPR Koperasi yang rendah yang disebabkan sosialisasi yang
mengubah bentuk badan hukumnya menjadi belum optimal.
PT, selain juga ada BPR Koperasi yang tutup c. Manajemen koperasi yang belum profesional.
karena merugi. Perubahan bentuk dari koperasi d. Pemerintah terlalu memanjakan koperasi
menjadi PT ada yang karena inisiatif BPR dengan memberikan bantuan diantaranya
Koperasi sendiri, namun juga ada yang atas dana segar tanpa ada pengawasan terhadap
saran BI yang menganggap bentuk PT lebih ideal bantuan tersebut.
untuk bidang perbankan. BPR yang diberi saran e. Kurangnya kesadaran masyarakat akan
oleh BI untuk mengubah bentuknya menjadi kebutuhan untuk memperbaiki diri,
meningkatkan kesejahteraannya, atau
45
Budi Soesatio (Deputi Direktur Pengawasan OJK
mengembangkan diri secara mandiri.
Regional 3 Jawa Timur), wawancara dilakukan di Kantor
OJK Regional 3 Jawa Timur pada tanggal 9 Agustus 2016.
46
Gusria (Kabag Pengawas OJK Regional 2 Jawa Barat),
49
Eni (Direksi BPR Koperasi Semanding, Tuban, Jawa
wawancara dilakukan di Kantor OJK Regional 2 Jawa Timur), wawancara dilakukan di BPR Koperasi Semanding,
Barat pada tanggal 28 Juli 2016. Tuban, Jawa Timur pada tanggal 15 Agustus 2016.
47
Budi Soesatio (Deputi Direktur Pengawasan OJK
50
Agus, (Dosen Hukum Perusahaan Fakultas Hukum
Regional 3 Jawa Timur), wawancara dilakukan di Kantor Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur), wawancara
OJK Regional 3 Jawa Timur pada tanggal 9 Agustus 2016. dilakukan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
48
Budi Soesatio (Deputi Direktur Pengawasan OJK Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 16 Agustus 2016.
Regional 3 Jawa Timur), wawancara dilakukan di Kantor
51
Sinta Kadhita, “Koperasi Sulit Berkembang”. Jurnal
OJK Regional 3 Jawa Timur pada tanggal 9 Agustus Ekonomi Koperasi, http://www.academia.edu/28883332/
2016; dan Rahmaida (Direksi BPR Koperasi Sejahtera, JURNAL_EKONOMI_KOPERASI_.docx, diakses
Mojokerto, Jawa Timur), wawancara dilakukan di Kantor tanggal 16 Maret 2017.
BPR Koperasi Sejahtera pada tanggal 10 Agustus 2016.

16 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


f. Kurangnya pengembangan kerjasama antar diperjualbelikan sehingga PT mudah untuk
usaha koperasi. berpindah tangan. PT mempunyai ciri-ciri:
Sebagaimana telah dipaparkan,52 anggapan didirikan dengan akta notaris dan disahkan oleh
koperasi sebagai pelaku ekonomi kelas dua tidak Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
dapat dibenarkan. Ini dibuktikan terdapat bank merupakan persekutuan modal; tidak langsung
koperasi yang besar dan berkembang dengan mengerjakan kepentingan anggota; anggota
baik di beberapa negara, seperti Nurinchukin bersifat menunggu; maju-mundurnya usaha
Bank di Jepang, Credit Agricole di Perancis, bergantung pada kecakapan direksinya; hak
dan RABO-Bank di Netherlands. suara dalam rapat anggota seimbang dengan
Tidak berkembangnya bentuk badan hukum besar kecilnya saham yang dipegang oleh
koperasi di bidang perbankan bukan karena para anggota masing-masing; besar kecilnya
koperasi tidak ideal. Justru berdasarkan Pasal keuntungan berdasarkan kepada jumlah saham
33 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 koperasilah yang dimiliki dan besarnya keuntungan yang
bentuk usaha yang ideal dan sesuai dengan diterima dibatasi; dan PT umumnya acuh
demokraksi ekonomi. Tidak berkembangnya terhadap kesejahteraan masyarakat.54
bentuk badan hukum koperasi di sektor perbankan Sedangkan ciri-ciri koperasi dibandingkan
disebabkan ada beberapa permasalahan hukum dengan PT adalah: didirikan dengan akta di
yang dihadapi koperasi dalam menjalankan bawah tangan dan didaftarkan serta disahkan oleh
kegiatan usahanya di bidang perbankan. Direktorat Koperasi; merupakan perkumpulan
Permasalahan hukum tersebut diantaranya ada orang-orang; anggota aktif ikut serta dan usaha
dualisme pengaturan dalam pengelolaan bank dititikberatkan pada kebutuhan anggotanya;
koperasi. Di satu sisi bank koperasi harus tunduk maju-mundurnya usaha koperasi tergantung pada
pada peraturan perundang-undangan di bidang keaktifan para anggotanya; tiap-tiap anggota
perbankan karena menjalankan kegiatan usaha mempunyai satu suara; koperasi tidak mengenal
di sektor perbankan. Di sisi yang lain, bank keuntungan (deviden) melainkan sisa hasil usaha
koperasi juga harus tunduk pada peraturan (SHU); dan kesejahteraan masyarakat merupakan
perundang-undangan di bidang perkoperasian tujuannya.55 Berbeda dengan PT dimana modal
karena berkaitan dengan bentuk badan usahanya. terbagi dalam saham, berdasarkan Pasal 41 ayat
Selain itu peraturan perundang-undangan (1) UU Nomor 25 Tahun 1992 modal koperasi
di bidang perbankan lebih banyak mengatur terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman.
dan memberikan pedoman untuk bank yang Modal sendiri dapat berasal dari:56
berbentuk PT jika dibandingkan dengan bank a. Simpanan pokok, yaitu sejumlah uang yang
yang berbentuk koperasi. Sementara untuk bank sama banyaknya yang wajib dibayarkan
berbentuk koperasi diminta untuk mengacu atau oleh anggota kepada koperasi pada saat
menganologikannya dengan bank berbentuk PT, masuk menjadi anggota. Simpanan pokok
padahal kedua bentuk usaha tersebut memiliki tidak dapat diambil kembali selama yang
perbedaan yang cukup signifikan.53 bersangkutan masih menjadi anggota.
Perbedaan kedua bentuk badan hukum b. Simpanan wajib, yaitu sejumlah simpanan
tersebut adalah PT merupakan organisasi tertentu yang tidak harus sama yang wajib
berwatak kapitalis yang bertujuan untuk mencari dibayar oleh anggota kepada koperasi dalam
keuntungan. Modalnya terbagi dalam saham waktu dan kesempatan tertentu. Simpanan
yang dijual kepada siapa pun yang berminat wajib juga tidak dapat diambil kembali selama
tanpa memperhatikan sifat-sifat pembeli saham yang bersangkutan masih menjadi anggota.
yang bersangkutan. Umumnya saham tersebut
54
Pandji Anoraga dan Ninik Widiyati, Dinamika Koperasi,
52
Lihat: Sub Bab IV. Landasan Yuridis Peluang Koperasi di hal. 65-66.
Sektor Perbankan. 55
Ibid, hal. 65-66
53
Lihat: Sub Bab III. Koperasi dan Tata Kelola Koperasi 56
Pasal 41 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 41 ayat (2) UU No.
(Good Cooperative Governance). 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

DIAN CAHYANINGRUM: Bentuk Badan Hukum Koperasi... 17


c. Dana cadangan, yaitu sejumlah uang yang kepengurusan bank yang diatur dalam peraturan
diperoleh dari penyisihan sisa hasil usaha, perundang-undangan di bidang Perbankan59
yang dimaksudkan untuk memupuk modal adalah Direksi dan Komisaris yang notabene
sendiri dan untuk menutup kerugian adalah kepengurusan untuk PT. Ketentuan
koperasi apabila diperlukan. tersebut kurang sesuai untuk diterapkan pada
d. Hibah, yaitu sejumlah uang atau barang BPR Koperasi karena bentuk usaha koperasi
dengan nilai tertentu yang disumbangkan tunduk pada UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang
oleh pihak ketiga kepada koperasi tanpa Perkoperasian. Berdasarkan UU Nomor 25
ada suatu ikatan atau kewajiban untuk Tahun 1992,60 nomenklatur kepengurusan yang
mengembalikannya. digunakan untuk koperasi adalah pengurus
Sedangkan modal pinjaman atau modal dan pengawas. Namun berdasarkan Peraturan
luar dapat berasal dari:57 Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 4/
a. Pinjaman yang diperoleh dari anggota, POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola
termasuk calon anggota yang memenuhi Bagi Bank Perkreditan Rakyat, Pengurus
syarat; dianalogkan dengan Direksi dan Pengawas
b. Pinjaman dari koperasi lainnya dan/atau dianalogkan dengan Komisaris. Untuk Direksi,
anggotanya yang didasari dengan perjanjian hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 angka
kerjasama antar koperasi; 3 huruf c POJK No. 4/POJK.03/2015 yang
c. Pinjaman dari bank dan lembaga keuangan menyebutkan “Direksi bagi BPR berbadan
lainnya yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
d. Penerbitan obligasi dan surat hutang perkoperasian”. Sedangkan untuk Komisaris,
lainnya yang dilakukan berdasarkan analog tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1
ketentuan peraturan perundang-undangan angka 4 huruf c POJK No. 4/POJK.03/2015
yang berlaku; dan yang menyebutkan “Dewan Komisaris bagi BPR
e. Sumber lain yang sah, yaitu pinjaman berbadan hukum Koperasi adalah pengawas
dari bukan anggota yang dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
melalui penawaran secara umum. mengenai perkoperasian”.
Dualisme pengaturan dan tidak jelasnya Masalah hukum lainnya adalah terkait
aturan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dengan struktur kelembagaan BPR Koperasi.
untuk mengelola bank koperasi mengakibatkan Berdasarkan POJK No. 4/POJK.03/2015, BPR
pengurus BPR Koperasi mengalami kesulitan dan yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50
kebingungan dalam mengelola BPR Koperasi. miliar wajib memiliki paling sedikit 3 orang
Sebagaimana dikemukakan oleh narasumber,58 anggota direksi, sedangkan BPR yang memiliki
dualisme pengaturan dan ketidakjelasan aturan modal inti kurang dari Rp50 miliar wajib memiliki
untuk BPR Koperasi antara lain berkaitan paling sedikit 2 orang anggota direksi.61 Sementara
dengan masalah kepengurusan. Nomenklatur untuk komisaris, bagi BPR yang memiliki modal
inti paling sedikit Rp50 miliar wajib memiliki
57
Pasal 41 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 41 ayat (3) UU No.
paling sedikit 3 orang anggota Dewan Komisaris
25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
58
Ini dikemukakan oleh semua Direksi BPR Koperasi yang dan paling banyak sama dengan jumlah anggota
menjadi narasumber yaitu Eni (Direksi BPR Koperasi Direksi. Sedangkan BPR yang memiliki modal
Semanding Tuban), wawancara dilakukan di BPR 59
Peraturan perundang-undangan dimaksud diantaranya
Koperasi Semanding, Tuban, Jawa Timur pada tanggal
adalah Pasal 38 UU Perbankan dan Peraturan OJK No. 4/
15 Agustus 2016, Ferry Hidayat (Direktur Utama BPR
POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank
Koperasi Tanjung Raya Bandung), wawancara dilakukan
Perkreditan Rakyat.
di BPR Koperasi Tanjung Raya Bandung pada tanggal 27 60
Pasal 29 – Pasal 40 UU No. 25 Tahun 1992 tentang
Juli 2016, dan Wulan (Direksi BPR Artos Parahyangan
Perkoperasian.
Bandung), wawancara dilakukan di BPR Artos 61
Pasal 4 POJK No. 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan
Parahyangan Bandung pada tanggal 29 Juli 2016.
Tata Kelola Bagi Bank Perkreditan Rakyat.

18 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


inti kurang dari Rp50 miliar wajib memiliki Persyaratan untuk dapat menjadi direksi dan
paling sedikit 2 orang anggota Dewan Komisaris komisaris BPR dalam POJK No. 4/POJK.03/2015
dan paling banyak sama dengan jumlah anggota memang penting karena kredibilitas dan
Direksi.62 Bagi BPR yang memiliki modal inti profesionalitas orang-orang yang duduk dalam jajaran
paling sedikit Rp80 miliar juga wajib memiliki direksi dan komisaris bank akan mempengaruhi
Komisaris Independen paling sedikit 50% dari image masyarakat (nasabah) terhadap bank yang
jumlah anggota Dewan Komisaris. Sedangkan bersangkutan. Image masyarakat ini penting
BPR yang memiliki modal inti paling sedikit karena bank adalah lembaga yang mengandalkan
Rp50 miliar dan kurang dari Rp80 miliar wajib kepercayaan masyarakat untuk menyimpan uangnya
memiliki paling sedikit 1 orang Komisaris di bank. Apabila orang-orang yang duduk sebagai
Independen.63 Struktur kelembagaan BPR yang direksi dan komisaris memiliki kredibilitas tinggi dan
demikian merupakan struktur kelembagaan PT dipercaya masyarakat maka akan meningkatkan
dan kurang sesuai jika diterapkan pada koperasi. image masyarakat yang pada akhirnya bank dapat
Struktur kelembagaan koperasi berbeda dengan berkembang dengan baik karena masyarakat
PT karena susunan pengurus koperasi umumnya bersedia menyimpan uangnya di bank. Sebaliknya
terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, dan apabila orang-orang yang duduk sebagai direksi dan
bendahara koperasi. komisaris kurang kredibel dan tidak bisa dipercaya
Permasalahan hukum lainnya terkait dengan maka image masyarakat terhadap bank turun dan
kepengurusan adalah berdasarkan POJK No. 4/ dapat berdampak pada perkembangan bank yang
POJK.03/2015, pengurus dan pengawas BPR kurang baik.
Koperasi haruslah orang-orang yang kredibel Selain image masyarakat, persyaratan untuk
dan profesional. Pengurus selaku direksi menjadi direksi dan komisaris BPR Koperasi juga
BPR Koperasi harus memiliki pengetahuan, penting agar BPR Koperasi dikelola oleh orang-
pengalaman, keahlian, dan kemampuan orang yang profesional. Ketidakcakapan direksi
dalam melakukan tugas pengurusan BPR dan komisaris BPR Koperasi dapat mengakibatkan
Koperasi. Untuk itu, pengurus harus lulus uji pengelolaan BPR Koperasi kurang berjalan
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) dengan baik. Akibatnya BPR Koperasi sulit
untuk dapat menjadi direksi BPR Koperasi.64 untuk berkembang dan bersaing dengan bank
Begitupula, pengawas koperasi juga harus lulus lainnya di tengah kompetisi sektor perbankan
uji kemampuan dan kepatutan untuk dapat yang begitu ketat di era global. Bahkan tidak
menjadi komisaris BPR Koperasi.65 Ketentuan tertutup kemungkinan pengelolaan yang buruk
tersebut sulit dipenuhi jika tidak ada satu pun mengakibatkan BPR Koperasi merugi dan pada
anggota koperasi yang memiliki kemampuan akhirnya dibubarkan oleh pemerintah karena
dan pengalaman di bidang perbankan, serta pailit. Untuk itulah peningkatan kualitas pengurus
lulus uji kemampuan dan kepatutan yang dan pengawas koperasi perlu terus ditingkatkan.
diselenggarakan oleh OJK, sementara UU Pengelolaan BPR Koperasi yang buruk
Nomor 25 Tahun 1992 mengatur pengurus juga dapat mengakibatkan terjadinya fraud.
dan pengawas koperasi dipilih dari dan oleh Sebagaimana dikemukakan oleh Eni, fraud
Anggota Koperasi dalam Rapat Anggota.66 pernah terjadi sewaktu BPR Koperasi Semanding
62
Pasal 24 POJK No. 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tuban dipimpin oleh pengurus koperasi yang
Tata Kelola Bagi Bank Perkreditan Rakyat. berasal dari anggota koperasi. Fraud dilakukan
63
Pasal 25 POJK No. 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan oleh account officer dengan modus operandi
Tata Kelola Bagi Bank Perkreditan Rakyat.
“kredit tempilan”. Dalam kasus tersebut,
64
Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) POJK No. 4/POJK.03/2015
tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Perkreditan sebagian kredit yang diberikan kepada debitur
Rakyat. ditempil atau dipinjam oleh pelaku. Pada waktu
65
Pasal 26 ayat (2) POJK No. 4/POJK.03/2015 tentang itu ada sebanyak 27 debitur yang kreditnya
Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Perkreditan Rakyat.
dipinjam pelaku dengan total dana sekitar Rp
66
Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (1) UU No. 25 Tahun
1992 tentang Perkoperasian.

DIAN CAHYANINGRUM: Bentuk Badan Hukum Koperasi... 19


24 juta. Kasus ini akhirnya dapat diselesaikan BPR Koperasi Semanding Tuban di Jawa Timur
karena pelaku bersedia mengembalikan diambil dari orang luar yang memiliki pengetahuan
kredit yang dipinjamnya dari hasil penjualan dan pengalaman di bidang perbankan dan
rumahnya.67 Fraud juga pernah terjadi di BPR diangkat oleh rapat anggota untuk menjadi
Koperasi Artos Parahyangan yang dilakukan Direksi. Pengangkatan orang luar menjadi direksi
oleh pegawai bank. Modus operandinya adalah dilakukan karena anggota koperasi adalah pegawai
pelaku mengambil uang dan tidak menyetor negeri sipil (PNS) oleh karenanya tidak akan
uang cicilan kredit dari debitur. Pada akhirnya lulus uji kemampuan dan kepatutan oleh OJK
pelaku dipenjara dengan tuduhan penggelapan mengingat direksi tidak boleh rangkap jabatan.71
uang.68 Kasus-kasus tersebut tidak akan Dari tataran praktis tersebut terlihat ada BPR
terjadi jika BPR Koperasi dikelola dengan baik Koperasi yang mentaati aturan, menyiasati, dan
berdasarkan pada tata kelola koperasi yang baik bahkan ada yang terpaksa melanggar UU Nomor
dimana SDM BPR Koperasi mengetahui dan 25 Tahun 1992 dengan mengangkat orang
menjalankan tugasnya dengan baik. Direksi yang bukan anggota koperasi menjadi direksi.
juga melakukan pengurusan BPR Koperasi Pelanggaran terhadap UU Nomor 25 Tahun
dengan baik sehingga fraud dapat dicegah dan 1992 terpaksa dilakukan karena peraturan
kerugian BPR Koperasi dapat diminimalisir. perundang-undangan di bidang perbankan tidak
Mengingat pentingnya posisi direksi dan memungkinkan untuk mengangkat direksi dari
komisaris dalam pengelolaan BPR koperasi maka anggota koperasi yang notabene adalah PNS karena
pada tataran praktis, BPR koperasi mengambil adanya larangan rangkap jabatan. Dalam POJK
solusi yang berbeda-beda terkait kendala aturan No. 4/POJK.03/2015, larangan rangkap jabatan
pengangkatan Direksi dan Komisaris yang tersebut diatur dalam Pasal 8 yang menyebutkan
benar-benar mampu, memenuhi persyaratan, “Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan
dan lulus uji kemampuan dan kepatutan. Pada pada Bank dan/atau perusahaan lain, kecuali
BPR Koperasi Tanjung Raya di Bandung, sebagai pengurus asosiasi industri BPR dan/atau
Direktur Utama diambil dari orang luar yang lembaga pendidikan dalam rangka peningkatan
memiliki pengetahuan dan pengalaman di kompetensi sumber daya manusia BPR dan
bidang perbankan. Selanjutnya Direktur Utama sepanjang tidak mengganggu pelaksanaan tugas
tersebut menjadi anggota koperasi agar selaras sebagai Direksi BPR”.
dan tidak melanggar UU Nomor 25 Tahun Berbeda dengan direksi, komisaris
1992.69 Sedangkan pada BPR Koperasi Artos diperbolehkan untuk rangkap jabatan. Komisaris
Parahyangan di Bandung tetap mengangkat di BPR Koperasi Artos Parahyangan adalah
direksi dari pengurus koperasi yaitu Ketua Koperasi Artohadi, yaitu anggota sekaligus pendiri BPR
menjadi Direktur Utama, sedangkan Bendahara Koperasi Artos Parahyangan. Artohadi dianggap
dan Sekretaris Koperasi menjadi anggota Direksi sebagai pemilik karena simpanan sukarelanya
BPR Koperasi Artos Parahyangan.70 Berbeda paling besar yaitu 99% dari modal, sementara
dengan kedua BPR Koperasi tersebut, Direksi simpanan sukarela anggota koperasi lainnya
jumlahnya tidak seberapa. Anggota koperasi
67
Eni (Direksi BPR Koperasi Semanding, Tuban, Jawa
yang lain juga tidak menyerahkan simpanan
Timur), wawancara dilakukan di BPR Koperasi Semanding,
Tuban, Jawa Timur, pada tanggal 15 Agustus 2016. wajib setiap bulannya.72 Sementara BPR
68
Wulan (Direksi BPR Koperasi Artos Parahyangan, Koperasi Semanding Tuban yang merupakan
Bandung, Jawa Barat), wawancara dilakukan di BPR
Koperasi Artos Parahyangan pada tanggal 29 Juli 2016. 71
Eni (Direksi BPR Koperasi Semanding, Tuban, Jawa
69
Ferry Hidayat (Direktur Utama BPR Koperasi Tanjung
Timur), wawancara dilakukan di BPR Koperasi
Raya Bandung), wawancara dilakukan di BPR Koperasi
Semanding, Tuban, Jawa Timur, pada tanggal 15 Agustus
Tanjung Raya Bandung pada tanggal 27 Juli 2016.
2016.
70
Wulan (Direksi BPR Artos Parahyangan Bandung), 72
Wulan (Direksi BPR Artos Parahyangan Bandung),
wawancara dilakukan di BPR Artos Parahyangan
wawancara dilakukan di BPR Artos Parahyangan
Bandung pada tanggal 29 Juli 2016.
Bandung pada tanggal 29 Juli 2016.

20 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


koperasi sekunder memiliki 2 komisaris.73 Kedua simpanan sukarela terbesar, melainkan semua
komisaris tersebut adalah pengurus Koperasi anggota yang memenuhi syarat seharusnya juga
Serba Pelayanan dan pengurus Koperasi Buruh berhak menjadi komisaris, apalagi hak anggota
Segar. Koperasi Serba Pelayanan merupakan koperasi untuk menjadi komisaris dijamin
anggota BPR Koperasi Semanding yang memiliki dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b UU Nomor 25
simpanan sukarela paling besar.74 Tahun 1992 yang menyebutkan “setiap anggota
Dari tataran empiris tersebut, komisaris mempunyai hak memilih dan/atau dipilih
BPR Koperasi diambil dari anggota yang menjadi anggota Pengurus atau Pengawas”.
memiliki simpanan sukarela paling besar. Selain itu berdasarkan prinsip kontrol
Dasar pertimbangannya adalah anggota anggota demokratis (Democratic Member
tersebut diaggap sebagai pemilik dan memiliki Control), anggota koperasi yang tidak menjadi
tanggung jawab besar terhadap perkembangan komisaris seharusnya juga berhak mengawasi
BPR Koperasi yang bersangkutan. Anggapan koperasi karena koperasi merupakan usaha
demikian dapat dipahami karena simpanan bersama dari para anggotanya. Sebagai usaha
sukarela merupakan kerugian yang ditanggung bersama, semua anggota koperasi seharunya
anggota koperasi di samping simpanan pokok memiliki tanggung jawab bersama dan
dan simpanan wajib jika koperasi dibubarkan menaruh perhatian terhadap kemajuan dan
oleh pemerintah karena pailit. Hal ini ditegaskan perkembangan BPR Koperasi. Untuk itu Pasal
dalam Pasal 55 UU Nomor 25 Tahun 1992 yang 20 ayat (2) huruf f UU Nomor 25 Tahun
menyebutkan “dalam hal terjadi pembubaran 1992 menjamin hak semua anggota koperasi
koperasi, anggota hanya menanggung kerugian untuk mendapatkan keterangan mengenai
sebatas simpanan pokok, simpanan wajib, dan perkembangan koperasi menurut ketentuan
modal penyertaan yang dimilikinya.” Oleh dalam anggaran dasar.
karena itu anggota yang memiliki simpanan Selain menjadi komisaris, pada tataran
sukarela terbesar tentu saja akan berjuang empiris, anggota koperasi yang memiliki simpanan
untuk menyelamatkan koperasi agar dana atau sukarela terbesar di BPR Koperasi juga paling
simpanannya tidak hilang. Anggota tersebut didengar suaranya dalam rapat anggota koperasi
juga akan berjuang demi kemajuan koperasi karena dianggap sebagai pemegang saham
karena dia akan mendapatkan SHU lebih terbesar layaknya PT sehingga aggota dimaksud
besar dari keuntungan BPR Koperasi karena dianggap sebagai pemilik BPR Koperasi. Bahkan
pembagian SHU didasarkan pada jasa atau suara pemilik simpanan sukarela terbesar sangat
kontribusi anggota pada koperasi. menentukan keputusan rapat anggota koperasi.
Namun pengangkatan komisaris yang Kondisi yang demikian terjadi di BPR Artos
demikian bertentangan dengan prinsip koperasi Parahyangan, dimana Artohadi yang memiliki
dimana anggota seharusnya berkontribusi simpanan sukarela terbesar dianggap sebagai
secara adil dan melakukan pengawasan secara pemilik BPR Koperasi Artos Parahyangan dan
demokrasi atas modal koperasi (Member memiliki suara yang sangat dominan dalam
Economic Participation). Berdasarkan prinsip rapat anggota koperasi.75 Hal ini bertentangan
tersebut, komisaris seharusnya tidak hanya dengan tata kelola koperasi, dimana masing-
menjadi hak dari anggota koperasi yang memiliki masing anggota seharusnya memiliki suara yang
sama (one man one vote) tanpa membedakan
73
BPR Koperasi Semanding Tuban adalah koperasi
sekunder, yaitu koperasi yang didirikan oleh dan besar kecilnya simpanan sukarela yang dimiliki
beranggotakan koperasi. BPR Koperasi Semanding Tuban anggota koperasi. Oleh karena itu Pasal 20 ayat
didirikan oleh 15 koperasi, diantaranya koperasi pemda, (2) huruf a UU Nomor 25 Tahun 1992 menjamin
koperasi buruh, KUD, koperasi Perhutani, dan koperasi
hak setiap anggota koperasi untuk menghadiri,
swasta Persatuan Koperasi Angkutan
74
Eni (Direksi BPR Koperasi Semanding, Tuban, Jawa 75
Wulan (Direksi BPR Artos Parahyangan Bandung),
Timur), wawancara dilakukan di BPR Koperasi Semanding, wawancara dilakukan di BPR Artos Parahyangan
Tuban, Jawa Timur, pada tanggal 15 Agustus 2016. Bandung pada tanggal 29 Juli 2016.

DIAN CAHYANINGRUM: Bentuk Badan Hukum Koperasi... 21


menyatakan pendapat, dan memberikan suara pengambilan keputusan dalam RUPS lebih
dalam rapat anggota koperasi. Tata kelola mudah dilakukan jika dibandingkan dengan bank
yang demikianlah yang membedakan koperasi koperasi. Berdasarkan UU Nomor 40 Tahun
dengan PT, dimana di dalam PT besarnya suara 2007, RUPS untuk mengambil suatu keputusan
ditentukan oleh besarnya saham yang dimiliki dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih
oleh pemegang saham. dari ½ (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh
Selain menimbulkan permasalahan hukum saham dengan hak suara hadir atau diwakili.78
dari sisi pengurusan, dualisme pengaturan yang Dalam RUPS tersebut, apabila keputusan
terjadi pada bank koperasi juga menimbulkan berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak
dualisme pengawasan. Di satu sisi, bank koperasi tercapai maka keputusan RUPS adalah sah jika
mendapat pengawasan dari Kementerian disetujui lebih dari ½ (satu perdua) bagian dari
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah jumlah suara yang dikeluarkan.79 Dari ketentuan
(Dinas Koperasi) terkait bentuk usahanya. Di tersebut, suara pemegang saham mayoritas yang
sisi lain berdasarkan Pasal 6 UU Nomor 21 menguasai lebih dari ½ (satu perdua) bagian
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, jumlah seluruh saham dengan hak suara pada
bank koperasi juga mendapat pengawasan PT sangat dominan sehingga keputusan bank
dari OJK terkait dengan kegiatan usaha berbentuk PT dapat diambil secara cepat karena
perbankannya. Sebagaimana dikemukakan keputusan pada dasarnya bergantung pada
oleh narasumber, dualisme pengawasan putusan pemegang saham mayoritas tersebut.
tersebut sedikit merepotkan karena bank Sebaliknya pada bank koperasi yang
koperasi harus membuat dan mengirim laporan merupakan perkumpulan orang, pengambilan
baik ke Dinas Koperasi dan OJK.76 Hal ini tidak keputusan penting harus dilakukan melalui
seperti bank yang berbentuk PT yang tidak rapat anggota luar biasa. Rapat anggota
perlu menyampaikan laporannya ke Menteri77. luar biasa adalah rapat anggota yang
Berdasarkan Pasal 21 UU Nomor 40 Tahun diselenggarakan apabila terjadi keadaan yang
2007 tentang Perseroan Terbatas (UU Nomor mengharuskan adanya keputusan cepat/segera
40 Tahun 2007), persetujuan/pemberitahuan yang wewenangnya ada pada rapat anggota.80
hanya dimintakan/disampaikan ke Menteri jika Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) Peraturan Menteri
terjadi perubahan anggaran dasar PT. Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI
Permasalahan hukum lainnya adalah bank Nomor 19/PER/M.KUKM/IX/2015 tentang
koperasi kurang dinamis dalam menjalankan Penyelenggraan Rapat Anggota Koperasi,
kegiatan usaha perbankan karena lebih sulit beberapa hal yang dibahas dan diputuskan
dalam mengambil keputusan-keputusan penting dalam Rapat Anggota Khusus antara lain:
jika dibandingkan dengan bank yang berbentuk a. program kerja, dan rencana kerja tahun
PT yang merupakan perkumpulan modal. berikutnya;
Pada bank berbentuk PT, penyelenggaraan b. pengembangan usaha;
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan c. penambahan modal penyertaan dalam
rangka pemupukan modal;
76
Eni (Direksi BPR Koperasi Semanding, Tuban, Jawa Timur), d. menetapkan batas maksimal bunga
wawancara dilakukan di BPR Koperasi Semanding, Tuban,
Jawa Timur, pada tanggal 15 Agustus 2016, Wulan (Direksi
pinjaman dan imbalan;
BPR Artos Parahyangan, Bandung), wawancara dilakukan di e. membentuk dan bergabung dengan
BPR Artos Parahyangan Bandung pada tanggal 29 Juli 2016, koperasi sekunder;
dan Rahmaida (Direksi BPR Sejahtera Mojokerto, Jawa
Timur), wawancara dilakukan di BPR Sejahtera Mojokerto 78
Pasal 86 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Jawa Timur pada tanggal 10 Agustus 2016. Perseroan Terbatas .
77
Yang dimaksud dengan Menteri di sini berdasarkan Pasal 79
Pasal 87 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
1 angka 16 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan 80
Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha
Terbatas, adalah menteri yang tugas dan tanggung Kecil dan Menengah RI No. 19/PER/M.KUKM/IX/2015
jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia. tentang Penyelenggraan Rapat Anggota Koperasi.

22 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


f. menunjuk akuntan publik untuk melakukan karena itu, permasalahan muncul jika anggota
audit; koperasi kurang aktif atau bahkan tidak peduli
g. keputusan untuk melakukan investasi; terhadap perkembangan bank koperasinya.
h. membahas perubahan Anggaran Dasar, Selain permasalahan–permasalahan hukum
penggabungan, pembagian, peleburan atau tersebut, pada tataran empiris BPR Koperasi juga
pembubaran koperasi, serta menghadapi masalah persaingan usaha dengan
i. hal-hal lain yang terkait dengan bank lain, khususnya bank-bank besar baik yang
pengembangan koperasi yang tidak dibahas berbentuk koperasi maupun PT.85 Ini berarti
dalam Rapat Anggota Tahunan koperasi memiliki persamaan dengan pelaku
Rapat Anggota Luar Biasa dapat ekonomi lainnya, yaitu yang ada hubungannya
dilaksanakan atas usul anggota paling sedikit sebagai kegiatan usaha yang otonom, yang harus
1/5 (satu per lima) dari jumlah anggota bertahan secara berhasil dalam persaingan
koperasi.81 Rapat anggota luar biasa tersebut pasar dan dalam usahanya menciptakan
dinyatakan sah apabila disetujui paling sedikit “efisiensi ekonomis” dan “kemampuan hidup
2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota yang keuangannya”.86 Masalah persaingan usaha
tercatat dalam daftar anggota.82 Pengambilan muncul karena peraturan perundang-undangan
keputusan ditetapkan berdasarkan musyawarah di bidang perbankan tidak mengatur area usaha
untuk mencapai mufakat. Namun apabila tidak bank (playing field of bank). Bank besar seperti
diperoleh keputusan dengan cara musyawarah Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri,
maka pengambilan keputusan ditetapkan dan Bank Central Asia (BCA) bebas bersaing
berdasarkan suara terbanyak (voting).83 Dari dengan BPR Koperasi yang rata-rata memiliki
paparan tersebut terlihat bahwa pengambilan modal kecil. Akibatnya dapat dipastikan BPR
keputusan penting bank koperasi membutuhkan Koperasi mengalami kesulitan dalam persaingan
diselenggarakannya rapat anggota luar biasa tersebut.
yang mekanismenya cukup komplek karena Sehubungan dengan berbagai permasalahan
harus melibatkan partisipasi aktif dari para tersebut, agar BPR Koperasi berkembang
anggota koperasi. Sebagaimana dikemukakan dengan baik maka perlu ada upaya serius
oleh Dori Novita Listyaningrum partisipasi aktif untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
anggota koperasi inilah yang mempengaruhi Perbaikan tidak hanya dilakukan pada BPR
perkembangan koperasi, di samping faktor- Koperasi untuk lebih profesional dalam
faktor lainnya yaitu solidaritas antar anggota mengelola banknya, melainkan juga perlu ada
koperasi, perkembangan modal, keterampilan perbaikan yuridis agar ada peraturan perundang-
manajerial, jaringan pasar, produk, sistem undangan yang dapat dijadikan pedoman untuk
prasarana, pelayanan, pendidikan dan mengelola BPR koperasi dengan baik.
penyuluhan, segmentasi, tingkat harga, serta
komitmen pemerintah untuk menempatkan VI. UPAYA UNTUK MENGEMBANGKAN
koperasi sebagai soko guru nasional.84 Oleh BANK KOPERASI
81
Pasal 8 ayat (2) Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Berbagai permasalahan yang dihadapi bank
Kecil dan Menengah RI No. 19/PER/M.KUKM/IX/2015 koperasi menyebabkan bentuk badan hukum
tentang Penyelenggraan Rapat Anggota Koperasi. koperasi, khususnya di sektor perbankan
82
Pasal 10 huruf b Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha
sampai saat ini belum bisa berkembang dengan
Kecil dan Menengah RI No. 19/PER/M.KUKM/IX/2015
tentang Penyelenggraan Rapat Anggota Koperasi. baik di Indonesia. Sebagaimana dikemukakan
83
Pasal 18 ayat (1) Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha oleh Agus, permasalahan yang dihadapi BPR
Kecil dan Menengah RI No. 19/PER/M.KUKM/IX/2015
tentang Penyelenggraan Rapat Anggota Koperasi. 85
Ferry Hidayat (Direktur Utama BPR Koperasi Tanjung
84
Dori Novita Listyaningrum, “Perkembangan Koperasi Di Raya Bandung), wawancara dilakukan di BPR Koperasi
Dunia dan di Indonesia”, Jurnal Koperasi, http://www. Tanjung Raya Bandung pada tanggal 27 Juli 2016.
academia.edu/14385907/Jurnal_Koperasi, diakses 86
Tiktik Sartika Partomo, Ekonomi Koperasi, Bogor: Ghalia
tanggal 16 Maret 2017. Indonesia, 2009, hal. 18.

DIAN CAHYANINGRUM: Bentuk Badan Hukum Koperasi... 23


Koperasi tersebut timbul karena tidak ada Sedangkan wewenang pengurus koperasi
pemisahan antara badan hukum koperasi dan berdasarkan Pasal 30 ayat (2) UU Nomor 25
bidang usaha koperasi. Selama ini badan hukum Tahun 1992 adalah sebagai berikut:
koperasi dan bidang usaha koperasi menyatu. a. mewakili koperasi di dalam dan di luar
Pengurus koperasi dianalogkan sebagai direksi pengadilan.
pada bank yang berbentuk PT, sedangkan b. memutuskan penerimaan dan penolakan
pengawas koperasi dianalogkan sebagai anggota baru serta pemberhentian anggota
komisaris padahal belum tentu pengurus dan sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran
pengawas koperasi memiliki kemampuan dan Dasar.
pengetahuan di bidang perbankan. Selain itu, c. melakukan tindakan dan upaya bagi
usaha koperasi linear dengan kegiatan usaha kepentingan dan kemanfaatan koperasi
anggota karena koperasi berpegang pada prinsip sesuai dengan tanggung jawabnya dan
dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota. keputusan Rapat Anggota.
Oleh karena itu, Pasal 43 ayat (1) UU Nomor Seperti halnya pengurus, pengawas koperasi
25 Tahun 1992 mengatur “usaha koperasi juga memiliki tugas dan wewenang yang sama
adalah usaha yang berkaitan langsung dengan dengan komisaris pada PT sehingga pengawas
kepentingan anggota untuk meningkatkan koperasi dianalogkan dengan komisaris.
usaha dan kesejahteraan anggota”. Kondisi Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) UU Nomor 25
tersebut mengakibatkan koperasi tidak bisa Tahun 1992, tugas pengawas koperasi adalah:
fleksibel menjalankan kegiatan usahanya, a. Melakukan pengawasan terhadap
seperti halnya PT.87 pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelolaan
Pendapat Agus tersebut dapat dibenarkan Koperasi.
karena UU Nomor 25 Tahun 1992 dan UU b. Membuat laporan tertulis tentang hasil
Perbankan mengaturnya demikian. Berdasarkan pengawasannya.
UU Nomor 25 Tahun 1992, pengurus koperasi Sedangkan wewenang pengawas koperasi
memiliki tugas-tugas dan wewenang seperti berdasarkan Pasal 39 ayat (2) UU Nomor 25
halnya Direksi pada PT, oleh karenanya wajar Tahun 1992 adalah sebagai berikut:
jika pengurus koperasi dianalogkan dengan a. Meneliti catatan yang ada pada Koperasi;
direksi pada PT. Seperti halnya direksi, tugas b. Mendapatkan segala keterangan yang
pengurus koperasi berdasarkan Pasal 30 ayat diperlukan.
(1) UU Nomor 25 Tahun 1992 adalah: Berdasarkan Pasal 39 ayat (3) UU Nomor
a. mengelola koperasi dan usahanya. 25 Tahun 1992, pengawas Koperasi harus
b. mengajukan rancangan rencana kerja serta merahasiakan hasil pengawasannya tersebut
rancangan rencana anggaran pendapatan pada pihak ketiga.
dan belanja koperasi. Tidak seperti PT dimana direksi dan
c. menyelenggarakan Rapat Anggota. komisaris tidak diambil dari pemegang saham,
d. mengajukan laporan keuangan dan berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 1992
pertanggungjawaban pelaksanaan tugas. pengurus dan pengawas koperasi dipilih dari dan
e. menyelenggarakan pembukuan keuangan oleh anggota koperasi dalam Rapat Anggota.88
dan inventaris secara tertib. Dalam kondisi yang demikian masalah akan
f. memelihara daftar buku anggota dan timbul jika tidak ada satu pun anggota koperasi
pengurus. yang memenuhi syarat sebagai direksi dan
komisaris BPR Koperasi sebagaimana yang
terjadi pada BPR Koperasi Semanding Tuban.
Oleh karena itu, perlu ada terobosan hukum
87
Agus (Dosen Hukum Perusahaan Universitas Airlangga,
Surabaya, Jawa Timur), wawancara dilakukan di Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur
88
Pasal 29 dan Pasal 38 UU No. 25 Tahun 1992 tentang
pada tanggal 16 Agustus 2016. Perkoperasian.

24 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


perkoperasian yang mengatur pemisahan prinsip koperasi, besar kecilnya simpanan
antara badan hukum koperasi dan bidang usaha sukarela anggota koperasi tidak dijadikan
koperasi, seperti halnya PT. Agar terobosan sebagai pijakan bahwa anggota koperasi yang
hukum ini memiliki landasan yuridis yang kuat bersangkutan merupakan pemilik koperasi dan
dan dapat dijadikan sebagai pedoman yang memiliki suara dominan di koperasi karena
jelas maka perlu diatur dalam bentuk undang- koperasi merupakan usaha bersama dimana
undang. masing-masing anggota memiliki suara yang
Dalam terobosan hukum dimaksud, badan sama di rapat anggota. Besar kecilnya simpanan
hukum koperasi tetap merupakan wujud dari sukarela anggota hanya berpengaruh pada besar
demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam kecilnya SHU yang diterima karena berdasarkan
Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Untuk Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 25 Tahun 1992,
mendirikan koperasi, pendiri harus mendapat SHU diantaranya dibagikan kepada anggota
ijin dari Kementerian Koperasi dan Usaha sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan
Kecil dan Menengah. Pengurus dan pengawas oleh masing-masing anggota dengan koperasi.
koperasi berasal dari dan oleh anggota koperasi Dalam terobosan hukum perkoperasian
yang dipilih berdasarkan Rapat Anggota tersebut juga diatur bahwa koperasi dapat
Koperasi. Pengurus koperasi tidak merangkap menjalankan bidang usaha apa saja, termasuk
jabatan sebagai direksi. Begitu pula pengawas perbankan seperti halnya PT. Bidang usaha
koperasi tidak merangkap jabatan sebagai perbankan tersebut harus dicantumkan secara
komisaris bank koperasi. Pengurus dan pengawas tegas dalam anggaran dasar koperasi. Untuk
koperasi merekrut orang yang profesional, dapat menjalankan kegiatan usaha perbankan,
berpengalaman di bidang perbankan, dan koperasi harus mendapatkan ijin dari OJK
memenuhi syarat untuk diangkat menjadi selaku otoritas yang berwenang memberikan
direksi dan komisaris bank koperasi. Direksi ijin usaha perbankan sebagaimana dimaksud
inilah yang mengurus usaha bank koperasi dan dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 dan UU
mempertanggungjawabkan kepengurusannya Perbankan. Dalam menjalankan kegiatan
tersebut kepada pengurus koperasi. Begitupula usaha atau bisnis perbankan tersebut, koperasi
komisaris bank melakukan tugas pengawasan tunduk pada peraturan perundang-undangan
dan mempertanggungjawabkan tugasnya kepada di bidang perbankan. Oleh karena itu sangatlah
pengawas koperasi. Selanjutnya pengurus dan penting untuk membentuk UU perbankan
pengawas koperasi mempertanggungjawabkan perkoperasian agar ada pedoman yang jelas
tugasnya kepada rapat anggota koperasi. bagi koperasi dalam menjalankan kegiatan
Dengan tata kelola yang demikian, tercipta usaha perbankan. Selain itu juga penting bagi
check and balance yang baik di bank koperasi. bank koperasi untuk menerapkan tata kelola
Bank koperasi juga akan dikelola oleh orang koperasi yang baik dan berpegang pada guided
yang benar-benar berkualitas, profesional, dan principles dalam menjalankan kegiatan usaha
berpengalaman di bidang perbankan sehingga perbankannya. Guided principles tersebut
bank koperasi dapat berkembang dengan baik meliputi:89
dan menghasilkan keuntungan. a. Likuiditas (kelancaran), yaitu kemampuan
Keuntungan bank koperasi selanjutnya untuk memenuhi kewajiban utang,
dapat dibagi sebagai Sisa Hasil Usaha (SHU) segera dapat membayar kembali semua
diantara anggota koperasi sesuai dengan jasanya deposannya, serta dapat memenuhi
masing-masing kepada bank. Anggota koperasi permintaan kredit yang diajukan para
yang memiliki simpanan sukarela besar, sebagai debitur tanpa terjadi penangguhan.
imbalannya tentunya juga akan mendapatkan
SHU lebih besar sesuai dengan jasanya ke
koperasi. Dengan demikian, berdasarkan
89
Muhamad Djumhana, Asas-Asas Hukum Perbankan
Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008, hal. 156-177.

DIAN CAHYANINGRUM: Bentuk Badan Hukum Koperasi... 25


b. Solvabilitas (kekayaan), yaitu kemampuan prinsip kehati-hatian dan keamanan, serta
untuk memenuhi seluruh kewajiban, baik BMPK dapat membahayakan bank koperasi
jangka pendek maupun jangka panjang, sebagaimana yang terjadi pada BPR Tuban
dengan melikuidasi seluruh miliknya. Jadi Sentosa. BPR dimaksud menghimpun dana
membandingkan antara seluruh kekayaan dari masyarakat Tuban dalam bentuk tabungan
dan seluruh utangnya. dan deposito. Selanjutnya dana yang dihimpun
c. Rentabilitas (keuntungan), yaitu kemampuan dari masyarakat dipinjamkan kepada anggota/
untuk mendapatkan keuntungan melalui jasa pemiliknya untuk investasi di bidang properti
yang dapat diberikannya atau kegiatan usaha tanpa memperhatikan BMPK. Pada saat terjadi
lainnya yang dapat dilakukannya. krisis moneter, tidak ada masyarakat yang
d. Bonafiditas (dapat dipercaya). Bonafiditas dan membeli rumah. Akibatnya, terjadilah kredit
reputasi merupakan modal moral yang wajib macet karena anggota/pemilik tidak dapat
dimiliki untuk memperoleh kepercayaan membayar kredit yang dipinjamnya. Masyarakat
masyarakat, serta menghindarkan opini yang mengetahui hal tersebut, berbondong-
negatif atas kegagalan jasa yang diberikannya. bondong mengambil dananya di bank sehingga
Dalam pelaksanaannya, guided principles harus terjadi rush yang mengakibatkan bank merugi
diterapkan dalam manajemen yang berlandaskan dan akhirnya dibubarkan oleh pemerintah.93
pada prinsip antara lain kehati-hatian (prudential), Dari kasus tersebut, bank koperasi harus
keamanan (safety), keuntungan (profitability), dan benar-benar memperhatikan dan melaksanakan
efisiensi.90 Tidak ditaatinya prinsip perbankan aturan dan prinsip-prinsip perbankan. Ketaatan
tersebut dapat mengakibatkan kredit yang bank tersebut merupakan pelaksanaan
disalurkan bank mengalami kemacetan atau dari tata kelola koperasi yang baik yang
sering disebut dengan kredit macet (Non mendapat pengawasan dari OJK. Pelanggaran
Performance Loan/NPL). Kredit macet di sini terhadap aturan dan prinsip perbankan dapat
dapat diberi pengertian kredit atau utang yang mengakibatkan bank dikenai sanksi administratif
tidak dapat dilunasi oleh debitur karena sesuatu atau bahkan ijin usaha bank koperasi dicabut
alasan sehingga bank selaku kreditur harus oleh OJK sehingga koperasi tidak dapat
menyelesaikan masalahnya kepada pihak ketiga menjalankan kegiatan usaha perbankan lagi.
atau melakukan eksekusi barang jaminan.91 Berdasarkan Pasal 52 ayat (2) UU Perbankan,
Sebagai pelaksanaan dari prinsip kehati- sanksi administratif tersebut dapat berupa:
hatian dan keamanan, dalam rangka untuk a. denda uang;
mencegah terjadinya kredit macet maka BPR b. teguran tertulis;
Koperasi harus melakukan analisa kredit c. penurunan tingkat kesehatan bank;
meskipun yang mengajukan kredit adalah d. larangan untuk turut serta dalam kegiatan
anggotanya. BPR Koperasi juga harus mentaati kliring;
ketentuan mengenai Batas Maksimum e. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik
Pemberian Kredit (BMPK) sebagaimana diatur untuk kantor cabang tertentu maupun
dalam Pasal 11 UU Perbankan. Berdasarkan untuk bank secara keseluruhan;
pada ketentuan BMPK tersebut, bank koperasi f. pemberhentian pengurus bank dan
tidak boleh memberikan kredit kepada selanjutnya menunjuk dan mengangkat
anggotanya melebihi 10% (sepuluh per seratus) pengganti sementara sampai Rapat Anggota
dari modal bank.92 Pelanggaran terhadap Koperasi mengangkat pengganti yang tetap
dengan persetujuan OJK;
90
Ibid, hal. 156.
91
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu 93
Eni (Direksi BPR Koperasi Semanding, Tuban, Jawa
Tinjauan di Bidang Yuridis, hal. 269.
Timur), wawancara dilakukan di BPR Koperasi Semanding,
92
Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
Tuban, Jawa Timur, pada tanggal 15 Agustus 2016.
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan.

26 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


g. pencantuman anggota pengurus dan dibuka dalam RUU Perbankan, apalagi koperasi
pegawai bank dalam daftar orang tercela di
dinyatakan sebagai badan usaha yang sesuai
bidang Perbankan. dengan Pasal 33 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan
dan terbukti bank koperasi berkembang dengan
agar bank koperasi dapat berkembang dengan baik di beberapa negara seperti “Nurinchukin
baik adalah perlu diaturnya area usaha bank Bank” di Jepang, “Credit Agricole” di Perancis,
(playing field of banks) agar bank dapat bersaing
dan “RABO-Bank” di Netherlands. Belum
secara sehat. Pengaturan area usaha bank berkembangnya bank koperasi tidak dapat
bisa saja didasarkan pada besarnya modal dijadikan sebagai alasan untuk menutup
yang dimiliki oleh bank. Area usaha untuk peluang koperasi dalam menjalankan kegiatan
bank-bank besar seperti BRI, Mandiri, dan usaha perbankan. Ditutupnya peluang koperasi
BCA misalnya ada di ibukota negara, ibukota untuk menjalankan kegiatan usaha perbankan
provinsi, dan kabupaten/kota dengan batas justru dapat mengakibatkan RUU Perbankan
minimal plafon kredit yang diberikan cukup setelah disahkan menjadi UU Perbankan
besar, misalnya minimal Rp50 juta. Sedangkan diajukan judicial review ke MK karena dianggap
area usaha BPR ada di kecamatan dan desa- bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) dan
desa yang memberikan pelayanan jasa kepada Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, oleh
masyarakat kecil menengah yang biasanya karenanya dapat dibatalkan.
membutuhkan pinjaman dengan jumlah yang Ada beberapa permasalahan hukum yang
tidak begitu besar. menyebabkan bank koperasi sampai saat ini
Dengan adanya pemisahan badan hukum belum berkembang dengan baik, diantaranya
koperasi dengan bidang usahanya sebagaimana ada dualisme pengaturan antara bidang
dipaparkan, penerapan tata kelola koperasi yang
perbankan dan perkoperasian yang berpengaruh
baik dengan berpedoman pada guide principles,pada tata kelola bank koperasi. Dalam bank
dan pengaturan area usaha bank diharapkan koperasi, direksi bank adalah pengurus koperasi
koperasi dapat menjadi badan hukum yang dan komisaris bank adalah pengawas koperasi
profesional dan dapat dapat bersaing dengan baik
padahal pengurus dan pengawas belum tentu
dalam menjalankan kegiatan usaha perbankan orang-orang yang profesional dan berpengalaman
seperti halnya PT. Dengan struktur koperasi yang
di bidang perbankan. Dualisme pengaturan
demikian, maka koperasi yang anggotanya petani
juga menyebabkan dualisme pengawasan
tembakau misalnya, dapat memiliki koperasi yang
yang dirasa cukup merepotkan. Di satu sisi
menjalankan kegiatan usaha apa saja termasuk bank koperasi diawasi oleh Dinas Koperasi
perbankan karena pengurus koperasi yang terkait dengan bentuk badan hukumnya, di
notabene petani tembakau yang tidak tahu masalah
sisi yang lain juga mendapat pengawasan dari
perbankan dapat mengangkat seseorang untuk OJK terkait kegiatan usahanya. Permasalahan
menjadi direksi untuk mengurus bank dengan hukum lainnya yang dihadapi bank koperasi
baik. Begitu pula pengawas koperasi juga dapat
adalah dijalankan seperti halnya bentuk badan
mengangkat komisaris sehingga tugas pengawasan
hukum PT, dimana anggota yang memiliki
terhadap bank koperasi dapat berjalan dengan baik.
simpanan sukarela terbesar dianggap sebagai
pemilik (pemegang saham terbanyak dalam
VII. PENUTUP PT). Akibatnya terjadi pelanggaran terhadap
A. Kesimpulan tata kelola koperasi, yaitu anggota pemilik
Peraturan perundang-undangan di sektor simpanan sukarela terbesar menjadi komisaris
perbankan selama ini memberikan peluang bagi dan sangat dominan dalam pengambilan
koperasi untuk dapat menjalankan kegiatan keputusan rapat anggota. Selain itu juga terjadi
usaha perbankan, baik sebagai bank umum pelanggaran terhadap prinsip-prinsip koperasi
maupun BPR. Peluang tersebut perlu tetap diantaranya one man one vote, kontrol anggota

DIAN CAHYANINGRUM: Bentuk Badan Hukum Koperasi... 27


demokratis (Democratic Member Control), dan persaingan yang sehat antara bank besar dengan
pengawasan demokratis atas modal koperasi bank koperasi (BPR koperasi) yang umumnya
(member economic partisipatipation). RAT juga memiliki modal kecil.
sulit untuk diselenggarakan karena kebanyakan
anggota koperasi bersifat pasif sehingga jumlah B. Saran
anggota koperasi yang hadir dalam RAT tidak Koperasi sebaiknya tetap diberi peluang
signifikan. Akibatnya pengambilan keputusan dalam RUU Perbankan sebagai badan hukum
penting sulit untuk dilakukan secara cepat. yang dapat menjalankan kegiatan usaha
Permasalahan hukum lainnya adalah belum perbankan, baik sebagai bank umum maupun
ada peraturan perundang-undangan yang dapat BPR. Peluang tersebut tetap perlu dibuka
dijadikan sebagai pedoman yang jelas bagi mengingat koperasi merupakan badan usaha
koperasi untuk menjalankan kegiatan usaha yang sesuai dengan Pasal 33 ayat (1) UUD
perbankan. Selain itu bank koperasi (BPR NRI Tahun 1945 dan terbukti bank koperasi
Koperasi) yang umumnya memiliki modal kecil berkembang dengan baik di beberapa negara.
juga menghadapi masalah persaingan usaha Rancang ulang peraturan perundang-undangan
dengan bank besar karena belum ada aturan perkoperasian untuk memisahkan badan
mengenai area usaha bank (playing field of bank). hukum koperasi dengan bidang usaha koperasi
Upaya untuk mengatasi permasalahan perlu segera dilakukan agar terwujud tata kelola
hukum tersebut adalah dengan melakukan koperasi yang baik. Dengan tata kelola koperasi
terobosan hukum untuk merancang ulang yang baik, koperasi dapat menjalakan kegiatan
(redesign) peraturan perundang-undangan di usaha apa pun termasuk usaha perbankan
bidang perkoperasian. Rancang ulang tersebut dengan baik. Undang-undang perbankan
dilakukan untuk merestrukturisasi koperasi yaitu perkoperasian juga perlu segera dibentuk agar
memisahkan badan hukum koperasi dengan ada pedoman yang jelas bagi koperasi untuk
bidang usaha koperasi dengan tetap mentaati menjalankan kegiatan usaha perbankan. Area
tata kelola dan prinsip-prinsip koperasi. Dengan usaha bank (playing fied of the bank) juga perlu
pemisahan tersebut, bank koperasi diurus oleh segera diatur agar ada persaingan yang sehat
orang yang benar-benar memiliki pengetahuan antara bank besar dengan bank koperasi (BPR
dan pengalaman di bidang perbankan karena koperasi) yang umumnya memiliki modal kecil.
direksi dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada
pengurus koperasi. Bank koperasi juga diawasi
dengan baik karena komisaris adalah orang
profesional yang dipilih oleh dan bertanggung
jawab kepada pengawas koperasi. Sesuai dengan
tata kelola koperasi, pengurus dan pengawas
koperasi selanjutnya mempertanggungjawabkan
tugasnya kepada rapat anggota koperasi. Dengan
struktur dan tata kelola koperasi yang demikian,
koperasi dapat menjalankan kegiatan usaha apa
saja termasuk perbankan dengan baik. Upaya
lain untuk mengatasi permasalahan hukum
bank koperasi adalah dengan membentuk
undang-undang perbankan perkoperasian agar
ada pedoman yang jelas bagi koperasi dalam
menjalankan kegiatan usaha perbankan. Selain
itu juga perlu ada pengaturan mengenai area
usaha bank (playing fied of the bank) agar ada

28 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


DAFTAR PUSTAKA Muhtarom, M. “Harmonisasi Hukum
Perbankan dan Perkoperasian dalam
Pengaturan tentang Penghimpunan Dana
Simpanan Masyarakat. SUHUF. Vol.25,
Jurnal dan Karya Tulis Ilmiah No. 1, Mei 2013. www.publikasiilmiah.
Cahyaningrum, Dian. “Perlindungan Nasabah ums.ac.id. Diakses tanggal 21 April 2016.
dalam Penyeleggaraan Laku Pandai: Studi Nainggolan, Karlonta; Tohap Parulian; dan Ali
Pelindungan Nasabah Laku Pandai BCA Usman Siregar. “Indikator Membangun
di Jawa Tengah dan BRI di Papua”. Jurnal Good Cooperative Governance untuk
Ilmiah Hukum Negara Hukum. Vol. 7, No. 2, Menumbuhkan Kepercayaan Masyarakat
November 2016. Jakarta: Pusat Penelitian terhadap Koperasi, Studi di Kota Medan”.
Badan Keahlian DPR RI. Jurnal Aplikasi Manajemen. http://jurnaljam.
Dwiridotjahjono, Jojok. “Penerapan Good Corporate ub.ac.id/index.php/jam/article/view/894.
Governance: Manfaat Dan Tantangan Serta Diakses tanggal 16 Maret 2017.
Kesempatan Bagi Perusahaan Publik di Novita Listyaningrum, Dori. “Perkembangan
Indonesia”. Jurnal Administrasi Bisnis. Vol. 5, Koperasi Di Dunia dan di Indonesia”.
No. 2, 2009. Fisip-Unpar. www.journal.unpar. Jurnal Koperasi. http://www.academia.
ac.id/index.php/JurnalAdministrasiBisnis/ edu/14385907/Jurnal_Koperasi. Diakses
article/download/2108/191.Diakses tanggal 27 tanggal 16 Maret 2017.
Maret 2017.
Nurfitriani, Siti dan Nurul Husnah. “Analisis
Gede Hartadi Kurniawan, I. Tindakan Koperasi Tata Kelola dan Kinerja Koperasi Peternak
Simpan Pinjam yang Mengakibatkan Sapi di Jawa Barat”. Jurnal Pengkajian
Perbuatan Tindak Pidana. Lex Jurnalica. Koperasi dan UKM. Vol.8, No. 1, Oktober
Volume 10 Nomor 1, April 2013. https:// 2013. http://www.jurnal.smecda.com/
media.neliti.com/media/publications/18070- i n de x . p h p /p e n g k a j ia n k u km /a rt i c l e /
ID-tindakan-koperasi-simpan-pinjam-yan- download/82/76, Diakses tanggal 16 Maret
mengakibatkan-perbuatan-tindak-pidana.
pdf. Diakses tanggal 8 Juni 2017.
Buku
Kadhita, Sinta. “Koperasi Sulit Berkembang”. Anoraga, Pandji dan Ninik Widiyati. Dinamika
Jurnal Ekonomi Koperasi. http://www. Koperasi. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
academia.edu/28883332/JURNAL_
EKONOMI_KOPERASI_.docx. Diakses Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi Bernegara Praksis
tanggal 16 Maret 2017. Kenegaraan Bermartabat dan Demokratis.
Malang: Setara Press, 2015.
Lina Oktaviani Suendra, Dessy.
“Pertanggungjawaban Pidana Koperasi dalam Burton, Richard Simatupang. Aspek Hukum
Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin”. Tesis dalam Bisnis. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
dalam Program Pascasarjana Universitas Djumhana, Muhamad. Asas-Asas Hukum
Udayana Denpasar, 2015. www.pps.unud. Perbankan Indonesia. Bandung: Citra
ac.id. Diakses tanggal 20 April 2016. Aditya Bakti, 2008.
Miknyo Jadmiko, Andreas. “Analisis Perbandingan Dorotea Tobing, Rudyanti. Aspek-Aspek Hukum
Risiko Keuangan Bank Perkreditan Rakyat Bisnis Pengertian, Asas, Teori dan Praktik.
(BPR) Perseroan Terbatas dan BPR Koperasi”. Surabaya: LaksBang Justitia, 2015.
Jurnal Akuntansi UNESA. Vol.1, No.2, 2013.
Farida Indrati Soeprapto, Maria. Ilmu Perundang-
http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-
undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya.
akuntansi/article/view/730/1206. Diakses
Yogyakarta: Kanisius, 1998.
tanggal 10 Februari 2017.

DIAN CAHYANINGRUM: Bentuk Badan Hukum Koperasi... 29


Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Sartika Partomo, Tiktik. Ekonomi Koperasi.
Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Bogor: Ghalia Indonesia, 2009.
Hukum dalam Ekonomi). Bagian 1. Supramono, Gatot. Perbankan dan Masalah
Cetakan Keenam. Jakarta: PT. Pradiya Kredit suatu Tinjauan di Bidang Yuridis.
Paramita, 2001. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Kelsen, Hans. Teori Umum tentang Hukum
dan Negara. Diterjemahkan oleh Raisul Perpustakaan dalam Jaringan
Muttaqien dari buku Hans Kelsen “General “Membangun “Koperasi Modern” Indonesia
Theory of Law and State”. Bandung: Nusa dengan UU No. 17 Tahun 2012”. www.
Media, tanpa tahun. kspintidana.com. Diakses tanggal 21 April
Limbong, Bernhard. Pengusaha Koperasi. 2016.
Jakarta: Margaretha Pustaka, 2010. “Sejarah Koperasi di Indonesia”. https://who21.
Nasution, Muslimin. Koperasi Menjawab Kondisi wordpress.com/2013/11/02/sejarah-
Ekonomi Nasional. Jakarta: Pusat Informasi koperasi-di-indonesia/. Diakses tanggal 10
Perkoperasian, 2008. Maret 2017.
Pachta W., Andjar; Myra Rosana Bachtiar; dan Waluyo, Purwanto. “Rancu Bank Perkreditan
Nadia Maulisa Benemy. Hukum Koperasi Rakyat Berbadan Hukum Koperasi”. www.
Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media kspintidana.com. Diakses tanggal 25
Group, 2012. Februari 2014.
Ruslina, Elli. Dasar Perekonomian Indonesia Wikanto, Adi. “Pakto 88 dan Booming
dalam Penyimpangan Mandat Konstitusi Perbankan Indonesia”. www.lipsus.kontan.
UUD Negara Tahun 1945. Yogyakarta: co.id. Diakses 30 November 2016.
Total Media, 2013.

30 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL SEBAGAI JAMINAN KREDIT PERBANKAN

INTELLECTUAL PROPERTY AS BANKING CREDIT GUARANTEE

Trias Palupi Kurnianingrum


Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI
Komplek MPR/DPR/DPD Gedung Nusantara I Lantai 2,
Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta
email: triaspalupikurnianingrum@yahoo.com

Naskah diterima: 10 April 2017


Naskah direvisi: 29 Mei 2017
Naskah diterbitkan: 20 Juni 2017

Abstract
Intellectual Property Rights (IPR) basically have an economic value. Globally, the IPR can be used as
a collateral to obtain a bank loan internationally. The arrangement of the new materials related to IPR
as an object of credit guarantee already arranged in Article 16 Paragraph (3) Law No. 28 Year 2014
regarding Copyright and Article 108 Paragraph (1) Law No. 13 Year 2016 regarding the Patent. This
new arrangement regarding the IPR assets as a collateral of bank loan indirectly can be a motivation for
the creators, inventors to be more productive in order to create new inventions. This also mean that state
appreciate the inventors for their creation. Unfortunately, although its already regulated in legal act the
implementation still having some obstacles. The limited protection periods of the IPR’s ownership, the lack of
concepts of due diligence, the IPR’s assets appraisal, and the IPR’s appraisal institution and the absence of the
juridical support in form of regulation related to the IPR as collateral and the revision of the Bank Indonesia
Regulation No. 9/6/PBI/2007 concering the bank credit collateral can be consider as the major factors why
bank cannot accepted the IPR assets as an object of bank credit guarantee. In order to implemented the
renewal concepts, its required firm juridical support and detailed regulation about the IPR’s assets as an
object of bank credit guarantaee, and the existance of the IPR’s apparaisal institution in Indonesia.
Keywords: intellectual property, banking security, renewal of law

Abstrak
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada dasarnya mempunyai nilai ekonomis. Dengan adanya
perkembangan masyarakat global, HKI dapat dijadikan agunan untuk mendapatkan kredit
perbankan secara internasional. Pengaturan materi baru terkait HKI sebagai objek jaminan kredit
sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 16 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
dan Pasal 108 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten secara tidak langsung menjadi
landasan motivasi bagi para kreator, pencipta, inventor untuk lebih produktif dalam menciptakan
karya-karya baru. Ini berarti juga menjadi dasar adanya pengakuan dan pelindungan bahwa
negara menghargai karya mereka. Meskipun sudah dinyatakan tegas dalam peraturan perundang-
undangan namun pemberlakuan tersebut masih mengalami kendala. Jangka waktu pelindungan
HKI yang terbatas, belum adanya konsep yang jelas terkait due diligence, penilaian aset HKI, dan
lembaga appraisal HKI di Indonesia, serta belum adanya dukungan yuridis baik dalam bentuk
peraturan terkait aset HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan maupun revisi mengenai
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9/6/PBI/2007 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
terkait agunan kredit menjadi salah satu faktor utama mengapa pihak bank belum dapat menerima
HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan. Untuk mewujudkan konsep pembaharuan tersebut,
diperlukan dukungan yuridis yang tegas dan detail terkait aset HKI sebagai objek jaminan kredit
perbankan, sosialisasi secara menyeluruh, serta adanya lembaga appraisal HKI di Indonesia.
Kata kunci: hak kekayaan intelektual, jaminan perbankan, pembaharuan hukum

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Hak Kekayaan Intelektual... 31


I. PENDAHULUAN justru telah menyediakan infrastruktur serta
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada memfasilitasi pengembangan HKI termasuk di
dasarnya merupakan hak eksklusif yang diberikan dalamnya pemberian kredit perbankan.4
negara kepada para kreator, inventor, atau HKI pada dasarnya merupakan aset
pencipta atas temuannya yang mempunyai kebendaan yang mempunyai nilai komersial
nilai komersil baik langsung secara otomatis (ekonomis). Apabila digolongkan sebagai aset
atau melalui pendaftaran. Konsep pelindungan perusahaan, maka HKI masuk dalam kategori
hukum melalui pemberian hak eksklusif terhadap aset tidak berwujud. Di Indonesia, pengaturan
pemegang HKI bukan hanya berfungsi sebagai alat mengenai jaminan perbankan dalam kekayaan
bukti pelindungan semata ketika terjadi sengketa intelektual telah tertuang di dalam peraturan
hukum, namun seiring dalam perkembangan pasar perundang-undangan, misalnya UU No. 28
global yang makin meningkat, HKl dapat juga Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta).
dijadikan agunan (collateral) untuk mendapatkan Dalam undang-undang tersebut dinyatakan
kredit perbankan. Hal ini didukung dalam sidang secara jelas bahwa hak cipta merupakan benda
United Nations Commission on International Trade bergerak tidak berwujud,5 yang dapat beralih
Law (UNCITRAL) ke-13 tahun 2008 dengan atau dialihkan baik seluruh maupun sebagian
materi mengenai hak jaminan dalam kekayaan melalui cara pewarisan, hibah, wakaf, wasiat,
intelektual (security rights in intellectual property), perjanjian tertulis, sebab lain yang dibenarkan
yang menyatakan bahwa HKI akan dijadikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
sebagai agunan untuk mendapatkan kredit undangan.6 Lebih lanjut, Pasal 16 ayat (3) UU
perbankan secara internasional.1 Masuknya Hak Cipta menyatakan secara tegas bahwa “hak
materi HKI sebagai objek jaminan perbankan cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan
dirasa sangat penting khususnya bagi pelaku bisnis fidusia”.7 Dengan diberlakukannya ketentuan
yang mempunyai HKI untuk dapat mengakses tersebut, maka secara tidak langsung objek hak
kredit perbankan dalam rangka mengembangkan cipta seperti karya cipta baik berwujud nyata
usahanya. (lukisan, patung, potret, dan sebagainya) maupun
Hal ini bukannya tanpa sebab, mengingat di tidak nyata (film, musik, dan sebagainya) dapat
beberapa negara, kepemilikan HKI dapat bersifat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia. Apabila
bankable yang berarti dapat dijadikan agunan membutuhkan pinjaman bank maka pemegang
untuk jaminan bank. Singapura, Malaysia dan hak cipta dapat menjadikan hak cipta sebagai
Thailand misalnya telah mengembangkan jaminan kepada pihak bank.
kredit berbasis aset tidak berwujud (intangible Hal sama juga berlaku untuk paten. Paten pada
assets).2 Bahkan Singapura, melalui The dasarnya merupakan kekayaan intelektual yang
Intellectual Property Office of Singapore3 (IPOS) diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil
invensinya di bidang teknologi yang mempunyai
1
UNICITRAL, 2011, Unicitral Legislative Guide on Secured
Transactions Supplement on Security Rights in Intellectual peranan strategis untuk mendukung pembangunan
Property, https://www.uncitral.org/pdf/english/texts/security- bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.8
lg/e/10-57126_Ebook_Suppl_SR_IP.pdf., diakses tanggal 18 Peningkatan pelindungan paten dinilai sangat
Januari 2017.
penting bagi inventor dan pemegang paten karena
2
Menurut paparan Tommy Hendra Purwaka, yang dimaksud
dengan intangible assets adalah semua hak yang dapat bertugas untuk mengelola HKI, dengan cara memberikan
digunakan dalam operasi perusahaan. Yang dapat dimasukkan kesadaran hukum kepada masyarakat luas akan
ke dalam kolom aset salah satunya adalah gedung atau pentingnya pelindungan HKI, menyediakan infrastruktur
bangunan. Aset dipahami sebagai harta total yang biasanya dan memfasilitasi pengembangan HKI.
untuk keperluan analisis dirinci menjadi beberapa kategori, 4
IPOS: The Intllectual Property Office of Singapore, https://
seperti: aset lancar, investasi jangka panjang, aset tetap, aset www.ipos.gov.sg/, diakses tanggal 26 Februari 2017.
tidak berwujud, aset pajak tangguhan, dan aset lain. Daftar 5
Pasal 16 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
aset dalam neraca disusun menurut tingkat likuiditasnya, 6
Pasal 16 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
mulai dari yang paling likuid hingga yang tidak likuid. 7
Pasal 16 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
3
The Intellectual Property Office of Singapore (IPOS) 8
Bagian menimbang huruf a UU No. 13 Tahun 2016 tentang
merupakan kantor HKI yang berada di Singapura. IPOS Paten.

32 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


dapat memotivasi inventor untuk meningkatkan perbankan maupun revisi mengenai Peraturan
hasil karya baik secara kuantitas maupun kualitas Bank Indonesia (PBI) No. 9/6/PBI/2007 tentang
guna mendorong kesejahteraan bangsa dan Perubahan Kedua Atas PBI No. 7/2/PBI/2005
negara serta menciptakan iklim usaha yang sehat.9 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
Masuknya materi paten dapat dijadikan objek (PBI No. 9/6/PBI/2007) terkait agunan kredit15
jaminan perbankan terlihat di dalam ketentuan menjadi salah satu faktor utama mengapa pihak
Pasal 108 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2016 tentang bank belum dapat mempraktikkan hal tersebut.16
Paten (UU Paten) yang menyatakan bahwa “hak Sementara jika dicermati, di ketentuan mengenai
atas paten dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam UU No. 42
fidusia”.10 Dengan adanya ketentuan ini maka Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU
pemohon baik paten11 maupun paten sederhana12 Jaminan Fidusia) justru telah mengakomodir HKI
yang tidak mempunyai modal cukup maka dapat sebagai objek jaminan perbankan melalui jaminan
menjaminkan produknya sehingga tidak perlu fidusia.17 Tulisan ini merupakan kebaruan. Untuk
menunggu adanya orang lain atau perusahaan asing menghindari duplikasi tulisan yang sudah ada,
untuk memberikan dananya sebagai pembuatan maka Penulis tertarik ingin mengkaji dari sisi
produk. hukum mengenai HKI sebagai jaminan kredit
Dengan diaturnya materi mengenai HKI perbankan. Dari latar belakang tersebut, akan
sebagai jaminan kredit perbankan secara tidak disampaikan permasalahan sebagai berikut:
langsung menjadi landasan motivasi bagi para 1. Bagaimana kedudukan HKI sebagai
kreator, pencipta, inventor untuk lebih produktif jaminan kredit perbankan di dalam sistem
dalam menciptakan karya-karya baru. Ini berarti hukum perbankan di Indonesia?
juga menjadi dasar adanya pengakuan bahwa 2. Meskipun telah diatur di dalam UU No.
negara menghargai karya mereka. Akan tetapi 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,
meskipun telah dinyatakan secara tegas di dalam mengapa aset HKI sampai saat ini belum
peraturan perundang-undangan13 namun realita bisa menjadi objek jaminan di perbankan?
yang ada pemberlakuan tersebut masih mengalami Apa kendala atau hambatan di dalamnya?
kendala. Jangka waktu pelindungan HKI yang Tulisan ini bertujuan untuk melakukan
terbatas, belum adanya konsep yang jelas terkait kajian hukum mengenai HKI sebagai jaminan
due diligence,14 penilaian aset HKI, dan juga belum kredit perbankan, khususnya mengetahui dan
ada dukungan yuridis baik dalam bentuk peraturan memahami bagaimana kedudukan HKI sebagai
terkait aset HKI sebagai objek jaminan kredit jaminan kredit perbankan di dalam sistem
9
Bagian menimbang huruf c UU No. 13 Tahun 2016 hukum perbankan di Indonesia serta mengetahui
tentang Paten. dan memahami apa yang menjadi kendala
10
Pasal 108 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten. mengapa aset HKI masih belum dapat menjadi
11
Yang dimaksud dengan paten adalah hak eksklusif yang
objek jaminan kredit di perbankan. Tulisan
diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil-hasil
invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu 15
Terakhir pihak perbankan telah mengeluarkan Peraturan
melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan Bank Indonesia (PBI) No. 9/6/PBI/2007 tentang
persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Perubahan Kedua Atas PBI No. 7/2/PBI/2005 tentang
12
Yang dimaksud dengan paten sederhana adalah hak eksklusif Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.
yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil-hasil 16
Belum ada revisi terhadap Peraturan Bank Indonesia
invensinya berupa produk atau alat baru dan memiliki nilai (PBI) No. 9/6/PBI/2007 tentang Agunan Kredit Bank.
kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, 17
Pengertian fidusia menurut UU 42 Tahun 1999 tentang
kontruksi, atau komponennya. Dapat dikatakan paten Jaminan Fidusia menyatakan bahwa fidusia diartikan
sederhana tidak membutuhkan hasil penelitian. sebagai pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
13
UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, UU No. 13 kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
Tahun 2016 tentang Paten. kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
14
Yang dimaksud dengan due diligence lebih diartikan pemilik benda. Jaminan fidusia sendiri merupakan hak
sebagai proses penting untuk memastikan objek dan jaminan atas benda bergerak yang berwujud maupun tidak
subjek kepemilikan HKI yang akan dijadikan objek berwujud dan benda tidak bergerak. Objek HKI sendiri
jaminan perbankan. pada dasarnya merupakan benda bergerak tidak berwujud.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Hak Kekayaan Intelektual... 33


ini sangat menarik untuk dikaji, mengingat sebagai hasil dari kemampuan intelektualitas
HKI pada dasarnya merupakan bagian dalam seseorang atau manusia dalam bidang ilmu
hukum jaminan di Indonesia sebagai salah satu pengetahuan dan teknologi melalui daya cipta,
benda yang dapat dijaminkan di bank. Sebagai rasa, karsa, dan karyanya.23 Lebih lanjut, Budi
aset yang tidak berwujud, HKI tergolong dalam Santoso mendefinisikan HKI sebagai suatu hak
sistem hukum kebendaan sesuai Pasal 499 KUH yang timbul sebagai hasil kemampuan intelektual
Perdata18 dan Pasal 503 KUH Perdata.19 manusia dalam berbagai bidang yang menghasilkan
suatu proses atau produk bermanfaat bagi umat
II. KEDUDUKAN HKI SEBAGAI manusia.24 Sementara WTO mendefinisikan HKI:
JAMINAN KREDIT PERBANKAN “intellectual property rights can be defined as the rights
Kemajuan teknologi informasi dan given to people over the creations of their minds. They
transportasi secara tidak langsung telah mendorong usually give the creator an exclusive right over the use
perkembangan globalisasi ekonomi, skala investasi of his/her creations for a certain period of time”.
dan pemasaran produk, tidak hanya terbatas pada
Dari pengertian tersebut dapat diartikan
pasar nasional akan tetapi telah melewati batas-
bahwa HKI adalah hak yang diberikan kepada
batas negara. Perubahan pasar di luar batas-batas
seseorang sebagai hasil kreasi dari fikirannya
negara juga diikuti oleh HKI yang digunakan dalam
atau hasil dari intelektualnya. Hak tersebut
pembuatan produk dan pemasarannya.20 Kekayaan
memberikan penggunaan hak eksklusif kepada
intelektual merupakan kreativitas yang dihasilkan
kreator yang dapat dipergunakan dalam jangka
dari olah pikir manusia dalam rangka memenuhi
waktu tertentu. Seiring dalam perkembangan
kebutuhan dan kesejahteraan hidup manusia.21
masyarakat global, HKI dapat pula dijadikan
Kreativitas manusia yang muncul sebagai aset
akses untuk mendapatkan kredit perbankan
intelektual seseorang telah lama memberi pengaruh
secara internasional. Singapura misalnya. Dengan
yang signifikan terhadap peradaban manusia, antara
banyaknya HKI seperti paten dan merek dagang,
lain melalui penemuan-penemuan (inventions)
Singapura telah menciptakan ruang untuk
dan hasil-hasil di bidang karya cipta dan seni
dapat menggunakan HKI sebagai objek jaminan
(art and literary work). Semakin berkembangnya
perbankan. Menurut data Singapore Brand Finance
kreativitas seseorang maka semakin berkembang
tahun 2014 sebagaimana dikemukakan oleh
pula peradaban manusia. Berawal dari pemahaman
Tan Weizhen, 42% dari nilai perusahaan negara
bahwa perlunya satu bentuk penghargaan khusus
Singapura adalah aset tidak berwujud.25 Melalui
terhadap karya intelektual seseorang dan hak yang
IPOS, Singapura bahkan telah mengembangkan
muncul dari karya itu, maka konsep HKI juga
konsep/skema pembiayaan dimana IPOS
mengalami perkembangan.22
menunjuk 3 (tiga) bank, yakni DBS, OCBC, dan
Rachmadi Usman mendefinisikan HKI
UOB untuk memberikan kredit perbankan.26
sebagai hak atas kepemilikan terhadap karya-
karya yang timbul atau lahir karena adanya
23
Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual,
kemampuan intelektual manusia dalam bidang
Bandung: Alumni, 2003, hal, 2.
ilmu pengetahuan dan teknologi. Karya-karya 24
Budi Santoso, dikutip tidak langsung oleh Kholis Roisah,
tersebut merupakan kebendaan tidak berwujud Konsep Hukum Hak Kekayaan Intelektual HKI: Sejarah,
Pengertian dan Filosofi Pengakuan HKI dari Masa ke Masa,
18
Pasal 499 KUH Perdata menjelaskan bahwa menurut Malang: Setara Press, 2015, hal. 6-7.
Undang-Undang, barang adalah tiap benda dan tiap hak 25
Tan Weizhen, Todayonline, 9 April 2014, Bussiness
yang dapat menjadi objek dari hak milik. Singapore Firms can Now Use IP Assets Collateral Bank
19
Pasal 503 KUH Perdata membedakan benda menjadi 2 Loan, http://www.todayonline.com/business/singapore-
(dua), yakni benda bertubuh dan tidak bertubuh. firms-can-now-use-ip-assets-collateral-bank-loans,
20
Kholis Roisah, Konsep Hukum Hak Kekayaan Intelektual diakses tanggal14 Februari 2017.
HKI: Sejarah, Pengertian dan Filosofi Pengakuan HKI dari 26
Koran Sindo, Hak Paten Diusulkan Jadi Jaminan Bank,
Masa ke Masa, Malang: Setara Press, 2015, hal. 1. 7 November 2016, http://economy.okezone.com/
21
Ibid. read/2016/11/07/320/1534641/hak-paten-diusulkan-jadi-
22
Ibid, hal.2. jaminan-bank, diakses tanggal 3 Maret 2017.

