Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH HUKUM KEUANGAN NEGARA

KEDAULATAN RAKYAT DALAM PENYUSUNAN DAN PENETAPAN


UNDANG-UNDANG APBN
“FUNGSI ASPIRASI RAKYAT TERHADAP DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM
MENYUSUN DAN MENETAPKAN APBN DITINJAU DARI KEBUTUHAN
MASYARAKAT”

DISUSUN OLEH :
PERDIANUS DARUSMAN
A1011201241

DOSEN PENGAMPU :
ENDAH MINTARSIH, S.H.,M.Hum

KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN


RISET DAN TEKNOLOGI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah dan
pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah hukum keuangan negara
yang bertemakan “kedaulatan rakyat dalam penyusunan dan penetapan undang-undang
APBN” dan penulis mengangkat judul makalah terkait tema yaitu “fungsi aspirasi rakyat
terhadap dewan perwakilan rakyat dalam menyusun dan menetapkan APBN ditinjau dari
kebutuhan masyarakatnya”. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada para pihak
dan dosen akademisi yang telah memberikan materi tentang hukum keuangan negara ini
sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh rangkaian dan tahapan dalam penulisan makalah
ini.

Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan data yang relevan dan mungkin masih banyak hal yang belum atau tidak bisa
dipahami oleh pembaca, oleh karna itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan
supaya penulis mendapakan ide yang komparatif dan relevan agar dalam melakukan penulisan
berbagai makalah dan karya-karya tulis lain kedepannya bisa lebih baik.

Akhir kata penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan manfaat
bagi para pembaca, terima kasih.

Pontianak, 14 April 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................................................... ii
BAB I ........................................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang......................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................... 2
1.2.1 Apakah Aspirasi dari Masyarakat di Terima dan Ikut di Sampaikan dalam Rapat
Penyusunan dan Penetapan APBN? ................................................................................................... 2
1.2.2 Bagaimana Pemilahan Aspirasi dari masyarakat dari Sekian Banyaknya Aspirasi yang
Masuk? 2
1.2.3 Apakah Pengunaan Dana APBN dalam Rapat Penyusunan dan Penetapan APBN
Transparan Sesuai Kebutuhan Masyarakat yang Memiliki Kedaulatan? ............................................ 2
1.3 Tinjauan Pustaka ..................................................................................................................... 3
1.3.1 Teori Negara Hukum/Kedaulatan Rakyat; .......................................................................... 3
1.3.2 Penyerapan Aspirasi Masyarakat ........................................................................................ 3
BAB II ....................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ......................................................................................................................................... 5
2.2 Pemilahan Aspirasi dari masyarakat dari Sekian Bnayaknya Aspirasi yang Masuk ...................... 6
BAB III .................................................................................................................................................... 11
PENUTUP ............................................................................................................................................... 11
1. Kesimpulan................................................................................................................................ 11
2. saran.......................................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Aspirasi masyarakat adalah harapan dan tujuan dari masyarakat untuk keberhasilan
pada masa yang akan datang berkaitan dengan hajat hidup mereka, baik secara individu
maupun secara kelompok. Masyarakat harus dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
menyusun rencana dan kebijakan oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan bukan hanya
merupakan hasil dari interaksi pemerintah daerah dan DPRD. Dan juga diperlukan
penguatan peran kelompok kepentingan dan pers di daerah untuk mendorong DPRD lebih
aspiratif. Pasal 53 UU 10/2004 menjamin hak masyarakat dalam memberikan masukan
penyusunan kebijakan tanpa memerinci implikasinya bagi pemerintah, karena penjelasan
UU ini menyatakan bahwa teknis penjaminan hak masyarakat ini diatur dalam Tata Tertib
DPRD. Kendati ini membantu transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam
implementasi kebijakan nantinya, ia tidak memadai untuk memastikan lahirnya kebijakan
yang aspiratif.
Apabila para politisi benar-benar memiliki niat mulia dan tulus memperjuangkan
aspirasi dan kepentingan rakyat maka cara yang paling tepat adalah merumuskan kebijakan
politik, ekonomi, dan hukum yang benar-benar berpihak pada rakyat kita. Persoalannya
adalah bahwa selama ini para wakil rakyat di DPR belum pernah benar-benar berjuang
merumuskan kebijakan yang berpihak pada rakyat. APBN merupakan wujud dari
pengelolaan keuangan negara sebagai konsekuensi penyelenggaraan pemerintahan yang
menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Dalam
menentukan RUU APBN, pemerintah pada dasarnya menyelenggarakan kepentingan
umum dengan menentukan pos pendapatan dan belanja berdasarkan analisis situasi yang
dihadapi untuk kemudian diuji legitimasinya oleh DPR. Namun kekuasaan pemerintah ini
dibatasi oleh persetujuan DPR yang menjadi karakteristik dalam UU APBN. Pilihan
diterima atau ditolak oleh DPR adalah kewajiban yuridis yang tidak dapat diabaikan dalam
sistem politik yang demokratis.
DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang menjalankan fungsinya dengan
membentuk alat kelengkapan kelembagaan di dalam tubuhnya yang berbentuk
komisikomisi yang secara spesifik membidangi secara khusus setiap tema dari undang-
undang yang akan dirancang dan disahkan. DPR juga membentuk Badan Anggaran

