Anda di halaman 1dari 266

STRUKTUR HUKUM PEGADAIAN SYARIAH

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


DAN HUKUM POSITIF
(Suatu Tinjauan Yuridis Normatif
Terhadap Praktek Pegadaian Syariah di Kudus)
Oleh : Ahmad Supriyadi*1

Abstrak
Kegiatan Gadai Syariah merupakan suatu gejala ekonomi yang baru
lahir semenjak regulasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Regulasi ini di respon
oleh Dewan Syariah Nasional dengan mengeluarkan fatwa Nomor
25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan juga fatwa Nomor 26/
DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas. Kegiatan gadai syariah yang
baru ini melahirkan sistem hukum baru di dalam sistem hukum di
Indonesia. Kondisi ini didasarkan pada lahirnya perjanjian-perjanjian
yang belum ada dalam sistem hukum perdata di Indonesia misalnya
ar-rahn. Karena Sistem ar-rahn berasal dari sistem hukum Islam.
Karena itu akan banyak masalah yang terjadi bila struktur hukumnya
belum di temukan. Sedangkan penelitian tentang struktur hukum
pegadaian syariah dalam perspektif hukum Islam dan Hukum positif
belum banyak dan hanya beberapa orang misalnya Zainuddin Ali,
Abdul Ghofur Anshori dan Nur Aliyah. Penelitian ini merupakan
penelitian lapangan dengan pengambilan datanya melalui observasi
dan quesioner. Untuk bisa menyelesaikan rumusan masalah yang ada
peneliti menggunakan pendekatan sistem dengan pemahaman bahwa
dalam pegadaian syariah itu operasionalnya menggunakan sistem
tertentu dan pendekatan yang lain yaitu pendekatan yuridis normatif
yang digunakan untuk menganalisis praktik pegadaian syariah
dari sisi hukum. Struktur hukum dalam pegadaian syariah yang
telah penulis teliti di Pegadaian Syariah Kudus dapat di simpulkan.

1.Dosen STAIN Kudus dan Mahasiswa Program Dorktor Pascasarjana


*

IAIN Walisongo Semarang

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 1


Ahmad Supriyadi

Bahwa struktur hukum perjanjian yang di buat oleh para pihak ada
dua struktur yaitu struktur hukum gadai pada perjanjian gadai dan
struktur hukum jual beli pada skim mulia. Struktur hukum gadai yang
di lakukan di Pegadaian Syariah Kudus memuat : suatu perbuatan
hukum oleh seseorang atau rahin mengikatkan diri pada orang lain
atau murtahin untuk memperoleh pinjaman uang dengan jaminan
berupa benda bergerak. Perjanjian ini dalam struktur hukum perdata
termasuk perjanjian bernama yang mempunyai sifat timbal balik, di
satu sisi punya hak dan di sisi lain punya kewajiban secara timbal balik.
Perjanjian demikian itu termasuk perjanjian konsensuil obligatoir,
karena terbentuknya perjanjian itu berdasarkan konsensus dan yang di
perjanjikan mengandung unsur ekonomi. Sedangkan pada skim mulia
perjanjian yang di bentuk termasuk struktur hukum jual beli, karena
di satu sisi ada penjual dan di sisi lain ada pembeli dan juga ada obyek
jual beli berupa logam mulia. Perjanjian jual beli termasuk perjanjian
bernama yang sifatnya juga konsensuil obligatoir karena perjanjian
ini terbentuk dengan adanya kata sepakat dan tidak diharuskan ada
formalitas tertentu seperti barang tak bergerak. Berdasarkan hubungan
hukum, perjanjian ini termasuk perjanjian timbal balik karena ada hak
dan kewajiban secara timbal balik antara pembeli dan penjual. Kedua
struktur hukum tersebut telah di atur dalam KUH perdata dan telah di
atur dalam hukum perdata yang berasal dari hukum Islam. Struktur
hukum ini mempunyai kekhususan dimana ia berasal dari struktur
hukum Islam yang di adopsi dari budaya Islam di zaman Arab.
Kata Kunci: Struktur Hukum Pegadaian Syariah dalam Perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif

A. Latar Belakang Masalah


Islam telah mengatur pemeluknya dalam segala aspek
kehidupan melalui syariah yang dituangkan dalam kaedah-kaedah
dasar dan aturan-aturan. semua pemeluk Islam di wajibkan untuk
mentaatinya ataupun mempraktikkan dalam praksis kehidupan.
Sehingga sangat wajar bila interaksi antara sesama umat Islam yang
berdasarkan syariah perlu mendapat kajian yang serius karena umat
perlu panduan keilmuan supaya tidak salah berperilaku. Karena itu
perlu pengkajian aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita
sehari-hari, diantaranya yang berawal dari interaksi sosial dengan
sesama manusia, khususnya dalam hal ekonomi.
Pinjam meminjam dalam ekonomi adalah sesuatu yang lazim
di lakukan oleh para pelaku ekonomi. Walau demikian meminjam
untuk menanggung kebutuhan hidup berupa makan dan minum

2 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Struktur Hukum Pegadaian Syariah dalam Perspektif Hukum Islam

dengan pinjaman yang terlalu besar, tidaklah di anjurkan oleh Islam.


Sedangkan pinjaman yang berkaitan dengan harta untuk modal
usaha sangat di anjurkan, dengan dasar bahwa uang yang di miliki
oleh para aghniya supaya mempunyai nilai manfaat yang lebih.
Berdasarkan fenomena ini pemerintah merasa prihatin
karena kelemahan orang menjadi lahan yang enak bagi para pemilik
modal. Karena itulah pemerintah mendirikan lembaga formal
tentang pegadaian. Lembaga formal tersebut dibagi menjadi dua
yaitu lembaga bank dan lembaga nonbank. Lembaga nonbank inilah
pemerintah telah memfasilitasi masyarakat dengan suatu perusahaan
umum (perum) yang melakukan kegiatan pegadaian yaitu Perum
Pegadaian yang menawarkan pinjaman yang lebih mudah, proses
yang jauh lebih singkat dan persyaratan yang relatif sederhana dan
mempermudah masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dana. Hal
ini kegiatan bagi masyarakat yang beragama non Islam. padahal
Indonesia berpenduduk sebagian besar beragama Islam.
Perum Pegadaian melihat masyarakat Indonesia yang sebagian
besar beragama Islam, maka ia meluncurkan sebuah produk gadai yang
berbasiskan prinsip-prinsip syariah sehingga masyarakat mendapat
beberapa keuntungan yaitu cepat, praktis dan menentramkan, produk
yang dimaksud di atas adalah produk Gadai Syariah.
Perusahaan umum pegadaian adalah satu-satunya badan usaha
di Indonesia yang secara resmi mempunyai ijin untuk melaksanakan
kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk
penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai seperti
dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150.
Tugas pokoknya adalah memberikan pinjaman kepada masyarakat
atas dasar hukum gadai (Heri Sudarsono, 2004:156). Undang-undang
ini di atur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun
2000 tentang Perusahaan Umum Pegadaian.
Kegiatan Gadai Syariah merupakan suatu gejala ekonomi
yang baru lahir semenjak regulasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 Jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Regulasi ini di
respon oleh Dewan Syariah Nasional dengan mengeluarkan fatwa
Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan juga fatwa Nomor
26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 3


Ahmad Supriyadi

Kegiatan gadai syariah yang baru ini melahirkan sistem


hukum baru di dalam sistem hukum di Indonesia. Kondisi ini
didasarkan pada lahirnya perjanjian-perjanjian yang belum ada dalam
sistem hukum di Indonesia misalnya ar-rahn. Sistem ar-rahn berasal
dari sistem hukum Islam yang di tulis dalam kitab-kitab fiqih baik
klasik maupun kontemporer yang kemudian di implementasikan
oleh masyarakat Indonesi. Implementasinya memunculkan masalah
baru di dalam hukum positip yaitu adanya dualisme sistem yaitu
pegadaian konvensional yang pengaturannya mengacu pada hukum
positip murni dan pegadaian syariah yang mengacu pada hukum
Islam.
Pegadaian syariah secara yuridis belumlah mempunyai dasar
hukum yang kuat bila dilihat dari sisi hukum positip, karena belum
adanya UU yang mengaturnya. Hal ini menimbulkan ketidak pastian
hukum tentang pegadaian syariah, lebih-lebih bila ada perbuatan
hukum yang bermasalah dan pasti akan ditanyakan bagaimana
hukumnya?
Walaupun saat ini belum pernah di dengar adanya suatu
masalah hukum menyangkut pegadaian syariah, tapi di kemudian
hari akan ada suatu wanprestasi di dalam implementasi produk-
produk pegadaian syariah. Karena itu semua akan membutuhkan
hukum.
Di sisi lain masyarakat yang belum paham tentang syariah
selalu bertanya apa dan bagaimana pegadaian syariah serta
bagaimana operasionalnya? Tapi mereka juga ada kecurigaan
tentang produk-produk yang di keluarkan oleh pegadaian syariah.
Misalnya mempertanyakan apa bedanya pegadaian syariah dengan
konvensional.
Hal diatas menunjukkan kurangnya pemahaman masyarakat
terhadap pegadaian syariah. Akibat yang di timbulkan adalah
mereka kurang menyukai pegadaian syariah. Padahal umat Islam di
Indonesia adalah penduduk mayoritas yang berinteraksi ekonomi
secara syariah.

B. Rumusan Masalah
Uraian diatas menerangkan bahwa pegadaian syariah
mempunyai sistem hukum yang berbeda dengan hukum positip dan

4 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Struktur Hukum Pegadaian Syariah dalam Perspektif Hukum Islam

sistem hukumnya banyak mengadopsi dari sistem hukum Islam,


sehingga dapat diambil rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana praktik produk-produk Pegadaian Syariah?
2. Bagaimana struktur hukum pegadaian syariah dari perspektif
hukum positif dan hukum Islam?
C. Metode Penelitian
Penelitian yang berjudul struktur hukum pegadaian syariah
dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif (suatu tinjauan
yuridis normatif terhadap praktek pegadaian syariah di kudus)
adalah Penelitian mengenai praktik dan sistem hukum di Pegadaian
syariah yang merupakan penelitian deskriptif kualitatif.
Untuk menyelesaikan rumusan masalah, peneliti meng-
gunakan pendekatan sistem dengan tujuan mendapatkan sistem
yang saling berhubungan antara satu produk dengan produk lain
di Pegadaian Syariah dan juga dengan pendekatan yuridis normatif
untuk menemukan gambaran yang komprehensip mengenai struktur
hukum yang ada dalam praktik Pegadaian Syariah.
Obyek penelitian ini adalah praktik produk-produk Pegadaian
Syariah dan subyeknya adalah seluruh pegawai atau karyawan di
Pegadaian Syariah Kudus dan para nasabahnya.
Data yang diperoleh berupa data primer yang dikumpulkan
dengan metode wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan
secara terstruktur yaitu dengan panduan wawancara kepada manajer
dan para nasabah di Pegadaian Syariah, kemudian dianalisis dengan
menggunakan pendekatan yuridis normatif.
Setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan pengelompokan
data dan memberi kode-kode tertentu kemudian dilakukan
pengolahan data secara kualitatif melalui tahapan seleksi, klasifikasi
dan kategorisasi berdasarkan kelompok masalah, kemudian dilakukan
analisa dengan pendekatan yuridis dan normatif. Dalam proses
analisa data ini setidaknya peneliti akan menggunakan beberapa
tahap: dimulai dengan analisa deskriptif yang memungkinkan
peneliti menguraikan hasil penelitian apa adanya, lalu dilanjutkan
dengan analisa hermeneutic yaitu memberikan makna-makna yang
ditemukan dalam hubungannya dengan aktivitas. Selanjutnya analisa
dan kesimpulan yang logis, utuh, terpadu dan bisa dimengerti dengan
menggunakan metode induktif.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 5


Ahmad Supriyadi

Laporan hasil penelitan ini berupa data sekunder dan data


primer yang dikumpulkan dan dianalisis secara kualitatif kemudian
disajikan dalam bentuk deskriptif yaitu laporan yang memberikan
gambaran secara menyeluruh dan sistematis.

D. Hasil Penelitian

1. Produk-Produk Gadai Syariah di PERUM Pegadaian Syariah.


PERUM Pegadaian Syariah memiliki beberapa produk gadai
yang telah di operasionalkan sejak adanya unit syariah hingga
sekarang. Produk-produk itu antara lain:

1.1. Produk Gadai Syariah (Ar-Rahn)


a. Pengertian gadai syariah
Gadai syariah di Pegadaian Syariah adalah merupakan skim
pinjaman yang mudah dan praktis untuk memenuhi kebutuhan
dana bagi masyarakat dengan sistem gadai yang sesuai dengan
syariah dengan cara menyerahkan agunan berupa emas perhiasan,
berlian, elektronik dan kendaraan bermotor (Sumber: liflet Pegadaian
Syariah).
Berdasarkan liflet produk gadai syariah ini mempunyai
beberapa keuntungan antara lain:
1) Meningkatkan daya guna barang bergerak karena barang yang di
gadaikan berupa motor, cukup di gadaikan BPKB-nya. Sehingga
motor masih dapat di pakai oleh rahin dan dapat menghasilkan
keuntungan.
2) Prosedur pengajuan dan syarat-syarat untuk mendapatkan
pinjaman uang sangat mudah dan cepat
3) Barang di taksir secara valid dan cermat sehingga nilai taksiran
bisa optimal
4) Jangka waktu pinjaman fleksibel tidak di batasi, bebas menentukan
pilihan pembayaran
5) Barang gadai di jamin aman dan di asuransikan
6) Sumber dana dan akad sesuai dengan syariah
b. Tahap-Tahap Pelaksanaan gadai syariah
Adapun untuk mendapatkan pinjaman dengan skim gadai
syariah ini ada beberapa tahapan yang di lalui :

6 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Struktur Hukum Pegadaian Syariah dalam Perspektif Hukum Islam

1) Tahap Pengajuan
Pada tahap ini seorang nasabah apabila ingin mendapatkan
pinjaman dari Pegadaian Syariah ia harus datang dengan
memenuhi beberapa persyaratan:
1. Menyerahkan copy KTP atau identitas resmi lainnya;
2. Menyerahkan barang sebagai jaminan yang berharga misalnya
berupa emas, berlian, elektronik, dan kendaraan bermotor;
3. Untuk kendaraan bermotor, cukup menyerahkan dokumen
kepemilikan berupa BPKB dan copy dari STNK sebagai
pelengkap jaminan;
4. Mengisi formulir permintaan pinjaman;
5. Menandatangani akad
Setelah syarat-syarat ini terpenuhi, nasabah membawa barang
jaminan disertai photo copy identitas ke loket penaksiran barang
jaminan. Barang akan ditaksir oleh penaksir, kemudian akan
memperoleh pinjaman uang maksimal 90% dari nilai taksiran.
Tahap berikutnya adalah tahap perjanjian yang dilakukan sebagai
berikut:
2) Tahap Perjanjian
Pada tahap perjanjian, pihak rahin harus datang sendiri dan
melakukan negosiasi terlebih dahulu atas perjanjian yang di buat
oleh pihak Pegadaian Syariah. Bila pihak rahin tidak sepakat, boleh
membatalkan untuk tidak jadi meminjam uang di Pegadaian
Syariah. Namun bila telah sepakat atas perjanjian yang ada, maka
nasabah langsung menandatangani akad tersebut. Adapun akad
yang di gunakan dalam perjanjian gadai syariah ini adalah akad
ijroh atau Fee Based marhun yang bisa di sebut ijarah yakni rahin
dimintai imbalan sewa tempat, ujroh pemeliharaan marhun dalam
hal penyimpanan barang yang di gadaikan.
Apa yang diperjanjikan?
Hal-hal yang di perjanjikan dalam perjanjian gadai syariah
adalah:
(a) Judul perjanjian yaitu akad rahn.
(b) Hari dan tanggal serta tahun akad
(c) Kedudukan para pihak yaitu (1) kantor cabang pegadaian
syariah yang diwakili oleh kuasa pemutus marhun bih,
dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama serta

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 7


Ahmad Supriyadi

kepentingan CPS. Di sebut sebagai pihak pertama. (2) rahin


atau pemberi gadai adalah orang yang nama dan alamatnya
tercantum dalam surat bukti rahn ini.
(d) Hal-hal yang diperjanjikan dalam gadai syariah antara lain:
(1) rahn dengan ini mengakui telah menerima pinjaman dari
murtahin sebesar nilai pinjaman dan dengan jangka waktu
pinjaman sebagaimana tercantum dalam surat buku rahn.
(2) Murtahin dengan ini mengakui telah menerima barang
milik rahn yang digadaikan kepada murtahin, dan karenanya
murtahin berkewajiban mengembalikannya pada saat rahin
telah melunasi pinjaman dan kewajiban-kewajibannya lainnya.
(3) Atas transaksi rahn tersebut diatas, rahn dikenakan biaya
administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (4) Apabila
jangka waktu akad telah jatuh tempo, dan rahin tidak melunasi
kewajiban-kewajibannya, serta tidak memperpanjang akad,
maka rahin dengan ini menyetujui dan atau memberikan kuasa
penuh yang tidak dapat ditarik kembali untuk melakukan
penjualan atau lelang marhun yang berada dalam kekuasaan
murtahin guna pelunasan pembayaran kewajiban-kewajiban
tersebut. Dalam hal hasil penjualan atau lelang marhun tidak
mencukupi untuk melunasi kewajiban-kewajiban rahin, maka
rahin wajib membayar sisa kewajibannya kepada murtahin
sejumlah kekurangannya. (5) Bilamana terdapat kelebihan hasil
penjualan marhun, maka rahin berhak menerima kelebihan
tersebut, dan jika dalam jangka satu tahun sejak dilaksanakan
penjualan marhun, rahin tidak mengambil kelebihan tersebut,
maka dengan ini rahin menyetujui untuk menyalurkan
kelebihan tersebut sebagai shodaqah yang pelaksanaannya
diserahkan kepada murtahin. (6) Apabila marhun tersebut
tidak laku dijual, maka rahin menyetujui pembelian marhun
tersebut oleh murtahin minimal sebesar harga taksiran marhun.
(7) segala sengketa yang timbul yang ada hubungannya dengan
akad ini yang tidak dapat diselesaikan secara damai, maka
akan diselesaikan melaui Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) adalah bersifat final dan mengikat.
(e) Membubuhkan tandatangan menunjukkan persetujuan akad
rahn.
Selain akad rahn, ada pula akad ijaroh yang tujuannya adalah
untuk memperjanjikan biaya-biaya yang berkaitan dengan rahn.

8 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Struktur Hukum Pegadaian Syariah dalam Perspektif Hukum Islam

Adapun perjanjian ijarah setelah akad rahn isinya adalah sebagai


berikut :
(a) Berisi judul akad yaitu akad ijarah
(b) Hari dan tanggal serta tahun akad
(c) Keterangan tentang kedudukan para pihak : (1) Kantor
Cabang Pegadaian Syariah sebagaimana tersebut dalam surat
bukti rahn ini yang dalam hal ini diwakili oleh kuasa pemutus
marhun bih dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas
nama serta kepentingan CPS untuk selanjutnya disebut sebagai
Mu'ajjir. (2) Musta'jir adalah orang yang nama dan alamatnya
tercantum dalam surat bukti rahn ini.
(d) Pengakuan adanya akad rahn sebelumnya yang isinya : (1)
bahwa musta'jir sebelumnya telah mengadakan perjanjian
dengan muajjir sebagaimana tercantum dalam akad rahn
yang juga tercantum di dalam surat bukti rahn ini, dimana
musta'jir bertindak sebagai rahin dan muajjir bertindak sebagai
murtahin dan oleh karenanya akad rahn tersebut merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dengan akad ini. (2) bahwa atas
marhun berdasarkan akad diatas musta'jir setuju dikenakan
ijarah.
(e) Kesepakatan tentang akad ijarah, yang isinya adalah : (1) para
pihak sepakat dengan tarif ijarah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, untuk jangka waktu per-sepuluh hari kalender dengan
ketentuan penggunaan ma'jur selama satu hari tetap dikenakan
ijarah sebesar ijarah per-sepuluh hari. (2) Jumlah keseluruhan
ijarah tersebut wajib di bayar sekaligus oleh musta'jir kepada
mu'ajjir diakhir jangka waktu akad rahn atau bersamaan
dengan dilunasinya pinjaman. (3) apabila dalam penyimpanan
marhun terjadi hal-hal di luar kemampuan musta'jir sehingga
menyebabkan marhun hilang/rusak tak dapat dipakai maka
akan diberikan ganti rugi sesuai ketentuan yang berlaku di
PERUM Pegadaian. Atas pembayaran ganti rugi ini musta'jir
setuju dikenakan potongan sebesar marhun bih + ijarah
sampai dengan tanggal ganti rugi, sedangkan perhitungan
ijarah dihitung sampai dengan tanggal penebusan/ ganti rugi.
Simulasi perhitungan gadai syariah berdasarkan akad ujroh
(fee based marhun):

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 9


Ahmad Supriyadi

Biaya yang di perhitungkan dalam membayar upah meliputi sewa


pemakaian tempat, pemeliharaan marhun dan asuransi marhun.
Maka perhitungan yang di lakukan adalah:
Ijarah = Taksiran barang x Tarif (Rp.) x Jangka waktu
10.000,- Hari
Misalnya : nasabah memiliki 1 keping Logam Mulia seberat 25
gram dengan kadar 99,99% asumsi harta per gram emas 99,99%=
Rp. 300.000,- maka cara menghitungnya adalah sebagai berikut:
Taksiran = 25 gr. x Rp. 300.000,- = Rp. 7.500.000,-
Uang Pinjaman = 90% x Rp. 7.500.000,- = Rp. 6.750.000,-
Ijaroh /10 hari = 7.500.000,- x 80 x 10 = Rp. 60.000,-
Rp.10.000,- 10
Biaya Administrasi = Rp. 25.000,-
Jika nasabah menggunakan marhun bih selama 26 hari, ijaroh
ditetapkan dengan menghitung per 10 hari x 3 maka besar ijaroh
adalah Rp. 180.000,- (Rp. 60.000,- x 3) ijaroh di bayar pada saat
nasabah melunasi atau memperpanjang dengan akad baru.
3) Tahap Realisasi Perjanjian
Pada tahap realisasi akad yang telah di sepakati bersama dan telah
di tandatangani oleh kedua belah pihak, maka tahap selanjutnya
adalah realisasi penyerahan pinjaman kepada rahin.
4) Tahap Akhir Gadai
Pada tahap akhir gadai, yang di kerjakan adalah sebelum
berakhirnya gadai, pihak murtahin (Pegadaian Syariah ) memberikan
informasi kepada rahin bahwa pinjaman akan berakhir. Setelah
di sampaikan maka rahin akan membayar sejumlah uang yang
di pinjam dan biaya-biaya penyimpanan selama gadai. Dalam
hal ini proses pelunasan bisa dilakukan kapan saja sebelum
jangka waktunya, baik dengan cara sekaligus ataupun di angsur.
Namun apabila pihak rahin tidak mampu membayar sebesar
uang pinjamannya di tambah biaya sewa tersebut, maka barang
di lelang oleh Pegadaian Syariah untuk membayar, sedangkan
bila ada sisanya uang akan di kembalikan kepada rahin, tapi bila
uangnya kurang untuk menutupi pinjaman dan biayanya maka
pihak rahin di minta untuk membayar kekurangannya. Tapi pada
kenyataan bahwa rahin sering tidak membayar kekurangan dari
uang pinjamannya.

10 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Struktur Hukum Pegadaian Syariah dalam Perspektif Hukum Islam

5) Realisasi Pelelangan Barang Gadai


Pelelangan barang gadai di sebabkan karena pihak rahin tidak
mampu membayar seluruh hutangnya beserta biaya-biaya yang
harus di tanggungnya. Karena itu pihak murtahin diperbolehkan
untuk menjual atau melelang barang yang telah di gadaikan
kepada murtahin. Adapun meknisme penjualannya adalah sebagai
berikut:
(a) Pihak rahin mewakilkan kepada murtahin untuk menjualkan
barang yang digadaikan;
(b) Pihak murtahin akan menginformasikan secara umum melalui
pengumuman bahwa akan diadakan lelang pada tanggal
tertentu.
(c) Pihak murtahin melaksanakan lelang yang sesuai dengan
prosedur.
1.2. Produk Mulia yaitu murabahah logam mulia untuk investasi
jangka panjang.
Program "mulia" merupakan produk pegadaian syariah yang
diperuntukkan bagi masyarakat untuk berinvestasi jangka panjang.
Produk mulia adalah fasilitas yang di berikan oleh Pegadaian Syariah
kepada masyarakat untuk memiliki emas logam mulia dengan cara
membeli di Pegadaian Syariah, sedangkan masyarakat membayar
dengan cara mengangsur.
Produk ini mempunyai beberapa keuntungan bagi yang
memanfaatkan antara lain:
(a) Merupakan jembatan untuk mewujudkan niat untuk menunaikan
haji dengan menyimpan emas di Pegadaian Syariah;
(b) Emas yang telah di beli di Pegadaian Syariah juga bisa untuk
persediaan biaya pendidikan anak;
(c) Dapat juga emas itu sebagai tabungan untuk memiliki rumah
atau kendaraan;
(d) Menyimpan emas di Pegadaian Syariah juga merupakan investasi
yang aman untuk menjaga portofolio asset yang dimiliki oleh
seseorang.
(e) Emas bisa digunakan untuk menanggulangi likuiditas, karena
mudah di perjual belikan.
Adapun untuk bisa memanfaatkan produk mulia dari
Pegadaian Syariah ini ada beberapa tahapan yang harus di lalui antara
lain:

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 11


Ahmad Supriyadi

a. Tahap Pengajuan
Pada tahap ini seorang nasabah apabila ingin mendapatkan
emas logam mulia dari Pegadaian Syariah dan di simpan sebagai
cadangan untuk kebutuhan-kebutuhan mendesak, ia harus
datang dengan memenuhi beberapa persyaratan :
(b) Menyerahkan copy KTP atau identitas resmi lainnya;
(c) Mengisi formulir produk mulia;
(d) Membayar uang muka dan administrasi lainnya;
(e) Menandatangai akad
Setelah syarat-syarat ini terpenuhi, nasabah akan mendapatkan
barang berupa emas logam mulia yang disimpan di pegadaian
syariah.
Tahap berikutnya adalah tahap perjanjian yang dilakukan sebagai
berikut:
b. Tahap Perjanjian
Pada tahap perjanjian, pihak rahin harus datang sendiri
dan melakukan tanya jawab tentang harga dan persyaratan-
persyaratan lain terlebih dahulu atas perjanjian yang di buat oleh
pihak Pegadaian Syariah. Bila pihak rahin tidak sepakat, boleh
membatalkan untuk tidak jadi membeli emas logam mulia di
Pegadaian Syariah. Namun bila telah sepakat atas perjanjian yang
ada, maka nasabah langsung menandatangani akad tersebut.
Adapun akad yang di gunakan dalam perjanjian produk mulia
ini adalah akad murabahah dan rahn yakni pembeli adalah rahin
(nasabah) dan penjual adalah murtahin (pegadaian syariah).
Setelah terjadi jual beli, barang tetap berada di pegadaian syariah
karena uang yang untuk membeli adalah milik pegadaian syariah
dan nasabah kedudukannya adalah sebagai orang yang hutang
untuk membeli emas logam mulia.
Apa yang diperjanjikan?
Hal-hal yang di perjanjikan dalam perjanjian produk jual beli
emas logam mulia adalah:
(a) Judul perjanjian yaitu akad murabahah logam mulia,
nomor: dan dasar al-Qur'an;
(b) Kedudukan para pihak. Misalnya: Pegadaian Syariah menyebut
bahwa nama Marmono, jabatan manajer cabang, dalam hal

12 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Struktur Hukum Pegadaian Syariah dalam Perspektif Hukum Islam

ini bertindak untuk dan atas nama cabang pegadaian CPS


Ronggolawe, yang selanjutnya disebut pihak pertama. Dan
pihak kedua, nama Ahmad Supriyadi, alamat Karangbener
Rt.4/4 Kecamatan Bae Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa
Tengah. Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama diri
sendiri yang selanjutnya disebut pihak kedua.
(c) Kalimat persetujuan, bahwa kedua belah pihak sepakat dan
setuju untuk mengadakan akad murabahah logam mulia.
(d) Pasal-pasal tentang jumlah pembiayaan dan tujuan. Misalnya:
(1) pihak pertama memberikan fasilitas pembiayaan akibat
hutang murabahah kepada pihak kedua untuk pembelian
emas logam mulia sejumlah 5 gram yang terdiri dari 1 buah
@ 5 gram. (2) Selanjutnya pihak kedua dengan ini berjanji dan
mengikatkan diri kepada pihak pertama untuk membayar
sisa hutang murabahah yang belum di bayar sebagaimana
dimaksud sebesar Rp. 1. 429.807,-
(e) Pasal tentang jangka waktu. Pasal ini memuat (1) bahwa
pembiayaan murabahah di berikan untuk jangka waktu tertentu
misalnya 6 bulan, satu tahun atau lebih. (2) sebelum jangka
waktu pembiayaan berakhir, pihak kedua dapat melunasi
hutangnya dengan melakukan pembayaran sekaligus. (3)
Ketentuan tentang obyek murabahah yang hilang atau musnah
di luar kuasa pihak pertama untuk mencegahnya, maka jangka
waktu pembiayaan akan berakhir pada saat terjadinya resiko.
(f) Pasal tentang biaya-biaya. Pasal ini memuat bahwa pihak rahin
(pihak kedua) di bebani membayar biaya-biaya antaral lain :
uang muka, biaya administrasi, denda bila ada keterlambatan
dan biaya pengiriman yang mana biaya-biaya itu dibayar
setelah penandatanganan akad murabahah.
(g) Pasal tentang pembayaran. Pasal ini memuat (1) pihak
rahin (pihak kedua) mengaku telah berhutang murabahah
kepada pihak murtahin (pihak pertama) dan berkewajiban
membayar dengan cara diangsur serta biaya-biaya lain yang
timbul akibat adanya akad murabahah. (2) besarnya angsuran
bulanan ditetapkan berdasarkan kesepakatan. (3) pembayaran
ditetapkan setiap bulan dan pembayaran tiap-tiap bulang
paling lambat pada tanggal 10. (4) apabila tanggal jatuh tempo
angsuran sebagaimana dimaksud jatuh pada hari minggu

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 13


Ahmad Supriyadi

atau hari libur, maka pembayaran dilakukan pada hari kerja


berikutnya. Atas kejadian ini pihak rahin belum dikenakan
denda. (5) dalam hal angsuran dibayar melampaui tanggal
yang telah ditetapkan, maka pihak kedua di kenakan denda. (6)
pihak pertama wajib menyerahkan obyek murabahah beserta
dokumen-dokumen terkait kepada pihak kedua apabila telah
melunasi seluruh kewajibannya.
(h) Pasal tentang jaminan pembiayaan. Pasal ini memuat: (1)
sebagai jaminan pelunasan pembiayaan murabahah, obyek
pembiayaan murabahah sebagaimana dimaksud dalam pasal
1 ayat (1) tetap berada di bawah penguasaan pihak pertama
dan dijadikan marhun (jaminan gadai) sampai dengan
lunasnya seluruh kewajiban pihak kedua. (2) pihak kedua
sepakat dengan pihak pertama untuk membuat akad gadai
dengan jaminan (marhun) berupa barang yang menjadi obyek
muraahah, dan sisa hutang murabahah sebagai sisa hutang
akad gadai dimana pihak pertama tidak memungut ujrah.
(3) pihak pertama wajib memelihara dan merawat obyek
murabahah yang dijadikan marhun (jaminan gadai) tersebut
dengan baik dari segala resiko kerusakan dan atau kehilangan
samapai dengan hutang murabahah dilunasi oleh pihak
kedua. (4) dalam hal obyek murabahah yang dijadikan marhun
hilang atau musnah akibat kelalaian pihak pertama maka
pihak pertama wajib mengganti dengan obyek murabahah
baru sebesar nilai obyek murabahah yang hilang/rusak. (5)
dalam hal penggantian obyek murabahah berupa barang yang
sejenis dan senilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sulit
dilakukan oleh pihak pertama, maka pihak kedua sepakat
menerima ganti rugi sebesar 100 % dari harga pasar saat obyek
murabahah hilang/musnah dengan tetap memperhitungkan
sisa kewajiban pihak kedua kepada pihak pertama.
(i) Pasal tentang cidera janji. Berisi pihak kedua akan terbukti
lalai atau sengaja tidak melaksanakan kewajibannya kepada
pihak pertama, apabila menunggak angsuran sebanyak 3 kali
berturut-turut.
(j) Pasal 7 tentang force majeur. Berisi bila terjadi bencana alam
(banjir, gempa bumi) dan atau kebakaran, huru-hara, yang
mengakibatkan obyek murabahah yang dijadikan marhun

14 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Struktur Hukum Pegadaian Syariah dalam Perspektif Hukum Islam

(jaminan gadai) menjadi musnah/rusak berat, para pihak


sepakat untuk saling membebaskan kewajiban masing-masing
sebagaimana tercantum dalam akad ini.
(k) Pasal 8 tentang eksekusi cidera janji yang diawali dengan
peringatan 3 kali dengan selang waktu 7 hari, dan bila tidak
melunasi maka akan di jual.
(l) Pasal 9 tentang denda keterlambatan. Yang isinya bila ada
keterlambatan maka akan dikenai denda.
(m)Pasal 10 tentang masa berlakunya akad yaitu sejak di
tandatangani sampai terjadi pelunasan.
(n) Pasal 11 tentang addendum yaitu bila ada hal-hal yang
belum diatur akan di atur dan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan.
(o) Pasal 12 tentang penyelesaian perselisihan yakni perselisihan
akan diselesaikan dengan musyawarah.
(p) Pasal 13 tentang penutup. Bahwa akad di buat rangkap dua
yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Simulasi perhitungan gadai syariah berdasarkan akad ujroh (fee
based marhun):
Biaya yang di perhitungkan dalam membayar upah meliputi sewa
pemakaian tempat, pemeliharaan marhun dan asuransi marhun.
Maka perhitungan yang di lakukan adalah:
Ijarah = Taksiran barang x Tarif (Rp.) x Jangka waktu
10.000,- Hari
Misalnya: nasabah memiliki 1 keping Logam Mulia seberat 25
gram dengan kadar 99,99% asumsi harta per gram emas 99,99%=
Rp. 300.000,- maka cara menghitungnya adalah sebagai berikut:
a) Taksiran = 25 gr. x Rp. 300.000,- = Rp. 7.500.000,-
b) Uang Pinjaman = 90% x Rp. 7.500.000,- = Rp. 6.750.000,-
c) Ijaroh /10 hari = 7.500.000,- x 80 x 10 = Rp. 60.000,-
Rp.10.000,- 10
Biaya Administrasi = Rp. 25.000,-
Jika nasabah menggunakan marhun bih selama 26 hari, ijaroh
ditetapkan dengan menghitung per 10 hari x 3 maka besar ijaroh
adalah Rp. 180.000,- (Rp. 60.000,- x 3) ijaroh di bayar pada saat
nasabah melunasi atau memperpanjang dengan akad baru.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 15


Ahmad Supriyadi

c. Tahap Realisasi Perjanjian


Pada tahap realisasi akad yang telah di sepakati bersama dan telah
di tandatangani oleh kedua belah pihak, maka tahap selanjutnya
adalah realisasi penyerahan pinjaman kepada rahin.
d. Tahap Akhir Gadai
Pada tahap akhir gadai, yang di kerjakan adalah sebelum
berakhirnya gadai, pihak murtahin (Pegadaian Syariah ) memberikan
informasi kepada rahin bahwa pinjaman akan berakhir. Setelah
di sampaikan maka rahin akan membayar sejumlah uang yang
di pinjam dan biaya-biaya penyimpanan selama gadai. Dalam
hal ini proses pelunasan bisa dilakukan kapan saja sebelum
jangka waktunya, baik dengan cara sekaligus ataupun di angsur.
Namun apabila pihak rahin tidak mampu membayar sebesar
uang pinjamannya di tambah biaya sewa tersebut, maka barang
di lelang oleh Pegadaian Syariah untuk membayar, sedangkan
bila ada sisanya uang akan di kembalikan kepada rahin, tapi bila
uangnya kurang untuk menutupi pinjaman dan biayanya maka
pihak rahin di minta untuk membayar kekurangannya. Tapi pada
kenyataan bahwa rahin sering tidak membayar kekurangan dari
uang pinjamannya.
e. Realisasi Pelelangan Barang Gadai
Pelelangan barang gadai di sebabkan karena pihak rahin tidak
mampu membayar seluruh hutangnya beserta biaya-biaya yang
harus di tanggungnya. Karena itu pihak murtahin diperbolehkan
untuk menjual atau melelang barang yang telah di gadaikan
kepada murtahin. Adapun meknisme penjualannya adalah sebagai
berikut:
(1) Pihak rahin mewakilkan kepada murtahin untuk menjualkan
barang yang digadaikan;
(2) Pihak murtahin akan menginformasikan secara umum melalui
pengumuman bahwa akan diadakan lelang pada tanggal
tertentu setelah pihak pegadaian memberitahukan kepada
rahin paling lambat 5 (lima) hari sebelum tanggal penjualan.
Pemberitahuan tersebut biasanya melalui surat kepada rahin.
(3) Pihak murtahin melaksanakan lelang yang sesuai dengan
prosedur.
Salah satu cara pelelangan barang gadai di pegadaian adalah
(Zainuddin Ali,2008:51):

16 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Struktur Hukum Pegadaian Syariah dalam Perspektif Hukum Islam

(1). Ditetapkan harga emas oleh pegadaian pada saat pelelangan


dengan margin 2% untuk pembeli.
(2). Harga penawaran yang dilakukan oleh banyak orang tidak
diperbolehkan karena dapat menyebabkan kerugian bagi rahin.
Karena itu, pihak pegadaian melakukan pelelangan terbatas,
yaitu hanya memilih beberapa pembeli.
(3). Hasil pelelangan akan digunakan untuk biaya penjualan 1%
dari harga jual, biaya perwatan dan penyimpanan barang dan
sisanya dikembalikan kepada rahin.
(4). Sisa kelebihan yang tidak diambil selama setahun, akan
diserahkan oleh pihak pegadaian kepada baitul maal.
1.1.. Produk Arrum
Produk Arrum yaitu skim pinjaman berprinsip syariah bagi para
pengusaha mikro dan kecil untuk keperluan pengembangan usaha
dengan sistem pengembalian secara angsuran dan menggunakan
jaminan BPKB motor atau mobil (Sumber liflet Pegadaian Syariah
). Produk ini ada di pegadaian syariah yang mekanismenya sama
dengan gadai biasa.
Secara umum mekanisme operasional Pegadaian Syariah
dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad Rahn, nasabah
menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan
dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian.
Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya
biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya
perawatan, dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini
dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah
sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.Tarif Ijarah
yang dikenakan kepada rahin adalah:
Tarif ijarah dihitung dari nilai taksiran barang jaminan/
marhun.
Jangka waktu pinjaman ditetapkan 120 hari.
Tarif jasa simpan dengan kelipatan 10 hari, satu hari dihitung 10
hari.
Berdasarkan liflet produk gadai syariah ini mempunyai
beberapa keuntungan antara lain:
(a) Meningkatkan daya guna barang bergerak karena barang
yang di gadaikan berupa motor, cukup di gadaikan BPKB-nya.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 17


Ahmad Supriyadi

Sehingga motor masih dapat di pakai oleh rahin dan dapat


menghasilkan keuntungan.
a) Prosedur pengajuan dan syarat-syarat untuk mendapatkan
pinjaman uang sangat mudah dan cepat
b) Barang di taksir secara valid dan cermat sehingga nilai taksiran
bisa optimal
c) Jangka waktu pinjaman fleksibel tidak di batasi, serta bebas
menentukan pilihan pembayaran
d) Barang gadai di jamin aman dan di asuransikan
e) Sumber dana dan akad sesuai dengan syariah dan operasionalnya
di bawah pengawasan Dewan Pengawas Syariah.
Prosedur untuk mendapatkan pinjaman dari Pegadaian
Syariah sama dengan produk gadai syariah.
2. Analisis Yuridis Dan Normatif Praktik Gadai Di PERUM
Pegadaian Syariah
2.1.Analisis Hukum Positip Terhadap Praktik Gadai di PERUM
Pegadaian Syariah
Analisis ini didasarkan pada hukum perdata yang ada di
Indonesia dan merujuk pada KUH Perdata dengan meninggalkan
beberap prinsip yang tidak sesuai dengan hukum Islam misalnya
tentang riba, ataupun hal-hal lain yang tidak sesuai dengan hukum
Islam.
Pada asasnya bahwa hutang itu harus di bayar. Setiap orang
yang mempunyai hutang ia mempunyai kewajiban untuk membayar
sebesar hutang uang yang dipinjam. Tetapi bila sesorang bisa
meminjam uang dengan pembayarannya di tangguhkan maka ia
harus memberikan jaminan atas kemampuannya untuk membayar.
Karena itu gadai pada prinsip adalah memberikan jaminan bahwa
seseorang bisa membayar hutangnya.
Gadai dalam Islam di sebut rahn tapi dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Pasal 1150 juga telah ada yang memberikan
pengertian bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang
berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya
oleh seorang berutang atau orang lain atas namanya, dan memberikan
kekuasaan kepada si berpiutang untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut secara didahulukan daripada orang berpiutang

18 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Struktur Hukum Pegadaian Syariah dalam Perspektif Hukum Islam

lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut


dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya, setelah
barang itu di gadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan (J.
Satrio,1996:97).
Dalam perjanjian tersebut telah di uraikan tentang para pihak
atau disebut subyek perjanjian. Subyek perjanjian diatas ada dua
yaitu rahin dan murtahin dan ini telah di atur dalam Pasal 1150 KUH
Perdata.
Di dalam perjanjian yang di perjanjikan adalah barang yang di
gadaikan bahwa barang yang digadaikan yaitu berupak cicin. Barang
tersebut adalah termasuk benda bergerak sebagaimana di atur dalam
Pasal 1150 jo 1152 KUH Perdata. Karena itu barang gadai bisa benda
bergerak dan bisa juga surat berharga.
Tentang penyerahan barang gadai diletakkan dengan membawa
benda gadai di bawah kekuasaan kreditur atau di bawah kekuasaan
pihak ketiga sebagaimana pasal 1152. Penyerahan barang gadai di
Pegadaian Syariah telah memenuhi pasal tersebut yang faktanya si
rahin menyerahkan marhun bih kepada murtahin.
Perjanjian gadai menurut ilmu hukum, termasuk perjanjian riil
dan sifatnya konsensuil. Dikatakan riil karena benda yang dijadikan
jaminan benar-benar diserahkan kepada murtahin dan dikatakan
konsensui, bahwa perjanjian ini lahir karena ada kata sepakat dari para
pihak.
a. Perumusan Gadai
Perumusan tentang gadai sebagaimana dalam Pasal 1150
KUH Perdata telah menjadikan suatu ikatan hukum yang
di akibatkan dari perjanjian gadai bahwa seseorang yang
mendapatkan utang dengan menjaminkan barang berupa
barang bergerak dan akan di bayar di kemudian hari. Kata
"gadai" disini memiliki dua arti yaitu sebagai benda gadai dan
juga hak gadai.
b. Para Pihak dalam Gadai
Para pihak yang terlibat dalam perjanjian gadai adalah
raahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima jaminan).
c. Barang yang di Gadaikan
d. Penyerahan Barang Gadai

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 19


Ahmad Supriyadi

2.2. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Gadai Di PERUM


Pegadaian Syariah
PERUM Pegadaian Syariah telah mengeluarkan beberapa
produk jasa antara lain: gadai syariah, jual beli emas logam mulia
(produk mulia) dan arrum. Dari tiga produk tersebut ada praktik
produk pegadaian syariah yang hampir sama yaitu arrum dengan gadai
syariah. Jasa-jasa tersebut telah didipraktikkan sebagaimana perjanjian
yang didiskripsikan di atas yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah.
Secara umum perjanjian yang di gunakan dalam operasional jasa-jasa
tersebut adalah akad rahn, akad ijarah dan akad jual beli murabahah.
a. Gadai Syariah
Gadai syariah atau rahn telah di perbolehkan oleh al-Qur'an dan
as-Sunnah untuk bermuamalah berdasarkan gadai. Dasarnya adalah:

N M L KJ I H G F E D C B
U TSRQPO
Dan jika kamu dalam perjalanan (safar) dan kamu tidak dapati penulis,
maka hendaklah ada jaminan (borg sebagai barang gadaian) yang kamu
pegangi. Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (hutangnya)
dan hendaklah ia takut kepada allah Tuhannya (Qs. Al-Baqarah, 283)

Sedangkan akad yang telah terjadi di Pegadaian Syariah telah di


atur mulai dari nama akad, subyek dan obyek akad, para pihak dalam
akad bahkan sampai pada penyelesaian akad. Hal ini bila merujuk
pada norma-norma yang ada dalam fiqih muamalah menurut Khalid
Samhudi, bahwa akad rahn harus mempunyai empat rukun antara lain
(internet september 11,2007) :
(a) Al Rahn atau Al Marhuun (barang yang digadaikan)
(b) Al Marhun bih (hutang)
(c) Shighat
(d) Dua pihak yang bertransaksi yaitu Raahin (orang yang
menggadaikan) dan Murtahin (pemberi hutang).
Sedangkan dalam referensi lain menyebutkan bahwa rukun
rahn itu terdiri dari (Mahsin Hj. Mansor,1992:68):
(a) Al-rahin adalah orang yang menggadaikan barang untuk
mendapatkan pinjaman uang;

20 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Struktur Hukum Pegadaian Syariah dalam Perspektif Hukum Islam

(b) Al-murtahin adalah orang penerima gadai karena ia memberikan


pinjaman uang;
(c) Al-marhun adalah barang yang dijadikan jaminan hutang;
(d) Sighat adalah ijab dan qabul.
Para pihak yang bertransaksi bisa juga tidak hanya dua pihak
tetapi bisa tiga pihak yaitu : pihak raahin, pihak murtahin dan pihak
ketiga yang menjamin atas hutang-hutang raahin. Hal ini bisa terjadi
pada saat barang yang di gadaikan itu milik orang lain, atau barang itu
telah di jual kepada pihak ke-tiga.
Pihak ke-tiga tersebut di sebut juga pemberi gadai atau raahin
hanya saja tanggung jawabnya hanya terbatas sebesar benda gadai
yang ia berikan, sedangkan lebih dari itu tetap menjadi tanggungan
debitur raahin sendiri. Pihak ketiga pemberi gadai tidak mempunyai
hutang tetapi secara yuridis ia mempunyai tanggungjawab dengan
benda gadaiannya.
Bila menganalisis perjanjian yang di buat oleh para pihak,
keempat rukun yang di butuhkan oleh perjanjian rahn telah terpenuhi.
Bahkan yang di perjanjikan tidak hanya itu saja, ada hal-hal lain yang
di perjanjikan berkaitan dengan al-rahin antara lain :
a. Harus membayar uang pemeliharaan dan keamanan;
b. Membayar biaya administrasi;
c. Membayar asuransi;
d. Membayar denda bila telat dalam pelunasan hutang;
e. Menjual barang yang di gadaikan bila tidak mampu melunasi
hutangnya.
Sedangkan penerima gadai juga ada perjanjian yang kedua
belah sepakati antara lain:
(a) Wajib memelihara barang dan mengamankan dari segala
kerusakan;
(b) Akan mengganti barang apabila karena kelalaian petugas gadai
untuk mengamankan dan memelihara barang gadai;
(c) Menyerahkan barang gadai bila rahin telah melunasi
pinjamannya.
Berdasarkan penjelasan dalam fiqih muamalah, akad yang
dibuat oleh para pihak di Pegadaian Syariah telah memenuhi rukun
yang tercantum dalam akad gadai syariah tersebut.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 21


Ahmad Supriyadi

Sedangkan syarat rahn dalam fiqih muamalah menurut Khalid


Samhudi adalah sebagai berikut (internet september 11,2007) :
(1) Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang
bertransaksi) yaitu Orang yang menggadaikan barangnya
adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu
baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).
(2) Syarat yang berhubungan dengan Marhun bih (barang gadai)
ada dua:
(a) Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat
menutupi hutangnya baik barang atau nilainya ketika tidak
mampu melunasinya.
(b) Barang gadai tersebut adalah milik orang yang
manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk
menjadikannya sebagai jaminan gadai.
(c) Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan
sifatnya, karena Al rahn adalah transaksi atau harta sehingga
disyaratkan hal ini.
(3) Syarat berhubungan dengan Al Marhun bihi (hutang) adalah
hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
Landasan dalam operasionalisasi gadai syariah adalah Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26
Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan
barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan
dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Ketentuan Umum:
1. Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk
menahan Marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang
menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada
prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin
kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai
marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya
pemeliharaan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya
menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh
murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan
tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak
boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun

22 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Struktur Hukum Pegadaian Syariah dalam Perspektif Hukum Islam

(a) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan


rahin untuk segera melunasi utangnya.
(b) Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka
marhun dijual paksa/dieksekusi.
(c) Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi
hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang
belum dibayar serta biaya penjualan.
(d) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan
kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
b. Ketentuan Penutup
(a) Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya
atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
(b) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan
jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan
disempurnakan sebagai mana mestinya.
Perjanjian yang di bahas selain syarat dan rukun ada juga
tentang pembiayaan terhadap pemeliharaan dan perawatan barang
gadai. Menurut Khalid Samhudi Ada beberapa ketentuan dalam gadai
setelah terjadinya serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan
(pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta
jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang, diantaranya:
(a) Pemegang barang gadai
Pemegang barang gadai adalah murtahin selama perjanjian
belum berakhir.
sebagaimana firman Allah:


Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang).(QS. 2:283) dan sabda beliau:




Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan)
diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya
dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al
Tirmidzi).

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 23


Ahmad Supriyadi

(b) Pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai


Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang
yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Raahin) dan
Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut
kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang
diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air
susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang
tersebut). Pemanfaatannya tentunya sesuai dengan besarnya nafkah
yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan
sabda Rasululloh SAW :



Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan)
diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya
dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al
Tirmidzi).

Penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar menyatakan: Manfaat dan


pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena
itu adalah miliknya. Tidak boleh orang lain mengambilnya tanpa
seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi hutang) untuk
mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan hutang
gadainya dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu
adalah peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Adapun bila
barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu
perah, mak diperbolehkan murtahin mengendarainya dan memeras
susunya sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena
sabda Rasululloh:





Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila
digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah
apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya
nafkah. (HR Al Bukhori no. 2512). Ini madzhab Hanabilah. Adapun

24 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Struktur Hukum Pegadaian Syariah dalam Perspektif Hukum Islam

mayotitas ulama fiqih dari hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyah


mereka memandang tidak boleh murtahin mengambil manfaat
barang gadai dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil
sabda Rasululloh : Ia yang berhak memanfaatkannya
dan wajib baginya biaya pemeliharaannya. (HR Al daraquthni dan Al
Hakim)
Khalid Samhudi menambahkan suatu keterangan yang
diambil dari Ibnul Qayyim. Beliau memberikan komentar atas
hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan: Hadits ini
menunjukkan kaedah dan ushul syariat yang menunjukkan bahwa
hewan gadai dihormati karena hak Allah dan pemiliknya memiliki
hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan hutang) memiliki
padanya hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya
lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya tentulah akan hilang
kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan, analogi
(Qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai
(murtahin) dan hewan tersebut adalah Murtahin mengambil manfaat
mengendarai dan memeras susunya dan menggantikannya dengan
menafkahi (hewan tersebut). Bila murtahin menyempurnakan
pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah maka dalam hal
ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.
(1).Perpindahan kepemilikan dan Pelunasan hutang dengan barang
gadai
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada
murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya kecuali dengan izin
orang yang menggadaikannya (Raahin) dan tidak mampu melunasinya
(Kholid Syamhudi). Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh
tempo pembayaran hutang dan orang yang menggadaikan belum
melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka pihak
yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung
tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan
cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut
adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang, tidak
boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali
dalam keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak
mampu melunasi saat jatuh tempo maka barang gadai tersebut dijual
untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata ada

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 25


Ahmad Supriyadi

sisanya maka ia milik pemilik barang gadai tersebut (orang yang


menggadaikan barang tersebut) dan bila harga barang tersebut belum
dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya
tersebut masih menanggung sisa hutangnya.
Demikianlah barang gadai adalah milik orang yang
menggadaikannya, namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai
meminta kepada murtahin (pemilik piutang) untuk emnyelesaikan
permasalah hutangnya, karena itu adalah hutang yang sudah jatuh
tempo maka harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila ia dapat
melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian)
barang gadainya maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia
tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya maka wajib bagi
orang yang menggadaikan (Raahin) untuk menjual sendiri barang
gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin dan
didahulukan murtahin daalam pembayarannya atas pemilik piutang
lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan
menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya
dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila
tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai
tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah
pendapat madzhab Syafiiyah dan Hambaliyah. Malikiyah memadang
pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya
dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan
Hanafiyah memandang murtahin boleh menagih pelunasan hutang
kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya
bila nampak ia tidak mau melunasinya. Tidak boleh pemerintah
(pengadilan) menjual barang gadainya, namun memenjarakannya
saja sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman.
Pendapat yang lebih kuat, pemerintah menjual barang gadainya
dan melunasi hutangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa
memenjarakan sang penggadai tersebut, karena tujuannya adalah
membayar hutang dan itu terrealisasikan dengan hal itu. Ditambah
juga adanya dampak negatip sosial masyarakat dan lainnya pada
pemenjaraan. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh
hutangnya maka selesailah hutang tersebut dan bila tidak dapat
menutupinya maka tetap penggadai tersebut memiliki hutang sisa
antara nila barang gadai dan hutangnya dan ia wajib melunasinya.
Demikianlah keindahan islam dalam permasalah gadai, tidak

26 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Struktur Hukum Pegadaian Syariah dalam Perspektif Hukum Islam

seperti yang banyak berlaku direalitas yang ada. Dimana pemilik


piutang menyita barang gadainya walaupun nilainya lebih besar
dari hutangnya bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas perbuatan
kejahiliyah dan kedzoliman yang harus dihilangkan.
Akad yang telah di lakukan oleh para pihak juga memuat
kapan berakhirnya suatu perjanjian. Menurut ketentuan syariat bahwa
apabila hal-hal yang diperjanjikan itu telah terpenuhi yaitu hutang
telah di bayar oleh rahin, maka perjanjian itu telah berakhir. Namun
bia rahin belum mampu membayar hutangnya, ia di perbolehkan
membayar biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang kemudian
diadakan pembaharuan dalam perjanjian gadai syariah. Jadi perjanjian
yang baru di buat juga teramasuk perjanjian yang benar-benar baru
menurut berlakunya perjanjian.
Tentang ketidakmampuan rahin dalam membayar hutang,
dalam syariat Islam di perbolehkan untuk menjual barang gadai
yang ada di kekuasaan murtahin. Hal ini Sayyid Sabiq (1987:145)
berpendapat bahwa klausula murtahin berhak menjual barang gadai
pada waktu jatuh tempo perjanjian gadai, itu diperbolehkan. Karena
barang yang digadaikan hak penguasa telah berpindah ke murtahin
dalam hal menjual.
Atas dasar keterangan tersebut berakhirnya perjanjian rahn
karena hal-hal berikut ini (Abdul Ghafur Anshori, 2006:98) :
(a) Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya;
(b) Rahin membayar hutangnya;
(c) Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin;
(d) Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada
persetujuan dari pihak rahin.
2) Produk Mulia
Program "mulia" merupakan produk pegadaian syariah yang
diperuntukkan bagi masyarakat untuk berinvestasi jangka panjang.
Produk mulia adalah fasilitas yang di berikan oleh Pegadaian Syariah
kepada masyarakat untuk memiliki emas logam mulia dengan cara
membeli di Pegadaian Syariah, sedangkan masyarakat membayar
dengan cara mengangsur.
Produk mulia ini menggunakan perjanjian jual beli bil murabahah
dan gadai secara bersamaan. Pada tahap pertama nasabah membeli

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 27


Ahmad Supriyadi

logam mulia dengan membayar uang muka sebagai tanda jadi dari
total jumlah harga logam mulia yang di jual oleh pegadaian syariah.
Penentuan harga di dasarkan pada harga standar internasional
ditambah margin keuntungan. Setelah di jumlah dari harga pokok dan
margin, nasabah membayar uang muka. Adapun sisa dari uang yang
harus di bayar, nasabah meminjam uang kepada Pegadaian Syariah
dan emas logam mulia menjadi jaminannya. Apabila telah selesai
membayar secara keseluruhan emas akan diberikan pihak nasabah.
Perjanjian dengan cara ini termasuk jual beli yang diperbolehkan
oleh Islam. Islam menyuruh untuk memperoleh harta dengan jual beli
berdasarkan al-Qur'an :



Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil)
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan sukarela di antaramu.

Ayat tersebut walaupun tidak menyebutkan jual beli yang ada


di Pegadaian Syariah, namun pada prinsipnya jual beli di dalam hal
apa saja boleh kecuali dengan cara yang haram. Sedangkan pegadaian
syariah adalah suatu lembaga yang dapat melayani jual beli logam
mulia dengan cara jual beli.
Adapun hadits yang memperbolehkan untuk jual beli adalah:
Hadis Nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dan shahihkan oleh
Ibnu Hibban:



:

Dari Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya
jual beli itu hanya boleh dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak.

Hadits tersebut memperbolehkan jual beli dengan kerelaan


pada pihak. Arti kerelaan adalah di dalam jual beli tidak ada penipuan
atau cacat-cacat tersembunyi antara para pihak. Ataupun dalam hal
jual beli harus ada keseimbangan antara penjual dan pembeli sehingga

28 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Struktur Hukum Pegadaian Syariah dalam Perspektif Hukum Islam

di dalam transaksi dapat jual beli.


Jadi jual-beli murabahah adalah transaksi jual-beli dimana
Pegadaian Syariah menyebut jumlah pokok ditambah keuntungannya.
Kedudukan hukum Pegadaian Syariah bertindak sebagai penjual,
sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli
Pegadaian Syariah dari pemasok ditambah keuntungan (margin).
Dalam transaksi tersebut para pihak di beri kebebasan untuk
menyepakati apakah pembeli dapat menerima barang yang di berikan
atau menolak.

E. KESIMPULAN
Berdasarkan deskripsi tentang struktur hukum dalam pegadaian
syariah yang telah penulis teliti di Pegadaian Syariah Kudus dapat di
simpulkan. Bahwa struktur hukum perjanjian yang di buat oleh para
pihak ada dua struktur yaitu struktur hukum gadai pada perjanjian
gadai dan struktur hukum jual beli pada skim mulia. Struktur hukum
gadai yang di lakukan di Pegadaian Syariah Kudus memuat : suatu
perbuatan hukum oleh seseorang atau rahin mengikatkan diri pada
orang lain atau murtahin untuk memperoleh pinjaman uang dengan
jaminan berupa benda bergerak. Perjanjian ini dalam struktur hukum
perdata termasuk perjanjian bernama yang mempunyai sifat timbal
balik, di satu sisi punya hak dan di sisi lain punya kewajiban secara
timbal balik. Perjanjian demikian itu termasuk perjanjian konsensuil
obligatoir, karena terbentuknya perjanjian itu berdasarkan konsensus
dan yang di perjanjikan mengandung unsur ekonomi. Sedangkan
pada skim mulia perjanjian yang di bentuk termasuk struktur hukum
jual beli, karena di satu sisi ada penjual dan di sisi lain ada pembeli
dan juga ada obyek jual beli berupa logam mulia. Perjanjian jual beli
termasuk perjanjian bernama yang sifatnya juga konsensuil obligatoir
karena perjanjian ini terbentuk dengan adanya kata sepakat dan
tidak diharuskan ada formalitas tertentu seperti barang tak bergerak.
Berdasarkan hubungan hukum, perjanjian ini termasuk perjanjian
timbal balik karena ada hak dan kewajiban secara timbal balik antara
pembeli dan penjual. Kedua struktur hukum tersebut telah di atur
dalam KUH perdata dan telah di atur dalam hukum perdata yang
berasal dari hukum Islam. Struktur hukum ini mempunyai kekhususan
dimana ia berasal dari struktur hukum Islam yang di adopsi dari

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 29


Ahmad Supriyadi

budaya Islam di zaman Arab.


Setelah di lakukan penelitian terhadap praktik kegiatan
pegadaian syariah di Pegadaian Syariah Kudus, ada beberapa saran
yang perlu penulis sampaikan kepada publik bahwa :
1. Keberadaan Pegadaian Syariah Kudus merupakan lembaga
yang baru dan membutuhkan kreatifitas umat Islam dalam
mengembangkan produk-produk tentang kegiatan syariah yang
dilakukan, karena itu hendaklah semua komponen umat Islam
mendukung dengan bertransaksi di Pegadaian Syariah Kudus.
2. Hendaknya Pegadaian Syariah mempunyai payung hukum
yang jelas dari undang-undang, sehingga mempunyai kepastian
hukum dalam melakukan kegiatan-kegiatan syariah yang
berkaitan dengan ekonomi syariah.

30 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


DAFTAR PUSTAKA

Abduk Kadir Muhammad, 1998, Hukum Perusahaan Indonesia, PT.


Citra Aditya Bakti, Bandung.
Abdul Ghofur Anshori, 2006, Gadai Syariah di Indonesia Konsep,
Implementasi dan institusionalisasi, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Abdul mannan,1995, Islamic economic, Theory and Practice,
terjemahan oleh M. Nastangin, Teori dan Praktik Ekonomi
Islam,Penerbit PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta.
Al-Amaanah al Aamah Lihaiat Kibar Al Ulama, 1422H, Abhaats Haiat
Kibaar Al Ulama Bil Mamlakah Al Arabiyah Al Suudiyah,
Cetakan I.
Abu Abdillah al-Maghribi, Mawhib al-Jall, V/2, Dar al-Fikr, Beirut,
cet.II. 1398.
Abu Bakr Jabr Al Jazairi, 2005, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim,
Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi.
Adiwarman A. Karim,2006, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan,
PT. Raja Grafindo, Jakarta.
Ahmad Azhar Basyir, 1983, Hukum Islam tentang Riba, Utang-
Piutang Gadai, al-Ma'arif, Bandung.
Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) dalam Islam. Majalah Al
Waie 57
Al MajmuSyarhul Muhadzab, imam Nawawi dengan penyempurnaan
Muhamma Najieb Al MuthiI, cetakan tahun 1419H, Dar Ihyaa
Al TUrats Al Arabi, Beirut.
Ali Anwar Yusuf,2002, Wawasan Islam, Setia Pustaka,Bandung.
An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi
Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti.
Ari Agung Nugraha, 2004, Gambaran Umum Kegiatan Usaha

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 31


Ahmad Supriyadi

Pegadaian Syariah, http://ulgs.tripod.com.


Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdhor,1998, Kamus Kontemporer Arab
Indonesia, Penerbit Multi Karya Grafika, Yogyakarta.
Choiruman Pasaribu Dan Sukarwardi K Lubis, 2004, Hukum Perjanjian
Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta.
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Tentang Hawaluh, No. 12 / DSN
MUI / IV / 2000, Majelis Ulama Indonesia
Heri Sudarsono,2008, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Penerbit
Ekonosia,Yogyakarta.
HR. Ibnu Majah No.2421, kitab al-Ahkam;Ibnu Hibban dan Baihaqi.
http://alislamu.com/index
Ibn Muflih al-Hanbali, al-Mubdi', IV/213, al-Maktab al-Islami, Beirut.
1400 ;
Ibnu Rusy, Bidayah al-Mujtahid wa nihayah al-Muqtashid, Daarul
Fikr.
J.Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, PT.Citra Aditya Bhakti, Jakarta.
Muhammad Syafii Antonia, 2001, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek,
Gema Insani Jakarta.
Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah
(Mudharabah dalam Wacana Fiqih dan Praktik Ekonomi
Modern), Penerbit BPFE UGM, Yogyakarta.
Nindyo Pramono, 2001, Hutang Menurut Pandangan Majelis Hakim
Niaga, Makalah UGM, tidak dipublikasikan.
Sulaiman Rasjid, 1994, Fiqih Islam, Sinar Baru Al Gesindo, Bandung,
Zainuddin Ali, 2008, Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta.
Zainul Arifin, 2003,Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Penerbit
Alvabet, Jakarta.

32 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


PENGARUH TRUST DALAM PENGGUNAAN
AUTOMATED TELLER MACHINE
BERDASARKAN
TECHNOLOGY ACCEPTANCE MODEL
(Studi Terhadap Nasabah Bank Syariah Mandiri Kudus)

Oleh: Anita Rahmawaty


Dosen Program Studi Ekonomi Islam STAIN Kudus
Jl. Conge Ngembalrejo, PO. BOX 51 Kudus
Email: ita_rahma@yahoo.co.id

Abstract
This study aims to test empirically the effect of trust on the use
of Automated Teller Machine (ATM) using the approach of
Technology Acceptance Model (TAM). The survey was conducted
with the customers of Bank Syariah Mandiri (BSM) Kudus. The
primary data collected through the questionnaire distributed to
customers using accidental sampling technique. Based on multiple
linear regression using data of 170 customers from Bank Syariah
Mandiri (BSM) Kudus, this study results indicated that: (1)
perceived usefulness (PU), perceived ease of use (PEOU) and trust
influence the attitude of customers in using ATMs; (2) trust and
attitudes affect the behavior of customers in using ATMs. This is
evidenced by the regression test the hypothesis that the PU, PEOU
and trust significantly influence the attitude of customers in using
ATMs. Partial, trust is the dominant variable influencing customer
attitudes in using the ATM. In addition, this study also showed that
trust directly affects the behavior of ATM usage.
Keywords: trust, technology acceptance model, ATM, Bank
Syariah Mandiri

A. PENDAHULUAN
Perkembangan Teknologi Informasi (TI) yang sangat pesat
dewasa ini memberikan banyak kemudahan pada berbagai aspek
kegiatan bisnis. TI dapat memenuhi kebutuhan informasi dunia bisnis

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 33


Anita Rahmawaty

dengan sangat cepat, tepat waktu, relevan dan akurat. Penerapan TI


bagi perusahaan mempunyai peranan penting dan dapat menjadi pusat
strategi bisnis untuk memperoleh keunggulan bersaing sehingga saat
ini TI sudah menjadi kebutuhan dasar bagi setiap perusahaan, terutama
dalam menjalankan segala aspek aktifitas organisasi (Nasution, 2004:
1). Teknologi informasi ini juga merupakan perangkat penting untuk
memperkuat daya saing perbankan.
Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi dan
telekomunikasi yang semakin pesat ini turut berpengaruh pada
industri keuangan perbankan. Sistem ATM bank secara drastis
mampu merubah lokasi dan dimensi waktu yang diperlukan untuk
memperoleh uang tunai dengan pengambilan uang yang dapat
dilakukan dimanapun dan kapanpun. Sistem mobile banking mampu
memfasilitasi nasabah untuk melakukan transaksi melalui teknologi
dengan sarana telepon seluler. Sementara itu, sistem internet banking
mampu memberi kemudahan dan kecepatan bertransaksi melalui
jaringan internet.
Pengembangan produk-produk berbasis teknologi informasi
ini diikuti pula oleh perbankan syariah untuk mengembangkan
pelayanan. Pengembangan pelayanan yang dilakukan perbankan
syariah berbasis teknologi dalam bentuk ATM, internet banking, dan
mobile banking merupakan sebuah keniscayaan bagi bank syariah
untuk merebut pangsa pasar.
ATM merupakan sebuah perangkat komputerisasi yang
digunakan oleh suatu lembaga keuangan (bank) dalam upaya
menyediakan layanan transaksi keuangan (pengambilan uang) di
tempat umum tanpa membutuhkan adanya pegawai bank (teller).
Pada mulanya penyediaan ATM adalah untuk memudahkan layanan
pengambilan uang dari tabungan nasabah. Namun, seiring dengan
perkembangan teknologi dan kebutuhan akan peningkatan layanan
kepada para nasabah, penggunaan ATM telah meluas tidak hanya
sebatas pengambilan uang saja. Saat ini sudah memungkinkan bagi
para nasabah untuk melakukan transfer (pemindahbukuan) uang,
pembayaran, pengecekan saldo, dan transaksi keuangan lainnya
dengan cukup menggunakan ATM (www.informatika.org.).
Seiring dengan semakin berkembangnya penggunaan
teknologi ATM, masalah keamanan dan keselamatan terhadap data

34 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model

yang bersifat rahasia menjadi perhatian yang sangat penting bagi para
pengguna. Berbagai bentuk kejahatan terhadap sistem keamanan
ATM tidaklah sedikit. Kejahatan yang terjadi mulai dari tindakan
yang cukup sederhana, seperti pencopetan, penodongan, ataupun
perampokan, sampai pada penggunaan teknologi yang cukup canggih,
yaitu penggunaan teknologi untuk mengetahui nomor rekening, PIN
nasabah, ataupun melakukan duplikasi data keamanan nasabah
(www.informatika.org.).
Beberapa bentuk kejahatan tersebut di atas mengindikasikan
bahwa aspek kepercayaan (trust) merupakan salah satu faktor
penting yang mempengaruhi perilaku penggunaan teknologi ATM.
Ketidakpercayaan nasabah terhadap teknologiATM akan menyebabkan
para pengguna menjadi enggan untuk menggunakan teknologi
tersebut. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk menginvestigasi faktor-
faktor yang mempengaruhi perilaku penggunaan teknologi ATM.
Penelitian-penelitian sebelumnya menekankan signifikansi
kepercayaan dalam penerimaan teknologi informasi. Namun, penelitian
kepercayaan pengguna pada penelitian sebelumnya menggunakan
model yang berbeda dan menguji pada objek penelitian yang berbeda,
seperti Eriksson, Kerem dan Nilsson (2005: 1) memasukkan variabel
trust sebagai anteseden dari perceived usefulness dan perceived
ease of use pada nasabah internet banking; Tang dan Chi melakukan
pengujian pada konsumen online shopping, Wu dan Liu (2007: 129)
mengintegrasikan variabel trust dengan model TRA pada pengguna
online games, dan Heidjen, Verhagen dan Creemers (2003: 3)
mengintegrasikan variabel trust dan risiko dengan model TAM pada
konsumen e-commerse website.
Untuk itu, penelitian ini menguji suatu model perilaku
penggunaan teknologi ATM pada nasabah bank syariah dengan
mengintegrasikan faktor kepercayaan (trust) dengan Technology
Acceptance Model (TAM). Alasan utama penggunaan dan
pengembangan model TAM adalah karena kesederhanaan (parsimony)
dan kemampuan menjelaskan (explanatory power) hubungan sebab
akibat model ini. Di samping itu, mayoritas penelitian sebelumnya
juga menggunakan model TAM sebagai model dasar.
Model TAM telah memberikan kontribusi teoritis yang sangat
penting terhadap pemahaman penggunaan dan penerimaan TI.
Model ini berasumsi bahwa seseorang mengadopsi suatu teknologi

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 35


Anita Rahmawaty

pada umumnya ditentukan oleh proses kognitif dan bertujuan untuk


memaksimalkan kegunaan teknologi itu sendiri. Davis menganggap
bahwa dua keyakinan individual, yaitu persepsi manfaat dan
persepsi kemudahan penggunaan adalah variabel utama perilaku
dalam mengadopsi teknologi informasi. Dengan demikian, model
TAM dibatasi oleh perspektif kegunaan teknologi (technology-
centered utilitarian) dan konsekuensinya model tersebut tidak dapat
menjelaskan secara menyeluruh perilaku pengguna teknologi yang
tidak berhubungan dengan area kegunaan (Park, 2007: 2).
Atas dasar beberapa review research terdahulu dan agar dapat
memahami fenomena penerimaan teknologi informasi dengan lebih
baik, maka perlu mengembangkan research terdahulu, yang hanya
terfokus pada perspektif technology-centered utilitarian. Untuk itu,
penelitian ini mengintegrasikan trust dan variabel-variabel dalam
technology acceptance model (perceived usefulness dan perceived
ease of use) dalam melihat pengaruhnya terhadap sikap dan minat
perilaku penggunaan teknologi informasi (ATM) di bank syariah.
Tujuan penelitian ini, antara lain adalah: (1) menguji secara
empiris pengaruh perceived usefulness, perceived ease of use dan
trust terhadap sikap dalam menggunakan ATM di BSM Kudus; dan (2)
menguji secara empiris pengaruh trust dan sikap dalam menggunakan
ATM terhadap minat perilaku penggunaan ATM di BSM Kudus.
Sedangkan signifikansi penelitian ini adalah: (1) memberikan
kontribusi teoritis di bidang ilmu manajemen pemasaran, terutama
terkait dengan perilaku konsumen (nasabah) di perbankan syariah;
(2) memberikan kontribusi dalam mengembangkan model perilaku
penggunaan teknologi ATM untuk dapat dijadikan rujukan sebagai
model perilaku penggunaan teknologi ATM di perbankan syariah; dan
(3) memberikan kontribusi pemikiran bagi para praktisi perbankan
syariah, terutama terkait dengan kebijakan pengembangan produk
dan jasa berbasis teknologi informasi serta merencanakan strategi
untuk membangun kepercayaan penggunaan teknologi informasi.