34 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Pemberian kredit ini dilakukan melalui Selain Singapura, Thailand juga telah
kerjasama Lembaga Partisipasi Finansial mengatur prosedur kredit yang menggunakan
(Participating Finansial Institution/PFIs). PFIs intellectual property, dalam hal ini rahasia dagang
memiliki fungsi untuk mendorong lembaga sebagai benda jaminan melalui Thailand’s Business
keuangan di Singapura guna menerima aset-aset Security Act B.E. 2558 (2015).29 Adapun lembaga
HKI sebagai jaminan. FPIs inilah yang nantinya keuangan yang dapat memberikan kredit dengan
akan melakukan proses due diligence dalam menggunakan aset HKI adalah SME Bank,
menilai suatu kelayakan kredit. Tahapannya Bangkok Bank, Government Saving Bank, atau
adalah sebagai berikut:27 lembaga-lembaga lainnya yang berpartisipasi di
“Step 1: a) Ensure that they meet the eligibility dalam program pemodalan kekayaan intelektual
criteria; b) Approach any of the PFIs for a (Intellectual Property Capitalization Program).30 Di
preliminary credit assessment; c) Complete dalam Thailand’s Business Security Act B.E. 2558
and submit the ‘Application for Intellectual (2015), disebutkan bahwa untuk memfasilitasi
Property Valuation’ (“Form A”) form to IPOS. peningkatan akses terhadap dana untuk bisnis,
d) Approach any of the IP valuers from the maka undang-undang tersebut memungkinkan
Panel of Valuers (POV) for an IP valuation. e) aset berwujud maupun tidak berwujud untuk
Applicants should subsequently obtain an IP dapat digunakan sebagai jaminan.31 Mekanisme
Valuation report from the appointed IP valuer. prosedur pengajuan jaminan perbankan yang
Step 2 : a) Compete the ‘Loan Application’ dilakukan di Thailand adalah sebagai berikut:32
(“Form B”) and ‘Claim for Valuation Subsidy’ a. Pengajuan aplikasi pinjaman;
(“Form C”) forms and submit to the PFIs together
pihak yang mengajukan pinjaman (baik
with the valuation report, and other supporting
perorangan maupun badan hukum yang
documents for the loan application within four
weeks from the date of the valuation report.
memiliki kekayaan intelektual) dengan
Step 3 : a)Upon successful application, sign the menggunakan intellectual property sebagai
letter of offer and draw down the funds within; b) benda jaminan harus mengajukan aplikasi
six months from the date of the letter of offer.”28 pada institusi finansial dengan rencana
bisnisnya dan dokumen-dokumen lain yang
27
Intellectual Property Office of Singapore, “Intellectual Property diminta oleh institusi tersebut.
Financing Scheme Information Sheet”, https://www.ipos.gov.sg/
b. Pemeriksaan intellectual property;
Portals/0/SCOPE%20IP/IPFSInformationSheetv21July2016.
pdf, diakses tanggal 23 Mei 2017. setelah pihak bank yang mengajukan
28
Dapat diartikan secara sederhana, tahap pertama: a) pinjaman mengisi aplikasi, institusi finansial
memastikan pihak pemohon memenuhi standar kelayakan. akan memeriksa keakuratan intellectual
Hal ini dilakukan oleh FPIs untuk melakukan penilaian
property yang digunakan sebagai objek
kredit; b) melakukan pendekatan terhadap PFIs untuk
mendapatkan pendahuluan penilaian kredit. Artinya pihak jaminan. Untuk itu, institusi finansial akan
pemohon haruslah berhadapan dengan FPIs terlebih dahulu mengadakan kerjasama dengan Kantor
sebelum berinteraksi dengan lembaga bank yang akan
ditunjuk. FPIs berwenang untuk melakukan pemeriksaan 29
AIPPI, “Using IP As Collateral in Thailand”, https://aippi.
pertama kali guna memberikan penilaian kredit; c) org/no-show/using-ip-as-collateral-in-thailand/, diakses
melengkapi formulir permohonan penilaian aset HKI. tanggal 24 Mei 2017.
Formulir ini dapat diambil di kantor IPOS; d) melakukan 30
Irawaty, “Perkembangan dan Prespektif Yuridis
pendekatan terhadap lembaga penilai aset HKI dari panel Rahasia Dagang Sebagai Benda Jaminan Kredit”, Tesis,
penilai (Panel of Valuers/POV) untuk penilaian aset HKI. Universitas Indonesia, Juli 2008, Hal. 68-69, lib.ui.ac.id/
Pemohon kemudian harus mendapatkan laporan penilaian file?file=digital/2016-9/20269729-T37441-Irawaty.pdf,
aset HKI dari lembaga penilai yang ditunjuk. Tahap kedua: diakses tanggal 14 Februari 2017.
mengirimkan kedua formulir ke FPIs bersamaan dengan 31
AIPPI, “Using IP As Collateral in Thailand”, https://aippi.
laporan penilaian dan dokumen pendukung lainnya untuk org/no-show/using-ip-as-collateral-in-thailand/, diakses
aplikasi pinjaman dalam waktu empat minggu sejak tanggal tanggal 24 Mei 2017.
laporan penilaian. Tahap ketiga: setelah aplikasi berhasil, 32
Irawaty, “Perkembangan dan Prespektif Yuridis Rahasia
tanda tangani surat penawaran dan tarik dana di dalamnya Dagang Sebagai Jaminan Kredit”, Universitas Indonesia, Juli
terhitung enam bulan sejak tanggal surat penawaran. 2008, http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-9/20269729-
T37441-Irawaty.pdf, diakses tanggal 24 Mei 2017.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Hak Kekayaan Intelektual... 35


HKI yang akan memeriksa keakuratannya intellectual property yang digunakan sebagai
kemudian memberikan hasil pemeriksaan objek jaminan perbankan, menunggu
tersebut kepada institusi finansial. pemberitahuan dari pihak institusi finansial
c. Pengabulan pinjaman; selama dua hari. Jika institusi finansial
Setelah pemeriksaan terhadap intellectual mengabulkan permohonan tersebut maka
property yang digunakan sebagai objek perubahan akan segera diproses. Namun jika
jaminan kredit, institusi finansial akan sebaliknya, kantor HKI akan meminta kedua
mempertimbangkan aplikasi pinjaman dan belah pihak untuk mengadakan perjanjian
rencana bisnis tersebut. Termasuk nilai dari melalui upaya konsultasi. Jika misalnya tidak
intellectual property yang digunakan sebagai menemui kesepakatan, perselisihan akan
benda jaminan. Institusi finansial akan diajukan kepada Arbitration Proceeding yang
mengabulkan pinjaman tersebut dan membuat berada di bawah kantor HKI.
janji untuk penandatanganan perjanjian benda g. Pembayaran pinjaman;
jaminan dalam jangka waktu lima belas hari Institusi finansial akan menentukan kapan
setelah menerima semua dokumen dan setelah pembayaran pinjaman kredit berdasarkan
dilakukan uji kelayakan. kemampuan setiap peminjam. Ketika
d. Dokumenasi dan perjanjian pinjaman; pinjaman telah dibayarkan lunas, pihak
Setelah institusi finansial dan pihak yang institusi finansial akan mengisi aplikasi untuk
mengajukan permohonan pinjaman mencatatkan penghapusan benda jaminan
menandatangani perjanjian benda jaminan, kredit dalam formulir dan menyerahkan
pihak institusi finansial tersebut akan kepada kantor HKI bersama-sama dengan
memberitahukan pihak peminjam untuk dokumen yang dibutuhkan dan bukti
mengajukan aplikasi ke kantor HKI untuk penghapusan tersebut, seperti putusan
mencatat benda jaminan tersebut. Pihak arbitrasi dan putusan pengadilan untuk
pemohon dapat melakukannya dengan mencatatkan penghapusan benda jaminan.
mengajukan formulir aplikasi disertai fotokopi h. Pelanggaran perjanjian;
perjanjian. Setelah aplikasi pencatatan Jika ternyata pihak debitur melanggar
informasi benda jaminan diterima, kantor perjanjian kredit maka langkah-langkah yang
HKI akan memeriksa dan mencatat akan dilakukan oleh institusi finansial yakni
kegunaan intellectual property yang digunakan mengeluarkan surat peringatan. Jika pihak
sebagai benda jaminan kredit pada registrasi peminjam masih juga tidak mengindahkannya
intellectual property, ceredential, dan data base- maka akan dilakukan negosiasi atau dapat
nya. Dalam kurun waktu tersebut, petugas juga meminta Kantor HKI untuk bertindak
akan memberikan dokumen untuk mencatat sebagai mediator untuk mencari resolusi.
aplikasi dan credential untuk mencatat Jika tidak menemui jalan keluar, maka dapat
intellectual property yang digunakan sebagai diajukan ke Badan Arbitrase yang berada
benda jaminan kepada pemohon. di bawah Kantor HKI.33 Dari perbandingan
e. Pemantauan proyek; kedua negara di atas, maka dapat disimpulkan
Setelah proyek tersebut berjalan akan beberapa hal dalam tabel:
dilakukan kunjungan ke lokasi oleh Selain di Asia, Inggris juga memperbolehkan
perwakilan institusi finansial yang aset HKI untuk dapat dijadikan objek jaminan
memberikan konsultasi paling tidak satu kredit perbankan. Bahkan dalam konsep hukum
tahun sekali. Hal ini dilakukan sebagai negara Inggris, aset HKI disetarakan seperti bentuk
upaya untuk memfasilitasi diberikannya lain dari kekayaan seseorang. Oleh karenanya
pinjaman tambahan jika dibutuhkan. maka HKI dapat dijadikan jaminan karena
f. Perubahan registrasi HKI; dikategorikan sebagai aset tidak berwujud. Di
Setelah pinjaman disetujui peminjam
mengajukan perubahan pencatatan 33
Ibid.

36 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Tabel 1. Perbandingan Konsep Pembiayaan HKI Sebagai Objek Jaminan Perbankan
Objek jaminan
Negara Lembaga bank Keterangan
perbankan
Singapura Paten dan DBS, OCBC, dan Melalui IPOS, Singapura bahkan telah mengembangkan
merek UOB konsep/skema pembiayaan dimana IPOS menunjuk tiga
bank, yakni DBS, OCBC, dan UOB untuk memberikan
kredit perbankan
Thailand Rahasia dagang SME Bank, Bangkok Pengaturan rahasia dagang di Thailand telah diatur dalam
Bank, Government Thailand’s Business Security Act B.E. 2558 (2015). Untuk
Saving Bank, atau memfasilitasi peningkatan akses terhadap dana untuk
lembaga-lembaga bisnis, maka undang-undang tersebut memungkinkan
lainnya yang aset berwujud maupun tidak berwujud untuk dapat
berpartisipasi di dalam digunakan sebagai jaminan. Adapun lembaga keuangan
program pemodalan yang dapat memberikan kredit dengan menggunakan
kekayaan intelektual aset HKI di Thailand adalah SME Bank, Bangkok Bank,
(Intellectual Property Government Saving Bank, atau lembaga-lembaga lainnya
Capitalization Program yang berpartisipasi di dalam program pemodalan kekayaan
intelektual (Intellectual Property Capitalization Program
Sumber: hasil olah pemikiran sendiri.

Inggris, aset HKI bahkan dapat dijadikan jaminan a. Sidang Working Group VI on Security
melalui mekanisme seperti bentuk legal mortgage34, Interest membahas mengenai materi security
fixed charge dan floating charge. Dalam traksaksi
35
interest (hak jaminan) yang merupakan
keuangan, HKI yang terdaftar lebih diutamakan kelajutan dari materi Secured Transactions
dikarenakan sifatnya yang dapat dialihkan yang dibahas dan telah diadopsi dalam
(transferability). Transferability rights merupakan
36
sidang The Resumed Fortieth Session of The
salah satu sifat benda tidak berwujud. HKI sebagai Commission dari tanggal 10-14 Desember
benda tidak berwujud sangat berkaitan erat 2007 di Wina. Security Interest yang dibahas
dengan sifat transferability yang dapat menguatkan dalam sidang Working Group VI ini lebih
posisi HKI sebagai jaminan. spesifik membahas mengenai security rights
Pengaturan HKI sebagai objek jaminan in intellectual property (hak atas jaminan
kredit perbankan pada dasarnya tidak terlepas dalam kekayaan intelektual). Hasil
dari peran serta UNCITRAL. Pada tanggal 19- pembahasan akhir dalam sidang Working
23 Mei 2008 telah dilaksanakan sidang ke-13 Group VI akan menjadi annex terhadap
UNICITRAL Working Group VI on Security UNCITRAL Legislative Guide on Secured
Interest di New York. Adapun pokok dalam Transacstion yang telah diadopsi dalam
pembahasan sidang tersebut yakni: 37
sidang The Resumed Fortieth Session of The
Commission;
34
Legal mortage merupakan jaminan hipotik (hak tanggungan). b. Hak atas jaminan dalam kekayaan
Menurut KUH Perdata pengertian “hipotik” adalah suatu hak
kebendaan atas benda-benda tidak bergerak untuk mengambil
intelektual akan dijadikan agunan untuk
penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan. mendapatkan kredit perbankan secara
Secara sederhana, hipotik merupakan hak kebendaan atas internasional. Untuk mewujudkan konsep
benda tidak bergerak yang timbul akibat perjanjian. hukum tersebut maka diperlukan peraturan
35
Indra Rahmatullah, Aset Hak Kekayaan Intelektual
Sebagai Jaminan Dalam Perbankan, Yogyakarta: Penerbit
perundang-undangan di masing-masing
Deepublish, 2015, hal. 113. negara yang bersedia mengatur terutama
36
Ibid, hal. 114. substansi pembebanan, pengikatan, dan
37
Bulletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, pendaftaran hak atas jaminan dalam
“Cakrawala Hukum Sidang UNICITRAL Working Group
VI on Security Interest di New York”, banking.blog.
kekayaan intelektual. Materi peraturan
gunadarma.ac.id/peraturan-BI/07_cakrawala_hukum1. perundang-undangan tersebut diharapkan
pdf, diakses tanggal 14 Februari 2017.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Hak Kekayaan Intelektual... 37


dapat berlaku sama di semua negara yang sangat penting dan perlu diatur
dengan cara melakukan penyusunan dalam hukum transaksi berjaminan yang
atau pembaharuan hukum berdasarkan modern. Untuk menindaklanjutinya maka
petunjuk khusus specific guidance (petunjuk Commission meminta Working Group VI on
khusus) yang dibuat oleh UNCITRAL; Security Interest untuk membuat petunjuk
c. Working Group VI diminta oleh Commission khusus agar dapat digunakan oleh masing-
untuk menyiapkan petunjuk khusus masing negara yang akan menyusun
berkenaan dengan perlunya koordinasi atau menyempurnakan hukum transaksi
yang tepat bagi hukum transaksi berjaminan;
berjaminan (secured transactions law) dan e. Berkenaan dengan hukum transaksi
38

hukum kekayaan intelektual (intellectual berjaminan, Working Group VI telah


property law) yang terdapat di masing- membahas creation of a security right, third-
masing negara. Setiap negara nampaknya party effectiveness of a security rights, the
telah memiliki hukum kekayaan intelektual registry system, priority of a security right,
namun belum tentu demikian halnya right and obligations of the parties to security
dengan hukum transaksi berjaminan. agreement, rights and obligations third-party
Indonesia, misalnya, telah memiliki obligors, enforcement of a security right,
hukum kekayaan intelektual namun dapat acquisition financing, law applicable to a
dikatakan belum memiliki hukum transaksi security right, scope of application and other
berjaminan yang khusus terkait HKI. Inti general rules, key objective and fundamental
koordinasi sebagaimana disebutkan di atas policies, the impact of insolvency on a security
adalah bahwa hukum transaksi berjaminan right, terminology, examples of intellectual
tidak boleh melanggar ketentuan hukum property financing practices, dan the treatment
kekayaan intelektual yang dimiliki oleh of security rights in intellectual property rights
masing-masing negara dan juga tidak boleh under current law;
melanggar perjanjian internasional di f. Creation of security right
bidang HKI yang telah dibuat antar negara. Berkenaan dengan konsep penciptaan hak
Hukum transaksi berjaminan berfungsi atas jaminan (creation of security right), jika
sebagai pelengkap terhadap hukum hukum HKI mengatur masalah penciptaan
kekayaan intelektual yang tidak mengatur hak atas jaminan maka hukum HKI yang
sampai ke bidang pengikatan HKI. Selain berlaku. Jika hukum HKI tidak mengatur
itu penerapan hukum transaksi berjaminan masalah yang dimaksud maka hukum transaksi
juga perlu dikoordinasikan dengan hukum berjaminan yang berlaku. Bila hukum HKI
pembiayaan berjaminan (secured financing mengatur bahwa pendaftaran merupakan
law) dan hukum kepailitan (insolvency law) persyaratan pengalihan HKI maka hukum
yang dimiliki oleh masing-masing negara; transaksi berjaminan tidak mencampuri
d. Commission dalam pertemuannya pada pengaturan tersebut. Namun apabila hukum
sesi ke-39 tahun 2006, telah mencatat HKI tidak mensyaratkan pendaftaran
bahwa HKI (hak cipta, paten, merek) telah sebagaimana dimaksud maka berlaku hukum
menjadi sumber pembiayaan perbankan39 transaksi berjaminan dan pendaftaran hanya
akan merupakan persyaratan untuk daya
38
Secured transasction law adalah hukum berkenaan dengan
pengikatan benda-benda bergerak baik berwujud maupun laku efektif terhadap pihak ketiga. Artinya
tidak berwujud. Khusus bagi Working Group VI on Security pendaftaran bukan merupakan persyaratan
Interest, secured transaction law adalah hukum berkenaan untuk creation of security right;
dengan pengikatan hak atas kekayaan intelektual.
39
Dalam hal ini HKI dijadikan agunan untuk mendapatkan
kredit dari perbankan. Dengan perkataan lain, agunan license dari HKI. Bentuk-bentuk pembiayaan tersebut
menjadi dasar bagi perbankan untuk menyalurkan antara lain portofolio financing, single assets financing,
pembiayaan kepada nasabahnya baik sebagai owner maupun royalty financing, dan project financing.

38 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


g. Daya laku efektif terhadap pihak ketiga bersaing dengan hak yang diperoleh
atas hak jaminan (Third-party effectiveness berdasarkan hukum kekayaan intelektual
of security right); (misal penerima pengalihan dan penerima
h. Sistem pendaftaran (The registry system) lisensi), hak atas jaminan tersebut harus
Untuk menghindari inefisiensi dan biaya didaftarkan dalam kantor pendaftaran
dalam pendaftaran atas hak jaminan khusus hak atas kekayaan intelektual, dinyatakan
HKI, disarankan bahwa jika terdapat bahwa pendaftaran itu merupakan masalah
kantor pendaftaran HKI maka pendaftaran daya laku efektif terhadap pihak ketiga dan
hak atas jaminan dalam kantor dimaksud prioritas, bukan masalah eksekusi.
merupakan suatu pendaftaran yang bersifat m. Pembiayaan akuisisi (Acquising financing);
keharusan (mandatory). Artinya tidak perlu Berkenaan dengan pembiayaan akuisisi,
melakukan pendaftaran juga pada kantor telah dipertimbangkan bahwa dalam hal
pendaftaran hak atas jaminan umum; pemberi lisensi membiayai akuisisi lisensi
i. Prioritas hak atas jaminan (Priority of oleh penerima lisensi dalam arti bahwa
security right); pembayaran dilakukan dalam angsuran
j. Rights and obligation of the parties to a security royalti yang akan datang (future royalty
aggrement instalments), maka hak pemberi lisensi
Dalam perjanjian jaminan (security dalam royalti seyogianya memiliki prioritas
aggrement), hak dan kewajiban para terhadap hak atas jaminan yang diberikan
pihak didasarkan pada prinsip kebebasan oleh penerima lisensi dalam semua asetnya
berkontrak. Namun dalam terkait HKI, baik yang ada sekarang maupun yang akan
perjanjian tersebut perlu dibatasi. Salah satu datang, termasuk pembayaran royalti dari
kemungkinan pembatasannya pemegang penerima sublisensi yang akan digunakan
hak mempunyai hak untuk melakukan oleh penerima lisensi untuk membayar
gugatan terhadap pelanggar hukum; royalti yang terhutang kepada pemberi
k. Rights and obligation of third-party obligors lisensi.
Berkenaan dengan hak dan kewajiban n. Law applicable to security right;
third-party obligors, patut diketahui bahwa Berkenaan dengan hukum yang berlaku
pemberi lisensi dapat mengalihkan terhadap hak atas jaminan, telah dicatat
klaimnya terhadap penerima lisensi untuk bahwa penerapan lex protectionis terhadap
pembayaran royalti berdasarkan perjanjian aspek kepemilikan hak atas jaminan pada
sublisensi. Penerima lisensi juga dapat umumnya tidak diterima. Sebagai jalan
mengalihkan klaimnya untuk pembayaran keluar maka diperlukan penyusunan
royalti berdasarkan perjanjian sublisensi; berbagai alternatif pendekatan hukum yang
l. Eksekusi hak jaminan (Enforcement of ukurannya adalah efisiensi terutama terhadap
security right); biaya pendaftaran dan biaya pengecekan
Berkenaan dengan eksekusi hak atas pada kantor pendaftaran yang relevan yakni
jaminan, telah diobservasi bahwa jika kantor pendaftaran hak atas jaminan umum
kreditur terjamin menghendaki untuk atau kantor pendaftaran hak atas kekayaan
mendapatkan pengawasan (control) intelektual. Selanjutnya, telah dicatat bahwa
terhadap hak atas kekayaan intelektual hak dan kewajiban pemberi hak dan kreditur
yang dibebani, maka kreditur terjamin terjamin diatur berdasarkan pilihan hukum
dapat memperoleh hak atas jaminan dalam mereka yang dituangkan dalam kontrak
hak dari pemegang hak. Sehubungan antara pemberi hak dan kreditur terjamin.
dengan kemungkinan mengeksekusi hak Dalam hal tidak terdapat pilihan hukum
atas jaminan dalam hak atas kekayaan maka diterapkan hukum yang berlaku
intelektual terhadap pengklaim yang terhadap perjanjian jaminan.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Hak Kekayaan Intelektual... 39


o. Scope of application and other general rules; Organization (WIPO) untuk membahas kembali
Berkenaan dengan cakupan penerapan agenda HKI sebagai objek jaminan. Lebih
dan ketentuan umum, diasumsikan bahwa lanjut, tahun 2008 UNCITRAL kemudian
outright assignment atau transfer terhadap menyelenggarakan sidang lanjutan ke-13 di New
hak atas kekayaan intelektual tidak akan York dengan membahas mengenai materi security
dicakup dalam hukum transaksi berjaminan. rights in intellectual property. Dengan adanya
Hukum transaksi berjaminan akan mengatur sidang tersebut maka secara tidak langsung di
hak yang timbul berdasarkan perjanjian negara-negara tertentu,40 HKI sudah menjadi
lisensi, klaim terhadap pelanggar hukum bagian dari aset yang dapat dijadikan jaminan.
HKI, hak untuk mendaftarkan HKI, HKI Di Indonesia, kedudukan HKI sebagai
terkait dengan benda bergerak berwujud objek jaminan perbankan pada dasarnya telah
(tangible asset), penerapan prinsip kebebasan diatur di dalam ketentuan perundang-undangan
berkontrak dan komunikasi secara elektronis tentang HKI41 mengingat pada dasarnya HKI
terhadap hak atas jaminan dalam HKI. mempunyai unsur hak. Hak yang dimaksud
Materi aturan hukum transaksi berjaminan adalah hak eksklusif. HKI merupakan hak
ini tetap dikoordinasikan dengan materi eksklusif yang diberikan oleh suatu hukum atau
aturan hukum kekayaan intelektual. peraturan kepada seseorang atau sekelompok
p. Key objective and fundamental policies; orang atas karya ciptaannya.42 Eksklusif berarti
Berkenaan dengan tujuan utama dan merupakan suatu karya baru, pengembangan
kebijakan dasar, pada umumnya dirasakan baru yang sudah ada, dapat diterapkan di industri,
bahwa perlu didiskusikan dalam commentary mempunyai nilai ekonomis dan dapat dijadikan
of the annex implikasi penerapan tujuan aset.43 Dengan dimilikinya hak eksklusif sebagai
utama dan kebijakan dasar dari hukum hak mutlak yang diberikan kepada pemilik HKI,
transaksi berjaminan terhadap HKI dengan maka pemilik HKI diberikan keleluasaan untuk
menguraikan contoh-contoh praktis; mempergunakan HKI yang dimilikinya termasuk
q. The impact of insolvency on a security right; untuk dijadikan objek jaminan perbankan
Berkenaan dengan implikasi insolvency sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
(kepailitan) pada hak atas jaminan maka perundang-undangan yang berlaku.
perlu dirumuskan perlakuan terhadap hak Jika dilihat dari sudut pandang KUH
atas jaminan yang diberikan oleh penerima Perdata, HKI merupakan bagian dari benda
lisensi dalam hal pemberi lisensi pailit, dan khususnya benda tidak berwujud (immaterial).
perlakuan terhadap hak atas jaminan yang KUH Perdata telah mengatur keberadaan benda
diberikan oleh pemberi lisensi dalam hal tidak berwujud (onlichamelijke zaken) di dalam
penerima lisensi pailit; Pasal 503 KUH Perdata yang menyatakan ”benda
r. Terminology; dibedakan menjadi 2 (dua) yakni benda bertubuh
s. Examples of intellectual property financing
40
Negara yang dimaksud, antaranya meliputi: a) kawasan
practices;
Amerika Utara (Kanada dan Amerika); b) kawasan
t. The treatment of security rights in intellectual Eropa (Inggris, Perancis, dan Jerman); c) Asia (Cina dan
property rights under current law Jepang).
41
Undang-undang HKI yang dimaksud misalnya UU No. 28
Berdasarkan pembahasan sidang di atas, Tahun 2014 tentang Hak Cipta, UU No. 13 Tahun 2016
dapat dikatakan bahwa UNCITRAL telah tentang Paten, UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia
mempertimbangkan, menyetujui, dan bahkan Dagang, UU No. 31 Tahun 2000 tentang Disain Industri.
42
Hak eksklusif dapat ditemui di dalam UU No. 28 Tahun
merekomendasikan bahwa HKI menjadi
2014 tentang Hak Cipta, UU No. 13 Tahun 2016
sumber pembiayaan bagi perbankan. Pertemuan tentang Paten, UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek
sidang UNCITRAL tahun 2006 kemudian dan Indikasi Geografis, UU No. 31 Tahun 2000 tentang
ditindaklanjuti di Austria pada tahun 2007 Desain Industri.
43
Venantia Sri Hadiarianti, Memahami Hak Kekayaan
bekerjasama dengan World Intellectual Property
Intelektual, Jakarta: Universitas AtmaJaya, 2010, hal. 13.

40 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


dan tidak bertubuh”.44 Batasan mengenai benda HKI termasuk aset tidak berwujud. HKI
dirujuk dalam Pasal 499 KUH Perdata yang dianggap sebagai salah satu aset perusahaan.
menyatakan “menurut paham undang-undang Sebagai contoh merek suatu perusahaan yang
yang dimaksud benda ialah tiap-tiap barang atau merupakan aset utama secara tidak langsung
tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh milik”.45 akan memberi nilai tambah bagi perusahaan
Dari pengertian tersebut dapat dibedakan tersebut.
menjadi 3 (tiga) cakupan, yakni benda (zaak), Dengan dilindungi secara hukum melalui
barang (goed), dan hak (recht).46 Benda (zaak) di undang-undang, HKI mempunyai nilai atau
dalam KUH Perdata dibedakan menjadi benda value48 yang dapat dialihkan baik melalui lisensi
berwujud dan benda tidak berwujud. Sedangkan ataupun melalui jaminan. Menurut Agus
barang (goed) mempunyai pengertian yang lebih Sardjono, HKI sebagai sebuah “hak” tidak
sempit karena bersifat konkrit dan berwujud. dapat terlepas dari persoalan ekonomi. HKI
Hak (recht) merujuk pada pengertian benda identik dengan komersialisasi karya intelektual.
tidak berwujud (immaterial) misalnya piutang Pelindungan HKI dapat menjadi tidak relevan
atau HKI seperti hak cipta, hak paten, hak atas apabila tidak dikaitkan dengan proses atau
indikasi geografis, dan sebagainya. komersialisasi HKI.49 Djuhaendah Hasan,
Akan tetapi yang perlu dicermati, mengatakan bahwa sebagai aset yang bernilai
meskipun rumusan benda pada dasarnya telah ekonomi maka HKI secara tidak langsung
diatur di dalam Pasal 499 KUH Perdata namun memberikan keuntungan ekonomis bagi
pengaturan terkait hak-hak tidak berwujud pemilik hak atau pemegang hak (right owner/
(immaterial) tidak ditempatkan di dalam KUH right holder).50
Perdata. Hak-hak tidak berwujud (immaterial) Dalam hal mengembangkan konsep HKI
dapat dijumpai di berbagai peraturan sebagai objek jaminan kredit perbankan maka
perundang-undangan misalnya UU No. 28 status HKI sendiri seperti yang sudah dibahas di
Tahun 2014 tentang Hak Cipta, UU No. 13 atas dapat dialihkan, diperjualbelikan, disewakan,
Tahun 2016 tentang Paten, UU No. 20 Tahun dan melalui perjanjian lainnya. Hal ini bukannya
2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, UU tanpa sebab mengingat HKI memegang peranan
No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, penting dalam era perdagangan modern saat
UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata ini. Peran yang sangat penting ini terlihat dari
Letak Sirkuit Terpadu, dan UU No. 30 Tahun 48
Dengan adanya sifat hak ekslusif yang menempel maka
2000 tentang Rahasia Dagang. hampir semua aset HKI memiliki value/nilai ekonomis.
Terkait dengan konsep immaterial, Sebut saja misalnya hak cipta. Selain memiliki hak
Djumhana berpendapat bahwa HKI pada moral, pencipta juga memiliki hak ekonomi. Dengan
dasarnya merupakan benda tidak berwujud hak ekonomi ini, maka pemegang hak berhak untuk
mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk
(immaterial), dikarenakan hak kepemilikan hasil terkait. Hak ekonomi dapat dialihkan kepada orang
HKI sangat abstrak jika dibandingkan dengan atau badan hukum, sehingga orang atau badan hukum
hak kepemilikan benda yang terlihat.47 WIPO tersebut berhak mengkomersialkan dalam jangka waktu
juga mengkategorikan HKI sebagai benda tidak tertentu dan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
telah disepakati. Hal ini berlaku pula untuk paten, merek,
berwujud (immaterial). Dalam konsep WIPO, indikasi geografis.
49
Agus Sardjono, ”Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan
44
Pasal 503 KUH Perdata.
Tradisional”, Hal. 149. dikutip tidak langsung oleh
45
Pasal 499 KUH Perdata.
Irawaty, Perkembangan dan Perspektif Yuridis Rahasia
46
Indra Rahmatullah, Aset Hak Kekayaan Intelektual
Dagang Sebagai Benda Jaminan Kredit, Tesis, Universitas
Sebagai Jaminan Dalam Perbankan, Yogyakarta: Penerbit
Indonesia, 2008, hal, 15.
Deepublish, 2015, hal. 15. 50
Muhammad Yuris Azmi, “Hak Cipta Sebagai Jaminan
47
Djumhana, ”Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori
Fidusia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun
dan Prakteknya”, Hal. 17. dikutip tidak langsung oleh
2014 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang No. 42
Indra Rahmatullah, Aset Hak Kekayaan Intelektual
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia”, Jurnal Privat Law,
Sebagai Jaminan Dalam Perbankan, Yogyakarta: Penerbit
Vol. IV, No. 1, Januari 2016, hal. 100-101.
Deepublish, 2015, hal. 16.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Hak Kekayaan Intelektual... 41


makin berperannya HKI dalam bentuk ekspansi ini bukannya tanpa sebab mengingat dalam
bisnis, merger, dan akuisisi. Sejalan dengan perkembangan usaha, pemilik produk sekaligus
perkembangan tersebut, beberapa transaksi sebagai pemilik kekayaan intelektual pada
melalui paten, hak cipta, merek dagang dan produk yang dihasilkan sangat membutuhkan
sebagainya telah mempengaruhi dunia industri modal dengan mengandalkan perjanjian kredit
termasuk teknologi, komunikasi, maupun dengan kekayaan intelektual sebagai objek
perbankan. Dengan demikian, kehadiran HKI jaminan perbankan.55 Secara teoritis, HKI dapat
sebagai aset mulai terasa dibutuhkan khususnya dijadikan jaminan perbankan dikarenakan HKI
dalam hal pembiayaan (financing), mengingat merupakan hak kebendaan yang mempunyai
HKI memiliki nilai ekonomis yang dapat value atau nilai ekonomis. Hal ini terlihat di
disejajarkan sebagai harta kekayaan (jaminan). dalam peraturan perundang-undangan tentang
Sebagai sumber pendanaan, perbankan HKI yang sudah mengakomodir ketentuan
memiliki peranan penting dalam proses tersebut.
pembangunan, sehingga sudah semestinya jika UU Hak Cipta misalnya. Pasal 16 ayat (3)
para pihak yakni pihak kreditur dan debitur UU Hak Cipta telah menegaskan bahwa “hak
mendapatkan suatu pelindungan melalui cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan
suatu lembaga hak jaminan yang kuat dalam fidusia”.56 Selanjutnya Pasal 108 ayat (1) UU
memberikan kepastian hukum bagi semua Paten juga menyatakan bahwa “hak atas paten
pihak yang berkepentingan. Hukum jaminan dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia”.57
kebendaan sendiri adalah subsistem dari Di samping itu, sebagai hak kebendaan maka
hukum benda yang mengandung sejumlah asas HKI dapat beralih atau dialihkan secara
hak kebendaan (real right), sedangkan hukum tertulis. Perjanjian tertulis dimaksudkan sebagai
jaminan perorangan merupakan subsistem perjanjian jaminan dengan objek HKI. Hal ini
dari hukum perjanjian yang mengandung asas dapat dijumpai di dalam ketentuan Pasal 5 ayat
pribadi (personal right).51 Dalam KUH Perdata, (1) UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia
konsep hukum jaminan terlihat di dalam Pasal Dagang, yang menyatakan “hak rahasia dagang
1131 yang menyatakan “segala barang-barang dapat beralih atau dialihkan dengan cara
bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis,
yang sudah ada maupun yang akan ada menjadi atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh
jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan peraturan perundang-undangan”.58 Pasal 31
debitur”.52 Lebih lanjut Pasal 1132 KUH ayat (1) UU No. 31 Tahun 2000 tentang Disain
Perdata menegaskan bahwa barang-barang itu Industri juga menyatakan bahwa “hak disain
menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur industri dapat beralih atau dialihkan dengan
terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu cara pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian
dibagi menurut perbandingan piutang masing- tertulis, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan
masing kecuali bila di antara para kreditur itu oleh peraturan perundang-undangan”.59 Hal
ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.53 yang sama juga terlihat di dalam UU No. 32
Tidak disangkal bahwa perkembangan Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit
ekonomi dan pembangunan suatu negara tidak Terpadu. Pasal 23 ayat (1) UU No. 23 Tahun
dapat terlepas dari perkembangan HKI.54 Hal 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
menyatakan “hak desain sirkuit terpadu dapat
51
Sri Mulyani, “Pengembangan Hak Kekayaan Intelektual
Sebagai Collateral (Agunan) Untuk Mendapatkan Kredit 55
Ibid, hal. 104-105.
Perbankan di Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 56
Pasal 16 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak
12, No. 3, September 2012, hal. 568-578. Cipta.
52
Pasal 1131 KUH Perdata. 57
Pasal 108 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.
53
Pasal 1132 KUH Perdata. 58
Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia
54
Rindia Fanny Kusumaningtyas, “Perkembangan Hukum Dagang.
Jaminan Fidusia Berkaitan dengan Hak Cipta”, Jurnal 59
Pasal 31 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2000 tentang Disain
Hukum Pandecta, Vol. 11 No.1, Juni 2016, hal. 96-112. Industri.

42 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


beralih atau dialihkan dengan cara pewarisan, nasional dan untuk menjamin kepastian
hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab- hukum serta mampu memberikan pelindungan
sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan hukum bagi pihak yang berkepentingan.63
perundang-undangan.60 Secara konseptual, jaminan fidusia merupakan
Mekanisme pengembangan HKI sebagai jaminan yang bersifat kebendaan, setelah benda
objek jaminan perbankan dapat dilihat di dalam yang dibebani fidusia didaftarkan64 di kantor
UU Jaminan Fidusia. Jaminan fidusia dianggap pendaftaran fidusia.65 Sehingga apabila benda
sebagai bentuk penjaminan yang paling tepat, yang dibebani fidusia tidak didaftarkan maka
dimana jaminan fidusia merupakan salah satu hak penerima yang timbul dari adanya perjanjian
sarana pelindungan hukum bagi keamanan pembebanan fidusia bukan merupakan hak
bank yakni sebagai suatu kepastian bahwa kebendaan melainkan hak perorangan.66
nasabah debitur akan melunasi pinjaman
kredit. Perjanjian fidusia bukan merupakan III. KENDALA HKI SEBAGAI JAMINAN
suatu hak jaminan yang lahir karena undang- KREDIT PERBANKAN
undang melainkan harus diperjanjikan terlebih Sayangnya meskipun dinilai telah membawa
dahulu antara bank dengan nasabah debitur.61 pembaharuan hukum khususnya bagi pemegang
Secara konseptual, jaminan fidusia merupakan hak atas HKI namun di sisi lain, ternyata
jaminan yang bersifat kebendaan. Fidusia konsep aset HKI sebagai jaminan perbankan
sebagai salah satu jaminan merupakan unsur juga masih menuai hambatan atau kendala.
pengamanan kredit bank yang dilahirkan Hal ini dianggap tidak sesuai dengan konsep
dengan didahului oleh perjanjian kredit teori kepastian dan pelindungan hukum. Teori
bank. Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Fidusia kepastian hukum yang dikemukakan oleh Hans
menyebutkan bahwa fidusia adalah pengalihan Kelsen, mengartikan hukum sebagai suatu
hak kepemilikan suatu benda atas dasar norma. Norma merupakan suatu pernyataan
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang menekankan aspek “seharusnya” atau
yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut das sollen, dengan menyertakan beberapa
tetap dalam penguasaan pemilik benda.62 peraturan tentang apa yang harus dilakukan.
Jaminan fidusia merupakan hak jaminan Tiap-tiap manusia memiliki kebebasan, tetapi
atas benda bergerak baik yang berwujud dalam hidup bersama ia memikul tanggung
maupun tidak berwujud dan benda tidak jawab menciptakan hidup bersama yang
bergerak khususnya bangunan yang tidak tertib.67 Untuk mewujudkan hidup bersama
dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang tertib tersebut, diperlukan pedoman-
dimaksud dalam UU No. 4 Tahun 1996 pedoman efektif yang harus dipatuhi bersama
tentang Hak Tanggungan yang tetap berada 63
Bagian menimbang UU No. 42 Tahun 1999 tentang
dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai Jaminan Fidusia.
agunan bagi pelunasan utang tertentu yang 64
Pasal 11 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
memberikan kedudukan yang diutamakan Fidusia.
kepada penerima fidusia terhadap kreditor
65
Pasal 12 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia.
lainnya. Berlakunya UU Jaminan Fidusia 66
Betty Dina Lambok, ”Akibat Hukum Persetujuan
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan Tertulis dari Penerima Fidusia Kepada Pemberi Fidusia
hukum yang lebih memacu pembangunan untuk Menyewakan Objek Jaminan Fidusia Kepada
Pihak Ketiga”, Hal. 224. dikutip tidak langsung oleh Sri
60
Pasal 23 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain
Mulyani, “Pengembangan Hak Kekayaan Intelektual
Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Sebagai Collateral (Agunan) Untuk Mendapatkan Kredit
61
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan
Perbankan di Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.
Yang Didambakan: Sejarah, Perkembangannya, dan
12, No. 3, September 2012, hal. 568-578.
Pelaksanaannya dalam Praktik Bank dan Pengadilan, 67
Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib
Bandung: Penerbit PT. Alumni, 2004, hal. 187.
Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta
62
Pasal 1 angka 1 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Publishing, 2010, hal. 127.
Fidusia.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Hak Kekayaan Intelektual... 43


pula. Pedoman inilah yang disebut dengan negara sebagai penjaga kepentingan sosial.
hukum. Jika hukum telah menentukan pola Ketiga, kepentingan terhadap perseorangan
perilaku tertentu, maka tiap orang seharusnya terdiri dari pribadi (privacy).71
berperilaku sesuai pola yang telah ditentukan Penulis berpendapat bahwa kedua teori
tersebut. Senada dengan Hans Kelsen, Gustav hukum ini saling berkaitan. Kepastian hukum
Radbruch mengatakan bahwa hukum harus diperlukan untuk mewujudkan adanya
mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yakni asas pelindungan hukum. Meskipun materi baru
kepastian hukum (rechtmatigheid), asas keadilan HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan
hukum (gerectigheid), dan asas kemanfaatan patut diapresiasi karena dianggap sebagai
hukum (zwechtigheid). Sebagai pengemban nilai pembaharuan hukum, namun nyatanya belum
keadilan, hukum menjadi ukuran bagi adil atau memberikan adanya kepastian dan pelindungan
tidak adilnya tata hukum.68 hukum. Belum adanya kepastian dan
Sementara pelindungan hukum menurut pelindungan hukum yang memadai di sini lebih
Satjipto Raharjo, yakni memberikan diartikan bahwa ternyata belum semua lembaga
pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia perbankan nasional dapat menerima konsep aset
(HAM) yang dirugikan orang lain dan HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan.
pelindungan itu diberikan kepada masyarakat Hal ini bukannya tanpa sebab mengingat Pasal
agar dapat menikmati semua hak-hak yang 2 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
diberikan oleh hukum.69 Sementara pandangan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
pelindungan hukum menurut Sudikno 1992 tentang Perbankan, telah menyatakan
Mertokusumo: tegas bahwa perbankan Indonesia dalam
“dalam fungsinya sebagai perlindungan melakukan usahanya berdasarkan demokrasi
kepentingan manusia, hukum mempunyai ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-
tujuan. Adapun tujuan pokok hukum hatian.72 Berdasarkan hal tersebut maka dalam
adalah menciptakan tatanan masyarakat memberikan bantuan pinjaman kredit kepada
yang tertib, menciptakan ketertiban dan debitur, pihak bank perlu menerapkan lima
keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban prinsip C’s yakni character (watak, kepribadian),
di dalam masyarakat diharapkan kepentingan capital (modal), collateral (pinjaman), capacity
manusia akan terlindungi. Dalam mencapai (kemampuan), dan condition of economic (kondisi
tujuannya, hukum bertugas untuk membagi ekonomi).73 Di samping itu, pihak bank perlu
hak dan kewajiban antar perorangan di dalam juga menerapkan beberapa tahap, seperti tahap
masyarakat, membagi wewenang dan mengatur analisis kredit, tahap dokumentasi kredit, tahap
cara memecahkan masalah hukum serta
penggunaan kredit, tahap restruksisasi kredit,
memelihara kepastian hukum”.70
dan tahap penagihan kredit. Di antara lima tahap,
Roscoe Pound mengemukakan hukum poin analisis kredit menjadi tahap preventif
merupakan alat rekayasa sosial (law as tool of yang paling penting dikarenakan pada tahap
social engginering). Kepentingan manusia adalah ini merupakan tahap dimana bank memperoleh
suatu tuntutan yang dilindungi dan dipenuhi keyakinan bahwa calon nasabah/debitur tersebut
manusia dalam bidang hukum. Roscoe Pound memiliki kemauan dan kemampuan untuk
membagi kepentingan manusia yang dilindungi melunasi kredit yang diberikan pihak bank.
hukum menjadi tiga macam, yakni: pertama, 71
Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib
kepentingan terhadap negara sebagai salah Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta
satu badan yuridis. Kedua, kepentingan sebagai Publishing, 2010, hal. 154.
72
Pasal 2 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
68
Ibid, hal. 128-130.
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
69
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya
Perbankan.
Bakti, 2000, hal. 54. 73
Riedel Wawointana, “Manfaat Jaminan Fidusia Dalam
70
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
Pelaksanaan Perjanjian Kredit Bank”, Jurnal Lex Privatum,
Yogyakarta: Liberty, 1999, hal. 71.
Vol. I, No. 3, Juli 2013, hal. 101-109.

44 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Tabel 2. Jenis Agunan Kredit Sesuai dengan PBI No. 9/6/PBI/2007
No. Jenis Agunan Pengikatan Dasar hukum
1. Surat berharga saham yang aktif Gadai Pasal 1150-1160 KUH Perdata
diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia atau memiliki peringkat
investasi
2. Tanah, gedung dan rumah tinggal Hak tanggungan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan
3. Mesin yang merupakan satu kesatuan Hak tanggungan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
dengan tanah Tanggungan
4. Pesawat udara atau kapal laut dengan Hipotik UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
ukuran di atas dua puluh meter kubik UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
5. Kendaraan bermotor dan persediaan Fidusia UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia
6. Resi gudang Hak jaminan UU No. 9 Tahun 2011 tentang Sistem Resi
atas resi gudang Gudang
Sumber : Pasal 46 PBI No. 9/6/PBI/2007

Pihak bank merasa kesulitan dikarenakan meskipun telah mendapatkan legitimasi undang-
hingga saat ini belum ada revisi terbaru terkait undang namun nyatanya masih dibutuhkan
jenis agunan kredit. Terakhir Bank Indonesia konsep hukum yang jelas terkait HKI sebagai
telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia objek jaminan kredit perbankan. Terlebih lagi
(PBI) No. 9/6/PBI/2007. Pasal 46 PBI No. 9/6/ ketentuan materi ini baru diundangkan pada
PBI/2007 telah menyatakan bahwa jenis agunan tahun 201474 untuk hak cipta dan tahun 2016
kredit adalah sebagai berikut: (a) surat berharga untuk paten.75 Realita yang ada sampai sekarang
dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa belum terdapat peraturan yang jelas terkait
efek di Indonesia atau memiliki peringkat tafsiran nilai HKI dan konsep due diligence.
investasi dan diikat secara gadai; (b) tanah, Konsep due diligence lebih diartikan sebagai
gedung dan rumah tinggal yang diikat dengan proses penting untuk memastikan objek dan
hak tanggungan; (c) mesin yang merupakan subjek kepemilikan HKI yang akan dijadikan
satu kesatuan dengan tanah dan diikat dengan jaminan perbankan. Hal ini dinilai penting
hak tanggungan; (d) pesawat udara atau kapal terlebih lagi ketentuan mengenai due diligence
laut dengan ukuran di atas dua puluh meter juga telah diatur di dalam Pasal 6 huruf a UU
kubik yang diikat dengan hipotik; (e) kendaraan Jaminan Fidusia, dimana salah satu poin yang
bermotor dan persediaan yang diikat secara tertuang di dalam akta jaminan fidusia harus
fidusia; dan/atau (f) resi gudang yang diikat mengatur mengenai identitas pihak pemberi
dengan hak jaminan atas resi gudang. Untuk dan penerima fidusia.76 Sementara penilaian
lebih jelasnya, jenis agunan kredit berdasarkan (valuasi) aset HKI diartikan sebagai sebuah
Pasal 46 PBI No. 9/6/PBI/2007 dapat dilihat proses untuk menentukan nilai moneter dari
pada tabel 2. suatu subjek HKI.
Dari ketentuan tersebut, menyatakan Pengertian valuasi menurut WIPO adalah
bahwa PBI No. 9/6/PBI/2007 belumlah “the process of identifying and measuring financial
mengakomodir bagi seseorang atau perusahaan benefit of an asset”.77 Jika valuasi dihubungkan
yang hanya memiliki aset tidak berwujud untuk 74
Pasal 16 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
mendapatkan jaminan kredit perbankan. 75
Pasal 108 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.
Kalaupun dijaminkan maka hanya dipakai 76
Pasal 6 huruf a UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
sebagai pelengkap tambahan dalam perjanjian Fidusia.
77
Dapat diartikan sebagai proses identifikasi dan pengukuran
kredit bukan utama. Kendala berikutnya,
manfaat finansial aset.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Hak Kekayaan Intelektual... 45


dengan HKI yang merupakan intangible asset, (depreciated replacement cost);83 dan c) nilai
maka pengertiannya adalah “the process of likuidasi (liquidation value).84
identifying and measuring financial benefit and risk Dapat dikatakan bahwa penilaian aset HKI
of an asset, in a particular context”.78 Menurut sangat penting. Terlebih lagi di Indonesia belum
Paul Flingor dan David Orozco, valuasi HKI ada peraturan lanjutan khusus yang membahas
dapat memberikan potensi untuk meningkatkan mengenai karakteristik aset HKI seperti apa
pengetahuan khususnya mengenai kekayaan yang dapat diterima oleh pihak perbankan
intelektual guna menggambarkan bisnis, aspek terkait jaminan fidusia. Hal ini bukannya tanpa
hukum dan finansial dari aset benda tidak sebab mengingat sebagai bentuk penjaminan
berwujud.79 Valuasi digunakan pada saat: HKI yang tepat, UU Jaminan Fidusia telah
a) membantu dalam hal proses pengambil mengatur jelas bahwa selain uraian benda
keputusan strategi pengembangan bisnis yang menjadi objek jaminan perbankan,85 nilai
perusahaan; b) jaminan investasi; c) negosiasi penjaminan86 dan nilai benda87 juga menjadi
bisnis; d) mengukur potensi kerusakan akibat poin penting dalam objek jaminan kredit
pelanggaran HKI; e) menentukan royalti lisensi perbankan. Berkaca pada negara yang sudah
HKI; f) persyaratan standar akutansi; dan g) mempraktikkan hal tersebut maka hal ini dapat
pajak. menjadi kendala dan tantangan tersendiri bagi
Sementara Kantor Pelayanan Jasa Publik Indonesia. Padahal penilaian HKI diperlukan
(KJPP) mendefinisikan penilaian aset sebagai untuk mengetahui kondisi misalnya nilai paten,
suatu proses penilaian dalam memberikan mengkalkulasi royalti sebagai hasil kontrak
suatu opini nilai suatu aset baik berwujud nilai aset. Hal ini dilakukan sebagai kelanjutan
maupun tidak berwujud berdasarkan hasil eksploitasi HKI untuk mengoptimalkan fungsi
analisa terhadap fakta-fakta objektif dan HKI sebagai aset yang strategis supaya dapat
relevan dengan menggunakan metode dan dijaminkan sesuai dengan praktik penjaminan
prinsip-prinsip penilaian yang berlaku pada saat benda-benda lain yang sudah diterima oleh pihak
tertentu.80 Salah satu penggunaan dan manfaat bank. Akan tetapi, tetap perlu diperhatikan
penilaian aset adalah untuk mendapatkan juga mekanisme penentuan penilaian aset HKI
jaminan bank. Menurut Gabungan Perusahaan itu sendiri. Hal ini dikarenakan masing-masing
Penilian Indonesia (GAPPI), dalam objek HKI memiliki karakteristik yang berbeda
menentukan penilaian aset, terdapat beberapa satu sama lain.
parameter yang dapat dijadikan rujukan:81
a) nilai pasar (market value);82 b) nilai wajar penjual yang berminat menjual dalam suatu transaksi
bebas ikatan yang penawarannya dilakukan secara layak
78
Dapat diartikan sebagai proses identifikasi dan pengukuran dimana kedua pihak masing-masing mengetahui dan
keuntungan finansial dan risiko aset dalam suatu konteks bertindak hati-hati dan tanpa paksaan;
tertentu. 83
Nilai wajar adalah perkiraan jumlah uang yang diperoleh
79
Paul Flingor and David Orozco, ”Intangible Assets dari perhitungan biaya reproduksi atau penggantian
& Intellectual Property Valuation: A Multidisciplinary baru dikurangi dengan penyusutan yang terjadi karena
Perspective”, www.wipo.int/sme/en/documents/ip_ kerusakan fisik, kemunduran fungsional dan kemunduran
valuation_fulltext.html, diakses tanggal 2 Maret 2017. ekonomis kalau ada;
80
Kantor Pelayanan Jasa Publik, ”Pengertian Penilaian 84
Nilai likuidasi adalah perkiraan jumlah uang yang
Aset”, 2 Februari 2015, http://www.kjpptrisanti.com/ diperoleh dari transaksi jual beli properti di pasar dalam
index.php? option=com_ content&view= article&id = waktu yang terbatas dimana penjual terpaksa menjual
50%3Apenilaian-aset&catid=31%3Aumum-jasa-dan- sebaliknya pembeli tidak terpaksa untuk membeli. Nilai
pelayanan&limitstart=2, diakses tanggal 2 Maret 2017. ini dapat dipergunakan oleh pihak yang akan melakukan
81
Joni Emrizon, “Kode Etik dan Permasalahan Hukum lelang.
Jasa Penilai Dalam Kegiatan Bisnis di Indonesia”, Jurnal 85
Pasal 6 huruf c UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Manajemen dan Bisnis Sriwijaya, Vol. 3, No. 5, Juni 2005, Fidusia.
hal. 3. 86
Pasal 6 huruf d UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
82
Nilai pasar adalah jumlah uang yang dapat diperoleh dari Fidusia.
transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu properti pada 87
Pasal 6 huruf e UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
tanggal penilaian antara pembeli yang berminat membeli dan Fidusia.

46 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Selain konsep penilaian aset HKI, menurut berbeda. Hak cipta misalnya. Dibandingkan
Penulis, terdapat beberapa poin lain yang dapat objek HKI lainnya, pada prinsipnya hak
menjadi kendala atau hambatan HKI sebagai cipta diperoleh bukan karena pendaftaran
objek jaminan kredit perbankan. Pertama, jangka mengingat hak cipta merupakan hak eksklusif
waktu pelindungan dan kepemilikan HKI yang pencipta yang timbul secara otomatis
terbatas. Tidak dipungkiri bahwa jangka waktu berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu
pelindungan dan kepemilikan HKI tidaklah ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata
sama satu sama lain. Hak cipta misalnya. Pasal tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan
58 ayat (2) UU Hak Cipta menyatakan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan.96
hak cipta berlaku selama hidup pencipta yang Dengan adanya ketentuan tersebut, berarti
meninggal dunia dan berlangsung selama tujuh hak eksklusif atas hak cipta dapat diberikan
puluh tahun.88 Sementara untuk paten, jangka tanpa harus melalui pendaftaran. Hal ini
waktu paten berlaku selama dua puluh tahun89 dapat menjadi permasalahan tersendiri bagi
dan paten sederhana berlaku untuk jangka perbankan khususnya dalam memberikan
waktu sepuluh tahun terhitung sejak tanggal bantuan pinjaman, mengingat benda yang
penerimaan.90 dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan.97
Untuk merek sendiri berlaku selama Pendaftaran yang diamanahkan dalam UU
sepuluh tahun91 dan dapat diperpanjang untuk Jaminan Fidusia harus dilakukan pada kantor
jangka waktu yang sama yakni sepuluh tahun.92 pendaftaran fidusia.98
Jangka waktu desain industri dilindungi Berdasarkan hal tersebut, untuk
selama sepuluh tahun.93 Sedangkan untuk mendapatkan kekuatan hukum dari jaminan
rahasia dagang berlaku tanpa batas waktu fidusia maka hak cipta wajib didaftarkan
selama kerahasiannya tetap terjaga.94 Hal sama mengingat pada dasarnya pembebanan benda
berlaku pula bagi indikasi geografis, dimana dengan jaminan fidusia harus dibuat dengan
jangka waktu indikasi geografis akan diberikan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan
selama tetap terjaga reputasi, kualitas, dan merupakan akta jaminan fidusia.99 Pendaftaran
karakteristik yang menjadi dasar diberikannya selain mempunyai arti yuridis sebagai suatu
pelindungan indikasi geografis pada suatu serangkaian yang tidak terpisah dari proses
barang.95 Melihat perbedaan jangka waktu terjadinya perjanjian. Pendaftaran juga
masing-masing objek HKI, maka sebaiknya merupakan suatu bentuk perwujudan dari asas
pihak perbankan perlu untuk cermat dan kepastian hukum.100 Oleh karenanya, HKI yang
berhati-hati dalam memastikan syarat-syarat akan dijadikan objek jaminan kredit perbankan
dan jaminan disesuaikan dengan jangka waktu wajib untuk didaftarkan supaya mendapat
berlakunya HKI. kekuatan hukum yang sah. Tak terkecuali bagi
Kedua, sifat HKI. Seperti yang diketahui hak cipta. Adapun mekanisme pendaftaran
bahwa masing-masing HKI memiliki sifat yang hak cipta dilakukan sesuai dengan ketentuan
UU Jaminan Fidusia, mengingat sebagai hak
88
Pasal 58 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak
Cipta. kebendaan hak cipta juga mempunyai ciri-ciri
89
Pasal 22 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten. droit de suite dimana pemegang hak cipta tetap
90
Pasal 23 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.
91
Pasal 35 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek 96
Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
dan Indikasi Geografis. 97
Pasal 11 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
92
Pasal 35 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek Fidusia.
dan Indikasi Geografis. 98
Pasal 12 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
93
Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Fidusia.
Industri. 99
Pasal 5 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
94
Pasal 3 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Fidusia.
Dagang. 100
Rio F. Najoan, “Kajian Hukum tentang Hak Cipta
95
Pasal 61 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek Sebagai Objek Jaminan Fidusia”, Jurnal Lex et Societatis,
dan Indikasi Geografis. Vol. IV, No. 7, Juli 2016, hal. 151-156.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Hak Kekayaan Intelektual... 47


mengikuti dalam tangan siapapun hak cipta memberikan estimasi atau opini atas nilai
yang melekat pada benda tersebut.101 ekonomis suatu properti, baik berwujud ataupun
Pendaftaran HKI menjadi hal yang tidak berwujud berdasarkan hasil analisis
sangat penting khususnya bagi bank. Untuk terhadap fakta-fakta objektif dan relevan dengan
mendapatkan jaminan biasanya pihak bank menggunakan metode, parameter, dan prinsip-
akan melakukan pengecekan terlebih dahulu. prinsip penilaian yang berlaku.105 Appraisal
Pengecekan dapat dilakukan ke Direktorat sendiri dibedakan menjadi dua parameter,
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJKI) yakni penilaian properti dan penilaian usaha
untuk mengetahui apakah HKI yang akan atau bisnis. Parameter appraisal properti, terdiri
diterima sebagai objek jaminan kredit atas: a) penilaian tanah dan bangunan beserta
perbankan sudah mendapatkan kekuatan kelengkapannya, serta pengembangan lainnya
hukum tetap (didaftar) atas nama pemegang atas tanah (land development); b) penilaian
atau pemilik terdaftar. Pengecekan tersebut instalasi dan peralatan yang dirangkai dalam
dapat dilakukan oleh pihak bank atau melalui satu kesatuan dan/atau berdiri sendiri yang
kantor notaris.102 Hal ini untuk memastikan digunakan dalam proses produksi; c) penilaian
bahwa pihak debitur benar-benar pihak yang alat transportasi, alat berat, alat komunikasi,
mempunyai kewenangan untuk menjaminkan. alat kesehatan, alat laboratorium dan utilitas,
Ketiga, risiko hukum. Banyak pihak bank peralatan dan perabotan kantor, dan perlatan
yang terkesan enggan memberikan jaminan militer; d) pertanian, perkebunan, peternakan,
dikarenakan masih banyak terjadi pelanggaran- perikanan, dan kehutanan; e) pertambangan.106
pelanggaran yang berkaitan dengan HKI. Sementara parameter appraisal usaha
Pembajakan misalnya. Hal ini bukannya tanpa atau bisnis, terdiri atas: a) entitas bisnis;
sebab mengingat prinsip umum bank dalam b) penyertaan; c) surat berharga termasuk
menjalankan usahanya adalah bersikap hati- derivasinya; d) hak dan kewajiban perusahaan;
hati. Meskipun masalah pembajakan telah e) aktiva tidak berwujud; f) kerugian ekonomis
diatur dalam ketentuan peraturan perundang- yang diakibatkan oleh suatu kegiatan atau
undangan (sebut saja UU Merek103 dan UU peristiwa tertentu (economic damage) untuk
Hak Cipta104 misalnya) namun pembajakan mendukung berbagai tindakan korporasi;
nyatanya masih marak terjadi. Kondisi inilah dan g) opini kewajaran.107 Poin keempat ini
yang menjadi salah satu kendala mengapa menjadi catatan tersendiri yang sangat penting,
pihak bank terkesan enggan dalam memberikan mengingat hingga saat ini belum ada lembaga
jaminan aset HKI. khusus yang berfungsi untuk melakukan
Keempat, belum adanya lembaga jasa penilaian terhadap HKI menjadi salah satu
penilai (appraisal) aset HKI di Indonesia. Yang kendala sulitnya mendapatkan pinjaman
dimaksud appraisal atau penilaian adalah proses jaminan modal perbankan. Meskipun Indonesia
pekerjaan atau kegiatan seorang penilai dalam sudah memiliki DJKI namun fungsi DJKI
sendiri belumlah diarahkan untuk melakukan
101
Sudjana, “Hak Cipta Sebagai Jaminan Kebendaan penilaian aset HKI.
Bergerak Dikaitkan dengan Pengembangan Objek
Fidusia”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24, No. 3, Oktober
DJKI sebagai unsur pelaksana Kementerian
2012, hal. 405-417. Hukum dan Hak Asasi Manusia pada dasarnya
102
Susilowardani, “Optimalisasi Nilai Ekonomi Hak mempunyai tugas untuk menyelenggarakan
Merek Menjadi Agunan Kredit di Bank (Kajian perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang
Kritis Peraturan Perundang-undangan di Bidang Hak
Kekayaan Intelektual, Perbankan, dan Fidusia)”, Jurnal
kekayaan intelektual sesuai dengan ketentuan
Repertorium,Vol.1, No.1, 2014, hal. 5-18. peraturan perundang-undangan. Dalam
103
Pasal 100 ayat (1), Pasal 100 ayat (2) UU No. 20 Tahun 105
KJPP, “Jasa Appraisal/Penilaian”, http://www.kjpp-akr.co.id/
2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
layanan/jasa-penilaian, diakses tanggal 10 Maret 2017.
104
Pasal 10, Pasal 113 ayat (4), Pasal 116 ayat (4), Pasal 117 106
Ibid.
ayat (3) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, 107
Ibid.

48 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


menyelenggarakan tugas, DJKI mempunyai masyarakat melalui media on-line maupun
fungsi antara lain:108 brosur-brosur yang diberikan.
a. perumusan kebijakan di bidang pelindungan Negara yang mempraktikkan hal tersebut,
hukum kekayaan intelektual, penyelesaian misalnya Korea Selatan. Korea Selatan melalui
permohonan pendaftaran kekayaanKorean Intellectual Property Office (KIPO)
intelektual, penyidikan, penyelesaian bekerjasama dengan Korea Invention Promotion
sengketa dan pengaduan pelanggaran Association (KIPA) dan juga WIPO berusaha
kekayaan intelektual, kerja sama, promosi untuk memperkenalkan informasi pentingnya
kekayaan intelektual, serta teknologi penilaian aset HKI melalui IP Panorama.
informasi di bidang kekayaan intelektual; IP Panorama dirancang untuk membantu
b. pemberian bimbingan teknis dan supervisi UKM memanfaatkan dan mengelola aset
di bidang perlindungan hukum kekayaan HKI dalam strategi bisnis mereka.109 IP
intelektual, penyelesaian permohonan Panorama ini mempunyai tugas utama dalam
pendaftaran kekayaan intelektual,
menetapkan pedoman standar valuasi dan
penyidikan, penyelesaian sengketa
mempertimbangkan kelayakan apakah objek
dan pengaduan pelanggaran kekayaan HKI tertentu dapat dijadikan sebagai jaminan.
intelektual, kerja sama, promosi kekayaan Selain Korea Selatan, Denmark juga
intelektual, serta teknologi informasi di tidak memerlukan lembaga khusus penilai
bidang kekayaan intelektual; aset HKI namun lebih menggunakan cara
c. pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan lain untuk melakukan penilaian misalnya
pelaporan di bidang perlindungan hukum dengan menggunakan media software khusus
kekayaan intelektual, penyelesaian
yang dirancang untuk mengetahui aset HKI
permohonan pendaftaran kekayaanyang nantinya akan dinilai.110 Sistem tersebut
intelektual, penyidikan, penyelesaian dinamakan IP Evaluation, menggunakan media
sengketa dan pengaduan pelanggaran on-line untuk membantu perusahaan dalam
kekayaan intelektual, kerja sama, promosi melakukan penilaian paten, merek dagang,
kekayaan intelektual, serta teknologi desain industri yang dimiliki perusahaan
informasi di bidang kekayaan intelektual; tersebut. IP Evaluation ini telah digunakan
d. pelaksanaan administrasi DJKI; dan oleh kantor merek dan paten negara Denmark
e. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh (Danish Patent and Trade Mark Officce/DKPTO)
Menteri. yang langsung terintegrasi pada kantor HKI
Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa setempat. IP Evaluation dipergunakan dalam
111

tugas DJKI belumlah menyentuh mengenai aplikasi untuk memberikan wawasan penilaian
penilaian aset HKI. Hal ini sangat disayangkan aset HKI khususnya dalam bisnis perdagangan.
112

mengingat di beberapa negara telah mempunyai Hal yang sama juga terjadi di Inggris, dimana
dan mempraktikkan konsep lembaga khusus kantor HKI di Inggris (The UK Intellectual
valuasi HKI. Sebagai bahan perbandingan, ada Property Office) memperkenalkan informasi
beberapa negara yang memang mempunyai seputar aset HKI melalui booklet “Agreeing a
appraisal aset HKI. Namun ada pula yang tidak 109 KIPO: Korean Intellectual Property Office, http://
memerlukan appraisal tersendiri, dimana tugas www.kipo.go.kr/kpo/user.tdf?a=user.english.html.
HtmlApp&c=91010&catmenu =ek 02_03_03, diakses
penilai aset HKI justru dikerjakan oleh kantor tanggal 8 Maret 2017.
kekayaan intelektual setempat yang dilakukan 110 Indra Rahmatullah, Aset Hak Kekayaan Intelektual
dengan berbagai macam cara yakni dengan Sebagai Jaminan Dalam Perbankan, Yogyakarta: Penerbit
menyebarkan informasi seluas-luasnya kepada 111 Deepublish, 2015, hal. 160.
Danish Patent and Trandemark Office, “IP Evaluation”,
108
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, ”Struktur http://www.ip-tradeportal.com/valuation/ip-evaluation.
Organisasi”, http://laman.dgip.go.id/tentang-kami/ aspx, diakses tanggal 8 Maret 2017.
struktur-organisasi-djki, diakses tanggal 8 Maret 2017. 112
Ibid.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Hak Kekayaan Intelektual... 49


Price for Intelelcectual Property Rights”. Booklet namun mekanismenya diserahkan kepada
tersebut merupakan salah satu informasi yang para profesional yang disebut dengan American
diberikan oleh pemerintah Inggris terkait Society of Appraisers (ASA).117 ASA merupakan
HKI. Selain booklet, Inggris juga menyediakan lembaga appraisal tertua yang didirikan sejak
informasi seputar HKI secara on-line melalui IP tahun 1936 dan lembaga kredibel yang mewakili
online checkhealth.113 Sementara yang memiliki seluruh elemen dari appraisers. Selain ASA, AS
lembaga khusus penilaian aset HKI adalah juga memiliki beberapa lembaga terakreditasi
negara Singapura dan Australia. untuk melakukan IP business valuation seperti
Melalui IPOS, Singapura telah membentuk Canadian Institute of Chartered Business Valuators
suatu lembaga khusus menangani valuasi HKI, (CICBV), The Institute of Business Appraisers
yakni melalui IP Value Lab (IPVL).114 IPVL (IBA), The American Institute of Certified Public
dikembangkan sebagai anak perusahaan IPOS, Accountants (AICPA), The National Association
yang bertugas untuk a) mempromosikan dan of Certified Valuation Analysts (NACVA).118
mengembangkan manajemen dan strategi HKI; Sebagai pedoman dalam melakukan
b) komersialisasi dan monetary HKI; c) menilai penilaian, tahun 2001 Financial Accounting
aset-aset HKI.115 IPVL membantu pemegang Standards Board (FASB) mengeluarkan
aset HKI untuk dapat menjaminkan aset Statement of Financial Accounting Standards
HKI mereka. Sementara Australia, penilaian No. 141, Business Combination (SFAS 141)
aset HKI diserahkan kepada lembaga di luar yang mengkategorikan HKI sebagai bentuk
pemerintah. Lembaga khusus tersebut adalah dari intangible assets bagi perusahaan dalam
The Australian Valuation Office (AVO) di bawah melakukan valuasi.119 Dari perbandingan
organisasi The Australian Taxation Center. AVO data beberapa negara tersebut, maka dapat
memberikan layanan valuasi termasuk untuk disimpulkan dalam tabel 3.
tujuan penjualan, pembelian, akuisisi dan leasing Oleh karena itu, belajar dari negara yang
terhadap HKI. AVO juga menyediakan valuasi sudah mempraktikkan konsep aset HKI sebagai
untuk kepentingan proses laporan keuangan objek jaminan kredit perbankan,120 sudah
dan manajemen aset. Selain AVO, pemerintah seharusnya Indonesia memiliki appraisal aset
Australia juga menunjuk lembaga lain yang HKI. Terkait dengan hal tersebut, Penulis
bertugas melayani valuasi HKI, yaitu Certified berpandangan bahwa terdapat 2 (dua) cara,
Practising Accountants (CPA) Australia dan pertama membentuk lembaga penilai (appraisal)
Institute of Chartered Accountants Australia.116 khusus HKI. Pembentukan lembaga appraisal
Yang menarik untuk dicermati, ternyata khusus HKI memang menjadi catatan urgen
terdapat juga negara yang justru menggunakan 117
Indra Rahmatullah, Aset Hak Kekayaan Intelektual
bantuan para profesional penilai aset HKI, Sebagai Jaminan Dalam Perbankan, Yogyakarta: Penerbit
seperti appraisal profesional. Amerika Serikat Deepublish, 2015, hal. 157.
(AS) misalnya. Di AS, secara eksplisit 118
Ibid, Hal. 157.
119
Christine Andrew and friends, “SFAS 141 (R): Global
memang tidak dijelaskan secara tegas tentang
Convergence and Massive Changes In M&A Accounting”,
keberadaan lembaga khusus penilai aset HKI Journal of Business & Economics Research, Vol. 7, No. 4,
April 2009, hal.125-135.
113
Indra Rahmatullah, Aset Hak Kekayaan Intelektual 120
Thailand misalnya. Di samping memiliki lembaga
Sebagai Jaminan Dalam Perbankan, Yogyakarta: Penerbit
appraisal, Thailand juga telah memiliki regulasi yang
Deepublish, 2015, hal. 160-161.
mengatur aset HKI untuk dapat dijadikan objek jaminan
114
Intellectual Property Office of Singapore, https://www.ipos.
perbankan melalui Thailand’s Business Security Act B.E.
gov.sg/AboutUs/OrganisationStructure.aspx, diakses
2558 (2015). Regulasi tersebut memberikan fasilitas bagi
tanggal 3 Maret 2017.
peningkatan akses terhadap dana untuk bisnis, maka
115
Asia IP, Singapore Launched IP Manegement and Value
undang-undang tersebut memungkinkan aset berwujud
Lab, 5 September 2014, http://www.asiaiplaw.com/search/
maupun tidak berwujud untuk dapat digunakan sebagai
article/1952, diakses tanggal 3 Maret 2017.
jaminan. Sedangkan Singapura sudah memiliki lembaga
116
Indra Rahmatullah, Aset Hak Kekayaan Intelektual Sebagai
penilai aset HKI melalui kantor HKI setempat melalui
Jaminan Dalam Perbankan, hal. 156.
IPOS.

50 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Tabel 3. Perbandingan Lembaga Valuasi Aset HKI di Beberapa Negara
Negara Lembaga Valuasi Aset Keterangan
HKI
Korea Selatan, Tidak membentuk Ketiga negara tersebut tidak memerlukan appraisal tersendiri. Tugas
Denmark, dan lembaga baru valuasi aset penilai aset HKI justru dikerjakan oleh kantor kekayaan intelektual
Inggris HKI setempat yang dilakukan dengan berbagai macam cara yakni
dengan menyebarkan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat
melalui media on-line maupun brosur-brosur yang diberikan.
Australia dan Membentuk lembaga Kedua negara tersebut membentuk lembaga valuasi aset HKI.
Singapura baru valuasi aset HKI Adapun tujuan pembentukan lembaga valuasi aset HKI dilakukan
untuk menilai aset-aset HKI, membantu pemegang aset HKI
untuk dapat menjaminkan aset HKI mereka.
Amerika Serikat menggunakan bantuan Jika dibandingkan dengan negara lain, mekanisme penilaian
para profesional penilai valuasi aset HKI di Amerika Serikat justru diserahkan kepada para
aset HKI, seperti appraisal profesional yang disebut dengan American Society of Appraisers
profesional. (ASA).
Sumber: hasil olah pemikiran sendiri

untuk dilaksanakan mengingat kedudukan lembaga jaminan fidusia, jika dicermati sebenarnya
appraisal HKI dinilai sangat penting selain untuk Indonesia juga memiliki lembaga appraisal yang
menghitung nilai ekonomi suatu aset HKI juga mumpuni, sebagai contoh Masyarakat Profesi
dapat diperlukan ketika terjadi wanprestasi121 Penilai Indonesia (MAPPI), Kantor Jasa Penilai
di kemudian hari. Pembentukan appraisal HKI Publik (KJPP), dan sebagainya.
di Indonesia nantinya dapat dilakukan dengan MAPPI dibentuk pada tahun 1981 dengan
benar-benar membentuk lembaga appraisal semangat untuk a) meningkatkan pengetahuan,
mandiri seperti negara Australia, Singapura, keterampilan dan integritas para anggota,
ataupun masih tetap menggunakan DJKI sehingga lebih kompeten dan bertanggung jawab
sehingga tugas penilai aset HKI tetap dikerjakan dalam profesinya; b) membina etika profesi
oleh kantor kekayaan intelektual setempat yang dan badan usaha jasanya dengan mematuhi
dilakukan dengan berbagai macam cara yakni ketentuan-ketentuan yang ada, dalam rangka
dengan menyebarkan informasi seluas-luasnya meningkatkan dan mengembangkan peran
kepada masyarakat melalui media on-line serta partisipasi profesi penilai dalam kegiatan
maupun brosur-brosur yang diberikan. Seperti pembangunan ekonomi; c) meningkatkan
yang dilakukan oleh negara Korea Selatan, pengembangan profesi dan badan usaha jasa
Denmark, dan sebagainya. Jika memang ingin penilai di tingkat nasional dan internasional.122
menggunakan cara ini maka pemberdayaan Sementara KJPP merupakan sebuah badan
SDM di DJKI perlu ditingkatkan, khususnya yang telah mendapatkan izin Menteri
dalam hal valuasi atau penilaian aset-aset HKI. Keuangan sebagai wadah bagi penilai publik123
Kemudian, opsi kedua, dengan mengalihkan dalam memberikan jasanya sebagai penilai.
kepada appraisal-appraisal yang sudah ada di KJPP memiliki badan usaha yang berbentuk
Indonesia. Jadi meskipun DJKI dinilai tidak
mempunyai kewenangan untuk melakukan 122
Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (Indonesia Society
of Appraisers), http://www.mappi.or.id/static-291-profil.
penilaian, namun tugas penilaian aset HKI dapat
html, diakses tanggal13 Maret 2017.
dialihkan kepada para appraisal yang memang 123
Yang dimaksud penilai publik adalah profesi yang
memadai kemampuannya. Terkait dengan memperoleh izin dari Menteri Keuangan untuk
kedudukan lembaga appraisal di Indonesia, selain memberikan jasa sebagaimana diatur di dalam Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 125/
121
Wanprestasi di sini dimaksudkan apabila debitur tidak PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik atau Penilai
dapat membayar pinjamannya dan pihak bank akan Eksternal sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
melakukan lelang eksekusi terhadap aset HKI. Menteri Keuangan di bidang kekayaan negara dan lelang.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Hak Kekayaan Intelektual... 51


persekutuan dan ada yang perorangan.124 dan penilaian aset HKI; c) jangka waktu
Penilaian aset HKI masuk dalam bidang jasa pelindungan aset HKI yang terbatas; d) sifat
penilaian yang dilakukan oleh appraisal. Pasal HKI; e) risiko hukum; f) belum adanya lembaga
2 ayat (3) huruf e Peraturan Menteri Keuangan penilai khusus aset HKI di Indonesia.
Republik Indonesia No. 125/PMK.01/2008
tentang Jasa Penilai Publik, menyebutkan B. Saran
bahwa salah satu poin yang menjadi bidang jasa Berdasarkan kesimpulan di atas, Penulis
penilaian bisnis adalah aktiva tidak berwujud.125 merekomendasikan beberapa saran yakni:
Terkait opsi kedua ini, menjadi catatan penting Pertama, perlu segera dibentuk peraturan
bahwa appraisal yang nantinya ditunjuk bukan pelaksana secara tegas dan detail terkait aset
hanya mengetahui tugas-tugas teknisnya namun HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan
juga perlu mengetahui aturan yang berlaku. sebagaimana amanah dalam UU Hak Cipta
Untuk itu mungkin perlu semacam diklat atau dan UU Paten. Hal ini dinilai sangat penting,
pelatihan khusus HKI. Terlepas dari beberapa mengingat hingga saat ini belum ada aturan
pilihan model atau opsi yang dikemukakan oleh pelaksana yang mengatur HKI sebagai objek
Penulis, tetap menjadi catatan penting bahwa jaminan kredit perbankan. Kedua, perlu
pembentukan lembaga appraisal HKI jelas segera dibentuk lembaga penilai aset HKI di
sangat dibutuhkan di Indonesia. Indonesia. Pembentukan lembaga appraisal HKI
ini nantinya dapat mengambil beberapa pilihan
IV. PENUTUP opsi, apakah berbentuk lembaga appraisal
A. Kesimpulan mandiri, masih menyatu dengan DJKI, ataupun
Dari latar belakang dan pembahasan dalam dialihkan kepada lembaga appraisal yang sudah
kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa: Pertama, ada di Indonesia.
kedudukan aset HKI sebagai intangiable assets
dapat dijadikan sebagai objek jaminan kredit
perbankan karena: termasuk benda bergerak
dengan bentuk tidak berwujud, mempunyai DAFTAR PUSTAKA
nilai ekonomis (value), dapat dialihkan, dapat
dibebani dengan jaminan fidusia.
Kedua, meski sudah ditegaskan di dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan Jurnal
untuk dapat menjadi objek jaminan perbankan, Andrew, Christine and friends. “SFAS 141 (R):
namun nyatanya belum semua bank dapat Global Convergence and Massive Changes
menerima hal tersebut. Kendala atau hambatan In M&A Accounting”. Journal of Business &
disebabkan: (a) belum ada dukungan yuridis, Economics Research. Vol. 7 No. 4, April 2009.
baik dalam bentuk peraturan pelaksana terkait Emrizon, Joni. “Kode Etik dan Permasalahan
HKI sebagai jaminan kredit perbankan yang Hukum Jasa Penilai Dalam Kegiatan Bisnis
telah diamanahkan undang-undang (yakni di Indonesia”. Jurnal Manajemen dan Bisnis
UU Hak Cipta, UU Paten) maupun revisi Sriwijaya. Vol. 3, No. 5, Juni 2005.
Peraturan Bank Indonesia (PBI) terkait agunan
yang dijadikan dasar bagi pihak bank; b) belum F. Najoan, Rio. “Kajian Hukum tentang Hak
adanya konsep yang jelas terkait due diligence Cipta Sebagai Objek Jaminan Fidusia”. Jurnal
Lex et Societatis. Vol. IV, No. 7, Juli 2016.
124
Kantor Jasa Pelayanan Publik, http://www.goodvaluer.com/
kantor-jasa-penilai-publik-kjpp/, diakses tanggal 13 Maret Fanny Kusumaningtyas, Rindia. “Perkembangan
2017. Hukum Jaminan Fidusia Berkaitan dengan
125
Pasal 2 ayat (3) huruf e Peraturan Menteri Keuangan Hak Cipta”. Jurnal Hukum Pandecta. Vol.
Republik Indonesia No. 125/PMK.01/2008 tentang Jasa
Penilai Publik.
11, No.1, Juni 2016.

52 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Junaidi, Ahmad dan Muhammad Joni. HS, Salim. Perkembangan Hukum Jaminan
“Pemanfaatan Sertfikat HKI Sebagai di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Collateral Kredit”. Jurnal SMECDA. Vol. Persada, 2008.
6, No. 1, September 2011. Kamelo, Tan. Hukum Jaminan Fidusia Suatu
Mulyani, Sri. “Pengembangan Hak Kekayaan Kebutuhan Yang Didambakan: Sejarah,
Intelektual Sebagai Collateral (Agunan) Perkembangannya, dan Pelaksanaannya
Untuk Mendapatkan Kredit Perbankan di dalam Praktik Bank dan Pengadilan.
Indonesia”. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. Bandung: Penerbit PT. Alumni, 2004.
12, No. 3, September 2012. Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum
Irawaty. “Perkembangan dan Prespektif Yuridis Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 1999.
Rahasia Dagang Sebagai Benda Jaminan Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT.
Kredit. Tesis, Universitas Indonesia, Juli Citra Aditya Bakti, 2000.
2008, lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-
9/20269729-T37441-Irawaty.pdf, diakses Rahmatullah, Indra. Aset Hak Kekayaan
tanggal 14 Februari 2017. Intelektual Sebagai Jaminan Dalam Perbankan.
Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2015.
Sarjana, I Made. dkk, “Menguji Asas Droit
de Suite Dalam Jaminan Fidusia”. Jurnal Roisah, Kholis. Konsep Hukum Hak Kekayaan
Magister Hukum Udayana. Vol. 4, No. 3, Intelektual HKI: Sejarah, Pengertian dan
September 2015. Filosofi Pengakuan HKI dari Masa ke Masa.
Malang: Setara Press, 2015.
Sudjana. “Hak Cipta Sebagai Jaminan Kebendaan
Bergerak Dikaitkan dengan Pengembangan Sri Hadiarianti, Venantia. Memahami Hak
Objek Fidusia”. Jurnal Mimbar Hukum. Vol. Kekayaan Intelektual. Jakarta: Universitas
24, No. 3, Oktober 2012. AtmaJaya, 2010.