1
(Banggar) yang secara khusus terlibat langsung dalam penyusunan rancangan undang-
undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) setiap tahun anggarannya beserta
perubahannya. Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 jo. Undang-undang Nomor
17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menjelaskan pada
pokoknya tugas dan fungsi banggar yaitu membahas rancangan APBN dalam bentuk RUU
yang diusulkan oleh Presiden untuk kemudian disahkan menjadi undang-undang. Namun
dalam kenyataan yang terjadi ditemukan berbagai kasus pelanggaran terkait dengan
anggaran negara dan tindak pidana korupsi oleh anggota badan anggaran yang berhubungan
dengan kewenangan banggar itu sendiri. Sejumlah anggota banggar DPR seperti
Muhammad Nazaruddin, Wa Ode Nurhayati, Zulkarnaen Djabar dan Angelina Sondakh
menunjukkan adanya kecenderungan anggota banggar DPR melakukan penyalahgunaan
oknum dalam banggar DPR untuk memainkan atau mengkondisikan anggaran negara
dalam APBN dan APBN-P untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Hal ini
disebabkan adanya kewenangan banggar yang sangat besar.
DPR juga memiliki peran untuk mengajukan usul perubahan pada sisi pendapatan dan
belanja atas RAPBN yang diajukan pemerintah. Kedua peraturan perundangan tersebut
merupakan payung hukum bagi DPR dalam menjalankan fungsi anggaran. Fungsi anggaran
DPR juga sebagai alat ukur yang menunjukkan keberpihakan DPR terhadap rakyat dalam
perwujudan APBN yang disusun. Sebenarnya DPR memiliki kewenangan yang kuat dalam
penyusunan APBN namun masyarakat masih menilai bahwa fungsi anggaran DPR belum
pro rakyat. Kalangan masyarakat mempertanyakan anggaran bagi anggota DPR berupa
dana rumah aspirasi, studi banding ke luar negeri, kunjungan ke daerah dan mobil dinas
DPR.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah Aspirasi dari Masyarakat di Terima dan Ikut di Sampaikan dalam Rapat
Penyusunan dan Penetapan APBN?
1.2.2 Bagaimana Pemilahan Aspirasi dari masyarakat dari Sekian Bnayaknya Aspirasi yang
Masuk?
1.2.3 Apakah Pengunaan Dana APBN dalam Rapat Penyusunan dan Penetapan APBN
Transparan Sesuai Kebutuhan Masyarakat yang Memiliki Kedaulatan?