B. LANDASAN TEORI
1. Perilaku Konsumen
Definisi perilaku konsumen banyak dikemukakan oleh para
ahli Ekonomi. Schiffman dan Kanuk (1994: 7) mendefinisikan perilaku
konsumen sebagai berikut: the behavior that consumers display in searcing

36 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model

for, purchasing, using, evaluating and dispoting of products and servives that
they expect will satisfy their needs. Sedangkan Engel, Blackwell dan
Miniard (1993: 4) memberikan definisi perilaku konsumen sebagai
those activities directly involved in obtaining, consuming, and disposing
of products and services, including the decision processes that precede and
follow these action. Sementara itu, Loudon dan Della-Bitta (1984: 6)
mengemukakan definisi perilaku konsumen sebagai decision process
and physical activity individuals engage in when evaluating, acquiring, using
or disposing of goods and services.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dikemukakan di
atas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah semua
kegiatan, tindakan serta proses psikologis yang mendorong tindakan
tersebut dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi dan
menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang
mendahului dan menyusuli tindakan tersebut. Proses keputusan
konsumen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti budaya,
sosial, pribadi maupun psikologi dari konsumen sebagaimana
dijelaskan sebagai berikut:

STRATEGI
PEMASARAN
Perusahaan
Perbankan
Pemerintah

PROSES KEPUTUSAN
PERBEDAAN Pengenalan FAKTOR
INDIVIDU Kebutuhan LINGKUNGAN
1.Kebutuhan dan
Motivasi 1.Budaya
2.Kepribadian Pencarian Informasi 2.Karakteristik
3.Pengolahan Sosial Ekonomi
Informasi dan 3.Keluarga dan RT
Persepsi Evaluasi Alternatif 4.Kelompok Acuan
4.Proses Belajar 5.Situasi Konsumen
5.Pengetahuan
Pembelian dan Kepuasan
6.Sikap

IMPLIKASI
Strategi Pemasaran
Kebijakan Publik

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 37


Anita Rahmawaty

Gambar tersebut di atas menjelaskan bahwa proses keputusan


konsumen akan dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu (1) kegiatan
pemasaran yang dilakukan oleh produsen dan lembaga lainnya; (2)
faktor perbedaan individu konsumen, diantaranya adalah kebutuhan
dan motivasi, kepribadian, pengolahan informasi dan persepsi, proses
belajar, pengetahuan dan sikap; dan (3) Faktor lingkungan konsumen,
diantaranya adalah budaya, karakteristik sosial ekonomi, keluarga dan
rumah tangga, kelompok acuan dan situasi konsumen (Sumarwan,
2004: 33).
2. Perilaku Konsumen Jasa
a. Pengertian dan Karakteristik Jasa
Kotler (2000: 372) mendefinsikan jasa (service) sebagai berikut:
any act or performance that one party can offer to another that is essentially
intangible and does not result in the ownership of anything. Its production
may or may not be tied to a physical product. Sementara itu, Zeithaml dan
Bitner (2003: 3) mengemukakan definisi jasa sebagai berikut:Include
all economic activities whose output is not a physical product or construction,
is generally consumed at the time it is produced, and provided added
value in forms (such as convenience, amusement, timeliness, comfort, or
health) that are essentially intangible concerns of its first purchaser.
Definisi di atas menjelaskan bahwa jasa adalah setiap tindakan
atau kinerja yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain yang
pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak
menyebabkan perpindahan kepemilikan. Meskipun demikian, produk
jasa bisa berhubungan dengan produk fisik maupun tidak. Dengan
kata lain, ada produk jasa murni, seperti konsultasi psikologi dan
konsultasi manajemen, dan ada pula jasa yang membutuhkan produk
fisik sebagai persyaratan utama, seperti kapal untuk jasa angkutan
laut, pesawat dalam jasa penerbangan, dan bangunan fisik dalam jasa
pendidikan.
Berbagai riset dan literatur pemasaran jasa mengungkapkan
bahwa jasa memiliki beberapa karakteristik unik yang membedakannya
dari barang. Secara garis besar, menurut Zithaml dan Bitner (2003: 20),
karakteristik jasa tersebut adalah intangibility, inseparability, variability
dan perishability. Tjiptono (2006: 18) menambahkan satu karaktekter
lain yaitu lack of ownership.

38 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model

b. Proses Keputusan Konsumen Jasa


Secara garis besar, proses keputusan konsumen bisa
diklasifikasikan dalam 3 (tiga) tahap utama, yaitu pra pembelian,
konsumsi dan evaluasi purna beli. Tahap pra pembelian, mencakup
semua aktivitas konsumen yang terjadi sebelum terjadinya transaksi
pembelian dan pemakaian jasa. Tahap ini meliputi 3 (tiga) proses yaitu
identifikasi kebutuhan, pencarian informasi dan evaluasi alternatif.
Tahap konsumsi merupakan tahap proses keputusan konsumen,
dimana konsumen membeli dan menggunakan produk atau jasa.
Sedangkan tahap evaluasi purna beli merupakan tahap proses
pembuatan keputusan konsumen sewaktu konsumen menentukan
apakah ia telah membuat keputusam pembelian yang tepat (Tjiptono,
2006: 43).
Proses keputusan konsumen ini dapat digambarkan sebagai
berikut:







Identifikasi Pencarian Evaluasi Pembelian Evaluasi
kebutuhan:
 Informasi: Alternatif: dan Purna Beli:
.HEXWXKDQ (YRNHGVHW 'HFLVLRQ Konsumsi: &RJQLWLYH

SHODQJJDQ 6XPEHU UXOH (PRVLGDQ GLVVRQDQFH

1LODL LQIRUPDVL PRRG .HSXDVDQ

SHODQJJDQ 3HUVHSVL 'UDPDWXUJL SHODQJJDQ
WHUKDGDS 5ROHWKHRU\
 GDQVFULSW
/R\DOLWDV
ULVLNR SHODQJJDQ
 WKHRU\ .XDOLWDV
 &RQWURO MDVD
 WKHRU\
&XVWRPHU
 FRPSDWLELOLW\

6XPEHU7MLSWRQR  

3.
 Technology Acceptance Model (TAM)

Technology Acceptance Model (TAM) adalah model yang
diperkenalkan oleh Fred Davis pada tahun 1986 dengan disertasinya
yang berjudul A Technology Acceptance Model for Empirically Testing

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 39


Anita Rahmawaty

New End-User Information System: Theory and Results. Disertasi


ini selanjutnya dipublikasikan dalam karya ilmiah yang berjudul
Perceived Usefullness, Perceived Ease of Use, and User Acceptance of
Information Technology pada tahun 1989. Popularitas model Davis ini
terlihat dengan banyaknya penulis yang mengutip karyanya. Menurut
laporan Social Science Citation Index (SSCI) sampai dengan tahun 2000
model ini telah dirujuk oleh 424 penelitian dan sampai dengan tahun
2003 telah dirujuk oleh 698 penelitian (Wiyono, Ancok dan Hartono,
2008: 3). Dalam memformulasikan TAM, Davis menggunakan TRA
sebagai grand theorinya, namun tidak mengakomodasi semua
komponen teori TRA. Davis hanya memanfaatkan komponen
attitude saja, sedangkan normative belief dan subjective norms tidak
digunakannya (Malhotra dan Galletta, 1999: 1). Secara skematik teori
TAM digambarkan sebagai berikut:

Perceived
Usefulness
Behavior Actual Use
External Attitude Intention
Variable toward
using
Perceived
Ease of Use

Sumber: Davis, 1989 dalam Malhotra dan Galletta, 1999.

Model Davis ini berasumsi bahwa seseorang mengadopsi


suatu teknologi pada umumnya ditentukan oleh proses kognitif dan
bertujuan untuk memaksimalkan kegunaan teknologi itu sendiri.
Dengan kata lain, kunci utama penerimaan teknologi informasi oleh
penggunanya adalah evaluasi kegunaan teknologi tersebut. Selanjutnya
Davis merumuskan 2 (dua) variabel utama dalam TAM, yaitu persepsi
manfaat dan persepsi kemudahan penggunaan. Kedua variabel ini
dapat menjelaskan aspek perilaku pengguna (Park, 2007: 2). Dengan
demikian, model TAM dapat menjelaskan bahwa persepsi pengguna
akan menentukan sikapnya dalam kemanfaatan penggunaan TI. Model
ini secara lebih jelas menggambarkan bahwa penerimaan penggunaan
TI dipengaruhi oleh persepsi kemanfaatan dan persepsi kemudahan
penggunaan. Di samping itu, Davis juga memberikan kerangka dasar

40 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model

untuk menelusur pengaruh faktor eksternal terhadap kedua variabel


tersebut.
Davis mendefinisikan persepsi manfaat sebagai The degree to
which a person believe that using a particular system would enhance his or her
job performance yaitu suatu tingkatan dimana seseorang percaya bahwa
penggunaan suatu teknologi tertentu akan meningkatkan prestasi kerja
orang tersebut (Malhotra, 1999: 5; Hernandez dan Mazzon, 2007: 75).
Konsep ini menggambarkan manfaat sistem bagi pemakainya yang
berkaitan dengan produktivitas, kinerja tugas, efektivitas, pentingnya
suatu tugas dan overall usefulness (Handayani, 2007: 5). Oleh karena itu,
menurut Sun dan Zhang (2006: 644), dimensi manfaat dapat berupa:
makes job easier), usefull, increase productivity), enhance effectiveness, dan
improve job performance.
Dengan definisi dan indikator-indikator di atas dapat diartikan
bahwa kemanfaatan dari penggunaan teknologi informasi dapat
meningkatkan kinerja dan prestasi orang yang menggunakannya.
Kemanfaatan dalam teknologi informasi merupakan manfaat yang
diperoleh atau diharapkan oleh para pengguna dalam melaksanakan
tugas dan pekerjaannya. Karenanya, tingkat kemanfaatan teknologi
informasi mempengaruhi sikap para pengguna dalam mengadopsi
teknologi tersebut.
Sementara persepsi kemudahan penggunaan didefinsikan
sebagai The degree to which a person believe that using a particular
system would be free of effort yaitu suatu tingkatan dimana seseorang
percaya bahwa teknologi informasi dapat dengan mudah dipahami
(Malhotra, 1999: 5; Hernandez dan Mazzon, 2007: 75; Ayyagari, 2006:
198). Konsep ini mencakup kejelasan tujuan penggunaan teknologi
informasi dan kemudahan penggunaan sistem untuk tujuan sesuai
dengan keinginan pengguna (Handayani, 2007: 5). Beberapa indikator
persepsi kemudahan penggunaan, antara lain meliputi: ease to learn,
easy to use, clear and understandable dan become skillful (Sun dan Zhang,
2006: 644). Dengan demikian, bila jasa yang diberikan teknologi
dipersepsikan mudah digunakan oleh para pengguna, maka akan
mendorong para pengguna untuk menerima dan atau menggunakan
teknologi tersebut.
Variabel lain yang terdapat model TAM adalah attitude toward
use, behavioral intention dan actual use. Attitude toward use adalah

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 41


Anita Rahmawaty

sikap terhadap penggunaan sistem yang berbentuk penerimaan


atau penolakan sebagai dampak bila seseorang menggunakan suatu
teknologi dalam pekerjaannya (Heidjen, Verhagen dan Creemers, 2003:
48). Behavioral Intention adalah kecenderungan perilaku untuk tetap
menggunakan suatu teknologi. Beberapa indikator behavioral Intention
adalah intend to use in the future, use on a reguler basis dan recommend others
to use (Reid dan Levy, 2008: 18). Sedangkan actual use adalah kondisi
nyata penggunaan sistem. Dimensi yang dikonsepkan dalam actual use
adalah user satisfaction dan system usage, yang meliputi frekwensi dan
durasi waktu penggunaan sistem (Malhotra dan Galletta, 1999: 12).
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa model TAM
merupakan salah satu model yang paling populer dan banyak
digunakan dalam penelitian TI. Menurut Wiyono, Ancok dan Hartono
(2008: 2), model TPB dan TAM sama-sama menjelaskan minat perilaku
dengan baik, tetapi TAM menjelaskan sikap (attitude) lebih baik
dari TPB dan TAM dapat dikembangkan dengan variabel-variabel
eksternal lainnya. Nasution (2004: 3) menemukan bahwa model TAM
lebih sederhana, mudah digunakan dan lebih baik untuk menjelaskan
penerimaan teknologi.
Namun demikian, model TAM ini tak lepas dari kritik yang
dikemukakan oleh Park (2007: 4) bahwa model Davis dibatasi oleh
perspektif kegunaan (technology centered utilitarian). Konsekwensinya
model tersebut tidak dapat menjelaskan secara menyeluruh perilaku
pengguna teknologi yang tidak berhubungan dengan area kegunaan.
Oleh karena itu, untuk dapat memahami penerimaan teknologi
informasi dengan lebih baik perlu menambahkan perspektif baru dari
sisi non-utilitarian.
4. Trust (Kepercayaan)
Mayer et.al dalam Heijden, Verhagen dan Creemers (2002: 1)
mendefinisikan kepercayaan sebagai the willingness of a party to be
vulnerable to the actions of another party based on the expectation that the
other will perform a particular action important to the trustor, irrespective
of the ability to monitor or control that other party. Moorman dalam
Sulaiman et.al (2007: 193) berpandangan bahwa kepercayaan adalah
a willingness to rely on an exchange partner in whom one has confidence.
Senada dengan pendapat tersebut, Morgan dan Hunt dalam Bart et.al
(2005: 4) mengemukakan bahwa kepercayaan merupakan a willingness

42 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model

to accept vulnerability, but with an expectation or confidence that one can rely
on the other party. Beberapa pendapat di atas menggambarkan bahwa
kepercayaan akan terjadi apabila seseorang memiliki keyakinan diri
kepada reliabilitas dan integritas dari partner.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa kepercayaan adalah kesediaan pihak tertentu terhadap pihak lain
dalam melakukan hubungan transaksi berdasarkan suatu keyakinan
bahwa pihak yang dipercayainya tersebut akan melakukan tindakan
sesuai dengan yang diharapkan. Dengan kata lain, kepercayaan itu
akan mengukur apakah seseorang mempercayai pihak lain sebagai
pihak yang dapat dipercaya.
Dalam konteks teknologi informasi, konsep kepercayaan dalam
penelitian ini adalah kepercayaan pada penyelenggaraan transaksi
teknologi informasi dan kepercayaan pada mekanisme operasional
dari transaksi yang dilakukan. Upaya tinggi harus dilakukan oleh
penyelenggara transaksi teknologi informasi agar kepercayaan
konsumen semakin meningkat. Hal ini disebabkan kepercayaan
mempunyai pengaruh besar pada niat dan perilaku konsumen untuk
melakukan transaksi secara online atau tidak melakukannya.
Menurut Koufaris dan Hampton-Sosa (2002: 15), indikator-
indikator trust meliputi: trustworthy, keep the best interest, keep the promises
and commitment, believe the information provided dan genuinely concerned.
Dengan demikian, jika sistem ATM itu dapat dipercaya oleh para
pengguna, maka akan mendorong para pengguna untuk menerima
dan atau menggunakan sistem ATM tersebut.
5. Pengembangan Hipotesis dan Model Penelitian
a. Pengaruh Perceived Usefulness, Perceived Ease of Use, dan
Trust terhadap Sikap nasabah).
Persepsi manfaat (perceived usefulness) sebagaimana
dikemukakan oleh Davis dalam Ayyagari (2006: 198) merupakan
suatu tingkatan dimana seseorang percaya bahwa penggunaan
suatu teknologi informasi tertentu akan meningkatkan prestasi kerja
orang tersebut. Manfaat sistem bagi pemakainya berkaitan dengan
produktifitas, kinerja tugas atau efektifitas dan kegunaan tugas
secara menyeluruh. Menurut Sun dan Zhang (2006: 644), dimensi
kemanfaatan dapat berupa pekerjaan lebih mudah (makes job easier),

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 43


Anita Rahmawaty

bermanfaat (usefull), meningkatkan produktifitas (increase productivity),


mendorong efektivitas (enchance efectiveness), dan meningkatkan kinerja
pekerjaan (improve job performance). Berdasarkan definisi dan indikator-
indikator di atas dapat diartikan bahwa kemanfaatan dari penggunaan
teknologi informasi dapat meningkatkan kinerja dan prestasi orang
yang menggunakannya.
Persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use)
didefinisikan oleh Davis dalam Ayyagari (2006: 198) sebagai suatu
tingkatan dimana seseorang percaya bahwa teknologi informasi dapat
dengan mudah dipahami. Konsep ini mencakup kejelasan tujuan
penggunaan teknologi informasi dan kemudahan penggunaan sistem
untuk tujuan sesuai dengan keinginan pengguna. Beberapa indikator
persepsi kemudahan penggunaan menurut Sun dan Zhang (2006:
644), antara lain meliputi mudah untuk dipelajari (ease to learn), mudah
untuk digunakan (easy to use), jelas dan mudah dipahami (clear and
understandable) dan menambah ketrampilan para pengguna (become
skillful).
Sementara itu, kepercayaan didefinisikan sebagai kesediaan
pihak tertentu terhadap pihak lain dalam melakukan hubungan
transaksi berdasarkan suatu keyakinan bahwa pihak yang dipercayainya
tersebut akan melakukan tindakan sesuai dengan yang diharapkan.
Dengan kata lain, kepercayaan itu akan mengukur apakah seseorang
mempercayai pihak lain sebagai pihak yang dapat dipercaya.
Dalam konteks teknologi informasi, konsep kepercayaan dalam
penelitian ini adalah kepercayaan pada penyelenggaraan layanan ATM
dan kepercayaan pada mekanisme operasional dari transaksi yang
dilakukan. Menurut Koufaris dan Hampton-Sosa (2002: 15), indikator-
indikator trust meliputi: trustworthy, keep the best interest, keep the promises
and commitment, believe the information provided dan genuinely concerned.
MenurutAdam dalam Nasution (2004: 5), intensitas penggunaan
dan interaksi antara pengguna (user) dengan teknologi informasi
menunjukkan kemudahan penggunaan. Suatu teknologi informasi
yang sering digunakan menunjukkan bahwa teknologi informasi
tersebut lebih dikenal, lebih mudah dioperasikan dan lebih mudah
digunakan. Kemudahan penggunaan akan mengurangi usaha (baik
waktu dan tenaga) pada pengguna dalam mempelajari seluk beluk
bertransaksi melalui teknologi informasi. Kemudahan penggunaan

44 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model

juga memberikan indikasi bahwa para pengguna teknologi informasi


bekerja lebih mudah dibandingkan dengan yang bekerja tanpa
menggunakan teknologi informasi tersebut.
Begitu juga dengan kemanfaatan dalam menggunakan teknologi
informasi merupakan manfaat yang diperoleh atau diharapkan oleh
para pengguna dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Sikap
seseorang dalam menggunakan teknologi informasi diprediksikan
jika seseorang tersebut mempercayai bahwa teknologi informasi dapat
memberikan manfaat terhadap pekerjaannya dan pencapaian prestasi
kerjanya. Oleh karena itu, tingkat kemanfaatan teknologi informasi
mempengaruhi sikap pengguna dalam menggunakan teknologi
informasi tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
sikap para pengguna ATM dipengaruhi oleh persepsi kemudahan
penggunaan, persepsi manfaat dan trust (kepercayaan) terhadap
teknologi ATM tersebut. Hipotesis yang diuji adalah:
H1: Terdapat pengaruh perceived usefulness (PU) terhadap sikap nasabah
dalam menggunakan ATM di BSM Kudus.
H2: Terdapat pengaruh perceived ease of Use (PEOU) terhadap sikap
nasabah dalam menggunakan ATM di BSM Kudus.
H3: Terdapat pengaruh trust terhadap sikap nasabah dalam menggunakan
ATM di BSM Kudus.
b. Pengaruh Trust dan Sikap terhadap Perilaku Pengggunaan
(Behavior Intention)
Kepercayaan didefinisikan sebagai kesediaan pihak tertentu
terhadap pihak lain dalam melakukan hubungan transaksi berdasarkan
suatu keyakinan bahwa pihak yang dipercayainya tersebut akan
melakukan tindakan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan kata
lain, kepercayaan itu akan mengukur apakah seseorang mempercayai
pihak lain sebagai pihak yang dapat dipercaya.
Dalam konteks teknologi informasi, konsep kepercayaan
dalam penelitian ini adalah kepercayaan pada penyelenggaraan
transaksi teknologi informasi dan kepercayaan pada mekanisme
operasional dari transaksi tersebut. Menurut Koufaris dan Hampton-
Sosa, indikator-indikator trust meliputi: trustworthy, keep the best
interest, keep the promises and commitment, believe the information provided
dan genuinely concerned. Pada akhirnya, kepercayaan ini juga dapat

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 45


Anita Rahmawaty

mendorong sikap dan perilaku pengguna untuk menerima teknologi


informasi. Hipotesis yang diuji adalah:
H4: Terdapat pengaruh trust terhadap perilaku penggunaan (behavior
intention) ATM di BSM Kudus.
H5: Terdapat pengaruh sikap (attitude) nasabah terhadap perilaku
penggunaan (behavior intention) ATM di BSM Kudus.
Berangkat dari pengembangan hipotesis di atas, maka model
penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:


Perceived
Usefulness H1
(PU) Attitude Behavior
(AT) H5 Intention
(BI)
Perceived H2
Ease of Use H3 H4
(PEOU)

Trust
(TR)

C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian survey, yaitu penelitian
yang dilakukan dengan mengambil sampel secara langsung dari
populasi, sehingga ditemukan hubungan-hubungan antar variabel
(Sugiyono, 2004: 7). Sedangkan diilihat dari cakupan jenis eksplanasi
ilmu yang dihasilkan dalam penelitian, penelitian ini merupakan
penelitian kausalitas (Ferdinand, 2006: 5).
Adapun definisi operasional variabel-variabel penelitian
ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Persepsi manfaat (Perceived
Usefulness) didefinisikan sebagai suatu tingkatan di mana seseorang
percaya bahwa penggunaan suatu teknologi informasi akan
meningkatkan prestasi kerja orang tersebut; 2) Persepsi kemudahan
penggunaan (perceived ease of use/PEOU) didefinisikan sebagai suatu
tingkatan di mana seseorang percaya bahwa teknologi informasi
dapat dengan mudah dipahami; 3) Kepercayaan (trust) adalah
kesediaan pihak tertentu terhadap pihak lain dalam melakukan

46 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model

hubungan transaksi berdasarkan suatu keyakinan bahwa pihak yang


dipercayainya tersebut akan melakukan tindakan sesuai dengan yang
diharapkan; 4) Attitude adalah sikap terhadap penggunaan teknologi
informasi yang berbentuk penerimaan seseorang untuk menggunakan
suatu teknologi informasi; 5) Behavioral Intention adalah kecenderungan
perilaku untuk tetap menggunakan suatu teknologi informasi; dan 6)
Perilaku Penggunaan (Actual Use) adalah kondisi nyata penggunaan
suatu teknologi informasi.
Berdasarkan definisi operasional variabel-variabel penelitian,
maka kisi-kisi instrument penelitian dapat dijelaskan sebagai
:berikut
Tabel 1. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian
No Variabel Item Reference
1 Perceived Usefulness 4 Malhotra (1999)
Koufaris (2002)
2 Perceived Ease of Use 4 Malhotra (1999)
Koufaris (2002)
3 Trust 4 Koufaris (2002)

4 Sikap (Attitude) 3 Reid dan Levy (2008)

5 Behavioral Intention 3 Reid dan Levy (2008)

Penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner.


Item-item pertanyaan untuk setiap variabel penelitian merujuk dari
penelitian-penelitian sebelumnya dari luar negeri. Namun sebelum
kuesioner yang berisi item pertanyaan tersebut disebarkan, maka
dilakukan uji coba melalui pilot studies terlebih dahulu.
Hasil analisis validitas instrumen menunjukkan pada variabel
perceived usefulness (PU) yang berjumlah 4 item pertanyaan, hasilnya
valid dan realibel dengan koefisien alpha 0.990. Variabel perceived ease
of use (PEOU) yang berjumlah 4 item pertanyaan, hasilnya valid dan
realibel dengan koefisien alpha 0.996. Variabel trust (kepercayaan)

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 47


Anita Rahmawaty

yang berjumlah 4 item pertanyaan, hasilnya valid dan realibel dengan


koefisien alpha 0.992. Variabel attitude (sikap) yang berjumlah 3 item
pertanyaan, hasilnya valid dan realibel dengan koefisien alpha 0.944.
Sedang variabel behavior intention (perilaku penerimaan) berjumlah
3 item pertanyaan dengan hasil valid dan realibel dengan koefisien
alpha 0.953.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pengguna ATM
Bank Syariah Mandiri di Kudus. Oleh karena jumlah populasi tidak
diketahui, maka teknik penggunaan sampel menggunakan accidental
sampling dan tidak mungkin menerapkan random sampling (Ferdinand,
2006: 232). Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel sebanyak
100 responden. Dari 100 kuesioner yang disebar kepada responden,
ternyata yang kembali dan terisi dengan lengkap adalah sebanyak 98
paket kuesioner (response rate sebesar 98%), sedang sisanya sebanyak
2 paket kuesioner (0.2%) tidak kembali. Sementara itu, teknik analisis
datanya menggunakan uji Regresi linier berganda (Ordinary Least
Square).

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Dalam penelitian ini dilakukan dua uji model regresi. Dalam
model regresi 1 terdapat tiga variabel bebas, yaitu perceived usefulness,
perceived ease of use dan trust serta satu variabel terikat, yaitu attitude
(sikap). Sedangkan dalam model regresi 2 terdapat dua variabel bebas,
yaitu trust (kepercayaan) dan sikap serta satu variabel terikat, yaitu
minat perilaku (behavioral intention).
1. Model Regresi 1: Pengaruh Persepsi Manfaat, Persepsi
Kemudahan Penggunaan dan Kepercayaan terhadap Sikap
Hasil regresi linier dalam model regresi 1 antara variabel
persepsi manfaat, persepsi kemudahan penggunaan dan kepercayaan
terhadap sikap dapat dijelaskan sebagai berikut:
Formasi model regresi 1 adalah
Y = + b1.X1 + b2.X2 + b3.X3 + e

Hasil perhitungan regresi dengan menggunakan SPSS


menunjukkan bahwa nilai koeffisien determinasi (R2) sebesar 0.913 dan
nilai Adjusted R2 adalah 0.911 yang artinya bahwa variabel independen
(perceived usefulness, perceived ease of use dan trust) mampu menjelaskan

48 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model

variabel dependen yaitu sikap nasabah dalam menggunakan ATM


sebesar 91% sedang sisanya sebesar 9% dijelaskan oleh variabel lain
yang tidak ikut dimasukkan dalam model penelitian ini (lihat tabel 2).
Tabel 2

Model Summaryb

Adjusted Std. Error of Durbin-


Model
1 R.956a R Square
.913 R Square
.911 the Estimate
.56201 Watson
2.358
a.
b. Predictors: (Constant), TRUST, PU, PEOU
Dependent Variable: ATT

Sedangkan uji simultan (uji F) menunjukkan bahwa nilai


F hitung sebesar 330.373 dengan tingkat signifikansi atau p value
sebesar 0,000. Dengan menggunakan alpha 0.005 maka hipotesis yang
menyatakan bahwa terdapat pengaruh secara simultan (perceived
usefulness, perceived ease of use dan trust) berpengaruh terhadap variabel
dependen yaitu sikap dalam menggunakan ATM tidak dapat ditolak
karena nilai p value 0.000 berada jauh di bawah alpha 0.05 ( p value
0.000 < alpha 0.05) sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3

ANOVAb

Sum of
Model
1 Regression Squares
313.054 df 3 Mean104.351
Square F
330.373 .000a
Sig.
Residual 29.691 94 .316
Total 342.745 97
a.
b. Predictors: (Constant), TRUST, PU, PEOU
Dependent Variable: ATT

H1. Pengaruh Perceived Usefulness (PU) terhadap Sikap (Attitude)


Hasil perhitungan regresi linier berganda menunjukkan
bukti empirik bahwa perceived usefulness (PU) berpengaruh secara
signifikan terhadap sikap nasabah dalam menggunakan ATM yang
ditunjukkan dengan nilai t-hitung sebesar 2.229 dengan nilai p-value
atau signifikansi 0.028 dengan menggunakan tingkat alpha 0.05 maka
p-value berada di bawah alpha 0.05. Sedang arah hubungan ditunjukkan
dengan tanda positif pada beta yang memiliki nilai 0.214 yang berarti
bahwa terdapat hubungan positif antara perceived usefulness dengan
sikap nasabah dalam menggunakan ATM. Arah positif (beta) tersebut

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 49


Anita Rahmawaty

mengandung makna bahwa semakin tinggi persepsi manfaat akan


meningkatkan sikap nasabah dalam menggunakan ATM. Sebaliknya
semakin kecil persepsi manfaat, maka akan mengurangi sikap nasabah
dalam menggunakan ATM di perbankan syariah. Berdasarkan hasil
pengujian tersebut di atas, maka hipotesis yang menyatakan bahwa
terdapat pengaruh antara perceived usefulness (PU) terhadap sikap
nasabah dalam menggunakan ATM di Bank Syariah Mandiri Kudus
tidak sanggup diterima atau hipotesis ditolak.
H2. Pengaruh Perceived Ease of Use terhadap Sikap (Attitude)
Hasil perhitungan regresi linier berganda menunjukkan bukti
empirik bahwa perceived ease of use (PEOU) mempengaruhi sikap dalam
menggunakan ATM yang ditunjukkan dengan nilai t-hitung sebesar
2.261 dengan nilai p-value atau signifikansi 0.026 dengan menggunakan
tingkat alpha 0.05 maka p-value berada di bawah alpha 0.05. Sedang
arah hubungan ditunjukkan pada beta yang memiliki nilai 0.231 yang
berarti bahwa terdapat hubungan positif antara perceived ease of use
(PEOU) dengan sikap nasabah. Arah positif (beta) tersebut mengandung
makna bahwa semakin tinggi persepsi kemudahan penggunaan, maka
akan meningkatkan sikap nasabah dalam menggunakan ATM di Bank
Syariah Mandiri (BSM) Kudus. Sebaliknya semakin kecil persepsi
kemudahan penggunaan, maka akan mengurangi sikap nasabah
dalam menggunakan ATM di perbankan syariah. Berdasarkan hasil
pemgujian tersebut di atas, maka hipotesis yang menyatakan bahwa
terdapat pengaruh antara persepsi kemudahan penggunaan terhadap
sikap nasabah dalam menggunakan ATM di Bank Syariah Mandiri
(BSM) Kudus tidak sanggup ditolak atau hipotesis diterima.
H3. Pengaruh Trust Terhadap Sikap (Attitude)
Hasil pengujian empirik dengan regresi linier berganda
menunjukkan bahwa trust berpengaruh secara signifikan terhadap
sikap nasabah dalam menggunakan ATM. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai t-hitung 5.169 dengan nilai signifikansi atau p-value 0.00 di mana
dengan menggunakan alpha 0.05 maka nilai p-value 0.00 berada jauh
dibawah nilai alpha 0.05. Sedang arah hubungan ditunjukkan pada
beta yang memiliki nilai 0.528 yang berarti bahwa terdapat hubungan
positif antara trust dengan sikap nasabah. Arah positif (beta) tersebut
mengandung makna bahwa semakin tinggi kepercayaan nasabah,

50 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model

maka akan meningkatkan sikap nasabah dalam menggunakan


ATM di Bank Syariah Mandiri (BSM) Kudus. Sebaliknya semakin
kecil kepercayaan nasabah, maka akan mengurangi sikap nasabah
dalam menggunakan ATM di perbankan syariah. Berdasarkan hasil
pengujian tersebut diatas, maka hipotesis yang menyatakan bahwa
terdapat pengaruh antara trust (kepercayaan) terhadap sikap nasabah
dalam menggunakan ATM di Bank Syariah Mandiri (BSM) Kudus
tidak sanggup ditolak atau hipotesis diterima.
2. Model Regresi 2: Pengaruh Kepercayaan dan Sikap terhadap
Minat Perilaku
Hasil regresi linier dalam model regresi 1 antara variabel
kepercayaan dan sikap terhadap minat perilaku dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Formasi model regresi 1 adalah:
Y = + b1.X1 + b2.X2 + e

Hasil perhitungan regresi menunjukkan nilai koeffisien


determinasi (R2) sebesar 0.752 dan nilai Adjusted R2 adalah 0.746
yang artinya bahwa variabel independen (trust dan attitude) mampu
menjelaskan variabel dependen yaitu perilaku penggunaan ATM
(behavior intention) sebesar 74% sedang sisanya sebesar 26% dijelaskan
oleh variabel lain yang dalam hal ini tidak ikut dimasukkan dalam
model penelitian ini (lihat tabel 4).

Model Summaryb

Adjusted Std. Error of Durbin-


Model
1 R.867a R Square
.751 R Square
.746 the Estimate
1.05984 Watson
2.214
a.
Tabel 4
b. Predictors: (Constant), ATT, TRUST
Dependent Variable: BI

Sedangkan uji simultan (uji F) menunjukkan bahwa nilai F


hitung sebesar 143.199 dengan tingkat signifikansi atau p value sebesar
0,000. Dengan menggunakan alpha 0.005 maka hipotesis alternatif (H1)
yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh secara simultan (trust
dan attitude) berpengaruh terhadap variabel dependen yaitu perilaku
penggunaan ATM (behavior intention) tidak dapat ditolak karena nilai

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 51


Anita Rahmawaty

p value 0.000 berada jauh di bawah alpha 0.05 ( p value 0.000 < alpha
0.05). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5
ANOVAb

Sum of
Model
1 Regression Squares
321.699 df 2 Mean160.849
Square F
143.199 .000a
Sig.
Residual 106.710 95 1.123
Total 428.408 97
a.
b. Predictors: (Constant), ATT, TRUST
Dependent Variable: BI
H4. Pengaruh Trust Terhadap Perilaku Penggunaan (Behavior
Intention)
Hasil pengujian empirik menunjukkan bahwa trust
(kepercayaan) secara signifikan dan positif berpengaruh terhadap
perilaku penggunaan ATM (behavior intention) nasabah pada pada
Bank Syariah Mandiri (BSM) Kudus. Hal ini ditunjukkan dengan nilai
t hitung 2.157 dengan nilai signifikansi atau p value 0.034 di mana
dengan menggunakan alpha 0.05 maka nilai p value 0.034 di bawah
nilai alpha 0.05. Sementara hubungan positif yang ditunjukkan dengan
nilai beta atau slope positif sebesar 0.343 memberi makna bahwa
semakin nasabah memiliki kepercayaan terhadap teknologi informasi
(ATM) di bank syariah, maka semakin meningkatkan kecenderungan
penggunaan teknologi informasi (ATM) di Bank Syariah Mandiri
(BSM) Kudus. Berdasarkan hasil pengujian tersebut di atas, maka
hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara trust
(kepercayaan) terhadap perilaku penggunaan ATM di bank syariah
tidak sanggup ditolak atau hipotesis diterima.

H5. Pengaruh Sikap Terhadap Perilaku Penggunaan (Behavior


Intention)
Hasil pengujian empirik menunjukan bahwa sikap secara
signifikan dan positif berpengaruh terhadap perilaku penggunaan
ATM (behavior intention) nasabah pada pada Bank Syariah Mandiri
(BSM) Kudus. Hal ini ditunjukkan dengan nilai t hitung 3.361 dengan
nilai signifikansi atau p value 0.001 di mana dengan menggunakan
alpha 0.05 maka nilai p value 0.001 berada jauh di bawah nilai alpha
0.05. Sementara hubungan positif yang ditunjukkan dengan nilai beta

52 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh Trust dalam Automatied Teller Machine Berdasarka Technology Acceptance Model

atau slope positif sebesar 0.535 memberi makna bahwa semakin tinggi
sikap nasabah untuk menggunakan teknologi informasi (ATM) di
bank syariah, maka semakin meningkatkan penggunaan teknologi
informasi (ATM) di Bank Syariah Mandiri (BSM) Kudus. Berdasarkan
hasil pengujian tersebut di atas, maka hipotesis yang menyatakan
bahwa terdapat pengaruh antara sikap nasabah terhadap perilaku
penggunaan ATM di bank syariah tidak sanggup ditolak atau hipotesis
diterima.

E. KESIMPULAN
Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan terhadap
hipotesis yang telah diajukan, menghasilkan beberapa kesimpulan
sebagai berikut: 1) perceived usefulness, perceived ease of use dan trust
terbukti memberikan pengaruh signifikan terhadap sikap dalam
menggunakan ATM. Sedangkan trust merupakan variabel yang
dominan mempengaruhi sikap dalam menggunakan ATM; 2) trust
(kepercayaan) dan sikap terbukti memberikan pengaruh signifikan
terhadap minat perilaku penggunaan ATM. Dengan demikian, trust
mampu mempengaruhi perilaku penggunaan ATM, baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui variabel mediasi yaitu
attitude (sikap).
Studi ini memiliki beberapa keterbatasan sebagai berikut:
1) kerangka sampel yang digunakan adalah nasabah Bank Syariah
Mandiri yang menggunakan layanan ATM, maka temuan penelitian
ini mungkin saja tidak dapat digeneralisir untuk pengguna produk jasa
berbasis teknologi informasi lainnya; 2) Temuan penelitian terbatas di
wilayah Kudus, maka jawaban pada instrumen kuesioner responden
mencerminkan karakteristik sosio demografis di wilayah tersebut; dan
3) desain penelitian dalam bentuk data cross-section juga memberikan
keterbatasan karena ketidakmampuannya untuk mengamati secara
mendalam berbagai aspek hubungan yang tercipta selama suatu kurun
waktu manajemen tertentu.
Studi ini meninggalkan pula beberapa agenda penelitian
lanjutan sebagai berikut: 1) Studi ini hanya terbatas pada responden
adalah nasabah pengguna ATM. Oleh karena itu, sebuah penelitian
lanjutan diarahkan untuk melakukan pengujian pada teknologi
informasi yang lainnya; 2) Studi ini menggunakan model TAM

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 53


Anita Rahmawaty

sebagai model dasar. Oleh karena itu, penelitian mendatang diarahkan


untuk mengintegrasikan model TAM dengan teori dasar penerimaan
teknologi lainnya, seperti TRA, TPB, TFT atau UTAUT; dan 3) Design
penelitian ini terbatas menggunakan uji regresi linier berganda. Bagi
peneliti mendatang, sebaiknya menggunakan metode analisis data
lainnya dapat diuji pengaruh hubungan antar variabel secara simultan,
seperti SEM (Structural Equation Model).

54 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


DAFTAR PUSTAKA

Ayyagari, Ramakrishna, Examination of Hedonism in TAM


Research, Proceedings of Southern Association for Information
Systems Conference, 2006.
Bart, et.al, Are The Drivers and Role of Online Trust The Same for
All Web Sites and Consumers? A Large Scale Exploratory
Empirical Study, Center for e-Business@MIT, April 2005.
Engel, James F., Blackwell, Roger D. dan Miniard, Paul W., Consumer
Behavior, Orlando, Florida: The Dryden Press, 1993.
Eriksson, Kent; Kerem, Katri; dan Nilsson Daniel, Customer
Acceptance of Internet banking in Estonia, International
Journal of Bank Marketing, Vol. 23, No. 2, 2005.
Ferdinand, Augusty, Metode Penelitian Manajemen, Semarang: BP
Undip, 2006.
Heijden, Van der; Verhagen, Tibert dan Creemers, Marcel,
Understanding Online Purchase Intentions: Contributions
From Technology and Trust Perspectives, European Journal of
Information Systems, 2003.
Hernandez, Jose Mauro C. dan Mazzon, Jose Afonso, Adoption of
Internet Banking: Proposition and Implementation of An
Integrated Methodology Approach, International Journal of
Bank Marketing, Vol. 25, No. 2, 2007.
Kotler, P, Marketing Management: The Millenium Edition, Upper Saddle
River, N.J: Prentice Hall International Inc, 2000.
Koufaris, Marios; Hampton-Sosa, William, Customer Trust Online:
Examining The Role of The Experience with The Website,
CIS Working Paper Series, 2002.
Loudon, David L. dan Della-Bitta, Albert J., Consumer Behavior: Concept
and Applications , The United State of America: McGraw Hill
Inc, 1984.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 55


Anita Rahmawaty

Malhotra, Yogesh dan Galletta, Dennis F, Extending The Technology


Acceptance Model to Account for Social Influence: Theoretical
Bases and Validation, Proceeding of the 32nd Hawaii International
Conference on System Sciences, 1999.
Nasution, Fahmi Natigor, Penggunaan Teknologi Informasi
Berdasarkan Aspek Keperilakuan (Behavioral Aspect), USU
Digital Library, 2004.
Park, Sung-Hee, Role of Personal Values in Acceptance of Information
Technology, Doctoral Dissertation, University of South
Carolina, 2007.
Rini Handayani, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat
Pemanfaatan Sistem Informasi dan Penggunaan Sistem
Informasi (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur di
Bursa Efek Jakarta), dalam Simposium Nasional Akuntansi X,
Unhas, Makassar, 26-28 Juli 2007.
Schiffman, Leon G dan Kanuk, Leslie Lazar, Consumer Behavior, New
Jersey: Prentice Hall, 1994.
Sulaiman, Ainin; Mohezar, Suhana; dan Rasheed, Ahmad A Trust
Model for E-Commerce in Pakistan: An Empirical Research,
Asian Journal of Information Technology, 2007.
Sumarwan, Ujang, Perilaku Konsumen, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.
Tjiptono, Fandy, Pemasaran Jasa, Malang: Bayu Media Publishing,
2006.
Wiyono, Adrianto Sugiarto; Ancok, Djamaludin dan Hartono,
Jogiyanto, Aspek Psikologis pada Implementasi Sistem
Teknologi Informasi, dalam Konferensi dan Temu Nasional
Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia, 21-23 Mei
2008.
Wu, Jiming, dan Liu, De, The Effect of Trust and Enjoyment on
Intention to Play Online Games, Journal of Electronics Commerse
Research, Vo. 8, No. 2, 2007.

56 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


KALENDER ISLAM INTERNASIONAL
SEBUAH TINJAUAN SYARI DAN ASTRONOMI

Oleh: Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA

Abstrak
Kajian ini membahas persoalan yang selama ini menjadi
dilemma penentuan kalender Islam bahwa selama ini
umat Islam selalu mengalami perselisihan yang tiada
akhir. Menyikapi hal ini para praktisi ilmu falak berupaya
untuk menyatukan perselisihan tersebut dengan mencoba
membuat pedoman penanggalan dunia. Langkah ini
merupakan wujud implementasi terhadap masukan umat
Islam yang merespon tentang perselisihan pendapat yang tak
ada ujung. Sehingga penulis merasa penting untuk meneliti
kalender Islam Internasional sebagai langkah konkrit dalam
mewujudkan persamaan dan kesamaan kalender Islam secara
Internasional.
Dalam penelitian ini penulis memakai pendekatan (approach)
Library Researh dengan mempergunakan jenis data
sekunder dan bersifat deskriptif. Sedangkan tehnik analisis
data menggunakan analisis kualitatif normatif histories.
Hal ini mempunyai alasan bahwa pengamatan terhadap
teori astronomi khususnya penanggalan Islam perlu diamati
melalui sejarah yang pernah terjadi zaman Islam klasik
sampai zaman Islam modern, pada zaman Islam klasik
diamati melalui tekstualitas nas sedangkan zaman Islam
modern melalui uji astronomis sehingga dapat ditemukan
hasil penelitian yang akurat.

Kata Kunci: Kalender Islam Internasional, teori astronomi, Islam


Klasik, Islam Modern.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 57


Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA

A. Analisis Nash
Bicara tentang kalender Islam Internasional, sangat terkait
dengan kapan batasan waktu dimulainya waktu karenanya
memerlukan analisis nash dan astronomi. Ternyata dari nash-nash di
atas tidak disebutkan secara tegas mengenai batasan-batasan waktu,
umur atau lamanya waktu tersebut. Apalagi menjelaskan tentang
kapan hari itu dimulai, dan di mana permulaan hari tersebut. Yang
dikemukakan bahwa waktu itu penting, sebagai bagian dari kehidupan
manusia dalam beribadah kepada Allah SWT.
Dalam kehidupannya di dunia ini, setiap makhluk
(khususnya manusia) tidak boleh mengabaikan waktu, karena
yang mengabaikannya akan merasakan suatu kerugian. Semakin
besar pengabaian terhadap waktu semakin besar pula kerugian itu
menimpa kita. Kita dituntut untuk berbuat yang terbaik dan lebih baik
setiap harinya agar kita memperoleh keberuntungan, karena jika kita
berbuat kebaikan yang sama hari ini dengan hari yang telah dilewati,
kita akan memperoleh kerugian, apalagi perbuatan kita lebih buruk
pada hari ini dibandingkan hari yang lalu, maka kita akan mengalami
kecelakaan yang lebih buruk daripada kerugian. Oleh karena itu, di
hari-hari mendatang kita harus melakukan sesuatu yang lebih baik
dari hari ini.
Hanya satu ayat di dalam al-Quran yang menyebutkan
tentang satuan waktu berkenaan dengan jumlah bulan dalam setahun,
yakni sebanyak 12 bulan, hal ini disebutkan di dalam surat at-Taubah
ayat 36. Sedangkan mengenai nama-nama bulan dalam Islam, sejak
zaman Rasulullah meneruskan tradisi masyarakat jahiliyah yang
sudah berlangsung secara populer pada waktu itu, yakni Muharram,
bulan yang disucikan dan diharamkan untuk melakukan peperangan.
Safar, artinya kuning yakni karena pada waktu itu daun-daun sedang
menguning menjelang musim gugur. Rabi al-Ula atau Rabi al-Awwal
dan Rabi al-Tsani atau Rabi al-Akhir, kata Rabi artinya gugur, dua
bulan tersebut secara berturut-turut jatuh pada musim gugur. Jumad
al-Ula atau Jumad al-Awwal dan Jumad al-Tsani atau Jumad al-
Akhir, Jumad artinya beku, kedua bulan tersebut jatuh pada musim
dingin. Rajab artinya pada saat itu salju sedng mencair. Syaban
berasal dari kata syib artinya lembah, saat turun ke lembah-lembah
untuk mengolah lahan pertanian atau mengembala ternak. Ramadan,

58 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syari dan Astronomi

artinya membakar. Syawal artinya peningkatan. Dzulqadah, dari


lafad qaid artinya duduk. Saat itu merupakan puncak musim panas
yang membuat orang lebih senang istirahat duduk di rumah daripada
bepergian dan Dzulhijjah, bulan ziarah mengunjungi Kabah yang
merupakan tradisi nenek moyang mereka yakni Ibrahim As.1
Setiap bulan dimulai saat munculnya hilal, berselang-seling
30 atau 29 hari, sehingga 354 hari dalam setahun, 11 hari lebih cepat
dari kalender solar yang setahunnya 365 hari. Agar kembali sesuai
dengan perjalanan matahari dan agar tahun baru selalu jatuh pada
awal musim gugur, maka dalam setiap periode 19 tahun ada tujuh
yang jumlah bulannya 13 (sehingga satu tahunnya mencapai 384 hari).
Bulan interkalasi atau bulan ekstra ini disebut nasi yang ditambahkan
pada akhir tahun sesudah Dzulhijjah.
Ternyata, tidak semua kabilah di semenanjung Arabia sepakat
mengenai tahun-tahun mana saja yang mempunyai bulan nasi.
Masing-masing kabilah seenaknya menentukan bahwa tahun yang
satu 13 bulan dan tahun yang lain Cuma 12 bulan. Lebih celaka lagi,
jika suatu kaum memerangi kaum lainnya pada bulan Muharram
(bulan terlarang untuk berperang) dengan alasan perang itu masih
dalam bulan nasi, belum masuk Muharram menurut kalender
mereka. Akibanya, masalah bulan interkalasi ini banyak menimbulkan
permusuhan Arab jahiliyah.
Setelah masyarakat Arab memeluk Islam dan bersatu di bawah
pimpinan Nabi Muhammad SAW, maka turunlah perintah Allah
SWT agar umat Islam memakai kalender lunar yang murni dengan
menghilangkan bulan nasi. Firman Allah:





1. Lihat Said Agil Syiradj, Memahami Sejarah Hijrah dimuat dalam ha -
ian Republika, Rabu 9 Januari 2008. lihat juga Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab
Rukyat. Cet. 1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 85, 110, 127, 128, 134, 144,
145 dan 178. lihat juga Tanthawi al-Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim,
(Bairut Dar al-Fikr, t. th.) Jilid 1, hal. 110.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 59


Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA

Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu2 adalah menambah


kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan
itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya
pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan
yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang
diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan
mereka yang buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-
orang yang kafir.(QS. At-Taubah: 37).3

Dengan turunnya wahyu Allah tersebut, Nabi Muhammad


SAW mengeluarkan dekrit bahwa kalender Islam tidak lagi bergantung
kepada perjalanan matahari. Meskipun nama-nama bulan dari
Muharram sampai Dzulhijjah tetap digunakan karena sudah populer
pemakaiannya. Bulan-bulan tersebut bergeser setiap tahunnya dari
musim ke musim, sehingga Ramadan tidak selalu pada musim panas,
dan Jumad al-awwal tidak selalu pada musim dingin.
Selanjutnya mengenai ketentuan jumlah hari dalam satu bulan
ada yang berisi 29 hari dan ada pula yang 30 hari adalah berdasarkan
hadis Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibn Umar;


) )
Kami adalah umat yang ummy, tidak dapat menulis dan tidak dapat
menghitung (tidak tahu ilmu hisab). Bulan adalah sekian dan sekian,
maksudnya ada yang 29 hari ada yang 30 hari. (HR. al-Bukhari).

Hadis tersebut menunjukkan bahwa Nabi tidak menggunakan


ilmu hisab dalam menentukan awal bulan, tetapi juga tidak
menunjukkan adanya larangan demikian. Hal itu merupakan suatu

2. Tafsirnya: Muharram, Rajab, Zulqaedah dan Zulhijjah adalah


bulan-bulan yang dihormati dan dalam bulan-bulan tersebut tidak boleh
diadakan peperangan. tetapi peraturan Ini dilanggar oleh mereka dengan
mengadakan peperangan di bulan Muharram, dan menjadikan bulan Sa-
far sebagai bulan yang dihormati untuk pengganti bulan Muharram itu.
sekalipun bulangan bulan-bulan yang disucikan yaitu, empat bulan juga.
tetapi dengan perbuatan itu, tata tertib di jazirah Arab menjadi kacau dan
lalu lintas perdagangan terganggu.
3. Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahan, (Jakarta: Cetakan
Departeman Agama RI, 1978) QS. At-Taubah: 37.

60 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syari dan Astronomi

tindakan yang sangat bijaksana, mengingat waktu itu di kalangan


masyarakat Arab belum banyak berkembang ilmu hisab. Sehubungan
dengan hal itu, pembahasan mengenai hari, tentulah erat kaitannya
dengan kapan dan dimana permulaan hari tersebut dalam tinjauan
fiqh, secara teks memang sangat terkait dengan hukum Islam,
kalau tinjauan hukum Islam maka tidak terlepas dengan intervensi
pendapat ulama. Untuk itulah pendapat sebagian besar para ahli fiqh
menguraikan pandangan tentang hari berhubungan dengan awal
dan akhir bulan qamariyah khususnya bulan Ramadan dan Syawwal,
melalui penampakan hilal berkisar pada cara menetapkannya dengan
rukyat, dan sebagian kecil boleh dengan jalan hisab.4
Bahkan menurut pendapat Martin van Bruinessen bahwa para
ulama fiqh pandangannya hamper sama, tidak ada yang original, ia
berkomentar: kadang-kadang dikatakan bahwa kitab kuning tidak
menunjukkan originalitas, karena semuanya pada dasarnya sama,
hanya berbeda dalam rincian. Dari sudut itu memang benar. Daftar
isi kitab fiqh tampak sangat mirip. Kesemuanya membahas persoalan-
persoalan yang sama, dalam susunan yang sama.5
Dari uraian di atas, ternyata tidak ditemukan pandangan ulama
fiqh klasik yang menyatakan secara tegas dan jelas mengenai kapan dan
di mana permulaan hari. Kita hanya mendapatkan sepintas pandangan
beberapa ulama fiqh kontemporer tentang kapan permulaan hari yang
sangat bergantung pada kriteria penampakan hilal, dan tentang wilayat
al-hukm yang berkisar pada persoalan mathla.
Dalam kajian fiqh kontemporer berkenaan dengan kapan hari
itu dimulai, adalah berdasarkan isyarat yang ditunjukkan oleh al-
Quran tentang pembagian hari (siang dan malam) dengan symbol
benang putih (al-khaith al-abyadh) dan benang hitam (al-khaith aswad).
Benang putih menunjuk pada siang hari dan benang hitam menunjuk
pada malam hari.6 Nash al-Quran tersebut tidak menjelaskan secara
tegas dan rinci, sehingga di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat

4. Hampir seluruh madzhab yang empat bahkan ditambah dengan ma -


zhab Imamiyah berpendapat cara menetapkan awal bulan qamariyah dengan jalan
rukyat, hanya sebagian madzhab SyafiI, membolehkan dengan jalan hisab.
5. Lihat Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-
tradisi Islam di Indonesia, cet III, (Bandung: Mizan: 1420 H/1999M), hal. 124.
6. Lihat Muhammad Taqiyuddin, al-hilal Explanatory English Translation
of The Meaning of The Holy Quran, (Turkey: Hilal Publicatyion, t. th.), hal.28.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 61


Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA

dalam menentukan batas permulaan antara benang putih dan benang


hitam tersebut. Perbedaan pendapat di kalangan ulama sekurang-
kurangnya ada dua aliran. Yang pertama, hari itu dimulai pada waktu
pagi setelah terbit fajar. Dalam penetapan awal bulan qamariyah,
aliran ini digolongkan kepada paham ijtima baad al-gurub atau qabl
al-fajr.7 Argumentasi yang dikemukakan oleh aliran ini adalah bahwa
puasa Ramadan itu diawali pada saat terbitnya fajar. Landasan yang
dikemukakan adalah firman Allah di dalam al-Quran yang berbunyi









Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah
Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri'tikaf 8 dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka
janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.(QS. Al-Baqarah:187).9

7. Aliran ini mempunyai paham bahwa awal bulan qamariyah itu setelah
terjadinya ijtima (conjunction, yaitu posisi bulan dan matahari dalam satu garis
bujur ekliptika). Hanya saja, ijtima itu terjadinya bukan pada waktu sebelum ma-
tahari terbenam (qabl al-gurub), namun setelah matahari terbenam (bad al-gurub
atau sebelum terbitnya fajar (qabl al-fajr).
8. Tafsirnya: I'tikaf ialah berada dalam mesjid dengan niat mendekatkan
diri kepada Allah.
9. Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahan, (Jakarta: Cetakan
Departeman Agama RI, 1978) QS. Al-Baqarah: 187.

62 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syari dan Astronomi

Yang kedua, adalah pandangan mayoritas di kalangan umat


Islam, yakni hari tersebut dimulai pada saat terbenamnya matahari (di
waktu Maghrib). Dalam penetapan awal bulan qamariyah, pandangan
aliran kedua ini berpendapat bahwa awal bulan adalah setelah ijtima
yang terjadi sebelum terbenam matahari (ijtima qabl al-gurub).
Demikian halnya ulama-ulama ahli hisab yang memposisikan hilal
di atas ufuk pada saat terbenamnya matahari. Pandangan ini juga
dianut oleh pakar hisab Indonesia yang popular, yaitu Saadoeddin
Djambek.10
Alasan yang dikemukakan oleh aliran kedua adalah firman
Allah dalam al-Quran berikut:



Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak
dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.
(QS. Yasiin:40).11

Fenomena alam menunjukkan bahwa matahari terbit dari


Timur dan bulan muncul dari barat. Jika realitas ini kita hubungkan
dengan nash di atas, maka pendapat kedua bisa diterima karena
secara lahirnya lafadz al-Nahr. Konsekuensinya, permulaan hari adalah
pada saat malam (saat terbenamnya matahari), bukan pada saat siang
(setelah terbitnya fajar).12
Penentuan permulaan hari secara Internasional yang
berlandaskan kepada kalender solar system telah ditetapkan dan
diselesaikan dengan cara konvensi dalam International Meridian

10. Sebagian besar ulama ahli hisab menetapkan awal bulan qamariyah
yang juga menunjukkan permulaan hari jatuh pada waktu Maghrib, yakni pada
saat terbenamnya matahari. Prosesnya setelah terjadi konjungsi atau ijtima lebih
dahulu yang terjadi sebelum terbenam matahari ditambah dengan kedudukan hilal
(bulan sabit) berada di atas ufuk ketika matahari tersebut terbenam. (Saadoeddin
Djambek, Hisab Awal Bulan, Cet. I, (Jakarta: Tintamas, 1976)), hal.15.
11. Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahan, (Jakarta: Cetakan
Departeman Agama RI, 1978) QS. Yasiin:40.
12. Lihat Susiknan Azhari, Perlu Paradigma Baru Menuju Kalender Islam
Internasional. Dalam Selayang Pandang Hisab Rukyat, (Jakarta: Direktorat Jen-
deral Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Direktorat Pembinaan Agama, 2004),
hal.62.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 63


Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA

Conference pada tahun 1884 di Washington, setelah lebih dari 4 abad


lamanya perbedaan-perbedaan persepsi garis tanggal Internasional ini
diperdebatkan. Garis meridian Greenwich dipakai secara internasional
sebagai meridian utama yang merupakan basis perhitungan waktu
Greenwich Mean Time (GMT). Berjarak 180 dari garis tersebut
didefinisikan sebagai garis tanggal Internasional (International Date
Line).
Garis batas tanggal Internasional dibuat oleh manusia untuk
menghindari kekacauan penanggalan di seluruh muka bumi.
Oleh karena dibuat oleh manusia, garis tersebut dibuat tetap, tidak
berubah. Letaknya pada garis bujur 180 (berlawanan dalam bujur
standart 0 yang melewati Greenwich di Inggris). Bentuk garisnya tidak
lurus pada wilayah tertentu dibuat berkelok. Adanya kelokan disini
dimaksudkan untuk menghindari wilayah daratan tempat hunian
manusia. Terbelahnya oleh garis tanggal, mengakibatkan perbedaan
tanggal disekitar wilayah yang dilewati garis tersebut.
Dalam menetapkan garis tanggal, kalender Islam (Lunar
System) sampai hari ini masih terjadi perbedaan pendapat. Andaikan
murni menggunakan ketinggian hilal saja, maka tanggal tersebut akan
tergantung pada kriteria berapa derajat ditetapkannya. Selanjutnya,
garis tanggal yang ditetapkan akan disesuaikan dengan wilayat al-hukm
yang berlaku. Hal ini akan menyebabkan garis tanggal dalam kalender
Islam tidak berupa garis lurus dan bahkan garis tanggal discontinue
(putus-putus) apabila criteria yang diberlakukan berbeda antar satu
Negara dengan Negara lainnya. Sementara itu, dalam hal penentuan
hari (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Ahad), kalender
Islam mengikuti garis tanggal internasional di atas. Namun dalam
penentuan tanggal, kalender Islam mengikuti garis tanggal secara
dinamis yang setiap bulannya berubah-ubah. Dengan demikian, karena
tidak berhimpitnya garis tanggal internasional dengan garis tanggal
kalender Islam, maka akan terjadi perbedaan antara tempat yang satu
dengan tempat yang lainnya (tergantung posisi geografisnya) dalam
penggunaan kalender Islam.13
Secara internasional, dan dalam beberapa kali pertemuan serta

13. Lihat Khafid, Garis Tanggal Internasional antara Penanggalan M -


ladiyah dan Hijriyah, Makalah disampaikan dalam Musyawarah Nasional Penyatu-
an Kalender Hijriyah, Jakarta: 17-19 Desenber 2005.

64 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syari dan Astronomi

beberapa pandangan, sebagian besar mengemukakan bahwa awal


hari/awal bulan/awal tahun ditandai oleh penampakan hilal (hilal
visibility) sesudah Matahari terbenam, yang berarti tergolong kepada
aliran imkan al-rukyat. Sementara itu, Muhammadiyah memiliki
pandangan yang berbeda, yakni dengan melalui wujud al-hilal (pada
saat Matahari terbenam posisi hilal berada di atas ufuk dengan tidak
memperhatikan hilal dapat dilihat atau tidak) setelah terjadinya ijtima
sebelum Matahari terbenam.14
Walaupun dalam hal penampilan hilal (terutama dalam
menentukan awal bulan qamariyah), di antara ulama (ahli hisab)
berbeda satu dengan yang lain, khususnya tentang berapa derajat
ketinggian hilal di atas ufuk. Akan tetapi, dalam penentuan garis
tanggal, tampaknya para ahli hisab (termasuk para astronom) banyak
memiliki kesamaan pandangan dengan menyatakan posisi hilal dalam
keadaan positif di atas ufuk.15 Hanya saja menjadi suatu kesulitan untuk
menentukan kapan permulaan tanggal, karena garis ketinggian hilal
awal bulan qamariyah selalu berubah letak maupun kemiringannya,
berbeda dengan garis batas tanggal internasional yang selalu tetap.
Perubahan ini ditentukan oleh posisi Bulan dan Matahari pada waktu
yang bersangkutan. Jika garis ketinggian hilal 0 memotong batas
tanggal internasional, aplikasi penentuan awal bulan atau tanggal satu
bulan qamariyah harus memperhitungkan aturan pergantian tanggal
akibat melewati garis batas tanggal internasional tersebut.
Garis ketinggian hilal adalah lengkungan yang menghubungkan
tempat-tempat yang mempunyai ketinggian hilal sama. Garis tersebut
berguna untuk melihat secara menyeluruh situasi ketinggian hilal pada
suatu wilayah atau Negara yang luas. Peta garis ketinggian hilal dibuat
berdasarkan ketinggian hilal pada titik-titik referensi yang dapat dicari
dengan cara interpolasi titik-titik yang mempunyai ketinggian sama.
Seperti halnya garis ketinggian hilal 0, arah kurvanya ditentukan
oleh posisi bulan dan matahari pada waktu yang bersangkutan.
Bersama-sama dengan garis ketinggian hilal 0, garis ketinggian

14. Lihat Moeji Raharto,Di balik Persoalan Awal Bulan Islam dimuat
dalam majalah Forum Dirgantara, No. 02/Th. I/Oktober/1994, hal. 25.
15. Kriteria Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan qamariyah
menggunakan wujud al-hilal dengan tidak mempersyaratkan berapa derajatnya
(yang penting di atas nol derajat) di atas ufuk dan tidak mesti harus dapat dirukyat
tampaknya sejalan dengan penetapan garis tanggal ini.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 65


Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA

dapat memberikan gambaran secara global mengenai wilayah yang


mempunyai ketinggian positif (+) dan yang mempunyai ketinggian
negatif (-).16
Garis batas tanggal qamariyah merupakan garis ketinggian 0
awal bulan hijriyah atau awal bulan qamariyah. Garis batas ketinggian
0 atau disebut juga garis batas bulan baru adalah garis lengkung
yang digambarkan pada peta dunia yang melewati tempat-tempat
saat terbenam matahari bersamaan dengan saat terbenamnya bulan.
Dengan kata lain, garis itu menghubungkan tempat-tempat diseluruh
muka bumi yang memiliki ketinggian hilal 0 pada saat matahari
terbenam di tempat tersebut.
Pembuatan garis ini dilatarbelakangi oleh:
Garis semu matahari pada bola langit ke arah timur lebih lambat
daripada gerak bulan.
Penentuan tanggal satu bulan hijriyah berdasarkan pada
penampakan hilal termuda pada saat matahari terbenam.
Cara astronomis, saat matahari berada di horizon dapat dihitung
atau diperkirakan, demikian pula dengan bulan untuk berbagai
tempat dipermukaan bumi.
Melalui perdekatan dengan cara interpolasi dapat dicari tempat-
tempat yang menunjukkan saat matahari terbenam bersamaan
dengan terbenamnya bulan berdasarkan data Ephemeris.
Selanjutnya, kita dapat menetapkan bahwa daerah yang
berketinggian positif adalah sudah memasuki tanggal baru, sebaliknya
daerah yang berketinggian negative masih termasuk bulan atau hari
yang sedang berlangsung (hari atau bulan yang lama). Sedangkan
dalam penyusunan kalender Islam, telah ada kesepakatan secara
umum bahwa permulaan tahun adalah dimulai dari hijrahnya
Rasulullah dari Makkah ke Madinah (walaupun belakangan ada yang
mengatakan dimulai dari wafatnya Rasul)17 yang terjadi pada tanggal
2 Rabiul Awwal bertepatan dengan tanggal 14 September 622 M, dan

16. Lihat Cecep Nurwendaya,Berlakunya Batas Tanggal Internasional


Awal Bulan Qamariyah, Makalah disampaikan dalam Musyawarah Nasional Pe-
nyatuan Kalender Hijriyah, Jakarta: 17-19 Desember 2005.
17. Kalender Islam yang dimulai dari wafatnya Rasul adalah kalender
Libia. Lihat buku agenda tahun 1375, Islamic calendar1375 from The Death of the
Propeth SAW 2007 A.D. Bandingkan dengan Susiknan Azhari, Ilmu Falak: Per-
jumpaan Khasanah Islam dan Sains Modern, Cet. II, Yogyakarta: Suara Muham-
madiyah, 2007), hal. 160.

66 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syari dan Astronomi

apabila perhitungan itu dari bulan Muharram, maka 1 Muharram 1


hijrah itu diketahui terjadi pada tanggal 15 Juli 622 M.18

B. Analisis Astronomis
Meskipun hanya dengan cara perhitungan astronomilah
sebuah kalender Islam prolepsis dapat disusun, satu hal yang perlu
diperhatikan oleh umat Islam adalah kenyataan bahwa cara rukyat
untuk penentuan awal bulan Islam bukan berarti merupakan cara
yang salah. Yang lebih tepat adalah bahwa cara rukyat memiliki
banyak sekali kendala dalam prakteknya, baik akibat kendala cuaca,
keterbatasan kemampuan penginderaan mata, posisi geometris hilal
dan pencahayaan Matahari pada saat pengamatan dan lain-lain. Di
zaman Rasulullah SAW, semua kendala-kendala tersebut tidak dapat
dihindari karena belum tersedianya teknologi yang memadai sehingga
cara tersebut menjadi satu-satunya pilihan. Namun, dengan kemajuan
sains dan teknologi saat ini, dan demi terciptanya prinsip-prinsip
penyusunan sebuah kalender Islam prolepsis, sudah sangat jelas
bahwa cara rukyat tidak dapat digunakan untuk penyusunan sebuah
kalender Islam prolepsis seperti telah disinggung di atas.
Namun demikian, meskipun sebuah kalender Islam yang
bersifat universal di seluruh dunia dapat disusun, perlu disadari bahwa
terutama karena posisi astronomis Bumi dan Bulan dalam konstelasi
tatasurya, bentuk geometris Bumi (bola), pergerakan Bumi (rotasi
dan revolusi), pergerakan Bulan mengorbit Bumi, posisi (lintang,
bujur, dan ketinggian pengamat di Bumi) dan lainnya, maka tidaklah
mungkin menetapkan awal bulan Islam yang berlaku universal di
seluruh bola Bumi. Prinsip pendefinisian waktu dalam Al-Quran dan
Hadis digambarkan bahwa hilal yang tampak di bagian muka Bumi
tertentu belum tentu tampak di belahan Bumi yang lain pada saat yang
bersamaan. Banyak sekali factor yang akan mempengaruhi parameter
hilal. Dengan demikian, prinsip universalitas kalender Islam yang
akan tersusun hanya dapat ditunjukkan berdasarkan informasi posisi
dan ukuran hilal di seluruh permukaan Bumi yang dapat dihitung
setiap saat.

18. Lihat Marifat Iman,Kapan dan Dimana Hari Dimulai: Tinjauan


Fiqh, Makalah disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab dan Fiqih Muham-
madiyah, Yogyakarta: 24-26 Juni 2008.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 67


Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA

Ada beberapa alternatif pemikiran kalender Islam yang dapat


menjadi kajian dan analisis sebagai tolok ukur terbentuknya kalender
Islam Internasional. Kalender hijriyah ini dapat dibagi menjadi dua
kelompok: pertama, kalender terpadu (unifikasi), yang memiliki
prinsip satu hari satu tanggal dan satu tanggal satu hari di seluruh
dunia oleh karena itu kalender ini tidak memberikan arti penting
terhadap penggunaan rukyat sebagai dasar penetapan awal bulan.
Kedua, kalender zonal. Kalender zonal ini membagi-bagi bumi
menjadi zona-zona kalender. Ada yang membagi bumi kepada empat
zona atau tiga zona di mana pada masing-masing zona berlaku tanggal
sendiri yang mungkin sesuai atau tidak sesuai dengan tanggal pada
zona lain. Ada juga yang membagi bumi menjadi dua zona tanggal
saja (kalender bizonal). Kalender bizonal membagi bumi menjadi zona
timur yang meliputi benua Asia, Eropa, Afrika, dan Australia di mana
dunia Islam termasuk di dalamnya, dan zona barat yang meliputi
benua Amerika. Pada masing-masing zona ini berlaku tanggal
masing-masing yang pada bulan tertentu mungkin sama dengan
tanggal pada zona lainnya dan pada bulan lain mungkin juga berbeda.
Yang mendorong pembuatan kalender zonal ini adalah keinginan
kuat untuk mempertahankan prinsip rukyat. Berhubung rukyat tidak
mengkaver seluruh permukaan bumi pada saat tampakkan pertama
hilal, maka oleh karena itu dunia dibagi ke dalam sejumlah zona
tanggal agar masing-masing zona itu memasuki bulan qamariyah
baru sesuai dengan rukyat yang terjadi (walaupun rukyatnya bukan
rukyat langsung melainkan telah ditransfer).19
Ada sebuah gambaran kalender yang tampaknya diklaim
sebagai dasar pijakan pembuatan kalender internasional oleh beberapa
kalender lain.
a. Kalender Ummul Qura
Kalender Ummul Qura adalah kalender resmi yang digunakan
oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Kalender ini dipersiapkan oleh
Institut Penelitian Astronomi dan Geografi di bawah King Abdul Aziz
City for Science and Technology (KACST) berdasarkan teori modern

19. Misalnya ditranfer dari Maroko (ujung barat Dunia Islam) ke Ind -
nesia (ujung timur Dunia Islam) yang jaraknya 7 jam, dalam arti bila bulan telah
terukyat di Maroko, maka rukyat itu ditranfer dan berlaku bagi orang Indonesia,
sehingga karena itu kedua negara itu memasuki bulan qamariyah baru pada hari
yang sama.

68 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syari dan Astronomi

astronomi tentang matahari dan bulan. Kalender ini digunakan untuk


keperluan-keperluan sivil saja dan tidak digunakan untuk menentukan
hari-hari keagamaan seperti Ramadan, Syawwal dan Dzulhijjah.
Khusus untuk ketiga momen agama ini kewenangan penentuannya
berada di tangan Majelis al-Qada al-Ala (Majelis Yudisial Agung).
Berdasarkan prinsip rukyat seringkali majelis ini menetapkan ketiga
bulan itu berbeda dengan yang tercantum dalam kalender Ummul
Qura. Majelis al-Qada al-Ala sendiri juga menggunakan kalender
Ummul Qura untuk kepentingan administrasi dan sivil lainnya.
Kalender Ummul Qura diikuti oleh banyak juga masyarakat
muslim di luar Arab Saudi. Beberapa tetangga dari kerajaan minyak
ini, seperti Qatar dan Bahrain menggunakan kalender ini. Begitu pula
masyarakat muslim di Negara-negara non Islam cenderung mengikuti
kalender ini seperti di masjid-masjid yang dengan dana Arab Saudi.
Dalam Software computer modern, kalender Ummul Qura menjadi
kalender hijriyah default dalam setting Arab Microsoft Vista.20
Kalender ini merupakan pelanjut dari kedua kalender
sebelumnya, yaitu Kalender Najd dan Kalender Kerajaan Arab Saudi.
Kedua kalender ini dapat dipadukan dan diberi nama kalender
Ummul Qura.21 Sebelum mencapai bentuk final seperti sekarang
kalender Ummul Qura telah mengalami perubahan-perubahan
prinsip. Menurut Zaki al-Mustofa an Yasir Mahfud Hafis, keduanya
dari Pusat Ilmu dan Tehnologi Raja Abdul Aziz (King Abdul Aziz City
for Science and Technology), kalender ini telah mengalami empat tahap
perkembangan:
a. Fase pertama, sejak tahun 1370/1950 hingga tahun 1392/1972.
Pada fase ini digunakan prinsip bahwa bulan qamariyah baru
dimulai pada keesokan hari apabila menurut perhitungan
hilalnya pada tanggal 29 bulan berjalan di atas ufuk pada
ketinggian 9 pada saat matahari tenggelam (tidak keterangan
apakah ketinggian dimaksud adalah di ufuk Makkah atau
Riyad).22

20. Aslaksen, The Umm al-Qura Calendar of Saudi Arabia, (http://


www.phys.uu.nl/-vgent/islam/ummalqura.htm), akses 24-08-2009.
21. Qadi, Dirasah Falakiyyah Muqaranah li Yaumai ad-Dukhul ar-Rasmi
wa al-Falaki li Syahr Ramadan fi al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Saudiyyah li al-
Fatrah 1380-1425 H, dalam AACII, h. 98-99 (teks Arab).
22. Menurut Abd al-Munim Qadi, fase ini sejak 1346/1972.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 69


Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA

b. Fase kedua, sejak tahun 1393/1973 hingga tahun 1419/1998.