Susilowardani. “Optimalisasi Nilai Ekonomi Tanya, Bernard L. Dkk. Teori Hukum Strategi
Hak Merek Menjadi Agunan Kredit di Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi.
Bank (Kajian Kritis Peraturan Perundang- Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.
undangan di Bidang Hak Kekayaan Usman, Rachmadi. Hukum Hak Atas Kekayaan
Intelektual, Perbankan, dan Fidusia)”. Intelektual. Bandung: Alumni, 2003.
Jurnal Repertorium. Vol. I, No.1, 2014.
Wawointana, Riedel. “Manfaat Jaminan Fidusia Pustaka dalam Jaringan
Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kredit AIPPI, “Using IP As Collateral in Thailand”,
Bank”. Jurnal Lex Privatum. Vol. I, No. 3, https://aippi.org/no-show/using-ip-as-
Juli 2013. collateral-in-thailand/, diakses tanggal 24
Yuris Azmi, Muhammad. “Hak Cipta Sebagai Mei 2017.
Jaminan Fidusia Ditinjau Dari Undang- “Asia IP, Singapore Launched IP Manegement and
Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Value Lab”, 5 September 2014, http://www.
Cipta dan Undang-Undang No. 42 Tahun asiaiplaw.com/search/ article/1952, diakses
1999 tentang Jaminan Fidusia”. Jurnal Privat tanggal 3 Maret 2017.
Law. Vol. IV, No. 1, Januari 2016.
Danish Patent and Trandemark Office. “IP
Evaluation”. http://www.ip-tradeportal.
Buku com/valuation/ip-evaluation.aspx, diakses
Bahsan, M. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit tanggal 8 Maret 2017.
Perbankan Indonesia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2008.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Hak Kekayaan Intelektual... 53


Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. KJPP, ”Good Valuer”, http://www.goodvaluer.
”Struktur Organisasi”, http://laman.dgip. com/kantor-jasa-penilai-publik-kjpp/,
go.id/tentang-kami/struktur-organisasi- diakses tanggal 13 Maret 2017.
djki, diakses tanggal 8 Maret 2017. KJPP, ”Jasa Appraisal/Penilaian”, http://www.
Flingor, Paul and David Orozco. “Intangible kjpp-akr.co.id/layanan/jasa-penilaian,
Assets & Intellectual Property Valuation: diakses tanggal 10 Maret 2017.
A Multidisciplinary Perspective”. www. Koran Sindo, ”Hak Paten Diusulkan
wipo.int/ sme/en/documents/ip_valuation_ Jadi Jaminan Bank”, 7 November
fulltext.html, diakses Kamis 2 Maret 2017. 2016, http://economy.okezone.com/
Hidayati, Endar. 29 Agustus 2014. read/2016/11/07/320/1534641/hak-paten-
“Komersialisasi Hak Kekayaan Intelektual diusulkan-jadi-jaminan-bank, diakses
(HKI) Melalui Lisensi”.eprints.uny. tanggal 3 Maret 2017.
ac.id/20713/1/LISENSI%20DAN%20 MAPPI, ”Profil MAPPI”, http://www.mappi.
KOMERSIALISASI%20HKI.pdf, diakses or.id/static-291-profil.html, diakses tanggal
tanggal 14 Februari 2017. 13 Maret 2017.
Intellectual Property Office of Singapore, https:// Silalahi, Anita. 12 April 2013. “Komentas Pasal
www.ipos.gov.sg/AboutUs/Organisation 9 Uniform Commercial Code (UCC)”.
Structure.aspx, diakses tanggal 3 Maret https://anitasilalahi.wordpress.com/tag/
2017. interesting-topic/. diakses tanggal 14
Intellectual Property Office of Singapore, Februari 2017.
“Intellectual Property Financing Scheme “The Brand Finance Report on Malaysia’s
Information Sheet”, https://www.ipos.gov.sg/ Intangible Assets and Brand”. November
Portals/0/SCOPE%20IP/IPFSInformation 2015. http://www.marketingmagazine.com.
Sheetv21July 2016.pdf, diakses tanggal 23 my/images/docs/Top%2050%20Report.pdf,
Mei 2017. diakses tanggal 14 Februari 2017.
IPOS: The Intellectual Property Office of UNICITRAL. 2011. “Unicitral Legislative
Singapore. https://www.ipos.gov.sg/. diakses Guide on Secured Transactions Supplement
tanggal 26 Februari 2017. on Security Rights in Intellectual Property”.
Kantor Pelayanan Jasa Publik. “Pengertian https://www.uncitral.org/pdf/english/texts/
Penilaian Aset”. 2 Februari 2015, http://www. security-lg/e/10-57126_Ebook_Suppl_SR_
kjpptrisanti.com/index.php?option=com_ IP.pdf. diakses tanggal18 Januari 2017.
c o n t e n t & v i e w = a r t i c l e & i d = 5 0 % 3 Weizhen, Tan.Todayonline. 9 April 2014.
Apenilaian-aset&catid=31%3Aumum- “Bussiness Singapore Firms can Now Use IP
jasa-dan-pelayanan&limitstart=2, diakses Assets Collateral Bank Loan”. http://www.
tanggal 2 Maret 2017. todayonline.com/business/singapore-firms-
KIPO: Korean Intellectual Property Office, http:// can-now-use-ip-assets-collateral-bank-
www.kipo.go.kr/kpo/user.tdf?a=user. loans, diakses tanggal 14 Februari 2017.
english.html.HtmlApp&c=91010&
catmenu=ek 02_03_03, diakses tanggal 8
Maret 2017.

54 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


PELAKSANAAN PERIZINAN TENAGA KERJA ASING MELALUI
PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DI DAERAH

THE IMPLEMENTATION OF THE FOREIGN LABOR PERMITS THROUGH


THE REGIONAL ONE STOP INTEGRATED SERVICES

Monika Suhayati
Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI
Komplek MPR/DPR/DPD Gedung Nusantara I Lantai 2,
Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta
Email: monika.suhayati@dpr.go.id

Naskah diterima: 10 April 2017


Naskah direvisi: 31 Mei 2017
Naskah diterbitkan: 20 Juni 2017

Abstract
The utilization of the foreign labors and its licenses in Indonesia is regulated in Law No. 25 year 2007
regarding The Investment and Law No. 13 year 2003 regarding The Labor and its implementing regulations.
The permits of the foreign labor is one of the licensing processed through the One Stop Integrated Services
(PTSP). This licensing process is conducted in two stages, known as the stage of Foreign Labor Utilization
Plan and the stage of Licensing the Foreign Labor. This paper is made to study the urgency of foreign
labor licensing through One Stop Integrated Services, the regulation of foreign labor working permits
through One Stop Integrated Services, and the effectiveness of the implementation of foreign labor working
permits through the regional One Stop Integrated Services. The problem is analyzed using the principle of
legality, delegation of authority, and the effectiveness of law enforcement. As the result of this study, the
urgency of the foreign labor work licensing conducted through One Stop Integrated Services is to create
the simplification and acceleration of the foreign labor working permits completion which will increase
the investment. Based on the Presidential Regulation No. 97 year 2014, the implementation of One Stop
Integrated Services by the regional government is carried out by the Provincial or Regency/Municipality
Investment Body and One-Stop Integrated Services (BPMPTSP) based on the delegation of authority
from the Governor or Head of Regent/Mayor to the Head of BPMPTSP of Provincial or Regency/
Municipality. In the implementation in some regions, there are problems such as The management of the
issuance of the extension of Foreign Labor Utilization Permits which have not been transferred to the
Provincial or Regency/Municipality One Stop Integrated Services: The Manpower Office at the provincial
level has not yet assigned its functional personnel to The Provincial or Regency/Municipality One Stop
Integrated Services under the control operation mechanism. In conclusion, it is necessary to revise the
authority of the issuance of Foreign Labor Utilization Permits at the provincial/regency/municipality level,
improve the coordination between related sectors, increase socialization of the SPIPISE, the budgeting the
improvement of the foreign labor working permit facilities and infrastructure at the provincial/regency/
municipality One Stop Integrated Services, and improve the performance of the investment officers.
Keywords: investment, foreign labor, licensing, foreign labor utilization permit

Abstrak
Penggunaan tenaga kerja asing (TKA) dan perizinannya di Indonesia diatur dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan beserta peraturan pelaksanaannya. Perizinan penggunaan
TKA merupakan salah satu perizinan yang dilakukan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(PTSP). Perizinan tersebut dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap proses Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing dan proses Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Tulisan ini

MONIKA SUHAYATI: Pelaksanaan Perizinan Tenaga Kerja Asing... 55


hendak mempelajari urgensi perizinan I. PENDAHULUAN
TKA di PTSP, pengaturan perizinan TKA Salah satu tujuan pembentukan
melalui PTSP, dan efektivitas pelaksanaan pemerintahan negara sesuai amanat
perizinan TKA melalui PTSP di daerah. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Permasalahan dianalisa menggunakan Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
asas legalitas, delegasi kewenangan, dan
memajukan kesejahteraan umum. Amanat
efektivitas penegakan hukum. Sebagai
tersebut mendasari pembentukan seluruh
hasil dari kajian ini, urgensi perizinan
peraturan perundang-undangan di bidang
TKA dilakukan di PTSP agar terciptanya
penyederhanaan dan percepatan perekonomian. Konstitusi mengamanatkan
penyelesaian perizinan TKA yang akan agar pembangunan ekonomi nasional harus
meningkatkan investasi. Berdasarkan berdasarkan prinsip demokrasi yang mampu
Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun menciptakan terwujudnya kedaulatan ekonomi
2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut,
Terpadu Satu Pintu, penyelenggaraan PTSP penanaman modal harus menjadi bagian dari
oleh pemerintah daerah dilaksanakan oleh penyelenggaraan perekonomian nasional dan
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan
Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Provinsi pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan
atau Kabupaten/Kota berdasarkan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan
pendelegasian wewenang dari gubernur ekonomi berkelanjutan, meningkatkan
atau bupati/walikota kepada Kepala
kapasitas dan kemampuan teknologi nasional,
BPMPTSP Provinsi atau Kabupaten/
mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan,
Kota. Dalam pelaksanaannya di beberapa
serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat
daerah, terjadi permasalahan antara lain
pengurusan penerbitan perpanjangan dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya
IMTA yang belum dilimpahkan ke PTSP saing.1
Provinsi atau Kabupaten/Kota, belum Penanaman modal merupakan langkah awal
semua Dinas Tenaga Kerja Provinsi untuk melakukan pembangunan. Penanaman
atau Kabupaten/Kota menugaskan modal yang berasal dari dalam negeri disebut
tenaga fungsional di PTSP Provinsi atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan
Kabupaten/Kota dengan mekanisme penanaman modal yang berasal dari luar negeri
Bawah Kendali Operasi. Sebagai disebut Penanaman Modal Asing (PMA).
kesimpulan, perlu dilakukan revisi Keduanya sama penting dan berpengaruh
pengaturan kewenangan penerbitan IMTA terhadap pertumbuhan ekonomi suatu
perpanjangan di tingkat provinsi atau negara.2 Penanaman modal berperan penting
kabupaten/kota, pembenahan koordinasi
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
antarsektor terkait, peningkatan sosialisasi
dan mendatangkan banyak manfaat. Untuk
SPIPISE kepada masyarakat, penganggaran
itu Indonesia terus berupaya meningkatkan
perbaikan sarana dan prasarana perizinan
TKA di PTSP Provinsi atau Kabupaten/ penanaman modal, yaitu dengan menciptakan
Kota, pembenahan dan peningkatan iklim investasi yang kondusif diantaranya
kinerja aparat penanaman modal. dengan membentuk Undang-Undang Nomor
Kata kunci: penanaman modal, tenaga 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU
kerja asing, perizinan, izin 1
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 25 Tahun
menggunakan tenaga kerja 2007 tentang Penanaman Modal.
asing 2
Dumairy, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1996,
hal. 130 dikutip tidak langsung oleh Reza Lainatul Rizky,
Grisvia Agustin, Imam Mukhlis, “Pengaruh Penanaman
Modal Asing, Penanaman Modal Dalam Negeri dan
Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi
Di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan
(JESP), Vol. 8, No. 1 Maret 2016, hal. 9-16.

56 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Penanaman Modal) yang mulai berlaku pada 26 iklim usaha yang produktif dan kompetitif,
April 2007. Undang-Undang ini menggantikan serta mempercepat peningkatan penanaman
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang modal, baik PMDN maupun PMA. Bagan 1
Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang menunjukkan perkembangan realisasi investasi
Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman di Indonesia dari Tahun 2011 hingga Tahun
Modal Dalam Negeri yang sudah tidak sesuai 2016 per triwulan.
lagi dengan tantangan dan kebutuhan untuk Berdasarkan data Badan Koordinasi
mempercepat perekonomian nasional. Penanaman Modal (BKPM) tersebut,
Bagan 1. Perkembangan Realisasi Investasi Tahun 2011 – Juni 2016 (per triwulan)

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2016.

Lebih lanjut, pemerintah menetapkan terjadi perkembangan realisasi investasi


kebijakan dasar penanaman modal untuk atau penanaman modal PMDN dan PMA di
mendorong terciptanya iklim usaha nasional Indonesia dari Semester I tahun 2011 hingga
yang kondusif bagi penanaman modal untuk Semester II tahun 2016 (selama 5 tahun
penguatan daya saing perekonomian nasional; dan terakhir). Apabila pada Semester I tahun 2011,
mempercepat peningkatan penanaman modal. total investasi 53,6 triliun (PMDN 14,1 trilyun
Dalam hal ini, pemerintah memberi perlakuan dan PMA 39,5 triliun), maka pada Sementer
yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan IV tahun 2015 telah menjadi 145,4 triliun
penanam modal asing dengan tetap memperhatikan (PMDN 46,2 triliun dan PMA 99,2 triliun),
kepentingan nasional; menjamin kepastian hukum, dan di Semester II tahun 2016 menjadi total
kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi 151,6 triliun (PMDN 52,2 triliun dan PMA
penanam modal sejak proses pengurusan perizinan 99,4 triliun). Kenaikan penanaman modal
sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman selama 5 tahun yang hampir 3 kali lipat, sebagai
modal sesuai dengan ketentuan peraturan bukti membaiknya iklim penanaman modal di
perundang-undangan; dan membuka kesempatan Indonesia.4
bagi perkembangan dan memberikan perlindungan Selain itu, hasil penelitian menunjukkan
kepada usaha mikro, kecil, menengah, dan bahwa secara parsial penanaman modal asing
koperasi.3
Kebijakan dasar penanaman modal
4
Data disampaikan oleh Dr. Riyatno, S.H., LL.M., Kepala Pusat
Bantuan Hukum, Badan Koordinasi Penanaman Modal,
bertujuan untuk mendorong terciptanya dalam Diskusi Pakar dalam rangka Pemantauan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
3
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Modal, Pusat Pemantauan dan Pelaksanaan Undang-Undang,
Penanaman Modal.
Badan Keahlian DPR RI, 2016.

MONIKA SUHAYATI: Pelaksanaan Perizinan Tenaga Kerja Asing... 57


berpengaruh positif dan signifikan terhadap jangka pendek (kurang dari satu tahun) adalah
pertumbuhan ekonomi provinsi di Indonesia pemasangan instalasi/mesin/teknologi yang
tahun 2010-2013. Hal ini berarti apabila dibeli oleh perusahaan di Indonesia sekaligus
nilai PMA mengalami peningkatan maka melakukan pelatihan kepada pegawai yang
pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat akan menanganinya, adapun contoh penugasan
karena memiliki pengaruh yang positif. Nilai yang bersifat jangka panjang (lebih dari satu
PMA pada 33 provinsi di Indonesia memiliki tahun) adalah pekerjaan manajerial dan
pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pengelolaan perusahaan. Kedua, rekrutmen,
pertumbuhan ekonomi di Indonesia karena yaitu masuknya TKA melalui jalur penerimaan
didorong oleh beberapa hal, yaitu perekonomian pegawai baik yang berstatus kontrak maupun
Indonesia yang sehat, stabilitas politik, tetap, rekrutmen tersebut pada umumnya
iklim investasi di Indonesia, infrastruktur di dilakukan oleh perusahaan lokal yang memiliki
Indonesia, sumber daya alam yang melimpah, bisnis berskala global sehingga membutuhkan
keadaan demografi, adanya pasar domesik dan TKA sebagai upaya menghadapi kompetisi di
peran global Indonesia.5 dunia internasional. 7
Walaupun terjadi perkembangan investasi Berdasarkan Pasal 10 UU Penanaman
yang cukup membanggakan, berbagai kendala Modal, perusahaan penanaman modal dalam
penanaman modal di berbagai daerah masih memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus
menjadi tantangan besar yang harus diselesaikan mengutamakan tenaga kerja warga negara
oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Indonesia. Namun, perusahaan penanaman
Daerah (Pemerintah Provinsi dan Pemerintah modal berhak menggunakan TKA untuk
Kabupaten/Kota), seperti diantaranya berkaitan jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan
dengan penerbitan izin bagi tenaga kerja ketentuan peraturan perundang-undangan.
asing (TKA). Kementerian Ketenagakerjaan Dalam hal itu, perusahaan penanaman modal
mencatat jumlah TKA yang ada di Indonesia wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja
per November 2016 adalah 74.183 orang. warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja
Cina, dengan 21.271 tenaga kerja, menjadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
negara yang paling banyak mengirimkan tenaga undangan. Perusahaan penanaman modal
kerjanya ke Indonesia, dan Jepang berada di yang mempekerjakan TKA juga diwajibkan
posisi kedua dengan jumlah 12.490 tenaga menyelenggarakan pelatihan dan melakukan
kerja.6 alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara
TKA masuk ke Indonesia dapat melalui Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
dua jalur, yaitu pertama, penugasan. Penugasan perundang-undangan.8
merupakan penempatan pegawai oleh TKA menurut Undang-Undang Nomor
perusahaan multinasional untuk menduduki 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU
satu posisi/jabatan tertentu di salah satu Ketenagakerjaan) merupakan warga negara
cabang ataupun anak perusahaan di Indonesia, asing pemegang visa dengan maksud bekerja
berdasarkan jangka waktunya, penugasan di wilayah Indonesia.9 TKA yang dipekerjakan
dapat bersifat jangka pendek dan jangka oleh pemberi kerja TKA wajib memenuhi
panjang, contoh penugasan yang bersifat persyaratan sebagai berikut (a) memenuhi
pendidikan yang sesuai dengan syarat jabatan
5
Reza Lainatul Rizky, Grisvia Agustin, Imam Mukhlis,
“Pengaruh Penanaman Modal Asing, Penanaman Modal 7
Suhandi, “Pengaturan Ketenagakerjaan Terhadap Tenaga
Dalam Negeri dan Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Kerja Asing Dalam Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi
Ekonomi Provinsi Di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Studi Asean Di Indonesia”, Perspektif, Volume XXI No. 2
Pembangunan (JESP), Vol. 8, No 1 Maret 2016, hal. 9-16. Tahun 2016 Edisi Mei, hal. 135-148.
6
Isyana Artharini, 23 November 2016, “Berapa sebenarnya 8
Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 25
jumlah tenaga kerja asal Cina yang masuk ke Indonesia?”, Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38407825, 9
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
diakses tanggal 16 Maret 2017. tentang Ketenagakerjaan.

58 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


yang akan diduduki oleh TKA, (b) memiliki menyatakan perusahaan penanaman modal
sertifikat kompetensi atau memiliki pengalaman yang akan melakukan kegiatan usaha wajib
kerja sesuai dengan jabatan yang akan diduduki memperoleh izin sesuai dengan ketentuan
oleh TKA paling kurang 5 (lima) tahun, (c) peraturan perundang-undangan dari instansi
membuat surat pernyataan wajib mengalihkan yang memiliki kewenangan melalui PTSP, kecuali
keahliannya kepada TKI pendamping yang ditentukan lain dalam UU Penanaman Modal.
dibuktikan dengan laporan pelaksanaan Pada 15 September 2014, Presiden menerbitkan
pendidikan dan pelatihan, (d) memiliki NPWP Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014
bagi TKA yang sudah bekerja lebih dari enam tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu
bulan, (e) memiliki bukti polis asuransi pada Satu Pintu (Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun
asuransi yang berbadan hukum Indonesia; dan 2014). Berdasarkan Peraturan Presiden tersebut,
(f) kepesertaan Jaminan Sosial Nasional bagi proses pengelolaan pelayanan baik yang bersifat
TKA yang bekerja lebih dari enam bulan.10 pelayanan perizinan dan nonperizinan dilakukan
Perusahaan yang hendak menggunakan secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses
TKA harus memiliki izin tertulis dari Menteri dimulai dari tahap permohonan sampai dengan
Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk, tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu
dan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja pintu di PTSP.11 Ruang lingkup PTSP meliputi
Asing (RPTKA) yang disahkan oleh Menteri seluruh pelayanan Perizinan dan Nonperizinan
atau pejabat yang ditunjuk, dikecualikan bagi yang menjadi kewenangan Pemerintah dan
perwakilan negara asing yang mempergunakan pemerintah daerah12, termasuk salah satunya
TKA sebagai pegawai diplomatik dan konsuler perizinan di bidang ketenagakerjaan. Sedangkan
(Pasal 42 dan 43 UU Ketenagakerjaan). penyelenggara PTSP adalah pemerintah pusat,
Kewajiban memiliki izin tertulis tersebut diatur pemerintah daerah, Badan Pengusahaan
lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
72 Tahun 2014 tentang Penggunaan Tenaga Bebas, dan Administrator Kawasan Ekonomi
Kerja Asing serta Pelaksanaan Pendidikan Khusus.13
dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping PTSP14 bertujuan membantu penanam
(Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2014) modal memperoleh kemudahan pelayanan,
dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan 11
Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014
Nomor 35 Tahun 2015 tentang Perubahan tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 12
Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang
Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
13
Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014
Tenaga Kerja Asing (Peraturan Menteri
tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Ketenagakerjaan Nomor 35 Tahun 2015). Pasal 14
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
8 Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2014 tentang Penanaman Modal, PTSP merupakan kegiatan
menyatakan setiap Pemberi Kerja TKA wajib penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang
mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang
memiliki IMTA yang diterbitkan oleh Menteri
dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan
Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk. perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya
Perizinan TKA merupakan perizinan dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap
bidang ketenagakerjaan yang berkaitan dengan terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat
(Pasal 1 angka 10 UU Penanaman Modal). Sedangkan
penanaman modal, oleh karena itu berdasarkan
berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor
Pasal 25 ayat (4) dan (5) UU Penanaman Modal, 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
perizinan TKA dilakukan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu, PTSP adalah pelayanan secara
Terpadu Satu Pintu (PTSP). Ketentuan tersebut terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap
permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk
10
Pasal 36 ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan pelayanan melalui satu pintu. PTSP memiliki tujuan
Nomor 35 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan (Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014)
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 tentang (a) memberikan perlindungan dan kepastian hukum
Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing kepada masyarakat; (b) memperpendek proses pelayanan;

MONIKA SUHAYATI: Pelaksanaan Perizinan Tenaga Kerja Asing... 59


fasilitas fiskal, dan informasi mengenai prinsip kehati-hatian dalam pengurusannya
penanaman modal. PTSP dilakukan oleh yang pada gilirannya berpengaruh pada fungsi
lembaga atau instansi yang berwenang di pengendalian dari pemerintah daerah. Dari
bidang penanaman modal yang mendapat sisi business process birokrasi, pengintegrasian
pendelegasian atau pelimpahan wewenang pada satu tempat (PTSP) itu bersifat
dari lembaga atau instansi yang memiliki paripurna: sejak pengajuan permohonan hingga
kewenangan perizinan dan nonperizinan penandatanganan dan penyerahan dokumen
di tingkat pusat atau lembaga atau instansi legalitas, sementara dari sisi masyarakat juga
yang berwenang mengeluarkan perizinan dan lebih mudah lantaran hanya datang ke satu
nonperizinan di provinsi atau kabupaten/kota.15 tempat dan bertemu dengan satu petugas (front
Dengan sistem PTSP, sangat diharapkan bahwa office/customer service) ketika mengajukan
pelayanan terpadu di pusat dan di daerah dapat maupun mengambil berkas.18
menciptakan penyederhanaan perizinan dan Menurut Robert Endi Jaweng, di daerah
percepatan penyelesaiannya. Selain pelayanan kelembagaan PTSP diatur dalam peraturan
penanaman modal di daerah, BKPM diberi daerah, sementara pelimpahan urusan perizinan
tugas mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan bisa dengan peraturan kepala daerah. Otoritas
penanam modal. BKPM dipimpin oleh seorang perizinan yaitu keputusan (persetujuan dan
kepala yang bertanggungjawab langsung kepada penandatanganan) ada di Kepala PTSP,
Presiden.16 sementara rekomendasi dan koordinasi bisa
Penyelenggaraan PTSP merupakan sebuah melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah
upaya pemerintah dalam mempermudah (SKPD) terkait. PTSP menjadi titik akses
investasi. Dengan adanya investasi, dapat tunggal perizinan baik skala kewenangan
membuka lapangan pekerjaan baru serta dimana perizinan bermula, berproses, dan
meningkatkan kesejahteraan warga negara. berakhir di PTSP. PTSP sebagai operator
Dalam penyelenggaraan PTSP dibutuhkan semua perizinan dengan atau tanpa pelibatan
manajemen yang tepat agar dapat memberikan SKPD. Pengendalian dan pengawasan atas
pelayanan yang berkualitas. Peran serta praktik perizinan melekat dalam fungsi
pemerintah dalam melakukan perubahan penanaman modal. PTSP terintegrasi dalam
merupakan sebuah inisiatif yang bagus untuk Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD)
perbaikan kualitas pelayanan.17 Desain berdasarkan Peraturan Presiden No. 97 Tahun
institusional suatu PTSP selalu dimulai dari 2014, yang secara operasional berkoordinasi
upaya mengintegrasikan secara vertikal dan dengan SKPD.19
horizontal proses pelayanan sebagian atau semua Dalam pelaksanaan penerbitan izin TKA
perizinan atau nonperizinan ke satu titik akses di daerah, beberapa permasalahan dialami
tunggal agar menjadi lebih sederhana (syarat, berkaitan dengan perpanjangan IMTA, di mana
waktu, biaya, dan prosedur) tanpa kehilangan masih ada perpanjangan IMTA yang diterbitkan
oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi atau
(c) mewujudkan proses pelayanan yang cepat, mudah,
murah, transparan, pasti, dan terjangkau; dan (d) Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota
mendekatkan dan memberikan pelayanan yang lebih luas dan belum dilakukan melalui PTSP Provinsi
kepada masyarakat.
15
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang 18
Robert Endi Jaweng (1), “Reformasi Birokrasi Perizinan
Penanaman Modal. Usaha di Daerah”, Jurnal Ilmu Pemerintahan Indonesia,
16
Sayidin Abdullah, “Politik Hukum Penanaman Modal Edisi 45 Tahun 2014, hal. 126-143.
Asing Setelah Berlakunya Undang-Undang Penanaman 19
Robert Endi Jaweng (2), UU Penanaman Modal di
Modal 2007 dan Implikasinya Terhadap Pengusaha Daerah: Catatan Pelaksanaannya dalam Kasus Perizinan
Kecil”, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 8 No. 4, & Pungutan, Bahan Presentasi dalam rangka Diskusi
Oktober-Desember 2014, hal. 546-570. Pakar Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
17
Leny Ismayanti, “Efektivitas Penyelenggaraan Pelayanan 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pusat
Terpadu Satu Pintu Di Kabupaten Malang”, JISIP: Jurnal Pemantauan dan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 4, No. 2, 2015, hal. 293. Keahlian DPR RI, 9 Agustus 2016.

60 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


atau PTSP Kabupaten/Kota. Dalam hal ini Dinas Permasalahan ini akan dikaji menggunakan
Tenaga Kerja Provinsi atau Dinas Tenaga Kerja asas legalitas dan delegasi wewenang
Kabupaten/Kota mendasarkan pada Peraturan pemerintahan. Berdasarkan asas legalitas21,
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 35 Tahun wewenang pemerintahan berasal dari peraturan
2015, yang mengatur perpanjangan IMTA perundang-undangan, artinya sumber
diterbitkan oleh (a) Direktur untuk TKA yang wewenang bagi pemerintah adalah peraturan
lokasi kerjanya lebih dari satu wilayah provinsi; perundang-undangan. Asas legalitas merupakan
(b) Kepala Dinas Provinsi, untuk TKA yang salah satu prinsip utama yang dijadikan
lokasi kerjanya lintas kabupaten/kota dalam sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan
satu provinsi; atau (c) Kepala Dinas Kabupaten/ pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara
Kota, untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam hukum. Asas legalitas berkaitan erat dengan
satu wilayah kabupaten/kota.20 Sedangkan Pasal gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum.
10 Peratuan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 Gagasan demokrasi menuntut agar setiap
telah mengatur penyelenggaraan PTSP oleh bentuk undang-undang dan berbagai keputusan
pemerintah provinsi dilaksanakan oleh Badan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan
Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu sebanyak mungkin memerhatikan kepentingan
Satu Pintu (BPMPTSP) Provinsi berdasarkan rakyat. Sedangkan gagasan negara hukum
pendelegasian wewenang perizinan dan menuntut agar penyelenggaraan kenegaraan
nonperizinan yang menjadi urusan pemerintah dan pemerintahan berdasarkan kepada undang-
provinsi dari gubernur kepada Kepala BPMPTSP undang dan memberikan jaminan terhadap
Provinsi. Di beberapa daerah telah dikeluarkan hak dasar rakyat. Asas legalitas menjadi dasar
Peraturan Gubernur sebagai pelaksanaan dari legitimasi tindakan pemerintah dan jaminan
Pasal 10 Peratuan Presiden Nomor 97 Tahun perlindungan dari hak-hak rakyat. Dengan kata
2014. lain, setiap penyelenggaran kenegaraan dan
Berdasarkan beberapa hal tersebut, tulisan pemerintahan harus memiliki asas legitimasi,
ini hendak mengangkat pokok permasalahan, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-
pertama, apakah yang menjadi urgensi perizinan undang.22
TKA dilakukan di Pelayanan Terpadu Satu Menurut Indroharto, tanpa adanya dasar
Pintu; kedua, bagaimana pengaturan perizinan wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan
TKA melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu; perundang-undangan yang berlaku, maka
ketiga, bagaimana efektivitas pelaksanaan 21
Perkembangan asas legalitas telah dimulai sejak munculnya
perizinan TKA melalui PTSP di daerah? konsep negara hukum klasik formele rechtsstaat atau
Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut liberale rechtsstaat yaitu wetmatigheid van bestuur artinya
maka tujuan penulisan ini adalah pertama, untuk menurut undang-undang. Setiap tindakan pemerintah
harus berdasarkan kepada undang-undang. Sebagaimana
mengetahui urgensi perizinan TKA dilakukan
yang dikemukakan H.D. Van Wijk 40 “Wetmatigheid
di PTSP; kedua, untuk mengetahui pengaturan van bestuur: de uitvoerende macht bazit uitsluitend die
perizinan TKA melalui PTSP; ketiga, untuk bevoegdheden welke haar uitdrukkelijk door de grondwet of
mengetahui efektivitas pelaksanaan perizinan door een andere wet zijn toegeken” (Pemerintahan menurut
undang-undang: pemerintah mendapatkan kekuasaan
TKA melalui PTSP di daerah. Selain itu
yang diberikan kepadanya oleh undang-undang atau
tulisan ini diharapkan dapat meningkatkan undang-undang dasar). Perancis mengenalnya sebagai
pemahaman dan wawasan pembaca di bidang le principle de la le’galite de I’adminitration; Jerman
hukum, khususnya berkaitan dengan perizinan menyebutnya dengan gesetzmassigkeit der verwaltung dan
bagi Inggris adalah merupakan bagian dari the rule of law.
TKA melalui PTSP.
(Lihat Lukman Hakim, “Kewenangan Organ Negara
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan”, Jurnal Konstitusi,
Vol. IV, No.1, Juni 2011, hal. 103-130).
20
Pasal 42 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 22
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum
35 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan Menteri
Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik,
Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata
Bandung: Penerbit Nuansa, 2012, hal. 133-137.
Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

MONIKA SUHAYATI: Pelaksanaan Perizinan Tenaga Kerja Asing... 61


segala macam aparat pemerintah itu tidak akan b. Tanggung jawab dan tanggung gugat
memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi beralih kepada penerima wewenang
atau mengubah keadaan atau posisi hukum delegasi (delegataris).
warga masyarakatnya.23 Penerapan asas c. Pemberi wewenang delegasi (delegans)
legalitas, menurut Indroharto, akan menunjang tidak dapat menggunakan wewenang itu
berlakunya kepastian hukum dan kesamaan lagi kecuali setelah ada pencabutan dengan
perlakuan. Kesamaan perlakuan terjadi karena berpegang pada asas “contrarius actus”.
setiap orang yang berada dalam situasi seperti d. Naskah dinas tidak menggunakan “a.n.”
yang ditentukan dalam ketentuan undang- atau naskah dinas lainnya namun langsung.
undang itu berhak dan berkewajiban untuk Berdasarkan Pasal 1 angka 23 Undang-
berbuat seperti apa yang ditentukan dalam Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
undang-undang tersebut. Sementara kepastian Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi
hukum akan terjadi karena suatu peraturan Pemerintahan), delegasi adalah pelimpahan
dapat membuat semua tindakan yang akan kewenangan dari badan dan/atau pejabat
dilakukan pemerintah bisa diramalkan atau pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan
diperkirakan terlebih dahulu. Dengan melihat dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih
kepada peraturan yang berlaku, dapat dilihat rendah dengan tanggung jawab dan tanggung
atau diharapkan apa yang akan dilakukan gugat beralih sepenuhnya kepada penerima
oleh aparat pemerintahan yang bersangkutan delegasi. Lebih lanjut berdasarkan Pasal 6
sehingga warga masyarakat bisa menyesuaikan ayat (1) dan ayat (2) huruf f UU Administrasi
dengan keadaan tersebut.24 Pemerintahan, pejabat pemerintahan memiliki
Wewenang delegasi merupakan istilah yang hak untuk menggunakan kewenangan dalam
dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang mengambil keputusan dan/atau tindakan.
dari badan yang satu ke badan yang lainnya. Pasal 13 UU Administrasi Pemerintahan
Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa istilah mengatur badan dan/atau pejabat pemerintahan
delegasi berasal dari bahasa Latin delegare memperoleh wewenang melalui delegasi
yang artinya melimpahkan. Dengan demikian apabila:
konsep wewenang delegasi adalah wewenang a. diberikan oleh badan/pejabat pemerintahan
pelimpahan. Lebih lanjut Philipus M. Hadjon kepada badan dan/atau pejabat
mengemukakan karakteristik wewenang pemerintahan lainnya;
delegasi, yakni sebagai berikut :
25
b. ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah,
a. Prosedur pelimpahannya dari suatu organ Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan
pemerintahan kepada organ lain dengan Daerah; dan
peraturan perundang-undangan. c. merupakan wewenang pelimpahan atau
23
Lukman Hakim, “Kewenangan Organ Negara Dalam
sebelumnya telah ada.
Penyelenggaraan Pemerintahan”, Jurnal Konstitusi, Vol. Kewenangan yang telah didelegasikan
IV, No.1, Juni 2011, hal. 103-130.
24
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang
kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan
Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Sinar Harapan, tidak dapat didelegasikan lebih lanjut, kecuali
1993, hal. 83 dalam Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik ditentukan lain dalam peraturan perundang-
Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan undangan. Dalam hal ketentuan peraturan
Pelayanan Publik, Bandung: Penerbit Nuansa, 2012, hal.
133-134.
perundang-undangan menentukan lain,
25
Philipus M. Hadjon, Hukum Administrasi dan Good badan dan/atau pejabat pemerintahan yang
Governance, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, memperoleh wewenang melalui delegasi dapat
2010, hal. 20 dikutip tidak langsung oleh Moh. Saleh, mensubdelegasikan tindakan kepada badan
“Kewenangan Pemerintahan Desa dalam Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”, e-Journal The
dan/atau pejabat pemerintahan lain dengan
Spirit of Low, Vol. 1 No. 1 Maret 2015, hal. 16-26. ketentuan:

62 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


a. dituangkan dalam bentuk peraturan baik dari luar maupun dalam negeri sehingga
sebelum wewenang dilaksanakan; akan membuka lapangan pekerjaan baru.
b. dilakukan dalam lingkungan pemerintahan Selain itu, penduduk Indonesia akan dapat
itu sendiri; dan mencari pekerjaan di negara ASEAN lainnya
c. paling banyak diberikan kepada badan dan/ dengan aturan yang relatif akan lebih mudah
atau pejabat pemerintahan satu tingkat di dengan adanya MEA. Adapun dampak negatif
bawahnya. dari MEA, yaitu dengan adanya pasar barang
dan jasa secara bebas akan mengakibatkan
II. URGENSI PERIZINAN TENAGA TKA dengan mudah masuk dan bekerja di
KERJA ASING DI PELAYANAN Indonesia sehingga mengakibatkan persaingan
TERPADU SATU PINTU tenaga kerja yang semakin ketat di bidang
Penggunaan TKA merupakan konsekuensi ketenagakerjaan. Saat MEA berlaku, di bidang
komitmen Indonesia selaku anggota World ketenagakerjaan ada delapan profesi yang telah
Trade Organization (WTO) dan keikutsertaan disepakati untuk dibuka, yaitu insinyur, arsitek,
Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN perawat, tenaga survei, tenaga pariwisata,
2015 (ASEAN Economic Community 2015). praktisi medis, dokter gigi, dan akuntan.28
Sebagai anggota WTO, Indonesia harus Oleh karena itu, TKA di Indonesia
membuka pasarnya terhadap perdagangan merupakan suatu kebutuhan sekaligus tantangan
barang dan jasa dari negara anggota WTO yang tidak dapat dihindari lagi, karena negara
lainnya. Indonesia tidak lagi dapat menutup kita membutuhkan TKA pada berbagai sektor.
diri dari masuknya barang-barang dan jasa-jasa Kehadiran TKA dalam perekonomian nasional
asing ke Indonesia, salah satunya adalah TKA.26 suatu negara mampu menciptakan kompetisi
Selain itu, Indonesia sebagai anggota ASEAN yang bermuara pada efisiensi dan meningkatkan
telah ikut dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN daya saing perekonomian. Sedangkan secara
(MEA) sejak akhir tahun 2015. Liberalisasi filosofis dan spirit globalisasi, penggunaan TKA
arus tenaga kerja merupakan salah satu elemen pada negara berkembang dimaksudkan untuk
penting dalam cetak biru (blueprint) MEA. Pada alih pengetahuan (transfer of knowledge) dan
liberalisasi arus tenaga kerja terjadi pembebasan alih teknologi (transfer of technology).29
arus tenaga kerja ahli terbatas sampai tahun Berdasarkan data dari Pusat Penelitian
2020, selebihnya keseluruhan tenaga kerja (baik Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan
yang ahli maupun kurang ahli) bisa melakukan Indonesia, perizinan dan non perizinan yang
migrasi dengan bebas, tanpa memerlukan visa sudah didelegasikan ke PTSP Pusat BKPM,
kerja khusus dan perizinan yang menyulitkan salah satunya adalah bidang ketenagakerjaan
banyak tenaga kerja dari negara berkembang sebagaimana dalam Tabel 1.30
di ASEAN untuk mendokumentasikan data Urgensi perizinan TKA dilakukan di PTSP
dirinya secara legal.27 setidaknya dapat dipahami dengan beberapa
Keikutsertaan Indonesia dalam MEA alasan sebagai berikut, pertama, dengan
membawa dampak positif maupun negatif bagi menempatkan perizinan TKA di PTSP maka
Indonesia. Dampak positifnya dengan adanya 28
Bagus Prasetyo, “Menilik Kesiapan Dunia Ketenagakerjaan
MEA akan memacu pertumbuhan investasi Indonesia Menghadapi MEA”, Jurnal Rechtsvinding Online,
26
Frankiano B. Randang, “Kesiapan Tenaga Kerja Indonesia 2014, hal. 1-7.
Dalam Menghadapi Persaingan Dengan Tenaga Kerja
29
Budi S. P. Nababan, Perlunya Perda tentang Retribusi, hal.
Asing”, Servanda Jurnal Ilmiah Hukum, Vol. 5, No. 1, 297-309.
Januari 2011, hal. 66-73.
30
Maxensius Tri Sambodo, Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
27
Budi S. P. Nababan, “Perlunya Perda tentang Retribusi 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Bahan Presentasi
Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing dalam rangka Diskusi Pakar Pemantauan Pelaksanaan
di Tengah Liberalisasi Tenaga Kerja Masyarakat Ekonomi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
ASEAN 2015:”, Jurnal Rechts Vinding BPHN, Vol. 3 No. Modal, Pusat Pemantauan dan Pelaksanaan Undang-Undang,
2, Agustus 2014, hal. 297-309. Badan Keahlian DPR RI, 9 Agustus 2016.

MONIKA SUHAYATI: Pelaksanaan Perizinan Tenaga Kerja Asing... 63


Tabel 1. Perizinan dan Non Perizinan yang Sudah Didelegasikan ke PTSP Pusat BKPM
Jumlah Izin yang
No Kementerian/LPNK Peraturan Terkait
Didelegasikan
1 Kementerian Ketenagakerjaan 3 Permenaker No. 25 Tahun 2014 , tgl 18 Desember 2014
2 Kementerian Lingkungan 17 Permenhut No. 97/Menhut-II/2014, tgl 24 Desember
Hidup dan Kehutanan 2014 dan Permen LH-K No. P.1/Menhut-II/2015, tgl
27 Januari 2015
3 Kementerian PU & PERA 7 Permen PU-Pera No. 22/PRT/M/2014, tgl 29
Desember 2014
4 Kementerian Perdagangan 9 Permendag No. 96/M.DAG/PER/12/2014, tgl 24
Desember 2014 dan Permendag No. 10/M-DAG/
PER/1/2015, tgl 29 Januari 2015
5 Kementerian Energi dan 10 Permen ESDM No. 35 Tahun 2014, tgl 19 Desember
Sumber Daya Mineral 2014 (Ketenagalistrikan)
42 (bertahap) Permen ESDM No. 23 Tahun 2015, tgl 31 Juli 2015
(Minyak Bumi dan Gas)
11 Permen ESDM No. 25 Tahun 2015, tgl 12 Agustus
2015 (Mineral dan Batu bara)
6 Kementerian Keuangan 1 Permenkeu No. 258/PMK.011/2014, tgl 30 Desember
(Pajak dan Bea Cukai) 2014
7 Kepolisian RI 6 Skep No. POL: SKEP/638/XII/2009, tgl 23 Desember
2009
8 Kementerian Perindustrian 6 Permerin No. 122/M-IND/PER/12/2014, tgl 15
Desember 2014
9 Kementerian Pertanian 5 Kepmentan No. 1312/Kpts/KP.340/12/2014, tgl 29
Desember 2014.
10 Kementerian Perhubungan 7 Permenhub No. PM 3 Tahun 2015, tgl 6 Januari 2015
11 Kementerian Pariwisata 20 Permenpar No. 2 Tahun 2014, tgl 16 Desember 2014
dan Permenpar No. 1 Tahun 2015, tgl 19 Januari 2015
12 Kementerian Kominfo 5 Permenkominfo No. 40 Tahun 2014, tgl 19 Desember
2014
13 Kementerian Kesehatan 9 Permenkes No. 93 Tahun 2014, tgl 19 Desember 2014
14 Kementerian Dikbud 1 Permendikbud No. 69 Tahun 2014, tgl 17 Juli 2014
15 Kementerian Kelautan dan 1 Permen KKP No. 3/PERMEN-KP/2015, tgl 15 Januari
Perikanan 2015
16 Kementerian Agraria dan/ 0 Permen ATR/Ka BPN No. 15 Tahun 2014, tgl 29
BPN Desember 2014 (layanan gambaran dan informasi
ketersediaan/status lahan)
17 Kementerian Hukum dan 0
HAM (Dirjen Imigrasi)
18 Kementerian Pertahanan 0 Memberikan layanan konsultasi perizinan dan non
19 Lembaga Sandi Negara 0 perizinan terkait penanaman modal
20 BSN 0
21 BPOM 0
22 PLN Masih belum menempatkan pejabatnya di PTSP Pusat
BKPM
Sumber: Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, 2016.

64 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


diharapkan tercipta penyederhanaan dan Tabel 2. Peningkatan Investasi dan Penyerapan
percepatan penyelesaian perizinan TKA sesuai Tenaga Kerja
tujuan dari pelayanan di PTSP. Di pusat, menurut (Januari-September 2015)
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No Item Jumlah
Franky Sibarani, dalam periode Januari-Desember 1 Peningkatan investasi 16,7%
2015, PTSP pusat telah menerbitkan 17.238 izin.
2 Peningkatan penyerapan 10,4%
Apabila diambil rata-ratanya secara kasar artinya tenaga kerja
setiap bulannya terdapat 1.436 izin lebih yang
3 Peningkatan investasi 16,8%
diterbitkan oleh PTSP pusat. Hal ini menunjukkan asing (PMA)
PTSP mendapatkan respon yang positif dari
4 Peningkatan investasi 16,5%
dunia usaha. IMTA dan RPTKA menjadi salah
domestik (PMDN)
satu produk perizinan yang akan diberikan pada
investor dalam layanan izin investasi 3 (tiga) jam. 5 Realisasi investasi 77% atau
Rp519,5 triliun
Produk izin lainnya yaitu izin investasi, Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP), Akta Pendirian 6 Penyerapan tenaga kerja 1,4 juta tenaga kerja
Perusahaan dan SK Pengesahan dari Kementerian Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2016, diolah.
Hukum dan HAM, Tanda Daftar Perusahaan BKPM kembali mengumumkan peningkatan
(TDP), Angka Pengenal Importir Produsen investasi pada akhir April 2017. Realisasi
(API-P), dan Nomor Induk Kepabeanan (NIK).31 investasi pada triwulan pertama (Januari-
Alasan berikutnya, dengan adanya Maret) 2017 mencapai Rp165,8 triliun. Angka
percepatan penyelesaian perizinan TKA maka ini naik 13,2% dibanding periode yang sama di
akan meningkatkan investasi di Indonesia. 2016 sebesar Rp146,5 triliun. Selama triwulan-I
Peningkatan investasi akan diikuti dengan 2017, realisasi PMDN mencapai Rp68,8 triliun,
penciptaan lapangan kerja baru dan pada naik 36,4% dibanding periode yang sama di
akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan 2016. Sedangkan PMA sebesar Rp97 triliun
warga negara. Masih menurut Franky atau naik 0,94% dibanding triwulan-I 2016.
Sibarani, dengan program-program perbaikan Kepala BKPM Thomas Lembong, menyatakan
penyederhanaan perizinan yang dilakukan akan optimis dapat mengejar target realisasi investasi
semakin menarik minat bagi investor untuk tahun ini yang sebesar Rp678,8 triliun. Investasi
menanamkan modalnya di Indonesia. Layanan yang masuk selama 3 (tiga) bulan pertama
izin investasi 3 (tiga) jam diproyeksikan tahun 2017 menghasilkan lapangan kerja untuk
menjadi salah satu program andalan BKPM 194.134 orang, yang terdiri dari proyek PMDN
untuk menarik investor. Untuk mendapatkan sebanyak 67.807 tenaga kerja dan dari PMA
layanan tersebut, persyaratannya yaitu investasi 126.327 tenaga kerja. Sebaran investasi di luar
Rp100 miliar dan/atau menyerap 1.000 tenaga Jawa juga semakin meningkat menjadi Rp75,3
kerja. Investor akan mendapatkan 8 (delapan) triliun atau 45,4% dari total investasi. Realisasi
produk perizinan plus 1 (satu) surat booking investasi di Pulau Jawa sebesar Rp90,5 triliun
tanah (apabila diperlukan).32 atau 54,6% dari total investasi.34 Peningkatan
Sejak peluncuran PTSP oleh Presiden investasi dimaksud dapat dilihat pada Tabel 3.
Joko Widodo pada 26 Januari 2015, terjadi
peningkatan investasi yang signifikan III. PENGATURAN PERIZINAN TENAGA
sebagaimana terdapat dalam Tabel 2. 33
KERJA ASING MELALUI PELAYANAN
31
Badan Koordinasi Penanaman Modal, 8 Januari 2016, TERPADU SATU PINTU
“Siaran Pers: PTSP Pusat Telah Menerbitkan 17.238 Perizinan TKA melalui PTSP diatur dalam
Izin”, http://www2.bkpm.go.id/images/uploads/file_ UU Ketenagakerjaan dan UU Penanaman
siaran_pers/Siaran_Pers_BKPM_08012016-_PTSP_
Terbitkan_17.238_Izin.pdf , diakses tanggal 27 April 2016. 34
Michael Agustinus, 26 April 2017, “Investasi Rp 165 T
32
Ibid.
Masuk RI”.
33
Ibid.

MONIKA SUHAYATI: Pelaksanaan Perizinan Tenaga Kerja Asing... 65


Tabel 3. Peningkatan Investasi dan Penyerapan Tenaga Kerja
(Januari-Maret 2017)
No Item Prosentase Januari-Maret 2017
1 Peningkatan investasi asing (PMA) 0,94% Rp.97 triliun
2 Peningkatan investasi domestik (PMDN) 36,4% Rp.68,8 triliun
3 Peningkatan penyerapan tenaga kerja 194.134 tenaga kerja (67.807 dari proyek PMDN
dan 126.327 dari proyek PMA)
4 Pencapaian target realisasi investasi 13,2% Rp.165,8 triliun
5 Sebaran investasi di di luar Jawa 45,4% Rp.75,3 triliun
6 Realisasi investasi di Pulau Jawa 54,6% Rp.90,5 triliun
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2016, diolah.

Modal. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan, perusahaan, jabatan, lokasi kerja, jumlah TKA;


perizinan penggunaan TKA dilakukan dan/atau kewarganegaraan. Perpanjangan
melalui dua tahap, yaitu tahap proses RPTKA dan/atau perubahan RPTKA wajib mendapat
dan IMTA. Kewajiban bagi pemberi kerja pengesahan dari Menteri Ketenagakerjaan
yang menggunakan TKA memiliki RPTKA atau pejabat yang ditunjuk; atau gubernur atau
diatur berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU pejabat yang ditunjuk, sesuai dengan ketentuan
Ketenagakerjaan, dikecualikan bagi instansi peraturan perundang-undangan.37 Lebih
pemerintah, badan-badan internasional dan jelasnya pengaturan RPTKA sebagaimana
perwakilan negara asing.35 RPTKA tersebut dalam Tabel 4.
disahkan oleh Menteri Ketenagakerjaan atau Selain RPTKA, setiap pemberi kerja TKA
pejabat yang ditunjuk. wajib memiliki IMTA yang diterbitkan oleh
Berdasarkan pengertian dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang
Presiden Nomor 72 Tahun 2014, RPTKA ditunjuk, dengan pengecualian perwakilan
adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan negara asing yang menggunakan TKA sebagai
tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja TKA pegawai diplomatik dan konsuler.38 Berdasarkan
untuk jangka waktu tertentu yang disahkan pengertiannya, IMTA adalah izin tertulis yang
oleh Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat diberikan oleh Menteri Ketenagakerjaan atau
yang ditunjuk.36 Untuk memiliki RPTKA, pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja
pemberi kerja TKA harus mengajukan TKA.39 Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Peraturan
permohonan secara tertulis kepada Menteri Menteri Ketenagakerjaan Nomor 35 Tahun
Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk. 2015 tentang Perubahan Peraturan Menteri
RPTKA tersebut digunakan sebagai dasar untuk Ketenagakerjaan, kewenangan penerbitan
memperoleh IMTA. RPTKA dapat diberikan IMTA baru, didelegasikan kepada Direktur.
untuk jangka waktu paling lama lima tahun dan IMTA diberikan untuk jangka waktu paling
dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang.
sama dengan memperhatikan kondisi pasar
37
Pasal 5 dan Pasal 7 Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun
kerja dalam negeri. RPTKA dapat dilakukan
2014 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing serta
perubahan, meliputi alamat perusahaan, nama Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja
Pendamping.
35
Ketentuan ini diatur lebih lanjut pada Pasal 5 Peraturan 38
Pasal 8 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2014
Presiden Nomor 72 Tahun 2014 tentang Penggunaan tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing serta Pelaksanaan
Tenaga Kerja Asing serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping.
Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping. 39
Pasal 1 angka 5 Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2014
36
Pasal 1 angka 4 Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2014 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing serta Pelaksanaan
tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping.
Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping.

66 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Tabel 4. Pengaturan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA)
No Pengaturan UU Ketenagakerjaan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2014
1 Pengertian RPTKA adalah rencana penggunaan TKA
RPTKA pada jabatan tertentu yang dibuat oleh pemberi
kerja TKA untuk jangka waktu tertentu yang
disahkan oleh Menteri Ketenagakerjaan atau
pejabat yang ditunjuk. (Pasal 1 angka 4)
2 Pengesahan Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat Menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 5
RPTKA yang ditunjuk (Pasal 43 ayat 1). ayat 1)
3 Materi muatan RPTKA sekurang-kurangnya memuat
RPTKA keterangan:
a. alasan penggunaan TKA;
b. jabatan dan/atau kedudukan
TKA dalam struktur organisasi
perusahaan yang bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan TKA;
dan
d. penunjukan tenaga kerja
warga negara Indonesia
sebagai pendamping TKA yang
dipekerjakan.
(Pasal 43 ayat (2))
4 Proses Pemberi kerja TKA mengajukan permohonan
Memperoleh secara tertulis kepada Menteri Ketenagakerjaan
RPTKA atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 5 ayat (2)).
5 Jangka waktu Paling lama lima tahun dan dapat diperpanjang
RPTKA untuk jangka waktu yang sama dengan
memperhatikan kondisi pasar kerja dalam
negeri (Pasal 7 ayat (1)).
6 Pengesahan Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang
Perpanjangan/ ditunjuk; atau gubernur atau pejabat yang
Perubahan ditunjuk, sesuai dengan ketentuan peraturan
RPTKA perundang-undangan (Pasal 7 ayat (3)).
Sumber: UU Ketenagakerjaan dan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2014, diolah.

Perpanjangan diberikan paling lama 1 (satu) alih status ITAS menjadi Izin Tinggal Tetap
tahun dengan ketentuan tidak melebihi (ITAP), dan (e) perpanjangan ITAP.41
jangka waktu berlakunya RPTKA. Dalam hal Untuk mendapatkan IMTA, berdasarkan
jabatan komisaris dan direksi, perpanjangan Pasal 47 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
IMTA diberikan paling lama 2 (dua) tahun pemberi kerja TKA wajib membayarkan Dana
dengan ketentuan tidak melebihi jangka waktu Kompensasi Penggunaan TKA (DKP TKA)
berlakunya RPTKA.40 IMTA akan menjadi dasar melalui Bank Pemerintah yang ditunjuk oleh
untuk pengajuan (a) penerbitan persetujuan Menteri Ketenagakerjaan. Yang dimaksud
visa, (b) pemberian dan perpanjangan Izin dengan Dana Kompensasi Penggunaan Tenaga
Tinggal Terbatas (ITAS), (c) alih status izin Kerja Asing (DKP-TKA) adalah kompensasi
tinggal kunjungan (ITK) menjadi (ITAS), (d)
41
Pasal 39 ayat (3) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
40
Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2014 tentang Nomor 35 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan
Penggunaan Tenaga Kerja Asing serta Pelaksanaan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping. Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

MONIKA SUHAYATI: Pelaksanaan Perizinan Tenaga Kerja Asing... 67


yang harus dibayar oleh pemberi kerja TKA dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan
kepada negara atas penggunaan TKA.42 DKP- peraturan perundang-undangan diatur dalam
TKA ditetapkan sebesar US$100 (seratus Pasal 10 UU Penanaman Modal.
dollar Amerika) per-jabatan/bulan untuk setiap Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor
TKA yang dibayarkan dimuka. Pemberi kerja 25 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan
TKA yang mempekerjakan TKA kurang dari Terpadu Satu Pintu Bidang Ketenagakerjaan
1 (satu) bulan wajib membayar DKP-TKA di Bidang Koordinasi Penanaman Modal
sebesar 1 (satu) bulan penuh. Pembayaran (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
DKP-TKA dilakukan oleh pemberi kerja TKA Nomor 25 Tahun 2014) mengatur dalam
dan disetorkan pada rekening DKP-TKA menyelenggarakan PTSP di bidang
pada Bank Pemerintah yang ditunjuk Menteri ketenagakerjaan, Menteri Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan. DKP-TKA merupakan mendelegasikan kewenangan penerbitan izin
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).43 usaha di bidang ketenagakerjaan yang menjadi
Lebih jelasnya pengaturan IMTA sebagaimana kewenangan Pemerintah pusat kepada Kepala
dalam Tabel 5. BKPM; dan menugaskan pejabat kementerian
Perizinan di bidang ketenagkerjaan, di BKPM untuk menerima dan menandatangani
termasuk penerbitan IMTA dan perizinan yang kewenangannya tidak dapat
perpanjangannya, merupakan salah satu dilimpahkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perizinan yang diproses di PTSP44 berdasarkan perundang-undangan.45
Pasal 25 ayat (4) dan (5) UU Penanaman Modal Kewenangan yang didelegasikan kepada
jo. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 Kepala BKPM merupakan izin usaha di bidang
dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor ketenagakerjaan yang di dalamnya terdapat
25 Tahun 2014. Hak perusahaan penanaman kepemilikan modal asing, ruang lingkupnya
modal untuk menggunakan TKA untuk jabatan lintas provinsi, dan/atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan menjadi
42
Pasal 1 angka 7 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
Nomor 35 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan kewenangan Pemerintah. Izin usaha yang
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 tentang dimaksud yaitu Izin Usaha Jasa Penempatan
Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Tenaga Kerja Indonesia di Dalam Negeri,
43
Pasal 38 dan Pasal 40 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
Izin Usaha Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh,
Nomor 35 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 tentang dan Izin Usaha Pelatihan Kerja. Dalam hal
Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing. izin usaha memerlukan izin operasional,
44
Perizinan TKA di PTSP juga perlu memperhatikan Menteri Ketenagakerjaan menugaskan pejabat
dan mempertimbangkan Standar Kompetensi Kerja
Kementerian Ketenagakerjaan di BKPM
Indonesia (SKKNI), Sertifikasi Profesi dan Daftar Negatif
Investasi (DNI). SKKNI adalah rumusan kemampuan dengan status Bawah Kendali Operasi (BKO).46
kerja yang mencakup aspek pengetahuan (knowledge), Sedangkan perizinan yang kewenangannya
keterampilan dan/atau keahlian (skills) serta sikap kerja tidak dapat dilimpahkan yaitu penerbitan IMTA
(attitude) yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan
baru, dan penerbitan IMTA perpanjangan
syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari
Standar ISO 9001:2000 dan ISO 9001:2008 atau satu wilayah provinsi. Penerbitan izin tersebut
Standar ISO 14001:2004, dinyatakan: “certification” pelaksanaannya dilakukan dengan menugaskan
refers to the issuing of written assurance (the certificate)
by an independent external body that it has audited a 45
Pasal 2 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 25
management system and verified that it conforms to the
Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan Terpadu
requirements specified in the standard.” (http://www.iso.
Satu Pintu Bidang Ketenagakerjaan di Bidang Koordinasi
org). DNI menurut Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun
Penanaman Modal.
2014 meliputi bidang usaha yang tertutup; bidang usaha 46
Pasal 3 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 25
yang terbuka dengan persyaratan, bidang usaha yang
Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan Terpadu
dicadangkan atau kemitraan dengan Usaha Mikro, Kecil
Satu Pintu Bidang Ketenagakerjaan di Bidang Koordinasi
dan Menengah serta Koperasi; bidang usaha yang terbuka
Penanaman Modal.
dengan persyaratan tertentu.

68 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Tabel 5. Pengaturan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA)
Peraturan Presiden Nomor Permenaker Nomor 35
No. Pengaturan UU Ketenagakerjaan
72 Tahun 2014 Tahun 2015
1 Kewenangan Setiap pemberi kerja Menteri Ketenagakerjaan IMTA pertama kali diterbitkan
Penerbitan yang mempekerjakan atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur (Pasal 37 ayat
IMTA Baru TKA wajib memiliki (Pasal 8 ayat (1)). (1)).
izin tertulis dari
Menteri
Ketenagakerjaan atau
pejabat yang ditunjuk
(Pasal 42 (1)).
2 Pengertian Izin tertulis yang diberikan
oleh Menteri Ketenagakerjaan
atau pejabat yang ditunjuk
kepada pemberi kerja TKA
(Pasal 1 angka 5).
3 Jangka waktu Paling lama satu tahun
dan dapat diperpanjang.
Perpanjangan paling lama
satu tahun dengan ketentuan
tidak melebihi jangka waktu
berlakunya RPTKA. Dalam
hal jabatan komisaris dan
direksi, perpanjangan IMTA
diberikan paling lama dua
tahun dengan ketentuan
tidak melebihi jangka waktu
berlakunya RPTKA (Pasal 9).
4 Kewenangan (a) Direktur untuk TKA yang
Penerbitan lokasi kerjanya lebih dari
Perpanjangan satu wilayah provinsi;
IMTA (b) Kepala Dinas Provinsi,
untuk TKA yang lokasi
kerjanya lintas kabupaten/
kota dalam satu provinsi;
atau
(c) Kepala Dinas Kabupaten/
Kota, untuk TKA yang
lokasi kerjanya dalam satu
wilayah kabupaten/kota.
(Pasal 42)
5 Perpanjangan Pemberi kerja TKA wajib
IMTA di PTSP mendapatkan rekomendasi
Provinsi atau dari Dinas Provinsi atau Dinas
Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota. (Pasal 45).
6 Kewajiban Pemberi kerja TKA DKP-TKA sebesar US$100
Pembayaran wajib membayarkan per-jabatan/bulan untuk setiap
Dana Dana Kompensasi TKA, dibayarkan dimuka.
Kompensasi Penggunaan TKA Pembayaran DKP-TKA
Penggunaan (DKP TKA) melalui dilakukan oleh pemberi kerja
TKA (DKP Bank Pemerintah yang TKA dan disetorkan pada
TKA) ditunjuk oleh Menteri rekening DKP-TKA pada Bank
Ketenagakerjaan (Pasal Pemerintah yang ditunjuk
47 ayat (1)). Menteri Ketenagakerjaan.
(Pasal 38 dan Pasal 40).
Sumber: UU Ketenagakerjaan, Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2014, Permenaker Nomor 35 Tahun 2015, diolah.

MONIKA SUHAYATI: Pelaksanaan Perizinan Tenaga Kerja Asing... 69


pejabat Kementerian Ketenagakerjaan yang a. urusan pemerintah provinsi yang diatur
ditempatkan di BKPM dengan status BKO. dalam perundang-undangan;
Penugasan pejabat tersebut ditetapkan dengan b. urusan pemerintahan provinsi yang ruang
Keputusan Menteri. BKO yang dimaksud lingkupnya lintas kabupaten/kota; dan
merupakan bentuk penugasan pejabat yang c. urusan pemerintah yang diberikan
secara administratif, termasuk gaji, masih pelimpahan wewenang kepada gubernur.
berada pada Kementerian Ketenagakerjaan, Penyelenggaraan PTSP oleh pemerintah
dan tunjangan kinerja serta kendali operasi provinsi dilaksanakan oleh BPMPTSP Provinsi
mengikuti ketentuan di instansi penempatan.47 berdasarkan pendelegasian wewenang perizinan
Kepala BKPM menerbitkan izin usaha dan nonperizinan yang menjadi urusan
untuk dan atas nama Menteri Ketenagakerjaan. pemerintah provinsi dari gubernur kepada
Penerbitan izin usaha tersebut dengan tembusan Kepala BPMPTSP Provinsi.49
disampaikan kepada Menteri Ketenagakerjaan. Di tingkat kabupaten/kota, penyelenggaraan
Dalam rangka melaksanakan kewenangan PTSP oleh pemerintah kabupaten/kota
perizinan di bidang Ketenagakerjaan, Kepala mencakup urusan pemerintahan kabupaten/
BKPM berpedoman pada: kota dalam penyelenggaraan perizinan dan
a. daftar bidang usaha yang tertutup dan nonperizinan yang diselenggarakan dalam
bidang usaha yang terbuka dengan PTSP, yaitu terdiri atas:
persyaratan di bidang penanaman modal; a. urusan pemerintah kabupaten/kota yang
dan diatur dalam peraturan perundang-
b. norma, standar, prosedur, dan kriteria undangan; dan
mengenai tata cara perizinan yang b. urusan pemerintah yang diberikan pelimpahan
ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan.48 wewenang kepada bupati/walikota.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. Penyelenggaraan PTSP oleh pemerintah
25 Tahun 2014 kemudian diikuti dengan kabupaten/kota dilaksanakan oleh BPMPTSP
penerbitan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Kabupaten/Kota berdasarkan pendelegasian
Nomor 3 Tahun 2015 tentang Standar wewenang perizinan dan nonperizinan yang
Operasional Prosedur Penerbitan Perizinan menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota
Penggunaan Tenaga Kerja Asing Dalam dari bupati/walikota kepada Kepala BPMPTSP
Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Badan Kabupaten/Kota.50 Untuk lebih jelas,
Koordimasi Penanaman Modal pada tanggal 26 pengaturan perizinan ketenagakerjaan di PTSP
Januari 2015. Peraturan Menteri ini merupakan disajikan dalam bentuk tabel, sebagaimana
pelaksanaan ketentuan Pasal 4 huruf b dalam Tabel 6.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 25 Di BKPM, penerbitan IMTA menjadi
Tahun 2014. salah satu produk perizinan investasi yang akan
Di tingkat provinsi, penyelenggaraan PTSP diberikan pada investor dalam layanan izin
oleh pemerintah provinsi mencakup urusan investasi 3 (tiga) jam, dengan alur perizinan
pemerintahan provinsi dalam penyelenggaraan sebagaimana dalam Bagan 2.
perizinan dan nonperizinan yang diselenggarakan Di daerah, beberapa provinsi telah memiliki
dalam PTSP, yaitu terdiri atas: peraturan yang mengatur PTSP. Di Provinsi
Bali telah diterbitkan Peraturan Gubernur Bali
47
Pasal 6 dan Pasal 7 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
Nomor 25 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Terpadu Satu Pintu Bidang Ketenagakerjaan di Bidang Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang telah
Koordinasi Penanaman Modal.
48
Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan 49
Pasal 10 Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2014 tentang
Nomor 25 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Terpadu Satu Pintu Bidang Ketenagakerjaan di Bidang 50
Pasal 11 Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2014 tentang
Koordinasi Penanaman Modal. Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

70 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Tabel 6. Pengaturan Perizinan Tenaga Kerja Asing di PTSP
Peraturan Presiden No. 97 Permenaker No. 25
No Pengaturan UU Penanaman Modal
Tahun 2014 Tahun 2014
1 Dasar Hukum Perusahaan penanaman modal
Penggunaan TKA berhak menggunakan
tenaga ahli warga negara asing
untuk jabatan dan
keahlian tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. (Pasal
10)
2 Dasar Hukum PTSP Perusahaan penanaman modal
yang akan melakukan
kegiatan usaha wajib
memperoleh izin sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan dari
instansi
yang memiliki kewenangan,
kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang.
Izin sebagaimana dimaksud
diperoleh
melalui PTSP. (Pasal 25 ayat
(4) dan (5))
3 Pengertian PTSP Pelayanan secara terintegrasi
dalam satu
kesatuan proses dimulai dari
tahap permohonan sampai
dengan tahap penyelesaian
produk pelayanan melalui satu
pintu.
(Pasal 1 angka 1)
4 Izin di Bidang a. Izin Usaha Jasa
Ketenagakerjaan yang Penempatan Tenaga
Didelegasikan kepada Kerja Indonesia di
Kepala BKPM Dalam Negeri
b. Izin Usaha Penyediaan
Jasa Pekerja/Buruh
c. Izin Usaha Pelatihan
Kerja.
(Pasal 2 huruf a, Pasal 3,
dan Lampiran I)
5 Izin di Bidang a. Penerbitan IMTA
Ketenagakerjaan baru.
yang tidak dapat b. Penerbitan IMTA
didelegasikan, dilakukan perpanjangan untuk
dengan mekanisme TKA yang lokasi
BKO yaitu menugaskan kerjanya lebih dari 1
pejabat Kementerian (satu) wilayah provinsi.
Ketenagakerjaan di (Pasal 2, Pasal Pasal 6,
BKPM Lampiran II)
untuk menerima dan
menandatangani
perizinan

MONIKA SUHAYATI: Pelaksanaan Perizinan Tenaga Kerja Asing... 71


Peraturan Presiden No. 97 Permenaker No. 25
No Pengaturan UU Penanaman Modal
Tahun 2014 Tahun 2014
6 Mekanisme BKO BKO merupakan bentuk
penugasan pejabat yang
secara administratif, termasuk
gaji, masih berada pada
Kementerian, dan tunjangan
kinerja serta kendali operasi
mengikuti ketentuan di
instansi penempatan.
8 Penyelenggaraan PTSP Dilaksanakan oleh BPMPTSP
oleh Pemerintah Provinsi Provinsi berdasarkan
pendelegasian wewenang
perizinan dan nonperizinan yang
menjadi urusan pemerintah
provinsi dari Gubernur kepada
Kepala BPMPTSP Provinsi.
(Pasal 10 ayat (3) dan (4))
10 Penyelenggaraan Dilaksanakan oleh BPMPTSP
PTSP oleh Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan
Kabupaten/Kota pendelegasian wewenang
Perizinan dan Nonperizinan
yang menjadi urusan
pemerintah kabupaten/kota dari
Bupati/Walikota kepada Kepala
BPMPTSP Kabupaten/ Kota.
Sumber: UU Penanaman Modal, Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014, Permenaker No. 25 Tahun 2014, diolah.
Bagan 2. Alur Pelayanan Perizinan Investasi 3 Jam di Badan Koordinasi Penanaman Modal

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal.51


51
BKPM, “3 Hours Investment Licensing Service”, http://
www.bkpm.go.id/en/investment-step-by-step/3-hours-
investment-license, diakses tanggal 12 Juni 2017.

72 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


diubah dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor Unit Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu
11 Tahun 2016 dan Peraturan Gubernur Bali yang dibentuk dalam rangka reformasi birokrasi
Nomor 30 Tahun 2016. Pasal 4 peraturan dengan tujuan untuk memberikan pelayanan
gubernur tersebut menyatakan ruang lingkup yang prima kepada masyarakat di bidang
PTSP meliputi seluruh pelayanan perizinan perizinan. PTSP BKPMD Provinsi Sulawesi
dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Selatan merupakan PTSP terbaik nasional
Pemerintah Daerah, yaitu pelayanan tenaga berdasarkan penghargaan National Investment
kerja dan transmigrasi salah satunya. Award Tahun 2016.52
Di provinsi lainnya, Provinsi Kepulauan
Riau. Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau IV. PERMASALAHAN PERIZINAN
telah menerbitkan Peraturan Gubernur TENAGA KERJA ASING MELALUI
Kepulauan Riau Nomor 48 Tahun 2015 PELAYANAN TERPADU SATU
tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur PINTU DI DAERAH
Kepulauan Riau Nomor 41 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan perizinan TKA melalui PTSP
Pelimpahan Kewenangan Gubernur Kepada di daerah akan dianalisa menggunakan teori
BPMPTSP dalam rangka mempermudah efektivitas penegakan hukum menurut Soerjono
pelayanan perizinan bagi investor. Pelimpahan Soekanto yang mengemukakan lima faktor yang
kewenangan meliputi 11 sektor kegiatan mempengaruhi penegakan hukum yang saling
usaha, 60 perizinan, dan 36 non-perizinan berkaitan dengan eratnya karena merupakan
(rekomendasi). esensi dari penegakan hukum dan tolok ukur
Berikutnya di Provinsi Sulawesi Selatan, efektivitas penegakan hukum, yaitu:53
pelayanan perizinan dilakukan di Unit Pelaksana a. Faktor hukum, dalam hal ini yang dimaksud
Teknis Pelayanan Perizinan Terpadu (UPT-P2T) adalah undang-undang dalam arti materiel,
BKPMD Provinsi Sulawesi Selatan. UPT-P2T yaitu peraturan tertulis yang berlaku umum
Provinsi Sulawesi Selatan dimulai pada tahun dan dibuat oleh penguasa pusat maupun
2012 dengan Peraturan Gubernur Nomor 40 daerah yang sah. Undang-undang dalam
Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja arti materiel mencakup peraturan pusat
Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Perizinan yang berlaku untuk semua warga negara
Terpadu pada Badan Koordinasi Penanaman atau suatu golongan tertentu saja maupun
Modal Daerah Provinsi Sulawesi Selatan yang berlaku umum di sebagian wilayah
(Peraturan Gubernur Nomor 40 Tahun 2012) negara, dan peraturan setempat yang hanya
sebagai dasar hukum penyelenggaraan PTSP berlaku di suatu tempat atau daerah saja;
di Sulawesi Selatan. Hal tersebut merupakan b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak
tindak lanjut dari Peraturan Gubernur Nomor 61 yang membentuk maupun menerapkan
Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan hukum. Ruang lingkup dari istilah
Terpadu Satu Pintu di bidang Penanaman penegak hukum adalah luas sekali karena
Modal Provinsi Sulawesi Selatan (Peraturan mencakup mereka yang secara langsung
Gubernur Nomor 61 Tahun 2010). Dasar hukum dan tidak langsung berkecimpung di bidang
pelimpahan wewenang penandatanganan dari penegakan hukum;
Gubernur Sulawesi Selatan kepada Kepala
52
Hal ini disampaikan Muklis, Kepala Bidang Pengembangan
BKPMD selaku Administrator P2T diatur dalam
Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Moda
Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 12 lDaerah (BKPMD) Provinsi Sulawesi Selatan, dalam
Tahun 2013 tentang Penyelenggaran Pelayanan rangka Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang
Perizinan dan Non Perizinan Terpadu Satu Pintu Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pusat
Pemantauan dan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan
Pada Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi
Keahlian DPR RI, Makassar, September 2016.
Selatan (Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan 53
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Nomor 12 Tahun 2013). UPT-P2T merupakan Penegakan Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2004, hal. 8-45.

MONIKA SUHAYATI: Pelaksanaan Perizinan Tenaga Kerja Asing... 73


c. Faktor sarana atau fasilitas yang Nomor 30 Tahun 2016). Perpanjangan IMTA
mendukung penegakan hukum. Sarana di Provinsi Bali diterbitkan oleh Kepala Dinas
atau fasilitas tersebut antara lain mencakupKetenagakerjaan Provinsi/Kabupaten/Kota.54
tenaga manusia yang berpendidikan dan Hal tersebut menjadi temuan Badan
terampil, organisasi yang baik, peralatan Pemeriksa Keuangan (BPK) bagi Badan
yang memadai, keuangan yang cukup, dan Penanaman Modal Provinsi Bali pada tahun
seterusnya; 2014. Di dalam pemeriksaan BPK, Dinas
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi
dimana hukum tersebut berlaku atau Bali dijadikan sampel dan ditemukan bahwa
diterapkan. Penegakan hukum berasal Badan Penanaman Modal Provinsi Bali tidak
dari masyarakat dan bertujuan untuk melaksanakan semua izin di Provinsi Bali
mencapai kedamaian di dalam masyarakat. berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 97
Masyarakat dapat mempengaruhi Tahun 2014. Adapun temuan BPK tersebut
penegakan hukum; tidak disertai sanksi. Berkaitan hal ini, Badan
e. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, Penanaman Modal Provinsi Bali telah beberapa
cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa kali melakukan koordinasi dengan Dinas
manusia di dalam pergaulan hidup. Faktor Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Bali.
kebudayaan sebenarnya bersatu padu Badan Penanaman Modal Provinsi Bali juga
dengan faktor masyarakat. meminta kepada Biro Hukum Kementerian
Analisa terhadap pelaksanaan perizinan Ketenagakerjaan agar pengurusan perpanjangan
bidang ketenagakerjaan melalui PTSP IMTA di Provinsi Bali dipindahkan ke Badan
penanaman modal di daerah dibatasi pada faktor Penanaman Modal Provinsi Bali. Namun,
hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana hingga saat ini perpanjangan IMTA masih di
atau fasilitas yang mendukung penegakan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi
hukum, dan faktor masyarakat. Bali. 55

a. Faktor Hukum Dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja dan


Faktor hukum perizinan TKA di PTSP Transmigrasi Provinsi Bali berpegang pada
merupakan peraturan perundang-undangan dasar hukum yang terdapat dalam Pasal 42
yang berkaitan dengan perizinan TKA di Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor
PTSP sebagaimana telah dijelaskan pada 35 Tahun 2015 yang mengatur untuk TKA
bagian sebelumnya. Adapun dari segi regulasi, yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah
pelaksanaan perizinan TKA melalui PTSP di provinsi perpanjangan IMTA diterbitkan oleh
daerah mengalami beberapa kendala, pertama, Direktur; untuk TKA yang lokasi kerjanya
belum semua Dinas Tenaga Kerja Provinsi atau lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi,
Kabupaten/kota melimpahkan pengurusan perpanjangan IMTA diterbitkan oleh Kepala
perpanjangan IMTA kepada PTSP Provinsi Dinas Provinsi; atau untuk TKA yang lokasi
atau Kabupaten/kota. Hal ini terjadi antara kerjanya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/
lain di Provinsi Bali. Dinas Tenaga Kerja dan
54
Hal ini disampaikan Ida Bagus Made Parwata, Kepala
Transmigrasi Provinsi Bali belum melimpahkan
BPMP Provinsi Bali, dalam rangka Pemantauan
pengurusan perpanjangan IMTA kepada Badan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
Penanaman Modal Provinsi Bali sebagaimana tentang Penanaman Modal, Denpasar, Pusat Pemantauan
amanat Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun dan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian DPR
2014 dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 30 55 RI, 30 Agustus 2016.
Hal ini disampaikan Sekretaris Dinas Ketenagakerjaan
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas dan Transmigrasi Provinsi Bali, dalam rangka Pemantauan
Peraturan Gubernur Bali Nomor 45 Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
2015 tentang Penyelenggaraan Pelayanan tentang Penanaman Modal, Pusat Pemantauan dan
Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian DPR RI,
Terpadu Satu Pintu (Peraturan Gubernur Bali
Denpasar, 31 Agustus 2016.

74 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


kota, perpanjangan IMTA diterbitkan oleh Nomor 41 Tahun 2013 tentang Pelimpahan
Kepala Dinas Kabupaten/Kota,56 Dalam hal Kewenangan Gubernur Kepada BPMPTSP
perpanjangan IMTA untuk TKA yang lokasi (Peraturan Gubernur Kepulauan Riau Nomor
kerjanya lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) 48 Tahun 2015), namun dalam prakteknya
provinsi, dan perpanjangan IMTA untuk TKA belum semua dinas terkait sektor-sektor
yang lokasi kerjanya dalam 1 (satu) kabupaten/ tersebut mendelegasikan personilnya ke
kota dilakukan oleh PTSP provinsi atau BPMPTSP. BPMPTSP tetap harus “menjemput
kabupaten/kota, berdasarkan Pasal 45 Peraturan bola” mengurus perizinan ke dinas terkait atau
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 35 Tahun melanjutkan disposisi perizinan kepada SKPD/
2015, pemberi kerja TKA wajib mendapatkan instansi perizinan selanjutnya, seperti ke Dinas
rekomendasi dari Dinas Tenaga Kerja provinsi Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi
atau Dinas Tenaga Kerja kabupaten/kota. Kepulauan Riau untuk perpanjangan IMTA.58
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Hal ini kembali menunjukkan bahwa proses
Provinsi Bali juga menyatakan pelayanan pemberian IMTA perpanjangan melalui PTSP
terhadap masyarakat adalah prioritas utama. menjadi tidak efektif dan tidak efisien, sehingga
Apabila perpanjangan IMTA dipindah satu tidak sesuai dengan tujuan dari pelaksanaan
pintu di Badan Penanaman Modal Provinsi Bali perizinan ketenagakerjaan di PTSP yaitu
maka minimal selesai dalam tiga hari yang artinya proses pelayanan yang lebih pendek, cepat, dan
standar pelayanan minimal (SPM) pelayanan mudah.
terhadap masyarakat terhambat. Prosesnya Demikian pula dialami di Provinsi Sulawesi
perusahaan mengajukan perpanjangan IMTA Selatan, perpanjangan IMTA yang menjadi
ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, kewenangan pemerintah daerah juga masih
kemudian permohonan dikirim ke Badan dilakukan di Disnaker kabupaten/kota ataupun
Penanaman Modal Provinsi Bali, Badan provinsi sesuai kewenangannya berdasarkan
Penanaman Modal Provinsi Bali menurunkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor
tim untuk menganalisis, diperiksa oleh tim 3 Tahun 2015 yang telah ditindaklanjuti oleh
ahli Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan
dan akhirnya yang menandatangani IMTA menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi
adalah Kepala Badan Penanaman Modal Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 12 Tahun
Provinsi. Jadi, yang memproses Dinas 2015 tentang Retribusi Perpanjangan IMTA
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, namun dan Peraturan Gubernur Provinsi Sulawesi
yang menandatangani adalah Kepala Badan Selatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang
Penanaman Modal Provinsi, artinya yang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah
mempertanggungjawabkan adalah SKPD lain, Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 12 Tahun
bukan SKPD yang memproses.57 2015. Dana retribusi IMTA digunakan untuk
Di Provinsi Kepulauan Riau, walaupun pendidikan ketrampilan bagi tenaga kerja
telah ada Peraturan Gubernur Kepulauan Riau pendamping/lokal agar ada alih keterampilan
Nomor 48 Tahun 2015 tentang Perubahan ketika TKA itu tidak bekerja lagi.59
atas Peraturan Gubernur Kepulauan Riau Praktik di ketiga provinsi tersebut
menunjukkan proses penerbitan perpanjangan
56
Pasal 42 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor
IMTA melalui PTSP Provinsi atau PTSP
35 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Kabupaten/Kota dengan mekanisme BKO
Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
57
Hal ini disampaikan Sekretaris Dinas Ketenagakerjaan 58
Hal ini disampaikan H. Azman Taufik, Kepala BPM
dan Transmigrasi Provinsi Bali, dalam rangka Pemantauan dan PTSP Provinsi Kepulauan Riau, dalam rangka
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25
tentang Penanaman Modal, Pusat Pemantauan dan Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Badan Keahlian
Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian DPR RI, DPR RI, Kepulauan Riau, 6 September 2016.
Denpasar, 31 Agustus 2016. 59
Ibid.