2
1.3 Tinjauan Pustaka
1.3.1 Teori Negara Hukum/Kedaulatan Rakyat;

Sejatinya, Kedaulatan (sovereignity) adalah kekuasaan yang tertinggi, absolut,


dan tidak ada instansi lain yang dapat menyamakannya atau mengontrolnya, yang dapat
mengatur warga negara dan mengatur juga apa yang menjadi tujuan dari suatu negara,
dan mengatur berbagai aspek pemerintahan, dan melakukan berbagai tindakan dalam
suatu negara, termasuk tetapi tidak terbatas pada kekuasan membuat undang-
undang,menerapkan dan menegakkan hukum, menghukum orang, memungut pajak,
menciptakan perdamaian dan menyatakan perang, menandatangani dan
memberlakukan traktat, dan sebagainya. Dalam konsep kedaulatan terkandung prinsip
kewenangan (power) yaitu suatu kebebasan (liberty), kekuasaan (authority), atau
kemampuan (ability) yang dimiliki oleh seseorang atau suatu badan untuk melakukan
suatu tindakan hukum, yang dapat menghasilkan suatu efek, kekuatan, paksaan,
dominasi dan kontrol atas orang lain. Sesuai dengan pendapat HLA Hart tentang teori
kedaulatan (the doctrine of sovereignity), segala bentuk pemerintahan yang demokratis,
totaliter, autokrasi, kerajaan, semuanya tidak mungkin berlangsung dalam suatu negara
tanpa adanya unsur kedaulatan, karena itu ada yang namanya pemangku kedaulatan.
Dalam suatu negara demokrasi kedaulatan dipangku/dipegang oleh rakyat.
Pendapat serupa dikemukakan oleh John Locke yang menyatakan bahwa
meskipun Pemerintah diberi kepercayaan secara terbatas sebagai pemegang
pemerintahan namun sumber kewenangan dan pemegang kewenangan tetaplah
masyarakat. Oleh karena itu, kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada
pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya.

1.3.2 Penyerapan Aspirasi Masyarakat


Proses Penyerapan aspirasi masyarakat ada dua yaitu penyerapan aspirasi
masyarakat oleh pemerintahan dan penyerapan aspirasi masyarakat oleh DPRD.
Penyerapan aspirasi masyarakat oleh pemerinatah melalui proses perencanaan
pembangunan dan penyerapan aspirasi masyarakat oleh DPRD ada dua tahap yaitu
secara langsung dan tidak langsung.
Aspirasi adalah harapan dan tujuan keberhasilan pada masa yang akan datang,
beraspirasibercita-cita, berkeinginan, berhasrat serta keinginan yang kuat untuk
mencapai sesuatu, seperti keberhasilan dalam tujuan keinginan tersebut. Aspirasi dalam

3
bahasa inggris ‘aspiration’ berarti cita-cita. Aspiration menurut katadasarnya, aspire
bearti cita-cita atau juga berkeinginan Echols.
Sedangkan menurut Poerwadarminta (1976) aspirasi adalah gairah (keinginan
atau harapan yang keras). Menurut kamus umum Bahasa Indonesia, yang disebut cita-
cita adalah keinginan,harapan,tujuan yang selalu ada dalam pikiran. Disadari atau tidak
semua orang tentu mempunyai rencana hidup. Sehubungan dengan rencana hidup,
Hurlock menyatakan Setiap orang mempunyai rencana hidup yang ingin dicapai
sebagai hasil hubungan fisik dan sosial dengan lingkungannya. Rencana hidup
inisedikit banyak ikut menentukan kegiatan yang dilakukan sekarang.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Aspirasi dari Masyarakat di Terima dan Ikut di Sampaikan dalam Rapat Penyusunan dan
Penetapan APBN.

Aspirasi adalah keinginan yang sangat kuat yang ditandai dengan usaha meraih sesuatu
hal yang dipandang lebih tinggi dan lebih bernilai dari sekarang, dalam pengertian yang lain
Aspirasi adalah harapan perubahan yang lebih baik dengan tujuan untuk meraih keberhasilan
dimasa depan. Aspirasi masyarakat adalah harapan dan tujuan dari masyarakat untuk
keberhasilan pada masa yang akan datang berkaitan dengan hajat hidup mereka, baik secara
individu maupun secara kelompok.

