BADAN LEGISLATIF
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS DALAM MATA KULIAH “SISTEM POLITIK INDONESIA”
DOSEN PENGAMPUH
SALMIN DENGO M,Si Dr. AGUSTINUS B. PATI M.Si
196212201989031004 196109261988031003
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK E
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Badan Legislatif” ini dalam
rangka memenuhi tugas dalam mata kuliah Sistem Politik Indonesia.
Kami menyadari akan segala kekurangan dan ketidaksempurnaan, baik dari segi
penulisan maupun dari cara penyajianya. Oleh karena itu kami dengan senang hati menerima
kritik dan saran demim perbaikan makalah ini di masa yang akan 1ating. Kami berharap
kehadiran makalah ini dapat memberikan manfaat yang maksimal.
Penulis
1|Page
DAFTAR ISI
2|Page
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, ada tiga lembaga lembaga Negara yang saling
berkaitan namun memiliki tugas dan fungsinya masing-masing. Ketiga lembaga tersebut
adalah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dimana, ketiganya merupakan lembaga Negara
yang dapat mendukung jalannya pemerintahan sesuai fungsi dan tugasnya.
Kita sering mendengar beragam berita tentang lembaga-lembaga yang menghuni gedung
di kompleks parlemen, diantaranya ada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ya, ketiganya
merupakan lembaga legislatif. Lalu, apa yang dimaksud dengan lembaga Legislatif, apa
juga tugas dan fungsinya?
Lembaga Legislatif atau parlemen adalah sebuah lembaga yang mewakili seluruh rakyat
dalam menyusun undang-undang serta ikut mengawasi implementasi undang-undang yang
ada oleh badan eksekutif. Setiap anggota lembaga legislatif dipilih melalui pemilihan
umum (pemilu) dan langsung dipilih oleh rakyat.
B. RUMUSAN MASALAH
• Apa yang dimaksud dengan badan legislatif
• Lembaga apa saja yang termasuk dalam badan legislatif
• Apa saja tugas dan fungsi badan legislatif
C. TUJUAN
• Untuk mengetahui lebih banyak mengenai badan legislatif
• Mengetahui pembagian kekuasaan dalam badan legislative
• Memahami tugas serta peran dari badan legislative
3|Page
BAB II
PEMBAHASAN
A. LANDASAN TEORI
4|Page
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga legislatif bikameral yang
merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR
terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Keanggotaan
MPR diresmikan dengan keputusan Presiden. Sebelum reformasi, MPR terdiri atas anggota
DPR, utusan daerah, dan utusan golongan, menurut aturan yang ditetapkan undang-undang.
Jumlah anggota MPR periode 2014-2019 adalah 692 orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR
dan 132 anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan
pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji. Anggota MPR sebelum
memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh
Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna MPR. Anggota MPR yang berhalangan
mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama, mengucapkan sumpah/janji yang dipandu
oleh MPR.
5|Page
(2) Jumlah anggota DPRD provinsi sekurang-kurangnya 35 orang dan sebanyakbanyak
100 orang;
(3) Jumlah anggota DPRD kabupaten/kota sedikitnya 20 orang dan sebanyakbanyaknya 50
orang.
Keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan presiden. Anggota DPR berdomisili
di ibukota negara. Masa jabatan anggota DPR adalah lima tahun dan berakhir pada saat anggota
DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung (MA)
dalam sidang paripurna DPR.
6|Page
MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pemeriksaan, pimpinan MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan
pimpinan Kelompok Anggota MPR untuk membahas kelengkapan persyaratan.Jika
usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR
memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul
beserta alasannya.Sidang paripurna MPR dapat memutuskan pengubahan pasal
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu)
anggota.
b. Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum
MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang
paripurna MPR. Sebelum reformasi, MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara
memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan suara
terbanyak, namun sejak reformasi bergulir, kewenangan itu dicabut sendiri oleh MPR.
Perubahan kewenangan tersebut diputuskan dalam Sidang Paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2) tanggal 09 November
2001, yang memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung
oleh rakyat, Pasal 6A ayat (1).
c. Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya
MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan oleh DPR.MPR wajib
menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul. Usul DPR harus dilengkapi dengan
putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela dan/atau terbukti
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga
perempat) dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah anggota yang hadir.
d. Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden
Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai
berakhir masa jabatannya.
Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang
paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden. Dalam hal MPR tidak
dapat mengadakan sidang, Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan
7|Page
sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR. Dalam hal DPR tidak dapat
mengadakan rapat,Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-
sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah
Agung
e. Memilih Wakil Presiden
Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang
paripurna dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil
Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan
jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
f. Memilih Presiden dan Wakil Presiden
Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, MPR
menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden
yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon
Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.Dalam hal Presiden
dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan
adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara
bersama-sama.
g. Menetapkan peraturan tata tertib dan kode etik MPR
Penetapan tata tertib MPR tertuang pada Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia.Peraturan tata tertib tersebut dimaksudkan untuk mengatur
tentang susunan, kedudukan, dan keanggotaan serta tata cara MPR RI melaksanakan
wewenang, tugas, hak, dan kewajibannya.MPR melaksanakan wewenang dan tugasnya
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945, serta peraturan perundang-undangan lainnya.Sedangkan kode etik MPR tertuang
pada Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
2/MPR/2010 tentang Peraturan Kode Etik Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia.Kode Etik MPR merupakan norma atau ketentuan berlandaskan etik dan
moral sebagai pedoman perilaku dan berucap mengenai hal yang diwajibkan, dilarang,
atau tidak patut dilakukan Anggota MPR dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya
8|Page
(6) Menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti UU; (yang
diajukan Presiden) untuk ditetapkan menjadi UU.
b. Terkait dengan fungsi anggaran, DPR memiliki tugas dan wewenang
(1) Memberikan persetujuan atas RUU tentang APBN (yang diajukan Presiden);
(2) Memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU tentang APBN dan RUU terkait
pajak, pendidikan dan agama;
(3) Menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;
(4) Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara maupun
terhadap perjanjian yang berdampak luas bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara.
c. Terkait dengan fungsi pengawasan, DPR memiliki tugas dan wewenang:
(1) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan
pemerintah;
(2) Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD
(terkait pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran
dan penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE lainnya, pelaksanaan
APBN, pajak, pendidikan dan agama).
d. Tugas dan wewenang DPR lainnya, antara lain:
(1) Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat;
(2) Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk:
a) menyatakan perang ataupun membuat perdamaian dengan Negara lain;
b) mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial;
(3) Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal:
a) pemberian amnesti dan abolisi;
b) mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar lain;
(4) Memilih Anggota BPK dengan d.memperhatikan pertimbangan DPD
(5) Memberikan persetujuan kepada Komisi Yudisial terkait calon hakim agung
yang akan ditetapkan menjadi hakim agung oleh Presiden;
(6) Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk selanjutnya diajukan ke Presiden.
9|Page
d. Pengawasan Atas Pelaksanaan Undang - Undang Pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara,
pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada
DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
e. Penyusunan Prolegnas Menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
f. Pemantauan dan Evaluasi Ranperda dan Perda Melakukan pemantauan dan evaluasi
atas rancangan Peraturan daerah (Raperda) dan Peraturan daerah (Perda)
10 | P a g e
dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya. Memberhentikan presiden dan/atau wakil
presiden tentu saja harus atas usul DPR. DPR mengusulkan atas dasar adanya bukti
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya. Pemberhentian bisa juga diusulkan jika pejabat eksekutif tidak lagi
memenuhi syarat sebagai pejabat eksekutif.
11 | P a g e
1. Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan
undang-undang.
Pasal 22B
1. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syaratsyarat
dan tata caranya diatur dalam undangundang.
12 | P a g e
D. POLEMIK HUKUM DI LINGKUNGAN BADAN LEGISLATIF
1. KORUPSI OLEH ANGGOTA MPR
Dua anggota MPR/DPR Musa Zainuddin (Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa) dan Yudi
Widiana (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera) harus rela melepas jabatannya di MPR karena
tersangkut kasus korupsi. Dua politisi tersebut telah divonis masing-masing 9 tahun penjara
oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi politisi PKS ini baru resmi ditetapkan sebagai
tersangka oleh KPK pada Senin (6/2/2017) untuk kasus dugaan suap proyek pembangunan
jalan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun 2016 di Maluku dan Maluku
Utara.