MONIKA SUHAYATI: Pelaksanaan Perizinan Tenaga Kerja Asing... 75


adalah tidak efektif. Hal ini disebabkan “(1) Pendelegasian Kewenangan ditetapkan
adanya ketentuan Pasal 42 Peraturan Menteri berdasarkan ketentuan peraturan
Ketenagakerjaan Nomor 35 Tahun 2015 yang perundang-undangan.
memungkinkan pengurusan perpanjangan (2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
IMTA tetap dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja memperoleh Wewenang melalui Delegasi
apabila:
Provinsi atau Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/
a. diberikan oleh Badan/Pejabat
Kota, walaupun telah ada Peraturan Daerah atau
Pemerintahan kepada Badan dan/atau
Peraturan Gubernur yang mengatur pelimpahan
Pejabat Pemerintahan lainnya;
kewenangan penerbitan perpanjangan IMTA b. ditetapkan dalam Peraturan
ke PTSP Provinsi atau PTSP Kabupaten/Kota. Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/
Dengan proses penerbitan perpanjangan atau Peraturan Daerah; dan
IMTA tetap dilaksanakan di Dinas Tenaga Kerja c. merupakan Wewenang pelimpahan
Provinsi atau Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/ atau sebelumnya telah ada.”
Kota mengakibatkan penerbitan perpanjangan
Kewenangan penerbitan perpanjangan
IMTA tidak sesuai dengan tujuan dari
IMTA didelegasikan dari Gubernur kepada
pelaksanaan perizinan ketenagakerjaan di PTSP
PTSP Provinsi, antara lain di Provinsi Bali
berdasarkan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor
berdasarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor
97 Tahun 2014 yaitu proses pelayanan yang
30 Tahun 2016; di Provinsi Kepulauan Riau
lebih pendek, cepat, dan mudah. Perbandingan
berdasarkan Peraturan Gubernur Kepulauan
pengaturan delegasi kewenangan perizinan TKA
Riau Nomor 48 Tahun 2015; di Provinsi
di beberapa daerah sebagaimana dalam Tabel 7.
Sulawesi Selatan berdasarkan Peraturan
Pelaksanaan penerbitan perpanjangan
Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 61 Tahun
IMTA di daerah, apabila dikaji menggunakan
2010; Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan
asas legalitas maka wewenang pemerintahan
Nomor 40 Tahun 2012 dan Peraturan Gubernur
berasal dari peraturan perundang-undangan,
Sulawesi Selatan Nomor 12 Tahun 2013.
artinya sumber wewenang bagi pemerintah
Dengan adanya pendelegasian ini maka
adalah peraturan perundang-undangan.
kewenangan penerbitan perpanjangan IMTA
Sebagai negara hukum maka penyelenggaraan
di daerah merupakan kewenangan PTSP
kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia
Provinsi atau PTSP Kabupaten/Kota. Dinas
harus berdasarkan kepada undang-undang dan
Tenaga Kerja di daerah harus melimpahkan
memberikan jaminan terhadap hak dasar rakyat.
pengurusan penerbitan perpanjangan IMTA
Pasal 25 ayat (5) UU Penanaman Modal telah
kepada PTSP Provinsi atau PTSP Kabupaten/
mengatur bahwa izin kegiatan usaha perusahaan
Kota. Hal ini penting dilakukan untuk
penanaman modal diperoleh melalui PTSP.
memberikan kemudahan bagi investor yang akan
Sebagai peraturan pelaksanaan ketentuan ini
menanamkan modalnya di Indonesia dengan
telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor
pengurusan perizinan secara terpadu di PTSP
97 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri
sebagaimana amanat Peraturan Presiden Nomor
Ketenagakerjaan Nomor 25 Tahun 2014.
97 Tahun 2014. Hal ini merupakan suatu bentuk
Pasal 10 Peraturan Presiden Nomor 97
pelaksanaan asas legalitas di negara kita. Sebagai
Tahun 2014 telah mengatur penyelenggaraan
diungkapkan Indroharto,60 penerapan asas
PTSP oleh pemerintah provinsi dilaksanakan
legalitas, akan menunjang berlakunya kepastian
oleh BPMPTSP berdasarkan pendelegasian
hukum dan kesamaan perlakuan. Kepastian
wewenang perizinan dan nonperizinan yang
menjadi urusan pemerintah provinsi dari 60
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Sinar Harapan,
Gubernur kepada Kepala BPMPTSP Provinsi.
1993, hal. 83 dalam Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik
Hal ini sesuai dengan Pasal 13 UU Administrasi Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan
Pemerintahan yang menyatakan: Pelayanan Publik, Bandung: Penerbit Nuansa, 2012, hal.
133-134.

76 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Tabel 7. Pelimpahan Kewenangan Perizinan TKA di Daerah
Pengaturan Provinsi Bali Provinsi Kepulauan Riau Provinsi Sulawesi Selatan
Dasar Hukum Peraturan Gubernur Bali Peraturan Gubernur a. Peraturan Gubernur
Delegasi Nomor 30 Tahun 2016. Kepulauan Riau Nomor 48 Sulawesi Selatan Nomor
Kewenangan Tahun 2015. 61 Tahun 2010.
Perizinan TKA b. Peraturan Gubernur
Sulawesi Selatan Nomor
40 Tahun 2012.
c. Peraturan Gubernur
Sulawesi Selatan Nomor
12 Tahun 2013.
Kewenangan yang Perizinan dan Nonperizinan Pelimpahan kewenangan
didelegasikan di yang didelegasikan meliputi meliputi 11 sektor
PTSP a. RPTKA; kegiatan usaha, 60
b. Perpanjangan IMTA perizinan, dan 36 non-
Perpanjangan; perizinan (rekomendasi).
c. Pengesahan Pemakaian
Instalasi Penyalur Petir;
d. Pengesahan Pemakaian
Instalasi Sarana
Penanggulangan
Kebijakan (fire hydrant);
e. Pengesahan Pemakaian
Instalasi Sarana
Penanggulangan Kebakaran
(alarm kebakaran otomatik);
f. Penerbitan Pengesahan
Pemakaian Bejana Tekan;
g. Penerbitan Pengesahan
Pemakaian Pesawat
Tenaga dan Produksi
(motor diesel/genset);
h. Penerbitan Pengesahan
Pemakaian Pesawat Angkut;
i. Penerbitan Izin
Pembentukan Kantor
Cabang Pelaksana
Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta (PPTKIS);
j. Penerbitan Izin Pendirian
Lembaga Penempatan
Tenaga Kerja Swasta
(LPTKS) Skala Provinsi;
k. Penyerahan Sebagian
Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain melalui
Jasa Pekerja/Buruh;
l. Pendaftaran/Pengesahan
Peraturan Perusahaan.
Praktek Penerbitan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Dinas Tenaga Kerja Provinsi Dinas Tenaga Kerja Provinsi
Perpanjangan IMTA atau Kabupaten/Kota atau Kabupaten/Kota atau Kabupaten/Kota
Sumber: Peraturan Gubernur Bali Nomor 30 Tahun 2016, Peraturan Gubernur Kepulauan Riau Nomor 48 Tahun 2015,
Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 61 Tahun 2010, Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 40
Tahun 2012, Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 12 Tahun 2013, diolah.

MONIKA SUHAYATI: Pelaksanaan Perizinan Tenaga Kerja Asing... 77


hukum akan terjadi karena suatu peraturan dapatkelembagaan, perluasan kesempatan kerja,
membuat semua tindakan yang akan dilakukan pengendalian penggunaan tenaga kerja asing
pemerintah bisa diramalkan atau diperkirakan dan pengembangan pelayanan antar kerja.
terlebih dahulu. Ketidaksinkronan regulasi Instansi pembina yang mempunyai tugas
terkait kewenangan penerbitan perpanjangan pelaksanaan pembinaan Jabatan Fungsional
IMTA akan menimbulkan ketidakpastian Pengantar Kerja yaitu Kementerian Tenaga
hukum bagi investor yang akan menanamkan Kerja dan Transmigrasi.61
modal menggunakan TKA di daerah. Selain Dalam tataran empiris di daerah, tenaga
regulasi, perlu dilakukan koordinasi antara fungsional pengantar kerja belum ditempatkan
Dinas Tenaga Kerja Provinsi atau Kabupaten/ di PTSP sebagaimana diatur dalam Peraturan
Kota dengan PTSP Provinsi atau Kabupaten/ Bersama Menteri. Dinas Tenaga Kerja dan
Kota berkaitan dengan penugasan tenaga Transmigrasi Provinsi Bali menyatakan
fungsional ketenagakerjaan di PTSP Provinsi keberatan apabila tenaga fungsional pengantar
atau Kabupaten/Kota dengan mekanisme BKO. kerja harus ditempatkan di Badan Penanaman
Modal Provinsi (BPMP) Bali melalui mekanisme
b. Faktor Penegak Hukum BKO dengan alasan tenaga fungsional tersebut
Yang merupakan penegak hukum dalam telah dididik oleh Kementerian Ketenagakerjaan
perizinan TKA melalui PTSP antara lain selama enam bulan dan mendapat legitimasi
aparatur penanaman modal yang menangani dalam bentuk Surat Keputusan.62 Demikian
perizinan TKA, termasuk tenaga fungsional juga terjadi di pelayanan perizinan di PTSP
ketenagakerjaan yang ditugaskan di PTSP Provinsi Kepulauan Riau, belum semua dinas
dengan mekanisme BKO. Berdasarkan Pasal terkait sektor-sektor tersebut mendelegasikan
1 angka 1 Peraturan Bersama Menteri Tenaga personilnya ke BPMPTSP Provinsi Kepulauan
Kerja dan Transmigrasi dan Kepala Badan Riau, sehingga BPMPTSP Provinsi Kepulauan
Kepegawaian Negara Nomor 14 Tahun 2014 Riau tetap harus “menjemput bola” mengurus
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Ketentuan perizinan ke dinas terkait atau melanjutkan
Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendayagunaan disposisi perizinan kepada SKPD/instansi
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi perizinan selanjutnya, seperti contoh ke Dinas
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kepuauan Riau
tentang Jabatan Fungsional Pengantar Kerja untuk ketenagakerjaan, dan sebagainya.63
dan Angka Kreditnya tanggal 17 September Dalam hal ini, mekanisme BKO
2014 (Peraturan Bersama Menteri), jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (3)
fungsional pengantar kerja adalah jabatan yang 61
Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 6 Peraturan Bersama Menteri
mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kepala Badan
jawab, wewenang, dan hak untuk melakukan Kepegawaian Negara Nomor 14 Tahun 2014 Nomor 28
kegiatan pelayanan antar kerja. Tahun 2014 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Tenaga fungsional pengantar kerja
Birokrasi Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang
berkedudukan sebagai pelaksana teknis Jabatan Fungsional Pengantar Kerja dan Angka Kreditnya.
pelayanan antar kerja pada instansi pemerintah 62 Hal ini disampaikan Sekretaris Dinas Ketenagakerjaan
baik pusat maupun daerah. Tugas pokok dan Transmigrasi Provinsi Bali, dalam rangka Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
Jabatan Fungsional Pengantar Kerja yakni
tentang Penanaman Modal, Pusat Pemantauan dan
melakukan kegiatan pelayanan antarkerja, Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian DPR RI,
meliputi penyajian data pelayanan antarkerja Denpasar, 31 Agustus 2016.
dan data pendukungnya, perencanaan tenaga 63 Hal ini disampaikan H. Azman Taufik, Kepala BPM
dan PTSP Provinsi Kepulauan Riau, dalam rangka
kerja, indeks ketenagakerjaan, informasi
Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
pasar kerja, analisis jabatan, penyuluhan 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pusat
dan bimbingan jabatan, perantaraan kerja, Pemantauan dan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan
Keahlian DPR RI, Kepulauan Riau, 6 September 2016.

78 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. c. Faktor Sarana atau Fasilitas yang
25 Tahun 2014 merupakan suatu bentuk Mendukung Penegakan Hukum
penugasan pejabat yang secara administratif, Yang merupakan sarana atau fasilitas yang
termasuk gaji, masih berada pada Kementerian, mendukung dalam perizinan TKA melalui PTSP
namun tunjangan kinerja serta kendali operasi antara lain aplikasi Sistem Pelayanan Investasi
mengikuti ketentuan di instansi penempatan. Perizinan Secara Elektronik (SPIPISE) dan sarana
Dengan demikian, tenaga teknis fungsional yang atau fasilitas lainnya. PTSP berbasis informasi
sudah dididik di Kementerian Ketenagakerjaan teknologi (SPIPISE) menunjukkan adanya
tidak dipindah ke instansi penempatan (BPMP), integrasi data dalam satu pangkalan (database),
melainkan ditugaskan dengan mekanisme baik pengurusan izin, akses maupun pengecekan
BKO. Dalam hal ini kekhawatiran bahwa oleh publik dan informasi ke Provinsi/Pusat. PTSP
tenaga fungsional pengantar kerja dipindahkan menjadi inovasi atau best practice yang sebelumnya
ke PTSP seharusnya tidak menjadi suatu alasan berbasis figur (Kepala Daerah atau Kepala PTSP)
bagi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi bertransformasi ke kekuatan sistem (dukungan
Provinsi Bali untuk tidak melimpahkan publik yang terlibat dalam proses inovasi, dasar
kewenangan penerbitan IMTA perpanjangan hukum yang kokoh, institusionalisasi dan budaya
ke BPMP Bali. birokrasi). Secara bersamaan atau berurutan
Permasalahan lainnya antara lain dialami dilakukan proses debirokrasi dan deregulasi yang
UPT-P2T Provinsi Sulawesi Selatan yaitu melembaga dalam kerja dari PTSP. Pada akhirnya
keterbatasan jumlah aparatur penanaman modal, uji efektivitas dan bukti kontribusi PTSP adalah
sumber daya manusia dalam melaksanakan pada realisasi kinerja dalam pengurusan izin (waktu,
fungsi pelayanan publik belum memadai, dan biaya, syarat, prosedur) maupun animo masyarakat
kaderisasi dalam pengembangan sumber daya untuk mengurus perizinan (legalisasi usaha).66
manusia masih terbatas.64 Hal yang sama juga Berdasarkan data Komite Pemantauan
dirasakan BPM-PTSP Provinsi Kepulauan Riau Pelaksanaan Otonomi Daerah Tahun 2016, di
yang menyatakan jumlah sumber daya manusia daerah telah terbentuk sebanyak 511 PTSP atau
dan kompetensi aparat penanaman modal yang 90% dari total 561 wilayah di Indonesia. Dari jumlah
masih kurang.65 Dengan masih adanya berbagai tersebut, 341 PTSP telah mengimplementasikan
permasalahan berkaitan faktor penegak hukum SPIPISE atau 61% dari total 561 wilayah. Data ini
maka berkaitan dengan faktor ini pelaksanaan digambarkan dalam Tabel 8.
perizinan TKA melalui PTSP di daerah masih Dalam prakteknya, terdapat beberapa
belum efektif. Dalam hal ini perlu adanya kendala berkaitan dengan penggunaan aplikasi
penambahan jumlah aparatur penanaman SPIPISE, yang salah satunya dialami PTSP
modal dengan diikuti peningkatan kualitas Provinsi Kepulauan Riau. Seluruh perizinan
sumber daya manusia aparatur penanaman penanaman modal baik PMDN maupun PMA di
modal tersebut. PTSP Provinsi Kepulauan Riau diproses melalui
SPIPISE. Namun demikian masih terdapat
64
Hal ini disampaikan Muklis, Kepala Bidang Pengembangan kendala dalam pelayanan ini, diantaranya adalah
Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal belum semua calon investor paham tentang
Daerah (BKPMD) Provinsi Sulawesi Selatan, dalam pengisian aplikasi, jaringan internet yang tidak
rangka Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang
konstan, anggaran yang terbatas, rasionalisasi
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pusat
Pemantauan dan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan anggaran yang menghambat BPMPTSP dalam
Keahlian DPR RI, Makassar, September 2016. berinovasi untuk meningkatkan pelayanan
65
Hal ini disampaikan H. Azman Taufik, Kepala BPM publik.67 Dengan masih adanya berbagai
dan PTSP Provinsi Kepulauan Riau, dalam rangka
Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 66
Robert Endi Jaweng (2), UU Penanaman Modal di Daerah.
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pusat 67
Hal ini disampaikan H. Azman Taufik, Kepala BPM
Pemantauan dan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan dan PTSP Provinsi Kepulauan Riau, dalam rangka
Keahlian DPR RI, Kepulauan Riau, 6 September 2016. Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25

MONIKA SUHAYATI: Pelaksanaan Perizinan Tenaga Kerja Asing... 79


Tabel 8. Implementasi Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik
(SPIPISE) di PTSP
Urusan
Pendelegasian Penanaman
Penyelenggaraan Nomengklatur Implementasi Bagi Yang Modal
PTSP BPM-PTSP SPIPISE Sudah Bagi PTSP
Terbentuk yang Telah
No Daerah Jumlah
Terbentuk

Terbentuk

Gabung
Belum

Belum

Belum

Belum
Sudah

Sudah

Pisah
Ada
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)
1 Provinsi 34 34 0 5 29 33 1 34 0 27 7
2 Kabupaten 416 372 44 14 402 235 181 361 11 242 130
3 Kota 98 98 0 3 95 68 30 97 1 58 40
4 KPBPB 5 4 1 0 5 4 1 4 0 3 1
5 KEK 8 3 5 0 8 1 7 3 0 2 1
TOTAL 561 511 50 22 539 341 220 499 12 332 179
Sumber: Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, 2016.

permasalahan berkaitan faktor sarana prasarana birokrasi tidaklah dibangun hanya sebagai
maka berkaitan dengan faktor ini pelaksanaan bangunan semu untuk melayani dirinya sendiri,
perizinan TKA melalui PTSP di daerah masih tetapi melayani masyarakat serta menciptakan
belum efektif. Dalam hal ini perlu dilakukan kondisi setiap anggota masyarakat yang
sosialisasi kepada masyarakat berkaitan sejahtera dan mampu berkreatifitas dengan
dengan SPIPISE mengingat seluruh perizinan produk pelayanan tersebut sehingga akhirnya
penanaman modal baik PMDN maupun PMA meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu
di PTSP yang telah dilakukan melalui aplikasi. sendiri.68
Demikian pula diperlukan penganggaran Masyarakat menghendaki setiap pelayanan
untuk perbaikan sarana dan prasana demi dapat dilakukan secara singkat, cepat, tidak
meningkatkan pelayanan kepada investor yang berbelit-belit dan benar menyangkut proses yang
akan menanamkan modalnya di daerah. dilalui dalam mengajukan perizinan. Prosedur
pendaftaran perizinan izin usaha menjadi
d. Faktor Masyarakat lebih sederhana dan tidak berbelit-belit dalam
Masyarakat kebanyakan menilai bahwa pelayanan. Selain itu waktu perizinan yang
pelayanan publik, salah satunya perizinan TKA, singkat akan meringankan masa tunggu bagi
yang diselenggarakan oleh birokrat cenderung pemohon izin. Adanya PTSP bertujuan untuk
lama, berbelit-belit, dengan persyaratan yang meningkatkan kompetensi, pengetahuan,
rumit dan regulasi yang tidak fleksibel. Kondisi keterampilan dan perilaku serta penyatuan
ini jelas tidak menguntungkan masyarakat. persepsi aparatur dalam menyikapi langkah-
Posisi tawar masyarakat cenderung lemah, langkah operasional kegiatan pelayanan
mereka hanya menerima produk layanan dari terpadu satu pintu dengan memperhatikan
pemerintah tanpa bisa memberikan kontribusi sistem strategis, mekanisme dan prosedur PTSP.
langsung terhadap produk layanan yang
diselenggarakan oleh pemerintah. Sehingga 68 Nuria Siswi Enggarani, “Kualitas Pelayanan Publik dalam
Perizinan di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pusat Kantor Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan
Pemantauan dan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Terpadu (BPMP2T) Kabupaten Boyolali”, Jurnal Law and
Keahlian DPR RI, Kepulauan Riau, 6 September 2016. Justice, Vol. 1 No. 1 Maret 2016, hal. 16-29.

80 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Terdidiknya aparatur yang memiliki wawasan PTSP berdasarkan Pasal 25 ayat (4) dan (5)
dan pemahaman dalam mengimplementasikan UU Penanaman Modal jo. Peraturan Presiden
dan mensinkronisasikan kebijakan-kebijakan Nomor 97 Tahun 2014. Urgensi perizinan
terkait pelayanan PTSP di daerah disesuaikan TKA dilakukan di PTSP agar terciptanya
dengan kondisi masing-masing dalam rangka penyederhanaan dan percepatan penyelesaian
pelayanan terhadap masyarakat.69 perizinan TKA sesuai tujuan dari pelayanan di
Sejak dikeluarkannya kebijakan PTSP PTSP. Percepatan penyelesaian perizinan TKA
melalui Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun akan meningkatkan investasi di Indonesia.
2014, investor sebagai bagian dari masyarakat Peningkatan investasi akan diikuti dengan
pengguna PTSP, memberikan respon yang penciptaan lapangan kerja baru dan pada
positif. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan
penerbitan izin yang signifikan khususnya di warga negara.
PTSP pusat. Artinya masyarakat, khususnya Pengaturan perizinan TKA melalui PTSP
para investor, merasakan manfaat dari pelayanan terdapat dalam UU Ketenagakerjaan dan
perizinan di PTSP yang berhasil memberikan UU Penanaman Modal beserta peraturan
pelayanan yang sederhana dan cepat. Hal ini pada pelaksanaannya antara lain Peraturan Presiden
akhirnya akan meningkatkan investasi baik di Nomor 72 Tahun 2014, Peraturan Presiden
pusat maupun di daerah. Peningkatan investasi Nomor 97 Tahun 2014, Peraturan Menteri
akan meningkatkan lapangan pekerjaan Ketenagakerjaan No. 25 Tahun 2014, dan
sehingga pada akhirnya akan meningkatkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 16
kesejahteraan masyarakat. Dengan masyarakat, Tahun 2015 yang telah diubah dengan Peraturan
khususnya investor, merasakan manfaat dari Menteri Ketenagakerjaan No. 35 Tahun 2015.
pengurusan perpanjangan IMTA di PTSP yaitu Di daerah, beberapa daerah seperti Provinsi Bali,
adanya pelayanan yang sederhana dan cepat Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Sulawesi
maka dari faktor masyarakat, pelaksanaan Selatan telah memiliki peraturan gubernur yang
perizinan TKA di PTSP adalah efektif. Adapun mengatur pendelegasian wewenang penerbitan
terhadap negatif persepsi masyarakat bahwa perpanjangan IMTA kepada PTSP Provinsi.
pelayanan publik sulit dan bertele-tele, perlu Adapun terdapat disharmoni pengaturan
pembenahan dan peningkatan kinerja aparat kewenangan penerbitan perpanjangan
penanaman modal guna memenuhi kebutuhan IMTA dimana Peraturan Gubernur telah
masyarakat secara cepat, efisien, dan bisa mendelegasikan wewenang penerbitan
memenuhi harapan masyarakat. Peningkatan perpanjangan IMTA kepada PTSP Provinsi,
kinerja aparat penanaman modal harus diikuti namun Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
dengan sosialisasi mengenai PTSP untuk No. 16 Tahun 2015 yang telah diubah dengan
menyampaikan kepada masyarakat mengenai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 35
prosedur perizinan TKA dan komitmen aparat Tahun 2015 mengatur kewenangan penerbitan
penanaman modal meningkatkan kinerjanya. perpanjangan IMTA dilakukan oleh Kepala
Dinas Tenaga Kerja Provinsi.
V. PENUTUP Pelaksanaan perizinan TKA melalui PTSP
A. Kesimpulan di daerah belum efektif dikarenakan berdasarkan
Perizinan penggunaan TKA merupakan analisa masih terdapat berbagai permasalahan
salah satu perizinan yang dilakukan melalui berkaitan dengan faktor hukum, faktor aparat
penegak hukum, dan faktor sarana dan
69
Imelda Febliany, Nur Fitriyah, Enos Paselle, “Efektivitas prasarana. Permasalahan tersebut antara lain
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Terhadap Penyerapan
belum semua Dinas Tenaga Kerja Provinsi atau
Investasi Di Kalimantan Timur (Studi pada Badan
Perijinan dan Penanaman Modal Daerah Provinsi Kabupaten/Kota memindahkan pengurusan
Kalimantan Timur)”, eJournal Administrative Reform, Vol. perpanjangan IMTA dan menugaskan
2, Nomor 4, 2014, hal. 2461-2472.

MONIKA SUHAYATI: Pelaksanaan Perizinan Tenaga Kerja Asing... 81


tenaga fungsional pengantar kerja dengan
mekanisme BKO kepada PTSP Provinsi atau
Kabupaten/Kota, keterbatasan jumlah aparatur
penanaman modal, sumber daya manusia dalam DAFTAR PUSTAKA
melaksanakan fungsi pelayanan publik belum
memadai, kaderisasi dalam pengembangan
sumber daya manusia masih terbatas, belum
semua calon investor paham tentang pengisian Jurnal
aplikasi SPIPISE, jaringan internet yang tidak Abdullah, Sayidin. “Politik Hukum Penanaman
konstan, anggaran yang terbatas, rasionalisasi Modal Asing Setelah Berlakunya Undang-
anggaran yang menghambat inovasi untuk Undang Penanaman Modal 2007 dan
meningkatkan pelayanan publik, serta adanya Implikasinya Terhadap Pengusaha Kecil”.
persepsi masyarakat yang kebanyakan menilai Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 8 No.
pelayanan perizinan, termasuk perizinan 4, Oktober-Desember 2014.
TKA, cenderung lama, berbelit-belit, dengan Enggarani, Nuria Siswi. “Kualitas Pelayanan
persyaratan yang rumit dan regulasi yang Publik dalam Perizinan di Pelayanan
tidak fleksibel. Pelaksanaan perizinan TKA Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kantor
melalui PTSP di daerah yang belum efektif Badan Penanaman Modal dan Pelayanan
mengakibatkan proses penerbitan IMTA Perizinan Terpadu (BPMP2T) Kabupaten
perpanjangan di daerah tidak sesuai dengan Boyolali”. Jurnal Law and Justice. Vol. 1 No.
tujuan dari pelaksanaan perizinan di PTSP yaitu 1, Maret 2016.
proses pelayanan yang lebih pendek, cepat, dan
mudah. Febliany, Imelda, Nur Fitriyah, Enos Paselle.
“Efektivitas Pelayanan Terpadu Satu
B. Saran Pintu Terhadap Penyerapan Investasi Di
Saran yang dapat disampaikan dalam tulisan Kalimantan Timur (Studi pada Badan
ini adalah pertama, revisi Pasal 42 Peraturan Perijinan dan Penanaman Modal Daerah
Menteri Ketenagakerjaan No. 16 Tahun Provinsi Kalimantan Timur)”. eJournal
2015 dengan mengatur penerbitan IMTA Administrative Reform. Vol. 2. No. 4, 2014.
perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya Ismayanti, Leny. “Efektivitas Penyelenggaraan
lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di
dilakukan di PTSP Provinsi dan untuk TKA Kabupaten Malang”. JISIP: Jurnal Ilmu
yang lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 4, No. 2, 2015.
kabupaten/kota dilakukan di PTSP Kabupaten/
Jaweng, Robert Endi (1). “Reformasi Birokrasi
Kota. Kedua, perlu dilakukan koordinasi antara
Perizinan Usaha di Daerah”, Jurnal Ilmu
Dinas Tenaga Kerja Provinsi atau Kabupaten/
Pemerintahan Indonesia. Edisi 45 Tahun 2014.
Kota dengan PTSP Provinsi atau Kabupaten/
Kota berkaitan dengan penugasan tenaga Lukman Hakim. “Kewenangan Organ Negara
fungsional ketenagakerjaan di PTSP Provinsi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan”.
atau Kabupaten/Kota dengan mekanisme BKO. Jurnal Konstitusi. Vol. IV. No.1, Juni 2011.
Ketiga, peningkatan sosialisasi SPIPISE kepada Nababan, Budi S. P. Perlunya Perda tentang
masyarakat dan penganggaran perbaikan sarana Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan
dan prasarana perizinan TKA di PTSP Provinsi Tenaga Kerja Asing di Tengah Liberalisasi
atau Kabupaten/Kota. Keempat, pembenahan Tenaga Kerja Masyarakat Ekonomi ASEAN
dan peningkatan kinerja aparat penanaman 2015. Jurnal Rechts Vinding BPHN. Vol. 3
modal guna memenuhi kebutuhan masyarakat No. 2 Agustus 2014.
secara cepat, efisien, dan bisa memenuhi
harapan masyarakat.

82 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Prasetyo, Bagus. “Menilik Kesiapan Dunia Bahan Presentasi
Ketenagakerjaan Indonesia Menghadapi Jaweng, Robert Endi (2). UU Penanaman
MEA”. Jurnal Rechtsvinding Online, 2014. Modal di Daerah: Catatan Pelaksanaannya
Randang, Frankiano B. “Kesiapan Tenaga Kerja dalam Kasus Perizinan & Pungutan. Bahan
Indonesia Dalam Menghadapi Persaingan Presentasi dalam rangka Diskusi Pakar
Dengan Tenaga Kerja Asing”. Servanda Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang
Jurnal Ilmiah Hukum. Vol. 5. No. 1. Januari Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
2011. Modal. Pusat Pemantauan Pelaksanaan
Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI,
Rizky, Reza Lainatul, Grisvia Agustin, Imam 9 Agustus 2016.
Mukhlis. “Pengaruh Penanaman Modal
Asing, Penanaman Modal Dalam Negeri Sambodo, Maxensius Tri. Pelaksanaan Undang-
dan Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Ekonomi Provinsi Di Indonesia”. Jurnal Penanaman Modal. Bahan Presentasi
Ekonomi dan Studi Pembangunan (JESP). dalam rangka Diskusi Pakar Pemantauan
Vol. 8. No. 1 Maret 2016. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Saleh, Moh. “Kewenangan Pemerintahan Desa Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-
dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Undang Badan Keahlian DPR RI, 9 Agustus
Pulau-Pulau Kecil”. e-Journal The Spirit of 2016.
Low. Vol. 1 No. 1 Maret 2015.
Suhandi. “Pengaturan Ketenagakerjaan Pustaka dalam Jaringan
Terhadap Tenaga Kerja Asing Dalam Agustinus, Michael. 26 April 2017. “Investasi
Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asean Rp 165 T Masuk RI di Januari-Maret 2017,
Di Indonesia”. Jurnal Perspektif. Vol. XXI Naik 13,2%”. https://finance.detik.com/
No. 2 Tahun 2016 Edisi Mei. berita-ekonomi-bisnis/d-3484209/investasi-
Yuvindri, Ramli Siregar, dan Windha. “Aspek rp-165-t-masuk-ri-di-januari-maret-2017-
Hukum Perlindungan Tenaga Kerja Asing naik-132, diakses tanggal 28 April 2017.
di Perusahaan Indonesia yang berada Artharini, Isyana. 23 November 2016. “Berapa
dalam Keadaan Pailit”. Transparency, Jurnal sebenarnya jumlah tenaga kerja asal Cina
Hukum Ekonomi. Vol. II No. 1. Juni 2013. yang masuk ke Indonesia?”. http://www.
bbc.com/indonesia/indonesia-38407825,
Buku diakses tanggal 16 Maret 2017.
Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik Sudrajat. BKPM. “3 Hours Investment Licensing Service”.
Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan http://www.bkpm.go.id/en/investment-
Pelayanan Publik. Bandung: Penerbit step-by-step/3-hours-investment-license,
Nuansa, 2012. diakses 12 Juni 2017.
Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2004.

MONIKA SUHAYATI: Pelaksanaan Perizinan Tenaga Kerja Asing... 83


POLA AKUNTABILITAS ANGGOTA BADAN PERWAKILAN RAKYAT:
IDENTIFIKASI TERHADAP CITY COUNCIL DI LIVERPOOL, VANCOUVER,
DAN SHAH ALAM

THE ACCOUNTABILITY PATTERN OF MEMBER


OF THE REPRESENTATIVE BODY:
IDENTIFICATION TOWARD THE CITY COUNCILS
IN THE LIVERPOOL, VANCOUVER, AND SHAH ALAM

Inna Junaenah dan Bilal Dewansyah


Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Gedung Sri Soemantri, Jalan Imam Bonjol No. 21 Bandung,
email: inna_padjadjaran@yahoo.co.id, b.dewansyah@unpad.ac.id.

Naskah diterima: 1 Maret 2017


Naskah direvisi: 29 Mei 2017
Naskah diterbitkan: 20 Juni 2017

Abstract
Indonesian legal system determines that the Local Representatives Body, known as the DPRD has the functions
to establishing, supervising the execution of local affairs and budgeting. Those functions provides the rights
to the DPRD both collectively and individually. However, there are also legal obligations applied only for
individual. The problem is those three functions has not been embodied properly in the elaborated duties of the
Representatives Body. It can be seen, that inspite of the collectivity, a number of duties are also inherent to the
member of DPRD individually. Yet, the existing provisions have lack of support for the member of DPRD to
increase their competence in order to strengthen those functions. In this paper, the author try to identify some
models of individual accountability where there is a practical references applied in the three-municipalities,
which are city council of Liverpool, Vancouver and Shah Alam. Considered as identification due to that there
are no similarity certainty for all the mentioned places. Eventually, once the pattern of accountability has been
found, it becomes the raw material of recommendation on revision of the Local Government Act.
Keywords: individual accountability, local council, identification

Abstrak
Peraturan perundang-undangan memberikan fungsi pembentukan peraturan daerah, fungsi pengawasan,
dan fungsi anggaran, kepada DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketiga fungsi tersebut
memunculkan hak-hak secara kelembagaan maupun secara individu. Namun masih terjadi kesenjangan,
yaitu ketiga fungsi secara kolektif dan kolegial tersebut belum diperkuat dengan ketentuan kewajiban
yang tepat. Unsur kewajiban hanya dilekatkan kepada individu anggota, karena yang merepresentasikan
rakyat pemilih adalah individu dan bukan kolektif. Meskipun demikian, ketentuan yang ada tidak dapat
menjadikan anggota DPRD untuk meningkatkan kompetensinya supaya dapat memperkuat ketiga fungsi
tersebut. Penelitian ini ingin mencari bagaimana rumusan model akuntabilitas anggota DPRD secara
individu. Untuk memperoleh konsep tersebut, dilakukan perbandingan hukum mengenai praktik yang
diterapkan di berbagai tempat sebagai cara memastikan fungsi-fungsi semacam city council terlaksana.
Penelitian ini juga ingin menunjukkan bahwa upaya-upaya tersebut dapat diidentifikasi sebagai model
akuntabilitas terhadap para councilor. Oleh karena itu, tujuan yang dikehendaki dari penelitian ini adalah
terbangun konsep akuntabilitas anggota DPRD di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan
pendekatan komparatif di Liverpool, Vancouver, dan Shah Alam. Adapun rekomendasi dalam penelitian
ini berupa bahan perumusan ketentuan dalam suatu perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Kata kunci: akuntabilitas individu, badan perwakilan daerah, identifikasi

INNA JUNAENAH DAN BILAL DEWANSYAH: Pola Akuntabilitas... 85


I. PENDAHULUAN yang sudah disepakati berdasarkan kriteria dan
Akuntabilitas merupakan situasi di mana standar yang sudah disepakati pula.4
seorang aktor akan diminta untuk menjelaskan Sejalan dengan itu, akuntabilitas sering
apa yang telah terjadi dan bertanggung jawab digunakan untuk akuntabilitas publik. Paling
atasnya. Ketika mengemukakan akuntabilitas banyak diskusi mengenai akuntabilitas publik
dan demokrasi, Anwar Shah mengatakan mengacu pada akuntabilitas secara kelembagaan,
bahwa akuntabilitas merupakan landasan yang menurut Jonathan Fox, sejauh ini
bagi demokrasi modern. Kemudian Shah untuk menunjukkan hubungan kekuasaan
mengangkat pendapat Brin yang mengatakan antara yang bertugas dengan kepercayaan
bahwa:1 publik dan kewarganegaraan.5 Maka dari
According to Brin (1998), accountability is the itu Fox melekatkan akuntabilitas kepada
fundamental principle of a transparent society. demokrasi substantif.6 Di samping pendapat
Brin cites Karl Popper, for whom accountability tersebut, Lanre Olu-Adeye mi and Tomola
is the rational principle in dealing with systems Marshal Obamuyi meyakini bahwa ketiadaan
of administration and economy in democratic akuntabilitas publik telah turut meningkatkan
societies: “Only by insisting on accountability, kemungkinan praktik koruptif, baik oleh
[Popper] concluded, can we constantly remind pejabat politik maupun birokrat. Pandangan
public servants that they are servants. It is also ini diambil setelah diteliti dari Accounting
how we maintain some confidence that merchants Officers dan Political Appointees di Nigeria, dan
aren’t cheating us or that factories Accountability is bagaimana hal itu telah meningkatkan korupsi.7
essential for the legitimacy of governance. Kedua penulis ini menggarisbawahi bahwa
Susi Dwi Harijanti, dkk mengemukakan akuntabilitas publik dimaksudkan melingkupi
pendapat P. Day dan Klein, yang membedakan substansi mengenai domain publik seperti
akuntabilitas menjadi dua kategori, yaitu belanja untuk pembiayaan publik, pelaksanaan
political and managerial accountability.2 Political kewenangan publik, atau pelaksanaan lembaga-
accountability merupakan proses di mana lembaga publik. Menurutnya, akuntabilitas
delegated authority (penerima/pemegang mandat setara dengan kemampuan untuk dapat
dari publik) harus bertanggung jawab (menjawab dikontrol, karena seorang pejabat dapat
pertanyaan) atas tindakan yang mereka dikatakan akuntabel terhadap atasannya
lakukan kepada publik, baik secara langsung (principal) jika atasan tersebut dapat melakukan
maupun tidak langsung dalam kelompok pengawasan terhadap pejabat tersebut.8 Dalam
masyarakat yang kompleks.3 Sementara itu,
4
Susi Dwi Harijanti, dkk., Naskah Akademik RUU
managerial accountability merupakan proses
Akuntabilitas Penyelenggara Negara, Jakarta: Kedeputian
dimana delegated authority (penerima/pemegang Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Kementerian
mandat dari publik) harus bertanggung jawab Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), 2011, hal. 11.
(menjawab pertanyaan) atas pelaksanaan tugas 5
Jonathan Fox, Accountability Politics Power and Voice in
Rural Mexico, New York: Oxford University Press Inc.,
2007, hal. 8.
1
Anwar Shah, (ed.), Performance Accountability and 6
Jonathan Fox, Accountability Politics Power and Voice in
Combating Corruption, Washington: The World Bank,
Rural Mexico, New York: Oxford University Press Inc.,
2007, hal. 61.
2007, hal. 28.
2
Susi Dwi Harijanti, dkk., Naskah Akademik RUU 7
Lanre Olu-Adeyemi and Tomola Marshal Obamuyi,
Akuntabilitas Penyelenggara Negara, Jakarta: Kedeputian
“Public Accountability: Implications of the Conspiratorial
Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Kementerian
Relationship between Political Appointees and Civil
Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), 2011, hal. 10-
Servants in Nigeria”, iBusiness, Vol. 2, No. 02, Januari
11.
2010, hal. 123.
3
Susi Dwi Harijanti, dkk., Naskah Akademik RUU 8
Lanre Olu-Adeyemi and Tomola Marshal Obamuyi,
Akuntabilitas Penyelenggara Negara, Jakarta: Kedeputian
“Public Accountability: Implications of the Conspiratorial
Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Kementerian
Relationship between Political Appointees and Civil
Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), 2011, hal. 10.
Servants in Nigeria”, iBusiness, Vol. 2, No. 02, Januari
2010, hal 23.

86 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


konteks akuntabilitas terhadap anggota Dewan MD3 2014) dan UU No. 23 Tahun 2014
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang menyebutkan hak dan kewajiban anggota
dimaksud principal merujuk pada masyarakat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kedua
sebagai pemegang kedaulatan yang memilihnya. undang-undang ini juga menentukan bahwa
Maka dari itu, anggota DPRD dapat dikatakan DPRD memiliki hak interpelasi, angket, dan
akuntabel di hadapan rakyat, jika rakyat menyatakan pendapat.13 Berbeda dengan
memiliki ruang untuk melakukan pengawasan hak secara kelembagaan tersebut, secara
terhadap anggota DPRD. individual anggota DPRD memiliki hak untuk
Penerapan akuntabilitas politik dalam a. mengajukan rancangan peraturan daerah
kerangka pencapaian demokrasi substantif dapat kabupaten/kota; b. mengajukan pertanyaan; c.
dikatakan kontekstual dengan tugas dan fungsi menyampaikan usul dan pendapat; d. memilih
DPRD, baik dalam Undang-Undang Nomor 32 dan dipilih; e. membela diri; f. imunitas; g.
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU mengikuti orientasi dan pendalaman tugas; h.
No. 32 Tahun 2004) maupun Undang-Undang protokoler; dan i. keuangan dan administratif.14
Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, Hal yang menjadi persoalan, sejumlah hak
dan DPRD (UU MD3). Kedua undang-undang tersebut tidak berkorelasi langsung dengan
tersebut menegaskan bahwa Dewan Perwakilan pengaturan kewajiban anggota DPRD.15 Dari
Rakyat Daerah memiliki fungsi legislasi, fungsi sejumlah kewajiban anggota DPRD, yang dapat
pengawasan, dan fungsi anggaran.9 Ketiga fungsi mendekati upaya meminta akuntabilitas anggota
tersebut dijalankan dalam kerangka representasi DPRD adalah kewajiban untuk memberikan
rakyat di kabupaten/kota.10 Namun, fungsi legislasi pertanggungjawaban secara moral dan politis
dari DPRD mengalami perubahan menjadi kepada konstituen di daerah pemilihannya.16
fungsi pembentukan peraturan daerah (perda) Kewajiban tersebut dapat memunculkan dua
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang kemungkinan. Kemungkinan pertama, karena
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan indikator pertanggungjawaban moral dan
Daerah (UU No. 23 Tahun 2014).11 Berdasarkan politis sulit terukur, maka dapat saja dipahami
fungsi tersebut, DPRD memiliki wewenang hanya sebatas anjuran bukan norma yang
dan tugas membentuk perda provinsi bersama mengikat dan sangat relatif bergantung pada
gubernur dan perda kabupaten/kota membahas kemungkinan kedua. Kemungkinan kedua
bersama bupati/walikota serta membahas dan adalah kemungkinan untuk memunculkan
memberikan persetujuan rancangan perda inisiatif bagi anggota DPRD berimprovisasi
provinsi yang diajukan oleh gubernur dan perda untuk mengoptimalkan integrasi yang
kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/ bersangkutan. Secara kolektif, jika terdapat
walikota mengenai anggaran pendapatan dan kesepakatan, inisiatif tersebut dapat dituangkan
belanja daerah.12 ke dalam suatu peraturan tata tertib.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Menurut UU MD3 2014, selama
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU menjalankan kewajibannya, anggota DPRD
wajib mematuhi kode etik yang berisi norma-
9
Pasal 41 UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 292 ayat (1)
norma yang disusun oleh DPRD. Norma-
dan Pasal 343 ayat (1) UU MD3 2009.
10
Pasal 292 ayat (2) dan Pasal 343 ayat (2) UU MD3 norma tersebut ditujukan supaya anggota
2009. Ditegaskan kembali dalam Pasal 365 ayat (2) 13
Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 159 ayat (1) UU No. 23
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
Tahun 2014 dan Pasal 322 ayat (1) dan Pasal 371 ayat (1)
2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
UU MD3 2014.
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan 14
Pasal 160 UU No. 23 Tahun 2014 dan Pasal 299 UU
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3 2014).
MD3 2014.
11
Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 149 ayat (1) UU No. 23 Tahun 15
Lihat Pasal 161 UU No. 23 Tahun 2014 dan Pasal 324
2014.
dan Pasal 373 UU MD3 2014.
12
Pasal 101 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 154 ayat (19) huruf 16
Pasal 161 huruf k UU No. 23 Tahun 2014 dan Pasal 324
a dan b UU No. 23 Tahun 2014.
huruf k dan Pasal 373 huruf k UU MD3 2014.

INNA JUNAENAH DAN BILAL DEWANSYAH: Pola Akuntabilitas... 87


DPRD terjaga martabat, kehormatan, citra, dan Canada. Kedua kota tersebut menjadi penting
kredibilitasnya.17 Namun, pranata kode etik diperbandingkan karena terdapat referensi
tersebut belum menunjukkan ketersambungan bagaimana instrumen akuntabilitas itu
atau menunjang dengan akuntabilitas fungsi diformulasikan. Selain itu, perbandingan kota
pembentukan perda. Dengan berbagai yang lainnya dapat dilihat dari Shah Alam,
ketentuan tersebut, fungsi, tugas dan Malaysia. Walaupun secara formal tidak
wewenang, dan hak dan kewajiban bagi suatu terdapat penegasan apakah di Malaysia terdapat
lembaga perwakilan rakyat lebih terukur otonomi daerah, namun secara substantif esensi
untuk melihat akuntabilitas kinerja DPRD. kemandirian daerah tampak di antaranya
Menurut Susi Dwi Harijanti dkk, mekanisme dengan pengoptimalisasian Kota Shah Alam
akuntabilitas kinerja sebenarnya dapat lebih sebagai salah satu kawasan industri di Malaysia.
mudah karena hal tersebut dapat dijalankan Oleh karena itu, artikel ini membahas tentang
sehari-hari.18 Elemen pencapaian produktifitas pertama, apakah upaya model akuntabiltas
pembentukan perda, terutama prakarsa dari pada City Council di Liverpool, Vancouver,
DPRD telah dilakukan dengan pendekatan dan Shah Alam, dan dapat diidentifikasi
persentase jumlah perda yang berasal dari hak sebagai model akuntabilitas secara individu dan
inisiatif DPRD terhadap jumlah total perda kedua, bagaimana pola akuntabilitas suatu City
yang dihasilkan sebagai salah satu indikator Council secara individu yang dapat diterapkan
dalam Indeks Demokrasi Indonesia (IDI).19 di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Sebagai salah satu aspek kelembagaan dalam di Indonesia. Walaupun demikian, untuk
IDI, peran DPRD ini didasari pemikiran bahwa pertanyaan kedua ini akan dielaborasi dalam
civil liberties dan political rights sebagai pilar penelitian lanjutan dan artikel tersendiri.
dari konsep demokrasi tidak mungkin akan Penelitian mengenai akuntabilitas Dewan
dapat teraktualisasikan secara maksimal tanpa Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) telah
didukung oleh lembaga-lembaga demokrasi.20 banyak dilakukan. Walaupun demikian,
Uraian tersebut menunjukkan bahwa untuk penelitian yang telah dilakukan di Indonesia
konteks DPRD di Indonesia, ketentuan secara umum lebih banyak dilakukan untuk
mengenai fungsi, tugas, hak, dan kewajiban mengamati secara spesifik kinerja DPRD
DPRD, baik secara kelembagaan maupun tertentu dari sudut pandang Ilmu Politik dan
secara individu, belum menunjukkan sifat Administrasi Publik. Beberapa pemikiran
ketersambungan dan saling menguatkan. yang mengkaji secara langsung aspek hukum
Fenomena akuntabilitas secara individu dari akuntabilitas anggota DPRD masih perlu
pada suatu local council yang dalam hal ini dikembangkan. Dari kajian hukum, Susi
dapat disetarakan dengan badan perwakilan Dwi Harijanti, dkk. telah menyusun Naskah
rakyat daerah, muncul kemungkinannya pada Akademik RUU Akuntabilitas Penyelenggara
cara anggota city council yang dicontohkan Negara.22 Penelitian tersebut mengemukakan
di Liverpool, Inggris21 dan Vancouver, bahwa akuntabilitas pada lembaga legislatif akan
berbeda dengan sifat akuntabilitas pada lembaga
17
Pasal 349 dan Pasal 399 UU MD3 2014. negara lainnya. Hal ini mengingat karakter dari
18
Susi Dwi Harijanti dkk., Naskah Akademik, hal. 145.
19
Maswadi Rauf (et.al), Menakar Demokrasi di Indonesia:
lembaga legislatif merupakan lembaga kolegial,
Indeks Demokrasi Indonesia 2009, Jakarta: UNDP yang dalam pengambilan keputusannya
Indonesia, 2011, hal. 28. dilakukan secara bersama-sama. Berdasarkan
20
Maswadi Rauf (et.al), Menakar Demokrasi di Indonesia: hal tersebut, perbedaan akuntabilitas bagi
Indeks Demokrasi Indonesia 2009, Jakarta: UNDP
Indonesia, 2011, hal. 20
badan perwakilan di antaranya karena salah
21
Liverpool Government, “Councillors and committees”, satu fungsinya yaitu pengawasan, dan siapa dan
http://councillors.liverpool.gov.uk/mgFindMember.aspx cara menentukan jabatannya.
?XXR=0&AC=PARTY&PID=517&sPC=Enter%20
postcode, visitied on 3/22/2016 3:51:31 PM 22
Susi Dwi Harijanti, dkk., Naskah Akademik, hal. 145.

88 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Pada kajian yang terpisah telah dipelajari pelaksanaan fungsi legislasi oleh suatu elected
akuntabilitas Anggota DPRD tertentu dari representative seharusnya dipandang sebagai
fungsi legislasinya, namun baru dapat ditemukan pekerjaan sehari-hari.
ukuran akuntabilitas secara kelembagaan.23 Berdasarkan latar belakang tersebut, artikel
Berdasarkan berbagai studi pendahuluan ini membahas dua masalah, yaitu:
tersebut,24 akuntabilitas dari suatu badan 1. Bagaimana bentuk akuntabilitas anggota
representasi tercermin dari dua aspek yaitu badan perwakilan di Kota Liverpool,
secara kolegial dan secara individu. Pertama Vancouver, dan Shah Alam?
secara kolegial badan representasi yang memiliki 2. Bagaimana pola akuntabilitas terhadap
fungsi legislasi dituntut akuntabilitasnya berupa Anggota Badan Perwakilan Daerah yang
produk hukum yang dihasilkan secara kualitas memungkinkan diterapkan di Indonesia?
dan kuantitas. Kualitas suatu produk legislasi Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam
dapat diidentifikasi apakah produk hukum yang artikel ini untuk:
dihasilkan lebih banyak mengatur mengenai 1. Mengenali bentuk akuntabilitas anggota
isu kepentingan masyarakat, lebih banyak yang badan perwakilan di Kota Liverpool,
membebani masyarakat melalui pajak atau Vancouver, dan Shah Alam.
retribusi, atau apakah produk hukum yang 2. Menemukan pola akuntabilitas terhadap
dikeluarkan lebih banyak bertema mengenai isu Anggota Badan Perwakilan Daerah yang
elitis seperti mengenai anggaran, pembentukan memungkinkan diterapkan di Indonesia.
daerah baru, organisasi suprastruktur.
Sementara itu, kuantitas produk hukum yang II. METODE PENELITIAN
dihasilkan perlu untuk diidentifikasi, misalnya Penulisan artikel ini didasarkan pada
dilihat dari berapa banyak produk parlemen/ penelitian dengan metode perbandingan hukum,
council yang telah dihasilkan dalam masa yaitu memperbandingkan bentuk akuntabilitas
periode jabatan suatu badan representasi. individual anggota badan perwakilan daerah di
Hal itu lebih mudah diidentifikasi untuk Liverpool (Inggris), Vancouver (Kanada), dan
melihat apakah badan representasi tersebut Shah-Alam (Malaysia) untuk mendapatkan
bekerja melalui penyelenggaraan pembahasan model yang dapat diterapkan pada DPRD di
rancangan produk hukum. Indonesia. Sifat penelitian yang dilakukan,
Kedua, secara individu anggota suatu badan selain bersifat deskriptif analitis untuk
representasi perlu diminta akuntabilitasnya menggambarkan model-model akuntabilitas
dalam rangka menjalankan tugas dan individual anggota badan perwakilan lokal.
wewenang. Misalnya, bagaimana peran aktif Penelitian ini juga bersifat preskriptif, yaitu
seorang anggota council dalam menuangkan berdasarkan hasil perbandingan yang dilakukan
gagasan-gagasannya ketika membentuk akan dibahas dan digunakan untuk menarik
produk legislasi. Yang paling minimal adalah usulan bentuk yang dapat diterapkan dalam
bagaimana presentase kehadirannya dalam pengaturan akuntabilitas anggota DPRD di
sidang-sidang pembahasan. Dari kedua aspek Indonesia.
akuntabilitas tersebut, baik secara kualitas dan Dari segi pilihan perbandingan, ketiga
kuantitas maupun secara kolegial dan individu, kota tersebut merupakan satuan pemerintahan
23
Inna Junaenah dan Rahayu Prasetianingsih, Akuntabilitas lokal dengan tingkatan yang sederajat dengan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Rangka kabupaten/kota di Indonesia. Walaupun
Pelaksanaan Fungsi Legislasi (Studi Terhadap DPRD Kota
Vancouver dan Shah Alam berada pada negara
Bandung Dan Kabupaten Ciamis), Penelitian, Bandung :
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2013. yang berbentuk federasi (Kanada dan Malaysia),
24
Susi Dwi Harijanti dkk., Naskah Akademik; A.G. berbeda dengan Inggris dan Indonesia yang
Sutriyanto Hadi, “Analisis Kinerja DPRD; Inna Junaenah berbentuk kesatuan, namun hubungan antara
dan Rahayu Prasetianingsih, Akuntabilitas Anggota Dewan
kota dengan province (di Kanada) atau Negeri
Perwakilan Rakyat Daerah.

INNA JUNAENAH DAN BILAL DEWANSYAH: Pola Akuntabilitas... 89


(di Malaysia), menampakkan hubungan seperti Menurut Simon Joss, secara tradisional dalam
dalam negara kesatuan. teori negara modern, yaitu accountability has
Selain itu, Liverpool dan Vancouver been defined in its principal form as the mediated
dipilih karena dianggap memiliki similar stages relationship between governors and governed,
of legal development sebagai salah satu alasan whereby the governors have to justify their actions
melakukan perbandingan hukum, yaitu sebagai to the governed as a result of being granted delegated
bagian dari negara maju dan memiliki kerangka authority”26 Terlebih, dengan membuka proses
hukum telah yang berkembang secara historis, pengambilan keputusan kepada penyelidikan
yang diharapkan dapat menginspirasi Indonesia publik dan memungkinkan tuntutan yang
dalam konteks transplantasi/adopsi hukum, beragam, pengetahuan dan pilihan untuk dapat
dalam mengatur model akuntabilitas anggota dipertimbangkan, diasumsikan bahwa kualitas
DPRD.25 Begitu pula pilihan terhadap Shah dan efektifitas hasil keputusan disempurnakan.
Alam, selain memiliki kesamaan stages of Lebih jauh lagi, akuntabilitas menampilkan baik
legal development sebagai negara berkembang, legitimasi input maupun output. Memang pantas
termasuk secara hukum, terdapat pula disebut, menurut Joss, bahwa saat ini literatur
kemiripan jumlah anggota councilor, yaitu 36 akuntabilitas lebih mengutamakan orientasi
dan 23 orang. Jumlah tersebut relatif memiliki pada proses daripada hasil. Fokus utama
kemiripan dengan jumlah anggota DPRD konsep tradisional akuntabilitas terutama pada
di Kabupaten/Kota di Indonesia. Walaupun model Westminster demokrasi liberal, telah
komitmen formal dan prosedural dari Malaysia diistilahkan akuntabilitas perwakilan yang
belum teruji terhadap konsep demokrasi, namun dipilih oleh konsituen, menteri di parlemen,
fungsi pelaksanaan pengurusan kepentingan- pegawai negeri di kementerian, dan sebagainya.
kepentingan masyarakat cukup mengemuka. Hasilnya, tarik-menarik antara
Semua data yang diperoleh dalam akuntabilitas politik dengan akuntabilitas
penelitian ini, umumnya dikumpulkan manajerial telah meningkat yang fokusnya
melalui studi kepustakaan dan studi melalui terhadap pelayanan publik serta evaluasi dan
internet (on-line research). Khusus untuk data pengawasan kinerja yang terkait. Sementara
model akuntabilitas individual pada badan itu penekanan akuntabilitas politik terletak
perwakilan lokal Shah-Alam, selain melalui pada justifikasi politik dari tindakan dengan
studi kepustakaan dan internet, peneliti juga kemungkinan sanksi secara hierarki ke atas
melakukan wawancara dengan ahli hukum di (contohnya, menteri bertanggung jawab
Fakulti Undang-Undang, University Teknologi kepada parlemen dalam sistem pemerintahan
MARA (UiTM) Shah Alam dan pejabat di parlementer), penekanan akuntabilitas
lingkungan pemerintah lokal Shah Alam. manajerial dalam penjelasan Simon Joss,
terletak pada evaluasi dan penjelasan terhadap
III. POLA AKUNTABILITAS kinerja secara timbal balik akan pelayanan yang
Tidak lagi hanya pada wilayah manajemen, diberikan kepada pengguna dan penyandang
akuntabilitas telah menjadi isu kunci dalam dana. Kinerja mengarahkan kepada inputs,
kebijakan dan pengambilan keputusan outputs, dan outcomes, misalnya gambaran
dalam dekade terakhir ini. Dalam beberapa pengaturan mengenai proses, efisiensi, dan
pandangan, termasuk Simon Joss, akuntabilitas efektifitas. Penekanan kinerja ini sebagai
digunakan baik secara substantif maupun cara memperluas keterbatasan sumber daya
retoris sebagai sebuah konsep politik, simbol, dan mencapai value for money. Menjamurnya
dan manifestasi praktikal yang beragam lainnya.
26
Simon Joss, “Accountable Governance, Accountable
25
Peter de Cruz, Comparative Law in Changing World, second Sustainability? A Case Study of Accountability in the
edition, London-Sydney: Cavendish Publishing Limited, Governance for Sustainability”, Environmental Policy and
1999, hal. 222. Governance (Env. Pol. Gov.), Vol. 20, No. 6, November –
Desember 2010.

90 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


mekanisme akuntabilitas manajerial ini materi muatan konstitusi. Sementara itu, dalam
melalui perluasan kerangka negara pengurus kepustakaan kontemporer, di antara yang dapat
dan naiknya manajemen publik yang baru, dikemukakan adalah pembahasan mengenai
menimbulkan risiko berupa hambatan terhadap Hukum Tata Negara yang ditulis oleh Nick
sistem konstitusional akuntabilitas politik. Howard, yaitu Beginning Constitutional Law.28
Perlunya menunjukkan risiko ini menjadi fokus Dalam buku ini lingkup pembahasan Hukum
diskusi dari tahun 1960 mengenai bagaimana Tata Negara di Kerajaan Inggris meliputi
menguatkan akuntabilitas politik melalui sistem pengertian Hukum Tata Negara, pengertian
politik di badan perwakilan. dan dasar-dasar teori tentang konstitusi, fungsi
Akuntabilitas anggota DPRD dapat dan kekuasaan parlemen, hubungan pemerintah
dikatakan bersifat terbuka karena termasuk dengan parlemen, hubungan pemerintah
karakter krusial desentralisasi dalam dengan peradilan, dan perlindungan terhadap
perpektif James Manor. Dalam tulisannya, kebebasan sipil. Di dalam materi yang disebut
Manor mengingatkan tiga hal esensial untuk terakhir itulah di antaranya terdapat pengakuan
mendorong kinerja dari desentralisasi yang bahwa hak untuk protes merupakan hal yang
demokratis, yaitu:27 penting dalam demokrasi. Bentuk tersebut
substantial powers must be devolved onto elected termasuk ke dalam kebebasan berekspresi, yang
bodies at lower levels, substantial resources dapat tampil dalam berbagai media. Oleh
29

much be devolved onto them, and accountability karena itu, ketika masyarakat dapat memberikan
mechanisms must be developed to ensure two kinds penilaian terhadap badan perwakilan rakyat
of accountability: the horizontal accountability secara kolektif maupun individual merupakan
of bureaucrats to elected representatives, and the pelaksanaan hak atas kebebasan informasi dan
downward accountability of elected representatives perwujudan hak atas kebebasan berekspresi.
to ordinary people. Tidak cukup sekedar secara kelembagaan,
Karakter yang ketiga menghendaki anggota pencapaian kinerja DPRD perlu ditunjang
DPRD dari dua segi, yaitu DPRD harus juga dengan akuntabilitas secara individu
mengembangkan kemampuannya untuk cakap karena pada umumnya terhadap suatu lembaga
dalam rangka menerima akuntabilitas dari perwakilan rakyat mendapat kepercayaan
birokrat dan menjadi akuntabel di hadapan publik yang rendah. Hal inilah yang
rakyat. dicontohkan di tingkat pusat, bahwa untuk
Kembali kepada kebutuhan untuk Dewan Perwakilan Rakyat secara statistikal
mengembangkan kajian akuntabilitas anggota memperoleh kepercayaan publik yang rendah
badan perwakilan dari sudut ilmu hukum, dibandingkan dengan pers. Dengan kata lain,
30

khususnya di bidang Hukum Tata Negara, akuntabilitas DPRD yang diukur dari capaian
terdapat suatu sub-bahasan mengenai hubungan prakarsa raperda belum nampak berpengaruh
rakyat dengan negara, pemerintah dengan terhadap kepercayaan badan perwakilan rakyat
yang diperintah, jaminan hak asasi manusia, di pusat dan daerah.
atau yang serupa. Dalam literatur yang terbit Terhadap hal itu, Bagir Manan
lebih dari satu dasawarsa silam, telah banyak mengemukakan empat sumber kehormatan
fondasi lingkup hukum tata negara, misalnya badan perwakilan rakyat, yaitu dipilih langsung
dari pengertian mengenai Hukum Tata 28
Nick Howard, Beginning Constitutional Law, Oxon:
Negara menurut K.C. Wheare, C.F. Strong, Routledge, 2013.
Sri Soemantri yang mengemukakan mengenai 29 Nick Howard, Beginning Constitutional Law, Oxon:
Routledge, 2013, hal. 136
27
James Manor, “Perspectives on Decentralization”, 30
Bagir Manan, “Menjaga Rasa Hormat Publik terhadap
International Center for Local Government (ICLD) Badan Perwakilan Rakyat”, makalah, disampaikan dalam
Working Paper No 3, 2011, http://icld.se/static/files/ diskusi yang diselenggarakan Majelis Kehormatan Majelis
forskningspublikationer/icld-wp3-printerfriendly.pdf, Kehormatan DPD RI, Jakarta, 2012, hal. 2.
diakses tanggal 16 Februari 2016.

INNA JUNAENAH DAN BILAL DEWANSYAH: Pola Akuntabilitas... 91


oleh rakyat, privilege and immunity, kode etik, yang mengklasifikasi tipe wakil rakyat. Pertama,
aturan hukum.31 Pertama, terpilih sebagai Jacob Tobing, yang dikutip oleh Eddy Purnama
anggota badan perwakilan rakyat harus mengemukakan perkembangan teori mandat
dipahami bukan saja karena memperoleh yang membedakan hubungan antara wakil
suara terbanyak (mayoritas), melainkan juga dengan yang diwakili, sebagai berikut:33
karena suatu bentuk kepercayaan publik. 1. Mandat imperatif. Wakil bertindak di
Kedua, privilege dijelaskan oleh Bagir Manan lembaga perwakilan sesuai dengan instruksi
sebagai hak untuk didahulukan dari yang lain. yang diberikan oleh yang diwakilinya.
Bagir Manan mencatat bahwa kemuliaan itu Wakil tidak boleh melakukan hal-hal di
senantiasa disertai kewajiban. Sementara itu, luar instruksi. Apabila ada hal baru yang
immunity dimaksudkan bukan saja karena untuk berada di luar instruksi, maka wakil baru
mengecualikan anggota badan perwakilan boleh bertindak setelah mendapat instruksi
rakyat dari pertanggungjawaban hukum baru dari yang diwakilinya.
tertentu melainkan harus dipahami sebagai 2. Mandat bebas. Wakil dapat bertindak
cara untuk menjaga kepercayaan publik. Ketiga, tanpa tergantung dari instruksi yang
kode etik, sebagai kumpulan kewajiban yang diwakilinya. Dalam ajaran ini si wakil
harus senantiasa dijunjung tinggi oleh pejabat merupakan orang-orang yang terpercaya
publik atau pekerja profesi. Menurut Bagir terpilih dan memiliki kesadaran hukum
Manan, kode etik merupakan standar penjaga masyarakat yang diwakilinya. Sehingga di
kehormatan publik karena sebagai cara untuk wakil dapat bertindak atas nama mereka
menguji kepercayaan publik. Keempat, aturan yang diwakilinya atau atas nama rakyat.
hukum. Berbagai ketentuan hukum, termasuk 3. Mandat representatif. Wakil dianggap
peraturan tata tertib dapat menjadi sandaran bergabung dalam suatu lembaga
dan membangun rasa hormat publik terhadap perwakilan. Rakyat memilih dan
badan perwakilan rakyat. Selain dasar-dasar memberikan mandat pada pada lembaga
normatif dan dogmatik tersebut, Bagir Manan perwakilan, sehingga wakil sebagai individu
mengembangkan pula sumber rasa hormat tidak ada hubungan dengan pemilihnya
publik kepada badan perwakilan rakyat, yaitu apalagi pertanggungjawabannya. Badan
integritas, keinsyafan dan tanggung jawab perwakilan inilah yang bertanggung jawab
politik, keterpelajaran, dan kepemilikan rasa kepada rakyat.
keagamaan atau keyakinan yang baik sebagai Kedua, teori yang dikemukakan oleh Gilbert
way of life.32 Mendukung sumber-sumber rasa Abcarian, yang sebagian telah dikemuakan
hormat publik terhadap badan perwakilan beberapa pakar, mengenai empat macam tipe
rakyat, akuntabilitas merupakan sumber yang hubungan antara si wakil dan rakyat, yaitu:34
dapat dikembangkan. Dengan demikian, a. tipe trustee (wali). Diartikan bahwa si
akuntabilitas Dewan Perwakilan Rakyat yang wakil bertindak atas dasar penilaiannya
dimaksud dalam tulisan ini dimaksudkan untuk sendiri (tanpa perlu berkonsultasi dengan
menjaga kepercayaan publik terhadap wakil- yang diwakilinya), semata-mata untuk
wakilnya. kepentingan nasional.
Ketika membicarakan hubungan antara b. tipe delegate (utusan). Dalam hal ini si
rakyat dengan wakilnya, ada dua teori utama wakil dalam melakukan tugasnya selalu
31
Bagir Manan, “Menjaga Rasa Hormat Publik terhadap
Badan Perwakilan Rakyat”, makalah, disampaikan dalam 33
Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat, Nusamedia,
diskusi yang diselenggarakan Majelis Kehormatan Majelis Bandung, 2007, hal. 12-13.
Kehormatan DPD RI, Jakarta, 2012, hal. 3-5. 34
Sebagaimana dikutip dalam Bilal Dewansyah, “Implikasi
32
Bagir Manan, “Menjaga Rasa Hormat Publik terhadap Pergeseran Sistem Pemilu Terhadap Pola Hubungan
Badan Perwakilan Rakyat”, makalah, disampaikan dalam Wakil Rakyat dan Konstituen”, Jurnal Konstitusi PS2KP
diskusi yang diselenggarakan Majelis Kehormatan Majelis FH UMY, Vol. III, No. 2, November 2010, hal. 30 – 32.
Kehormatan DPD RI, Jakarta, 2012, hal. 6.

92 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang modern. Gagasan itu berasal dari pemerintahan
konstituen tertentu yang diwakilinya.35 feodal ketika ketidakadilan dan sistem yang
c. tipe politico. Menurut tipe ini si wakil absurd mendegradasi kemanusiaan dan
kadang-kadang bertindak sebagai wali penghargaan terhadap martabat manusia.38
(trustee), namun dalam waktu berbeda Akuntabilitas selalu menjadi jantungnya
bertindak sebagai seorang utusan (delegate). dari teori demokrasi, karena menurut
Tindakannya tergantung pada issue (materi) Staffan I. Lindberg demokrasi membutuhkan
yang dibahas. akuntabilitas.39 Menurut Lindberg, dalam
d. tipe “partisan”. Dalam tipe ini si wakil akuntabilitas politik, badan perwakilan rakyat
bertindak sesuai dengan keinginan atau memperhitungkan para pemilih karena para
program partai (organisasi) si wakil. pemilih tersebut melimpahkan kekuasaannya
Setelah si wakil dipilih oleh pemilihnya terhadap wakil yang terpilih pada saat pemilu.40
(yang diwakilinya), lepaslah hubungan Gagasan akuntabilitas politik, menurut Jason
dengan pemilih dan mulailah dengan partai Peacey, dianggap sebagai hakikat akuntabilitas
(organisasi) yang mencalonkannya dalam dari seorang wakil kepada yang diwakilinya (a
pemilihan. notion of the accountability of representatives to
Kedua teori yang menghubungkan those whom they represented).
41

antara wakil rakyat dengan yang diwakilinya Berkaitan dengan aspek apa yang oleh
mencerminkan suatu dinamika pelaksanaan akuntabilitas tuntut terhadap badan perwakilan,
penyerapan kedaulatan rakyat. Di dalamnya bergantung pada akuntabilitas macam apa
perlu dicatat bahwa penting bagi rakyat yang yang dimaksud. Akuntabilitas politik dan
diwakili untuk menagih amanat kepada wakilnya administratif secara sendiri-sendiri melibatkan
secara kolektif (kelembagaan) dan secara beberapa aspek yang menurut Bovens terdiri
individual. Hal ini dikuatkan dengan catatan dari empat kategori akuntabilitas secara
Rousseau bahwa walaupun telah menyerahkan umum. Pertama, berdasarkan hakikat dari
42

sebagian kekuasaannya, sekutu bersangkutan forumnya, dapat dibedakan antara akuntabilitas


masih terus mempunyai hak untuk menuntut politik, akuntabilitas hukum, akuntabilitas
berlakunya hukum ini.36 Menyambung hal administratif, dan akuntabilitas sosial. Kedua,
tersebut, Frans Magnis mengemukakan bahwa berdasarkan hakikat pelakunya, dapat
kontrol para warga negara berlangsung melalui diklasifikasikan dalam akuntabilitas corporate
dua sarana yaitu: secara langsung melalui (lembaga), akuntabilitas hierarki, akuntabilitas
pemilihan para wakil dan secara tidak langsung kolektif, dan akuntabilitas individual. Ketiga,
melalui keterbukaan (publicity) pemerintahan.37 38 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian
Dalam hal ini, Rousseau menyebutkan bahwa Sosial), diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan
judul The Social Contract, or Principles of Political Rights
gagasan representasi adalah sebuah gagasan
oleh G.D.H. Cole dan diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia oleh Vincent Bero, Jakarta : Visimedia, 2007,
35
Menurut Rehfeld, tipe trustee dan delegate muncul dalam hal. 162.
perdebatan antara Edmund Burke yang membela tipe 39
S. I. Lindberg, “Accountability: the core concept and its
trustee dengan kelompok anti Federalis yang membela subtypes,” Africa Power and Politics Programme (APPP)
tipe delegate ketika membicarakan peran Kongres dalam Working Paper No. 01, April 2009, hal. 7.
konteks pembentukan Konstitusi Amerika Serikat. 40
S. I. Lindberg, “Accountability: the core concept and its
Andrew Rehfeld, “Representation Rethought: on subtypes,” Africa Power and Politics Programme (APPP)
Trustees, Delegates and Gyroscopes in The Study of Working Paper No. 01, April 2009, hal. 15.
Political Representation and Democracy”, American 41
Jason Peacey, “Royalist News, Parliamentary Debates and
Political Science Review, Vol. 103, No. 2, Mei 2009, hal. PoliticalAccountability”, Parliamentary History, Vol. 26,
217. No. 3, Oktober 2007, hal. 343.
36
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Cetakan 42
Mark Boven, “Analysing and Assessing Public
keenam, Bandung : Mizan, 2000, hal. 3. Accountability: A Conceptual framework,” European
37
Frans Magnis-Soeseno, Etika Politik, Jakarta: Gramedia Governance Papers (EUROGOV) No. C-06-01, 2006, hal.
Pustaka Utama, 1999, hal. 291. 20.

INNA JUNAENAH DAN BILAL DEWANSYAH: Pola Akuntabilitas... 93


berdasarkan hakikat dari tindakan, terdapat Teori-teori tersebut menunjukkan bahwa
akuntabilitas keuangan, akuntabilitas badan perwakilan rakyat dan akuntabilitas
prosedural, dan akuntabilitas produk. Keempat, merupakan elemen esensial dari demokrasi.
terdapat akuntabilitas vertikal, diagonal, dan Kenyataannya, konsep-konsep tersebut berkaitan
horizontal dari hakikat kewajibannya. erat. Suatu badan perwakilan rakyat dikatakan
Akuntabilitas politik dalam tulisan ini cukup akuntabel terhadap para pemilihnya karena
sentral karena saling memiliki keterkaitan antara mandatnya dihasilkan dari konstituen. Seorang
keberadaan badan perwakilan rakyat sebagai wakil dipilih untuk mengatur, tetapi dia dipandang
institusi politis. Menurut Jermain T.M. Lam, akuntabel terhadap masyarakat berdasarkan
demokrasi perwakilan telah menjadi dominan gagasan filosofis dari kedaulatan rakyat.
dan bentuk paling praktis pemerintahan di Dalam artikel Lam tersebut, nilai terhadap
negara barat dibandingkan dengan demokrasi keterwakilan dan akuntabilitas menteri-menteri
langsung.43 Menurutnya dengan mengadopsi pada model Inggris dan Amerika dipandang
pendapat Ball dan Peters, ada tiga karakter dari meningkat melalui dorongan legislatif.45 Dalam
teori demokrasi liberal dari representasi:44 dua model itu, penunjukkan menteri-menteri
Pertama, penekanannya adalah terhadap dirorong oleh badan perwakilan rakyat yang
pentingnya hak-hak individu. Dewan terpilih, karenanya mereka dikatakan akuntabel
perwakilan rakyat merupakan saluran bagi dan berhutang legitimasi terhadap dewan
pendapat dan kepentingan para individu. Kedua, perwakilan rakyat tersebut. Di Hong Kong, di
suatu elemen rasionalis. Manusia merupakan sisi lain, dewan perwakilan rakyat tidak hanya
ciptaan dari alasan-alasan. Setiap orang akan kurang berwenang untuk mengumpulkan
menggunakan suaranya dalam model yang menteri-menteri, tetapi penunjukkannya juga
cerdas dan konsekuensinya dimungkinkan untuk berada di tangan kepala pemerintahan secara
terdistribusi dalam seleksi badan perwakilan. keseluruhan.46 Artikel ini mengadopsi aspek–
Ketiga, kedaulatan rakyat yang diekspresikan aspek akuntabilitas yang dikemukakan oleh
melalui perluasan hak pilih. Maka dari itu badan Jermanin T.M. Lam untuk melihat sistem
perwakilan harus akuntabel dan bertanggung
akuntabilitas badan perwakilan dalam tingkat
jawab terhadap masyarakat.
daerah Di Liverpool, Vancouver dan Shah
Alam sebagai terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pola Akuntabilitas Anggota Badan Perwakilan Rakyat Tingkat Daerah


Aspek akuntabilitas Karakter Deskripsi
Mandat politik Dari mana sumber legitimasi kedudukannya ………………………………
Akuntabilitas kolektif Dalam hal apa tindakan/keputusan harus ……………………………….
disepakati bersama oleh badan ……………………………….
……………………………….
Akuntabilitas individu Kepada siapa anggota badan perwakilan Apakah ada mekanismenya?
bertanggung jawab
Media akuntabilitas individu ……………………………………… ………………………………..
Bentuk-bentuk akuntabilitas ……………………………………… ………………………………..
Sumber: Jermanin T.M. Lam, diolah oleh penulis.

43
Mark Boven, “Analysing and Assessing Public Accountability: 45
Mark Boven, “Analysing and Assessing Public Accountability:
A Conceptual framework,” European Governance Papers A Conceptual framework,” European Governance Papers
(EUROGOV) No. C-06-01, 2006, hal. 577. (EUROGOV) No. C-06-01, 2006, hal. 577.
44
Mark Boven, “Analysing and Assessing Public Accountability: 46
Mark Boven, “Analysing and Assessing Public Accountability
A Conceptual framework,” European Governance Papers : A Conceptual framework,” European Governance Papers
(EUROGOV) No. C-06-01, 2006, hal. 577. (EUROGOV) No. C-06-01, 2006, hal. 578.

94 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


IV. IDENTIFIKASI SARANA populations below 85,000, councils may adapt
PEMANTAUAN TERHADAP their older structure of committees, each dealing
ANGGOTA BADAN PERWAKILAN with a separate sector, in which no distinction is
Pada bagian ini dikemukakan perbandingan made between cabinet and backbenchers).49
identifikasi akuntabilitas anggota City Council Di dalam pemerintahan daerah itu sendiri
di Liverpool dan Vancouver, ditambah dengan terdapat perbedaan yang jelas antara councilors
anggota Majlis Perwakilan Penduduk (MPP) dan officers.50 Councillors melalui keputusannya
Shah Alam. dalam sidang paripurna (full council) dan
A. Liverpool eksekutif menyusun keseluruhan kebijakan
District Councils merupakan salah satu tipe dewan kota. Sementara itu, officers mempunyai
Pemerintah daerah dalam sistem Pemerintahan tugas untuk memberikan nasihat-nasihat secara
Daerah Kerajaan Inggris. Selain itu, terdapat profesional.
tipe Pemerintah Daerah (Local Authority) Liverpool merupakan salah satu kota yang
lainnya yaitu County Councils, Unitary termasuk combined authorities, selain West
Authorities, London Boroughs, dan Metropolitan Yorkshire, Sheffield, dan the North East, yang
Districts.47 Menurut Undang-Undang tentang ditetapkan pada April 2014.51 Local councilors
Pemerintahan Daerah (Local Government yang ada saat itu mendirikan combined
Act-LGA 2000), dewan kota dapat memiliki authorities, terhadap pengisiannya rakyat tidak
struktur dalam tiga jenis yang berbeda, yaitu: memilih secara langsung.52 Dalam combined
1. Satu orang pimpinan dan kabinet (a authorities terdapat kesepakatan otonomi yang
leader and cabinet), Dewan Kota memilih disebut devolution deals, yaitu persetujuan
seorang pimpinan dewan yang kemudian antara Pemerintah dengan local councill.53
mengangkat kabinet. Setiap anggota kabinet Dalam pengisian jabatan para councillor,
bertanggung jawab untuk sektor tertentu rakyat tampaknya memilih partai politik yang
(local councillors elect a council leader who mengusulkan para kandidat para councillor
then appoints a cabinet. Each cabinet member tersebut sebagaimana dipublikasikan dalam
is responsible for a particular sector). situs resminya berdasarkan hasil pemilihan
2. Seorang walikota dan kabinet (an executive
mayor and a cabinet), dalam suatu wilayah 49
LG Group Public Affairs and Campaigns Team, “The LGA
rakyat memilih seorang walikota yang quick guide to local government”, The Local Government
Group, April 2011, hal. 14, http://www.local.gov.uk/c/
kemudian akan mengangkat kabinet (in
document_library/get_file?uuid=7add92dc-76f7-47e0-
some areas the public vote for a mayor who b0ae-9036f1dd70a4&groupId=10180, diakses tanggal 29
then appoints the cabinet). November 2016.
3. Dalam wilayah dengan populasi kurang dari 50
LG Group Public Affairs and Campaigns Team, “The LGA
quick guide to local government”, The Local Government
85.000 orang Dewan Kota dapat menerapkan
Group, April 2011, hal.17, http://www.local.gov.uk/c/
struktur komite yang lama, yang masing- document_library/get_file?uuid=7add92dc-76f7-47e0-
masing menyepakati untuk bertanggung b0ae-9036f1dd70a4&groupId=10180, diakses tanggal 29
jawab terhadap sektor tertentu, yang di November 2016.
51
Citizensassembly, “The Local Government System in
dalamnya tidak terdapat perbedaan antara
England Today”, http://citizensassembly.co.uk/local-
kabinet dengan backbenchers48 (in areas with government-explained/, diakses tanggal 29 November 2016.
52
Citizensassembly, “The Local Government System in
47
Local Government Association Public Affairs, The LGA
England Today”, http://citizensassembly.co.uk/local-
quick guide to local government, the Local Government
government-explained/, diakses tanggal 29 November 2016.
Association, 2011, hal. 7 53
Parliament UK, “This briefing note outlines the origins and
48
backbencher di Inggris merupakan anggota parlemen
structures of combined authorities, which will handle many
yang tidak memiliki posisi resmi dalam pemerintahan
of the ‘devolution deals’ agreed between the Government
atau dalam partai oposisi, namun memiliki hak untuk
and local areas in England”, http://researchbriefings.
berbicara, dalam “backbencher”, http://dictionary.
parliament.uk/ResearchBriefing/Summary/SN06649,
cambridge.org/dictionary/english/backbencher, diakses
diakses pada tanggal 29 November 2016.
tanggal 29 November 2016.

