Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

BADAN LEGISLATIF
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS DALAM MATA KULIAH “SISTEM POLITIK INDONESIA”
DOSEN PENGAMPUH
SALMIN DENGO M,Si Dr. AGUSTINUS B. PATI M.Si
196212201989031004 196109261988031003

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK E

1. JENIAR A.V. BERIKAN 7. SEAN Y. DONDO


2. REIVINDA N.P. SONDAKH 8. YOLANDA G. MALASAI
3. ARIO A. TESS 9. JIHAN Z. RAHIM
4. GRASELA LEMBONG 10. WIDIA O.N. MANGARE
5. NADYA A. WAHID 11. PUTRI A. GUNTORO
6. PUTRI V. PALILINGAN 12. FADILA USULU

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Badan Legislatif” ini dalam
rangka memenuhi tugas dalam mata kuliah Sistem Politik Indonesia.

Kami menyadari akan segala kekurangan dan ketidaksempurnaan, baik dari segi
penulisan maupun dari cara penyajianya. Oleh karena itu kami dengan senang hati menerima
kritik dan saran demim perbaikan makalah ini di masa yang akan 1ating. Kami berharap
kehadiran makalah ini dapat memberikan manfaat yang maksimal.

Mala , 15 September 2021

Penulis

1|Page
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ 1


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 2
BAB I ..................................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 3
A. LATAR BELAKANG .................................................................................................................. 3
B. RUMUSAN MASALAH .............................................................................................................. 3
C. TUJUAN ....................................................................................................................................... 3
BAB II.................................................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 4
A. LANDASAN TEORI ..................................................................................................................... 4
1. Definisi Badan Legislatif ............................................................................................................... 4
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) .................................................................................. 5
b. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)............................................................................................. 5
c. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ............................................................................................. 6
B. TUGAS DAN PERAN BADAN LEGISLATIF ............................................................................ 6
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BADAN LEGISLATIF ..................................... 10
D. POLEMIK HUKUM DI LINGKUNGAN BADAN LEGISLATIF ........................................... 13
BAB III ................................................................................................................................................ 19
PENUTUP ............................................................................................................................................ 19
A. Kesimpulan ................................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 20

2|Page
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, ada tiga lembaga lembaga Negara yang saling
berkaitan namun memiliki tugas dan fungsinya masing-masing. Ketiga lembaga tersebut
adalah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dimana, ketiganya merupakan lembaga Negara
yang dapat mendukung jalannya pemerintahan sesuai fungsi dan tugasnya.

Kita sering mendengar beragam berita tentang lembaga-lembaga yang menghuni gedung
di kompleks parlemen, diantaranya ada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ya, ketiganya
merupakan lembaga legislatif. Lalu, apa yang dimaksud dengan lembaga Legislatif, apa
juga tugas dan fungsinya?

Lembaga Legislatif atau parlemen adalah sebuah lembaga yang mewakili seluruh rakyat
dalam menyusun undang-undang serta ikut mengawasi implementasi undang-undang yang
ada oleh badan eksekutif. Setiap anggota lembaga legislatif dipilih melalui pemilihan
umum (pemilu) dan langsung dipilih oleh rakyat.

B. RUMUSAN MASALAH
• Apa yang dimaksud dengan badan legislatif
• Lembaga apa saja yang termasuk dalam badan legislatif
• Apa saja tugas dan fungsi badan legislatif

C. TUJUAN
• Untuk mengetahui lebih banyak mengenai badan legislatif
• Mengetahui pembagian kekuasaan dalam badan legislative
• Memahami tugas serta peran dari badan legislative

3|Page
BAB II
PEMBAHASAN
A. LANDASAN TEORI

1. Definisi Badan Legislatif


Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan
pemerintahan kolonial Belanda yang dinamakan Volksraad.Volksraad dibentuk pada tanggal
16 Desember 1916,Volksraad sebagai sebuah lembaga dalam konteks Indonesia sebagai
wilayah jajahan pada saat itu memang hanya merupakan basa basi politik pemerintahan
kolonial. Lewat pemilihan yang bertingkat-tingkat dan berbelit, komposisi keanggotaan
Volksraad pada mulanya tidak begitu simpatik.Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri
masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda kepada
Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa
Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan.Pada masa ini, lembaga-lembaga negara
yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan
Peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Pusat (KNIP). Komite ini
merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia.
Lembaga merupakan sebuah lembaga negara yang memiliki tugas untuk menyusun dan
juga membentuk peraturan perundang-undangan. Legislatif sering dikatakan sebagai sebuah
badan deliberatif pemerintah yang memiliki kekuasaan dalam pembuatan sebuah hukum dalam
suatu negara. Tidak hanya itu saja, Lembaga Legislatif pun memiliki hak dalam menetapkan
Anggaran Pendapatan dan juga Belanja Negara, serta menyimpannya untuk mengawasi
pelaksanaan undang-undang. Secara umum, lembaga ini juga dapat disebut sebagai Parlemen
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang anggotanya terdiri dari perwakilan rakyat yang
kemudian direkrut melalui kegiatan pemilihan umum (sistem distrik atau profesional). Secara
umum, transparansi undang-undang harus dimulai terlebih dahulu dengan merekrut calon
anggota dari lembaga legislatif melalui pemilihan umum.
Hal ini bertujuan untuk menunjukkan perwakilan rakyat, yang berkomitmen dan kuat
untuk memperjuangkan aspirasi serta kepentingan dari seluruh rakyatnya. Selain menetapkan
undang-undang, legislatif juga biasanya memiliki kekuatan untuk membungkam pajak serta
menerapkan biaya rumah tangga dan masih banyak lainnya. Tidak hanya itu saja, Legislator
akan menulis kontrak dan juga memutuskan perang.
Legislatif dikenal dengan beberapa nama, yaitu parlemen, kongres, dan asembli
nasional. Dalam sistem Parlemen, legislatif adalah badan tertinggi dan menujuk eksekutif.
Dalam Sistem Presidensial, legislatif adalah cabang pemerintahan yang sama dan bebas dari
eksekutif. Sebagai tambahan atas menetapkan hukum, legislatif biasanya juga memiliki kuasa
untuk menaikkan pajak dan menerapkan anggaran dan pengeluaran uang lainnya. Legislatif
juga kadang kala menulis perjanjian dan memutuskan perang.
Dalam menjalankan tugasnya badan legislatif terbagi atas 3 lembaga besar yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) dan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) berikut uaraian penjelasan mengenai masing-masing lembaga tersebut :