Nama keduanya sering disebut dalam sidang Damayanti, Budi Supriyanto dan Sok Kok
Seng juga Abdul Khoir. Keduanya sering disebut sebagai pihak yang menerima suap miliar
rupiah. Termasuk juga terlibat dalam rapat setengah kamar yang dilakukan para komisi V DPR
di salah satu hotel di kawasan Jakarta Selatan tahun 2015 lalu. Dengan bertambahnya dua orang
yang telah ditetapkan sebagai tersangka, dalam kasus ini KPK telah menetapkan 10 tersangka
dan kemungkinan akan bertambah.
2. OMNIBUS LAW
Unjuk rasa Undang-Undang Cipta Kerja (atau lebih dikenal sebagai unjuk rasa tolak
omnibus law) adalah rangkaian aksi unjuk rasa yang dilaksanakan sejak Januari 2020 untuk
menolak diberlakukannya undang-undang sapu jagat Cipta Kerja yang disusun oleh
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. pro kontra Omnibus Law atau
Undang-Undang (RUU)
Jika dikutip dari laman resmi DPR RI, istilah omnibus berasal dari bahasa latin yang
berarti untuk semuanya. Sementara makna omnibus law artinya satu undang-undang yang
sekaligus merevisi beberapa undang-undang untuk menyasar isu besar di sebuah negara.
Omnibus law yang dikenal dengan UU sapu jagat ini dimaksudkan untuk merampingkan dan
menyederhanakan berbagai regulasi agar lebih tepat sasaran. Omnibus law itu akan mengubah
puluhan UU yang dinilai menghambat investasi, termasuk di antaranya UU Ketenagakerjaan.
Setidaknya, ada 74 UU yang terdampak UU ini. Selain itu, omnibus law juga dikenal dengan
omnibus bill. Omnibus bill artinya sebuah RUU yang terdiri dari sejumlah bagian terkait tetapi
terpisah yang berupaya untuk mengubah dan/atau mencabut satu atau beberapa undang-undang
yang ada dan/atau untuk membuat satu atau beberapa undang-undang baru.
Sedangkan awal gagasan omnibus law sebenarnya dari kekecewaan Presiden Joko
Widodo (Jokowi) lantaran minimnya investasi di Indonesia. Padahal investasi merupakan salah
satu penggerak ekonomi terutama di era ekonomi digital. Salah satu prediksi Jokowi, regulasi,
biroktasi, dan hukum yang berbelit membuat investasi tidak menarik. Kemudian presiden
berharap bila RUU Cipta kerja ini disahkan, pekerja/buruh di seluruh tanah air tetap terlindungi
khususnya dalam klaster ketenagakerjaan. Sedang pihak yang kontra terdiri dari para serikat
buruh dan pekerja, para LSM dan beberapa aliansi masyarakat sipil lainnya yang memiliki
sudut pandang yang berbeda dengan kebijakan yang dilahirkan melalui metode Omnibus Law.
Ruu tersebut memicu protes dari kalangan buruh. Mulai dari soal kontrak kerja sampai jam
kerja. Buruh pun mengancam akan melakukan protes.
Proses legislasi UU Cipta Kerja merupakan praktik buruk legislasi yang terus berulang
setelah pengesahan UU Minerba, revisi UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
dan revisi UU Mahkamah Konstitusi. Pengesahan RUU Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna
DPR pada Senin, 5 Oktober 2020 kemarin tidaklah mengagetkan, mengingat hampir setiap
13 | P a g e
minggu publik mendapat kabar bahwa pembahasan materi RUU Cipta Kerja terus melaju tanpa
dapat terbendung, meskipun gelombang penolakan terus menguat.
Kontrol terhadap usulan Presiden tidak dijalankan secara optimal. Alih-alih
melakukan pengawasan terhadap kebijakan Presiden dalam penanganan COVID 19, DPR
malah mengurusi legislasi yang masih dapat ditunda sampai pandemi berlalu, dan kemampuan
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan UU kembali membaik. Selain itu, DPR
juga menciderai fungsi repesentasinya. Pembahasan RUU dilakukan tanpa membuka dialog
dengan publik secara terbuka.
Proses yang tidak transparan dan partisipatif menjadi warna yang tidak dapat
dihilangkan dalam menggambarkan proses pembentukan UU Cipta Kerja. Proses legislasi
dilakukan secara tergesa, dan abai untuk menghadirkan ruang demokrasi. Ada 3 argumentasi
yang menggambarkan hal tersebut, yaitu pertama, pembahasan RUU pada masa reses dan di
luar jam kerja; kedua, tidak adanya draft RUU dan risalah rapat yang disebarluaskan kepada
masyarakat; dan ketiga, tidak adanya mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan suara
terbanyak dalam Rapat Paripurna untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU.