INNA JUNAENAH DAN BILAL DEWANSYAH: Pola Akuntabilitas... 95


Tabel 2. Pola Akuntabilitas Anggota Badan Perwakilan Rakyat di Liverpool
Aspek Akuntabilitas Karakter Deskripsi
Mandat politik Councilor dipilih melalui partai politik Yang dipilih langsung oleh rakyat
adalah partai politik.
Akuntabilitas kolektif Tindakan/keputusan harus disepakati
bersama dalam forum full council dalam
devolusion deal
Akuntabilitas individu Lebih tampak pertanggungjawaban moral Mekanisme pertanggungjawaban
belum terkonfirmasi
Media akuntabilitas individu Publikasi nternet
Bentuk-bentuk akuntabilitas Kehadiran, kontribusi dalam persidangan,
dan kepentingan/aliansi
Sumber: Liverpool Government.

umum 5 Mei 2016.54 Dengan eksistensinya itu, keramahtamahannya (gifts and hospitalities).
rakyat dapat memantau dan berinteraksi dengan Pertama, dari sisi kehadiran Mirna Juarez
para councillor, paling tidak melalui publikasi memiliki catatan kehadiran meliputi total
resmi yang cukup lengkap. Para pembaca dapat expected attendaces (10), presented as expected
menelusuri strategi, rencana, dan kebijakan di (9), apologies received (1), dan absent incl.
bidang perumahan, perencanaan lingkungan, apologies (1).56 Kedua, dari catatan pernyataan
keluarga dan anak-anak, kesehatan, dan layanan dalam persidangan, terdapat keterangan There
orang dewasa. Secara politis, para councillor are no declarations of interest on this record for
dapat dipantau dari agenda-agenda pertemuan period. 57 Ketiga, dari inventarisasi kepentingan
dan risalah persidangan, termasuk bagaimana para anggota, terdapat pernyataan eksplisit
pada councillor dan lord mayor bekerja.55 beberapa aspek yang dapat menyebabkan
Secara khusus mengenai para anggota konflik kepentingan, misalnya, untuk aspek
councillor dan komite, dapat dengan mudah land (kepemilikan tanah), ditegaskan “Any
ditelusuri baik berdasarkan nama, partai politik beneficial interst in land which is within the area
(partai independen saat ini tidak mendapatkan of the authority, terdapat milik pribadi beralamat
kursi), area, kode pos, bahkan bagian nama di 239 Speke Road, Woolton, Liverpool L25
tertentu. Sebagai contoh, jika menelusuri 0LA dan pihak lain yang relevan beralamat
berdasarkan asal partai politik, misalnya di 239 Speke Road, Woolton, Liverpool L25
Partai Demokrat Liberal, maka akan didapati 0LA.58 Hal tersebut sangat penting untuk dapat
4 (empat) orang councillor, yaitu councilor terdeskripsi bagaimana performa para councilor.
Mirna Suarez, Malcolm Kelly, Richard Kemp,
CBE, dan Andrew Makinson. Untuk Mirna
56
Liverpool Government, “Councillors and Committees:
Attendance,” http://councillors.liverpool.gov.uk/
Juarez, misalnya, dapat dipantau bagaimana mgAttendance.aspx?UID=4054, pada tanggal 29
catatan kehadiran sidang (attendance record), November 2016.
pernyatannya dalam persidangan (declarations 57
Liverpool Government, “Councillors and Committees:
at meetings), inventarisasi kepentingannya Declaration of Interest”, http://councillors.liverpool.
gov.uk/mgListDeclarationsOfInterest.aspx?UID=4054,
(register of interests), serta kegiatan diakses pada tanggal 29 November 2016.
58
Liverpool Government, “Councillors and Committees:
54
Liverpool Government, “Councillor and Committees: Gifts and Hospitalities,” Liverpool Government,
Local Election,” http://councillors.liverpool.gov.uk/ “Councillors and Committees:Liverpool Government,
mgElectionResults.aspx?ID=34&RPID=10090135, “Councillors and Committees: Liverpool Government,
diakses pada tanggal 29 November 2016. “Councillors and Committees: http://councillors.liverpool.
55
Liverpool City Council, “Council”, http://liverpool.gov. gov.uk/mgListGifts.aspx?UID=4054&RPID=10090284,
uk/council/, diakses pada tanggal 29 November 2016. diakses pada tanggal 29 November 2016.

96 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Kalaupun secara detail, misalnya pernyataan antaranya adalah mengembangkan akses media
dalam persidangan tidak terdapat dalam terhadap pegawai di balai kota.
profil sebagaimana ditelusuri di atas, namun Dalam periode keduanya, Councillor
masih dapat ditemukan dalam dokumen yang Affleck berhasil memperkenalkan mosi untuk
lain, contohnya seperti catatan terhadap menyelidiki pembentukan kantor ombudsperson’s
councilor Kevin Morrison ketika mengajukan (ombudsman), yang mengarah pada terciptanya
pertanyaan kepada anggota kabinet urusan Balai Kota yang lebih akuntabel terhadap
ketetanggaan.59 Dengan demikian, dalam satu masyarakat di Vancouver. Sebelum memasuki
website pemerintah daerah, terdapat cukup dunia politik, Affleck mengepalai komite orang
banyak informasi untuk dapat memotret kinerja tua siswa sekolah dasar False Creek, memimpin
individu para councilor. Berdasarkan keterangan festival komedi internasional di Vancouver,
tersebut, sistem akuntabilitas anggota city the Cooperative Auto Network (now Modo),
council di Liverpool jika dituangkan ke dalam dan bekerja sebagai direktur the Vancouver
bentuk tabel dapat dilihat pada Tabel 2. International Children’s Festival. Selain deskripsi
tersebut, terdapat pula riwayat jabatannya baik
B. Vancouver di komite maupun jabatan kedaerahan.
City council (dewan kota) Vancouver Selain profil individual, terdapat monitoring
terdiri dari mayor (walikota) dan 10 councillors terhadap pendapatan dalam rangka menjalankan
yang dipilih untuk periode 4 (empat tahun).60 tugasnya tersebut beserta biaya-biaya yang diatur
Kesepuluh councilor tersebut dapat ditelusuri dalam Peraturan Daerahnya, yaitu Mayor and
baik biografi maupun performa kerjanya, Council Member’s Expense Bylaw 11529 dan
melalui daftar profil yang ditampilkan dalam Mayor and Council Renumeration Bylaw 11483.62
situs resmi. Dalam situs ini, seorang councilor Pendapatan Councillor adalah berdasarkan
George Affleck dipublikasikan kecenderungan nilai rata-rata masyarakat Vancouver bekerja
pandangannya, dan keberhasilannya untuk seharian, dengan menggunakan data sensus
mewujudkan gagasannya.61 Lebih dari itu, Vancouver. Pendapatan ini disesuaikan setiap
setiap persidangan di dalam city council direkam tahun dan dalam tahun sensus berjalan.
dan dapat diamati sewaktu-waktu, karena Seluruh hornor ini dikenakan pajak. Di luar itu,
terdokumentasi secara online. Tampak dari berdasarkan Mayor and Council Member’s Expense
kutipan publikasi situs The City of Vancouver Bylaw 11529, councilor berhak atas tunjangan
Councillor George Affleck yang terpilih atas biaya-biaya seperti (1) biaya anggaran lokal
pertama kali di Vancouver pada tahun 2011 dan (2) anggaran biaya perjalanan dan pelatihan.
memiliki komitmen pada kepentingan dalam Kesemua penghasilan tersebut tampak wajar dan
isu-isu warga Vancouver, pembayar pajak, dan terutama dapat diketahui oleh publik. Lebih jauh
bisnis. Dalam periode pertama ini, Councillor dari itu, berbagai substansi dari rapat-rapat dan
Affleck mendorong transparansi anggaran dan persidangan dapat diakses baik berupa risalah
pengendalian fiskal di balai kota. Dia berhasil maupun rekaman video. Misalnya, rapat rutin the
memperkenalkan sejumlah mosi, termasuk di Standing Committee of Council tentang prioritas
kebijakan dan strategi, yang diselenggarakan
59
Councillors Kevin Morrison, “Question to the Cabinet
pada hai Rabu, 2 November 2016, di Ruang
Member for Neighbourhoods,” http://councillors.
liverpool.gov.uk/documents/s205454/Environmental%20 Dewan, Lantai 3 Balai Kota.63
offences%20by%20Cllr%20K%20Morrison.pdf, diakses
pada tanggal 29 November 2016. 62
City of Vancouver, “City Council Salaries and Expenses,”
60
City of Vancouver, “Vancouver City Council,” http:// http://vancouver.ca/your-government/city-council-salaries-
vancouver.ca/your-government/vancouver-city-council. expenses.aspx, diakses pada tanggal 29 November 2016.
aspx, diakses pada tanggal 29 November 2016. 63
City of Vancouver, “Report to Council Standing Committee
61
City of Vancouver, “Councillor George Affleck,” http:// of Council on Policy and Strategic Priorities,” http://council.
vancouver.ca/your-government/george-affleck.aspx, vancouver.ca/20161102/documents/pspc20161102min.
diakses 29 November 2016. pdf, diakses pada tanggal 29 November 2016.

INNA JUNAENAH DAN BILAL DEWANSYAH: Pola Akuntabilitas... 97


Selain dari laman mengenai profil, anggaran, dan perangkat daerah serta
kehadiran, dan penghasilan, situs ini juga penempatan staf. Sementara itu, akuntabilitas
menginformasikan catatan kontribusi secara individu lebih menampakkan
pandangan dan pemikiran para councilor pertanggungjawaban secara moral, walaupun
dalam persidangan. Secara rutin, notice of mekanisme pertanggungjawaban belum
meeting yang jelas berisi keterangan agenda, terkonfirmasi. Yang menjadikan masyarakat
waktu, dan tempat persidangan dapat terakses terpenuhi ha katas informasinya secara
secara mudah. Dalam risalah tersebut konten jelas dalam hal ini, adalah bahwa melalui
persidangan dapat diunduh, yang di dalamnya publikasi internet, bentuk-bentuk informasi
dapat ditelusuri siapa saja yang turut berbicara berupa kehadiran, kontribusi gagasan dalam
dalam sidang. Selain risalah dalam bentuk persidangan, pandangan dan pemikiran politik,
dokumen pdf, berbagai dokumentasi video pencapaian, dan pendapatan, dapat dirasakan
persidangan dapat pula ditonton, walaupun sebagai bentuk akuntabilitas individu. Tidak
dalam masa tayang tertentu.64 Dari uraian mudah informasi seperti ini dikehendaki
tersebut, sistem akuntabilitas anggota city oleh seorang anggota badan perwakilan,
council di Vancouver jika dituangkan ke dalam karena sangat bergantung pada kesadaran,
bentuk tabel, maka dapat dilihat pada Tabel 3 kesukarelaan, dan ketundukan pada etika
berikut: keterbukaan diri. Hal yang juga mendukung

Tabel 3. Pola Akuntabilitas Anggota Badan Perwakilan Rakyat di Vancouver


Aspek Akuntabilitas Karakter Deskripsi
Mandat politik Councilor memiliki legitimasi politik yang kuat Councilor dipilih
langsung oleh rakyat
Akuntabilitas kolektif Tindakan/keputusan harus disepakati bersama Mayor
dalam pembentukan peraturan daerah, persetujuan
anggaran, dan perangkat daerah serta penempatan staf
Akuntabilitas individu Lebih tampak pertanggungjawaban moral Mekanisme
pertanggungjawaban
belum terkonfirmasi
Media akuntabilitas individu Publikasi internet
Bentuk-bentuk akuntabilitas Kehadiran, kontribusi gagasan dalam persidangan,
pandangan dan pemikiran politik, pencapaian, dan
pendapatan
Sumber: City of Vancouver.

Berdasarkan data tersebut, aspek adalah bahwa walikota merupakan bagian dari
akuntabilitas dari politik pada councilor di dewan kota, yang menjadikan suatu jabatan
Kota Vancouver memiliki legitimasi politik politis memiliki persamaan akuntabilitas, dan
yang cukup kuat karena mereka dipilih berbeda dengan akuntabilitas aparat birokrasi.
secara langsung oleh rakyat. Secara kolektif,
akuntabilitas anggota badan perwakilan C. Majelis Perwakilan Penduduk (MPP)
ini tercermin pada tindakan/keputusan Shah Alam-Malaysia
harus disepakati bersama walikota dalam Dari laman resmi Majlis Bandaraya Shah
pembentukan peraturan daerah, persetujuan Alam (MBSA), diketahui bahwa MBSA
merupakan salah satu satuan pemerintahan
64
City of Vancouver, “City Finances and Services-March
9, 2016”, http://civic.neulion.com/cityofvancouver/index. lokal (local authority) berdasarkan Local
php?clipid=3494609%2C000, diakses pada tanggal 30 Government Act (LGA) 1976 yang berstatus
Maret 2016.

98 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


City Council (Majlis Bandaraya), di samping 1) Mesyuarat 3 bulan sekali – Jawatankuasa Khas
Municipal Council dan District Council.65 Dalam Majlis Perwakilan Penduduk; 2) Kuasa melantik
konteks Malaysia sebagai negara federasi/ dan memecat AJK MPP ZON; 3) Melaksana
serikat, MBSA berada di bahwa otoritas dan memantau semua jenis aktiviti di zon; dan 4)
negara bagian (state authority) Kerajaan Negeri Perancangan dan kawalan bajet tahunan.​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​69
Selangor Darul Ehsan. Sistem pemerintahan Dalam keseharian para anggota MPP,
MBSA, otoritas lokal, dan negara bagian di berkantor di zona tempatnya bertugas
Malaysia pada umumnya menyerupai tatanan (terdapat 24 zona), sehingga penduduk dapat
sistem pemerintahan pada tingkat federal, yaitu langsung berinteraksi dengan anggota MPP
sistem parlementer, yang pelaksana urusan yang mewakilinya.70 Selain melaksanakan
pemerintahan dan badan perwakilan rakyat fungsi penyampaian pengaduan dan masalah
merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat penduduk, MPP di tiap-tiap zona juga
dari struktur organisasi MBSA yang terdiri (1) melaksanakan program bagi zonanya sesuai
Datuk Bandar (Mayor), semacam walikota masukan dan kesepakatan dengan penduduk
di Indonesia, membawahi beberapa jabatan di zona tersebut. Setiap seksyen di Shah Alam
(semacam perangkat daerah di Indonesia), mempunyai tema dan penamaan nama bagi
(2) Majelis Perwakilan Penduduk (MPP)/Ahli jalan masing-masing yang melambangkan
Majelis (Resident Representative Council), yang identitas Shah Alam sebagai sebuah kota
keduanya merupakan bagian tidak terpisahkan besar modern tetapi masih mengekalkan ciri
dari MBSA. setempat.71 Kota Shah Alam dibagi menjadi
MPP tersebut seperti DPRD yang ada di empat zona besar, yaitu zona pusat kota (section
Indonesia pada level pemerintahan daerah 1 sd 14), Kawasan Utara (section U1 sd U20),
kota/kabupaten. MPP terdiri dari ahli majlis/ Kawasan Tengah (section 1 sd 24), dan Kawasan
councilors (seperti anggota DPRD) yang Selatan (section 25 sd 36). Secara keseluruhan,
bertindak sebagai pengurus, dibantu tiga performa kerja MPP terpublikasikan dalam
orang pegawai dari pegawai MBSA serta ahli laporan bulanan dan cara merespon keluhan
jawatan kuasa (AJK) dari ahli Majlis sebanyak masyarakat.72 Misalnya, anggota MPP yang
20 hingga 30 orang yang masing-masing bertugas di Zon 3 yang meliputi seksyen 7 sd
bertugas pada setiap zona (wilayah).66 Dengan U12 adalah Encik Noryzal B. Zainal Abidin.
demikian akuntabilitas dari local council pada Alamat, nomor telephon, dan surat elektronik
MBSA adalah akuntabilitas Ahli Majlis pada dapat terinformasikan di dalamnya.73 Secara
MPP. Berbeda dengan di Indonesia, Ahli Majlis individu, tercatat pula laporan persentase
(Councilors) MPP diangkat oleh otoritas negara 69
MBSA, “Majlis Perwakilan Penduduk,” http://www.
bagian, sama dengan cara pengangkatan Datuk mbsa.gov.my/ms-my/komuniti/programkomuniti/
Bandar (Mayor), di mana calonnya merupakan majlisperwakilanpenduduk/Halaman/mpp_pengenalan.
penduduk pada wilayah pemerintahan lokal aspx, diakses pada tanggal 29 November 2016.
70
Shahrul Nizam B. Salim, pejabat pada Jabatan Korporat
tersebut untuk masa jabatan paling lama 3
& Pembangunan Komuniti MBSA, Hasil Wawancara, 24
tahun.67 Secara umum, MPP berfungsi sebagai Agustus 2016, di Shah Alam, Selangor, Malaysia.
agen penyampaian masalah dan pengaduan 71
MBSA, “Tema Seksyen Shah Alam,” http://www.mbsa.
penduduk Shah Alam.68 Lebih lengkapnya, gov.my/ms-my/infoshahalam/kenalishahalam/Halaman/
tema_seksyen.aspx, diakses pada tanggal 29 November
tugas MPP Induk adalah sebagai berikut:
2016.
72
MBSA, “Statistik Perkhidmatan Dalam Talian,” http://
65
Lihat Article 1 para. d Part I LGA 1976 (diubah terakhir www.mbsa.gov.my/ms-my/mbsa/statistik/Halaman/
tahun 2006), <http://www.pht.org.my/legislation/Local%20 statistik_2014.aspx, diakses pada tanggal 29 November
Government%20Act_1976_0.pdf.> 2016.
66
MBSA, “Ahli Majelis” http://www.mbsa.gov.my/ms-my/ 73
MBSA, “Senarai Ahli Majlis,” http://www.mbsa.
mbsa/pengurusan/ahlimajlis/Halaman/default.aspx gov.my/ms-my/komuniti/programkomuniti/
67
Article 10 para (1), (2), dan (3) LGA 1976. majlisperwakilanpenduduk/Halaman/mpp_senarai_
68
“Ahli Majelis” ahlimajlis.aspx, diakses pada tanggal 29 November 2016.

INNA JUNAENAH DAN BILAL DEWANSYAH: Pola Akuntabilitas... 99


pencapaian kinerja secara berkala berikut pola integriti tersebut merupakan salah satu
deskripsi pencapaian tersebut secara tahunan74 cara menyelesaikan persoalan integritas pejabat
dan juga pantauan dalam setiap bulan. negara dan pemerintahan pada semua level
Walaupun anggota MPP tidak dipilih pemerintahan di Malaysia khususnya melalui
secara langsung oleh rakyat tetapi ditetapkan Biro Pengaduan Awam, semacam Ombudsman.79
oleh badan perwakilan Negara Bagian Kerajaan Selain itu, persoalan akuntabilitas anggota MPP
Selangor, penduduk di Shah Alam, sebenarnya menurutnya juga dapat diselesaikan melalui
dapat melakukan pengaduan langsung melalui Pengadilan, walaupun secara khusus LGA
laman pengaduan pada website MBSA. Namun 1976 tidak menegaskan bahwa penduduk dapat
demikian, penduduk juga dapat melakukan mengugat anggota MPP.80 Hal ini merupakan
pengaduan atau usulan melalui MPP di zonanya. konsekuensi dari tradisi hukum Malaysia yang
Para MPP membahas persoalan-persoalan merupakan common law system, sehingga tidak
yang ada zonanya serta kebijakan MBSA pada selalu mengandalkan sumber hukum yang
umumnya secara internal dalam forum pre- tertulis seperti akta (undang-undang), tetapi
counsel, untuk selanjutnya dibahas bersama juga yang tidak tertulis seperti berbagai prinsip-
Datuk Bandar dan Jabatan terkait dalam prinsip dalam common law, misalnya the right to be
forum-forum full counsel.75 Kehadiran mereka heard, berbeda dengan sistem hukum Indonesia
pada forum-forum tersebut mempengaruhi hak yang lebih banyak dipengaruhi civil law system.81
keuangan yang mereka dapatkan. Menurut Namun menurutnya harus dipelajari terlebih
Sharul, para Ahli Majlis digaji dari anggaran dahulu parent act­-nya (LGA 1976).82
MBSA, yang terdiri dari tunjangan tetap, Terdapat kritik terhadap keberadaan MPP
tunjangan komunikasi, tunjangan kehadiran dalam LGA 1976. M.W. Norris dalam bukunya
pada rapat-rapat dan kegiatan MBSA.76 Local Government in Penisular Malaysia, undang-
Jika para anggota MPP tidak melaksanakan undang tersebut kecil sekali kontribusinya
tugasnya dengan baik, Sharul menegaskan terhadap tujuan pembentukan peraturan
hal tersebut merupakan persoalan integriti.77 perundang-undangan tersebut berdasarkan visi
Dalam hal ini, walaupun penduduk tidak Tun Razak (Perdana Menteri saat itu), yaitu
memilih langsung anggota MPP, namun jika dalam hal sensitivity of public needs and greater
anggota MPP tidak melaksanakan tugasnya public participation.83 Karakter anggota MPP
dengan baik, misalnya sering tidak berada (councilors) yang diangkat menghilangkan
di tempat atau sukar ditemui, penduduk kepentingan para pemilih publik (penduduk),
dapat mengadukannya kepada MBSA dan sehingga peran publik hanya berupa peran
MBSA dapat mengusulkan kepada otoritas 79
Noormawati Hashim (Dr.), Dosen Senior Fakulti Undang-
negara bagian untuk memberhentikannya dan Undang UiTM, Hasil Wawancara, 25 Agustus 2016, di
menggantinya dengan yang baru atau kepada Main Campus UiTM, Fakulti Undang-Undang, Bangunan
Biro Pengaduan Awam.78 Cempaka, Shah Alam.
80
Noormawati Hashim (Dr.), Dosen Senior Fakulti Undang-
Terkait dengan problem akuntabilitas
Undang UiTM, Hasil Wawancara, 25 Agustus 2016, di
dengan pola integriti tersebut, Noormawati Main Campus UiTM, Fakulti Undang-Undang, Bangunan
Hashim ahli hukum administrasi dari Fakulti Cempaka, Shah Alam.
Undang-Undang UiTM menegaskan, bahwa 81
Noormawati Hashim (Dr.), Dosen Senior Fakulti Undang-
Undang UiTM, Hasil Wawancara, 25 Agustus 2016, di
74
MBSA, “Pencapaian Piagam Pelanggan,” http://www. Main Campus UiTM, Fakulti Undang-Undang, Bangunan
mbsa.gov.my/ms-my/mbsa/statistik/Halaman/statistik_ Cempaka, Shah Alam.
piagam_pelanggan.aspx, diakses pada tanggal 29
82
Noormawati Hashim (Dr.), Dosen Senior Fakulti Undang-
November 2016. Undang UiTM, Hasil Wawancara, 25 Agustus 2016, di
75
Shahrul Nizam B., pejabat pada Jabatan Korporat. Main Campus UiTM, Fakulti Undang-Undang, Bangunan
76
Shahrul Nizam B., pejabat pada Jabatan Korporat. Cempaka, Shah Alam.
77
Shahrul Nizam B., pejabat pada Jabatan Korporat.
83
M.W. Norris, Local Government in Penisular Malaysia,
78
Shahrul Nizam B., pejabat pada Jabatan Korporat. Northants, England : Gower Publishing Company Ltd,
1980, hal. 101.

100 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


konsultatif (consultative role).84 Di luar literatur setiap zona, dan mereka tidak memiliki kantor
tersebut diakui pula kelemahan dari pengisian di kompleks gedung pemerintahan MBSA.
jabatan Ahli Majlis tersebut yang berasal Keadaan yang demikian tampak sebagai upaya
dari partai politik. Dalam hal ini konflik untuk lebih mendekatkan diri kepada khalayak
kepentingan akan selalu cenderung muncul. masyarakat dalam yurisdiksinya.
Walaupun demikian, MBSA selalu memberi
anjuran untuk menghindari gejala tersebut, V. POLA AKUNTABILITAS ANGGOTA
misalnya tidak dianjurkan untuk menyematkan BADAN PERWAKILAN DAERAH:
simbol-simbol partai politik ketika bertugas USULAN UNTUK DPRD
sebagai anggota MPP. Dengan demikian, pola Berdasarkan pendapat Staffan I.
akuntabilitas anggota Badan Perwakilan Rakyat Lindberg, terdapat klasifikasi akuntabilitas
di Shah Alam dapat dikemukakan dengan yang dapat diterapkan terhadap ketentuan
menggunakan pola Tabel 4 berikut: mengenai anggota DPRD di Indonesia.
Tabel 4. Pola Akuntabilitas Anggota Badan Perwakilan Rakyat di Shah Alam
Aspek Akuntabilitas Karakter Deskripsi
Mandat politik Councilor memiliki legitimasi politik yang Councilor ditunjuk oleh councilor
unik kerajaan Selangor, satuan
pemerintahan yang lebih tinggi
Akuntabilitas kolektif Terdapat forum full-councel
Akuntabilitas individu Kinerja anggota MPP berdasarkan zona- Walaupun tidak dipilih langsung,
zona tertentu untuk menciptakan program- rakyat dapat menyampaikan pengaduan
program pemberdayaan masyarakat seorang anggota MPP kepada MBSA
Media akuntabilitas Publikasi internet Laporan kinerja dapat dipantau setiap
individu bulan dan juga melalui kantor anggota
MPP di setiap zona
Bentuk-bentuk Aktifitas kepengurusan setiap bulan
akuntabilitas
Sumber: Majlis Bandaraya Shah Alam.

Berdasarkan Tabel 4 tersebut, pola Jika diterapkan terhadap DPRD dengan


akuntabilitas anggota badan perwakilan di tugas dan wewenang seperti di Indonesia,
Shah Alam menunjukkan mandat politik dilihat dari hakikat forumnya, akuntabilitas
dengan legitimasi yang unik, yakni bahwa DPRD termasuk jenis akuntabilitas politik,
para councillor ditunjuk oleh councilor kerajaan hukum, dan sosial. Termasuk ke dalam
Selangor sebagai satuan pemerintahan yang akuntabilitas politik, jelas karena DPRD
lebih tinggi. Walaupun demikian, rakyat dapat diusulkan oleh partai politik. David Minja
menyampaikan pengaduan seorang anggota memandang bahwa akuntabilitas melibatkan
MPP kepada MBSA. Secara kolektif pun, kinerja pembenaran keputusan politik, tindakan, dan
MPP diwadahi suatu forum yang berjenjang manajerial yang dapat dipertanggungjawabkan
hingga lengkapnya dalam full-councel. Melalui untuk mengimplementasikan keputusan-
publikasi internet, informasi kinerja anggota keputusannya dan menyepakati tugas-tugas
MPP dapat terekam melalui laporan kinerja menurut kriteria performa yang disepakati.85 Bagi
setiap bulan dan melalui kantor anggota MPP di Minja, akuntabilitas yang efektif tidak sekedar
85
David Minja, “Accountability Practice In Kenya’S Public
84
M.W. Norris, Local Government in Penisular Malaysia,
Service: Lessons To Guide Service Improvement,”
Northants, England: Gower Publishing Company Ltd,
International Journal of Business and Management Review,
1980, hal. 101.
Vol.1, No.4, 2013, hal. 55.

INNA JUNAENAH DAN BILAL DEWANSYAH: Pola Akuntabilitas... 101


mengenai penampilan dalam laporan, tetapi juga secara individual mempertanggungjawabkan
dikehendaki ulasan, termasuk tindakan korektif tindakan personalnya dalam suatu organisasi
yang tepat dan konsekuensinya terhadap merupakan strategi yang lebih tepat.89
individu.86 Juga dikatakan sebagai akuntabilitas Sebagaimana dikemukakan sebelumnya,
hukum karena hak-hak dan kewajiban para elaborasi potensial terhadap pelanggaran
anggota DPRD diatur berdasarkan ketentuan hak-hak dan kewajiban DPRD terhadap
peraturan perundang-undangan, dan menjadi kehadirannya dalam sidang-sidang, bagaimana
akuntabilitas sosial karena DPRD harus mengeksplorasi berbagai gagasan dan pandangan,
merasa berkewajiban untuk memperhitungkan dan penggunaan belanja anggaran yang tidak
performa kerjanya terhadap masyarakat luas. teridentifikasi. Identifikasi ini memunculkan
Kedua, berdasarkan hakikat subjeknya/ baik akuntabilitas politik dan moral dari DPRD
aktor, akuntabilitas DPRD termasuk ke dalam yang tersebar dalam skema: input, proses, dan
akuntabilitas kolektif dan individual. Secara output.90 Berikut ini terdapat skema yang dapat
komunal, badan perwakilan dapat memiliki ditawarkan penulis, sebagai berikut:
fungsi legislasi yang bertugas untuk membuat Gambar 1. Skema Akuntabilitas Badan Perwakilan
peraturan yang baik secara kualitas dan Input Proccess Output
kuantitas. Satu hal yang dapat menjadi ukuran ––qualification ––to speak: to ––examine:
––track record what extend recallable
adalah pertanyaan apakah peraturan yang the ideas are or unvoted
dihasilkan merupakan isu yang populer (pro delivered
––to attend
in the next
election
publik), represif (termasuk tuntutan pajak) ––to spend
budget
bagi masyarakat, atau elitis seperti anggaran appropriate
atau organisasi perangkat daerah. Hal-hal
Dalam skema input, seorang kandidat
itu dapat terjangkau untuk diamati terhadap
wakil rakyat harus dapat menjawab dalam
aktifitas badan perwakilan. Boven mencatat
menghadapi isu track record dan kualifikasi.
dua kelemahan besar dari akuntabilitas
Dalam demokrasi perwakilan perwakilan
kolektif, yaitu: (1) didasarkan pada ketepatan
dikenal bahwa tidak semua orang memenuhi
moralitas (moral appropriateness) dan (2) tidak
syarat untuk bermusyawarah not all people are
cukup untuk memberi keadilan kepada banyak
eligible to adjust in assembly. Dalam skema input,
perbedaan (antara individu) anggota yang
kandidat harus memenuhi kualifikasi untuk
justru penting dalam hal memberi sanksi atas
menjanjikan bahwa seorang yang terhormat ini
guilt, shame, and blame.87 Limitasi akuntabilitas
akan memperjuangkan masyarakat. Di sinilah
ini dapat menjawab klasifikasi Boven
letak substansi dari legitimasi, yang menurut
yang lainnya yaitu akuntabilitas individu.
Albert Waele, dari Héritier and Lehmkuhl,
Secara individu, karena rejim akuntabilitas
sebagai konsekuensi dari isu akuntabilitas
merupakan suatu kompleksitas pengaturan dan
politik (… that these problems of legitimacy arein
hubungan yang menyeluruh,88 secara individu
effect problems of political accountability).91
akuntabilitas politik mengarah pada sistem
yang saling berkaitan, bentuk-bentuk yang 89
Mark Bovens, “Analysing and Assessing,” hal. 20.
terstandardisasi, termasuk kewajiban untuk 90
Skema akuntabilitas ini telah dikemukakan dalam
menginformasikan, menafsirkan, proses dan presentasi makalah penulis pertama yang berjudul
“Disparity of Individual Rights and Duties of Local
pembahasan rancangan peraturan. Dalam hal
Representatives Body in Indonesia Forwarding Moral and
ini, akuntabilitas individual di mana pejabat Political Accountability” pada International Conference
On Ethics In Governance (ICONEG 2016), bertema
86
David Minja, “Accountability Practice In Kenya’S Public “Intersecting Law, Religion, and Politics”, Makassar, 19-
Service: Lessons To Guide Service Improvement,” 20 Desember 2016, dan makalah tersebut sedang dalam
International Journal of Business and Management Review, proses dimuat dalam prosiding.
Vol.1, No.4, 2013, hal. 55. 91
Albert Weale, ”New Modes of Governance, Political
87
Mark Bovens, “Analysing and Assessing,” hal. 19. Accountability and Public Reason”, Government and
88
Mark Bovens, “Analysing and Assessing,” hal. 14. Opposition, Vol. 46, No. 1, Januari 2011, hal. 61.

102 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Setelah terpilih, konstituen perlu memantau disetujui, merupakan akuntabilitas produk
partisipasi wakilnya dalam memperjuangkan secara kelompok.
gagasan-gagasannya. Tahap inilah yang disebut Yang terakhir, berdasarkan hakikat
proses. Dengan kata lain, mereka mampu untuk kewajiban akuntabilitas DPRD paling
bicara, jadi orang akan menilai sejauh mana mendekati sebagai akuntabilitas horizontal,
gagasannya tersampaikan. Untuk penilaian karena the obligation felt by agencies to publicly
tersebut digunakan standar minimum, seperti account for themselves is moral in nature, and not
persentasi anggota DPRD dalam kehadiran based on legal requirements.93 Dapat digarisbawahi
dalam rapat-rapat dan persidangan. Dalam bahwa akuntabilitas dalam konteks kewajiban
pengaturan keuangan, wakil rakyat harus merupakan sebuah persetujuan kontraktual.94
menunjukkan bahwa mereka membelanjakan Dalam pemahaman ini, tidak tercermin
anggaran secara tepat. Paradigma itu ditegaskan disparitas antara badan perwakilan dengan
oleh World Bank terhadap elaborasi dari aktor lainnya, tetapi dalam ketentuan tentang
desentralisasi politik, yang meliputi desentralisasi hak-hak dan kewajiban badan perwakilan secara
fiskal dan partisipasi publik. Dalam model individu. Pembentuk peraturan telah membuat
desentralisasi ini dikehendaki keberadaan ketidakseimbangan dan inkonsistensi yang
bentuk institusi demokrasi yang mendorong memunculkan hak-hak lebih besar daripada
politisi untuk mengimplementasikan kehendak kewajiban badan representasi. Akuntabilitas
masyarakat setempat di mana terdapat jaminan politik, yang berujung pada akuntabilitas
akuntabilitas lokal (…decentralization forms pada penyelenggaraan negara semacam ini,
of democratic institutions that induce politicians memiliki perspektif konstitusional sebagaimana
to implement the wishes of localresidents, thereby ditegaskan oleh Bagir Manan. Dikatakannya
ensuring local accountability).92 bahwa akuntabilitas pemerintahan tidak cukup
Untuk persepsi ini, fungsi legislasi hanya diukur karena telah ada demokrasi,
seharusnya dipahami sebagai suatu tugas rule of law, konstitusionalisme, dan lain-lain.
harian. Jika dalam proses ini wakil rakyat tidak Lebih dari itu, akuntabilitas harus disertai
perform, mekanisme output menghendaki dengan perhatian terhadap konsep-konsep
adanya standar pergantian antar waktu (recall) dasar Undang-Undang Dasar 1945.95 Menurut
yang jelas dengan dua cara, yaitu: a) oleh Bagir Manan, akuntabilitas politik merupakan
partai politik yang mengusulkannya atau oleh wujud dari nasionalisme penyelenggara negara,
konstituen atau tidak dipilih kembali pada karena yang dikehendaki para pendiri bangsa
pemilihan berikutnya. bukan sekadar membentuk bangsa dan negara
Ketiga, berdasarkan hakikat tindakan, kebangsaan melainkan juga untuk mewujudkan
akuntabilitas DPRD termasuk ke dalam kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan
akuntabilitas keuangan dan prosedural sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
jika kelayakan manajemen keuangan oleh Berdasarkan uraian itu semua, skema
DPRD berada dalam suatu risiko. Sebagai akuntabilitas anggota DPRD sebagaimana
catatan, DPRD tidak boleh terjebak dalam dikemukakan di atas dapat didorong untuk
limitasi keuangan secara prosedural, jika dikembangkan ke dalam dua bentuk:
tidak mereka tidak dapat menemukan isu-isu disandarkan pada pengendalian etika atau
potensial untuk diperjuangkan dalam majelis. diwujudkan ke dalam suatu norma hukum. Jika
Yang paling penting adalah upaya untuk yang dipilih adalah alternatif pertama, maka
memproses rancangan peraturan seperti apa dibutuhkan upaya yang lebih dan kesadaran
yang memungkinkan diusulkan, dibahas, dan
93
Mark Boven, “Analysing and Assessing,” hal. 20 – 21.
92
K.-Y. Tsui, Y. Wang, “Decentralization with Political 94
Mark Boven, “Analysing and Assessing,” hal. 15.
Trump: Vertical Control, Local Accountability and 95
Bagir Manan, “Kekuasaan Akuntabel dan Cita-Cita
Regional Disparities In China”, China Economic Review, Nasional Indonesia (Perspektif Konstitusional)”, Varia
Vol. 19, No. 1, Maret 2008, hal. 19. Peradilan No. 321, Agustus 2012, hal. 13

INNA JUNAENAH DAN BILAL DEWANSYAH: Pola Akuntabilitas... 103


moral yang sangat besar untuk mempersepsi sampai pada keterbukaan yang demikian bukan
bahwa walaupun yang dirinci dalam peraturan sesuatu yang sederhana, karena dibutuhkan
perundang-undangan sebagai hak-hak. Namun, kondisi kedewasaan berdemokrasi yang tinggi.
harus dipahami sebagai kewajiban moral, Interaksi dengan pengusul atau pemilih para
yang jika tidak terdapat catatan terhadap anggota badan perwakilan rakyat tidak berhenti
pelaksanaan aktifitas tersebut, maka dapat hanya ketika sudah ditetapkan terpilih,
dinilai bahwa kinerjanya rendah. Sementara itu, melainkan berlanjut sepanjang pelaksaanaan
jika yang dipilih adalah jalan yang kedua, maka tugasnya dalam periode tersebut.
masih memungkinkan pertanyaan, bentuk Berdasarkan pengalaman ketiga daerah
hukum apakah yang lebih tepat. Bentuk hukum yang dibandingkan, pola akuntabilias anggota
apapun yang akan dipilih, alasan yang mendasar badan perwakilan paling sedikit meliputi skema
adalah dorongan terhadap materialisasi hukum input, proses, dan output Dalam pemahaman
(materialization of law) atau dengan kata lain bahwa demokrasi representatif dibutuhkan
moralisasi (law moralization).96 Bagi penulis, karena tidak semua orang dapat bermusyawarah,
upaya moralisasi ini dapat diwujudkan ke dalam tidak cukup bahwa akuntabilitas dalam hal ini
revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah, dapat dipertanggungjawabkan sebatas seperti
dengan menambahkan dan menguatkan materi apa kegiatan para anggota dan penggunaan
yang belum terakomodasi. Bentuk Undang- keuangan, namun juga sejauh wakil rakyat
Undang dipilih supaya dapat berlaku bagi memikirkan pemberdayaan masyarakat dan
seluruh pemerintahan daerah di Indonesia, mendistribusikan pemikirannya dalam forum
dan Undang-Undang tentang Pemerintahan yang formal. Bagi Indonesia pola tersebut
Daerah merupakan spesifikasi terhadap dibutuhkan karena secara konstitusional
ketentuan mengenai DPRD sebagai salah satu tujuan dari akuntabilitas politik adalah untuk
unsur pemerintahan daerah. mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
VI. PENUTUP Penulis menyarankan perwujudan skema
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan akuntabilitas anggota DPRD dengan pola yang
bahwa pola akuntabilitas anggota suatu badan telah dijelaskan di atas ke arah materialisasi
perwakilan di Liverpool, Vancouver, dan Shah hukum (materialization of law) atau dengan
Alam tampak dari ruang yang diciptakan oleh kata lain moralisasi hukum (law moralization).
sistem parlemen yang modern di tingkat sub- Materi mengenai pola akuntabilitas yang
nasional, dan bentuk akuntabilitas yang paling dikehendaki paling sedikit meliputi catatan
mendasar darinya adalah keterbukaan informasi kehadiran, kecenderungan kepentingan,
mengenai apa yang dilakukan oleh para anggota kontribusi pemikiran, dan pencapaian kinerja.
badan perwakilan. Beberapa informasi penting Upaya moralisasi hukum ini dapat diwujudkan
dari keterbukaan tersebut yaitu kehadiran dan ke dalam revisi Undang-Undang Pemerintahan
kontribusi pemikiran dalam persidangan. Untuk Daerah, dengan menambahkan dan
menguatkan materi yang belum terakomodasi.
96
Menurut Habermas, materialisasi hukum (materialization
of law) atau moralisasi (law moralization), merupakan Bentuk Undang-Undang dipilih supaya dapat
penetrasi keadilan substantif ke dalam hukum positif (the berlaku bagi seluruh pemerintahan daerah
penetration of substantive justice into positive law). Habermas di Indonesia, dan Undang-Undang tentang
menegaskan juga bahwa “the boundaries between law and
Pemerintahan Daerah merupakan spesifikasi
morality ought not to be blurred. Lihat Jürgen Habermas,
Law and Morality, diterjemahkan dari Bahasa Jerman ke terhadap ketentuan mengenai DPRD sebagai
Bahasa Inggris oleh Kenneth Baynes, The Tanner Lectures salah satu unsur pemerintahan daerah.
On Human Values, delivered at Harvard University
October 1 and 2, 1986, hal. 223, http://tannerlectures.
utah.edu/_documents/a-to-z/h/habermas88.pdf, diakses
tanggal 8 Februari 2017.

104 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


DAFTAR PUSTAKA Manor, James. “Perspectives on
Decentralization”. International Center
for Local Government (ICLD) Working
Paper No 3. 2011. http://icld.se/static/
Jurnal/ Hasil Penelitian files/forskningspublikationer/icld-wp3-
Boven, Mark, 2006. “ Analysing and Assessing printerfriendly.pdf, diakses tanggal 16
Public Accountability: A Conceptual Februari 2016.
framework”. European Governance Papers Minja, David. “Accountability Practice In
(EUROGOV) No. C-06-01. Kenya’S Public Service: Lessons To Guide
Dewansyah, Bilal. “Implikasi Pergeseran Sistem Service Improvement.” International Journal
Pemilu Terhadap Pola Hubungan Wakil of Business and Management Review, Vols.
Rakyat dan Konstituen”. Jurnal Konstitusi Vol.1, No.4. 2013.
PS2KP FH UMY. Vol. III, No. 2. November Olu-Adeyemi, Lanre and Tomola Marshal
2010. Obamuyi. “Public Accountability:
Harijanti, Susi Dwi, dkk. Naskah Akademik RUU Implications of the Conspiratorial
Akuntabilitas Penyelenggara Negara, Jakarta: Relationship between Political Appointees
Kedeputian Pengawasan dan Akuntabilitas and Civil Servants in Nigeria”. iBusiness.
Aparatur Kementerian Pendayagunaan Vol. 2, No. 02. Januari 2010.
Aparatur Negara (PAN), 2011. Peacey, Jason. “Royalist News, Parliamentary
Joss, Simon. “Accountable Governance, Debates and Political Accountability”,
Accountable Sustainability? A Case Study Parliamentary History, Vol. 26, No. 3,
of Accountability in the Governance for Oktober 2007.
Sustainability”. Environmental Policy and Rehfeld, Andrew. “Representation Rethought:
Governance (Env. Pol. Gov.). Vol. 20, No. on Trustees, Delegates and Gyroscopes in
6, November – Desember 2010. The Study of Political Representation and
Junaenah, Inna dan Rahayu Prasetianingsih, Democracy.” American Political Science
Akuntabilitas Anggota Dewan Perwakilan Review. Vol. 103, No. 2. Mei 2009.
Rakyat Daerah Dalam Rangka Pelaksanaan Tsui, K.-Y. & Y. Wang. “Decentralization with
Fungsi Legislasi (Studi Terhadap DPRD Political Trump: Vertical Control, Local
Kota Bandung Dan Kabupaten Ciamis). Accountability and Regional Disparities in
Penelitian. Bandung: Fakultas Hukum China.” China Economic Review. Vol. 19,
Universitas Padjadjaran, 2013. No. 1. Maret 2008.
Lam, Jermain T.M. “Political Accountability in Weale, Albert. ”New Modes of Governance,
Hong Kong: Myth or Reality?” The Australian Political Accountability and Public
Journal of Public Administration. Vol. 68, Reason.” Government and Opposition. Vol.
No. S1. Maret 2009. 46, No. 1. Januari 2011.
Lindberg, S. I., “Accountability: the core
concept and its subtypes.” Africa Power and Buku-buku
Politics Programme (APPP) Working Paper de Cruz, Peter. Comparative Law in Changing
No. 01, April 2009. World. Second edition. London- Sydney:
Manan, Bagir. “Kekuasaan Akuntabel dan Cavendish Publishing Limited, 1999.
Cita-Cita Nasional Indonesia (Perspektif Fox, Jonathan. Accountability Politics Power and
Konstitusional).” Varia Peradilan. No. 321. Voice in Rural Mexico. New York : Oxford
Agustus 2012. University Press Inc., 2007.

INNA JUNAENAH DAN BILAL DEWANSYAH: Pola Akuntabilitas... 105


Howard, Nick., Beginning Constitutional Law, Rousseau, Jean Jacques., Du Contract Social
Oxon, Routledge, 2013. (Perjanjian Sosial), diterjemahkan ke dalam
Magnis-Soeseno, Frans, Etika Politik, Jakarta : Bahasa Inggris dengan judul The Social
Gramedia Pustaka Utama, 1999. Contract, or Principles of Political Rights
oleh G.D.H. Cole dan diterjemahkan ke
Noer, Deliar. Pemikiran Politik di Negeri Barat. dalam Bahasa Indonesia oleh Vincent
Bandung: Mizan, 2000. Bero, penyunting, Nino, Cet.1, Visimedia,
Norris, M.W., Local Government in Penisular Jakarta, 2007.
Malaysia, Northants, England: Gower Shah, Anwar (Ed.). Performance Accountability
Publishing Company Ltd, 1980. and Combating Corruption. Washington :
Rauf, Maswadi (et.al), Menakar Demokrasi di The World Bank, 2007.
Indonesia: Indeks Demokrasi Indonesia 2009,
UNDP Indonesia, 2011.

106 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


CONSTITUTIONAL COURTS AND JUDICIAL REVIEW:
LESSON LEARNED FOR INDONESIA

MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG:


PEMBELAJARAN BAGI INDONESIA

Muhammad Siddiq Armia


Faculty of Sharia and Law, State Islamic University (UIN) Ar-Raniry
Jl. Syeikh Abdul Rauf, Kopelma Darussalam, Banda Aceh
Email: msiddiq@ar-raniry.ac.id & muhammad.siddiq.armia@gmail.com

Naskah diterima: 14 Maret 2017


Naskah direvisi: 25 Mei 2017
Naskah diterbitkan: 20 Juni 2017

Abstrak
Posisi peradilan memainkan peranan penting dalam proses uji materi undang-undang. Mahkamah konstitusi
dan pengujian undang-undang merupakan dua kata yang saling berkaitan memiliki keterikatan. Ide dasar
pengujian peraturan perundang-undangan melalui lembaga peradilan berkembang luas di dunia hingga
sampai ke Indonesia. Sistem pengujian undang-undang dengan melibatkan hakim sudah sering digunakan
dan dipraktekkan di berbagai negara. Terdapat dua organ kenegaraan yang mempunyai peran vital dalam
memaikan peran ini yaitu mahkamah konstitusi dan mahkamah agung. Model seperti ini lebih dikenal
dengan model terpusat di suatu lembaga negara sebagaimana yang di Amerika Serikat. Sedangkan negara
yang mempunyai mahkamah konstitusi akan melimpahkan kewenangan pengujian undang-undang kepada
mahkamah konstitusi, model ini dikenal dengan model Kelsen. Pada model ini mahkamah konstitusi hanya
berfokus pada konstitutionalitas peraturan peraturan perundang-undangan serta memastikannya agar tidak
bertentangan dengan norma dalam konstitusi. Mahkamah agung pada model ini hanya berfokus untuk
menangani kasus sehari-hari saja, bukan untuk menguji peraturan perundang-undangan. Dua model ini
pengujian undang-undang ini (melalui mahkamah konstitusi dan mahkamah agung) sering diterapkan dalam
sistem ketatanegaraan dunia, termasuk juga di Indonesia. Pada zaman rezim otoriter, Indonesia menerapkan
sistem pengujian undang-undang terpusat, dengan memposisikan Mahkamah Agung sebagai organ tunggal
negara yang menangani perkara sehari-hari dan pengujian undang-undang. Menemukan hambatan dengan
model terpusat ini, akhirnya Indonesia membentuk Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi Indonesia
hanya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang tetap menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Modifikasi seperti ini
berakibat rentannya terjadi pertentangan putusan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Kata kunci: studi perbandingan, mahkamah konstitusi, pengujian undang-undang.

Abstract
In the context of reviewing law through judiciary organ, the court plays significant role to review several
regulation. This article specifically will discuss regarding the role of court on judicial review. This idea
spreads out worldwide including in Indonesia. The Constitutional court and judicial review are two
words which having inextricably meaning that attached to each other. On worldwide, the system of
reviewing law by involving judges commonly has been practiced by several countries. There are two
most significant state organs that plays role in the system, they are constitutional court and supreme
court. Most countries do not have constitutional court and will deliver the authority of judicial review
through supreme court. It has added more tasks, not only to adjudicate the common case, but also
regarding constitutionality matter of an act against constitution. This model is commonly known
as a centralized model, as practiced in the United State of America. In the Countries that owned a
constitutional court, will certainly deliver the authority of judicial review through constitutional court.

MUHAMMAD SIDDIQ ARMIA: Constitutional Courts and Judicial Reviews... 107


This model is commonly known as Kelsenian’s countries. Thus, the lesson learned can be
model. In this model, the constitutional court achieved from other countries experiences.
will merely focus on the constitutionality of In the broader discussion of the system of
regulations, and ensuring those regulations judicial review in the world can be divided into
not in contradicting with the constitution. three major models, as follow: American model,
The Supreme Court in this model merely
Austrian model, and French model. These models
focus on handling common cases instead
have developed partially into several variant
of regulations. Those two model of judicial
models. These three models of judicial review
review (through the constitutional court
and the supreme court) has widely been has a fascinating side to explore, this due to their
implemented in the world legal systems, significant role in influencing the Indonesian’s
including in Indonesia. In the authoritarian judicial review system as well as how have been
regime, Indonesia implemented the they applying in the constitutional systems. The
centralized model, which positioned the models will be briefly discussed below.
Supreme Court as the single state organ First is the American model judicial review.
to handle the common case and also The American model significantly is the
judicial review. Having difficulties with the first time judiciary that conducting a judicial
centralized model, after the constitution review from parliament work. In this model,
amendment in 2003, Indonesia has officially the Supreme Court is holds the supremacy of
formed the constitutional court as the the constitution. The Supreme Court has been
guardian of constitution. However, the
dispersed as well as decentralized judicial review
Indonesian Constitutional Court (ICC)
mechanism among courts in the states and the
merely examine and/or review the statute
Federal Supreme Court. The system has been
that against the Indonesian’s Constitution
year 1945, and related to the legislations applied in practice since over two hundred years
products lower than the statute will ago in the United States. The Supreme Court as
remains the portion of the Supreme Court the part of judicial power holds the supremacy
jurisdiction. Such modification is vulnerable of Constitution has been firmly regulatedin the
resulting a judgement conflict between the American’s Constitution, specifically in the
ICC and the Supreme Court. Section 2 Article III, stated that;
Keywords: comparative studies, The judicial power shall extend to all cases, in law
constitutional courts, judicial and equity, arising under this Constitution, the
review laws of the United States, and treaties made, or
which shall be made, under their authority;--to all
cases affecting ambassadors, other public ministers
I. INTRODUCTION and consuls;--to all cases of admiralty and maritime
This article will critically discuss the jurisdiction;--to controversies to which the United
comparative studies on judicial review in States shall be a party;--to controversies between
European, American and also South African two or more states;--between a state and citizens
model. The reasons of using these three of another state;--between citizens of different
continents as subject are because they influence states;--between citizens of the same state claiming
the world order, particularly in law review. lands under grants of different states, and between
a state, or the citizens thereof, and foreign states,
The specific comparative point is on how the
citizens or subjects.1
judiciary system plays its significant role not only
adjudicates daily cases but also reviewing and 1
American’s Constitution, Section 2 Article III. For the cases
annulling a number of acts and regulations. This law using the Article as the sources can visit the website
comparison has significant point for Indonesian http://press-pubs.uchicago.edu/founders/tocs/a3_2_1.html,
diakses 10 Juni 2017 . See also Lee J. Strang, “Originalism’s
constitutional system as Indonesian judicial Subject Matter: Why the Declaration of Independence
review system adopts foreign system from other Is Not Part of the Constitution,” Southern California Law
Review, Vol. 89, No.3, March 2016, hal. 637.

108 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


The above mentioned Section has shown in the states and the Federal Supreme Court,
that the Constitution has widely given the the model applied in Europe have been very
authorities for the Supreme Court to resolve centralized and concentrated merely on one
all the cases occur inside or outside the United institution; popularized in Austria; which
States. This model, has resulting the success furthermore can be claimed as the pioneer
story in America, has made significant influence of judicial review mechanism in Europe that
for the world wide, including Indonesia. commonly known as Austrian model. This model
Indonesia has been over 58 years,2 practiced also known as the Kelsenian Court that asserted
the American model under the authoritarian by Stone as a prototype model of judicial reviews
regime,3 positioning the Supreme Court as the in Europe.
central of judicial review power. However, the From the Austrian model has been
American model in Indonesia has been slightly developed several important variants, one
modified. The judicial review authority has of them is developed in Germany commonly
centralized in the Supreme Court instead of known as Bundes-Verfassungsgerichtshof (Federal
distributed to the provincial court. Since the Constitutional Court), which relatively has a
existence of the ICC in 2003, the Supreme strong position. Other variants can be seen in
Court power to review all of the regulations, the South African Constitutional Court, which
has been limited, which only have authority to is positioned as the highest court.5 In general
review the regulations under the statute. the judicial review practiced in Europe has a
Second is the Austrian model judicial significant modification to which is commonly
review. This model known as the Kelsenian practiced in the United States of America.
Court, as asserted by Stone as a prototype model The development of Austrian model
of judicial review in Europe.4 This model has around the world has taken place very quickly,
been very centralized and concentrated merely as happened in the Asian countries.6 Most
on one institution known as the constitutional of them amending their constitution have
court. It can be claimed as the pioneer of judicial transplanted the idea of constitutional court in
review mechanism in Europe. their constitution with some modifications.
Whilst the judicial review in the United This phenomenon also has occurred
States have been conducted in the dispersed in Indonesia. After the amendment of the
and decentralized mechanism among courts 1945’s Constitution, Indonesia includes the
constitutional court in their constitution, known
2
During 1945 until 2003 Indonesian’s judicial review
system purely adopted American model judicial review, as the Indonesian Constitutional Court (ICC).
centralizing Supreme Court as the single one. Zainal Practically, the constitutional court which has
AM Husein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI: Tiga transplanted in Indonesia seems similar to the
Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta:
Germany model. However, the ICC is not a
Rajawali Pers, 2009, hal. 21-27.
3
See also Sharon Poczter and Thomas B. Pepinsky, single court that having authority to review all
“Authoritarian Legacies in Post–New Order Indonesia: regulations under the constitution. This due
Evidence from a New Dataset,” Bulletin of Indonesian to it has to share its power with the Supreme
Economic Studies, Vol. 52, No.1, April 2016, hal. 77-100.
Court to review the regulations. The ICC is
4
Alec Stone have asserted that the Austrian practice is
reflected important for Western Europe, and the Kelsen merely has jurisdiction for reviewing a statutes
idea on constitutional court is broadly recognized recently that against the constitution; and on the other
as the design of the European model constitutional hand the Supreme Court has juridiction for
review, in opposition to the American model. Alec Stone,
The Birth of Judicial Politics in France: The Constitutional 5
C. G. Van der Merwe and J. E. Du Plessis, Introduction
Council in Comparative Perspective, Oxford: Oxford to the Law of South Africa, New York: Kluwer Law
University Press, 1992, hal. 228. See also Frances E. Lee, International, 2004, hal. 71-72.
“How Party Polarization Affects Governance,” Annual 6
Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies
Review of Political Science, Vol.18, No.1, February 2015, Constitutional Court in Asian Cases, Cambridge: Cambridge
hal. 261-282. University Press, 2003, hal. 247.

MUHAMMAD SIDDIQ ARMIA: Constitutional Courts and Judicial Reviews... 109


the regulations under the statute. This dualism members. Consequently, both the DPA and the
system of judicial review has seemed easy in Watimpres are almost similar with the role of the
idea but has obstacles in the practice. In this Constitutional Council in France. They have
dualism system of judicial review, Indonesia has significant role to ensuring the president will
widely modified the system existing in Austria run his government in track with constitution,
as well as in Germany. particularly, reviewing the regulations made by
And the last is the France model with its the president.
Constitutional Council, which was formatted It is also interesting to take into account the
in 1958. It also have played an essential fascinating matter which can be compared among
role in Europe, as the court conferred with the other models are the institutionalization
several authorities, particularly, in reviewing of the function of constitutionality
the constitutionality of legislation. The review have been clearly regulated in the
Constitutional Council is not likely as a Supreme Kelsenian’s element. The institutionalization
Court or constitutional court in Austrian model of constitutional justice system has been
nor American model. The general role of this developed according to the Austrian-Germany
council is to ensuring the executive branch, models, in term of the recruitment of the judges.
such as president will follow its policy in order Moreover, the European’s judges have a special
not against the constitution.7 Therefore, this position; because they are not derived from the
Council can be categorized as an advisory body career judge, meanwhile, in the United States
for thepresident instead of judicial institution of America all the judges handling the cases
for reviewing a statute. including the constitutional review are the
This council furthermore has been developed career judges.
in some countries including Indonesia. Before However, the development of the judicial
the constitution amendment, Indonesia also review institutions, such as the Constitutional
had this kind of institution which is known Court or the Constitutional Council, also has
as the DPA.8 The DPA main task is giving received criticism among the legal experts. The
the input and consideration for the President critics are mostly regarding the legitimacy or
to act in according to the constitution. After lawfulness of the institutions; which have been
the long debate on its effectiveness among the developed according to the European tradition.
state organs, after the amendment of the 1945’s Some of legal scholars claimed that those judges
Constitution, the DPA erased. However, the have worked sometimes more political than
president remains has simple state institution legal; and frequently they tend to get caught as
that giving input as well as consideration, which a legislator instead of as an interpreter of the
is known as the Watimpres.9 The Watimpres’s constitution.10 Even Harlow claims that judicial
institution is consisting of nine members, which review is in threat of flattering a political
has very small amount of members compared method, and it need a modification from the
with the previous DPA which having 45 current method in view of the possibility of
judicial review becoming free for all.11
7
Alec Stone, The Birth of Judicial Politics in France: The
Another model which also important to
Constitutional Council in Comparative Perspective, Oxford:
Oxford University Press, 1992, hal. 119-224. consider is the United Kingdom model. This
8
Dewan Pertimbangan Agung (Supreme Advisory model perceived that the judicial review is not
Council) was special state organ giving advice for the required that up to the present the country does
president. Its role and authoriy was clearly governed in the
not adopt such review procedures into in its
Act Number 4 of 1978 on the Supreme Advisory Council.
The members were consisted 45 persons. 10
Susana Galera, ed., Judicial Review: A Comparative Analysis
9
Watimpres = Dewan Pertimbangan President (The
inside the European Legal System, Strasbourg: Council of
Presidential Advisory Council). http://www.wantimpres.
Europe, 2010, hal. 171.
go.id/Beranda/tabid/36/Default.aspx, diakses 30 Juni 11
C. Harlow, “Public Law and Popular Justice,” Modern Law
2015.
Review, Vol. 65, No.1, January 2002, hal. 1-18.

110 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


national judicial system. Even if the idea of the It implies that the institution performing
judicial review is applied, such constitutionality the constitutional review function is one of the
review is only confined the review area into bicameral chambers of the England’s supreme
the governance administration law or so-called parliaments, which are generally known as the
administrative actions review. House of Lords and House of Common, are not
According to Hilaire Barnett, A.V. Dicey the judicial or justice institution.
perceive that the judicial review as the right However, in practice, it happened there
way to preserved the parliament’s sovereignty is preventive measure which was centrally
doctrine simultaneously in order to enforce the law performed by the Supreme Court through its
supremacy. This means that the judicial review in consultative function upon the request of the
terms of the administrative law context is acceptable, parliament or concerned parties. The Supreme
however the idea of law constitutionality review in Court judgment over such case is absolute as an
United Kingdom is absolutely denied. Through the erga omnes (towards all or towards everyone).15
administrative actions review, all the government’s The rational or justified reasoning for a
actions are controlled in order to assure that they judicial review has been widely opposed by the
are walking in the corse of the corridor of law. Such British academicians. Forsyth emphasised the
review system has become commonly accepted urgency of preserving the ultra vires doctrine
since the beginning of the 20th century. A.V. Dicey that has been acknowledged since long time
developed this idea through his analysis in the case ago.16 On the contrary, Craig bases his argument
of Board of Education versus Rice in 1911 and the on the justice principle and public power-
case of Local Government Board versus Arlidge in control concerns, accepting the parliament
1915.12 supremacy doctrine. His idea of judicial review
Furthermore, in reality, the United Kingdom has nothing to do with either the parlia­mentary
does not have an explicitly codified constitution intent or the ultra vires rules doctrines. 17
draft like one that recognized in the countries that On other sides, Jowell comes up with a
adopt the constitutional democracy principle. compromising idea or the third proposition,
Therefore, this country is widely known as the placing the judges as the final decision maker
unwritten constitution’s country. However, of the law regarding how to administer the
Pilkington does not fully agree that British do power according to a democratic system. 18
not have an unwritten constitution. British really Meanwhile, Oliver added that the judges are
do have a written constitution that have spread well suited to adjudicate on procedural matters
across a hundred different documents, decrees, but are not constitutionally qualified to make
statute, acts, reference works, and so forth.13 This broad decisions on social and economic policy.
argument has been strengthened by MacCormick The courts do not and should not unilaterally
whom stated that the Act of Parliament has been and arbitrarily impose substantive constraints
explicitly positioned as a constitution.14 In other on administrative action.19
words it can be said that that British does not
have a codified constitution, instead of does not 15
Christian J. Tams, Enforcing Obligations Erga Omnes in
have an unwritten constitution. International Law, Cambridge: Cambridge University
Press, 2005, hal. 17-18.
12
Judicial review signifies the means by which the 16
Christopher Forsyth, Ed., Judicial Review and the
sovereignty of parliament is supported and the rule of Constitution, Oxford: Hart publishing, 2000, hal. 50-58.
law implemented. Hilaire Barnett, Constitutional and 17
Paul Craig, “Ultra Vires and the Foundations of Judicial
Administrative Law, United Kingdom: Cavendish Review,” The Cambridge Law Journal, Vol. 57, No. 01,
Publishing, 2004, hal.88. March 1998, hal. 63-90.
13
Colin Pilkington, The Politics Today Companion to the 18
Jeffrey Jowell, “The Rule of Law and its Underlying
British Constitution, Manchester: Manchester University Values,” in The Changing Constitution, Oxford: Oxford
Press, 1999, hal. 2-4. University Press, 2007, hal. 11-23.
14
Neil MacCormick, Questioning Sovereignty, Oxford: 19
Dawn Oliver, Constitutional Reform in the UK, Oxford:
Oxford University Press, 2001, hal. 99-101. Oxford University Press, 2003, hal.95.

MUHAMMAD SIDDIQ ARMIA: Constitutional Courts and Judicial Reviews... 111


Based on above mentioned background, is authorized to completely eliminate a
there are several key points which will law found to be unconstitutional to enable
be discussed in this article, first on how its implementation by any other organs.20
constitutional courts plays its central role in The thought of Kelsen has encouraged
judicial review, second how American model the establishment of an institution called
judicial review influence the world system, “Verfassungsgerichtshoft” or Constitutional
and last how South African model judicial Court that is independent from the Supreme
review combine the two system, American Court. Therefore, this model is often known as
and European judicial review models. Those The Kelsenian Model.21
research questions will be explored briefly in The development of the Constitution
conceptual framework and analysis. Court power implementation has encouraged
The research purppose in this article is to developing the theoretical studies of
give explanation and explore on Constitutional governance administrative law. Some required
Courts as Central Organ of Judicial Review field of legal theories that currently has started
in European countries, discussing American to develop are, for example, the theories of
model judicial review, and exploring South legal norms, theories of legal interpretation,
African model judicial review. This research theories of governmental institutions, theories
also gives complete analysis on the role of of democracy, theories of commerce politics,
American model and European model judicial and theories of human rights.
review, particulary on how those both model Theories of legal norms are required, for
influencing the judicial review system in example, to distinguish the abstract legal norms
world order. In this article also will explain from the private concrete legal norms. The
the South African model judicial review that discussion of theories on legal norms is also
have successfully combine the American model required to structure the hierarchy of laws in
judicial review and European judicial review, order to ensure the development of national
by using its extra-systemic approach which also legal system can be adjusted to the constitution
used in Indonesian Constitutional Court in the framework.
death penalty case. More further, the theories that receive
more attention and growing are the
II. CONSTITUTIONAL COURT AS interpretation theories. In terms of legal study,
CENTRAL ORGAN OF JUDICIAL the law interpretation have a central position
REVIEW because all the legal activities are conduct all
One of the fundamental theories in the around the norms and provisions of the law and
area of governance administrative law is the constitution that will be applied into a real event
theory of law proposed by Hans Kelsen. Many (imputation). Interpretation becomes more
arguments stating the existence of Constitution crucial when the reflection or understanding
Court in Europe have theoretically well- of a constitution norm is adopted to determine
introduced by Hans Kelsen. He mentioned that other norms, the ones out of the former. Both
the implementation of constitution provision norms should be fully comprehend starting
regarding the legislation can only be effectively from the background, objective, and the
secured, when there is one organ separate from future interpretation for their implementation.
the legislative body is authorized, to review the Therefore, by using the linguistic interpretation
constitutionality of a judiciary product. 20
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York:
As the extend to that, it is required to Russell & Russell, 1961, hal. 157.
establish a special organ in terms of justice area 21
It is also called the centralized system of judicial review.
called the Constitution Court (constitutional Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms
court). This special legal controlling organ and Performance in Thirty-six Countries, New Haven: Yale
University Press, 2012, hal. 225.

112 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


study, the study of law has developed so much. court, the EU judiciary system has made some
Simultaneously, with that, other theories also doctrines to create better understanding and
developed very significantly. legal certainty for the EU members. Due to
In the European Union (EU) countries, that fact, the EU judges has created several
there are sixteen countries that having doctrines to maintain the supremacy of the EU
constitutional courts; as follow; 1. Austria; laws. Furthermore, the doctrines will be briefly
2. Belgium; 3. Bulgaria; 4. Croatia; 5. Czech discussed and explored below.
Republic; 6. Germany; 7. Hungary; 8. Italy; The First is Italian constitutional doctrine.
9. Latvia; 10. Lithuania; 11. Luxembourg; 12. To avoid the contradiction between the EU
Malta; 13. Portugal; 14. Romania; 15. Slovakia; laws and Italian’s regulations,24 the Italian
and 16. Slovenia. Other countries, have the Constitutional Court has inferred a doctrine
court that similarly having the same function from the Article 117 (1) of the Italian
with the constitutional court as the guardian Constitution, which stipulates that:
of constitution. Vice versa, they have slightly Legislative powers shall be vested in the
different terminology. It is known as the State and the Regions in compliance with the
Constitutional Tribunal in Spain and Poland, Constitution and with the constraints deriving
and the Constitutional Council in France. from Community law and international
This article will focus on the member of obligations.25
EU countries that having constitutional courts.
The constitutional foundation resulting
They are frequently influenced by the existence
limits that were placed on the national
of the European Court of Justice (ECJ) as well
authority has been provided by the Article 117.
as the European Court of Human Rights, over
Implicitly, the article stated that Italy agrees
the sovereignty of constitutional court in EU
to have limitations on the sovereignty subject
countries.22
to definite conditions and mutuality. It is true,
It is not an easy tasks for the constitutional
that this provision was not laid down expressly
courts in EU countries to adapting with the
in view of the European integration. The article
existence of EU laws. Hence, the jurisdiction
also has been constantly interpreted by both
of the constitutional court in Europe has
political forces and judges as the constitutional
changed after the establishment Europe Union.
basis for the European integration.
The constitutional court decision is no longer
Furthermore the next article is being
binding as usual, due to it can be reviewed by
one of the important doctrine in the EU
the European Court of Justice, which has to be
community recognised as Italian constitutional
respected unconditionally.23
doctrine.26 The doctrine is very authentic to the
On one hand, the country has the
Kelsenian’s essence that stirring the centralized
sovereignty to hold their constitution through
model. Consequently, a national statute which
the constitutional court, and on the other hand
is in contradicting with the EC laws is not
they have to fully obey on the EU laws. In
only directly opposing to the EC laws but also
order to maintain the harmony among the EU
indirectly opposing to the Italian Constitution,
countries, particularly with the constitutional
24
See also Oreste Pollicino, ‘The Italian Constitutional
22
It this circumstance, Keyaerts have recommended that the Court and the European Court of Justice: a Progressive
role of EU Courts as the regulatory watchdog is necessary. Overlapping between the Supranational and the Domestic
David Keyaerts, ’Courts as Regulatory Watchdogs. Does the Dimensions,’ in Monica Claes, Maartje de Visser, Patricia
European Court of Justice Bark or Bite?,’ in Patricia Popelier, Popelier and Catherine Van de Heyning, (ed), Constitutional
Armen Mazmanyan, and Werner Vandenbruwaene, ed., Conversations in Europe-Actors, Topics and Procedures,
The Role of Constitutional Courts in Multilevel Governance, Cambridge: Intersentia, 2012, hal. 101-124.
Cambridge: Intersentia, 2013, hal. 289. 25
See also Italian Constitution Article 117 (1)
23
Matej Avbelj and Jan KomÃirek, ed., Constitutional 26
Victor Ferreres Comella, Constitutional Courts &
Pluralism in the European Union and Beyond, Oxford: Hart Democratic Values: A European Perspective, New Haven:
Publishing 2012, hal. 1-37. Yale University Press, 2009, hal. 125.

MUHAMMAD SIDDIQ ARMIA: Constitutional Courts and Judicial Reviews... 113


which is connecting the Italian country to primary exchange towards negotiation clearly
international environment. articulated by the Italian Constitutional Court
This holds protected the dominance of as an approach as touchable evidence of EU
the EC laws in Italy. Another consequence faithfulness, which could not easily be taken for
is preserving the supremacy of the Italian contracted.
Constitutional Court inside the Italian system. The new method of the Italian Constitutional
If a regular judge resolved that a national Court is even more outstanding when
statue dishonoured the EC laws, the judge associated to its past judgements. Certainly,
have to elevate the question to the Italian the effects of current constitutional settlement
Constitutional Court. The judge could not are distant from radical insofar. Because they
establish the statue away on his or her own ensure slight more than review some of the
expertise. In this situation, the Court is not most uncertain structures recognized in the
only confirmed that the EC laws principles can previous judgements. However, the Italian
be engaged as standards for the review of the Constitutional Court could also be catagorized
internal legislation, but also it is specify their as one of the critical speakers of the ECJ, since
implementation of the interpretation. some of the most essential constitutive doctrines
Furthermore, the Italian Constitutional of the Community legal structure were enclosed
Court has seemed agreeable to those requests. exactly in reply to the locations developing from
Even recently it has encouraged on scholarly Italian constitutional adjudication.30
discussion that has taken the judicial discussion Particularly, before attainment the
earnestly and astounded its separation. This assumption that the Constitutional Court has
contributee to a much more open place, the included Article 234 EC31 and 35 EU32 as an
Constitutional Court likewise has seemed advantages channels for judicial collaboration
to endorse the method, which from both a
H. H. Weiler, ‘Epilogue: The Judicial Après Nice’, in G.
European and national angle that may seem
de Burca and J. H. H. Weiler, Ed., The European Court of
quite unfamiliar. By way of Europe, the present Justice, Oxford: Oxford University Press, 2001, hal. 225.
state of judicial interactions having for many 30
Predominantly the important cases on the sovereignty
explanations is distant from the comfortable doctrine are both responses to previous more restrictive
pronouncements by the Italian Constitutional Court. With its
image of discourse.27
Internal Primacy Doctrine furthermore ECJ states that one of
Several national constitutional and the main task of national court including constitutional court is
supreme courts have, not only, been appeared to enforce EC rules over conflicting national legislation. Helle
hesitatee to refuse the clash when it facing to Porsdam, From Civil to Human Rights: Dialogues on Law and
Humanities in the United States and Europe, United Kingdom:
the EU matters,28 but also the ECJ does not
Edward Elgar Publishing, 2009, hal. 73-74.
look totally persuaded by the view of leaving 31
Article 234 EC Stated that The Court of Justice shall have
its autonomous style of adjudication, and jurisdiction to give preliminary rulings concerning: (a) the
creating genuine and open relationships with interpretation of this Treaty; (b) the validity and interpretation
of acts of the institutions of the Community and of the ECB;
its national debaters.29 In this framework, the
(c) the interpretation of the statutes of bodies established by an
27
Marta Cartabia, “Taking Dialogue Seriously” The Renewed act of the Council, where those statutes so provide. Please visit
Need for a Judicial Dialogue at the Time of Constitutional the complete article at http://eur-lex.europa.eu/LexUriServ/
Activism in the European Union. No. 12. Jean Monnet LexUriServ.do?uri=CELEX:12002E234:EN:HTML, diakses
Chair, 2007, hal. 35-38, http://www.jeanmonnetprogram. 10 Juni 2017.
org/papers/07/071201.html, diakses 26 Februari 2015. 32
Article 35 EU stated that 1. The Court of Justice of the
28
Well-expressed in this regard are some of the most European Communities shall have jurisdiction, subject to the
recent statements by Constitutional Courts of the new conditions laid down in this article, to give preliminary rulings
member states. Wojciech Sadurski, “Solange, Chapter 3’: on the validity and interpretation of framework decisions and
Constitutional Courts in Central Europe—Democracy— decisions, on the interpretation of conventions established
European Union,” European Law Journal, Vol. 14. No.1, under this title and on the validity and interpretation of
January 2008, hal. 1-35. the measures implementing them. Please visit the complete
29
The necessity to turn to a more broad, analytic and article at http://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/
familiar style has been claimed by Weiler. See also Joseph. TXT/?uri=CELEX:12002M035, diakses 10 Juni 2017.

114 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


with the ECJ, an investigation of its recent has adopted the EU law in their constitution,
statements in bright of present EU judicial in some cases, if the contradiction occured, the
construction may be beneficial. Likewise, it national court have to review their decision
was highly pointed out that in deteriorating, based on EU laws. This doctrine has widely
referring under the preliminary decision been adopted by EU member in preventing the
procedures, the Constitutional Court rather clash among regulations.
than controlling the EU national agreement, The European Court of Justice (ECJ) has
was misplacing an important chance to establish arranged the basics for a devolved system of
a serious discussion with the ECJ. judicial review. It stated that the national
As a consequence of the Italian court is entitled upon implementation of the
constitutional doctrine, the EC laws is the provisions of the Community law, which is
only kind of legal foundation that may adjust under a responsibility to provide full influence
the domestic constitutional law, with the to those provisions. If it is compulsory refusing
distinguished exception of both essential human of its own indication to implement any
rights and the supreme institutional values. It conflicting provision of national statute. Thus,
follows that EC law has a supreme status than it is not necessary for the court to request or
the national law. With this situation affirming await the prior setting aside of such provision by
the two legal orders are united. The EC law may legislative or other constitutional means.34
even adapt the constitutional norms. A fortiori, In this situation all national justices have
it yields binding impacts concerning to the responsibility on the specific tasks on their
national and provincial legislation. Of course, own power, including to invalidated any local
a dualist style has carried diverse conclusions statute that in contradicting with the European
from those that develop from a vision based on Community (EC) laws. Furthermore, they must
the agreement of the legal order. not stay on the proceedings and wait for the
This doctrine has been adopted accordingly formal annulment of that statue by the national
by Indonesia in the mechanism of the ICC. It constitutional court.
has positioned the 1945 Constitution as the This phenomenon has visibly renovated the
supreme law, including the cases that has been significant role of the ordinary judges in Europe.
produced during the existence of the ICC. As Now they have directly approved to criticism,
the consequences, every single person living by themselves, the legitimacy of parliamentary
under the 1945 Constitution have to fully obey legislation under a higher norms such as the EC
to any single ICC judgments; although in real laws.
life it is difficult to be implemented. It is because This simply implies that the constitutional
the characters of the ICC judgments have no court has lost their previous control. In other
similarity with the ordinary judgments; which words, the constitutional court will still have held
have the power to enforce strongly.
34
The national legal systems have numerous techniques to
The Second is Simmenthal doctrine which
coexist with the European Convention on Human Rights.
born in the case of the Simmenthal company vs See also Tanja A.Börzel and Ulrich Sedelmeier, “Larger
Italian Minister of Finance in 1978. The point And More Law Abiding? The Impact Of Enlargement
of this doctrine is that the precedence of the On Compliance In The European Union,” Journal of
European Public Policy, Vol. 24, No.2, February 2017, hal.
Community law applies even with regard to a
197-215. See also Denise Carolin Hübner, “The ‘National
subsequent national law.33 The doctrine can be Decisions’ Database (Dec. Nat): Introducing A Database
said as the opposition of the Italian constitutional On National Courts’ Interactions With European Law,”
doctrine. Although some country such Italia European Union Politics, Vol. 17, No.2, June 2016, hal.
324-339. See also Agustín J. Menéndez, “The Crisis
33
Please visit sources at: www.cvce.eu/obj/judgment_of_ of Law and the European Crises: From the Social and
the_court_of_justice_simmenthal_case_106_77_9_ Democratic Rechtsstaat to the Consolidating State of
march_1978-en-82c8d76f-b272-4e8f-99e1- (Pseudo-) technocratic Governance,” Journal of Law and
7940acbbc090.html, diakses 10 Juni 2017. Society, Vol.44, No.1, February 2017, hal. 56-78.

MUHAMMAD SIDDIQ ARMIA: Constitutional Courts and Judicial Reviews... 115


their control over the willpower of the authority handling specific disputes were not authorized
of laws under the national constitution, but to immediately set apart the national statutes
they have lost their wide-range of control over that in contradicted with the EC laws.
the statutes; because a regular court now also Should the courts continue the proceedings
can check them under the EC laws. and request the national constitutional court to
In its daily operation, the European intervene, there would be an interval in solving
supranational court has the American model in the cases. This interval would decrease to a
practicing of the judicial review of legislation, weakness to the full effectiveness of the EC laws.
including the varied follower states of the Thus, the courts have to direct and immediate
European Union such as Netherlands. It used in the establishment of the EC laws.38 This point
to be has more confident character, when of view can sound like an undoubted argument,
they reflect the constitutionality of the statue. notwithstanding, the countries establishing
Even if they cannot establish aside the statute constitutional court should not be mesmerized
on constitutional grounds, they do express the by it.
legal censure of it. This change have not easily Secondly is the integrated model of judicial
recognized in all jurisdictions, however. It has review is grounded on the presumption that
occupied some time for the doctrine to yield the procrastination is a value that worth
democratic basis.35 paying-provided. In order to ensure that the
The diverse countries in Europe, procrastination is not irrationally long. The
additionally, have originally interpreted matter that has been raised by an act can be
the Simmenthal doctrine into national ultimately established by the constitutional
constitutional texts in the different ways; such court from the verybeginning.
as French’s Constitution in Article 55 clearly There is no necessity to postpone a case to
honours international treaties a higher rank to get judged by the highest courts after several
statutes. 36 Though, the principle is now quite appeals. A judgment by the constitutional
well established. It should request into the court calling off the statute, likewise, has the
validation, explore as well as supporting the supremacy to bind immidiately all justices.
Kelsenian system. These benefits of centralism appear flawlessly
Principally, there are two essential appropriate, most importantly when the
points of views on why the ECJ depend on to national legislation is to be revised for the
defend its holding in Simmenthal.37 First is congeniality with the E.C. law.39
for the effectiveness of handling cases. The It is important to acknowledge that the EC
effective enforcement of the EC laws would be laws in general are very dissimilar from national
weakened, if the ordinary courts in charge of constitutions. The constitutions specifically
contained the text articulating comprehensive
35
Tim Koopmans, Courts and Political Institutions,
Cambridge: Cambridge University Press, 2003, hal. 83-84. and morally emotional values. Thus, the
36
The Article 55 stated that Treaties or agreements duly 38
See also Denise Carolin Hübner, “The ‘National
ratified or approved shall, upon publication, prevail over Acts
Decisions’ Database (Dec. Nat): Introducing A Database
of Parliament, subject, with respect to each agreement or
On National Courts’ Interactions With European Law,”
treaty, to its application by the other party. See also Mario
European Union Politics, Vol.17, No.2, 2016, hal.324-339.
Mendez, “Constitutional Review Of Treaties: Lessons 39
The Report of the Group of Wise Persons to the
For Comparative Constitutional Design And Practice,”
Committee of Ministers The Report of the Group of Wise
International Journal of Constitutional Law, Vol.15, No.1,
Persons to the Committee of Ministers have endorsed an
March 2017, hal. 84-109. See also David H. Moore,
instrument that would allow national courts including
“Constitutional Commitment to International Law
constitutional court, to request an opinion by the ECHR
Compliance,” Virginia Law Review, Vol. 102, April 2016,
on legal questions relating to the interpretation of the
hal. 367.
convention. This instrument does have a legal binding
37
Victor Ferreres Comella, Constitutional Courts &
like preliminary references. https://wcd.coe.int/ViewDoc.
Democratic Values: A European Perspective, New Haven:
jsp?id=1063779, diakses 25 Februari 2015.
Yale University Press, 2009, hal. 125.