Penerapan atau tindak lanjut aspirasi merupakan usaha selanjutnya oleh Dewan dalam
merespon aspirasi-aspirasi yang telah diterimanya. Dalam penyampaian aspirasi masyarakat
ini, Dewan bersifat sebagai komunikator, problem solver, dan mediator. Sebagai komunikator,
yaitu Dewan menerima aspirasi masyarakat dengan melakukan komunikasi dua arah dan timbal
balik. Dalam hal ini, Dewan berperan sebagai komunikator. Dewan sebagai problem solver,
artinya bahwa dalam menanggapi aspirasiaspirasi yang ada diharapkan Dewan dapat
memberikan jalan keluar atau penyelesaian atas masalah-masalah yang dihadapi secara
proaktif, inovatif dan solutif. Hasil-hasil reses yang dilakukan oleh DPRD akan menjadi bahan
bagi para Anggota DPRD untuk ditindaklanjuti dalam menyusun kebijakan pembangunan
daerah, dalam hal ini dalam forum Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) mulai
dari tingkat kelurahan, kecamatan, sampai tingkat Kabupaten Kepulauan Meranti. Dengan
adanya tindak lanjut aspirasi yang diakomodir dalam Musrenbang yang kemudian menjadi
Rencana Kerja Pembangunan Daerah dan pada akhirnya ter-anggarkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, maka salah satu kewajiban Anggota DPRD dalam
memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat, searah dengan pelaksanaan otonomi
daerah yaitu dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.

atau tindak lanjut dari aspirasi masyarakat yang diperoleh dari hasil penyampaian
aspirasi masyarakat merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam proses pembuatan
kebijakan publik. Tanpa penerapan atau tindak lanjut, informasi yang diperoleh dari hasil

5
penyerapan aspirasi dari masyarakat akan tidak ada gunanya, atau boleh dikatakan penyerapan
aspirasi yang dilakukan hanya sebatas formalitas belaka. Aspirasi dari masyarakat kepada
Dewan harus dapat dikelola dengan baik sesuai dengan mekanisme yang ada.

Masyarakat yang akan menyampaikan aspirasi kepada Dewan selalu ingin dapat
bertemu dan mendapat tanggapan secara langsung dari Dewan, namun terkadang mereka tidak
memperhatikan prosedur dan birokrasi yang berlaku. Agar aspirasi masyarakat ini tepat pada
sasaran dan bidangnya maka harus ditangani secara efektif. Ketika aspirasi masyarakat
disampaikan kepada dewan, masyarakat menginginkan aspirasi tersebut bisa langsung
ditampung, ditanggapi, dan segera ditindaklanjuti sesuai dengan permasalahan yang ada,
namun keinginan masyarakat tersebut tidak selamanya dapat terpenuhi atau dengan kata lain
tanggapan dari dewan dinilai tidak memuaskan dan tidak memenuhi aspirasi.

2.2 Pemilahan Aspirasi dari masyarakat dari Sekian Bnayaknya Aspirasi yang Masuk

Pemerintah perlu menjaga keterkaitan antara apa yang dianggap penting oleh
pemerintah dengan apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Pengelolaan aspirasi dan pengaduan
masyarakat adalahaspirasi yang disampaikan secara langsung maupun tidak langsungyang
dibatasi pengelolaan aspirasi dan pengaduan masyarakat secara kelembagaan DPR RI dan
secretariat. Pengelolaan aspirasi dan pengaduan masyrakat dilakukan dengan memperhatikan
prinsip berikut :

1. objektivitas, yaitu pengelolaan aspirasi dan pengaduan masyarakat, baik yang


disampaikan langsung maupunb tidak langsung, ditangani dengan memeprhatikan
identitas, data, fakta dan bukti-bukti yang benar dan akurat yang disampaikan oleh
pelpaor. Sementara itu, pengelolaan aspirasi dan pengaduan masyarakat yang
melalui surat, juga dianalisis dengan berpedoman kepada peraturan yang berlaku.
2. Koordinasi, yaitu pengelolaan aspirasi da pengaduan masyarakat dilaksanakan
dengan bekerja sama atau melibatkan unit-unit kerja terkait sesuai dengan tugas,
tanggung jawab, dan wewenang masing-masing.
3. Efektivitas dan efisiensi, yaitu pengelolaan aspirasi dan pengaduan masyarakat
secara langsung atau tidak langsung dlaksanakan dengan cepat, tepat seusai dengan
rencana (tepat sasaran) dan mencapai target penyelesaian yang diharapkan serta
hemat tenaga, waktu dan biaya.

