Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH AKUNTANSI KEUANGAN LANJUTAN II

PENGAWASAN PERBANKAN OLEH OJK

NAMA KELOMPOK 3 :

Nama : M.rizky afredho Nama : Heni wahyuningsih


Npm :165310861 Npm : 155310380
Nama : Astri Ramadona Nama : Anton Atmaja
Npm :155311180 Npm : 165311083
Nama : kasmawati Nama : Della Rosa kintania
Npm : 165310828 Nmp :165311870
Nama :Widia rismayanti Nama : Rahmatulaillah husna
Npm: 165310859 Npm : 165310377

i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-nya kepada kami,sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ilmiah Ini.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu,Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki Makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya
untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap
pembaca.

Pekanbaru, Mei 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI......................................................................................................iii
BAB I..................................................................................................................1
PENDAHULUAN..............................................................................................1
1.LATAR BELAKANG.................................................................................1
A.RUMUSAN MASALAH....................................................................... 3
B.TUJUAN................................................................................................. 3
BAB II................................................................................................................ 4
PEMBAHASAN................................................................................................ 4
1. PENGAWASAN PERBANKAN DI INDONESIA................................. 4
A. Tujuan Pengawasan BANK................................................................. 4
B. Prinsip-prinsip BANK.......................................................................... 7
2. Pengaturan Pengawasan Kewenangan Bank Indonesia Dan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK).................................................................................. 15
A. Jenis-Jenis Fintech................................................................................24
B. Manfaat Fintech....................................................................................26
3. Kasus SNP Finance....................................................................................46
A. Kesimpulan SNP Finance.....................................................................50
BAB III...............................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................52

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Selama ini pengawasan dalam kegiatan keuangan di Indonesia dipegang
oleh dua instansi yang berbeda. Bank Indonesia melakukan pengawasan dalam
sektor perbankan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam-LK) melakukan pengawasan di kegiatan pasar modal dan lembaga
keuangan non-bank.
Bank Indonesia selaku Bank Sentral mempunyai tugas melakukan
pengaturan dan pengawasan bank yang bertujuan untuk menciptakan sistem
perbankan yang sehat, yang memenuhi aspek perbankan yang dapat memelihara
kepentingan masyarakat dengan baik dan berkembang secara wajar, dalam arti di
satu pihak memerhatikan faktor risiko seperti kemampuan, baik dari sistem,
finansial, maupun sumber daya manusia.
Kewenangan Bank Sentral dalam melakukan pengaturan dan pengawasan
bank adalah sebagai alat atau sarana untuk mewujudkan sistem perbankan yang
sehat, yang menjamin dan memastikan dilaksanakannya segala peraturan
perundang-undangan yang terkait dalam penyelenggaraan usaha bank yang
bersangkutan. Dengan demikian, bila ternyata dalam tugas mengatur dan
mengawasi bank tersebut Bank Sentral menemukan suatu penyimpangan yang
dilakukan oleh bank, akan dapat segera dilakukan tindakan.
Bapepam-LK mempunyai tugas membina, mengatur, dan mengawasi
sehari-hari kegiatan pasar modal serta merumuskan dan melaksanakan kebijakan
dan standarisasi teknis di bidang lembaga keuangan, sesuai dengan kebijakan
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugas tersebut Bapepam-LK
menyelenggarakan fungsi sebagai berikut :
1. Penyusunan peraturan di bidang pasar modal.
2. Penegakan peraturan di bidang pasar modal.
3. Pembinaan dan pengawasan terhadap pihak yang memperoleh izin usaha,
persetujuan, pendaftaran dari Badan dan pihak lain yang bergerak di pasar
modal.

v
4. Penetapan prinsip-prinsip keterbukaan perusahaan bagi Emiten dan
Perusahaan Publik.
5. Penyelesaian keberatan yang diajukan oleh pihak yang dikenakan sanksi oleh
Bursa Efek, Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian.
6. Penetapan ketentuan akuntansi di bidang pasar modal.
7. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang lembaga keuangan.
8. Pelaksanaan kebijakan di bidang lembaga keuangan, sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
9. Perumusan standar, norma, pedoman kriteria dan prosedur di bidang lembaga
keuangan
10. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang lembaga keuangan
11. Pelaksanaan tata usaha Badan.

Akan tetapi, pada tanggal 22 November 2011 DPR telah mensahkan


Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas
Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen
dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan dalam sektor
jasa keuangan.
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu
mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan kata lain,
OJK dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga
mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK mampu menjaga
kepentingan nasional yang meliputi sumber daya manusia, pengelolaan,
pengendalian, dan kepemilikan sektor jasa keuangan, dengan tetap
mempertimbangkan aspek positif globalisasi.
Lebih dari itu, OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata
kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban,
transparasi, dan kewajaran (fairness).4 Secara kelembagaan, OJK berada di luar
pemerintah, yang dapat bermakna bahwa OJK tidak menjadi bagian dari

vi
kekuasaan pemerintah. Namun tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur
pemerintah karena pada hakikatnya OJK merupakan otoritas yang memiliki relasi
dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan
moneter. Oleh sebab itu, lembaga ini juga melibatkan keterwakilan dari unsur-
unsur dari kedua otoritas tersebut secara ex-officio. Keberadaan ex-officio ini
dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di
bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Ini diperlukan untuk
memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global
dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi
demi manjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan.

A. Rumusan Masalah
A. Apa Itu Pengawasan Perbankan?
B. Apa saja UU yang mengatur tugas dan fungsi dan lainnnya.
C. Bagaimana Pandangan OJK Mengenai Inventasi Fintech.
D. Apa itu Fintech.? Apa Fungsi Pengawas perbankan pada Fintech.
E. Menjelaskan Kasus SNP Finence.

B. Tujuan
1. Menjelaskan Pengawasan Perbankan
2. Mengetahui UU yang mengatur tugas,fungsi dan lainnya
3. Menjelaskan Pandangan OJK mengenai inventasi Fintech
4. Mengetahui Maksud dari fintech dan menjelaskan fungsi pengawas terhadap fintech
5. Mengetahui dan menjelaskan kasus SNP Finence.

vii
Bab II
PEMBAHASAN

1. PENGAWASAN PERBANKAN DI INDONESIA


A.Tujuan Pengawasan Bank
Dalam Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan pengawasan adalah penilikan dan
penjagaan, penilikan dan pengarahan kebijakan jalannya perusahaan. Dalam hal
ini salah satu dari fungsi manajemen adalah melakukan pengawasan, selain dari
perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan. Artinya pengawasan harus
dilakukan setiap perusahaan agar manajemen perusahaan berjalan secara benar.
Fungsi pengawasan dilakukan terhadap seluruh aktivitas perusahaan
baik yang belum berjalan atau yang sedang berjalan. Pengawasan dilakukan
terhadap sumber daya manusia, sistem yang dijalankan, proses, output serta sarana
dan prasarananya. Tujuannya tidak lain adalah agar pencapaian target yang
ditetapkan perusahaan agar mudah dicapai.
Fungsi dan peran pengawasan bank dengan fungsi dan peran
manajemen bank merupakan dua kegiatan yang sangat erat kaitannya. Fungsi dan
perannya memang berbeda, tetapi bidang usaha yang menjadi objeknya sama,
yaitu bidang usaha perbankan yang karakternya mengandung berbagai resiko.
Tujuannya pun sama yaitu mengusahakan terwujudnya usaha bank yang sehat dan
berdasarkan asas kehati-hatian, mampu meredam hingga sekecil-kecilnya
beragam resiko dari usaha bank, bertujuan melindung para deposan dan kreditur,
mewujudkan citra tinggi bank sebagai lembaga kepercayaan, serta mewujudkan
keamanan dan kestabilan sistem perbankan. Setiap negara berkepentingan dan
menaruh perhatian yang besar terhadap fungsi dan peran.
pengawasan bank, sebab bank sebagai lembaga kepercayaan memiliki karakter
yang unik dibanding jenis usaha lainnya.
Pengawasan juga dilakukan sebagai sarana pencegahan terjadinya penyimpangan
atas aktivitas sebelum dilaksanakannya suatu kegiatan. Artinya sebelum jadi
kegiatan, penyimpangan sudah terjadi, misalnya pada saat penyusunan anggaran,
jadi kegiatan pengawasan harus dilakukan sedini mungkin.
Pengawasan begitu penting dilakukan karena pengawasan begitu
banyak manfaat bagi perusahaan.

viii
Secara umum dikatakan bahwa tujuan dilakukannya pengelolaan dan
pengawasan adalah :
1. Agar aktivitas perusahaan berjalan sesuai dengan rencana yang telah dibuat,
baik proses, sistem dan hasil yang dicapai.
2. Agar jangan sampai terjadi penyimpangan, artinya keluar dari yang telah
direncanakan, jika terjadi, maka perlu diambil tindakan pengadilan.
3. Mengurangi nilai karyawan untuk melakukan penyimpangan, dengan cara
membuat seseorang menjadi bekerja dengan baik, karena merasa ada pengawasan
terhadap aktivitasnya.
4. Memudahkan pencegahan, artinya jika ada indikasi atau gelagat atau gejala
akan ada penyimpangan, maka mudah untuk ambil tindakan pencegahan, tidak
terjadi penyimpangan.
5. Pengendalian biaya, artinya dengan adanya pengelolaan dan pengawasan maka
biaya yang tiidak perlu keluar dapat diminimalkan segala bentuk kebocoran
sehingga terjadi efesiensi.
6. Agar tujuan perusahaan tercapai, artinya jika semua aktivitas perusahaan
berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan, maka pencapaian target akan
mudah tercapai, misalnya laba perusahaan akan meningkat.

Adapun proses pengawasan meliputi tiga tahapan proses yaitu :


1) Proses penentuan standard
Proses ini meliputi penenttuan ukuran-ukuran yang dipergunakan sebagai dasar
penentuan tingkat pencapaian tujuan yang telah di tentukan dalam perencanaan.
2) Proses evaluasi atau proses penilaian
Dalam tahap ini dilakukan pengukuran terhadap realita yang telah terjadi sebagai
hasil kerja dari tugas yang telah dilakukannya. Setelah diukur tingginya hasil itu
maka kemudian hasil pengukuran itu diperbandingkan dengan ukuran ukuran
standard yang telah ditentukan pada tahap pertama tadi.
3) Proses perbaikan
Dalam tahap ini mencoba menccari jalan keluar untuk mengambil langkah-
langkah tindakan korelasi terhadap terjadi penyimpangan-penyimpangan tersebut
pada tahap kedua. Setelah ketiga tahap proses pengawasan tersebut maka perlu
menyajikan hasil-hsil dari proses pengawasan itu dalam bentuk suatu laporan hasil
pengawasan.

ix
Dalam kaitannya dengan pengawasan terhadap bank di Indonesia, adapun inti dari
dari pengawasan bank adalah melindungi kepentingan masyarakat penyimpan
(deposan dan kreditur) yang mempercayakan dana nya kepada bank untuk
memperoleh pembayaran kembali dan manfaatnya dari bank sesuai dengan sifat,
jenis, dan cara pembayaran yang telah dijanjikannya. Tujuan tersebut dapat
dicapai, bila bank yang melakukan kegiatan usahanya berdasarkan asas usaha
bank yang sehat dan dapat dipertanggung jawabkan.

Setelah mengetahui tujuan pengawasan bank, perlu diketahui juga dasar


pertimbangannya, yaitu fungsi pokok bank ada tiga :
1.Menghimpun dana dari masyarakat
2.Menanamkan dana yang dikelolanya ke dalam berbagai aset produktif, misalnya
dalam bentuk kredit, dan
3.Memberikan jasa layanan lalu-lintas pembayaran dan jasa layanan perbankan
lainnya.

Dengan fungsi seperti itu, bank berperan sebgai lembaga intermediasi yang
mempertemukan dua pihak yang berbeda kepentingannya, baik dalam
penghimpunan dan penanaman dana, mauoun dalam pelayanan transaksi
keuangan dan lalu-lintas pembayaran.

Adapun tujuan dan pengaturan pengawasan bank di Indonesia adalah sebagai


berikut:
1) Lembaga kepercayaan masyarakat dalam kaitanya sebagai lembaga
penghimpun dan penyalur dana
2) Pelaksana kebijakan moneter
3) Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi serta
pemerataan , agar terciptanya sistem perbankan secara menyeluruh maupun
individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik,
berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.

x
Untuk mencapai tujuan tersebut pendekatan yang dilakukan dengan menerapkan
1.Kebijakan memberikan keleluasaan berusaha ( deregulasi)
2.Kebijakan prinsip kehati-hatian (prudential banking)
3.Pengawasan bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secara konsisten
ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulatory banking) dalam
melaksanakan kegiatan operasionalnya yang degan tetap mengacu kepada prinsip
kehati-hatian.