Rapat pembahasan RUU Cipta Kerja tercatat sempat dilakukan dalam masa reses dan
diluar hari kerja, selain juga sempat dilakukan di hotel, di luar Gedung DPR. Pada Pasal 1
angka 13 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR) menyebutkan
bahwa masa reses adalah masa DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar
gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja. Sedangkan Pasal 254 ayat (1) Tatib DPR
menyebutkan bahwa waktu-waktu rapat DPR mencakup hari kerja, yaitu Senin sampai Jumat.
Pelaksanaan rapat dalam masa reses, di luar waktu rapat, dan di luar Gedung DPR memang
dimungkinkan, tetapi atas dasar kesepakatan dalam rapat atau persetujuan Pimpinan DPR.
Pertimbangan atas kesepakatan dan persetujuan pelaksanaan rapat DPR dalam masa reses, di
luar waktu rapat serta di luar Gedung DPR inilah yang tidak pernah dipublikasikan kepada
publik, sehingga tidak dapat diketahui mengapa pembahasan RUU Cipta Kerja begitu cepat
dan cenderung dipaksakan, padahal substansi pengaturannya sangat kompleks dan mencakup
beragam isu.
Perlu dicatat juga pernyataan dari DPR bahwa penyegeraan pembahasan RUU Cipta
Kerja ini karena situasi pandemi COVID 19. Transparansi akan pertimbangan pengambilan
kesepakatan rapat dan persetujuan Pimpinan DPR ini penting mengingat belum lama ini DPR
dan Pemerintah sepakat untuk mengeluarkan beberapa RUU dari daftar prioritas 2020, dengan
alasan tidak cukup waktu pembahasan. Masih segar dalam ingatan kita RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual yang sebetulnya mendapat dorongan publik yang kuat untuk segera
diselesaikan, tetapi justru ditunda pembahasannya. Selain itu, ada juga berbagai RUU yang
pembahasannya terus tertunda dari tahun ke tahun, yang apabila dikerjakan dengan metode
kerja dalam pembahasan RUU Cipta Kerja bukan tidak mungkin dapat diselesaikan.
Tertutupnya ruang demokrasi dalam pembahasan RUU Cipta Kerja disebabkan juga
karena ruang partisipasi yang minim. Ruang-ruang yang terbuka hanya formalitas tanpa makna.
Rapat-rapat yang disiarkan langsung hanya yang bersifat pemaparan, bukan pengambilan
keputusan. Selain itu, makna partisipasi tidak dapat dirasakan karena masyarakat tidak
diberikan informasi yang cukup terkait dengan substansi RUU yang sedang dibahas dan
catatan-catatan atau risalah rapat sebelumnya, sehingga sulit untuk dapat memantau rapat
dengan baik.
Pengambilan keputusan pengesahan RUU Cipta Kerja dalam Sidang Paripurna DPR
juga patut dipertanyakan. Alur pengesahan RUU Cipta Kerja sejak awal dibawakan seolah
14 | P a g e
semua fraksi setuju, dan tidak terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat terlihat nyata
ketika Fraksi Partai Demokrat memaksa Pimpinan Sidang untuk memberikan kesempatan
kepada setiap Fraksi untuk menyampaikan pendapat akhirnya satu per satu. Dari tahap itu
terdengar bahwa Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera tegas menolak
RUU Cipta Kerja untuk disahkan. Dalam situasi ini seharusnya yang dilakukan oleh Pimpinan
Sidang Paripurna adalah merujuk kepada Pasal 308 ayat (3) yang menyebutkan bahwa apabila
pengambilan keputusan dengan cara musyawarah mufakat tidak tercapai, maka dilakukan
berdasarkan suara terbanyak. Dalam konteks ini seharusnya suara orang per orang anggota
DPR diperhitungkan, sehingga tidak otomatis dianggap sebagai satu kesatuan fraksi semata,
karena seorang anggota DPR merupakan representasi dari konstituennya, dan tanggungjawab
itu harus dihormati.