4|Page
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga legislatif bikameral yang
merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR
terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Keanggotaan
MPR diresmikan dengan keputusan Presiden. Sebelum reformasi, MPR terdiri atas anggota
DPR, utusan daerah, dan utusan golongan, menurut aturan yang ditetapkan undang-undang.
Jumlah anggota MPR periode 2014-2019 adalah 692 orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR
dan 132 anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan
pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji. Anggota MPR sebelum
memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh
Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna MPR. Anggota MPR yang berhalangan
mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama, mengucapkan sumpah/janji yang dipandu
oleh MPR.

b. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)


Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR adalah salah satu lembaga tinggi negara
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat yang
pemilihannya sebagaimana Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 dilakukan melalui pemilihan umum.
Berdasarkan Pasal 67 Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD. anggota DPR terdiri dari anggota partai politik (parpol). Pada masa awal kemerdekaan,
lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk dengan demikian
sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945 dibentuklah KNIP. Komite ini
merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia. Legislatif merupakan badan atau lembaga
yang memiliki wewenang untuk membuat Undang-Undang.1 Hal ini sesuai dengan Pasal 20
ayat (1) UUD 1945 bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. “Namun
pembahasan sebuah RUU harus dilakukan secara bersama-sama dengan pemerintah,
sebagaimana dinyatakan pada Pasal 20 ayat (2)”. Berdasarkan ketetapan MPRS
No.XX/MPRS/1966 yang kemudian dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 sebagaimana telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, DPR memulai kerjanya di masa orde baru dan pada
masa reformasi sampai sekarang. Dalam konsep trias politika, DPR berperan sebagai lembaga
legislatif yang berfungsi untuk membuat undang-undang dan mengawasi jalannya pelaksanaan
undang-undang yang dilakukan pemerintah sebagai lembaga eksekutif. Fungsi pengawasan
dapat dikatakan telah berjalan dengan baik apabila DPR dapat melakukan tindakan kritis atas
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang tidak sesuai dengan kepentingan rakyat.
Sementara itu, fungsi legislasi dapat dikatakan berjalan dengan baik apabila produk hukum
yang dikeluarkan oleh DPR dapat memenuhi aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat. Anggota
DPR berasal dari anggota partai politik peserta pemilu yang dipilih berdasarkan hasil pemilu.
DPR berkedudukan di tingkat pusat, sedangkan yang berada di tingkat provinsi disebut DPRD
provinsi dan yang berada di kabupaten/kota disebut DPRD kabupaten/kota. Berdasarkan
undang-undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,
dan DPRD juncto Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR DPR DPD dan DPRD
ditetapkan sebagai berikut:
(1) Jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang;

5|Page
(2) Jumlah anggota DPRD provinsi sekurang-kurangnya 35 orang dan sebanyakbanyak
100 orang;
(3) Jumlah anggota DPRD kabupaten/kota sedikitnya 20 orang dan sebanyakbanyaknya 50
orang.
Keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan presiden. Anggota DPR berdomisili
di ibukota negara. Masa jabatan anggota DPR adalah lima tahun dan berakhir pada saat anggota
DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung (MA)
dalam sidang paripurna DPR.

c. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)


DPD merupakan suatu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum dari perwakilan setiap provinsi. Anggota
Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi yang jumlahnya sama dan jumlah dari semua
anggota Dewan Perwakilan Daerah tidak lebih dari sepertiga dari jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat. DPD (Dewan Perwakilan Daerah) paling sedikit bersidang sekali dalam
satu tahun. Dalam Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diatur dalam
undang-undang pada [Pasal 22C Ayat (1), (2), (3), dan (4) UUD Negara RI Tahun 1945].
Di Indonesia, wacana pembentukan DPD bukan hanya perdebatan yang muncul selama
era Reformasi. Jauh hari sebelumnya, ketika berlaku Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(KRIS) 1949, pembentukan DPD yang merupakan bagian dari sistem bikameral atau sistem
“dua kamar” sudah disepakati menjadi model sistem perwakilan Indonesia. Dalam Bab III
Ketentuan Umum KRIS 1949 disebutkan bahwa Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah
alat perlengkapan federal Republik Indonesia Serikat. Sebagai Majelis Tinggi, berdasarkan
Pasal 80 KRIS, Senat mewakili daerah-daerah bagian dengan jumlah yang sama, yaitu dua
orang untuk setiap negara bagian. Sementara itu, sebagai Majelis Rendah, DPR mewakili
seluruh rakyat Indonesia yang terdiri dari 150 anggota.
Meskipun negara RIS hanya berumur sekitar delapan bulan, pada tanggal 17 Agustus
1950 negara serikat dibubarkan dan KRIS 1949 diganti dengan UUD Sementara 1950,
dukungan terhadap sistem bikameral belum punah. Buktinya, dalam upaya membuat konstitusi
baru yang dilakukan oleh Konstituante (1956-1959), sistem bikameral tetap menjadi salah satu
opsi bentuk Lembaga perwakilan rakyat. Sayangnya, usaha Konstituante tidak dapat
diselesaikan secara tuntas karena Constitutional Assembly yang dibentuk berdasarkan hasil
Pemilihan Umum Tahun 1955 dibubarkan Presiden Soekarno sebelum masa tugasnya berakhir.
Gagasan sistem bikameral yang mengalami mati suri sekitar empat dasawarsa kembali
menemukan momentum seiring dengan kuatnya desakan untuk melakukan reformasi total
terhadap UUD 1945 pada awal era Reformasi. Buktinya, Sidang Tahunan MPR 2001 berhasil
mencapai kesepakatan mendasar untuk membentuk “kamar kedua” setelah DPR di lembaga
perwakilan rakyat dengan sebutan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