116 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


interpretation is deeply controversial when importantly if an interpretive difficult appears
tested by judiciary process. The clash between a under the EC laws.
statute and the constitutions are frequently the The ECJ involvement has significantly
clash between a comprehensive legal provision needed, because its judgements are broadly
and a somewhat intangible and fundamental supposed to be officially binding. The solutions
norm. providing in the procedure of preliminary
In contrast, the EC laws are ultimately rulings are to be obeyed. It is not only by the
legislated by a usual legislation expressing in justices raising the appropriate questions, but by
slightly exact terms. The clash between a national all other justices in all member states as well.
provision and the EC laws, between two pieces The ECJ has clearly attracted this power, and
of usual legislation. Thus, the disputes over the the majority of scholars have recognized it.43
national statutes conform to the EC laws will And last is the clear act doctrine. In this
not be as deep as the constitutional disputes. doctrine ECJ has announced a concession to the
Thus, the Dispersed systems in the EC laws are responsibility of national courts of last option to
more allowable. Although, this dissimilarity ask a preliminary question. The national courts do
cannot be reserved too far. Some parts of the EC not need to request for a preliminary ruling when
laws do look like the constitutional models. For there is no sensible doubt about the meaning of
an example, the market freedoms safeguarded the important EC laws.44 If the question that
by the EC law can be constrained by the being inspected by the national court is the same
participant states in the name of a convincing to a question already judged by the ECJ, there
community interest. Justices have to implement is no necessity to send a reference, if the answer
the norm of proportionality and select whether can be resulted from ECJ precedents. 45
the restriction is eventually justified.40 The ECJ collaborates diligently with all
The EC laws, in the same way, are also the courts of the EU state’s members. There
sheltering the essential rights as fragment of are regular courts in substances of EU law.
the secondary legislation. Member states are The regular courts have a vital function to
assured by such rights when they perform in guarantee the effectiveness and uniformity,
a part governed by the EC laws.41 National including the application of the European
justices may disagree among themselves when Union legislation; and also to narrowly prevent
they must double-check national legislation deviating elucidations of EU laws.
to ensure the consistency with the EC laws
in some cases. In order to prevent this case 43
Although it is hard for the Justices to speak in a same
voice, they have to agree in final decision as final binding.
happened; the ECJ fortunately has made the
Michael Malecki, “Do ECJ Judges All Speak with the
mechanism ensuring the uniformity that is Same Voice? Evidence of Divergent Preferences from
called the preliminary-reference procedure.42 the Judgments of Chambers,” Journal of European Public
With the mechanism, the national justices have Policy, Vol. 19, No. 1, December 2011, hal. 59-75.
44
In this context, the courts has to respect international
jurisdiction to openly examine whenever they
treaties, or if they disagree, can make reservation. This
are requiring the guidance from the ECJ; most reservation procedure is only for non EU countries
unwilling to ratify international law. See also Benedetto
40
Richard Bellamy, “The Liberty Of The Moderns: Market
Conforti, International Law And The Role Of Domestic
Freedom And Democracy Within The EU,” Global
Legal Systems, Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 1993,
Constitutionalism, Vol. 1, No. 01, March 2012, hal. 141-
hal. 255. See also Victor Ferreres Comella, Constitutional
172.
Courts & Democratic Values: A European Perspective, New
41
The instrument arranged by ECHR would permit the
Haven: Yale University Press, 2009, hal. 125.
constitutional courts or the courts of last case to demand 45
The precedents, which may come from preliminary
a recommended opinion from ECHR. Please visit https://
preference or judgements, in EU countries is importance
wcd.coe.int/ViewDoc.jsp?id=1063779, diakses 25
as the legal sources. See also Andreja Pegan, “The Role
Februari 2015.
Of Personal Parliamentary Assistants In The European
42
Josephine Shaw and Marise Cremona, Law of the European
Parliament,” West European Politics, Vol.40, No.2, June
Union, United Kingdom: Macmillan, 1996, hal. 400.
2016, hal. 295-315.

MUHAMMAD SIDDIQ ARMIA: Constitutional Courts and Judicial Reviews... 117


The regular courts or national courts in discover that a duty has not been achieved,
the EU’s members, infrequently, must closely the State in question shall put an end to the
discuss with the ECJ, in particular, to simplify contravention without delay.
considerably the interpretation of the EU law. If, after more action is carried by the
The courts, consequently, may receive a clear Commission, the ECJ catches that the EU
explanation, whether their country’s legislation member concerned has not fully complied
process is against the EU laws, or they are with its judgment, it may enforce on it a fixed
ruling in the right track. The reference for a or periodic financial consequence. In the
preliminary governing might also apprehension same way, in case of miscarriage to inform the
to the evaluation of the validity of an act Commission of measures moving directives
approved by the European Union’s bodies. adopted by the legislative procedure, the ECJ
The reply answer from the ECJ is not may legally enforce a fine penalty.
feverishly an opinion. Notwithstanding, it takes Nowadays, when the assignment control
the form of a judgement or well-structured are rightly supposed as the major concerns
order. The courts in the EU countries making for controlling the EU laws, regionalization
the reference to the ECJ, have been assured by through clear act doctrine or sector entrustment
the interpretation given. to national courts are mostly recognized
In deciding the dispute, the ECJ’s judgments, strategies,46 even though their backside is
equally, bind coherently other national courts. likely to result in a lower or less well-versed
Certainly, the references for preliminary application of the Community law.
rulings, hence, have the substantial benefit for The application of clear act doctrine,
any European citizen. The process can give a therefore, has exposed surprising mistakes,
chance for EU citizen to seek clarification of because the way of the Constitutional Court
the European Union’s rules, which might be carrying out its review on justification. Most
affecting them personally. importantly, its implementation of the principles
Indeed, the reference can be prepared of review usually engaged in domestic issues
simply by the national court, the Member have seemed unreliable with the objection of the
States and the European Union’s institutions, ECJ, placing the EC laws in its detailed context
which may take part in the proceedings before and interpreting it in light of its purposes.47
the ECJ. In that approach, the vital principles
of the European Union law have been definitely III. AMERICAN MODEL JUDICIAL
established, in particular, on the source of REVIEW
questions stated for preliminary rulings. Before the idea of establishing constitutional
These activities have clearly allowed the court was developed, in fact, the idea of
ECJ to control the EU members, whether or not constitutional review or judicial review (an
they have earnestly fulfilled their obligations act reviewed by judge) was ever practiced by
under the European Union laws. Furthermore, the Supreme Court of the United States since
before bringing the case in front of the ECJ, the the early 19th century, precisely on the case of
Commission conducts a secretarial phase, in Marbury vs Madison, judged by the Supreme
which the EU Member concerned, is agreed the Court of United States in 1803.
opportunity to reply to the complaints against it.
On the condition of the conclusion stage,
46
Hjalte Rasmussen, “Remedying the Crumbling EC
furthermore, the EU member has not placed
Judicial System,” Common Market Law Review, Vol. 37,
an end to the infraction. An action may be No. 5, June 2000, hal. 1107-1110.
seriously taken before the ECJ. The action may 47
G. Federico Mancini and David T. Keeling, “From
be delivered either by the ECJ for the ordinary CILFIT to ERT: The Constitutional Challenge Facing the
European Court,” Yearbook of European Law, Vol. 11, No.
case or by the EU member. Should the ECJ
1, November 1991, hal. 1-13.

118 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Since that time, the idea of the constitutional In terms of institutional perspective, judicial
review and judicial review invite a controversial review system carried out by the Supreme Court
debate in the legal discussion, particularly, of the United States is clearly different from the
debate on the rights of judge to interpret the similar tradition in Austria. In the US system
constitution. Indeed, the idea eventually has that adheres to the tradition of common law, the
been accepted as a necessity in practice in all role of the judge is very important, particularly
modern democratic country in the world until in the law-making process in accordance with
now; widely known as the American model the principle of precedent.
judicial review. Even the law in the common law system
In this model, the constitutional review has usually referred to the judge-made law.
been entirely run by the Supreme Court with Therefore, when John Marshall initiating the
the status as the guardian of the constitution. practice of the constitutional review of an act
In addition, according to the doctrine, which by the Supreme Court, whereas previously the
subsequently can also be referred to as the judges at all levels in the United States has
doctrine of John Marshall (John Marshall’s inherited the tradition of reviewing or overrides
doctrine), judicial review also have conducted the enactment of an act. This is considered in
on the issues of constitutionality by all ordinary contrary to the ideals of justice in examining
courts, through a procedure known as a each case faced to the judges. This fact has
decentralized or diffuse or dispersed review in described that the role of judges in the United
the cases examined in the ordinary courts. States have significantly influenced the law
That mean, such review, non-institutional enforcement.
as a stand-alone case, but included in the other The amount of legislation, moreover,
cases being examined by the judge in all levels in common law system is not as much if
of the court. Therefore, by the scholars, the compared with the tradition of civil law in
American model is also commonly referred to Europe Continental, that from time to time the
as the decentralized model. parliamentary institutions have continuously
The constitutional review, which has been produced a written rules, such as act,
conducted in a spread constitutional system, can decree, provisions, and so forth.49 Therefore,
be categorized as a posteriori review. It means that the application of the judicial review or
the judgment has only a final binding on the parties constitutional review system does not require a
involved in the case (between the parties). It has new institution, but simply associated with the
an exception in the framework of the principle existing function of the Supreme Court. The
of stare decisis,48 however. This principle requires Supreme Court, in this circumstance, will act
the court eventually bound to follow a similar as a guard or protector of the Constitution,
judgment, which has been judged previously commonly known as the Guardian or Protector
by another judge or in other cases. Meanwhile, of the Constitution.50
the Supreme Court in the system provides a The American’s judicial review has clearly
mechanism for the unity of the system as a whole shown that the democratic values could own
(the uniformity of jurisdiction). In essence, a a sharp effect on societies.51 The democracy
judgment regarding the unconstitutionality of an and constitutionalism could be at balance.
act is declaratory and retrospective. 49
Joseph Dainow, “Civil Law and the Common Law:
Some Points of Comparison,” The American Journal of
48
Stare decisis is essentially the doctrine of precedent. Courts Comparative Law, Vol. 15, July 1966, hal. 419.
cite to stare decisis when an issue has been previously 50
See also Robert A. Licht, ed. Is the Supreme Court the
brought to the court and a ruling already issued. http: // guardian of the Constitution? United State of America:
www.law.cornell.edu/wex/stare_decisis, diakses 26 Februari American Enterprise Institute, 1993.
2015. See also Jack Knight and Lee Epstein, “The Norm Of 51
Miguel Schor, “Judicial Review and American
Stare Decisis,” American Journal of Political Science, Vol. 40, Constitutional Exceptionalism,” Osgoode Hall Law
No.4, November 1996, hal. 1018-1035. Journal, Vol. 46, No. 3, October 2008, hal. 553.

MUHAMMAD SIDDIQ ARMIA: Constitutional Courts and Judicial Reviews... 119


By reinforcement the proper instruments by of this miscarriage, it has a lack of judicial
which peoples grip courts responsible, polities responsibility. In fact the constitutional court
can decline the informal instruments, by which could be responsible either ex ante55 or post facto.56
attention groups pursue to shape constitutional Ex ante controls stay appointment instruments;
sense.52 post facto controls contain amendments and
The courts, which are reviewing the laws, a legislative dominate of judicial decisions.57
have the obligation to be appropriately free Furthermore a political liability, whether ex ante
from the interest of the political groups to hold or post facto, could be either weak or strong. 58
legitimacy; but it is not as free as to challenge The US Supreme Court, unfortunately, is
the popular input into constitutional evolution. not strongly accountable both ex ante and post
The courts have to play a positive long-standing facto. Validation of presidential appointment
part in preserving the constitution. The judicial by the Senate only needs majority approval.
freedom has to be optimized, not maximized.53 It allows factions to have a real voice in the
When the judicial review has widely appointment. The unnecessary independence
spread around the world, the American system gave the US Supreme Court and the difficulty
assisted as a model and anti-model. The in amending the Constitution.59 It will make the
modern constitution-makers have to draw Supreme Court an alluring target for interest
from a relatively different from those animating group seize.
the framers of the American Constitution. The Parties which have concern totally
As a consequence, most other nations have about the sense of the Constitution have
accepted different and stronger rules in which no options except struggling over their
to embrace the courts politically responsible. appointments. The Supreme court are fully
The courts overseas, as in the United States, are 55
The term ex-ante is a phrase meaning before the event.
governmentally powerful and their judgements Ex-ante is used most commonly in the commercial world,
may irritate the citizens.54 Any political where results of a particular action, or series of actions, are
reaction motivated by this development in forecast in advance (or intended). http://en.wikipedia.org/
judicial power, nevertheless, is possible to take wiki/Ex-ante, accessed 27 February 2015.
56
An ex post facto law is a law that retroactively changes
a different form than it ensures in the United the legal consequences (or status) of actions that were
States. In particular, interest groups are less committed, or relationships that existed, before the
likely to compete over activities overseas than enactment of the law. http://en.wikipedia.org/wiki/Ex_
in the United States. post_facto_law, accessed 27 February 2015.
57
Miguel Schor, “Squaring the Circle: Democratizing
Some academicians have miscarried to Judicial Review and the Counter-Constitutional
correctly escalate the exceptionalism of the US Difficulty,” Minnesota Journal of International Law, Vol.
Supreme Court, because they have principally 16, No.1, December 2007, hal. 61.
overlooked on why judicial review was changed
58
There are other procedures of general control, such as
impeachment or parliamentary control over prerogative,
when it spread around the world. Because however they have largely dropped into neglect both
52
Kenneth Einar Himma, “Making Sense of Constitutional in the United States and overseas as they have weaken
Disagreement: Legal Positivism, the Bill of Rights, and the judicial freedom. John A. Ferejohn and Larry D.
Conventional Rule of Recognition in the United States,” Kramer, “Independent Judges, Dependent Judiciary:
Journal of Law in Society, Vol. 4, No. 2, December 2003, Institutionalizing Judicial Restraint, ” New York University
hal. 149-218. For comparison see also Fareed Zakaria, The Law Review, Vol. 77, No.4, October 2002, hal. 962.
Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad,
59
The United States has one of the most difficult
New York: W.W. Norton, 2003. constitutions in the world to change, as super majority
53
Owen M. Fiss, ‘The Right Degree of Independence,’ in agreement is required both in Congress and among the
Irwin P. Skotzky, ed., Transition to Democracy in Latin states. The difficulty of changing the Constitution is
America: The Role of the Judiciary, Colorado: Westview demonstrated by the fact that the Supreme Court has
Press, 1993, hal.55. produced substantial public opposition but has been
54
See also C. Neal Tate and Torbjörn Vallinder, ed., The overruled only four times by amendment. See Donald
Global Expansion of Judicial Power, New York: New York S. Lutz, Principles of Constitutional Design, Cambridge:
University Press, 1997. Cambridge University Press, 2006, hal. 171.

120 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


liable, otherwise, if their judgments can be more follow (a) the Constitutional Court; (b) the
eagerly overruled, or if judicial actions replicate
Supreme Court of Appeal; (c) the High Court
the wishes of a dominant one. of South Africa, and (d) the Magistrates’ Court.
As the comparison, the political court In terms of sec 6 of the Superior Courts
model of judicial review, known as the Act 10 of 2013, the High Court consist of nine
constitutional court, has been adopted by the divisions, which is one for each of the nine
Germany for implementing the constitutional provinces of South Africa. The High Court, the
democracies. The Germany’s model illustrates Supreme Court of Appeal and the Constitutional
the significance of ex ante controls; whilst the Court are known as the Superior Court.
Canada’s model illustrates the value of post The Magistrates’ Court run as courts of first
facto controls. instance in less serious matters at the level of
the city or district. High Court work as courts
IV. THE SOUTH AFRICAN MODEL of first instance in serious matters at provincial
JUDICIAL REVIEW level. Appeal lies from the Magistrates’ Court
Following the success story in Europe, up to the High Court of the province. From the
several African countries, particularly High Court appeal lies, with leave have been
South African, have formed to transplant approved, to the Supreme Court of Appeal and/
constitutional review mechanism ruled by or the Constitutional Court (as a courts with
single court known as the constitutional court. national jurisdiction).
After amending its constitution, the South The first case handled by the Constitutional
African’s scholar finally agreed to establish the Court was about the constitutionality of the
Constitutional Court in 1993, which is strongly death sentence;62 which being a sensitive
positioned in the constitution as the Superior debate in human rights discussion.63 That was
Court. a debatable question, whereas the legislators
This model is very different compared should have decided during the provisional
with European’s model constitutional court. discussions, but opportunistically absent for the
The South African’s model Constitutional Court to decide. Under the conditions, the job
Court has not only able to review the act of the Court was to approach constitutional
against the constitution, but also able to value from political realism.64
review the ordinary cases which appealed from As the superior court, therefore, the
the ordinary court as well. Furthermore, the Constitutional Court has strongly lined the
structure of the Constitutional Court, is lead legislation, enacting the death sentence, was
by the Chief Justice, the Deputy Chief Justice unconstitutional. These cases have not only
and nine other judges. A material carried before strained responsiveness to the difficult connection
the Constitutional Court must be received by at between the Constitutional Court and the
least eight judges.60 political divisions of government, but also between
The court hierarchy in South Africa the Court and other Superior Court within the
is clearly stipulated in Section 166 of the jurisdictional division of government itself.
Constitution of the Republic of South Africa, 62
The case was held on 15 February 1995 that become the
1996 (the Constitution’).61 The courts are as first sitting of the Constitutional Court. James L. Gibson and
60
See the Section 167(1) of the South Africa Constitution, Gregory A. Caldeira, “Defenders of Democracy? Legitimacy,
as amended by Act 34 of 2001, the Constitutional Court. Popular Acceptance, and the South African Constitutional Court,”
Lynn Berat, “Constitutional Court of South Africa and Journal of Politics, Vol.65, No. 1, February 2003, hal. 1-30.
Jurisdictional Questions: In the Interest of Justice,” The
63
See also the section of Bill of Rights. Heinz Klug, The
International Journal of Constitutional Law, Vol. 3, No.1, Constitution of South Africa: A Contextual Analysis,
January 2005, hal. 39. London: Bloomsbury Publishing, 2010.
61
South Africa Constitution Section 166. See also George E.
64
Heinz Klug, Constituting Democracy: Law, Globalism
Devenish, A Commentary on the South African Constitution, and South Africa’s Political Reconstruction, Cambridge:
United Kingdom: Butterworth-Heinemann, 1998. Cambridge University Press, 2000, hal. 18-23.

MUHAMMAD SIDDIQ ARMIA: Constitutional Courts and Judicial Reviews... 121


Most of the matters happened before to approve any order invalidity of an Act of
the Constitutional Court are referred to it on Parliament,67 a provincial Act or conduct of
appeal from the Supreme Court of Appeal or the President made by the Supreme Court of
the High Court. However, there are certain Appeal, a High Court, or a court of similar
kinds of constitutional substances, which are status, before that order has any force.68
kept for the exclusive and original jurisdiction
of the Constitutional Court, and which are V. COMPARATIVE ANALYSIS OF
introduced only in the Constitutional Court. EUROPEAN MODEL AND AMERICAN
Thus, the Constitution has clearly arranged the MODEL JUDICIAL REVIEW
jurisdictions, that only allowed; The legal academicians in Europe have
(a) decide disputes between organs of State in begun to think on the effects of American
the national or provincial sphere concerning constitutionalism in the nineteenth century.69
the constitutional status, competence or American constitutional concepts, including
duties of these State organs; judicial review and constitutional review, have
(b) decide on the constitutionality of any widely played an essential part in the debates of
parliamentary or provincial Bill, but only in the German National Assembly in Frankfurt in
terms of section 79 or 121; 1848.70 The Frankfurt Constitution has suffered
(c) decide on an application brought by political defeat, but it has become one of the most
members of the National Assembly or a important texts for the upcoming of German
Provincial Council for an order declaring democratic constitutional improvement.71
all or part of an Act unconstitutional in Whilst the optimism of American’s model
terms of section 80 or 122; have dominated the debates on judicial review
(d) decide on the constitutionality of any in Frankfurt, the pan-European debate have
amendment to the Constitution; taken into account a diverse and more realistic.
(e) decide whether Parliament or the President An effort adopting American’s model have
has failed to comply with a constitutional been ultimately conquered by scholars, who
obligation; argued that conservative courts in the United
(f) certify a provincial constitution in terms of States had derailed needed social legislation.72
section 144 of the final Constitution.65 One of the important person in the European
All matters concerning constitutional made an argument on judicial review is Hans
issues other than those listed above will initiate Kelsen. He has clearly faced two substantial
73

in a High Court, unless the Constitutional 67 Jackie Dugard, “Court of First Instance?: Towards a Pro-
poor Jurisdiction for the South African Constitutional
Court grants an application for direct access
Court,” South African Journal on Human Rights, Vol. 22,
to it. No order of unconstitutionality given by No. 2, April 2006, hal. 261-263.
the Supreme Court of Appeal, a High Court or 68 South African Constitution, Section 167(5).
a court with similar status is lawful until that 69 Helmut Steinberger, “Historic Influences of American
Constitutionalism upon German Constitutional
order has been confirmed by the Constitutional
Development: Federalism and Judicial Review,” Columbia
Court. Thus, it takes the final decision on the Journal of Transnational Law, Vol. 36, 1998, hal. 189-208.
constitutionality of an Act of Parliament, a 70 ibid. at 194-201.
provincial Act or the conduct of the President.66 71 See also Helmut Steinberger, American Constitutionalism
and German Constitutional Development, New York:
If compared with the Indonesian
Columbia University Press, 1990.
Constitutional Court, which is easily 72 Alec Stone, The Birth of Judicial Politics in France: The
invalidating an act, nevertheless, the South Constitutional Council in Comparative Perspective, Oxford:
African Constitutional Court is obligatory Oxford University Press, 1992, hal. 37-40.
73
Hans Kelsen played an important part in designing the
65
South African Constitution, Section 167(4). Austrian Constitution of 1920 chiefly in the article on
66
Willem Adolf Joubert and T. Johan Scott, The Law of South judicial review. Stanley L. Paulson, “Constitutional Review
Africa, United Kingdom: Butterworths, 1981, hal. 130. in the United States and Austria: Notes on the Beginnings,”
Ratio Juris, Vol. 16, No. 2, June 2003, hal. 223-239.

122 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


problems in theorizing on how judicial review The supremacy of constitutional courts
might fit in mainland Europe’s constitutional would, therefore, be constrained by carefully
and political background. Firstly is that the civil drafting constitutions to eliminate from justice
law courts have had not eye-catching organs capability in the general principles, particularly,
to provide with the authority of constitutional equality, justice, and liberty.79 Kelsen claimed
interpretation; because those courts have been that in the field of constitutional justice, such
operated daily by civil servants, who have been principles can play an extremely dangerous
ideologically accustomed to being passive to role.80 In brief, the judicial review was essential
legislatures.74 It has have been required in that to influence horizontal and vertical, the idea of
time was a specialized constitutional courts. separation powers; however the courts would
It has been expected to voice independently, gain too much influence if they had a wide-
authoritative voice75 and holding equal self- range of authority to create rights.81
respect with the legislature. Kelsen’s awareness to limit the power of
Secondly was the impact of Second World courts to interpret rights was disallowed in post-
War. The governments in Western Europe war Europe. The aspiration to contract with the
were not only controlled over constitutions, but fears of the Second World War has managed
also the political systems. The success of the Germany and other continental democracies
judicial review in Europe centred, therefore, to hold a comprehensive set of judicially
on filling both legislators of the judiciary and enforceable rights.82 His heritage is recognizable,
justice power, and a pan-European association however, in the three structures have illustrated
of protruding legal intellectuals who preferred the political court model of judicial review, that
installing American judicial review on the adopted by the democracies of Western Europe
region.76 after the war. Those structures are; firstly, the
Kelsen’s visionary answer was to reject the judicial review mechanism has been focussed
American idea that the constitution was types in the one constitutional court; rather than
of law and to hold its political nature.77 He said distribute dispersed throughout the judicial
that whilst the legislatures have strongly engaged system as in the United States. Secondly, the
in the positive law making, the authority to judicial review has not required a case or
declare regulation unconstitutional was also a controversy. As legislation can be revised
form of law making, although a purely negative conceptually before it drives into result; and
one.78 thirdly is the appointment requiring a legislative
super-majority.83
The legal scholars have dropped
74
John Henry Merryman & Rogelio Pérez-Perdomo, The
Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal Systems of substantial ink arguing the comparative
Europe and Latin America, California: Stanford University merits of concentrated versus diffuse review,
Press, 2007, hal. 49-52. and intangible versus tangible review, and
75
Kelsen was anxious that diffuse review as implemented in
the United States would carriage too great a risk of non- 79
Miguel Schor, “Judicial review and American
uniformity. Hans Kelsen, ‘Judicial Review Of Legislation: Constitutional Exceptionalism,” Osgoode Hall Law
A Comparative Study Of The Austrian And The Journal, Vol. 46, 2008, hal. 555.
American Constitution,’ Journal of Politics, Vol. 4, No.2, 80
Ibid.
May 1942, hal. 183-200. 81
Stanley L. Paulson, “Constitutional Review in the United
76
Alec Stone Sweet, “Why Europe Rejected American States and Austria: Notes on the Beginnings,” Ratio Juris,
Judicial Review: And Why It May Not Matter,” Michigan Vol. 16, No. 2, 2003, hal.v223-239.
Law Review, Vol.101, No.201, August 2003, hal. 2766. 82
Mauro Cappelletti, “Repudiating Montesquieu-The
77
Mark Tushnet, “Marbury v. Madison Around the World,” Expansion and Legitimacy of Constitutional Justice,” The
Tennessee Law Review, Vol. 71, No.4, Summer 2003, hal. Catholic University Law Review, Vol. 35, Vol.1, October
251. 1985, hal. 5-6.
78
Alec Stone Sweet, “Why Europe Rejected American 83
Alec Stone Sweet, Governing With Judges: Constitutional
Judicial Review: And Why It May Not Matter,” Michigan Politics in Europe, Oxford: Oxford University Press, 2000,
Law Review, 2003, hal. 2766. hal. 46-49.

MUHAMMAD SIDDIQ ARMIA: Constitutional Courts and Judicial Reviews... 123


whether these transformations lead to an overly battles, which have developed familiar in the
debated form of judicial review.84 However, United States.90 However, in the Europe did
these differences finally might not substance as not answer the problem modelled by Lochner—
much as imagined by legal scholars; since both that peoples are sometimes intensely frustrated
supreme court and constitutional court have by judicial judgements—but it did better
really done a permitted job of effectuating rights the malicious significances of Lochner-type
and moving political criticisms. judgments by dampening the supremacy of
The dissimilarity that does substance is the parties to form judicial activities.
one that legal academician mostly overlook,
which is that activities to a constitutional VI. USING AN EXTRA-SYSTEMIC
court need the endorsement of a legislative EVIDENCE IN INTERPRETING
super-majority.85 By accepting super-majority CONSTITUTION
appointment dealings, the political court model The Constitution established post-
of judicial review has abridged the power of apartheid South Africa is the only one having
parties to sway constitutional interpretation. As an express provision, which have allowed the
a result, the actions will turn on deals brokered judges to usage an extra-systemic evidence for
between diverse political parties.86 Whilst never interpreting the constitution.91 In the Section
perfect, super-majority selection processes have 39 of the 1996 Constitution clearly stipulate
worked by delivering uneven balance between the position of the Constitutional Court.
different parties and districts.87 Specifically, when the Court interpreting the
A super-majoritarian position mechanism Bill of Rights have to maintain the principles
has respited on a diverse idea of democracy, that underlie an open and democratic society;
than does a majoritarian instrument. and also must consider international public law
Democracy can unpleasant either regulation and may take foreign law into consideration.92
by a bare majority or regulation by as many On Section 39 of the 1996 Constitution has
as possible.88 Majoritarian democracies have also empowered the judges to integrate extra-
inclined to be more discordant than those systemic legal information for interpreting the
requiring a higher degree of agreement.89 The post-apartheid Bill of Rights. Because of this
worth of agreement is sufficiently explained by provision, the South African Constitutional
how super-majoritarian choosing procedures Court established an innovative hermeneutical
have prohibited the divisive political choosing technique based on extra-systemic infer­ences.
This section in fact has seemed to reinforce the
84
Michel Rosenfeld, “Constitutional Adjudication In Europe
openness of the South African constitutional
And The United States: Paradoxes And Contrasts,”
International Journal of Constitutional Law, Vol. 2, No. 2, system toward extra-systemic sources by
August 2004, hal. 197-198. eliminating the criteria of evaluating the ap­
85
John Ferejohn and Pasquale Pasquino, “Constitutional plicability (‘where applicable’) of international
Adjudication: Lessons from Europe,” Texas Law Review,
public law or foreign law.
Vol. 82, No.7, June 2003, hal. 1676-1680.
86
Christine Landfreid, “The Selection Process of 90
Another aspect playing a part in reducing the authority
Constitutional Court Judges in Germany” in Kate
of parties is that amendments in Europe usually need
Malleson & Peter H. Russell, eds., Appointing Judges in an
only a super-majority in parliament so that constitutional
Age of Judicial Power: Critical Perspectives from around the
court judgment can be more readily dominated than
World, Toronto: University of Toronto Press, 2006, hal.
in the United States. See Donald S. Lutz, Principles of
196.
Constitutional Design, Cambridge: Cambridge University
87
Lisa Hilbink, “Beyond Manicheanism: Assessing the New
Press, 2006, hal. 171.
Constitutionalism,” The Maryland Law Review, Vol. 65, 91
Hoyt Webb, “Constitutional Court of South Africa: Rights
No.1, February 2006, hal. 15.
Interpretation and Comparative Constitutional Law,” The
88
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms
University of Pennsylvania Journal of Constitutional Law,
and Performance in Thirty-Six Countries, New Haven: Yale
Vol. 1, No.2, October 1998, hal. 205-283.
University Press, 1999, hal. 1-2. 92
South African Constitution, Section 39.
89
Ibid. at 300-08.

124 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


For this reason, South African constitutional VII. CLOSING
judgement has become one of the most A. Conclusion
fascinating on a world-wide level; because the The constitutional court established in
judges in Johannesburg had to challenge the Indonesia seemed close to Germany model,
problem of systematically setting up the criteria but the ICC only possess the power to review
and bounds of this practice. 93 all regulations under the constitution, because
Regarding the Section 39, Dugard state that share its power with the Supreme Court to
there are three main reasons for adopting the review the regulations under the statutes.
provision into the constitution.94 Firstly is the Whereas, the ICC is reviewing the statutes
essential of international legality after decades that against the constitution, and the Supreme
of seclusion under the apartheid regime. Court is reviewing the regulations under the
The regime had intentionally disregarded statutes. These two ways of judicial review is
international values on fundamental rights vulnerable to overlapping and creating a serious
mankind. homework for the existence of ICC.
Secondly is the exploration for international In addition, other variant of Austrian
arguments of orientation, which is models need to be considered in developing ICC
accomplished to assist the interpretive effort is the South African model, not only reviewing
of a new constitutional version. It directed the the statutes that against the constitution, but
Constitutional Court to articulate a particular also reviewing the usual cases appealed from
form of past interpretation of the Constitution the ordinary court. Their extra-systemic legal
intended to brace the common law of the source system can be considered to adopt.
1910 South African Union; which moderately This mechanism in fact has been looked to
known as the rights and guarantees of non- reinforce the directness of the South African
white people. constitutional system toward international law
And the last is the consciousness of or imported laws. By taking this method, the ICC
presenting judicial review in South Africa does not have to be afraid anymore for violating
that requires a period of lawful and cultural the constitution. This situation was happened
understanding. The change of the whole legal when the ICC took the international covenant
structure has already become a main effort for all as the consideration of their judgments whilst
the members in the South African legal structure. reviewing death penalty issues. Consequently,
It also has introduced the constitutional justice, to adopt the extra-systemic mechanism, the
in particular, in developing a pedagogical constitution must be amended.
approach for participants of the regular judiciary The France’s Constitutional Council also
and the constitutional judges themselves. has influenced Indonesian’s constitutional
In the preamble, the constitutional judges system. Their main task is advising the President
have made tutorial and descriptive efforts to to perform its power under the constitution,
explain in details the constitutional procedural particularly, reviewing the regulations made
law. This method is described by the fact that by the president. Recently, this institution is
judicial review, which was previously strange in consisted of nine members, which is very small
the South African system, required grounding if compared with the previous one before the
and consensus among the various legal actors. amendment which was having 45 members.
The existence of the American model
judicial review has raised a serious debate
93
Andrea Lollini, “South African Constitutional Court among legal scholars; whether it is suitable
Experience: Reasoning Patterns Based on Foreign Law,”
in Europe context or merely appropriate in
The Utrecht Law Review, Vol. 8, No.2, May 2012, hal. 55.
94
John Dugard, “International Law and the South African America. Responding to this debate, Hans
Constitution,” European Journal of International Law, Vol. Kelsen has given two substantial reasons; first
8, No.1, February 1997, hal. 77.

MUHAMMAD SIDDIQ ARMIA: Constitutional Courts and Judicial Reviews... 125


of all, the civil law court, which is practicing BIBLIOGRAPHY
the judicial review in America, does not have a
specific mechanism in providing constitutional
interpretation.
Journal
B. Recommendation Bellamy, Richard. “The Liberty Of The Moderns:
From above explanations, seems that Market Freedom And Democracy Within
Indonesia adopts almost all of world model The EU,” Global Constitutionalism, Vol. 1.
judicial review. It will cause a difficulty No. 01. March 2012.
in its daily system. For an instance, in the Berat, Lynn. “Constitutional Court of South
system of law review, delivering authorities Africa and Jurisdictional Questions: In the
for the constitutional court and Supreme Interest of Justice.” The International Journal
Court. A statute can only be reviewed by the of Constitutional Law. Vol. 3. No.1. January
Constitutional Court and regulations below the 2005, 2005.
statute can only be reviewed by the Supreme
Court. This dualism model judicial review is Börzel, Tanja A. and Ulrich Sedelmeier.
vulnerable to conflicting each other between “Larger And More Law Abiding? The
these two courts, particularly if not having Impact Of Enlargement On Compliance In
system coordination and communication. One The European Union.” Journal of European
of recommendation to solve this problem is Public Policy. Vol. 24. No.2. February 2017.
by strengthening the information technology Cappelletti, Mauro. “Repudiating Montesquieu-
(IT) system using specific designed software. The Expansion and Legitimacy of
With this system the regulations reviewing in Constitutional Justice.” The Catholic University
the Supreme Court having connection with a Law Review. Vol. 35. Vol.1. October 1985.
staute reviewing in the Constitutional Court
Craig, Paul. “Ultra Vires and the Foundations
will be stopped automatically. Therefore, the
of Judicial Review.” The Cambridge Law
regulation will not be proceed if still linked with
Journal. Vol. 57. No. 01. March 1998.
a statute testing in the Constitutional Court. If
this system not implemented, the clash of law Dainow, Joseph. “Civil Law and the Common
review may be occurred, the Constitutional Law: Some Points of Comparison.” The
Court and Supreme Court able to review a American Journal of Comparative Law, Vol.
regulation that having strong connection to 15, July 1966.
each other. Dugard, Jackie. “Court of First Instance?:
Towards a Pro-Poor Jurisdiction for the
South African Constitutional Court.” South
African Journal on Human Rights. Vol. 22.
No. 2. April 2006.
Dugard, John. “International Law and the
South African Constitution.” European
Journal of International Law. Vol. 8. No.1.
February 1997.
Ferejohn, John A. and Larry D. Kramer.
“Independent Judges, Dependent Judiciary:
Institutionalizing Judicial Restraint.” New
York University Law Review. Vol. 77. No.4.
October 2002.

126 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Ferejohn, John and Pasquale Pasquino. Malecki, Michael. “Do ECJ Judges All Speak
“Constitutional Adjudication: Lessons with the Same Voice? Evidence of
from Europe.” Texas Law Review. Vol. 82. Divergent Preferences from the Judgments
No.7. June 2003. of Chambers.” Journal of European Public
Gibson, James L. and Gregory A. Caldeira. Policy. Vol. 19. No. 1. December 2011.
“Defenders of Democracy? Legitimacy, Mancini, G. Federico and David T. Keeling. “From
Popular Acceptance, and the South African CILFIT to ERT: The Constitutional Challenge
Constitutional Cour.” Journal of Politics. Vol. Facing the European Court.” Yearbook of
65. No. 1. February 2003. European Law. Vol. 11. No. 1. November 1991.
Harlow, C. “Public law and Popular Justice.” Mendez, Mario. “Constitutional Review
Modern Law Review. Vol. 65. No.1. January Of Treaties: Lessons For Comparative
2002. Constitutional Design And Practice.”
Hilbink, Lisa. “Beyond Manicheanism: International Journal of Constitutional Law.
Assessing the New Constitutionalism.” Vol. 15. No.1. March 2017.
The Maryland Law Review. Vol. 65. No.1, Menéndez, Agustín J. “The Crisis of Law
February 2006. and the European Crises: From the
Himma, Kenneth Einar . “Making Sense Social and Democratic Rechtsstaat to
of Constitutional Disagreement: Legal the Consolidating State of (Pseudo-)
Positivism, the Bill of Rights, and the technocratic Governance.” Journal of Law
Conventional Rule of Recognition in the and Society. Vol. 44. No.1. February 2017.
United States.” Journal of Law in Society. Moore, David H. “Constitutional Commitment
Vol. 4. No. 2. December 2003. to International Law Compliance.” Virginia
Hübner, Denise Carolin. “The ‘National Law Review. Vol. 102. April 2016
Decisions’ Database (Dec. Nat): Paulson, Stanley L. “Constitutional Review in
Introducing A Database On National the United States and Austria: Notes on
Courts’ Interactions With European Law.” the Beginnings.” Ratio Juris. Vol. 16. No. 2.
European Union Politics. Vol. 17. No.2. June June 2003.
2016. Pegan, Andreja. “The Role Of Personal
Kelsen, Hans. ‘Judicial Review Of Legislation: Parliamentary Assistants In The European
A Comparative Study Of The Austrian Parliament,” West European Politics. Vol.40.
And The American Constitution.’ Journal No.2. June 2016.
of Politics. Vol. 4. No.2. May 1942. Poczter, Sharon and Thomas B. Pepinsky.
Knight, Jack and Lee Epstein. “The Norm Of “Authoritarian Legacies in Post–New
Stare Decisis.” American Journal of Political Order Indonesia: Evidence from a New
Science, Vol. 40. No.4. November 1996. Dataset.” Bulletin of Indonesian Economic
Lee, Frances E. “How Party Polarization Affects Studies. Vol. 52. No.1. April 2016.
Governance.” Annual Review of Political Rasmussen, Hjalte. “Remedying the Crumbling
Science. Vol.18. No.1. February 2015. EC Judicial System.” Common Market Law
Lollini, Andrea. “South African Constitutional Review. Vol.37. No.5. June 2000.
Court Experience: Reasoning Patterns Rosenfeld, Michel. “Constitutional
Based on Foreign Law.” The Utrecht Law Adjudication In Europe And The United
Review. Vol. 8. No.2. May 2012. States: Paradoxes And Contrasts.”
International Journal of Constitutional Law.
Vol. 2. No. 2. August 2004,

MUHAMMAD SIDDIQ ARMIA: Constitutional Courts and Judicial Reviews... 127


Sadurski, Wojciech. “Solange, Chapter 3’: Comella, Victor Ferreres. Constitutional
Constitutional Courts in Central Europe— Courts & Democratic Values: A European
Democracy—European Union.” European Perspective. New Haven: Yale University
Law Journal. Vol. 14. No.1. January 2008. Press. 2009.
Schor, Miguel. “Judicial Review And American Conforti, Benedetto. International Law And The
Constitutional Exceptionalism.” Osgoode Role Of Domestic Legal Systems. Leiden:
Hall Law Journal. Vol. 46. No. 3. October Martinus Nijhoff Publishers. 1993.
2008. Devenish, George E. A Commentary on the South
Schor, Miguel. “Squaring the Circle: African Constitution. United Kingdom:
Democratizing Judicial Review and the Butterworth-Heinemann. 1998.
Counter-Constitutional Difficulty.” Fiss, Owen M. ‘The Right Degree of
Minnesota Journal of International Law. Vol. Independence,’ in Irwin P. Skotzky, ed.,
16. No.1. December 2007. Transition to Democracy in Latin America:
Steinberger, Helmut. “Historic Influences of The Role of the Judiciary. Colorado:
American Constitutionalism upon German Westview Press. 1993.
Constitutional Development: Federalism Forsyth, Christopher, Ed. Judicial Review and the
and Judicial Review.” Columbia Journal of Constitution. Oxford: Hart publishing. 2000.
Transnational Law. Vol. 36. 1998.
Galera, Susana, ed., Judicial Review: A Comparative
Strang, Lee J. “Originalism’s Subject Matter: Analysis inside the European Legal System.
Why the Declaration of Independence Is Strasbourg: Council of Europe. 2010.
Not Part of the Constitution.” Southern
California Law Review. Vol. 89. No.3. Husein, Zainal AM. Judicial Review di Mahkamah
March 2016. Agung RI: Tiga Dekade Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan. Jakarta: Rajawali
Sweet, Alec Stone. “Why Europe Rejected Pers. 2009.
American Judicial Review: And Why It
May Not Matter,” Michigan Law Review, Joubert, Willem Adolf and T. Johan Scott.
Vol.101. No.201. August 2003. The Law of South Africa. United Kingdom:
Butterworths, 1981.
Tushnet, Mark. “Marbury v. Madison Around
the World.” Tennessee Law Review. Vol. Jowell, Jeffrey. “The rule of Law and its
71, No.4, Summer 2003. Underlying Values,” in The Changing
Constitution, Oxford University Press. 2007.
Webb, Hoyt. “Constitutional Court of
South Africa: Rights Interpretation Kelsen, Hans. General Theory of Law and
and Comparative Constitutional Law.” State, New York: Russell & Russell. 1961.
The University of Pennsylvania Journal of Keyaerts, David. ’Courts as Regulatory
Constitutional Law. Vol. 1. No.2. October Watchdogs. Does the European Court
1998. of Justice Bark or Bite?’ in Patricia
Popelier, Armen Mazmanyan, and
Books Werner Vandenbruwaene, ed. The Role
Avbelj, Matej and Jan KomÃirek, ed. of Constitutional Courts in Multilevel
Constitutional Pluralism in the European Union Governance. Cambridge: Intersentia. 2013.
and Beyond. Oxford: Hart Publishing. 2012.
Klug, Heinz. Constituting Democracy: Law,
Barnett, Hilaire. Constitutional and Globalism and South Africa’s Political
Administrative Law. United Kingdom: Reconstruction. Cambridge: Cambridge
Cavendish Publishing. 2004. University Press. 2000.

128 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


_____. The Constitution of South Africa: A Porsdam, Helle. From Civil to Human Rights:
Contextual Analysis. London: Bloomsbury Dialogues on Law and Humanities in the
Publishing, 2010. United States and Europe. United Kingdom:
Koopmans, Tim. Courts and Political Institutions, Edward Elgar Publishing. 2009.
Cambridge: Cambridge University Press. 2003. Shaw, Josephine and Marise Cremona. Law
Landfreid, Christine. “The Selection Process of of the European Union. United Kingdom:
Constitutional Court Judges in Germany” Macmillan. 1996.
in Kate Malleson & Peter H. Russell, eds. Steinberger, Helmut. American Constitutionalism
Appointing Judges in an Age of Judicial Power: and German Constitutional Development.
Critical Perspectives from around the World. New York: Columbia University Press.
Toronto: University of Toronto Press. 2006. 1990.
Licht, Robert A. ed. Is the Supreme Court The Stone, Alec. The Birth of Judicial Politics in
Guardian Of The Constitution? United State France: The Constitutional Council in
of America: American Enterprise Institute. Comparative Perspective. Oxford: Oxford
Lijphart, Arend. Patterns of Democracy: Government University Press. 1992.
Forms and Performance in Thirty-six Countries. Sweet, Alec Stone. Governing with Judges:
New Haven: Yale University Press. 2012. Constitutional Politics in Europe, Oxford:
Lutz, Donald S. Principles of Constitutional Design. Oxford University Press. 2000.
Cambridge: Cambridge University Press. 2006. Tams, Christian J. Enforcing Obligations Erga
MacCormick, Neil. Questioning Sovereignty. Omnes in International Law. Cambridge:
Oxford: Oxford University Press. 2001. Cambridge University Press. 2005.

Merryman, John Henry & Rogelio Pérez- Tate, C. Neal and Torbjörn Vallinder, ed. The
Perdomo. The Civil Law Tradition: An Global Expansion of Judicial Power. New
Introduction to the Legal Systems of Europe York: New York University Press. 1997.
and Latin America. California: Stanford Weiler, Joseph. H. H. ‘Epilogue: The Judicial
University Press. 2007. Après Nice’, in G. de Burca and J. H. H.
Merwe, C. G. Van der and J. E. Du Plessis. Weiler, Ed., The European Court of Justice,
Introduction to the Law of South Africa. New Oxford: Oxford University Press. 2001.
York: Kluwer Law International. 2004 Zakaria, Fareed. The Future of Freedom: Illiberal
Oliver, Dawn. Constitutional Reform in the UK. Democracy at Home and Abroad. New York:
Oxford: Oxford University Press.2003. W.W. Norton. 2003.

Pilkington, Colin. The Politics Today Companion


to the British Constitution. Manchester: Online
Manchester University Press. 1999. Cartabia, Marta. “Taking Dialogue Seriously”
The Renewed Need for a Judicial Dialogue
Pollicino, Oreste. ‘The Italian Constitutional at the Time of Constitutional Activism in the
Court and the European Court of Justice: European Union. No. 12. Jean Monnet Chair,
a Progressive Overlapping between 2007, http://www.jeanmonnetprogram.
the Supranational and the Domestic org/papers/07/071201.html. Diakses 26
Dimensions,’ in Monica Claes, Maartje de Februari 2015.
Visser, Patricia Popelier and Catherine Van
de Heyning, ed. Constitutional Conversations “Stare Decisis”, http: //www.law.cornell.edu/
in Europe-Actors, Topics and Procedures. wex/stare_decisis. Diakses 26 Februari
Cambridge: Intersentia. 2012. 2015.

MUHAMMAD SIDDIQ ARMIA: Constitutional Courts and Judicial Reviews... 129


“Ex post Facto Law”, http://en.wikipedia. “Report of the Group of Wise Persons to the
org/wiki/Ex_post_facto_law. Diakses 27 Committee of Ministers”, https://wcd.coe.
Februari 2015. int/ViewDoc.jsp?id=1063779. Diakses 25
“Ex-ante”, http://en.wikipedia.org/wiki/Ex- Februari 2015.
ante. Diakses 27 Februari 2015. “Judgment of the Court of Justice, Simmenthal,
“Treaty on European Union (Nice consolidated Case 106/77 (9 March 1978)”,
version)”, http://eur-lex.europa.eu/legal- www.cvce.eu/obj/judgment_of_the_court_
content/EN/TXT/?uri=CELEX:12002 of_justice_simmenthal_case_106_77_9_
M035. Diakses 10 Juni 2017 march_1978-en-82c8d76f-b272-4e8f-
“Treaty establishing the European Community”, 99e1-7940acbbc090.html. Diakses 10 Juni
http://eur-lex.europa.eu/LexUriServ/ 2017
LexUriServ.do?uri=CELEX:12002E234: “Wantimpres. Dewan Pertimbangan Presiden”,
EN:HTML. Diakses 10 Juni 2017 http://www.wantimpres.go.id/Beranda/
“Article 3, Section 2, Clause 1”, http://press- tabid/36/Default.aspx. Diakses 30 Juni
pubs.uchicago.edu/founders/tocs/a3_2_1. 2015
html. Diakses 10 Juni 2017

130 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


KENDALA PENERAPAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

THE OBSTACLES OF IMPLEMENTING THE CRIMINAL


LIABILITY OF THE CORPORATION AS A CRIMINAL OF CORRUPTION

Puteri Hikmawati
Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI
Komplek MPR/DPR/DPD Gedung Nusantara I Lantai 2,
Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta
email: puterihw@yahoo.com

Naskah diterima:10 April 2017


Naskah direvisi: 30 Mei 2017
Naskah diterbitkan: 20 Juni 2017

Abstract
The handling of corruption by the law enforcement officers do not yet optimally entangled the corporation
as the perpetrator of a criminal act. Whereas, the Law concerning the Eradication of the Criminal Act
of Corruption Law Number 31 year 1999 which has been amended by Law Number 20 year 2001 the
has been regulated that the corporation as the subject of criminal act. However, only a few corporations
have been convicted, one of them is the case involving PT Giri Jaladi Wana (PT GJW) in development
of Sentra Antasari Market’s project in Banjarmasin. There are obstacles on implementing the corporate
liability in corruption criminal act, as an example the case in this article. Part of the data used in the
writing of this article is obtained from the results of research in North Sumatra Province and East Java
Province. This article describes the lack of complementary provisions on corporate criminal liability in
Law Number 31 year 1999, which causing difficulties in its application by the law enforcement officers.
The Regulation of Attorney General Number PER-028/A/JA/10/2014 concerning the Guidance on
Criminal Case Handling with Corporation As a Legal Subject and the Supreme Court’s Regulation
Number 13 Year 2016 concerning the Standard Procedures for Handling Criminal Acts by Corporation,
are considered to fill the legal vacant. However, the legal standing of The Attorney General Regulation
and The Supreme Court’s Regulation are did not include as the types and hierarchy of legislation, which
can only be recognized, therefore it is only bind internally. This article is expected to be inserted into
the amendment of Law Number 31 year 1999, the Criminal Code, and Law Number 8 year 1981 on
Criminal Code Procedures.
Keywords: criminal liability, corporation, criminal offenses, corruption

Abstrak
Penanganan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum belum secara maksimal
menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Padahal, Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah mengatur korporasi
sebagai subjek tindak pidana. Namun, sampai saat ini hanya beberapa korporasi yang dihukum
sebagai terpidana korupsi, salah satunya kasus korupsi yang melibatkan PT Giri Jaladi Wana (PT
GJW) dalam proyek pembangunan Pasar Sentra Antasari di Banjarmasin. Ada kendala dalam
penerapan pertanggungjawaban korporasi, yang menjadi permasalahan dalam artikel ini. Data
yang digunakan dalam penulisan artikel ini sebagian diperoleh dari hasil penelitian di Provinsi
Sumatera Utara dan Jawa Timur. Dalam pembahasan, diuraikan ketidaklengkapan ketentuan
mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam UU Tipikor yang menimbulkan kendala

PUTERI HIKMAWATI: Kendala Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi... 131


dalam penerapannya. Peraturan Jaksa pada saat ini sangat penting. Banyak hal dari
Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014 kehidupan masyarakat dipengaruhi oleh
tentang Pedoman Penanganan Perkara korporasi. Apabila pengaruh tersebut positif,
Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi tentu tidak perlu dirisaukan. Tetapi yang terjadi
dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor banyak dari pengaruh tersebut yang merugikan
13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
masyarakat, baik orang perseorangan maupun
Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi
masyarakat. Tujuan pembentukan korporasi
dianggap dapat mengisi kekosongan
untuk memperoleh keuntungan kadangkala
hukum dalam menjerat korporasi sebagai
subjek hukum pidana. Namun, kedudukan menimbulkan pelanggaran hukum.
Peraturan Jaksa Agung dan Peraturan Oleh karena itu, dalam perkembangan
Mahkamah Agung tidak termasuk dalam hukum pidana, termasuk hukum pidana
jenis dan hierarki peraturan perundang- di Indonesia diterima pendapat bahwa
undangan, hanya diakui keberadaannya, korporasi dapat pula dibebani dengan
sehingga hanya mengikat ke dalam. pertanggungjawaban pidana. Subjek hukum
Artikel ini diharapkan dapat menjadi pidana tidak hanya dibatasi pada manusia
bahan masukan dalam melakukan alamiah, tetapi harus juga mencakup korporasi.
perubahan terhadap UU Tipikor, KUHP, Hal ini karena korporasi dapat dijadikan sarana
dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun untuk melakukan tindak pidana dan dapat pula
1981 tentang Hukum Acara Pidana. memperoleh keuntungan dari suatu tindak
Kata kunci: pertanggungjawaban pidana, pidana.
korporasi, tindak pidana, Istilah korporasi tidak ada dalam kodifikasi
korupsi yang diterima dalam rezim lama. Secara
etimologi, kata “korporasi” (Belanda: corporatie,
Inggris: corporation, Jerman: korporation) berasal
I. PENDAHULUAN
dari kata “corporation” dalam bahasa Latin,
Dalam pemberantasan korupsi di Indonesia
berarti hasil dari pekerjaan membadankan,
ada subjek hukum yang belum secara maksimal
dengan lain perkataan badan yang dijadikan
dijerat oleh aparat penegak hukum, yaitu
orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan
korporasi. Praktik penegakan hukum oleh
manusia sebagai lawan terhadap badan
aparat penegak hukum (Kejaksaan, KPK, dan
manusia, yang terjadi menurut alam.2 Mengacu
Polri) terhadap korporasi sejak 2010 hingga 2013
pada ketentuan Pasal 8 ayat (2) Reglement op
telah menangani 7.651 perkara tindak pidana
de Burgerlijke Rechtsvordering, bahwa yang
korupsi, namun intensitas dan tindakan masif
dimaksud dengan corporatie adalah sesuatu
penegak hukum dalam pemberantasan korupsi
yang dapat disamakan dengan “person” yakni
tidak diimbangi dengan praktik penanganan
“rechtspersoon’’.3 Menurut Satjipto Rahardjo
perkara terhadap korporasi. Padahal, kejahatan
dalam bukunya yang berjudul Ilmu Hukum,
korporasi berisiko menimbulkan dampak luar
yang dimaksud dengan korporasi adalah “Badan
biasa. Terlebih bila berkolaborasi dan berkolusi
yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu
dengan kekuasaan pemerintahan negara,
struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum
dapat memunculkan jenis kejahatan baru yang
memasukkan unsur animus yang membuat
merusak sendi-sendi pemerintahan negara
badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena
demokratis.1
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran 2 Soetan K. Malikoel Adil, “Pembaharuan Hukum
korporasi dalam kehidupan masyarakat Perdata Kita”, dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno,
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Kencana
1
Widyopramono, “Pidana Kejahatan Korporasi”, Suara Prenada Media Group, 2010, hal. 23.
Merdeka, 22 Juli 2014, http://berita.suaramerdeka.com/ 3
Yudi Krismen, “Pertanggungjawaban Korporasi dalam
kejahatan-korporasi-diidentifikasi-dari-dua-hal/, diakses Kejahatan Ekonomi”, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 4 No.
tanggal 27 Maret 2016. 1, Tahun, 2013, hal. 133-160.

132 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


badan hukum ini merupakan ciptaan hukum, apakah orang-orang itu masing-masing
maka kecuali penciptaannya, kematiannyapun tersendiri melakukan tindak pidana
ditentukan oleh hukum.4 ekonomi itu atau pada mereka bersama
Korporasi dalam hukum pidana lebih ada anasir-anasir tindak pidana tersebut.
luas pengertiannya bila dibandingkan dengan Dengan UU ini badan hukum, perseroan,
pengertian korporasi dalam hukum perdata. perserikatan orang lainnya, atau yayasan
Sebab korporasi dalam hukum pidana bisa dijadikan subjek hukum pidana.
berbentuk badan hukum atau non badan hukum, Setelah UU ini mengakui korporasi sebagai
sedangkan menurut hukum perdata korporasi subjek hukum pidana, berbagai undang-
mempunyai kedudukan sebagai badan hukum.5 undang pidana lainnya di luar KUHP mengakui
Banyak undang-undang (UU) yang korporasi sebagai subjek hukum pidana, seperti
menjadikan korporasi sebagai subjek hukum UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
pidana. Korporasi menjadi subjek hukum Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
pidana diperkenalkan sejak UU Drt. Nomor 7 telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU
Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga
dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (UU atas UU Nomor 6 Tahun 1983; UU Nomor 7
TPE). Namun, dalam UU TPE tersebut Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
korporasi disebut dengan nama badan hukum, telah dubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998;
perseroan, perserikatan atau yayasan.6 Pasal 15 UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
UU tersebut mengatakan: UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
(1) Jika suatu tindak pidana ekonomi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
dilakukan oleh atau atas nama suatu 17 Tahun 2006; UU Nomor 11 Tahun 1995
badan hukum, suatu perseroan, suatu tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan
perserikatan orang yang lainnya atau suatu
UU Nomor 39 Tahun 2007; UU Nomor 23
yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
dan hukuman pidana serta tindakan tata
Hidup sebagaimana telah diganti dengan UU
tertib dijatuhkan, baik terhadap badan
hukum, perseroan, perserikatan atau Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
yayasan itu, baik terhadap mereka yang dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU Nomor
memberi perintah melakukan tindak 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; UU Nomor
pidana ekonomi itu atau yang bertindak 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sebagaimana
sebagai pemimpin dalam perbuatan atau telah diganti dengan UU Nomor 35 Tahun 2009
kelalaian itu, maupun terhadap kedua- tentang Narkotika; UU Nomor 5 Tahun 1999
duanya. tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
(2) Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan Tidak Sehat; UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang
juga oleh atau atas nama suatu badan Perlindungan Konsumen; dan UU Nomor 31
hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
orang atau suatu yayasan, jika tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
itu dilakukan oleh orang-orang yang,
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
baik berdasar hubungan kerja maupun
2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31
berdasar hubungan lain, bertindak dalam
Tahun 1999. Namun, istilah “korporasi” mulai
lingkungan badan hukum, perseroan,
perserikatan atau yayasan itu, tak peduli disebut dalam UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika. Korporasi menurut UU tersebut
4
Kristian, “Urgensi Pertanggungjawaban Pidana adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/
Korporasi”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke 44
atau kekayaan, baik merupakan badan hukum
No. 4 Oktober – Desember 2013, hal. 575-621.
5
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana maupun bukan.7
Korporasi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010,
hal. 33. 7
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997
6
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Drt No. 7 Tahun 1955. tentang Psikotropika.

PUTERI HIKMAWATI: Kendala Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi... 133


Saat ini telah banyak UU yang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
menempatkan korporasi sebagai subjek Tipikor) menjadikan korporasi sebagai subjek
hukum pidana. Muladi dan Diah Sulistyani tindak pidana dapat diketahui dari bunyi Pasal
menyebutkan, ada 62 perundang-undangan di 20 UU Tipikor. Dalam UU Tipikor tersebut
Indonesia yang mengatur pertanggungjawaban korporasi adalah kumpulan orang dan/atau
pidana korporasi.8 Dari pengamatan terhadap kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan
pengaturan pertanggungjawaban pidana badan hukum maupun bukan badan hukum.11
korporasi dalam berbagai undang-undang Meskipun UU Tipikor telah berlaku lebih
tersebut dapat disimpulkan, bahwa pola dari 15 tahun, namun hanya beberapa putusan
pengaturannya sangat bervariasi dan tidak yang menghukum korporasi. Salah satunya,
memiliki pola yang baku. Akibatnya, jelas kasus korupsi PT Giri Jaladhi Wana (PT GJW)
menimbulkan kegamangan dalam penegakan dalam proyek pembangunan Pasar Sentra
hukumnya, sebab pengaturannya seringkali Antasari yang disidik oleh Kejaksaan Negeri
tidak jelas dan bersifat ambigu. Variasi tersebut Banjarmasin. Pengadilan Tinggi dengan Hakim
mencakup, antara lain: Majelis yang diketuai H.M. Mas menghukum
1. Ketentuan umum undang-undang yang korporasi, dengan putusan yang telah
tidak menyatakan bahwa setiap orang berkekuatan hukum tetap berdasarkan Putusan
dalam perumusan tindak pidana termasuk Pengadilan Tinggi Banjarmasin Nomor 04/PID.
juga korporasi; SUS/2011/PT. BJM Tahun 2011, dibacakan
2. Definisi dan ruang lingkup korporasi; pada tanggal 10 Agustus 2011, menguatkan
3. Jenis sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor:
korporasi, baik berupa pidana maupun 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm, tanggal 9 Juni 2011.
tindakan; dan PT GJW dihukum membayar Rp1.317.782.129
4. Prosedur penyidikan dan proses sistem dan hukuman tambahan penutupan sementara
peradilan pidana apabila dilakukan selama enam bulan.12
terhadap korporasi.9 Sebenarnya keterlibatan korporasi dalam
Begitu pula penelitian Hasbullah F. Sjawie tindak pidana korupsi terlihat dalam beberapa
sejak Maret 1996 hingga Desember 2009 kasus. Di antara kasus-kasus yang melibatkan
menyebutkan ada 71 perundang-undangan korporasi, antara lain kasus impor daging sapi
di bidang administrasi yang mengakomodasi oleh PT Indo Guna Utama, Kasus Hambalang
korporasi. Hanya saja sebagian masih terbatas yang berkaitan dengan PT Adhi Karya dan PT
pada pencantuman istilah dan pengertian Dutasari Citralaras. Kasus kepala satuan kerja
korporasi.10 khusus pelaksana kegiatan hulu minyak dan gas
UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang bumi (SKK Migas) yang melibatkan PT Kernel
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Oil. Dalam kasus-kasus tersebut korporasi belum
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tersentuh hukum untuk ikut bertanggungjawab
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- atas kerugian yang dialami oleh negara dari
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang kegiatan korporasi. Pertanggungjawaban pidana
masih mencakup pengurus atau direktur
8
62 UU tersebut disebutkan dalam Pertanggungjawaban perusahaan yang ditetapkan sebagai terdakwa
Pidana Korporasi (Corporate Criminal Responsibility),
di pengadilan.
Muladi dan Diah Sulistyani RS, Bandung: PT Alumni,
2013, hal. 50-53.
9
Muladi dan Diah Sulistyani RS, Pertanggungjawaban 11
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Pidana Korporasi (Corporate Criminal Responsibility),
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bandung: PT Alumni, 2013, hal 53. 12
“Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik
10
Widyopramono, “Pidana Kejahatan Korporasi”, Suara
Indonesia”, https://putusan.mahkamahagung.go.id/putus
Merdeka, 22 Juli 2014, http://berita.suaramerdeka.com/
n/9918b5c5a0328019072a212e01279748, diakses tanggal
kejahatan-korporasi-diidentifikasi-dari-dua-hal/, diakses
26 Mei 2017.
tanggal 27 Maret 2016.

134 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Keterlibatan korporasi dalam praktik ini menganggap korporasi tidak mungkin
korupsi dapat dicermati dari beberapa melakukan kesalahan semisal dalam kejahatan
kasus yang pernah ditangani oleh Komisi pemerkosaan, pencabulan, ataupun jenis
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). kejahatan konvensional lain. Paradigma yang
Data KPK tahun 2016 menyebutkan, lembaga hanya menjadikan orang perseorangan sebagai
ini telah menangani 146 kasus dengan tersangka subjek hukum pidana terasa mengusik rasa
pengurus korporasi. Semua pengurus korporasi keadilan. Karena itu, secara yuridis harus
berhasil dijerat dan dihukum dengan pidana dikonstruksikan dengan menunjuk korporasi
penjara, tetapi korporasinya tidak tersentuh dan sebagai subjek hukum.15
tetap beroperasi hingga saat ini.13 KPK belum Diterimanya korporasi sebagai subjek
pernah menjerat korporasi dalam kasus korupsi, hukum pidana, menjadikan korporasi dapat
walaupun selama ini KPK sering menentukan bertindak seperti manusia, mempunyai hak
dalam surat tuntutan atau dakwaan bahwa dan kewajiban, tindakan hingga tanggung
korporasi turut menikmati uang dari hasil jawabnya ditentukan oleh undang-undang.
tindak pidana korupsi. Hal itu disebabkan Walaupun telah banyak diatur dalam UU,
karena kesulitan dalam menentukan subjek penetapan korporasi sebagai subjek hukum
pelaku korupsi. Penyidik mengalami kesulitan menimbulkan pro dan kontra. Pendapat
dalam menemukan bahwa seluruh atau yang pro mengatakan korporasi menduduki
jajaran direksi korporasi bekerja sama dalam posisi penting dalam masyarakat dan
melakukan korupsi yang keuntungan atau berkemampuan untuk menimbulkan kerugian
hasilnya digunakan untuk korporasi tersebut.14 bagi pihak lain dalam masyarakat seperti halnya
Selain itu, penyebab sedikitnya praktik manusia. Memperlakukan korporasi seperti
penegakan terhadap korporasi dikarenakan manusia (natural person) dan membebani
persoalan legislasi, khususnya terkait pertanggungjawaban atas tindak pidana yang
penempatan korporasi sebagai subjek hukum dibuat korporasi, sejalan dengan asas hukum
dan pertanggungjawaban pidananya. Dalam bahwa siapa pun sama di hadapan hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (principle of equality before the law).16 Sedangkan
(KUHP) yang berlaku saat ini subjek hukum pendapat yang kontra mengatakan, bahwa
masih tertuju pada manusia, yang tercermin korporasi tidak memiliki kalbu (mind) sendiri,
dari penggunaan unsur “barangsiapa” dalam oleh karena itu, tidak mungkin menunjukkan
berbagai rumusan delik dalam KUHP. Jadi suatu nilai moral yang disyaratkan untuk dapat
tertuju pada subjek hukum manusia atau orang dipersalahkan secara pidana. Di samping itu,
perseorangan. mustahil untuk dapat memenjarakan suatu
Rumusan Pasal 59 KUHP misalnya, organisasi dengan tujuan untuk pencegahan
tidak mengenal subjek hukum korporasi. (deterrence), penghukuman, dan rehabilitasi,
Akibatnya, ketika terjadi kejahatan yang yang menjadi tujuan dari sanksi-sanksi pidana.17
berkaitan dengan korporasi, maka “hanya” Dengan dimuatnya korporasi sebagai
orang perorangan dari korporasi itulah yang subjek hukum pidana termasuk dalam tindak
dimintai pertanggungjawaban pidananya. Tak pidana korupsi, maka hal ini berarti telah
diakuinya korporasi sebagai subjek hukum terjadi perluasan dari pengertian siapa yang
dalam KUHP, merupakan pengaruh dari
doktrin societas delinquere non potest. Doktrin
15
Widyopramono, “Pidana Kejahatan Korporasi”, Suara
Merdeka, 22 Juli 2014, http://berita.suaramerdeka.com/
13
Emerson Yuntho, “Menjerat Korupsi Korporasi”, nasional. kejahatan-korporasi-diidentifikasi-dari-dua-hal/, diakses
kompas.com/read/2017/03/03/20282871/menjerat. tanggal 27 Maret 2016.
korupsi.korporasi, diakses tanggal 25 April 2017.
16
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana
14
“Sulitnya KPK Menjerat Korporasi”, www.gresnews. Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2007, hal. 55.
com/berita/hukum/902712-sulitnya-kpk-menjerat-
17
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana
korporasi/1/, diakses tanggal 25 April 2017. Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2007, hal. 53.

PUTERI HIKMAWATI: Kendala Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi... 135


merupakan pelaku tindak pidana (dader). adalah apa saja kendala yang dihadapi dalam
Permasalahan yang muncul sehubungan dengan menerapkan ketentuan pertanggungjawaban
pertanggungjawaban pidana dari korporasi. pidana korporasi sebagai pelaku tindak
Asas utama dalam pertanggungjawaban pidana pidana korupsi? Berdasarkan permasalahan
adalah harus ada kesalahan (schuld) pada pelaku, pokok tersebut beberapa pertanyaan yang
sehingga bagaimana harus mengkonstruksikan diajukan adalah: 1) Bagaimana pengaturan
kesalahan dari suatu korporasi? Ajaran yang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
banyak dianut sekarang ini memisahkan antara tindak pidana korupsi? 2) Mengapa muncul
perbuatannya yang melawan hukum (menurut kendala dalam penerapannya?
hukum pidana) dengan pertanggungjawabannya Karya tulis ilmiah berkaitan dengan
menurut hukum pidana.18 Konsekuensi dari masalah tersebut pernah ditulis oleh:
persoalan tersebut menjadikan peraturan 1. Eddy Rifai, berjudul “Perspektif
perundang-undangan yang tidak spesifik Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
merumuskan prinsip pertanggungjawaban sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi”
pidana korporasi sulit untuk diaplikasikan dimuat dalam Mimbar Hukum Volume 26,
sehingga memungkinkan timbulnya berbagai Nomor 1, Februari 2014.
penafsiran. 2. Orpa Ganefo Manuain, berjudul
Penentuan kesalahan korporasi sangat sulit “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
karena kesalahan yang dilimpahkan kepada dalam Tindak Pidana Korupsi”, tesis,
korporasi bukanlah korporasi secara pribadi, Program Magister Ilmu Hukum, UNDIP,
sebab pada hakikatnya yang melakukan tindak Semarang, 2005.
pidana adalah orang (pengurus korporasi). Perbandingan kedua tulisan tersebut adalah
Begitu juga masalah sanksi pidana yang ada keduanya sama-sama menguraikan bagaimana
dalam peraturan perundang-undangan yang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
berhubungan dengan pertanggungjawaban tindak pidana korupsi dan prospek pengaturannya
korporasi, belum tertata secara jelas mana yang dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana
pidana pokok, pidana tambahan, serta tindakan. Korupsi. Perbedaannya, dalam tulisan Eddy Rifai,
Akibat dari ketidak jelasan tersebut akan timbul diuraikan juga permasalahan faktor penghambat
keragu-raguan pada aparat penegak hukum pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
untuk menjerat korporasi sebagai subjek tindak tindak pidana korupsi, dari hasil penelitian
pidana, sehingga kepastian hukum akan sulit lapangan di Provinsi Lampung. Perbedaannya
dicapai. Belakangan muncul Peraturan Jaksa dengan artikel ini, artikel ini menguraikan
Agung RI Nomor: PER-028/A/JA/10/2014 kendala-kendala yang dihadapi oleh aparat
tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana penegak hukum, dari hasil penelitian lapangan di
dengan Subjek Hukum Korporasi dan Peraturan Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur. Selain
Mahkamah Agung RI Nomor 13 Tahun 2016 itu, tulisan ini menganalisis aturan teknis yang
tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak dikeluarkan oleh Jaksa Agung pada tahun 2014
Pidana oleh Korporasi. Terbitnya Peraturan (Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-028/A/
tersebut dianggap dapat mengisi kekosongan JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan
hukum terkait prosedur penanganan tindak Perkara Pidana dengan Subjek Hukum
pidana yang dilakukan oleh korporasi dan/atau Korporasi) dan Mahkamah Agung pada tahun
pengurusnya. 2016 (Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor
Berdasarkan latar belakang tersebut, 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan
permasalahan pokok dalam artikel ini Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi).
18
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi Masalah ini penting dikaji, mengingat telah
dan Kejahatan, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan ada pengaturan pertanggungjawaban pidana
dan Pengabdian Hukum (d/h. Lembaga Kriminologi)
korporasi dalam tindak pidana korupsi dalam
Universitas Indonesia, 1994, hal. 101.

136 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


UU, tetapi sangat sedikit aparat penegak hukum hukum (polisi, jaksa, dan hakim), lembaga
yang mengajukan korporasi sebagai subjek tindak bantuan hukum/advokat, dan akademisi, dalam
pidana. Adanya kendala yang dihadapi oleh penelitian yang dilakukan pada tahun 2016.
aparat penegak hukum dalam penerapannya, Penelitian ke daerah dilaksanakan di Provinsi
dapat menjadi pertimbangan dalam perumusan Sumatera Utara dan Jawa Timur.
ketentuan pertanggungjawaban pidana korporasi Selanjutnya, data yang terkumpul, baik
dalam perubahan UU Tipikor. Penulisan artikel data primer maupun data sekunder, dianalisis
ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan dengan metode kualitatif dan diuraikan secara
masukan bagi DPR RI dalam melakukan deskriptif dan preskriptif. Analisis yuridis
pembahasan RUU tentang Pemberantasan deskriptif menggambarkan kerangka regulasi
Tindak Pidana Korupsi terkait pengaturan (pengaturan atau norma-norma) mengenai
korporasi sebagai subjek tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana korporasi.
pertanggungjawabannya. RUU ini masuk dalam Sedangkan yang bersifat preskriptif, dikemukakan
Daftar Program Legislasi Nasional RUU Tahun rumusan-rumusan regulasi yang diharapkan
2015-2019 Nomor 37. Selain itu, artikel ini dapat menjadi alternatif penyempurnaan
diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan norma-norma serta sistem pengaturan mengenai
masukan dalam pembahasan RUU KUHP dan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
RUU KUHAP. tindak pidana korupsi di masa yang akan datang.

II. METODE PENELITIAN III. TEORI DAN MODEL


Penulisan artikel ini didahului dengan PERTANGGUNGJAWABAN
penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. PIDANA KORPORASI
Penelitian yuridis normatif dilakukan terhadap A. Teori-teori Pertanggungjawaban Pidana
peraturan perundang-undangan yang berkaitan Korporasi
dengan pertanggungjawaban pidana korporasi Berbicara tentang pertanggungjawaban
dalam tindak pidana korupsi. Sedangkan pidana, tidak dapat dilepaskan dengan
penelitian yuridis empiris dilakukan untuk tindak pidana. Walaupun di dalam
mengetahui penerapan peraturan perundang- pengertian tindak pidana tidak termasuk
undangan terkait pertanggungjawaban pidana masalah pertanggungjawaban. Tindak
korporasi dalam tindak pidana korupsi oleh pidana menunjuk pada dilarangnya suatu
aparat penegak hukum, dan kendala-kendala perbuatan. Pertanggungjawaban pidana adalah
yang dihadapi sehingga korporasi belum diteruskannya celaan yang obyektif yang ada
maksimal dapat dijerat dalam tindak pidana pada tindak pidana dan secara subjektif kepada
korupsi secara maksimal. seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat
Metode pendekatan yang digunakan adalah dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.19
pendekatan kualitatif, dengan melakukan Kapan seseorang dikatakan mempunyai
studi kepustakaan terlebih dahulu. Studi kesalahan merupakan hal yang menyangkut
kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai
data sekunder, berupa peraturan perundang- kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak
undangan terkait pertanggungjawaban pidana pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat
korporasi. Selain itu, data sekunder juga dicela oleh karena perbuatannya.20
berupa ulasan atau pendapat para pakar yang Dalam mempertanggungjawabkan korporasi
terdapat dalam buku, karya tulis ilmiah, dan sebagai subjek hukum pidana terdapat beberapa
jurnal, termasuk yang dapat diakses melalui teori, sebagai berikut:
internet. Sedangkan data primer diperoleh 19
Pasal 37 RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum
dari narasumber atau informan pihak-pihak Pidana 2015.
yang berkompeten, yaitu aparat penegak 20
Penjelasan Pasal 37 RUU tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana 2015.

PUTERI HIKMAWATI: Kendala Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi... 137


1. Teori Direct Corporate Criminal Liability 2. Teori Strict Liability
Corporate criminal liability berhubungan erat Strict liability diartikan sebagai suatu
dengan doktrin identifikasi, yang menyatakan tindak pidana dengan tidak mensyaratkan
bahwa tindakan dari agen tertentu suatu adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap
korporasi, selama tindakan itu berkaitan satu atau lebih dari actus reus.25 Strict liability
dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan ini merupakan pertanggungjawaban tanpa
dari korporasi itu sendiri.21 Teori ini juga kesalahan (liability without fault). Konsep ini
berpandangan bahwa agen tertentu dalam dirumuskan sebagai the nature of strict liability
sebuah korporasi dianggap sebagai “directing offences is that they are crimes which do not require
mind”. Perbuatan dan mens rea para individu any mens rea with regard to at least one element of
itu kemudian dikaitkan dengan korporasi. Jika their “actus reus” (konsep pertanggungjawaban
individu diberi kewenangan untuk bertindak atas mutlak merupakan suatu bentuk pelanggaran/
nama dan selama menjalankan bisnis korporasi, kejahatan yang di dalamnya tidak mensyaratkan
mens rea para individu itu merupakan mens rea adanya unsur kesalahan, tetapi hanya
korporasi.22 Mereka tidak sebagai pengganti disyaratkan adanya suatu perbuatan).26
dan oleh karena itu, pertanggungjawaban Pendapat lain mengenai strict liability
korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban dikemukakan oleh Roeslan Saleh, sebagai berikut:27
pribadi.23 Terkait dengan uraian tersebut, agen Dalam praktik pertanggungjawaban pidana
atau orang-orang yang bila melakukan tindak menjadi lenyap, jika ada salah satu keadaan yang
pidana, sehingga yang bertanggung jawab adalah memaafkan. Praktik pula melahirkan aneka
korporasi, tindakan mereka sesungguhnya macam tingkatan keadaan-keadaan mental yang
identik dengan tindakan korporasi. dapat menjadi syarat ditiadakannya pengenaan
Korporasi dalam banyak hal disamakan pidana, sehingga dalam perkembangannya lahir
dengan tubuh manusia. Korporasi memiliki kelompok kejahatan yang untuk penanganan
otak dan pusat syaraf yang mengendalikan pidananya cukup dengan strict liability.
apa yang dilakukannya. Ia memiliki tangan L.B. Curzon mengemukakan tiga alasan
yang memegang alat dan bertindak sesuai mengapa dalam strict liability aspek kesalahan tidak
dengan arahan dari pusat syaraf. Beberapa perlu dibuktikan. Pertama, adalah sangat esensial
orang di lingkungan korporasi itu hanyalah untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting
ada karyawan dan agen yang tidak lebih dari tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan
tangan dalam melakukan pekerjaannya dan masyarakat. Kedua, pembuktian adanya mens
tidak bisa dikatakan sikap batin atau kehendak rea akan menjadi sulit untuk pelanggaran yang
perusahaan. Pada pihak lain, direktur atau berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat.
pejabat setingkatnya mewakili sikap batin yang Ketiga, tingginya tingkat bahaya sosial yang
mengarahkan, mewakili kehendak perusahaan ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan.28
dan mengendalikan apa yang dilakukan. Sikap Sedangkan Lord Pearce sebagaimana dikutip
batin mereka merupakan sikap batin korporasi.24 oleh Yusuf Shofie berpendapat bahwa banyak
21
H.A. Palmer dan Henry Palmer, Harris’s Criminal Law, 25
Russel Heaton, sebagaimana dikutip oleh Mahrus
sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali, Asas-asas Hukum
Ali, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, Jakarta: PT
Pidana Korporasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 107.
2013, hal. 106. 26
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana,
22
Dwidja Prayitno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem
Jakarta: PT Rajawali Pers, 2002, hal. 154.
Pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia, Bandung: CV 27
Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran tentang Pertanggungjawaban
Utomo, 2004, hal. 27-28.
Pidana, sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali, Asas-
23
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana,
asas Hukum Pidana Korporasi, Jakarta: PT RajaGrafindo
Jakarta: PT Rajawali Pers, 2002, hal. 154.
Persada, 2013, hal. 113.
24
Eric Colvin, “Corporate Personality and Criminal 28
L.B. Curzon, sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali, Asas-
Liability”, sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali, Asas-
asas Hukum Pidana Korporasi, Jakarta: PT RajaGrafindo
Asas Hukum Pidana Korporasi, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2013, hal. 114.
Persada, 2013, hal. 107.