Pada ini digunakan prinsip pembuatan kalender bahwa apabila
terjadi konjungsi pada tanggal 29 bulan berjalan sebelum pukul
00.00 (tengah malam) menurut waktu universal (GMT), maka
malam itu dan keesokan harinya adalah bulan baru. Prinsip ini
menimbulkan masalah karena beda waktu 3 jam antara Arab
Saudi dan Greenwich mengakibatkan bisa terjadi bahwa bulan
baru di Makkah telah mulai padahal belum terjadi konjungsi.
Misalnya konjungsi terjadi pada pukul 21.00 WU, maka di
Makkah adalah pukul 00,00 dan saat itu matahari sudah
tenggelam.
c. Fase ketiga, sejak tahun 1419/1998 hingga pada tahun
1422/2002. Pada fase ini digunakan prinsip bulan terbenam
setelah terbenamnya matahari (Moonset after sunset) di kota
mulia Makkah dan pada fase ini pertama kalinya digunakan
koordinat Kabah guna membuat kalender. Prinsip ini juga
masih membawa kemuskilan karena bisa saja bulan terbenam
sesudah terbenamnya matahari, namun pada saat terbenamnya
matahari konjungsi belum terjadi, namun pada saat terbenamnya
matahari konjungsi bulan terjadi, sehingga berakibat memasuki
bulan baru di saat bulan belum terjadi ijtima. Sebagai contoh,
adalah kasus bulan Rajab 1424 H (27 Agustus 2003). Konjungsi
terjadi hari Rabu 27 Agustus 2003 pada pukul 20.26 waktu
Makkah. Matahari pada hari itu terbenam pada pukul 18.45 dan
bulan terbenam 8 menit kemudian, yakni pukul 18.53. Di sini
bulan terbenam sesudah terbenamnya matahari, namun saat itu
belum terjadi konjungsi.
d. Fase keempat, sejak 1423/2003 hingga sekarang. Pada fase ini
digunakan prinsip yang didasarkan kepada dua kriteria, yaitu (1)
pada tanggal 29 bulan berjalan telah terjadi konjungsi (meskipun
hanya beberapa detik) sebelum terbenamnya matahari, dan (2)
bulan terbenam sesudah terbenamnya matahari (bulan di atas
ufuk saat matahari terbenam). Apabila kriteria ini terpenuhi,
maka malam itu dan keesokan harinya adalah bulan baru.
Fase ini mempunyai kriteria yang sama dengan kriteria
bulan baru dalam hisab hakiki yaitu wujudul hilal yang digunakan
dilingkungan Muhammadiyah. Paham Muhammadiyah mengenai
hisab ini memiliki tiga criteria dalam bulan baru, yaitu pertama, telah

70 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syari dan Astronomi

terjadi konjungsi atau ijtima. Kedua, konjungsi atau ijtima terjadi


sebelum matahari terbenam, dan yang ketiga, pada saat terbenamnya
matahari bulan berada di atas ufuk.23 Oleh Jamaluddin Abd ar-Raziq
kalender Ummul Qura ini dijadikan pijakan untuk membuat kalender
terpadu atau unifikasi yang bernama Kalender Kamariyah Islam
Terpadu dan juga dinamakan Kalender Ummul Qura Revisi.24
b. Kalender Zonal
Kalender Zonal ini terbagi menjadi beberapa konsep kalender
yang dijadikan pilihan dalam pembuatan Kalender Islam Internasional,
yakni:
1. Kalender Ilyas
Dalam proses pencetusan pembuatan Kalender Islam
Internasional ini ternyata sudah lama dimulai oleh Mohammad
Ilyas dari Malaysia sejak zaman modern ini. Pencetusan kalender
ini dimulai sejak decade ke-8 abad lalu. Ia menulis dan mengedit
sejumlah buku untuk tujuan pembuatan kalender ini. Kalender
cetusan Mohammad Ilyas ini didasarkan kepada dua hal:
1. Hisab imkanurrukyah sekaligus sebagai fungsi untuk
menemukan.
2. Garis Tanggal Kamariyah Internasional (Internasional Lunar
Date Line).25

Hisab imkanurrukyah ini menggunakan kriteria yang


merupakan kombinasi dua parameter ketinggian relatif
geosentrik (geocentric relative altitude) dan parameter azimuth
relatif (relative azimuth) dan dalam hisab ini hanya ada satu
kategori imkanurrukyah, rukyat dengan mata telanjang saja.26

23. Oman Fathurrahman, Kalender Muhammadiyah: Konsep dan I -


plementasinya, makalah untuk Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogya-
karta, 29-30 Juli 2006, h.9.
24.Lihat Syamsul Anwar, Perkembangan Pemikiran Tentang Kalender
Islam Internasional, Makalah disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab dan
Fiqih Muhammadiyah, Yogyakarta: 24-26 Juni 2008.
25. Di antaranya New Moons Visibility and International Islamic Calendar
for The Asia-Pasific Religion, 1407 H-1421 H (Islamabad-Kuala Lumpur: OIC dan
RISEAP, 1414/1994); Unified World Islamic Calendar: Sharia Science and Global-
ization (Penang, Malaysia: International Islamic Calendar Programme, 2001).
26.Dikutip oleh Audah, At-Taqwin al-Hijri al-Alami, http://www.
icoproject.org/pdf/2001_UHD.pdf, h.2, akses 25-8-2009.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 71


Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA

Hisab imkanurrukyat dilakukan tidak hanya pada tempat


tertentu, melainkan secara global. Hisab dilakukan di berbagai
tempat di muka bumi untuk menemukan titik imkanurrukyat.
Misalnya hisab dimulai dari garis lintang 0 guna menemukan
titik visibilitas hilal pertama. Kemudian dilakukan hisab pada
garis lintang berikutnya ke utara dan ke selatan dengan interval
5 sampai 15 guna menemukan titik imkanurrukyat. Bilamana
itu semua telah selesai dilakukan dan telah ditemukan titik-titik
imkanurrukyat, maka titik-titik visibilitas pertama rukyat itu
dihubungkan satu sama dengan sebuah garis, sehingga akan
ditemukan suatu garis lengkung (parabolic) yang lengkungannya
menjorok ke timur. Garis itu akan memisahkan dua kawasan
bumi, kawasan sebelah barat garis dan kawasan sebelah timur.
Kawasan sebelah barat adalah kawasan yang mungkin bisa
merukyat hilal dan kawasan sebelah timur adalah kawasan
yang tidak mungkin terjadi rukyat, dengan suatu catatan bahwa
garis itu tidak bersifat eksak. Garis itulah yang disebut dengan
Garis Tanggal Kamariyah Internasional (GTKI). Seperti halnya
Garis Tanggal Internasional yang berlaku sekarang, GTKI
berfungsi menjadi batas tanggal kamariyah, dalam arti kawasan
sebelah barat garis memasuki bulan baru, sementara kawasan
di sebelah timur yang tidak mungkin rukyat belum mulai bulan
baru. Karena tampakan hilal yang tidak tetap setiap bulan, maka
GTKI ini muncul secara berpindah-pindah dari bulan ke bulan.
Garis ini, apabila membelah dua suatu Negara, dapat ditarik
kea rah timur sesuai dengan batas Negara bersangkutan. Atas
dasar GTKI ini, Mohammad Ilyas merumuskan suatu kalender
Islam Internasional, namun bersifat zonal, dan membagi bumi
ke dalam tiga zona tanggal, yaitu zona Asia-Fasifik, zona Eropa,
Asia Barat dan Afrika, dan zona Amerika.
Kalender Mohammad Ilyas ini dipromosikan oleh suatu
badan dari University of Science Malaysia yang disebut
Internasional Islamic Calender Programme. Kesulitan dengan
GTKI dari Mohammad Ilyas ini adalah bersifat tidak tetap
dan berpindah-pindahnya garis tanggal tersebut setiap bulan.
Pertanyaan yang timbul sehubungan dengan GTKI ini adalah
apakah garis tersebut hanya membatasi tanggal saja atau juga
berlaku untuk mendefinisikan hari. Kalau hanya berlaku untuk

72 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syari dan Astronomi

membatasi tanggal saja, maka pada bulan tertentu akan terjadi


akibat berupa adanya dua tanggal hijriyah berbeda untuk satu
hari yang sama. Apabila GTKI dijadikan juga dasar untuk
mendefinikan hari, akibatnya adalah bahwa di dunia akan
terdapat dua hari yang berbeda, hari yang didefinikan menurut
Garis Tanggal Internasional dan hari menurut Garis Tanggal
Kamariyah Internasioanl. Ini akan lebih banyak menimbulkan
problem daripada menyelesaikan problem.
2. Konsep Kalender Usulan Qasum (1993 dan 1997)
Konsep ini yang dicetuskan oleh Qasum al-Atbi dan Mizyan
dalam bukunya telah diterbitkan dengan judul Isbat asy-Syuhur
al-Hilaliyyah wa Musykilat at-Tauqit al-Islami. Menurut Qasum,
buku ini merupakan karya ilmiyah pertama dalam bahasa Arab
pada zaman modern yang menyajikan hasil-hasil kajian ilmiyah
modern mengenai masalah kalender secara kritis dan rinci.
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa persoalan kita tidak hanya
berkutat di sekitar masalah rukyat belaka, meskipun buku
ini sendiri melakukan kajian rinci menyangkut hal ini, tetapi
persoalan kita lebih luas, yaitu menyangkut juga bagaimana
membangun system penjadwalan waktu yang sesuai dengan
kaidah syariah. Di samping itu buku ini juga menyajikan sisi
fikih dari permasalahan.
Berangkat dari analisis astronomi sekaligus fikih, buku
ini mencoba membuat suatu usulan kalender kamariyah
internasional. Kalender yang diusulkan didasarkan kepada
pembagian kawasan dunia menjadi empat zona tanggal sebagai
berikut:
1. Zona pertama dari posisi 150 BT hingga 75 BT, yang
meliputi Asia Selatan, Timur dan Tenggara (India, Cina,
Indonesia, Malaysia dst).
2. Zona kedua dari posisi 75 BT hingga 30 BT, yang meliputi
Jazirah Arab, Syam, Iran, Afganistan, bekas Soviet dan
Rusia.
3. Zona ketiga dari posisi 30 BT hingga 15 BB, yang meliputi
Afrika dan Eropa.
4. Zona keempat dari posisi 45 BB hingga 120 BB, yang
meliputi Amerika Utara dan Amerika Selatan.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 73


Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA

Garis-garis yang membatasi keempat zona di atas sekaligus


merupakan garis-garis batas tanggal kamariyah. Karena ada
empat garis yang membatasi empat zona, maka berarti ada
empat garis batas tanggal, yang berfungsi secara bergantian
setiap bulan sesuai dengan tempat di mana pertama kali terjadi
visibilitas hilal. Pada setiap zona tanggal disatukan, namun
tanggal bisa berbeda antara satu zona dengan zona lain. Apabila
hilal terukyat pada zona pertama berdasarkan model yang
dikemukakan oleh Schaefer, maka seluruh zona akan memulai
bulan baru secara serentak dan garis batas tanggalnya adalah
garis batas timur zona pertama. Akan tetapi apabila visibilitas
hilal terjadi pada zona kedua, maka zona pertama mulai bulan
baru terlambat satu hari dari zona-zona lainnya dan batas
antara zona kedua dan pertama menjadi garis batas tanggal.
Apabila hilal terlihat pertama kali pada zona ketiga, maka zona
kedua dan pertama mulai bulan baru terlambat satu hari dari
zona ketiga dan keempat dan batas antara zona ketiga dan zona
kedua menjadi garis batas tanggal. Begitulah seterusnya.
Pertanyaan yang timbul sehubungan dengan usulan ini adalah
bahwa kalender ini tidak menyatukan, melainkan membagi
dunia ke dalam sejumlah zona. Di samping itu pembagian zona
tersebut tampak agak arbitrer dan tidak komprehensif, karena
masih ada kawasan bumi yang tidak masuk ke dalam salah satu
zona di atas, yaitu kawasan seluas 80, yaitu posisi 150 BT ke
timur melewati Garis Tanggal Internasional. Hingga 120 BB.
3. Kalender Qasum Audah
Belakangan Qasum mengusulkan kalender yang lebih baru
dengan prinsip bagaimana menyesuaikan jadwal penanggalan
pada kelender dengan kemungkinan rukyat. Qasum
menamakan kalender ini dengan Kalender Qasum Audah,
karena mengambil prinsip bizonal dan kriteria imkanurukyat
dari Audah. Oleh karena itu pilihannya masih pada model
kalender zonal dengan membagi dunia menurut zona-zona
tanggal. Prinsip kalender usulan baru tersebut adalah:
1. Dunia dibagi menjadi dua zona, yaitu zona barat yang
meliputi benua Amerika dan zona timur yang meliputi
bagian dunia lainnya.

74 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syari dan Astronomi

2. Bulan kamariyah baru dimulai di kedua zona itu pada


hari berikutnya apabila konjungsi terjadi sebelum fajar di
Makkah.
3. Bulan kamariyah baru akan dimulai pada hari berikutnya
di zona barat dan ditunda sehari pada zona timur apabila
konjungsi terjadi antara fajar di Makkah dan pukul 12.00
WU.27
Apabila diingat bahwa selisih antara waktu Makkah dan
waktu universal (WU) adalah 3 jam, maka bila fajar terbit
di Makkah sekitar pukul 04.30 pagi, maka itu sama dengan
pukul 01.30 WU. Dengan demikian tampak bahwa rumusan
kalender Qasum Audah yang dibuat oleh Nidal Qasum ini bisa
dirumuskan, pertama apabila konjungsi terjadi antara pukul
12.00 WU siang hari dan sekitar pukul 01.30 WU tengah malam,
maka di seluruh dunia bulan baru dimulai pada hari berikutnya.
Dan kedua, apabila konjungsi terjadi antara sekitar pukul 01.30
WU tengah malam dan pukul 12.00 WU siang hari, maka bulan
baru kamariyah dimulai pada hari berikutnya di zona barat dan
ditunda sehari di zona timur. Kaidah kalender ini nampaknya
mengambil kaidah kalender Jamaluddin dengan pengalami
perubahan di sana sini, kemudian diterapkan kepada kalender
berdasarkan prinsip bizonal. Perbedaannya adalah bahwa
dalam kalender Jamaluddin waktu tengah malam itu adalah
pukul 00.00, sementara dalam kalender Qasum Audah waktu
tengah malam WU itu adalah sekitar pukul 01.30 WU sesuai
saat terbit fajar di Makkah. Bila Jamaluddin menerapkan kaidah
ini terhadap kalender unifikasi, maka Qasum menerapkannya
terhadap kalender bizonal. Berhubung kaidah kalender seperti
ini diambil oleh Jamaluddin dari kaidah Kalender Ummaul
Qura tahap dua, maka karena itu Qasum itu menyatakan
bahwa kalender ini adalah revisi terhadap kalender Ummul
Qura, seperti halnya kalender Jamaluddin juga revisi terhadap
Kalender Ummul Qura.28

27. Qasum, Akhir al-Muqtarahat li hall Musykilat at-Taqwin al-Islami, d -


lam AACII, h. 94 (teks Arab).
28. Lihat Syamsul Anwar, Perkembangan Pemikiran Tentang Kalender
Islam Internasional, Makalah disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab dan
Fiqih Muhammadiyah, Yogyakarta: 24-26 Juni 2008.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 75


Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA

Kalender ini berupaya untuk menyesuaikan permulaan


bulan baru dengan terjadinya kemungkinan rukyat di suatu
tempat di dunia. Akan tetapi kelemahannya adalah pertama,
berdasarkan penelitian kemungkinan rukyat, dimungkinan
terjadi bahwa Bulan telah muncul, namun kalender ini belum
memulai bulan baru dan kedua, tidak menyatukan melainkan
membagi dunia terpecah dalam dua zona tanggal.
4. Kalender Hijriyah Universal
Dengan Kalender Hijriyah Universal dimaksudkan suatu
system kalender yang dibuat oleh Komite Hilal, Kalender dan
Mawaqit di bawah organisasi Arab Union for Astronomy and
Space Sciences (AUASS) di mana salah seorang pendirinya
adalah Ir. Muhammad Syaukat Audah. Kalender ini pertama
kali diperkenalkan dalam Konferensi Astronomi Islam II yang
diselenggarakan oleh AUASS di Amman, Yordania, tahun
2001.29
Kalender ini mengalami beberapa perkembangan, ketika
diintrodusir pertama kali dalam Konferensi Astronomi Islam
II, 2001, Kalender ini merupakan kalender bizonal berdasarkan
prinsip imkanurrukyat dengan kriteria imkanurrukyat yang
dikembangkan oleh Yallop.30 Kemudian dikembangkan
menjadi kalender trizonal dengan dasar criteria imkanurrukyat
yang sama. Kemudian setelah Audah merumuskan kriteria
imkanurrukyat baru, kalender ini menggunakan criteria Audah
tersebut. Dengan berjalannya waktu dan berkembangnya
diskusi kalender Islam internasional, kalender ini dikembalikan
kepada bentuk semula, yaitu kalender ini sekarang menajdi
kalender resmi AUASS, selain itu digunakan secara resmi oleh
dua Negara, yaitu Yordania dan Aljazair.31
Kaidah pokok yang menjadi landasan dari Kalender Hijriyah
Universal ini adalah dua prinsip pokok berikut:
1) Bahwa bumi dibagi menjadikan dua zona tanggal, sebagai
berikut:

29.Universal Hejric Calendar (UHC),http://www.icoproject.org/uhc.


html, akses 27 August 2009.
30.Syamsul Anwar. Dalam Musyawarah Ahli Hisab dan Fiqih Muha -
madiyah, h. 12.
31.Universal Hejric Calendar (UHC),.

76 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syari dan Astronomi

a) Zona Kalender Hijriyah Timur, yang meliputi kawasan


dari garis 180 BT ke arah barat hingga 20 BB, yang
mencakup empat benua (Australia, Asia, Afrika,
dan Eropa) dan dunia Islam seluruhnya termasuk di
dalamnya.
b) Zona Kalender Hijriyah Barat, yang meliputi kawasan
dari posisi 20 BB hingga mencakup kawasan barat
Amerika Utara dan Amerika Selatan.
2) Bulan baru dimulai pada keesokan hari di masing-masing
zona bila pada tanggal 29 sore bulan berjalan dimungkinkan
terjadi rukyat di daratan zona bersangkutan, baik dengan
mata telanjang maupun dengan teleskop, berdasarkan
kriteria imkanurrukyat Audah.
Kriteria imkanurrukyat Audah ini merupakan kombinasi
dua parameter, yaitu 1) lebar hilal (crescents width), 2) busur
rukyat (arc of vision) yang dituangkan dalam suatu rumus yang
menggambarkan tingkat-tingkat imkanurrukyat. Ada lima
kategori imkanurrukyat dalam kriteria Audah, yaitu:
1. Rukyat dengan mata telanjang secara mudah.
2. Rukyat dengan alat optic, tetapi dapat juga dengan mata
telanjang dengan sedikit sukar.
3. Rukyat dengan alat optic.
4. Rukyat tidak mungkin.
5. Rukyat mustahil.
Kalender Hijriyah Universal memegangi tiga kategori rukyat
pertama yang terjadi di daratan. Apabila di daratan dari masing-
masing zona terjadi rukyat menurut salah satu dari tiga kategori
pertama, maka bulan baru dimulai keesokan harinya.
Perlu diketahui berdasarkan dua kaidah kalender di atas,
tanggal akan dimulai pada hari yang sama apabila visibilitas
hilal terjadi di daratan Zona Timur, karena Zona Barat selalu
mengikuti Zona Timur dan Bulan bergerak dari timur ke barat
dengan semakin meninggi di mana apabila hilal terlihat di Zona
Timur, otomatis terlihat pula di Zona Barat. Akan tetapi apabila
pada tanggal 29 bulan berjalan visibilitas pertama hilal terjadi
di Zona Barat, seperti halnya bulan Syawal 1428 H tahun lalu di
mana hilalnya terlihat pertama kali sore Kamis 11 Oktober 2007

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 77


Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA

M di Zona Barat, dan tidak terlihat di Zona Timur, maka akan


terjadi perbedaan memulai bulan baru. Dalam keadaan seperti
itu Zona Barat memasuki bulan baru lebih dahulu dan tanggal
baru tertunda sehari di Zona Timur. Menurut Kalender Hijriyah
Universal Zona Timur, 1 Syawal 1428 H jatuh hari Sabtu tanggal
13 Oktober 2007 karena hilal tidak terlihat di Zona itu pada hari
Kamis 11 Oktober 2007. Akan tetapi Kelender Hijriyah Zona
Barat menjatuhkannya pada hari Jumat tanggal 12 Oktober
2007, karena hilal terlihat di Zona bersangkutan pada hari
Kamis 11 Oktober 2007. Selain itu perlu diketahui, bahwa hilal
harus terukyat di daratan, sekalipun rukyatnya hanya dengan
alat optic. Apabila hilal terlihat hanya dari lautan dan tidak
dapat dilihat dari daratan manapun, maka dipandang belum
terukyat.
Kelemahan Kalender Hijriyah Universal adalah sama
dengan kelemahan seluruh kalender zonal, yaitu mengorbankan
kesatuan dan prinsip satu hari satu tanggal di seluruh dunia,
demi mempertahankan rukyat. Sesungguhnya bukan rukyat
factual yang dipertahankan, melainkan adalah rukyat yang
diperkirakan terjadi atau imkaurrukyat. Selain itu juga kalender
zonal ini akan menimbulkan perbedaan tanggal 9 Dzulhijjah pada
tahun tertentu sehingga menimbulkan masalah pelaksanaan
puasa Arafah bagi orang di Zona Barat.
c. Kalender Unifikasi
Usul untuk kalender hijriyah yang lain menyatakan seluruh
dunia pertama kali digagas oleh Jamaluddin Abd ar-Raziq dari
Maroko. Ia menamakan kalender usulannya at-Taqwin al-Qamari
al-Islami al-Muwahhad (Kalender Kamariyah Islam Unifikasi atau
Terpadu). Upaya Jamaluddin ini memang dapat dikatakan sebagai
suatu proyek yang amat ambisius karena ingin menyatukan seluruh
dunia dalam satu system penjadwalan waktu yang terpadu atau
terunifikasi dengan prinsip satu hari satu tanggal dan satu tanggal satu
hari di seluruh dunia. Hal ini berangkat dari keprihatinan Jamaluddin
atas kenyataan bahwa dalam dunia Islam sering terjadi satu tanggal
meliputi beberapa hari seperti tanggal 1 Syawal 1428 H tahun lalu
yang jatuh pada empat hari berlainan, sejak hari Kamis, Jumat, Sabtu
hingga Ahad di berbagai belahan bumi. Sebaliknya hari Jumat 12

78 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syari dan Astronomi

Oktober 2007 tahun lalu diberi empat tanggal berbeda di berbagai


tempat, 2 Syawal, 1 Syawal, 30 Ramadan, dan 29 Ramadan.
Kalender Jamaluddin ini merupakan upaya pembuatan
system penjadwalan waktu Islam terkini yang paling komprehensif.
Untuk tujuan ini ia telah melakukan riset dalam waktu yang lama dan
melakukan pengujian terhadap 60 bulan kamariyah ke depan dari
mulai tahun 1421 H hingga 1470 H. Hasil penelitiannya dituangkan
dalam bukunya yang berjudul at-Taqwin al-Qamari al-Islami al-Muwahhad
(Calendarier Lunairer Islamique Unifie), dan dalam berbagai artikel.
Menurut Jamaluddin ada tiga prinsip dasar yang harus
diterima untuk dapat membuat suatu kalender kamariyah
internasional. Ketiga prinsip dimaksud adalah pertama, prinsip hisab.
Hal itu adalah karena kita tidak mungkin membuat suatu kalender
dengan rukyat, karena kalender harus dibuat untuk waktu yang jauh
lebih lama dan sekaligus harus dapat menentukan tanggal di masa
lalu secara konsisten. Penolakan terhadap hisab berarti pembubaran
seluruh upaya penyusunan kalender. Kedua, prinsip transfer rukyat,
yaitu apabila terjadi rukyat di kawasan ujung barat, maka rukyat itu
ditransfer ke timur untuk diberlakukan bagi kawasan ujung timur,
meskipun di situ belum mungkin rukyat, dengan ketentuan kawasan
ini telah mengalami konjungsi sebelum pukul 00.00 waktu setempat,
kecuali kawasan GMT + 14 jam, terhadapnya berlaku konjungsi Kiribati
bagian timur, terhadapnya berlaku konjungsi sebelum fajar. Ketiga,
penentuan permulaan hari. Banyak pendapat mengenai kapan hari
dimulai. Umumnya banyak memegangi pendapat bahwa dimulainya
hari sejak terbit fajar. Dalam perdebatan ini Jamaluddin berpendapat
bahwa kita harus menerima konvensi dunia tentang hari, yaitu dimulai
sejak tengah malam di garis bujur 180.
Menurut Jamaluddin adalah mustahil untuk menjadikan
terbenamnya matahari atau terbit fajar sebagai permulaan hari dan
system waktu. Ada tiga alasan yang menjadi dasar pertimbangan
dalam hal ini. Alasan pertama, gurub dan terbit fajar pada tempat
tertentu berubah-ubah dan tidak konstan dari satu hari ke hari lain.
Alasan kedua, waktu gurub dan terbit fajar itu terkait dengan lokasi
tertentu sehingga system waktu seperti itu tidak dapat diberlakukan
secara umum ke seluruh negeri. Alasan ketiga, waktu-waktu ibadah
tidak terpengaruh oleh penggunaan system waktu internasional

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 79


Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA

dan konsep malam dan siang bagi kewajiban puasa melampaui


konsep hari. Apabila kita menganggap permulaan yuridis dari bulan
Ramadan adalah pada pukul 00.00 hari Ahad, misalnya, maka hal itu
tidaklah berarti adanya suatu pertentangan atau kontradiksi dengan
kita memulai salat tarawih sesudah matahari terbenam.
Ada tujuh syarat yang harus diupayakan terpenuhi oleh suatu
kalender untuk menjadi kalender kamariyah internasional unifikasi,
meskipun harus ada beberapa perkecualian. Syarat-syarat yang
dimaksud adalah:
1) Syarat Kalender, yaitu memposisikan hari dalam aliran waktu
secara tanpa kacau dengan prinsip satu hari satu tanggal dan
satu tanggal satu hari di seluruh dunia, dan jangan sampai
terjadi satu hari dua tanggal atau lebih dan seterusnya.
2) Syarat bulan kamariyah, yaitu berdasarkan peredaran factual
Bulan (qamar) di langit.
3) Syarat kelahiran Bulan, yaitu tidak boleh masuk bulan baru
sebelum kelahiran Bulan atau konjungsi, karena itu berarti
memasuki bulan baru sementara Bulan di langit belum
menggenapkan putaran sinodisnya, khususnya bagi kawasan
ujung timur, kecuali zona waktu GMT + 14 jam, yaitu bagian
Kepulauan Kiribati yang terletak di sebelah timur Garis Tanggal
Internasional sebelum tahun 1995, dan yang di mana terletak
titik K ( = 10 LS dan = 151 BB, ada pembelokan garis
tanggal) yang menandai tempat pertama terbit fajar setiap hari
di dunia.
4) Syarat imkanurrukyat, yaitu untuk masuk bulan baru hilal
harus mungkin terlihat, khususnya bagi kawasan ujung barat
yang memiliki peluang pertama rukyat.
5) Syarat tidak boleh menunda masuk bulan baru ketika hilal telah
terlihat secara jelas dengan mata telanjang.
6) Syarat penyatuan, yaitu berlaku di seluruh dunia secara terpadu
tanpa membagi-bagi bumi ke dalam sejumlah zona.
7) Syarat global, yaitu bahwa system waktu yang terapkan sejalan
dengan kesepakatan dunia tentang waktu.
Lebih lanjut hal yang amat penting dalam Kalender Kamariyah
Islam Unifikasi usulan Jamaluddin ini adalah kaidah hisab kalender.
Menurut Jamaluddin suatu kalender harus berdasarkan kepada suatu

80 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syari dan Astronomi

kaidah hisab yang sederhana, dalam arti mudah diterapkan, pasti,


dalam arti tidak bersifat probabilitas dan konsisten, dalam arti tidak
diintervensi oleh campur tangan manusia. Kaidah seperti itu diperoleh
dari suatu pendekatan global terhadap gerak bulan dalam kaitannya
dengan apa yang oleh Jamaluddin disebut sebagai Hari Universal
dan diilhami oleh Kalender Ummul Qura tahap 2, sehingga kalender
unifikasi ini oleh perancangnya disebut pula Kalender Ummul Qura
Revisi.
Dengan Hari Universal dimaksudkan lama (durasi) waktu
suatu hari dari pukul 00:00 hingga pukul 00:00 berikutnya di seluruh
dunia, tidak pada lokasi tertentu. Memang bilamana kita berada di
lokasi tertentu, misalnya di kota Yogyakarta atau kota lainnya, maka
kita mengalami suatu hari hanya 24 jam lamanya. Akan tetapi durasi
waktu dari Hari Universal di seluruh dunia adalah 48 jam. Hari Jumat,
misalnya, di seluruh dunia lamanya adalah 48 jam. Hari Jumat itu
mulai pada garis bujur 180 BT pada pukul 00:00 (waktu setempat) dan
berakhir pada garis bujur 180 BB (kedua garis bujur ini berdempet)
pada pukul 00:00 waktu setempat malam Sabtu. Lama waktu tersebut
adalah 48 jam. Untuk mudah memahaminya mari kita hitung secara
sederhana. Dari pukul 00:00 waktu setempat di zona WU +12 jam
hingga pukul 12:00 siang hari Jumat saat orang di zona waktu +12
jam (zona ujung timur) melakukan salat Jumat di tempat yang sama,
lamanya waktu (bumi berputar pada sumbunya) adalah 12 jam.
Kemudian bumi terus berputar sebesar 15 (1 jam) sehingga waktu
salat Jumat (pukul 12:00) masuk di zona waktu universal + 11 jam.
Begitulah bumi berputar terus sebesar 15 (1 jam) melewati
keseluruhan 24 zona waktu orang mengerjakan salat Jumat di seluruh
dunia sampai putaran bumi pada garis bujur 180 BB (yang juga adalah
garis bujur 180 BT) di mana matahari melintas di atas garis itu, dan
putaran melewati 24 zona waktu itu adalah 24 jam lamanya. Kemudian
lama waktu dari pukul 12.00 pada zona waktu universal 12 jam (zona
waktu ujung barat) hingga berakhirnya hari Jumat di zona waktu
yang sama tengah malam Sabtu adalah 12 jam. Jadi 12 jam dari tengah
malam Jumat hingga siang Jumat ditambah 24 jam perputaran bumi
saat di mana orang mengerjakan salat Jumat di seluruh dunia sejak
dari garis bujur 180 BT hingga 180 BB dan ditambah lagi 12 jam sejak
siang Jumat hingga tengah malam Sabtu di zona ujung barat jumlahnya

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 81


Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA

adalah 48 jam. Jadi hari Jumat itu di seluruh dunia berlangsung 48 jam
dan itulah yang disebut Hari Universal. Sama dengan hari Jumat adalah
hari-hari lainnya. Ciri dari Hari Universal itu adalah bahwa permulaan
Hari Universal berikutnya tidak pada saat berakhirnya Hari Universal
sebelumnya, melainkan pada pertengahannya.
Bertitik tolak dari kosep Hari Universal ini, Jamaluddin
merumuskan kaidah hisab untuk Kalender Kamariah Islam Unifikasi
usulannya sebagai berikut:
Apabila waktu konjungsi sama atau lebih besar dari pukul
00:00 dan lebih kecil dari pukul 24:00 dari suatu Hari Universal, maka
awal bulan kamariah baru jatuh pada Hari Universal berikutnya.32
Rumusan ini, karena berangkat dari konsep Hari Universal
yang tidak dengan cepat dapat difahami terutama oleh mereka yang
tidak terbiasa dengan diskursus semacam ini, terasa agak sukar
difahami. Dalam tulisan sebelumnya, Jamaluddn membuat rumusan
kaidah hisab kalendernya dengan formulasi yang lebih mudah dan
cepat difahami, tetapi isinya sama, dengan bertitik tolak dari konsep
hari biasa, yaitu:
1. Apabila J lebih besar dari atau setara dengan 00.00 WU dan lebih
kecil dari 12.00 WU, maka tanggal 1 bulan baru adalah H + 1.
2. Apabila J lebih besar dari atau setara dengan 12.00 WU dan lebih
kecil dari 24.00 WU, maka tanggal 1 bulan baru adalah H+2.33
Kaidah hisab kalender ini sama dengan kaidah hisab kalender
terdahulu, hanya formulasinya saja yang berbeda. Arti kaidah hisab
ini adalah bahwa apabila konjungsi terjadi antara pukul 00:00 WU
dan sebelum pukul 12:00 WU, maka bulan kamariah baru dimulai
keesokan hari konjungsi. Akan tetapi apabila konjungsi terjadi antara
pukul 12:00 WU dan sebelum pukul 24:00 WU, maka bulan baru
dimulai lusa hari konjungsi. Dengan kata lain, apabila konjungsi
terjadi pada periode pagi, maka bulan baru mulai keesokan harinya;
dan apabila konjungsi terjadi pada periode petang, maka bulan baru
mulai lusa. Pukul 00:00 WU hingga menjelang 12:00 WU merupakan
periode pagi, dan pukul 12:00 WU hingga menjelang pukul 24:00 WU

32. Ibid., at-Taqwim al-Islami, h. 14.


33. Ibid., at-Taqwim al-Qamar al-Islami al-Muwahhad, h. 90. J =
jam konjungsi; H = hari.

82 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syari dan Astronomi

merupakan periode petang. Sebagai contoh, konjungsi jelang Syawal


1428 H tahun lalu terjadi pukul 05:02 WU (periode pagi) hari Kamis 11-
10-2008. Oleh karena itu menurut kaidah hisab kalender Jamaluddin
1 Syawal di seluruh dunia jatuh keesokan hari konjungsi, yaitu hari
Jumat 12-10-2008. Contoh lain adalah Zulhijah 1428 H tahun lalu juga.
Konjungsi jelang awal Zulhijah terjadi hari hari Ahad 9 Desember
2007 pukul 17:40 WU (periode petang). Sesuai kaidah hisab kalender
Jamaluddin, maka tanggal 1 Zulhijah 1428 H di seluruh dunia jatuh
lusa hari konjungsi, yaitu hari Selasa 11-12-2008.
Kembali kepada 7 syarat di atas dalam kaitannya dengan
kaidah hisab kalender, perlu diperhatikan bahwa terhadap syarat
ketiga dan juga syarat kelima perlu dibuat pengecualian. Pengecualian
terhadap syarat ketiga adalah karena kenyataan bahwa Negara
Kiribati di Pasifik yang terletak pada posisi antara 170 BT dan 150
BB serta posisi 5 LU dan 10 LS sejak 1 Januari 1995 membelokkan
Garis Tanggal Internasional (GTI) ke timur negeri itu sejauh kurang
lebih 29 sehingga GTI ketika melewati Kepulauan Kiribati tidak lagi
lurus, melainkan membelok dan menjorok jauh ke timur. Semula,
sebelum tahun 1995, GTI lurus dan karena itu membelah dua negeri
tersebut di mana bagian baratnya masuk zona waktu WU + 12 jam
(zona waktu ujung timur) dan bagian timurnya masuk zona WU 12
jam (zona waktu ujung barat). Jadi dalam satu wilayah negara ada dua
hari yang berbeda, yakni bila di bagian barat harinya adalah Kamis,
umpamanya, maka di bagian timur baru hari Rabu. Untuk mengatasi
kesukaran yang timbul karena adanya dua hari berbeda dalam satu
wilayah negara, maka seluruh wilayah Kiribati dimasukkan ke dalam
zona waktu ujung timur, sehingga karenanya ada tambahan baru zona
waktu, yaitu zona waktu WU +13 jam untuk Kiribati bagian tengah dan
zona waktu WU + 14 bagi Kiribati bagian timur. Sementara Kiribati
bagian barat zona waktunya adalah WU + 12 jam.34
Akibat perubahan zona waktu dan pembelokan GTI ini
terhadap kaidah hisab kalender Jamaluddin adalah bahwa apabila
konjungsi terjadi terjadi pada pukul 24:00 dari Hari Universal, maka
bagian tengah dan timur Kiribati akan memasuki bulan kamariah baru

34. Lihat situs-situs tentang Kiribati, a.l. http://www.infoplease.


com/ipa/A0107682. html dan http://www.infoplease.com/ce6/world/
A0827764.html akses 1 - 09 - 2009.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 83


Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA

sebelum kelahiran hilalnya. Sedangkan apabila konjungsi terjadi pada


pukul 23:00 dari Hari Universal, maka bagian timur memasuki bulan
baru pada saat hilalnya belum lahir.
Sedangkan untuk syarat kelima, yaitu tidak boleh menunda
masuk bulan baru apabila hilal sudah terlihat secara jelas, maka
dari 600 bulan (50 tahun) yang telah diuji (dengan kriteria imkanu
rukyat Audah), maka ada dua bulan yang tidak memenuhi syarat
ini karena untuk dua bulan tersebut masuk bulan baru menurut
kaidah kalender terlambat satu hari dari semestinya sesuai dengan
kenyataan imkanu rukyat. Dua bulan dimaksud adalah (1) Zulhijah
1425 H dan (2) Jumadal Ula 1429 H. Konjungsi jelang Zulhijah 1425
H terjadi pukul 12:04 WU hari Senin 10-01-2005 atau pukul 00:04 hari
Selasa 11-01-2005 menurut zona waktu ujung timur (WU + 12 jam).
Menurut kaidah hisab kalender, masuk bulan baru (1 Zulhijah 1425
H) adalah hari Rabu. Kalau masuk bulan baru hari Selasa, akibatnya
zona ujung timur memasuki bulan baru sebelum terjadi konjungsi.
Akan tetapi hisab imkanu rukyat menunjukkan bahwa sore Senin hilal
mungkin dilihat pada suatu kawasan kecil di tepi garis 180 BB, yang
mewajibkan masuk awal bulan baru Zulhijah bagi seluruh dunia pada
hari Selasa 11-01-2005.
Menyangkut bulan Jumadal Ula 1429 H, konjungsi jelang
awalnya terjadi pada hari Selasa 06-05-2008 pukul 00:19 waktu zona
ujung timur, atau hari Senin 05-05-2008 pukul 12:19 WU. Menurut
kaidah hisab kalender, awal bulan baru Jumadal Ula jatuh pada hari
Rabu 07-05-2008. Akan tetapi menurut hisab imkanu rukyat, pada hari
Senin sore dimungkinkan terjadi rukyat pada suatu kawasan kecil di
tepi garis 180 BB yang mengharuskan awal bulan baru Jumadal Ula
jatuh hari Selasa 06-05-2008 di seluruh dunia.
Kedua kasus di atas terjadi karena waktu konjungsi sangat
dekat dengan batas terjadinya pergantian hari (pukul 00:00) di zona
ujung timur atau dengan batas waktu pergantian periode pagi dan
petang (pukul 12:00 WU) dalam kaidah hisab kalender untuk zona
waktu tengah (WU + 0 jam [GMT]). Untuk kasus pertama (bulan
Zulhijah 1425 H) konjungsi terjadi hanya 4 menit sesudah jam 00:00
di zona ujung timur atau sesudah pukul 12:00 WU. Pada saat jam
menunjukkan pukul 00:04 waktu ujung timur (WU + 12) hari Selasa
(11-01- 2005) di zona tengah jam baru pukul 12:04 tengah hari hari
Senin dan pukul 00:04 tengah malam malam Senin di zona ujung barat
(WU 12 jam). Itu artinya bahwa bila matahari terbenam katakanlah

84 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syari dan Astronomi

pukul 18:00 sore di zona waktu ujung barat (WU 12 jam), maka usia
Bulan akan mencapai 18 jam kurang 4 menit saat matahari sore Senin
terbenam di zona ujung barat (WU 12 jam).
Di sinilah letak masalahnya, karena pada sore Senin itu
dimungkinkan hilal terukyat di zona ujung barat, sebab hilal mungkin
terlihat dalam usia kurang dari 18 jam. Rekord usia terkecil hilal saat
terlihat adalah 15 jam 01 menit yang terlihat di Collins Gap oleh John
Pierre 25-02-1990.35 Jadi semakin banyak konjungsi terjadi mepet
dengan pukul 12:00 WU (00:00 WU + 12 jam), maka semakin banyak
kemunkinan penyimpangan kaidah kalender. Untuk 50 tahun ke depan
(sejak 1421 H s/d 1470 H), ada dua kasus. Untuk tahun-tahun sesudah
1470 H, masih perlu dilakukan penelitian apakah ada penyimpangan
seperti ini atau tidak, dan jika ada barapa banyak.
Oleh Jamaluddin kasus seperti ini dipandang sebagai
perkecualian dan jumlahnya amat kecil, hanya 2/600 atau 0,34 %
paling tidak hingga 1470 H (untuk 600 bulan ke depan dari 1421 H).
Jadi bilamana konjungsi terjadi pada waktu yang sangat mepet dengan
pukul 00:00 di zona ujung timur atau pukul 12:00 di zona tengah (WU +
0 jam), maka terbuka peluang terjadinya kemungkinan penyimpangan
dari kaidah hisab kalender atau terjadinya ketidakkonsistenan kaidah
kalender. Para pendukung kalender zonal menganggap dua hal di atas
sebagai aspek kelemahan kalender unifikasi.
Konsep kalender Jamaluddin ini diikuti oleh beberapa tokoh
dan organisasi Islam. Terinspirasi oleh gagasan Jamaluddin, Khalid
Shaukat dari Amerika Serikat mengemukan kaidah yang sama di
mana ia mengatakan,
1. Titik acu paling logis untuk menentukan kalender kamariah
Islam global adalah Garis Tanggal Internasional;
2. Apabila kelahiran Bulan terjadi antara pukul 00:00 WU dan
pukul 12:00 WU, maka bulan baru Islam dimulai di seluruh
dunia pada hari itu sejak terbenam matahari;
3. Apabila kelahiran Bulan terjadi antara pukukl 12:00 dan pukul
23:59 WU, maka bulan baru Islam dimulai di seluruh dunia
pada hari berikutnya sejak terbenam matahari.36

35. World Record Crescent Observations, <http://www.icoproject.org/


record.html# naked>, akses 1-09-2009.
36. Shaukat, Suggested Global Islamic Calendar, makalah untuk The
Experts Meeting to Study the Subject of Lunar Moths Calculation among Mus-
lims, Rabat 9-10 Desember 2006, dimuat dalam http://www.amastro.ma/articles/
art-ks3.pdf>, h. 4, akses 1-09-2009.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 85


Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA

Pertemuan Ahli untuk Pengkajian Masalah Penentuan Bulan


Kamariah di Kalangan Muslim (Ijtima al-Khubara li Dirasat Maudu
dabt Matali asy-Syuhur inda al-Muslimin) yang berlangsung di Maroko
tanggal 9-10 Desember 2006 merekomendasikan kaidah hisab
kalender yang sama seperti dikemukakan oleh Jamaluddin. Majlis
Fikih Amerika Utara (Fiqh Council of North America / FCNA) juga
mengadopsi kaidah hisab kalender Jamaluddin dan menegaskan,
1. Hisab digunakan untuk menentukan awal bulan baru Islam
dengan mempertimbangkan imkanu rukyat di suatu tempat di
dunia.
2. Untuk menentukan suatu kalender kamariah Islam, digunakan
titik acuan konvensional, yaitu Garis Tanggal Internasional dan
Greenwich Mean Time (GMT).
3. Bulan baru kamariah Islam mulai pada waktu terbenamnya
matahari pada hari di mana konjungsi terjadi sebelum pukul
12:00 tengah hari GMT. Jika konjungsi terjadi sesudah pukul
12:00 WU, maka bulan baru mulai pada saat terbenam matahari
pada hari berikutnya.37
Perubahan yang dibuat oleh Khalid Shaukat dan FCNA
terhadap kaidah hisab Kalender Kamariah Islam Unifikasi Jamaluddin
adalah bahwa hari dalam bulan kamariah dimulai saat terbenamnya
matahari, sementara menurut Jamaluddin sejak tengah malam sesuai
dengan sistem waktu internasional.38
Dari semua analisis di atas tentunya dapat dikaitkan dengan
matlak global yang sangat berhubungan dari sisi tempat munculnya
hilal atau matlak hilal. Maka hal ini harus ada tinjauan berdasarkan
tempat di mana hilal itu muncul. Sebab hal ini berpengaruh terhadap
dasar pembuatan kalender Islam Internasional.

C. Kesimpulan
Setelah menganalisis dari bab sebelumnya, penulis dapat
menyimpulkan bahwa terdahulu telah dikemukakan perkembangan
upaya mencari bentuk kalender Islam internasional. Sejauh ini

37. Dimuat dalam appendix tulisan Louay Safi, Reading, Sighting and
Calculating: From Moon Singting to Astronomical Calculation, <http://lsinsight.
org/articles/Current/Hilal.pdf>, h.13, akses 21-05-2008.
38.Lihat Syamsul Anwar, Dalam Musyawarah Ahli Hisab dan
Fiqih Muhammadiyah, h. 21.

86 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syari dan Astronomi

terdapat dua pandangan besar, yaitu pertama, yang mengemukakan


gagasan kalender zonal yang membagi dunia kepada sejumlah zona
tanggal di mana bisa terjadi perbedaan tanggal kamariah pada zona
yang satu dengan yang lain. Kelemahan kalender ini adalah tidak
mengakomodasi kenyataan globalisasi yang dialami dunia kita
sekarang di mana seharus dalam dunia global sekarang di seluruh
dunia seharusnya berlaku satu tanggal terpadu. Selain itu dapat
menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah dalam hal terjadi
perbedaan tanggal untuk bulan Zulhijah antara satu zona di mana
Mekah berada dengan zona lainnya.
Kedua, sistem kalender unifikasi (terpadu) yang berupaya
menyatukan seluruh dunia dalam satu tanggal di bawah prinsip satu
hari satu tanggal dan satu tanggal satu hari di seluruh dunia. Kalender
ini dapat menghindarkan problem pelaksanaan puasa Arafah karena
tidak akan terjadi perbedaan tanggal lantaran di seluruh dunia hanya
ada satu tanggal yang sama. Kelemahannya adalah bahwa apabila
konjungsi terjadi mepet waktunya dengan pukul 12:00 WU atau pukul
00:00 waktu zona ujung timur, dimungkinkan (meskipun tidak selalu)
terjadi ketidakcocokan dengan kaidah hisab.

D. Kata Penutup
Demikianlah penelitian ini, semoga bermanfaat bagi kita
semua sekaligus sebagai bahan pertimbangan yang harus dikaji ulang
untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Peneliti sangat bersyukur
jika ada saran dan kritik terhadap penulisan penelitian ini.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 87


DAFTAR PUSTAKA

Audah, At-Taqwin al-Hijri al-Alami, http://www.icoproject.org/


pdf/2001_UHD.pdf.
Universal Hejric Calendar (UHC),http://www.icoproject.org/uhc.
html.
World Record Crescent Observations, <http://www.icoproject.org/
record.html# naked>.
Abdurrahman Al-Jazairi, Al-Fiqh ala Madzahib al-Arbaah, Bairut,
Libanon: Dar Al-Fikri, 1990 M/1411 H.
Abi Abdullah Muhammad Ibn Ahmad Al-Anshori Al-Qurthubi, Tafsir
Al-Qurthubi, Al-Qahirah: Dar Al-Shuub.
Akh. Minhaji, Pendekatan Sejarah Dalam Kajian Hukum Islam,
Mukoddimah, No. 8 th. V, 63.
Ali, M. Sayuthi, Ilmu Falak I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Al-Quran Dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Jakarta: Cetakan
Departemen Agama RI, 1978.
Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi, Perbedaan Mathla, Yogyakarta: Lajnah
Taklif Wan Nasjr, Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga,
1971.
Aslaksen, The Umm al-Qura Calendar of Saudi Arabia, (http://
www.phys.uu.nl/-vgent/islam/ummalqura.htm), akses 24-08-
2009.
Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.
Azhari, Susiknan, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2004.
Badan Hisab dan Rukyat Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta:
Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981.
Cecep Nurwendaya,Berlakunya Batas Tanggal Internasional
Awal Bulan Qamariyah, Makalah disampaikan dalam
Musyawarah Nasional Penyatuan Kalender Hijriyah, Jakarta:
17-19 Desember 2005.

88 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Kalender Islam Internasional sebuah Tinjauan Syari dan Astronomi

Djambek, Saaduddin, Waktu dan Djiwal Penjelasan Populer Mengenai


Perjalanan Bumi, Bulan dan Matahari, Jakarta: Tinta Mas, 1952.
Encyclopaedia of Islam, Koninklijke Brill NV, Leiden, The Netherlands,
2005.
Fida, Abu, Makalah Seminar Rukyat dan Hisab Penentuan Awal dan Akhir
Ramadlan pada tanggal , 5 Desember 1999, Bangil: 1999.
Hamdani, Abdullah, Said, Rukyat dan Hisab, Bandung: Al-Maarif,
1952.
Imam Al-Hashfaki, Al-Darrul Mukhtaar wa Raddul Muhtaar.
Imam Muslim, Shahih Muslim bi Sarhi An-Nawawi, Bairut, Libanon:
Dar Al-Fikri, 1983 M/1403 H.
Izzuddin, Ahmad, Fiqh Hisab Rukyat Di Indonesia, Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2003.
Khafid, Garis Tanggal Internasional antara Penanggalan Miladiyah
dan Hijriyah, Makalah disampaikan dalam Musyawarah
Nasional Penyatuan Kalender Hijriyah, Jakarta: 17-19 Desenber
2005.
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktek, Yogyakarta:
Buana Pustaka, 2004.
Marifat Iman,Kapan dan Dimana Hari Dimulai: Tinjauan Fiqh,
Makalah disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab dan
Fiqih Muhammadiyah, Yogyakarta: 24-26 Juni 2008.
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia, cet III, (Bandung: Mizan: 1420 H/1999M).
Moeji Raharto,Di balik Persoalan Awal Bulan Islam dimuat dalam
majalah Forum Dirgantara, No. 02/Th. I/Oktober/1994.
Mohammad Nasir, Metode Penelitian, Jakarta: Gaka Indonesia, 1988.
Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad As-Syaukani, Nailil Authar,
Bairut, Libanon: Dar Al-Fikri, 1994 M/1414 H.
Muhammad Taqiyuddin, al-hilal Explanatory English Translation of
The Meaning of The Holy Quran, (Turkey: Hilal Publicatyion,
t. th.).
New Moons Visibility and International Islamic Calendar for The Asia-Pasific
Religion, 1407 H-1421 H (Islamabad-Kuala Lumpur: OIC dan
RISEAP, 1414/1994); Unified World Islamic Calendar: Sharia

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 89


Taufiqurrahman Kurniawan, S.HI., MA

Science and Globalization (Penang, Malaysia: International


Islamic Calendar Programme, 2001).
Oman Fathurrahman, Kalender Muhammadiyah: Konsep dan
Implementasinya, makalah untuk Musyawarah Ahli Hisab
Muhammadiyah, Yogyakarta, 29-30 Juli 2006.
Qadi, Dirasah Falakiyyah Muqaranah li Yaumai ad-Dukhul ar-Rasmi
wa al-Falaki li Syahr Ramadan fi al-Mamlakah al-Arabiyyah
as-Saudiyyah li al-Fatrah 1380-1425 H, dalam AACII.
Rukyat Dengan Teknologi, Jakarta, Penerbit Gema Insani Press. 1995.
Ruskanda, Farid, dkk, Rukyat dengan Tehnologi Upaya Mencari Kesamaan
Pandangan Tentang Penentuan Ramadlan dan Syawal, (Jakarta:
Gema Insani Press, Cet. I, 1994).
Shaukat, Suggested Global Islamic Calendar, makalah untuk
The Experts Meeting to Study the Subject of Lunar Moths
Calculation among Muslims, Rabat 9-10 Desember 2006,
dimuat dalam http://www.amastro.ma/articles/art-ks3.pdf>.
Situs-situs tentang Kiribati, a.l. http://www.infoplease.com/ipa/
A0107682. html> dan <http://www.infoplease.com/ce6/world/
A0827764.html>.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Jakarta: Rinbika Cipta, 1993.
Susiknan Azhari, Perlu Paradigma Baru Menuju Kalender Islam
Internasional. Dalam Selayang Pandang Hisab Rukyat,
(Jakarta: Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan
Haji Direktorat Pembinaan Agama, 2004).
Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, Yogyakarta: Fak. Psikologi, Gajah
Mada University Press, 1987.
Sutrisno Hadi, Metodologi Research II, Yogyakarta: Fak. Psikologi, Gajah
Mada University Press, 1987.
Syamsul Anwar, Perkembangan Pemikiran Tentang Kalender Islam
Internasional, Makalah disampaikan dalam Musyawarah
Ahli Hisab dan Fiqih Muhammadiyah, Yogyakarta: 24-26 Juni
2008.
Warshon, Munawir, Kamus Arab- Indonesia Al-Munawir, Yogyakarta:
Penerbit Al-Munawir, 1997.

90 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


DAKWAH PADA MASYARAKAT MARGINAL
DI KAMPUNG PECINAN ARGOPURO KUDUS

Oleh Mubasyaroh

Abstrak
Islam sebagai salah satu agama dakwah di dalamnya terdapat
upaya oleh umatnya untuk menyebarluaskan isi kebenaran ajaran
agamanya. Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh oleh dai
dalam aktifitas dakwahnya, seperti ceramah, nasehat, diskusi,
bimbingan dan penyuluhan serta metode yang lain. Dalam hal ini
Quraish Shihab mengingatkan bahwa metode apapun yang baik
tidak menjamin keberhasilan suatu dakwah secara otomatis. Akan
tetapi keberhasilan dakwah ditunjang oleh faktor-faktor yang lain
diantaranya kepribadian dai dan ketepatan pemilihan materi. 1
Demikian pula kegagalan dai disebabkan karena ketidaktepatan
pemilihan materi atau pemilihan metode yang kurang tepat
dan keterbatasan dai dalam pemilihan metode. Disamping itu
kegagalan dakwah juga bisa disebabkan karena tidak sesuai dengan
konteks (situasi dan kondisi)
Islam merupakan agama yang universal, egaliter dan inklusif.
Tiga konsep mendasar itulah yang memberikan nuansa lebih
dibanding berbagai tradisi agama yang lain. Dari prinsip-prinsip
fundamental itu, kemudian melahirkan nilai-nilai dogmatis yang
bisa diejawantahkan dalam tradisi-tradisi demokratis, kosmopolit.
dan pluralis: suatu ciri dari pola peradaban modern yang bervisi
futuristik.
Dakwah Islam dalam pelaksanaannya harus memperhatikan madu
(sasaran dakwah) pada berbagai lapisan masyarakat, termasuk di
dalamnya adalah pada masyarakat marginal yaitu suatu masyarakat

1. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran dan Peranan Wahyu dalam


Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1995, hlm.94

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 91


Mubasyarah

dengan ciri-ciri diantaranya adalah hidup dalam garis kemiskinan,


pekerjaan yang tidak menentu dan terisolasi atau hidup terpisah
dari masyarakat luas.
Kata Kunci: Dakwah Islam, Marginal, Metode Dakwah,Mauidhah
Hasanah

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Agama Islam adalah agama dakwah. Berhasil atau tidaknya
umat Islam dalam mencapai kualitas hidup baik kehidupan dunia
maupun akhirat adalah karena sejauh mana dakwah bisa mengajak
umat untuk berbuat kebaikan, memperkuat akidah, akhlak, dan kualitas
muamalah yang bisa memberi manfaat untuk sesama. Namun, dalam
kenyataannya pada hari ini masih banyak umat Islam yang belum
mampu memahami Islam itu dengan benar sehingga berdampak
pula pada kualitas kehidupan umat itu sendiri. Masih banyak para
juru dakwah yang terjebak pada bentuk dakwah yang hanya sering
menyalahkan, cenderung keras dan suka memvonis atau mengecam.
Padahal dakwah itu sendiri sebaiknya disampaikan dengan bahasa
yang baik, santun dan menyentuh langsung pada masalah sehari-hari
yang dihadapi umat.
Dakwah mencakup seluruh sisi kehidupan, baik kehidupan
material maupun immaterial atau lahiriah dan batiniah. Secara lahiriah
dakwah Islam itu berhasil dalam beberapa bidang misalnya dalam
bidang arsitektur, dakwah Islam amat berhasil karena sampai sekarang
banyak bangunan bersejarah yang sebenarnya berpijak pada arsitektur
yang merupakan warisan peradaban Islam. Tak terbayangkan,
bagaimana pada masa dahulu, dengan keberadaan ilmu yang belum
semaju sekarang umat Islam sudah berhasil membentuk aritektur yang
canggih dengan beragam model. Secara lahiriah sekarang bisa kita
lihat dari segi arsitektur, dakwah itu berkembang. Yang dari sisi ilmu
pengetahuan sampai sekarang, banyak buku-buku telaahan tentang
Islam sebagai buah dari dakwah itu sendiri.
Dari segi populasi pun, umat Islam itu setiap hari bertambah
jumlahnya. Jadi tak bisa dikatakan dakwah itu gagal. Cuma kita cemas,
ada sesuatu yang terabaikan dari prinsip asas dakwah itu. Prinsip asas
dakwah itu adalah fikih akhlak. Dari sejarah Islam sendiri kalau kita
coba pahami, fikih akhlak adalah sesuatu yang utama dalam dakwah.
Inilah yang ditanamkan Rasulullah dalam dakwahnya yaitu iman dan

92 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus

akhlak. Ibadah adalah implementasi dari iman dan akhlak itu.


Pada sisi lain banyak orang yang beribadah tapi akhlaknya
tidak baik yaitu shalat, tapi dia juga korupsi. Dia shalat, tapi
ucapannya tidak baik, suka menyinggung dan menyakiti orang lain.
Hal ini terjadi karena kita mengabaikan fikih akhlak. Yang dilakukan
Rasulullah dengan risalahnya (zaman kerasulan Muhammad) adalah
memperbaiki akhlak; Aku diutus adalah untuk memperbaiki akhlak.
Inilah yang menjadi pijakan bagi Rasulullah untuk membentuk
masyarakat yang kemudian disebut dengan masyarakat madani. Semua
orang dipersaudarakan dengan mengikis semangat membangga-
banggakan asal muasal, sehingga masyarakat saling membantu. Hal
ini sangat menakjubkan bagi kita, sebagaimana dilakukan seorang
anshar memberikan dua hektar tanah pada seorang muhajirin hanya
dengan lillahitaala. Pada masa itu memang betul-betul terjalin bentuk
persaudaraan yang hakiki. Orang-orang mengaharamkan menyakiti
saudaranya. Ini semua terjadi karena pemahaman fikih akhlak. Namun
sekarang, fikih akhlak itulah yang kita abaikan.
Banyak orang berdakwah dengan tidak mempertimbangkan
obyek dakwah (jamaah) sehingga dakwah jadi tak tepat sasaran.
Kemudian juga dakwah sering hanya menjelaskan soal halal-haram,
surga-neraka, memproduksi pahala sebanyak-banyaknya. Dan juga
ada kecendrungan dakwah yang hanya menaakut-nakuti orang dengan
ancaman bencana di dunia dan siksaan neraka. Padahal mestinya juru
dakwah itu banyak bicara tentang hal-hal riil yang dihadapi umat
misalnya kondisi ekonomi yang berat sehingga banyak orang putus
asa dan sebagainya.
Kampung Pecinan merupakan salah satu perdukuhan di Kudus
yang seluruh masyarakat penghuninya adalah masyarakat marginal
yang merupakan masyarakat relokasi dari bantaran Kaligelis, dengan
mayoritas pekerjaan mereka bekerja di jalanan. Berbagai pekerjaan
meraka antara lain: pengamen, pengemis, juru parkir illegal (juru
parkir liar), kuli dan sedikit sebagai karyawan perusahaan.
Fokus penelitian dengan pendekatan antropologi agama secara
umum adalah mengkaji agama sebagai ungkapan kebutuhan makhluk
budaya yang meliputi: (1) pola-pola keberagamaan manusia, dari
perilaku bentuk-bentuk agama primitif yang mengedepankan magic,
mitos, animisme, totemisme, paganisme pemujaan terhadap roh, dan

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 93


Mubasyarah

polyteisme, sampai pola keberagamaan masyarakat indistri yang


mengedepankan rasionalitas dan keyakinan monoteisme; (2) agama dan
pengungkapannya dalam bentuk mitos, simbol-simbol, ritus, tarian
ritual, upacara pengorbanan, semedi, selamatan; (3) pengalaman
religious, yang meliputi meditasi, doa, mistisisme, sufisme,
Penelitian dengan perspektif antropologi pada umumnya
menggunakan perspektif mikro atau paradigm humanistic, seperti
fenomenologi, etnometodologi, everyday life, arkeologi. Unit analisisnya
bisa berupa individu, kelompok/organisasi dan masyarakat, benda-
benda bersejarah, buku, prasasti, cerita-cerita rakyat.
Pada tulisan ini penulis akan paparkan hasil penelitian tentang
dakwah pada masyarakat marginal di Kampung Pecinan Argopuro
Kudus.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun permasalahan yang akan penulis angkat dalam
penelitian ini adalah model dakwah seperti apakah yang dilakukan
oleh dai pada masyarakat marginal di Kampung Pecinan Argopuro
Kudus?

C. METODE PENELITIAN
1. Metode penelitian
Penelitian ini adalah field Research atau penelitian lapangan
yaitu jenis penelitian yang menggunakan data lapangan sebagai
sumber utama, sehingga penelitian ini akan menangkap gejala dari
obyek atau perilaku yang diamati . Adapun metode yang digunakan
adalah metode penelitian kualitataif yaitu metode peneltian yang
berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti
pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah instrumen
kunci.1
Alasan pemilihan metode ini adalah:
1. Untuk memahami makna dibalik data yang nampak. Gejala sosial
sering tidak bisa dipahami berdasarkan apa yang diucapkan
dan dilakukan orang karena setiap ucapan dan tindakan orang

1. Sanapiah Faisal, enelitian Kualitatif, dasar dan Aplikai, YA3, Malang,


1990,hlm.57

94 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus

sering mempunyai makna tertentu.


2. Untuk memahami interaksi sosial. Interaksi sosial yang kompleks
hanya dapat diurai kalau peneliti melakukan penelitian dengan
metode kualitatif. Dengan demikian akan dapat ditemukan
pola-pola hubungan yang jelas.
3. Untuk memastikan kebenaran data. Data sosial sering sulit
dipastikan kebenarannya. Dengan metode kualitatif, melalui
pengumpulan data triangulasi/gabungan maka kepastian data
akan terjamin.
2. Populasi dan sampel
Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah
populasi, tetapi oleh Spradley dinamakan social situation atau
situasi sosial yang terdiri dari atas tiga elemen yaitu: tempat (place),
pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis.
Situasi sosial tersebut dapat dinyatakan sebagai obyek penelitian yang
ingin dipahami secara lebih mendalam tentang apa yang terjadi di
dalamnya. Pada situasi sosial atau obyek penelitian ini peneliti dapat
mengamati secara mendalam aktivitas orang-orang yang ada pada
tempat tertentu.
Sampel dalam penelitian ini adalah nara sumber atau
partisipan, informan maupun teman. Dalam penelitian ini populasinya
adalah dai aktif pada masyarakat marginal dan informan lain yang
mengetahui masalah yang terkait dalam penelitian ini.
Adapun teknik pengembilan sampelnya, sebagaimana
lazimnya dalam penelitian kualitatif, peneliti memasuki situasi sosial
tertentu, yang dapat berupa lembaga tertentu, melakukan observasi
dan wawancara kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang
situasi soaial tersebut. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka
teknik pengambuilan sampelnya adalah dengan snowball sampling ,
yaitu teknik pengamabilan sampel sumber data, yang pada awalnya
jumlahnya sedikit , lama-lama menjadi besar. Hal ini dilakukan
karena dari jumlah sumber data yang sedikit tersebut belum mampu
memberikan data yang lengkap, maka mencari orang lain lagi yang
dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian jumlah
sampel akan semakin besar, seperti bola salju yang menggelinding,
lama-lama semakin besar.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 95


Mubasyarah

Pertimbangan dalam memilih informan menurut Sanafiah


Faisal harus berdasarkan pada kriteria:
1. Mereka yang menguasai atau memahami sesuatu melalui
proses enkulturasi, sehingga sesuatu itu bukan sekedar
diketahui, tetapi juga dihayati
2. Mereka yang tergolong masih sedang berkecimpung atau
terlibat , pada kegiatan yang tengah diteliti
3. Mereka yang mempunyai waktu yang memadai untyk
dimintai informasi
4. Mereka menyampaikan informasi secara obyektif
3. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini instrumennya adalah peneliti itu sendiri.
Oleh karena peneliti sebagai instrumen, maka harus divalidasi yang
meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif
dan hal-hal yang terkait. Sebagai human instrument, peneliti berfungsi
menetapkan focus penelitian. Memilih informan sebagai sumber data,
melakukan pengumpulan data, analisis data, menafsirkan data dan
membuat kesimpulan atas temuannya. Setelah fokus penelitian pasti
dan jelas, maka pengumpulan data dikembangkan dengan teknik
pengumpulan data yang lain.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan datanya adalah :
a. Metode observasi partisipatif
Obsersi partisipatif merupakan teknik pengumpulan data
dimana peneliti mengamati dengan terlibat langsung pada
obyek, perilaku atau situasi yang diamati. Susan Stainback
menyatakan In participant observation, the researcher observer what
people do, listen to wahat they ay, and participates in their activities
menurutnya dalam observasi partisipatif peneliti mengamati
apa yang dikerjakan orang, mendengarkan apa yang mereka
ucapkan, dan berpartisipasi dalam aktivitas mereka.2
Dalam observasi partisipatif, peneliti akan mengamati
dengan langsung terlibat dalam kegiatan dakwah Islam yang
dilakukan oleh masyarakat marginal Desa Argopuro, Hadipolo
Jekulo .Kudus

2. Susan Stainbac, William Stainback, Understanding & Conduting Qual -


tative Research, Kendall/Hunt Publishing Company Dubuque, Iowa, 1988, p.89.

96 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus

b. Metode Wawancara/interview
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data melalui
tanya jawab antara dua orang atau lebih guna saling tukar
informasi dan ide, sehingga dapat direkonstruksi makna dalam
suatu topik tertentu.
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara semiterstruktur (semistructure interview),
wawancara ini juga termasuk dalam kategori in-dept interview,
dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas jika dibandingkan
dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara ini
adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka,
dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan
ide-idenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti perlu
mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan
oleh informan.
Wawancara semiterstruktur digunakan untuk menggali data
yang terkait dengan aktivitas madu pada mayarakat marginal
Argopuro Hadipolo, Jekulo Kudus, serta aktivitas mereka
secara lebih mendalam. Adapun hal-hal yang ditanyakan
dalam wawancara ini menyangkut pengetahuan, pengalaman,
pendapat, perasaan, indra serta latar belakang atau demografi
informan.3
c. Metode Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah
berlalu, yang dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karya-
karya monumental seseorang. Studi dokumen merupakan
pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara.
Dokumentasi digunakan untuk menggali data yang terkait
dengan jumlah masyarakat margibal Desa Argopuro, kondisi
sosial budaya serta kondisi para dai di Desa Argopuro
d. Metode Triangulasi
Metode triangulasi merupakan metode pengumpulan
data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik

3. Sugiyono, Op.cit., halm.322-324. Lihat juga Patton dalam.Qualit -


tive Evaluation Method, Beverly Hillls, CA. Sage Publication Inc 1980, hlm207-211.
Menurutnya ; sebelum peneliti melakukan wawancara harus mempersiapkan pal-
ing tidak 6 jenis pertanyaan berkaitan dengan pengalaman atau perilaku, penda-
pat atau nilai, perasaan, pengetahuan, indra dan latar belkang atau demografi

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 97


Mubasyarah

pengumpulan data yang telah ada. Dengan teknik ini berarti


peneliti mengumpulkan data sekaligus menguji kredibilitas
data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik
pengumpulan data dan berbagai sumber data. Oleh karena itu
dengan menggunakan teknik triangulasi dalam pengumpulan
data, maka data yang diperoleh akan lebih tuntas, konsisten
dan pasti. Disamping itu, metode triangulasi akan lebih
meningkatkan kekuatan data, bila dibandingkan dengan hanya
satu pendekatan.
Ada empat macam teknik triangulasi yang dapat digunakan
yaitu:
a. Triangulasi data atau triangulasi sumber data.
b. Triangulasi metode, yaitu dengan menggunakan berbagai
metode pengumpulan data untuk menggali data sejenis
c. Triangulasi peneliti. Diharapkan dengan beberapa peneliti yang
melakukan penelitian yan sama dengan pendeatan yang sama
akan menghasilkan hasil yang sama pula atau hamper sama.
d. Triangulasi teori yaitu dalam membahas satu permasalahan
yang sedang dikaji, peneliti tidak menggunakan satu perspektif
teori.