B. TUGAS DAN PERAN BADAN LEGISLATIF


1. Tugas dan peran MPR
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur
lebih lanjut dengan undang-undang. MPR mempunyai tugas dan wewenang, yaitu :
a. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar

6|Page
MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pemeriksaan, pimpinan MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan
pimpinan Kelompok Anggota MPR untuk membahas kelengkapan persyaratan.Jika
usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR
memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul
beserta alasannya.Sidang paripurna MPR dapat memutuskan pengubahan pasal
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu)
anggota.
b. Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum
MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang
paripurna MPR. Sebelum reformasi, MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara
memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan suara
terbanyak, namun sejak reformasi bergulir, kewenangan itu dicabut sendiri oleh MPR.
Perubahan kewenangan tersebut diputuskan dalam Sidang Paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2) tanggal 09 November
2001, yang memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung
oleh rakyat, Pasal 6A ayat (1).
c. Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya
MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan oleh DPR.MPR wajib
menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul. Usul DPR harus dilengkapi dengan
putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela dan/atau terbukti
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga
perempat) dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah anggota yang hadir.
d. Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden
Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai
berakhir masa jabatannya.
Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang
paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden. Dalam hal MPR tidak
dapat mengadakan sidang, Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan

7|Page
sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR. Dalam hal DPR tidak dapat
mengadakan rapat,Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-
sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah
Agung
e. Memilih Wakil Presiden
Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang
paripurna dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil
Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan
jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
f. Memilih Presiden dan Wakil Presiden
Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, MPR
menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden
yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon
Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.Dalam hal Presiden
dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan
adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara
bersama-sama.
g. Menetapkan peraturan tata tertib dan kode etik MPR
Penetapan tata tertib MPR tertuang pada Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia.Peraturan tata tertib tersebut dimaksudkan untuk mengatur
tentang susunan, kedudukan, dan keanggotaan serta tata cara MPR RI melaksanakan
wewenang, tugas, hak, dan kewajibannya.MPR melaksanakan wewenang dan tugasnya
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945, serta peraturan perundang-undangan lainnya.Sedangkan kode etik MPR tertuang
pada Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
2/MPR/2010 tentang Peraturan Kode Etik Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia.Kode Etik MPR merupakan norma atau ketentuan berlandaskan etik dan
moral sebagai pedoman perilaku dan berucap mengenai hal yang diwajibkan, dilarang,
atau tidak patut dilakukan Anggota MPR dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya

2. Tugas dan Wewenang DPR


a. Terkait dengan fungsi legislasi, DPR memiliki tugas dan wewenang
(1) Menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas);
(2) Menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU);
(3) Menerima RUU yang diajukan oleh DPD (terkait otonomi daerah; hubungan
pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
pengelolaan SDA dan SDE lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah);
(4) Membahas RUU yang diusulkan oleh Presiden ataupun DPD;
(5) Menetapkan UU bersama dengan Presiden;

8|Page
(6) Menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti UU; (yang
diajukan Presiden) untuk ditetapkan menjadi UU.
b. Terkait dengan fungsi anggaran, DPR memiliki tugas dan wewenang
(1) Memberikan persetujuan atas RUU tentang APBN (yang diajukan Presiden);
(2) Memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU tentang APBN dan RUU terkait
pajak, pendidikan dan agama;
(3) Menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;
(4) Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara maupun
terhadap perjanjian yang berdampak luas bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara.
c. Terkait dengan fungsi pengawasan, DPR memiliki tugas dan wewenang:
(1) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan
pemerintah;
(2) Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD
(terkait pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran
dan penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE lainnya, pelaksanaan
APBN, pajak, pendidikan dan agama).
d. Tugas dan wewenang DPR lainnya, antara lain:
(1) Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat;
(2) Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk:
a) menyatakan perang ataupun membuat perdamaian dengan Negara lain;
b) mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial;
(3) Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal:
a) pemberian amnesti dan abolisi;
b) mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar lain;
(4) Memilih Anggota BPK dengan d.memperhatikan pertimbangan DPD
(5) Memberikan persetujuan kepada Komisi Yudisial terkait calon hakim agung
yang akan ditetapkan menjadi hakim agung oleh Presiden;
(6) Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk selanjutnya diajukan ke Presiden.

3. Tugas dan Wewenang DPD RI


Adapun DPD sendiri memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut :
a. Pengajuan Usul Rancangan Undang Undang Mengajukan kepada DPR rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
b. Pembahasan Rancangan Undang Undang Ikut membahas rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber
daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
c. Pertimbangan Atas Rancangan Undang-Undang dan Pemilihan Anggota BPK
Pertimbangan atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara
dan rancangan undangundang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Serta memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK.

9|Page
d. Pengawasan Atas Pelaksanaan Undang - Undang Pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara,
pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada
DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
e. Penyusunan Prolegnas Menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
f. Pemantauan dan Evaluasi Ranperda dan Perda Melakukan pemantauan dan evaluasi
atas rancangan Peraturan daerah (Raperda) dan Peraturan daerah (Perda)

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BADAN LEGISLATIF


1. Dasar hukum MPR
Dasar hukum MPR tercantum dalam naskah asli UUD 1945 di dua pasal, yaitu pasal
2 dan 3. Pasal 2 ada 3 ayat, sedangkan pasal 3 tanpa ayat. Setelah amandemen, terdapat
perubahan di kedua pasal tersebut. Dasar hukum yang dimaksud di sini adalah landasan
konstitusional dari keberadaan lembaga ini. Sebelum amandemen, MPR merupakan
lembaga tertinggi negara. Saat ini, tidak lagi. Memang tetap sebagai lembaga tinggi tapi
bukan yang tertinggi.Berikut adalah dasar hukum MPR hasil perubahan UUD 1945:
a. Pasal 2, ayat:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan
diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
2. Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di
ibu kota negara.
3. Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara
terbanyak.
b. Pasal 3, ayat:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-
Undang Dasar.
2. Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Dengan perubahan di atas, kita melihat kewenangan MPR diatur secara lebih detail.
Sebenarnya, perubahan diatas mencerminkan perubahan dalam sistem ketatanegaraan kita.
MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. MPR tetap menjadi lembaga tinggi negara
namun setara dengan lembaga eksekutif dan yudikatif. Ketiganya saling mengevaluasi dan
mengontrol. Aspek kewenangan memang dipaparkan lebih detail. Namun dasar hukum
keberadaan lembaga ini tetap sama. UUD 1945 mengakui adanya lembaga ini beserta
fungsinya. Dari paparan di atas, kita bisa menjelaskan bahwa dasar hukum MPR adalah
UUD 1945. Bahkan naskah asli sebelum amandemen sudah mengakui keberadaannya.
Setelah amandemen, dasar hukumnya tetap, penjelasan mengenai wewenangnya
semakin jelas. Salah satu wewenang yang paling krusial adalah memberhentikan presiden