B.Prinsip-Prinsip Pengawasan Bank


Secara umum, peranan Bank sentral sangat penting dan strategis dalam upaya
menciptakan sistem perbankan yang sehat dan efesien.
Pada hakikatnya, pengaturan dan pengawasan bank dimaksudkan untuk
meningkatkan keyakinan dari setiap orang yang mempunyai kepentingan dengan
bank,bahwa bank-bank dari segi finansial tergolong sehat, bahwa bank dikelola
dengan baik dan profesional, serta didalam bank tidak terkandung segi-segi yang
merpakan ancaman terhadap kepentingan masyarakat yang menyimpan dana nya
di bank.
Dengan kata lain, tujuan umum dari pengaturan dan pengawasan bank adalah
meciptakan sistem perbankan yang sehat, yang memenuhi tiga aspek, yaitu
perbankan yang dapat memeliharah kepentingan masyarakat dengan baik,
berkembang secara wajar, dalam arti disatu pihak memperhatikan faktor risiko
seperti kemampuan, baik dari sistem, finansial, maupun sumber daya manusia.
Sesuai dengan pasal 29 undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dalam ayat
(2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan
kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, lukuiditas, rentabilitas,
solvabilitas dan aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib
melakukan sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Ketentuan-ketentuan perbankan
yang memuat prinsip kehati- hatian bertujuan untuk memberikan rambu-rambu
untuk penyelenggara kegiatan usaha perbankan.
Adapun prinsip-prinsip pengawasan bank yang Efektif yang berjumlah 25 butir
disusun oleh suatu komite pengawas perbankan yang disebut The Basle
Committee on Banking Supervision. Dari jumlah tersebut dapat dikelompokkan
kedalam 7 prinsip inti ( core Principles) pengawasan Bank sebagai berikut :

xi
1) Prinsip prekondisi bagi pengawasan bank yang efektif.

2) Prinsip perizinan dan struktur.

3) Prinsip ketentuan kehati-hatian dan persyaratan.

4) Prinsip metode pengawasan perbankan yang sedang berjalan.

5) Prinsip persyaratan informasi.

6) Prinsip kewenangan pengawas.


7) Prinsip lintas perbankan.

Prinsip-prinsip pengawasan Bank yang Efektif ini menjadi acuan pengawasan


bank di negara-negara anggota G-10 dan diharapkan akan digunakan dan
diterapkan pula oleh lembaga-lembaga pengawas perbankan di semua negara
dalam melaksanakan wewenangnya sebagai otoritas pengawas di sektor
perbankan.
Prinsip-prinsip ini pada dasarnya merupakan standar minimum oleh karena itu
dalam beberapa hal perlu dilakukan penambahan ketentuan ketentuan lain yang
disesuaikan dengan kondisi perbankan termasuk pertimbangan resiko dalam
sistem keuangan negarayang bersangkutan. Sesuai dengan tujuan
penyusunanannya, prinsip-prinsip pengawasan bank ini dimaksudkan untuk
digunakan sebagai referensi atau acuan dasar untuk melaksanakan pengawasan
bank disemua negara tidak hanya negara-negara anggota Kelompok-10 dan
negara-negara yang ikut membahas dan mempersiapkan konsepnya, diharapkan
akan menjadi acuan bagai otoritas pengawas perbankan secara Internsional.
Pelaksanaan fungsi pengawasan bank (otoritas pengawasan bank) biasanya
dilakukan oleh bank sentral negara yang bersangkutan. Telah diketahui bahwa
fungsi bank sentral adalah menjaga kestabilan moneter.
Adapun tolak ukurnya adalah kestabilan nila mata uang negara yang
bersangkutan, kestabilan harga, nilai tukar dan pengendalian inflasi. Selain itu
bank sentral juga mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Suatu
penelitian internasional menyimpulkan bahwa efektivitas pelaksanaan kebijakan

xii
moneter memerlukan dukungan sistem perbankan yang sehat. Hal ini menunjukan
adanya kaitan erat antara efektivitas pelaksanaan kebijakansanaan moneter dengan
efektivitas pelaksanaan pengawasan bank.

Kewenangan otoritas pengawasan bank juga tidak selalu sama antara satu
negara dengan negara lainnya. Apakah otoritas pengawasn bank itu mau
diletakkan pada fungsi bank sentral tergantung dari status dan kedudukan bank
sentral itu sendiri. Ada bank sentral yang memiliki wewenang penuh atau
independen dan ada juga yang wewenangnya terbagi atau di bawah kordinasi
Menteri Keuangan.

Dengan demikian, prinsip dan metode yang digunakan dalam pengawasan bank
pada dasarnya sama. Adapun prinsip dan metode tersebut meliputi 6 jalur, yaitu :
1) Pengaturan (regulasi)
2) Pengawasan tidak langsung (Off-site Supervision)
3) Pengawasan langsung/pemeriksaan (On-site Supervision)
4) Kontak dan komunikasi teratur dengan bank
5) Tidak remedial dan/atau penerapan sanksi
6) Kerja sama dengan otoritas pengawasan bank negara lain.
Dalam hal pengawasan bank terdapat juga asas kehati-hatian (Prudent Banking
Supervison). Istilah “Prudent” yang dikaitkan dengan fungsi pengawasan bank
dan manajemen bank mulai dikenal pada belahan kedua tahun 1980-an. Kata
“Prudent” itu

sendiri secara harfiah dalam bahasa Indonesia berarti “bijaksana”. Namun, dalam
dunia perbankan istilah itu digunakan untuk “ Asas Kehati-hatian”. Prudent yang
berarti bijaksana atau asas kehati-hatian itu bukanlah istilah baru, namun
mengandung konsepsi baru dalam menyikapi secara lebih tegas, rini, dan efektif
atas berbagai resiko yang melekat pada usaha bank. Jadi prudent merupakan
konsep yang memilii unsur sikap, prinsip, standar kebijakan, dan teknik dalam
manajemen risiko bank yang sedemikian rupa, sehingga dapat menghindari akibat
sekecil apa pun, yang dapat membahayakan atau merugikan stakeholders,

xiii
terutama para depositor dan kreditur. Tujuan yang lebih luas adalah untuk
menjaga keamanan, kesehatan,dan kestabilan sistem perbankan.

Struktur Pengawasan Lembaga Keuangan


Menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan republik Indonesia No.792
tahun 1990 tentang “Lembaga Keuangan”, lembaga keuangan diberi batasan
sebagai semua badan yang kegiatannya dibidang keuangan, melakukan
penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna membiayai
investasi perusahaan. Mengingat kegiatan utama dari lembaga keuangana adalah
menghimpun dan menyalurkan dana, perbedaan antara bank dan lembaga
keuangan bukan bank dapat dilihat melalui kegiatan utama mereka. Adapun
perbedaan antara lembaga keuangan bank dan bukan bank, perbedaan yang utama
adalah terletak pada penghimpunan dana. Dalam hal ini penghimpunan dana,
secara tegas disebutkan bahwa bank dapat menghimpun dana baik secara
langsung maupun secara tidak langsung dari masyarakat, sedangkan lembaga
keuangan bukan bank hanya dapat menghimpun dana secara tidak langsung dari
masyarakat.
Sebagai unit usaha yang bergerak dibidang keuangan, produk dari lembaga
keuangan adalah jasa-jasa finansial. Jasa-jasa ini merupakan bentuk dari
kegiatannya yang memudahkan pendistribusian dana dan modal.

Fungsi-fungsi ini sangat penting dalam efesiensi sistem finansial. Fungsi-


fungsi itu dapat berupa kegiatan.
a.Mekanisme pembayaran ( Payment mechanism).
b.Perdagangan sekuritas ( trading security).
c.Transmutasi (transmutation).
d.Diversifikasi resiko (risk diversification).
e.Manajemen portofolio ( portofolio management).

Lembaga keuangan pada dasarnya mempunyai fungsi mentransfer dana (loanable


funds) dari penabung atau unit surplus (lenders) kepada peminjam ( borrowers)

xiv
atau unit defisit.Regulasi dan supervisi terhadap lembaga keuangan bank dan
nonbank selama ini ditangani oleh institusi yang berbeda. Lembaga keuangan
bank diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia (BI), sedangkan lembaga keuangan
nonbank seluruhnya diawasi oleh Bapepam-LK—sebuah lembaga yang bernaung
di bawah Kementerian Keuangan. Regulasi dan supervisi sektor perbankan
dilaksanakan oleh Bank Indonesia berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009. Sektor perbankan diatur dan diawasi oleh BI karena sektor tersebut
memiliki pertautan erat dengan kebijakan moneter—mengawasi dan mengatur
sektor perbankan merupakan salah satu tugas untuk mencapai kestabilan nilai
tukar rupiah.

Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas


Jasa Keuangan (OJK) pada 22 November 2011, kebijakan politik hukum nasional
mulai mengintrodusir paradigma baru dalam menerapkan model pengaturan dan
pengawasan terhadap industri keuangan Indonesia.

Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 tersebut, pengaturan dan pengawasan


lembaga keuangan menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan.
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang No. 21 Tahun 2011, Otoritas Jasa
Keuangan memiliki fungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan.

Melalui Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2011 tersebut, Indonesia akan


menerapkan model pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi (integration
approach), yang berarti akan meninggalkan model pengawasan secara
institusional. Dengan diberlakukannya UU No. 21 Tahun 2011 ini, maka seluruh
fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap sektor keuangan yang kini masih
tersebar di BI dan Bapepam-LK akan menyatu ke dalam OJK.
Struktur pengawasan Bank di Indonesia selain Otoritas Jasa Keuangan ada juga
Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan, dalam hal ini Otoritas Jasa
Keuangan berdasarkan Ketentuan pada Bab XIII tentang Ketentuan Peralihan
tepatnya di Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan ditentukan
khusus untuk perbankan bahwa “ Sejak tanggal 31 Desembe 2013, fungsi, tugas,

xv
dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK” hal ini berarti pengaturan dan
pengawasan sektor perbankan mulai diperankan oleh OJK sebagai lembaga yang
independen dalam hal melakukan penyidikan, pengaturan dan pengawasan bank-
bank setelah tanggal 31 Desember 201335. Diamanatkan dalam Pasal 34 UU No.
23 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank
Indonesia, menghendaki pembentukan OJK hanya dalam batas sebagai Dewan
Pengawas, artinya lembaga yang dibentuk akan memiliki kewenangan
mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan
bank berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Namun setelah diundangkannya Undang-Undang OJK dari beberapa
ketentuan menyangkut wewenang OJK yang sangat luas seperti pada pasal 7 dan
Pasal 8 diketahui dari kewenangan OJK tersebut memang benar-benar lembaga
yang sangat luas yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan dan bahkan penyidikan.
Berdasarkan Penjelasan pasal 7 UU OJK dikethui bahwa pengaturan dan
Pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan
pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan
microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK.
Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential yakni
pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan
tugas dan wewenang Bank Indonesia.
Kewenangan OJK dalam mengawasi termasuk dalam hal kebijakan operasional
pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan, mengawasipelaksanaan tugas

pengawasan yang dilaksanakan oleh kepala ekekutif. OJK juga melakukan


pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain
terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-udangan di sektor
jasa keuangan.

Sedangkan pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia meliputi


pengawasan langsung dan tidak langsung. Pengawasan tidak langsung meliputi
pengawasan dini melalui penelitian, analisis dan evaluasi laporan bank dan

xvi
pengawasan langsung dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-
tindakan perbaikan.
Bank Indonesia dalam mengemban tugas untuk mengatur dan mengawasi
bank, sesua dengan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia berwenang untuk menetapkan perturan,memberikan dan
mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank ,
melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.

Pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga keuangan bank dan


lembagakeuangan non-bank di Indonesia sekarang ini dilakukan oleh lembaga
baru yang bersifat independen yang dinamakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan yang merupakan amanat dari Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang
Bank Indonesia. Terkait pengawasan perbankan yang sebelumnya dijalankan oleh
Bank Indonesia, saat ini beralih kepada OJK, meskipun demikian Bank Indonesia
masih memiliki tanggung jawab dalam hal pengaturan dan pengawasan bank di
Indonesia. Dimana Ojk mengatur

dan mengawasi bank dalam lingkup microprudential sedangkan bank indonesia


mengatur dan mengawasi dalam lingkup macroprudential. Namun, pada saat
sekarang ini tugas pengaturan dan pengawasan perbankan tidak lagi menjadi
tugasBank Indonesia, melainkan menjadi tugas sebuah lembaga pengawas sektor
jasa keuangan baru yang dinamakan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas
Jasa Keuangan.
Menurut Bismar Nasution, macroprudentialsupervision adalah mengarahkan dan
mendorong bank serta sekaligus mengawasinya agar dapat ikut berperan dalam
program pencapaian sasaran ekonomi makro, baik yang terkait dengan
kebijaksanaan umum untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kemantapan
neraca pembayaran, perluasan lapangan kerja, kestabilan moneter, maupun upaya
pemerataan pendapatan dan kesempatan berusaha. Sedangkan tujuan dari
microprudential supervision adalah mengupayakan agar setiap bank secara

xvii
individual sehat dan aman, serta keseluruhan industri perbankan menjadi sehat
dan dapat memelihara kepercayaan masyarakat. Ini berarti setiap bank dari sejak
awal harus dijauhkan dari segala kemungkinan risiko yang akan timbul.Tugas
pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan dalam lingkup makroprudensial,
Bank Indonesia melakukan pemeriksaan langsung kepada bank tertentu yang
tergolong ke dalam Systemically Important Bank dan/atau bank lainnya sesuai
dengan kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial.Kemudian Bank
Indonesia juga dapat melakukan langkah-langkah penyehatan terhadap bank yang
mengalami kesulitan likuiditas atau kondisi kesehatan yang semakin memburuk.