138 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


faktor yang melatarbelakangi pembentuk hanya bertanggung jawab atas perbuatan
undang-undang menetapkan penggunaan strict salah pekerja yang masih dalam ruang lingkup
liability dalam hukum pidana, yaitu karena: pekerjaannya.33 Rasionalitas penerapan
(1) karakteristik dari suatu tindak pidana; (2) teori ini adalah karena majikan (korporasi)
pemidanaan yang diancamkan; (3) ketiadaan memiliki kontrol dan kekuasaan atas mereka
sanksi sosial (the absence of social obluqoy); dan keuntungan yang mereka peroleh secara
(4) kerusakan tertentu yang ditimbulkan; (5) langsung dimiliki oleh majikan (korporasi).34
cakupan aktivitas yang dilakukan; dan (6) Prinsip hubungan kerja dalam vicarious
perumusan ayat-ayat tertentu dan konteksnya liability disebut dengan prinsip delegasi, yakni
dalam suatu perundang-undangan.29 Keenam berkaitan dengan pemberian izin kepada
faktor tersebut menunjukkan bahwa betapa seseorang untuk mengelola suatu usaha. Si
pentingnya perhatian publik (public concern) pemegang izin tidak menjalankan langsung usaha
terhadap perilaku-perilaku yang perlu dicegah tersebut, akan tetapi ia memberikan kepercayaan
dengan penerapan strict liability agar keamanan (mendelegasikan) secara penuh kepada seorang
masyarakat (public safety), lingkungan hidup manajer untuk mengelola korporasi tersebut.
(environment), dan kepentingan-kepentingan Jika manajer itu melakukan perbuatan melawan
ekonomi masyarakat (the economic interest of the hukum, maka si pemegang izin (pemberi delegasi)
public), terjaga.30 bertanggung jawab atas perbuatan manajer itu.
3. Teori Vicarious Liability Sebaliknya, apabila tidak terdapat pendelegasian
Vicarious liability biasanya dikenal dengan maka pemberi delegasi tidak bertanggung jawab
sebutan pertanggungjawaban pidana pengganti, atas tindak pidana manajer tersebut.35
yang diartikan sebagai pertanggungjawaban 4. Teori Aggregasi
seseorang tanpa kesalahan pribadi, bertanggung Tesis utama teori ini adalah bahwa merupakan
jawab atas tindakan orang lain (a vicarious suatu langkah yang tepat bagi suatu korporasi
liability is one where in one person, though without untuk dipersalahkan walaupun tanggung jawab
personal fault, is more liable for the conduct of pidana tidak ditujukan kepada satu orang
another).31 Barda Nawawi Arief berpendapat individu, melainkan pada beberapa individu.
bahwa vicarious liability adalah suatu konsep Teori aggregasi membolehkan kombinasi tindak
pertanggungjawaban seseorang atas kesalahan pidana dan/atau kesalahan tiap-tiap individu
yang dilakukan orang lain, seperti tindakan agar unsur-unsur tindak pidana dan kesalahan
yang dilakukan yang masih berada dalam ruang yang mereka perbuat terpenuhi. Tindak pidana
lingkup pekerjaannya (the legal responsibility yang dilakukan seseorang digabungkan dengan
of one person for wrongful acts of another, as kesalahan orang lain, atau ia adalah akumulasi
for example, when the acts done within scope of kesalahan atau kelalaian yang ada pada diri tiap-
employment).32 tiap pelaku. Ketika kesalahan-kesalahan tersebut,
Vicarious liability hanya dibatasi pada setelah dijumlahkan, ternyata memenuhi unsur
keadaan tertentu dimana majikan (korporasi) yang dipersyaratkan dalam suatu mens rea, maka
29
Yusuf Shofie, Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam teori aggregasi terpenuhi di sini.36
Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: 33
C.M.V. Clarkson, Understanding Criminal Law, sebagaimana
Citra Aditya Bakti, 2011, hal. 362-363.
dikutip oleh Mahrus Ali, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi,
30
Yusuf Shofie, Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 119.
Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: 34
C.M.V. Clarkson, Understanding Criminal Law, sebagaimana
Citra Aditya Bakti, 2011, hal. 363.
dikutip oleh Mahrus Ali, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi,
31
Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 119.
sebagaimana dikutip oleh Dwidja Priyatno, Kebijakan 35
Hanafi, Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum
Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Pidana, Yogyakarta: Lembaga Penelitian, UII, 1997, hal. 92-94.
Korporasi di Indonesia, hal. 100. 36
Stephanie Earl, “Ascertaining the Criminal Liability of a
32
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana,
Corporation”, New Zealand Business Law Quarterly, 2007,
Jakarta: PT Rajawali Pers, 2002, hal. 33.
hal. 212.

PUTERI HIKMAWATI: Kendala Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi... 139


Kemunculan teori aggregasi pada B. Model Pertanggungjawaban Korporasi
dasarnya merupakan respons atas kelemahan Model pertanggungjawaban pidana
teori identifikasi karena belum cukup untuk korporasi dalam hukum pidana terdapat
menunjukkan realitas dalam banyak korporasi beberapa cara atau sistem perumusan yang
modern. Namun demikian, antara teori identifikasi ditempuh oleh pembuat undang-undang.
dengan teori aggregasi memiliki perbedaan prinsip. Tentang kedudukan korporasi sebagai pembuat
Pada teori identifikasi yang didapatkan hanya satu dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi,
orang yang perilakunya dapat diatribusikan kepada ada tiga model pertanggungjawaban pidana
korporasi, maka sudah dianggap cukup untuk korporasi,41 yaitu:
penyidikan, penuntutan, dan peradilan meskipun 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan
masih dimungkinkan adanya pelaku tindak pidana penguruslah yang bertanggungjawab
lainnya. Pada teori aggregasi diperlukan identifikasi Model pada tahap ini, masih diterima asas
lebih dari satu orang pelaku.37 “societas/universitas delinquere non potest”
5. Corporate Culture Model (badan hukum tidak dapat melakukan
Untuk corporate culture model, tindak pidana). Asas ini sebetulnya
pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada berlaku pada abad yang lalu pada seluruh
korporasi bila berhasil ditemukan bahwa seseorang negara Eropa Kontinental. Hal ini sejalan
yang telah melakukan perbuatan melanggar dengan pendapat-pendapat hukum pidana
hukum memiliki dasar yang rasional untuk individual dari aliran klasik yang berlaku
meyakini bahwa anggota korporasi yang memiliki pada waktu itu dan kemudian juga dari
kewenangan telah memberikan wewenang aliran modern dalam hukum pidana.
atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana 2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus
tersebut.38 Sebagai suatu keseluruhan, korporasi bertanggung jawab
adalah pihak yang harus juga bertanggung jawab Dalam model ini korporasi sebagai pembuat
karena telah dilakukannya perbuatan melanggar dan pengurus bertanggung jawab, maka
hukum dan bukan orang yang telah melakukan ditegaskan bahwa korporasi mungkin
perbuatan itu saja yang bertanggung jawab, tetapi sebagai pembuat. Pengurus ditunjuk sebagai
korporasi di mana orang itu bekerja.39 yang bertanggung jawab; yang dipandang
Dengan kata lain, menurut corporate dilakukan oleh korporasi adalah apa yang
culture model, tidak perlu ditemukan orang yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi
bertanggung jawab atas perbuatan yang melanggar menurut wewenang berdasarkan anggaran
hukum itu untuk dapat dipertanggungjawabkan dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan
perbuatan orang itu kepada korporasi. Sebaliknya, oleh korporasi adalah tindak pidana yang
pendekatan tersebut menentukan bahwa dilakukan seseorang tertentu sebagai
korporasi sebagai suatu keseluruhan adalah pihak pengurus dari badan hukum tersebut.
yang harus bertanggung jawab karena telah Sifat dari perbuatan yang menjadikan
dilakukannya perbuatan yang melanggar hukum tindak pidana itu adalah “onpersoonlijk”.
dan bukan orang yang melakukan perbuatan itu Orang yang memimpin korporasi
saja yang harus bertanggung jawab.40 bertanggungjawab pidana, terlepas dari
apakah ia tahu ataukah tidak tentang
dilakukannya perbuatan itu.
37
Mahrus Ali, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 126. 3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai
38
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana yang bertanggung jawab
Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2007, hal. 112. Dalam model ini korporasi sebagai pembuat
39
Stephanie Earl, “Ascertaining the Criminal Liability of a
dan juga sebagai yang bertanggung jawab
Corporation”, New Zealand Business Law Quarterly, 2007,
hal. 208. 41
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem
40
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,
Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2007, hal. 112.
Bandung: CV Utomo, 2004, hal. 53-57.

140 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


motivasinya adalah dengan memperhatikan dipermasalahkan. Teori identifikasi dan
perkembangan korporasi itu sendiri, yaitu teori fungsi sosial dari korporasi mendukung
bahwa ternyata untuk beberapa delik pertanggungjawaban korporasi dalam hukum
tertentu, ditetapkannya pengurus saja pidana. Dalam masyarakat modern, peranan
sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak korporasi sangat strategis, bahkan dalam
praktik dapat menjadi sarana untuk melakukan
cukup. Dalam delik-delik ekonomi bukan
kejahatan (corporate criminal) dan memperoleh
mustahil denda yang dijatuhkan sebagai
keuntungan dari hasil kejahatan (crimes for
hukuman kepada pengurus dibandingkan
corporation). Dalam hal ini pemidanaan hanya
dengan keuntungan yang telah diterima oleh kepada pengurus jelas tidak adil. Penentuan
korporasi dengan melakukan perbuatan kesalahan korporasi dilakukan dengan
itu, atau kerugian yang ditimbulkan dalam mengidentifikasikannya dengan “sikap batin”
masyarakat, atau yang disertai oleh saingan- pengurus korporasi. Untuk itu harus dibuktikan
saingannya, keuntungan dan/atau kerugian- bahwa pelaksanaan tindak pidana tersebut
kerugian itu adalah lebih besar daripada merupakan “business policy” yang diputuskan
denda yang dijatuhkan sebagai pidana. oleh mereka yang berwenang dalam korporasi
Dipidananya pengurus tidak memberikan tersebut (power decision) dan keputusan tersebut
jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak diterima sebagai kebijakan korporasi (the decision
sekali lagi melakukan perbuatan yang telah has been accepted by the corporation).”42
dilarang oleh undang-undang itu. Ternyata UU Tipikor mengatur pertanggungjawaban
dipidananya pengurus tidak cukup untuk pidana korporasi dalam Pasal 20. Tindak pidana
mengadakan represi terhadap delik-delik korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak
yang dilakukan oleh atau dengan suatu pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang,
korporasi. Karenanya diperlukan pula baik berdasarkan hubungan kerja maupun
untuk dimungkinkan memidana korporasi berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
dan pengurus, atau pengurus saja. lingkungan korporasi tersebut baik sendiri
maupun bersama-sama.
IV. KENDALA DALAM MENERAPKAN Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan
P E R T A N G G U N G J A W A B A N oleh atau atas nama suatu korporasi, maka
PIDANA KORPORASI DALAM tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan
TINDAK PIDANA KORUPSI terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam hal tuntutan pidana dilakukan
dalam UU Tipikor terhadap suatu korporasi, maka korporasi
Korporasi sebagai subjek tindak pidana tersebut diwakili oleh pengurus. Pengurus yang
korupsi diatur dalam UU Tipikor. UU mewakili korporasi dapat diwakili oleh orang
sebelumnya, yaitu UU Nomor 3 Tahun 1971 lain. Namun, hakim dapat memerintahkan
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, supaya pengurus korporasi menghadap sendiri
tidak mengatur korporasi sebagai subjek tindak di pengadilan dan dapat pula memerintahkan
pidana, hanya menentukan “manusia alamiah” supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang
sebagai subjek tindak pidana. Ketika mengajukan pengadilan. Dalam hal tuntutan pidana
RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan
Korupsi (sekarang UU No. 31 Tahun 1999) untuk menghadap dan penyerahan surat
untuk menggantikan UU No. 3 Tahun 1971, panggilan tersebut disampaikan ke pengurus
Pemerintah pada waktu menjawab pertanyaan di tempat tinggal pengurus atau di tempat
FKP dan F.PDI mengenai pertanggungjawaban pengurus berkantor. Pidana pokok yang dapat
korporasi, berpandangan bahwa:
42
Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum Fraksi-
“dalam doktrin hukum, pemidanaan terhadap fraksi DPR RI terhadap RUU tentang Pemberantasan
korporasi (corporate liability) sudah tidak Tindak Pidana Korupsi, 16 April 1999, hal. 1-11.

PUTERI HIKMAWATI: Kendala Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi... 141


dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana berhak mewakili korporasi dalam proses hukum
denda, dengan ketentuan maksimum pidana perkara tindak pidana korupsi? Untuk dapat
ditambah 1/3 (satu pertiga). dipertanggungjawabkan secara hukum dan
Jadi, dalam UU Tipikor pertanggungjawaban untuk memudahkan pelaksanaan eksekusi
korporasi termasuk dalam model ke 3, adalah orang yang menjadi pengurus badan
dimana korporasi sebagai pembuat dan hukum yang ditunjuk dan bukan orang lain yang
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, bertindak sebagai penasihat hukum dalam proses
tidak hanya pengurus. Pengurus dapat peradilan pidana. Harus ada batasan sejauh mana
dipertanggungjawabkan secara pidana bersama- ketentuan Pasal 20 ayat (4) UU Tipikor, dalam
sama dengan korporasi. hal korporasi dapat diwakili oleh “orang lain”.44
Ada berbagai pendapat mengenai jelas Pengaturan secara normatif pihak yang
tidaknya pengaturan pertanggungjawaban mempunyai legal standing untuk mewakili dan
pidana korporasi dalam UU Tipikor. Menurut bertindak untuk atas nama korporasi dalam proses
Didik, pengaturan pertanggungjawaban pidana peradilan tindak pidana korupsi diatur dalam
korporasi dalam UU Tipikor termasuk UU yang ketentuan Pasal 20 UU Tipikor. Sedangkan
secara jelas mengatur pertanggungjawaban mengenai siapa saja yang dapat mewakili korporasi
pidana korporasi, selain Perppu Nomor 1 sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak di dalam persidangan berdasarkan ketentuan Pasal
Pidana Terorisme (dalam Pasal 17 dan Pasal 20 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), yaitu:
18). Didik mengelompokkan pengaturan 1. Pengurus;
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam 2. Orang lain sebagai Wakil Pengurus;
UU ada dua bentuk,43 yaitu: 3. Pengurus Korporasi tertentu yang ditunjuk
a. pengaturannya secara jelas; atas perintah Hakim.45
b. pengaturannya tidak jelas. Menurut Toetik Rahayuningsih, Pengajar
Adapun UU yang pengaturannya tidak Hukum Pidana Universitas Airlangga, dari
jelas mengenai pertanggungjawaban pidana banyak UU yang mengatur pertanggungjawaban
korporasi antara lain UU Nomor 32 Tahun pidana korporasi, UU yang paling baik mengatur
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan pertanggungjawaban korporasi adalah UU
Lingkungan Hidup. Pertanggungjawaban Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
pidana korporasi dalam UU tersebut diatur UU Tipikor masih mempunyai kelemahan. 46
dalam BAB XV, tentang Ketentuan Pidana, Apabila dikaji kembali, UU Tipikor belum
dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal 120, mengatur secara jelas pertanggungjawaban
mengenai jenis-jenis tindak pidana dan subjek 44
Undang Mugopal, “Pertanggungjawaban Pidana
pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi (Persoalan
Sedangkan UU Tipikor tidak secara lengkap dalam Praktik)”, makalah disampaikan dalam Seminar
mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana, tentang “Kedudukan dan Tanggung jawab Korporasi
dikemukakan oleh Kasubdit Pelanggaran HAM dalam Tindak Pidana Korupsi”, Badan Diklat Hukum dan
Peradilan Mahkamah Agung, Selasa, 15 November 2016,
Berat pada Direktorat Penuntutan Jaksa Hotel Grand Mercure, Jakarta Pusat, hal. 1-14.
Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Undang 45
Undang Mugopal, “Pertanggungjawaban Pidana
Mugopal. Ia menyebutkan beberapa persoalan Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi (Persoalan
dalam UU Tipikor, di antaranya siapa yang dalam Praktik)”, makalah disampaikan dalam Seminar
tentang “Kedudukan dan Tanggung jawab Korporasi
dalam Tindak Pidana Korupsi”, Badan Diklat Hukum dan
43
Didik Endro Purwoleksono, “Tindak Pidana Korporasi:
Peradilan Mahkamah Agung, Selasa, 15 November 2016,
Catatan Kritis Pengaturannya dalam Undang-Undang”,
Hotel Grand Mercure, Jakarta Pusat, hal. 1-14.
disampaikan pada saat FGD Penelitian tentang 46
Disampaikan pada saat FGD Penelitian tentang “Pembaharuan
“Pembaruan Hukum Pidana: Pertanggungjawaban
Hukum Pidana: Pertanggungjawaban Korporasi sebagai
Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana dalam RUU
Subjek Tindak Pidana dalam RUU KUHP”, Fakultas Hukum
KUHP”, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 14
Universitas Airlangga, 14 Agustus 2016.
Agustus 2016.

142 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


pidana korporasi. Pasal 1 angka 1 menyebutkan, atas perbuatan salah pekerja yang masih dalam
bahwa “Korporasi adalah kumpulan orang dan/ ruang lingkup pekerjaannya.
atau kekayaan terorganisasi baik merupakan Pasal 20 ayat (1), yang berbunyi “Dalam
badan hukum maupun bukan badan hukum.” hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau
Dengan memberikan penekanan pada frasa atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan
“dan/atau” dalam rumusan tersebut, akibatnya penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi akan terdiri atas beberapa jenis, yaitu: korporasi dan/atau pengurusnya.” Jadi yang
a. kumpulan orang dan kekayaan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah: korporasi,
terorganisasi yang berbentuk badan hukum; pengurus, korporasi dan pengurus. Berdasarkan
b. kumpulan orang dan kekayaan yang hal tersebut sistem pertanggungjawaban pidana
terorganisasi yang bukan berbentuk badan korporasi yaitu korporasi dapat melakukan
hukum; tindak pidana (sebagai pembuat) dan dapat
c. kumpulan orang yang terorganisasi yang dipertanggungjawabkan.
berbentuk badan hukum; Rumusan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU
d. kumpulan orang yang terorganisasi yang Tipikor dikaitkan dengan Teori Identifikasi,
bukan berbentuk badan hukum; maka apabila orang-orang yang berdasarkan
e. kumpulan kekayaan yang terorganisasi hubungan kerja dan/atau hubungan lain
yang berbentuk badan hukum; bertindak sudah di luar atau tidak lagi dalam
f. kumpulan kekayaan yang terorganisasi batas-batas atau tugas korporasi, maka korporasi
yang bukan berbentuk badan hukum.47 tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban
Dari rumusan tersebut, dapat dikatakan pidana. Sebaliknya, apabila orang-orang
bahwa UU Tipikor mempunyai pengertian tersebut telah melakukan tindakan yang
korporasi yang luas, yaitu yang berbadan hukum masih berada dalam lingkungan tugas dan/
dan tidak berbentuk badan hukum. Perumusan atau usaha korporasi maka yang dimintai
pengertian penting untuk menghindari multi pertanggungjawaban pidana adalah korporasi.
tafsir dalam penerapannya. Teori Identifikasi memerlukan adanya
Ketentuan lainnya, adalah Pasal 20 ayat “directing mind” dari korporasi, dimana directing
(2), yang menyebutkan, bahwa “Tindak pidana mind ada pada pengurus korporasi yang mempunyai
korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak hubungan kerja atau hubungan lain berdasarkan
pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, AD/ART atau tujuan korporasi itu didirikan.
baik berdasarkan hubungan kerja maupun Dengan demikian, dalam proses peradilan pidana
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam tindak pidana korupsi, pertanggungjawaban
lingkungan korporasi tersebut baik sendiri pidana korporasi sudah sepatutnya dibebankan
maupun bersama-sama.” Jadi suatu tindak kepada pihak yang mewakili dan bertindak
pidana korporasi dipandang dilakukan oleh untuk atas nama korporasi, yang dijadikan
korporasi apabila tindak pidana tersebut subjek hukum. Perbuatan dan mens rea pengurus
dilakukan oleh orang-orang yang berdasarkan korporasi merupakan mens rea korporasi.
hubungan kerja maupun hubungan lain. Terkait dengan rumusan Pasal 20 ayat (4)
Menjadi pertanyaan bentuk hubungan kerja dan UU Tipikor, akan timbul persoalan apabila
hubungan lain seperti apa yang dimaksud, tidak korporasi tersebut diwakili oleh orang lain.
dijelaskan dalam Penjelasan Pasal tersebut. Dalam hal ini tentunya harus ada ketentuan
Dalam teori vicarious liability, hubungan kerja yang mengatur, yang sifatnya menegaskan,
yang dimaksud dibatasi pada keadaan tertentu sehingga tidak timbul multi tafsir dalam
dimana korporasi hanya bertanggung jawab pelaksanaannya.
Sementara itu, mengenai sanksi pidana
47
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan yang dapat dijatuhkan kepada korporasi, Pasal
Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 20 ayat (7) UU Tipikor menyebutkan, bahwa
21-22.

PUTERI HIKMAWATI: Kendala Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi... 143


“Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap B. Penerapan Pertanggungjawaban Pidana
korporasi hanya pidana denda, dengan Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi
ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu Telah disebutkan bahwa aparat penegak
pertiga).” Dari ketentuan Pasal tersebut, sanksi hukum mengalami kesulitan dalam menjerat
pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi. Penyidik yang melakukan proses
korporasi merupakan sanksi tunggal, tidak awal pemeriksaan perkara mengalami kesulitan
ada alternatif lain yang dapat dipilih. Hal ini dalam menetapkan korporasi sebagai pelaku
menimbulkan masalah dalam implementasinya, tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dari
yaitu bagaimana jika denda tidak dibayar oleh jarangnya kasus yang ditangani oleh Penyidik
korporasi, apa tindakan yang diambil?. dengan melibatkan korporasi sebagai tersangka.
Dalam Ketentuan Umum Buku I KUHP Sebagai contoh penyidikan yang dilakukan
diatur tentang bagaimana jika denda tidak oleh Kepolisian, di wilayah Kepolisian Daerah
dibayar, yaitu dapat dikenakan pidana kurungan Sumatera Utara (Polda Sumut), dalam 5 tahun
pengganti denda (Pasal 30 ayat (2)). Kurungan terakhir tidak ada kasus yang ditangani dengan
pengganti denda ini hanya dapat dijatuhkan melibatkan korporasi sebagai tersangkanya.48
pada orang, sehingga menjadi pertanyaan Penyidik Polda Sumut mengatakan, sulit
bagaimana dengan korporasi. Masalah ini perlu mencari bukti untuk menjerat korporasi sebagai
ditinjau kembali. pelaku tindak pidana. Selain itu, dalam mengisi
Selain itu, dalam UU Tipikor terdapat identitas pelaku, mengenai jenis kelamin dan
pemberatan sanksi pidana untuk tindak agama, tidak dapat disebutkan dalam hal pelaku
pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan korporasi.49
tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat Proses penyidikan oleh Polri akan
(2), yang berbunyi “Dalam hal tindak pidana mempengaruhi proses selanjutnya, pada tahap
korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penuntutan dan pemeriksaan perkara di sidang
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana pengadilan. Oleh karena dari tahap penyidikan
mati dapat dijatuhkan”. Ketentuan ayat (2) ini Polri tidak menjerat korporasi, maka Jaksa
merujuk kepada ayat (1), yang menyebutkan: Penuntut Umum tidak mendakwa korporasi.
“Setiap orang yang secara melawan hukum Padahal, sejak tahun 2014 Kejaksaan telah
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri bertekad untuk menjerat korporasi sebagai
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat pelaku tindak pidana, dengan mengeluarkan
merugikan keuangan negara atau perekonomian Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 Perkara Pidana dengan Subjek Hukum
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) Korporasi (Perja Tahun 2014). Perja Tahun
tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 2014 yang berisi pedoman bagi jaksa/penuntut
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak umum dalam menangani perkara pidana dengan
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” subjek hukum korporasi sebagai tersangka/
Persoalan yang muncul, frasa “setiap orang” terdakwa/terpidana. Dalam Perja tersebut
dalam Pasal 1 angka 3 didefinisikan sebagai diatur kriteria perbuatan yang dapat dimintakan
orang perseorangan atau termasuk korporasi. pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi
Berarti subjek pelaku setiap orang dapat dalam Bab II, yaitu:
juga berarti korporasi. Namun, pemberatan a. Segala bentuk perbuatan yang didasarkan
pidana, dalam hal ini, pidana mati tidak dapat pada keputusan Pengurus Korporasi yang
diterapkan pada korporasi. Korporasi hanya melakukan maupun turut serta melakukan;
dapat dikenakan pidana denda dan pidana 48 Wawancara dengan Penyidik Polda Sumatera Utara
tambahan, sedangkan pengurusnya dikenakan dilakukan pada tanggal 28 April 2016.
pidana penjara dan pidana denda. 49
Wawancara dengan Penyidik Polda Sumatera Utara
dilakukan pada tanggal 28 April 2016.

144 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


b. Segala bentuk perbuatan baik berbuat atau pidana lain berdasarkan undang-undang.50
tidak berbuat yang dilakukan oleh seseorang Selain itu, penuntutan terhadap korporasi
untuk kepentingan korporasi baik karena diatur secara rinci dalam Perja, meliputi pra
pekerjaannya dan/atau hubungan lain; penuntutan, penyusunan surat dakwaan,
c. Segala bentuk perbuatan yang menggunakan pelimpahan berkas perkara, dan tuntutan
sumber daya manusia, dana dan/atau segala pidana.51
bentuk dukungan atau fasilitas lainnya dari Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus)
korporasi; Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Asep Nana
d. Segala bentuk perbuatan yang dilakukan Mulyana, mengatakan Kejaksaan Tinggi
oleh pihak ketiga atas permintaan atau Sumatera Utara senantiasa terus mendorong
perintah korporasi dan/atau pengurus dan mendukung para Kajari, Kasi Pidsus
korporasi; dan Kacabjari dalam penanganan perkara
e. Segala bentuk perbuatan dalam rangka tindak pidana korupsi dengan subjek hukum
melaksanakan kegiatan usaha sehari-hari korporasi.52 Dorongan dari pihak Kejaksaan
korporasi; untuk menjadikan korporasi sebagai subjek
f. Segala bentuk perbuatan yang hukum hanya untuk perkara tindak pidana
menguntungkan korporasi; korupsi, sementara banyak UU lain yang
g. Segala bentuk tindakan yang diterima/ mengatur korporasi sebagai subjek hukum
biasanya diterima oleh korporasi tersebut; pidana. Hal ini memang dikarenakan Kejaksaan
h. Korporasi yang secara nyata menampung juga sebagai penyidik dalam tindak pidana
hasil tindak pidana dengan subjek hukum korupsi, selain Kepolisian dan KPK. Namun ada
korporasi; dan/atau kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam
i. Segala bentuk perbuatan lain yang dapat menerapkan korporasi sebagai subjek hukum,
dimintakan pertanggungjawaban kepada yaitu bahwa rezim pada saat ini yang belum
korporasi menurut undang-undang. mengadopsi korporasi sebagai subjek tindak
Kriteria perbuatan yang ditetapkan dalam pidana, sehingga jaksa belum terbiasa menjerat
Perja tersebut sangat luas sifatnya, tidak hanya korporasi. Kesalahan biasanya dilakukan oleh
meliputi perbuatan yang secara langsung terkait orang. Di samping itu, jika mengacu pada Pasal
dengan perbuatan korporasi, seperti korporasi 143 KUHAP, Penuntut Umum memuat surat
yang secara nyata menampung hasil tindak dakwaan dengan disertai identitas. Jika tidak
pidana dengan subjek hukum korporasi, tetapi memenuhi ketentuan tersebut, pengacara
juga perbuatan yang tidak langsung terkait, menyatakan dakwaan tidak jelas. 53

seperti segala bentuk perbuatan yang dilakukan Berkaitan dengan praktik penegakan
oleh pihak ketiga atas perintah korporasi hukum terhadap korporasi, sejak 2010 hingga
dan/atau pengurus korporasi. Bahkan segala 2013 aparat penegak hukum (kejaksaan, KPK
bentuk perbuatan lain yang dapat dimintakan dan Polri) telah menangani 7.651 perkara
pertanggungjawaban kepada korporasi menurut tindak pidana korupsi. Khusus kejaksaan se
undang-undang dapat dikategorikan sebagai Indonesia, dalam 5 tahun terakhir (2009-2013)
perbuatan korporasi yang dapat dimintakan telah menyidik 8.628 perkara dan mengajukan
pertanggungjawabannya kepada korporasi, 50 Bab III Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/
walaupun dalam hal ini tidak jelas perbuatan JA/10/2014.
apa yang dimaksud. 51
Bab IV Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/
Dalam Perja diatur pula mengenai 52 JA/10/2014.
Wawancara dengan Aspidsus Kejaksaan Tinggi Sumatera
penyelidikan dan penyidikan terhadap korporasi Utara, Asep Nana Mulyana, dilakukan pada tanggal 27
yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, April 2016.
tindak pidana pencucian uang, dan tindak 53 Wawancara dengan Aspidsus Kejaksaan Tinggi Sumatera
Utara, Asep Nana Mulyana, dilakukan pada tanggal 27
April 2016.

PUTERI HIKMAWATI: Kendala Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi... 145


penuntutan 8.022 perkara.54 Namun, intensitas Menurut Alvi Syahrin, Guru Besar Fakultas
dan tindakan masif penegak hukum dalam Hukum Universitas Sumatera Utara, korporasi
pemberantasan korupsi tidak diimbangi dengan bukan sesuatu yang fiktif, mereka sangat kuat
praktik penanganan perkara terhadap korporasi. dan nyata serta dalam kenyataannya dapat
Salah satu penyebab sedikitnya mengakibatkan kerugian bagi individu dan
perhatian aparat penegak hukum terhadap masyarakat luas. Secara hukum korporasi diakui
pertanggungjawaban pidana korporasi memiliki aset (harta), dapat membuat kontrak,
dikarenakan persoalan legislasi, khususnya menggugat, menuntut bahkan memiliki hak
terkait penempatan korporasi sebagai konstitusional. Korporasi juga dapat melakukan
subjek hukum berikut pertanggungjawaban pelanggaran hukum dalam melaksanakan
pidananya. Dalam KUHP yang berlaku saat bisnisnya, seperti menyuap, pelanggaran
ini subjek hukum masih tertuju pada manusia anti trust, menyebabkan pencemaran dan
alamiah (naturlijke persoon). Hal itu tercermin atau kerusakan lingkungan dan lain-lain.56
dari penggunaan unsur “barangsiapa” dalam Penjatuhan hukuman bagi korporasi merupakan
berbagai rumusan delik dalam KUHP, jadi konsekuensi dari pelanggaran hukum yang
tertuju pada subjek hukum manusia alamiah dilakukannya yang menyebabkan kerugian
atau orang perseorangan. terhadap individu maupun masyarakat luas
Dalam kerangka pertanggungjawaban serta ketidakmampuan korporasi dalam
pidana, di samping pertanggungjawaban pidana mencegah terjadinya pelanggaran hukum
dari manusia alamiah (natural person), secara dimaksud dan korporasi mendapat keuntungan
umum diatur pula pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum tersebut.57
korporasi (corporate criminal responsibility) atas Masyarakat dirugikan secara materiil
dasar teori identifikasi, mengingat semakin dan immateriil akibat pelanggaran hukum
meningkatnya peranan korporasi dalam tindak oleh korporasi dan sebagian di antaranya
pidana, baik dalam bentuk crime for corporation dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana.
yang menguntungkan korporasi maupun dalam Oleh karena itu, demi perlindungan hukum
bentuk corporate criminal, yaitu korporasi yang masyarakat, mencegah terjadinya viktimisasi
dibentuk untuk melakukan kejahatan atau oleh perbuatan korporasi, dan meningkatkan
untuk menampung hasil kejahatan. Dalam hal pendapatan negara bersumber dari sektor
ini korporasi dapat dipertanggungjawabkan pajak, tidak dipungkiri bahwa korporasi sebagai
bersama-sama pengurus (by-punishment provision) pelaku tindak pidana yang berpotensi untuk
apabila pengurus korporasi (manusia alamiah) menimbulkan akibat secara massal.58
yang memiliki key positions dalam struktur Pemidanaan terhadap pengurus korporasi
kepengurusan korporasi memiliki wewenang saja dianggap tidak cukup untuk mengadakan
untuk mewakili, mengambil keputusan dan represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh
mengontrol korporasi, melakukan tindak pidana atau dengan suatu korporasi, mengingat dalam
untuk keuntungan korporasi yang bertindak 56
Disampaikan pada saat FGD Penelitian tentang
baik secara individual atau atas nama korporasi. “Pembaharuan Hukum Pidana: Pertanggungjawaban
Jadi ada power decision dan decision accepted by Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana dalam RUU
corporation as policy of the corporation. Dalam KUHP”, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 27
April 2016.
hal ini mens rea dari manusia alamiah pengurus 57
Disampaikan pada saat FGD Penelitian tentang
diidentifikasikan sebagai mens rea korporasi.55 “Pembaharuan Hukum Pidana: Pertanggungjawaban
Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana dalam RUU
54
Widyopramono, “Pidana Kejahatan Korporasi”, Suara KUHP,” Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 27
Merdeka, 22 Juli 2014, http://berita.suaramerdeka.com/ April 2016.
kejahatan-korporasi-diidentifikasi-dari dua-hal/, diakses 58
Mudzakkir, FGD Pembuatan Proposal Penelitian tentang
tanggal 27 Maret 2016. “Pembaharuan Hukum Pidana: Pertanggungjawaban
55
Council of Europe Criminal Law Convention on Corruption, Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana dalam RUU
1999. KUHP”, 24 Karet 2016.

146 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


kehidupan sosial dan ekonomi ternyata korporasi terjadinya tindak pidana. Ketiga, korporasi tidak
semakin memainkan peranan yang penting pula. mengambil langkah-langkah pencegahan atau
Hukum pidana harus mempunyai fungsi dalam mencegah dampak lebih besar dan memastikan
masyarakat, yaitu melindungi masyarakat dan kepatuhan ketentuan hukum yang berlaku
menegakkan norma-norma dan ketentuan yang guna menghindari terjadinya tindak pidana.
ada dalam masyarakat. Kalau hukum pidana Perma ini tidak hanya mengatur
hanya ditekankan pada segi perorangan, yang pertanggungjawaban pidana yang dilakukan
hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu satu korporasi atas dasar hubungan kerja atau
tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan hubungan lain, tetapi juga dapat menjerat grup
untuk selalu menekan dan menentang dapat korporasi dan korporasi dalam penggabungan
dipidananya korporasi. Dipidananya korporasi (merger), peleburan (akuisisi), pemisahan, dan
dengan ancaman pidana ialah salah satu upaya akan proses bubar. Namun, korporasi yang telah
untuk menghindari tindakan pemidanaan bubar setelah terjadinya tindak pidana tidak dapat
terhadap para pegawai korporasi itu sendiri.59 dipidana. Tetapi, terhadap aset milik korporasi
Korporasi mendapat keuntungan dari perbuatan (yang bubar ini) diduga digunakan melakukan
atau tindakan yang dilakukan oleh pengurusnya. kejahatan dan/atau merupakan hasil kejahatan,
Untuk mengatasi permasalahan dalam maka penegakan hukumnya dilaksanakan sesuai
mempertanggungjawabkan korporasi sebagai mekanisme peraturan perundang-undangan.
subjek tindak pidana, Mahkamah Agung Perma ini menentukan pemeriksaan
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung korporasi dan atau pengurusnya sebagai
No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara tersangka dalam proses penyidikan dan
Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi, penuntutan baik sendiri ataupun bersama-sama
pada 29 Desember 2016. Perma ini dikeluarkan setelah dilakukan proses (surat) pemanggilan.
sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum Surat panggilan ini memuat: nama korporasi;
dan mengisi kekosongan hukum terkait tempat kedudukan; kebangsaan korporasi;
prosedur penanganan kejahatan tertentu yang status korporasi dalam perkara pidana (saksi/
dilakukan oleh korporasi dan/atau pengurusnya. tersangka/terdakwa); waktu dan tempat
Perma ini tidak hanya untuk menjerat korporasi pemeriksaan; dan ringkasan dugaan peristiwa
dalam tindak pidana korupsi, tetapi juga untuk pidana. Ketentuan ini menjadi solusi bagi aparat
korporasi yang dipertanggungjawabkan secara penegak hukum dalam kesulitan menentukan
pidana oleh undang-undang khusus lainnya. identitas pelaku tindak pidana korporasi.
Perma No. 13 Tahun 2016 berisi rumusan Pasal 12 Perma mengatur bentuk surat
kriteria kesalahan korporasi yang dapat disebut dakwaan yang sebagian merujuk pada Pasal 143
melakukan tindak pidana; siapa saja yang dapat ayat (2) KUHAP dengan penyesuaian isi surat
dimintai pertanggungjawaban pidana korporasi; dakwaan memuat: nama korporasi, tempat,
tata cara pemeriksaan (penyidikan-penuntutan) tanggal pendirian dan/atau nomor anggaran dasar/
korporasi dan atau pengurus korporasi; tata akta pendirian/peraturan/dokumen/perjanjian
cara persidangan korporasi; jenis pemidanaan serta perubahan terakhir, tempat kedudukan,
korporasi; putusan; dan pelaksanaan putusan. kebangsaan korporasi, jenis korporasi, bentuk
Dalam hal kriteria kesalahan ada beberapa kegiatan/usaha dan identitas pengurus yang
hal yang perlu diperhatikan. Pertama, korporasi mewakili. Selain itu, memuat uraian secara
memperoleh keuntungan atau manfaat dari cermat, jelas, lengkap mengenai tindak pidana
tindak pidana tertentu atau tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu
tersebut dilakukan untuk kepentingan dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
korporasi. Kedua, korporasi membiarkan Sistem pembuktian penanganan tindak
pidana korporasi ini masih mengacu KUHAP
59
Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana dan ketentuan hukum acara yang diatur khusus
Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2007, hal. 59.

PUTERI HIKMAWATI: Kendala Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi... 147


dalam undang-undang lain. Seperti halnya pemidanaan terhadap korporasi. Perma itu juga
keterangan terdakwa, keterangan korporasi melengkapi peraturan Jaksa Agung tentang
merupakan alat bukti sah dalam persidangan. pedoman penanganan perkara pidana dengan
Sementara penjatuhan pidana korporasi yakni subjek hukum korporasi yang terbit sejak 2014.
pidana pokok berupa pidana denda dan pidana Kedudukan Perja Tahun 2014 dan Perma
tambahan sesuai dengan UU yang berlaku, No. 13 Tahun 2016 tidak termasuk dalam hirarki
seperti uang pengganti, ganti rugi dan restitusi. peraturan perundang-undangan sebagaimana
KUHAP memang tidak menentukan petunjuk disebut dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang
teknis penyusunan surat dakwaan ketika subjek Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
hukum pidana yang pelakunya adalah korporasi. Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia
Praktiknya, penyidik dan penuntut umum enggan dikenal adanya hirarki peraturan perundang-
atau tidak berani melimpahkan perkara kejahatan undangan. Ada peraturan perundang-undangan
korporasi ke pengadilan lantaran kesulitan yang mempunyai tingkatan yang tinggi dan
menyusun dan merumuskan surat dakwaan ada yang mempunyai tingkatan lebih rendah.
dalam perkara kejahatan korporasi.60 Pengadilan Pengaturan mengenai jenis dan hirarki
pun ketika mengadili perkara kejahatan korporasi peraturan perundang-undangan diatur dalam
sangat bergantung surat dakwaan yang diajukan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011,
penuntut umum. berbunyi sebagai berikut:
KPK dan Kejaksaan pernah mencoba a. Undang-Undang Dasar Negara Republik
menuntut korporasi turut serta membayar Indonesia Tahun 1945;
kerugian negara, tetapi kerap gagal lantaran b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
hakim menganggap korporasi dimaksud tidak c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
dijadikan terdakwa dalam dakwaan. Kasus Pengganti Undang-Undang;
korupsi yang diperiksa oleh pengadilan, yang d. Peraturan Pemerintah;
pertama kali menghukum korporasi adalah e. Peraturan Presiden;
kasus korupsi PT GJW. f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
Selama ini, korporasi yang dijerat tindak g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
pidana masih bisa dihitung dengan jari. Namun, keberadaan kedua jenis peraturan
Aparat penegak hukum, baik polisi dan tersebut termasuk dalam jenis peraturan
jaksa maupun hakim mengakuinya dalam perundang-undangan lain, sebagaimana diatur
beberapa kesempatan. Salah satu penyebabnya, dalam Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011. Pasal 8
perbedaan pandangan di kalangan penegak UU No. 12 Tahun 2011 berbunyi sebagai berikut:
hukum, terutama berkaitan dengan hukum (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
acara.61 Salah satu perkara yang sering dijadikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
contoh adalah PT GJW di PN Banjarmasin. mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Perkara ini sudah berkekuatan hukum tetap. Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perma tersebut dianggap mampu Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
mengurangi keraguan dan kegamangan aparat Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
penegak hukum dalam menggunakan hukum Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
acara pidana untuk menjerat korporasi. Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
Sebelum ada Perma, penegak hukum ragu badan, lembaga, atau komisi yang setingkat
meskipun sudah ada aturan yang mengatur yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
60
Kejaksaan Negeri Sidoarjo, 12 Agustus 2016. Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
61
“Perma No. 13 Tahun 2006 Momentum untuk Menjerat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Korporasi”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/ Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
lt58819a2232c04/perma-no-13-tahun-2016-momentum-
untuk-mulai-menjerat-korporasi, diakses tanggal 17
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Maret 2017. Desa atau yang setingkat;

148 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


(2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana terjadi kejahatan yang melibatkan korporasi, maka
dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya hanya orang perorangan dari korporasi itulah yang
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat dimintai pertanggungjawaban pidananya.
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Untuk mengatasi permasalahan dalam
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi
dibentuk berdasarkan kewenangan. dalam tindak pidana korupsi, ditetapkan Peraturan
Walaupun dalam ketentuan Pasal 8 ayat Jaksa Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014
(1) tidak menyebut Jaksa Agung, tetapi dengan tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana
kedudukan Jaksa Agung sebagai Pembantu dengan Subjek Hukum Korporasi dan Peraturan
Presiden, yang setingkat dengan Menteri, maka Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata
keberadaan Perja tetap diakui keberadaannya. Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi,
Demikian pula, kedudukan Perma yang diakui sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum
keberadaannya dalam Pasal 8 ayat (1) UU dalam menjerat korporasi dan mengisi kekosongan
No. 12 Tahun 2011. Namun, kedua peraturan hukum terkait proses penanganan tindak pidana,
tersebut mengikat ke dalam, artinya Perja termasuk tindak pidana korupsi, yang dilakukan
untuk lingkungan Kejaksaan dan Perma untuk oleh korporasi dan/atau pengurusnya. Kedua
lingkungan Kehakiman, sehingga kurang kuat peraturan tersebut tidak termasuk dalam hirarki
untuk dijadikan dasar acuan bagi penegak peraturan perundang-undangan sebagaimana
hukum pada umumnya. Oleh karena itu, perlu diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang
diatur dalam UU Tipikor secara khusus dan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
secara umum diadopsi dalam revisi KUHAP. namun keberadaan Perja dan Perma tetap diakui,
sebagai ketentuan yang mengikat ke dalam, artinya
V. PENUTUP Perja berlaku untuk lingkungan Kejaksaan dan
Korporasi sebagai subjek hukum pidana Perma diberlakukan untuk lingkungan Kehakiman,
telah ditetapkan dalam UU No. 31 Tahun 1999 sehingga kurang kuat untuk dijadikan dasar acuan
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bagi penegak hukum pada umumnya. Oleh karena
sebagaimana telah diubah dengan UU No. itu, perlu diatur dalam UU Tipikor secara khusus
20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU dan secara umum diadopsi dalam revisi KUHAP.
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Walaupun UU
Tipikor menetapkan korporasi sebagai subjek
hukum pidana, namun hanya sedikit aparat DAFTAR PUSTAKA
penegak hukum yang menetapkan korporasi
sebagai tersangka pelaku tindak pidana korupsi
dan menghukumnya. Hal ini disebabkan
karena aparat penegak hukum mengalami Jurnal dan Artikel/KTI
kesulitan dalam menjerat korporasi. Salah Bettina Yahya dkk., “Kedudukan dan
satu penyebabnya adalah kurang lengkapnya Tanggungjawab Pidana Korporasi dalam
ketentuan mengenai korporasi sebagai subjek Perkara Tindak Pidana Korupsi”, Hasil
hukum dalam UU Tipikor. Selain itu, penyidik Penelitian, Puslitbang Hukum dan
mengalami kesulitan untuk mencari bukti dan Peradilan Mahkamah Agung, 2016.
menentukan identitas pelaku korporasi. Candace Anastasia P. Limbong,
Penyebab lainnya, KUHP masih menetapkan “Pertanggungjawaban Korporasi dalam
manusia sebagai subjek hukum, yang tercermin Tindak Pidana Umum (Studi Kasus Irzen
dari unsur “barangsiapa” dalam berbagai rumusan Octa Vs. Citibank Indonesia dan Muji
deliknya. Tak diakuinya korporasi sebagai subjek Harjo Vs. PT UOB Buana Indonesia)”,
hukum dalam KUHP, mengakibatkan ketika Skripsi, FHUI, Depok, 2012.

PUTERI HIKMAWATI: Kendala Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi... 149


Didik Endro Purwoleksono, “Tindak Pidana Yudi Krismen, “Pertanggungjawaban Korporasi
Korporasi: Catatan Kritis Pengaturannya dalam Kejahatan Ekonomi”, Jurnal Ilmu
dalam Undang-Undang”, disampaikan pada Hukum, Volume 4 No. 1, Tahun, 2013.
saat FGD Penelitian tentang “Pembaharuan Yulius, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Hukum Pidana: Pertanggungjawaban dalam Tindak Pidana Perdagangan
Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana Orang”, Skripsi, FH Universitas Atmajaya,
dalam RUU KUHP”, Fakultas Hukum Yogyakarta, 2012.
Universitas Airlangga, 14 Agustus 2016.
Eddy Rifai. “Perspektif Pertanggungjawaban Buku
Pidana Korporasi sebagai Pelaku Tindak Ali, Mahrus. Asas-asas Hukum Pidana Korporasi,
Pidana”, FH Universitas Lampung, Bandar Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013.
Lampung, Mimbar Hukum Vol. 26, No. 1,
Feb 2014. Arief, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum
Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 2002.
Ermanto Fahamsyah dan I Gede Widhiana Suardi,
“Implementasi Teori Pertanggungjawaban Earl, Stephanie. “Ascertaining the Criminal
Pidana Korporasi Kaitannya dengan Kejahatan Liability of a Corporation”, New Zealand
Korporasi”, FH Universitas Jember, Mimbar Business Law Quarterly, 2007.
Hukum, Vol. 18, No. 2, Juni 2006. Hanafi. Strict Liability dan Vicarious Liability
Evan Elroy Situmorang, “Kebijakan Formulasi dalam Hukum Pidana, Yogyakarta: Lembaga
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Penelitian, UII, 1997.
terhadap Korban Kejahatan Korporasi”, Muladi dan Diah Sulistyani. Pertanggungjawaban
Law Reform Universitas Diponegoro, Vol. 4 Pidana Korporasi, Bandung: PT Alumni,
No. 2, 2009. 2013.
Jimmy Tawalujan, “Pertanggungjawaban Muladi dan Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban
Korporasi Terhadap Korban Kejahatan”, Pidana Korporasi, Jakarta: Kencana Prenada
Lex Crimen Vol. I/No. 3/ Jul – Sept/2012. Media Group, 2010.
Kristian, “Urgensi Pertanggungjawaban Pidana Priyatno, Dwidja, Kebijakan Legislasi tentang
Korporasi”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Tahun ke 44 No. 4 Oktober – Desember di Indonesia, Bandung: CV Utomo, 2004.
2013.
Reksodiputro, Mardjono. Kemajuan Pembangunan
Sri Lestariningsih, Ismail Navianto, dan Ekonomi dan Kejahatan, Jakarta: Pusat
Alfons Zakaria, “Rekonstruksi Pengaturan Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (d/h Lembaga Kriminologi) UI, 1994.
dalam Perundang-undangan di Indonesia”,
Shofie, Yusuf. Tanggung Jawab Pidana Korporasi
Hasil Penelitian, Universitas Brawijaya,
dalam Hukum Perlindungan Konsumen di
Malang, 2013.
Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,
Undang Mugopal, “Pertanggungjawaban 2011.
Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana
Sjahdeini, Sutan Remy. Pertanggungjawaban
Korupsi (Persoalan dalam Praktik)”,
Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2007.
makalah disampaikan dalam Seminar
tentang “Kedudukan dan Tanggung jawab Wiyono, R. Pembahasan Undang-Undang
Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi”, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Badan Diklat Hukum dan Peradilan Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Mahkamah Agung, Selasa, 15 November
2016, Hotel Grand Mercure, Jakarta Pusat.

150 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


BAHASA HUKUM DALAM PUTUSAN PERKARA PIDANA

THE LEGAL LANGUAGE IN THE CRIMINAL CASE DECISION

Usman Pakaya
Universitas Negeri Gorontalo
Email: usman_ung@yahoo.com

Naskah diterima: 30 Maret 2017


Naskah direvisi: 29 Mei 2017
Naskah diterbitkan: 20 Juni 2017

Abstract
This research is regarding the application of legal language and the language generating aspects on the
legal text in the criminal case decision. In this research, the researcher applied several supporting theories
in order to elaborating and analyzing the issue in the criminal case decision, which among others: the legal
language, structure of discourse, speech act, terminology, language variation, coherent and cohesion, and
legal language characteristic. Whilst the methodology of research applied by the researcher is a qualitative
methodology, this method is used to find out the scientific truth of the research object with more depth. For
the purpose of this research, the researcher obtained the data research from the criminal case decision in
Gorontalo’s civil court (IB), Boalemo’s civil court (IIA), and Pohuwato’s civil court (IIA). The selection
of city and regency are being considered in order to see the representation of the data sources based
on existing class division in the civil court. Furthermore the purpose of this research is to elaborate the
legal language, the structure, speech act, terminology, language variation, coherent and cohesion, and
the characteristic of the criminal case decision. The result of the research have shown that the criminal
case decision are built by several element of language generating, which is include: structure of discourse,
speech act, terminology, language variation, coherence and cohesion, and a specialized characteristic.
Keywords: law, court, sociolinguistics, pragmatics

Abstrak
Penelitian ini tentang penggunaan bahasa hukum dan aspek-aspek pembangun bahasa dalam
teks hukum putusan perkara pidana. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa
teori pendukung di dalam menguraikan dan menganalisis persoalan putusan perkara pidana, di
antaranya adalah bahasa hukum, struktur wacana, tindak tutur, pengistilahan, variasi bahasa,
koherensi dan kohesi, serta karakteristik bahasa hukum. Sementara metodologi penelitian yang
digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, metode ini digunakan
untuk menemukan kebenaran ilmiah dari sebuah objek penelitian secara mendalam. Untuk
sumber data penelitian, peneliti memperolehnya dari putusan perkara pidana PN Kota Gorontalo
(kelas IB), PN Kabupaten Boalemo (kelas IIA), dan PN Kabupaten Pohuwato (kelas IIA).
Pemilihan wilayah kota dan kabupaten dipertimbangkan untuk melihat keterwakilan sumber
data berdasarkan pembagian kelas pada Pengadilan Negeri. Lebih lanjut penelitian ini bertujuan
mengelaborasi bahasa hukum, struktur, tindak tutur, pengistilahan, gaya bahasa, serta koherensi
dan kohesi putusan perkara pidana. Adapun hasil penelitian menunjukan bahwa surat putusan
perkara pidana dibangun dari beberapa unsur pembangun bahasa, yaitu struktur wacana, tindak
tutur, pengistilahan, variasi bahasa, koherensi dan kohesi, serta karakteristik khas.
Kata kunci: hukum, pengadilan, sosiolinguistik, pragmatik

USMAN PAKAYA: Bahasa Hukum dalam Putusan Perkara Pidana 151


I. PENDAHULUAN Sementara Putra3 lebih jelas
Bahasa Indonesia di dalam penggunaannya mengungkapkan, bahasa dalam konteks
memiliki jenis atau ragam bahasa, baik ragam yuridis memuat kajian tentang hukum sebagai
bahasa formal maupun ragam bahasa tidak permainan bahasa, pengendalian dengan bahasa,
formal. Ragam bahasa ini digunakan untuk argumentasi dan rasionalitas, kemungkinan
berbagai kepentingan dan disesuaikan dengan dialog dan diskusi, serta “pembangkangan
latar belakang unsur pembangun terjadinya dari sistem tanda”. Juga ditambahkan, hukum
tuturan, seperti penutur, lawan tutur, serta sebagai permainan bahasa adalah menempatkan
situasi sosial dibangunnya sebuah tuturan. hukum sebagai konteks pengguna bahasa.
Pendapat tersebut ditegaskan oleh Ronald1 Konteks dipahami sebagai situasi
yang mengatakan bahwa penutur, lawan tutur, komunikatif dan konteks sebagai permainan
topik, dan konteks sosial memberikan pengaruh bahasa. Putra juga menyatakan bahwa
pada perwujudan ragam bahasa. Dapat pula kenyataan hukum jadinya berada di tangan
sebaliknya, bahwa ragam bahasa mampu institusi-institusi yuridis (aktor) yang
mengidentifikasi siapa penggunanya. mensistematisasikan aturan-aturan konstitutif
Bahasa hukum merupakan ragam bahasa dan regulatif. Konstitutif artinya berhak
formal, hal ini dikarenakan keresmian bahasa mendefinisikan fakta alamiah dan realitas
yang digunakan di dalam penguraiannya, yang alamiah serta mentransformasikan kenyataan
juga merupakan ciri dari ragam bahasa formal. hukum ke fakta hukum. Fakta hukum ini
Salah satunya dapat dilihat pada penggunaan kemudian diolah melalui permainan bahasa
bahasa hukum dalam putusan perkara pidana. oleh institusi yuridis, yang selanjutnya disebut
Hilman2 mengatakan bahwa bahasa hukum dengan aturan regulatif (verbalistik).
adalah bahasa Indonesia yang khusus dipakai Pernyataan ini dapat memberikan
dalam teori dan praktik hukum, di dalam gambaran yang jelas pada kita bahwa bahasa
bentuk aturan tidak tertulis dan aturan tertulis, hukum sebenarnya telah menjadi aturan
di dalam hukum adat atau hukum peraturan hukum itu sendiri sebelum produk hukum itu
perundang-undangan, di dalam karya-karya mendapatkan keabsahan dari perangkat hukum
tulis atau kepustakaan hukum, di dalam dan juga masyarakat. Pendapat seperti ini dapat
musyawarah atau pembicaraan hukum, dan ke dibenarkan karena kekuatan hukum yang
semua aspek yang menyangkut hukum, yang sesungguhnya itu terdapat di dalam bahasanya.
bersifat khas hukum dengan menggunakan Sementara pengesahan dari lembaga hukum
bahasa sebagai alatnya. hanya persoalan teknis semata. Dengan begitu
Penjelasan mengenai pengertian untuk memahami aturan hukum kita terlebih
bahasa hukum ini sangat komperehensif dahulu harus memahami bahasa hukum secara
apabila ditinjau dari sisi bahasa hukum yang menyeluruh.
menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat Churchill4 menyatakan bahwa seiring
untuk menyampaikan gagasan dalam bidang terjadinya perubahan pola berpikir, terjadinya
hukum. Beberapa media yang disampaikan di juga perubahan dalam pemakaian bahasa dan
atas telah cukup mewakili penggunaan bahasa pemilihan istilah, misalnya berubahnya hal-
tersebut dalam ruang lingkup hukum, baik yang hal yang sudah dikenal menjadi hal baru dan
digunakan secara verbal maupun dalam bentuk masuknya beberapa hal yang sebelumnya tidak
karya tulis. dikenal. Khususnya di bidang hukum yang
3
Putra, Bahasa Hukum dan Permasalahannya. Yogyakarta:
1
Ronald Wardaugh, The Context of Language, 6 printing,
th Pustaka Pelajar, 2010, hal. 20.
Massachusetts: Newburg House Publisher Inc., 2007, hal.
4
Churchill, Gregory, Wignyosoebroto, Soetandyo, Putra,
17 Anom Surya, Mutansyir Rizal, Shidarta Arif, Hidayana
2
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Irma dan Kurniawan, “Bahasa dan Hukum” Jurnal Hukum
Penerbit ALUMNI, 2006, hal. 2. Jentera, Vol 01. No 1, Agustus, 2006, hal. 20.

152 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


menggantungkan diri pada persepahaman atas bersama bahwa bahasa hukum kita banyak
beberapa istilah baku, perubahan dalam nilai yang masih merupakan warisan dari negara
dan kehidupan masyarakat yang serba cepat Belanda sehingga sulit diterjemahkan oleh
juga berakibat terhadap pemakaian istilah di orang awam, kemudian ditambah lagi dengan
dalam produk dan perdebatan hukum. pengadopsian sistem hukum asing dari beberapa
Penjabaran Churchill mengenai negara lainnya, yang tentunya hal ini semakin
perkembangan bahasa hukum ini bertitik tolak menambah kompleksitas masalah yang ada.
pada kenyataan hari ini bahwa seiring dengan Hal ini dipertegas oleh Harkristuti7 yang
berkembangnya zaman membuka peluang menyatakan bahwa kesulitan masyarakat
terjadinya hal-hal baru yang berbeda dari pada umumnya untuk memahami makna
sebelumnya, termasuk juga di dalam wilayah rumusan-rumusan hukum dan juga pernyataan-
hukum. Dengan demikian bahasa hukum pernyataan yang menjadi muatan dokumen
akan senantiasa berkembang mengikuti alur hukum adalah salah satunya disebabkan oleh
peradaban. istilah-istilah hukum khususnya yang diambil
Sehubungan dengan pesatnya perkembangan atau disadur dari bahasa asing.
peradaban yang terjadi, Churchill5 juga Definisi lainnya mengenai bahasa hukum
memberikan pernyataan bahwa di dalam sistem ini dinyatakan oleh Abraham8 bahwa dalam
hukum Indonesia saat ini, banyak digunakan penyuguhan pendapat dan pandangan hukum
istilah baru yang bukan berasal dari bahasa perlu diperhatikan etika kebahasaan, karena
Belanda seperti yang kita ketahui, tetapi berasal kesalahan konotasi kosa kata akan menimbulkan
dari bahasa hukum atau sistem hukum yang beragam interpretasi, ini yang disebut implikasi
lain, baik istilah yang diterima dengan baik kebahasaan, oleh karena itu harus dibedakan
maupun yang belum sepenuhnya diterima. mana yang bersifat terminus equivock (terminologi
Pernyataan ini hadir karena melihat yang memiliki dua artikulasi), dan mana yang
kenyataan wajah kriminalitas yang terjadi bersifat terminus univock (terminologi yang
di Indonesia belakangan terus berubah, memiliki kesatuan artikulasi).
sehingga terkadang beberapa kejahatan yang Pernyataan di atas ini penting untuk
dahulunya tidak teridentifikasi oleh sistem dipertimbangkan karena hukum sendiri
hukum Belanda saat ini mulai bermunculan. diciptakan untuk mengatur asas nilai yang
Realitas ini menyebabkan perangkat hukum bertujuan menciptakan ketertiban, keadilan
kita mencari alternatif lain dalam menjawab dan kepastian hukum di tengah masyarakat.
berbagai permasalahan yang muncul, termasuk Ini sejalan dengan apa yang dikatakan Joachim9
di dalamnya dengan mengadopsi sistem bahwa hukum itu dipahami sebagai norma
hukum yang diterapkan di negara lain, yang yang menyuarakan aturan umum, sehingga
dengan sendirinya ikut juga mengadopsi mensyaratkan penggunaan istilah yang
bahasa hukumnya. Hal ini karena hukum dan hanya mempunyai makna tunggal dan tidak
bahasa adalah satu kesatuan yang tidak dapat menimbulkan arti ganda.
dipisahkan, Karen6. Lebih lanjut, bahasa hukum merupakan
Penyesuaian sistem hukum di negara ragam bahasa formal yang digunakan dalam
Indonesia dengan sistem hukum asing ternyata putusan perkara. Putusan perkara memiliki
menjadi masalah tersendiri. Seperti kita ketahui 7
Harkristuti Harkrisnowo, “Bahasa Indonesia Sebagai
Sarana Pengembangan Hukum Nasional” (makalah),
5
Churchill, Gregory, Wignyosoebroto, Soetandyo, Putra, Universitas Indonesia, (Kongres Bahasa Indonesia,
Anom Surya, Mutansyir Rizal, Shidarta Arif, Hidayana Jakarta 14-17 Oktober 2003), Tidak diterbitkan, 2003,
Irma dan Kurniawan, “Bahasa dan Hukum” Jurnal Hukum hal. 2.
Jentera, Vol 01. No 1, Agustus, 2006, hal. 67. 8
Abraham Amos, Legal Opinion, Jakarta: Raja Grafindo
6
Karen Petroski. “Legal Fictions and The Limits of Persada, 2007, hal. 69.
Legal Language”. International Journal of Law in Context 9
Joachim Friedrich, Filsafat Hukum (Perspektif Historis),
Vol.9.No.4. 2013, hal. 485-505. Bandung: Nusa Media, 2010, hal. 273.

USMAN PAKAYA: Bahasa Hukum dalam Putusan Perkara Pidana 153


kalimat yang panjang, hal ini menyebabkan merupakan pasal tambahan yang menyangkut
orang awam agak sulit memahaminya sehingga pembuktian kualitas (peranan) pelaku
terkadang menimbulkan persepsi yang berbeda tindak pidana, sehingga oleh karena kualitas
bagi masing-masing orang. Begitu panjangnya isi (peranan) Terdakwa telah terbukti sebagai
putusan tersebut yang menjadi alasan penelitian orang yang melakukan tindak pidana (dader),
maka menurut Majelis Hakim pasal 55 ayat (1)
ini dilakukan. Penelitian ini dilakukan, salah
ke – 1 KUHP tidak perlu dipertimbangkan lagi.
satunya untuk membahas dan mengkritisi
mengenai panjangnya isi putusan perkara. Berdasarkan contoh di atas, struktur kalimat
Adapun perumusan kalimat yang panjang putusan perkara terlihat memiliki kepaduan
dalam putusan perkara dikarenakan struktur pikiran. Kepaduan pikiran mengandung arti
kalimat dalam putusan perkara memiliki fungsi bahwa putusan perkara dengan komposisi
pengatur yang melekat. Fungsi pengatur yang kalimat yang panjang menghubungkan bagian-
dimaksudkan adalah uraian kalimat dalam bagian yang terdapat di dalamnya dalam satu
putusan perkara memuat peraturan hukum dan kesatuan yang memiliki arti yang utuh. Dengan
perundang-undangan. kata lain, dalam konteks tertentu isi putusan
Di samping fungsi pengatur yang melekat, perkara tidak dapat diuraikan secara terpisah
panjangnya isi putusan perkara disebabkan menjadi kalimat-kalimat yang berdiri sendiri
pengaruh sistem hukum Belanda yang karena akan memberikan pemahaman yang
mempunyai andil besar di dalam pembentukan berbeda pada substansi putusan secara umum.
bahasa Indonesia hukum. Dalam hal ini Pernyataan tersebut berhubungan dengan
bahasa hukum erat kaitannya dengan budaya, fungsi putusan perkara itu sendiri yang bertujuan
Manfred10 . Serupa dengan apa yang dikatakan untuk mengatur norma dan memberikan
oleh Rosen11 bahwa budaya memiliki peran kepastian hukum kepada masyarakat. Dengan
yang kuat terhadap pembuatan aturan hukum fungsi yang mengatur dan mengikat itu
dan perundang-undangan. seyogyanya putusan perkara bertanggung jawab
Alasan lain yang menjadikan struktur kalimat dalam memberikan penjelasan yang mendalam
putusan perkara terlihat panjang dikarenakan dan menyeluruh mengenai arti dan konsekuensi
kepaduan pikiran yang membangun keseluruhan perbuatan melawan hukum sehingga masyarakat
keputusan tersebut secara berkesinambungan. dapat mengerti dan memahami makna dari
Seperti halnya yang dikatakan oleh Nasution hukum itu sendiri.
dan rekan12 bahwa putusan perkara mengandung Berdasarkan fungsi pengatur itu pula
kepaduan pikiran dalam perumusan kalimat- putusan perkara memiliki standar khusus
kalimatnya. Perumusan kalimat merupakan di dalam pembuatannya. Standar tersebut
kebulatan dari unsur-unsur yang menunjukan mengacu pada keseragaman bentuk surat yang
pertautan yang jelas yang dinyatakan dengan diterbitkan. Alasan ini dilakukan agar seluruh
corak yang yang deskriptif dan analitis. Seperti masyarakat yang berada di setiap wilayah
pada contoh berikut. Indonesia memiliki satu pedoman standar di
Menimbang, bahwa dengan demikian Pasal
dalam memahami putusan perkara.
55 ayat (1) ke- 1 KUHP sebagaimana yang Di dalam putusan perkara juga banyak
dijunctokan oleh Jaksa Penuntut Hukum dalam ditemukan istilah-istilah khusus yang
dakwaan Primair, oleh karena pasal tersebut merupakan adopsi dari bahasa Belanda.
Churchill13 menyatakan bahwa dalam putusan
10
Manfred Spieker. “The Legal Language of The Culture
perkara banyak digunakan istilah yang berasal
of Death in Europe”. National Chatolic Quarterly. Vol 14.
No.4 Desember 2014 hal. 647-657 dari sistem hukum Belanda atau sistem hukum
11
Rosen, Legal Language, New York: Rockfield, 2011, hal. 13
Churchill, Gregory, Wignyosoebroto, Soetandyo, Putra,
27.
Anom Surya, Mutansyir Rizal, Shidarta Arif, Hidayana
12
Nasution, Johan Bahder dan Warjiyati Sri, Bahasa
Irma dan Kurniawan, “Bahasa dan Hukum”, Jurnal
Indonesia Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009, hal.
Hukum Jentera, Vol 01,No 01. Agustus, 2006, hal. 67.
64.

154 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


negara lain, seperti Arab, dan Inggris, misalnya pidana. Sementara tujuan utama penelitian
Pledooi, Amar, dan Otopsi. Pledooi adalah ini adalah mendeskripsikan dan mengelaborasi
pernyataan pembelaan yang berisikan tangkisan pokok-pokok rumusan tersebut dalam satu
terhadap tuntutan jaksa dan mengemukakan analisis bahasa. Hal ini yang membedakan
hal-hal yang meringankan dan kebenaran dengan kajian-kajian lain yang telah ada
dirinya yang diucapkan terdakwa dan pembela sebelumnya.
pada akhir pemeriksaan. Amar sendiri berarti Lebih lanjut, untuk memahami putusan
memerintahkan atau menyuruh melaksanakan. perkara secara umum, orang-orang dapat
Sementara itu Otopsi adalah investigasi medis menghubungkannya dengan pemakaian bahasa
jenazah untuk memeriksa sebab kematian, dalam dokumen hukum. Pemakaian bahasa
setelah itu membuat kesimpulan mengenai hasil dalam dokumen hukum mengacu pada standar
temuannya. Otopsi mencakup penelaahan atas kodifikasi hukum yang telah ada selama ini.
permukaan seluruh tubuh, dan pemeriksaan Materi yang terdapat pada dokumen hukum
organ dalam tubuh. sarat dengan konsep aturan dan perundang-
Penggunaan istilah-istilah asing di undangan.
dalam bahasa Indonesia hukum, termasuk di Materi aturan dan perundang-undangan
dalamnya putusan perkara disebabkan kesulitan itu kemudian disesuaikan atau menyesuaikan
memindahkan konsep istilah asing tersebut ke dengan konteks hukum yang ingin dibangun.
dalam bahasa Indonesia. Hal ini didasari oleh Pada bagian ini juga turut menyertakan subjek
kekhawatiran akan menimbulkan multi tafsir hukum, dan partisipan tutur lain di dalamnya
di tengah masyarakat karena seyogianya bahasa seperti aparatur hukum dan juga institusi
hukum hanya memiliki satu arti, Louis14. negara.
Pengistilahan yang sebagian besar Sementara putusan perkara, atau lazim
merupakan pinjaman dari bahasa asing dan disebut putusan pengadilan ini adalah
pengalimatan yang panjang pada putusan pernyataan hakim yang diucapkan dalam
perkara ini sebenarnya dapat disederhanakan. sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa
Bentuk penyederhanaan dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala
pemadanan istilah asing ke dalam bahasa hukum, dalam hal serta menurut cara yang
Indonesia, sepanjang tidak merancukan diatur dalam undang-undang. Dengan kata
artinya, serta menyederhanakan pengalimatan lain, putusan perkara adalah surat pernyataan
yang panjang itu dengan membuang beberapa yang telah memiliki keabsahan tetap atas
bagian yang tidak terlalu penting sehingga sebuah peristiwa hukum.
bentuk putusan perkara dapat lebih dimengerti Putusan perkara pidana adalah pernyataan
oleh orang awam. Akan tetapi, hal itu tidak hakim yang dinyatakan dalam sidang pengadilan
dilakukan oleh tim perumus putusan perkara, terbuka, yang dapat berupa pemidanaan, bebas,
mungkin karena salah satunya disebabkan atau lepas mengenai perkara-perkara pidana
sebagian besar produk hukum Indonesia masih menurut cara yang diatur dalam undang-
menganut sistem hukum Belanda, yang dengan undang. Jenis-jenis perkara pidana seperti
sendirinya ikut mengadopsi bahasanya. pembunuhan, penganiayaan, perbuatan asusila,
Beberapa pokok yang disebutkan di atas korupsi, dan sebagainya.
ini yang kemudian menjadi rumusan masalah
dalam penelitian, yang pemfokusannya terletak II. METODE PENELITIAN
pada struktur wacana putusan, tindak tutur, Metode yang digunakan dalam penulisan
kohesi dan koherensi, variasi bahasa, serta artikel ini adalah metode penelitian kualitatif.
karateristik bahasa hukum putusan perkara Muhadjir menyatakan bahwa tujuan penelitian
kualitatif adalah untuk mencari kebenaran ilmiah
14
Louis Wolcher. “Legal Language Works”. Harvard mengenai objek penelitian secara mendalam untuk
Unbound. Vol.2.No.1. Juni 2006. hal 91-125

USMAN PAKAYA: Bahasa Hukum dalam Putusan Perkara Pidana 155


memperoleh hasil yang cermat.15 Data diperoleh III. PEMBAHASAN
dari putusan perkara pidana PN Kota Gorontalo A. Struktur Wacana
(kelas IB), PN Kabupaten Boalemo (kelas IIA), Pembahasan mengenai struktur putusan
dan PN Kabupaten Pohuwato (kelas IIA). perkara pidana, tidak dapat dilepaskan dari
Pemilihan wilayah kota dan kabupaten karakteristik khas bahasa hukum. Bahasa
dipertimbangkan untuk melihat keterwakilan hukum memiliki struktur kebahasaan yang
sumber data berdasarkan pembagian kelas pada cenderung berbeda dibanding dengan ragam
Pengadilan Negeri, di samping untuk melihat bahasa lainnya. Tidak hanya karena bahasa
variasi penggunaan bahasa. Purposive sampling hukum dibentuk oleh fungsi pengatur yang
ini dipilih juga untuk menunjukkan putusan melekat seperti yang menjadi ciri utama dari
perkara yang jenis tindak pidananya bervariasi, bahasa ini, tetapi juga karena komposisi bahasa
misalnya: pembunuhan berencana, pengrusakan hukum dibangun dari jalinan alur pikir yang
barang, penghinaan, penganiayaan, kealpaan sistematis dan lengkap. Hal ini yang menjadikan
yang mengakibatkan matinya orang, kesusilaan, bahasa hukum terlihat padu dalam bentuk dan
dan korupsi. Putusan perkara yang dipilih tersebut makna, Marina16.
mewakili unsur-unsur perbuatan melawan hukum Sistematis dan lengkap tersebut terlihat
dalam kategori tindak pidana. Dari data yang dari rangkaian keseluruhan gagasan yang
terkumpul, peneliti memilih data yang diteliti diuraikan. Sejak pemilihan topik, pengantar,
dengan menggunakan teknik pustaka. Alasan ini isi, kesimpulan, hingga menjadi satu kemasan
digunakan karena putusan perkara pidana yang produk aturan. Sesuatu yang mungkin jarang
menjadi sumber data adalah berupa teks tertulis. kita temukan pada ragam bahasa lain yang bebas
Sementara itu analisis data mengacu pada nilai. Ketika jenis bahasa lain lebih menitik-
rumusan masalah. Analisis data dilakukan beratkan pada substansi, sehingga persoalan
melalui beberapa tahap. Putusan perkara- lainnya seperti peserta tutur dan situasi tutur
perkara pidana dianalisis berdasarkan diserahkan pada konteks, dan konteks yang
struktur wacana; variasi bahasa; tindak tutur; akan membentuknya sendiri.
koherensi dan kohesi; serta karakteristik khas Tapi tidak dengan bahasa hukum, semuanya
putusan perkara pidana. Di samping itu dalam dijabarkan detil dan simultan. Tidak ada yang
menjelaskan gejala-gejala kebahasaan, peneliti terlewatkan satupun, tidak ada modifikasi, tidak
juga memerlukan pendapat pembanding. Demi parsial, dan juga tidak ada penyederhanaan
kebutuhan itu pula dianalisis aspek-aspek non- konsep. Segala sesuatu diuraikan, karena ini
linguistik, dalam hal ini peneliti melakukan menyangkut aturan untuk kepentingan orang
wawancara dengan hakim, jaksa, penasihat banyak. Aturan harus dapat tersampaikan
hukum, dosen hukum, dan juga praktisi hukum. dengan baik di tengah masyarakat.
Adapun hasil analisis data berwujud Dengan alasan itu pula bahasa Indonesia
kaidah-kaidah yang ditemukan dalam analisis hukum belum dapat bergeser dari prototipe
dan berkaitan dengan rumusan masalah, yaitu: bahasa hukum negara Belanda dan Eropa
struktur wacana, variasi bahasa, tindak tutur, Kontinental. Hal ini dilakukan, di samping
koherensi dan kohesi, serta karakteristik khas bahwa sistem hukum negara-negara tersebut
bahasa hukum dalam putusan perkara pidana. sebagian besar masih diadopsi oleh Indonesia,
Kaidah yang disajikan berbentuk uraian yang juga alasan lainnya adalah adanya kekhawatiran
berwujud kalimat-kalimat yang diikuti pemerian tidak mampunya tim perumus sistem hukum
secara rinci. dalam menciptakan sebuah produk hukum
dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti.
16
Marina Kaishi. “The Impact of Law and Language as
Interactive Patterns”. Academic Journal of Bussiness,
15
Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, Gramedia: Jakarta, Administration, Law and Social Sciences. Vol.2.No.2. Juli
2010, hal. 71. 2016. hal 134-138

156 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Walaupun pada realitasnya bahasa hukum yang menyatakan bahwa analisis wacana adalah
ada saat ini juga tetap agak sulit dipahami oleh analisis atas bahasa yang digunakan. Bahasa
sebagian orang, tetapi setidaknya masyarakat dikaji berdasarkan tujuan dari kebutuhan
umum telah cukup terbiasa dengan hal itu. penggunaan suatu bahasa. Sementara Charty18
Selain itu juga, bahasa hukum yang menyatakan analisis wacana berkaitan dengan
digunakan oleh negara Belanda dan Eropa studi tentang hubungan antara bahasa dan
Kontinental dalam sistem hukum civil law konteks dalam pemakaian bahasa. Hal ini
yang kita adopsi, dianggap memiliki karakter berarti bahwa analisis wacana adalah studi
yang kuat dari sisi kodifikasi, baik dari bentuk, mengenai teks dan konteks, yang teks dan
struktur maupun isi. Tentunya ini sesuai dengan konteksnya adalah seperangkat alat kajian di
kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia, dalam menganalisis wacana. Serupa dengan
yang lebih cenderung dapat menerima sebuah apa yang dikatakan oleh Ralph19 bahwa dalam
konsepsi hukum dalam wujud cetak biru aturan. analisis wacana, ada beberapa hal yang dapat
Dibanding misalnya mengikuti sistem dilakukan, di antaranya adalah analisis teks
hukum common law pada negara-negara beserta situasi yang menyertainya. Dalam hal
Anglo-Saxon (Amerika, Inggris, Kanada, ini teks dan konteks sama-sama diperlukan
Australia) yang menganut sistem hukum dalam analisis wacana.
tidak tertulis. Sistem hukum di negara-negara Persoalan konteks dan teks ini juga
ini hanya mengacu pada yurisprudensi, yang mendapatkan perhatian dari Michael20, yang
merupakan kewenangan hakim, sehingga menyatakan bahwa teks adalah bahasa yang
produk hukumnya lebih bersifat teknis. Dengan berfungsi, yaitu bahasa yang dapat dikenali ketika
demikian tidak perlu adanya rumusan tertulis, sedang melaksanakan tugas tertentu dalam
yang dengan sendirinya struktur bahasanya konteks tertentu pula. Hal ini mengandung
juga tidak disusun hirarki dan sistematis, seperti pengertian bahwa teks hadir dikarenakan
pada sistem hukum civil law. adanya konteks, atau sebaliknya konteks dapat
Sementara dalam budaya pikir masyarakat diidentifikasi berdasarkan adanya teks.
Indonesia, hukum itu bersifat mengikat, yang Sementara itu, tujuan utama di dalam
tidak serta-merta dapat diubah sewaktu-waktu. menganalisis wacana adalah untuk mencari
Dengan begitu hukum perlu dituangkan ke keterangan, bukan kaidah. Hal ini dipertegas
dalam sebuah rumusan yang jelas yang pada oleh Rani dkk21 yang menyatakan bahwa analisis
umumnya dirumuskan dalam bentuk kodifikasi, wacana cenderung tidak merumuskan kaidah
agar dapat terdokumentasi dengan baik. secara tepat seperti tata bahasa. Jadi maksud
Dokumentasi hukum dalam wujud kodifikasi dari analisis wacana adalah untuk menemukan
tersebut berisi kaidah-kaidah yang menjadi tujuan pemakaian bahasa. Karena alasan
panduan di dalam mengatur tatanan nilai dan ini pula, di dalam membuat analisis wacana
tingkah laku kehidupan masyarakat. Kaidah- dapat menggunakan banyak metode, seperti
kaidah yang ada itu dibentuk oleh struktur dengan apa yang dikatakan oleh Marianne22
bahasa yang lengkap. Struktur bahasa ini terjalin
rapi, sistematis dan saling melengkapi, bahkan
18
Charty, Discourse Analysis for Language Teachers,
Cambridge: Cambridge University Press. 2007, hal. 5.
batasannya dirinci dengan terang, supaya 19
Ralph Fasold, The Sociolinguistics of Society, 6th printing,
masyarakat luas dapat memahami dengan utuh New York: Basil Blackwell, 2010, hal. 65.
dan jelas mengenai entitas hukum. 20
Michael Halliday, Bahasa, Teks, dan Konteks (Terjemahan
Lebih lanjut, terkait dengan analisis Asrudin Baroti), Edisi 5, Yogyakarta: Gamma University
Press, 2010, hal 71.
penggunaan bahasa dalam sebuah teks, seperti 21
Rani, Abdul, Arifin, dan Martutik, Analisa Wacana:
putusan perkara pidana, Brown dan Yule17 Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian, Malang:
Banyumedia Publishing, 2006, hal. 23.
17
Brown, and Yule, Discourse Analysis, 4th printing, 22
Marianne Jorgensen, Analisa Wacana: Teori dan Metode,
Cambridge: University Press. 2010, hal. 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hal. 2.