6
4. Akuntabilitas, yaitu proses yang tindak lanjutnya dapat dipertanggungjawabkan,
baik oleh DPR sebagai Lembaga perwakilan maupun secretariat jenderal sebagai
supporting system kepada DPR RI.
5. Tranparansi, yaitu dilakukan beradsarkan prosedur yang jelas dan baku, serta segala
informasi mengenai data penanganan pengaduan dan penyelesaian yang bersifat
umum dapat ditindaklanjuti oleh masyarakat melalui media elektronik.
6. Azas keadilan, dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip keadilan dan
berimbang dengan memperhatikan laporan , baik yang disampaikan oleh pelapor
maupun terhadap terlapor.
7. Rahasia, yaitu dengan memperhatikan kerahasiaan atas asalah yang disampaikan
oleh pelapor dan khusu untuk pengaduan secara tertulis, maka perlu menjaga
dokumen yang disampaikan oleh para pihak yang tidak memiliki kepentingan.

2.3 Pengunaan Dana APBN dalam Rapat Penyusunan dan Penetapan APBN Transparan Sesuai
Kebutuhan Masyarakat yang Memiliki Kedaulatan

Penyelenggaraan negara sangat bertumpu pada pengelolaan keuangan negara yang


terstruktur melalui sistem perencanaan dan penganggaran. Dalam konteks Indonesia,
perencanaan dan penganggaran keuangan negara dilaksanakan oleh pihak eksekutif, yakni
Pemerintah Republik Indonesia, yang dituangkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) sesuai amanat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, bahwa: Anggaran pendapatan dan
belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan di atas mengandung tiga unsur utama yang harus
diperhatikan dalam penyusunan APBN, yakni:

1. Dilaksanakan secara terbuka dan akuntabel, artinya proses perencanaan dan


penganggaran harus membuka akses kepada seluruh pihak dan masyarakat untuk
memungkinkan penyerapan aspirasi masyarakat seluas-luasnya serta menutup celah
korupsi dan penyalahgunaan keuangan negara;
2. Ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, artinya penyusunan APBN
tidak boleh dimaknai sebagai sarana untuk menampung seluruh program/kegiatan K/L
yang hanya bersifat rutin dan operasional, melainkan harus sungguh-sungguh

7
disesuaikan antara program/ kegiatan fungsional K/L dengan kebutuhan masyarakat;
dan
3. Penetapan APBN melalui undang-undang, merupakan jaminan legalitas APBN sebagai
produk eksekutif atas keuangan negara yang perlu mendapat persetujuan oleh pemilik
uang negara yakni, seluruh masyarakat Indonesia sebagai pembayar pajak, yang
diwakili oleh DPR sebagai perwakilan rakyat.

Ketiga poin di atas mencerminkan bahwa APBN bukan hanya sekedar kumpulan mata
anggaran, melainkan juga merupakan sebuah kebijakan. Sebagai instrumen kebijakan, APBN
bersifat multi-fungsi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai arah dan tujuan masyarakat
(Soeriaatmadja et.al., 2010: 4). Hal yang sama dinyatakan dalam Penjelasan Umum poin 6
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, bahwa: Anggaran adalah
alat akuntabilitas, manajemen, kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi
anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta
pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dengan demikian, APBN
memiliki peran yang sangat vital sebagai kebijakan anggaran yang menentukan berjalannya
program-program dan kegiatan-kegiatan di Kementerian/Lembaga mulai dari pemenuhan hak
dasar, pelayanan publik yang baik dan berkualitas, pembangunan infrastruktur yang memadai,
kepastian dan penegakan hukum, dan berbagai program/ kegiatan yang bertujuan untuk
menyejahterakan masyarakat. Dikarenakan fungsi APBN yang sangat vital karena menyangkut
kemaslahatan rakyat Indonesia, maka penyusunannya tidak hanya dilaksanakan oleh lembaga
eksekutif, namun dibutuhkan pula peran lembaga legislatif untuk melakukan persetujuan atas
rancangan anggaran yang disusun oleh pemerintah. Logika ini sesuai dengan berbagai praktik
di setiap negara demokrasi yang berfungsi dengan baik, di mana pemeriksaan seksama atas
rancangan anggaran oleh parlemen merupakan hal esensial dalam persetujuan anggaran.