D. TEKNIK ANALISIS DATA


Adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
bahan-bahan lain sehingga mudah dipahami, dan temuannya dapat
diformulasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan
mengorganisasikan data, menjabarkannya kedalam unit-unit,
melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang
penting dan yang akan dipelajari serta membuat kesimpulan .Adapun
langkah-langkah dalam analisis data adalah:
1. Reduksi data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, trnsformasi data
kasar, yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi data
berlangsung secara terus menerus selama penelitian berlangsung.
Dalam proses reduksi data ini, peneliti dapat melakukan pilihan-
pilihan terhadap data yang hendak dikode. Reduksi data merupakan

98 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus

bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan


dan membuang yang tidak perlu
2. Penyajian data
Yaitu menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun
dan memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Penyajian datanya biasanya dilakukan secara
naratif.4
Pada tahap ini akan disajikan data penelitian yang berisi
tentang profil dai, metode yang digunakan dalam berdakwah serta
perkembangan dakwah Islam pada masyarakat marginal Desa
Argopuro, Hadipolo. Jekulo Kudus dilihat dari aspek sosio antropologi
dan mauidhah hasanah.
3. Menarik kesimpulan/verifikasi
Langkah terakhir dalam analisis data adalah kesimpulan/
verifikasi. Kesimpulan terhadap hasil penelitian disimpulkan secara
induktif.
E. KERANGKA TEORI
1. Konsepsi Dakwah Islam
Berdawah berarti menyampaikan sesuatu kepada orang lain
yang bersifat mengajak untuk merubah suatu keadaan yang tidak baik
kepada yang baik dan terpuji. Dawah Islamiyah memerlukan teknik
penerapan yang akurat sesuai dengan keadaan dan perkembangan
zaman, terutama di kalangan masyarakat pedesaan yang dinamis dan
berkembang. Change to progress merupakan watak dari masyarakat
yang menunjukkan sesuatu kepada kemajuan. Terhadap masyarakat
berkategori ini, metode berdawah merupakan salah satu alternatif
yang harus diperhitungkan dan dipersiapkan sebaik mungkin.
Dakwah dalam arti proses penyebaran ajaran Islam telah
dinyatakan sebagai disiplin ilmu memiliki onyek, ciri-ciri dan
tujuan tertentu. Ia juga memiliki dasar-ilmu lainnya 5 Bisri Afandi

4. Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama,Remaja Rosd -


karya Bandung, 2001, hlm. 194-195
5. Terminologi dakwah yang dimaksud adalah suatu ilmu yang dapat d -
gunakan dalam berbagai upaya untuk menyampaikan pesan maupun ajaran Islam
kepada umat manusia dengan muatan akidah, syariah (ibadah) dan akhlak. Li-
hat Ahmad Ghalways, al-Dakwah Ushuluha wa Wasailuha ( Kairo al-Kitab al-Misyri,
1987, hlm. 10

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 99


Mubasyarah

dalam sebuah tulisannya mengatakan bahwa dakwah bukan hanya


merupakan usaha untuk mengubah way of thinking, way of feeling dan
way of life manusia sebagai sasaran dakwah kearah kualitas yang lebih
baik, sehingga dalam prosesnya akan melibatkan berbagai faktor yang
saling terkait dalam kesatuan sistem dakwah6
Dalam menyampaikan dawah hendaklah diperhatikan
beberapa faktor; yaitu, dai (orang yang menyampaikan dawah),
metode atau cara penyampaian dawah dan objek dawah. Problema
terberat yang masih dirasakan sekarang ini, banyaknya para dai
yang kurang berwawasan luas terutama sekali menyangkut metode
berdawah. Kita sering menjumpai para dai yang berilmu tinggi tetapi
dawahnya kurang diterima oleh masyarakat, karena lemah di bidang
metode atau cara penyampaian dawah.
Makalah ini mencoba memberikan alternatif baru sebagai
salah satu upaya yang amat sederhana dalam menyampaikan dawah
di tengah-tengah masyarakat pedesaan yang terbelakang. Di hadapan
kita terlihat berbagai kemajuan ilmu dan teknologi yang berkembang
amat pesat, sementara manusia terbuai oleh kemajuan tersebut.
Menghadapi kenyataan ini peran serta para dai harus lebih digalakkan
dalam rangka menyelamatkan manusia dari dampak negatif yang
diakibatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
dunia modern dan pengaruh globalisasi yang semakin menguat.
Dampak negatif dari era globalisasi dan lajunya perkembangan dunia
modern akan menjerumuskan umat manusia bila tidak bisa diantisipasi
dengan baik dan benar oleh para dai dan tokoh masyarakat.
Pengertian Dawah
Dawah pengertiannya secara etimologis adalah ajakan, seruan,
panggilan dan undangan. Sedangkan menurut pengertian terminologis
secara umum, dawah adalah : Suatu pengetahuan yang mengajarkan
cara-cara atau metode untuk menarik perhatian umat manusia, agar mengikuti

6. Yang dimaksud dengan sistem dakwah adalah hubungan antara faktor


dakwah yang terdiri dari subyek dakwah, obyek dakwah, metode dakwah, me-
dia dakwah, materi dakwah dan tujuan dakwah. Jaringan sistematik ini bermuara
pada tujuan dakwah. Lihat Bisri Affandi dalan Metodologi Penelitian Dakwah:Sketsa
Pemikiran Pengembangan Ilmu Dakwah, Ramadhani, Slo 1991, hlm.9. Sebagaimana
dikutip oleh Aswadi dalam artikelnya yang berjudul Mujaalah Sebagai Metode Dak-
wah dalma jurnal Ilmu Dakwah Vol.13 No.1 April 2006, hlm. 85 Fakultas Dakwah
IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006

100 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus

suatu ideologi atau ajaran tertentu. Istilah lainnya menyebutkan, bahwa


ilmu dawah adalah pengetahuan yang mengajarkan cara-cara
mengetahui alam fikiran manusia, untuk diarahkan kepada suatu
ideologi atau ajaran tertentu.
Pengertian dawah menurut ajaran Islam adalah : Mengajak
umat manusia dengan hikmah dan kebijaksanaan agar mengikuti petunjuk
Allah dan Rasul-Nya. Syeikh Ali Mahfudz mengemukakan pengertian
dawah sebagai berikut : Mengarahkan manusia agar melakukan kebaikan
dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka agar berbuat kebaikan dan
melarang mereka dari perbuatan munkar, agar memperoleh kebahagiaan dunia
dan akhirat. Al-Ustadz Bahiyul Huli dalam kitabnya Tadzkirrud
Duat berpendapat : Dawah adalah memindahkan umat manusia dari
satu situasi kepada situasi yang lain.
Banyak lagi istilah-istilah yang hampir sama artinya dengan
dawah, seperti tabligh atau penyampaian, amar maruf nahi munkar
atau memerintah kebaikan dan mencegah kemungkaran, mauidzah
atau nasehat, dzikir atau peringatan, khutbah, nasehat, wasiat dan
sebagainya.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa dawah
adalah suatu usaha merubah situasi yang tidak diridhai Allah kepada
situasi yang diridhai oleh-Nya. Dengan demikian dai senantiasa
berusaha memindahkan situasi yang negatif kepada situasi yang
positif, merubah keadaan yang buruk kepada yang baik, mencegah
yang munkar dan menegakkan yang maruf.
Berdawah melaksanakan amar maruf dan nahi munkar adalah
merupakan kewajiban bagi umat Islam, di mana saja mereka menurut
kemampuan masing-masing. Allah berfirman :
Hendaklah ada diantaramu umat yang menyerukan kepada kebaikan,
memerintahkan yang maruf atau yang baik dan mencegah yang munkar.
Mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imran 104).

Rasulullah Bersabda :
Siapa diantaramu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah
dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaklah dengan lisannya,
jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah iman yang paling
lemah. (H.R. Muslim).

Di dalam hadits lain Nabi bersabda :


Sampaikan dariku meskipun satu ayat. (HR. Bukhari).

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 101


Mubasyarah

Rasulullah SAW melaksankan dawah dengan penuh


kebijaksanaan dan menggunakan metode-metode yang tepat, sehingga
perjuangannya yang teramat singkat, hanya memakan waktu sekitar
23 tahun mampu merubah suatu masyarakat jahiliyah yang diliputi
kedzaliman dan kebodohan menjadi masyarakat yang beradab.
Masyarakat yang seluruh anggotanya saling berbuat baik, tolong-
menolong dan berhasil membentuk peradaban dunia yang luhur.
Diantara kunci sukses yang mengantarkan Rasulullah kepada
keberhasilan dawahnya adalah karena Nabi SAW senantiasa bersikap
lembut, berakhlak mulia, bermusyawarah dalam segala urusan dan
perjuangan yang ulet dipenuhi dengan kesabaran dan ketabahan.
Sebelum Rasul SAW berdawah mengajak orang lain, ia selalu memulai
dari dirinya sendiri dan keluarganya. Di samping itu, Rasulullah juga
sangat memperhatikan keadaan objek dawah, sehingga mereka dapat
dibimbing dengan baik. Dijelaskan dalam al-Quran :
Maka dengan rahmat dari Allah, engkau bersifat lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap kerasdan berhati kasar, tentulah
mereka melarikan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkan ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal. (Q.S. Ali Imran 159).
Berdasarkan kepada al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW,
agar umat Islam dapat melanjutkan dawah dengan sebaik-baiknya,
maka hendaklah para dai menjadikan Rasulullah sebagai rujukan
dan teladan dalam segala kehidupan. Untuk tujuan itu, seorang dai
hendaklah memperhatikan ketentuan-ketentuan berikut ini :
- Mengetahui tentang al-Quran dan al-Sunnah sebagai dasar-
dasar pokok dari agama Islam.
- Memiliki ilmu pengetahuan yang menjadi pelengkap dawah,
seperti teknik berdawah dan strategi, psikologi, sejarah
kebudayaan Islam, Sejarah perkembangan dawah, perbandingan
agama dan sebagainya.
- Menguasai bahasa umat yang akan diajak kepada jalan yang
diridhai oleh Allah. Demikian juga ilmu rethorika, kepandaian
berbicara, mengarang, menulis uraian yang ilmiah dan
sebagainya.

102 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus

- Seorang dai harus bersikap penyantun, berpandangan luas dan


berlapang dada, sebab apabila sempit, keras dan kasar, orang-
orang disekelilingnya akan tidak simpati dan meninggalkan
ajakannya, sebagaimana dijelaskan al-Quran dalam surat Ali
Imran 159 tersebut di atas.
- Memiliki mental yang kuat, tabah, berkemauan keras, bersikap
optimis, walaupun menghadapi berbagai macam problem,
rintangan dan tantangan.
- Bersikap ikhlas semata-mata mencari keridhaan Allah dalam
segala langkah dan perbuatan.
2. Konsepsi Masyarakat Marginal
Dalam pandangan sosiologi agama ada hubungan antara
sosiologi dan agama. Terkait dengan ini Elzabeth K Nottingham
membagi tipe-tipe masyarakat berdasarkan hubungan antara agama
dan masyarakat yaitu:
a. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Tipe
masyarakat ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota
masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga
lain yang relatif berkembang selain lembaga keluarga, agama
menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan
masyarakat dari masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena
itu, kemungkinan agama memasukkan pengaruh yang sakral
ke dalam sistem nilai-nilai masyarakat yang mutlak.
b. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Keadaan
masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi
yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti
dan ikatan kepa sistem nilai dalam tipe masyarakat ini. Tetapi
pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekuler
sedikit-sedikit masih dapat dibedakan. Misalnya, pada fase-fase
kehidupan sosial masih diisi oleh upacara-upacara keagamaan,
tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas sehari-hari,
agama kurang mendukung. Agama hanya mendukung masalah
adat-istiadat saja. Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat
menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian tingkah
laku perseorangan, dan pembentukan citra pribadi mempunyai
konsekuensi penting bagi agama. Salah satu akibatnya,
anggota masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 103


Mubasyarah

metode empiris yang berdasarkan penalaran dan efisiensi


dalam mengganggu masalah-masalah kemanusiaan sehingga
lingkungan yang bersifat sekuler semakin meluas.7
c. Kemiskinan
Diantara ciri lain yang menandai masyarakat marginal
adalah kemiskinan yang dialami sebagian besar warganya.
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang
tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf
kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan
tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
Menurut sejarah keadaan miskin dan kaya secara berdampingan
tidak merupakan masalah sosial sampai saatnya perdagangan
berkembang pesat dan timbulnya nilai-nilai sosial yang baru.
Dengan bekembangnya perdagangan ke seluruh dunia, dan
diterpkannya taraf kehidupan tertentu sebagai suatu kebiasaan
masyarakatm kemiskinan mncul sebagai maslah sosial.
Pada masyarakat modern yang rumit, kemiskinan menjadi
suatu problema sosial karena sikap yang membenci kemiskinan.
Seseorang bukan merasa miskin karena kurang makan, pakaian
atau perumahan. Tetapi karena harta miliknya dianggap baik
cukup untuk memenuhi taraf kehidupan yang ada. Persoalan
menjadi lain bagi mereka yang turut dalam arus urbanisasi
tetapi gagal mencari pekerjaan. Bagi mereka pokok persoalan
kemiskinan desebabkan tidak mampu memenuhi kebutuhan-
kebutuhan primer sehingga timbul tunakarya, tuna susila dan
sebagainya. Secara sosiologis, sebab-sebab timbulnya problem
tersebut adalah karena salah satu lembaga pemasyarakatan
tidak berfungsi dengan baik, yaitu lembaga pemasyarakatan di
bidang ekonomi.8
d. Ketidakmampuan menyesuaikan diri
Ketidakmampuan menyesuaikan diri juga menjadi penyebab
masyarakat termarginalkan atau terpinggirkan yaitu karena
tidak mampu menyeesuaikan diri. Hal ini menyebabkan mereka
ditolak oleh masyarakat di sekitarnya. Mereka mengalami proses
demoralisasi dan tidak mampu menyeesuaikan diri dengan

7. Elizabeth K. Nottingham, Religion and Society, terj. Abdul Muis Nah -


rong, CV.Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 31-69
8. Soerjono Soekanto, Sosilogi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1999, hlm. 406-407

104 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus

lingkungannya. Khusunya yang menyangkut kehidupan para


pelaku kriminal misalnya; pelacur, penjahat, alkoholik, dan
penjudi-penjudi kronis bisanya menjalani kehidupan tanpa
harapan dan menutup diri dari kehidupan dunia sekitarnya.
Pada kasus-kasus yang ekstrem, berlangsunglah
ketidakmampuan penyesuaian diri secara total, ada personal
maladjusment dan kepatahan jiwa total ataucomplete breakdown.
Konflik-konflik hebat disebabkan oleh pembandingan antara
hukuman sosial.
Disamping itu, ada juga pribadi-pribadi lain yang tidak
mampu mengadakan penyesuaian diri/adaptasi terhadap
lingkungannya, disebabkan oleh alasan sebagai berikut: ditolak
oleh masyarakat untuk menjalankan peranan-peranan yang
sangat didambakannya. Sebaliknya menolak peranan-peranan
yang dosodorkan oleh masyarakat kepada dirinya, atas dasar
alasan-alasan subyektif. Orang-orang yang demikian disebut
sebagai individu-individu marginal ( pribadi pinggiran atau
setengah-setengah).
Pribadi marginal ini adalah seorang yang dihadapkan pada
pilihan dan peranan. Akan tetapi disebabkan oleh keterbatasan
internal atau eksternal tertentu sehingga tidak mampu
mengintegrasikan hidupnya atas dasar salah satu peranan
tersebut. Contoh lain dari pribadi marjinal ialah:
- Warga negara keturunan asing (minoritas rasial atau hibrid
rasial)
- Keturunan para imigran
- Kaum intelektual dengan mental emansipasi tinggi
- Warga pendatang yang gagal memperoleh pekerjaan yang
layak9
3. Peran pemimpin terhadap perubahan sosial
Pada sisi lain pemimpin agama atau pembimbing agama
memiliki peran yang peran bagi perubahan sosial, secara detail dapat
dilihat sebagai berikut:
a. Pemimpin agama sebagai motivator
Tidak dapat disangkal bahwa peran para pemimpin agama
sebagai motivator bagi masyarakat sudah diakui. Dengan

9. Kartini Kartono, Patologi Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001,


hlm. 41-42

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 105


Mubasyarah

ketrampilan dan kharisma yan dimilikinya, para pemimpin


agama telah berperan aktf dalam mendorong suksesnya
kegiatan-kegiatan pembangunan. Terlibatnya para pemimpin
agama bagi perubahan sosial terutama didorong oleh kesadaran
untuk ikut secara aktif memikirkan permasalahan-permasalahan
yang sangat kompkles dihadapi umat.10 Para pemimpin agama
dapat memberikan semangat kepada masyarakat untuk selalu
giat berusaha.
Watak optimis dalam mengarungi kehidupan hendaklah
ditebarkan para pemimpin agama kepada masyarakatnya
dengan memberikan harapan-harapan masa depan, sehingga
lambat laun harapan-harapan ini dapat mndorong mereka
untuk lebih banyak bertindak. Para pemimpin agama dapat
memberikan semangat kepada masyarakat untuk selalu giat
bersaha. Jangan sekali-kali mengajari masyarakat bahwa takdir
dapat diyakini sebagai alasan untuk bersifat fatalis. Dengan
demikian para pemimpin agama telah mampu membuktikan
kemampuannya untuk berbicara secara rasional dan tetap
membangkitkan gairah serta aksi masyarakat dalam meraih
susuatu yang dicita-citakannya.11
b. Pemimpin agama sebagai pembimbing moral
Peran kedua yang dimainkan para pemimpin agama di
masyarakat dalam kaitannya denga perubahan masyarakat
adalah peran berkaitan dengan upaya-upaya menanamkan
psrinsip-prinsip etik dan moral masyarakat. Dalam kenyatannya,
kegiatan pembangunan umumnya selalu menuntut peran aktif
para pemimpin agama dalam meletakka landasan moral, etis,
dan spiritual serta peningkatan pengalaman agama, baik dalam
kehidupan pribadi maupun sosial. Disinilah kemudian nilai-nilai
religius yang ditanamkan para pemimpin agama memainkan
peranan penting dalam perubahan sosial.12 Berangkat dari
landasan etis moral inilah perubahan sosial diarahkan pada
upaya pemulihan harkat dan martabat manusia, harga diri

10. M.Masykur Amin (ed.), Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemik -


ran Islam, LKPSM-NU,Yogyakarta, 1989, hlm. 3-4
11. Hiroko Horikosi, Kyai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1987, hlm.
225-226
12. Ibid. Hlm.8

106 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus

dan kehormatan individu, serta pengakuan atas kedaulatan


seserang atau kelompok untuk mengembangkan diri sesuai
dengan keyakinan dan jati diri serta bisikan nuraninya.
c. Pemimpin agama sebagai mediator
Peran lain para pemimpin agama adalah sebagai wakil dari
masyarakat dan sebagai pengantar dalam menjalin kerjasama
yang harmonis diantara banyak pihak dalam rangka melindungi
kepentingan-kepentingannya di masyarakat dan lembaga-
lembaga keagamaan yang dipimpinnya.13
Untuk membela kepentingan-kepentingan ini, para
pemimpin agama biasanya memposisikan diri sebagai
mediator14 diantara beberapa pihak di masyarakat, seperti
antara masyarakat dengan elite penguasa dan antara masyarakat
miskin dengan orang-orang kaya. Melalui para pemimpin
agama, para elite penguasa dapat memahami apa yang
diinginkan masyarakat,dan sebaliknya elite penguasa dapat
mensosialisasikan program-programnya kepada masyarakat
luas melalui bantuan para pemimpin agama, sehingga keduanya
terjadi saling pengertian.15

13. Hiroko,Loc.Cit.hlm.228-229
14. Peran ini sebenarnya diihami oleh nilai-nilai ajaran agama itu sendiri
yang secara tradisional mempunyai fungsi sebagi pemersatu. Sebab sebagian
besar sejarah umat manusia yang ada secara empiris, agama telah memainkan per-
anan penting dalam memberikan tirai simbol-simbol yang melingkupi segalanya
bagai integrsai masyarakat yang berarti. Beraneka macam makna, nilai dan ke-
percayaan yang ada pada suatu masyarakat, akhirnya dipersatukan dalam sebuah
penafsiran menyeluruh tentang unsur realitas yang menghubungkan kehidupan
manusia dengan dunia(kosmos) secara keseluruhan, sehingga secara sosiologis
dan psikologis memungkinkan manusia merasa betah tinggal di alam semesta dan
terhindar dari penyakit homeless mind, merasa tak berumah atau rasa kesepian di
tengah-tengah keramaian . Lihat Peter L.Berger, dan Hansfried Keliner, Pluralisasi
Dunia Kehidupan, dalam Hans Dieter Eers (peny.)Teori Masyarakat, Proses Perada-
ban dalam Sistem Dunia Modern, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988, hlm.49-51
15. Menurut Wolf, seperti dikutip Horikoshi, konsep mediator ini dapat
didefinisikan sebagai orang-orang atau kelompok yang menempati posisi pen-
ghubung dan perantara antara masyarakat dan sistem nasional yang bercorak
perkotaan. Bergantung pada posisi strukturnya dalam jaringan masyarakat yang
kompleks, mediator ini dapat diperankan oleh pemimpin tradisional yang mem-
bentengi titik-titik rawan dalam jalinan yang meghubungkan sistem lokal dengan
keseluruhan sistem yang lebih luas, dan serng bertindak sebagai penyangga atau
penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjaga terpe-
liharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan bagi kegiatan-
kegiatan mereka. Lihat Hiroko, Loc.Cit.hlm5

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 107


Mubasyarah

Demikian halnya, ketika para pemimpin agama berupaya


mengatasi atau mengurangi kesenjangan yang terjadi di
masyarakat khususnya antara orang kaya dan orang miskin.
Dalam kaitan ini, para pemimpin agama, sebagai mediator,
melakukan pemberdayaan kelompok miskin melalui kerja
sama yang mereka lakukan dengan orang-orang kaya. Melalui
kompetensi syariat yang dimilikinya, para pemimpin agama
melakukan penyadaran kepada orang-orang kaya bahwa
pemerdayaan masyarakat miskin tidak mungkin berhasil tanpa
bantuan orang-orang kaya; mereka juga tidak akan tentram
menikmati kakayaannya jika di sekeliling mereka masih banyak
terdapat orang-orang miskin.
Disini para pemimpin agama berusaha menjembatani dua
pihak yang status ekonominya sangat berbeda, sehingga gejolak
sosial yang tejadi akibat munculnya kecemburuan dari golongan
miskin dapat terhindari. Peran pemimpin agama seperti ini
sudah sangat mengakar di masyarakat, serta berlangsung terus
menerus. Peran seperti ini tampaknya akan selalu dibutuhkan
oleh masyarakat.
Munculnya kerjasama antara para pemimpin agama di satu
pihak dengan kalangan kaya pengusaha di pihak lain merupakan
fenomena sosial yang umum terjadi di kalangan umat beragama.
Di Eropa misalnya, persekutuan bahkan kemanunggalan antara
gereja dengan kalangan tuan tanah dan elite penguasanya
merupakan fakta sejarah yang tak terbantahkan. Hal ini terjadi
juga di kalangan umat agama lain, termausk Islam. Persekutuan
seperti ini tetap berlangsung sampai sekarang.16
Dari sudut keagamaan, kerjasama keagamaan, kerjasama
para pemimpin keagamaan dengan kalangan hartawan dan
penguasa bukan sesuatu yang baru. Sebab, sesungguhnya
kerjasama para pemimpin agama dengan kalangan kaya
dan penguasa, pada prinsipnya, tidak dinilai buruk. Agama,
bagaimanapun merupakan rahmat bagi selurh alam. 17 Di
sinilah para pemimpin agama menyadari bahwa kerjasama

16. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Remaja Rosdakarya, Bandung,


2002,hlm.142
17. Masdar Farid Masudi, Agama Keadilan Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991,
hl.202-205

108 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus

merka untuk kepentingan menegakkan keadilan sosial dan


untuk membela kepentingan orang-orang kecil, kaum lemah,
dan kelompok-kelompok tertindas di masyarakat. Dengan
demikian , kekuasaan yang dipegang oleh elite penguasa dan
harta kekayaan yang dimiliki oleh orang-orang kaya tidak
menjadi fitnah dan menimbulkan gejolak di masyarakat ketika
mampu membuktikan fungsi-fungsi sosialnya.
Dalam kaitan inilah pentingnya kehadiran para pemimpin
agama sebagai mediator pemberdayaan masyarakat lemah
melalui kerjasama dengan elite penguasa dan golongan orang
kaya. Sehingga, pada gilirannya, kesenjangan sosial dapat
ditekan sedemikian rupa, tidak menimbulkan gejolak sosial
yang mengancam keharmonisan hubungan masyarakat secara
horizontal.

F. Temuan Penelitian

1. Kondisi Geografis Kampung Pecinan Hadipolo Kudus


Dukuh Argopuro yang menjadi lokasi penelitian ini ada satu
RT yaitu masuk RT.6 RW.2.Desa Hadipolo dan berada di wilayah
Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus. Letaknya berada di aliran sungai
Jekulo yang bermuara di Lautan Jawa. Mayoritas penduduk Hadipolo,
bermata pencaharian sebagai karyawan, wiraswasta, pekerja di jalanan
dan buruh bangunan.
Dengan kebudayaan yang relatif sedikit maju dibanding
beberapa tahun sebelumnya, penduduk Dukuh Argopuro dapat
memenuhi wajib belajar 9 tahun. Adapun batas-batas wilayah Dukuh
Argopuro yang merupakan bagian darai Desa Hadipolo memiliki
batas-batas wilayah sebagai berikut:
a. Luas dan batas wilayah
1. Luas desa/kelurahan : 516.500 Ha
2. Batas wilayah
a. Sebelah Utara : Desa Honggosoco
b. Sebelah Selatan : Desa Tenggelas
c. Sebelah Barat : Desa Ngembalrejo
d. Sebelah Timur : Desa Jekulo
b. Orbitrasi (jarak dari pusat pemerintahan desa/kelurahan)
1. Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan : 25 km

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 109


Mubasyarah

2. Jarak dari ibukota Kabupaten/Kotamadya Dati II : 8 km


3. Jarak dari ibu kota propinsi Dati I : 56 km
4. Jarak dari ibu kota negara : 420 km18
Perumahan perumahan sosial Pecinan, Hadipolo, Kudus
secara geografis termasuk terletak dalam perkampungan yang relatif
tak terlalu ketinggalan yakni di desa Hadipolo. Desa Hadipolo pada
1985-an pernah sebagai pemenang dalam lomba desa tingkat kaputen
Kudus, bahkan mewakilinya untuk maju pada lomba desa tingkat
propinsi Jawa Tengah. Keberadaan desa tersebut termasuk strategis
karena dilewati jalan raya besar jurusan Semarang-Surabaya, sehingga
arus transportasi dan komunikasi relatif lancar. Karena itu desa
Hadipolo dalam posisi ini memili citra yang positif di mata msyarakat
Kudus dan sekitarnya.
Bahkan desa Hadipolo semakin dikenal luas di kancah
perindustrian nasional karena desa ini merupakan pusat kerajinan
pandai besi dengan produk berbagai alat rumah tagga mulai dari
cangkul, pisau, palu, arit, hingga linggis. Di desa ini pula dikenal sebagai
pusat penjualan besi-besi tua yang dikenal luas di masyarakat.
Hal ini menurut kepercayaan masyarakat setempat tak lepas
dari leluhur atau dalam bahaya lokal disebut danyang daerah
tersebut dikenal sebagai ahli pembuat keris wesiaji yang dikenal
dengan mbah Kyai Gusti. Beliau dikenal sebagai seorang empu yang
ternama pada zamannya bahkan beliau juga dikenal sebagai murid
dari Sunan Muria Kudus, Raden Syahid.
Sebagaimana dikenal luas bahwa salah satu ciri masyarakay
Jawa adalah pengaruh budaya nenek moyang yang kuat sehingga
menjadi mode of thinking dalam menjalani hidup dan memaknai
hidup termasuk dalam membangun kekuatan ekonomi. Karena
itu masyarakat Hadipolo sejak dulu mengembangkan kerajinan
pandai besi sebagai representasi paradigmatik terhadap tradisi
nenek moyang yang pernah ada sebelumnya. Maka hingga sekarang
Hadipolo menjadi sentral pandai besi di kabupaten Kudus.
Sedangkan perumahan sosial Pecinan tersebut terletak di
bagian tengah desa Hadipolo, kira-kira 8 km sebelah timur kota Kudus.

18. 66 Dikutip dari papan monografi Balai Desa Hadipolo pada tanggal
25 Oktober 2008

110 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus

Daerah tersebut semula adalah lahan tanpa tuan karena menurut


cerita masyarakat setempat adalah tempat peninggalan komunitas
keturunan Cina yang karena satu dan lain hal mereka meninggalkan
lokasi tersebut. Sebagian menjelaskan komunitas keturunan Cina
yang lari dari daerah tersebut karena mereka tidak menemukan
kenyamanan bahkan sering diganggu oleh makhluk halus yang selalu
saja datang silih berganti.
Namun sebagian yang lain menceritakan bahwa keberadaan
keturunan Cina yang eksodus besar-besaran itu tak lepas dari
ancaman politik lokal yang cenderung menganggap keturunan Cina
sebagai ancaman ekonomi masyarakat lokal. Karena itu mereka tak
tahan bertahan terlalu lama di kompleks tersebut. Sebagian yang lain
menjelaskan daerah tersebut sebagai bekas kuburan Cina yang sudah
lama tidak terawat sehingga musnah tiada bekas.19
Dengan berbagai versi yang ada yang jelas daerah tersebut tak
lepas dari adanya peninggalan keturunan Cina yang lama tak terawat,
lalu diambil alih oleh pemda Kudus dan dalam jagka waktu yang
lama kosong tak dimanfaatkan. Namun yang jelas keberadaan tanah
pecinan tersebut sebenarnya menjadikan citra Hadipolo yang positif
menjadi tercoreng. Karena itu tetap saja desa Hadipolo mampu sebagai
pemenang lomba desa dan maju di tingkat propinsi Jawa Tengah pada
masa kepemimpinan H. Denin.
Maka dalam kondisi citra positif desa Hadipolo yang sedang
melambung tersebut tiba-tiba muncul kebijakan dari Pemda Kudus
untuk merelokasi kompleks kumuh di belantar Sungai Kaligelis Kudus
agar dipindahkan ke kompleks Pecinan, Hadipolo. Hal ini tak lepas
dari keinginan baik pihak pemda Kudus agar para anak-anak jalanan
dan keluarga tuna wisma segera tertangani oleh dinas sosial sehingga
mereka bisa hidup lebih layak dan mandiri hidup dalam hunian yang
permanen.
Karena itu Pemda Kudus melalui dinas sosial pada tahun 1990-
an membangun perumahan sangat sederhana (RSS) yang khusus
diperuntukkan bagi tuna wisma terutama yang berasal dari pinggiran
Kaligelis Kudus. Pemda Kudus memberikan syarat yang sangat ringan
yaitu hanya dengan menunjukkan KTP/Kartu keluarga dengan sistem

19. Wawancara peneliti dengan Syafii, Hanafi dan K. Ahmad Yasin warga
desa Hadipolo, pada Juli 2008.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 111


Mubasyarah

cicilan harian sebesar Rp 900,- (sembilan ratus rupiah) selama lima


belas tahun.
Proses relokasi ini dilakukan dalam dua tahap yaitu; tahap
pertama tahun 1990 dan tahap dua tahun 1993. Kini penghuni
Perumahan Sosial Pecinan tersebut terdiri dari 115 rumah dengan
jumlah penduduk kira-kira 500 orang dengan komposisi laki-laki
sejumlah 214 orang dan perempuan 300an orang.
Pada awalnya masyarakat Hadipolo sebagian besar menolak
kebijakan relokasi komunitas tuna wisma dari Kaligelis yang
dipindahkan ke daerah Hadipolo, karena menurut warga setempat,
kehadirian mereka dianggap sebagai ancaman keamanan bagi
masyarakay Hadipolo. Hal ini tak lepas dari stigna negatif masyarakat
Hadipolo terhadap anak-anak jalanan yang hidupnya dianggap tidak
jelas hanya menjadi biang keladi dari berbagai tindakan-tindakan
mulai dari pencurian, pencopetan hingga tawuran.
Sebagian besar warga Hadipolo merasa tidak nyaman dengan
kehadiran para tuna wisma tersebut, apalagi citra desa Hadipoli yang
sebelumnya sudah dikenal sebagai desa unggulan dan sekaligus
sebagai pemenang lomba desa pada beberapa tahun sebelumnya.
Kehadiran kompleks perumahan sosial ini, bagi kebanyakan warga
Hadipolo dikhawatirkan hanya akan memperkeruh dan mengotori
kampung yang sedang naik daun.
Sebagai dampak sosialnya, warga perumahaan Pecinan
terutama anak-anak yang menjadi korban. Mereka dari tahun ke tahun
merasa terpinggirkan dalam kehidupan sosial masyarakat di Hadipolo
tersebut. Bahkan dalam pendidikan warga perumahan Pecinan tersebut
merasa didiskriminasikan, karena mereka dianggap sebagai keluarga
kotor yang tak mendapatkan pendidikan dari orang tuanya. Karena
itu anak-anak mereka banyak yang tak mau sekolah hanya gara-gara
diolok-olok oleh teman lainnya sebagai anak jalanan.
Namun seoring dengan berjalannya waktu serta proses
komunikasi sosial yang berjalan secara alami, pada kahirnya warga
perumahan Pecinan semakin mendapat pengakuan dari warga
setempat, meski sebagian masih tetap tidak bisa menghilangkan stigma
negatif yang terlancur ada sejak kehadirannya. Namun paling tidak
perkembangan komunikasi yang lebih terbuka semakin terbangun,
setidaknya dapat dilihat ketika diantara mereka memiliki gawe

112 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus

mereka sebagian saling mengundang untuk sekedar ikut tradisi


slametan atau mengikuti jamiyah tahlil rutin setiap malam jumat.
Meskipun demikian ancaman kecurigaan ketika terjadi kasus
pencurian atau perilaku negatif lain yang terjadi di Hadipolo dalam
banyak hal komunitas pecinan seringkali sebagai tertuduh. Bahkan
ancaman konflik sosial pun semakin rawan ketika komunikas sedang
buntu. Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada tahun 2006 dengan
terjadinya tawuran antara warga perumahan sosial dengan penduduk
setempat. Beberapa rumah warga perumahan sosial hancur, dan juga
banyak yang terluka baik warga pribumi maupun warga perumahan
sosial hanya gara-gara kesalahpahaman ketika salah seorang warga
perumahan Pecinan menghadirkan Orkes Dangdut dalam rangka
punya gawe resepsi pernikahan.
Karena itu kehadiran masyarakat pendatang yang kebanyakan
dari tuna wisma di Hadipolo tersebut perlu mendapatkan penanganan
dan pendampingan secara berkesinambungan agar mereka semakin
diakui oleh masyarakat lain sebagai bagian dari manusia yang
memiliki hak untuk hidup, berkumpul, memperoleh pendidikan
dan mendapatkan kecukupan secara ekonomi sehingga menemukan
kebahagianan dan kesejahteraan yang sejati.
2. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Perumahan Sosial
Pecinan, Hadipolo, Kudus
Konstruksi sosial komunitas Pecinan tak lepas dari kebiasaan
mereka yang biasaya sebagai pribadi yang bebas hidup dalam dunia
yang keras. Di jalanan, pasar, mall, pusat-pusat pariwisata serta
terminal bus adalah tempat keseharian mereka. Mereka sudah terbiasa
hidup ala kadarnya, sehingga mereka memiliki daya tahan yang tinggi
baik secara fisik maupun mental
Karena itu kondisi sosial mereka cenderung kuat di tingkat
internal komunitasnya, namun kurang peduli (egois) dengan
lingkungan di luarnya (eksternal). Mereka lebih mengedepankan
aspek material dalam segala aktifitasnya dengan segala cara dan
upayanya.
Sebagian besar mereka dalam mempertahankan hidupnya
adalah sebagai pengemis terutama yang sudah terlalu tua dan anak-
anak, sebagai pengamen bagi yang masih muda baik putra maupun

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 113


Mubasyarah

putri, sebagai pengumpul barang bekas dan juga sebagian ada yang
terpaksa mencopet dan sejenisnya. Namub sebagian besar mereka
tetap berusaha untuk mendapatkan/memenuhi kebutuhan ekonomi
mereka dengan jalan yang benar, meski dalam bentuknya yang masih
rendahan.
Karena itu kebiasaan mereka yang hidup di jalanan ini
menjadikan mereka sungguh kuat dari terpaaan angin malam maupun
panasnya sianr mentari pada siang hari. Namun meskipun mereka
kurang tidur karena pada malam hari seringkali begadang, esok
harinya sudah bangun pagi-pagi betul untuk mengobyek sekedar
demi sesuap nasi.
Kebiasaan mereka bertahun-tahun yang hidup dalam dunai
yang keras sewakti masih hidup di pinggir Kaligelis Kudus, ternyata
tidak juga berubah meski sudah pindah di kompleks perumahan baru
di Pecinan, Hadipolo, Kudus.
Meski sudah sering ada penyuluhan dari dinas sosial pemda
Kudus dan sejumlah lembaga terkait di Komunitas "Pecinan"
tersebut, ternyata tetap belum mampu mengubah kebiasaan mereka
yang lebih senang meminta-minta (pengemis), pengamen dan juga
sebagai pengumpul barang bekas. Namun sebagain ada yang mulai
mengembangkan profesi lain dengan mengemudikan angkutan
becak.
Karena itu hingga sekarang sumber ekonomi Komunitas
"Pecinan" kebanyakan adalah sebagaimana kebiasaan ketika masih
di pinggir Kaligelis. Sementara kondisi sosial yang ada juga masih
cenderung keras, penampilan meraka terutama yang laki-laki banyak
yang bertato. Namun yang jelas etos mereka sangat tinggi menjalankan
upayanya dalam memperjuangkan keluarga agar tetap survive.
Maka pada siang hari sejak pagi sehabis subuh hingga petang
hari habis ashar perumahan di Komunitas "Pecinan" akan sepi dari
waganya, karena kebanyakan mereka sedang keluar rumah menggapai
rizki demi jalan panjang hidupnya yang penuh harapan.
3. Kondisi Dakwah Masyarakat Perumahan Sosial Pecinan
Hadipolo, Kudus
Sebagaimana telah sedikit disinggung di depan bahwa secara
sosial-ekonomi kebanyakan Komunitas "Pecinan" yang berprofesi

114 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus

sebagai pengamin, pengemis, pengumpul barang bekahs dan tukang


becak adalah profesi yang tak menentu. Artinya upaya mereka dalam
mempertahankan hidupnya jelas sarat dengan keterbatasan. Karena
itu sumber penghasilan yang pas-pasan dan tidak menentu lebih
banyak diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan promernya yaitu
sandang, pangan dan papan.
Kehidupan mereka di perumahan Komunitas "Pecinan"
disamping dalam setiap hari harus membayar cicilan rumah meski tak
besar, juga memiliki tanggung jawab untuk memberi makan keluarga
demi mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Karena itu urusan pendidikan untuk anak-anak mereka kurang
begitu diperhatikan. Kebanyakan anak-anak Komunitas "Pecinan"
adalah putus sekolah di jenjang SD dan tingkat SLTP. Bahkan mereka
yang semestinya masih usia SD, kebanyakan mereka sudah keluar
rumah sebagai pengamen membantu pemasukan ekonomi untuk
keluarganya. Meskipun demikian ada beberapa orang sekitar 15-20
orang yang sudah berhasil menamatkan SLTP (MTs dan SMP serta
SMU/MA). Termasuk anak-anak yang sebagai peserta peletihan life
skill dan pelatihan pengelolaan TPQ yang diselenggrarakan oleh P3M
STAN Kudus ini adalah kelompok tersebut, disamping juga melibatkan
mereka yang putus sekolah bahkan yang tidak sekolah.
Karena itu model dakwah yang diselenggarakan di tempat
dimana mereka tinggal (di perumahajan Pecinan) seperti TPQ Al
Muhajirin sangat berarti bagi mereka disamping itu, fokus utama
kegiatan dakwah dilaksanakan di musalla almuhajirin yang berada
di pertengahan tempat tinggal penduduk. Karena dengan demikian
akan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengikuti kegiatan
keagmaan secara lebih efisien karena tidak harus pergi jauh. Dalam
kerangka inilah menjadi penting menghidupkan kembali TPQ Al
Muhajirin, lembaga pendidikan satu-satunya yang dimiliki oleh
Komunitas "Pecinan" itu. Ditempat inilah kegiatan keagamaan baik
berupa sekolah maupun ceramah-ceramah keagamaan dilakukan.
Adapun metode dakwha yang digunakan adalah dengan
mauidhah hasanah yaitu suatu dakwah dengan menggunakan nasehat
yang baik. Hal ini dilakukan oleh dai yang betempat tinggal di lokasi
tersebut. Dai atau mualligh yang ada di Dukuh Argopuro adalah Bapak
Sumarto, berusia sekitar 40 tahun. Alamat asalanya adalah dari Desa

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 115


Mubasyarah

Muryolobo Kecamatan Nalumsari Kabupaten Jepara, Bapak Sumarto


tinggal di Dukuh Argopuro bersamaan dengan dibukanya dukuh
tersebut sekitar tahun 1993. Ia melaksanakan kegiatan dakwah karena
merasa terpanggil melihat kondisi masyarakat Dukuh Argopuro yang
belum begitu mengenal ajaran Agama Islam.20
Sumarto sebagai tokoh agama berpenampilan sederhana
dengan mamanjangkan jambang, sehingga kesan sebagai orang Islam
dengan penganut aliran tertentu nampak padanya.
Sebagai dai yang tinggal bersama masyarakat Argopuro,
Sumarto sangat memahami kondisi sosiologis dan psikologis
masyarakat yang jadi madunya, sehingga dalam menyampaikan
pesan-pesan dakwahnya menggunakan metode ceramah atau
mauidhah hasanah dan denga menggunakan bahasa sederhana yang
sangat mudah dipahami oleh madunya. Disamping itu dengan tinggal
ditempat yang sama, sewaktu-waktu dia dapat menyampaikan pesan
dakwahnya tanpa harus dilakukan dalam situasi formal.
Materi dakwah sebagaimana kita ketahui bahwa materi dakwah
dapat dibag1 tiga yaitu:
- Aqidah
- Syariah
- Akhlak
Secara inci dapat penulis sebutkan materi dakwah di Dukuh
argopuro adalah sebagai berikut:
a. Pengajian malam Jumat, materi pokoknya adalah:
1. Pendalaman aqidah islamiyah
2. Pendalaman kaifiyah ubudiyah
3. Pendalaman ahlussunnah waljamaah
b. Fashalatan, materi pokoknya adalah:
1. Memberikan contoh-contoh gerakan shalat
2. Memberikan makna gerakan shalat
3. Mengontrol gerakan-gerakan shalat
4. Mengontrol ucapan-ucapan (hafalan) doa dalam shalat
c. Belajar Baca Tulis al-Quran, materi pokoknya adalah:
1. Mengetahui huruf-huruf hijaiyah
2. Mengetahui cara-cara membacanya sesuai dengan makhraj
dan tajwidnya

20. Wawancara dengan Bapak Sumarto, dai /mualligh Dukuh Argopuro,


pada tanggal 5 Nopember 2008

116 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Dakwah Pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus

d. Hafalan surat-surat pendek dan doa-doa, materi pokoknya


adalah:
1. Menghafal surat dhuha sampai surat an-Nas
2. Menghafal doa-doa dalam perbuatan sehari-hari
3. Memberitahukan makna yang terkandung dalam surat dan
doa tersebut21

G. PENUTUP
Islam sebagai agama yang universal sangat memperhatikan
manusia sebagai individu, kare na individu merupakan dasa bagi
terciptanya masyarakat yang sejahtera, makmur, berkeadilan dan
damai. Suatu masyarakat tidak akan sejahtera, damai, aman dan
berkeadilan, jika tidak ditanamkan sedini mungkin makna dari nilai-
nilai kedamaian, keadilan dan kesejahteraan kepada setiap individu
dari masyarakat, karena masyarakat pada hakekatnya komunitas
yang terdiri dari individu-individu yang hidup di suatu daerah yang
mempunyai keinginan dan tujuan yang sama untuk saling dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Manusia tidak akan
mampu bertahan hidup hanya dengan kesendirian (individual) tanpa
bantuan orang lain.
Sikap dan tingkah laku dai merupakan salah satu faktor
keberhasilan dakwah yang dilakukan, masyarakat pelaku dakwah
senantiasa mengamati dan meniru sikap yang dimiliki dai. Sebagai
seorang dai sikapnya haruslah merupakan cerminan dari tingkah
lakunya sehari-hari.
Keberhasilan dakwah yang dilakukan di Kampung Pecinan
Argopuro Kudus diantaranya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu;
metode yang digunakan, profil dai dan materi yang disampaikan
sesuai dengan kondisi madu, serta sesuai dengan situasi dan kondisi
yang terdapat pada masyarakat tersebut.

21. Wawancara dengan Sumarto, mubaligh Dukuh Argopuro dan be -


domisili ditempat tersebut pada 26 Oktober 2008

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 117


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Ghalways, al-Dakwah Ushuluha wa Wasailuha ( Kairo al-Kitab


al-Misyri, 1987
Aswadi dalam artikelnya yang berjudul Mujaalah Sebagai Metode
Dakwah dalma jurnal Ilmu Dakwah Vol.13 No.1 April 2006,
hlm. 85 Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006
Bisri Affandi dalan Metodologi Penelitian Dakwah:Sketsa Pemikiran
Pengembangan Ilmu Dakwah, Ramadhani, Solo 1991
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Remaja Rosdakarya, Bandung,
2002
Elizabeth K. Nottingham, Religion and Society, terj. Abdul Muis
Naharong, CV.Rajawali, Jakarta, 1985
Hiroko Horikosi, Kyai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1987
Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama,Remaja
Rosdakarya Bandung, 2001
Kartini Kartono, Patologi Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001
M.Masykur Amin (ed.), Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran
Islam, LKPSM-NU,Yogyakarta, 1989
Masdar Farid Masudi, Agama Keadilan Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991
Patton , Qualitative Evaluation Method, Beverly Hillls, CA. Sage
Publication Inc 1980
Peter L.Berger, dan Hansfried Keliner, Pluralisasi Dunia Kehidupan,
dalam Hans Dieter Eers (peny.)Teori Masyarakat, Proses
Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1988
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran dan Peranan Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1995
Sanapiah Faisal, enelitian Kualitatif, dasar dan Aplikai, YA3, Malang,
1990
Soerjono Soekanto, Sosilogi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1999
Susan Stainbac, William Stainback, Understanding & Conduting
Qualitative Research, Kendall/Hunt Publishing Company
Dubuque, Iowa, 1988

118 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


MAKNA UNGKAPAN SISWA
(STUDI TULISAN DI TEMBOK SEKOLAH)

Oleh: Kisbiyanto

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif


tentang makna yang diambil dari ungkapan-ungkapan siswa yang
ditulis secara bebas di tembok sekolah.
Temuan penelitian ini antara lain menyimpulkan : (1) tulisan tembok
pada umumnya ditulis pada tembok belakang, tembok samping
dan tembok pada toilet atau water closet sekolah. Meskipun ada,
tapi jarang sekali ada tulisan tembok di bagian depan atau tempat
strategis pada gedung sekolah. Bagian paling banyak dan sering
ditulisi adalah tembok toilet sekolah. Cara menuliskan ungkapan
juga bervariasi, yaitu ada yang tulisan kapur, spidol, pensil dan bol
point yang menjadi corak terbanyak dari tulisan-tulisan tembok itu;
(2) Motif-motif yang melatarbelakangi siswa menulis ungkapan-
ungkapannya. Dari beberapa latar belakang motif itu, bisa dikategori
menjadi 24 temuan motif, yaitu ajakan untuk kategori baik, ancaman
untuk kategori buruk, bercanda/bergurau untuk kategori baik dan
buruk, bersemangat/bertekad untuk kategori baik, berteman untuk
kategori baik, biasa untuk kategori baik, bujukan untuk kategori baik
dan buruk, cinta untuk kategori baik dan buruk, doa untuk kategori
baik, dukungan sport untuk kategori baik, ejekan untuk kategori
buruk, evaluasi untuk kategori baik, harapan untuk kategori baik,
ingin rileks/jenuh untuk kategori baik, jorok untuk kategori buruk,
kacau untuk kategori buruk, keberanian untuk kategori baik,
kecewa untuk kategori baik dan buruk, kuat mental untuk kategori
baik, nasehat untuk kategori baik, persahabatan untuk kategori
baik, politik untuk kategori baik, protes untuk kategori baik dan

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 119


Kisbiyanto

buruk, dan semangat untuk kategori baik; (3) pada usia anak dan
remaja, siswa mempunyai kecenderungan-kecenderungan yang
wajar meskipun kadang-kadang agak negatif sehingga harus tetap
mendapatkan bimbingan atau pembinaan yang intensif dari banyak
aspek pemikiran, sikap dan perilaku siswa; (4) tulisan ungkapan
siswa yang ditulis di tembok sekolah, pada umumnya mempunyai
makna-makna dalam kategori baik, buruk dan baik-buruk; dilihat
dari aspek tema tulisan, bermakna percintaan, gurauan, protes,
pernyataan jorok, prinsip atau ajakan dengan nasehat tertentu, dan
semacamnya, dan sebagian kecilnya bertema ajakan, pertemanan,
politik dan pernyataan ringan; adapun makna kontekstual dari
tulisan di tembok sekolah, antara lain sekolah harus meningkatkan
komunikasi dan pembinaan kepada siswanya, dan siswa sebagai
peserta didik membutuhkan ruang dan waktu yang luas dan
bervariasi untuk menyatakan pendapat, aspirasi, isi hati dan
semacamnya sebagai media komunikasi yang interaktif antara guru
dan siswa di sekolah.
Kata Kunci : Makna, Tulisan di Tembok

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Banyak hal yang bisa menjadi perhatian ilmiah, khususnya
perilaku siswa yang sehari-hari belajar di sekolah. Salah satunya,
perilaku siswa menulis ungkapan-ungkapan yang sering dituliskan
di tembok sekolah, misalnya pada tembok dan pintu toilet atau pada
dinding samping dan belakang gedung sekolah. Ungkapan-ungkapan
itu bukan tanpa makna, karena dimungkinkan mereka menuliskannya
dengan maksud tertentu atas peristiwa tertentu atau respon tertentu.
Makna-makna itu tidak mudah dijelaskan karena itu diperlukan kajian
mendalam untuk mengungkap makna tulisan-tulisan siswa itu, baik
yang cenderung positif maupun negatif, meskipun kadang-kadang
secara umum dinilai negatif karena lebih dimaknai sebagai corat-coret
tembok sekolah.
Perilaku siswa menuliskan ungkapan pikiran, isi hati, respon,
pelampiasan dan semacamnya di tembok sekolah bisa dikaitkan
dengan nilai-nilai pendidikan. Nilai-nilai pendidikan menjadi ukuran
keberhasilan atau kegagalan suatu proses pendidikan. Hal ini terkait
dengan nilai hakekat pendidikan. Hakekat pendidikan adalah proses
memanusiakan manusia (Sardiman 1996, Barnadib 1995). Potensi yang

120 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Makna ungkapan Siswa (Studi Tulisan di Tembok Sekolah)

dimiliki oleh manusia membutuhkan pemberdayaan sehingga manusia


dapat memenuhi kebutuhan dengan kemampuan yang dimiliki
itu. Pendidikan dalam hakekatnya sebagai proses pemanusiaan/
humanisasi (Tilaar 2000) merupakan proses dialog antar manusia yang
membiarkan tumbuhnya kesadaran kemanusiaan yang utuh tanpa
pembelengguan (Freire 2000). Proses humanisasi ini akan senantiasa
berkomunikasi dengan perkembangan zaman dan berkembang sesuai
setting sosio-kultural yang terjadi dari masa ke masa.
Karena pendidikan adalah proses yang mengalami dinamikaa
maka yang menjadi pertaruhan dalam proses perkembangan itu
adalah masalah yang berkaitan dengan nilai (akhlak, etika, moral).
Kritik terhadap konsep pendidikan yang hanya sekadar proses
pemindahan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) patut didukung.
Langkah selanjutnya adalah penerapan konsep pendidikan sebagai
penanaman nilai-nilai (transfer of value) (Hasbullah 1996). Konsep ini
bukan sekadar jargon yang dimiliki oleh para pendidik masa kini, tetapi
sejak keberadaan pendidikan pendidikaan sendiri yaitu penanaman
nilai-nilai moral, etika, akhlak yang menunjuk kepada pembentukan
kepribadian peserta didik. Plato dan aristoteles dalam ajarannya
menyebutkan filsafat etika yang membicarakan tentang baik dan
buruk (Bakri 1981). Imam Ghazali menekankan pendidikan sebagai
proses penanaman budi pekerti luhur sehingga mendarah daging di
dalam jiwa (Mahfudh 2000). Musthafa al-Ghalayani mengisyaratkan
pendidikan sebagai penanaman akhlak mulia di dalam jiwa anak
didik pada masa pertumbuhannya (al-Ghalayani), demikian pula
Drost (1998) yang menyebutkan bahwa pendidikan merupakan proses
membentuk manusia dewasa yang berkepribadian.
Kajian tentang perilaku siswa yang diharapkan sesuai dengan
hakekat tujuan pendidikan memang tidak pernah selesai sesuai
idealitas. Studi tentang perilaku semakin menarik jika dikaitkan
dengan perkembangan perilaku dewasa ini, yaitu siswa masa kini
yang mempunyai kebebasan berekspresi, mengakses informasi,
menjalin komunikasi dan menggunakan falisitas teknologi canggih
baik untuk kepentingan keilmuan maupun interaksi biasa. Salah satu
fenomena perilaku siswa adalah ekspresi mereka mengungkapkan
perasaan dengan menuliskannya di tembok sekolah. Karena belum
banyak yang mengkaji fenomena ini, maka penelitian ini menfokuskan

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 121


Kisbiyanto

diri pada judul penelitian Makna Ungkapan Siswa (Studi Tulisan Di


Tembok Sekolah).
1. Fokus Penelitian
Penelitian ini disusun dengan rumusan masalah tentang
pengelolaan madrasah diniyah, yang secara rinci difokuskan pada hal-
hal berikut :
a. Bagaimana tulisan-tulisan tembok pada sekolah di Kudus ?
b. Bagaimana motif yang mendorong siswa menulis di tembok
pada sekolah di Kudus ?
c. Bagaimana pembinaan bagi siswa atas tulisan tembok sekolah
di Kudus?
d. Bagaimana makna tulisan-tulisan tembok pada sekolah di
Kudus ?
2. Batasan Masalah
Banyak sekali masalah evaluasi pendidikan pada sekolah/
madrasah di Kabupaten Kudus, namun dalam penelitian ini dibatasi
cakupan pembahasannya pada aspek problematika sekitar kenaikan
kelas dan kelulusan, bahkan secara rinci cakupan penelitian ini terbatas
pada (1) tulisan-tulisan tembok pada sekolah di Kudus, (2) motif
yang mendorong siswa menulis di tembok pada sekolah di Kudus,
(3) pembinaan bagi siswa atas tulisan tembok sekolah di Kudus, (4)
makna tulisan-tulisan tembok pada sekolah di Kudus.
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini lakukan dengan tujuan sebagai berikut :
a. Mendeskripsikan tentang tulisan-tulisan tembok pada sekolah
di Kudus.
b. Mendeskripsikan tentang motif yang mendorong siswa menulis
di tembok pada sekolah di Kudus.
c. Mendeskripsikan tentang pembinaan bagi siswa atas tulisan
tembok sekolah di Kudus.
d. Menjelaskan tentang makna tulisan-tulisan tembok pada sekolah
di Kudus.
4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik
secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut :

122 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Makna ungkapan Siswa (Studi Tulisan di Tembok Sekolah)

a. Manfaat teoritis penelitian ini adalah kajian tentang psikologi


pendidikan, yaitu telaah tentang ekspresi perilaku siswa di
sekolah serta untuk memperkaya khazanah keilmuan dalam
bidang pendidikan.
b. Manfaat praktis penelitian ini adalah memberikan informasi
dan masukan kepada para pengelola dan pendidik, khususnya
Pemerintah, Dinas Pendidikan, Mapenda Islam Depag,
pengelola dan pendidik di sekolah/madrasah di Kabupaten
Kudus, yang berkaitan dengan pengelolaan perilaku siswa di
sekolah/madrasah.

B. KAJIAN PUSTAKA

1. Sistem Nilai
Manusia berperilaku bukan tanpa pertimbangan, tapi sangat
terkait dengan pertimbangan awal yang dipersepsikan, yaitu suatu
nilai. Nilai menurut Robbins (2008:84) adalah keyakinan-keyakinan
dasar bahwa pola perilaku khusus atau bentuk akhir keberadaan
secara pribadi atau sosial lebih disukai dari pada pola perilaku atau
bentuk akhir keberadaan yang berlawanan atau kebalikan. Nilai
menurut Rokeach dalam Ekosusilo (2003) dipahami sebagai tipe suatu
kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan
dimana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau
mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Ini berarti
hubungannya dengan pemaknaan atau pemberian arti obyek.
Nilai erat kaitannya dengan perilaku organisasi karena
suatu nilai meletakkan dasar-dasar untuk memahami sikap dan
motivasi seseorang dan nilai juga mempengaruhi persepsi seseorang,
sebagaimana Robbins menjelaskan :
Values are important to the study of organizational behavior because they
lay the foundation for the understanding of attitudes and motivation as
well as influencing our perceptions. Individuals enter an organization with
preconceived notions of what ought and what ought not to be. Of course,
these notions are not value free.

Pengertian dan penjelasan tentang nilai di atas bisa diuraikan


dalam beberapa konteks, khususnya dalam kaitannya dengan nilai
dalam organisasi atau lembaga pendidikan, yaitu bahwa : (1) nilai
merupakan suatu kepercayaan seseorang atau sekelompok orang

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 123


Kisbiyanto

yang meyakini baik atau tidak baik tentang sesuatu, (2) nilai bisa
memberikan pemaknaan terhadap suatu obyek berupa benda, sikap,
tindakan untuk dimaknai baik-buruk, layak-tidak layak, pantas-tidak
pantas dan sebagainya, dan (3) nilai bisa mempengaruhi persepsi
seseorang terhadap apresiasi tertentu sehingga mempengaruhi
obyektifitas tertentu karena seseorang dengan nilai itu akan mempunyai
kecenderungan dalam perspektif nilai yang dianutnya.
Sistem nilai menurut Robbins (2008:84) adalah hirarki yang
didasarkan pada pemeringkatan nilai-nilai pribadi berdasarkan
intensitas nilai tersebut. Menurut Rokeach, a value system is a learned
organization of principles and rules to help one choose between alternatives,
solve conflict and make decision, yang berarti bahwa sistem nilai adalah
prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang dapat dipelajari dalam suatu
organisasi untuk membantu seseorang memilih di antara berbagai
alternatif menyelesaikan konflik dan membuat keputusan (Ekosusilo
2003).
Suatu lembaga pendidikan sangat erat kaitannya dengan sistem
nilai. Lembaga pendidikan mempunyai subyek-subyek pelaku dan
penyelenggara pendidikan yang terdiri dari person-person berbeda
sikap dan perilakunya. Bahkan dalam suatu lembaga pendidikan,
sering kali ditemukan perbedaan itu berujung pada konflik antar
individu maupun konflik antar kelompok dalam organisasi. Karena
itu, untuk diperlukan suatu sistem nilai tertentu yang menjadi landasan
norma interaksional antara subyek pendidikan baik kepala sekolah,
guru, murid, orang tua/wali, anggota komite sekolah dan masyarakat
terkait lainnya.
Tujuan pendidikan nasional tentu berbeda dengan tujuan
pendidikan di negara lain karena perbedaan sistem nilai yang
digunakan dalam menentukan tujuan pendidikan diberbagai negara.
Negara Indonesia mempunyai latar belakang budaya, kondisi dan
masalah berbeda dengan bangsa lain, sehingga tujuan pendidikan
di Indonesia diarahkan kepada pembentukan karakter bangsa
sebagaimana dirumuskan di atas. Sistem nilai bisa berbeda karena
perbedaan stratifikasi pendidikan, misalnya pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Sistem nilai jugaa bisa
berbeda karena faktor setting sosial misalnya sekolah di pedesaan
dan perkotaan, sekolah di komunitas pertanian, perdagangan dan

124 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Makna ungkapan Siswa (Studi Tulisan di Tembok Sekolah)

industri. Sistem nilai juga bisa berbeda karena tradisi tertentu yang
biasa dilakukan di suatu sekolah, misalnya sekolah swasta dan sekolah
negeri, sekolah umum dan kejuruan.
Robbins (2008:84) menjelaskan bahwa nilai dalam suatu
organisasi sangat penting untuk mengkaji tentang perilaku organisasi
karena nilai menjadi dasar untuk memahami sikap dan motivasi
serta karena nilai mempengaruhi persepsi seseorang. Individu-
individu memasuki organisasi dengan gagasan yang dikonsepsikan
sebelumnya mengenai apa yang seharusnya dan tidak seharusnya.
Gagasan-gagasan itu sendiri tidaklah bebas nilai. Sebaliknya, gagasan-
gagasan itu mengandung penafsiran tentang benar dan salah. Bahkan,
gagasan-gagasan itu menyiratkan bahwa perilaku-perilaku atau hasil
tertentu lebih disukai dari pada yang lain. Efek sampingnya, nilai
bisa memperkeruh obyektifitas dan rasionalitas. Jadi nilai umumnya
mempengaruhi sikap dan perilaku.
2. Kepemimpinan Pendidikan
Kepemimpinan menurut Stogdill adalah proses mempengaruhi
aktifitas kelompok dalam rangka penyusunan tujuan organisasi dan
pelaksanaan sasarannya (Sulton 2003:24). Kepemimpinan dalam
pendidikan dijelaskan oleh Yukl sebagai berikut : Most definitions of
leadership reflect the assumption that it involves as social influence process
whereby intentional influence is axerted by one person (or group) over other
people (or groups) to structure the activities and relationship in a group or
organization (Bush 2006:5).
Selanjutnya, Bush (2006) menjelaskan bahwa kepemimpinan
pendidikan dibentuk oleh tiga dimensi dalam kepemimpinan, yaitu
kepemimpinan sebagai pengaruh, kepemimpinan berkaitan
dengan nilai-nilai dan kepemimpinan berkaitan dengan visi. Jadi
kepemimpinan pada hakekatnya merupakan kemampuan seseorang
untuk mempengaruhi orang-orang dalam organisasi dengan sistem
nilai tertentu dan visi tertentu pula untuk mencapai tujuan. Pemimpin
tidak bisa efektif jika tidak bisa mempengaruhi orang lain dengan
nilai-nilai dan visi kepemimpinan yang jelas.
Suatu model kepemimpinan bisa efektif jika mempunyai
kesesuaian tipologi dalam model-modelnya dengan situasi dan kondisi
organisasi atau lembaga pendidikan terutama (Bush 2006) tujuan

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 125


Kisbiyanto

(goal), struktur kelembagaan (structure), lingkungan (environment) dan


kepemimpinan itu sendiri (leadership). Model-model kepemimpinan.
Jadi model kepemimpinan merupakan kesatuan dari unjuk kerja
yang ditampilkan suatu aktifitas memimpin dilihat dari aspek tujuan,
struktur, lingkungan dan kemampuan seseorang dalam memimpin.
Model kepemimpinan dalam manajemen pendidikan antara
lain : (1) model formal (formal models), model kolegial (collegial models),
model politik (political models), model subyektif (subjective models),
model ambiguitas (ambiguity models) dan model kultural (cultural
models). Model-model tersebut sangat bervariasi dilihat dari konsep
dan operasinya. Dalam praktiknya, model-model akan terlihat sebagai
aktifitas yang tidak murni sebagai satu model tertentu, tetapi mungkin
akan nampak sebagai model kolaboratif. Misalnya saja, seorang
pemimpin pendidikan tradisional cenderung berperilaku dalam
model cultural namun secara bersamaan juga berperilaku sebagai
pemimpin dengan model politik atau kolegial dan seterusnya. Jadi
model kepemimpinan bisa dilihat dari ragam perspektif sehingga
kajian tentang model-model kepemimpinan dalam pendidikan selalu
berkembang sesuai dengan perkembangan model keorganisasian
beserta tata kehidupannya.
Kepemimpinan yang saat ini banyak mendapat perhatian
banyak pihak adalah kepemimpinan partisipatif dimana seorang
pemimpin menggunakan pendekatan khusus yaitu melibatkan
subyek-subyek organisasi atau lembaga beserta stake holders untuk
menentukan tujuan dan bekerja sama dalam mencapainya.
Kepemimpinan partisipatif dianggap baik dan sesuai dengan
pola kehidupam masyarakat kontemporer yang mengedepankan isu
demokratisasi (democration), persamaan (equality), kerja sama (team
work), kemajemukan (pluralism), multikultural (multicultural) dan
keterbukaan dalam manajemen (open management). Kepemimpinan
partisipatif juga mempunyai kekhususan dalam meningkatkan peran
serta anggota organisasi dalam menuangkan cita-cita, merumuskan
tujuan-tujuan bersama dan bekerja secara bersama untuk kepentingan
bersama pula. Pemimpin tidak seorang yang super power tetapi lebih
sebagai bapak atau ibu dan juga teman sejawat.
3. Budaya Sekolah
Budaya organisasi menurut Owens didefinisikan sebagai the
body of solution to external dan internal problems that has worked consistenly
for a group and that is therefore taught to new members as the correct way to

126 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Makna ungkapan Siswa (Studi Tulisan di Tembok Sekolah)

perceive, think about and feel in relation to those problem Jadi budaya
organisasi dipahami sebagai pola pemecahan masalah eksternal
dan internal yang diterapkan secara konsisten bagi suatu kelompok
dan karenanya diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai
cara yang benar dalam memandang, memikirkan dan merasakan
masalah yang dihadapi. Selanjutnya Owens juga menjelaskan bahwa
budaya organisasi berarti filsafat, ideologi, nilai-nilai, asumsi-asumsi,
keyakinan, harapan, sikap dan norma-norma bersama yang mengikat
atau mempersatukan suatu komunitas (Eko S, 2003:11).
Jadi budaya organisasi sangat terkait dengan sistem nilai yang
diyakini dalam suatu organisasi yang dengan nila-nilai itu komunitas
organisasi bersikap, berperilaku dan mengerjakan tugas-tugas
keorganisasian untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, budaya
kerja para anggota organisasi ditentukan oleh cara panadang mereka
terhadap nilai-nilai misalnya laba atau nilaba, efektif atau tidak efektif,
kebersamaan atau individual, terbuka atau tertutup, komitmen atau
melanggar dan sebagainya.
Suatu organisasi atau lembaga pendidikan tentu mempunyai
kekhasan sendiri dalam menyelenggarakan pengelolaan pendidikan.
Budaya sekolah unggulan berbeda dengan budaya sekolah belum
maju. Budaya sekolah di perkotaan cenderung berbeda dengan budaya
sekolah di pedesaan. Budaya sekolah formal dan sekolah non-formal
juga berbeda.
Menurut Robins terbentuknya budaya organisasi berasal
dari filsafat yang dimiliki oleh pendiri organisasi, selanjutnya
budaya tersebut digunakan sebagai criteria dalam mempekerjakan
karyawannya. Tindakan manajemen puncak (top leader) menentukan
iklim umum dari perilaku yang dapat diterima baik dan tidak baik.
Bagaimana karyawan harus diberi sosialisasi tergantung pada tingkat
sukses yang dicapai dalam mencocokkan nilaa-nilai karyawan baru
dengan nilai-nilai oranisasi dalam proses seleksi maupun preferensi
manajemen puncak akan metode-metode sosialisasi (Eko S, 2003:19-
21). Jadi budaya organisasi berasal dari pandangan hidup dan cita-cita
para pendiri (founding fathers) atas organisasi tersebut dan komunitas
berikutnya mengikutinya dengan cara kerja yang dicitakan. Misalnya,
sekolah keagamaan didirikan untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama
agar generasi berikutnya tidak buta agama dan tidak meninggalkan

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 127


Kisbiyanto

agama. Cita-cita kelembagaan ini secara terus menerus akan menjadi


cirri khusus lembaga itu dalam membentuk kinerja karyawan dan
semua pihak terlibat agar tujuan lembaga itu terwujud.
4. Motivasi dalam Pendidikan
Motif adalah keadaan dalam pribadi orang yang mendorong
individu untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu guna mencapai
sesuatu tujuan. Jadi, motif bukanlah hal yang dapat diamati, tetapi
motif merupakan sesuatu hal yang dapat disimpulkan adanya karena
sesuatu yang dapat kita saksikan. Tiap aktifitas yang dilakukan oleh
seseorang itu didorong oleh sesuatu kekuatan dari dalam diri orang
itu, kekuatan pendorong inilah yang disebut sebagai motif (Suryabrata
1998).
Menurut Woodworth dan Marquis dalam Suryabrata (1998),
motif dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) kebutuhan-kebutuhan organik,
(2) motif-motif darurat, dan (3) motif-motif obyektif.
5. Perubahan pada Diri Siswa
Diri peserta didik akan mengalami perkembangan dan
perubahan-perubahan seiring dengan perkembangan umurnya.
Karena itu, ada periodesasi perkembangan manusia dilihat dari aspek
didaktis. Dasar didaktis digunakan para ahli untuk menganalisis
beberapa kemungkinan, (1) apa yang harus diberikan kepada anak
didik pada masa tertentu, (2) bagaimana cara mengajar/mendidik
anak pada masa tertentu, dan (3) kedua hal tersebut di atas (Suryabrata
1998).
Salah satu konsepsi dalam golongan periodesasi berdasar
didaktis adalah yang dikemukakan Comenius, sebagai berikut :
1. Scola materna (sekolah masa ibu), untuk anak-anak umur 0-6
tahun
2. Scola vernacula (sekolah bahasa ibu), untuk anak-anak umur
6-12 tahun
3. Scola latina (sekolah latin), untuk anak-anak umur 12-18 tahun
4. Academica (akademi), untuk anak-anak umur 18-24 tahun.

C. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan Penelitian

128 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Makna ungkapan Siswa (Studi Tulisan di Tembok Sekolah)

Penelitian ini dirancang untuk menjelaskan masalah tentang


makna ungkapan siswa yang sering ditulis di tembok sekolah di
Kabupaten Kudus dengan pendekatan kualitatif. Karakter utama dari
pendekatan kualitatif adalah bukan dimaksudkan untuk menguji suatu
teori, tetapi untuk mengungkapkan fenomena dan realitas melalui
data-data secara deskriptif. Data-data spesifik dicari maknanya untuk
membuat kesimpulan yang general dari makna-makna yang diperoleh
dari data-data tersebut.
Dari penelitian ini diharapkan dapat dijelaskan tentang tulisan
di tembok sekolah, motif penulisan, upaya pembinaan dan makna
tulisan-tulisan itu di pada sekolah di Kabupaten Kudus.
2. Subyek dan Sumber Penelitian
Pertimbangan utama dalam menentukan subyek penelitian
ini adalah kesesuaian antara sumber informasi yang terkait dengan
permasalahan penelitian. Informasi yang dibutuhkan dalam penelitian
ini adalah tentang memaknai tulisan peserat didik pada tembok
sekolah.
Sumber informasi dikelompokkan menjadi dua, yaitu : (1)
sumber utama terdiri dari siswa dan pendidik pada sekolah di
Kabupaten Kudus, meliputi kepala sekolah/madrasah, wakil kepala
dan para guru, (2) sumber pendukung, yaitu tenaga kependidikan
lainnya, misalnya pegawai sekolah.
Untuk memperoleh data yang valid dan reliabel, sumber
informasi ditentukan secara purposif, yaitu para responden yang
dianggap bisa memberikan data yang akurat, maka dituju sebagai
sumber yang pokok. Tidak semua siswa, kepala sekolah/madrasah
dan guru menjadi responden. Namun, untuk langkah awal, peneliti
mengklasifikasi sumber-sumber tersebut dalam pembagian area
yang menyebar di seluruh kecamatan dan seluruh tingkat lembaga
pendidikan di Kabupaten Kudus.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Agar diperoleh kesesuaian antara persoalan yang fokus
dengan setting penelitian, sebagaimana dianjurkan oleh Moleong
(1994), dilakukan penjajakan dan penilaian lapangan, dalam hal ini
adalah keseluruhan wilayah Kabupaten Kudus. Dengan demikian,
lokasi penelitian ini difokuskan di 9 Kecamatan di Kabupaten Kudus,

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 129


Kisbiyanto

dengan penyebaran pada setiap kecamatan diambil sampel purposif


sekolah/madrasah yang mempunyai karakteristik yang dituju, yaitu
tembok yang bertuliskan ungkapan siswa.
Penelitian dengan pendekatan kualitatif tidak ditentukan
batas waktu secara jelas sampai peneliti memperoleh pemahaman
yang benar-benar mendalam tentang obyek yang diteliti. Namun
karena pertimbangan dan keterbatasan waktu, biaya dan tenaga,
maka penelitian dapat diakhiri dan dibuat laporannya jika dianggap
telah mencapai data dan analisis sesuai dengan rancangan. Namun
demikian, penelitian ini tetap dibatasi waktu antara, yaitu mulai Bulan
Mei sampai September 2009.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data, penelitian ini menggunakan tiga
teknik, yaitu pengamatan/observasi, wawancara dan dokumentasi.
Dalam pengamatan, dua hal penting (Nasution 1996:58) yang
diperhatikan, yaitu informasi dan konteks. Dengan ketepatan dalam
menghubungkan keduanya, maka didapat maknanya, karena makna
diperoleh dari keterkaitan antara informasi dan konteksnya. Bentuk
pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini ada tiga, yaitu : (1)
pengamatan secara deskriptif, (2) pengamatan secara terfokus, dan (3)
pengamatan selektif.
Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara struktur dan wawancara tak struktur. Dalam wawancara,
peneliti menetapkan masalah dan pertanyaan yang akan diajukan.
Teknik ini ditempuh karena sejumlah sampel yang representatif
ditanyai dengan pertanyaan yang sama, sehingga diketahui informasi
atau data yang penting. Peneliti melakukan wawancara terhadap
subyek penelitian/responden dengan merencanakan materi wawancara
tentang makna tulisan siswa pada tembok sekolah di Kudus.
Dokumentasi dilakukan untuk mendapatkan informasi dari
sumber yang berupa dokumen/arsip, foto, dan bahan statistik yang
lain. Data diperoleh dari dokumentasi data-data yang berkaitan
dengan perilaku menulisi tembok sekolah di Kudus, baik yang berupa
tulisan/dokumen resmi maupun dokumen pribadi.
5. Keabsahan Data
Agar data yang diperoleh, yang berujung pada kesimpulan
atau verifikasi, dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka

130 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Makna ungkapan Siswa (Studi Tulisan di Tembok Sekolah)

dilakukan pemeriksaan keabsahan data. Teknik yang digunakan


dalam pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini, sebagaimana
dikatakan Moleong (2001) meliputi : perpanjangan keikutsertaan,
ketekunan pengamatan, triangulasi, pemeriksaan sejawat, kecukupan
referensi, kajian kasus negatif dan pengecekan. Namun, dalam
penelitian ini, tidak semua teknik di atas digunakan, hanya beberapa
teknik yang tepat dan diperlukan saja yang digunakan, khususnya
trianggulasi.
6. Teknik Analisis Data
Untuk memberikan pemaknaan atas data atau fenomena yang
ditemukan dan dikumpulkan dalam penelitian ini, maka dilakukan
analisis dengan pendekatan kualitatif dengan eksplanasi bersifat
deskripsi. Dengan teknik analisis deskriptif, langkah yang ditempuh
dalam analisis ini adalah mengorganisir data berupa gambar, foto,
dokumen yang berupa laporan, biografi, artikel dan sebagainya
(Moleong, 2001: 103), yaitu arsip yang dimiliki oleh sekolah/
madrasah.
Selanjutnya data-data yang diperoleh dianalisis dengan model
siklus interaktif sebagaimana dikemukakan oleh Milles dan Huberman
(1992 : 20). Proses ini dilakukan selama proses penelitian ditempuh
melalui serangkaian proses pengumpulan, reduksi, penyajian dan
verifikasi data.
Ryan dan Bernard dalam Denzin (2000) menjelaskan bahwa
teknis analisis data dalam domain kultural (techniques for analyzing data
about cultural domain) menggunakan analisis komponensial, taksonomi
dan mental maps.
Akhirnya berdasarkan sajian data tersebut, peneliti melakukan
penarikan kesimpulan atau verifikasi, setelah terlebih dahulu melihat
hubungan satu dengan yang lain dalam kesatuan bahasan. Selanjutnya
peneliti melakukan interpretasi dan memberi makna terhadap
fenomena yang ditemukan. Proses verifikasi ini ditempuh dengan
tujuan untuk lebih memperkaya dan mengabsahkan hasil interpretasi
yang dilakukan.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 131


Kisbiyanto

D. TEMUAN PENELITIAN
1. Tulisan-tulisan Tembok pada Sekolah
Tulisan tembok pada umumnya ditulis pada tembok belakang,
tembok samping dan tembok pada toilet atau water closet sekolah.
Meskipun ada, tapi jarang sekali ada tulisan tembok di bagian depan
atau tempat strategis pada gedung sekolah. Bagian paling banyak dan
sering ditulisi adalah tembok toilet sekolah.
Pada umumnya, sekolah yang maju lebih nampak bersih dari
tulisan-tulisan tembok karena perawatan dan penjagaan kebersihan
dan kerapian sekolah relatif baik. Nampaknya, sekolah maju juga lebih
sering mengecat ulang tembok-tembok mereka. Sedang di sekolah yang
kurang maju, pada umumnya tembok nampak lebih usang mungkin
sudah lama tidak dicat ulang sehingga tulisan tembok nampak lebih
banyak dan bervariasi karena banyak yang menuliskan ungkapan dari
beberapa kelas, beberapa generasi atau angkatan.
Di beberapa sekolah, tulisan tembok ditemukan dalam ruang
kelas namun tidak terlalu banyak. Ada juga tulisan-tulisan ungkapan
siswa yang didapati di papan atau majalah dinding yang sebagiannya
nampak tidak terpakai. Ada juga tulisan-tulisan yang ditemukan pada
tiang-tiang gedung sekolah meskipun tidak terlalu banyak.
Cara menuliskan ungkapan juga bervariasi, yaitu ada yang
tulisan kapur, spidol, pensil dan bol point yang menjadi corak terbanyak
dari tulisan-tulisan tembok itu. Sebagian kecil juga ada tulisan yang
menggunakan cat tetapi tidak dijumpai di abnyak sekolah.
Berbagai macam tulisan tembok dari ungkapan siswa memang
cukup menarik terutama dilihat dari konten atau pesan tulisan-tulisan
tersebut. Secara umum, bisa dibedakan menjadi beberapa kelompok
tulisan, yaitu tulisan yang bernilai positif, tulisan bernilai negatif dan
tulisan bernilai biasa.
2. Motif yang Mendorong Siswa Menulis di Tembok pada
Sekolah
Ada beberapa motif yang melatarbelakangi siswa menulis
ungkapan-ungkapannya. Dari beberapa latar belakang motif itu, bisa
dikategori menjadi 24 temuan motif, yaitu :

132 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Makna ungkapan Siswa (Studi Tulisan di Tembok Sekolah)

a. Ajakan untuk kategori baik


b. Ancaman untuk kategori buruk
c. Bercanda/bergurau untuk kategori baik dan buruk
d. Bersemangat/bertekad untuk kategori baik
e. Berteman untuk kategori baik
f. Biasa untuk kategori baik
g. Bujukan untuk kategori baik dan buruk
h. Cinta untuk kategori baik dan buruk
i. Doa untuk kategori baik
j. Dukungan sport untuk kategori baik
k. Ejekan untuk kategori buruk
l. Evaluasi untuk kategori baik
m. Harapan untuk kategori baik
n. Ingin Rileks/jenuh untuk kategori baik
o. Jorok untuk kategori buruk
p. Kacau untuk kategori buruk
q. Keberanian untuk kategori baik
r. Kecewa untuk kategori baik dan buruk
s. Kuat mental untuk kategori baik
t. Nasehat untuk kategori baik
u. Persahabatan untuk kategori baik
v. Politik untuk kategori baik
w. Protes untuk kategori baik dan buruk
x. Semangat untuk kategori baik
3. Pembinaan bagi Siswa
Ungkapan siswa yang ditulis pada tembok sekolah pada
umumnya didominasi oleh olah tema-tema tentang percintaan,
gurauan, protes, pernyataan jorok, prinsip atau ajakan dengan nasehat
tertentu, dan semacamnya. Dilihat dari aspek prikologis, memang
sangat terkait dengan kepribadian dan perkembangan mereka yaitu
pada usia anak dan remaja. Pada usia anak dan remaja itulah para siswa
mencari jati diri atas kepribadian mereka dan tumbuh berkembang
sesuai dengan faktor-faktor bawaan maupun kehidupan lingkungan
mereka.
Padausiaanakdanremajaitu,siswamempunyaikecenderungan-
kecenderungan yang wajar meskipun kadang-kadang agak negatif
sehingga harus tetap mendapatkan bimbingan atau pembinaan yang
intensif dari banyak aspek pemikiran, sikap dan perilaku siswa.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 133


Kisbiyanto

Pembinaan siswa yang sering kali membuat corat-coret dan


semacamnya di sekolah, antara lain disarakan oleh Nursisto (2002)
ada beberapa langkah yang dapat digunakan dalam upaya mengatasi
ketertiban sekolah dan diharapkan dapat mengatasi permasalahan
ketertiban yang ada di sekolah :
a). Langkah mencegah siswa membawa alat main dan buku
porno.
b). Langkah mencegah siswa merokok dan membawa narkoba.
c). Langkah mencegah perkelahian siswa di lingkungan sekolah
dan luar sekolah.
d). Langkah mencegah siswa tidak menggunakan seragam dan
kelengkapan dengan baik
e). Langkah dalam membuat cacatan disiplin siswa.
4. Makna Tulisan-tulisan Tembok pada Sekolah
Banyak tulisan ungkapan siswa yang ditulis di tembok sekolah.
Pada umumnya ditulis secara serampangan, tidak menentu dan
antara satu tulisan dengan tulisan lain nampak tidak ada korelasinya
atau kadang-kadang maknanya sulit dimengerti. Namun, jika dilihat
secara seksama, tulisan-tulisan tembok itu sebenarnya sangat serius,
penting dan bermakna. Dari 109 ungkapan yang telah dipaparkan di
atas, ternyata banyak makna yang bisa kita simpulkan. Ada 24 makna
yang bervariasi sebagai motif penulisan di tembok sekolah itu. Dari
24 makna umum itu ada 3 simpulan dengan kategori baik, buruk dan
baik-buruk.
Dilihat dari aspek tema tulisan, memang banyak bahkan sangat
dominan yang memfokus pada percintaan, gurauan, protes, pernyataan
jorok, prinsip atau ajakan dengan nasehat tertentu, dan semacamnya.
Sedangkan sebagian kecilnya bertema ajakan, pertemanan, politik dan
pernyataan ringan.
Adapun makna kontekstual dari tulisan di tembok sekolah,
antara lain : bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan harus
meningkatkan komunikasi dan pembinaan kepada siswanya, dan
siswa sebagai peserta didik membutuhkan ruang dan waktu yang
luas dan bervariasi untuk menyatakan pendapat, aspirasi, isi hati dan
semacamnya sebagai media komunikasi yang interaktif antara guru
dan siswa di sekolah.

134 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Makna ungkapan Siswa (Studi Tulisan di Tembok Sekolah)

E. SIMPULAN
Penelitian ini menyimpulkan beberapa point, yaitu :
1. Tulisan tembok pada umumnya ditulis pada tembok belakang,
tembok samping dan tembok pada toilet atau water closet
sekolah. Meskipun ada, tapi jarang sekali ada tulisan tembok
di bagian depan atau tempat strategis pada gedung sekolah.
Bagian paling banyak dan sering ditulisi adalah tembok toilet
sekolah. Cara menuliskan ungkapan juga bervariasi, yaitu ada
yang tulisan kapur, spidol, pensil dan bol point yang menjadi
corak terbanyak dari tulisan-tulisan tembok itu. Sebagian kecil
juga ada tulisan yang menggunakan cat tetapi tidak dijumpai di
abnyak sekolah. Berbagai macam tulisan tembok dari ungkapan
siswa memang cukup menarik terutama dilihat dari konten atau
pesan tulisan-tulisan tersebut. Secara umum, bisa dibedakan
menjadi beberapa kelompok tulisan, yaitu tulisan yang bernilai
positif, tulisan bernilai negatif dan tulisan bernilai biasa.
2. Motif-motif yang melatarbelakangi siswa menulis ungkapan-
ungkapannya. Dari beberapa latar belakang motif itu, bisa
dikategori menjadi 24 temuan motif, yaitu (1) ajakan untuk
kategori baik, (2) ancaman untuk kategori buruk, (3) bercanda/
bergurau untuk kategori baik dan buruk, (4) bersemangat/
bertekad untuk kategori baik, (5) berteman untuk kategori baik,
(6) biasa untuk kategori baik, (7) bujukan untuk kategori baik
dan buruk, (8) cinta untuk kategori baik dan buruk, (9) doa untuk
kategori baik, (10) dukungan sport untuk kategori baik, (11)
ejekan untuk kategori buruk, (12) evaluasi untuk kategori baik,
(13) harapan untuk kategori baik, (14) ingin rileks/jenuh untuk
kategori baik, (15) jorok untuk kategori buruk, (16) kacau untuk
kategori buruk, (17) keberanian untuk kategori baik, (18) kecewa
untuk kategori baik dan buruk, (19) kuat mental untuk kategori
baik, (20) nasehat untuk kategori baik, (21) persahabatan untuk
kategori baik, (22) politik untuk kategori baik, (23) protes untuk
kategori baik dan buruk, dan (24) semangat untuk kategori
baik.
3. Pada usia anak dan remaja itu, siswa mempunyai kecenderungan-
kecenderungan yang wajar meskipun kadang-kadang agak
negatif sehingga harus tetap mendapatkan bimbingan atau

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 135


Kisbiyanto

pembinaan yang intensif dari banyak aspek pemikiran,


sikap dan perilaku siswa. Pembinaan yang berkaitan dengan
kecenderungan siswa menulis di tembok, juga berkaitan
dengan pembinaan bidang lainnya, yaitu (1) langkah strategis
mencegah siswa yang suka mencoret- coret itu sendiri, (2)
langkah mencegah siswa membawa alat main dan buku porno,
(3) langkah mencegah siswa merokok dan membawa narkoba,
(4) langkah mencegah perkelahian siswa di lingkungan
sekolah dan luar sekolah, (5) langkah mencegah siswa tidak
menggunakan seragam dan kelengkapan dengan baik, dan (6)
langkah dalam membuat cacatan disiplin siswa.
4. Tulisan ungkapan siswa yang ditulis di tembok sekolah, pada
umumnya mempunyai bermakna, yaitu makna makna dalam
kategori baik, buruk dan baik-buruk; dilihat dari aspek tema
tulisan, bermakna percintaan, gurauan, protes, pernyataan jorok,
prinsip atau ajakan dengan nasehat tertentu, dan semacamnya,
dan sebagian kecilnya bertema ajakan, pertemanan, politik dan
pernyataan ringan; adapun makna kontekstual dari tulisan di
tembok sekolah, antara lain : bahwa sekolah sebagai lembaga
pendidikan harus meningkatkan komunikasi dan pembinaan
kepada siswanya, dan siswa sebagai peserta didik membutuhkan
ruang dan waktu yang luas dan bervariasi untuk menyatakan
pendapat, aspirasi, isi hati dan semacamnya sebagai media
komunikasi yang interaktif antara guru dan siswa di sekolah.

136 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


DAFTAR PUSTAKA

Barnadib, Sutari Imam. 1995. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis.


Yogyakarta:Andi Offset.
Bass, Bernard M.1981. Stogdills Handbook of Leadership A Survey
of Theory and Research. New York:A Division of Macmilan
Publishing Co., Inc.
Bush, Tony. 2006. Theories of Educational Leadership and Management.
London:SAGE Publications.
Denzin, Norman, K and Lincold, Yvonna S. 2000. Handbook of Qualitative
Research (Second Edition). California:Sage Publication, Inc.
Drost. 1998. Sekolah Mengajar atau Mendididk.
Yogyakarta:Kanisius.
Ekosusilo, Madyo. 2003. Hasil Penelitian Kualitatif Sekolah Unggul
Berbasis Nilai. Sukoharjo:Univet Bantara Press.
Freire, Paulo. 2000. Pendidikan Kaum Tertindas (terjemahan)
Otomo Dananjaya, dkk. Jakarta:LP3ES.
Hasbullah Bakri. 1981. Sistematika Filsafat. Jakarta: Widjaya.
Hazbullah. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta:Rajawali
Pers.
KH. MA. Sahal Mahfudh. 2000. Pesantren Mencari Makna.
Jakarta:Pustaka Ciganjur.
Masyhud, Sulthon, dkk. 2003. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta:Diva
Pustaka.
Matthew, Miles B, dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif .
Terjemahan Tjetjep Rohendi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Moleong, Lexy, J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Rake Sarasin.
Musthafa al-Ghalayani. Idhah al-Nasyiin. Surabaya:al-Hidayah.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 137


Kisbiyanto

Robbins, Stephen P. 2008. Perilaku Organisasi (Edisi Kesepuluh).


Terjemahan Benyamin Molan. Indonesia:Indeks.
Sardiman AM. 1996. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar.
Jakarta:Rajawali Pers.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif dan R & D. Bandung:Alfabeta.
Suryabrata, Sumardi. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada.
Tilaar, HAR. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional.
Jakarta:Rineka Cipta.
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.

138 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


MUTU LULUSAN DAN PASAR KERJA PRODI
TAFSIR HADIS

Oleh : Fathul Mufid

Abstrak

Drs. H. Fathul Mufid, M.S.I. Judul: Mutu Lulusan dan Pasar


Kerja Prodi Tafsir Hadis. Mutu lulusan sebuah perguruan tinggi
merupakan target yang ingin dicapai suatu lembaga pendidikan
tinggi dalam rangka untuk memenuhi standar kompetensi sesuai
dengan visi, misi, dan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam rangka
untuk mencapai mutu lulusan yang diidamkan, sebuah lembaga
pendidikan tinggi sudah barang pasti menentukan indikator-
indikator yang dapat menghantar kepada berhasilnya standar
kompetensi mutu lulusan. Standar kompetensi yang ditetapkan
tentu saja mempertimbangkan berbagai aspek, yang diantaranya
adalah kebutuhan stakeholder, yang selanjutnya mengarah
kepada pasar kerja lulusan. Prodi tafsir hadis jurusan ushuluddin
STAIN Kudus sebagai suatu lembaga pendidikan tinggi juga telah
menetapkan standar kompetensi utama maupun tambahan dalam
rangka untuk mencapai mutu lulusan yang memenuhi kebutuhan
pasar kerja di masyarakat baik formal maupun non formal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam,
terinci, dan sistematis mengenai proses pembelajaran, mutu
lulusan, dan pasar kerja alumni prodi tafsir hadis sesuai denga
standar yang telah ditetapkan dalam profil prodi. Peneliti dalam
hal ini menggunakan pendekataan kualitatif, sehingga analisis
datanya juga bersifat deskriptif kualitatif dengan mengikuti tata
kerja Miles dan Heberman, yakni analisis sebelum di lapangan dan
analisis di lapangan yang meliputi; reduksi data, display data, dan
verifikasi data. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa proses
pembelajaran telah dilaksanakan sesuai dengan standar mutu

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 139


Fathul Mufid

akadermik yang telah ditetapkan. Akan tetapi, karena terbatasnya


sumber dana, sumber daya manusia, dan motivasi belajar mahasiswa,
sehingga sebagian lulusan prodi tafsir hadis belum memenuhi
standar kompetensi utama maupun tambahan. Berdasarkan hasil
pelecakan alumni, memang mereka telah dapat diterima oleh
masyarakat untuk berprofesi sebagai dai, guru, dosen, PNS, LSM,
anggota dewan, dan lain sebagainya, namun sebagian besar dari
mereka ternyata menggeluti bidang di luar kompetensinya.

Kata Kunci: Prodi, tafsir hadis, mutu lulusan, kompetensi, pasar


kerja, dan pembelajaran.

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Jurusan Ushuluddin merupakan bagian dari STAIN Kudus,
memiliki peran penting dalam pengembangan mutu akademik,
sehingga jurusan dipandang sebagai pusat kegiatan akademik yang
tidak bisa dipisahkan dari proses pembelajaran dan pendidikan secara
keseluruhan. Jurusan ushuluddin bagi STAIN Kudus tidak semata
diarahkan kepada pendukung sistem pengajaran semata, tetapi juga
dikaitkan dengan wacana keilmuan yang sedang berkembang saat
ini. Lebih dari itu jurusan ushuluddin tidak hanya ditujukan untuk
memenuhi kepentingan lembaga, tetapi juga untuk kepentingan publik
yang lebih luas yang menjadi tanggung jawab dunia akademik.
Saat ini muncul kebutuhan tentang pentingnya arah baru
pendidikan di PTAI yang tidak hanya mengandalkan pada warisan
intelektual muslim semata yang menempatkan otoritas teks di atas
segalanya, tetapi juga menggunakan berbagai pendekatan dan
metodologi ilmu-ilmu modern, seperti disiplin ilmu psikologi, sosiologi,
antropologi, sejarah, filsafat, dan sebagainya untuk melengkapi
disiplin ilmu keislaman tradisional dalam memahami warisan
kebudayaan Islam. Kesadaran untuk menggunakan pendekatan
ilmu-ilmu sekuler dalam melakukan pembelajaran, kini menjadi
semakin dirasakan penting bagi para dosen di lingkungan PTAI untuk
mempertajam pemahaman mereka terhadap tindakan, motivasi dan
kepercayaan masyarakat, sehingga pendekatan normatif yang diambil
dari teks-teks suci (al-Quran-Hadits) tidak lagi menjadi satu-satunya
cara pandang dalam memahami fenomena sosial ( Fathul Mufid,
2010:1).
Pembelajaran di PTAI yang mempergunakan berbagai metode
(multidisipliner) ini, sangat sesuai dengan ide dasar didirikannya

140 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis

PTAI yang perannya adalah sebagai agen tranformasi sosial dan


budaya dalam masyarakat muslim Indonesia. Meskipun telah
muncul kesadaran akan pentingnya penggunaan pendekatan lintas
disiplin dalam memahami fenomena sosial keagamaan, tetapi PTAI
masih menghadap problem besar pada tingkat keragamaan model
pembelajaran yang dipergunakan dosen dengan tingkat pemahaman
metodologis dan pendekatan yang kurang memadai. Akibatnya banyak
pendekatan yang dipakai sering tidak sesuai dengan kebutuhan di
lapangan.
Sebagai perguruan tinggi di abad modern, STAIN Kudus
memiliki sumber ajaran yang berupa al-Quran dan al-Hadis, dan
juga warisan budaya yang dibangun dari sejarah pemikiran umat
Islam. Baik sumber ajaran maupun warisan sosial-budaya berpotensi
untuk dapat diaktualisasikan dengan cara menangkap ide dasar
ajaran, merumuskan potensi yang ada dalam warisan budaya, dan
menerjemahkannya menjadi aktualisasi teknis dewasa ini. Oleh karena
itu, dalam proses pembangunan tatanan kehidupan yang penuh
rahmah, visi STAIN Kudus harus mencerminkan ide dasar masyarakat
ideal dalam al-Quran dan Sunnah, historisiitas ke-beragamaan
dalam budaya masa lalu, amanat pendirian STAIN, dan kemudian
diaktualisasikan menjadi penyelesaian masalah dalam kehidupan
praksis umat masa kini, dengan menyediakan tenaga terampil yang
profesional ( Dokumen Evaluasi Diri, 2008 : 20).
Untuk merealisasikan ide besar ini, maka visi STAIN Kudus
harus mewarnai proses pembelajaran sehingga mengarah pada model
keberagamaan dalam masyarakat modern yang dalam satu sisi efektif
menyelesaikan masalah umat dalam kehidupan praksis dan dalam
sisi yang lain akan membuka lapangan kerja bagi alumni Prodi Tafsir
Hadits. Oleh sebab itu, visi jurusan ushuluddin prodi Tafsir Hadis
adalah Menyiapkan praktisi Tafsir Hadits sebagai jawaban konkret
problem umat dalam praksis kehidupan.
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, peneliti ingin
mengkaji lebih dalam, lebih rinci, dan sistematis tentang penyelenggaan
pembelajaran, mulai dari proses pembelajaran, mutu lulusan, dan
pasar kerja prodi Tafsir Hadis dalam bentuk penelitian individual.
Judul yang pilih peneliti adalah MUTU LULUSAN DAN PASAR
KERJA PRODI TAFSIR HADIS.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 141


Fathul Mufid

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, dapat penulis
rumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu
: Bagaimana mutu lulusan dan pasar kerja program studi tafsir-hadis
STAIN Kudus ?. Ada tiga aspek yang diteliti, yaitu :
1. Materi dan Proses Pembelajaran Prodi Tafsir Hadis.
2. Hasil Pembelajaran atau Mutu Lulisan Prodi Tafsir Hadis.
3. Pasar Kerja Lulusan Prodi Tafsir Hadis

C. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka pada dasarnya
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu lulusan dan pasar
kerja prodi tafsir hadis, yang meliputi tiga aspek, yaitu :
a. Untuk mengetahui materi dan proses pembelajaran pada prodi
tafsir hadis
b. Untuk mengetahui out put atau mutu lulusan prodi tafsir hadis,
dan
c. Pasar kerja lulusan prodi tafsir hadis.

D. SIGNIFIKANSI/ MANFAAT PENELITIAN


Setiap penelitian, diharapkan memiliki signifikansi
atau manfaat pada masyarakat, dunia ilmu pengetahuan ataupun
pemerintah, baik secara teoritis maupun praktis. Penelitian ini
mempunyai signifikansi / manfaat yang dapat diringkas sebagai
berikut :
a. Manfaat teoritis, yaitu bahwa penelitian ini akan
menginformasikan kepada semua pihak tentang materi, proses
pembelajaran, mutu lulusan, dan pasar kerja prodi tafsir hadis.
Hal ini akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang
pembelajaran prodi tafsir hadis yang sangat diperlukan umat
Islam, terutama dunia pendidikan tinggi Islam.
b. Manfaat praktis, yaitu pertama, jika mutu lulusan prodi tafsir
hadis STAIN Kudus, memang terbukti mempunyai kapasitas
yang memadai sebagai ahli dan praktisi tafsir-hadis, maka akan
dapat diminati oleh alumni pesantren-pesantren dan madrasah-
madrasah Aliyah. Kedua, bagi STAIN Kudus khususnya dan
lembaga-lembaga PTAI yang lain, akan mengetahui kelebihan-

142 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis

kelebihan dan kekurangan-kekurangan model pembelajaran


prodi tafsir hadis STAIN Kudus dari hasil penelitian ini, sehingga
dapat melakukan perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan.

E. METODE PENELITIAN
Pendekatan yang di pakai dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif, yaitu metode yang digunakan untuk meneliti pada kondisi
obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci,
teknik pengumpulan data bersifat induktif, dan hasil penelitian lebih
menekankan makna dari pada generalisasi. Metode ini juga sering
disebut metode naturalistic, karena penelitiannya dilakukan pada
kondisi yang alamiah (natural setting); disebut juga metode etnography
karena pada awalnya digunakan untuk penelitian bidang antropologi-
budaya; disebut kualitatif karena data yang terkumpul dan analisisnya
bersifat kualitatif. (Sugiono, 2005 : 1)
Penelitian kualitatif lebih bersifat deskriptif yakni data yang
terkumpul berbentuk kata atau gambar, sehingga tidak menekankan
pada angka (ibid : 9). Neuman menulis,descriptive research present
a picture of specific details of situation, social setting or relationship (L.
Neuman, 1997 : 19 20). Suharsimi Arikunto (2001 : 243) menyatakan
bahwa penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis,
sehingga dalam langkah penelitiannya tidak perlu adanya hipotesis.
Moh. Nazir (1999 : 63 - 64) menulis bahwa penelitian deskriptif adalah
mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, tata cara yang
berlaku dalam masyarakat, serta situasi-situasi tertentu, termasuk
hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan,
serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh
dari suatu fenomena.
1. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar
untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara
metode pengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin
dipecahkan (M. Nazir, 1999 : 211). Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah :
a. Observasi atau pengamatan
Observasi adalah suatu proses pengumpulan data dengan
menggunakan seluruh perhatian, penglihatan dan pendengaran

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 143


Fathul Mufid

secara cermat dan hati-hati. Pada saat observasi, peneliti


menyerap semua instrumen yang diperlukan sebagai sarana
informasi dalam penelitian (L. W. Neuman, 1997 : 361). Kriteria
observasi secara ilmiah adalah :
1) Pengamatan digunakan untuk penelitian yang telah
direncanakan secara sistematis.
2) Pengamatan harus berkaitan dengan tujuan penelitian yang
telah direncanakan.
3) Pengamatan tersebut dicatat secara sistematis dan
dihubungkan dengan proposisi umum.
4) Pengamatan dapat dicek dan dikontrol atas validitas dan
reliabilitasnya. (M. Nazir, 1999 : 212)
Agar data yang diperoleh dari observasi lebih lengkap,
tajam, dan sampai mengetahui tingkat makna dari setiap
perilaku yang nampak, maka peneliti menggunakan observasi
partisipatif (participant observation). Artinya peneliti terlibat
dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati sebagai
sumber data penelitian. Sambil melakukan observasi, peneliti
ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data, dan ikut
merasakan suka dukanya (Sugiyono, 2005 : 64 ).
b. Wawancara
Wawancara atau interview adalah proses untuk memperoleh
keterangan dalam penelitian dengan cara tanya jawab, sambil
tatap muka antara si penanya (pewawancara) dengan si penjawab
(responden) dengan menggunakan alat yang di namakan
interview guide (panduan wawancara ) (M. Nazir, 1999 : 234).
Penelitian ini menggunakan indepth interview (wawancara
mendalam) yaitu pertemuan langsung secara berulang-
ulang antara peneliti dan informan dalam hal kehidupannya,
pengalamannya, atau situasi-situasi yang dialaminya yang
diungkapkan dengan kata-kata informan itu sendiri (Bagdan
dan Taylor, 1984 : 77).
Tekniknya peneliti memakai model wawancara
tak terstruktur, tak dibakukan dan terbuka (open ended), yaitu
wawancara bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman
yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap, tetapi hanya
berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan

144 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis

(Sugiyono, 1984 : 74). Menurut Neuman, dalam wawancara


lapangan lebih banyak adanya unsur spontanitas dan timbal
balik pertanyaan yang tidak selamanya terkontrol oleh catatan
yang telah disiapkan (W. L. Neuman, 1997 : 371).
c. Dokumentasi
Dokumen adalah catatan peristiwa yang sudah berlalu, dalam
bentuk tulisan, gambar, film atau karya-karya monumental dari
seseorang. Studi dokumen merupakan pelengkap terhadap
metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.
Lexy J. Moleong (2006 : 217) menyatakan bahwa dokumen
sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data
yang dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan bahkan
untuk meramalkan.
d. Triangulasi
Triangulasi adalah pengumpulan data yang bersifat
menggabungkan dari berbagai teknik dan sumber data.
Triangulasi sekaligus menguji kredibilitas data dengan
berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber
data. Agar mendapatkan data dari sumber yang sama dapat
dilakukan dengan berbagai teknik secara serempak. Sebaliknya
mengumpulkan data dari sumber yang berbeda dengan teknik
yang sama (Sugiyono, 2005 : 83). Penelitian ini, menggabungkan
antara metode observasi partisipatif, wawancara mendalam dan
dokumentasi.
2. Analisis data
Analisis data merupakan upaya mencari secara sistematis
catatan hasil observasi, wawancara dan lainnya untuk meningkatkan
pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya
sebagai temuan bagi orang lain (Noeng Muhadjir, 1996 : 104). Analisis
data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan diinterpretasikan (Masri Singarimbun, Sofian
Effendi, 1989 : 263).
Penelitian ini memakai pendekatan kualitatif, sehingga analisis
data yang dipakai adalah metode deskriptif, yakni mengorganisasikan
data, memilah-milah data, mensintesiskan, mencari dan menemukan
pola-pola , menemukan apa yang penting dan apa yang telah dipelajari,

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 145


Fathul Mufid

dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain


(kesimpulan ) (Moleong, 2006 : 248 ). Proses analisisnya adalah sebagai
berikut:
a. Analisis sebelum di lapangan
Analisis ini dilakukan peneliti terhadap data hasil studi
pendahuluan atau sekunder, yang akan digunakan untuk
menemukan fokus penelitian, yang sifatnya masih sementara,
dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama di
lapangan.
b. Analisis data di lapangan
Analisis ini dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung
di lapangan, dan setelah selesai pengumpulan data dalam
periode tertentu. Misalnya pada saat wawancara, peneliti sudah
melakukan analisis terhadap jawaban responden. Apabila belum
memuaskan, peneliti mengajukan pertanyaan lagi sampai tahap
tertentu, sehingga diperoleh data yang dianggap kredibel, tuntas
dan jenuh. (Sugiyono, 2005 : 276). Langkah selanjutnya adalah :
1) Reduksi data, yaitu merangkum, memilah hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting untuk dicari
pola dan temanya, agar ada gambaran yang lebih jelas bagi
peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.
2) Penyajian data, yaitu merupakan langkah lanjutan setelah
reduksi data, yang dapat disajikan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori dengan format teks
yang bersifat naratif.
3) Verifikasi, yaitu penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Penelitian ini penarikan kesimpulannya merupakan
temuan baru yang belum pernah ada sebelumnya. Temuan
tersebut berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang
sebelumnya masih remang-remang atau gelap, kemudian
menjadi jelas (Sugiyono, 2005 : 277-284).

F. KAJIAN TEORI

I. Mutu Lulusan Prodi Tafsir Hadis


Rekruitmen calon mahasiswa menggunakan 2 (dua) jalur,
yaitu jalur tes dan jalur non-tes. Jalur tes disediakan untuk semua
calon mahasiswa secara umum yang telah memenuhi persyaratan

146 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis

standar administrasi dan akademik. Adapun materi tes masuk adalah


Pengetahuan Agama, Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Matematika, Baca
Tulis al-Qur'an. Sedangkan jalur non-tes disediakan untuk calon
mahasiswa yang berprestasi, yaitu mereka yang hafal al-Quran
minimal 5 (lima) juz, mereka yang berasal dari MAK (Madrasah
Aliyah Khusus), dan mereka yang mempunyai rangking 1 sampai 10
di sekolahnya dengan bukti surat keterangan dari kepala sekolah.
Program Studi Tafsir Hadits Jurusan Ushuluddin STAIN Kudus
juga merekrut calon mahasiswa dari pesantren dan alumni Madrasah
Aliyah Diniyah (MADIN), sebagai upaya menjaring bibit-bibit unggul
dari lembaga pendidikan non-formal tersebut sebagai salah satu
upaya untuk mempercepat lahirnya ulama-ulama yang intelektual.
Secara umum dapat digambarkan bahwa profil mahasiswa Program
Studi Tafsir Hadits Jurusan Ushuluddin, yang mayoritas datang dari
daerah Pantura (Pantai Utara) dengan berbagai latar belakang kondisi
sosial ekonomi, mempu-nyai kemampuan yang cukup baik tentang
dasar-dasar ilmu keislaman, kebahasaan, dan ketafsirhaditsan. Hal
ini dibuktikan dengan rata-rata IP (Indeks Prestasi) mahasiswa yang
dicapai dalam setiap semesternya antara 2,00 s/d 3,80 dalam skala 4,00.
( Dokumen Evaluasi Diri, 2008).
a. Ketrampilan Yang Dialihkan (Transferable)
Secara kurikuler, Program Studi Tafsir Hadits memberikan
kepada mahasiswa keterampilan umum dan keterampilan khusus
terkait dengan kompetensi untuk menjadi ahli Tafsir Hadits. Beberapa
keterampilan umum sebagai seorang ahli Tafsir Hadits yang dapat
ditransfer ketika mereka terjun dalam masyarakat, seperti : keterampilan
beribadah (khutbah jumat, menjadi imam shalat, merawat jenazah,
dan sebagainya), kemampuan berbahasa asing (Arab dan Inggris), dan
kemampuan memanfaatkan teknologi informasi, seperti komputer
dan internet. Hal ini didasarkan pandangan bahwa seorang mahasiswa
nantinya harus mempunyai kemampuan yang relatif lengkap untuk
dapat bersosialisasi dengan masyarakat.
Keterampilan lain yang dapat ditransferkan kepada masyarakat
adalah kemampuan menyelesaikan permasalahan masyarakat atas
dasar keilmuan Tafsir dan Hadis, kemampuan menafsir al-Quran,
kemampuan mensyarah Hadis, kemampuan memimpin atau
berorganisasi di dalam masyarakat, seperti : keterampilan memimpin

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 147


Fathul Mufid

rapat, keterampilan meren-canakan program kegiatan, keterampilan


memimpin lembaga, dan lain sebagainya ( Data Evaluasi Diri, 2008).
b. Pemahaman dan Kemampuan Sendiri
Sebagaimana model pendidikan di perguruan tinggi, Program
Studi Tafsir Hadits memiliki model pendidikan yang berbeda dari
jenjang pendidikan sebelumnya, baik di tingkat MTs./SLTP maupun
MA/SMU. Pembelajaran lebih menekankan pendekatan andragogi
di mana posisi dosen hanya sebagai fasilitator dan motivator bagi
mahasis-wa. Dengan cara ini memberikan kesempatan yang besar
bagi mahasiswa untuk dapat mengapresiasi dan mengaktualisasikan
diri sesuai dengan potensi diri yang dimilikinya, sehingga akan
membedakan prestasinya dengan yang lain.
c. Kemampuan Belajar Mandiri
Pendekatan andragogi memberikan keleluasaan dan porsi
lebih besar kepada mahasiswa lebih mandiri dalam belajar. Dalam
pendekatan ini, keberhasilan atau prestasi mahasiswa ditentukan oleh
kesungguhan atau keseriusan mereka dalam belajar secara mandiri.
Untuk mengkondisikan kemandirian belajar mahasiswa, kebanyakan
dosen memberikan tugas perkuliahan kepada mahasiswa dalam
bentuk penyusunan makalah, resume mata kuliah, meresensi dan
mereview buku, baik individu maupun kelompok, diskusi kelompok,
dan lain sebagainya. Di samping itu, sistem SKS yang diterapkan oleh
Program Studi Tafsir Hadits juga memberikan atmosfir kompetisi yang
memberi motivasi pada mahasiswa untuk belajar mandiri sehingga
waktu studi menjadi terkontrol atau lebih cepat (Dokumen Evaluasi
diri, 2008).
d. Profil Lulusan
Proses pembelajaran pada Program Studi Tafsir Hadits
sebagaimana dipaparkan sebelumnya memberikan kontribusi
pada internalisasi nilai, motivasi, dan sikap mahasiswa. Model SKS
menstimulasi mahasiswa untuk lebih kreatif, inovatif, percaya diri,
ulet dan handal sebagai added value dari core curriculum. Sementara itu,
integrasi seluruh komponen mata kuliah dalam konfigurasi kurikulum
Program Studi Tafsir Hadits menumbuhkan nilai komprehensif bagi
character building profil mahasiswa untuk dapat beraktualisasi diri.

148 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis

Profil lulusan STAIN Kudus menurut kebijakan akademik


secara umum meliputi beberapa kreteria sebagai berikut :
a. Lulusan yang berkualitas secara akademimik dan/ atau
profesional di bidang ilmu agama, teknologi dan kebudayaan
Islam, serta bermanfaat bagi masyarakat.
b. Lulusan yang mampu mengembangkan dan menyebarluaskan
ilmu agama, teknologi, dan kebudayaan Islam bagi kemaslahatan
masyarakat.
c. Berpengetahuan dan berkepribadian sebagai ilmuan muslim
Indonesia .
d. Adaptip, proaktif, dan peka terhadap lingkungan, serta mampu
bekerja sama.
e. Berfikir kritis, inovatif, mandiri, dan terus belajar sepanjang
hayat.
f. Menjadi agent of change dan teladan, baik dalam kehidupan
individu maupun sosial.
g. Bekerja sesuai dengan prinsip ajaran agama, mengembangkan
prestasi, dan menjujung tunggin kode etik.

Berangkat dari kreteria umum tersebut, maka ditentukan


standar minimum mutu lulusan STAIN Kudus yang niscaya harus
dimiliki oleh lulusan prodi tafsir hadis, yaitu sebagai berikut :
a. Memiliki kepribadian sebagai ilmuan muslim Indonesia.
b. Memiliki kemampuan membaca dan menulis huruf al-Quran
(Arab).
c. Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang ilmu
keislaman secara umum.
d. Memiliki kemampuan memahamai teks berbahsa Arab dan
Inggris dengan lancar.
e. Memiliki kemampuan menggunakan komputer dan mengakses
informasi melalui internet.
f. Memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, dan ilmiah.
g. Memiliki kemampuan memecahkan masalah secara efektif (
Profil Lulusan STAIN Kudus, 2010).
II. Pasar Kerja Alumni
Dari sudut pandang tertentu, jenis lapangan kerja bisa
dikelompokkan ke dalam bidang-bidang, misalnya: pertanian,

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 149


Fathul Mufid

pertukangan, perdagangan, industri, pendidikan, kesehatan, hukum,


informasi, dan sebagainya. Dengan lingkup semacam ini, pasar kerja
dibatasi jangkauannya pada aspek kehidupan yang bersifat fisik-
material, atau semata-mata dalam dimensi keduniaan. Bisa difahami,
karena memang begitulah kecenderungan terkuat yang menyelimuti
atmosfir kehidupan di zaman kini. Yang namanya kerja, asosiasi orang
biasanya mengarah pada bidang-bidang kehidupan yang terkait
atau bahkan secara langsung mendatangkan hasil secara ekonomis.
Ingin menjadi petani, pedagang, pengusaha, karyawan pabrik, guru
atau dosen, dokter, bidan, hakim, jaksa, pengacara, wartawan, dan
sejenisnya, itulah gambaran selintas tentang dunia kerja.
Bagaimana halnya dengan keahlian atau profesi di bidang
keagamaan? Apakah bisa dikategorikan sebagai lapangan kerja
atau jenis pekerjaan, dan pelakunya juga disebut pekerja? Harus
diakui, masih terjadi bermacam-mkacam penilaian atau pandangan
dalam kaitan semacam ini. Oleh karena, memang langka yang
mengidentifikasi, katakanlah seorang kiyai, muballigh, juru dakwah
dan sejenisnya, sebagai orang-orang yang berkecimpung dalam
dunia kerja. Melainkan, cenderung dipandang semata pengabdian,
tugas suci, dan perjuangan agama. Semua itu terjadi, karena dampak
pemahaman dikotomis, yang memisahkan agama dengan kehidupan
riel di masyarakat, menempatkan dimensi mental-spiritual terpisah
dari fisik-material, dan mengeliminasi kepentingan ukhrawi dari
aktifitas duniawi ( Imam Bawani, 2003 : 6-7).
Atas dasar uraian ringkas tentang Perguruan Tinggi Agama
Islam dan Realitas Pasar Kerja di Masyarakat tersebut di atas, maka
rangkaian diskusi dan analisis terkait dengan Pasar Kerja Alumni
Perguruan Tinggi Agama Islam, secara sistematis bisa dimulai
dari upaya melakukan kategorisasi, misalnya ke dalam: pasar
kerja tradisional, institusional, inovasi kreatif, lintas sektoral, dan
transformasi keilmuan. Agar tertata berurutan, hendak dijelaskan satu
persatu sebagai berikut:

G. TEMUAN PENELITIAN
1. Hasil Pembelajaran
a. Kompetensi yang Dicapai
Program Studi Tafsir Hadits sebagai program studi tertua
di STAIN Kudus mengharapkan profil lulusan/alumni yang

150 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis

tidak hanya bisa meng-hafalkan dalil dan hukum, melainkan


alumni yang secara pribadi berakhlaq al-karimah dan secara
sosial mampu menyelesaikan masalah dengan berpijak dari
al-Quran dan Sunnah. Secara institusional, lulusan Program
Studi Tafsir Hadits STAIN Kudus diarahkan untuk menjadi
ahli dan praktisi Tafsir Hadits dan peneliti kajian keislaman.
Kompetensi yang diharapkan adalah menjadi sarjana muslim
yang ahli dalam bidang Tafsir Hadits.
Kompetensi yang dicapai dibandingkan dengan yang
diharapkan sudah cukup bagus. Hal ini bisa dilihat dari
indikator-indikator sebagaimana telah dinyatakan dari para
lulusan, yang sebagian besar mereka mampu mengaplikasikan
materi yang didapat di bangku kuliah dalam kehidupan
selanjutnya, baik itu untuk persaingan kepentingan studi
lanjut maupun untuk mengabdi di masyarakat ( Dokumen
Evaqlusi Diri, 2008).
b. Kompetensi , Tuntutan, dan Kebutuhan Lulusan
Kompetensi yang dicapai dari para lulusan sudah sesuai
dengan tuntutan dan kebutuhan stakeholders. Evaluasi
terhadap Program Studi Tafsir Hadits memang secara
periodik dilakukan baik yang menyangkut masalah
kurikulum maupun non kurikulum. Pada proses inilah
prodi berusaha untuk mendapatkan masukan-masukan
dari stakeholder tentang perkembangan-perkembangan yang
terjadi di masyarakat, di samping juga informasi-informasi
yang berkaitan dengan bagaimana lulusan prodi ketika
berada di masyarakat.
Program Studi Tafsir Hadits juga selalu meminta dan
menerima saran dan masukan dari tokoh masyarakat,
instansi dan lembaga-lembaga lain yang berada di Kudus,
termasuk sekolah-sekolah yang sudah menjalin kerjasama
untuk membicarakan tentang bagaimana tuntutan dan
kebutuhan yang diharapkan tentang profil dan kompetensi
ahli Tafsir Hadits yang ideal dan dibutuhkan, terutama di
Kudus dan sekitarnya (wawancara, dengan Muhammadun,
Alumni 2008, tgl 18 Agustus, 2010).
c. Kemajuan, Keberhasilan, dan Waktu Penyelesaian Studi
Sistem perkuliahan yang diterapkan Program Studi Tafsir
Hadits adalah dengan sistem SKS dimana beban studi

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 151


Fathul Mufid

mahasiswa diperhitungkan dengan sistem kredit, Jumlah


SKS yang diambil setiap semester tergantung kepada Indeks
Prestasinya. Dengan cara ini, kemajuan belajar mahasiswa
dapat dipantau dengan mudah dan keberhasilannya juga
akan ditentukan oleh kemampuan kompetitif masing-
masing mahasiswa. Waktu penyelesaian studi mahasiswa
bervariasi antara 8 - 14 semester, tetapi kebanyakan mereka
menyelesaikannya dalam waktu 8 semester. Adapun Indeks
Prestasi lulusan Program Studi Tafsir Hadits adalah antara
2.8 s/d 3.77.
2. Kepuasan Lulusan dan Penyerapan Lulusan
Berdasarkan pelacakan yang dilakukan oleh tim tentang
lulusan, sebagian alumni melanjutkan studi ke program pascasarjana
(S.2). Sebagian mereka bekerja secara beragam, antara lain : menjadi
tenaga kependidikan (guru), dosen, pengasuh pondok pesantren, dai,
menjadi tokoh masyarakat, dan lain-lain. Sejauh yang terakses, para
lulusan merasa puas terhadap mutu pembelajaran dan pelayanan
di Program Studi Tafsir Hadits, walaupun secara kasuistik, terdapat
lulusan yang masih perlu mendapatkan peningkatan (Wawancara
dengan Muhammadun, alumni 2008, tgl 16 Agustus, 2010).
3. Nilai, Motivasi, dan Sikap
Kondisi proses pembelajaran pada Program Studi Tafsir
Hadits sebagaimana dipaparkan sebelumnya memberikan kontribusi
pada internalisasi nilai, motivasi, dan sikap mahasiswa. Model SKS
menstimulasi mahasiswa untuk lebih kreatif, inovatif, percaya diri,
ulet dan handal sebagai added value dari core curriculum. Sementara itu,
integrasi seluruh komponen mata kuliah dalam konfigurasi kurikulum,
Program Studi Tafsir Hadits menumbuhkan nilai komprehensif bagi
character building profil mahasiswa untuk beraktualisasi diri.
4. Penilaian Kemajuan dan Keberhasilan Belajar
a. Peraturan penilaian dan penyelesaian studi mahasiswa
Kualitas akademik dapat dilihat dari perolehan hasil belajar
yang dimiliki oleh mahasiswa pada setiap mata kuliah
setelah diadakan penilaian. Adapun peraturan mengenai
penilaian yang ditetapkan oleh Program Studi Tafsir Hadits
adalah sebagai berikut :

152 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis

1) Penilaian hasil belajar dinyatakan dengan A, B, C, D, dan


E yang masing-masing bernilai 4, 3, 2, 1, dan 0.
2) Penilaian hasil belajar mahasiswa bisa dilakukan
dengan:
a) Sistem Penilaian Acuan (PAP) yang lebih ditujukan
untuk mengetahui kemampuan mahasiswa dalam
menguasai materi kuliah.
b) Sistem Penilaian Acuan Norma (PAN) ditujukan
untuk memperoleh gambaran mengenai kedudukan
mahasiswa dalam kelas atau kelompoknya.
c) Pada permulaan kuliah, dosen wajib memberikan
sistem yang akan dipakai dalam penilaian (ada
kontrak belajar antara mahasiswa dan dosen).
d) Apabila dosen menggunakan PAP, maka sejak kuliah
pertama dosen wajib memberikan patokan nilai yang
menggambarkan penguasaan materi kuliah yang
dituntut.
e) Apabila dosen menggunakan PAN, maka yang harus
diperhatikan adalah :
(1) Jumlah mahasiswa paling sedikit 30 orang.
(2) Prestasi mahasiswa diukur nisbi terhadap prestasi
pukul rata dari kelasnya dengan menghitung
simpang baku (standard deviation)
(3) Atas dasar prestasi kelas pukul rata dan simpang
baku ditentukan prestasi mahasiswa dengan
huruf A, B, C, D, E.
b. Penentuan yudisium Mahsiswa
Penilaian hasil belajar total dilaksanakan pada akhir
program dan digunakan untuk menentukan yudisium
mahasiswa, apakah ia dinyatakan lulus sebagai sarjana
S.1 atau tidak. Mahasiswa yang dapat dinyatakan sebagai
sarjana S.1 Program Studi Tafsir Hadits Jurusan Ushuluddin
adalah apabila:
1) Telah memperoleh kredit yang dibebankan antara 144 -
160 SKS, dengan IPK minimal 2,0.
2) Tidak ada nilai E .
3) Untuk nilai Bahasa Arab, PPL/PPM, KKN, Skripsi dan

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 153


Fathul Mufid

beberapa mata kuliah tertentu oleh jurusan sekurang-


kurangnya adalah C.
4) Telah menyelesaikan tugas-tugas kokurikuler (SKK)
(Dokumen Evaluasi Diri, 2008).
c. Penelaahan mengenai kepuasan mahasiswa
Penelaahan mengenai kepuasan mahasiswa, tercermin
dalam predikat kelulusan Program Studi Tafsir Hadits
Jurusan Ushuluddin yang dinyatakan dalam Indeks Prestasi
Kumulatif (IPK) sebagai berikut:

IPK Akhir Program


Predikat
Kelulusan Sarjana
3,50 4,00 Cumlaude/Istimewa
3,00 3,49 Amat Baik
2,50 2,99 Baik
2,00 2,49 Cukup
0,00 1,99 Tidak Lulus
Berdasarkan data yang tehimpun di atas, mutu lulusan atau
kompetensi yang dicapai sebagian besar para alumni prodi
tafsir hadis sudah sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan
stakeholder. Hal ini karena disebabkan sistem perkuliahan
dengan model SKS sangat mendorong mahasiswa untuk lebih
kreatif, sehingga sebagian besar mereka dapat menyelesaikan
studi tepat waktu.
Akan tetapi juga masih ditemukannya lulusan yang tidak
menguasai kompetensi sesuai dengan harapan stakeholder
maupun lembaga. Perlu di perhitungkan bahwa pada era
globalisasi dewasa ini, persoalan masyarakat akan semakin
kompleks dan membutuhkan treatment dari alumni Tafsir Hadits,
sehingga pencapaian mutu lulusan sesuai dengan kompetensi
prodi Tafsir Hadits dalam rangka peningkatan kepuasan pihak-
pihak pemanfaat lulusan merupakan keniscayaan.

Ii. Pasar Kerja Alumni


1. Pemahaman Materi Sesuai Bidangnya
Peluang bagi mahasiswa untuk mengembangkan materi
perkuli-ahan dapat dilakukan melalui forum-forum kajian ketafsir-

154 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis

haditsan, baik yang diselenggarakan oleh mahasiswa sendiri yang


tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) atau oleh
Program Studi Tafsir Hadits. Di samping itu, mahasiswa juga dapat
mengembangkan dirinya dengan memanfaatkan sumber belajar yang
disediakan, seperti : perpustakaan, fasilitas internet, dan lain-lain.
Di samping itu banyak mahasiswa Tafsir Hadits yang telah
terjun langsung sebagai penceramah, penyuluh agama, dan guru
di berbagai sekolah, madrasah atau TPQ. Hal ini secara praktis
memberikan pengalaman langsung kepada mahasiswa untuk
mengembangkan kemampuan dan pengetahuan yang diterimanya
dari proses pembelajaran di kampus.
2. Ketrampilan Umum dan Yang Dapat Dialihkan (Transferable)
Secara kurikuler, Program Studi Tafsir Hadits memberikan
kepada mahasiswa keterampilan umum dan keterampilan khusus
terkait dengan kompetensi untuk menjadi ahli Tafsir Hadits. Beberapa
keterampilan umum sebagai seorang ahli Tafsir Hadits yang dapat
ditransfer ketika mereka terjun dalam masyarakat, seperti : keterampilan
beribadah (khutbah jumat, menjadi imam shalat, merawat jenazah,
dan sebagainya), kemampuan berbahasa asing (Arab dan Inggris), dan
kemampuan memanfaatkan teknologi informasi, seperti komputer
dan internet. Hal ini didasarkan pandangan bahwa seorang mahasiswa
nantinya harus mempunyai kemampuan yang relatif lengkap untuk
dapat bersosialisasi dengan masyarakat.
Keterampilan lain yang dapat ditransferkan kepada masyarakat
adalah kemampuan menyelesaikan permasalahan masyarakat atas
dasar keilmuan Tafsir dan Hadis, kemampuan menafsir al-Quran,
kemampuan mensyarah Hadis, kemampuan memimpin atau
berorganisasi di dalam masyarakat, seperti : keterampilan memimpin
rapat, keterampilan meren-canakan program kegiatan, keterampilan
memimpin lembaga, dan lain sebagainya.
3. Pemahaman dan Pemanfaatan Kemampuan Sendiri
Sebagaimana model pendidikan di perguruan tinggi, Program
Studi Tafsir Hadits memiliki model pendidikan yang berbeda dari
jenjang pendidikan sebelumnya, baik di tingkat MTs./SLTP maupun
MA/SMU. Pembelajaran lebih menekankan pendekatan andragogi
di mana posisi dosen hanya sebagai fasilitator dan motivator bagi

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 155


Fathul Mufid

mahasiswa. Dengan cara ini memberikan kesempatan yang besar


bagi mahasiswa untuk dapat mengapresiasi dan mengaktualisasikan
diri sesuai dengan potensi diri yang dimilikinya, sehingga akan
membedakan prestasinya dengan yang lain.
4. Kemampuan Belajar Mandiri
Pendekatan andragogi memberikan keleluasaan dan porsi
lebih besar kepada mahasiswa lebih mandiri dalam belajar. Dalam
pendekatan ini, keberhasilan atau prestasi mahasiswa ditentukan oleh
kesungguhan atau keseriusan mereka dalam belajar secara mandiri.
Untuk mengkondisikan kemandirian belajar mahasiswa, kebanyakan
dosen memberikan tugas perkuliahan kepada mahasiswa dalam
bentuk penyusunan makalah, resume mata kuliah, meresensi dan
mereview buku, baik individu maupun kelompok, diskusi kelompok,
dan lain sebagainya.Di samping itu, sistem SKS yang diterapkan oleh
Program Studi Tafsir Hadits juga memberikan atmosfir kompetisi yang
memberi motivasi pada mahasiswa untuk belajar mandiri sehingga
waktu studi menjadi terkontrol atau lebih cepat.
Untuk menilai Program Studi Tafsir Hadits Jurusan
Ushuluddin STAIN Kudus secara komprehensif diperlukan kejujuran
dan kejelian serta ketajaman analisis dalam mencermati komponen-
komponen yang dijadikan indikator kelayakan program. Indikator-
indikator kelayakan tersebut secara objektif harus dinilai melalui
analisis yang bertumpu pada sejauhmana relevansi program, iklim
akademik, komitmen institusi, keberlangsungan program, dan efisiensi
pelaksanaan program dalam merealisasikan visi dan misi program
studi.
Adapun pasar kerja alumni prodi tafsir hadis, berdasarkan
pelacakan alumni yang selama ini dilaksanakan, diperoleh informasi
bahwa di antara alumni mahasiswa Program Studi Tafsir Hadits telah
diterima di masyarakat, sebagian besar sebagai dai, PNS, dosen, guru,
aktivis LSM, tokoh masyarakat, dan lain-lain. Point lain yang dimiliki
prodi tafsir hadis adalah berupa peningkatan kerjasama kemitraan
dengan instansi lain, baik dalam dan luar negeri dalam rangka untuk
pengembangan prodi.
H. SIMPULAN
1. Kurikulum prodi tafsir hadis sudah sejalan dengan visi, misi,
dan tujuan STAIN, program studi, dan tuntutan stakeholder.

156 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis

Kurikulum berfokus pada penguasaan kompetensi prodi tafsir


hadis, baik kompetensi utama maupun kompetensi tambahan.
Oleh sebab itu, kurikulum tidak hanya memperhatikan
normativitas ajaran, tetapi juga bersifat aplikatif. Kurikulum juga
memberikan peluang kepada mahasiswa untuk mengembangkan
diri. Namun, dirasa sosialisasi dalam mengimplementasikan
kurikulum dalam kegiatan perkuliahan/pembelajaran masih
kurang. Demikian pula prodi ternyata belum menawarkan
mata kuliah pilihan sehingga elastisitas kurikulum menjadi
berkurang tatkala menghadapi tuntutan stakeholder yang
seringkali berkembang seiring dengan akselerasi perkembangan
masyarakat Akan tetapi, peninjauan dan evaluasi kurikulum
5 tahun sekali dapat dimanfaatkan untuk penyempurnaan
kurikulum dan disesuaikan dengan kebutuhan stakeholder demi
peningkatan mutu lulusan dan merespon pasar kerja yang
sedang dibutuhkan masyarakat.
2. Prodi tafsir hadis juga memiliki sistem evaluasi program dan
pelacakan lulusan, sehingga diketahui dampak positif mutu
pembelajaran dan mutu alumni. Namun hingga sekarang hasil
pelacakan alumni belum di manfaatkan secara maksimal oleh
prodi dalam rangka peningkatan mutu pembelajaran.
3. Mutu lulusan atau kompetensi yang dicapai sebagian besar
para alumni prodi tafsir hadis sudah sesuai dengan tuntutan
dan kebutuhan stakeholder. Hal ini karena disebabkan sistem
perkuliahan dengan model SKS sangat mendorong mahasiswa
untuk lebih kreatif, sehingga sebagian besar mereka dapat
menyelesaikan studi tepat waktu. Akan tetapi juga masih
ditemukannya lulusan yang tidak menguasai kompetensi
sesuai dengan harapan stakeholder maupun lembaga. Perlu di
perhitungkan bahwa pada era globalisasi dewasa ini, persoalan
masyarakat akan semakin kompleks dan membutuhkan
treatment dari alumni Tafsir Hadits, sehingga pencapaian mutu
lulusan sesuai dengan kompetensi prodi Tafsir Hadits dalam
rangka peningkatan kepuasan pihak-pihak pemanfaat lulusan
merupakan keniscayaan.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 157


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional Badan Akreditasi Nasional


Perguruan Tinggi, Pedoma
n Evaluasi Diri Program Studi Jenjang S1, (Maret 2001)
Departemen Pendidikan Nasional Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi, Pedoman Visitasi Program Studi Jenjang S1,
(Maret 2001)
Tim Penyusun, Visi-Misi STAIN dan Program Studi Jurusan Ushuluddin
Program Studi Tafsir Hadits (Buku I), (Kudus: STAIN Kudus
Press, 2003)
--------, Profil Alumni Jurusan Ushuluddin Program Studi Tafsir Hadits
(Buku II), (Kudus : STAIN Kudus Press, 2003)
--------, Landasan Epistemologis dan Metodologi Jurusan Ushuluddin
Program Studi Tafsir Hadits (Buku III), (Kudus : STAIN Kudus
Press, 2003)
--------, Silabi Jurusan Ushuluddin Program Studi Tafsir Hadits (Buku IV),
(Kudus : STAIN Kudus Press, 2003)
--------, Buku Tuntunan dan Panduan untuk Civitas Akademika, (Kudus :
STAIN Kudus Press, 2006)
--------, Pedoman Akademik Civitas Akademika, (Kudus : STAIN Kudus
Press, 2007)
--------, Rencana Strategis Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus 2006-
2010
Unit Peningkatan Mutu Akademik STAIN Kudus, Prosedur Pengajuan
Akreditasi Program Studi, Pedoman Evaluasi Diri Program Studi
dan Surat Edaran BAN- PT tanggal 26 Januari 2008 tentang
Penyertaan Data Seluruh Program Studi Non-Reguler yang
Diselenggarakan Prodi
Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam

158 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Mutu Lulusan dan Pasar Kerja Prodi Tafsir Hadis

Nomor : DJII/181/ 2002 tentang Penyelenggaraan Program Studi


pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus
Keputusan Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Nomor :
Dj.II/114/2005 tentang Penetapan Standar Minimal Kompetensi
Dasar dan Kompetensi Utama Lulusan Program Studi Strata Satu
Perguruan Tinggi Agama Islam
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor : Dj.I/352/2007
tentang Perpanjangan Izin Penyelenggaraan Program Studi
Jenjang Strata Satu (S.1) pada Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Kudus.
Fathul Mufid, 2010, Evaluasi Kebijakan Akademik Dalam Peningkatan
Mutu Penelitian, Makalah Workshop Evaluasi Prodi, 18 Juni
2010.
.............., 2010, Visi, Misi, dan Program Kerja Prodi Tafsir Hadis Empat
Tahunke depan, Penyampaian Program pada Sidang Senat
STAIN Kudus, 28 Juni, 2010.
Imam Bawani, 2003, Pasar Kerja Alumni Perguruan Tinggi Agama Islam,
Makalah, STAIN, Kudus, 2003
Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Nomor : DJII/181/ 2002 tentang Penyelenggaraan Program Studi
pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus
Prodi Tafsir Hadis, Jurusan Ushuluddin, STAIN Kudus, 2008, Dokumen
Evaluasi Diri, 2008
Tim Penyusun, Pedoman Praktikum Prodi Tafsir Hadis, 2010.
Prodi Tafsir Hadis, 2010, Dokumen Data Lulusan
Prodi Tafsir Hadis, Jurusan Ushuluddin, STAIN Kudus, Data Alumni,
2003-2010.
Bogdan & Taylor, 1984, Introduction to Qualitative Research, Jhon
Welly and Son Inc, New York.
Lexy J. Moleong, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Rosda
Karya.
Muhadjir, Noeng, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta,
Rake Sarasin.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 159


Fathul Mufid

Nasir, Moh, 1988, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia.


Nasution, 1988, Metode Naturalistik Kualitatif, Bandung, Tarsita.
Neuman, W. Lawrence, 1997, Social Methods, Qualitatiev and
Quantitative Approachs, Buston, Ally and Bacon.
Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung, Alfabeta.
______, 2006 a. Metode Penelitian Kualitatif dan R & D, Bandung,
Alfabeta.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 1989, Metode Penelitian
Survey, Jakarta, Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif,
Bandung, Alfabeta.
Suharsimi, Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan
Praktek, Jakarta, Rineka Cipta.
Daniel L. Stufflebean, Sistematic Evaluation, Kluwer Nijhoff Publishing,
1986, USA..
Elliot W. Eisner, The Education Imagination, Max Mallon Publishing
Company, 1985, New York.
Jamaral dan Zain, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, 2002,
Jakarta.
Wawancara, Hj Uma Farida, Sekjur Ushuluddin, STAIN Kudus
, Ulya, M. Ag. Kajur Ushuluddin STAIN Kudus, Periode Juni 2006
s/d Juni 2010
Shohibul Itmam, Ketua Alumni Prodi tafsir Hadis, Jurusan
Ushuluddin.
, Muhammadun, alumni Jurusan Ushuluddin, 2008
., Ahmad Supriyadi, Kepala P3M, Stain Kudus

160 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


PERAN JAMIYYAH IJTIMAIYYAH DALAM
PEMBENTUKAN TRADISI
(Studi Atas Jamiyyah NU Ranting Kedung Banteng dalam
Perubahan Tradisi Mitung Dina Di Dukuh Kedung Banteng, Desa
Wonorejo, Kecamatan Karanganyar Kabupaten Demak)

Oleh: Mustaqim

Abstrak
Nahdlotul Ulama merupakan organisasi sosial keagamaan yang
berhaluan Islam ahlus sunnah waljamaah, dengan tetap melestarikan
tradisi masyarakart. Tradisi mitung dina merupakan tradisi Islam
yang telah beralkulturasi dengan tradisi pribumi. Di sini, tradisi
mitung dina merupakan tradisi keberagamaan warna NU yang
sudah mengakar. Secara teknis, tradisi mitung dina ini terkadang
membawa beban tersendiri bagi keluarga yang ditinggalkan. Hal ini
kemudian menjadi pembahasan tersendiri bagi pengurus jamiyyah,
untuk melakukan perubahan tradisi tersebut menjadi lebih
meringankan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan
bahwa jamiyyah NU ranting kedung banteng telah melakukan
perubahan terhadap ritual mitung dina atau ngajekno di dukuh
Kedung Banteng Kecamatan Karangayar Kabupaten Demak.
Kata Kunci: Jamiyyah NU, tradisi Mitung Dina

I. PENDAHULUAN
Mengkaji Islam, meniscayakan dua domain yang berbeda,
yakni domain agama dan domain keberagamaan. Jika ranah agama
berisi tentang norma dan ajaran agama yang bersifat universal, maka
ranah keberagamaan merupakan pelaksanaan dari agama yang
meruang waktu. Di sini, karakteristik keberagamaan bersifat faktual
dan beragam, karena dipengaruhi oleh setting sosial di mana ummat
Islam berada.
Tradisi keberagamaan merupakan akumulasi perilaku
beragama yang dilanggengkan secara kolektif dalam sebuah komunitas

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 161


Mustaqim

masyarakat. Di sini tradisi keberagamaan merupakan bagian dari


internalisasi ajaran agama, yang dielaborasikan dengan budaya dan
kondisi setempat. Tradisi ini bersifat relatif, karena merupakan respon
terhadap pemahaman keagamaan komunitas ummat Islam.
Salah satu faktor yang mempengaruhi dan membentuk sebuah
tradisi adalah institusi sosial. Dalam konteks tradisi keberagamaan,
organisasi sosial keagamaan (baca: jamiyyah ijtimaiyyah) adalah
bentuk institusi sosial yang sangat berpengaruh terhadap sebuah
tradisi beragama. Melalui jamiyyah tersebut, tradisi dikenalkan dan
dibangun. Karena jamiyyah ijtimaiyyah dalam hal ini merupakan
representasi masyarakat, sebagai wadah komunikasi masyarakat
dalam hal keagamaan.
Nahdlotul Ulama (NU) merupakan salah satu jamiyyah
ijtimaiyyah yang sangat dominan di Indonesia. NU yang hampir
satu abad berdiri, telah meletakkan tradisi keberagamaan sebagai
dasar implementasi ajaran agama. Sehingga tak heran jika NU dikenal
dengan organisasi tradisional, mengingat peran dan tanggung
jawabnya dalam menjaga tradisi agama. Bahkan dalam telaah historis,
lahirnya NU dilatar-belakangi oleh semangat mempertahankan tradisi
dari ancaman aliran-aliran yang meneriakkan modernisasi. Sehingga
lan vital ini senantiasa dijaga sampai saat ini.
Dalam pelestarian tradisi, kaidah al-muhafadloh ala qodim
al-shalih, wal akhdzu bi jadid al-ashlah (melestarikan tradisi lama yang
baik, dan mengambil hal baru - modern - yang lebih baik) menjadi
platform yang senantiasa mendasari setiap gerak dan laju jamiyyah.
Kaidah ini menguatkan kiprah NU sebagai organisasi penjaga tradisi,
Selama tradisi itu masih relevan dan mengandung unsur kebaikan.
Meskipun hal ini tidak kemudian antipati terhadap hal baru yang itu
diindikasikan lebih baik untuk digunakan dan dimanfaatkan.
Secara struktural, NU merupakan organisasi keagamaan yang
memiliki hirarkhi kepengurusan dari pusat (nasional) sampai desa
(ranting). Kepengurusan ranting, merupakan garda terdepan bagi NU
dalam menjalankan roda organisasi, khusunya dalam bidang sosial
keagamaan. Dalam kaitannya dengan penjagaan tradisi, jamiyyah
NU di ranting memiliki peran signifikan yang tidak bisa disepelekan.
Dan disinilah platform organisasi menemui titik signifikannya sebagai
organisasi sosial keagamaan (jamiyyah ijtimaiyyah al diniyah).

162 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Peran Jamiyyah Ijtimaiyyah dalam Pembentukan Tradisi

Dari sini, akan dibuktikan sejauh mana peran jamiyyah


ijtimaiyyah NU, khusunya pada pengurus ranting dalam penjagaan
dan pembentukan sebuah tradisi keberagamaan. Dalam penelitian
ini, jamiyyah NU Ranting Kedung Banteng menjadi locus penelitian
dalam rangka menemukan peran jamiyyah ijtimaiyyah dalam
pembentukan tradisi mitung dina.
Dalam penelitian ini, dapat dirumuskan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana peran jamiyyah NU Ranting Kedung Banteng
Kecamatan Karanganyar Kabupaten Demak dalam pembentukan
tradisi keberagamaan?
2. Bagaimana pelaksanaan tradisi mitung dina di Dukuh Kedung
Banteng, Kecamatan Karangayar Demak?

II. METODE PENELITIAN


Dalam penelitian ini, ada beberapa hal yang menyangkut
metode penelitian, yaitu:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan studi lapangan (field research)
dengan metode penelitian deskriptif atau gambaran mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki mengenai faktor-faktor tertentu (Kartini, 1999:102) .

2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua hal, yaitu:
a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
sumber penelitian dengan menggunakan alat pengukur,
alat pengambil data langsung pada objek sebagai sumber
informasi yang dicari (Saifuddin, 2001: 91). Dalam hal ini
peneliti melakukan wawancara langsung pada pihak-pihak
yang terkait dalam tema penelitian, khususnya pengurus NU
Ranting Kedung Banteng, Kecamatan Karanganyar Demak.
Selain itu observasi partisipatoris juga digunakan, dalam hal
ini peNUlis juga berfungsi sebagai human instrument.
b. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh lewat pihak lain,

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 163


Mustaqim

tidak langsung diperoleh peneliti dari subjek penelitiannya


(Sarjono,1982: 12). Yang dalam penelitian ini adalah
mencakup tentang data-data, dokumen, buku dan pendapat-
pendapat para ulama atau pihak-pihak lain yang berkaitan
dengan penelitian ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Salah satu tahap yang penting dalam proses penelitian
adalah tahap pengumpulan data, karena data merupakan
faktor terpenting dalam suatu penelitian. Tanpa adanya data
yang terkumpul, maka tidak mungkin suatu penelitian akan
berhasil.
Adapun pada penelitian ini, penulis menggunakan metode
pengumpulan data sebagai berikut :
a. Metode wawancara
Metode wawancara adalah proses meperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil tatap
muka antara si penanya dengan si penjawab atau responden
(Natsir, 1988:242).
Bentuk wawancara yang biasa dipakai adalah wawancara
bertipe open ended, dimana peneliti dapat bertanya kepada
responden kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa yang
ada. Dalam hal ini wawancara dilakukan kepada para
pengurus jamiyyah NU ranting Kedung Banteng sebagai
pembuat kebijakan dalam Jamiyyah.
b. Metode observasi
Observasi yaitu pengamatan dan pencatatan sistematik
fenomena-fenomena yang diselidiki (Suharsimi, 2002:107).
Metode ini peNUlis gunakan untuk melakukan pengamatan
dan pengumpulan data terhadap tradisi mitung dina (tujuh
hari setelah kematian), yang menjadi tradisi yang dibangun
oleh jamiyyah.
c. Metode dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal/
variabel yang berupa catatan, buku-buku, transkip, surat
kabar, majalah, notulen rapat, dan lain-lain (Nasution,
2003:13). Metode ini digunakan untuk data-data pendukung
yang diperlukan dalam penelitian.