Mengenai pengaturan dan pengawasan bank juga diatur dalam Bab V tentang
pembinaan dan pengawasan yaitu Pasal 29 sampai Pasal 37b Undang-Undang
Perbankan, dimana pasal 37b Undang-Undang Perbankan, dimana pasal 37b
merupakan dasar hukum eksitensi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan.
Menurut Undang-Undang LPS,fungsi LPS adalah :
a.Menjamin simpanan nasabah penyimpan
b.turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan
kewenangannya.

Berkaitan dengan fungsi LPS huruf b, LPS mempunyai tugas sebagai berikut :
a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif
memelihara stabilitas sistem perbankan.
b. Merumuskan, menetapkan, melaksanakn kebijakan penyelesaian bank
gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik
c. Melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik.

Dari uraian tersebut jelas bahwa dari sistematika pengaturan dalam UU


Perbankan, LPS adalah bagian dari kerangka pembinaan dan pengawasn bank
juga. Dengan melihat kewenangan Bank Indonesia sebagai Lembaga Pengawas
Perbankan dalam UU BI dan UU Perbankan, kemudian kewenangan LPS yang
juga mempunyai fungsi pengawasan perbankan dalam UU LPS, maka ada
pembagian kewenangan dalam fungsi pengawasan terhadap perbankan.

xviii
2.Pengaturan Pengawasan Kewenangan Bank Indonesia Dan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK).
Keberadaan Bank Indonesia, baik dari kedudukannya, fungsi dan tugas,
wewenangnya, telah di atur dalam ketentuan Undang-Undang Bank Indonesia.
Pasal-pasal yang memberi wewenang kepada Pejabat Bank Indonesia mempunyai
kewenangan dalam mengambil kebijakan atas masalah masalah dalam bidang
perbankan, yang lingkup pengaturan dan pengawasan macro prudential, yakni
pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang
Otoritas Jasa Keuangan merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia.

Pengaturan dan pengawasan macroprudential yang merupakan tugas


pengaturan perbankan, dengan mengembangkan metode analisis macro-prudential
yang nantinya untuk mengevaluasi tingkat kesehatan, kekuatan dan kelemahan
sistem keuangan di Indonesia, dan dipublikasikan dalam kajian stabilitas
keuangan secara berkala ke publik tentang dampak terhadap sistem keuangan bila
terjadi krisis.

Tugas pengaturan perbankan tidak sepenuhnya dilaksanakan secara


indenpenden oleh Otoritas Jasa keuangan, karena pengaturan tugas dan
pengawasan perbankan baik secara microprudential dan macroprudential saling
berkaitan. Otoritas Jasa Keuangan hanya membantu Bank Indonesia untuk
melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada perbankan. Kebijakan Bank
Indonesia sebagai bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran Negara
Indonesia mempunyai peranan penting dalam mengendalikan dan menjaga
keseimbangan perbankan nasional.

Pasal 6 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan bahwa Otoritas


Jasa Keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
1) Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan
2) Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal
xix
3) Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Pasal 7 UU OJK menyebutkan untuk melaksanakan tugas pengaturan dan


pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a
UndangUndang Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai
wewenang.

Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:


1) Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,
rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan, dan sumber daya manusia, merger,
konsolidasi, dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank.
2) Kegiatan usaha bank, antara lain: sumber dana, penyediaan dana, produk
hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.

Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi


1) Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal
minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap
simpanan, dan pencadangan bank.
2) Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank
3) Sistem informasi debitur.
4) Pengujian kredit (credit testing)
5) Standar akuntansi bank.
6) Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
7) Manajemen risiko;
8) Tata kelola bank;
9) Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
10) Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan.

Fungsi Otoritas Jasa Keuangan sebagai regulator adalah penyelengaraan sistem


pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di
sektor keuangan. Berdasarkan itu, keseluruhan kegiatan jasa keuangan yang
dilakukan oleh lembaga lembaga keuangan tunduk pada sistem pengaturan dan

xx
pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, seperti sektor perbankan, pasar modal,
perasuransian, dana pensiun.
.
Tugas dan fungsi Bank Indonesia yang secara langsung berkaitan dengan
perbankan yaitu mempunyai fungsi lender of last resort, sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 11 Undang-Undang Bank Indonesia. Jika memungkinkan bagi Bank
Indonesia untuk memberikan kredit atau pembayaran berdasarkan prinsip syariah,
guna membantu kesulitan pendanaan jangka pendek yang sedang dihadapi bank.
Bantuan tersebut diberikan karena telah terjadi mismatch, yaitu ketidak sesuaian
antara arus dana masuk dengan arus dana keluar yakni bahwa arus dana masuk
yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar.
Ketentuan menyangkut pemberian kredit atau pembiayaan atas dasar prinsip
syariah ini dilakukan oleh Bank Indonesia dengan mengingat hal-hal sebagai
berikut:
1. Bank mengalami mismatch baik karena resiko kredit, resiko pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah, resiko manajemen ataupun resiko pasar
2. Bank memiliki agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan
3. Diberikan tidak boleh lebih dari sembilan puluh hari (hari kalender). Jangka
waktu tersebut sifatnya “maksimum” artinya termasuk perpanjangannya;
4. Jika bank tidak mampu melunasi pada saat jatuh tempo maka Bank Indonesia
berhak mencairkan agunan;
5. Penetapan tingkat bunga tertentu oleh Bank Indonesia antara lain dalam
rangka kredit dari Bank Indonesia maupun dalam pelaksanaan fungsi lender of
last resort.

Selanjutnya kewenangan-kewenangan tersebut telah dilakukan oleh Otoritas Jasa


keuangan, dalam Pasal 7 tugas mengatur dan mengawasi bank juga mengacu pada
The Federal Reserve. Kewenangan-kewenangan Bank Indonesia sesuai Pasal 1
angka (8), Pasal 25, Pasal 26 Undang-Undang Bank Indonesia telah beralih ke
Otoritas Jasa Keuangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf a, b, ayat (1)
yaitu melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Otoritas Jasa Keuangan
mempunyai wewenang:

xxi
1. Pengaturan dan pengawasan bank oleh OJK meliputi wewenang sebagai berikut:
1) Kewenangan memberikan izin (right to license)
Yaitu kewenangan untuk menetapkan tatacara perizinan dan pendirian suatu
bank. Cakupan pemberian izin oleh OJK meliputi pemberian izin dan pencabutan
izin usaha bank, pemberian izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor
bank, pemberian persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian
izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.

2) Kewenangan untuk mengatur (right to regulate)


Yaitu kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek
usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka menciptakan perbankan sehat yang
mampu memenuhi jasa perbankan yang diinginkan masyarakat.

3) Kewenangan untuk mengawasi (right to control)


Yaitu kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan
langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site
supervision). Pengawasan langsung dapat berupa pemeriksaan umum dan
pemeriksaan khusus,yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang
keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap
peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik
yang tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank. Pengawasan
tidak langsung yaitu pengawasan melalui alat pemantauan seperti laporan berkala
yang disampaikan bank,laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya. Dalam
pelaksanaannya, apabila diperlukan OJK dapat melakukan pemeriksaan terhadap
bank termasuk pihak lain yang meliputi perusahaan induk, perusahaan anak, pihak
terkait, pihak terafiliasi dan debitur bank. OJK dapat menugasi pihak lain untuk
dan atas nama OJK melaksanakan tugas pemeriksaan.

4) Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction)


xxii
yaitu kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak
memenuhi ketentuan. Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank
beroperasi sesuai dengan asas perbankan yang sehat.

Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi


1) likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal
minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan,
dan pencadangan bank.
2) laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank.
3) sistem informasi debitur
4) pengujian kredit (credit testing)
5) standar akuntansi bank. Kedudukan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral,
maka seluruh perbankan ditempatkan dalam suatu struktur organisasi dimana
Bank Indonesia sebagai bank Sentral merupakan pucuk tertinggi.

Di Indonesia masalah pengawasan perbankan mendapat soratan yang sangat tajam


karena terjadinya krisis perbankan yang berdampak pada bail out Bank Century.
Dalam pengaturan dan pengawasan bank baik secara nasinonal maupun
internasional harus sesuai dengan prinsip-prinsip dasar regulator internasional
yang baik seperti The Basel Core Principles yang ditebitkan oleh basel committe
on banking supervision, yang diwujudkan dalam bentuk standar operasionl yang
baik, dengan tata kelola yang baik (good corporate governance) dan pengelolaan
resiko. Prinsip kehati-hatian di bidang perbankan perlu diatur dalam suatu
peraturan agar sesuai yang dimaksud oleh The Basel Core Principles.13 Dengan
demikian The Basel Core Principles meliputi 25 (dua lima) Principles, meliputi:
prinsip ke 1 pengawasan perbankan yang efektif,
prinsip ke 2 kegiatan yang diijinkan,
prinsip ke 3 otoritas perizinan harus memiliki kriteria,
prinsip ke 4 dan 5 prinsip tentang pengalihan saham,
prinsip ke 6 sampai ke 15 peran pentingnya pengaturan dan pengawasan,
prinsip ke 16 pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung,

xxiii
prinsip ke 17 pengawasan bank yang harus memiliki kontrak reguler dengan
manajemen bank dan pemahaman menyeluruh atas operasional bank.
Prinsip ke 18 pengawasan bank harus memiliki perangkat untuk melakukan
analisis data dan laporan-laporan.
Prinsip ke 19 pengawasan yang mempunyai independensi. Prinsip ke 20
kemampuan untuk melakukan pengawasan terhadap kelompok usaha bank secara
konsolidasi. Prinsip ke 21 seluruh bank diharuskan memiliki sistem pencatatan
yang lengkap dan akurat.
Prinsip ke 22 pengawasan diharuskan melalui alat ukur yang cukup dan mampu
melakukan perbaikan serta melakukan tindakan aturan dan kerjasama pengawasan
internasional.
Prinsip ke 23 menerapakan praktik pengawasan konsolidasi.
Prinsip ke 24 melakukan kerjasama antar pengawasan dan
prinsip ke 25 menerapkan standar yang sama antar bank lokal dan bank asing.

Berdasarkan prinsip-prinsip dalam The Basel Core Principle maka peranan


Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sangat penting untuk melakukan
kewajibannya sebelum bank itu berdiri sampai bank itu beroperasi. Pasal 34 ayat
(1) Undang-Undang Bank Indonesia menyebutkan, bahwa tugas mengawasi bank
akan dilakukan oleh Lembaga Pengawas Sektor Jasa Keuangan yang independen
dan dibentuk dengan Undang Undang.Sejak berlakunya UndangUndang Otoritas
Jasa Keuangan pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan menjadi
kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sesuai Pasal 5 Undang-Undang Otoritas Jasa
Keuangan. Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan ini seluruh fungsi pengaturan
dan pengawasan terhadap sektor keuangan yang dulu berada di Bank Indonesia,
akan menyatu ke dalam Otoritas Jasa Keuangan.
Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan mengatur pembagian
kewenangan dalam tugas pengawasan khususnya di bidang perbankan antara
Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia, karena Bank Indonesia
mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang sangat
erat hubungannya dengan tugas pengaturan dan pengawasan perbankan (macro
prudential, sesuai Pasal 40 UndangUndang Otoritas Jasa Keuangan). Kebijakan
moneter yang dimaksud adalah kebijakan untuk mencapai dan memelihara

xxiv
kestabilan nilai rupiah yang dilakukan dengan cara pengendalian jumlah uang
yang beredar dan suku bunga.
Walaupun telah terbentuk UndangUndang Otoritas Jasa Keuangan keberadaan
Bank Indonesia tetap mempunyai hubungan yang erat dengan Otoritas Jasa
keuangan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang
Otoritas Jasa Keuangan yang menentukan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank
Indonesia dapat berkoordinasi dan bekerjasama dalam pengawasan bersama atas
kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan. Mengenai koordinasi dengan Bank
Indonesia di atas dalam ketentuan Pasal 39 UndangUndang Otoritas Jasa
Keuangan, menentukan dalam melaksanakan fungsinya, Otoritas Jasa Keuangan
berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di
bidang perbankan antara lain kewajiban pemenuhan modal minimum bank, sistem
informasi perbankan yang terpadu, kebijakan penerimaan dana dari luar negeri,
penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri, produk
perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya, penentu istilah bank
yang masuk kategori systemically important bank dan data lain yang dikecualikan
dan ketentuan tentang kerahasiaan informasi.
Hubungan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dapat dilihat dalam Pasal
40 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan disebutkan, bahwa Bank Indonesia
dan Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap
bank dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada
Otoritas Jasa Keuangan, tentang dimana pemeriksaan tersebut Bank Indonesia
tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank.
Hasil laporan pemeriksaan tersebut disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan,
kemudian Otoritas Jasa Keuangan menginformasikan kepada Lembaga
Penjaminan Simpanan mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya
kesehatan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Apabila bank tersebut mengalami
kesulitan likuiditas atau kondisi kesehatannya semakin memburuk, Otoritas Jasa
Keuangan segera menginformasikan ke Bank Indonesia untuk melakukan
langkahlangkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia (Pasal 41 Undang-
Undang Otoritas Jasa Keuangan). Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan
Lembaga Penjamin Simpanan wajib membangun dan memelihara sarana
pertukaran informasi secara terintegrasi (Pasal 43 Undang-Undang Otoritas Jasa
Keuangan).