Dalam siklus perencanaan dan penganggaran di Indonesia, DPR memiliki peran pada tahap
akhir, yakni menyetujui rancangan anggaran (R-APBN) yang diajukan dan mengesahkannya
menjadi undang-undang (APBN). Secara rinci, sebelum diajukan ke DPR, R-APBN telah
disusun sedemikian rupa melalui proses perencanaan dan penganggaran di lingkup pemerintah
dengan melibatkan seluruh unit eksekutif yang terdiri atas puluhan Kementerian/Lembaga
(selanjutnya disingkat K/L), yang terbagi lagi ke dalam belasan ribu satuan kerja. Kompleksitas
proses perencanaan dan penganggaran ini merupakan mekanisme yang terdiri atas beberapa
tahapan dan pihak-pihak yang bertanggung jawab di dalamnya yakni

8
1. pembuatan perencanaan dan penganggaran berbasis kebijakan oleh Bappenas,
Departemen Keuangan dan departemen teknis;
2. penyusunan pagu anggaran indikatif dan rencana kerja masingmasing K/L (Renja-K/L),
dengan merujuk pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang merupakan bagian dari
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN);
3. pembahasan di DPR yang terdiri atas pandangan umum masing-masing fraksi terhadap
R-APBN hingga rapat kerja komisi dengan K/L, yang dapat menghasilkan berbagai
revisi anggaran sebelum mencapai keputusan penolakan atau penetapan menjadi
undang-undang. Skema di atas menggambarkan kompleksitas proses perencanaan dan
penganggaran yang paling banyak melibatkan pihak pemerintah. Besarnya peran
pemerintah dalam proses ini merupakan domain fungsi, kewenangan, maupun diskresi
lembaga eksekutif dalam merencanakan program/ kegiatan yang dapat dijalankan
secara operasional untuk kepentingan masyarakat umum. Namun, untuk mencegah
terjadinya pemerintahan yang otoriter, maka pelaksanaan fungsi, kewenangan, maupun
diskresi pemerintah membutuhkan pemeriksaan seksama, persetujuan, maupun
pengawasan oleh lembaga legislatif. Dengan demikian, proses perencanaan dan
penganggaran dalam hal ini merupakan implementasi konsep negara hukum demokratis
yang bertumpu pada checks and balances.

Ketentuan mengenai penyusunan APBN yang melibatkan dua lembaga tinggi negara yakni
pemerintah dan DPR dianggap telah bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum
maupun sistem pemerintahan presidensial. Hal ini terbukti pada implementasinya yang kerap
menimbulkan permasalahan dalam praktik perencanaan penganggaran. Sebagai eksesnya,
lembaga swadaya masyarakat dan akademisi mengajukan permohonan Nomor 35/PUU-
XI/2013 diajukan oleh mengenai pengujian beberapa pasal dalam UU Keuangan Negara dan
UU MD3 yang terkait dengan kewenangan DPR dalam melaksanakan hak anggaran. Ketentuan
dalam kedua undangundang tersebut dianggap telah mengatur fungsi anggaran DPR yang
begitu luas dalam proses penyusunan APBN sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum, berpotensi menciptakan penyalahgunaan kewenangan, menjadi akar praktik korupsi,
serta bertentangan dengan UUD 1945. Secara garis besar, poin permohonan yang diajukan
terkait dengan lima isu, sebagai berikut:

1. Keberadaan Badan Anggaran di DPR yang bersifat tetap (Pasal 104 dan 105 ayat (1)
UU MD3);

9
2. Kewenangan Badan Anggaran DPR untuk melakukan pembahasan R-APBN secara
rinci mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan K/L (Pasal 107
ayat (1) UU MD3) dan kewenangan DPR untuk melakukan pembahasan alokasi
anggaran hingga satuan tiga yakni mulai dari unit organisasi, fungsi, program, kegiatan,
hingga jenis belanja (Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara, dan Pasal 157 ayat (1)
dan Pasal 159 ayat (5) UU MD3);
3. Kewenangan DPR untuk memberikan tanda bintang pada rencana anggaran sebagai
bentuk penundaan/pemblokiran pencairan anggaran (Pasal 71 huruf g dan Pasal 156
huruf a UU MD3); dan
4. Kewenangan DPR dalam proses dan ruang lingkup pembahasan APBN-P (Pasal 161
dan Pasal 156 butir c angka (2) UU MD3). Berdasarkan permohonan di atas, Mahkamah
Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian yakni:
- Terkait dengan keberadaan Badan Anggaran di DPR, Mahkamah Konstitusi
memutus bahwa hal tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan UUD 1945;
- Terkait dengan kewenangan Badan Anggaran DPR dan kewenangan DPR untuk
melakukan pembahasan APBN secara rinci hingga level kegiatan dan jenis belanja
(satuan tiga). Mahkamah Konstitusi memutus bahwa kewenangan tersebut
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sehingga, DPR hanya berwenang membahas rincian alokasi pada unit organisasi,
fungsi, dan program;
- Terkait ketentuan mengenai masih adanya proses pembahasan setelah RUU APBN
diundangkan menjadi UU APBN, yang menjadi dasar praktik pemberian tanda
bintang oleh DPR pada rencana anggaran, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa
ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat;
- Terkait kewenangan DPR dalam lingkup pembahasan APBN-P, Mahkamah
Konstitusi memutus bahwa perubahan rancangan anggaran hanya menyangkut
pergeseran anggaran antar unit organisasi, sehingga tidak mendetail hingga level
antar kegiatan dan antar jenis belanja.

10
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Bahwa dalam penyampaian aspirasi masyarakat ini, Dewan bersifat sebagai


komunikator, problem solver, dan mediator. Maka dari itu segala aspirasi yang
disampaikan rakyat terhadap Lembaga perwakilan rakyat harus dikelola dan
diperhatikan dalam rapat mengenai APBN dengan memperhatikan prinsip pengelolaan
aspirasi masyarakat supaya tujuan dari penyusunan dan penetapan undang-undang
APBN dapat tercapai dan terealisasi sesuai dengan tujuan dimana rakyat memiliki
kedaulatan.

2. saran

segala bentuk tulisan yang dituangkan penulis masih banyak memiliki kekurangan
terutama dalam melakukan riset baik secara langsung maupun melalui berbagai media
dan segala bentuk penulisan dalam makalah ini yang terkait kedaulatan rakyat dalam
penyusunan dan penetapan undang-undang APBN semoga dapat terealisasi dan sesuai
dengan segala kebutuhan masyarakat berdasarkan dari aspirasi yang mereka sampaikan
terkait daerah masing-masing dari rrakyat dan kedaulatan rakyat benar adanya didalam
negara yang demokrasi.

11
DAFTAR PUSTAKA

Adianto, dkk. Model Penerapan Aspirasi Masyarakat Oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Universitas Riau, Riau

Haris, Syamsuddin. 2010. DPR dan Aspirasi rakyat. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Jakarta

Lee, Antony. 2018. Keterkaitan Kepentingan Pemerintah dan Aspirasi Masyarakat Jadi Kunci.
Jakarta, https://www.kompas.id/baca/polhuk/2018/10/22/keterkaitan-kepentingan-
pemerintah-dan-aspirasi-masyarakat-jadi-kunci

Yunus, Yutirsa & Faraby, Reza. 2014. Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Check
and Balances. Jakarta

DPR RI. 2011. Pedoman Umum pengelolaan aspirasi dan pengaduan masyarakat Dewan
Perwakilan Rakyat Repbulik Indonesia. Jakarta

12

Anda mungkin juga menyukai