164 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Peran Jamiyyah Ijtimaiyyah dalam Pembentukan Tradisi

4. Metode Analisis Data


Metode analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian
ini adalah metode analisis data kualitatif yang bersifat deskriptif,
yaitu menggambarkan makna data atau fenomena yang dapat
ditangkap oleh peneliti dengan mengajukan bukti-buktinya
baik melalui wawancara, observasi, ataupun dokumentasi.
Agar data yang terkumpul sesuai dengan kerangka kerja
atau fokus permasalahan, maka dalam menganalisa data penulis
menggunakan teknik triangulasi data. Teknik ini digunakan
untuk menganalisis data hasil wawancara antar subjek, sehingga
validitas data dari responden akan terpenuhi.
Selain itu, teknik ini juga digunakan untuk membandingkan
data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan data yang
diperoleh dari hasil observasi atau dengan melihat dokumen-
dokumen yang ada. Jika terdapat kesamaan terhadap data yang
diperoleh maka dapat diambil kesimpulan secara langsung.
Namun jika terdapat perbedaan antara subjek yang satu dengan
yang lain dalam suatu masalah tertentu maka data tersebut akan
dianalisis secara objektif sehingga diperoleh data yang valid.
Adapun analisis data dalam penelitian ini meliputi tiga hal
sebagai berikut (Sugiono, 2005:42):
a. Reduksi data
Adalah proses memilih, menyederhanakan, memfokuskan,
mengabstraksi dan mengubah data kasar ke dalam catatan
lapangan. Dalam penelitian yang peNUlis lakukan, data
yang direduksi adalah data yang tidak terkait dengan fokus
penelitian.
b. Display data
Adalah suatu cara merangkai data dalam suatu organisasi
yang memudahkan untuk pembuatan kesimpulan dan/
tindakan yang diusulkan. Dengan demikian, display data
yang dimaksudkan adalah sekumpulan informasi dalam
bentuk teks naratif yang telah disusun, diatur, dan diringkas
dalam bentuk kategori-kategori sehingga makna yang
terkandung di dalamnya mudah dipahami.
c. Konklusi
Adalah menarik kesimpulan. Dari reduksi data dan penyajian
data yang dilakukan oleh peneliti maka dapat ditarik
kesimpulan tentang hasil penelitian yang telah dilakukan.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 165


Mustaqim

III. PEMBAHASAN

A. Profil Nahdlotul Ulama

1. Sejarah NU
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi
sosial keagamaan di Indonesia yang pembentukannya
merupakan kelanjutan perjuangan kalangan pesantren dalam
melawan kolonialisme di Indonesia. NU didirikan pada tanggal
31 Januari 1926 di Surabaya oleh sejumlah ulama tradisional
yang diprakarsai oleh KH. Hasyim Asyari. Organisasi ini
berakidah Islam menurut paham Ahlussunah wal Jamaah.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme,
merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk
organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan
Tanah Air) pada 1916, yang merupakan modal pertama dalam
perjuangan ahlus sunnah waljamaah (Feillard, 1999:9).
Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau
dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran),
sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan
kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar,
(pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk
memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul
Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok
studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang
sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota (www.
wikipedia.org).
Perkembangan politik di Timur Tengah yang terjadi di
awal abad ke-20 ditandai dengan tampilnya tokoh-tokoh Islam
penganut Ajaran Abdul Wahab dengan ajarannya yang terkenal
Aliran Wahabi, yakni berubahnya sistem pemerintahan di Turki
dari kesultanan ke sistem kerajaan di bawah pimpinan Mustafa
Kemal (penganut Wahabi), dan berdiri serta berpengaruhnya
pemerintahan golongan Wahabi di bawah kepemimpinan Raja
Ibnu Saud di Jazirah Arab dan kota Mekkah.
Pada masa Raja Saud ini berkuasa, ia melakukan gerakan-
gerakan modernisme Islam secara radikal terhadap tatanan
keagamaan dan masyarakat Islam di kawasan itu, termasuk

166 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Peran Jamiyyah Ijtimaiyyah dalam Pembentukan Tradisi

adanya upaya-upaya melakukan perombakan terhadap


kuburan empat imam (Syafii, Hambali, Maliki, dan Hanafi)
yang terletak di sekitar Kabah. Selain itu reaksi para ulama
penganut Ahlussunah wal Jamaah terhadap pemerintahan kaum
Wahabi saat itu, adalah karena dikahawatirkan kaum Wahabi
tidak memberi kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan
ibadah sesuai dengan tradisi atau ajaran salah satu dari empat
mazhab (Laode, 1996 : 2).
Menurut kalangan Wahabi banyak dari ajaran dari empat
mazhab itu yang setelah ditelusuri tidak terdapat di dalam Al
Quran dan Hadist, seperti masalah taqlid dan ijtihad, ziarah
kuburan, bacaan barzanji, pemberian pelajaran bagi jenazah
yang baru meninggal (talqin), soal selamatan bagi orang yang
telah meninggal, dan lain-lain. Tradisi semacam itu dianggap
berdampak terhadap tingkat masalah keimanan dan masalah-
masalah keduniaan. Sebagai akibatnya umat Islam menjadi
terbelakang, tertinggal dari kemajuan yang dicapai dunia Barat,
karena penolakannya terhadap nilai-nilai modernisme.
Ketika Raja saud berhasil merebut kekuasan, ia berjanji akan
mengadakan pertemuan Islam internasional. Hal ini direspon
oleh ummat Islam di Indonesia dengan pelaksanaan konggres
Islam. Meskipun terdapat kerjasama antara tokoh-tokoh Islam
dalam suatu organisasi yang bernama Kongres Al Islam tetapi
tampaknya wadah para ulama tokoh Islam baik dari kalangan
tradisi maupun pembaru ini tak mampu mengakomodasi
kepentingan semua kalangan, karena didominasi oleh kalangan
pembaru. Misalnya pada saat memenuhi undangan Raja Ibnu
Saud menghadiri Kongres Al Islam di Mekkah, dengan melalui
Kongres Al Islam di bandung pada bulan Januari 1926 telah
diputuskan delegasi yang hadir yaitu H.O.S Tjokroaminoto
dari Syarekat Islam dan KH Mas Mansur dari Muhammadiyah
(Ridwan, 2004: 185).
Hal ini menimbulkan kekecewaan dari kalangan tradisi
yang berdampak pada beberapa tindakan yang dilakukan
oleh kalangan tradisi dalam rangka mempertahankan dan
mempertahankan yang mereka anut (penganut salah satu dari
empat mazhab). Salah satunya kalangan tradisi mengambil

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 167


Mustaqim

inisiatif untuk membangun kelompok yang bertugas khusus


untuk berkunjung di Arab Saudi menemui Raja Saud, penguasa
Arab dalam rangka menyampaikan paling tidak dua masalah
penting. Pertama, himbauan umat Islam Indonesia (khususnya
penganut Ahlusunnah wal Jamaah atau penganut dari salah satu
empat mazhab) agar memberi kebebasan beribadah kepada
masyarakat Arab penganut faham yang sama. Kedua, tidak
melarang orang-orang Islam yang berziarah ke makam Nabi
Muhammad SAW dan keluarga serta para sahabatnya, terutama
yang mengandung sejarah Islam (Laode, 1996 : 8).
Perjuangan itu memang berhasil yang ditandai dengan
adanya kebijakan baru Raja Saud tentang kedua himbauan
tersebut ditambah dengan upaya memberikan pelayanan kepada
jamaah haji dari Indonesia. Kelompok ini semula merupakan
Komite Hijaz, yang sesuai dengan kesepakatan awal memang
akan berakhir namun bisa juga dianggap sebagai cikal bakal
terbentuknya NU di Indonesia (Laode, 1996 : 9).
Komite Hijaz ini dibentuk di rumah Kiai Wahab Chasbullah
di Surabaya pada 31 Januari 1926, ia merupakan juru bicara
kalangan tradisi yang paling vokal pada Kongres Al Islam.
Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini
memutuskan megubah diri menjadi sebuah organisasi dan
menggunakan nama Nahdlatoel Oelama. Pada tahun-tahun awal
berdirinya, pertimbangan mengenai status Hijaz nampaknya
tetap merupakan alasan tunggal kehadirannya (Bruinessen,
1994 : 34).
2. Tujuan NU
Tujuan NU secara legal-formal dapat dilihat dalam anggaran
dasarnya. Anggaran dasar formal NU, pertama kali dibuat pada
Muktamarnya yang ketiga pada tahun 1928. Anggaran dasar ini
dibuat dengan tujuan mendapatkan pengakuan dari pemerintah
Belanda yang pembuatannya sesuai dengan undang-undang
perhimpunan Belanda. Atas dasar anggaran dasar ini, NU diberi
status berbadan hukum pada Februari 1930 (Bruinessen, 1994 :
42).
Anggaran dasar ini tidak menyebutkan dengan sangat
eksplisit bahwa tujuan-tujuan NU adalah mengembangkan

168 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Peran Jamiyyah Ijtimaiyyah dalam Pembentukan Tradisi

ajaran-ajaran Islam Ahlussunah wal Jamaah dan melindunginya


dari penyimpangan kaum pembaharu dan modernis. Sebagai
contoh dalam pasal 2 anggaran dasar NU disebutkan bahwa
Adapun maksud perkumpulan ini yaitu: Memegang dengan
teguh pada salah satu dari mazhabnya imam ampat, yaitu Imam
Muhammad bin Idris Asyj-Syafii, Imam Malik bin Anas, Imam
Abu Hanifah An-NUman, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan
mengerjdakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan Agama
Islam (Bruinessen : 1994 : 44).
Dalam pasal 2 tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa sikap
berpegang teguh kepada salah satu dari emat mazhab merupakan
ciri yang secara tegas membedakan kaum tradisionalis dengan
kaum pembaharu. Dapat dikatakan bahwa anggaran dasar
NU menekankan pada upaya melindungi Islam tradisional
dari bahaya-bahaya gagasan dan praktek keagamaan kaum
pembaharu.
3. Orientasi Gerakan NU
Tujuan didirikannya NU adalah untuk memeperjuangkan
berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlussunah wal Jamaah di
tengah-tengah kehidupan didalam wadah negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila. Setelah NU
terbentuk sebagai sebagai organisasi, kiprahnya dibidang
pendidikan melalui pondok-pondok, pesantren-pesantren,
madrasah-madrasah tetap digalakkan.
Misi utamanya adalah mengembangkan dan
mempertahankan ajaran Islam yang menganut salah satu dari
empat mazhab. NU yang semula berkedudukan di Surabaya,
pada awalnya hanya memiliki pendukung atau jamaah dari
Jawa dan Madura. Tapi tampaknya NU berupaya memperoleh
simpati dari masyarakat Islam, yang memang sempat diraihnya
setelah perjuangannya melalui Komite Hijaz berhasil ditanggapi
secara positif oleh Raja Saud.
Di sini basis gerakan yang menjadi orientasi adalah sosial
keagamaan. Meskipun dalam perjalanan sejarahnya, NU pernah
juga menjadi organisasi politik (partai), yakni mulai tahun 1952
sampai tahun 1983 (Ridwan, 2004: 186). Namun dalam muktamar

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 169


Mustaqim

tahun 1983 di Situbondo, NU menyatakan kembali ke khittah


1926, artinya NU kembali pada orientasi awal organisasi, yakni
organisasi sosial keagamaan (Feillard, 1999: 263).
4. Sekilas tentang Jamiyyah NU Ranting Kedung Banteng
Sebagaimana orientasi jamiyyah NU pada umumnya,
jamiyyah NU Ranting Kedung Banteng mendasarkan orientasi
gerakannya pada bidang sosial keagamaan. Meskipun secara
historis tidak tercatat secara pasti kapan jamiyyah ini berdiri,
namun secara kultural peran dan kiprah jamiyyah ini sangat
signifikan dalam pembentukan tradisi beragama.
Awalnya jamiyyah ini merupakan perkumpulan-
perkumpulan non-formal keagamaan, yakni jamiyyah tahlilan
dan manakiban. Namun seiring dengan perkembangan
organisasi modern, jamiyyah ini berkembang menjadi jamiyyah
yang mempunyai kepengurusan secara formal. Selain itu,
komunikasi dan koordinasi dengan kepengurusan di atasnya,
yakni Majelis Wakil Cabang (MWC) Karanganyar menjadi
sandaran organisatoris yang kuat. Sehingga, saat ini, jamiyyah
NU Ranting Kedung Banteng merupakan salah satu jamiyyah
paling aktif di wilayah MWC Karanganyar.
Jamiyyah NU Ranting Kedung Banteng mempunyai dua
program rutin yang dilakukan setiap selapan (35 hari) sekali,
yaitu :
a. Program Senin Pahing.
Program ini dilakukan setiap malam Senin Pahing, yang
dilakukan di rumah anggota jamiyyah secara bergilir.
Adapun penentuan giliran berdasarkan undian yang
disertai dengan arisan. Program ini merupakan forum
koordinasi pengurus ranting tentang masalah-masalah
organisasi. Namun sebelumnya diawali dengan ritual-ritual
keagamaan.
Program ini terdiri dari berbagai rangkaian kegiatan,
yaitu:
1). Tahlilan. Yaitu pembacaan tahlil, untuk mengirim doa
pada ahli kubur. Ritual ini dipimpin oleh seorang kiayi.
2). Bacaan nariyah. Yaitu membaca sholawat nariyyah
sebanyak 4444 kali, yang dibagi dengan sejumlah anggota

170 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Peran Jamiyyah Ijtimaiyyah dalam Pembentukan Tradisi

yang hadir. Jika dulu pembacaan nariyyah menggunakan


alat berupa biji jagung sebanyak 4444 biji, namun saat
ini telah diganti dengan untaian tasbih.
3). Sambutan Pengurus. Merupakan sambutan dari Ketua
Ranting atau yang mewakilinya. Biasanya berisi
informasi-informasi keorganisasin dan sosial, yang di
dapat dari pertemuan ataupun surat dari kepengurusan
NU yang ada di atasnya.
4). Sarasehan. Kegitan ini berisi diskusi tentang berbagai
persoalan sosial yang ada di lingkungan Dukuh
Kedung Banteng. Termasuk dalam hal ini membahas
tentang masalah tradisi agama yang sudah berjalan di
masyarakat.
Program Senin Pahing merupakan program strategis
bagi pengurus untuk koordinasi tentang masalah-masalah
faktual dan aktual yang ada di masyarakat. Namun tidak
melepaskan ritual agama sebagai basis gerakan jamiyyah.
b Progam Lailatul Ijtima
Program ini merupakan kegiatan pengajian rutin
yang dilaksanakan di musholla-musholla (langgar) dan
masjid secara bergilir. Program ini juga dilaksanakan
selapan sekali, yakni pada hari rabu pahing. Namun hari
pelaksanaan terkadang tidak bisa dipastikan, mengingat
harus menyesuaikan dengan kepentingan pengurus dan
musholla yang ditempati. Secara konseptual (Manual acara,
penanggung jawab) acara ini di handle oleh Pengurus Ranting,
namun secara teknis, diserahkan oleh pengurus musolla/
langgar/masjid yang bersangkutan. Jumlah masjid dan
musholla di Dukuh Kedung Banteng terdiri dari 7 musholla
dan 1 masjid. Meskipun sebenarnya ada satu musholla lagi,
tapi karena dikelola oleh Muhammadiyah, sehingga tidak
masuk dalam program NU ini.
Jika program Senin Pahing merupakan program internal
pengurus, maka program Lailatul Ijtima merupakan program
sosial yang bisa diikuti oleh semua orang. Sehingga program
ini merupakan program umum (publik), yang berkaitan
dengan keagamaan.
Adapun jenis-jenis ritul-kegiatan dalam program ini

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 171


Mustaqim

adalah sebagai berikut:


1). Sholat ghoib.Yaitu pelaksanaan sholat ghoib secara
berjamaah kepada arwah warga nahdliyyin yang sudah
meninggal. Sholat ghoib dilaksanakan baik ketika
ada tokoh ataupun warga NU yang baru meninggal,
meskipun tidak ada. Secara substansi, sholat ghaoib
diperuntukkan untuk semua arwah warga nahdlityin
yang baru meninggal, dimanapun dia berada.
2). Pembacaan arwah jama.Sebelum pembacaan tahlil,
panitia terlebih dahulu membacakan daftar arwah yang
sudah didaftarkan oleh warga yang bersangkutan. Setiap
warga diberi kesempatan untuk mengirim daftar arwah,
dengan ketentuan setiap arwah harus bersedekah 1000
rupiah. Hasil pengumpulan uang sodaqoh tersebut
diperuntukkan untuk operasional bagi musholla/masjid
penyelenggara.
3). Pembacaan tahlil. Sebagaimana pada pembacaan tahlil
secara umum, tahlilan dalam kegiatan ini dipimpin
oleh seorang kiayi. Doa dalam tahlil harus menyertakan
semua arwah yang telah dibaca dalam pembacaan arwah
jama.
4). Sambutan. Sambutan ini terdiri dari sambutan pengurus
musholla, sambutan pengurus ranting dan terkadang
juga pengurus MWC NU Karanganyar yang telah
diundang.
5). Pengajian (mauidhoh hasanah). Merupakan puncak
kegiatan, yang menghadirkan muballigh/dai dari luar
desa/daerah.

B. Tradisi Mitung dina

1. Pengertian tradisi keberagamaan


Secara etimologi (bahasa), tradisi berasal dari bahasa Latin
traditio yang berarti diteruskan. Sedangkan dalam terjemahan
bebas sering diartikan dengan kata kebiasaan, yaitu sesuatu yang
telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu
kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan,
waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi

172 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Peran Jamiyyah Ijtimaiyyah dalam Pembentukan Tradisi

adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi,


baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu
tradisi dapat punah.
Dalam pengertian lain tradisi adalah adat-istiadat atau
kebiasaan yang turun temurun yang masih dijalankan di masyarakat.
Dalam suatu masyarakat muncul semacam penilaian bahwa cara-cara
yang sudah ada merupakan cara yang terbaik untuk menyelesaikan
persoalan.Biasanya sebuah tradisi tetap saja dianggap sebagai cara
atau model terbaik selagi belum ada alternatif lain. Tradisi merupakan
roh dari sebuah kebudayaan. Tanpa tradisi tidak mungkin suatu
kebudayaan akan hidup dan langgeng.
Selanjutnya dari konsep tradisi akan lahir istilah tradisional.
Tradisional merupakan sikap mental dalam merespon berbagai
persoalan dalam masyarakat. Didalamnya terkandung metodologi
atau cara berfikir dan bertindak yang selalu berpegang teguh atau
berpedoman pada nilai dan norma yang belaku dalam masyarakat.
Dengan kata lain setiap tindakan dalam menyelesaikan persoalan
berdasarkan tradisi.
Sedangkan keberagamaan dapat diartikan sebagai pelaksanaan
dari ajaran agama. Keberagamaan dalam hal ini meruang waktu,
sesuai dengan setting sosial dan budaya ummat yang melaksanakan
keberagamaan. Di sini, keberagamaan bersifat relative dan beragam.
Tradisi keberagamaan merupakan tradisi agama yang dilakukan
oleh komunitas masyarakat beragam secara terus menerus dan turun
temurun. Semua prilaku keagamaan yang disandarkan pada ajaran
agama, dalam hal ini termasuk pada keberagamaan.
Dalam hal ini, tradisi mitung dina, atau rtual tujuh hari setelah
kematian merupakan tradisi keberagamaan. Praktik pelaksanaan
ritual ini, dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain sangatlah
berbeda. Apalagi dalam konteks teknis pelaksanaan, sangatlah relatif.
Boleh jadi teknis pelaksanaan tradisi mitung dina antara desa yang satu
dengan desa yang lain berbeda.
2. Konsep tradisi mitung dina
Meskipun secara teknis, pelaksanaan tradisi mitung dina
sangatlah variatif, namun secara substansi, tradisi mitung dina
mempunyai tujuan mendoakan bagi orang yang baru meninggal.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 173


Mustaqim

Bentuk doa dalam hal ini bisa berupa bacaan-bacaan Al-Quraan


dan kalimah thoyyibah, juga bisa berupa shodaqoh yang pahalanya
diperuntukkan untuk orang yang meninggal. Karena merupakan
tradisi keberagamaan, ritual ini mempunyai beberapa landasan ajaran
Islam. Berikut ini akan dipaparkan beberapa dalil, yang mendasari
pelaksanaan tradisi mitung dina.
a. Membaca Al Quran
Dalam masalah membaca al Quran dan menghadiahkan
pahalanya untuk orang yang telah meninggal dunia, para
ulama berbeda pendapat mengenai sampai dan tidaknya
pahala tersebut terhadap orang yang telah meninggal. Apabila
yang membacakannya bukan dari anaknya atau kerabatnya
(Basyunni, 2004: 278). Diantaranya adalah:
Menurut imam Syafii membaca Al Quran yang pahalanya
dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal pahala
tersebut tidak sampai kepadanya. Karena perbuatan
tersebut tidak dilakukan dan diusahakan mereka sendiri.
Berdasarkan firman Allah SWT surat an Najm ayat 39, yang
artinya:Dan seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya.
Biarpun demikian sebagian pengikut beliau justru
berpendapat bahwa pahala membaca Al- Quran pahalanya
sampai pada orang yang telah meninggal. Hal ini berdasarkan
keterangan dari Imam Nawawi dalam kitab Adzkar-nya, yang
artinya: "Dan para ulama berbeda pendapat mengenai sampai
dan tidaknya membaca Al-Quran ( kepada mayit), Menurut
pendapat Madhab Syafii dan para pengikutnya bahwa pahala
tersebut tidak akan sampai kepadanya. Berbeda dengan pendapat
Imam Ahmad bin Hambal dan pengikutnya serta sebagian ulama
pengikut SyafiI bahwa bacaan tersebut akan sampai kepada orang
yang telah meninggal.
Menurut Ibnu Taimiyyah, dalam masalah ini beliau
berpendapat sesungguhnya berbagai ibadah badaniyah seperti
shalat, puasa dan membaca Al-Quran akan bermanfaat bagi
orang yang telah meninggal sebagaimana bermanfaatnya ibadah
yang berbentuk harta seperti shodaqoh dan lain sebagainya, dan
hal tersebut selalu menjadi ketetapan seluruh ulama sebagaimana
orang yang telah meninggal juga akan merasakan manfaat doa

174 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Peran Jamiyyah Ijtimaiyyah dalam Pembentukan Tradisi

dan permohonan ampun.


Menurut Ibnu Qoyim dalam kitabnya Ar Ruh, menjelaskan
bahwa: Hadiah yang paling utama umtuk mayit adalah
shodakoh, ishtighfar, doa dan haji. Adapun mambaca Al-Quran
dan menghadiahkan kepadanya secara sunah tanpa mengharap
imbalan maka pahalanya juga sampai seperti halnya pahala
puasa dan haji. Yang lebih utama ketika melakukan ibadah adakah
dihadiahkan kepada mayit dan hal itu tidak disyaratkan dengan
mengucapkannya
Menurut Al-Dahlawi mengatakan termasuk perbuatan
sunnah (untuk mendoakan orang mati) adalah membaca
surat Al-Fatihah, karena ia merupakan doa yang paling baik
dan paling luas cakupannya. Allah SWT telah mengajarkan
hamba-hamba-Nya dalam kitab suci Al-Quran. Diantara
doa Nabi saw. yang terkenal bagi mayat adalah (doa yang
artinya) Yaa Allah ampunilah orang yang masih hidup dan orang
yang sudah mati di antara kami (Hujjatullah Al-Balighah, juz II,
hal. 93)
b. Bershodaqoh
Seluruh ulama sepakat bahwa pahala shodaqah tersebut
bisa sampai kepada mayit hal ini berdasarkan hadits Nabi
SAW, yang artinya: Dari sayidatina Aisyah r.a., bahwa ada
seorang datang mennemuhi Nabi SAW, lalu bertanya bahwa sanya
ibu saya meninggal secara mendadak dan belum sempat berwasiat.
Saya kira jika beliau dapat berbicara sebelumnya tentu beliau akan
(berwasiat untuk) bershodaqoh. Apakah beliau akan mendapat pahala
jika saya bershodaqoh untuknya? jawab Nabi SAW ya!Hadiys
diriwayatkan Bukhori, Muslim dan NasaiI. (Shohih Muslim,
1983: 90).
Dalam Hadits yang lain diriwayatkan sebagai berikut yang
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a., beliau berkata : ibunya Saad Ibnu
Ubadah meninggal, sedangkan ia sedang tidak ada (dirumah), lalu
ia bertanya pada Rasulullah SAW Apakah ada manfaatnya jika saya
bershodaqoh untuk beliau? Rasul menjawab.Ya lalu ia berkata
Saya minta kesaksian dari engkau bahwa kebun saya aku shodaqohkan
untuk beliau. Hadits diriwayatkan oleh Nasai. (Sunan Nasai:
203)
Beberapa dasar diatas, menjadi acuaan bagi pelaksanaan

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 175


Mustaqim

tradisi mitung dina. Di kalangan warga nahdliyin, tradisi mitung


dina menjadi sebuah platform tersendiri. tradisi ini sebagai
rangkaian dari tradisi kematian lainnya, mulai nelung dina (tiga
hari kenmatian), metang puluh dina (40 hari kematian), nyatus
(100 hari kematian), mendak 1, 2 dan 3 ( satu tahun kematian,
dilaksanakan selama 3 kali berturut-turut) dan nyewu (1000 hari
kematian). Tradisi ini sudah populer di kalangan warga NU,
dan menjadi tradisi keberagamaan yang selalu dilaksanakan.
Acara mitung ndino atau acara tujuh hari dari kematian,
biasanya di adakan acara yasinan atau tahlilan setiap malam
dari hari pertama kematian seseorang sampai selama tujuh
hari berturut-turut. Menurut cerita, di Indonesia dulu sebelum
masuknya agama Islam banyak sekali orang-orang yang
mempercayai bahwa pada hari pertama sampai ke tujuh, roh-
roh orang yang mati akan mengganggu orang kampung, maka
untuk mengusir roh-roh yang mengganggu tersebut, mereka
berkumpul dirumah si mati pada hari-hari tersebut, membuat
sesajen dan membacakan mantera-mantera.
Setelah Islam datang, tradisi tersebut oleh para Wali Songo
digunakan sebagai alat dakwah. Tradisi tersebut tetap dibiarkan
ada dan tidak sertamerta ditolak, tetapi sesajen diganti dengan
sedekah makanan, sedangkan bacaan mantera-manteranya
diganti dengan bacaan Yasin dan Tahlil. Kemudian oleh tokoh-
tokoh Nahdlotul Ulama tradisi yang sudah berlangsung lama
ini direspon dengan baik sebagai napak tilas pendahulunya
yaitu Wali Songo
Menurut Imam Suyuthi didalam kitab al-Hawi lil Fatawi,
tradisi memberi sedekah makanan selama tujuh hari dari
kematian ini merupakan kebiasan atau tradisi yang tetap berlaku
hingga abad ke-9 Hijriyah di Makkah dan Madinah. Yang
jelas tradisi itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat
Nabi saw. Tradisi ini di ambil dari ulama salaf sejak generasi
pertama (masa sahabat Nabi saw). Imam Ahmad bin Hambal
juga berkata dalam kitab az-Zuhd, sebagaimana dikutip oleh
Imam Suyuthi dalam kitab al-Hawi lil Fatawi, Juz 2, Hal 178,
Hasyim bin Qosim bercerita kepada kami, Ia berkata, Al-Asyjai dari
Sufyan bercerita kepada kami, Ia berkata, Thowus berkata Orang
yang meninggal dunia di uji selama tujuh hari didalam kubur. Maka
para salafus sholih mensunahkan bersedekan makanan untuk mereka

176 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Peran Jamiyyah Ijtimaiyyah dalam Pembentukan Tradisi

yang meninggal dunia selama tujuh hari itu (Al-Hawi li Al-Fatawi,


juz II, hal. 178).
Adapun praktik pelaksanaan tradisi mitung dina, pada
dasarnya adalah pembacaan tahlil secara berjamaah yang
dilakukan oleh sanak keluarga dan tetangga yang meninggal.
Bacaan tahlil merupakan seperangkat bacaan yang terdiri dari
ayat al-quran, kalimah thayyibah dan bacaan dzikir. Formulasi
bacaan tahlil inipun ada beberapa perbedaan dikalangan para
kiayi dan ulama.

IV. HASIL TEMUAN


Tradisi mitung dina di Dukuh Kedung Banteng mengalami
perubahan secara teknis sekitar tahun 2005. Perubahan ini berarti
membentuk pola baru dalam pelaksanaan tradisi mitung dina.
Tradisi tahlilan selama tujuh hari berturut-turut ini kemudian
dikenal dengan istilah ngejekno.
Ritual ngejeno terdiri dari dua ritual kegiatan, yaitu:
1. Pembacaan fida al kubro.
Yakni pembacaan Surat al-Ikhlash sebanyak 100.000
kali secara berjamaah. Fida secara bahasa berarti tebusan.
Fida didasarkan dari tuntunan sebuah hadist Rasulullah
saw. bersabda, Barangsiapa yang membaca (surat Al-Ikhlas)
seratus ribu kali, maka ia telah menebus dirinya kepada Allah
SWT. Kemudian ada sebuah seruan dari sisi Allah SWT di langit
dan bumi-Nya ; Ingatlah, sesungguhnya si fulan telah dibebaskan
oleh Allah SWT dari api nereka, maka barangsiapa mempunyai
tanggungan dosa kepadanya, maka menuntutlah kepada Allah
Azza wa Jalla. (Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari Anas bin
malik, lihat Tuhfah Al-Murid Ala Jauharah Al-Tauhid, hal.
140)
Penghitungan ini biasanya berupa batu kecil (kerikil)
yang telah dibersihkan, kemudian dibungkus sebanyak 25
biji kedalam plastik. Satu bungkus plastik ini kemudian
diberikan pada masing-masing orang yang ngejekno.
2. Pembacaan tahlil.
Sebagaimana pembacaan tahlil secara berjamaah pada
umumnya, tahlilan ini dipimpin oleh seorang kiayi
kampung.
Latar belakang perubahan teknis ngejekno ini adalah analisis

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 177


Mustaqim

para pengurus jamiyyah terhadap realitas masyarakat sosial, di


mana tradisi mitung dina yang model lama dirasa memberatkan
bagi keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.
Indikator memberatkan dalam hal ini berupa pemberian
sodaqoh kepada orang yang ngejekno pada setiap malamnya
selama 7 hari. Adapun sodaqoh itu berupa:
a. Berkat, yakni paket nasi, lauk dan jajan yang biasanya
dibungkus kardus nasi ataupun keranjang nasi (cething).
Berkat ini diberikan ketika nelung dina (3 hari kematian) dan
mitung dina (tujuh hari kematian). Padahal jumlah orang
yang ngejekno biasanya sekitar 200 an orang.
b. Jaminan (jajan/makanan ringan), yakni suguhan yang
diberikan kepada orang yang ngejekno setelah selesai.
Jaminan ini diberikan selama 7 hari, namun untuk hari ke3
dan ke 7 biasanya satu paket dengan berkat.
c. Uang (wajib), yakni uang yang diberikan kepada orang yang
ngejekno pada hari ketujuh. Masyarakat mengistilahkan
uang ini sebagai wajib. Kurang diketahui, apakah istilah
ini sama dengan pengertian wajib dalam hukum fikih.
Sodaqoh ini dulu berkisar antara Rp. 2000,- sampai Rp.
10.000,- disesuaikan dengan kemampuan keluarga yang
meninggal.
Sodaqoh ini oleh masyarakat, khusunya bagi keluarga yang
kurang mampu dianggap memberatkan. Sehingga menjadi
pembahasan dalam jamiyyah Senin Pahing.
Atas dasar masukan dari masyarakat maka rapat dalam jamiyyah
Senin Pahing akhirnya mengeluarkan sebuah keputusan tentang
tradisi ngejekno ini. Keputusan ini sampai sekarang berlaku, dan
menggeser tradisi ngejekno yang lama. Apapun hasil keputusan
tersebut adalah sebagai berikut:
Tradisi ngejekno, secara umum dilakukan selama 3 hari. Artinya
masyarakat akan melaksanakan ngejekno hanya selama 3 hari
(nelung dina). Dan ngejekno ini bersifat bebas jaminan, artinya
keluarga tidak boleh memberikan jaminan, baik makanan
maupun jajan kepada orang yang ngajekno. Kecuali pada hari
ketiga, maka keluarga diperbolehkan untuk mengeluarkan
sodaqoh semampunya. Dalam hal ini, ada yang berupa berkat,
ada yang berupa makanan (satu porsi makanan, yang dimakan

178 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Peran Jamiyyah Ijtimaiyyah dalam Pembentukan Tradisi

di situ), ada pula yang memberikan jajanan, yakni satu paket


jajan yang dibungkus dalam plastik ataupun kerdus snake.
Jika keluarga yang meninggal menginginkan untuk
melanjutkan ngejekno sampai hari ketujuh (mitung dina), maka
keluarga korban harus mengundang sendiri orang-orang yang
diinginkan. Dalam hal ini, jamiyyah NU sudah tidak punya
kewajiban untuk ngejekno. Apapun bagi orang yang diundang,
maka penghormatan tamu berupa sodaqoh menjadi hak tuan
rumah. Dan biasanya pada hari ke enam, tamu yang diundang
dapat uang wajib. Mengenai jumlah orang yang diundang, ini
tergantung pada keinginan keluarga.
Meskipun perubahan tradisi ini terkadang masih mengalami
beberaga persoalan, tapi dengan perubahan tradisi ini setidaknya
memberi kemudaan bagi keluarga yang ditinggal. Sehingga,
keluarga yang ditinggal mati oleh anggota keluarganya, tidak
terbebani oleh sebuah tradisi keberagamaan. Sebagaimana
beberapa tradisi yang masih berlaku, baik pada agama Islam
maupun agama lain, ritual pasca kematian seringkali menjadi
beban tersendiri bagi keluarga. Dengan adanya perubahan
tradisi ini, setidaknya meluruskan anggapan bahwa syariat
agama (Islam) itu tidak boleh membenani bagi ummat Islam.
Sebagaimana bunyi sebuah kaidah fiqh al masyaqqot tajlibu bi
al-taisir (kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan). Karena
pada dasarnya, agama Islam itu menghendaki kemudahan,
sebagaimana firman Allah SWT Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (Al-
Baqarah: 185).

V. KESIMPULAN
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Jamiyyah Nahdlotul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial
keagamaan yang masih mengakomodir tradisi-tradisi yang ada
di masyarakat.
Tradisi keberagamaan merupakan kebiasaan yang terus
menerus dilakukan, yang didasarkan pada ajaran agama.
Tradisi keberagamaan bersifat relatif, meruang waktu dan
beragam. Tradisi mitung dina merupakan salah satu tradisi

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 179


Mustaqim

kaum Nahdliyah yang masih berlaku saat ini. Sebagai bagian


dari keberagamaan, secara teknis pelaksanaan tradisi ini pun
beragam dan bervariasi.
Tradisi mitung dina di Dukuh Kedung Banteng Kecamatan
Karanganyar mengalami perubahan secara teknis, atas
pertimbangan kepentingan masyarakat yang ada.
Jamiyah NU ranting Kedung Banteng berperan secara aktif dalam
perubahan tradisi ke arah yang mudah dan tidak memberatkan.
Di sini, sebuah tradisi bisa dibentuk dan dibangun melalui
organisasi atau lembaga sosial yang ada di masyarakat.

VI. PENUTUP
Demikian penelitian ini disajikan. Tentunya masih banyak
kekurangan dan kesalahan baik secara redaksional maupun substansi.
Saran dan masukan pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan
tulisan ini. Kami ucapkan terima kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penelitian ini. Tak lupa permohonan maaf atas
kenaifan dan kekurangan dalam penelitian ini. Semoga mampu
memberi manfaat.Amin.

180 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


DAFTAR PUSTAKA

Andre Feillard, NU Vis a Vis Negara, Yogyakarta: LKIS, 1999.

http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama/26 oktober 2010

http://jalius12.wordpress.com/2009/10/06/tradisional/26 oktober 2010

http://masdodod.wordpress.com/2009/01/20/catatan-penting-
tentang-tahlilan/27 oktober 2010

Kartini Kartono, Pengantar Metode Riset Sosial, Bandung: Mandar


Maju, 1999.

Laode Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam, dan Negara. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1996

Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian


Wacana Baru. Yogyakarta: LKIS, 1994.

Moh. Natsir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Nasution, Metode Research Penelitian Ilmiah Cet VI, Jakarta: Bumi


Aksara, 2003.

Ridwan, Paradigma Politik NU:Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran


politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2001.

Shohih Muslim, Beirut: Dar Fikr, 1983.

Sorjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI, 1982.

Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif


dan R&D. Bandung : Alfabeta, 2008.

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis,

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 181


Mustaqim

Jakarta: Bina Aksara, 2002.

Sunan Nasai, Semarang: Toha Putra.

Syaikh Muhammad Bayumi, Fikih Jinayah, Jakarta: Pustaka Kautsar,


2004.

182 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


PEMBAGIAN HARTA KEKAYAAN
OLEH KOMUNITAS SANTRI STUDI DI DESA
TANGGUNGHARJO KECAMATAN GROBOGAN

Oleh : Drs. H. Yasin, M.Ag

Abstrak
Penelitian yang tujuan akhirnya ingin mengetahui model-model
pembagian harta kekayaan orang tua kepada anak-cucu dengan judul
Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri: studi di desa
Tanggungharjo kecamatan Grobogan ini menggunakan metode
kualitatif, suatu metode yang diharapkan dapat mengungkap hal-
hal yang berada di belakang fenomena yang nampak di permukaan.
Beberapa tokoh masyarakat yang ditemui dan dimintai informasi
sekitar focus kajian dirasa cukup kompeten dalam menjawab
masalah yang diangkat. Para tokoh yang dijadikan nara sumber
itu di samping mengalami sendiri juga kaya dengan pengalaman
pembagian harta kekayaan masyarakat sekitar sebagai orang tua
kepada ahli waris terutama anak-anak dan cucunya. Artinya
para informan yang menjadi nara sumber itu pernah melakukan
pembagian harta kekayaannya kepada ahli warisnya, juga pernah
menerima pembagian harta dari orang tuanya. Hasil penelitian
dimaksud adalah :
1. Bahwa komunitas santri desa Tanggungharjo kecamatan
Grobogan dalam membagi harta peninggalan pewaris lebih
cenderung menggunakan model musyawarah. Musyawarah
keluarga itu dihadiri oleh seluruh anggota keluarga dekat
yang ada dan berpotensi mendapatkan bagian dari harta
peninggalan itu. Pembagian model musyawarah ini ada yang
dengan menghadirkan seorang tokoh masyarakat ada yang
tanpa kehadiran tokoh masyarakat (kyai). Yang perlu mendapat
perhatian khusus adalah bahwa meskipun tokoh yang dihadirkan
itu seorang kyai, dan atas dasar musyawarah, namun pembagian

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 183


H. Yasin

2 : 1 antara anak laki dan perempuan sering atau bahkan selalu


dikesampingkan. Artinya bagian anak laki-laki dan anak
perempuan itu sama 1 : 1. Alasannya adalah bahwa kedudukan
anak baik laki-laki maupun perempuan itu sama, bahkan
kontribusi anak perempuan terhadap penyelesaian pekerjaan
rumah tangga dirasa lebih banyak, terutama bagi masyarakat
desa seperti Tanggungharjo. Ungkapan sepikul segendongan
(perbandingan 2:1) dalam pembagian harta waris ternyata telah
terkubur dalam pelaksanaan.
2. Masih ada satu model lagi dalam proses pengalihan harta
kekayaan kepada para ahli waris, yaitu pembagian sebelum
pewaris meninggal dunia, sehingga saat pewaris meninggal,
harta telah habis terbagi atau tinggal sedikit. Argumen yang
dapat digali dari lapangan menunjukkan bahwa model terakhir
inilah yang dirasa dapat menyelesaikan masalah yang sering
timbul di antara anggota keluarga. Jika dengan musyawarah
ini, persoalan tak dapat diselesaikan, komunitas santri desa
Tanggungharjo lebih cenderung menyerahkan penyelesaian
masalah mereka ke Pengadilan Negeri, meskipun penyelesaian
lewat lembaga Peradilan ini lebih sering tidak menguntungkan
para pihak yang bersengketa, untuk tidak mengatakan malah
rugi. Pengalihan kewenangan dari Pengadilan Negeri
ke Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa waris
komunitas santri pasca UU No. 3 Tahun 2006 belum banyak
diketahui oleh masyarakat pada umumnya.
Kata Kunci: Model, Harta, Ahli waris, penyelesaian.

A. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penelitian ini diilhami oleh suatu kegelisahan akademik yang
dirasakan oleh peneliti sehubungan dengan kesenjangan antara teori
dan realita di kalangan komunitas santri yang peduli dengan hukum
Islam terutama yang berhubungan dengan harta benda. Kegelisahan
dimaksud bermula dari teori-teori hasil temuan para pakar hukum
Islam yang kredibilitasnya tidak diragukan lagi. Sebut saja misalnya,
teori Van den Berg sebagaimana dikutip oleh Bustanul Arifin yang
meyatakan bahwa umat Islam di Indonesia selama ini melaksanakan
hukum Islam meskipun ada sedikit penyimpangan (Bustanul Arifin,
2001: 36); teori Ichtiyanto sebagai lanjutan dari penemuan Hazairin
menyatakan bahwa hukum Islam itu ada di Indonesia, teori
eksistensi ini menyatakan bahwa hukum Islam di Indonesia ini ada

184 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

dalam arti merupakan bagian integral dari, sebagai bahan penyaring


bahan-bahan, diakui kemandiriannya dan diberi status sebagai,
serta sebagai bahan dan unsur utama dalam pembentukan hukum
nasional (Ichtiyanto, 1990: 79). Sementara itu H.M. Tahir Azhary
menyampaikan teorinya konsentris, yakni bahwa antara agama,
hukum dan Negara mempunyai hubungan yang apabila disatukan
akan membentuk lingkaran konsentris dan merupakan satu kesatuan
serta saling membutuhkan (Tahir Azhary, 1992: 43) Berikutnya Teori
Penerimaan Autorita Hukum: teori ini menyatakan bahwa seseorang
yang telah menyatakan dan menerima bahwa Islam sebagai agamanya,
maka semua norma yang ada pada ajaran Islam memiliki otoritas,
kekuasaan untuk memaksa orang itu untuk melaksanakan ajarannya
(H.A.R Gibb, 1993: 85) meskipun bentuk paksaan sebuah ajaran
terhadap pemeluknya masih perlu dipertanyakan, kecuali atas dasar
kepercayaan dan keimanan.
Di pihak lain ada teori yang dikemukakan oleh tokoh lain yang
sangat berbeda atau bahkan bertentangan dengan teori-teori di atas.
Yang terakhir ini misalnya teori yang ditemukan oleh Snouck Hurgronje,
yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat dianggap digunakan dan
dilaksanakan bagi umat Islam Indonesia manakala ia telah diserap oleh
hukum adat. Artinya hukum Islam yang belum diterima oleh adat dan
menjadi tradisi masyarakat tidak dapat digunakan sebagai alat dan
norma hukum untuk menyelesaikan masalah yang menjadi sengketa
dalam komunitas santri yang mengajukan perkaranya dalam rangka
mencari keadilan, kecuali jika hakim yang menyelesaikan perkara itu
memperhatikan nilai dan norma hukum yang hiduip di masyarakat
itu. Dalam proses penyelesaian perkara hakim tidak boleh hanya
menemukan norma hukum yang telah ada dalam Undang-undang
sebagai hukum materiil pengadilan itu. Hakim harus menggali dan
memperhatikan rasa keadilan dan hukum yang hidup di masyarakat
bersangkutan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang penggunaannya oleh
masyarakat yang membutuhkan ditetapkan melalui instruksi Presiden
nomor 1 tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama nomor 154 tahun
1991 tidak dapat mengangkat kedudukan norma hukum Islam yang
tertuang di dalamnya menjadi hukum tertulis, KHI tetap sebagai
hukum yang tidak tertulis, meskipun materi hukum Islam ini telah

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 185


H. Yasin

dikumpulkan dalam sebuah buku serta proses pengumpulannya


memerlukan waktu yang cukup panjang, serta metode yang bervariasi.
Metode penelitian pandangan para ulama masa lalu dilakukan dengan
library research. Materi-materi yang berhubungan dengan masalah
perkawinan, kewarisan serta masalah sedekah dan wakaf diteliti
melalui penelusuran pada kitab-kitab karya ulama ratusan tahun yang
lalu. Metode perbandingan juga digunakan untuk mengetahui lebih
mendalam bagaimana materi hukum Islam dijadikan sebagai norma
hukum tertulis di beberapa Negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam. Di samping dua metode tersebut di atas, metode
wawancara juga dimanfaatkan, wawancara dilakukan kepada beberapa
tokoh / ulama yang diyakini mengerti bagaimana sesungguhnya norma
hukum yang dilaksanakan oleh komunitas santri. Namun nampaknya
metode yang terakhir ini kurang dapat memberikan kontribusi yang
signifikan dalam proses penyatuan norma hukum Islam yang akan
diberlakukan kepada komunitas santri di Indonesia. Ini dapat dilihat
bahwa para ulama yang diwawancarai tidak ada yang mengangkat
norma mana yang sesungguhnya berlaku dan hidup di komunitas
santri, utamanya dalam bidang kewarisan oleh komunitas santri Jawa.
Dalam bidang kewarisan ini, jawaban para informan yang terdiri dari
para ulama sesuai dengan pandangan ulama yang termaktub dalam
karya-karya mereka. Artinya jawaban ulama itu lebih mengarah pada
bagaimana norma hukum itu seharusnya berlaku bagi umat muslim,
tanpa mengungkap bagaimana norma hukum yang sesungguhnya
hidup di komunitas santri tempat para tokoh itu berada. Hal ini dapat
dimengerti karena sangat mungkin para ulama dan tokoh masyarakat
itu kurang mengerti norma mana yang sesungguhnya hidup di
komunitas santri tersebut. Di sini letak ketidaksinkronan antara yang
dikehendaki para pembina hukum nasional dengan para tokoh yang
diwawancarai.
Hasil wawancara akan menjadi lain jika yang diwawancarai
adalahparabirokratdesayangselalumendapatlaporanpembagianharta
waris pasca pembagian yang dilakukan oleh para ahli waris. Meskipun
harus diakui bahwa hakim agama hampir selalu memanfaatkan
KHI ini - sejak diinstruksikan penyebaran dan penggunaannya oleh
Presiden Soeharto bagi yang ingin menggunakannya - dalam proses
penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya. Dengan ungkapan
lain kedudukan KHI tetap sama dengan norma hukum tidak tertulis
lainnya, seperti norma hukum adat.

186 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

Dua arus besar teori tersebut di atas membuat peneliti bergegas


mengadakan penelitian untuk memastikan bagaimana sesungguhnya
realita di lapangan. Hukum Islam yang termaktub dalam KHI buku
I tentang perkawinan harus kita akui bahwa komunitas santri di
Indonesia benar-benar menaatinya. Ini terbukti komunitas santri
yang berkehendak melaksanakan pernikahan selalu mencari tahu
apa saja yang harus dipenuhi untuk mengadakan akad tersebut
menurut hukum Islam.1Demikian juga, aturan tentang wakaf yang
tertuang dalam buku III KHI, komunitas santri juga telah sadar
untuk menyelamatkan harta wakaf umat Islam dengan mengajukan
pensertifikatannya2 sebagai bukti fisik eksistensi harta wakaf itu. Info
resmi dari sekretaris desa semua tanah wakaf di desa Tanggungharjo
kecamatan Grobogan ini telah bersertifikat baik itu mushalla, masjid
atau bangunan untuk pendidikaan. (Wawancara dengan sekdes pada
tanggal 09 September 2009), Di dua bidang tersebut, hukum Islam
memang telah merupakan hukum yang hidup di komunitas santri di
Indonesia. Sementara penelitian lapangan tentang pelaksanaan norma
hukum di bidang kewarisan yang termaktup dalam KHI buku II,
belum banyak tersentuh.
DipilihnyadesaTanggungharjokecamatanGrobogankabupaten
Grobogan sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa
secara geografis kabupaten ini merupakan wilayah persimpangan
dan sekaligus pertemuan Islam santri dan Islam kejawen. Islam santri

1. Khusus di desa Tanggungharjo, tempat penelitian ini dilak -


kan, pernikahan secara diam-diam yang menurut istilah yang berkembang di
masyarakat disebut nikah sirri hamper tidak ada. Disebut hamper tidak ada
karena kurang lebih sudah 15 tahun yang lalu atau 4 tahun setelah KHI diresmi-
kan penggunaannya pernah terjadi ada seorang gadis yang diketahui telah hamil
sebelum nikah, dan laki-laki yang menghamilinya siap bertanggungjawab dengan
menikahinya, namun karena laki-laki ini masih dalam proses pendidikan sebagai
calon anggota ABRI, yang menurut regulasi yang ditetapkan tidak boleh menikah
sebelum pendidikan selesai, maka nikah dilakukan secara sirri, tanpa pencatatan
oleh Pegawai pencatat nikah. Sayangnya sesaat setelah pendidikan selesai, laki-
laki calon ABRI ini tidak menepati janjinya. Berita itupun sangat cepat menyebar
di seluruh penjuru desa tersebut. Dampak negatifnya pasti ada utamanya bagi ke-
luarga gadis yang dinikah secara sirri itu. Namun dampak positifnya ternyata juga
ada, yakni bahwa para orang tua di desa tersebut tidak bersedia menikahkan anak
gadisnya secara sirri, karena takut akan dikecewakan oleh calon menantu laki-laki
yang tidak bertanggungjawab. Artinya sejak 1995 yang lalu pernikahan secara sirri
di desa Tanggungharjo tidak pernah terjadi lagi.
2 .

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 187


H. Yasin

berada di daerah Demak dan Kudus yang merupakan batas sebelah


barat dan barat laut wilayah Grobogan sementara daerah Pati dan
Rembang berada di sebelah utara dan timur laut kabupaten yang
unik itu. Daerah-daerah tersebut merupakan lumbung dan lambang
Islam santri sedang di sebelah selatan, Grobogan berdekatan dengan
Surakarta, lambang supremasi Islam kejawen. Pertemuan atau konflik
(meminjam istilah Bustanul Arifin) dua nilai atau lebih menurut
teori antropologi hukum akan selesai dengan wajar. Jika masyarakat
menganggap nilai baru yang datang sebagai nilai yang cocok dengan
budaya dan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat
itu, maka masyarakat bersangkutan akan menerimanya dengan
senang hati. Namun jika masyarakat menganggap bahwa nilai-nilai
yang datang belakangan itu tidak sesuai dengan rasa keadilan yang
berkembang dalam masyarakat itu, maka nilai itu dibiarkan, mereka
hanya tidak memakainya. Inilah arti wajar dalam pertemuan dua nilai
atau lebih. Masyarakat mempunyai daya serap dan daya penyesuaian
terhadap konflik-konflik sistem nilai tersebut.
Norma hukum adat merupakan nilai yang paling awal
mendampingi orang Jawa sejak sebelum norma hukum ajaran Islam dan
kolonial Belanda datang ke bumi nusantara ini. Kehadiran agama Islam
dengan ajaran yang penuh toleransi dengan cepat dapat beradaptasi
dengan norma-norma yang ada sebelumnya. Islam membiarkan
norma-norma masyarakat itu berkomunikasi dan berkumpul.
Masyarakat dipersilakan memahami, menilai, dan menentukan pilihan
nilai mana yang dijadikan sebagai norma hukum yang akan mengatur
perilaku mereka dalam mengarungi kehidupan mareka sehari-hari.
Sesuai teori pertemuan / konflik nilai, sesbenarnya kehadiran norma
hukum BW yang dibawa oleh pemerintah Belanda juga akan berlaku
teori itu. Namun karena pertemuan nilai yang terakhir ini direkayasa
dengan menggunakan sarana kekuasaan, maka konflik tidak dapat
dihindari, karena pertemuannya tidak berjalan secara alami, yang
ujungnya tidak dapat selesai dengan wajar. Penggunaan kekuasaan
untuk memberlakukan BW di kalangan seluruh rakyat Indonesia
Aturan peralihan harta kekayaan oleh orang Jawa baik
yang beragama Islam ataupun tidak dari satu generasi ke generasi
berikutnya merupakan bagian dari norma hukum yang ada di antara
mereka. Kenyataan di lapangan menunjukkan semakin kuatnya teori

188 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

Qodri Azizy bahwa ada tiga sistem hukum yang benar-benar ada di
lingkungan orang Jawa itu, yakni norma hukum BW, Islam dan adat.
Tiga sistem hukum ini saling berebut di hati masyarakat Jawa. Penelitian
ini ingin mengkaji peralihan harta kekayaan dari satu generasi ke
generasi berikutnya oleh komunitas santri di desa Tanggungharjo
kecamatan Grobogan kabupaten Grobogan Jawa Tengah.
Agar tidak terjadi salah pemahaman, di bawah ini akan
diuraikan beberapa term pada judul yang sangat mungkin para
pembaca salah mengerti. Istilah komunitas santri dalam penelitian
ini ditujukan pada sebuah komunitas muslim yang taat menjalankan
ajaran agama dengan indikator aktif melakukan shalat lima waktu dan
aktif menjalankan puasa pada bulan Ramadhan. Dengan demikian
maksud judul di atas adalah kajian ilmiah dan sistematis yang pokok
bahasannya pada pelaksanaan pembagian harta waris kepada ahli
warisnya yang dilakukan oleh komunitas muslim, aktif menjalankan
shalat lima waktu serta menjalankan puasa Ramadhan, dan sebagai
penduduk asli desa Tanggungharjo kecamatan Grobogan kabupaten
Grobogan Jawa Tengah serta masih berdomisili di desa tersebut sampai
saat penelitian ini dilakukan.
1.2. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut :
a. Bagaimana model penyelesaian masalah kewarisan yang
dilaksanakan komunitas santri desa Tanggungharjo kecamatan
Grobogan kabupaten Grobogan Jawa Tengah
b. Mengapa masyarakat tersebut lebih cenderung menggunakan
model tertentu dalam pembagian harta waris
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara spesifik ingin mengetahui :
a. Model penyelesaian masalah kewarisan yang dilaksanakan oleh
komunitas santri desa tersebut
b. Alasan mengapa komunitas santri desa tersebut lebih cenderung
memilih model tertentu dalam pembagian harta waris
1.4. Manfaat Penelitian
Fenomena sosial yang terkait dengan dunia komunitas santri
masih mengandung banyak misteri. yang belum terungkap seluruhnya

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 189


H. Yasin

melalui kajian teoritis maupun penelitian empiris. Karena itu, penelitian


ini dipandang memiliki signifikansi dalam upaya menggali dan
memahami lebih mendalam sebagian dari misteri dan permasalahan
khususnya pada komunitas santri dalam proses pembagian harta waris
yang menjadi model dan didasari atas kesadaran mereka. Manfaat
praktis dari penelitian ini terutama terletak pada posisi penelitian
sebagai kajian sosiologis yang terfokus pada kegiatan pembagian harta
waris oleh komunitas santri sebagai bagian dari komunitas santri yang
tentu memiliki makna penting dan strategis dalam upaya pembinaan
hukum nasional. Para hakim agama juga dapat memanfaatkan hasil
kajian ini terutama dalam menangani dan menyelesaikan kasus
sengketa pembagian harta waris di komunitas santri tempat penelitian
ini dilakukan dan tempat lain yang memiliki karakteristik yang sama
dengan komunitas tersebut. Hal ini penting karena hakim dalam
memutus perkara / sengketa yang harus diselesaikan tidak boleh hanya
berdasar pada norma hukum yang tertulis tanpa memperhatikan rasa
keadilan dan norma hukum yang hidup di masyarakat tempat para
pihak berada.
Manfaat teoritis penelitian ini terletak pada sumbangan
yang diberikan dalam bentuk pengembangan atau koreksi terhadap
teori-teori yang berkaitan dengan hukum Islam, khususnya hukum
kewarisan, terutama teori sosiologi hukum setelah dihubungkan
dengan teori eksistensi hukum Islam Ichtiyanto dan teori eklektisisme
Qadri Azizi, dalam bentuk interpretatif, khususnya mengenai makna
pemilihan tindakan pemilihan sistem hukum pembagian harta waris
oleh komunitas santri desa Tanggungharjo kecamatan Grobogan
kabupaten Grobogan Jawa Tengah, penentuan pilihan tindakan, dan
nilai-nilai yang menjadi orientasi tindakan mereka, yang dalam banyak
penelitian cenderung terlewati. Karena itu penelitian ini juga ingin
menggali makna pilihan tindakan ahli waris dalam proses pembagian
harta waris, yang pada hakikatnya merupakan perantara dalam
hubungan dua fakta, yaitu harta waris sebagai fakta 1 di satu sisi, dan
tindakan ahli waris, sebagai fakta 2 di sisi lain.

B. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL


2.1. Kajian Pustaka
Kajian pustaka dalam setiap karya penelitian sesungguhnya
diperlukan di samping untuk memperluas wawasan si peneliti,

190 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

yang justru lebih penting adalah untuk menunjukkan posisi masalah


penelitian yang akan dikaji di antara penelitian-penelitian yang telah
ada itu.
Ada beberapa karya yang membicarakan tentang pembagian
harta waris yang ditulis atas dasar penelitian. Pertama, hasil karya
M. Djupri Syahro3 dengan judul Pengaruh Hukum Islam dalam
Penyelesaian Masalah Kewarisan di Palembang Karya ini ditulis pada
tahun 1993 di IAIN Raden Patah Pelembang dan tidak diterbitkan.
Skripsi ini menjelaskan bahwa masyarakat Palembang masih banyak
yang terlambat atau sengaja menunda pembagian harta waris. Kedua,
tulisan M. Syakroni dengan judul Sistem Kewarisan Masyarakat
Palembang. Karya ini merupakan hasil penelitian di IAIN Raden
Fatah Palembang juga. Jika yang pertama dilakukan oleh seorang
mahasiswa dalam rangka penyelesaian studinya di S.1, sementara
yang kedua ini dilakukan oleh seorang dosen, sebagai salah satu
bentuk pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi. Penelitian ini
dilaksanakan pada tahun 1990 dan dalam laporannya diungkapkan
bahwa masyarakat Palembang dalam menyelesaikan pembagian harta
terbagi dua, yaitu ada harta waris yang langsung dapat dibagi dan ada
harta waris yang pembagiannya ditunda. Ketiga, hasil penelitian yang
dilakukan oleh Abdullah Syah dengan judul Integrasi Antara Hukum
Islam dan Hukum Adat dalam Kewarisan Suku Melayu di Kecamatan
Tanjung Pura Langkat. Laporan yang merupakan penelitian yang
ditulis di IAIN Sarif Hidayatullah Jakarta ini di samping membuktikan
adanya integrasi antara hukum Islam dan hukum adat, juga mengurai
meskipun tidak panjang lebar, masalah penundaan pembagian harta
waris untuk menjaga hubungan silaturrahim di antara keluarga.
Keempat, tulisan Amir Syarifuddin dengan judul Pelaksanaan Hukum
Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Dalam buku
itu disebutkan pula keterlambatan pembagian harta waris pencarian di
Minangkabau. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat
Minangkabau yang menunda pembagian harta waris mencapai
50,2 %. Kelima, hasil penelitian dalam rangka penyelesaian studi S.3

3. Pembaca dipersilakan membaca buku karya Syakroni, Konflik Harta Warisan:


Akar Permasalahan dan Metode Penyelesaian dalam Perspektif Hukum Islam, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2007, h. 5-6. Buku ini berasal dari tesis yang berjudul Penundaan Pem-
bagian Harta Warisan dalam Perspektif Hukum Islam yang diajukan untuk melengkapi
penyelesaian studi S.2 di IAIN Ar-Raniri Banda Aceh.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 191


H. Yasin

(disetasi) yang dilakukan oleh Otje Salman, penelitian ini dilaksanakan


di wilayah Cirebon pada tahun 1990. Dalam kesimpulan laporannya,
dikemukakan bahwa hukum waris yang berlaku dalam masyarakat
Cirebon adalah hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum
waris (KUH Perdata Indonesia); dan kesadaran hukum masyarakat
terhadap hukum waris yang berlaku relatif rendah. Keenam, karya
Zaenuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, 2008. Yang terakhir
ini merupakan penelitian di kabupaten Donggala. Dalam laporannya,
pembagian harta waris oleh komunitas santri kabupaten Donggala
di luar pengadilan agama terdapat tiga (3) bentuk pelaksanaan, yaitu
(1) pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris, (2)
pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat, dan (3)
pembagian harta warisan melalui Pengadilan Negeri. (Zainuddin Ali,
2008: 154) Penelitian lapangan dalam bidang kewarisan di Jawa Tengah
masih sangat langka untuk tidak mengatakan tidak ada.
Sedang penelitian ini akan memfokuskan kajiannya pada
tingkat kesadaran komunitas santri desa Tanggungharjo kecamatan
Grobogan kabupaten Grobogan terhadap norma hukum waris. Kearah
manakah kecenderungan kesadaran hukum komunitas tersebut
dalam proses menyelesaikan masalah kewarisan. Hukum manakah
sesungguhnya yang hidup di komunitas santri tersebut.
2.2. Kerangka Konseptual
Untuk mengetahui hukum mana yang merupakan cerminan
kesadaran hukum komunitas santri masa kini dan untuk masa akan datang,
perlu dilakukan penelitian yang mendalam secara berkesinambungan.
Hukum bukan saja merupakan gejala normatif, melainkan juga merupakan
gejala sosial atau empiris. Hal tersebut diketahui dari pengertian hukum
yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yaitu:"
Jika hukum kita artikan dalam artinya yang luas maka hukum
itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan
meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses
(process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam
kenyataan.
Kata asas-asas dan kaidah-kaidah menunjukkan hukum
sebagai gejala normative, sedang kata lembaga-lembaga dan proses-
proses menunjukkan hukum sebagai sosial. Dengan lain ungkapan

192 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

pendekatan yang normative saja dalam mengkaji sebuah hukum


dirasa tidak cukup. Pendekatan hukum sebagai gejala sosial juga
sangat dibutuhkan.
Beberapa teori yang digunakan dalam kerangka penelitian ini,
sebagai landasan pemikiran dan alat analisis, adalah sebagai berikut.
Teori Pertemuan Nilai
Teori ini pada hakikatnya merupakan teori yang menyangkut
kebudayaan dan perubahan sosial atau lebih tepatnya teori tentang
hukum dan perubahan sosial. Para antropolog dan sosiolog sebagaimana
dikutip oleh Soerjono Soekanto menyatakan bahwa proses pembaharuan
(perubahan) terjadi apabila dua kebudayaan (atau lebih) berhubungan.
Pembaharuan terjadi bukan semata-mata karena terjadi proses peniruan
atau pemaksaan, akan tetapi juga karena alam pikiran menjadi lebih terbuka,
hal mana berarti kemungkinan terjadinya hal-hal baru juga sangat banyak.
Sebelum terjadinya hubungan tadi, alam pikiran warga-warga masyarakat
hanya terbatas pada pikiran masyarakat serta kebuyaannya sendiri. Norma
hukum yang baru mungkin timbul sebagai akibat terjadinya kontak
kebudayaan tersebut oleh karena dengan terjadinya hubungan, diketahui
pula unsur-unsur yang baik dari kebudayaan lain maupun kekurangan-
kekurangnannya.(Soerjono Soekanto, 1997: 96)
Setelah warga masyarakat mengetahui unsur kelebihan dan
kekurangan kebudayaan lain, maka proses berikutnya mereka akan
menentukan pilihan. Hal ini sejalan dengan pandangan Bustanul Arifin yang
mengatakan bahwa pertemuan dua nilai atau lebih, akan diakhiri dengan
damai. Jika dihubungkan dengan focus kajian dalam rancangan penelitian
ini, maka penentuan warga masyarakat (komunitas santri) diarahkan pada
model pembagian harta waris yang menjadi kesadaran mereka. Komunitas
santri akan menentukan pilihannya dari tiga sistem nilai (adat, Islam
dan BW) yang ada dalam masyarakat. Komunitas santri setelah banyak
berhubungan dengan komunitas lain dapat saja memilih sistem hukum
Islam untuk menyelesaikan masalah pembagian harta waris, karena inilah
yang dianggap paling cocok dengan eksistensinya sebagai seorang muslim.
Tetapi juga tidak mustahil mereka justru lebih memilih sistem hukum BW,
karena hukum inilah yang mereka anggap lebih mencerminkan keadilan.
Bagi komunitas santri yang kebetulan termasuk orang jawa, dapat juga
mereka tetap memilih hukum adat sebagai norma hukum yang dianggapnya
lebih tepat bagi orang Jawa.
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 193
H. Yasin

Teori hukum yang hidup


Pandangan Soepomo tentang hukum adat adalah "suatu hukum
yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat,
serta hukum adat bersifat dinamis dan akan tumbuh serta berkembang
sejalan dengan perkembangan masyarakatnya." (Soepomo, 1983: 7)
Temuan Soepomo tersebut bila ditelusuri lebih lanjut akan
ditemukan bahwa pandangannya itu dilandasi pemikiran F.C. von Savigny
dengan mazhab sejarah dan kebudayaannya sebagaimana dikutip oleh
Soerjono Soekanto. Dari situ dapat dimengerti bahwa hukum adat bersifat
dinamis dan akan tumbuh serta berkembang sejalan dengan perkembangan
masyarakatnya. Dalam bahasa Friedrich Carl von Savigny, hal
tersebut disebut Volksgeist Oiwa bangsa). Volksgeist berbeda-beda
menurut tempat dan zaman, yang dinyatakan dalam bahasa adat-istiadat
dan organisasi sosial rakyat. Hukum adat tidak saja merupakan adat-adat
yang mempunyai akibat-akibat hukum, atau keputusan-keputusan yang
berwibawa dari kepala-kepala rakyat, karena antara adat yang mempunyai
akibat hukum dan yang tidak mempunyai akibat hukum tidak ada
pemisahan yang tegas. Dengan kata lain bahwa setiap kebiasaan yang
kemudian menjadi perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari
merupakan adat atau hukum adat. (Sorjono Soekanto, 1982: 36-37) Hal
tersebut sejalan dengan pemikiran Soepomo, yaitu:
dalam penelitian hukum adat yang menentukan bukan
banyaknya perbuatan-perbuatan yang terjadi, meskipun jumlah
itu adalah panting sebagai petunjuk bahwa perbuatan itu adalah
dirasakan sebagai hal yang diharuskan oleh masyarakat. Meskipun
jumlah perbuatan yang sama di dalam daerah yang bersangkutan
itu hanya ada dua, apabila perbuatan itu benar-benar
dirasakan oleh masyarakat sebagai hal yang memang sudah
seharusnya, maka dari dua fakta itu sudah dapat ditarik
kesimpulan adanya suatu norma hukum." (Soepomo, 1983: 33)

Atas pemikiran Soepomo tersebut, Soerjono Soekanto mengatakan


bahwa:
Pendapat Soepomo di atas perlu digarisbawahi oleh karena me
nunjukkan dari sumber manakah hukum adat dapat diungkapkan,
yaitu dari masyarakat dan dari pemimpin-pemimpinnya. Ada ke
cenderungan bahwa data yang diperoleh dari pemimpin-pemimpin
itu terutama menyangkut hal-hal ideal, yang menurut tradisi perlu
dipertahankan. Oleh karenanya, data itu perlu sekali dilengkapi
dengan informasi yang secara langsung diperoleh dari warga ma

194 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

syarakat biasa. Sementara itu, Mochtar Kusumaatmadja dengan


bahasa yang lain mengemukakan pandangannya bahwa hukum
bukan saja merupakan gejala normatif, melainkan juga merupakan
gejala sosial atau empirik (Mochtar Kusumatmadja, 1975: 11).

Tentang fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan ma


syarakat, dikemukakan suatu konsepsi ilmu hukum yang mirip atau
bersumber dari teori Roscoe Pound sebagai pemuka utama mazhab
Sociological Jurisprudence dan Pragmatic Legal Realism di Amerika
Serikat. Teorinya dikenal sebagai "Law as a tool of sosial engineering"
yang dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja di Indonesia
dalam jangkauan dan ruang lingkup yang lebih luas.
Di samping diilhami oleh konsepsi Roscoe Pound tampaknya
konsep Mochtar Kusumaatmadja dipengaruhi pula oleh pemikiran
Eugen Ehrlich, dan pemikiran hukum yang berkembang di Indonesia
sendiri. Ehrlich mengetengahkan konsepsi dasar tentang hukum
yang merupakan kunci bagi teorinya adalah apa yang ia nama
kan sebagai hukum yang hidup (living law). Menurut pendapatnya,
sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto hukum yang baik adalah
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup tadi.(Soerjono
Soekanto, 1988: 36) Sesuai berarti mencerminkan nilai yang
hidup dalam masyarakat. Menurut Ehrlich, syarat tersebut
merupakan hal yang patut diperhatikan dalam pembuatan suatu
undang-undang agar undang-undang tersebut dapat berlaku secara
efektif di masyarakat.
Teori Kesadaran Hukum
Ide tentang kesadaran warga-warga masyarakat sebagai dasar
sahnya hukum positif tertulis ditemukan dalam ajaran-ajaran
tentang Rechtsgefuhl atau Rechtsbewustzijn yang intinya adalah,
bahwa tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat
kecuali atas dasar kesadaran hukum mereka.
Di Indonesia masalah kesadaran hukum mendapat tempat
yang sangat penting di dalam politik hukum khususnya, serta
pembangunan pada umumnya yang merupakan suatu perubah
an yang direncanakan. Baik dalam Repelita II maupun Repelita III,
kesadaran hukum merupakan salah satu asas dari pembangunan
nasional di Indonesia. Kesadaran hukum dianggap sebagai variabel
bebas, sedangkan taraf ketaatan merupakan variabel tergantung
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 195
H. Yasin

(Soerjono Soekanto, 1982: 208). Selain itu kesadaran hukum dapat


merupakan variabel antara, yang terletak antara hukum dengan
perilaku manusia yang nyata. Perilaku yang nyata terwujud dalam
ketaatan hukum, namun hal itu tidak dengan sendirinya hukum
mendapat dukungan sosial, dukungan sosial hanyalah diperoleh,
apabila ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan, oleh
karena kepuasan merupakan hasil pencapaian hasrat akan keadilan.
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa masalah kesadaran
hukum di Indonesia perlu dikaji secara mendalam dengan maksud
untuk dapat menjelaskan aspek-aspek yang terkait dengannya.
Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan
ketaatan hukum atau efektivitas hukum. Dengan lain perkataan,
kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hu
kum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyara
kat. Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang
tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan
demikian masyarakat mentaati hukum bukan karena paksaan,
melainkan karena hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang
ada dalam masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini telah terjadi
internalisasi hukum dalam masyarakat.
Terdapat empat indikator kesadaran hukum, yang masing-
masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu:
1. Pengetahuan hukum;
2. Pemahaman hukum;
3. Sikap hukum; dan
4. Pola perilaku hukum.4
Setiap tahapan menunjuk pada tingkat kesadaran hukum
tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang terting
gi. Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang men genai
beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah
tentu bahwa hukum yang dimaksud di sini adalah hukum
tertulis dan hukum tidak tertulis. Pengetahuan tersebut berkaitan
dengan perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang diperbolehkan
oleh hukum. Sebagaimana dapat dilihat di dalam masyarakat
bahwa pada umumnya seseorang mengetahui bahwa membunuh,

4. Bandingkan dengan pendapat Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan K -


patuhan Hukum, Jakarta, CV Rajawali, 1982, h. 140

196 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

mencuri, dan seterusnya dilarang oleh hukum. Pengetahuan


hukum tersebut erat kaitannya, dengan asumsi bahwa masyarakat
dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut
telah diundangkan.
Terdapat kaitan antara kesadaran hukum dengan kebudayaan
hukum. Keterkaitan tersebut dapat dilihat bahwa kesadaran hukum
banyak sekali berkaitan dengan aspek-aspek kognitif dan perasaan
yang seringkali dianggap faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan
antara hukum dengan pola-pola perilaku manusia dalam masyarakat.
Ajaran kesadaran hukum lebih banyak mempermasalahkan
kesadaran hukum yang dianggap sebagai mediator antara hukum
dengan perilaku manusia baik secara individual maupun kolektif.
Oleh karenanya ajaran kesadaran hukum lebih menitikberatkan
kepada nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat. Sistem nilai-nilai
akan menghasilkan patokan-patokan untuk berproses yang bersifat
psikologis, antara lain pola-pola berpikir yang menentukan sikap
mental manusia, sikap mental itu pada hakikatnya merupak an
kecenderungan untuk bertingkah laku, membentuk pola-
pola perilaku maupun kaidah-kaidah.
Bila jalan pikir yang menyatakan bahwa hukum merupakan
konkritisasi dari sistem nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat dapat diterima, maka suatu keadaan yang dicita-citakan
adalah adanya keselarasan dan keseimbangan antara hukum
dengan sistem nilai-nilai tersebut. Konsekuensinya adalah bahwa
perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti dengan peru
bahan hukum atau di lain pihak hukum harus dapat dipergunakan
sebagai sarana untuk mengadakan perubahan pada sistem nilai-nilai
tersebut. Nyatalah bahwa kesadaran hukum sebetulnya merupakan
masalah nilai-nilai.5 Jadi kesadaran hukum adalah konsepsi abstrak
di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan
ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya.

5. Sampai di sini teori Qadri Azizy dapat dimengerti, hanya nilai mana
diantara nilai-nilai yang ada di sekitar masyarakat dan bangsa Indonesia itu yang
benar-benar dipilih. Perebutan tempat itu akan selalu berlangsung, dan yang da-
pat menentukan hanyalah masyarakat sebagai pelaku nilai yang telah menjadi
norma hukum itu, bukan yang lain. Yang selalu harus diingat utamanya bagi para
Pembina Hukum dan penegak hukum adalah bahwa hukum positif atau undang-
undang yang mengabaikan hukum yang hidup dalam masyarakat pasti akan man-
dul atau bahkan akan ditinggalkan oleh masyarakat itu.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 197


H. Yasin

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila unsur-


unsur dari kesadaran hukum dipenuhi, maka derajat kesadaran
hukumnya tinggi, begitu pula sebaliknya. Tingginya kesadaran hukum
warga masyarakat mengakibatkan para warga masyarakat menaati
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, begitu pula sebaliknya,
apabila derajat kesadaran hukumnya rendah, maka derajat ketaatan
terhadap hukum juga rendah.