10 | P a g e
dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya. Memberhentikan presiden dan/atau wakil
presiden tentu saja harus atas usul DPR. DPR mengusulkan atas dasar adanya bukti
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya. Pemberhentian bisa juga diusulkan jika pejabat eksekutif tidak lagi
memenuhi syarat sebagai pejabat eksekutif.

2. Dasar Hukum DPR


Ketentuan hukum mengenai dewan perwakilan rakyat diatur dalam UUD 1945 BAB VII.
Pasal 19
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.
(2) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undangundang.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
Pasal 20
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undangundang.
(2) Setiap rancangan undangundang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undangundang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan
undangundang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat
masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undangundang yang telah disetujui bersama untuk
menjadi undangundang.
(5) Dalam hal rancangan undangundang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan
oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undangundang tersebut
disetujui, rancangan undangundang tersebut sah menjadi undangundang dan wajib
diundangkan.
Pasal 20A
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasalpasal lain
UndangUndang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak
angket, dan hak menyatakan pendapat.
(3) Selain hak yang diatur dalam pasalpasal lain UndangUndang Dasar ini, setiap anggota
Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul
dan pendapat serta hak imunitas.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan
Perwakilan Rakyat diatur dalam undangundang.
Pasal 21
1. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan
undangundang.
Pasal 22
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undangundang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Pasal 22A

11 | P a g e
1. Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan
undang-undang.
Pasal 22B
1. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syaratsyarat
dan tata caranya diatur dalam undangundang.

3. Dasar Hukum DPD RI


Sama seperti lembaga tinggi negara lainya, anggota DPD juga dipilih melalui pemilihan
umum setiap provinsi. Adapun dasar hukum pembentukan, hak dan wewenang DPD RI
termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta melalui Surat Keputusan (SK) dan dalam
peraturan pimpinan DPD RI.
Dasar hukum DPD RI yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 termaktub
dalam dua pasal. Pertama pada Pasal 22 C ayat 1, 2, 3, 4 UUD 1945 dan Pasal 22 D ayat 1, 2,
3, 4 UUD 1945. Berikut adalah bunyi ayat dan penjelasan dari PASAL-pasal tersebut.
Pasal 22 C ayat 1
Pada pasal ini, menyebutkan bahwa “Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum.” Itulah mengapa pada tahun 2019 kemarin, kita memilih DPD bersama
dengan pasangan Presiden.
Pasal 22 C ayat 2
Menyebutkan bahwa “Anggota DPR dari setiap provinsi jumlahnya sama.” Lalu untuk “jumlah
seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari satu pertiga jumlah anggota DPR.”
Pasal 22 C ayat 3
Berkaitan dengan masa sidang “DPD bersidang minimal sekali dalam setahun.” Pasal ini hanya
memberi batasan minimal, artinya DPD bisa beberapa kali bersidang dalam setahun.
Pasal 22 C ayat 4
“Susunan dan kedudukan DPD diatur dengan UU.”
Pasal 22 D ayat 1
“DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber Daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.”
Pasal 22 D ayat 2
“DPD ikut membahas rancangan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah; pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah; hubungan pusat dan daerah; pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta
memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU anggaran pendapatan dan belanja negara
dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.”
Pasal 22 D ayat 3
“DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja negara, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil
pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.”
Pasal 22 D ayat 4
“Anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur
dalam UU.”

12 | P a g e
D. POLEMIK HUKUM DI LINGKUNGAN BADAN LEGISLATIF
1. KORUPSI OLEH ANGGOTA MPR
Dua anggota MPR/DPR Musa Zainuddin (Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa) dan Yudi
Widiana (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera) harus rela melepas jabatannya di MPR karena
tersangkut kasus korupsi. Dua politisi tersebut telah divonis masing-masing 9 tahun penjara
oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi politisi PKS ini baru resmi ditetapkan sebagai
tersangka oleh KPK pada Senin (6/2/2017) untuk kasus dugaan suap proyek pembangunan
jalan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun 2016 di Maluku dan Maluku
Utara.
Nama keduanya sering disebut dalam sidang Damayanti, Budi Supriyanto dan Sok Kok
Seng juga Abdul Khoir. Keduanya sering disebut sebagai pihak yang menerima suap miliar
rupiah. Termasuk juga terlibat dalam rapat setengah kamar yang dilakukan para komisi V DPR
di salah satu hotel di kawasan Jakarta Selatan tahun 2015 lalu. Dengan bertambahnya dua orang
yang telah ditetapkan sebagai tersangka, dalam kasus ini KPK telah menetapkan 10 tersangka
dan kemungkinan akan bertambah.