Selain itu, keabsahan pengambilan keputusan dalam Sidang Paripurna DPR pengesahan
RUU Cipta Kerja pun patut dipertanyakan melihat banyaknya anggota DPR yang tidak hadir
dalam Sidang Paripurna DPR untuk memutuskan peraturan sepenting RUU Cipta Kerja. Dalam
hal ini DPR harus mampu membuktikan bahwa keputusannya dalam Sidang Paripurna DPR
untuk mengambil keputusan pengesahan RUU Cipta Kerja telah memenuhi kuorum.
Dalil Pemerintah adalah adanya indikasi permasalahan perizinan, baik di tingkat pusat
maupun daerah, masih banyaknya tumpang tindih peraturan yang menjadi penyebab investor
tidak tertarik menanamkan saham di Indonesia. Upaya yang ingin dilakukan adalah adanya
perbaikan aturan-aturan yang dinilai menghambat investasi demi meningkatkan Perekonomian
negara melalui paket kebijakan Omnibus Law.
Aturan yang diwacanakan sebagai aturan sapu jagat tersebut langsung memantik
polemik. Serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil menyatakan menolak keras RUU ini
karena aturan baru dianggap merugikan buruh dan berpotensi melanggar hak asasi manusia
dan berdampak buruk pada lingkungan hidup.
Ini Sejumlah Poin Omnibus Law UU Cipta Kerja yang Menuai Sorotan
a. Penghapusan upah minimum.
Salah satu poin yang ditolak serikat buruh adalah penghapusan upah minimum
kota/kabupaten (UMK) dan diganti dengan upah minimum provinsi (UMP). Penghapusan
itu dinilai membuat upah pekerja lebih rendah. Padahal, dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan tak boleh ada pekerja yang mendapat
upah di bawah upah minimum. Baik UMP dan UMK, ditetapkan oleh gubernur dengan
memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan bupati/wali kota.
b. Jam lembur lebih lama
Dalam draf omnibus law Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 disebutkan waktu kerja
lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu.
Ketentuan jam lembur itu lebih lama dibandingkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang
menyebut kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu.
c. Kontrak seumur hidup dan rentan PHK Dalam RUU Cipta Kerja salah satu poin Pasal 61
mengatur perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai. Sementara, Pasal 61A
menambahkan ketentuan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada
pekerja yang hubungan kerjanya berakhir. UU Cipta Kerja juga tak lagi menyebutkan batas
waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pegawai kontrak, seperti dalam Pasal
59 ayat 4. Dalam pasal itu, hanya disebutkan ketentuan mengenai jenis dan sifat atau
kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan PKWT diatur dengan
peraturan. Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, batas waktu
15 | P a g e
perpanjangan PKWT paling lama adalah dua tahun, dan hanya bisa diperpanjang satu kali
untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Dengan aturan ini, RUU Cipta Kerja dinilai
merugikan pekerja karena ketimpangan relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan. Sebab,
jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha yang berpotensi membuat status
kontrak pekerja menjadi abadi. Bahkan, pengusaha diniali bisa mem-PHK pekerja sewaktu-
waktu.
d. Pemotongan waktu istirahat Pada Pasal 79 ayat 2 poin b dikatakan waktu istirahat
mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu. Selain itu, dalam ayat
5, RUU ini juga menghapus cuti panjang dua bulan per enam tahun. Cuti panjang disebut
akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Hal tersebut jauh berbeda dari UU Ketenagakerjaan sebelumnya yang menjelaskan secara
detail soal cuti atau istirahat panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun di
perusahaan yang sama. Baca juga: Nasib Pekerja jika Omnibus Law Cipta Kerja
Disahkan...
e. Mempermudah perekrutan TKA Pasal 42 tentang kemudahan izin bagi tenaga kerja asing
(TKA) merupakan salah satu pasal yang paling ditentang serikat pekerja. Pasal tersebut
akan mengamandemen Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA
mendapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. Jika mengacu pada Perpres
Nomor 20 Tahun 2018, diatur TKA harus mengantongi beberapa perizinan seperti Rencana
Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin
Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Pengesahan RUU Omnibus Law akan
mempermudah perizinan TKA, karena perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya perlu
membutuhkan RPTKA saja.