USMAN PAKAYA: Bahasa Hukum dalam Putusan Perkara Pidana 157


bahwa wacana bukanlah sekadar pendekatan bagian penutup menuliskan nama dan jabatan
tunggal melainkan serangkaian pendekatan hakim.
multidisipliner yang bisa digunakan untuk Struktur wacana dalam putusan perkara
mengeksplorasi banyak domain sosial yang pidana ini berfungsi sebagai kerangka pikir di
berbeda yang berada dalam jenis-jenis kajian dalam menguraikan konsep putusan secara padu.
berbeda. Dalam hal ini, sangat memungkinkan Dengan membuat sekelompok variabel dalam
apabila analisis wacana melibatkan kajian putusan diperlakukan sebagai satu unit yang
keilmuan lain berdasarkan perspektifnya terintegrasi dibanding dengan menganggapnya
masing-masing. sebagai entitas yang terpisah-pisah sehingga
Selanjutnya di dalam menganalisis wacana, pada hasil akhir putusan dapat dilihat sebagai
struktur wacana dituntut untuk memiliki teks yang memiliki satu kesatuan yang utuh.
keutuhan, keutuhan tersebut dibangun oleh Seperti yang terlihat pada contoh kepala surat,
komponen-komponen yang terjalin dalam identitas terdakwa, dan pertimbangan hakim
suatu organisasi kewacanaan, organisasi inilah berikut ini.
yang disebut sebagai struktur wacana. PUTUSAN
Dengan demikian struktur wacana Nomor: 67/PID.B/2008/PN. TLM
hendaknya mempunyai konsep yang padu, (perkara pidana Agus Djama, 2011, PN Gorontalo)
yang masing-masing bagian di dalamnya saling Gambar 1. Contoh kepala surat
mengikat satu dan lainnya. Michael23 ikut Contoh di atas dapat diuraikan sebagai
menambahkan, dengan menyatakan bahwa berikut, jenis surat adalah surat putusan.
suatu rangkaian kalimat dapat dianggap menjadi Nomor putusan ditulis dalam satu baris, seperti
struktur wacana bila di dalamnya terdapat Nomor: 67/PID.B/2008/PN. TLM. Nomor surat
hubungan emosional atau maknawi antara menggunakan dua digit, diberikan tanda titik
bagian yang satu dengan bagian yang lain. Hal dua, kemudian antara nomor surat, kode surat,
ini berarti bahwa unsur-unsur dalam wacana tahun, serta nama institusi penerbit dibatasi
harus saling selaras dalam bentuk dan makna. garis miring, tanpa spasi, dan tidak diakhiri oleh
Michael24 kemudian lebih mempertegasnya tanda baca apapun.
dengan mengatakan bahwa struktur wacana Berdasarkan contoh tersebut dapat terlihat
adalah satuan-satuan bahasa yang memiliki unit-unit wacana dalam tataran struktur
keutuhan makna serta bersifat praktis dan internal putusan perkara pidana, yang apabila
situasional. Maksudnya adalah bahwa setiap dikaji ternyata sama teratur dengan struktur
unit dalam struktur wacana selain memiliki kalimat, unit-unit itu dibentuk oleh sejumlah
kepaduan makna, juga bersifat fungsional dan konsep koheren yang formal yang bersifat
kontekstual. kultural. Dengan kata lain, dalam struktur
Dalam struktur wacana putusan perkara wacana, setiap komponen bahasa, bahkan
pidana pengadilan negeri, bagian pembuka hingga satuan terkecilnya memiliki kesamaan
terdiri dari kepala surat, identitas terdakwa dengan struktur kalimat. Kesamaan terletak
ditulis lengkap, waktu dan pejabat melakukan pada kepaduan yang dibangun oleh bentuk dan
penahanan, dan amar tuntutan jaksa. Bagian makna dari uraian-uraian yang ada.
isi terdiri dari dakwaan jaksa, keterangan saksi, Nomor surat putusan yang diterbitkan
keterangan terdakwa, pertimbangan hakim, menjabarkan dan merinci unsur yang terkait
dan pernyataan mengadili oleh hakim. Serta dengan pemberian putusan, kode Pid B
23
Michael Halliday, Bahasa, Teks, dan Konteks (Terjemahan merupakan kategori perbuatan pidana yang
Asrudin Baroti), Edisi 5, Yogyakarta: Gamma University dilakukan, yaitu pidana biasa. Tahun 2008
Press, 2010, hal. 2. dan 2011 adalah tahun didaftarkannya perkara
24
Michael Halliday, Bahasa, Teks, dan Konteks (Terjemahan
pidana. Sedangkan PN.TLM dan PN.MRS
Asrudin Baroti), Edisi 5, Yogyakarta: Gamma University
Press, 2010, hal. 32. adalah singkatan dari Pengadilan Negeri

158 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Tilamuta tempat disidangkan perkara pidana secara sistematis membentuk pemahaman
itu. tentang legalitas sebuah dokumen. Penomoran
Selanjutnya kepala surat yang terdiri dari dan akronim yang diuraikan oleh kata nomor
jenis dan nomor surat ini menguraikan tipe ini memetakan secara rinci struktur bahasa
surat dan nomor registrasi surat. Jenis surat akan hukum, dimana tata letak setiap unsur kata
membantu mengidentifikasi substansi surat di dalam klausa seperti pada contoh di atas
secara keseluruhan. Sementara nomor surat menggambarkan adanya kepaduan pikiran
menunjukan adanya situasi kedinasan, yang diantara masing-masing bagian yang ada.
menuntut adanya ketaatan dalam penerapan Penomoran dalam surat putusan juga
kaidah bahasa. Dua hal ini yang kemudian berfungsi untuk memudahkan pengarsipan, baik
menjadi identitas utama dari surat yang bersifat untuk penyimpanan maupun penemuannya
formal. kembali apabila diperlukan. Di samping itu juga
Selain mengelaborasi unit-unit wacana untuk mengetahui jumlah surat putusan yang
pada wilayah struktur internal, struktur putusan diterima dan yang dikeluarkan oleh institusi
perkara pidana juga dapat menguraikan sisi pengadilan dapat dilihat pada gambar 2.
luar pada konteks pemaknaan. Kepala surat Nama : Ir. RONI AKMAL alias Roni
dengan pembingkaian kata PUTUSAN Tempat Lahir : Makassar
dengan penggunaan huruf kapital, menegaskan Umur/Tanggal Lahir : 42 Tahun/19 September 1962
kecenderungan isi yang terurai di dalamnya Jenis Kelamin : Laki-laki
adalah materi ketetapan dan penyelesaian Kebangsaan : Indonesia
atas sebuah peristiwa. Atau kata PUTUSAN Tempat Tinggal : Jln. Sulawesi No. 12 A,
menguraikan tentang pemberian keputusan Kelurahan Dulalowo,
yang pada dasarnya merujuk pada makna kata Kecamatan Kota Utara, Kota
tersebut. Dengan kata lain, kata PUTUSAN Gorontalo
pada bagian pembuka surat telah cukup Agama : Islam
menggambarkan tentang keseluruhan rumusan Pekerjaan : PNS (Dinas Kimpraswil
yang ingin dituju. Kab. Pohuwato)
Sementara kata nomor pada putusan perkara Gambar 2. Contoh Identitas Terdakwa
pidana menguraikan tanda atau lambang spesifik Contoh di atas dapat diuraikan sebagai
tertentu. Kedua hal tersebut apabila dijabarkan berikut, nama lengkap terdakwa ditulis dengan
masing-masing dapat memberikan arti yang lebih huruf kapital. Penulisannya mencantumkan
luas dari sekedar penomoran dan akronim biasa. nama diri, dan nama lain (alias), misalnya
Nomor misalnya dapat menguraikan nomor Ir. RONI AKMAL, alias Roni. Tempat lahir
serial surat yang dikeluarkan, sementara akronim mencantumkan kotamadya atau kabupaten
pada contoh Pid B, PN.TLM, PN.MRS dapat tempat lahir terdakwa, misalnya Makassar.
menguraikan kegiatan yang dilaksanakan pada Umur dan tanggal lahir mencantumkan berapa
suatu tempat tertentu. umur terdakwa, disertai tanggal, bulan dan
Lebih lanjut, dalam perspektif bahasa tahun lahir terdakwa, misalnya 42 tahun/19
hukum penomoran dan akronim pada September 1962. Jenis kelamin mencantumkan
putusan perkara pidana tidak hanya berfungsi jenis kelamin terdakwa, misalnya laki-laki.
representatif tetapi dapat juga interpretatif. Kebangsaan mencantumkan kewarganegaraan
Dengan kata lain kedua unsur tersebut tidak terdakwa, misalnya Indonesia. Tempat tinggal
hanya mewakili objek tertentu tetapi juga mencantumkan alamat lengkap terdakwa,
dapat mengidentifikasi isu yuridis yang ingin misalnya Jln. Sulawesi No. 12 A, Kelurahan
dibangun. Dulalowo, Kecamatan Kota Utara, Kota
Penomoran dan akronim pada putusan Gorontalo. Agama mencantumkan kepercayaan
perkara pidana yang merupakan konversi kata, dan keyakinan yang dianut terdakwa, misalnya

USMAN PAKAYA: Bahasa Hukum dalam Putusan Perkara Pidana 159


Islam. Pekerjaan mencantumkan profesi pidana, sebelum hakim memberikan keputusan
terdakwa, misalnya PNS. hukum tetap.
Penguraian identitas terdakwa pada contoh Hal ini ikut dipertegas oleh ketentuan
ini menunjukkan bahwa setiap struktur teks hukum. Ketentuan hukum mengatakan bahwa
merupakan konteks bagi teks itu sendiri. Butir-butir tidak dipenuhinya salah satu syarat, misalnya
setelah bagian awal teks dan bagian sebelumnya syarat formil, yaitu identitas terdakwa dalam
merupakan lingkungan untuk bagian selanjutnya surat dakwaan, yang menjadi bagian dari
yang saling terkait, atau dapat dikatakan teks putusan perkara pidana akan mengakibatkan
adalah suatu kesatuan utuh dari sebuah gagasan. hakim serta-merta dapat membatalkan surat
Kemudian masing-masing konsep yang menyatu dakwaan.
tersebut akan memberi arti secara keseluruhan Contoh pertimbangan hakim
pada pemaknaan yang ingin dibangun, termasuk Menimbang, bahwa guna mempersingkat
misalnya mempertimbangkan konteks dimana isi putusan ini maka segala sesuatu yang
teks itu dibuat. dimuat dalam berita acara persidangan yang
Dalam hal ini, identitas terdakwa menjadi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
bagian yang tak terpisahkan dari putusan dipisahkan dengan putusan ini dianggap
perkara pidana, bahkan menjadi unsur pokok telah dimuat pula dalam putusan ini;
dalam uraian putusan. Ini terlihat dengan Menimbang bahwa, berdasarkan
diletakannya identitas terdakwa di bagian keterangan saksi-saksi, Terdakwa, Visum
paling awal putusan perkara. et Repertum dan barang bukti tersebut di
Dengan menempatkan identitas terdakwa atas, apabila dihubungkan antara yang satu
di bagian pembuka putusan perkara pidana, dengan yang lainnya saling bersesuaian,
juga menunjukkan bahwa putusan perkara maka Majelis Hakim telah memperoleh
adalah milik dari subjek hukum berperkara fakta-fakta hukum sebagai berikut:
yang tersebut dalam identitas pribadi. Dengan –– Bahwa benar Terdakwa CARDAS
sendirinya secara keseluruhan membahas HUMU Alias CARDAS pada hari
tentang perbuatan melawan hukum yang Sabtu tanggal 20 Nopember 2010
dilakukannya. sekitar pukul 20.30 Wita bertempat
Lebih lanjut, dalam putusan perkara pidana di Desa Buntulia Utara Kec. Buntulia
identitas terdakwa diuraikan secara lengkap. Kab. Pohuwato telah melakukan
Bahkan nama terdakwa disebut beserta dengan perbuatan penganiayaan dengan
nama lainnya (alias), hal ini untuk memastikan cara menggunakan sebuah batu yang
bahwa subjek hukum yang dimaksud dalam dijadikan barang bukti dalam perkara
putusan adalah orang dengan nama yang ini yaitu dengan cara melemparkan
disebutkan atau dengan nama lainnya. batu tersebut kepada Saksi korban
Kebutuhan menerangkan identitas lengkap nama FREDERIC NYOMA Alias
ini adalah untuk memberikan informasi penuh ERIC yang mengenai dada sebelah
mengenai jati diri terdakwa. Identitas pribadi ini kanan korban.
kemudian dapat digunakan sebagai pedoman –– Bahwa benar akibat perbuatan
untuk melakukan kajian komperehensif Terdakwa CARDAS HUMU tersebut
terhadap syarat formil dan syarat materiil Saksi korban FREDERIC NYOMA
perkara. Alias ERIC mengalami luka memar
Pemenuhan syarat formil dan syarat materiil pada daerah dada sebelah kanan
ini merupakan basis untuk membuktikan telah ukuran 4 x 2 cm akibat trauma tumpul
terlaksananya unsur-unsur pidana. Juga menjadi sebagaimana Visum et Repertum dari
dasar pemeriksaan masalah pidana dalam RSUD Kab. Pohuwato No. 045.2/
mengadili seorang terdakwa pada persidangan VER/RSUD-PHWT/56/XI/2010

160 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


tanggal 22 Nopember 2010 yang dibuat Terdakwa tersebut akan dikurangkan
dan ditanda tangani oleh Dr. MUIS sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan;
LIHAWA, Dokter pada RSUD Kab. Menimbang, bahwa guna menghindari
Pohuwato. hal-hal yang tidak diinginkan untuk proses
–– Bahwa benar akibat perbuatan lebih lanjut dalam perkara ini, maka perlu
Terdakwa tersebut korban tidak ditetapkan agar Terdakwa tetap ditahan
terhalang melakukan pekerjaan sehari- dalam tahanan rumah;
hari dan saat ini sudah sembuh. Menimbang, bahwa terhadap barang bukti
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta- dalam perkara ini Majelis sependapat
fakta tersebut di atas, selanjutnya Majelis dengan tuntutan Penuntut Umum
Hakim akan membuktikan apakah sebagaimana yang akan disebutkan dalam
perbuatan Terdakwa terbukti seperti apa amar putusan ini;
yang didakwakan Penuntut Umum; Menimbang bahwa, sebelum menjatuhkan
Menimbang bahwa, Terdakwa didakwa putusan terlebih dulu dipertimbangkan
Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal hal-hal yang memberatkan dan yang
yaitu melanggar pasal 351 ayat 1 KUHP, meringankan hukuman buat diri Terdakwa
yang unsur-unsurnya adalah sebagai sebagai berikut:
berikut: Hal-hal yang memberatkan:
a. Barang siapa; Tidak ada;
b. Melakukan penganiayaan; Hal-hal yang meringankan:
Dst; Terdakwa belum pernah dihukum;
Menimbang, bahwa oleh karena semua Terdakwa berlaku sopan dan berterus
unsur dari dakwaan Tunggal Penuntut terang akan kesalahannya di persidangan;
umum telah dipertimbangkan dan ternyata Terdakwa berjanji tidak akan mengulangi
terbukti secara sah dan Majelis juga lagi perbuatannya dimasa yang akan datang;
mempunyai keyakinan untuk itu; Terdakwa masih muda usia dan masih
Menimbang, bahwa meskipun perbuatan dapat diharapkan untuk memperbaiki
Terdakwa telah dapat dibuktikan secara perbuatannya dimasa yang akan datang;
sah dan menyakinkan sebagaimana yang Terdakwa mempunyai tanggungan nafkah
didakwakan Jaksa Penuntut Umum dalam istri dan anak-anaknya yang masih kecil-
dakwaan Tunggalnya, namun Majelis Hakim kecil;
selanjutnya akan mempertimbangkan Pada contoh di atas, dalam penguraian
apakah perbuatan Terdakwa tersebut dapat pertimbangan oleh hakim dapat dikelompokan
dipersalahkan kepadanya; sebagai tipe teks tradisional, dimana variasi
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta- kalimat yang muncul cenderung deskriptif
fakta yang terungkap di persidangan tidak dan argumentatif. Unsur-unsur kalimat yang
ditemukan adanya alasan pemaaf ataupun ada dalam teks memiliki corak yang panjang
pembenar yang dapat menghapuskan dengan fungsi eksploratif. Dengan kata lain
kesalahan Terdakwa dan karena itu terdakwa ragam kalimat yang terdapat dalam wacana
haruslah dinyatakan bersalah melakukan disampaikan dan disusun melalui proses
tindak pidana “PENGANIAYAAN” dan penalaran. Hal ini agar kesimpulan yang akan
dihukum seimbang dengan kesalahannya dicapai dapat diterima sebagai kebenaran yang
serta dibebani untuk membayar biaya logis.
perkara; Uraian kalimat pada bagian pertimbangan
Menimbang, bahwa karena selama dalam hakim nampak sangat panjang. Menjadi
proses perkara ini Terdakwa ditahan, panjang uraian kalimat tersebut disebabkan
maka lamanya tahanan yang telah dijalani hakim mengakomodasi semua hal yang dapat

USMAN PAKAYA: Bahasa Hukum dalam Putusan Perkara Pidana 161


dijadikan dasar hukum di dalam mengambil subjektif hakim. Dimana pertimbangan yang
keputusan. Pertimbangan hakim ini merupakan meringankan dapat digunakan sebagai alasan
salah satu tahapan penting yang mesti dilalui untuk mengurangi ancaman pidana tuntutan
dalam proses hukum sidang pengadilan. jaksa terhadap terdakwa. Demikian juga
Pemberian pertimbangan hakim diawali sebaliknya, pertimbangan yang memberatkan
dengan penyebutan kata menimbang. Bahkan dapat dipakai sebagai alasan untuk lebih
kemudian kata tersebut disebutkan hingga memperberat pidana dari pokok tuntutan
beberapa kali dengan disertai oleh kalimat jaksa sebelumnya, seperti terlihat pada contoh
yang bersifat argumentasi hukum di dalamnya, berikut.
yang terkait dengan dakwaan penuntut umum, Menimbang bahwa, sebelum menjatuhkan
keterangan saksi, keterangan terdakwa, serta putusan terlebih dulu dipertimbangkan hal-
alat bukti yang ada. hal yang memberatkan dan yang meringankan
Penyebutan satu kata yang sama hingga hukuman buat diri Terdakwa sebagai berikut:
berkali-kali ini bertujuan untuk memberikan Hal-hal yang memberatkan:
penekanan pada maksud yang ingin dituju, yaitu Tidak ada;
memikirkan dengan sungguh-sungguh benar Hal-hal yang meringankan:
salahnya subjek hukum yang berperkara. Hal Terdakwa belum pernah dihukum;
ini penting karena tujuan penegakan supremasi Terdakwa berlaku sopan dan berterus
hukum adalah untuk menciptakan keadilan di terang akan kesalahannya di persidangan;
tengah masyarakat dan keputusan hakim akan Terdakwa berjanji tidak akan mengulangi
bersifat mutlak (kompetensi absolut), sehingga lagi perbuatannya dimasa yang akan datang;
perlu mempertimbangkan dengan cermat Terdakwa masih muda usia dan masih
keputusan hukum yang akan diambil. dapat diharapkan untuk memperbaiki
Pertimbangan hakim yang terdapat pada perbuatannya dimasa yang akan datang;
putusan perkara pidana terdiri dari dua bagian, Terdakwa mempunyai tanggungan nafkah
yaitu pertimbangan yang bersifat yuridis, istri dan anak-anaknya yang masih kecil-
dan pertimbangan yang bersifat non-yuridis. kecil;
Pertimbangan yuridis berdasarkan pada fakta-
fakta persidangan, yang oleh konstitusi telah B. Tindak Tutur
ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di Hukum secara implisit adalah produk
dalam putusan, seperti dakwaan jaksa penuntut kebahasaan karena rancangan hukum
umum, tuntutan pidana, keterangan saksi, disampaikan melalui bahasa, hukum adalah
keterangan terdakwa dan barang bukti. Hal ini tentang penggunaan bahasa, Alissa25. Bahasa
seperti terlihat dalam ungkapan berikut. yang dibentuk sedemikian rupa, dengan
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta- merumuskan dan mempertimbangkan banyak
fakta yang terungkap di persidangan tidak hal, seperti kondisi sosial budaya, jenis tuturan,
ditemukan adanya alasan pemaaf ataupun peserta tutur, kemanfaatan dan sebagainya
pembenar yang dapat menghapuskan kesalahan sehingga pada akhirnya hasil rumusan itu
Terdakwa dan karena itu terdakwa haruslah berwujud instrumen yang dapat digunakan
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sebagai asas dan juga dogma yang mengatur tata
“PENGANIAYAAN” dan dihukum seimbang laku kehidupan masyarakat. Asas serta dogma
dengan kesalahannya serta dibebani untuk pada tataran norma di dalam rumusan hukum
membayar biaya perkara; berwujud bahasa tuturan, baik hukum tertulis
Sementara pertimbangan yang bersifat maupun tidak tertulis, baik dalam produk
non-yuridis berdasarkan pada pertimbangan perundang-undangan, peraturan pemerintah,
yang meringankan dan memberatkan terdakwa, 25 Alissa Hartig. “Conceptual Blending in Legal Writing:
yang biasanya merupakan pertimbangan Linking Definitions to Facts”. English for Specific Purposes.
Vol 42. No.2. April 2016. hal 66-75.

162 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


peraturan daerah dan juga dokumen hukum orang yang terlibat konflik kepentingan dengan
lainnya. Semuanya tersampaikan dengan baik persoalan hukum. Pihak yang bertikai sering
melalui bahasa tuturan. membangun argumen melalui celah-celah
Karakteristik bahasa tuturan yang makna yang bisa ditarik ke aneka interpretasi.
digunakan dalam sistem hukum Indonesia dan Hukum dapat ditafsirkan beragam sesuai
juga negara-negara penganut sistem hukum dengan kebutuhan. Setiap orang dapat
civil law, tidak hanya terletak pada konfigurasi menafsirkan hukum berdasarkan apa yang
nilai, asas dan dogma, seperti yang memang dipahami, dan apa logika yang ingin dibangun
seharusnya dimiliki oleh bahasa hukum. Saat atas makna hukum. Hal ini dapat terjadi
hukum dipandang sebagai perangkat yang karena hukum cukup terbuka dan permisif
mengatur perilaku masyarakat dan menjamin terhadap berbagai pemaknaan. Tentunya
kepastian atas suatu persoalan. Akan tetapi ini bertentangan, apabila melihat konsep
juga tuturan bahasa hukum dapat berwujud hukum sendiri yang hendaknya memiliki mutu
ungkapan yang memiliki fungsi komunikatif. kepastian makna dan tidak multi tafsir.
Dalam hal ini ungkapan komunikatif dalam Lebih lanjut, di dalam menganalisis
relasinya dengan ujaran yang memiliki makna relasi antara teks dan bahasa hukum, dikenal
tertentu, Andrei.26 yang namanya linguistik forensik. Linguistik
Ungkapan-ungkapan dengan fungsi forensik adalah bagian linguistik terapan
komunikatif dalam tuturan bahasa hukum, yang melibatkan hubungan antar bahasa dan
yang ditenggarai sebagai tindak tutur ini teks hukum, dimana bahasa dapat digunakan
dapat ditemukan dalam undang-undang dan sebagai alat investigasi yang dapat membantu
beberapa dokumen hukum lainnya, termasuk menyelesaikan persoalan hukum.
putusan perkara pidana. Begitu pentingnya Salah satu sub-domain telaah linguistik
fungsi komunikatif dalam bahasa hukum, forensik adalah analisis wacana. Dalam
sehingga belakangan isu mengenai hal ini sering keterkaitan analisis wacana dengan teks
dibahas dalam ruang diskusi-diskusi terbuka hukum, di antaranya adalah kajian mengenai
oleh para praktisi hukum, tatkala melakukan aneka-tafsir tuturan pada suatu situasi tutur.
kajian mendalam mengenai persoalan bahasa Hal ini mengacu pada karakter bahasa hukum
dan hukum. yang cenderung aplikatif, dimana tuturan-
Bahasa hukum memang tampak selalu tuturan yang disampaikan merujuk pada suatu
mendapatkan perhatian serius bagi pemerhati aktivitas tertentu.
masalah ini. Salah satu alasannya adalah karena Gejala kebahasaan seperti ini dapat
di dalam bahasa hukum terdapatnya konsep dihubungkan dengan konsep tindak tutur
berpikir yuridis. Pada umumnya, tuturan- menurut John. John28 menyatakan tindak
tuturan yang digunakan dalam gagasan hukum tutur merupakan tindakan yang dilakukan
tidak hanya sekedar dimaknai berdasarkan dalam menuturkan sesuatu, atau dengan
definisi, tetapi dapat mengarah pada suatu kata lain tindak tutur terjadi apabila
aktivitas yang lain Ginevra.27 seseorang mengatakan sesuatu, maka dia
Adanya disorientasi tuturan seperti ini yang juga melakukan sesuatu. Maksudnya adalah,
juga kadang-kadang menimbulkan masalah dalam konteks tertentu tuturan tidak hanya
pada pengimplementasian sebuah produk dapat dimaknai berdasarkan arti sebenarnya,
hukum. Jenis tuturan yang mengandung potensi tetapi kemungkinan bisa menunjuk pada suatu
ketaksaan (ambigu) tidak jarang dimanfaatkan perbuatan yang lain.
Dalam kajian mengenai tindak tutur,
26
Andrei Marmor. “The Pragmatics of Legal Languag”.
tindak tutur ilokusioner menjadi bagian utama
Ratio Juris. Vol.21.No4. Desember 2008. Hal. 423-452.
27
Ginevra Peruginelli. “Concepts Mapping in The 28
John L Austin, How to Do Things With Words, 7th printing,
Legal Domain: Some Reflections”. Legal Information
New York: Oxford University Press, 2008, hal. 16.
Management. Vol 11. No.4. Desember 2011. hal 268-272

USMAN PAKAYA: Bahasa Hukum dalam Putusan Perkara Pidana 163


di antara jenis tindak tutur lainnya. Jenis tindak tutur tidak langsung ini dibedakan oleh cara
tutur ini pula yang paling sering digunakan penyampaian sebuah kalimat.
dalam dokumen-dokumen hukum yang ada. Sementara Dell32 menyatakan bahwa
Tindak tutur ilokusioner menurut John29 sebuah peristiwa tutur harus memenuhi
dibagi dalam lima bentuk tuturan yang memiliki delapan komponen, kedelapan komponen
fungsi komunikatif. Kelima jenis tindak tutur tersebut dinyatakan sebagai SPEAKING, yaitu
itu adalah asertif, direktif, ekspresif, deklaratif setting (suasana tutur), participant (peserta
dan komisif. Selanjutnya berkembang dengan tutur), end (tujuan tutur), act (isi tuturan), key
hadirnya tindak tutur baru, yaitu tindak tutur (nada tutur), instrumentalities (bentuk tutur),
verdictive dan tindak tutur excersitive. norm (kaidah tutur), dan genre (jenis tutur).
Dalam hubungannya dengan tuturan, Delapan komponen tutur ini merupakan syarat
John30 menjelaskan bahwa di dalam semua terlaksananya peristiwa tutur.
komunikasi linguistik terdapat tindak tutur. Beberapa komponen tutur ini pula
Dia berpendapat bahwa komunikasi bukan yang dapat diurai sebagai unsur pembentuk
sekadar lambang, kata atau kalimat, tetapi akan terciptanya tindak tutur dalam putusan perkara
lebih tepat apabila disebut produk atau hasil pidana. Ada banyak jenis tindak tutur yang
dari lambang kata atau kalimat yang berbentuk digunakan dalam putusan perkara pidana,
perilaku tindak tutur (fire performance of speech diantaranya tindak tutur assertif, seperti pada
acts). Dengan kata lain tindak tutur merupakan contoh-contoh berikut.
perwujudan dari bahasa komunikasi, yang di Contoh 1
dalamnya terdapat unsur-unsur pembangun Menimbang, bahwa apabila diterapkan
bahasa. dakwaan alternatif ke satu adalah tidak
Selanjutnya, Putu31 membagi tindak tutur tepat, karena luka saksi korban bukanlah
menjadi dua jenis, yaitu tindak tutur langsung merupakan hal yang disengaja oleh
(direct speech act) dan tindak tutur tidak Terdakwa, akan tetapi karena terkena
langsung (indirect speech act). Tindak tutur serpihan guci yang pecah, sehingga
langsung (direct speech act) adalah tuturan Majelis Hakim akan mempertimbangkan
yang secara formal berdasarkan modusnya, dakwaan alternatif ke dua. (perkara pidana
digunakan secara konvensional. Dengan kata Agus Djama, 2011. Pengadilan Negeri
lain bahwa kalimat berita digunakan untuk Gorontalo)
memberikan sebuah informasi, kalimat tanya Pada contoh 1 di atas peristiwa tutur terjadi
untuk menanyakan suatu informasi, dan pada persidangan perkara pidana ‘perusakan
kalimat perintah untuk sebuah perintah, ajakan, barang’ oleh Agus Djama yang disidangkan
permintaan atau permohonan. Jika tuturan atau di Pengadilan Negeri Gorontalo. Contoh di
kalimat perintah diutarakan dengan kalimat atas adalah tuturan hakim yang disampaikan
berita atau kalimat tanya dengan maksud untuk pada saat pembacaan pertimbangan di depan
berbicara dengan sopan sehingga membuat sidang pengadilan. Dalam penuturannya hakim
orang yang diperintah, tidak merasa dirinya memberikan pertimbangan mengenai beberapa
diperintah, maka hal tersebut dikatakan tindak dakwaan jaksa terhadap terdakwa. Tuturan
tutur tidak langsung (indirect speech act). Pada hakim ini berisi kajian mengenai penyebab luka
prinsipnya tindak tutur langsung dan tindak yang dialami oleh saksi korban, karena dengan
29
John Searle, Speech Act: An Essay in The Philosophy of kajian yang benar nantinya akan menentukan
Language, Cambridge, 8th printing, Cambridge University
dakwaan yang tepat yang dapat dikenakan pada
Press, 2010, hal. 32.
30
John Searle, Speech Act: An Essay in The Philosophy of terdakwa.
Language, Cambridge: 8th printing, Cambridge University 32
Dell Hymes, Foundation in Sociolinguistics: An Ethnographic
Press, 2010, hal. 45.
Approach, 5th printing, Philadelpia: University of
31
I Dewa Putu Wijana, Dasar-Dasar Pragamatik, Yogyakarta:
Pensylvania Press, 2010, hal. 17.
Andi Offset, 1996, hal. 56

164 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Hakim memberikan hipotesa mengenai dilakukan pada hari Sabtu 20 November 2010
beberapa alternatif dakwaan yang dapat pukul 20.30 wita di Desa Buntulia Utara Kec.
dipertanggungkan kepada terdakwa. Hal ini Buntulia, Kab Pohuwato. Dalam hal ini terdakwa
dilakukan oleh hakim, agar terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan penganiayaan dengan
mempertanggungjawabkan perbuatan melawan cara melemparkan batu ke arah saksi korban
hukum yang dilakukannya beserta akibat yang sehingga mengenai bagian kanan dadanya.
ditimbulkan, bukan mempertanggung jawabkan
hal lain, meskipun terkait langsung dengan C. Koherensi dan Kohesi
tindakan kriminal yang dilakukan oleh terdakwa. Hukum sebagai bahasa ilmiah mengandung
Contoh 2 kepaduan pikiran dalam rumusan kalimat-
Bahwa benar Terdakwa CARDAS HUMU kalimatnya, juga bahasa hukum memiliki
Alias CARDAS pada hari Sabtu, tanggal keserasian dalam isi dan sistematikanya,
20 Nopember 2010 sekitar pukul 20.30 Camelia33. Rumusan kalimat dalam putusan
wita bertempat di Desa Buntulia Utara Kec perkara pidana menunjukkan adanya koherensi
Buntulia, Kab Pohuwato telah melakukan dan kohesi yang saling bertaut satu dan lainnya.
perbuatan penganiayaan dengan cara Koherensi dan kohesi itu kemudian membentuk
menggunakan sebuah batu yang dijadikan sejumlah untaian gagasan dengan pola kalimat
barang bukti dalam perkara ini, yaitu dengan yang runtut, yang pada akhirnya berwujud
cara melemparkan batu tersebut kepada sebuah konsep tentang nilai.
saksi korban yang bernama FREDERIC Berdasarkan abstraksi di atas, diperlihatkan
NYOMA Alias ERIC yang mengenai dada bahwa rancangan hukum dibangun dari suatu
di sebelah kanan korban. (perkara pidana jalinan bahasa yang padu dari sisi bentuk dan
Cardas Humu, 2010, PN. Pohuwato) padu dari sisi makna. Juga saling berangkaian
Pada contoh 2 di atas peristiwa tutur terjadi masing-masing di antaranya, sehingga secara
pada persidangan perkara pidana ‘penganiayaan’ keseluruhan tampilan bahasanya terlihat
oleh Cardas Humu yang disidangkan di harmonis, utuh dan sistematis.
Pengadilan Negeri Pohuwato. Contoh di atas Harmonis di sini, menunjukan uraian-
adalah tuturan saksi dalam kesaksiannya yang uraian dalam kalimat bahasa hukum selaras
disampaikan di depan sidang pengadilan. dalam alur pikir. Kalimat-kalimat yang ada
Dalam tuturannya saksi menerangkan dibentuk berdasarkan format standar struktur
bahwa terdakwa telah melakukan penganiayaan penulisan bahasa hukum dalam sistem civil law,
terhadap saksi korban. Hal ini yang menyebabkan kemudian secara umum dimaknai oleh kaidah
korban mengalami luka pada bagian tubuhnya. hukum.
Maksud dari pernyataan saksi di depan sidang Sedangkan utuh dan sistematis adalah,
pengadilan ini adalah untuk meyakinkan hakim penjelasan mengenai hukum tidak dijabarkan
mengenai kebenaran yang diketahuinya. terpisah per-bagian, tetapi diuraikan
Saksi memberikan pernyataan mengenai keseluruhan, karena dengan hanya memerinci
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh sebagian, gagasan hukum yang ada bisa saja
terdakwa terhadap korban. Dalam tuturan ini dimaknai sebagian. Sementara pranata hukum
saksi mengawalinya dengan frase ‘bahwa benar’, menuntut dipahami komperehensif.
frase ‘bahwa benar’ ini adalah sebuah penegasan Berdasarkan hal tersebut, penjelasan
mengenai suatu hal yang diyakini kebenarannya. konsep hukum diberikan secara mendalam
Kemudian untuk memperkuat pernyataannya dan menyeluruh pada semua aspek. Dalam
saksi menceriterakan secara detail kronologis memberikan pemahaman yang menyeluruh,
peristiwa yang melatar belakangi terjadinya 33 Camelia Ignatescu. “Considerations Regarding The
perbuatan pidana penganiayaan yang dilakukan Interpretation of Legal Norm”. USV Annals of Economics
& Public administration. Vol.13. No.2. Juli 2013. hal 245-
Cardas Humu terhadap Frederic Nyoma, yang
2478

USMAN PAKAYA: Bahasa Hukum dalam Putusan Perkara Pidana 165


hukum dijabarkan melalui uraian-uraian pokok, pengertian-pengertian yang berkesinambungan
dan selanjutnya dirinci ke dalam ranah yang lebih merupakan dasar terbentuknya koherensi,
mikro, sehingga dapat mewakilkan semua bagian sama-sama saling berkesesuaian dalam satu
yang mengandung unsur perbuatan hukum. konfigurasi konsep-konsep dan relasi.
Ini semua harus dilakukan karena Dua asumsi ini memberikan kesimpulan
penjelasan melalui objek permasalahan saja bahwa kohesi dan koherensi merupakan
tidak akan mewakili semua tindakan hukum sebuah kepaduan, yang masing-masing
yang terkait dengannya. Akan tetapi juga saling menunjang. Gagasan yang satu dapat
seharusnya dapat membuka kemungkinan- menentukan kehadiran ide yang lain, demikian
kemungkinan terjadinya perbuatan melawan juga sebaliknya, ide yang satu dapat mendukung
hukum lainnya dalam wilayah yang lebih kecil. gagasan yang lain.
Dengan penguraian kalimat yang padu Selain terbentuk melalui adanya satuan-
dan sistematis, diyakini tingkat keterpahaman satuan lingual yang digunakan dalam kalimat-
masyarakat terhadap hukum akan jauh lebih kalimat yang membentuk wacana, misalnya
baik, yang dengan sendirinya juga akan membuat pemakaian penanda-penanda pertalian seperti
mereka tertarik untuk mempelajari bahasa di atas, koherensi dan kohesi dapat pula
hukum. Dengan begitu hukum akan menjadi terbentuk melalui bantuan konteks yang bersifat
milik semua orang, bukan hanya segelintir eksternal atau konteks situasionalnya. Faktor
intelektual dan kelompok aparatus hukum yang situasional dapat berupa lingkungan yang
senantiasa hadir dengan kepentingannya. membentuk teks, atau hal-hal yang berkaitan
Dalam hubungannya dengan koherensi, dengan digunakannya teks itu sebagai alat
semua teks selalu koheren dan harus bermakna komunikasi. Hal ini dapat terlihat pada contoh-
bagi penulisnya. Selebihnya tergantung contoh berikut.
kepada kemampuan pembaca di dalam Contoh koherensi 1
menginterpretasikan teks tersebut sehingga Terdakwa keluar dari kamarnya. Setelah itu
teks tersebut memiliki koherensi berdasarkan Terdakwa mengetuk pintu kamar korban,
pandangannya. Dengan kata lain, pembaca seraya berkata “Om, om ada pencuri di
ditantang untuk menarik suatu hubungan dari luar”. Mendengarnya lalu korban keluar
tiap-tiap kalimat yang membentuk wacana kamar dan bertanya kepada Terdakwa “ada
tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan apa”? kemudian dijawab oleh Terdakwa
koherensi merupakan akibat atau hasil proses “ada pencuri diluar” (perkara pidana Agus
penafsiran pembaca dan proses tersebut Djama, 2011, PN. Gorontalo). (koherensi
tergantung pada hubungan antara pembaca perturutan)
dan teks itu sendiri. Contoh 1 di atas terdiri dari tiga kalimat,
Sementara terkait relasi antara koherensi yaitu (a) terdakwa keluar dari kamarnya, (b)
dan kohesi Dardjowidjojo34 mengatakan setelah itu terdakwa mengetuk pintu kamar
sebagai sebuah keserasian hubungan antara korban, seraya berkata “om, om ada pencuri
unsur yang satu dengan unsur yang lain di di luar”, (c) mendengarnya lalu korban keluar
dalam wacana. Hubungan yang kohesif antara dari kamar dan bertanya kepada terdakwa
kalimat-kalimat dalam suatu wacana akan “ada apa”?, kemudian dijawab oleh terdakwa
menciptakan koherensi. Dengan begitu kohesi “ada pencuri diluar”. Gejala perturutan pada
akan memberikan sumbangan yang penting contoh di atas sebenarnya telah terjadi diantara
bagi koherensi suatu teks. Hal ini ikut pula kalimat pertama (a) dan kalimat kedua (b)
dipertegas oleh Robert35 yang menyatakan walaupun tidak terdapat pemarkah lingual
34
Dardjowidjojo, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, tertentu. Namun demikian perbuatan atau
Jakarta: Balai Pustaka, 2006, hal. 40. ucapan yang terjadi dan dilakukan secara
35
Robert Beaugrande, Introduction to Text Linguistics,
berturutan ditandai oleh ungkapan ‘setelah itu’.
London: Longman, 2008, hal. 84.

166 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Dimana dalam kalimat pertama (a) dinyatakan (2c) Maka Terdakwa harus dinyatakan telah
bahwa terdakwa keluar dari kamarnya, kemudian terbukti secara sah dan menyakinkan
dilanjutkan dengan kalimat kedua (b) setelah itu bersalah melakukan tindak pidana.
terdakwa mengetuk pintu kamar korban, seraya Bahwa, karena unsur-unsur dalam
berkata “Om, om ada pencuri diluar”. Untuk Pasal 359 KUHP dapat dibuktikan
kemudian hubungan perturutan terletak pada pada diri Terdakwa.
kalimat (b) dan (c) melalui pemarkah lalu, dan, Informasi pada kalimat (2c) relatif masih
dan kemudian. Dalam contoh di atas dinyatakan sama dengan informasi yang terdapat pada
bahwa terdakwa mengetuk pintu kamar korban kalimat (2), hal ini disebabkan makna ‘sebab’
seraya berkata “Om, om ada orang pencuri di dengan makna ‘akibat’ berhubungan secara
luar”, korban mendengarnya lalu keluar kamar rapat dan timbal-balik.
dan bertanya kepada terdakwa “ada apa”? Contoh kohesi 1
kemudian dijawab oleh terdakwa “ada pencuri Bahwa, yang ada dirumah saat kejadian
diluar”. adalah saksi dengan suami saksi dengan
Contoh koherensi 2 dua orang anak saksi yang berada dikamar
Bahwa, karena unsur-unsur dalam Pasal 359 belakang. Sedangkan kamar depan ditempati
KUHP dapat dibuktikan pada diri Terdakwa. oleh Terdakwa Edgar Kapahang yang saat itu
Maka Terdakwa harus dinyatakan telah sedang kost dirumah saksi. (perkara pidana
terbukti secara sah dan menyakinkan Edgar Kapahang, 2009, PN Limboto). (kohesi
bersalah melakukan tindak pidana (perkara penunjukan)
pidana Agus Djama, 2011, PN. Gorontalo).
(koherensi sebab akibat) Contoh di atas, terdiri dari dua kalimat,
yaitu kalimat (a) bahwa, yang ada di rumah
Contoh 2 di atas terdiri dari dua kalimat, saat kejadian adalah saksi dengan suami saksi
yaitu (a) bahwa, karena unsur-unsur dalam Pasal dengan dua orang anak saksi yang berada di
359 KUHP dapat dibuktikan pada diri terdakwa, kamar belakang, dan (b) sedangkan kamar
dan (b) maka terdakwa harus dinyatakan telah depan ditempati oleh terdakwa Edgar Kapahang
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah yang saat itu sedang kost di rumah saksi. Kata
melakukan tindak pidana. Bagian yang itu pada frase saat itu yang terdapat pada
bermakna ‘sebab’ terdapat pada kalimat (a) kalimat kedua (b) merupakan unsur penunjuk
bahwa, karena unsur-unsur dalam Pasal 359 pada kalimat pertama (a), sehingga frase saat itu
KUHP dapat dibuktikan pada diri terdakwa. pada kalimat kedua memiliki referen yang sama
Akibatnya terdakwa harus dinyatakan telah dengan kalimat pertama yaitu menjelaskan
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah kamar yang ditempati oleh terdakwa. Adapun
melakukan tindak pidana. Adapun penggunaan penggunaan konjungsi bahwa pada awal kalimat
konjungsi bahwa pada awal kalimat (a) adalah (a) adalah untuk memberikan penekanan
untuk mempertegas pernyataan hakim bahwa mengenai jumlah orang pada tempat kejadian
penyebab terdakwa dinyatakan bersalah adalah perkara pada saat terjadinya perbuatan pidana,
karena melanggar Pasal 359 KUHP. dimana terdiri dari saksi beserta suami dan
Pertalian makna sebab-akibat pada contoh anaknya, dan juga terdakwa.
(2) ini bersifat renggang, hal ini dikarenakan Unsur penanda itu pada kohesi penunjukan
oleh adanya penanda ‘karena’ dan ‘maka’ yang di atas mengacu pada perbuatan materiil
terdapat pada masing-masing kalimat (a) dan unsur tindak pidana. Dimana penanda ini
(b). Hal demikian menyebabkan kedua kalimat hadir berfungsi menunjukkan identitas pelaku,
dapat saling dipertukarkan tempatnya tanpa perbuatan pidana yang didakwakan kepada
mengubah atau merusak pertalian maknanya. terdakwa, bagaimana pelaku mewujudkan
Perhatikan hasil mutasi pada contoh (2c) perbuatan pidana, serta dampak yang
berikut ini. ditimbulkan oleh perbuatan pidana tersebut.

USMAN PAKAYA: Bahasa Hukum dalam Putusan Perkara Pidana 167


Contoh kohesi 2 memproduksi nilai-nilai statistik (prosentasi dari
Bahwa, dalam pelarian tersebut Terdakwa orang-orang yang menggunakan bahasa tertentu
mengambil seekor sapi yang sedang diikat dan dalam situasi tertentu) dalam mewakilkan pola
dibawanya ke suatu kampung. Mengikatnya variasi linguistik. Konsep ini memberi penekanan
disana, kampung apa Terdakwa sendiri pada kesepakatan yang dibangun oleh kelompok
tidak mengetahui namanya. (perkara pidana masyarakat tertentu untuk menciptakan ragam
Cardas Humu, 2010, PN Pohuwato).(kohesi bahasa yang dapat digunakan oleh kelompoknya
penggantian) sendiri.
Pada contoh 2 di atas terdiri dari dua Pernyataan di atas ikut ditegaskan oleh
kalimat, yaitu kalimat (a) bahwa, dalam pelarian Ronald (dalam Jack)38 yang menyatakan bahwa
tersebut terdakwa mengambil seekor sapi yang pemahaman mengenai variasi bahasa adalah
sedang diikat dan dibawanya ke suatu kampung, sebuah usaha untuk menemukan penggunaan
dan (b) mengikatnya disana, kampung apa bahasa yang memberikan kategori-kategori,
terdakwa sendiri tidak mengetahui namanya. baik dalam bahasa lisan maupun tulisan.
Kata disana yang terdapat pada kalimat kedua (b) Berbagai kategori tersebut digunakan pada
merupakan unsur pengganti ‘sebuah kampung’ kelompok dan situasi masyarakat tertentu.
yang dimaksudkan terdakwa pada kalimat (a). Penekanan ini semakin memperjelas gagasan
Adapun penggunaan konjungsi bahwa pada awal hadirnya variasi bahasa yang bersumber dari
kalimat (a) adalah untuk menjelaskan perbuatan kebutuhan masyarakat terhadap penggunaan
terdakwa selama dalam pelariannya, dimana bahasa khusus untuk kalangan tertentu.
terdakwa mencuri seekor sapi yang sedang diikat. Kekhususan tersebut dibangun untuk memberikan
Unsur penanda sana dalam contoh kohesi ciri mengenai siapa pengguna bahasa, dan untuk
penggantian di atas berfungsi menggantikan kebutuhan apa bahasa tersebut digunakan.
kedudukan subjek hukum yang berperkara dan Hampir mirip dengan apa yang dikatakan
tempat kejadian perkara. Hal ini terkait dengan oleh Yosua39 bahwa bahasa merupakan suatu
penentuan tempat terjadinya perbuatan pidana masyarakat ujaran yang semua anggotanya
berdasarkan dimana bekerjanya alat yang sama, memiliki paling tidak satu ragam ujaran
digunakan. Alat yang dimaksud adalah orang dan norma-norma pemakaian yang cocok.
atau benda yang terkait dengan perbuatan Hal ini mengandung pengertian bahwa bahasa
pidana, dimana akibat dari perbuatan pidana dapat dijadikan sebagai salah satu alat ukur
tersebut muncul. untuk bisa mengidentifikasi siapa pengguna
bahasa dan dari kalangan atau kelompok sosial
D. Variasi Bahasa seperti apa penggunanya.
Nikolas36 mengatakan bahwa variasi Sementara Janet40 menyatakan terjadinya
berhubungan dengan sistem bahasa dan variasi bahasa dikarenakan faktor-faktor situasi
perubahan yang terjadi pada bahasa yang seperti, orang, tempat, topik, atau permasalahan.
digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu. Pernyataan ini dapat dihubungkan dengan
Hal ini berhubungan dengan eksistensi kreativitas manusia dalam menciptakan ragam
perkembangan bahasa dalam masyarakat, yang bahasa baru yang berbeda dengan ragam bahasa
terus mengalami metamorfosa seiring dengan lainnya. Kreativitas penciptaan ragam bahasa
perjalanan peradaban manusia. 38
Jack Chambers, Trudgill, Peter, Estes, S Natalie, The
Lebih lanjut, Nikolas37 mengungkapkan bahwa Handbook Variation and Change, Blackwell: Blackwell
variasi bahasa berawal dari kesepakatan untuk Publishing, 2011, hal. 43.
39
Yoshua Fishman, Sociology of language, 9th printing,
36
Nikolas Coupland, Style: Language Variation and Identity, Massachusetts: Newburg House Publisher Inc., 2007, hal.
Cambridge: Cambridge University Press, 2007, hal. 7. 30.
37
Nikolas Coupland, Style: Language Variation and Identity,
40
Janet Holmes, An Introduction to Sociolinguistics, 11th
Cambridge: Cambridge University Press, 2007, hal. 23. printing, London: Longman, 2008.

168 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


ini akan terus berlangsung seiring dengan Jenis bahasa ini dianggap memiliki stratifikasi
perkembangan zaman, yang memungkinkan yang tinggi karena hanya menyasar pengguna
tumbuhnya lingkungan sosial dengan tertentu dalam konteks tertentu pula, seperti
pandangan berpikir yang baru. penggunaan bahasa dalam bidang hukum.
Pendapat ini didukung sepenuhnya oleh Ichwan43 mengatakan situasi penggunaan
Michael41 yang mengatakan bahwa variasi bahasa dalam teks hukum seperti putusan
penggunaan bahasa akan sangat mungkin apabila perkara pidana dapat diidentifikasi sebagai
jumlahnya terus bertambah, sesuai dengan situasi formal. Dalam setiap situasi formal
perkembangan bidang yang mewadahinya. Hal seyogianya kita menggunakan ragam bahasa
ini berarti potensi akan berkembangnya ragam Indonesia baku. Bahasa baku atau bahasa
bahasa baru cukup terbuka, selaras dengan standar yang digunakan semestinya bercirikan
perkembangan ilmu pengetahuan. Selanjutnya antara lain, kemantapan yang dinamis,
mengenai definisi variasi bahasa, Scheneider kecendekiaan, lugas dan formal objektif.
(dalam Jack)42 menghubungkannya dengan Ciri kemantapan yang dinamis adalah
analisis teks yang dapat digunakan untuk konsistensi penggunaan kaidah-kaidah
mengidentifikasi variasi bahasa, dia mengatakan gramatika termasuk penerapan tata tulis yang
terdapat beberapa syarat dalam analisis teks, baik sesuai dengan konsensus yang berlaku.
di antaranya, teks harus memiliki kemiripan Kecendekiaan dimaksudkan sebagai adanya
dengan bahasa tuturan, teks harus berbeda, kecermatan penggunaan bahasa yang mampu
teks harus menyajikan keragaman fenomena mengungkapkan pikiran yang rumit sekalipun
penggunaan bahasa, teks harus memenuhi dan tidak menimbulkan bias interpretasi.
ukuran yang pasti. Dengan kata lain, teks Ini penting karena bahasa baku biasanya
harus memenuhi standar kuantitatif analisis digunakan pada wilayah disiplin ilmu tertentu.
fenomena lingusitik. Keempat persyaratan ini Sementara kelugasan adalah bahwa setiap ide
merupakan aturan standar di dalam membuat harus diungkapkan secara langsung menyentuh
analisis perubahan bahasa di dalam teks. pokok yang ingin dituju. Untuk ciri formal
Pemenuhan terhadap beberapa unsur penting dan objektif adalah sesuatu yang ditandai oleh
tersebut akan menjadikan proses identifikasi adanya diksi dan bentuk kata formal serta
variasi bahasa lebih padu dan terukur. Di dalam struktur kalimat yang berunsur lengkap.
putusan perkara pidana di pengadilan negeri Empat ciri bahasa baku ini hendaknya
yang juga merupakan sebuah produk teks menjadi tolak ukur di dalam membuat produk
terdapat beberapa variasi penggunaan bahasa. tulisan yang bercirikan ilmiah. Hal ini didasari
Variasi bahasa tersebut di antaranya adalah oleh alasan untuk kebutuhan mengidentifikasi
penggunaan bahasa formal. pengguna bahasa tersebut, seperti penggunaan
Bahasa formal adalah bahasa yang bahasa baku dalam putusan perkara pidana.
dikodifikasikan, diterima dan dijadikan model Putusan perkara pidana di pengadilan
oleh masyarakat yang lebih luas. Ragam negeri secara umum menggunakan beberapa ciri
bahasa formal merupakan jenis bahasa yang bahasa baku yang diungkap di atas. Penggunaan
berstatus tinggi di dalam suatu masyarakat atau bahasa baku pada koridor formal tersebut
bangsa, juga keseragaman kode kebahasaan tersebar di hampir seluruh bagian putusan
diperlukan bahasa formal agar efisien karena perkara pidana, kecuali di beberapa bagian
kaidah atau norma jangan berubah setiap saat. materi dakwaan jaksa, dimana pada penguraian
dakwaan sering ditemukan penggunaan bahasa
41
Michael Halliday, Bahasa, Teks, dan Konteks (Terjemahan
non-formal. Contoh penggunaan bahasa formal
Asrudin Baroti), Edisi 5, Yogyakarta: Gamma University
Press, 2010, hal. 26. 43
Ichwan Said, “Kajian Semantik Terhadap Produk Hukum
42
Jack Chambers, Trudgill, Peter, Estes, S Natalie, The
Tertulis di Indonesia”. Jurnal Mimbar Hukum. Vol 2 No 2,
Handbook Variation and Change, Blackwell: Blackwell
Agustus 2012. hal. 189.
Publishing, 2011, hal. 68.

USMAN PAKAYA: Bahasa Hukum dalam Putusan Perkara Pidana 169


dalam putusan perkara pidana, dapat dilihat pidana pada tingkat pertama dengan acara
pada contoh-contoh berikut ini. pemeriksaan biasa’, yang berarti jenis perkara
Contoh 1 pidana yang dapat disidangkan di pengadilan
DEMI KEADILAN BERDASARKAN negeri dengan kategori perbuatan pidana yang
KETUHANAN YANG MAHA ESA pembuktiannya mudah. Hal tersebut dikarenakan,
Pengadilan Negeri Gorontalo yang institusi pengadilan sudah menganggap bahwa
mengadili perkara-perkara pidana pada jaksa, penasihat hukum, ataupun subjek hukum
tingkat pertama dengan acara pemeriksaan yang berperkara telah memahami maksud dari
biasa telah menjatuhkan putusan sebagai pernyataannya tersebut. Hal ini terkait dengan
tersebut di bawah ini, dalam perkara sifat eksoteris bahasa hukum.
Terdakwa. Contoh 2
(pekara pidana Agus Djama, 2011, PN. “Menimbang, bahwa berdasarkan
Gorontalo) pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut
Rumusan “DEMI KEADILAN di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa
BERDASARKAN KETUHANAN YANG perbuatan Terdakwa telah memenuhi seluruh
MAHA ESA” ditulis dalam format huruf unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 359
kapital. Isi rumusan ini berlaku untuk semua KUHP yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut
pengadilan dalam semua lingkungan peradilan. Umum; Menimbang, bahwa oleh karena itu
Rumusan ini memiliki makna bahwa segala unsur-unsur dalam Pasal 359 KUHP dapat
putusan hakim harus mampu memberikan dibuktikan pada diri Terdakwa, maka Terdakwa
rasa keadilan yang berdasarkan ketuhanan harus dinyatakan telah terbukti secara sah
Yang Maha Esa pada masyarakat. Hal ini dan menyakinkan bersalah melakukan tindak
sebagai bentuk pertanggungjawaban hakim pidana ‘Karena Kealpaannya menyebabkan
secara spiritual kepada Tuhan Yang Maha matinya orang lain; Menimbang, bahwa
Esa, selain pertanggungjawaban secara moral selama dalam persidangan tidak ditemukan
kepada pencari keadilan dan masyarakat. Di adanya alasan penghapus pemidanaan baik
samping itu rumusan ini juga memberikan alasan pembenar maupun alasan pemaaf,
kekuatan eksekutorial pada putusan, apabila oleh karena itu Terdakwa harus dinyatakan
tidak dibubuhkan maka hakim tidak dapat bersalah dan dijatuhi pidana yang setimpal
melaksanakan putusan tersebut. dengan perbuatannya; Menimbang bahwa
Kemudian diikuti oleh kalimat “Pengadilan sebelum menjatuhkan pidana, Majelis akan
Negeri Limboto yang mengadili perkara- mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan
perkara pidana pada tingkat pertama dengan dan yang meringankan dalam menjatuhkan
acara pemeriksaan biasa telah menjatuhkan pidana terhadap para Terdakwa.” (perkara
putusan sebagai tersebut di bawah ini, dalam pidana Edgar Kapahang, 2009, PN Limboto)
perkara Terdakwa” menunjukkan penggunaan Pertimbangan hakim di atas diuraikan
kalimat pada contoh di atas cenderung lugas dalam satu kalimat yang sangat panjang. Dalam
dan padat. Hal ini terlihat dari penguraian kalimat panjang di atas terdapat beberapa
kalimat yang langsung mengarah pada ide pokok yang saling bertumpuk antara satu
substansi putusan. Institusi pengadilan dan lainnya, yang sebenarnya dapat dipisah
memperkenalkan Pengadilan Negeri Limboto menjadi beberapa bagian. Akan tetapi hakim
sebagai lembaga penerbit surat putusan adalah tetap menguraikannya dalam satu kalimat,
pengadilan pelaksana sidang yang bertugas dengan maksud untuk menjaga alur pikir yang
menyelenggarakan sidang perkara pidana yang ingin dibangun oleh hakim. Di samping itu
terkait dengan terdakwa. juga hakim ingin menghindari terjadinya bias
Dalam kalimat ini tidak disebutkan dengan interpretasi apabila uraian pertimbangan dibuat
detail maksud dari pernyataan ‘perkara-perkara dalam beberapa bagian.

170 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Beberapa ide pokok yang dapat dibagi dari terus mengidentifikasi diri dan juga karakter
contoh kalimat di atas adalah sebagai berikut: kriminalitas yang lebih beragam, tidak jarang
1. Perbuatan terdakwa telah memenuhi sistem hukum Indonesia mulai mengadopsi
seluruh unsur-unsur tindak pidana dalam istilah hukum dari sistem hukum common law.
Pasal 359 KUHP yang didakwakan oleh Hal ini dikarenakan tekstur hukum common law
jaksa penuntut umum; yang sangat fleksibel sehingga sangat terbuka
2. Terdakwa harus dinyatakan telah terbukti pada perubahan. Termasuk menyesuaikan
secara sah dan menyakinkan bersalah bahasa hukum dengan jenis kriminalitas yang
melakukan tindak pidana ‘Karena kealpaannya baru.
menyebabkan matinya orang lain’; Lain halnya dengan hukum civil law
3. Tidak ditemukan adanya alasan penghapus yang terikat pada pakem kodifikasi, sehingga
pemidanaan baik alasan pembenar maupun agak sulit menyesuaikan dengan dinamika
alasan pemaaf, oleh karena itu terdakwa kriminalitas yang semakin heterogen. Padahal
harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukum didesak agar dapat memberikan jaminan
pidana yang setimpal dengan perbuatannya kepastian pada saat dibutuhkan, tidak bisa
4. Sebelum menjatuhkan pidana, majelis ditawar, juga tidak dapat dicarikan alternatif.
akan mempertimbangkan hal-hal yang Hukum adalah alat kepastian, di samping
memberatkan dan yang meringankan keadilan.
dalam menjatuhkan pidana terhadap para Istilah-istilah dalam kodifikasi hukum
terdakwa. dan dokumen hukum lainnya yang diadopsi
dari negara-negara lain agak sulit dipahami
E. Pengistilahan artinya oleh masyarakat umum. Sulitnya
Terkait dengan istilah ini, Janet 44
dipahami, bukan hanya karena kosa-katanya
menyatakan bahwa register atau istilah dapat berbahasa asing, tetapi diksi yang dipilih
disamakan dengan pengertian ragam (style), pun agak imajinatif. Keadaan ini yang
mengenai variasi bahasa yang mencerminkan menyebabkan istilah-istilah hukum yang ada
perubahan berdasarkan faktor-faktor situasi, tidak selalu dapat diterjemahkan berdasarkan
seperti orang, tempat, topik, atau permasalahan. terminologi umum. Hanya orang-orang yang
Soewito45 juga menambahkan bahwa register/ memiliki konsep berpikir yuridis yang mampu
istilah adalah bentuk variasi bahasa yang menerjemahkannya, sementara orang awam
disebabkan karena sifat khas kebutuhan hanya dapat menerjemahkan hingga batas
pemakainya. pengetahuannya.
Bahasa hukum sangat kental dengan Persoalan ini yang mengakibatkan istilah-
pengistilahan. Konsep-konsep bahasa istilah hukum terkesan eksklusif sebab hanya
hukum dibangun dari berbagai terminologi, menjadi milik kelompok tertentu. Hal ini juga
Adina46. Demikian pula yang terdapat pada yang menjadikan pemahaman masyarakat
putusan perkara pidana. Istilah-istilah yang terhadap hukum berkurang. Pastinya ini menjadi
ada sebagian besar diadopsi dari bahasa salah satu kendala di dalam memasyarakatkan
hukum Negara Belanda dan negara-negara hukum, ini karena hukum dibangun di atas
penganut sistem hukum civil law. Namun pada gagasan berpikir, sementara gagasan berpikir
perkembangannya, seiring dengan hukum yang akan muncul setelah pemahaman terhadap
konsep hadir terlebih dahulu.
44
Janet Holmes, An Introduction to Sociolinguistics, 11th Istilah-istilah dalam bahasa Indonesia
printing, London: Longman, 2012. hal 72.
45
Soewito, Sosiolinguistik: Pengantar Awal, Surakarta:
hukum yang ada saat ini masih belum dapat
Universitas Sebelas Maret Press, 2007, hal. 34. menemukan format terbaiknya. Banyak istilah
46
Adina Radulescu. “Dealing With Terminological hukum yang tidak diterjemahkan ke dalam
Incongruency in Legal Language”. Contemporary Reading bahasa Indonesia, walaupun istilah itu terdapat
in Law & Social Justice. Vol 4 No 1. 2012. hal 59-602

USMAN PAKAYA: Bahasa Hukum dalam Putusan Perkara Pidana 171


padanannya dalam bahasa Indonesia baku. memilih untuk menyusun dakwaan yang
Ada juga jenis istilah-istilah asing yang ketika berbentuk subsidair, dimana tindak pidana
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yang diancam dengan pidana pokok terberat
artinya menjadi rancu untuk dipahami. ditempatkan pada lapisan atas, dan tindak
Besar dugaan bahwa tetap dipertahankannya pidana yang diancam dengan pidana lebih
istilah asing dalam hukum Indonesia disebabkan ringan ditempatkan di bawahnya.
kekhawatiran akan adanya kesalahan di dalam Contoh 2.
menginterpretasi sebuah istilah, yang bisa saja Bahwa ia Terdakwa Ir. Roni Akmal selaku
menimbulkan bias pada pemaknaan. Sementara Pimpinan Proyek/Pelaksana Kegiatan Proyek
untuk alasan pengindonesiaan beberapa istilah Pembangunan Gedung Kantor Bupati Pohuwato
yang akhirnya menjadi terlihat rancu, bisa yang diangkat berdasarkan surat Keputusan
dikarenakan hukum menerjemahkan istilah- Pejabat Bupati Pohuwato Nomor: 111 A 2004
istilah itu apa adanya atau paling tidak, bisa tanggal 11 Januari 2004, yang bertindak secara
mendekati makna dari bahasa sumber. Kondisi bersama-sama atau bertindak secara sendiri-
seperti ini bisa jadi tidak cukup baik, tidak hanya sendiri dengan MAHYUDIN AHMAD, SIP
bagi hukum sendiri, ketika hukum dianggap sebagai selaku Kepala Bagian Keuangan Pemerintah
panglima kepastian dan keadilan, tetapi juga bagi Kabupaten Pohuwato dan Drs. YAHYA K.
pengembangan Bahasa Indonesia ke depan. NASIB selaku Pejabat Bupati Pohuwato
Dalam hal ini bahasa hukum mestinya (Terdakwa dalam perkara lain) yang diajukan
bisa menjadi pengaktualisasian morfosintaksis, secara di splitsing secara berturut-turut sehingga
yang direkayasa sedemikian rupa hingga dapat dipandang sebagai perbuatan berlanjut
yang diproduksi oleh ragam bahasa ini dapat pada tanggal 17 Mei 2004. (perkara pidana Roni
dipahami oleh setiap penutur. Agar lebih bisa Akmal. 2009. PN.Pohuwato)
terterima oleh seluruh masyarakat, contoh Splitsing atau pemecahan perkara adalah
pengistilahan dalam putusan perkara pidana, hak penuntut umum yang dibolehkan oleh
terlihat pada contoh-contoh di bawah ini. undang-undang. Pemecahan dapat dilakukan
Contoh 1. apabila penuntut umum menerima satu berkas
Subsidair: Bahwa ia Terdakwa Edgar perkara yang memuat beberapa perbuatan
Kapahang pada hari Selasa tanggal 13 Januari pidana, dan perbuatan pidana tersebut juga
2009 sekitar jam 00.00 WITA atau setidak melibatkan beberapa orang tersangka dengan
– tidaknya pada waktu lain dalam bulan peran yang berbeda. Alasan dilakukannya
Januari 2009, bertempat di Desa Iloheluma pemecahan perkara ini sebagai bentuk
Kec. Boliyohuto Kab. Gorontalo, atau setidak pemerataan keadilan dalam mewujudkan
– tidaknya di suatu tempat lain yang masih kebenaran materiil bagi setiap orang. Di
termasuk dalam daerah hukum Pengadilan samping itu juga untuk memudahkan penuntut
Negeri Limboto. (perkara pidana Edgar umum di dalam pembuktian hukum, dimana
Kapahang. 2009. PN. Limboto). beberapa terdakwa yang terlibat dalam perkara
Kata subsidair ini umumnya digunakan yang sama dapat disidangkan terpisah, sehingga
untuk menyebut salah satu bentuk surat dimungkinkan jika terdakwa yang satu dapat
dakwaan. Dakwaan subsidair ini dipergunakan menjadi saksi bagi terdakwa lainnya, demikian
apabila suatu akibat yang ditimbulkan oleh suatu juga sebaliknya.
tindak pidana bersentuhan atau menyinggung
beberapa ketentuan pidana. Dengan demikian IV. PENUTUP
dapat menimbulkan keraguan pada penuntut Kesimpulan dan Saran
umum, baik mengenai kualifikasi tindak Wacana dalam putusan perkara pidana
pidananya maupun mengenai jenis pasal yang dapat dipahami sebagai relasi antara teks dan
dilanggar. Oleh karena itu, penuntut umum konteks pemakaian bahasa, hal ini berarti

172 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


bahwa analisis wacana adalah studi mengenai lembaga kehakiman sebagai penerbit putusan.
teks beserta segala sesuatu yang menyertainya. Sebagai sebuah dokumen resmi institusi
Pada bagian ini teks hadir dikarenakan konteks, negara surat putusan perkara pidana sebaiknya
atau dapat juga sebaliknya konteks dapat dibuat lebih ringkas dan sederhana, tentunya
diidentifikasi berdasarkan adanya teks. dengan tidak mengurangi esensi putusan. Hal
Mengidentifikasi konteks dapat dilakukan ini menjadi penting untuk dipertimbangkan
dengan memahami teks secara komperehensif, karena pada akhirnya dokumen hukum seperti
seperti isi, bentuk, tujuan, dan partisipan. Di putusan perkara pidana tidak hanya akan
samping itu juga dapat mempertimbangkan menjadi milik lembaga peradilan, akan tetapi
tempat dimana teks tersebut dibuat, seperti juga dapat menjadi milik publik yang ingin
halnya putusan perkara pidana yang diterbitkan mengaksesnya untuk berbagai kebutuhan,
oleh lembaga kehakiman. misalnya menjadi materi penelitian.
Isi teks putusan perkara pidana dibangun Pokok-pokok dalam putusan perkara
dari jalinan kerangka pikir yang terorganisir, pidana juga sebaiknya ditegaskan dengan
semua hal terjabarkan detil dan lengkap. Dalam huruf kapital agar dapat membantu pembaca
hal ini isu yang dibahas tidak hanya menyasar dalam mengidentifikasi maksud dari uraiannya.
substansi teks secara umum, akan tetapi juga Dapat pula, di tulis dengan karakter huruf yang
komposisi kalimat-kalimatnya terstruktur berbeda untuk memberikan penekanan pada
dengan baik, sehingga secara umum teks penjelasan isi materi putusan.
putusan perkara pidana tertata sistematis dan Di samping itu sebaiknya surat putusan
runtut. perkara pidana menghindari penguraian
Keruntutan kalimat-kalimat dalam teks beberapa gagasan pada satu pokok pikiran dalam
ditunjukkan melalui hubungan formalitas satu paragraf yang sangat panjang. Dengan cara
antara gagasan yang satu dengan gagasan lainnya membaginya menjadi beberapa pokok pikiran
dalam satu alur pikir yang berkesinambungan, dalam beberapa paragraf. Ini penting untuk
sehingga pada hasil akhir membentuk suatu menghindari kesalahan di dalam menafsirkan
konsep kodifikasi amar putusan. Hal ini juga tujuan yang ingin dibangun sehingga tingkat
yang menjadi ciri utama dari dokumen hukum keterpahaman pembaca dapat lebih maksimal.
pada negara-negara penganut sistem hukum Istilah-istilah hukum yang digunakan juga
civil-law, dimana bentuk amar putusan harus sebaiknya berasal dari bahasa Indonesia yang
dapat mendeskripsikan peristiwa hukum dalam baku atau jika istilah-istilah tersebut belum
sebuah konsep pikir yang padu dan terstruktur. ditemukan padanannya di dalam bahasa
Konsep pikir yang padu dan terstruktur Indonesia, dapat disertakan artinya dalam
ini dilakukan, agar selain dapat berfungsi bahasa Indonesia. Ini bukan hanya karena
menguraikan konsep putusan secara padu. istilah-istilah hukum yang di adopsi tersebut
Juga membuat sekelompok variabel dalam sulit dipahami oleh masyarakat awam, tetapi
putusan diperlakukan sebagai satu unit yang lebih dari itu bahwa hukum Indonesia harus
terpadu dibanding dengan menganggapnya menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.
sebagai entitas yang terpisah-pisah. Dalam
hal ini substansi putusan perkara pidana tidak
dapat diuraikan per-bagian, karena materi
putusan merupakan gabungan dari uraian
tahapan-tahapan peradilan, selama proses
penyidikan dan penyelidikan perkara pidana
berlangsung. Dengan demikian, menguraikan
materi putusan secara parsial, dianggap dapat
memutus alur pikir yang ingin dibangun oleh

USMAN PAKAYA: Bahasa Hukum dalam Putusan Perkara Pidana 173


DAFTAR PUSTAKA Spieker, Manfred. “The Language of The
Culture of Death in Europe”. National
Catholic Bioethics Quarterly. Vol 14. No 4.
Desember 2014. hal. 647-657
Jurnal Wolcher, Louis. “Legal Language Works”.
Churchill., Gregory., Wignyosoebroto., Harvard Unbound. Vol.2.No.1. Juni 2006.
Soetandyo., Putra., Anom Surya., Mutansyir hal 91-125
Rizal., Shidarta Arif., Hidayana Irma dan
Kurniawan. “Bahasa dan Hukum”. Jurnal
Hukum Jentera . Vol 01. No. 01.Agsutus Buku
20066. hal 54 Amos, Abraham. Legal Opinion. Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 2007.
Hartig, Alissa. “Conceptual Blending in Legal
Writing: Linking Definitions to Facts”. Austin, J.L. How to Do Things With Words. 7
th

English for Specific Purposes. Vol 42. No.2. printing. New York: Oxford University
April 2016. hal 66-75. press. 2008.

Ignatescu, Camelia. “Considerations Regarding Beaugrande, Robert., Alain de. Introduction to


The Interpretation of Legal Norm”. Text Linguistics. London: Longman. 2008.
USV Annals of Economics & Public Brown, G., Yule, G. Discourse Analysis. 4th
Administration. Vol 13. No 2. 2013. hal printing. Cambridge: University Press.
245-248. 2010.
Kaishi, Marina. “The Impact of Law and Chambers, J.K., Trudgill, Peter., Estes, S
Language as Interactive Patterns”. Academic Natalie. The Handbook Variation and
Journal of Bussiness, Administration, Law and Change. Blackwell: Blackwell Publishing.
Social Sciences. Vol.2.No.2. Juli 2016. hal 2011.
134-138
Charty, Michael Mc. Discourse Analysis for
Marmor, Andrei. 2008. “The Pragmatics of Language Teachers. Cambridge: Cambridge
Legal Language”. Ratio Juris. Vol 21. No 4. University Press. 2007.
Desember 2008. hal 423-452
Coupland, Nikolas. Style: Language Variation and
Petroski, Karen. “Legal Fictions and The Limits Identity. Cambridge: Cambridge University
of Legal language”. International Journal Press. 2007.
of Law in Context. Vol 9. No 4. Desember
Dardjowidjojo. Tata Bahasa Baku Bahasa
2013. hal. 485-505.
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2006.
Peruginelli, Ginevra. “Concepts Mapping in
Fasold, Ralph. The Sociolinguistics of Society. 6th
The Legal Domain: Some Reflections”.
printing. New York: Basil Blackwell. 2010.
Legal Information Management. Vol 11.
No.4. Desember 2011. hal 268-272 Fishman, A Yoshua. Sociology of language. 9th
printing. Massachusetts: Newburg House
Radulescu, Adina. “Dealing With
Publisher Inc. 2007.
Terminological Incongruency in Legal
Language”. Contemporary Reading in Law & Friedrich, Carl Joachim. Filsafat Hukum
Social Justice. Vol 4 No 1. 2012. hal 59-602 (Perspektif Historis). Bandung: Nusa Media.
2010.
Said, Ichwan. “Kajian Semantik Terhadap
Produk Hukum Tertulis di Indonesia”. Hadikusuma, Hilman. Bahasa Hukum Indonesia.
Jurnal Mimbar Hukum. Vol 2 No 2. Agustus Bandung: Penerbit ALUMNI. 2006.
2012. hal 25

174 NEGARA HUKUM: Vol. 8, No. 1, Juni 2017


Halliday, M.A.K. Bahasa, Teks, dan Konteks Soewito. Sosiolinguistik: Pengantar Awal.
(Terjemahan Asrudin Baroti). Edisi 5. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.
Yogyakarta: Gamma University Press. 2010. 2007.
Holmes, Janet. An Introduction to Sociolinguistics. Tarigan, H.G. Pengajaran Wacana. Bandung:
11th printing. London: Longman. 2008. Angkasa. 1987.
Hymes, Dell. Foundation in Sociolinguistics: Wardaugh, Ronald. The Context of Language. 6th
An Ethnographic Approach. 5th printing. printing. Massachusetts: Newburg House
Philadelpia: University of Pensylvania Publisher Inc. 2007.
Press. 2008. Wijana, I Dewa Putu. Dasar-Dasar Pragamatik.
Jorgensen, Marianne W. Analisa Wacana: Teori Yogyakarta: Andi Offset. 1996.
dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2007. Makalah
Muhadjir. Metode Penelitian Kualitatif. Harkrisnowo, Harkristuti. Bahasa Indonesia
Gramedia: Jakarta. 2010. Sebagai Sarana Pengembangan Hukum
Nasution, Johan Bahder dan Warjiyati Sri. Nasional (makalah). Universitas Indonesia.
Bahasa Indonesia Hukum. Bandung: Citra (Kongres Bahasa Indonesia, Jakarta 14-17
Aditya Bakti. 2009. Oktober 2003), Tidak diterbitkan, 2003.

Putra, Bahasa Hukum dan Permasalahannya.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010. Sumber Lain
Putusan Perkara Pidana Agus Djama. 2011.
Rani, Abdul, Arifin, dan Martutik. Analisa Pengadilan Negeri Gorontalo.
Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam
Pemakaian. Malang: Banyumedia Putusan perkara pidana Cardas Humu. 2010.
Publishing. 2006. Pengadilan Negeri Pohuwato

Santoso, Gunawan Budi. “Kohesi dan Koherensi Putusan Perkara pidana Edgar Kapahang. 2009.
Dalam Wacana Komik Bahasa Indonesia”, Pengadilan Negeri Limboto
(Tesis) UGM. Tidak Diterbitkan. 2007. Putusan Perkara Pidana Roni Akmal.2009.
Searle, J. R. Speech Act: An Essay in The Pengadilan Negeri Pohuwato
Philosophy of Language. Cambridge. 8th
printing. Cambridge University Press. 2010.

USMAN PAKAYA: Bahasa Hukum dalam Putusan Perkara Pidana 175


PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL
JURNAL NEGARA HUKUM

1. Naskah yang dimuat dalam Jurnal Negara Hukum adalah tulisan yang berkaitan dengan ilmu
hukum.
2. Naskah dapat berupa hasil penelitian, pengembangan/pemikiran yang merupakan hasil karya
sendiri (tidak plagiat) dan belum pernah dipublikasikan.
3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan memperhatikan kaidah
bahasa yang baik dan benar.
4. Naskah diketik menggunakan program Microsoft Word di atas kertas ukuran A4 dengan jarak
spasi rapat (1.15 spasi); jumlah halaman 25-30; huruf Cambria dengan ukuran font 12; margin
kiri, kanan, atas, dan bawah 3.5 cm.
5. Judul naskah ditulis dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan huruf kapital dan
diletakkan di tengah. Judul harus mencerminkan inti dari isi tulisan, spesifik, dan efektif.
6. Nama penulis (tanpa gelar akademik), nama dan alamat instansi/lembaga, serta e-mail penulis,
dicantumkan di bawah judul.
7. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (200-250 kata), yang menggambarkan
esensi isi keseluruhan tulisan secara ringkas dan jelas. Abstrak diketik dengan jarak sapasi
rapat (1 spasi); huruf Cambria dengan ukuran font 11.
8. Kata kunci ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, 3-5 kata.
9. Sistematika tulisan hasil pengembangan/pemikiran meliputi:
JUDUL
ABSTRAK
KATA KUNCI
I. PENDAHULUAN
memuat latar belakang permasalahan, permasalahan yang hendak dikaji, kebaruan, dan
tujuan penulisan.
II. Pembahasan atas permasalahan dengan dasar acuan pada teori atau kerangka pemikiran.
III. PENUTUP
berisi kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA
10. Sistematika tulisan hasil penelitian meliputi:
JUDUL
ABSTRAK
KATA KUNCI
I. PENDAHULUAN
memuat latar belakang permasalahan, permasalahan yang hendak dikaji, kebaruan, dan
tujuan penulisan.
II. METODE PENELITIAN
III. Pembahasan atas permasalahan berdasarkan hasil penelitian dan dianalisis dengan
mengacu pada teori atau kerangka pemikiran.
IV. PENUTUP
berisi kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA
11. Penyajian instrumen pendukung berupa gambar, foto, grafik, bagan, tabel, dan sebagainya
harus bersifat informatif dan komplementer mendukung deskripsi narasi tulisan. Penomoran
instrumen pendukung tersebut berurutan dengan angka, dimana kata grafik ditulis cetak
tebal (bold); judul tabel, gambar, dan grafik tidak ditulis cetak tebal dan diletakkan di tengah
halaman (center text), serta disebutkan sumbernya. Untuk penyajian tabel tanpa garis vertikal.
12. Kata asing/istilah asing/istilah daerah yang belum diadopsi menjadi bahasa Indonesia diketik
dengan diberi huruf miring (italic).
13. Tiap naskah wajib menggunakan minimal 15 referensi dalam bentuk jurnal dan buku baik
cetak maupun online, dengan ketentuan menggunakan pustaka terbitan 10 tahun terakhir,
dan minimal 50% referensi dalam bentuk jurnal.
14. Tulisan dikirim dalam bentuk soft copy ke Redaksi Jurnal Negara Hukum melalui email:
negarahukum_p3di@yahoo.com.
15. Naskah diterima oleh Redaksi Jurnal Negara Hukum selambat-lambatnya awal Maret untuk
terbitan bulan Juni dan awal Agustus untuk terbitan bulan November.
16. Penulisan sumber kutipan atau rujukan menggunakan sistem catatan kaki (footnote) dengan
urutan: nama pengarang/editor (tanpa gelar akademik), judul karangan (ditulis dengan huruf
miring (italic), kota penerbit: nama penerbit, tahun penerbitan, dan nomor halaman (hal.)
yang dirujuk atau dikutip. Penulisan sumber kutipan dengan menggunakan huruf Cambria
dengan ukuran font 10.
Contoh:
Buku
Nama pengarang (tidak dibalik dan tanpa gelar), judul buku (dicetak miring), tempat/
kota penerbitan: penerbit, tahun penerbitan, halaman kutipan (ditulis hal.)
Contoh:
1
FX. Adji Samekto, Studi Hukum Kritis: Kritik terhadap Hukum Modern, Bandung: PT.Citra
Aditya Bakti, 2005, hal. 35.

Jurnal
Nama penulis (tidak dibalik dan tanpa gelar), judul artikel (dalam tanda kutip dan tidak
dicetak miring), nama jurnal (dicetak miring), volume (ditulis Vol.), nomor (ditulis No.),
bulan dan tahun terbit, halaman kutipan (ditulis hal.)
Contoh:
2
Puteri Hikmawati, “Pidana Pengawasan Sebagai Pengganti Pidana Bersyarat Menuju
Keadilan Restoratif”, Negara Hukum, Vol. 7, No. 1, Juni 2016, hal. 71-88.

Pidato/ Makalah
Nama penulis (tidak dibalik dan tanpa gelar), judul artikel (dalam tanda kutip dan
tidak dicetak miring), pidato/makalah (cetak miring), tema pidato/makalah, tempat
penyampaian pidato/ makalah, tanggal penyampaian pidato/ makalah.
Contoh:
3
Erman Rajagukguk, “Peranan Hukum di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan
Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, Pidato, Dies Natalis dan Peringatan
Tahun Emas Universitas Indonesia (1950-2000), Kampus UI-Depok, 5 Pebruari 2000.
Pustaka dari Majalah/Koran
Nama penulis (tidak dibalik dan tanpa gelar), judul artikel (dalam tanda kutip dan tidak
dicetak miring), nama majalah/koran (cetak miring), tanggal terbit.
Contoh:
4
“Negara Ikut Lemahkan KPK”. Media Indonesia, 9 November 2010.

Pustaka dalam Jaringan


Nama pengarang (tidak dibalik dan tanpa gelar), tanggal terbit, judul pustaka acuan
(ditulis dalam tanda kutip dan dicetak miring), alamat jaringan, tanggal pustaka acuan
diakses.
Contoh:
5
Jessi Carina, 23 Desember 2014, “Kapolri: Rakyat Kita Itu Baru Mau Tertib Kalau Ada
Polisi”, http://megapolitan.kompas.com/read/2014/12/23/14435071/Kapolri.Rakyat.Kita.
Itu.Baru.Mau.Tertib.kalau.Ada.Polisi, diakses tanggal 1 Agustus 2015.
17. Diperbolehkan menggunakan kutipan langsung dengan ketentuan paling banyak 5 (lima) baris
yang ditulis menjorok 5 (lima) ketukan dengan font 10 dan paling banyak 5 (lima) kutipan
langsung dalam tubuh tulisan.
18. Kutipan yang bukan dari sumber aslinya diperbolehkan 1 (satu) kali penyebutan dan ditulis
sebagai footnote serta paling banyak terdapat 5 (lima) sumber kutipan tidak langsung dalam
tubuh tulisan.
19. Contoh: Ryaas Rasyid, “Pemerintahan yang Amanah”, hal. 38, dikutip tidak langsung
oleh Muhadam Labolo, Memahami Ilmu Pemerintahan, Suatu Kajian, Teori, Konsep dan
Pengembangannya, Jakarta: Rajawali Press, 2006, hal. 22.
20. Daftar pustaka ditulis dengan sistematika yang sama dengan footnote, kecuali nama penulis
dilakukan dengan membalik nama belakang penulis ke nama depan penulis (dalam hal
penulis lebih dari satu, hanya nama penulis pertama saja yang dibalik); tanda baca koma
diganti dengan tanda baca titik; tidak dicantumkan halaman kutipan; dan ditulis sesuai urut
abjad.
21. Redaktur berwenang untuk mengubah tulisan pada naskah tanpa mempengaruhi materi/isi
pembahasan pada pokoknya.

Anda mungkin juga menyukai