2. OMNIBUS LAW
Unjuk rasa Undang-Undang Cipta Kerja (atau lebih dikenal sebagai unjuk rasa tolak
omnibus law) adalah rangkaian aksi unjuk rasa yang dilaksanakan sejak Januari 2020 untuk
menolak diberlakukannya undang-undang sapu jagat Cipta Kerja yang disusun oleh
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. pro kontra Omnibus Law atau
Undang-Undang (RUU)
Jika dikutip dari laman resmi DPR RI, istilah omnibus berasal dari bahasa latin yang
berarti untuk semuanya. Sementara makna omnibus law artinya satu undang-undang yang
sekaligus merevisi beberapa undang-undang untuk menyasar isu besar di sebuah negara.
Omnibus law yang dikenal dengan UU sapu jagat ini dimaksudkan untuk merampingkan dan
menyederhanakan berbagai regulasi agar lebih tepat sasaran. Omnibus law itu akan mengubah
puluhan UU yang dinilai menghambat investasi, termasuk di antaranya UU Ketenagakerjaan.
Setidaknya, ada 74 UU yang terdampak UU ini. Selain itu, omnibus law juga dikenal dengan
omnibus bill. Omnibus bill artinya sebuah RUU yang terdiri dari sejumlah bagian terkait tetapi
terpisah yang berupaya untuk mengubah dan/atau mencabut satu atau beberapa undang-undang
yang ada dan/atau untuk membuat satu atau beberapa undang-undang baru.
Sedangkan awal gagasan omnibus law sebenarnya dari kekecewaan Presiden Joko
Widodo (Jokowi) lantaran minimnya investasi di Indonesia. Padahal investasi merupakan salah
satu penggerak ekonomi terutama di era ekonomi digital. Salah satu prediksi Jokowi, regulasi,
biroktasi, dan hukum yang berbelit membuat investasi tidak menarik. Kemudian presiden
berharap bila RUU Cipta kerja ini disahkan, pekerja/buruh di seluruh tanah air tetap terlindungi
khususnya dalam klaster ketenagakerjaan. Sedang pihak yang kontra terdiri dari para serikat
buruh dan pekerja, para LSM dan beberapa aliansi masyarakat sipil lainnya yang memiliki
sudut pandang yang berbeda dengan kebijakan yang dilahirkan melalui metode Omnibus Law.
Ruu tersebut memicu protes dari kalangan buruh. Mulai dari soal kontrak kerja sampai jam
kerja. Buruh pun mengancam akan melakukan protes.
Proses legislasi UU Cipta Kerja merupakan praktik buruk legislasi yang terus berulang
setelah pengesahan UU Minerba, revisi UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
dan revisi UU Mahkamah Konstitusi. Pengesahan RUU Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna
DPR pada Senin, 5 Oktober 2020 kemarin tidaklah mengagetkan, mengingat hampir setiap

13 | P a g e
minggu publik mendapat kabar bahwa pembahasan materi RUU Cipta Kerja terus melaju tanpa
dapat terbendung, meskipun gelombang penolakan terus menguat.
Kontrol terhadap usulan Presiden tidak dijalankan secara optimal. Alih-alih
melakukan pengawasan terhadap kebijakan Presiden dalam penanganan COVID 19, DPR
malah mengurusi legislasi yang masih dapat ditunda sampai pandemi berlalu, dan kemampuan
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan UU kembali membaik. Selain itu, DPR
juga menciderai fungsi repesentasinya. Pembahasan RUU dilakukan tanpa membuka dialog
dengan publik secara terbuka.
Proses yang tidak transparan dan partisipatif menjadi warna yang tidak dapat
dihilangkan dalam menggambarkan proses pembentukan UU Cipta Kerja. Proses legislasi
dilakukan secara tergesa, dan abai untuk menghadirkan ruang demokrasi. Ada 3 argumentasi
yang menggambarkan hal tersebut, yaitu pertama, pembahasan RUU pada masa reses dan di
luar jam kerja; kedua, tidak adanya draft RUU dan risalah rapat yang disebarluaskan kepada
masyarakat; dan ketiga, tidak adanya mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan suara
terbanyak dalam Rapat Paripurna untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU.
Rapat pembahasan RUU Cipta Kerja tercatat sempat dilakukan dalam masa reses dan
diluar hari kerja, selain juga sempat dilakukan di hotel, di luar Gedung DPR. Pada Pasal 1
angka 13 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR) menyebutkan
bahwa masa reses adalah masa DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar
gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja. Sedangkan Pasal 254 ayat (1) Tatib DPR
menyebutkan bahwa waktu-waktu rapat DPR mencakup hari kerja, yaitu Senin sampai Jumat.
Pelaksanaan rapat dalam masa reses, di luar waktu rapat, dan di luar Gedung DPR memang
dimungkinkan, tetapi atas dasar kesepakatan dalam rapat atau persetujuan Pimpinan DPR.
Pertimbangan atas kesepakatan dan persetujuan pelaksanaan rapat DPR dalam masa reses, di
luar waktu rapat serta di luar Gedung DPR inilah yang tidak pernah dipublikasikan kepada
publik, sehingga tidak dapat diketahui mengapa pembahasan RUU Cipta Kerja begitu cepat
dan cenderung dipaksakan, padahal substansi pengaturannya sangat kompleks dan mencakup
beragam isu.
Perlu dicatat juga pernyataan dari DPR bahwa penyegeraan pembahasan RUU Cipta
Kerja ini karena situasi pandemi COVID 19. Transparansi akan pertimbangan pengambilan
kesepakatan rapat dan persetujuan Pimpinan DPR ini penting mengingat belum lama ini DPR
dan Pemerintah sepakat untuk mengeluarkan beberapa RUU dari daftar prioritas 2020, dengan
alasan tidak cukup waktu pembahasan. Masih segar dalam ingatan kita RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual yang sebetulnya mendapat dorongan publik yang kuat untuk segera
diselesaikan, tetapi justru ditunda pembahasannya. Selain itu, ada juga berbagai RUU yang
pembahasannya terus tertunda dari tahun ke tahun, yang apabila dikerjakan dengan metode
kerja dalam pembahasan RUU Cipta Kerja bukan tidak mungkin dapat diselesaikan.
Tertutupnya ruang demokrasi dalam pembahasan RUU Cipta Kerja disebabkan juga
karena ruang partisipasi yang minim. Ruang-ruang yang terbuka hanya formalitas tanpa makna.
Rapat-rapat yang disiarkan langsung hanya yang bersifat pemaparan, bukan pengambilan
keputusan. Selain itu, makna partisipasi tidak dapat dirasakan karena masyarakat tidak
diberikan informasi yang cukup terkait dengan substansi RUU yang sedang dibahas dan
catatan-catatan atau risalah rapat sebelumnya, sehingga sulit untuk dapat memantau rapat
dengan baik.
Pengambilan keputusan pengesahan RUU Cipta Kerja dalam Sidang Paripurna DPR
juga patut dipertanyakan. Alur pengesahan RUU Cipta Kerja sejak awal dibawakan seolah