Walaupun mengahadapi berbagai gejolak penolakan akhirnya UU itu resmi
diundangkan dengan nomor UU 11 Tahun 2020. Adapun yang menyangkut ketenagakerjaan,
katanya, seperti hak cuti hamil, melahirkan, menyusui, dan menstruasi untuk pekerja
dikembalikan seperti aturan semula. Begitu pula dengan aturan jam kerja. Namun demikian,
skema pesangon bagi pekerja yang di-PHK diubah oleh pemerintah. Jika merujuk pada aturan
sebelumnya, pesangon diberikan sebanyak 32 kali upah dengan skema 23 kali ditanggung
pengusaha dan sembilan kali oleh pemerintah melalui jaminan BPJS. Tapi pemerintah
menginginkan agar skema itu diturunkan menjadi 25 kali upah dengan skema 19 kali
ditanggung pengusaha dan enam kali oleh pemerintah.
Selanjutnya dalam RUU Cipta Kerja juga membuka peluang dalam kemudahan
mempekerjakan tenaga kerja asing di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan kawasan industri.
Kemudian,, pemberlakuan Upah Minimum Sektoral di tingkat kabupaten/kota yang terancam
hilang. Ia menjelaskan, penetapan upah minimum hanya berlaku di tingkat provinsi. Sementara
kabupaten/kota bisa diterapkan jika ada persetujuan dari gubernur dengan hitungan merujuk
pada pertumbuhan ekonomi dan inflansi.
Meski masih ada penolakan-penolakan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Airlangga Hartanto, pada Minggu (04/10) menyebut RUU Cipta Kerja akan dibawa ke Rapat
Paripurna DPR untuk pengambilan keputusan dan mendapat pengesahan. Ia mengklaim RUU
Cipta Kerja akan bermanfaat besar untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional dan
membawa Indonesia memasuki era baru perekonomian global. Menko Perekonomian
Airlangga Hartarto (tengah), Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin (kanan) dan Ketua Fraksi
Partai Golkar Kahar Muzakir (kiri) menghadiri focus group discussion (FGD) tentang Omnibus
Law Cipta Kerja, Rabu (26/02/2020). "RUU Cipta Kerja akan mendorong reformasi regulasi
16 | P a g e
dan debirokratisasi, sehingga pelayanan pemerintahan akan lebih efisien, mudah, dan pasti,
dengan adanya penerapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) dan penggunaan
sistem elektronik", ujar Menko Airlangga dalam siaran pers Minggu (04/10). Terkait
ketenagakerjaan, Airlangga mengklaim RUU ini menjamin adanya kepastian dalam pemberian
pesangon di program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Sedangkan mekanisme PHK,
katanya, tetap mengikuti persyaratan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan tidak
menghilangkan hak cuti haid dan cuti hamil. Sementara kepada pengusaha, RUU Cipta Kerja
akan memberi manfaat yang mencakup kemudahan dan kepastian dalam mendapatkan
perizinan berusaha. Pengusaha juga, lanjutnya, akan mendapatkan insentif dan kemudahan
baik dalam bentuk insentif fiskal. Di samping adanya bidang kegiatan usaha yang lebih luas
untuk dapat dimasuki investasi, dengan mengacu kepada bidang usaha yang diprioritaskan
pemerintah (Daftar Prioritas Investasi).
17 | P a g e
sekarang ini. Karenanya penundaan pemilihan pengganti Irman Gusman adalah tindakan
bertentangan peraturan perundang-undangan dan harus dihentikan.
Berdasarkan Pasal 54 ayat (3) Tatib DPD maka pengganti Irman Gusman sebagai
pimpinan DPD harus diisi oleh calon yang berasal dari keterwakilan wilayah yang sama. Calon
pengganti tersebut harus mendaftarkan diri sebagai bakal calon pimpinan kemudian
memperkenalkan diri serta menyatakan kesediannya menjadi Pimpinan DPD dan bersedia
bekerja sama dengan Pimpinan DPD yang lain sebagaimana diatur Tatib DPD. Setelah itu
dilanjutkan dengan proses pemilihan, dan terhadap 1 bakal calon yang mendapatkan suara
terbanyak itu diteetapkan menjadi pimpinan DPD.
Dari ketiga pimpinan DPD termasuk yang sebelumnya menjabat menjalankan
mekanisme pemilihan ketua, dengan memberikan setiap anggota DPD hak untuk memilih salah
satu pimpinan menjadi ketua. Ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) Tatib DPD ini menunjukkan
bahwa pemilihan Ketua DPD merupakan hak dari setiap anggota, sehingga tidak bisa di
dapatkan dari mekanisme penggantian semata. Apabila didasarkan dengan penggantian, maka
dari perspektif hukum administrasi negara, menunjukkan posisinya lebih lemah dari ketua DPD
definitif yang dipilih oleh setiap anggota. Dengan kata lain lebih mirip posisinya dengan
pelaksana tugas (plt). Untuk itu kocok ulang ketua DPD merupakan upaya solutif guna
mengembalikan marwah DPD dalam melaksanakan komitmen Tatib yang saat ini mulai
diabaikan.