C. METODE PENELITIAN
1. Metode
Untuk menemukan model yang menjadi kecenderungan
komunitas santri desa Tanggungharjo dalam upaya
menyelesaikan pembagian harta waris lengkap dengan alasan
mengapa mereka memilih cara sesuai rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, maka digunakan metode penelitian
kualitatif. Dalam penelitian ini yang akan diamati adalah
orang, yaitu para tokoh komunitas santri yang diyakini dapat
menjawab hal-hal yang diperlukan dalam menjawab masalah
yang diangkat dalam penelitian ini.
Dengan menggunakan metode kualitatif, maka data yang
didapat akan lebih lengkap, lebih mendalam, kredibel dan
bermakna, sehingga tujuan penelitian dapat dicapai.
2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Sampel sumber data dipilih dengan sengaja, dan
mengutamakan perspektif emic, artinya mementingkan
pandangan informan, yakni bagaimana mereka
memandang dan menafsirkan dunia dan lingkungannya.
Dunia dan lingkungan yang dimaksud di sini adalah cara
atau system pembagian harta peninggalan atau kekayaan
si pewaris serta alasan mengapa pilihan jatuh pada system
itu.
Secara rinci sesuai focus kajian, maka sample yang
dijadikan nara sumber dan teknik pengumpulan data
adalah sebagai berikut :
a. Untuk mendapatkan data tentang model pembagian
harta waris, sumber datanya adalah keluarga-keluarga
yang pernah melakukan pembagian harta peninggalan
si pewaris dengan cara wawancara mendalam dan jika
198 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010
Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

mungkin mengamati proses. Yang terakhir ini dapat


dilakukan manakala terdapat pembagian warisan saat
peneliti melakukan wawancara.
b. Untuk mendapatkan data tentang alasan atau
argumentasi mengapa cara tersebut yang dipilih
dalam menyelesaikan pembagian harta waris, sumber
datanya juga keluarga-keluarga tersebut ditambah
para tokoh atau kiyai yang dimintai tolong dalam
proses pembagian itu dengan wawancara mendalam.
Sumber data tambahan dapat diperoleh dari dokumen
perangkat desa yang mendapatkan laporan setelah
proses pembagian selesai atau bahkan yang diminta
ikut menghadiri proses itu sebagai saksi
3. Instrumen dan informan Penelitian
Dalam penelitian ini instrumen penelitian yang utama adalah
peneliti itu sendiri, namun sangat mungkin akan dikembangkan
instrumen penelitian sederhana, yang diharapkan dapat
digunakan untuk menjaring data pada sumber data yang lebih
luas, dan mempertajam serta melengkapi data hasil pengamatan
dan observasi. Sementara informan penelitian diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu informan pendahuluan, informan utama dan
informan konfirmasi. Informan pendahuluan adalah birokrat
pemerintah desa yang dijadikan pintu masuk ke informan utama.
Informan pendahuluan ini terdiri dari para kadus 3 (tiga) orang,
kaur umum, dan sekretaris desa. Jumlah seluruhnya 5 (lima)
orang. Dari mereka inilah, peneliti mendapatkan nama dan
alamat informan utama. Dari informan penelitian utama pertama,
peneliti mendapatkan nama dan alamat informan berikutnya
dengan kriteria yang konsisten. Begitu dan seterusnya, sampai
data yang diperoleh jenuh dan tidak ada data yang berbeda dari
informan satu dengan lainnya. Informan penelitian konfirmasi
adalah subyek yang difungsikan untuk pengecekan silang
terhadap masukan dan informasi yang diterima dari informan
utama. Dalam penelitian ini informan konfirmasi berjumlah 3
(tiga) orang, yang kesemuanya adalah kiyai yang kredibilatas
keilmuannya telah diakui oleh masyarakat tempat penelitian
dilakukan. Tiga orang informan konfirmasi ini adalah : K.H.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 199


H. Yasin

Ahmad Fathoni, KH. Ahmad Sholihin (dusun Sidomulyo) dan


K. Sholihin (dusun Sidoharjo).
4. Teknik Analisis Data
Gejala social sebagai data kualitatif akan dianalisis dengan
mengikuti teknik Miles dan Huberman serta Spradley. Aktivitas
dalam analisis data kualitatif menurut Miles and Huberman
dilakukan secara interaktif dan berlangsung serta terus menerus
pada setiap tahapan penelitian sampai tuntas dan datanya
sampai jenuh. Aktivitas konkritnya adalah data reduction, data
display dan conclution drawing / verification. Selanjutnya menurut
Spradly teknik analisis data disesuaikan dengan tahapan dalam
penelitian. Pada tahap penjelajahan dengan teknik pengumpulan
data grand tour question, analisis data dilakukan dengan analisis
domain. Pada tahap penentuan focus analisisa data dilakukan
dengan analisis taksonomi. Pada tahap selection, analisis data
dilakukan dengan analisis komponensial. Selanjutnya untuk
sampai menghasilkan judul dilakukan dengan analisis tema.
5. Pengujian Kredibilitas Data
Sebagaimana penelitian kualitatif yang lain, pengujian
kredibilitas data dapat dilakukan dengan: a. Perpanjangan
Pengamatan, b. Meningkatkan Ketekunan, c. Trianggulasi
(sumber data, waktu dan teknik), d. Diskusi Teman Sejawat, dan
e. Member Check

D. HASIL PENELITIAN
Sebuah desa dengan luas tanahnya 1.163.500 ha (satu juta
seratus enam puluh tiga ribu lima ratus hektar) dan dihuni oleh 6975
jiwa menurut ukuran biasa termasuk desa yang sedang, tidak terlalu
luas dan juga tidak terlalu kecil. Dari sebanyak itu, hanya tercatat 5
(lima) orang penduduk yang beragama selain Islam, Katolik. Ini artinya
99,043 % penduduk desa ini beragama Islam. Menggali lebih dalam
keberislaman mereka utamanya dalam melaksanakan ajaran agama
tentang tata cara pembagian harta waris, penelitian ini dilakukan.
Penelitian ini ingin melihat bagaimana sesungguhnya komunitas santri
desa yang dinakodai oleh seorang nasionalis, Prapto, dan dibimbing
oleh empat orang kiyai yang cukup handal. Dikatakan handal karena
secara lahiriyah para kiyai ini diparcaya menjadi pengurus organisasi

200 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

social keagamaan terbesar di kecamatan itu, yakni Nahdhatul Ulama.


Ini menunjukkan bahwa kiyai yang berada di desa tersebut paling tidak
dituakan di kecamatan yang terdiri dari 12 desa itu. Fatwa-fatwanya
juga diikuti di seluruh wilayah kecamatan, bahkan salah satu dari
mereka terpilih menjadi pengurus cabang (tingkat kabupaten).
Sehubungan dengan focus penelitian, pertanyaan yang segera
muncul adalah apakah fatwa-fatwa para kiyai itu juga menjangkau ke
masalah proses pembagian harta warisan ? Dari hasil wawancara yang
penulis lakukan kepada para kiyai bersangkutan, dan juga dimintakan
konfirmasi kepada para tokoh dan kiyai yang lain, menunjukkan bahwa
masyarakat tidak pernah mendapat penjelasan tata cara pembagian
harta peninggalan. Hal ini sudah barang tentu mengakibatkan
pengertian dan pemahaman komunitas santri desa tersebut terhadap
hukum kewarisan Islam sangat rendah, untuk tidak mengatakan nol
persen. Bukan nol persen karena di antar warga masyarakat ada juga
yang belajar ke pondok pesantren yang nota bene di sanalah ilmu waris
dipelajari, meskipun tidak ada kewajiban bagi santri untuk mengikuti
pembelajaran materi tersebut. Sehingga meskipun status seseorang
sebagai alumni pondok pesantren, namun pemahaman tentang tata
raca pembagian harta warisan menurut fiqh tidak ada jaminan dapat
dikuasai.Bisa jadi seorang alumni pondok pesantren sama sekali tidak
pernah mempelajari fiqh mawaris.6
Tidak dibedakannya porsi perolehan dalam pembagian harta
kekayaan orang tua antara anak laki-laki dan anak perempuan ternyata
menjadi sangat menarik untuk dikemukakan. Menarik karena alasan
yang disampaikan oleh masyarakat awam berbeda dengan argument
yang disampaikan oleh kiyai yang sempat penulis wawancarai.
Masyarakat awam berpendapat bahwa anak perempuan lebih banyak
memberikan sumbangannya kepada orang tuanya, terutama dalam
menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Untuk kepentingan ini,
anak laki-laki dalam usianya yang sama belum banyak memberikan

6. Bagian dari ilmu fiqh yang khusus membicarakan tata cara pembag -
an harta waris, dari bahasan tentang siapa saja yang termasuk ahli waris, hajib
mahjub, bagian masing-masing ahli waris sampai dengan aturan main regulasi
penghitungannya. Sebagai konsekuensi sebuah fiqh yang merupakan hasil ijtihad
ulama, maka dalam ilmu ini bisa saja terdapat perbedaan pandangan di antara
para ulama, misalnya dalam masalah pelaksanaan wasiat dan hutang. Mana di an-
tara keduanya yang harus didahulukan manakala harta si mayat tidak mencukupi
keduanya.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 201


H. Yasin

kontribusinya terhadap orang tuanya. Inilah yang sesungguhnya yang


mendorong agar anak perempuan tidak dibedakan dari anak laki-
laki dalam proses pengalihan atau pembagian harta kekayaan orang
tua. Sementara argument kiyai mengapa bagian anak perempuan
disamakan dengan bagian anak laki-laki, adalah karena pembagian
ini bukan bagi waris, tapi hibah atau pemberian, dalam pemberian
ini, lanjut kiyai tersebut, rasul Allah saw memberikan rambu-rambu,
yakni agar menyamaratakan, bahkan kalau mungkin perempuan
diberi lebih. Hadis dimaksud adalah:


) (
Upayakan sama-rata di antara anak-anakmu dalam hal pemberian. Bahkan
jika aku (rasul Allah saw) berkeinginan memberi lebih, niscaya saya berikan
kepada perempuan (Sayyid Ahmad al-Hasyimy, tth: 85)

Demikian juga dalam hal waktu pembagian harta kekayaan


dilaksanakan semasa orang tua masih hidup, argument yang
disampaikan juga berbeda, meskipun nuansanya nampaknya juga
sama. Masyarakat awam memberikan keterangan bahwa pembagian
sebelum orang tua meninggal dunia untuk menghindari perselisihan,
pertengkaran, atau bahkan perebutan di kemudian hari manakala
si pewaris sudah meninggal dunia. Alasan ini berbeda dengan yang
disampaikan oleh salah seorang tokoh masyarakat yang sekaligus
juga pengasuh pondok pesantren, KH. Ilyas Mahfuzhi. Pembagian
harta kekayaan sebelum si pewaris mati agar hisab, pengitungan amal
pada hari pembalasan tidak dialamatkan kepada orang tua, sebagai
pemberi, karena pada saat si pewaris meninggal dunia harta tersebut
sudah tidak menjadi miliknya. Harta telah berpindah kepemilikannya
kepada anak-anaknya, maka hisab diharapkan dialamatkan kepada
anak sebagai penerima pengalihan harta tersebut. Alasan kiyai ini
sesungguhnya tidak kuat, tapi inilah pandangan beliau.
Ada satu hal lagi yang juga perlu diangkat dan mendapat
perhatian khusus adalah bahwa harta gawan atau harta
warisan dari orang tua oleh masyarakat desa Tanggungharjo
tidak dimasukkan ke dalam harta peninggalan yang dapat

202 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

diwaris. Harta gawan dan warisan ini hanya mengalir kepada


kerabat pemilik harta itu, seperti anak, cucu, orang tua, saudara
dari si mati, istri tidak dapat ikut mewaris harta gawan sang
suami dan sebaliknya.
Yang terakhir, ditemukan bahwa ahli waris kelompok ke
II tidak dapat mewaris bersama ahli waris kelompok ke I. Jadi
kewarisan yang dilaksanakan masyarakat desa Tanggungharjo
ini tidak mengacu pada system kewarisan Islam yang
memungkinkan ahli waris kelompok II mewaris bersama ahli
waris kelompok I.
Dari uraian-uraian di muka dapatlah dilihat bahwa
secara umum dapat dikatakan bahwa kesadaran hukum nara sumber
terhadap norma hukum waris relatif kurang. Dibedakannya jenis harta
peninggalan yang diikuti pembedaan tata cara dan alur pembagiannya
merupakan bukti tersendiri bahwa sistem kewarisan yang hidup di
komunitas santri desa Tanggungharjo adalah hukum adat . Harta
bawaan akan kembali kepada keluarga manakala suami bersangkutan
tidak dikaruniai anak, dan suami atau istri sama sekali tidak mendapat
hak dari harta bawaan itu. (Wawancara dengan tokoh masyarakat,
H. Kuswadi tgl.20 September 2009). Hal ini berbeda dengan system
kewarisan Islam yang masih memberi hak waris kepada suami
atau istri dari harta bawaan patnernya. Artinya ketika sang suami
meninggal dunia, dan meninggalkan harta bawaan, maka sang istri
tetap mendapat bagian dari harta bawaan milik mantan suaminya itu.
Disebut mantan karena sang suami telah meninggal dunia.
Bukti berikut juga mendukung bahwa hukum kewarisan yang
hidup di kalangan komunitas santri desa Tanggungharjo adalah bahwa
ahli waris garis ke atas (bapak-ibu) tidak dapat mewaris bersama ahli
waris garis ke bawah (anak-anak atau cucu). Sebab dalam kewarisan
Islam seorang ayah, ibu, atau keduanya dapat mewaris bersama anak,
baik laki-laki meupun perempuan, meskipun porsinya tidak sebanyak
manakala tidak bersama ahli waris garis ke bawah itu. Jawaban nara
sumber sangat meyakinkan bahwa orang tua si pewaris tidak dapat
mewaris bersama anak si pewaris.(Wawancara dengan sekretaris desa,
Purnomo, pada tanggal 24 September 2009)
Sehubungan dengan pelunasan hutang si mayat, komunitas
santri desa Tanggungharjo yang sempat diwawancarai menyatakan

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 203


H. Yasin

bahwa hal itu merupakan kewajiban ahli waris yang harus dipenuhi,
berapapun banyaknya. Ini menunjukkan rasa empati keluarga
kepada pewaris mereka, meskipun sesungguhnya fiqh Islam tidak
mewajibkan pelunasan hutang melewati jumlah harta peninggalan si
pewaris. Dalam hal pelunasan hutang si mayat ini, nampaknya nilai
yang ada pada system kewarisan Islam juga diserap oleh masyarakat
desa ini. Belum terlunasinya hutang sebagai tanggungan si mayat akan
mengganggu kelancarannya menghadap Sang Maha Agung, hutang
itu tetap akan ditagih saat penghitungan amal di hari pembalasan.
Inilah yang membuat komunitas santri desa Tanggungharjo merasa
berkewajiban membayar hutang keluarganya yang telah meninggal
dan belum dapat melunasinya. Penyerapan ini pada hakikatnya
menguatkan teori yang menyatakan bahwa pertemuan dua nilai yang
berbeda akan selesai dengan wajar atau damai.Bustanul Arifin, 1996:
34)
Penelitian hukum untuk mengetahui kesadaran hukum
terhadap beberapa sistem hukum sejenis mempunyai karakteristik
yang berbeda dengan penelitian hukum terhadap satu sistem hukum
saja. Dalam penelitian hukum seperti itu terbuka kemungkinan
berbaurnya kesadaran hukum masyarakat terhadap sistem-sistem
hukum tersebut. Oleh sebab itu analisis terhadap setiap indikator
kesadaran hukum memerlukan acuan yang bervariasi. Secara
umum, analisis tersebut meliputi 2 (dua) hal pokok, yaitu:
1. Seberapa jauh kesadaran hukum komunitas santri terhadap sis
tem hukum kewarisan tertentu (yang dianut);
2. Terhadap sistem hukum kewarisan manakah kecenderungan
kesadaran hukum komunitas santri, tempat penelitian
Analisis pertama cenderung untuk melihat kesadaran hukum
masyarakat, yang-menyatakan diri tunduk pada suatu sistem hukum
tertentu, terhadap sistem hukum itu sendiri. Dalam hal itu, sampel
dibatasi terhadap responden yang yang menyatakan tunduk pada
sistem hukum tersebut.
Dari hasil penelitian, ternyata kelompok yang menundukkan
diri terhadap sistem hukum Islam merupakan kelompok terbesar.
Hal itu terlihat dari jumlah responden yang memilih sistem hukum
Islam, sebagai sistem hukum yang sebaiknya mengatur masalah waris
berjumlah 56.% dari keseluruhan sampel. Kelompok kedua terbesar

204 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

adalah kelompok yang menundukkan diri terhadap sistem hukum


adat, yaitu sebanyak 22.% dari keseluruhan sampel. Namun demikian,
dari hasil penelitian diperoleh fakta bahwa kesadaran hukum anggota
setiap kelompok terhadap sistem hukum yang dianutnya tersebut
relatif kurang. Pengetahuan dan pemahaman responden terha
dap sistem hukum tersebut tidak menunjukkan hubungan yang erat
dengan sikap dan pola perilaku hukumnya.
Apabila dipandang secara sepintas, tampak seolah-olah
tidak terdapat hubungan yang nyata antara indikator kesadaran
hukum yang satu dengan yang lainnya. Akan tetapi alangkah bijaknya
kalau kita mau melihat apa yang terdapat di balik semua itu.
Pengetahuan responden tentang sistem hukum yang diketahuinya
ternyata relatif rendah, menurut hemat penulis, hal ini adalah wajar
karena beberapa alasan, yaitu:
a. Nara sumber atau responden selain Kyai tidak pernah secara
nyata mendapatkan pendidikan tentang sistem hukum yang
diteliti, khususnya masalah waris;
b. Proses kewarisan dianggap merupakan masalah yang jarang
terjadi, yaitu umumnya hanya terjadi 2 (dua) kali seumur
hidup, yakni ketika orang-tua meninggal dunia, sekali saat
ayah meninggal, dan sekali saat ibu meninggal. Meskipun
anggapan ini sesungguhnya tidak selamanya benar, karena
setiap ada kasus kematian semestinya proses kewarisan
(pembagian harta waris) juga terjadi. Itu berlainan dengan
hukum lalu-lintas, pajak, tanah, dan lain-lain, yang dalam
kehidupan sehari-hari dialami oleh setiap pribadi.
c. Sistem kewarisan berada pada lingkungan hukum perdata,
sehingga peranan aparat hukum dan perundang-undangan
tidak tampak jika tidak ada perkara yang diangkat. Diangkat
artinya menjadi sebuah sengketa yang perkaranya dilanjutkan
ke Pengadilan.
d. Begitu pula tentang pemahaman hukum masyarakat. Seperti
disebutkan oleh Soerjono Soekanto:
"... pengetahuan tentang isi peraturan dipengaruhi, oleh
proses internalisasi dan imitasi..."maka dapat dipahami kenapa
pemahaman hukum masyarakat relatif lebih baik. Faktor
imitasi di samping mempunyai nilai positif juga dapat
mengakibatkan hal-hal yang negatif, yaitu dalam hal yang ditiru

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 205


H. Yasin

adalah tindakan-tindakan yang menyimpang, misalnya pergaulan


bebas laki-laki perempuan tanpa batas sama sekali.

e. Sikap mayoritas nara sumber sebagai responden memilih sistem


hukum Islam sebagai sistem hukum yang sebaiknya mengatur
masalah waris pun tidak menunjukkan sikap yang sebenarnya,
karena fakta-fakta lainnya yang berkaitan dengan sikap terhadap
sistem hukum tersebut tidak menunjang, bahkan cukup banyak
yang bertentangan. Menurut hemat penulis, sikap responden
memilih sistem hukum Islam lebih disebabkan oleh faktor ra
sional beragama yang tidak mencerminkan pengetahuan dan
pemahaman tentang hal itu, mereka sebagai umat Islam seyo
gianya tunduk pada sistem hukum Islam, sementara itu bagai
mana sistem hukum Islam mengatur masalah pembagian
harta waris, mereka kurang mengetahui dan memahaminya.
Di situlah letak hubungan antara indikator pengetahuan dan
pemahaman hukum dengan sikap terhadap hukum dapat
ditemukan, yaitu akibat pengetahuan hukum yang rendah serta
pemahaman hukum yang salah mengakibatkan sikap terhadap
hukum menjadi salah.
f. Selanjutnya, terhadap sistem hukum manakah kecenderungan
kesadaran hukum komunitas santri Tanggungharjo? Dengan
melihat hasil penelitian terlihat bahwa kecenderungan tersebut
adalah terhadap sistem hukum adat. Namun demikian, dengan
memperhatikan terhadap masing-masing kelompok para nara
sumber sebagai responden, perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut. Kelompok masyarakat Islam yang kesadaran
hukumnya cenderung pada sistem hukum adat disebabkan
oleh pengetahuan dan pemahamannya tentang sistem hukum
Islam yang rendah. Sementara kelompok masyarakat adat yang
kesadaran hukumnya cenderung pada sistem hukum Islam
disebabkan salah mengira bahwa sistem hukum adat itu sama
dengan sistem hukum Islam. Dengan memperhatikan uraian
di atas serta uraian-uraian terdahulu, dapatlah dikemukakan
bahwa sistem hukum adat dan sistem hukum Islam, dalam
masalah kewarisan, keduanya merupakan hukum yang hidup
dalam masyarakat. Keduanya berjalan beriringan, berbaur,
dan kadangkala berbenturan dalam mengisi kebutuhan
hukum masyarakat. Penulis berpandangan bahwa hukum

206 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

waris merupakan salah satu bidang hukum keperdataan,


yang penanganannya lebih banyak bergantung pada para
pihak yang terlibat (para ahli waris). Proporsi perkara waris
yang masuk ke pengadilan sangatlah kecil bila dibandingkan
dengan jumlah kematian yang terjadi. Padahal pada setiap
kematian di mana si mati meninggalkan harta seharusnya
terdapat masalah kewarisan. Di tempat penelitian, ditemukan
bahwa pembagian harta waris oleh komunitas santri desa
Tanggungharjo selalu terlambat atau bahkan sengaja ditunda.
Penundaan ini dilakukan karena salah satu orang tua belum
meninggal dunia di samping para ahli waris lain merasa kurang
etis manakala menuntut pembagian harta waris dilaksanakan
sesegera mungkin padahal salah satu dari kedua orang tua
masih hidup.

Dalam kaitannya dengan hukum pertanahan dan kepemilikan


barang atas-nama lainnya, hukum waris nasional diperlukan
guna memudahkan administrasi dan hal-hal lainnya yang ber
kaitan dengan harta peninggalan. Dari kasus-kasus yang diteli
ti, cukup banyak harta peninggalan yang belum dibagikan ka
rena masih terdapatnya janda atau anak yang belum dewasa.
Harta peninggalan seperti itu masih tercatat atas nama almar
hum. Secara hukum itu tidak benar, orang yang sudah me
ninggal tidak lagi merupakan subjek hukum sehingga tidak lagi
dipandang sebagai pemilik harta peninggalan. Secara administratif,
hal itu pun cukup menyulitkan, seperti kepada siapa penarikan pajak
atas harta peninggalan tersebut harus dilakukan. Karena salah
seorang ahli waris, tidak mustahil akan menolak melakukan itu
dengan alasan belum ada pembagian waris. Begitu pula hak-
hak pihak ketiga, yang mempunyai piutang pada almarhum,
dapat terkatung-katung haknya oleh alasan harta peninggalan
belum dibagi. Dari kasus-kasus yang pernah mencuat saat
wawancara ternyata mayoritas kasus waris disebabkan oleh penun
daan pembagian harta peninggalan, sehingga harta peninggalan
menjadi kabur dan ahli waris tidak mendapatkan haknya. Beberapa
hal yang menyangkut masalah kewarisan, khus usnya menyangkut
masalah harta peninggalan, ada diatur pada Undang-undang No.
1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. Harta benda dalam perkawinan,

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 207


H. Yasin

dalam undang-undang terse-but, dibedakan antara harta bersama


dan harta bawaan. Nam un demikian, sekalipun dikemukakan
bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas
keputusan Pengadilan, undang-undang perkawinan tidak mengatur
secara tegas kedudukan atau petunjuk ke arah itu untuk harta bawaan
sebagai akibat putusnya perkawinan. Begitu pula tentang harta
bersama, pasal 37 undang-undang perkawinan hanya menyebutkan
bahwa "Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing". Apa yang dimaksud dengan
kata "hukumnya masing-masing" tidak ada penjelasan lebih jauh.
Namun demikian, dengan mengaitkannya pada pasal-pasal lainnya,
dapatlah dikemukakan hal-hal penting dari undang-undang
perkawinan yang akan sangat bermanfaat bagi hukum kewarisan,
yaitu sebagai berikut.
Pertama, undang-undang perkawinan mengakui adanya
pemis ahan/pembedaan harta bers a m a d a n h a r t a b a wa a n
masing-masing. Pads dasarnya harta bawaan masing-masing
sepenuhnya merupakan hak masing-masing pihak. Sementara harta
bersama merupakan hak bersama, setiap pihak dapat bertindak atas
persetujuan kedua belch pihak. Itu berarti bahwa kedudukan swami
dan istri adalah sederajat terhadap harta bersama.
Kedua, pengaturan harta bersama, dalam hal terjadinya perce
raian diatur oleh hukumnya masing-masing. Apabila itu dikaitkan
dengan pasal 2 ayat (1) maka yang dimaksud dengan hukumnya
masing-masing tersebut adalah hukum agama atau kepercayaan
masing-masing pihak.
Ketiga, apabila terhadap harta bersama diterapkan
hukum agama atau kepercayaan masing-masing pihak, apakah itu da
pat diperluas menjadi terhadap harta bawaan pun diterapkan hukum
agama atau kepercayaannya itu.
Keempat, apabila terhadap perceraian dapat diterapkan
hukumnya masing-masing untuk pembagian harta dalam perkawinan,
apakah itu pun dapat diterapkan untuk putusnya perkawinan karena
kematian atau atas keputusan pengadilan. Bukankah substansi
ketiganya adalah sama, yaitu memutuskan tali perkawinan,
sementara perbedaannya hanyalah terletak pada pihak yang
berhak menerima bagian harta perkawinan itu, yaitu dalam

208 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

hal perceraian adalah masing-masing pihak, sementara dalam


kematian adalah salah satu pihak dan ahli-warisnya.
Sesungguhnya problema sebagaimana tersebut di atas telah
dapat dijawab dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
penyebarluasannya dengan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991.
Sedikitnya ada 13 (tigabelas) pasal KHI (pasal 85 s/d 97) yang mengatur
masalah yang berhubungan dengan harta suami istri dengan bab
Harta Kekayaan dalam Perkawinan. Misalnya jika terjadi sengketa
antara suami istri tentang harta bersama, maka proses penyelesaiannya
diajukan ke Pengadilan Agama; Terhadap harta bersama, suami atau
istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau
memindahkan harta bersama. Dengan 13 pasal tersebut diharapkan
problema harta kekayaan dalam pernikahan yang muncul dapat
diselesaikan.
Dari hasil penelitian di desa Tanggungharjo kecamatan
Grobogan, pengalihan harta kekayaan kepada para keluarga yang
berhak menerimanya sangat jarang terjadi sengketa di antara mereka.
Dominasi dan power serta antisipasi dari pihak orang tua ternyata
berhasil menekan keinginan anak-anak dan cucu-cucu yang berhak
menerima warisan mengajukan protes. Orang tua memiliki hak veto
dalam mentasarufkan harta yang dimiliki, anak laki-laki tertua yang
sudah banyak mengenyam harta dari orang tua (beaya pendidikan dan
lain-lain) bisa jadi diberi lebih sedikit dari anak perempuan yang baru
saja menyelesaikan pendidikan dasarnya di Madrasah Tsanawiyah
terdekat. Antisipasi dimaksud adalah pengalihan harta kekayaan itu
melalui hibah dan wasiat jika dirasa masih ada sisa harta yang dimiliki
orang saat usia calon pewaris sudah cukup lanjut.

E. Kesimpulan
Sebagaimana karya penelitian yang lain, penelitian ini juga
akan diakhiri dengan memberikan kesimpulan sebagai rumusan akhir
dalam upaya menjawab persoalan yang dikaji atau diangkat pada
penelitian ini.Rumusan kesimpulan dimaksud adalah :
1. Bahwa komunitas santri desa Tanggungharjo kecamatan
Grobogan dalam membagi harta peninggalan pewaris lebih
cenderung menggunakan model musyawarah. Musyawarah
keluarga itu dihadiri oleh seluruh anggota keluarga dekat

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 209


H. Yasin

yang ada kemungkinan mendapatkan bagian dari harta


peninggalan itu. Pembagian model musyawarah ini ada
yang dengan menghadirkan seorang tokoh masyarakat ada
yang tanpa kehadiran tokoh masyarakat (kiyai). Yang perlu
mendapat perhatian khusus adalah bahwa meskipun tokoh
yang dihadirkan itu seorang kiyai, atas dasar musyawarah itu
pembagian 2 : 1 antara anak laki dan perempuan sering atau
bahkan selalu dikesampingkan. Artinya bagian anak laki-laki
dan anak perempuan itu sama 1 : 1. Alasannya adalah bahwa
kedudukan anak baik laki-laki maupun perempuan itu sama,
bahkan kontribusi anak perempuan terhadap penyelesaian
pekerjaan rumah tangga dirasa lebih banyak, terutama bagi
masyarakat desa seperti Tanggungharjo.
2. Masih ada satu model lagi dalam proses pengalihan harta
kekayaan kepada para ahli waris, yaitu pembagian sebelum
pewaris meninggal dunia, sehingga saat pewaris meninggal,
harta telah habis terbagi atau tinggal sedikit. Argumen yang
dapat digali dari lapangan menunjukkan bahwa model terakhir
inilah yang dirasa dapat menyelesaikan masalah yang sering
timbul di antara anggota keluarga. Jika dengan musyawarah
ini, persoalan tak dapat diselesaikan, komunitas santri desa
Tanggungharjo lebih cenderung menyerahkan penyelesaian
masalah mereka ke Pengadilan Negeri, meskipun penyelesaian
lewat lembaga Peradilan ini lebih sering tidak menguntungkan
para pihak yang bersengketa, untuk tidak mengatakan malah
rugi. Pengalihan kewenangan dari Pengadilan Negeri ke
Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa waris
komunitas santri pasca UU No. 3 Tahun 2006 belum banyak
diketahui oleh masyarakat pada umumnya

E. REKOMENDASI DAN PENUTUP


1. Rekomendasi
Setelah kesimpulan dari penelitian ini telah dirumuskan,
penulis menganggap perlu untuk memberikan rekomendasi kepada
beberapa lembaga dan tokoh masyarakat tempat penelitian ini
dilakukan meskipun penulis juga menyadari bahwa rekomendasi ini
belum tentu dilaksanakan dengan penuh kesadaran. Rekomendasi itu
adalah :

210 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

a. Kepada instansi yang mempunyai kompetensi menyelesaikan


sengketa waris (Pengadilan Agama), yang dalam hal ini para
hakim agama, sebaiknya memperhatikan kesadaran hukum
masyarakat muslim yang mengajukan penyelesaian perkaranya
ke Pengadilan Agama. Selanjutnya kesadaran hukum masyarakat
muslim itu dijadikan pertimbangan dalam proses penyelesaian
sengketa yang muncul
b. Kepada para tokoh masyarakat terutama para Kiyai yang
fatwa dan materi pengajiannya dijadikan norma perilaku bagi
masyarakat muslim, seyogyanya memasukkan materi system
kewarisan ke dalam pengajian, baik yang mingguan, bulanan
atau selapanan, (36 hari) yang selama ini tugas yang berat ini
masih terabaikan tanpa disadari.
2. Penutup
Dengan memuji syukur ke hadirat Sang Maha Sempurna,
laporan penelitian ini dengan segala kekurangannya dapat diselesaikan
sesuai jadual. Saran dan kritik demi kesempurnaan hasil penelitian
ini selalu kami tunggu, karena tak ada gading yang tak retak. Dan
jika penelitian ini dapat digunakan dan bermanfaat, itu bagian dari
harapan kami.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 211


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, H., SH., MH., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,


Jakarta, Akademika Pressindo, 1992

Abd al-Wahhab Khalaf dalam karyanya Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta, al-
Majlis al-A`la al-Indonesy, 1392 H

Abdul Manan, H, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja


Grafindo Persada, 2007

Abu al-Mawahib, Abd al-Wahhab bin Ahmad bin Ali al-Anshari al-
Ma`ruf bi al-Sya`rani, Al-Mizan al-Kubra, Dar al-Fikr, 1398 H /
1978 M

Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad


bin Rusyd al-Qurthuby al-Andalusy, Bidayah al-Mujtahid, juz.
II., Semarang, Maktabah wa Mathba`ah Thaha Putra, t.th.

Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin al-Hasan al-
Rajiy, Matn al-Rahabiyah, Surabaya, Syirkah Maktabah Ahmad
bin Sa`ad bin Nabhan wa Awladuh, t.th.

Abu Bakar yang lebih dikenal dengan nama Sayyid al-Bakry bin
Muhammad Syatha al-Dimyathy, Hasyiyah I`anah al-Thalibin
`ala hilli Alfazh Fath al-Mu`in, juz III., Semarang, Maktabah al-
Alawiyah, t.th

Abu Zakariya Muhyi al-Din bin Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu`, Syarh


al-Muhadzdzab, juz XVI, Dar al-Fikr li al-Thiba`ah wa al-Nasyr
wa al-Tawzi`, t.th

A. Hamid. S. Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia: Suatu sisi


Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan Indonesia, Jakarta, 1992

Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Ditutup, Bandung, Penerbit


Pustaka, 1405 H- 1984

212 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

Ahmad Husnan, Hukum Islam Tidak Mengenal Reaktualisasi, Solo,


Pustaka Mantiq, 1989

Amin, Muhammad, Ijtihad Ibn Taimiyah dalam Bidang Fiqh, Jakarta,


INIS, 1991

Anderson, J.N.D., Islamic Law in the Modern World, terj. Machnun


Husain dengan judul Hukum Islam di Dunia Modern,
Yogyakarta, Tiara Wacana, 1994

Bustanul Arifin, Trasformasi Hukum lslam ke Hukum Nasional, Jakarta:


Yayasan al-Hikmah, 2001.

___________, P e l e m b a g a a n H u k u m I s l a m d i I n d o n e s i a ,
Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya,
Jakarta, Gema Insani Press, 1996,

Ahmad Husnan, Hukum Islam Tidak Mengenal Reaktualisasi, Solo,


Pustaka Mantiq, 1989

Berl Kutchinsky, The Legal Consciousness, dalam C.M. Campbell et.


Al. (eds.), Knowlrdge snd Opinion About Law, London, Martin
Robenson, 1973

Dahlan Thaib, dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, cet. , ke 1, Jakarta, PT


RajaGrafindo Persada, 2003

Daniel S. Lev., Islamic Courts in Indonesia: A Study in the Political Bases of


Legal Institutions, London, University of California Press

David S. Powers, Studies in Al-Qur`an and Hadith : The Formation of the


Islamic Law of Inheritance, penerjemah Arif Maftuhin dengan
judul Peralihan Kekayaan dan Politik Kekuasaan : Kritik Historis
Hukum Waris, Yogyakarta, LKiS, 2001

Haidar Baqir dan Syafiq Basri, (ed), Ijtihad dalam Sorotan, Bandung,
Mizan Khazanah ilmu-Ilmu Islam, 1991

H.A.R. Gibb, Modern Trends in Islam, diterjemahkan oleh Machsun


Husain, cet. Ke 3, Jakarta,: Raja Grafindo Persada, 1993

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur`an dan Hadith,


Djakarta, Tintamas, 1967

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 213


H. Yasin

___________, Hukum Kekeluargaan Nasional, Djakarta, Tintamas, 1968

___________, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Jakarta, Bina Aksara,


1981

Ibrahim al-Bajury, Hasyiyah al-Bajury a` la Syarh al-`Allamah Ibn Qasim al-


`uzzy, juz II., Semarang, Maktabah al-`Alawiyah, t.th

Ichtiyanto, Hukum Islam dan Hukum Nasional, Jakarta: Ind-Hill Co,


1990

Idris Ramulyo, M, Hukum Kewarisan Islam : Studi kasus, Perbandingan


Ajaran Syafi`I (Patrilinial) Hazairin (Bilateral) dan Praktek di
Pengadilan, Jakarta, IND-HILL, CO, 1983

Iqbal Abdurrauf Saimima, penyunting, Polemik Reaktualisasi Ajaran


Islam, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1988

Jaenal Aripin, Dr., MA., Peradilan Agama dalam Bingkai Hukum Indonesia,
Jakarta, Prenada Media Group, 2008

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta,


Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
RI, 2006, jilid. I, cet., ke-1

_____________, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta,


Konstitusi Press, 2005, ct. ke-1

Mas`adi, Ghufron A., Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi


Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta, Raja Grafindo
Persada,1997

Muhammad Ali al-Sayis, Nasy`ah al-Fiqh al-Ijtihady, Silsilah al-Buhuts


al-Islamiyah, 1970

Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyah dalam Bidang Fiqh Islam, Jakarta,
Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies,
(INIS), 1991

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT Gramedia


Pustaka Utama, 2000, cet., ke 21

214 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

Mochtar Kusumatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan


Nasional, Bandung, LPHK Fakultas Hukum UNPAD- Bina
cipta cet. I., 1975

Moh. Mahfud, M.D., Perdebatan Hukum Tatanegara Pasca Amandemen


Konstitusi, Jakarta, LP3ES, 2007, cet., ke 1.

Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Kairo, Dar al-Fikr al-Araby,


1377 H/ 1958 M.

___________, al-Imam, Syarh Qanun al-Wasiyah: Dirasah Muqaranah


li masa`ilih wa Bayan li Mashadirih al-Fiqhiyyah, Dar al-Fikr al-
`Araby, 1369 H / 1950 M.

Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam (Hukum Islam I),


Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta, Rajawali Press, 1990

Muhammad Muhyiddin a` bd al-Hamid, Ahkam al-Mawarits fi Syari`ah


al-Islamiyah a` la Madzahib alAimah al-Arba-ah, 1404 H. / 1984 M

Mushthafa Zaid, al-Maslahah fi al-Tasyri`al-Islamy wa Najm al-Dien al-


Thufy, Dar al-Fikr al-Araby, cet. II

Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan: Menggagas Paradigma Amali dalam


Agama Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003

Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional : Kompetisi antara Hukum


Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta, Gama Media, 2004

Sayyid Ahmad al-Hasyimy, Mukhtar al-Ahadits al-Nabawiyah wa al-


Hikam al-Muhammadiyah, Dar al-Fikr li al-Thiba`ah wa al-Nasyr
wa al-Tawzi`,

Soerjono Soekanto, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia,


Jakarta, Kurnia Esa, 1982

Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita,


1983

Sudirman Tebba, ed., Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia


Tenggara : Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya,
Bandung, Mizan, 1993

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 215


H. Yasin

Tahir Azhary, Negara Hukum (Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya


Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode
Negara Madinah), Jakarta, Bulan Bintang, 1992

Tajj al-Din Abd al-Wahhab Ibn al-Subky, Jam`al-Jawami`, Dar Ihya`al-


Kutub al-Arabiyah, t.th

Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta, Sinar


Grafika, 2008

Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, juz II, Damsyiq, Dar al-Fikr
li al Thiba`ah wa al-Tauzi`wa al-nasyr, 1986 M/ 1406 H

216 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


MODEL PEMBINAAN PENGAWAS SEKOLAH
DILINGKUNGAN KANTOR KEMENTERIAN
AGAMA KUDUS

Oleh: M. Saekhan Muchith

Abstrak
Pengawas sekolah merupakan salah satu elemen yang sangat
dominan untuk mewujudkan kualitas pendidikan. Oleh sebab itu
pengawas sekolah perlu memperoleh perhatian secara serius darti
berbagai pihak agar dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan
Tupoksi yang dimiliki.
Perhatian terhadap pengawas perlu dilakukan secara sistematais,
utuh dan komprehensif dari berbagai pihak khususnya dari pejabat
atau atasan yang memiliki kewenangan untuk membina kualitas
kinerja pengawas sekolah. Kentao kementerian agama (kemenag)
kabupaten Kudus sebagai salah satu bagian yang memiliki
wewenang untuk membina pengawas sekolah perlu melakukan
berbagai terosbosan untuk melakukan pembinaan terhadap
pengawas sekolah.
Pembinaan terhadap pengawas yang selama ini berjalan perlu
disempurnakan melalui proses secara ilmiah. Karena pembinaan
terhadap pengawas sekolah selama ini masih bersifat formal
birokrasi yang belum mampu mengoptimalkan kinerja pengawas
sekolah khususnya pengawas sekolah yang ada dilingkungan kantor
kementerian agama kabupaten Kudus.
Pembinaan itu perlu dimulai dari cara melakukan seleksi atau
rekrutmen, sistem pelatihan, sistem penilaianj kinerja, sistem
pembinaan, pendekatan, aspek yang menjadi penekanan dalam
pembinaan dan elemen yang memiliki kewenangan untuk melakukan
pembinaan. Semua aspek ini perlu disempurnakan agar mampu
melahirkan sosok atau profil pengawas sekolah yang ideal.

Kata kunci: pengawas sekolah, pembinaan.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 217


M. Saekhan Muchith

A. PENDAHULUAN
Posisi Pengawas Sekolah adalah memiliki peran dominan
dalam proses pendidikan baik proses yang menyangkut kemampuan
guru dalam melaksanakan pembelajaran maupun proses
kepemimpinan yang dilaksanakan masing-masing kepala sekolah.
Oleh sebab itu Pengawas Sekolah memiliki makna pedagogis yaitu
bagaimana Pengawas Sekolah mampu memberi arahan, bimbingan
dan pengawasan terhadap guru dalam menjalankan pembelajaran,
dan juga memiliki makna manajerial yaitu sejauhmana Pengawas
Sekolah mampu membantu kepala sekolah dalam menjalankan fungsi
kepemimpinannya.
Dalam naskah akademik Standar Pengawas Sekolah yang
diterbitkan Badan Standar Nasional pendidikan (BNSP) tahun (2006:
16) dijelaskan bahwa pengawas sekolah yang disebut Pengawas
Sekolah adalah tenaga kependidikan profesional yang berstatus PNS
yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh
pejabat berwenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan
pendidikan pada sekolah/satuan pendidikan.
Dalam petunjuk tehnis (juknis) jabatan fungsional Pengawas
Sekolah dijelaskan bahwa ruanglingkup tugas Pengawas Sekolah
meliputi hal-hal sebagai berikut:
Pertama, melakukan kegiatan pengawasan terhadap guru
dan manajerial lembaga penbdidikan baik dilingkungan kantor
kementerian pendidikan nasional dan kantor kementerian agama baik
sekolah negeri maupun swasta.
Kedua, Pengawas di lembaga pendidikan merupakan pejabat
fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis untuk
melakukan pengawasan pendidikan terhadap sejumlah sekolah
tertentu yang ditunjuk/ditetapkan dalam upaya meningkatkan kualitas
proses dan hasil belajar/bimbingan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam satu kabupaten/kota, pengawas sekolah dikoordinasikan dan
dipimpin oleh seorang koordinator pengawas (Korwas) sekolah/
satuan pendidikan.
Berdasarkan tugas dan fungsi serta kewenangan Pengawas
Sekolah tersebut, dapat penulis kemukakan beberapa asumsi bahwa:
Pertama, Pengawas Sekolah adalah suatu jabatan fungsional
yang memiliki tugas dan wewenang sangat jelas dalam mewujudkan

218 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus

kualitas pendidikan kususnya kualitas sumber daya manusia (SDM)


guru maupun kualitas kepemimpinan. Elemen yang memiliki peran
dominan dalam mewujudkan kualitas pendidikan harus selalu diberi
pendidikan atau pelatihan agar kualiats Pengawas Sekolah selalu
sesuai dengan dinamika dan perkembangan serta tuntutan ilmu
pengetahuan dan sosial budaya masyarakat.
Kedua, ruang lingkup pekerjaan Pengawas Sekolah adalah
melakukan pembinaan, pengawasan, dan juga evaluasi segala proses
pembelajaran dan kepemimpinan yang ada disetiap setuan pendidikan
mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai jenjang pendidikan
menengah. Agar ruang lingkup pekerjaan dapat dilaksanakan secara
optimal, maka Pengawas Sekolah perlu memiliki persepsi dan motivasi
yang tinggi terhadap pekerjaannya.
Ketiga, Pengawas Sekolah harus memiliki kompetensi yang
utuh dan komprehensif agar mampu melaksanakan fungsi dan
kewenangannya secara optimal. Kompetensi yang harus dimiliki
Pengawas Sekolah antara lain: kompetensi personal, kompetensi
supervisi manajerial, kompetensi supervisi akademik, kompetensi
evaluasi pendidikan, kompetensi penelitian dan pengembangan, dan
kompetensi sosial. Kompetensi tersebut diharapkan akan mampu
melahirkan kinerja Pengawas Sekolah dalam melaksankan tugasnya.
Oleh sebab itu Pengawas Sekolah perlu diketahui kualitas kinerja
dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.
Pengawas sekolah dilingkungan kantor kementerian agama
(kemenag) Kudud memiliki beberapa realitas yang dapat dijadikan
bahan awal untuk merumuskan model pembinaan pengawas
sehingga pengawas mampu mengembangkan potensi yang ada dalam
dirinya. Realitas pengawas sekolah di Kantor kemenag adalah sebagai
berikut:
Pertama, di lingkungan Departemen Agama kabupaten Kudus
hanya memiliki Pengawas Sekolah dalam rumpun Pendidikan
Agama Islam (PAI) sementara Kemenag di samping mengangkat
guru PAI juga mengangkat guru non PAI seperti Guru Matematika,
Guru Biologi, Guru Fisika, Guru IPS, Guru olah raga. Konsekuensi
dari mengangkat juga memiliki tugas membina. Secara administratif
Kemenag belum memiliki Pengawas Sekolah khsusus guru non PAI,
sehingga untuk guru nonj PAI belum pernah dilakukan pembinaan
terhadap Pengawas Sekolah .

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 219


M. Saekhan Muchith

Kedua, Hasil wawancara sementara dengan Dra. Hj. Fahriyah,


selaku Kasi Mapenda tanggal 29 agustus 2009 diperoleh data bahwa
pengawas sekolah di kantor Depag (sekarang kementerian agama )
kabupaten Kudus memiliki potensi yang positif untuk dikembangkan
atau diberdayakan. Jumlah pengawas 23 orang terdiri dari 18
pengawas RA/TK/MI/SD Madin Ula, Pengawas SMP sebanyak 1
orang Pengawas SMP/SMA sebanyak 2 orang dan Pengawas MTS/
MA sebanyak 2 orang. Pengawas RA/TK/MI/SD/Madin Ula tersebar
disembilan kecamatan antara lain:
a. Kecamatan Kaliwungu 2 pengawas
b. Kecamatan Kota 2 pengawas
c. Kecamatan Jati 2 pengawas
d. Kecamatan Undaan 2 pengawas
e. Kecamatan Mejobo 2 pengawas
f. Kecamatan Jekulo 2 pengawas
g. Kecamatan Bae 2 pengawas
h. Kecamatan Gebog 2 pengawas
i. Kecamatan Dawe 2 pengawas
Ketiga, Berdasarkan biodata yang diperoleh peneliti pada
tanggal 10 desember 2009 dapat ditemukan data bahwa, dari sebanyak
23 pengawas satuan pendidikan, 3 pengawas yang memiliki pendidikan
magister (S2), dalam proses studi lanjut magister 6 orang.
Keempat, dilihat dari usia, mayoritas usia para pengawas
di kantor kemenag Kudus berada dalam rentang usia produktif.
19 pengawas berada dalam usia antara 40-50 tahun. Dan hanya 4
pengawas yang berada dalam rentang usia 50-56 tahun. Artinya
dengan usia seperti ini, maka pengawas satuan pendidikan memiliki
potensi untuk diberdayakan. Pengawas sekolah, pada saat diangkat
menjadi pengawas 20 orang dalam usia 35-45 tahun. Sedangkan 3
orang pengawas diangkat sebagai pengawas pada usia 46-50 tahun.
Kelima, Program kegiatan pengawas satuan pendidikan di
kantor kemenag Kudus memiliki beberapa kegiatan yang dapat
dikembangkan sebagai media atau sarana untuk pembinaan para
pengawas secara optimal. Kegiatan rutin yang dilakukan para
pengawas meliputi, Rapat Koordinasi pengawas (rakorwas), Rapat
dinas tetap (radintap), Rapat dinas gabungan (Radingab).
Realitas Pengawas Sekolah yang seperti tersebut di atas, perlu
didukung dengan model pembinaan yang tepat, efektif dan optimal

220 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus

agar potensi pengawas sekolah dilingkuang kantor kemenag benar-


benar dapat berjalans esuai dengan harapan. Tetapi realitas pembinaan
di kantor kemenag masih birokrasi dan rutinitas yaitu hanya berjalan
secara seremonial. Realitas model pembinaan berjalan seperti realitas
sebabagi berikut:
Pertama, pertemuan rutin diantara Pengawas Sekolah secara
berkala tiga bulan sekali. Pertemuan ini secara teoritis membahasa
berbagai hal yang problematika yang dirasakan Pengawas Sekolah
selama tiga bulan sebelumnya. Meskipun dalam dataran teoritis
dilakukan secara berkala dan rutin, tetapi dalam kenyataannya belum
bisa dilakukan secara rutin. Hal ini disebabkan karena sulitnya
mengangendakan jadual kegiatan.
Kedua, pejabat yang melakukan pembinaan adalah kepala
kantor, tetapi secara manajerial dilakukan oleh bidang dibawah
kepala kantor, untuk kantor Depag secara administratif dibawah
pembinaan kepala seksi mapenda, sedangkan dilingkungan Kantor
Kementerian Agama kabupaten Kudus dibawah langsung kepala
kantor Kementerian Agama Kabupaten Kudus. Model pembinaan
seperti ini sangat terkesan birokratis, sehingga pembinaaanya belum
berjalan secara optimal, akibatnya kualitas Pengawas Sekolah juga
belum optimal.
Ketiga, penilaian terhadap pengawas baru sebatas penilaian
formal birokrasi yang dilakukan melalui DP3 setiap akhir tahun.
Penilaian kinerja dengan DP3 ini kurang efektif jika untuk mengukur
kualitas kinerja pengawas sekolah.
Model pembinaan dengan tiga macam itu dapat dikatakan
belum optimal jika diharapkan dapat melahirkan Pengawas Sekolah
secara optimal yang menyangkut kompetensi yang dimiliki. Oleh
sebab itu perlu dicari format model yang lebih baik dan efektif untuk
melahirkan kualitas Pengawas Sekolah sehingga Pengawas Sekolah
memiliki kemampuan untuk melakukan pembinaan kepada guru
secara optimal.
Berdasarkan asumsi permikiran tersebut maka perlu
ditemukan atau dirumuskan tentang MODEL PEMBINAAN
PENGAWAS SEKOLAH DIKANTOR KEMENTERIAN AGAMA
KABUPATEN KUDUS.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 221


M. Saekhan Muchith

B. RUMUSAN MASALAH
Untuk memudahkan proses penelitian, maka dirumuskan
permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana sistem rekrutmen atau pengangkatan Pengawas
Sekolah yang ada di kantor kementeriaan agama kabupaten
Kudus?
b. Bagaimana sistem pelatihan atau training yang efektif untuk
meningkatkan kualitas kinerja Pengawas Sekolah di kantor
kementerian agama kabupaten Kudus?
c. Bagaimana sistem penilaian yang tepat untuk mengetahui
kinerja pengawas saatuan pendidikan di kantor kementerian
agama kabupaten Kudus?
d. Bagaimana pendekatan yang dilakukan dalam melakukan
pembinaan Pengawas Sekolah di kantor kementerian agama
kabupaten Kudus?;
e. Aspek apa saja yang ditekankan dalam melakukan pembinaan
pengawas sataun pendidikan di kantor kementerian agama
kabupaten Kudus?
f. Elemen apa saja yang terlibat dalam pembinaan Pengawas
Sekolah di kantor kementerian agama kabupaten Kudus?.

C. LANDASAN TEORI
Pegawai dalam konteks manajemen bagian dari fungsi
manajemen staffing yaitu proses merencanakan dan mengembangkan
pegawai yang ada di dalam suatu lembaga atau perusahaan. Dalam
manajemen personalia, pembinaan pegawai dilakukan melalui tahapan
yang terdiri dari proses seleksi atau rekruitmen, pelatihan (training),
pengupahan (konpensasi) dan penilaian.
Pembinaan pegawai memiliki nilai urgensial yang sangat
tinggi baik bagi perusahaan atau lembaga maupun bagi masyarakat.
Gary Desler (1993: 4-6), dijelaskan bahwa pentingnya pembinaan
disebabkan karena adanya kecenderungan social, ekonomi dan politik.
Secara rinci, pentingnya pembinana pegawai dapat dilihat dari aspek
sebagai berikut:
Pertama, adanya ketidakpuasan dari pegawai. Akibat adanya
dinamika budaya, seringkali menimbulkan rasa ketidakpuasan dari
pegawai. Ketidakpuasan disebabkan dari faktor dari kelemahan

222 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus

manajerial dan juga dapat disebabkan dari karakter dari pegawai.


Kedua, angkatan kerja baru. Setiap tahun tingkat pencari kerja
selalu meningkat. Pencari kerja dipenuhi oleh lulusan dari pendidikan
tinggi. Akibatnya mayoritas para pencari kerja adalah para lulusan dari
perguruan tinggi. Jika dilihat dari relevansi kemampuan akademik
dan ketrampilan dalam pekerjaan mengalami kesenjangan yaitu
antara ijzah yang dimiliki dengan ketrampilan yang dibutuhkan dalam
pekerjaan tidak seimbang. Oleh sebab itu maka pegawai yang baru
masuk poerlu ada pembinaan secara tepat, utuh dan komprehensif.
Ketiga, Gaya Hidup Baru. Para pegawai ada kecenderungan
lebih tertarik untuk memilih gaya hidup atau berkarir dari pada sekedar
menekuni pekerjaan secara rutin. Oleh sebab itu pengembangan karir
pegawai dan adaptasi pekerjaan terhadap gaya hidup baru bagi setiap
pegawai menjadi penting dilakukan.
Keempat, Peraturan perundang-undangan. Banyak peraturan
atau perundang-undangan yang mengatur tentang kesempatan kerja
dan larangan diskriminasi, atas dasar ras, suku, agama, kelompok, jenis
kelamin dan asal usul kebangsaan. Perundang-undangan itu harus
dissosialisasikan kepada seluruh manajer dan pegawai agar memiliki
kesamaan persepsi dalam melakukan proses manajerial. Sosialisasi
perundang-undangan bisa dilakukan melalui pembinaan pegawai.
Kelima, Perubahan nilai. Nilai-nilai dasar pekerjaan akan selalu
berubah seiring dengan perubahan dinamika social. Nilai pekerjaan
tahun sekarang akan dipahami berbeda pada 10 tahun mendatng.
Oleh sebab itu pembinana pegawai terkait dengan pemahaman nilai
pekerjaan harus selalu dilakukan agar tidak menimbulkan kesenjangan
diantara para pegawai dan antara pegawai dengan manajer.
Pembinaan pegawai merupakan suatu proses yang sangat
penting jika dikaitkan dengan kualitas suatu lembaga baik kualitas
yang menyangkut proses maupun hasil. Pembinaan dimaksudkan
merencanakan, mengelola dan mengembangkan sumberdaya manusia
agar mampu digerakkan untuk mencapai tujuan. Williaam B Castetter
(1981) mendefinisikan pembinaan adalah:
Personal development is preminent among those processes designed
by the system to attract retain, and improve the quality and quantity
of staff members need to solve its problems and to achieve its goals

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 223


M. Saekhan Muchith

Pendapat tersebut dapat diambil makna bahwa dalama suatu


organisasi pembinaan pegawai merupakan suatu yang penting, dimana
pembinaan itu dimaksudkan untuk menarik dan mempertahankan
jumlah pegawai baik secara kuantitatif maupun kualitatif dalam
rangka mencapai tujuan serta untuk memecahkan masalah yang
dihadapi organaisasi atau lembaga.
Esensi pembinaan pegawai adalah bagaimana mempertahankan
atau menjaga antara kebutuhan pekerjaan dengan tenaga yang
melaksanakan pekerjaan tetap seimbang. Dengan pembinaan pegawai
ini, perencanaan yang telah dirumuskan akan dapat diwujudkan
dengan jadual waktu yang telah ditetapkan. Didalam pembinaan
terkandung makna perencanaan, pemberdayaan dan juga evaluasi
pegawai terhadap kinerja yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu.
Hal I ni sesuai dengan pandangan William B Castetter bahwa unsur
dalam pembinaan pegawai meliputi, recruitment, selection, induction,
appraisal, development, compensation.
Recriutment merupakan kegiatan yang dirancang dalam
memikat atau menarik pegawai yang dibutuhkan. Penarikan dapat
berbentuk jangka pendek dan jangka panjang serta dapat bersumber
dari dalam maupun dari luar. Dasar penarikan pegawai adalah dilihat
dari kebutuhan yang diperlukan oelh lembaga atau perusahaan.
Oleh sebab itu penarikan atau rekrutmen harus melihat rasio antara
kebutuhan dan jumlah yang diterima.
Selection, merupakan suatu proses pengambilan keputusan
untuk menentukan seseorang menduduki suatu jabatan. Seleksi yang
tepat dan bermutu akan mengurangi pemborosan waktu, usaha dan
dana. Seleksi dapat dilakukan dengan mempelajari data calon pelamar,
rekomendasi, test dan wawancara. Dengan seleksi ini, perusahaan
memiliki peluang besar untuk memiliki kualitas pegawai yang sesuai
dengan kebutuhan nyata lembaga atau perusahaan.
Induction merupakan usaha membantu pegawai baru untuk
menyesuaikan diri dalam tugas yang akan diemban. Kegiatan ini
dapat dilakukan dengan cara memberi informasi yang diperlukan dan
pengakuan serta penerimaan dari pegawai yang telah ada. Induction
ini dapat dilakukan secara formal-informal, langusng-tidak langsung,
individual-kelompok.

224 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus

Appraisal merupakan aktivitas membantu personil agar bekerja


lebih produktif. Penilaian personil harus didasarkan pada partisipasi
individu dan perannya yang dikaitkan dengan kegiatan supervisi atau
pengawasan (pembinaan).
Compensation merupakan proses pemberian kesejahteraan
pegawai dengan cara mengalokasikan sumber-sumber keuangan.
Bentuk kepuasan antara lain transaksi ekonomis (gaji), transaksi
psikologis (kepuasan dan kenyamanan personil), transaksi sosiologis
(hubungan yang menyenangkan), transaksi politis (memperoleh
kepuasan dalam jabatan) transaksi etis (adanya kejujuran diantara
keduabelah pihak).
William B Castetter (1981), mengejelaskan bahwa dalam
melakukan pembinaan pegawai harus didasarkan beberapa asumsi
sebagai berikut;
Pertama, the concept of the interrelations among system, unit and
individual goals has implication for the design an implementation of personal
development programs. Artinya pembinaan harus melihat keterkaitan
berbagai elemen atau pihak pihak yang terkait dalam suatu lembaga
atau organisasi/perusahaan agar tujuannya tercapai secara efektif dan
optimal.
Kedua, development includes all school personnel on playroll. Although
emphasis on professional staff is quite proper application of the discussion
that follows is to total staff development. Artinya pembinaan harus bisa
dirasakan secara merata bukan hanya dirasakan atau dinikmati
sekelompok kecil saja yang ada disuatu organisasi, perusahaan dan
lembaga.
Ketiga, development includes all activities designed to increase an
individuals ability to perform assignment effectively whatever the role and
whatever the levels at which the are performed. Artinya pembinaan ini
meliputi seluruh kegiatan yang direncanakan untuk meningkatkan
kemampuan personil dalam melaksanakan tugasnya secara efektif,
apapun tingkat dan perananya dalam suatu organisasi.
Keempat, development is focused on two kind of activity: specifically
planned and administrated by the school system (formal approaches) and those
initiated by personnel (informal approaches). Artinya pembinaan dapat
secara melembaga oleh organisasi atau secara individual berdasarkan
inisiatif sendiri.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 225


M. Saekhan Muchith

Kelima, personnel development is aimed at changing the behavior


of those angaged in the process. Artinya pembinaan disamping dapat
memperluas pengetahuan dan ketrampilan juga dimaksudkan untuk
melakukan perubahan tingkat laku bagi personil yang mengalami
pembinaan.
Berdasarkan teori tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
pembinaan pegawai merupakan proses yang sangat kompleks,
utuh dan harus dilakukan secara sadar dan terencana serta lebih
berorientasi kemasa depan, artinya pembinaan pegawai tidak bisa
hanya didasarkan kebutuhan masa sekarang tetapi juga harus melihat
dinamika dan perkembangan masa yang akan datang .

D. METODE DAN PENDEKATAN


Penelitian dapat dikategorikan jenis penelitian kualitatif.
Penelitian, menurut Sudarwan Danim dalam Buku Menjadi Peneliti
Kualitatif (2002:60-64) dijelaskan bahwa cirri-ciri penelitian kualitatif
adalah
(a) penelitian kualitatif memiliki setting alami sebagai sumber data
langsung dan peneliti sebagai instrument utamanya
(b) penelitian kualitatif bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul
berbentuk kata-kata, gambar bukan angka-angka. Kalaupun
ada angka hanya sebagai data penunjang. Data ayang diperoleh
diantaranya berupa transkrip interviu, catatan lapangan, foto,
dokumen pribadi dll.
(c) Penelitian kualitatif lebih bersifat proses dari pada hasil
(d) penelitian kualitatif lebih cenderung menggunakan pendekatan
induktif
(e) Penelitian kualitatif memberi makna, yaitu fokus penelaahan
terpaut langsung dengan masalah kehidupan manusia.

E. TEHNIK PENGUMPULAN DATA


Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara
antara lain;
Pertama, Observasi. Amirul Hadi (2005:129) Metodologi
Penelitian Pendidikan dijelaskan bahwa observasi adalah suatu
proses mencatat pengalaman secara sistematis yang diperoleh malalui
pengamatan terhadap suatu obyek.

226 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus

Kedua, Wawancara mendalam. Sudarwan Danim (2002:130)


Menjadi Peneliti Kualitatif dijelaskan bahwa wawancara adalah
percakapan antara dua orang atau lebih yang pertanyaannya ditujuan
kepada obyek peneliti atau sekelompok obyek penelitian. Wawancara
dalam penelitian ini digunakan kepada Para pimpinan Kantor
Kemenag kab. Kudus, Kasi Mapenda, Kasi Peka Pontren, Kasubag TU,
Pengawas Sekolah, Kepala Madrasah dan para guru di lingkungan
Kantor kementerian Agama Kabupaten Kudus.
Ketiga, Dokumentasi. Sugiono (2008:329), Metode Penelitian
Pendidikan menjelaskan bahwa dokumentasi adalah salah satu cara
untuk melengkapi data penelitian. Dokumentasi merupakan catatan
peristiwa yang sudah berlalu seperti tulisan, gambar, atau karya-karya
monumental seseorang. Dokumentasi yang diperlukan peneliti adalah
berupa beberapa peraturan yang menyangkut tentang Pengawas
Sekolah khususnya yang terkait dengan Model Pembinaan Pengawas
Sekolah , seperti Permendiknas nomor 12 tahun 2007, tentang Standar
Pengawas sekolah/Madrasah, naskah Akademik Tentang Standar
Pengawas Sekolah (kualifikasi dan kompetensi), Keputusan menteri
Agama (KMA) Nomor 381 tahun 1999 tentang Petunjuk Tehnis
Pelaksanaan jabatan fungsional Pengawas pendidikan Agama dan
Angka Kreditnya, Anggaran dasar dan Anggaran Rumah tangga (AD/
ART) Asosiasi pengawas sekolah Indonesia (APSI).

F. ANALISIS DATA
Analisis data adalah proses mencari dan mengatur secara
sistematis transkrip wawancara, cacatan lapangan dan bahan-bahan
lain yang telah dikumpulkan atau dihimpun oleh peneliti setelah
melakukan proses pengambilan data dari lapangan. Kegiatan analisis
data ini dilakukan dengan menelaah data, menata, membagi menjadi
satuan-satuan sehingga dapat dikelola yang akhirnya dapat ditemukan
makna yang sebenarnya sesuai dengan rumusan masalah yang telah
ditentukan.
Hal-hal yang harus dihindari peneliti pada saat analisa data
dilapangan ada 4 hal ;
a. Jangan takut membuat spekulasi karena hal itu dapat membantu
peneliti dalam membangun ide-ide baru yang reflektif dan
bermakna

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 227


M. Saekhan Muchith

b. Jangan menyimpulkan ide-ide yang ada didalam pikiran peneliti


karena tindakan seperti itu akan mudah membuat peneliti
melupakan apa yang sebenarnya terjadi
c. Lakukan pertukaran (venting) dengana cara mendiskusikan
ide peneliti dengan kawan atau menulis apa saja yang sedeang
dipikirkan
d. Ketika peneliti mereviu data, gunakan tanda-tanda khusus,
lingkari, kata-kata kunci dan ungkapan pendek yang digunakan
subjek.

G. TEMUAN PENELITIAN
Pertama, Rekrutmen/seleksi pengawas
Berdasarkan wawancara dengan Ketua Kelompok Kerja
Pengawas (Pokjawas) H. Supaat, S.Ag pada tanggal 1 dan 12
oktober 2009 dan 5 januari 2010 diperoleh data bahwa sistem
rekrutmen/ seleksi pengawas sekolah di kantor kementerian
agama Kabupaten Kudus menggunakan dasar yuridis yang
berasal dari Kementerian Agama yaitu lebih didasarkan kepada
KMA nomor 381 tahun 1999. Aturan Permendiknas nomor 12
tahun 2007 menjadi bahan pengayaan, sehingga sistem seleksi
pengawas sekolah di kantor kementerian agama Kudus masih
kurang ideal/pas. Oleh sebab itu proses rekrutmen /seleksi perlu
ada penyempurnaan atau penambahan agar terwujud kualitas
pengawas sekolah yang ideal.
H. Supaat, S.Ag Ketua Pokjawas kudus menuturkan sebagai
berikut: menurut pendapat saya, tetapi ini pendapat saya
lho. Bahwa proses pengangkatan pengawas di depag sudah
sesuai dengan KMA nomor 381 tahun 1999, tetapi menurut
saya jika hayna memperhatikan seperti dalam KMA saja kok
rasanya masih kurang ideal. Maka menurut pendapat saya perlu
ada penambahan atau pengembangan yaitu pengawas yang
diangkat harus terlebih dahulu pernah menjadi kepala sekolah
dan juga pernah menjadi guru teladan. Hal ini penting agar para
pengawas memiliki kemampuan dan kesiapan mental yang
baik

Sebagai ketua pokjawas, H. Supaat memiliki harapan


bahwa proses rekrutmen/seleksi pengawas perlu melibatkan
pengawas secara proporsional minimal dalam perencanaan.
Berdasarkan wawancara tanggal 12 oktober 2009, H. Supaat,
S.Ag menuturkan sebagai berikut:

228 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus

begini mas, seleksi itukan suatu tahapan mulai dari input,


proses dan hasil. Tahapan itu perlu ada perbaikan atau
penyempurnaan. Misalnya tadi, inputnya atau syaratnya
jangan hanya mengacu KMA saja, tetapi perlu ada tambahan-
tambahan seperti yang saya sebutkan tadi. Terus dalam seleksi
harus ada juga penyempurnaan, misalnya ketua pokjawas
atau para pengawas dilibatkan minimal diajak bicara dalam
menentukan perencanaan, sehingga kami bisa rembugan atau
bisa kami rapatkan dengan bapak-bapak pengawas lainnya
agar terwujud pengawas yang berkualitas. Idealnya, kami dari
pengawas dimintai data mentah tentang pengawas, selanjutnya
data atersebut kami konsultasikan dengan pimpinan. Koordinasi
seperti ini peru dilakukan sebelum seleksi pengawas. Tentang
seleksi barangkali tidak cukup hanya tertulis dan wawancara,
tetapi perlu ada tes lainnya yang diharapkan dapat melahirkan
pengawas yang benar-benar ideal dalama artian mampu
melakukan bimbingan dan pembinaan yang baik kepada para
guru dan juga kepala sekolah.

Hasil wawancara kepada pengawas sekolah tanggal 2


desember 2009, 2 pebruari, 21 april dan 12, 14, 19, 20 mei 2010
diperoleh data bahwa pengawas sependapat dengan yang
diusulkan ketua pokjawas dan pengawas memiliki harapan
tambahan persyaratan proses rekrutmen/seleksi pengawas
sekolah yang akan datang diantaranya, memiliki pengalaman
organisasi khusus misalnya organisasi dalam bidang pendidikan/
pembelajaran, memiliki karya ilmiah yang pernah dipublikasikan.
Alasan pengawas sekolah memberikan tambahan persyaratan
ini karena pengawas sekolah memiliki peran sangat dominan
untuk mewujudkan kualitas pendidikan.
Senada dengan pengawas, Drs. H. Akhmad Mundakir, M.Si
selaku kasubag Tata Usaha (TU) dan Plh Kasi Mapenda dalam
wawancara tanggal 10 mei 2010 mengatakan:
memang kalau rasio rekrutmen/seleksi secara formal memamg
belum diatur, tetapi secara kenyataan rasio menurut saya sudah
cukup baik tetapi memang masih perlu ditingkatkan. Selama ini
rasio antara jumlah yang diseleksi dan yang diterima selalu lebih
banyak dibanding dengan yang diterima. Kalau bicara idealnya ya
rasio itu berkisar 1:5 atau minimal 1:3

Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala kantor


kementerian agama Kudus tanggal 18 maret dan 1 april 2010,
dan wawancara dengan kepala sub bagian tata usaha (kasubag

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 229


M. Saekhan Muchith

TU) tanggal 5 & 10 april 2010 diperoleh data bahwa dalam proses
rekrutmen/seleksi pengawas belum melibatkan elemen yang
terkait. Kepala kantor dan kasubag dilibatkan sesuai dengan
kewenanangannya yaitu keterlibatan bersifat administratif.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kasi mapenda
tanggal 29 agustus, 5 oktober 2009 dan 10 mei 2010, diperoleh
data bahwa agar proses rkerutmen/seleksi pengawas sekolah
di kantor kementerian agama Kudus menghasilkan penegawas
yang berkualitas maka elemen lain seperti ketua pokjawas
harus dilibatkan dalam hal jatah kebutuhan dan nama-nama
calon yang layak diusulkan mengikuti proses rekrutmen/
seleksi. Eelemen lain seperti LPMP atau lembaga yang memiliki
kompetensi dalam hal rekrutmen/seleksi pengawas selain LPMP
jika ada perlu dilibatkan dalam proses seleksi.
Dra. Fahriyah selaku Kasi Mapenda dalam wawancara tanggal
29 agustus 2009 menyatakan Saya sebagai kasi mapenda
tidak pernah terlibat dalam proses rekrutmen/seleksi pengawas
sekolah, saya hanya terlibat secara administrative ya seperti
menerima surat dan kemudian melakukan kordinasi dengan
pihak lain. Keterlibatan dalam TIM wawancara, terlibat dalam
penyusunan soal atau dimintai masukan sebelum penentuan
akhir juga tidak pernah.

Proses rekrtumen/seleksi diharaapkan menghasilkan profil


pengawas yang ideal. Berdasarkan hasil wawancara dengan
kepala kentor kementerian agama Kudus pada tanggal, 18 dan
1 april 2010, diperoleh data bahwa profil pengawas yang yang
diharapkan adalah pengawas yang memiliki ketrampilan dalam
memimpin, memiliki ketrampilan melakukan komunikasi,
memiliki ketrampilan berfikir logis dan memahami teknologi
khusunya teknologi pembelajaran.
Berdasarkan temuan dari lapangan, dan setelah di roses
melalui FGD maka dapat dikatakan bahwa perlu ada aturan
atau regulasi yang mengatur keterlibatan elemen dalam proses
rekrutmen/seleksi pengawas dengan ketentuan seperti dalam
diagram dibawah ini.

230 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus

INPUT

1. Guru 1. data dari


berkualifikasi S2 pengawas
2. Berpengalaman 2. dibahas
sebagai guru 6 dalam rapat
tahun pokjawas
3. Berpengalaman 3. dibahas QUOTA
sebagai Kepala Otonom dalam
sekolah 4 tahun radintap
4. memiliki prestasi 4. dikonsultasi
dalam bidang kan
pendidikan hirarkhis
5. memiliki karya
ilmiah/buku ajar Proses
6. Pengalaman 1. terbuka
mengikuti 2. seleksi
pelatihan metode administratif
pembelajaran 1:5
7. Aktif organisasi 3. Tes tertulis
Transparan
dalam pendidikan 4. wawancara Calon
5. Tes tindakan Pengawas
6. Kerjasama
dengan pihak
ketiga
7. Tim asistensi

Legalisasi/SK
Pengangkatan

Kedua, Sistem Pelatihan Pengawas Sekolah


Dra. H. Fahriyah selaku Kasi mapenda dalam wawancara
tanggal 29 oktober 2009 menuturkan pelatihan itu tidak akan
ada manfaatnya jika tidak dibarengi dengan penyempurnaan
rasio dan penambahan spesialisasi pengawas. Depag selama ini
hanya memiliki pengawas PAI dan pengawas madrasah. Untuk
pengawas mata pelajaran non PAI khususnya yang ada di
madrasah belum punya, misalnya pengaws MTK, IPS, Biologi,
Ekonomi. Karena di madrasah itu tidak hanya mengajarkan PAI
saja tetapi juga mengajarkan mata pelajaran umum seperti yang
tadi saya sebutkan. Olkeh sebab itu menurut saya depag harus
mengusulkan penambahyan atau pemisahan pengawas antara
pengaws PAI di sekolah umum dan pengawas mata pelajaran
umum yang ada di madrasah dan pengawas khusus untuk
madin.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 231


M. Saekhan Muchith

Pelatihan terhadap pengawas dirasakan belum optimal bagi


para pengawas. Hal ini menimbulkan adanya cara pembinaan
yang dilakukan para pengawas itu hanya berdasarkan
pengalaman masing-masing pengawas.
Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua pokjaws pada
tanggal 1 dan 12 oktober 2009, tanggal 5 januari 2010 diperoleh
hasil bahwa pelatihan terhadap pengawas belum terjadual secara
rutin, sehingga masing-masing pengawas melakukan pembinaan
terhadap guru dan sekolah didasarkan pengalamnnya sendiri
atau hasil kreativitas sendiri-sendiri. Pengawas dilingkungan
kanor kemenag juga memiliki tugas mengawasi atau membina
madin, oleh sebab itu pembinaan juga harus diarahkan untuk
memberi bekal kemampuan dan ketrampilan agar pengawas
sekolah memiliki kemampuan membina madin sesuai dengan
jenjangnya. Pelatihan harus diarahkan untuk memenuhi rasio
pengawasan, idealnya pengawasan 1:20/25.