xxv
Dengan selalu diadakan kordinasi antara pengaturan dan pengawasan, otoritas
perbankan dan moneter dengan otoritas fiskal untuk memperkuat di pasar
keuangan hal tersebut memerlukan sistem perbankan yang sehat. Beberapa negara
juga menyelenggarakan Otoritas di bidang Jasa Keuangan diantara Australia
dengan APRA negara ini memiliki APRA sejak tahun 1998, Kanada dengan OCFI
dan Jepang dengan FSC dan FSS di Jepang FSC dibentuk untuk
menyelenggarakan pengawasan secara independen atas lembagalembaga atas
lembaga keuangan yangg dipimpin Perdana Menteri dan FSS kegiatan operasional
pengawasan lembaga keuangan berada di bawah wewenangan pengawasan FCS
DAN SFC,14 konsep dari negara-negara tersebut sebagai referensi adanya
Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia yang merupakan sistem pengawasan
independen di Indonesia, yang penerapannya pembentukan Otoritas Jasa
Keuangan di Indonesia di latarbelakangi oleh beberapa alasan pengalaman krisis
yang terjadi tahun 1997-1998 dan kasus dana BLBI serta kasus Bank Century
yang sampai sekarang belum ada kejelasan penyelesaiannya. Dengan demikian
diharapkan kedepannya hubungan Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan
dalam Pasal 8 Undang Undang Bank Indonesia ditentukan salah satu tugas Bank
Indonesia adalah mengatur dan mengawasi bank, dan Pasal 34 ayat (1) Undang-
Undang Bank Indonesia menyebutkan, bahwa tugas mengawasi bank akan
dilakukan oleh Lembaga Pengawas Sektor Jasa Keuangan yang independen dan
dibentuk dengan Undang-Undang.
Sejak berlakunya Undang Undang Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 22
November 2011, pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan menjadi
kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sesuai Pasal 5 Undang Undang Otoritas Jasa
Keuangan. Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan ini seluruh fungsi pengaturan
dan pengawasan terhadap sektor keuangan yang dulu berada di Bank Indonesia,
akan menyatu ke dalam Otoritas Jasa Keuangan.
Melalui pembentukan Otoritas Jasa Keuangan bertujuan untuk melindungi
kepentingan masyarakat pemilik dana serta menjaga kelangsungan usaha bank
sebagai kepercayaan dan sebagai lembaga intermediasi. Walaupun telah terbentuk
Undang Undang Otoritas Jasa Keuangan, keberadaan Bank Indonesia tetap
mempunyai hubungan yang erat dengan Otoritas Jasa keuangan. Sesuai Pasal 1
angka 10 Undang Undang Bank Indonesia menyebutkan bahwa stabilitas moneter
adalah suatu kebijakan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah

xxvi
yang dilakukan antara lain melalui pengendalian jumlah uang yang beredar atau
suku bunga. Agar tidak terjadi benturan antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa
Keuangan dalam pelaksanaan pengawasan terhadap bank, perlu adanya kejelasan
mengenai pembagian otoritas dan koordinasi antara Bank Indonesia dan Otoritas
Jasa Keuangan dalam pengawasan perbankan, untuk itu perlu segera diadakan
revisi tentang Undang-Undang Bank Indonesia.
Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan
dan Penangan Permasalahan Bank dalam Krisis Sistem Keuangan, maka Pasal 37
A Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dan Pasal 11 ayat (4) dan (5)
Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia dan 14 Andrian
Sutedi, Aspek Hukum OJK, Raih Asa Sukses: Jakarta: 2014, hlm. 317. 70 ACTA
DIURNAL Volume 1, Nomor 1, Desember 2017 Pasal 44-46 dan Pasal 69 ayat (3)
UndangUndang Otoritas Jasa Keuangan dinyatakan tidak berlaku. Dengan
demikian apabila terjadi bank mengalami gangguan atau gagal, maka Otoritas Jasa
Keuangan dan Bank Indononesia berkoordinasi untuk menetapkan Bank dalam
keadaan sistemik, (bank sistemik adalah bank karena ukuran aset, modal,
kewajiban, luas jaringan transaksi atas jasa perbankan dapat mengakibatkan
gagalnya sebagian atau keseluruhan ke bank lain atau sektor jasa keuangan
lainnya).

xxvii
3. Pengertian Financial Technology (Fintech)
Fintech merupakan singkatan dari kata Financial Technology, yang
dapat diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi teknologi keuangan. Secara
sederhana, Fintech dapat diartikan sebagai pemanfaatan perkembangan teknologi
informasi untuk meningkatkan layanan di industri keuangan. Definisi lainnya
adalah variasi model bisnis dan perkembangan teknologi yang memiliki potensi
untuk meningkatkan industri layanan keuangan.
Fintech telah berevolusi dalam 3 (tiga) periode, seperti yang dapat diilustrasikan
melalui tabel berikut:
Periode pertama terjadi pada kurun waktu 1866-1967, dimana di dalam periode ini
sektor keuangan dan teknologi pertama kalinya dikombinasikan dalam rangka
memperluas jangkauan jasa keuangan. Dalam periode ini, untuk pertama kalinya
dibangun infrastruktur keuangan dan teknologi yang dapat mempermudah layanan
keuangan untuk dilakukan, seperti pembangunan infrastruktur Transatlantic Cable
(kabel komunikasi bawah laut), telex (jaringan teleprinter yang mirip dengan
jaringan telepon dan dapat digunakan untuk mengirim surat) dan Fedwire (Real
Time Gross Settlement System/RTGS bank sentral yang digunakan di Amerika).
Periode 1967-2008 merupakan periode kedua yang disebut sebagai era Fintech.
Tahun ini merupakan tahun transisi perubahan dari era teknologi analog ke digital.
Periode ini merupakan inovasi keuangan yang paling penting dimana terdapat
peningkatan penggunaan produk dan jasa keuangan yang dikombinasikan dengan
penggunaan teknologi yang mendukungnya. Inovasi keuangan yang dibangun di
era ini sedikit banyak mempengaruhi perilaku konsumen keuangan, terutama
dengan mengurangi aktivitas konsumen keuangan untuk berkunjung ke lembaga
jasa keuangan. Beberapa inovasi keuangan yang terdapat di dalam periode ini
adalah Automatic Teller Machine (ATM), SWIFT (untuk mempermudah transfer
luar negeri), telepon seluler, dan pengunaan internet banking seiring dengan
meningkatnya penetrasi internet secara global di periode ini. Perkembangan dan
peningkatan penggunaan layanan keuangan dengan inovasi teknologi di era ini
didominasi oleh lembaga jasa keuangan tradisional.
Dari tahun 2008 hingga saat ini, merupakan periode ketiga dari perkembangan
Fintech. Berdasarkan Doughlas W. Arner, periode ini terbagi ke dalam dua era
Fintech, yaitu 3.0 dan 3.5. Peningkatan penggunaan jasa keuangan di dalam era
ini meningkat sangat tajam dikarenakan adanya peningkatan jumlah penggunaan
xxviii
smartphone dan didukung dengan inovasi produk dan jasa keuangan yang
semakin mempermudah konsumen keuangan untuk menggunakan produk
dan/atau jasa keuangan. Di dalam era ini, ketergantungan konsumen terhadap
teknologi digital sangatlah tinggi. Oleh karena itu di dalam periode ini, terdapat
lonjakan jumlah perusahaan startup di sektor jasa keuangan yang memanfaatkan
teknologi digital untuk memberikan layanan dengan lebih cepat, praktis dan
mudah bagi para konsumen. Terdapat pula beberapa start-up di seluruh dunia yang
beroperasi dengan sebelumnya bekerjasama dengan para lembaga jasa keuangan
tradisional, seperti bank konvensional. Peningkatan penggunaan Fintech di masa
ini dapat terlihat dari semakin banyaknya perusahaan start-up dan lembaga jasa
keuangan tradisional yang saling berlomba dalam mengembangkan aplikasi
mobile dan website yang dapat mengakomodir kebutuhan konsumen keuangan
tanpa mengharuskan konsumen untuk bepergian hanya untuk menggunakan atau
membeli produk dan jasa keuangan.

A. Jenis-Jenis Fintech
Seiring dengan berkembangnya teknologi, jenis-jenis Fintech pun semakin
beragam, diantaranya seperti inovasi teknologi finansial terkait pembayaran dan
transfer, lembaga jasa keuangan, dan perusahaan start-up Fintech yang
menggunakan teknologi baru untuk memberikan layanan yang lebih cepat, murah,
dan nyaman.
Perusahaan di sektor pembiayaan dan investasi pun berkompetisi dengan
menggunakan inovasi teknologi dalam menjual produk dan jasa keuangannya.
Jenis-jenis Fintech di sektor ini diantaranya seperti Peer-to-Peer (P2P) Lending,
Crowdfunding, Supply Chain Finance, dan lain-lain. Fintech jenis lainnya yang
berkembang di dunia diantaranya, Robo advisor, Blockchain, Information and
Feeder Site, dan lainlain. Seluruh Fintech tersebut memberikan kemudahan bagi
konsumen keuangan untuk membeli dan menggunakan produk dan jasa keuangan
pada saat ini.

B. Manfaat Fintech
xxix
a) Kemudahan pelayanan finansial
Berkat kehadiran Fintech, proses transaksi keuangan menjadi lebih
mudah. Nasabah juga mendapatkan pelayanan finansial meliputi proses
pembayaran, pinjaman uang, transfer, ataupun jual beli saham dengan cara mudah
dan aman. Nasabah bisa mengakses pelayanan finansial melalui teknologi seperti
ponsel pintar maupun laptop.Sehingga tidak perlu datang langsung ke bank untuk
mendapatkan pinjaman demi memenuhi berbagai kebutuhan.Kehadiran teknologi
dalam urusan finasial seperti ini jelas membantu masyarakat dalam
memaksimalkan layanan finansial.Masyarakat yang memerlukan produk finansial
tertentu, cukup mengajukan melalui online. Kemudahan pelayanan finansial ini
tercermin dari proses kerja yang tergolong cepat serta minimnya kebutuhan
dokumen untuk mendapatkan produk finansial terkait.

b) Melengkapi rantai transaksi keuangan


Efek Fintech bagi perekonomian Indonesia salah satunya adalah
melengkapi rantai transaksi keuangan.Faktor kelahiran Fintech ini pun karena ada
tuntunan zaman dan pasar ekonomi. Melalui Fintech segala transaksi keuangan
seperti proses pembayaran, pembiayaan, jual beli dan transfer semakin praktis
dan aman. Pun, semuanya bisa diakses hanya melalui smartphone atau
tablet.Peranan Fintech bukan sebagai pengganti bagi bank konvensional,
melainkan sebagai pelengkap rantai transaksi keuangan.Hadirnya Fintech
memperkuat ekosistem keuangan di Indonesia karena bisa meningkatkan daya
beli masyarakat terhadap produk-produk finansial.Hal ini menjadi kesempatan
emas dalam menjangkau masyarakat yang selama ini belum terjangkau oleh
berbagai layanan keuangan.

c) .Meningkatkan taraf hidup


Selama ini hanya kalangan masyarakat menegah ke atas saja yang
mumpuni menikmati layanan finansial. Bagi MBR (Masyarakat Berpenghasilan
Rendah), mengajukan kartu kredit atau KTA bunga rendah saja sepertinya sulit.
Hal ini dipengaruhi oleh peraturan Bank Indonesia yang mewajibkan masyarakat
harus memiliki kartu kredit terlebih dahulu untuk mendapatkan kartu kredit atau
pinjaman. Pernyataan tersebut perlahan sirna karena Fintech memudahkan MBR
untuk mendapatkan pinjaman dana tunai hingga pembayaran dengan cara mudah.
xxx
Sehingga dengan adanya Fintech dapat mempercepat terwujudnya inklusi
keuangan seluruh masyarakat Indonesia, bahkan MBR sekalipun.Dan hal ini
sekaligus meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan MBR.Mereka bisa
memperoleh pinjaman dengan bunga rendah untuk memenuhi berbagai
kebutuhannya.Pada akhirnya, Fintech turut mendorong perekonomian Indonesia
dengan mengentaskan kemiskinan.

d) Melawan lintah darat


Keberadaan lintah darat atau rentenir tentu meresahkan nasabah yang
ingin mengajukan produk finansial. Pasalnya, bagi masyarakat dengan
penghasilan pas-pasan yang kurang memenuhi syarat untuk mengajukan pinjaman
di bank, mereka kerap meminjam pada lintah darat atau rentenir dengan bunga
tinggi. Ketika muncul Fintech, hal-hal seperti itu dapat terhindari.

4. Pandangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mengenai Fintech

Memperhatikan makin maraknya Fintech di Indonesia, maka OJK telah


membentuk Tim Pengembangan Inovasi Digital Ekonomi dan Keuangan atau
disingkat PIDEK yang terdiri dari gabungan sejumlah satuan kerja di OJK yang
mengkaji dan mempelajari perkembangan Fintech dan menyiapkan peraturan serta
strategi pengembangannya.

Selanjutnya, sehubungan dengan meningkatnya permohonan pendaftaran dan


perizinan perusahaan start-up Fintech, kebutuhan akan pengawasan Fintech, dan
semakin berjamurnya Fintech di sektor jasa keuangan, OJK menilai bahwa
pengembangan internal organisasi yang menangani Fintech sangatlah dibutuhkan.
Oleh karenanya, OJK membentuk dua satuan kerja baru terkait Fintech, yaitu
Grup Inovasi Keuangan Digital dan Keuangan Mikro dan Direktorat Pengaturan,
Perizinan dan Pengawasan Fintech.

xxxi
OJK juga telah membentuk Forum Pakar Fintech (Fintech Advisory Forum)
sebagai wadah pengembangan arah industri Fintech, yang akan memfasilitasi dan
memastikan koordinasi antar lembaga, kementerian, dan pihak-pihak terkait
dengan pelaku start-up Fintech berjalan dengan lancar, konsisten dan konstruktif.
Forum Pakar Fintech ini beranggotakan individu-individu yang dinilai
berkompeten di bidang teknologi informasi dan dinamika dalam bidang inovasi
digital keuangan yang berasal dari Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia,
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi
dan Informatika, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Selain itu juga dari Badan Ekonomi Kreatif, Bursa Efek Indonesia,
Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), Badan Reserse Kriminal Kepolisian
RI, Himpunan Bank Milik Negara (HIMBARA), Asosiasi Fintech Indonesia,
Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI),
Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI), Universitas Indonesia dan Institut
Teknologi Bandung.

Tugas Forum Pakar Fintech antara lain:

 Mendiskusikan isu-isu terkait Fintech yang sedang berkembang serta arah


pengembangan industri Fintech ke depan.

 Memfasilitasi koordinasi antarlembaga dan kementerian, serta pihak-pihak


terkait lainnya untuk memastikan bahwa potensi Fintech dapat dioptimalkan
dalam lingkungan bisnisnya yang kompleks.

 Memastikan peran serta dan komunikasi antara kementerian/ lembaga terkait


dan pihak terkait lainnya dengan pelaku start-up Fintech berlangsung
konsisten dan konstruktif.

 Di masa mendatang, OJK memiliki beberapa rencana untuk mendukung


berkembangnya industri Fintech antara lain:
 Peluncuran Fintech Innovation Hub sebagai sentra pengembangan dan
menjadi one stop contact Fintech nasional untuk berhubungan dan

xxxii
bekerjasama dengan institusi dan lembaga yang menjadi pendukung
ekosistem keuangan digital.

 Menindak lanjuti perjanjian bersama Kominfo, OJK menyiapkan rencana


implementasi CA (certificate authority) di sektor jasa keuangan. CA
berlaku sebagai penerbit sertifikat tanda tangan digital pelaku jasa
keuangan yang dapat menjamin bahwa suatu transaksi elektronik yang
ditandatangani secara digital telah diamankan dan berkekuatan hukum
sesuai ketentuan yang ada di Indonesia.

 Penerbitan Sandbox Regulatory untuk Fintech, dimana pengaturan ini


akan mengatur hal-hal minimal yang wajib dipenuhi agar perkembangan
Fintech memiliki landasan hukum yang memadai dan mendukung
perkembangannya secara berkelanjutan.

 Melakukan kajian mengenai implementasi standar pengamanan data dan


informasi dalam pengelolaan industri Fintech dan kebutuhan Pusat
Pelaporan Insiden Keamanan Informasi di Industri jasa keuangan.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai regulator, OJK telah menerbitkan


peraturan terkait Fintech, sebagai berikut:

A. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)

Sebagai langkah awal, OJK telah mengeluarkan POJK No. 77/


POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi (POJK P2P Lending) yang kemudian memiliki peraturan turunan
berupa Surat Edaran OJK (SEOJK) nomor 18/ SEOJK.02/2017. POJK ini
mengatur mengenai salah satu jenis Fintech yang berkembang di Indonesia saat
ini yaitu Peer-to-Peer Lending (P2P Lending).

xxxiii
Hal tersebut dikarenakan OJK melihat urgensi hadirnya ketentuan yang
mengatur Fintech pinjam-meminjam, memperhatikan masih kuatnya budaya
pinjam meminjam (utang) di masyarakat Indonesia. Selain itu, perusahaan Fintech
dengan skema Peer-to-Peer Lending merupakan lingkup kewenangan OJK
dikarenakan perusahaan tersebut memberikan pelayanan jasa keuangan.

Namun perusahaan tersebut belum memiliki landasan hukum kelembagaan


dalam menjalankan kegiatan usahanya Berdasarkan POJK P2P Lending,
perusahaan Fintech atau yang disebut penyelenggara dinyatakan sebagai Lembaga
Jasa Keuangan Lainnya dengan bentuk perusahaan berupa badan hukum
perseroan terbatas dan koperasi (Pasal 2 ayat (2)).
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh penyelenggara berupa
menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi dari pihak Pemberi Pinjaman kepada pihak
Penerima Pinjaman yang sumber dananya berasal dari pihak Pemberi Pinjaman
dan/atau penyelenggara dapat bekerja sama dengan penyelenggara layanan jasa
keuangan berbasis teknologi informasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Pasal 5). Batasan pemberian pinjaman kepada penerima
pinjaman diatur sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) (Pasal 6).

B. Perlindungan Konsumen Fintech di Indonesia


Analisa Aspek Perlindungan Pada Fintech di Indonesia
Berdasarkan informasi pada bab-bab sebelumnya, telah dijelaskan bahwa
saat ini telah terdapat pengaturan aspek perlindungan konsumen terhadap Fintech
di Indonesia.Untuk layanan Fintech yang dilakukan oleh Pelaku Usaha Jasa
Keuangan (PUJK) yang telah mendapatkan izin dan diawasi oleh OJK (atau dapat
disebut sebagai Fintech 2.0), maka PUJK tersebut wajib memperhatikan dan
melaksanakan ketentuan perlindungan konsumen pada Peraturan OJK No. POJK
No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Sedangkan untuk layanan Fintech yang dilakukan oleh non-PUJK (atau dapat
disebut sebagai Fintech startup) maka Fintech tersebut wajib memperhatikan dan
melaksanakan ketentuan perlindungan konsumen pada Peraturan OJK No.
77/POJK.07/ 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi

xxxiv
Informasi. Sampai dengan saat, Fintech startup yang telah diatur oleh OJK baru
Fintech P2P Lending Namun demikian, memperhatikan kajian pemetaan potensi
risiko dari proses bisnis Fintech, pengaturan Fintech yang telah ada di Indonesia,
beberapa temuan kegiatan operasi intelijen yang telah dilaksanakan oleh
Direktorat Market Conduct OJK, dan telaahan beberapa artikel Fintech, maka
setidaknya terdapat 4 (empat) aspek perlindungan konsumen pada Fintech yang
harus menjadi perhatian baik bagi pemerintah maupun regulator di sektor jasa
keuangan, yaitu : kelengkapan informasi dan transparansi produk/layanan,
penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa konsumen, pencegahan
penipuan dan keandalan sistem layanan, dan perlindungan terhadap data pribadi
(cybersecurity). Meskipun ke-empat hal tersebut telah disebutkan dalam
pengaturan Fintech di atas, namun perlu dipastikan agar aspek ini benar-benar
diterapkan secara seksama oleh pelaku Fintech.

1. Kelengkapan Informasi dan Transparansi Produk/Layanan

Fintech wajib menyediakan informasi secara lengkap, up-to-date, dan transparan


terkait produk atau layanan yang ditawarkan kepada konsumen dan masyarakat.
Karena hal sangat krusial dalam pengambilan keputusan dan untuk membangun
kepercayaan konsumen. Kurangnya informasi dan kejelasan tentang produk dan
layanan dapat mengakibatkan kekeliruan pemahaman konsumen dan masyarakat
tentang fitur produk yang ditawarkan, seperti syarat dan ketentuan produk,
manfaat, biaya, dan risiko.

Penyelenggara harus memastikan bahwa informasi yang diberikan bersifat


transparan sehingga hal tersebut dapat memberikan kesempatan bagi konsumen
untuk memahami dan memilih produk dengan baik serta menghindarkan diri dari
risiko yang mereka ingin hindari, seperti misleading advertisement dan penipuan.

Aspek kelengkapan informasi dan transparansi pada Fintech di Indonesia harus


meliputi : biaya-biaya dan kewajiban yang akan dikenakan kepada konsumen,
transparansi syarat dan ketentuan penggunaan produk/layanan, pemberitahuan
kepada konsumen apabila terdapat perubahan biaya, syarat dan ketentuan,
kejelasan informasi dari periklanan produk yang dipasarkan seperti pengunaan

xxxv
bahasa yang sederhana dan mudah dipahami dalam media periklanan yang
digunakan, seperti website perusahaan, brosur, iklan media masa, online, dan
sebagainya.

Penyedia layanan Fintech harus menginformasikan syarat dan ketentuan


produk/layanan dalam perjanjian sejelas-jelasnya dengan bahasa yang mudah
dimengerti, mengingat tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia secara
umum relatif masih rendah. Apabila terdapat perubahan terhadap biaya yang
dikenakan atau syarat dan ketentuan terkait produk yang dipasarkan, penyedia
layanan Fintech seharusnya menginformasikan hal tersebut kepada konsumen
melalui berbagai jalur komunikasi hingga konsumen tersebut terinformasikan
dengan baik. Perjanjian juga dilarang menyatakan adanya pengalihan tanggung
jawab atau kewajiban dari pelaku Fintech kepada konsumen (klausula eksonerasi).

Penyedia layanan Fintech juga harus menghindarkan penggunaan iklan yang


berpotensi menciptakan pemahaman yang keliru bagi konsumen dan masyarakat.
Layanan Fintech memang dapat memberikan banyak manfaat kemudahan dan
kenyamanan, namun layanan tersebut tidak dapat menghilangkan biaya dan
potensi risiko dari penggunaan produk dan layanan keuangan itu sendiri.

Salah satu contoh bahasa periklanan yang dapat memberikan gambaran yang
keliru pada masyarakat adalah penawaran fasilitas pembelian barang secara kredit
online. Masyarakat hanya diinformasikan mengenai kemudahan dan kepraktisan
dalam mengajukan kredit secara online, namun sejak awal tidak diinfokan
mengenai besarnya kewajiban biaya bunga dari besarnya pinjaman. Jika kondisi
ini tidak diperhatikan, maka dikhawatirkan akan muncul kebiasaan masyarakat
yang mudah berutang tanpa memperhatikan kebutuhan dan kemampuan
membayar kembali (irresponsible lending). Untuk itu penyedia layanan wajib ikut
bertanggungjawab terhadap iklan produk yang dipasarkan dan regulator wajib
memonitor dengan seksama terhadap informasi dan iklan yang disampaikan ke
masyarakat Bagi masyarakat dan konsumen wajib disediakan kanal informasi
yang mudah diakses untuk meminta informasi sejelas-jelasnya dari penyedia
layanan Fintech sehingga pemahaman konsumen terhadap produk lengkap dan

xxxvi
tercipta awareness konsumen terhadap biaya dan risiko yang akan timbul dari
penggunaan produk (menghindari informasi asimetris).

2. Penanganan Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Permasalahan dan pengaduan dari konsumen merupakan salah satu hal


yang pasti akan dihadapi oleh pelaku Fintech, sehingga aspek penanganan
pengaduan dan penyelesaian sengketa merupakan hal yang wajib disediakan.
Untuk itu penyedia layanan harus memiliki mekanisme penerimaan pengaduan
dan penyelesaian sengketa. Pelaksanaan hal tersebut nantinya akan meningkatkan
kepercayaan konsumen. Selain itu, pelaku yang telah memiliki mekanisme
penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang efektif akan memiliki
peluang untuk menyempurnakan produk/layanannya, karena dari data pengaduan
yang diterima dapat dianalisa penyebabnya dan hal tersebut dapat memacu upaya
perbaikan dan pengembangan produk/layanan.

Penyedia layanan Fintech setidaknya harus :


 Menyediakan jalur atau kanal kontak penerimaan pengaduan yang mudah
diakses oleh konsumen, seperti telepon, e-mail, instant messaging, dan
surat.
 Memiliki unit atau fungsi serta prosedur standar penanganan pengaduan
konsumen. Prosedur tersebut harus memperhatikan pengaturan
perlindungan konsumen yang ada pada POJK terkait dan diinformasikan
kepada konsumen.
 Menyediakan dan menginformasikan kepada konsumen jika terdapat
mekanisme alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute
resolution) yang dapat digunakan apabila penyelesaian pengaduan dan
sengketa secara internal tidak menghasilkan kesepakatan.