Sidang Paripurna Luar Biasa Dewan Perwakilan Daerah akhirnya memilih senator asal
Bengkulu, Mohammad Saleh, sebagai ketua DPD yang baru untuk menggantikan Irman
Gusman melalui pemungutan suara dan dilantik pada 12-10-2016. Saleh terpilih melalui dua
tahap persidangan. Pada persidangan pertama dengan agenda pemilihan unsur pimpinan DPD
wilayah Indonesia barat, Saleh yang baru mendaftar sebagai bakal calon saat sidang paripurna
luar biasa ini meraih 59 suara. Dia unggul atas sebelas senator lainnya. Sementara, pada
persidangan kedua dengan agenda penentuan ketua DPD yang baru, Saleh unggul 61 suara dari
dua pesaingnya yakni, Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad dan GKR Hemas.
Di sisi lain, Irman Gusman masih belum terima perihal pemberhentian dirinya dari
posisi Ketua DPD. Kuasa Hukum Irman Gusman, Mujahid A Latief mengatakan, pihaknya
telah mengajukan gugatan keputusan Badan Kehormatan DPD tentang pemberhentian kliennya
ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam gugatannya, Badan Kehormatan DPD dianggap
telah melanggar Tata Tertib DPD, Undang-undang Nomor 17 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD saat memberhentikan Irman sebagai ketua. “Kami ajukan gugatan dengan permintaan
agar hakim menyatakan pemberhentian Irman Gusman cacat hukum atau batal demi hukum,”
kata Lafief saat dihubungi CNN Indonesia.com. Namun, Ketua Badan Kehormatan DPD AM
Fatwa dalam persidangan mengatakan, pihaknya siap menjalani dan menghadapi proses hukum
atas gugatan tim kuasa hukum Irman, di PN Jakarta Selatan.
Irman Gusman dijatuhi vonis 4 tahun 6 bulan penjara, hak politik Irman Gusman juga
dicabut selama tiga tahun usai menjalani hukuman oleh Pengadilan Tipikor. Tidak Terima
dengan jatuhan hukum yang diterima Irman Gusman mengajukan upaya hukum peninjauan
kembali (PK) ke Mahkamah Agung dan berharap untuk mendapatkan keinginan hukuman.
Majelis PK akhirnya mengabulkan permohonan Irman Gusman dengan mengurangi hukuman
Irman menjadi 3 tahun penjara, denda Rp50 juta subsider 1 bulan kurungan serta pencabutan
hak politik.
18 | P a g e
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lembaga Legislatif atau parlemen adalah sebuah lembaga yang mewakili seluruh
rakyat dalam menyusun undang-undang serta ikut mengawasi implementasi undang-undang
yang ada oleh badan eksekutif. Setiap anggota lembaga legislatif dipilih melalui pemilihan
umum (pemilu) dan langsung dipilih oleh rakyat. Dalam pembagiannya Lembaga legislative
terdiri atas 3 lembaga utama yaitu majelis permusyawaratan rakyat(MPR), dewan perwakilan
rakyat(DPR), dewan perwaki daerah(DPD). Masing-masing Lembaga memiliki tugas masing-
masing yang terutama berfokus pada undang-undang. Lembaga-lembaga tersebut diatur dalam
UUD 1945 yang menjadi landasan hukum dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab
kenegaraan.
inilah yang menjadi pembahasan dari makalah kami. Kami sadar bahwa penulisan
makalah ini kurang dari kata sempurna, karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari
semua pihak serta bimbingan yang lebih membangun lagi. Kami juga memohon maaf apabila
ada kesalahan kata-kata dan pengetikan karena kami masih dalam tahap pembelajaran. Dan
yang terakhir kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampuh mata kuliah
system politik Indonesia yang telah memberikan kami tugas kelompok demi kebaikan diri
kami sendiri. Laporan ini di buat berdasarkan informasi yang telah kami rangkum dari berbagai
sumber yang telah kami cantumkan.
19 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
20 | P a g e