14 | P a g e
semua fraksi setuju, dan tidak terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat terlihat nyata
ketika Fraksi Partai Demokrat memaksa Pimpinan Sidang untuk memberikan kesempatan
kepada setiap Fraksi untuk menyampaikan pendapat akhirnya satu per satu. Dari tahap itu
terdengar bahwa Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera tegas menolak
RUU Cipta Kerja untuk disahkan. Dalam situasi ini seharusnya yang dilakukan oleh Pimpinan
Sidang Paripurna adalah merujuk kepada Pasal 308 ayat (3) yang menyebutkan bahwa apabila
pengambilan keputusan dengan cara musyawarah mufakat tidak tercapai, maka dilakukan
berdasarkan suara terbanyak. Dalam konteks ini seharusnya suara orang per orang anggota
DPR diperhitungkan, sehingga tidak otomatis dianggap sebagai satu kesatuan fraksi semata,
karena seorang anggota DPR merupakan representasi dari konstituennya, dan tanggungjawab
itu harus dihormati.
Selain itu, keabsahan pengambilan keputusan dalam Sidang Paripurna DPR pengesahan
RUU Cipta Kerja pun patut dipertanyakan melihat banyaknya anggota DPR yang tidak hadir
dalam Sidang Paripurna DPR untuk memutuskan peraturan sepenting RUU Cipta Kerja. Dalam
hal ini DPR harus mampu membuktikan bahwa keputusannya dalam Sidang Paripurna DPR
untuk mengambil keputusan pengesahan RUU Cipta Kerja telah memenuhi kuorum.
Dalil Pemerintah adalah adanya indikasi permasalahan perizinan, baik di tingkat pusat
maupun daerah, masih banyaknya tumpang tindih peraturan yang menjadi penyebab investor
tidak tertarik menanamkan saham di Indonesia. Upaya yang ingin dilakukan adalah adanya
perbaikan aturan-aturan yang dinilai menghambat investasi demi meningkatkan Perekonomian
negara melalui paket kebijakan Omnibus Law.
Aturan yang diwacanakan sebagai aturan sapu jagat tersebut langsung memantik
polemik. Serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil menyatakan menolak keras RUU ini
karena aturan baru dianggap merugikan buruh dan berpotensi melanggar hak asasi manusia
dan berdampak buruk pada lingkungan hidup.
Ini Sejumlah Poin Omnibus Law UU Cipta Kerja yang Menuai Sorotan
a. Penghapusan upah minimum.
Salah satu poin yang ditolak serikat buruh adalah penghapusan upah minimum
kota/kabupaten (UMK) dan diganti dengan upah minimum provinsi (UMP). Penghapusan
itu dinilai membuat upah pekerja lebih rendah. Padahal, dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan tak boleh ada pekerja yang mendapat
upah di bawah upah minimum. Baik UMP dan UMK, ditetapkan oleh gubernur dengan
memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan bupati/wali kota.
b. Jam lembur lebih lama
Dalam draf omnibus law Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 disebutkan waktu kerja
lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu.
Ketentuan jam lembur itu lebih lama dibandingkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang
menyebut kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu.
c. Kontrak seumur hidup dan rentan PHK Dalam RUU Cipta Kerja salah satu poin Pasal 61
mengatur perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai. Sementara, Pasal 61A
menambahkan ketentuan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada
pekerja yang hubungan kerjanya berakhir. UU Cipta Kerja juga tak lagi menyebutkan batas
waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pegawai kontrak, seperti dalam Pasal
59 ayat 4. Dalam pasal itu, hanya disebutkan ketentuan mengenai jenis dan sifat atau
kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan PKWT diatur dengan
peraturan. Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, batas waktu

15 | P a g e
perpanjangan PKWT paling lama adalah dua tahun, dan hanya bisa diperpanjang satu kali
untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Dengan aturan ini, RUU Cipta Kerja dinilai
merugikan pekerja karena ketimpangan relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan. Sebab,
jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha yang berpotensi membuat status
kontrak pekerja menjadi abadi. Bahkan, pengusaha diniali bisa mem-PHK pekerja sewaktu-
waktu.
d. Pemotongan waktu istirahat Pada Pasal 79 ayat 2 poin b dikatakan waktu istirahat
mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu. Selain itu, dalam ayat
5, RUU ini juga menghapus cuti panjang dua bulan per enam tahun. Cuti panjang disebut
akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Hal tersebut jauh berbeda dari UU Ketenagakerjaan sebelumnya yang menjelaskan secara
detail soal cuti atau istirahat panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun di
perusahaan yang sama. Baca juga: Nasib Pekerja jika Omnibus Law Cipta Kerja
Disahkan...
e. Mempermudah perekrutan TKA Pasal 42 tentang kemudahan izin bagi tenaga kerja asing
(TKA) merupakan salah satu pasal yang paling ditentang serikat pekerja. Pasal tersebut
akan mengamandemen Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA
mendapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. Jika mengacu pada Perpres
Nomor 20 Tahun 2018, diatur TKA harus mengantongi beberapa perizinan seperti Rencana
Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin
Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Pengesahan RUU Omnibus Law akan
mempermudah perizinan TKA, karena perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya perlu
membutuhkan RPTKA saja.
Walaupun mengahadapi berbagai gejolak penolakan akhirnya UU itu resmi
diundangkan dengan nomor UU 11 Tahun 2020. Adapun yang menyangkut ketenagakerjaan,
katanya, seperti hak cuti hamil, melahirkan, menyusui, dan menstruasi untuk pekerja
dikembalikan seperti aturan semula. Begitu pula dengan aturan jam kerja. Namun demikian,
skema pesangon bagi pekerja yang di-PHK diubah oleh pemerintah. Jika merujuk pada aturan
sebelumnya, pesangon diberikan sebanyak 32 kali upah dengan skema 23 kali ditanggung
pengusaha dan sembilan kali oleh pemerintah melalui jaminan BPJS. Tapi pemerintah
menginginkan agar skema itu diturunkan menjadi 25 kali upah dengan skema 19 kali
ditanggung pengusaha dan enam kali oleh pemerintah.
Selanjutnya dalam RUU Cipta Kerja juga membuka peluang dalam kemudahan
mempekerjakan tenaga kerja asing di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan kawasan industri.
Kemudian,, pemberlakuan Upah Minimum Sektoral di tingkat kabupaten/kota yang terancam
hilang. Ia menjelaskan, penetapan upah minimum hanya berlaku di tingkat provinsi. Sementara
kabupaten/kota bisa diterapkan jika ada persetujuan dari gubernur dengan hitungan merujuk
pada pertumbuhan ekonomi dan inflansi.
Meski masih ada penolakan-penolakan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Airlangga Hartanto, pada Minggu (04/10) menyebut RUU Cipta Kerja akan dibawa ke Rapat
Paripurna DPR untuk pengambilan keputusan dan mendapat pengesahan. Ia mengklaim RUU
Cipta Kerja akan bermanfaat besar untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional dan
membawa Indonesia memasuki era baru perekonomian global. Menko Perekonomian
Airlangga Hartarto (tengah), Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin (kanan) dan Ketua Fraksi
Partai Golkar Kahar Muzakir (kiri) menghadiri focus group discussion (FGD) tentang Omnibus
Law Cipta Kerja, Rabu (26/02/2020). "RUU Cipta Kerja akan mendorong reformasi regulasi