3. Pencegahan Penipuan dan Keandalan Sistem Layanan

Pencegahan penipuan atau fraud melalui Fintech merupakan hal penting


yang harus diperhatikan regulator seiring dengan makin berkembangnya
keragaman tawaran produk/layanan Fintech. Upaya penipuan di Fintech dapat

xxxvii
berbentuk seperti penyalahgunaan situs layanan (phising), peretasan terhadap
sistem keamanan, dan pemasaran produk/layanan yang menipu. Dengan
banyaknya layanan Fintech yang menggunakan media seperti situs jejaring dan
aplikasi dalam melakukan promosi dan pemasaran produk/layanannya, maka
potensi kerentanan terjadinya penipuan juga akan meningkat.

Para pelaku Fintech wajib memastikan sistemnya andal. Pelaku wajib memiliki
sistem keamanan dan aplikasi yang aman dan tersertifikasi agar terhindar dari
upaya peretasan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Pelaku layanan wajib
melakukan pemeriksaan dan penyempurnaan sistem secara berkesinambungan
karena baik teknologi maupun bentuk ancamannya juga terus berkembang. Peran
dari regulator adalah memastikan bahwa sistem keamanan dan aplikasi layanan
Fintech selalu dilakukan upaya perbaikan yang diperlukan dan tersertifikasi
keandalannya.

4. Perlindungan Terhadap Data Pribadi (Cybersecurity)

Aspek perlindungan terhadap data pribadi menjadi salah satu hal penting
yang harus diperhatikan penyedia layanan dan regulator. Hal karena
penyalahgunaan data pribadi (konsumen) dapat berdampak pada pencurian
identitas, penyalahgunaan profil konsumen, penawaran produk kepada konsumen
yang datanya tercuri, hingga berdampak pada risiko dan kerugian yang lebih besar
lainnya seperti ketidakpercayaan masyarakat terhadap layanan Fintech

Keamanan dan pemeliharaan data pribadi konsumen harus dilakukan dengan baik
dikarenakan data tersebut bersifat digital sehingga relatif mudah untuk dicuri data
dan hilang. Namun patut diperhatikan juga jika data pribadi dapat disalahgunakan
oleh pihak internal. Sehingga untuk itu, terkait dengan upaya perlindungan
terhadap data pribadi dapat dilakukan dengan fokus terhadap hal-hal sebagai
berikut :

• Pelaku layanan Fintech wajib melakukan enkripsi data terhadap data yang
berkaitan dengan konsumen.
• Pelaku layanan Fintech wajib menjaga keamanan data konsumen.

xxxviii
• Pelaku layanan Fintech wajib melakukan manajemen akses data.
• Konsumen mempunyai hak untuk meminta penjelasan dari pelaku terkait
penggunaan informasi dan data yang telah diberikannya.

Upaya Peningkatan Perlindungan Konsumen Fintech di Indonesia

Untuk meningkatkan aspek perlindungan konsumen pada Fintech yang makin


berkembang saat ini di Indonesia, maka berikut beberapa hal yang dapat
dilaksanakan oleh OJK.

Pengawasan dan pengaturan yang berfokus pada Fintech yang telah berkembang
dan digunakan di Indonesia, Untuk menyegerakan upaya perlindungan konsumen
terkait produk Fintech di Indonesia, maka OJK sebagai regulator perlu untuk
menentukan fokus pada Fintech yang telah dan akan berkembang di Indonesia.
Fokus tersebut meliputi : Fintech lending; Fintech payment; Fintech supporting
(Fintech scoring, Fintech information site, Fintech financial management, Fintech
big data analytic). Adapun untuk Robo-Advisor, Blockchain, dan Bitcoin,
meskipun merupakan hal yang penting, namun hal tersebut belum menjadi hal
yang urgent untuk dilakukan saat ini dikarenakan tingkat literasi masyarakat
Indonesia belum mendukung berkembangnya jenis-jenis Fintech tersebut.

Setelah menentukan area fokus tersebut, maka OJK dapat segera melakukan
pemetaan regulasi terkait yang ada di Indonesia. Tidak seperti halnya di
Singapura, Australia, maupun Inggris yang menerapkan sistem hukum yang
bersifat Common Law, Indonesia menerapkan sistem hukum yang bersifat
European Continental (Civil Law) dimana semua hal harus dinyatakan dan
tercatat secara jelas dalam hukum. Jika suatu jenis Fintech yang berkembang di
Indonesia belum ada aturan hukumnya, maka apabila terjadi suatu permasalahan,
tidak terdapat dasar hukum untuk menyelesaikannya. Hal tersebut juga berkaitan
dengan perlindungan konsumen.

xxxix
Sesuai kewenangan OJK yang ada pada sektor jasa keuangan, maka Fintech dari
PUJK yang berkaitan dengan sektor jasa keuangan dapat diatur berdasarkan UU
OJK dan UU di masing-masing sektor jasa keuangan. Fintech yang terkait dengan
sektor perbankan dapat diatur dengan hukum yang ada di sektor perbankan.
Begitu juga dengan Fintech yang terkait sektor pasar modal dan lembaga
keuangan non-bank (contohnya seperti asuransi, pembiayaan, pergadaian).
Sedangkan untuk Fintech yang terkait dengan layanan pembayaran dapat diatur
dengan menggunakan peraturan di Bank Indonesia.

OJK sebaiknya menyusun standar atau pedoman terkait aspek perlindungan


konsumen pada produk/layanan Fintech yang menjadi cakupan kewenangannya,
melengkapi pedoman lain yang berkaitan dengan operasional layanan. Pedoman
ini nantinya dapat digunakan oleh ketiga sektor pengawasan OJK (Perbankan,
IKNB, dan Pasar Modal) dalam melakukan pengawasan

C. Fintech di Indonesia
Perkembangan Fintech di Sektor Jasa Keuangan.
Dalam era perkembangan teknologi dan digitalisasi, kebutuhan
masyarakat akan kegiatan di sektor jasa keuangan yang mudah, cepat dan
fleksibel pun meningkat. Kebutuhan masyarakat ini mendorong para pelaku jasa
keuangan untuk terus melakukan inovasi dan transformasi dari transaksi secara
tradisional ke dalam bentuk digital. Kegiatan dalam sektor jasa keuangan, seperti
mendatangi bank untuk melakukan transaksi, bertemu dengan agen penjual
langsung untuk mendaftarkan diri sebagai konsumen asuransi, atau mendatangi
perusahaan sekuritas bagi masyarakat yang ingin berinvestasi, diharapkan dapat
digantikan dengan proses yang lebih singkat, mudah, dan terjangkau dengan
adanya platform digital.
PUJK juga dituntut untuk meningkatkan standar dan inovasi untuk menarik serta
memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin modern. Upaya yang dilakukan
adalah dengan mengembangkan produk inovatif dan menguatkan sistem teknologi
dalam bisnis yang dilakukan oleh pelaku jasa keuangan. Dengan demikian, pelaku
jasa keuangan dapat bersaing pula dengan perusahaan-perusahaan Fintech yang
berkembang di Indonesia bahkan regional dan internasional. Saat ini, PUJK di

xl
Indonesia telah mulai mengembangkan produk inovatif dan menguatkan sistem
teknologi dalam bisnis. Berdasarkan jenis Fintech yang berkembang di Indonesia,
beberapa lembaga jasa keuangan yang sudah melakukan perkembangan dan
inovasi Fintech terbagi ke dalam beberapa sektor, yaitu Layanan Perbankan
Digital (Digital Banking), Pembiayaan dan Investasi, serta Asuransi.

a) Industri Perbankan
Dalam pengembangan inovasi kegiatan perbankan, sektor perbankan
Indonesia mengembangkan beberapa hal yang dapat mempermudah dan
mempercepat transaksi keuangan. Digital banking atau biasa disebut dengan
istilah Layanan Perbankan Digital diartikan sebagai layanan kegiatan perbankan
dengan menggunakan sarana elektronik/digital. Layanan melalui sarana ini dapat
dilakukan secara mandiri oleh nasabah untuk memperoleh informasi, melakukan
komunikasi, registrasi, pembukaan rekening, transaksi perbankan dan penutupan
rekening, termasuk memperoleh informasi lain di luar produk perbankan, antara
lain saran dan pendapat keuangan, investasi, transaksi e-commerce dan kebutuhan
lainnya.
Fitur inovasi digital lainnya meliputi e-wallet dan uang elektronik yang
dapat mengganti budaya masyarakat yang lebih sering membawa uang tunai.
Dengan adanya inovasi seperti ini, nasabah tidak perlu mendatangi kantor cabang
untuk melakukan kegiatan perbankan tertentu dan mempermudah kegiatan
perbankannya.

Dalam mengembangkan dan menjalankan prosesnya, layanan perbankan digital


ini membutuhkan kerjasama dengan pihak lain, terutama dengan perusahaan
telekomunikasi. Selain berupaya untuk memperluas akses keuangan, kerjasama
antara industri perbankan dan perusahaan telekomunikasi dalam digital banking
juga ditujukan untuk meningkatkan aktivitas ekonomi berbasis teknologi.
Sehingga dikemudian hari, masyarakat yang cenderung menggunakan
teknologi perbankan dalam melakukan kegiatan dan memenuhi kebutuhannya
dapat meningkatkan jumlah dan nominal transaksi perbankan Indonesia yang
sekaligus membantu peningkatan ekonomi nasional. Beberapa PUJK juga
melakukan kerjsama dan kolaborasi dengan perusahaan start-up Fintech yang juga
mengembangkan inovasi digital di sektor yang sama.

xli
b)Industri Pembiayaan dan Investasi
Dengan semakin meningkatnya tingkat penggunaan perangkat
elektronik atau digital di Indonesia dan adanya kebutuhan masyarakat untuk
berinvestasi dan mendapatkan layanan pinjam meminjam dengan cepat dan
mudah, pelaku jasa keuangan sektor pembiayaan dan investasi juga dituntut untuk
melakukan pengembangan dan inovasi terkait produknya. Dalam sektor pasar
modal, beberapa lembaga jasa keuangan sudah melakukan digitalisasi
produkproduknya. Digitalisasi ini meliputi proses pencarian informasi,
pendaftaran dan pembukaan rekening, hingga pelaporan kegiatan investasi. Pada
tahap pendaftaran dan pembukaan rekening efek secara online, konsumen
diberikan kemudahan pengisian formulir dengan cepat dan dapat dilakukan di
manapun. Kemudian akan dilanjutkan dengan pengunggahan dokumen yang
diperlukan dan pemenuhan prinsip Know Your Customer (KYC) yang dapat
dilakukan melalui media, seperti video call .
Keseluruhan proses digitalisasi sektor pasar modal ini akan berujung
pada pembuatan rekening efek yang keseluruhannya dilakukan tanpa adanya
kunjungan tatap muka antara pihak konsumen dengan perusahaan/lembaga terkait.
Hal yang sama juga terjadi pada sektor pembiayaan, dimana dengan adanya
digitalisasi dan pengembangan inovasi produk, perusahaan pembiayaan mulai
menyediakan layanan online guna mempercepat proses yang biasanya dihindari
konsumen dengan alasan lamanya waktu proses pengajuan kredit secara
tradisional (mengunjungi kantor lembaga pembiayaan terkait). Terdapat
perusahaan yang memberikan layanan pengajuan kredit hingga pencairan kredit
tanpa tatap muka atau dengan kata lain melalui media online. Calon konsumen
dapat mencari informasi mengenai kredit dan langsung mengajukan permohonan
kredit melalui media yang sama secara online (contoh melalui website).
Faktor yang mendorong digitalisasi produk-produk pasar modal dan
pembiayaan biasanya didasari oleh efisiensi waktu dan biaya. Konsumen pada era
kemajuan teknologi saat ini sangat membutuhkan layanan yang dapat memberikan
akses yang cepat dan sebisa mungkin menghindari biaya di luar produk,
contohnya seperti biaya transportasi. Kebutuhan masyarakat akan produk kredit
semakin tinggi namun juga disertai dengan kemudahan proses pengajuan hingga

xlii
pencairan dananya. Hal ini mendorong beberapa pelaku jasa keuangan terus
mengembangkan inovasi.

c) Industri Asuransi
Kebutuhan masyarakat akan perlindungan risiko atas terjadinya kerugian
mulai menjadi hal yang diperhatikan dan menjadi kebutuhan masyarakat
Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan makin banyaknya perusahaan asuransi
yang berkembang di Indonesia. Dalam memperluas jangkauannya, perusahaan
asuransi melakukan pengembangan dan inovasi terkait penjualan produknya
dengan menyertakan platform digital sebagai salah satu fokus utamanya.
Beberapa perusahaan asuransi menyediakan layanan dari mulai pendaftaran
hingga pembelian produk asuransi dilakukan secara online dan tidak perlu
mendatangi perusahaan atau agen asuransi. Fitur lainnya yang disediakan adalah
pengajuan klaim secara online.
Konsumen hanya membutuhkan dokumen-dokumen dan bukti-bukti
yang diperlukan dalam pengajuan klaim. Dokumen dan bukti untuk pengajuan
klaim dapat diunggah melalui platform yang disediakan perusahaan asuransi atau
lembaga penjual produk asuransi, biasanya melalui website.
Inovasi dan pengembangan digital dalam industri asuransi juga menyediakan
informasi yang memudahkan para pemegang polis asuransi untuk mendapatkan
informasi terkait produk asuransi yang digunakannya. Fitur-fitur yang terdapat
dalam aplikasi mobile tersebut diantaranya:
• Informasi mitra-mitra yang dapat diajukan klaimnya
• Identifikasi pengguna polis melalui fingerprint;
• Informasi cakupan dan jenis perlindungan dari produk yang digunakan; dan
• Informasi mengenai klaim dan lain sebagainya.

D. Jenis-Jenis Fintech yang Berkembang di Indonesia


Perusahaan start up Fintech di Indonesia berkembang dengan melihat
peluang yang dilatarbelakangi oleh beberapa hal, seperti perubahan perilaku,
perekonomian Indonesia, kondisi geografis, latar belakang budaya, faktor

xliii
demografis, serta tingkat literasi dan edukasi masyarakat tentang produk dan jasa
keuangan.
Wilayah Indonesia yang berupa kepulauan, menjadikan isu geografis menjadi
salah satu faktor dibutuhkannya teknologi yang dapat mempermudah dan
mempercepat akses masyarakat dalam menggunakan produk maupun jasa
keuangan. Dengan mempertimbangkan keunggulan aspek penghematan biaya,
kecepatan, dan kemudahan, maka eksistensi Fintech di Indonesia menjadi sangat
propektif di masa mendatang.
Berdasarkan data, jenis-jenis Fintech yang dikembangkan oleh perusahaan start up
di Indonesia cukup beragam. Menurut data yang didapat dari Asosiasi Fintech
Indonesia, pada pertengahan tahun 2017 terdapat 90 perusahaan start-up Fintech
yang tergabung ke dalam asosiasi dan jumlahnya meningkat menjadi 103
perusahaan start up Fintech di triwulan ketiga tahun 2017.9 Masing-masing jenis
Fintech memiliki potensi risiko sesuai dengan proses bisnisnya.

Secara umum, risiko yang mungkin muncul dari perusahaan Fintech di Indonesia
adalah:
• Risiko penipuan (fraud),
• Risiko keamanan data (cybersecurity),
• Risiko ketidakpastian pasar (Market Risk).

Berikut ini dijelaskan beberapa jenis Fintech yang telah berkembang di Indonesia
disertai manfaat dan potensi risiko dari setiap jenis tersebut:
a) Digital Payment
Perusahaan Fintech digital payment memberikan layanan berupa
pembayaran transaksi secara online sehingga proses tersebut menjadi lebih
praktis, cepat, dan murah. Perusahaan penyedia layanan ini pada umumnya
berbentuk dompet virtual yang dilengkapi dengan berbagai fitur untuk
mempermudah transaksi secara online antara konsumen dan pemilik usaha atau
antar-pelaku usaha (B2B). Dalam mekanismenya, dompet virtual atau biasa
disebut e-wallet ini akan diisi oleh konsumen (deposit) melalui akun
perbankannya dengan nilai nominal yang dikehendaki. Kemudian apabila
konsumen tersebut melakukan transaksi, dompet virtual akan terdebet sesuai

xliv
dengan nominal yang ditransaksikan. Dalam melakukan deposit, dompet virtual
ini bisa diisi melalui beberapa metode pembayaran, yaitu melalui kartu kredit,
mobile banking, internet banking, ATM, kartu debit, corporate internet banking,
branchless banking agent, online virtual account, dan Electronic Invoice
Presentment & Payment (EIPP).
Selain itu, layanan payment gateway pun merupakan salah satu layanan
yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia, terutama dalam transaksi e-
commerce. Dengan memanfaatkan portal yang menghubungkan langsung
pembayaran antara pembeli dan penjual, payment gateway ini memberikan
kemudahan dan kecepatan transaksi. Beberapa perusahaan penyedia layanan
payment gateway dapat menerima transaksi dari berbagai bank dan melakukan
pemindahan (transfer) dana antar bank. Dalam praktiknya di Indonesia, biasanya
perusahaan Fintech digital payment bekerjasama dengan berbagai pihak termasuk
perusahaan telekomunikasi (Telco), convenience store, merchant atau toko,
maupun bankbank konvensional untuk dapat memberikan pelayanan transaksi
online dengan lebih bervariasi.

Proses Bisnis Digital Payment

xlv
Keterangan:
 Konsumen yang hendak melakukan transaksi melakukan proses registrasi
transaksi
melalui platform digital payment.
 Konsumen memilih cara pembayaran (dapat melalui transfer, pembayaran kartu
kredit, mendatangi kios terdekat, dan sebagainya).
 Perusahaan Fintech akan mengirimkan permintaan konsumen untuk diteruskan
kepada bank agar dapat memproses transaksi.
 Bank akan mengirimkan pemberitahuan dan melakukan konfirmasi pembayaran
kepada konsumen melalui platform Fintech.
 Konsumen melakukan konfirmasi transaksi dan platform Fintech akan
menginformasikan transaksi tersebut.
1.Potensi Kerawanan dalam Proses Bisnis

xlvi
 Terjadi kegagalan transaksi namun dana telah terdebet
 Pencurian data saat konsumen melakukan transaksi melalui jaringan
telekomunikasi. Kejahatan sering ditemukan ketika konsumen menggunakan
fasilitas wi-fi di tempat umum dan hal ini sering dimanfaatkan oleh cyber
criminal.
 Kemungkinan penyalahgunaan data oleh pihak yang memiliki data keuangan
konsumen. Sebagai contoh, biasanya online shop akan menawarkan untuk
menyimpan data kartu kredit untuk memudahkan transaksi selanjutnya dan data
tersebut dapat disalahgunakan oleh pihak lain untuk melakukan transaksi tanpa
seizin konsumen
 Kode otentikasi dikirimkan ke nomor atau pengguna yang salah. Belakangan
ini
banyak terjadi sim swap (tindak kejahatan dengan modus menukar kartu sim pada
ponsel) untuk mendapatkan kode otentikasi saat melakukan pembayaran secara
online.

2.Manfaat
 Kenyamanan bertransaksi. Dengan menggunakan layanan digital payment,
konsumen maupun pelaku usaha diberikan kemudahan dalam bertransaksi
secara cepat.
 Tawaran promosi. Untuk menarik minat pengguna, perusahaan Fintech
seringkali bekerjasama dengan merchant, pelaku usaha, maupun Telco untuk
memberikan promosi dan penawaran menarik.
 Kemudahan dalam pencatatan dan perencanaan keuangan. Konsumen
mendapatkan kemudahan dalam melakukan pencatatan arus pengeluaran
karena semua terekam oleh sistem.

xlvii
3.Potensi Risiko
 Keamanan data konsumen.
Dengan adanya informasi konsumen dalam database perusahaan Fintech, maka
terdapat potensi risiko terkait privasi data konsumen maupun data transaksi yang
dapat disalah gunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.

 Kesalahan transaksi.
Fintech digital payment memerlukan manajemen system infrastruktur teknologi
informasi yang sangat kuat sehingga dapat menunjang keseluruhan proses
transaksi dengan baik. Sistem infrastruktur ini meliputi software management,
network & connectivity management, dan security management. Apabila hal ini
tidak berjalan dengan baik, maka akan menimbulkan permasalahan seperti
kesalahan transaksi dan kesalahan nominal.

b)Financing and Investment


Perusahaan Fintech Financing and Investment meliputi perusahaan Fintech
yang memberikan layanan Crowdfunding dan Peer-to-Peer Lending (P2P
Lending). Biasanya, perusahaan Fintech dalam kategori ini dapat menjadi
perusahaan Fintech Crowdfunding, perusahaan P2P Lending, ataupun kombinasi
keduanya. Fintech Crowdfunding pada umumnya melakukan penghimpunan dana
untuk suatu proyek maupun untuk penggalangan dana sosial. Dalam
mekanismenya, perusahaan akan menampilkan proposal suatu project, usaha,
event, atau kegiatan sosial yang diusulkan oleh seseorang atau suatu pihak melalui
website atau aplikasi perusahaan Fintech Crowdfunding tersebut.
Perusahaan Fintech akan mengundang pihak lain untuk menjadi investor
atau pemberi dana. Investor atau pemberi dana tersebut akan melakukan transfer
dana kepada rekening perusahaan untuk kemudian disalurkan kepada pihak yang
mengajukan. Di sisi lain, Fintech P2P lending memiliki model dan proses bisnis
yang berbeda. Perusahaan Fintech P2P lending biasanya memfasilitasi pihak yang
membutuhkan dana pinjaman dengan para pihak yang ingin berinvestasi dengan
cara memberikan pinjaman.
Pinjaman yang diberikan oleh perusahaan Fintech P2P lending di Indonesia
sangat bervariasi, mulai dari pinjaman modal usaha, pinjaman kendaraan

xlviii
bermotor, Kredit Tanpa Agunan (KTA), Kredit Perumahan Rakyat (KPR) hingga
pinjaman biaya pernikahan, pinjaman persalinan, pinjaman renovasi rumah dan
pinjaman perjalanan umroh. Para peminjam diberikan kewenangan untuk memilih
jangka waktu serta jumlah pinjaman yang disesuaikan dengan kebutuhan
peminjam. Nominal pinjaman bervariasi tergantung dari kebijakan perusahaan.
Fintech dalam bidang P2P lending di Indonesia juga mengakomodasi
masyarakat yang ingin menjadi investor atau menjadi pemberi dana dengan tujuan
untuk mendapatkan return di kemudian hari. Fasilitas ini banyak digunakan oleh
pengguna karena memberikan kemudahan untuk berinvestasi. Pada umumnya,
perusahaan akan memberikan informasi secara jelas dan transaparan akan
pergerakan uang pinjaman yang diberikan oleh pemberi dana. Hal ini membuat
para pemberi dana atau investor merasa lebih aman dan nyaman untuk
berinvestasi.

Pembahasan Materi Fraud


Fraud adalah suatu istilah yang didefinisikan sebagai tindakan
pengambilan uang atau properti dengan bukti palsu. Secara singkat, fraud
merupakan tindakan otorisasi dokumen secara tidak benar yang dilakukan oleh
seseorang dan berakibat pada adanya perpindahan uang secara tidak benar pula.
OJK sendiri mendefinisikan fraud sebagai suatu tindakan penyimpangan yang
dilakukan secara sengaja untuk menguntungkan pihak tertentu dan menyebabkan
kerugian terhadap perusahaan. Tindakan fraud telah menjadi suatu hak yang kerap
kali terjadi dalam perusahaan. Kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan ini juga
cukup besar, sehingga perusahaan melakukan kontrol untuk mencegah terjadinya
tindakan tersebut.
Kontrol internal yang efektif menjadi tameng bagi perusahaan dalam
mengatasi hal ini. Dengan implementasi kontrol internal yang komprehensif dan
monitor yang dilakukan secara berkala, kemungkinan terjadinya fraud dapat
diminimalisir. Dalam hal ini, yang paling banyak terlibat adalah auditor internal
dan eksternal. Mereka berperan dalam menjalankan investigasi untuk menentukan
cakupan dari fraud yang dilaporkan tersebut. Sehingga, dapat dilihat bahwa
auditor internal maupun eksternal bertanggung jawab dalam mendeteksi
terjadinya fraud dan melaporkannya kepada pihak yang berwenang.

xlix
5. Kasus PT Sunprima Nusantara Pembiayaan
SNP Finance merupakan bagian dari Perusahaan Columbia, toko yang
menyediakan pembelian barang secara kredit. Dalam kegiatannya SNP Finance
mendapatkan dukungan pembiayaan pembelian barang yang bersumber dari kredit
perbankan. SNP Finance sebenarnya sudah menjadi nasabah Bank Mandiri selama
20 tahun. Namun, itikad buruk baru ditujukan perusahaan pembiayaan tersebut
beberapa bulan terakhir. Saat ini, pinjaman macet perseroan ke anak perusahaan
Columbia Group tersebut mencapai Rp1,2 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya telah menjatuhkan sanksi
administratif kepada kantor akuntan publik yang diketahui melakukan
pelanggaran dalam prosedur audit atas laporan keuangan PT Sunprima Nusantara
Pembiayaan (SNP) Finance tahun buku 2012 hingga 2016. Sanksi administrasi
diberikan setelah memperoleh pengaduan dari OJK. Kantor akuntan publik
tersebut, yakni Akuntan Publik Marlinna, Akuntan Publik Merliyana Syamsul, dan
Kantor Akuntan Publik (KAP) Satrio Bing, Eny & Rekan (Deloitte Indonesia).
PT Bank Mandiri Tbk. telah menurunkan tim audit investigatif untuk
menelusuri duduk perkara hingga bank terbesar tersebut terancam merugi hingga
Rp 1,4 triliun akibat pembobolan oleh SNP Finance. Modus yang dilakukan SNP
Finance adalah pengajuan kredit fiktif untuk biaya modal kerja. Selain Bank
Mandiri, SNP Finance juga melakukan modus yang sama terhadap beberapa bank
dengan total uang yang dibawa kabur senilai Rp 14 triliun. Perusahaan
mengajukan fasilitas kredit modal kerja kepada sejumlah bank untuk memodali
kegiatan usahanya.

Namun, status kreditnya macet. Berdasarkan hasil penyelidikan, perusahaan


diduga memalsukan dokumen, penggelapan, penipuan. Pada 14 Mei 2018,
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah dijatuhi sanksi Pembekuan Kegiatan
Usaha (PKU). Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot menyebut jika perusahaan
tidak dapat memenuhi ketentuan hingga berakhirnya jangka waktu PKU, maka
sesuai dengan ketentuan POJK 29, izin usahanya akan dicabut.
3.Pelanggaran yang dilakukan PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP
Finance) SNP Finance yang sudah selama belasan tahun menjadi debitur Bank
Mandiri,

l
hingga beberapa bulan sebelum kasus terjadi, memiliki catatan yang baik dengan
kualitas kreditnya yang lancar. Hal ini menjadi pendukung utama bagi banyak
bank untuk kemudian ikut memberikan pembiayaan kepada SNP Finance
sehingga pada saat kasus terbongkar, 14 bank menjadi korban fraud yang
dilakukan SNP Finance. Dalam hal ini, Bank Mandiri melihat permasalahan yang
berkaitan dengan SNP Finance dan beberapa perbankan saat ini bukan semata-
mata disebabkan oleh ketidak hati-hatian perbankan dalam penyaluran kredit,
mengingat saat ini regulator telah menetapkan rambu-rambu yang sangat ketat
bagi perbankan dalam penyaluran kredit.
Pelanggaran yang dilakukan SNP FInance salah satunya adalah adanya itikad
tidak baik dari pengurus SNP Finance untuk menghindari kewajiban mereka,
dilihat dari bukti di mana SNP Finance langsung mengajukan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) setelah kualitas kreditnya menurun. Hal
ini dianggap sebagai tindakan memanfaatkan celah dari ketentuan hukum
mengenai kepailitan.
Selain itu, KAP Satrio Bing, Eny & Rekan (Deloitte Indonesia) mengaku bahwa
SNP Finance menerbitkan Medium Term Notes (MTN) menggunakan laporan
audit atas laporan keuangan SNP dari KAP Satrio Bing, Eny & Rekan sebagai
rujukan tanpa pemberitahuan dan persetujuan KAP terkait, sedangkan SNP
Finance juga menggunakan rujukan laporan audit tahun 2016 untuk penerbitan
MTN yang dilakukan pada tahun 2017 dan 2018 di mana pada kedua tahun
tersebut laporan audit dari KAP SBE Deloitte Indonesia tidak terbit. Padahal,
sesuai surat perikatan audit, jika SNP Finance akan mencantumkan nama KAP
SBE Deloitte Indonesia dalam dokumen apa pun, harus dengan pemberitahuan
dan persetujuan dari KAP tersebut.
Namun tentunya, pelanggaran utama yang dilakukan SNP Finance adalah
rekayasa laporan keuangan perusahaan yang mencoreng prinsip kewajaran dalam
penyusunan laporan keuangan. Perusahaan juga ditemukan bahwa tidak pernah
dilakukan rekonsiliasi antar bank yang diikuti dengan sistem dan proses yang
tidak sempurna.
Bukan hanya dari SNP Finance, terdapat juga beberapa pelanggaran yang
dilakukan oleh KAP yang melakukan audit general terhadap SNP Finance yaitu
KAP Satrio Bing, Eny & Rekan (Deloitte Indonesia). Pusat Pembinaan Profesi
Keuangan (PPPK) telah melakukan analisis pokok permasalahan dan

li
menyimpulkan bahwa terdapat indikasi pelanggaran terhadap standar profesi
akuntan. Hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa Akuntan Publik Marlinna dan
Merliyana Syamsul belum sepenuhnya mematuhi Standar Audit-Standar
Profesional Akuntan Publik dalam pelaksanaan audit umum atas laporan
keuangan SNP Finance. Hal-hal yang belum sepenuhnya terpenuhi adalah
pemahaman pengendalian sistem informasi terkait data nasabah dan akurasi jurnal
piutang pembiayaan, pemerolehan bukti audit yang cukup dan tepat atas akun
Piutang Pembiayaan Konsumen.
Selain itu, belum adanya kewajaran asersi keterjadian dan asersi pisah batas akun
pendapatan pembiayaan, pelaksanaan prosedur yang memadai terkait proses
deteksi risiko kecurangan serta respons atas risiko kecurangan, dan skeptisisme
profesional
dalam perencanaan dan pelaksanaan audit. Serta sistem pengendalian mutu yang
dimiliki oleh KAP mengandung kelemahan karena belum dapat melakukan
pencegahan yang tepat atas ancaman kedekatan, salah satunya adalah pengujian
yang dilakukan terhadap SNP Finance tidak sampai pada dokumen dasar.
4. Langkah yang diambil Regulator
Pada 18 Mei 2018, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan siaran pers
terkait pembekuan kegiatan usaha kepada SNP Finance. SNP Finance sendiri telah
diberikan peringatan pertama hingga peringatan ketiga karena tidak memenuhi
ketentuan Pasal 53 POJK 29/2104 yang menyatakan bahwa “Perusahaan
Pembiayaan dalam melakukan kegiatan usahanya dilarang menggunakan
informasi yang tidak benar yang dapat merugikan kepentingan debitur, kreditur,
dan pemangku kepentingan, termasuk OJK”.
Pasca dikeluarkannya peringatan tersebut, PEFINDO, selaku lembaga
pemeringkat menarik peringkat SNP Finance dan surat utang yang diterbitkan.
Sanksi ini dikeluarkan karena perusahaan belum menyampaikan keterbukaan
informasi kepada seluruh kreditur dan pemegang Medium Term Notes (MTN)
sampai dengan berakhirnya batas waktu sanksi peringatan ketiga.
Seperti yang kita ketahui, perusahaan mengajukan penundaan kewajiban
pembayaran utang (PKPU) mencapai Rp 4,07 Triliun, yang terdiri dari pinjaman
perbankan senilai Rp 2,2 Triliun dan medium term notes senilai Rp 1,85 Triliun.
Perusahaan ini juga telah gagal bayar bunga MTN V Tahap II senilai Rp 5,25

lii
Miliar dan bunga MTN III Seri B senilai Rp 1,5 Miliar, di mana keduanya jatuh
tempo pada 9 dan 14 Mei 2018.

Dengan dibekukannya kegiatan usaha SNP Finance, perusahaan ini dilarang


melakukan kegiatan usaha pembiayaan dan apabila melanggar akan dicabut izin
usahanya. OJK juga mengambil langkah-langkah pengawasan (mandatory
supervisory actions) dengan melarang perusahaan mengambil keputusan dan atau
melakukan tindakan yang dapat memperburuk kondisi keuangan perusahaan,
antara lain:

a. Menggunakan dana keuangan perusahaan dan/atau melakukan transaksi yang


tidak wajar
b. Menambah penerbitan surat utang dalam bentuk apapun termasuk MTN
c. Mengambil tindakan dan/atau perbuatan hukum yang memperburuk kondisi
perusahaan
d. Melakukan pergantian pengurus perusahaan tanpa persetujuan OJK.

Sementara itu, KAP Satrio, Bing, Eny dan Rekan (Deloitte) dinilai telah lalai
dalam melakukan pelaksanaan auditnya, dimana PT SNP terindikasi telah
menyajikan laporan keuangan yang secara signifikan tidak sesuai dengan kondisi
keuangan yang sebenarnya namun mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian dari
Deloitte. Maka pada 1 Oktober 2018, OJK mengenakan sanksi administratif
berupa pembatalan pendaftaran kepada Akuntan Publik (AP) Marlinna dan
Merliyana Syamsul, serta KAP Satrio, Bing, Eny dan Rekan. OJK mengenakan
sanksi tersebut dengan pertimbangan bahwa Deloitte:
a) Telah memberikan opini yang tidak mencerminkan kondisi perusahaan yang
sebenarnya
b) Besarnya kerugian industri jasa keuangan dan masyarakat yang ditimbulkan atas
opini kedua AP tersebut terhadap laporan keuangan PT SNP
c) Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan akibat dari
kualitas penyajian laporan keuangan tahunan audit oleh akuntan publik Pengenaan
sanksi terhadap AP dan KAP oleh OJK.

liii
mengingat laporan audit tersebut digunakan oleh SNP untuk mendapatkan kredit
dari bank dan menerbitkan MTN yang berpotensi gagal bayar atau menjadi kredit
bermasalah. Setelah mengenakan sanksi ini pada SNP dan Deloitte, OJK secara
aktif melakukan pemantauan terhadap SNP Finance lewat tim audit internal bank
yang melakukan investigasi. OJK terus melakukan upaya yang sistematis guna
menciptakan stabilitas industri multifinance yang kuat dan dipercaya masyarakat.

A.Kesimpulan Kasus SNP Finance


Dalam ISA 200 (Overall Objective of the Independent Auditor and the
Conduct of an Audit), dijelaskan bahwa “auditor eksternal bertanggung jawab
untuk memberikan reasonable assurance bahwa laporan keuangan yang diaudit
bebas dari salah saji material, baik disebabkan oleh kesalahan atau penipuan.”
Namun, dalam kasus PT SNP ini terlihat bahwa akuntan publik tidak
mencerminkan hal tersebut dan telah melakukan pelanggaran berat.
Dalam hal ini AP dari KAP Satrio, Bing, Eny dan Rekan dan menyatakan
opini Wajar Tanpa Pengecualian. Namun demikian, berdasarkan hasil
pemeriksaan OJK, PT SNP terindikasi telah menyajikan Laporan Keuangan yang
secara signifikan tidak sesuai dengan kondisi keuangan yang sebenarnya sehingga
menyebabkan kerugian banyak pihak.

Hal tersebut melanggar POJK Nomor 13/POJK.03/2017 Tentang


Penggunaan Jasa Akuntan Publik Dan Kantor Akuntan Publik, antara lain dengan
pertimbangan: telah memberikan opini yang tidak mencerminkan kondisi
perusahaan yang sebenarnya, besarnya kerugian industri jasa keuangan dan
masyarakat yang ditimbulkan atas opini kedua AP tersebut terhadap LKTA PT
SNP, dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan
akibat dari kualitas penyajian LKTA oleh akuntan publik.

Akibat hal ini OJK memberikan sanksi administratif berupa pembatalan


pendaftaran kepada Akuntan Publik Marlinna, Akuntan Publik Merliyana Syamsul
dan Kantor Akuntan Publik Satrio Bing Eny dan Rekan dalam mengaudit sektor
perbankan, pasar modal dan IKNB selama satu tahun berlaku tanggal 16
September 2018 hingga 15 September 2019. Selain itu, KAP Satrio Bing Eny dan
Rekan dikenakan sanksi berupa rekomendasi untuk membuat kebijakan dan

liv
prosedur dalam sistem pengendalian mutu KAP terkait ancaman kedekatan
anggota tim perikatan senior sebagaimana disebutkan di atas. KAP juga
diwajibkan mengimplementasikan kebijakan dan prosedur dimaksud dan
melaporkan pelaksanaannya paling lambat 2 Februari 2019. Maka dari itu, perlu
diperhatikan kembali bagi AP untuk mematuhi Standar Audit-Standar Profesional
Akuntan Publik dalam pelaksanaan audit umum atas laporan keuangan dan
mengedepankan profesional skeptisme.

lv
BAB III
Daftar Pustaka

https://www.academia.edu/23978184/Peranan_OJK_dalam_mengawasi_Lembaga
_keuangan
https://ardra.biz/ekonomi/ekonomi-lembaga-keuangan/fungsi-tujuan-tugas-
otoritas-jasa-keuangan-ojk/
https://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/ikhtisar-perbankan/Pages/Peraturan-
dan-Pengawasan-Perbankan.aspx
https://www.academia.edu/10447208/makalah_OJK
https://www.ojk.go.id/id/regulasi/otoritas-jasa-keuangan/undang-
undang/Pages/undang-undang-nomor-21-tahun-2011-tentang-otoritas-jasa-
keuangan.aspx
http://deniaandro.blogspot.com/2015/05/makalah-otoritas-jasa-keuangan.html
https://www.ojk.go.id/id/Pages/FAQ-Otoritas-Jasa-Keuangan.aspx
https://media.neliti.com/media/publications/22847-ID-otoritas-jasa-keuangan-ojk-
pengawas-lembaga-keuangan-baru-yang-memiliki-kewenang.pdf
https://lps.go.id/ketentuan-terkait/-/asset_publisher/nZ5y/content/uu-21-th-2011-
ttg-ojk
http://hukumpenanamanmodal.com/regulasi-penanaman-modal/undang-undang-
nomor-21-tahun-2011-tentang-otoritas-jasa-keuangan/

lvi

Anda mungkin juga menyukai