Dalam pandangan pengawas sekolah, pelatihan yang efektif


adalah pelatihyan yang dilakukan dengan metode yang lebih
tepat bagi pengawas terkait dengan penambahan pengetahuan
dalam melakukan pembinaan terhadap guru dan pimpinan
satuan pendidikan dan dilakukan secara terus menerus baik
yang bersifat full time dan part time.
Dalam tanggal 21 april 2010, Dra. H. Siti Zumaroh juga
menuturkan tentang pelatihan pengawas untuk mewujudkan
pengaws yang ideal perlu dilakukan pelatihan secara rutin
dan kontinyu, agar pelatihannya optimal maka pelatihan perlu
dilakukan dengan cara dua macam model yaitu cara model total
(ful time) maksudnya pengawas diberi waktu pelatihan selama
kurun waktu tertentu mungkin 1 minggu atau 2 minggu dan
berasrama ataud engan cara tidak total (part time) maksudnya
disela-sela kegiatan perlua da pelatihan yang waktunya
mungkin setengah hari, atau satu hari, memang pelatihan itu
harus dilakukan dengan berbagai cara.

Drs. HM. Subhan, M.PdI selaku pengawas PAI di SMP/SMA


dalam wawancara tanggal 21 april 2010 menuturkan menurut
saya pelatihan itu perlu dilakukan dengan berbagai cara, tetapi
yang penting pelatihan itu mampu mewujudkan profil ideal
bagi pengawas

Berdasarkan temuan data dari lapangandan hasil FGD maka


sistem pelatihan pengawas sekolah di kantor kementerian agama
kabupaten Kudus dapat dilakukan seperti gambar dibawah ini:

232 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus

PROFIL IDEAL

Pendekatan Andragogic
1. Pengetahuan
dasar
2. Kemampuan Part time
Problem Sistem O
solving pelatihan U
3. Daya fikir Full time T
kritis
4. Terampil Matode - Klasikal P
komunikasi pelatihan - Small group U
5. Berwawasan - Presentasi T
luas - Tugas lapangan
6. Ketrampilan
teknologi
Evaluasi Proses

Hasil

Ketiga, Penilaian Kinerja pengawas


Sistem penilaian terhadap pengawas sekolah di kantor
kementerian agama Kudus belum dilakukan secara optimal.
Penilaian baru dilakukan dengan satu cara yaitu melalui Daftar
Penilaian Prestasi Pegawai (DP3). Berdasarkan wawancara
dengan kasi mapenda, diperoleh data, sebagai berikut:
Dra. H. Fahriyah kasi Mapenda dalam wawancara tanggal
02 nopember 2009 menuturkan sebenarnya dalam diktum
atau aspek penilaian DP3 sudah mencakup banyak hal, seperti
kesetiaan, tanggung jawab, prestasi dan lain sebagainya, tetapi
cara untuk mengetahui aspek yang dinilai itu masih kesulitan,
oleh sebab itu kalau dimungkinkan memang perlu ada cara lain
selain DP3 untuk mengetahui kinerja pengawas sekolah.

Mengenai siapa yang layak diberi kewenangan untuk menilai


pengawas, H. Supaat selaku ketua pokjawas dalam wawancara
tanggal 12 oktober 2010 menuturkan kalau selama ini, sampai
hari ini yang menilai pengawas hanya kepala kantor yaitu dengan
DP3 tadi. Tetapi kalau ingin ada perbaikan penilaian tidak hanya
DP3, ya mestinya ada tambahan orang yang menilai pengawas.
Tambahan itu bias ketua pokjawas, teman sejawat bahkan bisa

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 233


M. Saekhan Muchith

jadi kepala sekolah atau madrasah. Tetapi perlu dicari format


yang tepat agar proporsional atau tidak tumpang tindih.

Berdasarkan data penelitian dan hasil FGD maka dapat


dikatakan penilaian kinerja perlu disempurnakan dengan sistem
penilaian yang utuh dan komprehensif seperti dalam gambar di
bawah ini:

Aspek yang
dinilai Kompetensi kepribadian

Kompetensi supervisi
Manajerial

Kompetensi supervisi
Akademik

Kompetensi evaluasi
Pendidikan

Kompetensi penelitian
pengembangan

Kompetensi sosial

Instrument Skala sikap, cek list,


penilaian portofolio, DP3

Elemen Pimp Kantor, Kamad/Guru,


penilaian Pokjawas, teman sejawat.

Kesesuaian antara
Target keterampilan dengan
kompetensi

234 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus

Keempat, Pendekatan dalam pembinaan pengawas sekolah


Berdasarkan wawancara dengan kasi mapenda tanggal 29
oktober 2009 diperoleh hasil bahwa pembinaan pengawas akan
efektif jika menggunakan pendekatan andragogie, kekeluargaan
dan informal. Semua kebijakan termasuk pembinaan akan
efektif jika didukung dengan dukungan perlengkapan sarana,
alat kantor dan trasportasi.
Dra. H. Fahriyah selaku kasi mapenda dalam wawancara
tanggal 29 oktober 2009 menuturkan bahwa
pendekatan dalam pembinaan merupakan sesuatu yang
kompleks sekali. Jadi menurut saya pembinaan harus dimulai
dari pemahaman orang yang membina kepada yang dibina
dalam hal ini pengawas sekolah. Pertama, pembinaan jangan
selalu dilakukan secara formal saja, mengapa demikian? Karena
pengawas merupakan sosok jabatan yang memiliki tugas dan
tangung jawab sangat besar. Maka pengawas harus diposisikan
sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang kepengawasan, jangan sampai dilakukan dengan
anggapan bahwa pengawas tidak mengetahui persoalan sama
sekali. Kalau istilahnya ya dengan pendekatan andragogie. Selain
itu pendekatan juga harus mengedepankan sistem kekeluargaan
dalam artian positif lho. Kekeluargaan jangan diartikan
nepotisme, kekeluargaan yang saya maksud adalah pembinaan
itu dikemas dengan suasana yang enak, tidak mencar-cari
kesalahan melainkan benar-benar mencari solusi pengembangan
dan peningkatan kinerja pengawas. Pembinaan juga harus
dilakukan secara informal, jangan selalu dilakukan dengan cara-
cara formal. Karena sesuatu itu akan mudah teratasi jika dikemas
dengan suasana informal. Jadi kalau disimpulkann ya ada tiga
pendekatan, andragogie, kekeluargaan dan informal.

Berdasarkan hasil FGD kepada kepala madin dan pengawas


sekolah yang dilaksanakan tanggal 23 deswember 2009 tentang
problematika pengelolaan madin diperoleh data ter kait dengan
madin, antara lain:
Pertama, madin memiliki problem mendasar berupa problem
yang bersifat cultural yaitu masyarakat secara budaya masih
menganggap bahwa madin sekedar pendidikan tambahan
bukan pendidikan utama. Hal ini menyebabkan munculnya
sikap dan perilaku masuarakat yang kurang optimal untuk
memberikan dukungan pengembangan.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 235


M. Saekhan Muchith

Kedua, kesadaran untuk memberi kontribusi atau membayar


biaya pendidikan masih sangat rendah, tidak seperti kesadaran
untuk mengelurkan uang dalam pembiayaan les atau pendidikan
formal.
Ketiga, pembinaan yang diharapkan adalah pembinaan dari
pengawas tentang ketertiban administrasi agar madin mampu
sejajar dengan pendidikan formal agama yang lain seperti MI/
MTS/MA.
Keempat, pengawas sekolah diharapkan mengoptimalkan
perjuangan agar ijazah madin dapat disetarakan dengan sekolah
formal lainnya yaitu sederajat dengan MI/MTS/SMP/MA/SMU/
SMK.
Kelima, intensitas kunjungan pengawas sekolah perlu
diintensifkan dengan cara ada jadual secara rutin setiap bulan,
tri wulan atau semesteran.
Keenam, bagi guru madin perlu ada pelatihan secara intensif
tentang pembelajaran dan manajerial madin seperti pelatihan
KTSP dan aktif learning bagi madin.
Ketujuh, pengawas diharapkan mampu memperjuangkan
agar madin ada system akreditasi seperti yang ada di sekolah
formal seperti MI/SD/MTS/SMP/MA/SMU/SMK.
Berdasarkan hasil FGD bersama pimpinan kantor kemenag,
pengawas sekolah, kepala madrasah dan penglola madin pada
tanggal 1 juni 010 tentang model pembinaan pengawas sekolaha
maka Pendekatan pembinaan terhadap pengawas sekolah dapat
diilustrasikan melalui gambar sebagai bderikut:

Asumsi :
- sebagai individu
- sebagai manager
- sebagai profesi

Metode : Teknik :
- Klasikal - Individuaal
- Kunjungan - Kelompok
- Birokrasi - Fungsional
- Portofolio

236 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus

Kelima, Aspek pembinaan Pengawas Sekolah


Banyak aspek yang melekat dalam diri setiap manusia
termasuk pengawas sekolah yang ada di kantor kementerian
agama. Aspek yang perlu dibina bagi manusia meliputi aspek
kedisiplinan, kejujuran, semangat menjalkankan tugasnya dan
aspek kepatuhyan terhadap aturan atau birokrasi.
Drs. H. Akhmad Mundakir, M.Si selaku Kasubag TU dalam
wawancara tanggal 10 mei 2010 menyatakan bahwa daris
ekian banyak aspek yang melekat dalam diri pengawas, perlu
ada skala prioritas. Maka agar pengawas mampu menjalankan
tugasnya secara optimal maka aspek yang perlu ditekankan
dalam pembinaan adalah bagaimana pengawas mampu
memngembangkan profesinya sebagai jabatan professional
pengawas, terus kedisiplinan dalam menjalankan tugas
pengawasan.

Kasi Mapenda memiliki pendapat yang senada dengan


kepala kantor kemenetrian agama dan kasubag TU bahwa
pembinaan terhadap pengawas perlu diarahkan untuk
menciptakan kedisiplinan dan kesadaran untuk memahami dan
pengembangan profesinya. Pembinaan perlu dilakukan dengan
cara formal dan informal dan pembinaan juga perlu dilakukan
dengan suasana kekeluargaan.

Dra. H. Fahriyah, selaku kasi Mapenda dalam wawancara tanggal


29 oktober 2009 menjelaskan tentang istilah kekeluargaan. Beliau
menuturkan kekeluargaan itu jangan diartikan nepotisme,
kekeluargaan yang saya maksud adalah bagaimana pembinaan
terhadap pengawas itu dikemas dalam suasana yang enak, tidak
mencari-cari kesalahan melainkan benar-benar mencari solusi
pengembangan dan peningkatan kinerja pengawas.

Pengawas sekolah dikantor kementerian agama Kudus


memiliki tugas tambahan untuk melakukan pengawasan
terhadap pembinaan guru madin dan juga pengawasan tentang
pengembangan dan pengelolaan lembaga madin. Masih
banyak problem yang perlu dibina dan ditertibkan terkait
dngan pembinaan madin baik sistem pengelolaan kelembagaan
maupun pengembangan profesionalisme guru.
Drs. HM. Suudi, M.Pdi selaku kasi pekapontren dalam
wawancara tanggal 3 nopember 2009 menuturkan bahwa ya
masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh madin seperti
problem pendanaan atau dukunagn dana dari pemerintah,

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 237


M. Saekhan Muchith

masalah kualifikasi formal para gurunya, masalah evaluasi dan


masalah pengakuan lulusan, kan belum semua lulusan madin itu
dapat disetarakan dengan lembaga formal, baru madin tertentu
saja yang diakui kesetaraannya

Aspek pembinaan yang perlu ditekankan dalam membina


pengawas sekolah terkait dengan tugas tambahan melakukan
pengawasan madin harus ditekankan kepada aspek kemampuan
melakukan efektivitas pengawasan yaitu pengawas sekolah
harus mampu memberi motivasi kepada para guru madin
agar memiliki kompetensi yang tepat. Kompetensi yang
perlu dimiliki guru madin tidak cukup hanya menguasai
kemampuan secara akademik melainkan yang penting adalah
kemampuan melakukan komunikasi atau hubungan social atau
kemasyarakatan.
Drs. HM. Suudi, M.Pdi selaku kasi pekapontren dalam
wawancaranya tanggal 26 april 2010 menuturkan bahwa
karema madin itu lembaga non formal, menurut saya masalah
kedisiplinan dalam pengelolaan dan pemebelajaran itu perlu
ditingkatkan agar efektivitas pembelajaran dan manajerial dapat
diwujudkan secara optimal

Dra. H. Fahriyah selaku kasi mapenda dalam wawancara


tanggal 29 oktober 2009 menuturkan bahwa Pengawas mata
pelajaran non PAI khususnya di madrasah belum punya,
misalnya pengawas MTK, IPS, biologi, Ekonomi. Karena
madrasah tidak hanya mengajarkan mata pelajaran PAI saja
tetapi juga mengajarkan mata pelajaran umum seperti yang saya
sebutkan tadi. Oleh sebab itu depag seharusnya mengusulkan
penambahan atau pemisahan pengawas yaitu pengawas PAI
disekolah umum, pengawas mata pelajaran umum di madrasah
dan pengawas khusus madin

Berdasarkan data tersebut ditemukan dan hasil FGD maka


dapaat ditemukan data seperti dalam gambar dibawah ini:
Kedisiplinan

Efektivitas
Aspek yang melaksanakan
dibina pengawasan

Pengembangan
Profesi

238 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus

Keenam, Elemen yang memiliki kewenangan melakukan


pembinaan
Kepala Seksi mapenda berpendapat bahwa pembinaan
terhadap pengawas tidak cukup haanya kepala kantor saja, tetapi
perlu ditambah elemen lain yang dianggap terkait dan relevan
misalnya para kasi dilingkungan depag, piminan pokjawas,
kepala sekolah dan guru juga perlu diposisikan sebagai salah
satu sumber informasi untuk mengetahui kinerja atau kualitas
pengawas.
Dra. H. Fahriyah selaku kasi Mapenda dalam wawancara
tanggal 29 oktober 2009 menuturkan menurut saya beberapa
elemen terkait yang perlu memiliki kewenangan membina
pengawas misalnya kepala kantor, para kasi, bila perlu pimpinan
pokjawas,bila perlu kepala sekolah dan guru juga perlu
diposisikan sebagai sumber informasi yang dapat dijadikan
masukan membina pengawas.

Sedangkan menurut kasi pekapontren memiliki pandangan


bahwa elemen yang memiliki wewenang untuk membina
pengawas memang perlu disempurnakan. Elemen yang
memiliki wewenang membina tidak cukup hanya kepala kantor
saja, tetapi perlu ditambah dengan elemen lain yang terkait
misalnya kasi dan pokjawas.
Drs. HM. Suudi, M.PdI selaku kasi pekapontren dalam
wawancara tanggal 26 april 2010 menuturkan ya kalau bicara
untuk masa yang akan datang menurut saya memang siapa
yang membina pengawas perlu disempurnakan, tidak hanya
kepala kantor saja, tetapi juga perlu elemen lain yang terkait,
misalnya para kasi dan bisa jadi pimpinan kelompok pengawas
atau pokjawas

Pembinaan pengawas sekolah perlu selalu dioptimalkan


untuk menghasilkan produk pengawasn yang efektif dan
efisien. Jika dengan kondisi pengawas seperti sekarang ini,
kinerja pengawas tidak mampu berjalan secara optimal.
Untuk melakukan penyempurnaan kinerja pengawas perlu
dilakaukand engan dua cara yaitu dengan cara penambahan
jumlah pengawas sehingga ada keseimbangan rasio pnegawas
dengan lokasi yang dibina. Rasio yang ideal tidak didasarkan
dengan jumlahs ekolah atau satuan pendidikan melainkan
didasarkan dnegan jumlah guru. Berdasarkan data dari

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 239


M. Saekhan Muchith

lembaga Pengembangan profesi Guru (LPPG) Kudus tahun


2010 diperoleh data bahwa jumlah guru MI, MTS dan MA di
Kudus sebanyak 4.005 guru dengan rincian Guru MI sebanyak
1560, Guru MTs 1570 dan guru MA sebanyak 875.
H. Mursidi, BA selaku kepala MTS Matholiul Huda Kecamatan
Gebog Kudus dalam wawancara tanggal 10 mei 2010 menuturkan
kalau berbicara ideal ya masih banyak yang perlu dilakukan.
Misalnya pertama, perlu ada penambahan personil pengawas
yang sesuai dengan rasio jumlah guru dan madrasah. Rasio
pengawasan bisa jadi tidak didasarkan dengn jumlah sekolah
tetapi dengan jumlah guru. Kedua, perlu adas pengawas IPA,
IPS, Ekonomi, Biologi, Kimia, Fisika dll. Selama ini guru guru
kami mapel umum bingung kemana dan dengan siapa meminta
saran dan pembinaan jika ada kesulitan. Sementara pengawas di
kantor depag baru pengawas PAI saja. Ketiga, kalau pengawas
mata pelajaran belum cukup, maka masing-masing pengawas
harus memiliki kesadaran dalam penguasaan ilmu pengetahuan
sehingga mampu memberi masukan kepada para guru guru
mapel umum yang ada di madrasah.

Berdasarkan data yang ditemukan penelitia dan


berdasarkan hasil FGD maka peneliti memberikan pendapat
bahwa pembinaan terhadap pengawas setidaknya dilakukan
dengan dua jenis pembinaan yaitu pembinaan yang bersifat
pengembangaan profesi dan pembinaan yang bersifat
administratif. Ada beberapa elemen yang memiliki kewennagan
melakaukan pembinaan. Pembinaan profesi di lakukan oleh
elemen kepala kantor, Kasi mapenda, teman sejawat/pokjawas
dan kepala madrasah. Diagram dapat dilihat seperti dalam
gambar sebagai berikut:

240 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus

Kasi
Kepala Kantor
Kasubag

TIM KHUSUS

KAMAD

Teman Sejawat

Pengawas

Keterangan: ________ : Pembinaan Profesi


-------------- : Pembinaan Administratif

I. PENUTUP
Sebagai manusia, peneliti menyadari pasti memiliki kekurangan
atau kesalahan baik yang disengaja atau tidak disengaja. Melalui
media ini penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya bila dirasa
menyinggung beberapa pihak selama melaksanakan penelitian dalam
penyusunan desertasi ini. Semoga semua amal baik dari semua pihak
yang mendukung penulisan desertasi ini menjaid amal yang sholeh
dan kelak akan memperoleh imbalan yang setimpal, amien yarobbal
alamiin.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 241


DAFTAR PUSTAKA

AA.Anwar Prabu Mangkunegara (2009), Perencanaan dan Pengembangan


Sumber Daya Manusia, Refika Aditama, Bandung Jawa Barat.
Amirul Hadi (2005), Metodologi Penelitian Pendidikan, Pustaka Setia
Bandung, Jawa barat.
Burhan Bungis (2007), Penelitian Kuaalitatif, Komunikais, Ekonomi,
Kebijakan Publik dean ilmu social lainnya, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta
Castetter William B, (1981) The Personal Functional in Aducation
Administration, Ed 3, New York: Mc Milan Publishing Co, Inc.
Burton WH & Lee J Bruckner (1955), Supervision, New York: Appleton
Century Craff, Inc
Davis, GA (1989), Effective School and Effective Teacher, Boston: Allyn
and Bacon.
Frances Hesselbein & Rob Johnston (ed) (2005), Misi dan kepemimpinan,
PT Alex Media Komputindo, Jakarta
Good CV (1973), Dictionary of Education, New York, Mc Grow Hill
Book Company.
James J. Jones & Donald L. Walters (2008), Manajemen Sumber Daya
Manusia, Q- Media, Yogyakarta.
Jerome S Arcaro (2006), Pendidikan Berbasis Mutu, Pustaka Pelajar
Yogyakarta.
Johan Holland (1973), Making Vocational Choices: A Theory of Careers,
Engliwood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, Inc.
Mohammad Ali (1993), Strategi Penelitian Pendidikan, Angkasa,
Bandung Jawa Barat
Mc Millan H James & Sally Schumacher (2001), Research In Education,
A Conceptual introduction, Longman, New York, Sanfransisco
Madya Ekosusilo (2003), Sekolah Unggulan berbasis Nilai, Univet bantara
Press, Sukoharjo

242 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Model Pembinaan Pengawas Sekolah DiLingkungan Kantor Kementerian Agama Kudus

Mantja W (2007), Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Elang Emas,


Malang Jawa Timur
Marihot Tua Efendi Hariandja (2007), Manajemen Sumber Daya Manusia,
Pengadaan, pengembangan, pengkompensasian dan peninkatan
Produktivitas Pegawai, Grasindo, Jakarta.
Masyhuri (2008), Metodologi Penelitian, Pendekatan Praktis dan Aplikatif,
PT. Refika Aditama, Bandung, Jawa Barat
Mondy R Wayne (2008), Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit
Erlangga, Jakarta.
Nana Sudjana (2006), Standar Mutu Pengawas Sekolah, Depdiknas,
Jakarta
Ndraha, Taliziduhu (2005), Teori Budaya Organisasi, Rineka Cipta,
Jakarta.
Peter, Oliva F (1976), Supervison for Today Schools, Logman, New York
& London
Petunjuk tehnis (juknis) Jabatan Fungsional pengawas sekolah tahun
2000
Retno Sriningsih Satmoko (1999), Landasan Kependidikan, CV. IKIP
Semarang Press, Jawa Tengah
Ronald S Brandt (ed) (1982), Supervision of Teaching, Yearbook
Committee.
Samana A (1994), Profesionalisme Keguruan, kanisius, Yogyakarta
Soetjipto (2007), Profesi Keguruan, Rineka Cipta, Jakarta
Soekidjo Notoatmodjo (2009) Pengembangan Sumber Daya Manusia,
Rinike Cipta, Jakarta.
Sergiovanni J Thomas & Starrtt J Robert (1993), Supervison, McGrow-
Hill, Inc New York
Sudarwan Danim (2002), Menjadi Peneliti Kuaalitatif, Cv Pustaka Setia,
Bandung Jawa Barat.
Suharsimki Arikunto (2008) Manajemen Pendidikan, Aditya Media,
Yogyakarta
_____________________ (2008), Evaluasi Program Pendidikan, Bumi
Aksara, Jakarta

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 243


M. Saekhan Muchith

Surat keputusan (SK) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara


nomor 118 tahun 1996 tentang jabatan fungsional Pengawas
Sekolah
Surat keputusan (SK) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
nomor 091/KEP/M.PAN/10/2001 tentang jabatan fungsional
Pengawas Sekolah
Sugiono (2008), Metode Penelitian Pendidikan, Alfabeta, Bandung, Jawa
Barat.
Tony Bush (2006), Theories of Educational Leadership and Management,
SAGE Publications, London
Werther, William B dan Keith Davis (1996), Human Reseources and
Personel Management (Fifth Edition), Mcgraw-Hill, Inc New
York.
Zaenal Aqib (2007), Profesionalisme Guru dan Pengawas sekolah, CV
YRama Widya, Bandung Jawa Barat
____________ (2009), Standar Pengawas Sekolah/Madrasah, CV Yrama
Widya, bandung Jawa Barat.
Depdikbud (1997), Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional
Pengawas Sekolah dan angka kreditnya, Jakarta
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional
Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Naskah Akademik tentang Standar Pengawas Sekolah , Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP) tahun 2006.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor
12 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah
P. Robbin Stephen Timothy A Judge (2008) Perilaku Organisasi,
Salemba Empat, Jakarta.
Peraturan pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan
Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 381 tahun 1999 tentang
Petunjuk Tehnis Pelaksanaan Jabatan fungsional Pengawas
Pendidikan Agama dan angka kreditnya.
Keputusan Mendiknas nomor 020/U/1998 tentang petunjuk tehnis
tata kerja Pengawas Sekolah

244 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


PENGARUH KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
TERHADAP PERKEMBANGAN
ILMU PENGETAHUAN
DI ERA KEKHALIFAHAN ABBASIYAH

Umar

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran suasana
kerukunan diantara umat beragama yang mungkin berpengaruh
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dengan mengambil
sampel di masa pemarintahan Abbasiyah.
Bukti ekstrim yang mendukung orgensi penelitian ini adalah bahwa
di bawah kekuasaan umat Islam selama 500 tahun di Spanyol
muncul tiga agama: Islam, Yahudi, dan Nasrani. Mereka hidup
rukun dalam satu negara dan mengembangkan peradaban-inklusif
ilmu pengetahuan- yang begitu cemerlang.
Dengan demikian, penelitian yang diharapkan berhasil meng-
ungkapkan adanya kerukunan umat beragama dan pengaruhnya
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di masa pemerintahan
Abbasiyah dapat dijadikan model bagi usaha pengembangan ilmu
pengetahuan di masa kini.
Metodelogi penelitian yang dipilih adalah metodelogi kualitatif
karena mempunyai sifat responsif dan sarat nilai. Karena penelitian
ini termasuk jenis penelitian library research, maka data yang
diperolehnya adalah bertumpu pada pemahaman teks yang ada
hubungannya dengan masalah yang dibahas dengan menggunakan
pendekatan sejarah/history, dalam arti mejelaskan apa yang
sesungguhnya telah terjadi di masa lampau.
Sedangkan hasil sementara yang dapat diperoleh dari penelitian
ini adalah adanya kerukunan antar umat beragama dalam wilayah
pemerintahan Abbasiyah, dan kerukunan antar umat beragama
mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan.
Kata kunci: Kerukunan umat beragama, perkembangan ilmu
pengetahuan, kekhalifahan Abbasiyah.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 245


Umar

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ada tiga periode besar sejarah umat Islam, yaitu periode klasik,
pengetahuan, dan modern (Harun Nasution,1975:12). Dalam periode
klasik terdapat suatu fase yang disebut fase ekspansi, integrasi, dan
puncak kemajuan yang berlangsung antara tahun 650-1000 M. Dalam
subfase puncak kemajuan memuncak pula perkermbangan ilmu
pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun bidang non-agama
(Harun Nasution,1975:13). Artinya, pasca tahun 1000 M grafik prestasi
umat Islam mengalami pasang surut dan pasang naik. Akan tetapi,
pasang naik sejarah umat Islam hingga kini tidak dapat disejajarkan
dengan puncak kemajuan zaman klasik.
Rentang waktu antara tahun 650 hingga tahun 1000 M, umat
Islam secara politis dikuasai oleh Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah.
Kurang lebih seratus tahun pertama (650-750) mereka dikuasai oleh
Bani Umayyah (Abu Jafar Muchammad Ibnu Jarir at-Thabari,1987:315-
317) dan sisanya dikuasai oleh Bani Abbasiyah. Secara keseluruhan
Bani Umayyah berkuasa pada tahun 661-750 M (Dilip Hiro,1980:26).
Dan pada masanya disebut sebagai periode ekspansi dalam Islam
(Dilip Hiro,1980:26). Secara keseluruhan Bani Abbasiyah berkuasa
pada tahun 750-1258 M/ 132-656 H (H.A. Gibb,1960:15). Dengan
demikian puncak kemajuan ilmu pengetahuan terjadi pada masa
pemerintahan Bani Abbasiyah. Sementara itu yang menonjol di era ini
adalah Islam sebagai sistim sosial, yang antara lain ditegakkan oleh
kaum intelektualnya.
Dapat dipahami bahwa kiranya di era Abbasiyah terdapat
sejumlah kelas sosial keagamaan atau sejumlah umat beragama, atau
pula sejumlah agama yang dianut oleh umatnya masing-masing. Di
wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah itu terdapat tertib dan maksud-
maksud tertentu di balik hubungan-hubungan antara umat beragama.
Maksud-maksud itu adalah memperkembangkan ilmu pengetahuan.
Pelaku pengembang ilmu pengetahuan itu adalah kaum intelektualnya.
Pengertian sistem menurut The Liang Gie adalah kebulatan dari jumlah
unsur-unsur yang saling berhubungan menurut suatu pengaturan
guna mencapai suatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan
tertentu. Jadi sesuatu sistem apapun tersesusun dari empat hal, yakni:
sejumlah unsur, serangkaian hubungan, asas tertib, dan maksud /
peranan tertentu.

246 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh kerukunan Umat Beragama terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Adanya hubungan diantara umat beragama yang satu dengan


yang lain atas dasar tertib tertentu dan untuk mencapai tujuan tertentu
kiranya takkan dapat terwujud kecuali dalam suasana hidup rukun
diantara mereka.
Kerukunan antar umat beragama pada masa khalifah Abbasiyah
sangat dijunjung tinggi, misalnya pada masa khalifah al-Hadi, Ali bin
Sulaiman gubernur Mesir telah membonngkar gereja Katerdral untuk
suatu alasan. Perkara ini diajukan kepada khalifah Harun al-Rasyid,
pengganti khalifah al-Hadi. Khalifah baru ini menjatuhkan hubungan
berat atas diri Ali bin Sulaiman dengan memberhentikannya sebagai
gubernur serta menggantikannya dengan Musa bin Isa, yang segera
berkonsultasi dengan para ahli hukum Islam mengenai tindakan apa
yang akan diambil dalam perkara pembongkaran itu. Para ahli hukum
itu dengan suara bulat beranggapan bahwa gereja-gereja yang telah
dibongkar oleh khalifah terdahulu, harus dibagun kembali dengan
biaya negara.
Masalahnya adalah apa memang benar ada kerukunan
umat beragama dan kerukunan umat beragama itu mempengaruhi
perkembangan ilmu pengetahuan di era kekhalifahan Bani
Abbasiyah?

B. Hipotesis
Atas dasar pemikiran tersebut, maka dapat diajukan hipotesis
bahwa terdapat kerukunan antar umat beragama dalam wilayah
pemerintahan Abbasiyah, dan kerukunan antar umat beragama
mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan.

C. Rumusan Masalah
Bertolak dari pengertian istilah tersebut dapat dinyatakan
bahwa judul pengertian ini hendak menjelaskan bahwa pada masa
pemerintahan khalifah Abbasiyah terdapat kondisi rukun diantara
para penganut agama yang satu terhadap penganut agama yang lain.
Kerukunan umat beragama itu mempengaruhi perkembangan ilmu
pengetahuan. Dengan demikian masalah penelitian ini adalah:
1) Kerukunan umat beragama dari penganut agama yang satu
dengan penganut agama yang lain.
2) Perkembangan ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu agama
maupun ilmu-ilmu umum.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 247


Umar

3) Korelasi antara umat beragama dengan perkembangan ilmu


pengetahuan, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu
umum.
Korelasi masalah ini dibatasi dalam wilayah kekuasaan
kekhalifahan Abbasiyah dalam kurun waktu antara tahun 750-1000 M
atau padanan Hijriyahnya.
D. Urgensi, Tujuan, dan Kegunaan Penelitian
Di era globalisasi sekarang ini, kerukunan umat beragama,
khususnya intern umat Islam belum dapat diwujudkan secara
maksimal. Kondisi umat Islam di negara-negara yang penduduk
muslimnya minoritas menjadi kebrutalan rezim yang berkuasa.
Wujud solidaritas umat Islam dari negara-negara lain atau negara
yang penduduk mayoritasnya muslim,ataupun antar penganut agama
masih terbatas pada level diplomasi. Maka, penelitian yang temuan-
temuannya hendak menggambarkan suasana kerukuanan diantara
umat beragama yang mungkin berpengaruh terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan dengan mengambil sampel di masa pemerintahan
Abbasiyah tampak relevan.
Sedikitnya terdapat dua bukti ekstrim yang mendukung
orgensi penelitian ini:
1) Di bawah kekuasaan umat Islam selama 500 tahun di Spanyol
muncul tiga agama: Islam, Yahudi, dan Nasrani. Mereka hidup
rukun dalam satu negara dan mengembangkan peradaban-
inklusif ilmu pengetahuan- yang begitu cemerlang (Max I.
Dimont dalam Nur Cholish Madjid,1992:27).
2) Peradaban yang berkembang sekarang ini adalah peradaban
Barat dan merupakan produk sekularisme. Peradaban ini hanya
berhasil mensejahterakan manusia di bidang material-lahiriah,
tetapi gagal mengangkat derajat manusia dalam keutuhannya
bahkan terasing dengan dirinya sendiri (C.A Qadir dalam Hasan
Basri,1989:5).
Dengan demikian, penelitian yang diharapkan berhasil
mengungkapkan adanya kerukunan umat beragama dan pengaruhnya
terhadap perkenmbangan ilmu pengetahuan di masa pemerintahan
Abbasiyah dapat dijadikan model bagi usaha pengembanagn ilmu
pengetahuan di masa kini yang pada gilirannya dapat mensejahterakan
manusia secara lahir maupun batin.

248 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh kerukunan Umat Beragama terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Karena penelitian ini merupakan kegiatan akademik, maka


diharapkan dapat memberikan pengalaman konkrit kepada para
mahasiswa, para akademisi, dan pembaca pada umumnya.
Penelitian jenis Literer ini, dilakukan di lokasi semenjak dari
penyusunan proposal, perumusan masalah, penyusunan kerangka
metodelogi, penyusunan item-item yang diperlukan sampai
penyusunan laporannya.

E. Metodologi Penelitian
Untuk menyelesaikan penelitian ini digunakan metodologi
yang mencakup: landasan filosofis, populasi, teknik sampling, rekaman
data, teknik analisis, dan penarikan kesimpulan,lokasi penelitian.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Landasan Filosofis
Oleh karena kerukunan umat beragama di wilayah kekuasaan
kekhalifahan Abbasiyah mencakup persoalan-persoalan
etik hingga persoalan yang transendental, maka metodologi
penelitian adalah metodologi kualitatif karena mempunyai sifat
adabtable, responsif, dan sarat nilai. Pendekatan yang dipilih
adalah pendekatan positifistik yang langkah-langkahnya sama
dengan metodologi kuantitatif kecuali dalam hal rekaman data
dan pemaknaannya.
2. Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh pemeluk agama di wilayah
kekuasaan kekhalifahan Abbasiyah dalam kurun waktu antara
tahun 750-1000 M atau padanan Hijriyahnya.
3. Teknik Sampling
Asumsi adanya heterogenitas pemeluk agama di lokasi penelitian
maka teknik sampling yang digunakan adalah purposif sampling
dan sertifikasi sampling. Teknik sampling yang pertama secara
praktis menunjukkan pada kalangan-kalangan pemeluk
agama. Teknik sampling yang kedua menunjukkan pada kelas
intelektual dari masing-masing kalangan pemeluk agama.
Termasuk kelas intelektual adalah mereka yang mempunyai
otoritas dalam keilmuan dan mempunyai karya tertulis atau
dicatat oleh sejarawan, penguasa yang mempunyai komitmen
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan para sponsor
perkembangan ilmu pengetahuan.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 249


Umar

4. Rekaman Data
Sesuai dengan judul penelitian ini dan karakter metodologi
kualitatif, maka metode pengumpulan data yang dipilih adalah
library research (penelitian kepustakaan). Penelitian ini bertumpu
pada pemahaman teks yang ada hubungannya dengan masalah
yang dibahas.
Dengan demikian, penelitian ini juga menggunakan
pendekatan sejarah (history), dalam arti menjelaskan apa yang
sesungguhnya terjadi di masa lampau (Patrick Lancaster
Gardiner,1979:961). Sikap yang dipegangi terhadap sesuatu
yang telah terjadi itu adalah hanya membatasi fakta-fakta
empiris dan bukan keyakinan agama (Hans Meyerhoff,1959:5).
Tentu saja, fakta-fakta empirik yang dimaksud telah terekam
dalam bentuk catatan-catatan sejarah.
Menyadari keterbatasan penelitian ini, kritik intern dan
kritik ekstern seperti yang dijelaskan oleh Carter V. Good
Douglas Scates (Carter V. Good Douglas E. Scates dalam
Koentjaraningrat,1977:89, 83-84) tidak dilalui. Hal ini dilakukan
karena begitu jauhnya jarak waktu antara kegiatan penelitian
ini dan peristiwa-peristiwa sejarah dan para saksinya, baik yang
primer maupun yang sekunder di satu pihak dan kredibilitas
pribadi para saksi sejarah dipihak lain. Catatan sejarah dari
sumber sejarawan secara apriori dijadikan sebagai sumber
informasi. Sejauh yang dapat dijadikan patokan untuk menguji
keabsahan catatan sejarah adalah memberlakukan antara
catatan sejarah yang satu dengan catatan sejarah yang lain
dalam persoalan yang sama sebagai saling menjadi koroborasi =
pendukung.
5. Teknik Analisis Data
Karena kumpulan data berwujud ungkapan-ungkapan
verbal dan bukan angka, maka data akan diolah sesegera
mungkin, yakni ketika kegiatan penelitian ini masih berada
dalam tahap pengumpulan data di lapangan.
Teknik analisis data meliputi reduksi, pengkodean,
pengeditan, klasifikasi, kategorisasi, pencatatan objektif, catatan
reflektif, dan catatan marginal.
6. Penyimpulan
Tata pikir yang digunakan dalam penarikan penyimpulan ini
adalah menggunakan model yang ditawarkan oleh Miles dan

250 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh kerukunan Umat Beragama terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Huberman, tetapi hanya terbatas pada siasat ke enam, yaitu


memecah variabel dan sub-variabel dan siasat tiga nampak
cukup beralasan (Noeng Muhadjir,1989:50-51).
7. Lokasi Penelitian
Seluruh kegiatan penelitian dilaksanakan di perpustakaan
STAIN Kudus, Perpustakaan Universitas Muria Kudus, dan
Perpustakaan Islam di Kudus. Sasarannya adalah koleksi-
koleksi yang bisa memberikan jawaban atas item-item yang
telah disiapkan.

II. HASIL TEMUAN PENELITIAN


A. Ajaran Islam yang Berkenaan dengan Kerukunan Umat
Beragama
Islam membolehkan dan menjamin kebebasan hati nurani,
kemerdekaan beribadah kepada pengikut tiap-tiap agama di bawah
kekuasaan Islam dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip adanya
toleransi dan kedermawaan (Syed Amir Ali:362). Dalam ayat al-Quran
surat al-Baqarah ayat 256 disebutkan bahwa tidaklah ada paksaan
dalam agama.
Dengan begitu, ajaran Islam sangat menekankan tentang
adanya pola kebebasan yang mengarah pada pemilihan agama sesuai
dengan kehendaknya. Seperti dalam bidang politik, orang perorangan
dan golonggan mengajarkan toleransi dan menganjurkannya, tetapi
hanya mereka selama tidak berkuasa dan lemah. Dalam arti situasi
dan kondisinya mendukung. Dalam toleransi Nabi Muhammad
tidak sekedar mengajarkan, tetapi toleransi itu dijalin dalam undang-
undang, kepada semua bangsa yang ditaklukkannya, kemudian
diberinya kebebasan beribadah.
Jika keyakinan dan kebebasan mutlak suatu agama serta
rasa kewajiban pemeluknya untuk menyiarkan agama keseluruh
masyarakat itu dapat melahirkan intoleransi, maka adanya ajaran
agama monoteisme dapat membawa kepada toleransi (Harun
Nasution, 1996:269). Karena tujuan hidup beragama dari agama-
agama monoteis adalah membina manusia agar berjiwa suci dan
berakhlak tinggi. Jika dipandang dari sudut asalnya, manusia berasal
dari satu sumber yaitu makhluk Tuhan, mereka bisa jadi mempunyai
keyakinan dan agama yang berlainan, tetapi sebenarnya mereka itu

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 251


Umar

adalah bersaudara dipandang dari sudut asalnya. Rasa persaudaraan


yang demikian itu, bisa menjadi landasan bagi adanya toleransi (Harun
Nasution, 1996:270).
Hadirnya lima agama besar di dunia memperlihatkan pada
dunia akan adanya suatu dinamika keagamaan yang diwujudkan
dengan sikap keberagamaan. Namun di zaman modern ini telah terjadi
hal-hal yang akan menjauhkan manusia dari agama secara lebih jauh
lagi, yang lebih menonjol dalam segi penghidupan yang semua orang
dapat melihatnya dengan mata telanjang baik dalam lingkungan
kelompok maupun dalam lingkungan bangsa yang beragama.
Setiap bangsa yang beragama akan memberikan kemerdekaan
tiap agama untuk berkembang sehingga akan terwujud kerukunan
agama. Peran serta umat beragama dalam pembangunan inilah yang
dapat mempengaruhi nilai positif untuk memperkokoh sikap dan
perilaku manusia serta berkepribadian yang luhur.
Islam membenarkan hal ini. Setiap muslim diajarkan untuk
bersikap toleransi berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang yang
berada di luar Islam selama tidak memerangi kaum muslim. Lebih
tegas lagi dijelaskan dalam al-Quran surat al-Mumtahanah ayat 8 yang
artinya Tidaklah Allah melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil
kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu lantaran agamamu
dan tidak pula mengusir kamu dari tanah airmu, sesungguhnya Allah
mengasihi orang-orang yang berlaku adil.
Ayat ini menunjukkan bolehnya saling berbuat baik antara
sesama kaum muslim dan orang-orang non Islam yang tidak
memusuhi dan memerangi kaum muslim. Ayat tersebut di atas juga
menerangkan dengan jelas bahwa orang-orang Islam dapat berbuat
baik dan berlaku adil kepada siapa saja yang bukan muslim, dan
dilarang berbuat sebaliknya lantaran masalah agama (Prof. Dr. Moh.
Ardhani,1995:322).

B. Kebijakan Kebijakan Khalifah yang Berkenaan dengan


Kerukunan Umat Beragama
Kemenangan militer Arab serta kebangkitan politik dan sosial
mereka membawa kebenaran dan keadilan bagi orang-orang yang
tidak pernah mengenal persamaan derajat dan persaudaraan manusia.
Lebih menakjubkan lagi ialah kenyataan bahwa kaum penguasa Arab

252 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh kerukunan Umat Beragama terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan

mempunyai rakyat yang kebangsaannya sangat berbeda dengan


kebangasaan mereka sendiri. Politik toleransi,keadilan dan demokrasi,
yang dimulai oleh Nabi Muhammad SAW dan doperkuat oleh
khalifah, dilanjutkan oleh dua Dinasti penguasa yang sangat penting
yaitu: Dinasti Umayah dan Abbasiyah. Penaklukan yang dilakukan
oleh Umayah serta konsolidasi kebudayaan yang dilakukan oleh
Dinasti Abbasiyah tadi, tidak bersikap membiarkan mereka orang-
orang bukan Islam terlantar.
Berhubung dengan itu, di bawah kekuasaan kaum Umayah
dan Abbasiyah baik para pejabat pemerintah pusat maupun propinsi
tidak mengijinkan terjadinya pengajaran ataupun gangguan terhadap
orang-orang Zimmah dan masyarakat- masyarakat lainnya.
Kepentingan mereka dilindungi dan kebebasan mereka
dipertahankan. Perlindungan atas hak-hak mereka sampai pada
Pemberian kebebasan menjalankan kebiasaan-kebiasaan mereka
yang bertentangan dengan kebiasaan Islam sekalipun. Mereka
mengkonsumsi, menjual dan membeli barang-barang yang terlarang
bagi orang-orang muslim. Hal yang sama berlaku bagi beberapa
kesempatan lain seperti perkawinan dengan sanak saudara yang dekat
serta kontrak-kontrak yang menetapkan ahli waris atas benda-benda
dan lain-lain (Sheikh Moh. Iqbal:266-267).
Pemerintah Umayah maupun Abbasiyah tidak mengingkari
hak warga negara yang bukan muslim untuk mempunyai sangkut
paut dengan administrasi negara. Dalam mengangkat orang-orang
Yahudi, Kristen dan lain-lain sebagai pejabat pemerintahan, pegawai
dan perwira-perwira tinggi, kaum Abbasiyah telah memberi beberapa
contoh penting. Satu- satunya jabatan yang tidak dapat dipegang
oleh orang non Islam di dalam negara Islam hanyalah jabatan kepala
eksekutif dan legislatif. Alasannya ialah bahwa Islam mengemban
tugas mengkoordinasi semua segi kehidupan masyarakat muslimin,
baik yang spiritual maupun yang bersifat keduniawian (Sheikh Moh.
Iqbal:269-270).
Kaum Abbasiyah benci sekali kepada setiap kekendoran
dalam menjalankan sikap bermurah hati terhadap orang-orang nono
muslim. Mereka bahkan membentuk sebuah departemen khusus
yang mengurus kepentingan dan kebutuhan kaum Zimmah. Semua
penguasa menjalankan garis baru menyadari sepenuhnya tanggung

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 253


Umar

jawab yang mereka pikul untuk menjamin kesejahteraan orang-orang


ini. Teristimewa, sementara hubungan masyarakat muslimin dengan
dunia luar meningkat. Para khalifah Abbasiyah dan para gubernur
propinsi mereka diminta agar berlaku adil terhadap semua rakyatnya
tanpa pandang bulu, apapun agama atau kepercayaan mereka (Sheikh
Moh. Iqbal:276).
Lebih konkrit lagi dari pada kebijakan tersebut tampak
pada masa pemerintahan al-Mamun - al-Rasyid, mereka penguasa
yang sangat liberal dalam urusan administrasi dan kebudayaan,
diberinya kebebasan bagi orang-orang non muslim untuk menikmati
kemakmuran dan kepuasan yang menyeluruh. Khalifah tidak
menyetujui usaha untuk memasukkan orang-orang Zimmah kedalam
agamanya sendiri hanya dengan motif keduniaan. Ia sangat menghargai
pengalihan agama hanya dalam hal orang-orang yang tidak menerima
Islam untuk kepentingan-kepentingan duniawi. Karena itu pengalihan
kesuatu agama lain dengan kesadarannya sendiri itulah yang dijunjung
tinggi. Bersamaan itu pula ia sering memberikan motifasi-motifasi
kepada misionaris-misionaris yang damai (Muhammad Iqbal:278).
Kebijakan-kebijakan yang dilakukan al-Mamun ini, justru memberi
peluang mereka untuk saling berkomunikasi, dan bahkan adanya
sambutan yang baik untuk Islam itu sendiri dalam meraih simpatik
demi pengembangan agama Islam.

C. Wujud Kongkrit Kerukunan Antar Umat Beragama


Salah satu tindakan Nabi Muhammad SAW pada waktu hijrah
ke Madinah adalah mempersatukan dalam konfederasi yang teratur
unsur-unsur yang terdiri dari berbagai jenis atau golongan dan
saling bermusuhan di dalam kota itu maupun sekitarnya. Rasulullah
menyodorkan sebuah piagam rakyat yang mana dirumuskan dengan
jelas hak-hak dan kewajiban orang-orang Islam diantara mereka
sendiri, serta hak-hak dan kewajiban antara orang Islam dengan
Yahudi (Syed Ameer Ali:362).
Demikian pula terbukti, kerukunan antar umat beragama pada
masa khalifah Abbasiyah sangat dijunjung tinggi. Hal ini terbukti dari
tindakan para khalifah yang melindungi orang-orang non muslim, dan
memberikan kebebasan bagi mereka, baik dalam beribadah maupun
dalam kehidupan mereka sehari-hari.

254 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh kerukunan Umat Beragama terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Pada masa pemerintahan khalifah Hadi, Ali bin Sulaiman


gubernur Mesir telah membongkar gereja Katerdral untuk suatu
alasan. Perkara ini diajukan kepada khalifah Harun al-Rasyid,
pengganti khalifah Hadi. Khalifah baru ini mejatuhkan hukuman
berat atas diri Ali bin Sulaiman dengan memberhentikannya sebagai
gubernur serta menggantikannya dengan Musa bin Isa, yang segera
berkonsultasi dengan para ahli hukum Islam mengenai tindakan apa
yang akan diambil dalam perkara pembongkaran itu. Para ahli hukum
itu dengan suara bulat beranggapan bahwa gereja-gereja yang telah
dibongkar oleh khalifah terdahulu, harus dibangun kembali dengan
biaya negara. Ini berrti bahwa tidak seorangpun dalam khalifah Islam,
bahkan tidak pejabat tingginya yang dapat mudahnya dapat melukai
perasaan keagamaan masyarakat-masyarakat yang bukan Islam
(Sheikh Moh. Iqbal:276).

D. Kebijakan-Kebijakan Khalifah dalam Usaha Pengembangan


Ilmu Pengetahuan
Pada masa pemerintahan khalifah Abbasiyah adalah
merupakan zaman perkembangan umat Islam yang mempunyai
pengaruh besar dalam ilmu pengetahuan yang mencerminkan
dalam pemerintahannya. Khalifah yang alim menitikberatkan pada
ilmu pengetahuan, khalifah yang gagah meluaskan ruang lingkup
kekuasaannya serta memperbanyak penaklukan-penaklukan negeri
(Hasan Ibrahim Hasan,1989:41). Sebagai kekuatan politik internasional
cepat meluas daerah kekuasaannya keluar semenanjung Arabia
hingga mencakup Siria, Palestina, Mesir, Afrika, Spanyol, dan pulau
laut tengah seperti Sisilia di Barat dan Mesopotamia (Irak), Persia,
Asia Tengah, dan India Timur. Daerah-daerah yang jatuh ke daerah
kekuasaan Islam ini terdapat tiga peradaban yakni Yunani, Persia, dan
India (Harun Nasution,1975:52).
Para khalifah Abbasiyah yang sangat besar perhatiannya dalam
pengembangan ilmu pengetahuan yaitu :
1. Abu Jafar al-Manshur (136-148 H)
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Tabita tentang kehidupan al-
Manshur sebagai berikut:
Al-Manshur adalah seorang raja yang agung, tegas, alim, dan
berpikiran cerdas. Pemerintahannya rapi, amat disegani, dan

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 255


Umar

baik budi pekerti. Al-Manshurlah yang telah memantapkan


dan menegakkan kerajaan Abbasiyah, menyusun peraturan-
peraturan, dan membuat undang-undang ,dengan penuh
keberanian menghadapi berbagai pemberontakan yang
mengancam tahta kerajaan (Hasan Ibrahim,1989:50).

Pada tahun 762 M, al-Manshur meletakkan batu pertama bagi


ibu kota kerajaannya adalah Baghdad. Ia telah mengirimkan para cerdik
dan pandai diberbagai lapangan, untuk menterjemahkan buku-buku
ilmu pengetahuan dan sastra dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa
Arab. Diantara mereka yang terkenal adalah Abdullah bin Mustaffa
yang mulanya seorang Majusi lalu masuk Islam. Terjemahannya yang
terkenal adalah buku Kahilah Bala Dhummah.
2. Harun al-Rasyid (786-809 M)
Khalifah Harun al-Rasyid dapat mengatasi berbagai
pemberontakan. Disamping itu usaha yang sedang maju adalah
pengembangan ilmu pengetahuan sehingga muncul orang cerdik dan
pandai yang memiliki berbagai disiplin ilmu.
3. Al-Mamun (813-833 M)
Al-Mamun dalam usaha meningkatkan perkembangan ilmu
pengetahuan adalah dengan mengirim utusan-utusan ke kerajaan
Byzantium untuk mencari manuskrip yang kemudian dibawa ke
Baghdad untuk diterjemahkan dalam bahasa Arab. Untuk keperluan
penterjemahan ini, mka al-Mamun mendirikan Bait al-Hikmah di
Baghdad dibawah pimpinan Hunain ibn Ishaq, seorang penganut
agama Kristen yang berasal dari Hirah. Ia pernah pergi ke Yunani dan
disana belajar bahasa Yunani. Selain bahasa Arab dan Yunani, ia juga
menguasai bahasa Syiriak (Siryani) yang di zaman itu merupakan
salah satu bahasa ilmiah. Hunain mempunyai pembantu-pembantu
dan murid-murid dalam kegiatan penerjemahan itu. Sebagian buku-
buku yang diterjemahkan itu berasal dari karangan Aristoteles, Plato,
dan buku-buku mengenai neo-platonisme diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab (Harun Nasution ,1986:46-47).
Dengan demikian usaha-usaha pengembangan ilmu
pengetahuan itu meliputi beberapa tahap:
1) Kegiatan menyusun buku-buku ilmiah, diantaranya yang
terkemuka di zaman Abbasiyah adalah Imam Malik yang

256 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh kerukunan Umat Beragama terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan

menyusun buku al-Muwaththa, ibn Ishaq menyusun sejarah


hidup Nabi saw, dan Imam Abu Hanifah menyusun fiqh.
2) Penyusunan ilmu-ilmu Islam yang sedang berkembang di
zaman pemerintahan Abbasiyah yakni ilmu tafsir, ilmu qiroah,
ilmu hadits, fiqh, ilmu kalam, nahwu, bayan, dan ilmu sastra.
3) Terjemahan dari bahasa asing meliputi: filsafat, logika,
kedokteran, matematika, astrologi, musik, geografi, dan sejarah.
Kesemuanya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selama
dalam pemerintahan Abbasiyah pertama ada empat orang
penterjemah yang terkemuka, yaitu Hunain ibn Ishaq, Yakub
ibn Ishaq dari suku Arab Kinda, Tsabit ibn Qurra dari Haran, dan
Umar ibn Farrakhan dari Tabanstan (Hasan Ibrahim,1989:134).

E. Bait Hikmah Sebagai Pusat Ilmu Pengetahuan


Bait hikmah sebagai pusat ilmu pengetahuan muncul pada
waktu bercampurnya macam-macam bangsa dan peradaban pada
masa kejayaan Abbasiyah dan pada masa bangkitnya gerakan intelek
yang hebat yang telah mendorong orang-orang Islam pada waktu itu
untuk memperoleh ilmu pengetahuan untuk dapat dimanfaatkan
(Hasan Ibrahim:136), sehingga seluruh ilmu yang ada di zaman itu tak
ada terkecuali filsafat.
Pemasukan filsafat dan ilmu pegetahuan Yunani ke dalam
Islam banyak terjadi melalui Irak dengan ibukota Baghdad daripada
tempat-tempat lain. Disanalah timbul gerakan penterjemah buku-buku
Yunani ke dalam bahasa Arab atas dorongan khalifah al-Mansur dan
khalifah Harun al-Rasyid kemudian dilanjutkan dan giatkan khalifah
al-Mamun yakni putra Harun al-Rasyid dengan didirikannya Baitul
Hikmah (Harun Nasution,1996:55).
Tujuan utama daripada mendirikan Baitul Hikmah adalah
untuk mengumpulkan dan menyalin ilmu-ilmu pengetahuan asing
terutama ilmu pengetahuan orang Griek dan falsafah mereka ke dalam
bahasa Arab. Untuk dipelajari pada waktu itu telah diterjemahkan
kitab-kitab bahasa asing ke dalam bahasa Arab, dan telah menghasilkan
para ulama-ulama terkenal yang masyur diantaranya Khuwarizzmi
sebagai ahli ilmu Falaq, kemudian yang masyur dari Abu Jafar
Muhammad sebagai ahli dalam ilmu Ukur dan Mantiq (Dr. Asma
Hasan Fahmi,1979:38). Selain itu Baitul Hikmah juga menjadi pusat

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 257


Umar

perkembangan falsafat dan ilmu-ilmu yang ditinggalkan peradaban


oleh Yunani Klasik, selain itu buku-buku Yunani dan buku-buku
Persia dan India juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Harun
Nasution:56).
Disamping itu Baitul Hikmah juga merupakan tempat
berkembangnya ahli-ahli ilmu Nahwu, ilmu Bahasa, ilmu Kedokteran
dengan terbukti mendapatkan pelayanan dari pegawai di situ (Dr.
Asma Hasan Fahmi,1979:39).
Darul Hikmah sebagai perpustakaan terbesar pada saat itu
sebagian besar dikelola dan dikuasai oleh para ulama yang mempunyai
keahlian dalam berbagai ilmu pengetahuan yang mengajar serta
memberi penjelasan-penjelasan kepada orang yang mengunjungi
perpustakaan tersebut.
Lembaga ini adalah mirip universitas dewasa ini, dalam
pengertian disana belajar segolongan pelajar dari bermacam-macam
ilmu pengetahuan secara mendalam dengan kebebasan berpikir.
Dengan adanya hubungan yang erat antara perpustakaan dengan
lembaga-lembaga yang ada ini merupakan faktor untuk mencapai
tujuan (Dr. Asma Hasan Fahmi,1979:40).
F. Hambatan-Hambatan Usaha Pengembangan Ilmu Pengetahuan
dan Pemecahannya
Dengan adanya kerusuhan-kerusuhan di beberapa daerah
seperti di Syria pada tahun 161 H (676- 677 M) para perusuh atau
pengacau dikalahkan dan khalifah al-Mahdi memberi ampunan pada
mereka. Pada tahun berikutnya Yaskuri mengadakan pemberontakan
melawan khalifah al-Mahdi di Mesopotamia, pengikut Yaskuri
bertambah banyak dan mereka menghancurkan di beberapa daerah,
Yaskuri dikalahkan dan dibunuh (Harun Nasution,1996:73-74).
Disamping itu juga, golongan Alawiyah melakukan
pemberontakan dan perlawanan, sedangkan golongan Abbasiyah
menggunakan seluruh tenaga dan kekuatan menindas dan menekan,
sehingga ahli-ahli sejarah menyebutkan bahwa penderitaan golongan
Alawiyah akibat kekejaman yang dilakukan golongan Abbasiyah
lebih dari penderitaan sewaktu pemberontakan Bani Umayah
(W.Monthgomory Wott,1990:58).
Peperangan yang timbul antara bangsa Arab dan Byzantium
belum berhenti sejak kebangkitan Islam, bangsa Arab seperti yang
telah kita ketahui bermaksud untuk menguasai Konstantinopel 3 kali:

258 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh kerukunan Umat Beragama terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Pertama: Selama pemerintahan ke-3 khalifah Utsman


Kedua : Di masa pemerintahan Muawiyah I
Ketiga : Di masa kekhalifahan Sulaiman.

Perang-perang Sipil melemahkan bangsa Arab di akhir


masa pemerinyahan Bani Umayah dan Kiasar Byzantin. Konstantin
menggunakan kesempatan ini untuk menyerbu kekuasaan umat Islam
diperbatasan negaranya (Hasan Ibrahim Hasan,1989:110).
Al Husein ibn Ali al Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib dengan
didukung oleh kaum kelompok orang-orang kenamaan dari kerabatnya,
dia menentang golongan Abbasiyah akibat kekejaman pegawai
pemerintah Madinah atas keluarga Ali di zaman pemerintahan khalifah
al-Hadi yang menyebabkan keluarga Abu Thalib memberontak. Al
Husein banyak dukungannya sehingga berhasil menjebol semua
tahanan dan kemudian ia dilantik sebagai khalifah mereka (Dr. Asma
Hasan Fahmi,1979:38-40)
Pemerintahan al-Shaffah dan al-Mansur disibukkan oleh
penumpasan-penumpasan pemberontakan dari perasaan yag tidak
puas. Hal ini menimbulkan pemberontakan masyarakat Nazdak
terhadap kekuasaan Sasania dalam abad ke IV, pemberontakan
Ishaq al-Turki di Transkiana tahun 735. Banyaknya pemberontakan
menggambarkan kesulitan-kesulitan menjaga ketertiban yang harus
dihadapi pemerintah khalifah, tetapi tidak membatalkan pengakuan
bahwa abad I Abbasiyah adalah abad ketentraman dan kemakmuran
(Dr. Asma Hasan Fahmi,1979:39).
Sebelum Nabi Muhammad wafat beliau telah mengisyaratkan
bahwa Ali sebagai penggantinya. Dia adalah imam bagi kaum Islam
terutama bagi kaum yang ekstrim yaitu kaum Syiah. Di dalam tahun-
tahun awal Abbasiyah telah menjungkirkan dua pendukung utama
mereka yaitu Abu Salamah (750 M) dan Abu Muslim (755 M), yang
bersimpati pada keluarga Ali ibn Abi Thalib dank arena yang keduanya
ada hubungan dengan kaum Mazdaqiyah, sementara peristiwa-
peristiwa itu diunikkan dengan jelas pada masa pemerintahan khalifah
Harun al-Rasyid, bahkan pada masa ini terjadi perang saudara antara
khalifah al-Amin dan al-Mamun.
Dari sederetan pemberontakan dan peperangan tersebut di
atas baik berupa material maupun intelektual ataupun pertikaian

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 259


Umar

antar kelompok terjadi di masa kejayaan Islam. Kesemuanya itu


menjadikan factor hambatan ilmu pengetahuan. Adapun pemecahan
dari hambatan-hambatan usaha pengembangan ilmu pengetahuan
diantaranya terjadi pada tahun 403 H. Sekumpulan orang-orang
yang terdiri dari bermacam-macam ahli ilmu pengetahuan dari Darul
Hikmah telah menghadap al-Hakim Biamrillah diantara mereka
itu terdapat ahli hisab dan ahli mantiq, sekumpulan para fuqaha
(diantaranya Abd. al-Ghani ibn Said) dan sekumpulan para dokter
di Darul Hikmah Baghdad telah berjalan terus sampai tahun 516 H.
Pada waktu al-Afdal salah satu seorang perdana menteri Fatimiyah
memerintahkan menutupnya dengan alas an bahwa Darul Hikmah
telah merusak para guru-guru istana.
Adapun sejarah Darul Hikmah di Baghdad diliputi oleh sedikit
kesamaan sesudah masa al-Mamun yaitu terjalinnya ilmu filsafat.
Menurut dugaan, lembaga ini mengalami perubahan yang
lainnya dengan keadaan yang semula dan tetap memakai Dar al-
Ilmi sampai ke abad 12 M. Disana ada sebagian dari sumber yang
berbahasa Arab yang menyebut tentang lembaga ini dimana dikatakan
bahwa al-Daulah telah mendirikan dua buah Dar yang memakai nama
Dar al-Ilmi, satu di kota Ram Harmaz dan satu lagi di kota Basrah.
Sebagaimana perdana menteri Bani Buwaih mendirikan sebuah Dar
lagi sebuah kota Karkh disebelah kota Baghdad, dimana lembaga-
lembaga ini dan perpustakaan yang ada sebagian besar dikelola oleh
para ulama (Dr. Asma Hasan Fahmi,1979:40).

G. Partisipasi Swasta Dalam Usaha Pengembangan Ilmu


Pengetahuan
Ketika pemerintahan khalifah Abbasiyah khususnya al-
Mansur, Harun al-Rasyid, al-Mamun menaruh perhatian yang sangat
khusus untuk mendapatkan ilmu-ilmu pengetahuan dari orang
Persia dan Yunani, oleh karena itu mereka mengirimkan utusan ke
Konstantinipel untuk mencari manuskrip-manuskrip ilmu filsafat,
logika, kedokteran, matematika, astrologia (ilmu perbintangan),
musik,geografi dan sejarah. Kemudian memerintahkan agar hasil
karya mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Asma Hasan
Fahmi:1979:38)
Keluarga Barmak misalnya yang berasal Baktra, pusat ilmu
pengetahuan dari Yunani dan Persia mempunyai pengaruh dalam

260 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh kerukunan Umat Beragama terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan

perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat di Baghdad. Mereka


disamping menjadi wazir,juga menjadi guru anak-anak khalifah
(Harun Nasution,1975:69-70).
Termasuk diantaranya penyambut kedatangan tentara Islam
ialah kaum Kristen Nestoria yang selama ini mereka ditindas oleh
bangsa Konstantinopel, mereka amat bahagia dengan penyambutan
itu. Salah satu orang Kristen yang menjadi penterjemah yang terkenal
adalah Hunain ibn Ishaq, yang berhasil menterjemah beratus-ratus
buku (Noor Cholis Madjid,1984:143-144)
Jadi banyak sekali jasa orang Kriten (Nestorian) untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam. Tetapi
sebetulnya kaum Nestorian tidak sendirian disamping mereka ialah
kaum Yahudi, malah kaum musyrik peninggalan Yunani( seperti yang
tinggal di kota Harran Mesopotamia Utara, yang kelak menamaka diri
kaum Sabiun). Terdapat indikasi bahwa mula-mula orang Kristen
tidak mempedulikan ilmu pengetahuan peninggalan kaum musyrik
Yunani itu, sehingga banyak dari padanya yang hilang dan bahasa
Yunani terlupakan. Max.I. Dimont mengatakan bahwa justru orang-
orang Yahudi yang mempunyai peranan penting, anatara lain, karena
mereka menguasai bahasa- bahasa asing khususnya Yunani, Arab
Suryani dan Persia (Noor Cholis Madjid,1984:144)
Kaum Yahudi meskipun jumlahnya kecil, mereka tampil
dengan kontribusi yang sangat kaya dan mengesankan diberbagai
bidang ilmu pengetahuan kecuali kesenian, dengan tokoh tokoh yang
banyak jumlahnya dan terkenal. Dan dalam pengakuan peradaban
Islam itulah bangsa Yahudi mengalami zaman keemasan (Noor Cholis
Madjid,1984:145). Sedemikian indahnya kenangan orang-orang
Yahudi tentang zaman keemasan mereka dalam Islam itu, sehingga
mereka juga ikut meratapi keruntuhan peradaban Islam yang juga
membawa keruntuhan mereka sendiri (Noor cholis Madjid,1984:148).
Demikian perhatian yang begitu mendalam terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan, bukan saja dimotifasi oleh pemerintah, namun
pihak swastapun banyak yang memberikan sepirit demi kemajuan
ilmu pengetahuan. Hal ini banyak dilakukan pada masa kekhalifahan
Abbasiyah terutama pada masa khalifah al-Mamun.

H. Kesimpulan
Berpijak pada keseluruhan isi laporan penelitian yang
mengambil sebuah tema Pengaruh Kerukunan Umat Beragama

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 261


Umar

Terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan di Era Khalifah


Abbasiyah, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Islam sebagai agama yang universal, memberikan tuntunan
segala segi kehidupan manusia baik duniawi maupun ukhrawi.
Termasuk di dalamnya tentang toleransi ( kerukunan antar umat
beragama).Selain al-Quran, Nabi telah banyak memberikan
contoh tentang perilaku dalam menghadapi orang-orang non
muslim.
2. Masa Abasiyah merupakan zaman keemasan Islam yang mana
pada zaman itu wilayah Islam meliputi seluruh Jazirah Arab,
bahkan sampai Eropa dan Afrika. Islam mencapai puncak
keharuman pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan al-
Mamun. Di bawah kekhalifahan mereka mengalami kemajuan
di berbagai bidang antara lain dibidang ekonomi, politik, sosial,
budaya, khususnya dibidang ilmu pengetahuan dan filsafat.
3. Khalifah Abbasiyah menjunjung tinggi nilai kerukunan antar
umat beragama dengan politik liberalnya membawa Abbasiyah
mengalami kemajuan, dikarenakan adanya kerjasama baik antara
orang muslim dan non muslim dalam memajukan peradaban
masa itu. Kerukunan beragama merupakan salah satu penyebab
terjadinya stabilitas keamanan pada masa khalifah Abbasiyah
dimana kondisi yang aman dan tenteram serta damai juga
merupakan salah satu faktor maju dan berkembangnya umat
Islam saat itu.
4. Atas kebijaksanaan para khalifah telah didirikan sebuah lembaga
( Bait al-Hikmah) yang mana lembaga ini dipergunakan untuk
tempat berkumpulnya para penterjekah-penterjemah yang
pandai dalam menerjemahkan buku-buku asing. Maka dari
sinilah muncul ulama-ulama yang pandai.

262 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci


Al-Quran , Jakarta, Depag RI, 1996.

Al-Bukhary, Muhammad ibn Ismail, Shahih al-Bukhary, Kairo, ,Dar al-


Fikr 1953. Ali Musthafa al-Gurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah,
Kairo, Mathbaah Ali Shahih, 1959

Abul Ala al-Maududi, al-Khilafah wa al-Mulk, Terjemah Muhammad


Baqir, Bandung, Mizan, 1984

Abdul Razak, Kalimat Efektif: Strutur, Gaya, dan Variasi, Jakarta,


Gramedia, 1990.

Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Kairo, Maktabah al-Nahdlah, 1965.

......................, Dhuha al-Islam, Mathbaah al-Nahdlah, 1972.

Al-Thabary, Abu Jafar ibn Jarir , Tarikh al-Umam wa al-Mulk, Bairut,


Dar al-Fikr, Juz VIII, 1987

Amin Hasan Siddiqi, Studies In Islamic History, Alih Bahasa,


H.M.J.Irawan , t.t

Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat pendidikan Islam, Jakarta, Bulan
Bintang, 1979.

Bernard Lewis (ed), Islam From The Prophet Muhammad to The Copture
of Constantinopel, London, The Macmillan Press Ltd, 1976.

C.A Qadir, Philosophy and Science The Islamic World , Terjemahan Hasan
Basri dengan Judul Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam,
Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1989

Carter V, Good and Douglas E.Scate, Methods of Research Educational


Psicological, Sosiological, New York, Appleton Century- Crafts,
dalam Koentjaraningrat (ed), Metode-Metode Penelitian
Masyarakat, Jakarta, 1977.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 263


Umar

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta ,Ichtiar


Baru Van Houve, 1994

Dilip Hiro, Islamic Fundamentalism, London, Paladin Grafton Books,


1980

Fazlurrahman, Islam, Alih Bahasa Ahsin Muhammad, Bandung,


Pustaka, 1994

Fuad Moh Fahrudin, Pemikiran Politik Islam, Jakarta, Pedoman Ilmu


Jaya, 1986.

H.A.Giib (ed), The Encyclopedia of Islam, Lieden, E.J. Brill, 1960.

Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung, Mizan, 1996

........................., Pembaharuan dalam Islam: Sejarah dan Pemikiran, Jakarta,


Bulan Bintang, 1975

........................., Akal dan Wahyu Dalam Islam, Universitas Indonesia,


1986.

Hans Mayerhoff, Introduction dalam The Pkilosophy of History in Our


Time, New York, Doublade & Company, Inc., 1959

Hasan Ibrahim Hasan, Islamic Historis and Cultur, Terjemah jhahdan


Human, Yogyakarta, Kota Kembang, 1989.

..............................,Tarikh al-Islam: al-Siyasy wa al-Diniy wa al- Tsaqafiy wa


al-Ijtimaiy, Kairo, Maktabah al-Nahdlah, Juz II, Cet VII,1964.

H.M Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam Pada Perguruan Tinggi, Jakarta,
Bulan Bintang, 1974.

Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Terjemah, Ahmad Thoha, jakarta, Pustaka


Firdaus, 1986.

Imam Munawir, Kebangkitan Islam : Tantangan-Tantangan Yang Dihadapi


Dari Masa ke Masa, Surabaya, Bina Ilmu, 1984.

Jamil ahmad, Hundret Great Muslims, Terjemah,Tim Penerjemah,


Jakarta, PustakaFirdaus, 1987.

Jirji Zaidan, Tarikh Tamaddun al-Islam,Kairo, Dar al-Hilal, 1957.

264 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010


Pengaruh kerukunan Umat Beragama terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Joesoef Soyb, Sejarah Daulah Abbasiyah I, Jakarta, Bulan Bintang,


1977.

Liang Gie, Kamus Logika, Yogyakarta, Nur Cahaya, 1975.

Max I.Dimont, The Indestructible Jews, New York, New American


Library,1973

Moh Ardan, Al-Quran dan Sufisme,Mangkunegaran VI, Serat-Serat


Piwulang, Dana Bakti wakaf, Yogyakarta, 1955

Muhammad Natsir, Islam is Concern and History, Terjemah Adang


Afandi, Bandung, Rosda, 1988

Muhammad Abdul Aziz al-Khuly, Al-Adab al-Nabawi, Dar al-Fikr, t.t.

Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan


Islam, t.t

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogayakarta, Rake


Sarasin, 1989.

Nur Cholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Yayasan


Wakaf Paramadina, 1995

............................., Khazanah Intelektual Islam, Jakarta, Bulan Bintang,


1984.

Oemar Amin Hoesen, Kultur Islam, Jakarta , Bulan Bintang, 1964.

Patrick Lancaster Gardiner, Hitoriography and Histirical Metodology,


dalam Encyclopardia Britanicia, Vol. VIII, 1979.

Philip K. Hitti, History of The Arab, London, The Macirillan Press Ltd.
1974.

Pringgodigdo dan Hasan Sadely, Encyclopedi Umum, Jakarta, Rajawali,


1982

Sheikh Moh. Iqbal, Misi Islam (The Mission of Islam), Jakarta, Gunung
Jati, t.t.

Syed Ameer Ali, Api Islam : Sejarah Evolusi dan Cita-cita Islam dengan
Riwayat Hidup Nabi Muhammad, Jakarta, Bulan Bintang, t.t.

EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam 265


Umar

Syekh Khudhary Beik, Tarikh al-Tasyri al-Islamy, Kairo, Maktabah al-


Istiqamah, 1960.

T.J. De Beer, The History of Philosophy in Islam, London, 1970.

T.M. Hasbi as Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta,


Bulan Bintang, 1954.

The Liang Gie, Kamus Logika, Yogyakarta, Nur Cahaya, 1975.

Tim Penyusun Kamus pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,


Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990.

W. Montgomery Watt, The Majesty That Was Islam, Terjemahan Kartono,


Hadikusumo, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1990.

................................, Kejayaan Islam: Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis,


Yogyakarta, Tiara Wacana, 1990.

266 Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010

Anda mungkin juga menyukai