16 | P a g e
dan debirokratisasi, sehingga pelayanan pemerintahan akan lebih efisien, mudah, dan pasti,
dengan adanya penerapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) dan penggunaan
sistem elektronik", ujar Menko Airlangga dalam siaran pers Minggu (04/10). Terkait
ketenagakerjaan, Airlangga mengklaim RUU ini menjamin adanya kepastian dalam pemberian
pesangon di program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Sedangkan mekanisme PHK,
katanya, tetap mengikuti persyaratan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan tidak
menghilangkan hak cuti haid dan cuti hamil. Sementara kepada pengusaha, RUU Cipta Kerja
akan memberi manfaat yang mencakup kemudahan dan kepastian dalam mendapatkan
perizinan berusaha. Pengusaha juga, lanjutnya, akan mendapatkan insentif dan kemudahan
baik dalam bentuk insentif fiskal. Di samping adanya bidang kegiatan usaha yang lebih luas
untuk dapat dimasuki investasi, dengan mengacu kepada bidang usaha yang diprioritaskan
pemerintah (Daftar Prioritas Investasi).

3. Kasus Irman Gusman Dan DPD yang melanggar komitmen


Salah satu kasus yang terjadi di Dewan Perwakilan Daerah Adalah kasus dari Mantan
Ketua DPD Irman Gusman yang ditetapkan sebagai tersangka dalam operasi tangkap tangan
yang dilakukan KPK pada tanggal 17 September 2016 silam. Konsekuensinya Badan
Kehormatan memberhentikan Irman Gusman dalam jabatannya sebagai ketua DPD pada 19-
09-2016, berdasarkan Pasal 52 ayat (3) huruf c Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 Tentang
Tata Tertib (Tatib DPD).
Ironisnya pemberhentian ini, tidak dilanjutkan dengan pengisian kekosongan jabatan
ketua DPD. Padahal, Pasal 54 ayat (2) Tatib DPD, menentukan agar dijadwalkan sidang
paripurna luar biasa dalam memilih ketua paling lama 3 (tiga) hari setelah pemberhentian ketua
DPD. Fenomena ini mengundang perhatian publik untuk menagih komitmen DPD RI dalam
melaksanakan aturan yang telah dibuatnya sendiri .
Diulur-ulurnya penggantian Ketua DPD ini, didasarkan pada alasan masih menunggu
proses praperadilan. Padahal di Tatib sudah sangat jelas, bahwa penggantian ketua dilakukan
3 hari setelah diberhentikan. Kondisi ini, mengindikasikan bahwa ada unsur kesengajaan untuk
mempertahankan Irman Gusman yang pada waktu itu berstatus tersangka. Pasal 1 angka 10
dan Pasal 77 KUHAP, menentukan praperadilan yang dilakukan oleh pengadilan negeri untuk
memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan serta ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang
perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Terlepas dari upaya pra peradilan yang sedang dilakukan oleh Irman Gusman saat ini,
bukan berarti statusnya sebagai tersangka lenyap. Apalagi penangkapan yang dilakukan KPK
terhadap Irman Gusman adalah tertangkap tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(2) KUHAP dengan besertakan barang bukti yang ada. Fenomena yang menunjukkan tindakan
DPD yang masih mengulur waktu memilih pengganti Irman Gusman bertentangan dengan
kepastian hukum serta inkonstitusional. Tentunya, hal ini juga akan menjadi preseden buruk
bagi oknum-oknum lainnya menggunakan kekuatan politik untuk mempertahankan jabatannya
ke depan. Semestinya panitia musyawarah tidak perlu takut untuk segera menjadwalkan sidang
paripurna dengan agenda mengganti Irman Gusman tersebut sebagai pimpinan DPD.
Sebab kekosongan jabatan ketua akan berdampak pada terhambatnya tugas dan
wewenang DPD secara kelembagaan serta pimpinan DPD itu sendiri sebagaimana yang telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Apalagi salah satu wewenang pimpinan adalah
dalam menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran DPD kedepan di momentum seperti

17 | P a g e
sekarang ini. Karenanya penundaan pemilihan pengganti Irman Gusman adalah tindakan
bertentangan peraturan perundang-undangan dan harus dihentikan.
Berdasarkan Pasal 54 ayat (3) Tatib DPD maka pengganti Irman Gusman sebagai
pimpinan DPD harus diisi oleh calon yang berasal dari keterwakilan wilayah yang sama. Calon
pengganti tersebut harus mendaftarkan diri sebagai bakal calon pimpinan kemudian
memperkenalkan diri serta menyatakan kesediannya menjadi Pimpinan DPD dan bersedia
bekerja sama dengan Pimpinan DPD yang lain sebagaimana diatur Tatib DPD. Setelah itu
dilanjutkan dengan proses pemilihan, dan terhadap 1 bakal calon yang mendapatkan suara
terbanyak itu diteetapkan menjadi pimpinan DPD.
Dari ketiga pimpinan DPD termasuk yang sebelumnya menjabat menjalankan
mekanisme pemilihan ketua, dengan memberikan setiap anggota DPD hak untuk memilih salah
satu pimpinan menjadi ketua. Ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) Tatib DPD ini menunjukkan
bahwa pemilihan Ketua DPD merupakan hak dari setiap anggota, sehingga tidak bisa di
dapatkan dari mekanisme penggantian semata. Apabila didasarkan dengan penggantian, maka
dari perspektif hukum administrasi negara, menunjukkan posisinya lebih lemah dari ketua DPD
definitif yang dipilih oleh setiap anggota. Dengan kata lain lebih mirip posisinya dengan
pelaksana tugas (plt). Untuk itu kocok ulang ketua DPD merupakan upaya solutif guna
mengembalikan marwah DPD dalam melaksanakan komitmen Tatib yang saat ini mulai
diabaikan.
Sidang Paripurna Luar Biasa Dewan Perwakilan Daerah akhirnya memilih senator asal
Bengkulu, Mohammad Saleh, sebagai ketua DPD yang baru untuk menggantikan Irman
Gusman melalui pemungutan suara dan dilantik pada 12-10-2016. Saleh terpilih melalui dua
tahap persidangan. Pada persidangan pertama dengan agenda pemilihan unsur pimpinan DPD
wilayah Indonesia barat, Saleh yang baru mendaftar sebagai bakal calon saat sidang paripurna
luar biasa ini meraih 59 suara. Dia unggul atas sebelas senator lainnya. Sementara, pada
persidangan kedua dengan agenda penentuan ketua DPD yang baru, Saleh unggul 61 suara dari
dua pesaingnya yakni, Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad dan GKR Hemas.
Di sisi lain, Irman Gusman masih belum terima perihal pemberhentian dirinya dari
posisi Ketua DPD. Kuasa Hukum Irman Gusman, Mujahid A Latief mengatakan, pihaknya
telah mengajukan gugatan keputusan Badan Kehormatan DPD tentang pemberhentian kliennya
ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam gugatannya, Badan Kehormatan DPD dianggap
telah melanggar Tata Tertib DPD, Undang-undang Nomor 17 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD saat memberhentikan Irman sebagai ketua. “Kami ajukan gugatan dengan permintaan
agar hakim menyatakan pemberhentian Irman Gusman cacat hukum atau batal demi hukum,”
kata Lafief saat dihubungi CNN Indonesia.com. Namun, Ketua Badan Kehormatan DPD AM
Fatwa dalam persidangan mengatakan, pihaknya siap menjalani dan menghadapi proses hukum
atas gugatan tim kuasa hukum Irman, di PN Jakarta Selatan.
Irman Gusman dijatuhi vonis 4 tahun 6 bulan penjara, hak politik Irman Gusman juga
dicabut selama tiga tahun usai menjalani hukuman oleh Pengadilan Tipikor. Tidak Terima
dengan jatuhan hukum yang diterima Irman Gusman mengajukan upaya hukum peninjauan
kembali (PK) ke Mahkamah Agung dan berharap untuk mendapatkan keinginan hukuman.
Majelis PK akhirnya mengabulkan permohonan Irman Gusman dengan mengurangi hukuman
Irman menjadi 3 tahun penjara, denda Rp50 juta subsider 1 bulan kurungan serta pencabutan
hak politik.

18 | P a g e
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lembaga Legislatif atau parlemen adalah sebuah lembaga yang mewakili seluruh
rakyat dalam menyusun undang-undang serta ikut mengawasi implementasi undang-undang
yang ada oleh badan eksekutif. Setiap anggota lembaga legislatif dipilih melalui pemilihan
umum (pemilu) dan langsung dipilih oleh rakyat. Dalam pembagiannya Lembaga legislative
terdiri atas 3 lembaga utama yaitu majelis permusyawaratan rakyat(MPR), dewan perwakilan
rakyat(DPR), dewan perwaki daerah(DPD). Masing-masing Lembaga memiliki tugas masing-
masing yang terutama berfokus pada undang-undang. Lembaga-lembaga tersebut diatur dalam
UUD 1945 yang menjadi landasan hukum dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab
kenegaraan.
inilah yang menjadi pembahasan dari makalah kami. Kami sadar bahwa penulisan
makalah ini kurang dari kata sempurna, karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari
semua pihak serta bimbingan yang lebih membangun lagi. Kami juga memohon maaf apabila
ada kesalahan kata-kata dan pengetikan karena kami masih dalam tahap pembelajaran. Dan
yang terakhir kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampuh mata kuliah
system politik Indonesia yang telah memberikan kami tugas kelompok demi kebaikan diri
kami sendiri. Laporan ini di buat berdasarkan informasi yang telah kami rangkum dari berbagai
sumber yang telah kami cantumkan.

19 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Bangun, Tegar. “Lembaga Legislatif.” Lembaga Legislatif, 2021,


https://id.m.wikipedia.org/wiki/Lembaga_legislatif. Accessed rabu, 15 september 2021.
Bangun, Teger. “Sejarah Lembaga Legislatif Di Indonesia.” 2010,
https://tegerbangun366.blogspot.com/2010/11/sejarah-lmbaga-legislatif-di-indonesia.html.
Accessed rabu, 15 September 2020.
Bitar. “Tugas DPD.” 2021, https://www.gurupendidikan.co.id/tugas-dpd/. Accessed Rabu, 15
September 2021.
DPR RI, Sekretariat Jendral. “Landasan Hukum DPR.” 2016,
https://www.dpr.go.id/jdih/index/id/1688. Accessed Rabu, 15 September 2021.
Harim, Sidiq. “Landasan Hukum MPR.” 2020, https://sosiologis.com/dasar-hukum-mpr. Accessed
Rabu, 15 September 2021.
Yuniarto, Topan. “Lembaga Dewan Perwakilan Daerah.” Lembaga Dewan Perwakilan Daerah, 2021,
https://kompaspedia.kompas.id/baca/profil/lembaga/dewan-perwakilan-daerah. Accessed rabu
15 september 2021.

20 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai